You are on page 1of 22

Al-Manhaj: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam

Vol. : 1 (2), 2019, 155-176


P-ISSN : 2686-1607
E-ISSN : 2686-4819

PENERAPAN ‘URF SEBAGAI METODE DAN SUMBER HUKUM


EKONOMI ISLAM

Fitra Rizal
Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo
email: fitrajal@gmail.com

Abstract: The development of an increasingly advanced industry has an


impact on the development of transactions in an increasingly complex
economy so that many transaction activities that require ijtihad to find
solutions to problems that may arise. The hope is that the transaction can
run smoothly and in accordance with Islamic law. This study aims to
discuss matters relating to how ‘urf becomes the methods and sources of
Islamic law in economic activities using a qualitative research
methodology with a library research approach. The results showed that
'urf' is a thing that is known and has become a habit of the community,
both in the form of words or deeds. So ‘urf can be used as a method and
legal basis for economic transaction activities. Some examples of the
application of ‘urf in Islamic economic transactions are buying and selling
transactions in modern shopping centers and some online-based economic
transactions without saying shighat (I sell-I buy). Although the practice of
buying and selling is not like the shighat described in classical literature,
but because it contains a meaning that indicates the willingness of both
parties it can be concluded that the transaction law may be based on ‘urf.

Keywords: Islamic Economics, ‘Urf, Method, Legal Resources

Abstrak: Perkembangan industri yang semakin maju berdampak pada


perkembangan transaksi dalam ekonomi yang semakin komplek sehingga
Al-Manhaj, Vol. 1, No. 2 Juli 2019: 155-176 156

banyak kegiatan transaksi yang membutuhkan ijtihad untuk mencari


solusi dari permasalan yang mungkin muncul. Harapanya agar transaksi
tersebut dapat berjalan lancar dan sesuai dengan syariat Islam. Penelitian
ini bertujuan untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana
155

‘urf menjadi metode dan sumber hukum Islam dalam kegiatan


perekonomian dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif
dengan pendekatan kepustakaan (library research). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ‘urf ’merupakan suatu hal yang dikenal dan sudah
menjadi kebiasaan masyarkat, baik berupa ucapan ataupun perbuatan.
Sehingga ‘urf dapat dijadikan metode dan landasan hukum dalam
kegiatan transaksi ekonomi. Beberapa contoh penerapan ‘urf dalam
transaksi ekonomi Islam dalah transaksi jual beli di pusat perbelanjaan
modern dan beberapa transaksi ekonomi yang berbasis online tanpa
mengucapkan shighat (saya jual-saya beli). Walaupun praktik jual beli
yang dilakukan tidak seperti shighat yang dijelaskan di literature klasik,
namun karena mengandung arti yang menunjukkan kerelaan dari kedua
belah pihak maka dapat disimpulkan bahwa hukum transaksi tersebut
boleh berdasarkan ‘urf.

Kata Kunci: Ekonomi Islam, ‘Urf, Metode, Sumber Hukum

PENDAHULUAN
Saat ini ekonomi Islam telah mengalami kemajuan yang pesat dan
berkesinambungan. Kemajuan tersebut meliputi berbagai dimensi
seperti kajian akademis di Perguruan Tinggi, maupun praktik
operasional pada lembaga-lembaga perekonomian. Keadaan tersebut
diharapkan terus berkembang dalam berbagai aspek, seperti kebijakan
ekonomi seperti kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan permasalahan
ekonomi lainnya, seperti halnya dalam produksi, konsumsi, distribusi,
upah, sumberdaya manusia, sumberdaya alam, perindustrian, teknologi
dan sebagainya. Dalam perkembangan tersebut, agar tetap mampu
bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, diperlukan regulasi
yang memadai, inovasi produk dan strategi pengembangan, inovasi
strategi marketing, serta merespon secara akomodatif terhadap
Fitra Rizal, Penerapan ‘Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum 157

bentukbentuk baru transaksi ekonomi dengan tetap mematuhi prinsip-


prinsip syariah dalam operasionalnya.
Perlu diperhatiakan bahwa kompleksitas persoalan yang
berkembang di tengah masyarakat harus dijawab secara logis serta
sesuai syariah. Permasalahannya adalah tidak semua kasus baru tersebut
telah dijelaskan dalam al-Qura’an maupun al-Hadis. Karena setiap
kejadian dan peristiwa dalam masyarakat selalu berkembang, maka
harus ada usaha untuk berijtihad dan beranalogi menggunakan kaidah-
kaidah yang didasari atas sumber hukum Islam tesebut.
Kondisi di atas memicu para ulama membuat kaidah fiqh yang
bisa dijadikan panduan dalam pengambilan hukum yang belum secara
jelas tersurat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Hukum sangat penting untuk
mengatur prilaku masyarakat agar teratur dan terarah sesuai syariah.
Dapat dipastikan, seiiring perkembangan zaman maka dapat dipastikan
perkembangan permasalahan yang dihadapi masyarakat juga akan
berkembang begitu pula dalam bidang ekonomi.1 Apalagi saat ini dunia
telah mengalami revolusi industri yang mengubah cara kerja manusia
dari penggunaan manual menjadi otomatisasi atau digitalisasi.
Dalam kehidupan masyarakat banyak terdapat
kebiasaankebiasaan atau tradisi yang populer secara luas di tengah
kehidupan mereka. Tradisi tersebut dapat berupa perkataan atau
perbuatan yang berlaku secara umum, hal semacam ini disebut dengan
‘urf. Kebiasaankebiasaan tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan
ketika akan menetapkan hukum Islam dalam transaksi ekonomi yang
semakin berkembang terutama terkait masalah-masalah yang tidak ada
ketegasan hukum dalam al-Qur’an dan al-Hadit.2
Pembahasan adat kebiasaan sebagai ‘urf di dalam usul al-fiqh
ditekankan pada kedudukannya sebagi suatu kepantasan yang telah

1 Toha Andiko, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah Panduan Praktis dalam Memproses


Problematika Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2011), 139.
2 Andiko.
Al-Manhaj, Vol. 1, No. 2 Juli 2019: 155-176 158

dikenal secara luas oleh masyarakat. Dan‘urf yang menjadi pertimbangan


hukum Islam hanyalah‘urf shahih saja.3 Berdasarkan latar belakang di
atas, maka penelitian ini bertujuan untuk membahas hal-hal yang
berkaitan dengan bagaimana ‘urf menjadi metode dan sumber hukum
Islam dalam kegiatan perekonomian. Oleh karena itu penelitian ini
menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan kepustakaan (library research) deskriptif-interpretatif.

