You are on page 1of 24

38 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2010, Vol. 7, No.

1 hal 38 - 60

SEMIOTIKA LABA AKUNTANSI:


STUDI KRITIKAL-POSMODERNIS DERRIDEAN

Akhmad Riduwan
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya

Iwan Triyuwono
Gugus Irianto
Unti Ludigdo
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang
akhmadriduwan@gmail.com

Abstract

The main aims of the research are (a) to understand the interpretation of accounting earnings by accountants
and non-accountants; and (b) to perform a deconstructively semiotics-reading about the text related with
their interpretations of accounting earnings. This research is performed based on the critical-postmodern
approach, especially based on the Jacques Derrida’s philosophy. Based on the Jacques Derrida’s philosophy,
deconstructive semiotics analysis expresses some realities that are (a) accounting earnings are traces,
either the trace as a history of text or as an experience and interest of interpreter; (b) nothing outside the
text of accounting earnings because the meanings of accounting earnings are intertextual, accounting
earnings are the result of simulation only, and the meanings of accounting earnings do not exceed the
experience and interest of interpreter; (c) accounting earnings are the metaphysics of presence, in the
means of “being” and “presence” through the process called “becoming”, representation of “the being
of beings” realities, so that accounting earnings are illusion ended to reification; (d) accounting earnings
are the product of logocentrism, that is ratio as a centre of truth, so that accounting idealism in earnings
determination is more conspicuous than pragmatism.
Key-words: accounting earnings, critical-postmodern, deconstructive-semiotics, logocentrism, idealism

Abstrak

Penelitian ini bertujuan (a) memahami penafsiran laba akuntansi oleh akuntan dan non-akuntan; serta (b)
melakukan pencarian makna (semiotika) secara dekonstruktif atas teks yang berkaitan dengan penafsiran
laba akuntansi oleh para informan. Penelitian dilakukan berdasarkan pendekatan kritikal-posmodern
berbasis filsafat Jacques Derrida. Dengan berbasis pada filsafat Jacques Derrida, kajian semiotika
dekonstruktif mengungkap realitas bahwa (a) laba akuntansi adalah jejak, baik jejak sebagai “sejarah
teks” maupun jejak sebagai pengalaman dan kepentingan penafsir; (b) tidak ada realitas di luar teks laba
akuntansi karena makna laba akuntansi bersifat intertekstual, laba akuntansi hanya hasil dari simulasi,
dan makna laba akuntansi tidak melampaui kepentingan dan pengalaman penafsir; (c) laba akuntansi
adalah metafisika kehadiran, dalam arti ada dan hadir melalui proses mengada, representasi dari realitas
yang ada dari adaan-adaan, sehingga laba akuntansi adalah ilusi yang bermuara pada reifikasi; (d)
laba akuntansi adalah produk logosentrisme, yaitu logika atau rasio sebagai pusat kebenaran, sehingga
idealisme akuntansi dalam penetapan laba lebih mengemuka daripada pragmatisme.
Kata kunci: laba akuntansi, kritikal-posmodern, semiotika-dekonstruktif, logosentrisme, idealisme
Akhmad Riduwan, Iwan Triyuwono, Gugus Irianto, Unti Ludigdo, Semiotika Laba Akuntansi … 39

PENDAHULUAN (2003, 452) menyatakan bahwa semua simbol


akuntansi – kata dan angka – selalu memiliki
Akuntansi dapat disebut sebagai relasi dengan realitas referensialnya, tetapi
sebuah bahasa, karena akuntansi memiliki realitas referensial dari simbol-simbol akuntansi
karakteristik leksikal maupun gramatikal tersebut mungkin berada pada tingkatan yang
(Belkaoui 1980, 363). Dengan karakteristik berbeda-beda. Khusus untuk simbol laba
tersebut, akuntansi dapat diartikan sebagai (income) misalnya, Mattessich menyatakan
seperangkat simbol bahasa atau representasi bahwa realitas referensial atas simbol laba
simbolik yang menunjuk pada suatu makna atau tersebut tidak berada pada tingkatan realitas
realitas tertentu. Mengingat efek komunikatif fisis, tetapi berada pada tingkatan ”realitas
merupakan sasaran penyampaian informasi sosial” (social reality) – artinya, realitas
dari penyedia informasi kepada pengguna tersebut menjadi ”ada” karena kesepakatan
informasi, maka ungkapan bahasa harus tepat yang terjadi dalam komunitas akuntansi.
sehingga maknanya dapat diinterpretasikan Berbagai pendapat yang berbeda tentang
sama persis dengan makna yang dimaksudkan. relasi antara simbol laba dengan realitas
Oleh karena itu, di samping aspek sintaktik referensialnya sebagaimana terungkap melalui
(pengukuran) dan pragmatik (kebermanfaatan), kajian kritis-filosofis dari Macintosh et al. (2000)
teori akuntansi perlu dikembangkan dengan dan Mattessich (2003) tersebut, merefleksikan
mempertimbangkan aspek semantik (realitas adanya peluang akan timbulnya perbedaan
yang direpresentasikan). interpretasi laba akuntansi dalam sebuah
Dari sekian banyak simbol, salah satu ruang komunikasi. Perbedaan interpretasi
simbol akuntansi yang dikomunikasikan melalui laba akuntansi ini tentu akan mempengaruhi
laporan keuangan untuk merepresentasikan efektivitas komunikasi informasi laba itu
realitas tertentu adalah simbol ”laba”. Dalam sendiri, karena realitas yang sesungguhnya
esai kritis-filosofisnya, Macintosh et al. (2000) ingin direpresentasikan oleh simbol laba
mengungkapkan bahwa saat ini akuntansi ternyata diinterpretasikan secara berbeda oleh
berhadapan dengan transaksi-transaksi pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi.
ekonomik yang semakin kompleks, termasuk Jika hal ini terjadi, maka efek pemengaruhan
dalam penggunaan nilai moneter sebagai unit yang diharapkan dalam pengkomunikasian
pengukur. Dalam situasi demikian, simbol laba laba akuntansi tidak tercapai karena respon
(income) dan modal (capital) tidak memiliki terhadap informasi menjadi bias.
referen pada objek dan peristiwa yang nyata. Penelitian ini termotivasi oleh kajian
Dalam pandangan Macintosh et al., simbol laba kritis-filosofis dari Macintosh et al. (2000) dan
akuntansi tersebut hanya merupakan simulakra Mattessich (2003) tersebut, untuk menjawab
murni (pure simulacra), yang berarti bahwa pertanyaan-pertanyaan dari ranah empiris
referen laba akuntansi adalah pada dirinya sebagai berikut: (1) bagaimanakah akuntan
sendiri dan berputar-putar pada dirinya sendiri dan non-akuntan menginterpretasikan laba
membentuk dunia hiperrealitas. Macintosh et (earnings) yang tercantum dalam laporan
al. (2000) juga berpendapat bahwa tidak hanya laba-rugi?; dan (2) realitas apa yang ada di
terbatas pada simbol laba, banyak simbol balik penafsiran akuntan dan non-akuntan atas
akuntansi yang tidak memiliki rujukan secara laba tersebut? Penelitian ini dilakukan untuk
jelas pada objek dan peristiwa nyata, sehingga mencapai beberapa tujuan. Pertama, memahami
akuntansi tidak secara penuh menjalankan penafsiran akuntan dan non-akuntan atas
fungsinya sesuai logika representasi, laba akuntansi. Kedua, melakukan pencarian
pertanggungjawaban, atau penyajian informasi makna (semiotika) secara dekonstruktif atas
ekonomik secara transparan. penafsiran laba akuntansi untuk mengungkap
Berbeda dengan Macintosh et al. (2000), realitas yang tersembunyi di balik penafsiran
tetapi dengan substansi yang sama, Mattessich tersebut.
40 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2010, Vol. 7, No. 1 hal 38 - 60

METODELOGI PENELITIAN yang berprofesi sebagai manajer keuangan,


penasihat investasi, investor, dan analis kredit.
Kritis-Posmodern Sebagai Paradigma
Tabel 1 menunjukkan informan terpilih dalam
Penelitian
penelitian ini.
Penelitian ini merupakan penelitian Pemilihan para informan tersebut di
kualitatif dengan paradigma kritis-posmodern. atas dilakukan secara sengaja, berdasarkan
Penelitian dengan paradigma kritis-posmodern kriteria yang dijelaskan oleh Bungin (2003,
(critical-postmodern paradigm) dilakukan 54), bahwa informan merupakan individu yang
berdasarkan asumsi-asumsi dan keyakinan dari telah cukup lama dan intensif menyatu dengan
teori kritis (critical theory) dalam memandang kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi
realitas sosial. Dengan berefleksi pada esensi sasaran penelitian. Pengumpulan informasi
dan karakteristik teori kritis seperti diuraikan dilakukan secara intensif pada tahun 2007-
oleh Morrow (1994), Neuman (2000), Jay 2009 melalui wawancara yang tidak terstruktur,
(2005), Lubis (2006), dan Willis (2007), tidak terjadwal, dan dilakukan sedemikian
penelitian ini dilakukan dengan berpijak pada rupa sehingga dalam memberikan informasi,
asumsi, pola pikir atau keyakinan berikut. para informan tidak cenderung mengolah atau
Pertama, praktik akuntansi [khususnya mempersiapkan informasi tersebut lebih dulu,
akuntansi keuangan] bukanlah sesuatu yang serta dapat memberikan penjelasan apa adanya.
bersifat given, atau ada seperti apa adanya,
tetapi diciptakan oleh pihak yang memiliki Dekonstruktif-Retorik: Sifat Analisis
kuasa, yaitu akuntan. Akuntan memiliki kuasa dan Diskusi
untuk menciptakan praktik akuntansi dan Sifat ”dekonstruktif-retorik” akan diterap-
mengarahkan pihak lain untuk menjalankan kan dalam analisis dan diskusi hasil penelitian,
dan memahami praktik akuntansi seperti dengan tahap-tahap berikut. Pertama,
yang diinginkan. Kedua, teori dan praktik
pengungkapan hasil pembacaan semiotika
akuntansi sarat dengan nilai, dan karenanya,
struktural oleh informan pada tingkat mikro,
netralitas dan objektivitas yang dilekatkan
yaitu penafsiran informan atas laba akuntansi.
sebagai karakteristik kualitatif informasi
Kedua, pembacaan semiotika struktural
akuntansi dapat memunculkan mitos (ilusi) di
oleh peneliti pada tingkat makro. Disebut
masyarakat tentang netralitas dan objektivitas
tingkat makro, karena pembacaan semiotika
informasi akuntansi. Ketiga, tindakan praksis
struktural pada tahap ini tidak terfokus pada
yang dilakukan oleh individu (akuntan dan
teks sebagai tulisan, tetapi terfokus pada
non-akuntan) sering terdorong oleh keadaan
penafsiran informan atas laba akuntansi yang
yang tidak dikenalinya. Banyak hal yang
merupakan ”teks baru” bagi peneliti. Dengan
mereka lakukan didasari oleh kesadaran semu,
dan kesadaran semu tersebut menjadi abadi kata lain, tahap ini merupakan tahap ”penafsiran
melalui ideologi, hegemoni, reifikasi, kuasa, [peneliti] atas penafsiran [informan]”. Sama
dan metafisika kehadiran. Keempat, teori yang dengan pembacaan semiotika struktural
mendorong praktik akuntansi berjalan di atas pada tingkat mikro, tujuan utama pembacaan
kesadaran semu harus disikapi secara kritis, semiotika struktural pada tingkat makro
dan dipandang perlu adanya pemikiran untuk ini adalah berupaya untuk menemukan dan
perubahan. memperoleh pemahaman tentang ”realitas
baru” yang direpresentasikan oleh ”teks baru”
Informan dan Pengumpulan Informasi (penafsiran informan) tersebut.
Individu-individu yang menjadi informan Ketiga, pembacaan semiotika dekon-
dalam penelitian ini terdiri atas: (a) tiga orang struktif oleh peneliti. Pembacaan semiotika
akuntan – yang berprofesi sebagai akuntan dekonstruktif tidak bertujuan untuk melihat
pendidik, akuntan manajemen dan akuntan dan memahami makna sebuah teks berdasarkan
publik; dan (b) lima orang non-akuntan – struktur relasi tanda dan realitas referensialnya,
Akhmad Riduwan, Iwan Triyuwono, Gugus Irianto, Unti Ludigdo, Semiotika Laba Akuntansi … 41

