You are on page 1of 14

ANALISIS YURIDIS PENYITAAN ASET BADAN USAHA MILIK NEGARA DALAM

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI


Ilham Yusron, Jeffarel Hidayat, Karim Resnangmadia Mahks

Ilham Yusron
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Jl. Veteran No.10-11, Ketawanggede, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145
Email: ilhamyusron55@gmail.com
Jeffarel Hidayat
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Jl. Veteran No.10-11, Ketawanggede, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145
Email: jeffahidayat4@gmail.com
Karim Resnangmadita Mahks
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Jl. Veteran No.10-11, Ketawanggede, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145
Email: karimmahks@gmail.com

Abstract

This research aims to analyze the confiscation of assets of State-Owned Enterprises (BUMN) in cases of
criminal acts of corruption, where criminal liability related to criminal acts of corruption committed by
BUMN can be borne by BUMN, if based on Article 4 Paragraph (1) of the Law. Law Number 19 of 2003
concerning State-Owned Enterprises, because BUMN has separate state assets. However, Article 2 of
Law Number 17 of 2003 concerning State Finances, concludes that state companies are the scope of
state finances, where there is no transfer of state rights to BUMN when wealth separation or capital
participation is carried out. So BUMN assets include state property. So based on Constitutional Court
Decision Number 48/PUU-XI/2013, because it regulates state finances, Law Number 17 of 2003
concerning State Finances is used. Then if it is linked to Article 50 of Law Number 1 of 2004 concerning
the State Treasury which states that state-owned assets cannot be confiscated by anyone. So based on
this, the confiscation of BUMN assets is an action that violates the provisions of laws and regulations
because confiscating BUMN assets is the same as confiscating state-owned assets.

Keywords : State-Owned Enterprises, confiscation, criminal acts of corruption

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis terkait penyitaan aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dalam perkara tindak pidana korupsi, dimana pertanggungjawaban pidana terkait dengan kejahatan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh BUMN dapat dibebankan kepada BUMN, jika didasarkan pada
Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, karena
BUMN memiliki kekayaan negara yang terpisah. Namun, dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, menyimpulkan bahwa perusahaan negara merupakan cakupan
dari keuangan negara, dimana tidak terjadi peralihan hak negara kepada BUMN saat dilakukan
pemisahaan kekayaan atau penyertaan modal. Maka aset BUMN termasuk barang milik negara. Maka
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 karena mengatur keuangan negara
maka digunakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Kemudian apabila
dikaitkan dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang
menyebutkan bahwa aset milik negara tidak boleh disita oleh siapapun. Maka berdasarkan hal tersebut,
penyitaan terhadap aset BUMN merupakan tindakan yang melanggar ketentuan peraturan perundang –
undangan karena menyita aset BUMN sama dengan menyita aset milik negara.