‘URF DALAM HUKUM ISLAM


‘Urf berasal dari kata ‘arafa yang mempunyai derivasi kata
alma‘ruf yang berarti sesuatu yang dikenal atau diketahui. 4 Sedangkan
‘urf menurut bahasa adalah kebiasan yang baik. Adapun pengertian ‘urf
adalah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu
ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika
dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya.5 Menurut fuqaha, ‘urf
adalah segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan masyarakat dan
dilakukan terus-menerus, baik berupa perkataan maupun perbuatan. 6
Maka dapat dipahami, ‘urf adalah perkataan atau perbuatan baik yang
telah populer dan dikerjakan oleh orang banyak dalam masyarakat.
Artinya ‘urf merupakan kebiasaan baik yang dilakukan secara
berulangulang oleh masyarakat. Dasar penggunaan ‘urf adalah sebagai
berikut, Allah berfirman dalam QS. Al-Araf 199.
      
 
3 Abdul Mun’im Saleh, Hubungan kerja Usul al-Fiqh dan al-Qawaid al-Fiqhiyah
Sebagai Metode Hukum Islam (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012), 43.

4 Rijal Mumazziq Zionis,”Posisi al-’Urf dalam Struktur


Bangunan Hukum Islam”. Jurnal Falasifa, Vol. 2 No. 2, Sekolah Tinggi
Agama Islam al-Falah As-Sunniyyah (STAIFAS), 2011), 132.
5 Muhammad ma’sum Zainy al-Hasyimy, Sistematika Teori
Hukum Islam (Qowa’id Fiqhiyyah) (Jombang: Darul Hikmah Jombang
dan Maktabah al-Syarifah AlKhodijah, 2008), 79-80.
6 Umar Syihab, Hukum Islam dan Trasformasi Pemikiran (Semarang: Dina Utama
Semarang (Toha Putra Group), 1996), 30.
Fitra Rizal, Penerapan ‘Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum 159

Artinya: Dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf dan


berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (al-‘Araf: 199).

Ayat diatas menunjukkan dengan jelas bahwa Allah menyuruh


supaya kita menggunakan ‘urf. Kata ‘urf dalam ayat diatas dimaknai
dengan suatu perkara yang dinilai baik oleh masyarakat. 7 Ayat tersebut
dapat dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah
dianggap baik sehingga menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. seruan
ini didasarkan pada pertimbangan kebiasaan yang baik dan dinilai
berguna bagi kemaslahatan mereka.
Begitu juga dalam al-Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari
Ibnu Masud bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya, “Segala
sesuatu yang dipandang oleh (orang-orang Islam) umum itu baik, maka
baik pulalah di sisi Allah dan segala sesuatu yang dipandang oleh
(orangorang Islam) umum itu jelek, maka jelek pulalah di sisi Allah”. 8
Secara ekplisit, hadith diatas menunjukkan bahwa persepsi
positif komunitas muslim pada suatu persoalan, bisa dijadikan sebagai
salah satu dasar bahwa hal tersebut juga bernilai positif disisi Allah.
Dengan demikian hal tersebut tidak boleh ditentang atau dihapus, akan
tetapi bisa dijadikan pijakan untuk mendisain produk hukum, karena
pandangan umum itu hakikatnya tidak bertentangan dengan apa yang
telah dikehendaki Allah.9 Pada dasarnya, ‘urf tidak mempersulit
kehidupan, tetapi sangat membantu dalam mengatur tata hidup
bermasyarakat dan juga mengatur kehidupan setiap anggota masyarakat
tersebut.10
Imam al-Syatibi dan Ibn Qayyim al-Jauziyah, berpendapat bahwa
‘urf bisa diterima sebagai dalil untuk menetapkan hukum Islam. Namun,
7 Ahmad Sufyan Che Abdullah, “Aplikasi Doktrin al-’Urf dalam Istrumen Pasaran
Kewangan Islam di Malaysia”. Skripsi (2002) 25.
8 Muhammad Ma’sum Zainy al-Hasyimy, Pengantar Memahami Nadhom
alFaroidul Bahiyyah (Jombang: Darul Hikmah Jombang, 2010), 162.
9 Ibid.
10 Mohd Anuar Ramli, “Instrumen ‘urf dan Adat Melayu Sebagai Asas Penetapan
Hukum Semasa di Malaysia”. Jurnal Pengajian Melayu, Jilid 17, (2006), 257.
Al-Manhaj, Vol. 1, No. 2 Juli 2019: 155-176 160