tetapi bertujuan untuk mengungkapkan realitas Perancis kelahiran El-Biar, Aljazair tahun
lain yang berada di balik struktur relasi tersebut. 1930. Derrida menjadi guru besar bidang
Keempat, hasil pembacaan semiotika filsafat di Ecole Normale Superieure Paris
dekonstruktif atas ”teks” disampaikan secara pada tahun 1967-1992 (lihat Carrigan 1996, 1;
retorik (rhetorical) dalam bentuk uraian naratif. dan Spivak 2003, 9).
Retorik berarti menyampaikan pernyataan- Derrida adalah seorang filsuf kritis-
pernyataan dengan banyak menggunakan posmodern yang memusatkan pemikiran-
ungkapan metaforik atau analogi-analogi pemikirannya pada literary studies. Kata
(Sugiharto 1996, 104), dengan tujuan untuk
kunci yang populer untuk menyebut filsafat
meyakinkan audience secara persuasif
kritis Derrida adalah ”filsafat-dekonstruksi”
(Arrington dan Schweiker 1992, 512).
(Al-Fayyadl 2005, 172). Bahasa yang
Filsafat Jacques Derrida Sebagai secara tradisional dipandang sebagai cermin
Refleksi Pembacaan Dekonstruktif untuk memandang dunia atau realitas ingin
dilampaui oleh Derrida. Salah satu cara untuk
Pembacaan dekonstruktif atas ”teks” melampauinya adalah dengan mendekonstruksi
dalam penelitian ini dilakukan dengan pandangan dunia. Derrida merelatifkan dan
berefleksi pada strategi pembacaan (baca: bahkan menihilkan segala unsur penting
filsafat) Jacques Derrida, seorang tokoh filsafat
42 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2010, Vol. 7, No. 1 hal 38 - 60

yang membentuk pandangan dunia. Namun makro ini adalah untuk mengungkap realitas
demikian, relativisasi atau nihilisasi semacam yang ada di balik penafsiran para informan.
ini tidak selamanya berarti menafikan unsur- Selanjutnya, strategi pembacaan (filsafat-
unsur tersebut, melainkan lebih berarti mencari dekonstruktif) Derrida diterapkan peneliti
sudut pandang alternatif yang cenderung untuk menjelaskan latar belakang terjadinya
disingkirkan oleh pandangan-pandangan yang pluralitas dan ambivalensi penafsiran laba
dominan. akuntansi oleh para informan. Dalam hal
Sesungguhnya, penelitian akuntansi ini, penjelasan diberikan peneliti dengan
berbasis teori kritis (critical research on melakukan “pemaknaan-dekonstruktif”
accounting) telah banyak dilakukan. Tetapi, (deconstructive-meaning) terhadap laba
sepanjang diketahui, hanya satu di antara akuntansi yang ditafsirkan berbeda oleh
penelitian-penelitian pada berbagai bidang para informan. Pemaknaan-dekonstruktif
akuntansi tersebut yang menggunakan filsafat merupakan upaya untuk mengungkapkan
Jacques Derrida sebagai dasar analisis. makna “teks” yang tersembunyi. Makna teks
Penelitian tersebut dilakukan oleh Banas tersebut tidak mungkin ditemukan melalui
(1994) yang hasil penelitiannya menghasilkan pembacaan konvensional, karena makna teks
pemikiran-pemikiran dekontruktif atas metode tidak tampak sebagai struktur relasi tanda
akuntansi pada organisasi sektor publik di dan realitas referensialnya. Menurut filsafat
Virginia. Selain penelitian Banas (1994) (pembacaan) dekonstruktif Derrida, selalu ada
tersebut, penelitian-penelitian akuntansi ber- peluang untuk mengungkap makna teks yang
basis teori kritis yang telah dilakukan hingga terrepresi oleh sistem pemikiran tertentu.
saat ini pada umumnya mendasarkan analisis
pada teori-teori kritis dari para pemikir atau SEMIOTIKA LABA AKUNTANSI
filsuf yang berbeda. Sawarjuwono (1995) SEBAGAI TEKS TINGKAT MIKRO
misalnya, melakukan penelitian akuntansi
dengan mendasarkan analisis pada teori Semiotika Laba pada Tataran Sintaktik
kritis Jurgen Habermas; Macintosh et Pada tataran sintaktik (struktur), konsep
al. (2000) menggunakan teori kritis Jean laba sudah jelas dioperasionalkan dalam
Baudrillard; Sukoharsono dan Gaffikin (2005) prosedur akuntansi sebagai hasil pengaitan atau
menggunakan teori kritis Michel Foucault; penandingan (matching) antara penghasilan
Choo dan Tan (2007) menggunakan teori dan beban. Fakta menunjukkan bahwa konsep
kritis Williams Albrecht; Bourguignon (2005) laba pada tataran sintaktik ini secara umum
serta Allawatage dan Wickramasinghe (2007) telah dipahami oleh para informan.
menggunakan teori kritis Karl Marx. Pemahaman para informan atas laba
Berbeda dengan penelitian Banas (1994) akuntansi sebagai selisih antara penghasilan
seperti disebutkan di atas, penelitian ini dan beban merupakan manifestasi dari
menggunakan filsafat-dekonstruktif Derrida kesadaran (consciousness) mereka yang terkait
sebagai sebuah strategi pembacaan semiotika dengan skema-skema dalam kognisi mereka,
atas simbol-simbol dan fenomena yang konsisten dengan penjelasan Wilber (1997)
ditemukan dalam penelitian, serta strategi tentang kesadaran manusia dalam psikologi
untuk melahirkan pemikiran-pemikiran kognitif. Saat membaca atau mendengar kata
dekonstruktif. Strategi pembacaan (filsafat- ”laba”, skema-skema dalam kognisi informan
dekonstruktif) Derrida diterapkan pada yang terkait dengan ”laba” teraktivasi secara
semiotika struktural tingkat makro, yaitu otomatis, sehingga para informan sadar bahwa
penafsiran peneliti terhadap “penafsiran
tidak mungkin berpikir tentang laba tanpa
informan atas laba akuntansi” sebagai suatu
berpikir tentang penghasilan dan beban.
“teks baru”. Tujuan pembacaan pada tingkat
Akhmad Riduwan, Iwan Triyuwono, Gugus Irianto, Unti Ludigdo, Semiotika Laba Akuntansi … 43

Semiotika Laba pada Tataran Semantik Kenaikan kemampuan ekonomik


perusahaan memang tidak benar-benar
Walaupun para informan secara seragam nyata sebelum perusahaan menunjukkan
memahami laba sebagai hasil penandingan kemampuan tersebut dalam bentuk
antara pendapatan dan beban, tetapi mereka pembayaran dividen kepada pemegang
memaknai angka laba akuntansi hasil saham. Sedangkan laba yang tidak atau
perhitungan struktural tersebut secara beragam. belum dibagikan sebagai dividen, tetap
Realitas referensial angka laba akuntansi mencerminkan kemampuan ekonomik
dalam bingkai penafsiran para informan dapat yang tidak nyata.
dikelompokkan sebagai berikut: (a) hasil usaha
Label Perubahan Realitas Ekonomik. Akuntan
tunai; (b) kenaikan kemampuan ekonomik
manajemen, akuntan publik dan akuntan
perusahaan; dan (c) label perubahan realitas
pendidik menafsirkan laba akuntansi sebagai
ekonomik perusahaan.
perubahan realitas ekonomik perusahaan,
Hasil Usaha Tunai. Secara eksplisit maupun yang pada hakikatnya bermakna sama dengan
implisit, pemaknaan angka laba akuntansi perubahan kemampuan ekonomik perusahaan
sebagai hasil usaha tunai diberikan oleh seperti ditafsirkan oleh kelompok informan
Franky Hardi (investor individu). Pemaknaan lainnya tersebut di atas. Sebagai perubahan
laba sebagai hasil usaha tunai oleh informan realitas ekonomik perusahaan, laba akuntansi
tersebut mengindikasikan bahwa dalam tidak selalu merepresentasikan aliran kas
benaknya, laba adalah hasil usaha bersih masuk neto yang diperoleh perusahaan dari
yang dapat secara langsung dinikmati atau aktivitas bisnis dalam periode pelaporan.
dikonsumsi. Pemahaman informan tentang Angka laba akuntansi yang dilaporkan pada
laba tersebut sangat terkait dengan aktivitas periode sekarang dapat merepresentasikan
praksisnya. Franky Hardi melakukan investasi aliran kas masuk neto yang masih akan terjadi
dalam sekuritas (saham) emiten dan unit di masa depan, maupun representasi dari aliran
penyertaan reksadana dengan tujuan utama kas masuk neto yang sudah terjadi pada masa
untuk memperoleh pendapatan riil berupa uang lalu. Oleh karena itu, dalam bingkai penafsiran
dari dividen yang dibagikan oleh emiten dan akuntan, laba akuntansi lebih tepat dimaknai
hasil investasi yang dibagikan oleh perusahaan sebagai ”label” dari perubahan realitas
reksadana. ekonomik perusahaan yang terukur dalam unit
uang.
Kenaikan Kemampuan Ekonomik. Manajer
keuangan, analis kredit, penasihat investasi, Penafsiran laba sebagai label perubahan
realitas ekonomik perusahaan tersebut
dan investor (kecuali Franky Hardi) memahami
mengindikasikan bahwa dalam persepsi
bahwa laba akuntansi diukur berdasarkan
akuntan, laba bukanlah hasil usaha bersih
asas akrual, sehingga mereka menyadari
yang secara riil dapat langsung dinikmati atau
bahwa angka laba akuntansi tidak selalu riil
dikonsumsi. Sari Kusuma (akuntan publik)
berwujud uang tunai. Oleh karena itu, mereka
mempertegas hal ini dengan menyatakan
menafsirkan laba akuntansi sebagai tambahan
bahwa,
kemampuan ekonomik perusahaan, yang
wujudnya bisa bermacam-macam. Penafsiran Sesuai dengan prosedur akuntansi, laba
laba sebagai kenaikan kemampuan ekonomik akuntansi akan menjadi riil setelah akun
laba ditutup ke akun modal atau laba tidak
perusahaan tersebut mengindikasikan bahwa
dibagi. Tetapi, makna kata riil dalam hal
dalam persepsi informan, laba adalah hasil ini juga tidak menggambarkan realitas
usaha bersih yang tidak dapat secara langsung objektif, sebelum laba tersebut benar-benar
dinikmati atau dikonsumsi. Dalam hal ini, didistribusikan secara nyata dalam bentuk
Cipta Raharja (investor) mempertegas bahwa, dividen.
44 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2010, Vol. 7, No. 1 hal 38 - 60