Kata Kunci : Badan Usaha Milik Negara, Penyitaan, Tindak Pidana Korupsi
Pendahuluan
Kesejahteraan merupakan salah satu amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Maka hal tersebut menegaskan begitu sentralnya fungsi
pemerintah dalam bertanggung jawab terkait dengan kesejahteraan masyarakat, maka pemerintah
selayaknya harus memajukan kesejahteraan umum. Bahwa kesejahteraan sosial merupakan kondisi
dimana terpenuhinya kebutuhan, spiritual, material, dan sosial masyarakat Indonesia agar dapat
mengembangkan diri dan hidup layak untuk melaksanakan fungsi sosial, hal ini ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Kesejahteraan tidak hanya
menjadi tujuan dari orang-perorangan namun menjadi cita-cita bersama dalam bingkai negara. Maka
muncul kesejahteraan individu dan kesejahteraan masyarakat, kesejahteraan individu dirasakan oleh
individu, sedangkan kesejahteraan masyarakat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam satu
kesatuan.
Dengan adanya aturan mengenai kesejahteraan masyarakat, termanifestasikan dengan
terbentuknya Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kemudian definisi BUMN ditentukan dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Undang-Undang
BUMN), yaitu: “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Kemudian dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
BUMN juga diatur mengenai jenis BUMN, salah satunya adalah BUMN Persero yaitu Perusahaan
Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang
modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara
Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Kemudian BUMN juga dapat menawarkan modalnya ke pasar saham sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang BUMN yaitu Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut
Persero Terbuka, adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria
tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal. Maka dalam pelaksanaanya BUMN harus memperhatikan tanggungjawab sosial
kepada masyarakat mengingat modal BUMN berasal dari negara. BUMN sebagai korporasi/perusahaan
yang dimiliki negara harus turut membantu korporasi kecil, mengingat, korporasi kecil adalah salah satu
tumpuan terbesar untuk menopang ekonomi kerakyatan dengan tujuan supaya taraf hidup masyarakat
Indonesia meningkat. Hal tersebut dilakukan karena adanya modal dari negara, maka BUMN sebagai
perusahaan harus turut memajukan masyarakat dengan membangun usaha-usaha rakyat dengan
menjadikan usaha-usaha rakyat sebagai mitra BUMN.
Dalam melakukan tanggungjawab pidana, BUMN dapat dikenai pembayaran denda, dan
perampasan aset jika BUMN tidak membayar denda dan/atau uang pengganti dan/atau untuk
pengembalian ganti rugi keuangan negara. selain itu, BUMN juga dapat dilakukan penyitaan aset ketika
penyidikan jika terdapat aset hasil dari kejahatan salah satunya yang bersumber dari kejahatan korupsi.
Penyitaan aset sesuai yang tercantum dalam KUHAP, PERMA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi, dan PERMA Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana
Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 4 Undang-
Undang BUMN yang berbunyi “Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan.” Maka BUMN dianggap memiliki kekayaan sendiri sehingga dapat dilakukan penyitaan oleh
penyidik. Dari uraian Pasal tersebut dapat dianggap bahwa kekayaan BUMN terpisah dari negara
sehingga dalam kekayaan BUMN tidak dianggap sebagai kekayaan negara. Hal tersebut juga ditegaskan
dalam Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/YUD/20/VIII/2006 tentang Piutang BUMN yang selaras
dengan uraian Undang-Undang BUMN yang menyatakan bahwa BUMN memiliki kekayaan yang terpisah
dari kekayaan negara. Selain itu berdasarkan Undang-Undang Negara Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (Undang-Undang Perseroan Terbatas), pemegang saham hanya terbatas
bertanggung jawab sebesar modal yang disetor kepada Perseroan Terbatas.
Walaupun dalam BUMN terdapat kekayaan negara yang terpisah sebagaimana yang telah
disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Undang-
Undang Keuangan Negara) keuangan negara meliputi kewajiban negara untuk membayar tagihan pihak
ketiga dan pelaksanaan layanan umum sebagai tugas pemerintahan negara, kemudian penerimaan
negara/daerah, kemudian pengeluaran negara/daerah, kemudian kewajiban pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan kepentingan umum dan/atau tugas pemerintahan namun kekayaan tersebut dimiliki
oleh pihak lain, kemudian pengedaran dan pengeluaran uang, memungut pajak sebagai hak negara,
serta melakukan pinjaman, kemudian keuntungan pihak lain yang didapat dari pengelolaan fasilitas
pemberian pemerintah, kemudian piutang, uang, barang, surat berharga, kekayaan yang terpisah pada
BUMN, barang, serta segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang sebagai kekayaan
negara/kekayaan daerah yang dikelola pihak lain atau dikelola sendiri. Namun, hubungan dengan
perusahaan negara akan menimbulkan interpretasi yang berbeda.
Perbedaan pemahaman tersebut terfokus pada penyertaan modal negara pada perusahaan
negara, dengan atau tanpa barang milik negara. Ketika aset pemerintah dipisahkan dari penyertaan
modal di perusahaan negara, mereka dianggap sebagai keuangan negara. Oleh karena itu, jika kerugian
BUMN merupakan risiko bisnis, negara yang menanggung kerugian tersebut. Jika kekayaan negara yang
dipecah menjadi modal BUMN yang diperlakukan sebagai aset perusahaan secara privat, dalam hal
perusahaan negara mengalami kerugian, maka negara tidak perlu bertanggung jawab atas kerugian
perusahaan milik negara. Selain itu, barang milik negara juga tidak dapat disita oleh pihak manapun
termasuk penyidik atau jaksa yang menangani perkara tindak pidana korporasi oleh Badan Usaha Milik
Negara sebagaimana dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
atau selanjutnya disebut Undang-Undang Perbendaharaan Negara yaitu benda tidak bergerak atau hak
lain yang dimiliki negara/daerah, uang yang harus diberikan kepada negara oleh pihak ketiga, benda
bergerak pada pihak ketiga/instansi pemerintah yang dimiliki negara, dan surat berharga atau uang pada
pihak ketiga atau pemerintah yang dimiliki negara. Penempatan aset pada pihak ketiga sebagai investasi
pada badan usaha, maka aset pemerintah merupakan aset tersendiri. Barang milik negara yang terpisah
pada hakikatnya merupakan bagian dari keuangan negara.