kedua Imam tersebut memberikan catatan, apabila tidak ada nas} yang
menjelaskan hukum masalah tersebut.11 Dari-dalil diatas juga dapat
dipahami, apabila terjadi suatu perselisihan pandangan dalam jual-beli,
sewa-menyewa atau kerja sama antara pemilik sawah dan penggarapnya,
dan lain sebagainya. Maka penyelesaiannya dapat disesuaikan dengan
adat kebiasaan (‘urf) yang telah berlaku di masyarakat tesebut. Dan jika
adat tersebut bertentangan dengan nas} seperti praktek ribawi dan
kebiasaan suap-menyuap, maka hal tesebut tidak dibenarkan. Dalam
konteks hukum Islam, para Ulama berpendapat bahwa hanya ‘urf sahih
sajalah yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum.12
Suatu hukum yang ditetapkan atas dasar ‘urf dapat berubah
karena kumungkinan adanya perubahan ‘urf itu sendiri atau perubahan
tempat, zaman dan sebagainya. Sebagian mendasarkan hal itu pada
kenyataan bahwa, Imam Syafi’i ketika di Irak mempunyai
pendapatpendapat yang berlainan dengan pendapat beliau sendiri
setelah pindah ke Mesir. Di kalangan Ulama, pendapat Imam Syafi’i ketika
di Irak disebut dengan qawl qadim, segangkan pendapat di Mesir disebut
qaw jaddid. Adapun alasan para Ulama yang memakai ‘urf dalam
menentukan hukum antara lain: Banyak hukum syariah yang ternyata
sebelumnya telah menjadi kebiasaan orang Arab. Seperti adanya wali
dalam pernikahan. Dan transaksi jual beli tanpa sighat (tanpa
menyebutkan akadnya) yang sudah sangat umum terjadi. 13
Sehingga kaidah pokok dalam ‘urf adalah ‫ اْلَعاَد ُة ُم حَك َم ٌت‬yang artinya, Adat
itu bisa dijadikan patokan hukum. Dan dalam kaidah lain dinyatakan
dengan, ‫اْلُع ْر ُف ش ِرْيَع ٌت ُم ْح َك َم ٌت‬, ‫اْلعْر ُف ِِفى الَّش اِرِع َل ُه اْع ِتَب اًًر ا‬yang artinya, ‘urf
menurut shara’ itu memiliki suatu penghargaan (bernilai hujjah) dan

11 Imron Rosyadi, “Kedudukan al-‘Adah Wa Al-’urf dalam Bangunan Hukum


Islam”. Jurnal Suhuf Vol. Xvii, No. 01 (2005), 6.
12 Toha Andiko, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah Panduan Praktis dalam Memproses
Problematika Hukum Islam Kontemporer , 146.
13 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), 162.
Fitra Rizal, Penerapan ‘Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum 161

kaidah ’urf merupakan dasar hukum yang telah dikokohkan. 14 Misalnya,


kebiasaan seorang laki-laki yang melamar seorang wanita dengan
memberikan sesuatu sebagai hadiah, bukan sebagai mahar.15

MACAM-MACAM ‘URF
Bila ditinjau dari jenis pekerjaannya,’urf dibagi menjadi’urf qawli
dan ‘urf fi’li. Dan jika ditinjau dari aspek kuantitas pelakunya, ‘urf terbilah
menjadi ‘urf ‘am dan ‘urf khas.16 ‘Urf qawli adalah sejenis kata, ungkapan,
atau istilah tertentu yang diberlakukan oleh sebuah komunitas untuk
menunjuk makna khusus, dan tidak ada kecenderungan makna lain di
luar apa yang mereka pahami. Artinya ketika kata itu diucapkan, maka
yang terbesit dalam hati mereka adalah makna yang khusus tersebut,
bukan antonim makna lainnya. Contohnya ketika orang Arab
mengucapkan walad (anak), maka mereka pasti mengartikannya sebagai
anak laki-laki, bukan anak perempuan.
Sementara ‘urf fi’li adalah sejenis pekerjaan atau aktivitas
tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga
dipandang sebagai norma sosial. Dalam budaya masyarakat Arab, ‘urf fi’li
dapat disaksikan pada transaksi jual beli tanpa sighat (tanpa
menyebutkan akadnya) yang sudah sangat umum terjadi. Karena sudah
menjadi hal yang lumrah di masyarakat dan sudah menjadi kebiasaan
masyarakat yang sulit dihindari.
‘Urf ‘am adalah bentuk pekerjaan yang sudah berlaku menyeluruh
dan tidak mengenal batas waktu, pergantian generasi, atau letak
geografis. Tradisi jenis ini bersifat lintas batas, lintas cakupan, dan lintas

14 Muhammad Ma’sum Zainy al-Hasyimy, Sistematika Teori Hukum Islam


(Qowa’id Fiqhiyyah) , 79.
15 Toha Andiko, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah Panduan Praktis dalam Memproses
Problematika Hukum Islam Kontemporer, 147.
16 Rijal Mumazziq Zionis, ”Posisi al-’Urf dalam Struktur Bangunan Hukum
Islam”, 143.
Al-Manhaj, Vol. 1, No. 2 Juli 2019: 155-176 162

zaman. Contohnya adalah memasak dengan kompor, penumpang


angkutan umum yang bercampur antara laki-laki dan permpuan.
‘Urf khas adalah sejenis kebiasaan yang berlaku di kawasan atau
golongan tertentu, dan tidak tampak pada komunitas lainnya. ‘urf yang
bisa berubah dan berbeda karena perbedaan tempat dan waktu.
Sehingga hanya berlaku dan dikenal disuatu tempat atau masyarakat
tertentu. Contohnya adalah pedagang menetapkan piutangnya dengan
menuliskannya dalam daftar khusus tanpa saksi, penggunaan kata
“kendaraan” untuk himar disuatu negeri dan kuda dinegeri lainnya.17
Secara umum, hanya terdapat dua kategori ‘urf, yaitu ‘urf sahih
dan ‘urf fasid, dengan penjelasan sebagai berikut: 18 ‘Urf sahih adalah
segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia yang tidak berlawanan
dengan dalil shara’. Dan ia tidak menghalalkan yang haram dan tidak
menggugurkan kewajiban. Misalnya, kebiasaan seorang laki-laki yang
melamar seorang wanita dengan memberikan sesuatu sebagai hadiah,
bukan sebagai mahar. ‘Urf fasid adalah ‘urf yang jelek dan tidak bisa
diterima karena bertentangan dengan shara’. Dari pendapat ini dapat
diketahui bahwa setiap kebiasaan yang menghalalkan yang diharamkan
Allah dan mengandung maksiat masuk dalam jenis ini. Misalnya,
kebiasaan masyarakat mengkonsumsi minuman keras pada suatu pesta.