Penafsiran laba akuntansi sebagai label Ketiga, ambivalensi penafsiran pada


perubahan realitas ekonomik perusahaan tataran pragmatik. Pernyataan-pernyataan
merupakan manifestasi dari pemahaman para informan memberikan gambaran bahwa
akuntan bahwa pendapatan dan beban diukur laba akuntansi dipandang: (1) bermanfaat
berdasarkan pendekatan neraca (balance sebagai alat bantu untuk memahami perubahan
sheet approach), bukan pendekatan laba-rugi realitas ekonomik perusahaan, walaupun
(income statement approach). Oleh karena realitas ekonomik perusahaan itu sendiri
itu, akuntan mengatakan bahwa penafsiran tidak akan pernah ditemukan secara konkret;
atas laba akuntansi harus dilakukan dalam (2) bermanfaat sebagai dasar pengambilan
wilayah akuntansi, karena akuntansi memiliki berbagai keputusan keuangan, meskipun para
kesepakatan atau aturan tertentu yang mungkin informan memiliki presuposisi bahwa (a)
berbeda dengan wilayah lainnya. laba akuntansi bukanlah ukuran kinerja yang
secara keseluruhan merefleksikan upaya atau
Semiotika Laba pada Tataran Pragmatik prestasi nyata manajemen; (b) laba akuntansi
Penafsiran informan atas laba akuntansi hanyalah hasil konfigurasi konsep dan asumsi-
pada tataran sintaktik maupun semantik asumsi akuntansi yang realitasnya tidak selalu
merupakan faktor yang melandasi persepsi dapat ditemukan dalam dunia nyata; dan (c)
mereka tentang kebermanfaatan informasi pengambilan keputusan keuangan berdasarkan
laba pada tataran pragmatik. Dalam bingkai angka laba akuntansi hanyalah formalitas
pengalaman, kepentingan dan kebutuhan belaka, tanpa harus secara sungguh-sungguh
praksis para informan, kebermanfaatan memahami substansi atau hakikat laba
informasi laba akuntansi adalah: (a) alat bantu akuntansi itu sendiri.
untuk memahami realitas ekonomik; (b) dasar Dalam semiotika struktural, fakta-fakta
pengambilan keputusan keuangan; dan (c) empiris tersebut menunjukkan secara jelas,
indikator likuiditas perusahaan. bahwa dalam praktiknya, penafsiran atas
”laba akuntansi” belum bermuara pada realitas
Pluralitas dan Ambivalensi Penafsiran yang sama, kecuali pada tataran sintaktik,
Semiotika struktural atas laba akuntansi yaitu bagaimana cara laba akuntansi dihitung.
sebagai teks tingkat mikro tersebut di atas, Fakta empiris ini juga membawa pesan yang
setidaknya mengungkapkan beberapa hal konsisten dengan pernyataan Azra (2005, 151),
berikut. Pertama, kesamaan penafsiran bahwa ”pandangan dunia” setiap orang selalu
pada tataran sintaktik, bahwa laba akuntansi berbeda-beda, bergantung pada lingkungan
merupakan selisih antara penghasilan dan sosial, pendidikan dan kulturalnya. Oleh karena
beban. itu, pemahaman akuntan atas laba akuntansi
Kedua, pluralitas penafsiran pada tataran dapat berbeda dengan non-akuntan, karena
semantik, bahwa laba akuntansi merupakan pandangan dunia mereka tidak dibentuk oleh
representasi dari: (a) aliran kas masuk neto satu rerangka pemikiran yang sama. Dikatakan
secara fisis pada periode pelaporan; (b) pula oleh Fiske (2006, 63), bahwa:
kenaikan atau tambahan kemampuan ekonomik
Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di
perusahaan yang tidak selalu terwujud dalam luar dirinya sendiri, yaitu objek. Dalam
aliran kas masuk neto secara fisis pada periode setiap konteks, tanda akan menghasilkan
pelaporan, tetapi representasi laba akuntansi pengalaman pengguna atas objeknya. Jadi,
seperti ini dipandang tidak bermanfaat secara makna itu tidak tetap, dirumuskan kamus,
praksis; dan (c) label perubahan realitas namun bisa beragam dalam batas-batas
ekonomik pada periode pelaporan, tanpa sesuai dengan pengalaman penggunanya.
mengkaitkannya dengan ada atau tidaknya Batasan itu ditetapkan oleh konvensi sosial;
aliran kas masuk neto pada periode tersebut. namun variasi di dalamnya memungkinkan
Akhmad Riduwan, Iwan Triyuwono, Gugus Irianto, Unti Ludigdo, Semiotika Laba Akuntansi … 45

adanya perbedaan sosial dan psikologis di non-akuntan memaknai laba akuntansi secara
antara penggunanya. berbeda, misalnya sebagai: (a) aliran kas
masuk neto saat ini, atau (b) aliran kas masuk
Pernyataan Fiske tersebut konsisten neto saat ini dan masa depan.
dengan fakta atas penafsiran laba akuntansi. Bagi non-akuntan tertentu, ketidak-
Teks “laba akuntansi”, ketika dihampiri berwujudan laba akuntansi sebagai aliran
dengan “pre-teks” yang beraneka ragam, kas masuk neto merupakan hal yang tidak
terbukti memunculkan penafsiran beragam terduga, mengejutkan dan mengherankan.
pula. Secara tekstual, laba akuntansi sebagai Sementara itu, bagi non-akuntan lainnya,
bottom line, adalah satu; tetapi ketika akal ketidakberwujudan laba akuntansi sebagai
sudah mulai tergerak untuk memahami dan aliran kas masuk neto menimbulkan kegalauan,
memanfaatkannya di dunia praktik, variasi bahkan justru menimbulkan kesenangan
dan ambivalensi pemahaman terjadi di antara sekaligus ketidaksenangan. Secara implisit,
pembaca atau penggunanya, sehingga pluralitas Salim Tirta (manajer keuangan) menunjukkan
dan ambivalensi penafsiran ini merupakan kegalauannya ketika ia mengatakan:
kenyataan yang tidak dapat dielakkan. Jika penerapan konsep-konsep akuntansi
dalam penyusunan laporan keuangan
SEMIOTIKA PENAFSIRAN LABA perusahaan hanyalah masalah pendekatan
AKUNTANSI akademis, masalahnya akan selesai ketika
SEBAGAI TEKS TINGKAT MAKRO akuntan telah melakukan verifikasi atas
keabsahan laporan keuangan. Tetapi, ketika
Telah disebutkan di muka, bahwa sesuai produk dari konsep-konsep akademik ini
dengan hakikat tanda, penafsiran informan kemudian dijadikan sebagai acuan dalam
atas laba akuntansi merupakan ”tanda baru”, pengambilan keputusan keuangan, para
pengambil keputusan bisa dengan mudah
”teks baru” atau ”kode baru” tingkat makro
tergelincir pada penyamaan konsep dengan
yang muncul dalam konteks tertentu dan fakta.
merepresentasikan realitas tertentu pula. Pada
tingkat makro, realitas baru yang merupakan Perbedaan realitas yang hadir
petanda (signified) dari penafsiran informan dalam persepsi akuntan dan non-akuntan
atas laba akuntansi tersebut dijelaskan sebagai sesungguhnya bukanlah suatu keanehan,
berikut. karena tanda yang muncul atau masuk dalam
ruang sosial merupakan representasi dari
Perbedaan Habitus Akuntan dan Non-
realitas yang terbentuk di dalam ruang sosial itu
Akuntan sendiri. Dunia tanda merupakan dunia simbol
Dari sudut pandang akuntan, laba yang mewakili kehadiran realitas ketika realitas
akuntansi yang dikomunikasikan adalah tidak dapat hadir secara langsung. Hubungan
representasi dari perubahan realitas ekonomik tanda dan realitas bersifat referensial, artinya
perusahaan tanpa mengkaitkannya secara tanda merujuk pada realitas tertentu yang akan
langsung dengan aliran kas masuk neto pada direpresentasikannya (Piliang 2004a, 46);
periode pelaporan laba. Sesuai dengan posisi, tetapi ketika tanda muncul dan masuk dalam
pengalaman, pengetahuan dan pemahaman ruang sosial yang berbeda, realitas yang hadir
atas konsep akuntansi, para akuntan menyadari dalam persepsi adalah realitas yang terbentuk
bahwa realitas referensial laba akuntansi tidak oleh ruang sosial tersebut. Kehadiran realitas
selalu terkait dengan aliran kas masuk neto. dalam persepsi ini mungkin tidak terduga dan
Hal ini berbeda dengan non-akuntan. Sesuai mengejutkan bagi mereka yang berada dalam
dengan posisi, pengalaman, pengetahuan dan ruang sosial yang tidak sama. Dikatakan oleh
pemahaman mereka atas konsep akuntansi, Piliang (2004b, 45) bahwa,
46 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2010, Vol. 7, No. 1 hal 38 - 60

Realitas selalu ”menampakkan wujudnya” selalu menyertai opini akuntan tentang


dalam cara yang berbeda. Kadang ia hadir kewajaran penyajian laporan keuangan.
sesuai dugaan, tetapi sering pula hadir tak Disebut sebagai sarana dalam praktik
terduga; kadang ia muncul seperti yang akuntansi hegemonik, karena label ”sesuai
dibayangkan, tapi sering pula muncul dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum”
tidak seperti yang dibayangkan; kadang ia
tersebut secara implisit mengarahkan atau
tampak dalam keberaturan, tetapi sering
memaksa orang untuk mematuhi prinsip-prinsip
pula tampak dalam ketidakberaturan;
kadang ia refleksi dari rasionalitas, tapi
akuntansi dalam penyusunan dan penyajian
sering pula refleksi dari irasionalitas. laporan keuangan. Demikian pula bagi para
pengguna atau pembaca laporan keuangan,
Situasi tersebut tidak berbeda dengan label tersebut mengarahkan agar pembacaan
simbol ”laba akuntansi” dan realitas yang dan penafsiran informasi keuangan dilakukan
direpresentasikannya. Telah terbukti secara dalam konteks prinsip-prinsip akuntansi,
empiris, bahwa realitas yang hadir dalam bukan dalam konteks yang lain (lihat KDPPLK
persepsi akuntan dan non-akuntan adalah paragraf 01 dan 25). Praktik akuntansi yang
berbeda, karena mereka hidup dalam ruang bersifat hegemonik ini juga terefleksi dari
sosial – atau disebut oleh Pierce Bourdieu pernyataan para akuntan (informan) berikut:
sebagai habitus – yang berbeda. Akuntan hidup Sejak dulu, yang namanya laba adalah
dalam ”habitus idealistik”, sedangkan non- selisih antara pendapatan dan beban.
akuntan hidup dalam ”habitus pragmatik”. Hanya saja pendapatan dan beban di sini
harus dilihat dari konsep akuntansi. Untuk
Praktik Akuntansi Bersifat Hegemonik dapat mengerti apa itu laba akuntansi,
orang harus tahu akuntansi. [Sari Kusuma
Keterpaksaan informan penelitian ini – akuntan publik]
untuk menerima prinsip akuntansi yang
terkait dengan penetapan laba merupakan Mungkin tidak semua orang menafsirkan
penanda (signifier) yang merujuk pada suatu laba akuntansi sebagai perubahan realitas
ekonomik yang bersifat fisis maupun non-
realitas, yaitu adanya ”hegemoni” dalam
fisis, sehingga penafsiran masing-masing
praktik akuntansi. Hegemoni merupakan suatu orang akan berbeda. Ini berarti, bahwa untuk
keadaan yang dicirikan oleh adanya praktik memahami apa sebenarnya laba akuntansi
untuk mendominasi serta mengendalikan itu, orang harus memahami konsep dan
pihak lain dalam segala aspek untuk mencapai prosedur akuntansi yang memunculkannya
kepentingan tertentu. [Hardiwibowo – akuntan pendidik]
Cooper (1995, 178) menyatakan, bahwa
hegemoni juga terjadi dalam praktik akuntansi, Khalayak yang tidak atau belum
yang diciptakan oleh para akuntan untuk memahami konsep akuntansi terpaksa
mendominasi dan mengendalikan berbagai menerima informasi laba tersebut seperti apa
pihak yang berkepentingan dalam penyusunan, adanya, meskipun apa yang dibacanya sama
penyajian dan pembacaan laporan keuangan. sekali berbeda dengan apa yang ada dalam
Menurut Cooper (1995, 180), hegemoni bingkai penafsirannya. Artinya, khalayak ini
dalam praktik akuntansi tersebut terefleksi dalam posisi terdominasi. Keadaan terdominasi
dari konsep, istilah-istilah dan definisinya, ini terefleksi dari pernyataan informan berikut:
sistem pengukuran serta sistem representasi – Saya terima saja laporan keuangan yang
yang semuanya bersifat ideologis dan koersif. disusun berdasarkan konsep-konsep
Praktik akuntansi yang bersifat hegemonik akuntansi. Saya tidak memiliki kapasitas
berjalan melalui sebuah sarana, yaitu label untuk memperdebatkan konsep-konsep
”sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku akuntansi dengan para akuntan, karena
umum” yang wajib dilekatkan dalam laporan saya tidak memiliki pengetahuan yang
auditor independen, sehingga label tersebut memadai untuk itu. Apa kata stakeholders
Akhmad Riduwan, Iwan Triyuwono, Gugus Irianto, Unti Ludigdo, Semiotika Laba Akuntansi … 47

