You are on page 1of 10

Regulasi Hukum dalam Pengembangan Energi Terbarukan

Muhammad Reza Pradipta_E0021293

Abstract
This article discusses the legal basis of renewable energy development in Indonesia, highlighting
the critical role of energy resources as a gift of nature to enhance economic activity and national
security. The 1945 Constitution is the main legal foundation that establishes the State's full control
over energy resources. The government responded by drafting laws, such as the Energy Law and
PP 79/2014, to regulate energy management, particularly renewable energy, with a focus on the
power and transport sectors. Renewable energy in Indonesia, such as hydro, solar, wind, ocean
current and geothermal energy, has great potential. The article notes challenges in renewable
energy development, including complex and varied regulatory barriers, as well as technical and
infrastructure constraints. The government set ambitious targets in the National Energy Policy,
hoping to achieve 23% clean energy contribution by 2025 and 31% by 2030. However, constraints
such as land acquisition, high investment, access to technology, and price certainty remain serious
challenges. The government is faced with different interpretations and standards in renewable
energy management between government entities, SOEs, and the private sector, creating
uncertainty among businesses. The implementation of renewable energy-based power plants, such
as solar power, also faces difficulties due to regulations that are considered difficult by potential
users and investors. In the face of this complexity of challenges, good governance of the renewable
energy sector is needed through the implementation of appropriate policies and regulations, as well
as participation from all parties, including the government, the private sector and the community.
This means that renewable energy development in Indonesia requires a holistic approach and
cross-sector support to achieve sustainability and energy security goals.
Keywords: Renewable energy, energy resources, renewable energy potential, technical constraints
Abstrak
Artikel ini membahas landasan hukum pengembangan energi terbarukan di Indonesia, menyoroti
peran pentingnya sumber daya energi sebagai karunia alam untuk meningkatkan kegiatan ekonomi
dan ketahanan nasional. UUD 1945 menjadi landasan hukum utama yang menetapkan kendali
penuh Negara terhadap sumber daya energi. Pemerintah merespons dengan merancang undang-
undang, seperti UU Energi dan PP 79/2014, untuk mengatur pengelolaan energi, khususnya energi
terbarukan, dengan fokus pada sektor ketenagalistrikan dan transportasi. Energi terbarukan di
Indonesia, seperti energi air, surya, angin, arus laut, dan panas bumi, memiliki potensi besar.
Artikel mencatat tantangan dalam pengembangan energi terbarukan, termasuk hambatan regulasi
yang kompleks dan variatif, serta kendala teknis dan infrastruktur. Pemerintah menetapkan target
ambisius dalam Kebijakan Energi Nasional, dengan harapan mencapai 23% kontribusi energi
bersih pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2030. Namun, kendala seperti akuisisi lahan, investasi
tinggi, akses teknologi, dan kepastian harga masih menjadi tantangan serius. Pemerintah
dihadapkan pada perbedaan interpretasi dan standar dalam pengelolaan energi terbarukan antara
entitas pemerintah, BUMN, dan sektor swasta, menciptakan ketidakpastian di kalangan pelaku
usaha. Implementasi pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, seperti tenaga surya, juga
menghadapi kesulitan akibat regulasi yang dianggap sulit oleh calon pengguna dan investor.
Dalam menghadapi kompleksitas tantangan ini, diperlukan tata kelola sektor energi terbarukan
yang baik melalui implementasi kebijakan dan regulasi yang tepat, serta partisipasi dari semua
pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Artinya, pengembangan energi
terbarukan di Indonesia memerlukan pendekatan holistik dan dukungan lintas sektor untuk
mencapai tujuan keberlanjutan dan ketahanan energi.