SYARAT ‘URF SEBAGAI LANDASAN HUKUM ISLAM


Para Ulama sepakat bahwa tidak semua ‘urf bisa dijadikan
sebagai dalil untuk menetapkan hukum Islam.’urf dapat diterima sebagai
salah satu landasan hukum jika memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:19 (1) Tidak bertentangan dengan syariah; (2) Tidak

17 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitinya


(Jakarta: Sinar Grafika, 2007),78.
18 Toha Andiko, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah Panduan Praktis dalam Memproses
Problematika Hukum Islam Kontemporer , 147.
19 Muhammad Ma’sum Zainy al-Hasyimy, Sistematika Teori Hukum Islam
(Qowa’id Fiqhiyyah) (Jombang, 83.
Fitra Rizal, Penerapan ‘Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum 163

menyebabkan kemafsadahan dan tidak menghilangkan kemaslahatan;


(3) Telah berlaku umum dikalangan kaum muslim; 4) Tidak berlaku
dalam ibadah mahdhoh; (5) ‘Urf tersebut sudah memasyarakat saat akan
ditetapkan sebagai salah satu patokan hukum.
Sedangkan menurut al-Zarqa, ‘urf baru dapat dijadikan sebagai
salah satu dalil dalam menetapkan hukum Islam apabila memenuhi
syarat sebagai berikut:20 (1) ‘Urf tersebut harus berlaku secara umum.
Artinya, adat itu berlaku dalam kebanyakan kasus yang terjadi dalam
masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat
tersebut. (2) ‘Urf yang akan dijadikan sebagai dalil hukum Islam adalah
‘urf yang telah berjalan sejak lama di suatu masyarakat ketika pesoalan
yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, ‘urf yang akan
dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan
ditetapkan hukumnya. (3) ‘Urf yang akan dijadikan sebagai dasar
penetapan hukum tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara
jelas oleh para pihak dalam masalah yang sedang dilakukan. Sebagai
contoh, antara penjual dan pembeli ketika melakukan transaksi jual-beli
telah menyepakati bahwa dengan kesepakatan secara jelas bahwa barang
yang dibeli akan dibawa sendiri oleh pembeli ke rumahnya.
Padahal kebiasaan yang berlaku adalah barang yang dibeli akan
diantarkan penjualnya ke rumah pembeli. Ini berarti bahwa ada
pertentangan antara ‘urf dan yang diungkapkan secara jelas dalam
transaksi tersebut. Bila demikian keadaannya, maka’urf yang berlaku di
masyarakat tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum
dalam jual beli tersebut. (4) ‘Urf dapat diterima sebagai dasar hukum
Islam manakala tidak ada nas} yang mengandung hukum dari
permasalahan yang dihadapi. Artinya, bila suatu permasalahan sudah

20 Imron Rosyadi, “Kedudukan al-‘Adah wa al-’urf dalam Bangunan


Hukum
Islam”,7.
Al-Manhaj, Vol. 1, No. 2 Juli 2019: 155-176 164

ada nashnya, maka adat itu tidak dapat dijadikan sebagai dalil hukum
Islam.

PANDANGAN ULAMA TERHADAP ‘URF SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM


Para Ulama membenarkan penggunaan ‘urf hanya dalam hal-hal
muamalah, itupun setelah memenuhi syarat-syarat di atas. Perlu
diketahuai bahwa dalam hal ibadah secara mutlak tidak berlaku ‘urf
karena yang menentukan dalam hal ibadah adalah al-Qura’an dan
alHadith.21‘Urf bertujuan untuk memlihara kemaslahatan umat serta
menunjang pembetulan hukum dan penafsiran beberapa nas.22
Berikut ini pandangan para Ulama terkait ‘urf:23 (1) Abu Yusuf
dari kelompok ‘ulama Hanafi dan mayoritas ‘ulama non Hanafiah
berpendapat bahwa hukum shara’ itu juga berubah mengikuti
perkembangan adat kebiasaan atau ‘urf yang bersangkutan. Hal ini sesua
degan kaidah “tidak dapat diingkari perubahan hukum itu disebabkan
oleh perubahan zaman dan tempat”. (2) Abu Hanifah dan Muhammad bin
Hasan berpendapat bahwa yang tetap menjadi patokan hukum adalah

‘urf yang lama pada saat datangnya nas} yang bersangkutan. (3) Abdul
Wahab Khalaf berpendapat bahwa pada dasarnya ‘urf itu bukan dalil
shara’ yang berdiri sendiri, sebab ia termasuk memelihara maslahah
mursalah. Maka jika ‘urf dijadikan pertimbangan salah satu patokan
hukum, maka dipertimbangkan pula dalam menafsirkan nash. Bahkan
terkadang qiyas ditinggalkan lantaran ‘urf dianggap lebih sesuai,
misalnya sah hukum transaksi sengan sistem salam dan istisna’,
sekalipun menurut qiyas tidak sah karena barngnya belum atau tidak ada
pada saat bertransaksi.