seandainya akuntan publik menyatakan formalitas belaka, tanpa harus secara sungguh-
laporan keuangan perusahaan tidak wajar sungguh memahami substansi dan realitas laba
hanya karena tidak bersesuaian dengan akuntansi itu sendiri.
prinsip akuntansi? [Salim Tirta – manajer Para informan, non-akuntan berhadapan
keuangan] dengan keputusan kolektif yang bertentangan
dengan pengalaman praktisnya sebagai
Praktik Akuntansi Berjalan dengan manajer keuangan. Mereka pada akhirnya
Kesadaran Semu memilih untuk menerima dan menjalani
apa yang telah diputuskan secara kolektif
Sugiharto (Kompas, 13 Agustus 2006)
tersebut, walaupun dalam hal ini mereka
menyatakan bahwa hegemoni menyebabkan
harus menentang keyakinan mereka sendiri
pihak yang terdominasi menjadi teralienasi
bahwa laba akuntansi tidaklah simetris dengan
dari kebutuhan dan kepentingannya, bahkan
informasi riil yang mereka butuhkan dalam
teralienasi dari dirinya sendiri, sehingga
pengambilan keputusan keuangan. Pilihan-
individu-individu tersebut menjadi tidak
pilihan yang mereka ambil tersebut konsisten
lebih dari sekadar mesin fotokopi. Dalam
dengan pernyataan Gennaro et al. (2006, 373),
posisi teralienasi seperti itu, individu tidak
bahwa individu cenderung merasa aman ketika
lagi memiliki alternatif pemikiran lain di luar
memposisikan dirinya dalam kolektivitas,
pemikiran yang telah mapan dalam habitus,
karena dalam kolektivitas tersebut segala
sehingga semua realitas sosial dipandang
sesuatu akan berjalan dalam keseragaman dan
sebagai hal yang dianggap benar tanpa sikap
keteraturan; sebaliknya, individu cenderung
kritis (taken-for-granted). Pada akhirnya,
merasa menghadapi risiko ketika berpikir
individu hanya terjebak pada sesuatu yang
untuk keluar dari kolektivitas.
aksiomatik tanpa menyadari sisi ontologik dan
Menarik untuk disimak dalam rangka
epistemologik dari semua hal yang telah ada
memahami pernyataan Gennaro et al. tersebut
dalam habitus. Hal ini sama seperti yang pernah
adalah cerita yang diungkapkan oleh Walters
dikatakan oleh Karl Marx (lihat Cooper 1995,
(2003, 19) berikut ini:
176), bahwa hegemoni dari kelompok yang
memiliki kuasa akan membentuk pandangan Seseorang melakukan eksperimen yang
awam tentang dunia yang hanya menghasilkan telah diulang berkali-kali, selalu dengan
kesadaran semu (false consciousness). hasil yang sama. Dua garis dibuat di
papan tulis. Garis yang atas jelas sekali
Ambivalensi dalam penafsiran laba
lebih pendek dari garis yang bawah.
akuntansi pada tataran pragmatik oleh informan Enam orang subjek kemudian diminta
dalam penelitian ini juga merupakan sebuah untuk mengatakan mana dari dua garis
penanda (signifier) atas adanya kesadaran itu yang lebih panjang. Lima dari enam
semu tersebut. Misalnya, non-akuntan me- subjek itu sebelumnya diminta untuk
nerima dan menganggap informasi laba menyatakan bahwa garis yang atas
akuntansi bermanfaat sebagai indikator kinerja adalah garis yang lebih panjang. Subjek
manajemen dan sebagai dasar pengambilan keenam, tidak menyadari persekongkolan
berbagai keputusan keuangan, meskipun itu, adalah orang terakhir yang diminta
mereka memiliki presuposisi bahwa (a) laba untuk menyampaikan keputusannya.
akuntansi bukanlah ukuran kinerja yang Hasil yang mengherankan adalah bahwa
dalam delapan puluh persen dari kasus
secara keseluruhan merefleksikan upaya atau
eksperimen yang sama, subjek keenam
prestasi nyata manajemen; (b) laba akuntansi mengingkari kesaksian matanya sendiri,
hanyalah hasil konfigurasi konsep dan asumsi- dan setuju dengan kelima subjek lainnya
asumsi akuntansi yang realitasnya tidak bahwa garis ataslah yang lebih panjang.
selalu dapat ditemukan dalam dunia nyata;
dan (c) pengambilan keputusan keuangan Cerita tersebut menunjukkan bahwa
berdasarkan angka laba akuntansi hanyalah doktrin yang diberikan kepada lima subjek
48 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2010, Vol. 7, No. 1 hal 38 - 60

secara langsung, akan mempengaruhi cara keuangan hanya sekadar formalitas yang
pandang kolektif terhadap realitas secara didasarkan pada kesadaran semu. Pernyataan
seragam. Pada akhirnya, cara pandang kolektif ini dimaksudkan untuk mempertegas bahwa
tersebut mempengaruhi cara pandang subjek ada atau tidaknya kandungan informasi suatu
keenam. Dengan mengingkari kesaksian simbol (sign) tidaklah tepat jika dikorelasikan
matanya sendiri, ia memilih untuk mengikuti dengan ada atau tidaknya respon terhadap
pandangan lima subjek sebelumnya, semata- simbol tersebut. Kandungan informasi suatu
mata agar ia aman, tidak teralienasi secara simbol lebih tepat dikorelasikan dengan
sosial, meskipun ia teralienasi dari dirinya persepsi atau penafsiran yang simetris atas
sendiri. Dikatakan oleh Walters (2003, simbol yang dikomunikasikan. Kandungan
19), bahwa subjek keenam lebih memilih informasi adalah makna yang ada dalam
akseptabilitas sosial daripada berpegang ”simbol” yang dikomunikasikan; makna yang
teguh pada kebenaran sebagaimana adanya dipahami dan disepakati bersama, sehingga
kebenaran itu sendiri. makna tersebut menimbulkan efek komunikasi
yang diinginkan.
Laba Akuntansi Tidak Memiliki Kan-
dungan Informasi SEMIOTIKA DEKONSTRUKTIF
Di samping sebagai penanda (signifier) LABA AKUNTANSI:
tentang adanya hegemoni dalam praktik PERSPEKTIF DERRIDEAN
akuntansi serta kesadaran semu pengguna Pluralitas dan ambivalensi penafsiran
informasi, pluralitas dan ambivalensi penafsiran suatu teks (text), tanda (sign) atau penanda
laba akuntansi pada tataran semantik dan (signifier) merupakan keniscayaan yang
pragmatik juga merupakan penanda bahwa laba diyakini oleh Jacques Derrida. Dalam
akuntansi tidak memiliki kandungan informasi; pandangan Derrida, makna lebih dialami
bahkan kesadaran semu itu sendiri dapat sebagai proses penafsiran dan bukan hasil yang
menjadi penanda bahwa laba akuntansi tidak sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja,
memiliki kandungan informasi. Laba akuntansi sehingga melembagakan penafsiran sebagai
dikatakan memiliki kandungan informasi jika sistem pemikiran untuk menata dunia ke
realitas yang direpresentasikannya ditafsirkan dalam sistem tunggal dan koheren merupakan
secara sama antara penyedia dan pengguna sebuah ketidakmungkinan (Al-Fayyadl 2005,
informasi, sehingga masing-masing pihak 174). Pluralitas dan ambivalensi penafsiran
tidak menafsirkan laba akuntansi tersebut laba akuntansi oleh para informan dalam
sesuai dengan persepsinya sendiri. Efektivitas penelitian ini merupakan sebuah fakta yang
komunikasi akan tercapai jika pesan yang membenarkan pandangan Derrida tersebut.
diterima dimaknai sama dengan makna yang Mengapa terjadi pluralitas dan ambivalensi
dikehendaki oleh pihak yang menyampaikan penafsiran laba akuntansi? Dengan berrefleksi
pesan; dan berdasarkan pesan tersebut, pada filsafat dekonstruktif Derrida, paragraf-
pihak penerima pesan memberikan respon paragraf berikut ini mengungkapkan jawaban
serta mengambil keputusan yang memang atas pertanyaan tersebut.
seharusnya diambil.
Meskipun non-akuntan secara nyata Laba Akuntansi adalah Jejak
mengambil keputusan berdasarkan informasi
laba akuntansi yang disediakan oleh akuntan, Dengan memperhatikan cara laba
tidak berarti bahwa laba akuntansi yang dihitung, yaitu penghasilan dikurangi beban,
dikomunikasikan memiliki kandungan in- jelas bahwa makna (objek atau realitas
formasi, jika penggunaan informasi laba referensial) laba tidak akan dapat dipahami jika
akuntansi dalam pengambilan keputusan pembaca laporan keuangan tidak memahami
makna penghasilan dan beban. Pada konteks
Akhmad Riduwan, Iwan Triyuwono, Gugus Irianto, Unti Ludigdo, Semiotika Laba Akuntansi … 49

ini, ungkapan ”teks (text) adalah jejak (trace)” dilakukan dengan menelusuri ”jejak” teks
yang dikemukakan oleh Derrida sangat relevan yang mendahuluinya. Teks pendahulu yang
untuk digunakan sebagai refleksi. Ungkapan dimaksud adalah penghasilan dan beban,
”teks adalah jejak” yang diungkapkan oleh karena dua teks itulah yang merupakan jejak
Derrida mengandung dua pengertian, yaitu: (1) pembentuk laba akuntansi. Oleh karena itu,
jejak sebagai sejarah (Asyhadie 2004, 7); dan penafsiran laba akuntansi sangat tergantung
(2) jejak sebagai pengalaman dan kepentingan pada penafsiran tentang penghasilan dan beban
(Gibbons 2002, xvii). sebagai teks pendahulu yang membentuknya.
Jejak Sebagai Sejarah. Dalam pengertian Makna penghasilan dan beban ini dapat
yang pertama, Derrida membuat ungkapan ditelusuri pada definisi yang diberikan oleh IAI
“teks adalah jejak” dengan maksud untuk (2007) dalam KDPPLK paragraf 70.
menunjukkan bahwa setiap teks merupakan Dengan mengetahui definisi peng-
”sejarah”, dalam arti bahwa teks tersebut hasilan dan beban (KDPPLK paragraf 70)
tercipta berdasarkan teks lain yang muncul tersebut, pembaca laporan keuangan tidak
mendahuluinya. Karena teks merupakan akan dapat segera memahami realitas yang
”jejak”, maka untuk memaknai teks, setiap direpresentasikan oleh laba akuntansi,
orang harus menelusuri jejaknya pada teks-teks karena realitas yang direpresentasikan oleh
lain yang mendahuluinya (Asyhadie 2004, 7). penghasilan dan beban pun belum jelas.
Laba akuntansi adalah teks, dan Definisi tersebut hanya mengidentifikasi ciri-
karenanya, dalam perspektif filsafat Derrida, ciri esensial penghasilan dan beban, bukan
laba akuntansi adalah jejak, yang berarti bentuk faktualnya. Sampai pada titik ini, bukan
bahwa penafsiran laba akuntansi harus hanya laba akuntansi yang merupakan ”jejak”,
tetapi penghasilan dan beban pun adalah
50 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2010, Vol. 7, No. 1 hal 38 - 60