Kata kunci: Energi terbarukan, sumber daya energi, potensi energi baru terbarukan, kendala teknis
Pendahuluan
Selama beberapa dekade terakhir, Indonesia telah sangat bergantung pada sumber energi
fosil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS),
pada tahun 2019, tercatat 133.617.012 unit kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak
beroperasi di Indonesia, dengan 112.771.136 unit di antaranya merupakan kendaraan bermotor.1
Selama periode tersebut, negeri ini mengabaikan potensi positif dari sumber energi terbarukan
yang sebenarnya cukup melimpah. Sumber energi terbarukan telah dibiarkan tidak digali
sepenuhnya, sementara konsumsi energi fosil terus meningkat, bahkan menjadi lebih besar dari
waktu ke waktu. Akibatnya, penggunaan energi fosil yang terus meningkat mengakibatkan
penipisan cadangan energi fosil Indonesia. Selain mempengaruhi ketersediaan energi fosil di
planet ini, penggunaan massal bahan bakar fosil juga akan menghasilkan dampak negatif terhadap
ekosistem. Limbah dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas
alam, akan mengeluarkan karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lain yang dikenal sebagai gas rumah
kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer menyerap lebih banyak gas rumah kaca, ini berfungsi sebagai
lapisan isolator tambahan yang menahan lebih banyak panas dari matahari dan memantulkannya
kembali ke bumi.2 Dampak ini berpotensi menciptakan efek domino yang serius dan merugikan
masyarakat, bahkan dapat berdampak pada stabilitas negara. Oleh karena itu, tidak mengherankan
bahwa ada kebutuhan mendesak untuk melakukan transisi energi dari penggunaan energi fosil
menuju energi terbarukan dalam waktu dekat.
Energi memiliki peran krusial dalam pembangunan Indonesia, tidak hanya sebagai
penyumbang devisa negara tetapi juga sebagai faktor penentu dalam kemajuan peradaban bangsa.
Energi dianggap sebagai sumber daya alam yang strategis dan penting, memegang kendali atas

1
Subekti, “THE URGENCY OF ELECTRIC VEHICLE REGULATIONS FOR CLIMATE CHANGE CONTROL AND
ACCELERATION OF RENEWABLE ENERGY.”
2
Wardana, “Pengaturan Hukum tentang Pemanfaatan Biogas Sebagai Energi Terbarukan Dalam Mendorong
Ekonomi Hijau (Green Economy) di Indonesia.”
kehidupan banyak orang, sehingga menjadi kewenangan Negara untuk mengelolanya dan
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sejalan dengan ketentuan Pasal 33 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia memiliki enam sumber daya Energi Baru Terbarukan (EBT), meliputi energi air,
surya, angin, arus laut, bioenergi, dan panas bumi. Potensi besar Indonesia untuk mengembangkan
dan memanfaatkan sumber EBT ini sangat mungkin, namun, sampai saat ini, pemanfaatannya
masih terbatas dan belum mencapai tingkat optimal. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang
terletak di sepanjang garis khatulistiwa, memiliki potensi besar dalam pemanfaatan energi
matahari yang luar biasa sepanjang tahun. Potensi ini menjadi sumber daya energi baru terbarukan
yang perlu dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil sebagai sumber
energi utama. Peran energi matahari sebagai salah satu sumber energi baru terbarukan masih dapat
dioptimalkan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi. Selain memberikan kontribusi positif
terhadap lingkungan dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, ini juga mendukung inisiatif
nasional pemerintah untuk menyediakan energi dari sumber energi baru terbarukan, termasuk
energi matahari. Energi listrik, hasil dari eksploitasi sumber daya alam dan kemajuan teknologi,
memainkan peran penting dalam mencapai tujuan pembangunan nasional. Energi listrik telah
menjadi kebutuhan pokok masyarakat, dan pergeseran ini semakin terlihat di masa depan dengan
kemajuan teknologi, seperti pengembangan kompor listrik, kendaraan listrik, dan berbagai
perangkat lainnya yang menggunakan listrik sebagai sumber tenaganya. Demi memenuhi
peningkatan kebutuhan listrik yang terus berkembang, pemerintah terus berusaha mengembangkan
teknologi dan mendirikan pembangkit listrik yang sesuai dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi
dan proyeksi kebutuhan listrik.