21 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), 163.
22 Racmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
131.
23 Muhammad Ma’sum Zainy al-Hasyimy, Pengantar Memahami Nadhom
alFaroidul Bahiyyah, 184.
Fitra Rizal, Penerapan ‘Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum 165

PERBANDINGAN ‘URF DENGAN ‘ADAH


Definisi ‘urf menurut kamus bahasa Arab semakna dengan ma’ruf
yaitu sesuatu yang diketahui manusia dari segala kebaikan dan mereka
menerimanya degan tenang dan nyaman. Dalam bahasa Melayu,
diterjemahkan dengan sesuatu yang dipahami sebagai adat. Sedangkan
‘adah dalam kamus bahasa Arab dipahami dengan sesuatu yang
berulang-ulang dan dalam bahasa Melayu disebut dengan kebiasaan. 24
Dan pengertian yang lain, ‘urf adalah sesuatu perbuatan atau
perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam
mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima
oleh watak kemanusiaannya. Sedangkan ‘adah dapat didefinisikan
dengan suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan
oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia
mahu mengulanginya. Berdasarkan definisi diatas dapat dipahami
antara, ‘urf dan ‘adah memiliki arti yang sama.25
Maka dapat dipahami ‘urf adalah sesuatu yang telah biasa
berlaku, diterima akal manusia dan dianggap baik oleh masyarakat. 26
Sehingga ‘urf dapat dapat dipahami dengan sesuatu yang baik dan
menjadi kebiasaan masyarakat. Sedangkan ‘adah adalah sesuatu
perkataan atau perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh
masyarakat dan dapat diterima oleh akal dan manusia serta dilakukan
secara berulang-ulang.27 Pada dasarnya kedua kata tersebut tidak
memiliki perbedaan yang mencolok bahkan keduanya memiliki
pengertian yang serupa yaitu sesuatu perkataan atau perbuatan yang

24 Toha Andiko, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah Panduan Praktis dalam Memproses


Problematika Hukum Islam Kontemporer , 139.
25 Muhammad Ma’sum Zainy al-Hasyimy, Sistematika Teori Hukum Islam
(Qowa’id Fiqhiyyah) , 80.
26 Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’i
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), 150.
27 Toha Andiko, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah Panduan Praktis dalam Memproses
Problematika Hukum Islam Kontemporer, 139.
Al-Manhaj, Vol. 1, No. 2 Juli 2019: 155-176 166

dilakukan berulang-ulang dan disepakati oleh suatu komunitas tertentu


secara umum.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat sebagian besar ulama yang
menyatakan bahwa, ‘adah dan ‘urf secara terminologis tidak memiliki
perbedaan prinsipil. Misalnya dalam kitab fiqh terdapat ungkapan yang
artinya, ketentuan ini berlandaskan ‘urf dan ‘adah, maka makna yang
dimaksud keduanya adalah sama. Penyebutan ‘adah setelah kata ‘urf
berfungsi sebagai penguat saja, bukan kalimat tersendiri yang
mengandung makna berbeda.28
Adapun perbedaan, antara ‘adah dan’urf adalah sebagai berikut,
‘adah lebih luas cangkupannya bila dibandingkan dengan ‘urf, ‘urf terdiri
dari ‘urf sahih dan ‘urf fasid sedangkan ‘adah tanpa melihat apakah baik
atau buruk, ‘urf merupakan kebiasaan orang banyak sedangkan ‘adah
mencakup kebiasaan pribadi. persamaannya, antara ‘adah dan’urf adalah
sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati,
dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya.29
Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah ‘adah dan ‘urf memang
berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya,
istilah ‘adah hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan.
Sementara ‘urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu, ‘adah bisa
dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara ‘urf harus harus
dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, ‘adah hanya melihat
aspek pekerjaan, sedangkan ‘urf lebih menekankan aspek pelakunya.

‘URF DALAM DIMENSI SEJARAH


Secara historis, ketika Rasulullah hadir, sebagai legislator Islam di
wilayah Makkah maupun Madinah, beliau banyak mengadopsi ‘urf

28 Rijal Mumazziq Zionis,” Posisi al-’urf dalam Struktur Bangunan Hukum


Islam”, 132.
29 Zionis, 133.
Fitra Rizal, Penerapan ‘Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum 167

setempat. Sebagian ‘urf tersebut ditetapkan oleh wahyu al-Qur’an dan


alHadith. Meskipun demikian, tidak semua ‘urf masyarakat Arab sebelum
Islam dijadikan sebagai ajaran Islam. Tradisi yang ditetapkan dalam
alQur’an dan al-Hadith diantaranya adalah sebagai berikut, ibadah haji,
puasa, kewarisan, bentuk-bentuk perdagangan, khitanan dan qurban.
Namun demikian tidak semua tradisi Arab atau non Arab itu diadopsi
menjadi bagian dari shari'ah Islam, beberapa di antaranya direvisi,
dimodifikasi. Dan sebagian yang lainnya dibatalkan berdasarkan wahyu
dari Allah seperti persoalan riba dan cara memperlakukan kaum
perempuan.30
Fakta diatas menunjukkan bahwa perkembangan Hukum Islam
(syariah maupun fiqh) senantiasa berbasis pada ‘urf. Proses
perkembangan Hukum Islam tersebut senatiasa melibatkan dialektika
budaya yang terus menerus, sehingga menghasilkan fiqh. bahkan
sebabsebab lahirnya isi al-Qur’an dan al-Hadith selau berkaitan dengan
ruang, rentetan waktu dan peristiwa. Semua terjadi sebagai respon
terhadap persoalan-persoalan yang berkembang pasa masa itu.
Para sahabat sepeninggal rasulullah tidak menutup diri untuk
mengambil tradisi dan sistem masyarakat lain selama tidak bertentangan
dengan al-Qur’an dan al-Hadith. Fungsi al-Qur’an dan alHadith, dalam hal
ini, selain sebagai sumber inspirasi penggalian hukum juga menjadi
petunjuk pelaksanaan pembentukan Hukum Islam. Khalifahan Umar bin
Khattab mengadopsi sistem dan kelembagaan dalam kekhalifahannya
sesuai dengan model yang pernah diterapkan oleh penguasa Bizantium .
pada masa Rasulullah dan masa sahabat ‘urf dianggap sebagai salah satu
sumber dan landasan dalam pembangunan Hukum Islam. Di kalangan
para ulama fiqh, Imam Malik dalam memutuskan persoalan fiqhiyah
senantiasa menyandarkan pada ‘urf yang dilakukan oleh masyarakat
Madinah. Sikap yang sama dilakukan oleh Imam Shafi'i ketika berada di

30 Zionis, 137.
Al-Manhaj, Vol. 1, No. 2 Juli 2019: 155-176 168

Mesir dan di Baghdad. Karena ‘urf di Mesir dan di Baghdad berlainan,


maka Imam Shafi'i pun merubah qawl al-qadim menjadi qawl al-jadid.31
Hal ini menunjukkan bahwa, para ulama dalam menentukan hukum
senantiasa menggunakan ‘urf sebagai acuan.