”jejak”. Berdasarkan ciri-ciri esensialnya, munculnya teks itu sendiri (Sutrisno 2007,
ada dua unsur ”jejak” pembentuk pendapatan 28). Dengan istilah lain, Paul Ricoeur
dan beban yang masih harus ditelusuri oleh menyebut pretext tersebut sebagai prafigurasi
pembaca laporan keuangan, yaitu aset dan (prefiguration), yaitu berbagai pengalaman
kewajiban. Penelusuran ini perlu dilakukan yang dimiliki oleh penulis ketika menulis teks,
karena penafsiran penghasilan dan beban maupun pengalaman pembaca teks ketika
sangat tergantung pada penafsiran tentang aset teks tersebut lepas dari tangan penulisnya
dan kewajiban sebagai teks pendahulu yang (Gibbons 2002, xvii). Penafsiran teks akan
membentuknya. Makna aset dan kewajiban ini selalu mengikuti ”jejak” pengalaman para
dapat ditelusur pada definisi yang diberikan penafsirnya. Di tangan para penafsir, makna
oleh IAI (2007) dalam KDPPLK paragraf 49. teks tidak akan melampaui pengalaman dan
Sama halnya dengan definisi penghasilan kepentingan mereka, sehingga makna teks itu
dan beban, definisi aset dan kewajiban tersebut sesungguhnya subjektif, selalu dibatasi oleh
juga hanya menunjukkan ciri-ciri esensialnya pengalaman dan kepentingan.
(KDPPLK paragraf 50), bukan bentuk fak- Pemahaman akuntan pada konsep laba
tual. Identifikasi ciri-ciri esensial atas aset, akuntansi merupakan ”jejak” atau pretext
kewajiban, penghasilan dan beban yang yang mendasari penafsiran mereka atas laba
dinyatakan dalam definisi-definisi tersebut di akuntansi. Berdasarkan ciri-ciri esensial
atas menghasilkan konsep laba komprehensif setiap elemen laporan keuangan, akuntan
(comprehensive income). Struktur konsep laba memahami bahwa laba akuntansi tidak selalu
komprehensif yang merefleksikan ”jejak” laba merepresentasikan aliran kas masuk neto yang
akuntansi dapat digambarkan melalui diagram diperoleh perusahaan dalam periode pelaporan,
pada Gambar 1. bahkan aliran kas masuk neto tersebut mungkin
Jejak Sebagai Pengalaman dan Kepentingan. tidak benar-benar ada ketika laba akuntansi
Dengan memperhatikan Gambar 1, makna dilaporkan, tidak benar-benar ada di masa lalu,
laba akuntansi masih tetap samar dan masih dan tidak benar-benar ada di masa depan. Oleh
tampak sebagai ”jejak” yang belum ditemukan karena itu, dalam ”jejak” pengalaman akuntan,
realitas referensialnya secara faktual, kecuali laba akuntansi hanyalah label perubahan
realitas referensial secara konseptual yang realitas ekonomik perusahaan.
dipahami oleh akuntan. Tetapi, bagi pembaca Sementara itu, dengan ”jejak”
laporan keuangan lainnya (non-akuntan), pengalaman yang berbeda, para pembaca
menafsirkan laba akuntansi berdasarkan ciri- laporan keuangan (non-akuntan) menafsirkan
ciri esensialnya merupakan hal yang berada laba akuntansi secara berbeda pula. Sebagian
di luar kapasitasnya. Mereka memerlukan informan menafsirkan laba sebagai aliran kas
informasi laba untuk kepentingan praksis, masuk neto yang diperoleh perusahaan dalam
bukan untuk dikaji secara teoretis-akademis. periode pelaporan, sehingga laba akuntansi
Karena kepentingan praksisnya berbeda-beda, merupakan hasil usaha yang benar-benar dapat
maka pluralitas dan ambivalensi penafsiran dikonsumsi atau dinikmati. Sebagian informan
mereka atas laba akuntansi merupakan hal yang lain menafsirkan laba akuntansi sebagai
yang tidak dapat dihindari. perubahan kemampuan ekonomik perusahaan,
Pada titik ini, ungkapan ”teks adalah tetapi kemampuan ekonomik tersebut harus
jejak” yang dikemukakan oleh Derrida riil, yang ditandai oleh adanya aliran kas masuk
memiliki makna yang berbeda dengan makna neto, baik pada periode pelaporan, pada masa
sebelumnya. Pada titik ini, ungkapan ”teks lalu, atau pada masa mendatang.
adalah jejak” mengandung arti bahwa makna Pluralitas penafsiran laba akuntansi
teks ditentukan oleh pra-teks (pretext), yaitu tersebut merefleksikan kenyataan bahwa
berbagai wacana yang muncul sebelum ”makna teks tidak stabil” – suatu frasa yang
sering diungkapkan oleh Derrida seiring
Akhmad Riduwan, Iwan Triyuwono, Gugus Irianto, Unti Ludigdo, Semiotika Laba Akuntansi … 51

ungkapan ”teks adalah jejak”. Menurut dalam konteks tertentu, makna di luar tanda
Derrida, makna teks tidak stabil karena penanda itu mungkin juga tidak ada (Sarup 2008,
(signifier) tidak selalu berkaitan langsung 47). Signifier tidak selalu berkaitan langsung
dengan petanda (signified). Penanda diciptakan dengan signified, sehingga dalam situasi
oleh si pembuat tanda, sedangkan petanda tertentu, makna tanda adalah tanda itu sendiri.
berada dalam jejak pengalaman penafsir; oleh Konsisten dengan pandangan Derrida, Jean
karena itu, penanda dan petanda sering tidak Baudrillard menyebutnya sebagai simulakra
pernah menjadi satu (Sarup 2008, 46). Derrida murni (pure simulacrum) – penanda tanpa
menyatakan: petanda, atau tanda tanpa realitas yang ditandai.
Satu tanda akan merujuk pada tanda lain dan Sebagai simulakra murni, apa yang diketahui
tanda lain akan merujuk ke tanda yang lain tentang laba akuntansi adalah sebatas dirinya
lagi dan seterusnya, tidak berkesudahan. sebagai tanda, berputar-putar dalam dirinya
Penanda terus berubah menjadi petanda, dan sebagai tanda, sehingga makna laba akuntansi
sebaliknya. Anda tidak akan pernah sampai pada akhirnya tergantung pada makna tanda-
pada petanda terakhir yang dalam dirinya tanda lain yang berkaitan. Hal inilah yang
sendiri bukan penanda (Sarup 2008, 47). dimaksud oleh Derrida sebagai ”makna teks
adalah intertekstual”.
Tidak Ada Realitas di Luar Teks Laba Dalam laporan laba-rugi, laba akuntansi
Akuntansi memang telah disajikan dan dihitung secara
sistematis dengan mengklasifikasikan peng-
Pluralitas dan ambivalensi penafsiran hasilan dan beban sedemikian rupa sehingga
akuntan dan non-akuntan atas laba akuntansi dapat dihasilkan bermacam-macam angka laba,
menunjukkan kemungkinan bahwa tidak misalnya laba kotor, laba operasi, laba sebelum
ada sesuatu (realitas apapun) yang pos luar biasa, laba bersih sebelum pajak, dan
direpresentasikan oleh simbol laba akuntansi. laba bersih setelah pajak. Walaupun demikian,
Atas fakta semacam ini, Derrida menyebutnya makna angka laba pada berbagai tingkatan
dengan ungkapan ”tidak ada sesuatu di luar tersebut tidak serta-merta menjadi jelas
teks” (there is nothing outside the text). dalam persepsi pembaca laporan keuangan,
Ungkapan Derrida ini memiliki tiga arti, yaitu: kecuali makna dalam tataran sintaktik, yaitu
(a) bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui bagaimana cara laba dihitung. Sesuai dengan
hanyalah sebatas teks, sehingga makna teks asas akrual, bermacam-macam angka laba
yang sebenarnya adalah intertekstual (Ross tersebut tidak selalu merujuk pada aliran kas
1984, 1 dan Lye 1996, 2); (b) bahwa segala masuk neto dalam periode pelaporan, karena
sesuatu yang diketahui adalah hasil simulasi di aliran kas tersebut mungkin sudah terjadi pada
dalam teks, simulasi menghasilkan simbol, dan periode sebelumnya, masih akan terjadi pada
simbol hasil simulasi bukanlah representasi periode mendatang, atau bahkan sama sekali
realitas (Schalkwyk 1997, 381); dan (c) bahwa tidak merujuk pada aliran kas.
segala sesuatu yang diketahui tidak akan pernah Seperti dikatakan oleh seorang informan
melampaui kepentingan dan pengalaman (Sari Kusuma – akuntan publik), bahwa
(Sarup 2008, 48). sebelum berakhir dengan munculnya label laba,
perubahan aset dan kewajiban lebih dulu diberi
Makna Laba Akuntansi Adalah Intertekstual. label ”penghasilan” dan label ”beban”. Label
Dengan ungkapan ”tidak ada sesuatu di luar laba baru muncul setelah label penghasilan
teks”, Derrida sesungguhnya ingin mengatakan dipertemukan dengan label beban, yang dalam
bahwa ketika suatu tanda dibaca, makna tanda akuntansi disebut penandingan (matching).
tersebut tidak serta-merta menjadi jelas, karena Pernyataan informan ini mengindikasikan
penanda mungkin merujuk pada sesuatu yang bahwa tidak adanya sesuatu di luar simbol laba
tidak jelas atau bahkan tidak ada, sehingga akuntansi diawali dan dipengaruhi oleh tidak
52 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2010, Vol. 7, No. 1 hal 38 - 60