Pemerintah Indonesia tidak hanya memberikan dukungan terhadap pengembangan
produksi kendaraan listrik oleh anak muda Indonesia dan promosi penggunaannya, tetapi juga
telah mengambil langkah konkret dengan menerbitkan regulasi yang mengatur kendaraan listrik.
Karena kendaraan Listrik dianggap sebagai solusi untuk menurunkan penggunaan energi fosil dan
mengurangi emisi karbon secara signifikan. Sehingga dikeluarkanlah Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 55 Tahun 2019 pada 12 Agustus 2019, menjadi landasan hukum utama yang mempercepat
program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia.3 Perpres ini memberikan
panduan dan aturan dasar terkait penggunaan dan produksi kendaraan listrik di negara ini. Sejalan
dengan upaya tersebut, Kementerian Perhubungan juga turut ambil bagian dengan merilis
Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 45 Tahun 2020, yang secara khusus
mengatur kendaraan tertentu yang menggunakan penggerak motor listrik. Langkah-langkah ini
mencerminkan komitmen pemerintah untuk mendorong perkembangan kendaraan listrik sebagai
bagian integral dari transportasi nasional, memberikan dasar hukum yang jelas untuk mendukung
industri ini.

3
Audrey Ramadhina dan Fatma Ulfatun Najicha, “Regulasi Kendaraan Listrik di Indonesia Sebagai Upaya
Pengurangan Emisi Gas.”
Hingga sekarang, masih menjadi tanda tanya mengapa Indonesia, yang memiliki potensi
energi terbarukan melimpah, belum mampu efektif mengelola sumber energi terbarukan tersebut
untuk memberikan kemandirian dan ketahanan energi bagi masyarakatnya. Dengan merangkum
informasi dari berbagai artikel ilmiah dan media cetak/elektronik, dapat disimpulkan bahwa
potensi energi terbarukan di Indonesia sangat signifikan. Sadar akan urgensi dan potensi yang
dimiliki, pemerintah Indonesia telah mengembangkan beberapa instrumen hukum, skema, dan
kebijakan dalam pengelolaan energi terbarukan. Namun, dalam kenyataannya, upaya pemerintah
masih menghadapi sejumlah hambatan yang sangat kompleks, beberapa di antaranya bersifat
struktural. Untuk mempercepat transisi energi, perlu dilakukan analisis mendalam terhadap
hambatan-hambatan tersebut. Karena masalahnya kompleks dan bersifat struktural, analisis
tersebut harus dilakukan secara inklusif dan bertahap. Selain itu, para pihak yang terlibat perlu
memahami dengan baik isu-isu yang muncul dari hambatan-hambatan tersebut.
Pembahasan
1. Landasan Hukum Pengembangan Energi Terbarukan
Sumber daya energi, sebagai karunia alam, merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa
kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Selain itu, sumber daya energi dianggap sebagai aset alam
yang sangat penting dan strategis, memiliki peran krusial dalam meningkatkan kegiatan ekonomi,
menciptakan peluang kerja, dan meningkatkan ketahanan nasional. Sebagai hukum dasar, UUD
1945 memiliki implikasi hukum yang menyatakan bahwa setiap materi dalam peraturan
perundang-undangan yang berada di bawahnya tidak dapat bertentangan dengan materi-materi
yang terdapat dalam UUD 1945. UUD 1945 menetapkan garis besar, arah, isi, dan bentuk hukum
yang akan berlaku di Indonesia, termasuk arah kebijakan hukum dan politik hukum terkait minyak
dan gas bumi di Indonesia.4 Oleh karena itu, Negara harus memiliki kendali penuh terhadap
sumber daya energi dan menggunakan mereka sebaik-baiknya untuk mencapai kemakmuran
rakyat, sesuai dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.5 Mengingat signifikansi sumber daya energi, Pemerintah perlu merancang rencana
pengelolaan energi yang bertujuan memenuhi kebutuhan energi nasional dalam jangka panjang.