PERKEMBANGAN ‘URF DALAM MASYARAKAT


Telah kita ketahui bersama bahwa perkembangan suatu
masyarakat membawa dampak kepada perubahan dan perkembangan
‘urf atau adah masyarakat yang bersangkutan. Menurut Ibnu Khaldun,
”hiruk-pikuk umat manusia, adat kebiasaan dan peradabannya tidaklah
pada suatu gerak dari garis yang tetap, melainkan berubah-ubah dan
berbeda-beda, sebagaimana manusia, waktu, tempat, dunia dan Negara
juga selalu mengalami perubahan. Sesungguhnya sunnatullah berlaku
bagi hamba-hambaNya”.
Contoh; Pada masa Islam, para guru pengajar al-Qur’an menerima
hadiah dari masyarakat yang besarnya cukup lumayan, lalu Abu Hanifah
dan kedua muridnya (Muhammad dan Yusuf) tidak membolehkan para
guru Al-Qur’an tersebut memungut upah. Akan tetapi setelah keadaan
berubah dimana para guru sudah tidak dapat lagi menerima hadiah atas
amalnya, maka para Ulma’ muta’akhirin bersepakat untuk memberikan
fatwa yang membolehkan pemberian upah atas pekerjaannya tersebut
karena berubahan adat. Tata cara berpakaian dan cara makan
masyarakat dunia ketiga, dulu makan dengan sendok dan garbu atau
berpakaian jas lengkap dengan dasinya bisa dianggap tashabuh dengan
orang kafir, sehingga hukumanya haram tetapi sekarang tidak.32
Perlu diketahui bahwa sebagian ‘urf atau tradisi yang ditetapkan
dalam al-Qur’an dan al-Hadit diantaranya adalah sebagai berikut, ibadah
haji, puasa, kewarisan, bentuk-bentuk perdagangan, khitanan dan

31 Zionis, 139.
32 Muhammad Ma’sum Zainy al-Hasyimy, Sistematika Teori Hukum Islam
(Qowa’id Fiqhiyyah) , 84.
Fitra Rizal, Penerapan ‘Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum 169

qurban. Namun demikian tidak semua tradisi masyarakat diadopsi


menjadi bagian dari shari'ah Islam, beberapa di antaranya direvisi,
dimodifikasi dan sebagian yang lainnya dibatalkan berdasarkan wahyu
dari Allah seperti persoalan riba dan cara memperlakukan kaum
perempuan seperti memperlakukan barang yang bisa diperjual belikan
dan diwariskan. Mereka tidak mempunyai hak apapun terhadap diri
mereka sendiri.33 Banyak sekali masalah hukum yang ditetapkan
berdasarkan ‘urf. Contohnya dalam kajian fiqh, banyak sekali masalah
yang ditetapkan berdasarkan ‘urf. Misalnya masalah masa baligh, haid,
nifas dan suci, najis yang dimaafkan kerana sedikit dan lain sebagainya. 34

‘URF SEBAGAI METODE DAN SUMBER HUKUM EKONOMI ISLAM


Ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh
nilainilai Islam. Ekonomi syariah atau sistem ekonomi koperasi berbeda
dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (welfare
state). Berbeda dari sistem kapitalisme, sistem Ekonomi Islam
menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin,
dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam
kacamata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang
memiliki dimensi ibadah yang teraplikasi dalam etika dan moral syariah
Islam.35
Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi
kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada
di tengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang
dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan

33 Rijal Mumazziq Zionis,”Posisi al-’Urf dalam Struktur Bangunan Hukum


Islam”, 137.
34 Mohd Anuar Ramli, “Instrumen‘Urf dan Adat Melayu Sebagai Asas Penetapan
Hukum Semasa di Malaysia”, 257.
35 Veitzal Rivai, “Keistimewaan Ekonomi Islam
dalam Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi Umat,” Journal Analytica
Islamica, Vol 1 no 2, (2012), 344-352.
Al-Manhaj, Vol. 1, No. 2 Juli 2019: 155-176 170

hampir semua tanggung jawab kepada warganya serta komunis yang


ekstrem, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta
perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi
dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta
mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku
usaha.36
Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi
Islam harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
setiap pelaku usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat,
antara lain: Kesatuan (unity), Keseimbangan (equilibrium), Kebebasan
(free will), Tanggung jawab (responsibility). Manusia sebagai wakil
(khalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik, karena
semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan
manusia adalah kepercayaan-Nya di bumi. Di dalam menjalankan
kegiatan ekonominya, Islam sangat mengharamkan kegiatan riba seperti
yang dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 275. Ekonomi
Islam mempunyai tujuan untuk memberikan keselarasan bagi kehidupan
di dunia dan akhirat. Nilai Islam bukan semata-semata hanya untuk
kehidupan muslim saja, tetapi seluruh mahluk hidup di muka bumi.
Esensi proses Ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan manusia
yang berlandaskan nilai-nilai Islam guna mencapai kesejahteraan (falah).
Sedangkan keterkairan antara hukum dan kegiatan ekonomi
tercermin dari terjadinya akad. Akad adalah proses yang penting di
dalam proses kegiatan ekonomi, tanpa adanya akad proses trransaksi
menjadi tidak sah, karena tidak adanya perjanjian di awal oleh kedua
belah pihak. Proses kepemilikin adalah bentuk proses perpindahan hak
milik berdasarkan transaksi, setelah terjadinya kesepakatan antara