adanya sesuatu di luar simbol penghasilan dan penanda daripada petanda, pengolahan
beban. Jika dirunut lebih lanjut, tidak adanya bentuk daripada ketetapan makna,
sesuatu di luar simbol penghasilan dan beban, permainan kulit daripada kepastian isi,
dipengaruhi oleh pengukuran dan pengakuan penjelajahan simulasi daripada representasi.
aset serta kewajiban, dan seterusnya. Dalam Ketika rantai yang menghubungkan
penanda dan petanda, konsep atau makna
konteks ini, ungkapan Derrida bahwa ”makna
dalam sebuah relasi pertandaan diputuskan,
teks adalah intertekstual” menjadi sangat maka yang terbentuk adalah sebuah tanda
relevan. yang tidak lagi menggantungkan dirinya
Laba Akuntansi Hasil Simulasi, Bukan pada rujukan realitas, dan mengembangkan
Representasi Realitas. Tidak adanya sesuatu dirinya pada sebuah medan permainan
(realitas) yang direpresentasikan oleh laba pure simulacrum yang membentuk sebuah
dunia hiperrealitas.
akuntansi sangat mungkin terjadi jika teks
atau tanda-tanda lain yang membentuknya Makna Laba Tidak Melampaui Kepentingan
hanya merujuk pada konsep atau model yang dan Pengalaman. Saat ini simbol-simbol
terlepas dari realitas atau objek material yang akuntansi yang merupakan hasil simulasi
sebenarnya. Sebagai contoh adalah ”beban makin banyak, sehingga pada akhirnya simbol
kerugian piutang”. Dalam akuntansi akrual, laba akuntansi pun menjadi simulakra murni,
beban kerugian piutang merupakan label menjadi tidak ada sesuatu di luar teks. Karena
dari penurunan jumlah piutang akibat adanya tidak ada sesuatu di luar teks, maka makna
sejumlah piutang yang diestimasi tidak dapat laba akuntansi pun menjadi intertekstual, atau
ditagih. Angka estimasi tersebut dihitung secara lebih spesifik ”laba akuntansi adalah
dengan cara-cara tertentu yang diturunkan jejak” sebagaimana ungkapan Derrida yang
sebagai hasil dari penalaran logis. Pada titik telah diuraikan pada bagian sebelumnya.
ini, informasi tentang beban kerugian piutang Karena pembaca laporan keuangan tidak
hanyalah sebuah ”model”, tidak merujuk pada dapat menemukan realitas faktual yang
kerugian yang benar-benar terjadi. Karena direpresentasikan oleh laba akuntansi di luar
penurunan jumlah piutang hanya sebuah teks, maka makna laba akuntansi menyebar
model, maka saldo akun piutang tidak langsung sesuai dengan pengalaman dan kepentingan
dihapuskan atau dikurangi dengan jumlah masing-masing penafsir. Hal ini konsisten
tersebut, tetapi pengurangannya dilakukan dengan pernyataan Derrida bahwa,
dengan membentuk akun ”penyisihan/
cadangan kerugian piutang”. Dalam hal ini, Makna tidak pernah identik dengan dirinya
sendiri karena muncul pada konteks yang
akun beban kerugian piutang merupakan hasil
berbeda-beda, tanda tidak pernah memiliki
”produksi” atau konsekuensi dari munculnya makna yang mutlak sama. Makna tidak akan
akun ”penyisihan/cadangan kerugian piutang”. pernah sama dari satu konteks ke konteks
Simbol-simbol akuntansi semacam itu yang lain; petanda akan selalu diubah oleh
merupakan hasil simulasi murni dari proses berbagai macam mata rantai penanda yang
akuntansi yang berjalan di atas asas akrual. menjeratnya (Sarup 2008, 48).
Sebagai hasil simulasi, maka referensi simbol
tersebut adalah pada dirinya sendiri, dan Adanya fakta bahwa makna teks tersebar
berputar-putar pada dirinya sendiri membentuk sesuai dengan pengalaman dan kepentingan
dunia hiperrealitas. Piliang (2003, 50) masing-masing penafsir juga ditangkap oleh
berpendapat bahwa hiperrealitas terkait sangat Derrida yang kemudian memasukkan fakta
erat dengan hipersemiotika, yang terrefleksi tersebut dalam kategori ”tidak ada sesuatu di
dari pernyataannya bahwa: luar teks” (Sarup 2008, 48). Dalam konteks ini,
ungkapan ”tidak ada sesuatu di luar teks” bukan
Hipersemiotika menekankan permainan
permukaan daripada kedalaman, permainan
berarti bahwa teks tidak merepresentasikan
Akhmad Riduwan, Iwan Triyuwono, Gugus Irianto, Unti Ludigdo, Semiotika Laba Akuntansi … 53

realitas apa pun seperti diuraikan sebelumnya; hadir bersamaan ketika simbol laba dibuat atau
tetapi Derrida ingin menegaskan bahwa makna dipublikasikan. Padahal sesuai dengan asas
teks tidak akan pernah melampaui pengalaman akrual, saat timbulnya penghasilan, beban,
dan kepentingan para penafsirnya. Jika keuntungan dan kerugian yang membentuk
dikaitkan dengan laba akuntansi, ungkapan laba akuntansi tidak selalu sejalan dengan saat
Derrida ”tidak ada sesuatu di luar teks” tersebut terjadinya aliran kas masuk maupun keluar.
bukan berarti bahwa simbol laba akuntansi Metafisika kehadiran atas realitas yang
tidak punya makna (objek atau realitas) yang direpresentasikan oleh teks, baik sebagai
direpresentasikan. Laba akuntansi tetap kata yang diucapkan (spoken words) maupun
merepresentasikan suatu objek atau realitas, sebagai kata yang dituliskan (written words),
tetapi objek atau realitas yang dipahami oleh dapat menimbulkan ilusi bagi pendengar
para penafsir tidaklah melampaui pengalaman atau pembaca teks, yang pada akhirnya ilusi
mereka. tersebut menjadi abadi melalui reifikasi (Ross
1984, 23). Hal ini berlaku pula pada simbol
Laba Akuntansi Sebagai Metafisika Ke- laba akuntansi. Metafisika kehadiran atas aliran
hadiran kas masuk neto sebagai realitas referensial
Dalam filsafat Derrida, tidak adanya laba akuntansi ini dapat menimbulkan ilusi,
”sesuatu di luar teks” memiliki implikasi bahwa dan ilusi tersebut akan bermuara pada reifikasi,
makna (objek atau realitas) yang dimaksudkan yaitu menghadirkan sebuah konsep seolah-
oleh penulis teks maupun pembaca teks olah menjadi sebuah kenyataan.
sesungguhnya hanyalah merupakan metafisika Reifikasi tersebut tidak hanya terjadi
kehadiran (metaphysics of presence). Dengan pada komunitas non-akuntan, tetapi sering
bahasa sederhana, metafisika kehadiran terjadi pula pada komunitas akuntan. Misalnya,
dapat diartikan sebagai ”kehadiran seolah- baik secara lisan maupun melalui tulisan,
olah”. Realitas objektif dianggap seolah-olah akuntan membuat pernyataan-pernyataan
hadir ketika kata, tanda, konsep atau teori berikut: mendistribusikan laba, menahan laba,
dituliskan. Dengan kata lain, realitas objektif menginvestasikan kembali (reinvestment)
atau kebenaran diupayakan untuk dihadirkan laba, membiayai pembelian peralatan pabrik
melalui bahasa atau melalui teks. Kehadiran dengan bagian laba, dan lain-lain. Implisit
tersebut disejajarkan dengan ”makna” (Al- dalam pernyataan tersebut adalah bahwa
Fayyadl 2005, 16 dan Piliang 2003, 245). akuntan membayangkan seolah-olah ”laba”
merupakan suatu benda (things), yaitu uang
Ilusi, Fantasi dan Reifikasi. Realitas konkret tunai yang secara fisis dapat dibagi-bagikan,
yang sesungguhnya akan direpresentasikan didistribusikan, disimpan, atau dibelanjakan.
oleh simbol laba akuntansi pada dasarnya Dalam akuntansi akrual, laba atau rugi
adalah aliran kas masuk neto yang diterima hanyalah sebuah model konseptual – aliran kas
perusahaan melebihi jumlah yang dibayarkan. masuk neto yang direpresentasikan tidak hadir
Karena saat (timing) diselesaikannya suatu dan tidak selalu ada secara bersamaan dengan
aktivitas yang menimbulkan penghasilan kehadiran teks. Hal ini mengindikasikan
dan beban tidak selalu sejalan dengan saat bahwa akuntan membuat konsep-konsep
(timing) terjadinya aliran kas masuk dan kas akuntansi, tetapi konsep tersebut menimbulkan
keluar, maka akuntansi mengatasi pengakuan ilusi bagi dirinya sendiri tentang realitas yang
penghasilan dan beban tersebut dengan dasar direpresentasikan.
akrual.
Metafisika kehadiran yang melekat pada Ada dan Hadir Melalui Proses Mengada.
simbol laba akuntansi (kata maupun angka) Reifikasi akuntan atas laba akuntansi tersebut
mengandaikan bahwa aliran kas masuk neto menunjukkan adanya ambivalensi penafsiran
yang direpresentasikannya seolah-olah ada dan laba akuntansi oleh akuntan dalam konteks yang
54 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2010, Vol. 7, No. 1 hal 38 - 60

berbeda, yaitu konteks pemaknaan semantik dan realitas referensial laba akuntansi merupakan
pragmatik. Hal ini dapat dijadikan sebagai dasar realitas transenden, karena penghasilan dan
untuk menganalogikan akuntan sebagai seorang beban yang membentuknya tidak selalu
fotografer. Pada satu kesempatan, seorang merupakan fakta dalam periode pelaporan,
fotografer bertindak sebagai ”subjek-yang- tetapi mungkin akibat dari peristiwa pada
memotret”, sedangkan pada kesempatan lain, ia periode sebelumnya, atau masih merupakan
bertindak sebagai ”subjek-yang-memandang”. potensi atas peristiwa pada periode mendatang.
Ketika berada sebagai subjek-yang-memotret, Derrida mengatakan bahwa setiap realitas
seorang fotografer memegang kamera, (makna) transenden bersifat ilusif (Sarup 2008,
menghadapi benda-benda atau objek riil, dan 53). Makna transenden yang bersifat ilusif
memotretnya. Jika ia memandang objek yang tidak benar-benar ada, tetapi ”ada” dan ”hadir”
dipotret melalui hasil cetakan di atas selembar melalui proses ”mengada” (becoming).
kertas foto, maka ia tidak lagi berada sebagai
subjek-yang-memotret, tetapi berada sebagai Laba Akuntansi Sebagai Produk Logo-
subjek-yang-memandang. Meskipun orangnya sentrisme
sama, subjek-yang-memotret dan subjek-yang-
Aliran kas masuk maupun keluar yang
memandang harus dilihat sebagai subjek yang
terjadi pada beberapa momen tidak mungkin
berbeda, karena apa yang dihadapinya juga
hadir bersamaan sebagai momen masa kini,
berbeda (Ajidarma 2007, 103).
tetapi akuntan (sebagai perekayasa informasi
Seorang fotografer melihat dan memotret
pohon, tetapi pada saat ia memandang hasil akuntansi) memberinya tempat untuk hadir
fotonya, ia bukan lagi seorang fotografer. di masa kini. Aliran kas masuk dan keluar
”Pohon” dan ”foto tentang pohon” adalah dua tersebut dihadirkan sebagai penghasilan dan
hal yang sangat berbeda. Ketika memotret beban, yang pada akhirnya terkemas sebagai
pohon, seorang fotografer sesungguhnya ingin laba akuntansi melalui proses penandingan
menceritakan pohon yang dilihatnya dengan (matching). Penghadiran aliran kas masuk
membendakan makna-makna yang ingin neto masa lalu, masa kini dan masa depan
dikatakannya melalui lembaran foto. Tetapi, dalam momen tunggal ”masa kini” sebagai
ketika ia memandang hasil ”foto tentang laba akuntansi tersebut dianggap ideal oleh
pohon”, maka pohon yang ia lihat sekarang akuntan, karena tidak mungkin bagi akuntan
bukanlah pohon itu sendiri. Ia memandang untuk menyajikan informasi laba dengan cara
objek yang berbeda, dengan muatan cerita yang menunggu berakhirnya aktivitas perusahaan.
juga berbeda dengan apa yang ingin diceritakan Atas dasar asumsi going-concern, akuntan
semula. Sebagai subjek-yang-memandang, ia melakukan periodisasi aktivitas perusahaan
harus memaknai foto tentang pohon itu, dan serta menerapkan asas akrual dalam
untuk memaknainya ia harus menafsir. penyusunan dan penyajian laporan keuangan
Apa yang dilakukan oleh akuntan melalui prosedur accruals, deferrals, alokasi
adalah identik dengan apa yang dilakukan oleh dan amortisasi.
fotografer. Seperti halnya seorang fotografer
memandang sebuah foto dan membingkai Logika (Rasio) Sebagai Logos. Ide-ide akuntan
pemaknaan fotonya sendiri dengan berbagai tersebut dianggap benar dengan berpusat pada
ilusi, akuntan pun membingkai pemaknaan sumber kebenaran tertentu (logos), yaitu rasio
laba akuntansi yang dikonstruksi berdasarkan atau logika. Pemusatan kebenaran ideal pada
konsep-konsepnya sendiri dengan reifikasi. sumber tertentu (rasio atau logika) ini disebut
Reifikasi adalah efek dari ilusi tentang hadirnya oleh Derrida dengan istilah logosentris;
konsep sebagai sebuah kenyataan (Ansari sedangkan pemikiran atau faham yang
dan Euske 1987, 561). Sebagai produk suatu menganggap bahwa hanya rasio atau logika
konsep, aliran kas masuk neto yang menjadi yang dapat menjelaskan tentang kebenaran
Akhmad Riduwan, Iwan Triyuwono, Gugus Irianto, Unti Ludigdo, Semiotika Laba Akuntansi … 55