Hal ini sejalan dengan kebijakan pengelolaan energi yang diarahkan untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional serta memastikan pemenuhan kebutuhan energi yang bersumber dari
sumber daya alam yang strategis. Contoh Potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang Ada di
Indonesia adalah sebagai berikut:
a) Energi air
Pemanfaatan potensi energi air di Indonesia telah luas digunakan dalam pembangkit listrik
melalui tenaga mini dan mikro hidro. Penggunaan energi air dianggap sebagai solusi ramah
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan listrik. Hal ini disebabkan oleh sifat terbarukan air,
yang telah diimplementasikan, misalnya, dalam Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro

4
Najicha, “Konstitusionalitas Pengelolaan Migas dalam Mewujudkan Kedaulatan Energi Indonesia.”
5
“UUD 1945 ASLI.”
(PLTMH). Meskipun air dianggap sebagai sumber energi yang bersahabat dengan lingkungan
dan dapat diperbaharui, penting untuk tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap
ekosistem sekitar.
b) Energi Surya
Walaupun potensi energi surya di Indonesia sangat besar, pemanfaatannya baru mencapai
0,05% karena investasi yang tinggi dan kendala dalam pembebasan lahan. Sebagai alternatif
untuk mengatasi permasalahan tersebut, panel surya dapat dipasang di atap gedung di kawasan
perkotaan, sehingga tidak memerlukan lahan khusus.
c) Energi Angin
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, ditemukan bahwa sejumlah wilayah di Indonesia
memiliki potensi energi angin yang signifikan untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga
angin. Pemanfaatan turbin angin ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada
sumber energi konvensional, mengurangi emisi gas rumah kaca, serta menyediakan akses
listrik yang lebih luas dalam berbagai konteks. Meskipun demikian, terdapat beberapa
tantangan yang perlu diatasi, termasuk aspek teknis, regulasi, dan integrasi dengan jaringan
listrik nasional.
d) Energi arus laut
Energi arus laut merujuk pada energi yang terkandung dalam gerakan horizontal massa air laut.
Keberadaan arus laut dihasilkan oleh efek pasang surut dan perbedaan suhu serta salinitas air
laut. Energi yang terdapat dalam arus laut dapat dijadikan sumber pembangkit energi listrik.
Proses ini melibatkan pemanfaatan energi kinetik yang ada dalam arus laut untuk
menggerakkan turbin. Turbin yang diputar oleh arus laut kemudian menggerakkan generator,
menghasilkan energi listrik. Potensi besar arus laut umumnya terdapat di perairan selat.
e) Energi panas bumi
Energi panas bumi merujuk pada energi yang terakumulasi dalam batuan di bawah permukaan
bumi dan dalam fluida yang ada di dalamnya. Indonesia, berada di wilayah jalur gunung api
yang dikenal sebagai Ring of Fire, memiliki potensi besar untuk menghasilkan energi panas
bumi. Jalur gunung api ini melintasi wilayah Indonesia dari ujung barat Sumatera, Jawa, Bali,
Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga ke Maluku.
Maka dari itu pemerintah kemudian membuat lagi undang-undang terkait pengelolaan
sumber daya energi di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
(selanjutnya disebut UU Energi). Pengaturan masalah EBT diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan (3)
UU Energi dimana dikatakan bahwa: Pasal 4 Ayat (2) “Sumber daya energi baru dan sumber daya
energi terbarukan diatur oleh Negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”;
Pasal 4 Ayat (3) “Penguasaan dan pengaturan sumber daya energi oleh Negara diselenggarakan
oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.6 Pada tanggal 17
Oktober 2014, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 yang
membahas Kebijakan Energi Nasional, yang selanjutnya disebut sebagai PP 79/2014. Penerbitan
PP ini didasarkan pada ketentuan Pasal 11 ayat (2) dari Undang-Undang Energi “Kebijakan energi
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan
DPR”. Undang-Undang No 30 Tahun 2007 Tentang Energi, yang dikelola oleh Dewan Energi
Nasional (DEN), diterapkan melalui Kebijakan Energi Nasional yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah No 79 Tahun 2014. Jenis cadangan penyangga energi seperti yang dijelaskan dalam
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Energi, diperinci lebih lanjut dalam Pasal 12 ayat (1) huruf e
Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa "Pemanfaatan energi
terbarukan dari jenis biomassa dan sampah difokuskan pada sektor ketenagalistrikan dan
transportasi." Dalam kerangka ini, biomassa, termasuk biogas yang dihasilkan dari penguraian
biomassa atau sampah organik, diakui sebagai salah satu jenis cadangan penyangga energi
nasional.7
Peran krusial pemerintah dalam manajemen energi nasional memiliki dampak signifikan
terhadap kelangsungan penyediaan energi yang aman, handal, dan bersahabat dengan lingkungan.