36 Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, terj. Muhadi Zainuddin


(Yogyakarta: UII Pres, 2000), 12-63.
Fitra Rizal, Penerapan ‘Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum 171

kedua belah pihak, untuk memindahkan hak milik kepada pihak kedua
melalui pihak pertama, misalnya dalam transaksi jual beli, sewamenyewa
dan lain sebagainya. Dalam hal tersebut selalu ada keterkaitan antara
aspek hukum dan ekonomi Islam. Sehingga kegiatan dalam ekonomi
Islam digali dari hukum Islam itu sendiri, di dalam Islam kegiatan
ekonomi dan hukum tidak dapat dipisahkan.
Sumber utama dalam hukum Islam adalah al-Qur’an, didalamnya
menegaskan bahwa Nabi Muhammad diberi kewenangan
untuk menjelaskan hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an dan
dalam beberapa hal memberikan ketentuan hukum baru. Dengan
demikian,
Sunnah Rasul merupakan sumber kedua hukum Islam setelah al-Qur’an.
Sunnah Rasul memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk
menemukan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan dalam
al-Qur’an atau Sunnah Rasul secara jelas dengan jalan ijtihad. Dengan
demikian, ijtihad dapat dipandang sebagai sumber ketiga hukum Islam.
Hukum-hukum ijtihadiyah pada pokoknya bersumber kepada
qiyas dan pertimbangan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat. Di
antata yang akan mendatangkan kebaikan dan memnuhi kepentingan
masyarakat adalah mengukuhkan berlakunya ‘urf yang tidak
bertentangan dengan nash al-Quran dan Sunnah Rasul.

PENERAPAN ‘URF DALAM TRANSAKSI KEGIATAN EKONOMI


Kajian di atas mempertegas bahwa setiap aktivitas ekonomi Islam
haruslah selalu berlandaskan kepada sumber-sumber hukum ekonomi
Islam. Artinya dalam berijtihad terhadap suatu fenomena perekonomian
tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Prinsip-
prinsip ini harus dijadikan sebagai aturan dalam melakukan aktivitas
ekonomi.
Al-Manhaj, Vol. 1, No. 2 Juli 2019: 155-176 172

Karakteristik hukum Islam adalah syumul (universal) dan


waqiyah (kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan
(penetapan)nya sangat memperhatikan tradisi, kondisi (sosiokultural),
dan tempat masyarakat sebagai objek, dan sekaligus subjek (pelaku,
pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam
menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak
mengesampingkan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural
setempat (‘urf).
’Urf telah terbukti dapat dijadikan sebagai dasar untuk mencari
titik temu antara aktivitas ekonomi yang berkembang di masyarakat
dengan praktek ekonomi yang bersendikan Islam. ’Urf shahih terbukti
mempunyai titik temu yang sangat jelas, karena ‘urf merupakan segala
sesuatu yang sudah saling dikenal di antara manusia yang telah menjadi
kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam
kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu. Dengan demikian
‘urf untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagai metode dan sumber
hukum Islam (justifikasi) dalam perkembangan perekonomian karena
sesuai dengan hukum dan prinsip-prinsip ekonomi Islam.37
Dari penjelasan diiatas dapat disimpulkan bahwa ‘urf dapat dapat
dijadikan landasan hukum untuk melakukan transaksi ekonomi. Karena
perkembangan industri yang semakin maju akan berdampak pada
perkembangan transaksi dalam ekonomi yang semakin komplek
sehingga banyak kegiatan transaksi yang membutuhkan ijtihad untuk
mencari solusinya dari permasalan yang mungkin muncul. Adapun yang
dimaksud ekonomi Islam adalah sebuah usaha sistematis untuk
memahami masalah-masalah ekonomi dan tingkah laku manusia secara
relasional dalam perspektif Islam.38Jadi dapat difahami ekonomi Islam
merupakan ilmu yang mempelajari perilaku muslim dalam
37 Abdul Hakim, “Kearifan Lokal dalam Ekonomi Islam (Studi Atas Aplikasi
alUrf Sebagai Dasar Adopsi)”, Jurnal Akademika, Vol. 8, No. 1, (Juni 2014).
38 Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2010), 235.
Fitra Rizal, Penerapan ‘Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum 173

kegiatankegiatan ekonomi seperti produksi, distribusi, konsumsi dan


investasi sehingga tercipta suatu perekonomian yang teratur, terarah
sesuai dengan tujuannya berdasarkan ajaran Islam.
Contoh ‘urf dalam ekonomi Islam adalah jual beli yang dilakukan
masyarkat tanpa mengucapkan shighat ijab (misal; saya jual-saya beli). Di
supermarket atau pusat perbelanjaan lainya pembeli tinggal mengambil
barang yang diinginkan sendiri kemudian langsung membayar dikasir.
Apalagi uang sebagai alat pembayaran transaksi juga sudah nontunai,
cukup menggunakan uang elektronik, kartu ATM atau lainnya. Kemudian
diberbagai sektor pola konsumsi masyarakakat hari ini lebih ke nontunai
dan online disegala aspek ekonomi, dari jalan tol, gaji bulanan, bayar
listrik, jasa ojek, pesan makan, pesan tiket dan hotel, beli perabotan
rumah tangga, buku dan lain sebagainya. Hari ini masyarakat
dimudahkan dengan hanya membuka aplikasi kemudian memencet
tombol-tombol dan akhirnya transaksi berhasil.
Dalam fiqh muamalah semestinya shighat merupakan hal yang
menjadi rukun jual beli yang harus dipenuhi. Namun secara substantif,
shighat itu adalah untuk menunjukkan adanya ridha (kerelaan) dari
kedua belah pihak sebagaimana yang difirmankan Allah Swt yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu (Q.S.AN-Nisa’: 29). Nabi
Muhammad Saw juga bersabda “Sesungguhnya jual-beli itu haruslah
dengan saling rela/ridha”(HR. Ibn Majah)”.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa setiap transaksi
jual beli harus dilakukan dengan kerelaan oleh kedua belah pihak. Pada
mulanya, shighat haruslah berupa ucapan (saya jual) dari penjual dan
ucapan pembeli (saya beli). Namun kebiasaan kegiatan transaksi
ekonomi modern hari ini (‘urf) merubah segalanya menjadi lebih mudah.
Misal shighat menjual diwakili dengan label harga (online atau offline)
Al-Manhaj, Vol. 1, No. 2 Juli 2019: 155-176 174