disebutnya sebagai logosentrisme (Ross 1984, ini, klaim tentang kebenaran realitas yang
28). Logosentrisme mengedepankan logos direpresentasikan oleh simbol laba akuntansi
untuk menentukan dan membangun sistem juga dapat disangsikan secara mendasar.
pemikiran, serta menganggap bahwa kebenaran Logosentrisme dan Idealisme. Penekanan
selalu berawal dan berakhir pada logos ini; yang berlebihan pada logika atau rasio sebagai
atau dengan kata lain, benar atau salah sangat logos, mendorong akuntan untuk selalu
tergantung pada logos (Sarup 2008, 51-52). mengacu pada idealisme dalam menetapkan
Dalam konteks laba akuntansi, konsep serta prinsip yang harus diterapkan
penghadiran aliran kas masuk dan kas keluar dalam praktik akuntansi. Sementara itu,
masa lalu, masa kini dan masa depan sebagai penerapan asas akrual secara berlebihan atas
penghasilan dan beban pada momen tunggal dasar idealisme akuntan terbukti menyebabkan
masa kini merupakan produk dari logika pembaca laporan keuangan (non akuntan)
atau rasio sebagai logos. Berdasarkan logika, mengalami kesulitan untuk memahami realitas
praktik akuntansi harus terus berjalan selama yang direpresentasikan oleh simbol laba
perusahaan menjalankan aktivitasnya. Dengan akuntansi. Seperti dikemukakan oleh manajer
asumsi going concern, informasi keuangan keuangan dan penasihat investasi misalnya,
harus disusun dan disajikan secara periodik,
Kalau asas akrual dalam perhitungan laba
sehingga akuntan harus melakukan periodisasi
diterapkan untuk kejadian-kejadian yang
penyusunan dan penyajian informasi keuangan nyata, maka laba akuntansi menjadi mudah
tersebut. Dalam kenyataannya, aliran kas dipahami. Tetapi, sekarang ini asas akrual
masuk dan kas keluar tidak selalu terjadi secara juga banyak diterapkan untuk kejadian-
bersamaan dengan diselesaikannya suatu kejadian yang tidak nyata atau kejadian-
aktivitas dalam periode yang bersangkutan. kejadian yang hanya diperkirakan akan
Oleh karena itu, berdasarkan logika, informasi terjadi. Penerapan asas akrual terlalu
teoritis. Inilah yang menyebabkan angka
keuangan lebih baik disajikan berdasarkan asas
laba akuntansi sering sulit untuk dipahami
waktu atau asas akrual dan bukan berdasarkan dalam praktik. [Luki Mardian-manajer
asas tunai. keuangan]
Kehadiran aliran kas masuk neto secara
Objektivitas laba akuntansi itu sendiri
metafisis yang dianggap sebagai sebuah realitas masih perlu dipertanyakan akibat asas
referensial laba akuntansi yang objektif, akrual yang diterapkan terlalu teoritis
semata-mata didukung oleh peran logika atau untuk kejadian-kejadian yang tidak dapat
rasio yang dominan sedemikian rupa dalam dipahami sebagai fakta. Menurut saya, ada
mengkonstruksi simbol laba. Logosentrisme kejadian-kejadian yang sebenarnya hanya
konseptual, tapi sudah dibukukan seperti
akuntan pada logika dan rasio merangsang
kejadian faktual. [Mujianto-penasihat
metafisika kehadiran atas realitas referensial
investasi]
laba akuntansi. Menurut Derrida (lihat
Hardiman 2003, 183), logika atau rasio tidak Manajer keuangan dan penasihat investasi
selalu berkorespondensi dengan kenyataan; tersebut berpandangan bahwa laba akuntansi
ini berarti bahwa setiap klaim kebenaran seharusnya merepresentasikan tambahan
kemampuan ekonomik perusahaan secara riil.
yang bersumber dari logika atau rasio selalu
Tetapi, karena laba akuntansi berdasarkan
dapat disangsikan secara mendasar. Logika
konsep akuntan ternyata berbeda dengan
atau rasio yang digunakan untuk membangun pandangan mereka, maka tampaknya tidak ada
sebuah teks bisa ambigu atau bahkan keliru, jalan lain bagi mereka, kecuali harus bersikap
dan tidak selalu menghasilkan makna yang menerima, meneruskan, dan mempertahankan
tetap atau stabil seperti dikehendaki oleh teks. pandangan umum tentang laba akuntansi yang
Dengan berrefleksi pada pandangan Derrida bukan pandangan mereka sendiri.
56 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2010, Vol. 7, No. 1 hal 38 - 60

KONTRIBUSI PENELITIAN rerangka konseptual dan standar akuntansi.


DAN REFLEKSI Rerangka konseptual dan standar akuntansi
ini memang wajib dipahami oleh akuntan
Kontribusi Penelitian sebagai pihak penyedia informasi, tetapi
sebagai produk akuntansi, informasi yang
Konstribusi Praktis. Pada tataran praktis,
disajikan dalam laporan laba-rugi harus dapat
problema komunikasi informasi laba akuntansi
langsung dimanfaatkan oleh semua pengguna
dapat terletak pada (a) aspek readability, yaitu
yang memerlukannya pada ranah praksis.
kesulitan memaknai laba karena kompleksitas
Penelitian ini membuka pemikiran bahwa
realitas yang direpresentasikan; atau (b) aspek
pengguna tidak harus mengetahui bagaimana
understandability, yaitu kemampuan pembaca
rerangka konseptual dan standar akuntansi
untuk memahami laba yang dipengaruhi
diterapkan selama pemrosesan informasi laba.
oleh karakteristik pembaca, baik dalam hal
Dekonstruksi terhadap format laporan laba-
latar belakang, pengetahuan, pengalaman,
rugi merupakan suatu upaya untuk mengatasi
kepentingan, tujuan membaca, serta kemam-
masalah tersebut.
puan melakukan pembacaan secara umum. Apa
pun penyebab timbulnya problema komunikasi Kontribusi Kebijakan. Kontribusi penelitian
informasi laba, baik readability maupun ini bagi pemegang otoritas regulasi akuntansi
understandability, akan terselesaikan melalui keuangan antara lain adalah sebagai berikut:
perbaikan sistem representasi (pengakuan Pertama, membuka kesadaran bahwa
dan pengukuran pos-pos pembentuk laba), perubahan realitas ekonomik yang ingin
serta cara pengkomunikasian informasi. direpresentasikan secara total oleh konsep-
Hal ini berarti bahwa perlu pemikiran untuk konsep akuntansi melalui simbol laba tidak
mendekonstruksi format laporan laba-rugi selalu sejalan dengan realitas referensial yang
untuk mengakomodasi perbedaan penafsiran dipersepsi oleh pengguna informasi. Oleh
laba oleh pengguna. karena itu, penyusunan standar akuntansi perlu
Dengan dekonstruksi, sesuatu ”yang mempertimbangkan keutamaan kandungan
lain” dimunculkan untuk diakui, ditempatkan fakta di dunia nyata atas informasi laba yang
secara sejajar dengan konsep yang sudah dikomunikasikan, termasuk besaran nilai
menjadi ”pusat”. Dekonstruksi dimaksudkan keuangan yang menyertainya. Kedua, membuka
untuk mengakui ”kemajemukan” dengan diri pada kenyataan bahwa perubahan realitas
menempatkan ”yang lain” pada relasi ekonomik (seperti direpresentasikan melalui
yang bersifat terbuka, demokratis, dan simbol laba) yang wajar menurut konsep
tetap kooperatif (Triyuwono 2000, xvi). akuntansi tidak selalu wajar menurut persepsi
Dekonstruksi logosentrisme akuntansi pengguna. Oleh karena itu, penyusunan
dalam penelitian ini merupakan upaya untuk standar akuntansi perlu mempertimbangkan
menempatkan pragmatisme [yang semula kepentingan dan kemampuan pengguna dalam
bersifat periferal] pada posisi sejajar dengan memahami informasi laba beserta pos-pos
idealisme. Dengan dekonstruksi tersebut, penghasilan dan beban yang membentuknya.
idealisme akuntansi tidak dinegasikan, tetapi Kontribusi Teoritis. Pendekatan kritis-
idealisme tidak lagi dipandang sebagai pusat posmodern seperti yang diterapkan dalam
pembenaran praktik akuntansi. Idealisme penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana
disejajarkan dengan pragmatisme, dan dengan untuk mengembangkan “teori akuntansi” yang
demikian, dasar pembenaran praktik akuntansi sudah ada [teori akuntansi normatif dan teori
yang semula terpusat pada idealisme berubah akuntansi positif]. Melalui penelitian empiris
menjadi terurai dan terbuka. dengan pendekatan kritis, teori akuntansi
Laporan laba-rugi adalah produk normatif dan positif yang sudah ada tersebut
akuntansi yang diproses sesuai dengan
Akhmad Riduwan, Iwan Triyuwono, Gugus Irianto, Unti Ludigdo, Semiotika Laba Akuntansi … 57

dapat dikembangkan lebih lanjut dalam format “kacamata” sistem pemikiran lain, apa
yang dapat disebut sebagai “teori akuntansi pun nama dan sebutannya. Dengan agenda
kritis” atau “teori akuntansi posmodern”. Teori penelitian demikian, dialektika akuntansi akan
akuntansi kritis atau posmodern pada akhirnya dapat terus berproses; pengetahuan akuntansi
akan terbangun dalam bentuk proposisi- makin kaya dengan pemikiran, dan dengan
proposisi kritis sebagai hasil penelitian empiris demikian, praktik akuntansi di masa depan
yang berpijak pada disiplin apa pun yang diharapkan akan makin bermakna.
dipandang dapat digunakan sebagai refleksi
kritis praktik akuntansi.
DAFTAR PUSTAKA
REFLEKSI
Adelberg, A.H. 1983. The Accounting
Keterbatasan Penelitian. Penelitian ini tidak Syntactic Complexity Formula: A New
melibatkan informan dari pihak akuntan yang Instrument For Predicting the Readability
merepresentasikan penyusun standar akuntansi. of Selected Accounting Communication.
Tidak dilibatkannya akuntan penyusun standar Accounting and Business Research,
akuntansi sebagai informan, menyebabkan Summer, 163-175.
penelitian ini tidak dapat menggali lebih dalam Agger, B. 1991. Critical Theory,
tentang keberagaman penafsiran atas laba Poststructuralism, Postmoderism: Their
akuntansi serta tidak dapat menjelaskan lebih Sociological Relevance. Annual Review
jauh tentang logosentrisme konsep akuntansi of Sociology, 17, 105-131.
dalam penetapan laba.
Ajidarma, S.G. 2007. Kisah Mata: Fotografi
Agenda Penelitian ke Depan. Jacques Derrida Antara Dua Subjek, Perbincangan
hanyalah salah seorang dari banyak filsuf yang Tentang Ada. Cetakan II. Yogyakarta:
konsep berfikirnya dapat digunakan untuk Galang Press.
“memandang” dan mengkaji praktik akuntansi.
Alawattage, C. dan D. Wickramasinghe. 2007.
Oleh karena itu, sebagai agenda penelitian
Appearance of accounting in a political
ke depan [dalam kerangka paradigma yang
hegemony. Critical Perspectives on
sama dengan penelitian ini], disarankan untuk
Accounting, 19, 293–339
melihat dan mengkaji praktik akuntansi dengan
menggunakan “kacamata” filsafat dari para Al-Fayyadl, M. 2005. Derrida. Cetakan 1.
filsuf yang berbeda. Misalnya, praktik akuntansi Yogyakarta: LKiS.
dapat dikaji berdasarkan filsafat strukturalisme Ansari, S. dan K.J. Euske. 1987. Rational,
(modernisme) di bawah nama-nama besar Rationalizing and Reifying Uses of
seperti Ferdinand de Saussure, Charles S. Peirce, Accounting Data in Organizations.
Julia Kristeva, Roland Barthes, Althrusser, Accounting, Organization and Society,
Ludwig Wittgenstein, Noam Chomsky, Roman 12 (5), 549-570.
Jakobson, Levi-Strauss atau lainnya. Praktik
akuntansi juga dapat dikaji berdasarkan Armstrong, P. 1997. Designer Accountability:
filsafat posstrukturalisme (posmodernisme) The Managerial Semiotics Project. Paper
di bawah nama-nama besar seperti Fritjhof prepared for the Fifth Interdiciplinary
Schuon, Ken Wilber, A.N. Whitehead, Jurgen Perspective on Accounting Conference.
Habermas, Paul Ricouer, Martin Heidegger, Manchester, England: 7-9 July.
Michel Foucault, Jean Baudrillard, Jean Arrington, C.E. dan W. Schweiker. 1992. The
Francois Lyotard, Jacques Lacan, dan lainnya. Rhetoric and Rationality of Accounting
Di luar kajian-kajian secara filosofis tersebut, Research. Accounting, Organization and
praktik akuntansi juga dapat dikaji berdasarkan Society, 17 (6), 511-533.
58 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2010, Vol. 7, No. 1 hal 38 - 60