Dalam upaya untuk meratakan pembangunan dan ekonomi, dibutuhkan sejumlah energi yang
besar. Pencapaian tersebut mungkin sulit jika bergantung pada sumber energi tak terbarukan.
Selain memiliki keterbatasan jumlahnya yang akan habis dalam waktu tertentu, penggunaan energi
tak terbarukan seperti bahan bakar fosil dan uap juga membawa potensi pencemaran lingkungan
yang signifikan. Energi fosil dan uap tidak hanya memberikan dampak negatif terhadap konsumsi
energi, tetapi juga menimbulkan masalah polusi dan berdampak buruk pada kesehatan makhluk
hidup.
Sebaliknya, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat melimpah. Dengan
pemanfaatan yang tepat dan profesional, energi terbarukan memiliki potensi untuk menciptakan
akses energi yang merata dengan cara yang aman, bersih, dan berkelanjutan. Penggunaan energi
terbarukan juga merupakan langkah penting dalam upaya dekarbonisasi, yang mencakup
pengurangan emisi karbon yang dihasilkan oleh pembakaran energi fosil hingga mencapai tingkat
terendah tertentu. Dengan kata lain, dekarbonisasi adalah proses beralih dari bahan bakar fosil ke
sumber energi yang ramah lingkungan, termasuk melalui pemanfaatan energi terbarukan.Dalam
penjabaran Kebijakan Energi Nasional (KEN), target untuk Energi Baru dan Energi Terbarukan
pada tahun 2025 minimal 23% dan pada tahun 2050 minimal 31%, disesuaikan dengan
terpenuhinya kebutuhan ekonomi (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun
2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional, 2014).8
2. Tantangan Regulasi dalam Pengembangan Energi Terbarukan

6
“Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007.”
7
“Ibid”
8
Bayu dan Windarta, “Tinjauan Kebijakan dan Regulasi Pengembangan PLTS di Indonesia.”
Mengamati sejumlah kekayaan dan potensi energi terbarukan yang dimiliki oleh Indonesia,
sepertinya wajar jika harapan terhadap terciptanya pemerataan energi yang aman dan bersih cukup
tinggi. Meskipun demikian, harapan tersebut untuk mewujudkan pemanfaatan energi terbarukan
tampaknya akan memerlukan waktu yang lama. Ini dikarenakan masih adanya berbagai hambatan
dalam implementasi kebijakan energi terbarukan di Indonesia. Lebih dari itu, hambatan-hambatan
tersebut muncul dalam kerangka yang sangat kompleks dan struktural, serta memiliki variasi
bentuk. Mulai dari isu-isu sosial, seperti ketergantungan masyarakat pada bahan bakar fosil yang
mengakibatkan kesadaran rendah terhadap penggunaan energi terbarukan, hingga masalah yuridis
yang terkait dengan ketidakjelasan payung hukum dalam menangani permasalahan energi
terbarukan ini. Setidaknya, hambatan dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT)
terlihat dari beberapa permasalahan, seperti akuisisi lahan, investasi yang tinggi, akses ke
teknologi yang efisien, ketersediaan infrastruktur untuk transmisi dan distribusi listrik, akses ke
sumber pendanaan yang terjangkau, penetapan harga jual yang adil, proses perizinan, skema
kerjasama, dan dukungan internasional.9
Pemerintah telah menegaskan komitmennya dalam pengembangan Energi Baru
Terbarukan (EBT) dengan tujuan memastikan ketahanan energi di Indonesia dan memenuhi
permintaan listrik yang terus meningkat. Bahkan, pemerintah Indonesia telah menetapkan target
ambisius, yaitu mencapai 23% kontribusi energi bersih dalam portofolio energi nasional pada
tahun 2025 dan 31% pada tahun 2030, sebagaimana diamanatkan oleh Kebijakan Energi Nasional
(KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan
tata kelola sektor EBT melalui implementasi kebijakan dan regulasi yang tepat serta partisipasi