pada produk yang diinginkan dan shighat membeli diwakili dengan


kesediaan memberi uang (tunai atau non tunai) ataupun dengan hanya
gerakan jari (pencet tombol “ok”) di Hp atau yang sejenisnya. Walaupun
tidak seperti shighat yang dijelaskan di literature klasik, namun karena
mengandung arti yang menunjukkan kerelaan dari kedua belah pihak
maka dapat disimpulkan bahwa hukum transaksi modern tersebut boleh
berdasarkan ‘urf.

KESIMPULAN
‘Urf merupakan suatu hal yang dikenal dan sudah menjadi
kebiasaan masyarkat, baik berupa ucapan ataupun perbuatan. ‘Urf
terbagi menjadi dua, yaitu ‘urf shahih dan ’urf fasid. ‘Urf shahih
merupakan kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam, sedangkan ‘urf fasid adalah kebiasaan masyarakat yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya ‘urf shahih yang bisa dijadikan
sebagai landasan sumber hukum Islam. Jadi dapat disimpulkan ‘urf dapat
dijadikan landasan hukum untuk melakukan transaksi ekonomi. Karena
perkembangan industri yang semakin maju akan berdampak pada
perkembangan transaksi dalam ekonomi yang semakin komplek
sehingga banyak kegiatan transaksi yang membutuhkan ijtihad untuk
mencari solusinya dari permasalan yang mungkin muncul.
Contoh penerapan ‘urf dalam transaksi ekonomi Islam haru ini
adalah seperti dalam jual beli yang dilakukan masyarkat tanpa
mengucapkan shighat ijab qabul (saya jual-saya beli). Di supermarket
atau pusat perbelanjaan modern pembeli tinggal mengambil barang yang
diinginkan sendiri kemudian langsung membayar dikasir. Apalagi uang
yang digunakan sebagai alat pembayaran transaksi juga sudah nontunai.
Dan masih banyak lagi kegiatan trasaksi ekonomi modern saat ini yang
berbasis elektronik dan internet. Walaupun tidak seperti shighat yang
dijelaskan di literature klasik, namun karena mengandung arti yang
Fitra Rizal, Penerapan ‘Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum 175

menunjukkan kerelaan dari kedua belah pihak maka dapat disimpulkan


bahwa hukum transaksi modern tersebut boleh berdasarkan ‘urf.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ahmad Sufyan Che. “Aplikasi Doktrin al-’Urf dalam Istrumen
Pasaran Kewangan Islam di Malaysia”, Universitas Malaya Kuala
Lumpur, (2002).
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan
Fleksibilitinya. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Al-Hasyimy, Muhammad Ma’sum Zainy. Pengantar Memahami Nadhom
Al-Faroidul Bahiyyah. Jombang: Darul Hikmah Jombang, 2010.
Al-Hasyimy, Muhammad ma’sum Zainy. Sistematika Teori Hukum Islam
(Qowa’id Fiqhiyyah). Jombang: Darul Hikmah Jombang dan
Maktabah Al-Syarifah Al-Khodijah, 2008.
Andiko, Toha. Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah Panduan Praktis dalam Memproses
Problematika Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Teras,
2011.
An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Ekonomi Islam, terj. Muhadi Zainuddin.
Yogyakarta: UII Pres, 2000.
Djalil, Basiq. Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010
Hakim, Abdul. “Kearifan Lokal dalam Ekonomi Islam (Studi Atas Aplikasi
al-Urf Sebagai Dasar Adopsi)”, Jurnal Akademika, Volume 8,
Nomor 1, (Juni 2014).
Nasution, Lahmuddin. Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Ramli, Mohd Anuar. “Instrumen ‘Urf dan Adat Melayu Sebagai Asas
Penetapan Hukum Semasa di Malaysia”. Jurnal Pengajian
Melayu, Jilid 17,( 2006).
Rivai, Veithzal dan Arifin, Arviyan. Islamic Banking. Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2010.
Rivai, Veitzal. “Keistimewaan Ekonomi Islam dalam Mempercepat
Pertumbuhan Ekonomi Umat,” Journal Analytica Islamica vol 1
no 2, (2012).
Rosyadi, Imron. “Kedudukan al-‘Adah wa al-’urf dalam Bangunan Hukum
Islam”. Jurnal Suhuf Vol. Xvii, No. 01, 2005.
Saleh, Abdul Mun’im. Hubungan kerja Usul al-Fiqh dan al-Qawaid
alFiqhiyah Sebagai Metode Hukum Islam. Yogyakarta: Nadi
Pustaka, 2012.
Syafe’i, Racmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Al-Manhaj, Vol. 1, No. 2 Juli 2019: 155-176 176

Syihab, Umar. Hukum Islam dan Trasformasi Pemikiran. Semarang: Dina


Utama Semarang (Toha Putra Group), 1996.
Zionis, Rijal Mumazziq.”Posisi al-’Urf dalam Struktur Bangunan Hukum
Islam”. Jurnal Falasifa, Vol. 2 No. 2, (2011).

You might also like