Asyhadie, N. 2004. Hampiran Hamparan Choo, D. dan K. Tan. 2007. An American


Gramatologi Derrida. Cetakan I. Dream Theory of Corporate Executive
Yogyakarta: LKiS. Fraud. Accounting Forum, 31, 203-215.
Azra, A. 2005. “Pluralisme Islam Dalam Cooper, C. 1995. Ideology, Hegemony and
Perspektif Historis” dalam Sururin (Ed.). Accounting Discourse: A Case Study
Nilai-Nilai Pluralisme Islam: Bingkai of The National Union of Journalists.
Gagasan Yang Berserak. Cetakan 1. Critical Perspective on Accounting, (6),
Bandung: Nuansa. 149-154. 175-209.

Banas, E.J. 1994. A Deconstructive Analysis Courtis, J.K. 1998. Annual Report Readability
of Accounting Methods for Community Variability: Test of the Obfuscation
Colleges in the State of Virginia. Hypothesis. Accounting, Auditing and
Virginia Polytechnic Institute and State Accountability Journal, 11 (4), 459-471.
University. Dissertation. Unpublished. Derrida, J. 1971. “Signature, Event, Context”.
Terjemahan dalam Bahasa Inggris
Beaver, W.H. 1991. Problemas and Paradoxes in
(Allan Bass): 1-14. Ringkasan Esai.
the Financial Reporting of Future Events.
Bagian dari Margins of Philosophy (pp.
Accounting Horizons (December), 122-134.
307-330). London: Routledge.
Belkaoui, A.R. 1980. The Interprofessional Derrida, J. 1978. “Structure, Sign, and Play in
Linguistic Communication of the Discourse of the Human Science”.
Accounting Concepts: An Experiment in Terjemahan dalam Bahasa Inggris
Sociolinguistic. Journal of Accounting (Allan Bass): 1-13. Ringkasan Esai.
Research, 18 (2), Autumn, 362-374. Bagian dari Writing and Difference (pp.
Boland, R.J. Jr. 1989. Beyond the Objectivist and the 278-294). Montreal.
Subjectivist: Learning to Read Accounting as Fiske, J. 2006. Cultural and Communication
Text. Accounting, Organization and Society, Studies: Sebuah Pengantar Paling
14 (5-6), 591-604. Komprehensif. Terjemahan dalam
Bourguignon, A. 2005. Management accounting Bahasa Indonesia (Yosal Iriantara dan
and value creation: the profit and loss Idi Subandy Ibrahim). Cetakan III.
of reification. Critical Perspectives on Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Accounting, 16, 353–389
Gennaro R.J., D.J. Herrmann dan M.
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Sarapata. 2006. Aspects of the Unity of
Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Consciousness and Everyday Memory
Metodolo-gis ke Arah Penguasaan Model Failure . Consciousness and Cognition,
Aplikasi. Cetakan Pertama. Jakarta: Raja (15), 372-385.
Grafindo Persada.
Gibbons, M.T. (Ed.). 2002. Tafsir Politik:
Cantrell, E.R. 2006. Jacques Derrida: Telaah Hermeneutiis Wacana Sosial-
Deconstruction and Religion (without Politik Kon-temporer. Terjemahan
Religion). Paper. Missouri State
dalam Bahasa Indonesia (Ali Noer
University. Release 332 Modern
Zaman). Cetakan Pertama. Yogyakarta:
Religious Thought: 1-11.
Qalam.
Carrigan, C.J. 1996. Jacques Derrida,
Hardiman, F.B. 2003. Melampaui Positivisme
Deconstructionism and Postmoderism.
Paper: Introduction to the Life and Work dan Modernitas. Cetakan V. Yogyakarta:
of Derrida. From http://id.wikipedia.org Kanisius.
Akhmad Riduwan, Iwan Triyuwono, Gugus Irianto, Unti Ludigdo, Semiotika Laba Akuntansi … 59

Heath, L.C. 1987. Accounting, Communication, Mattessich, R. 2003. Accounting Representation


and the Pygmalion Syndrome. and the Onion Model of Reality: a
Accounting Horizons (March): 1-8. Comparison with Baudrillard’s Order
Hines, R.D. 1988. Financial Accounting: In of Simulacra and His Hyperreality.
Communicating Reality, We Construct Accounting Organization and Society,
Reality. Accounting, Organization and (28), 443-470.
Society, 13 (3), 251-261. McGoun, E.G., M.S. Bettner, dan M.P. Coyne.
2004. Accounting Representations:
Ikatan Akuntan Indonesia. 2001. Standar
Lense, Photograph, and Scrabble. Paper
Profesional Akuntan Publik. Jakarta: presented at the Fourth Asia Pasific
Salemba Empat. Interdici-plinary Research in Accounting
Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. Standar Conferece. Singapore: 4-6 July.
Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Morrow, R.A. 1994. Critical Theory and
Empat. Methodology. Contemporary Sosial
Jay, M. 2005. Sejarah Mazhab Frankrfurt: Theory Volume 3. California: Sage
Publication Inc.
Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan
Teori Kritis. Cetakan 1. Yogyakarta: Mouck, T. 1992. The Rhetoric of Science and
Kreasi Wacana. the Rhetoric of Revolt in the “Story” of
Positive Accounting Theory. Accounting,
Khan, G.A. 2007. Pluralisation: An Alternative Auditing and Accountability Journal, 5
to Hegemony. Journal Compilation: (4), 35-56.
Political Studies Association: 1-16.
Neuman, W.L. 2000. Social Research Method:
Li, D.H. 1972. The Semantic Aspect Qualitative and Quantitative Approach.
of Communication Theory and Fourth Edition. Boston: Allyn & Bacon.
Accountancy. Journal of Accounting Norris, C. 2006. Membongkar Teori Dekonstruksi
Research 10 (2), Autumn: 102-107. Jacques Derrida. Terjemahan dalam
Lubis, A.Y. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Bahasa Indonesia (Inyiak Ridwan Muzir)
Modern. Cetakan Pertama. Jakarta: dari Deconstruction: Theory and Practice.
Pustaka Indonesia Satu. Cetakan 2. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Lye, J. 1996. Deconstruction: Some Piliang, Y.A. 2003. Hipersemiotika: Tafsir


Assumptions. Paper. Contemporary Cultural Studies Atas Matinya Makna.
Bandung: Jalasutra.
Literary Theory, Brock University,
England. Release 4F70: 1-5. Piliang, Y.A. 2004a. Dunia Yang Dilipat: Tamasya
Melampaui Batas-Batas Kebudayaan.
Macintosh, N.B., T. Shearer, D.B. Thornton Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
dan M. Welker. 2000. Accounting
as Simulacrum and Hyperreality: Piliang, Y.A. 2004b. Posrealitas: Realitas
Perspectives on Income and Capital. Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika.
Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Accounting Organization and Society,
(25), 13-50. Ross, M. 1984. Deconstruction and Presence:
An Introduction to the Writings of Jacques
Mattessich, R. 1991. Social Versus Physical Derrida. Dissertation, Yale University. 308 p.
Reality and the Measurement of its
Phenomena. Advances in Accounting, (9), Sallach, D.L. 1974. Class Domination and
3-17. Ideological Hegemony. The Sociological
Quarterly 15 (Winter), 38-50.
60 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2010, Vol. 7, No. 1 hal 38 - 60

Sarup, M. 2008. Panduan Pengantar Untuk Walters, J.D. 2003. Crisis in Modern Thought:
Memahami Post-Strukturalisme dan Solusion to the Problem of Meaningless.
Posmodernisme. Cetakan I. Yogyakarta: Terjemahan dalam Bahasa Indonesia (B.
Jalasutra. Widhi Nugraha). “Menyelami Kemajuan
Sawarjuwono, T. 1995. Accounting Language Ilmu Pengetahuan dalam Lingkup
Change: A Critical Study of Habermas’s Filsafat dan Hukum Kodrat”. Jakarta:
Theory of Communicative Action. Gramedia Pustaka Utama.
Dissertation. Department of Accounting Wilber, K. 1997. An Integral Theory of
and Finance: University of Wollongong. Consciousness. Journal of Consciousness
Schalkwyk, D. 1997. What Does Derrida Mean Studies. February: 71-92.
By The Text?. Journal of Language Willis, J.W. 2007. Foundation of Qualitative
Sciences, 19 (4), 381-190. Research: Interpretive and Critical
Spivak, G.C. 2003. Membaca Pemikiran Jacques Approaches. California: Sage Publication
Derrida: Sebuah Pengantar. Terjemahan Inc.
dalam Bahasa Indonesia (Inyiak Ridwan
Muzir). Cetakan Pertama. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.
Sugiharto, I.B. 1996. Postmodernisme:
Tantangan Bagi Filsafat. Cetakan ke-9.
Yogyakarta: Kanisius.
Sugiharto, I.B. (Kompas 13 Agustus 2006).
Kebudayaan, Konflik, dan Hegemoni.
Sukoharsono, E.G. dan M.J.R. Gaffikin. The
Genesis of Accounting in Indonesia:
The Dutch Colonialism in the Early 17th
Century. Dalam Funnel, W. dan R. Williams
(Eds.) 2005. Critical and Historical
Studies in Accounting. Australia: Pearson
Education.
Sunardi, S.T. 2004. Semiotika Negativa.
Cetakan II. Yogyakarta: Penerbit Buku
Baik.
Sutrisno, M. 2007. “Antara Makna dan
Relevansi Dalam Tafsir Hidup”, dalam
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto
(Ed). Cultural Studies: Tantangan Bagi
Teori-Teori Besar Kebudayaan. Depok:
Koekoesan. Hal. 28-32.
Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi:
Perekayasaan Pelaporan Keuangan.
Edisi Ketiga. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: BPFE.
Triyuwono, I. 2000. Organisasi dan Akuntansi
Syariah. Cetakan 1. Yogyakarta: LkiS.

You might also like