dari semua pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Adapun beberapa hal lain yang menjadi kurang jelas dalam pengelolaan dan penjabaran
tugas dan wewenangnya seperti, PLN yang menjadi satu-satunya entitas distributor listrik untuk
kepentingan umum, yang mengakibatkan perbedaan dalam ketentuan antara Undang-Undang
Energi dan Undang-Undang Ketenagalistrikan. Hal ini masih menimbulkan interpretasi ganda dan
standar yang berbeda dalam hal pengelolaan Energi Baru Terbarukan (EBT) di antara Pemerintah,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan sektor swasta. Salah satu konsekuensinya adalah
timbulnya ketidakpastian di kalangan pelaku usaha.10 Dalam Upaya pembangkit Listrik berbasis
EBT pun masih mengalami kendala dalam pengimplementasiannya di lapangan, seperti halnya
dengan pengembangan listrik tenaga surya di Indonesiayang masih mengalami berbagai tantangan.
Kebijakan yang saat ini berlaku dinilai masih menghadirkan kesulitan bagi calon pengguna dan
investor dalam bidang listrik tenaga surya. Beberapa kendala bagi Pembangkit Listrik Tenaga
Surya (PLTS) yang terhubung ke jaringan termasuk persyaratan dalam bentuk built operate own
and transfer (BOOT), yang mengharuskan pengembang untuk mentransfer kepemilikan proyek

9
Ayu Arsita, Eko Saputro, dan Susanto, “Perkembangan Kebijakan Energi Nasional dan Energi Baru Terbarukan
Indonesia.”
10
Nunuk Febriananingsih, “TATA KELOLA ENERGI TERBARUKAN DI SEKTOR KETENAGLISTRIKAN DALAM KERANGKA
PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL.”
kepada PLN setelah masa kontrak berakhir. Selain itu, pengembang listrik tenaga surya juga
terpaksa menerima harga yang ditetapkan berdasarkan harga listrik beban dasar batubara, yang
selama ini telah menerima subsidi dari pemerintah.11
Pemerintah berusaha memenuhi permintaan masyarakat agar dapat menginstal Pembangkit
Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di rumah, tetapi kebijakan yang diterapkan masih jauh dari
harapan terkait regulasi yang adil dan transparan. Konsumen yang sekaligus menjadi produsen
hanya diizinkan menjual listrik kepada PLN, namun aturan tersebut tidak berlaku sebaliknya ketika
terjadi kelebihan produksi listrik. Harga pembelian listrik oleh PLN diatur sebesar 65% dari listrik
yang dihasilkan oleh konsumen yang memasang solar atap, sehingga membatasi kemampuan
konsumen untuk menjadi produsen atau penyedia listrik. Dari perspektif keselamatan
ketenagalistrikan, kurangnya kepastian harga Sertifikat Layak Operasi (SLO) bagi pembangkit
perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Kesimpulan
Landasan hukum pengembangan energi terbarukan di Indonesia didasarkan pada UUD
1945, yang mengakui sumber daya energi sebagai karunia alam yang strategis untuk meningkatkan
kegiatan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan ketahanan nasional. UUD 1945
memberikan dasar hukum yang menetapkan kendali penuh Negara terhadap sumber daya energi
untuk mencapai kemakmuran rakyat, sesuai dengan amanat Pasal 33. Pengelolaan energi nasional
diarahkan pada pemenuhan kebutuhan jangka panjang, seiring dengan peraturan yang
diimplementasikan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Potensi energi baru
terbarukan (EBT) di Indonesia, seperti energi air, surya, angin, arus laut, dan panas bumi. Namun,
pengembangan EBT dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk akuisisi lahan, biaya investasi
tinggi, akses ke teknologi efisien, serta regulasi, infrastruktur, dan dukungan internasional.
Tantangan regulasi menjadi fokus utama dalam mengimplementasikan kebijakan energi
terbarukan, dan hambatan tersebut bersifat kompleks dan struktural. Meskipun pemerintah
memiliki komitmen untuk mengembangkan EBT dan menetapkan target ambisius, seperti dalam
Kebijakan Energi Nasional, masih ada ketidakjelasan dalam peran PLN sebagai satu-satunya
distributor listrik untuk kepentingan umum.
Dalam konteks pembangunan listrik tenaga surya (PLTS), terdapat kendala seperti aturan
built operate own and transfer (BOOT), penetapan harga berdasarkan listrik beban dasar batubara,
dan kebijakan harga pembelian listrik oleh PLN yang dianggap menyulitkan calon pengguna dan
investor. Upaya pemerintah untuk mempromosikan PLTS atap di rumah juga dihadapkan pada
peraturan yang dianggap tidak adil dan transparan, membatasi konsumen sebagai produsen listrik.
Masalah keselamatan ketenagalistrikan, terutama terkait dengan kurangnya kepastian harga
Sertifikat Layak Operasi (SLO) bagi pembangkit, menjadi perhatian serius yang perlu diatasi.
Dengan demikian, meskipun Indonesia memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, tantangan

11
“Ibid”
regulasi dan implementasi kebijakan tetap menjadi hambatan yang perlu diatasi untuk mencapai
tujuan pemerintah dalam pengembangan energi terbarukan.
Daftar Pustaka

Audrey Ramadhina dan Fatma Ulfatun Najicha. “Regulasi Kendaraan Listrik di Indonesia
Sebagai Upaya Pengurangan Emisi Gas.” Jurnal Hukum to-ra : Hukum Untuk Mengatur
dan Melindungi Masyarakat 8, no. 2 (25 Agustus 2022): 201–8.
https://doi.org/10.55809/tora.v8i2.126.
Ayu Arsita, Savira, Guntur Eko Saputro, dan Susanto Susanto. “Perkembangan Kebijakan Energi
Nasional dan Energi Baru Terbarukan Indonesia.” Jurnal Syntax Transformation 2, no.
12 (24 Desember 2021): 1779–88. https://doi.org/10.46799/jst.v2i12.473.
Bayu, Handoko, dan Jaka Windarta. “Tinjauan Kebijakan dan Regulasi Pengembangan PLTS di
Indonesia.” Jurnal Energi Baru dan Terbarukan 2, no. 3 (21 Oktober 2021): 123–32.
https://doi.org/10.14710/jebt.2021.10043.
Najicha, Fatma Ulfatun. “Konstitusionalitas Pengelolaan Migas dalam Mewujudkan Kedaulatan
Energi Indonesia,” 2020.
Nunuk Febriananingsih. “TATA KELOLA ENERGI TERBARUKAN DI SEKTOR
KETENAGLISTRIKAN DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN HUKUM
NASIONAL.” Majalah Hukum Nasional 49, no. 2 (28 November 2019): 29–56.
https://doi.org/10.33331/mhn.v49i2.31.
Subekti, Rahayu. “THE URGENCY OF ELECTRIC VEHICLE REGULATIONS FOR
CLIMATE CHANGE CONTROL AND ACCELERATION OF RENEWABLE
ENERGY” 11, no. 3 (2022).
“Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007.pdf,” t.t.
“UUD45 ASLI.pdf,” t.t.

You might also like