Pembahasan
A. Pelaksanaan Penyitaan Aset BUMN ditinjau dari ketentuan Peraturan Perundang-Undangan
BUMN sebagai korporasi dapat memiliki harta kekayaan sendiri sebagaimana manusia yang
dapat digugat atau menggugat secara perdata, oleh sebab itu maka korporasi disebut sebagai legal
personality. Dalam perkembangannya, terdapat pemikiran untuk mempertanggungjawabkan korporasi
secara pidana, walaupun pidana yang akan dikenakan berbentuk lain daripada pidana kepada orang.
Pidana yang akan dikenakan pada korporasi adalah pidana denda, atau tindakan lain seperti tindakan
administratif atau tata tertib.1 Jika berdasarkan legal personality, maka badan hukum secara mandiri
dapat menjalankan fungsinya sebagai badan hukum karena berbentuk Perseroan Terbatas. Oleh sebab
itu merupakan Badan Usaha Perdata. Maka, BUMN dapat melaksanakan perbuatan hukum perdata.
Namun, jika BUMN sebagai perusahaan menjadi pembuat kejahatan korporasi, perlu dicermati lebih
lanjut karena BUMN memiliki peran ganda mengejar keuntungan dan memberikan pelayanan publik.2
Namun hal ini berbeda dengan aturan yang menempatkan BUMN Sebagai badan hukum yang
dapat dikenakan tindak pidana, yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi: "Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk
korporasi." Maka pengertian “setiap orang” berlaku juga terhadap korporasi. Meraih keuntungan dengan
melakukan ketidakjujuran, suap, dan perilaku buruk lainnya merupakan arti dari kejahatan korupsi.3
Makna dari “setiap orang” dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berlaku juga
untuk korporasi/perusahaan. Dalam pengaturan terkait tindak pidana korupsi, korporasi disebut sebagai
perkumpulan orang yang berbadan hukum atau bukan yang terorganisir dengan baik.4
Oleh sebab itu, menurut makna korporasi, perusahaan negara yang termasuk badan hukum
dapat dapat melakukan kejahatan korupsi berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu: “Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas
nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi

1
Edi Yunara, Korupsi & Pertanggungjawaban Korporasi, (Bandung : Citra Aditya Bakti , 2012),
hlm. 50.
2
Detania Sukarja, dkk., “Telaah Kritis Status Badan Hukum, Dan Konsep Dasar Badan Usaha Milik Desa”, Arena
Hukum, Volume 13, Nomor 3, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2020, hlm. 573.
3
Ade Mahmud, Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi Pendekatan Hukum Progresif, (Jakarta : Sinar Grafika,
2020), hlm. 2.
4
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
dan/atau pengurusnya.” Kewajiban perseroan dilakukan oleh pengurus perusahaan, bilamana sanksi
kejahatan korupsi diberikan kepada perusahaan maka terbatas pada pidana denda, karena korporasi
hanya memiliki hak sedangkan kewajibannya dilakukan oleh pengurus, sebagaimana diatur dalam Pasal
20 ayat (7) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut: “Pidana pokok yang
dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah
1/3 (satu pertiga)”
Jika membahas mengenai kejahatan korporasi, maka tidak terlepas dari keuntungan yang
didapat dengan melawan hukum. Terdapat banyak aturan yang melarang tindak pidana korporasi dalam
hukum positif, salah satunya adalah Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang melarang seluruh pihak untuk menguntungkan dengan cara melawan hukum terhadap perusahaan
atau orang yang berakibat negara menjadi rugi. Maka akan melanggar Pasal 2 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jika terdapat perusahaan menghimpun untung dan menyebabkan
kerugian kepada negara. Karena, frasa “setiap orang” juga bermakna korporasi.5 Namun, hal ini tidak
serta merta korporasi dapat dianggap sebagai pembuat pidana, karena Pasal 20 ayat (2) Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat beberapa hal yang menyebabkan korporasi
menjadi pembuat pidana, yaitu: Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan
lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama sama.
Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana di Indonesia diatur dalam berbagai
Peraturan Perundang-Undangan sebagai manifestasi dari pertanggungjawaban perusahaan. Namun
dalam kenyataannya, tata cara penanganan korporasi sebagai subjek tindak pidana masih belum jelas,
maka pada masa lampau korporasi sangat jarang dan terbatas untuk menjadi subjek kejahatan. setelah
adanya PERMA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi,
terdapat salah satu cara selain penghukuman pelaku dalam kejahatan korupsi oleh korporasi yaitu
pemulihan aset negara atau asset recovery, maka penanganan kasus korupsi fokus pada pengembalian
kerugian keuangan negara disamping memberi sanksi untuk subjek tindak pidana korupsi.6
Terkait korporasi menjadi subjek tindak pidana korupsi hanya mengenal pidana denda atau tidak
dapat dijatuhi pidana penjara sesuai dengan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Menurut Pasal 28 ayat (1) PERMA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi, setelah pidana korporasi diputus maka “Dalam hal pidana
denda yang dijatuhkan kepada Korporasi, Korporasi diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan sejak putusan
berkekuatan hukum tetap untuk membayar denda tersebut.” Jika korporasi tidak sanggup membayar
pidana denda, maka diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi yang berbunyi: “Jika terpidana Korporasi
tidak membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka harta benda Korporasi
dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda.”
Terkait sistem penegakan hukum menurut Purwaning Yanuar, negara sebagai korban dapat
merampas, mencabut, dan menghilangkan aset negara yang dikuasai oleh orang lain yang diperoleh
dengan tindak pidana korupsi. Pengembalian aset bukan hanya proses, melainkan sebuah upaya hukum
melalui serangkaian mekanisme hukum. Pengembalian aset merupakan upaya penegakan hukum oleh
negara yang menjadi korban dari tindak pidana yang merugikan keuangan negara dengan cara
merampas aset yang telah dikuasai oleh pelaku tindak pidana atau perdata agar kedepannya aset
tersebut tidak menjadi sarana untuk melakukan tindak pidana lain.7 Sejalan dengan apa yang
diungkapkan oleh Purwaning Yanuar mengenai pengembalian kerugian keuangan negara, dalam hal
pertanggungjawaban pidana oleh orang perorangan atau korporasi yang menjadi subjek tindak pidana
korupsi selain pidana denda, korporasi juga dapat dijatuhi pidana uang pengganti jika terbukti merugikan

5
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6
Andi Sabputera, “Analisis Eksekusi Pidana Uang Pengganti Pada Korporasi BUMN Yang Tidak Dijadikan Sebagai
Terdakwa (Studi Kasus Mahkamah Agung No. 1964 K/PID.SUS/2015)”, jurnal hukum adigama, Volume 2, Nomor 1,
Fakultas Hukum UniversitasTarumanagara, 2019, hlm. 13.
7
Ade Mahmud, Op. Cit., hlm 84
keuangan negara dan tidak dapat diganti dengan pidana penjara.8 Jika setelah satu bulan korporasi tidak
membayar uang pengganti maka harta benda korporasi disita oleh jaksa.9
Oleh sebab itu, dalam hal BUMN yang terlibat dalam tindak pidana korupsi akan dikenai sanksi
pembayaran denda atau uang pengganti kepada negara sebagai bentuk ganti kerugian, sama dengan
BUMN menggunakan uang negara untuk membayar kepada negara, sebagaimana ungkapan Laode M.
Syarif di Hukumonline.com yang berjudul “Dilema KPK Menjerat BUMN Sebagai Korporasi Pelaku
Korupsi”, yang menyatakan bahwa karena kerugian negara.10 Di dalam BUMN terdapat uang negara
yang mengakibatkan pemidanaan BUMN lebih sulit daripada perusahaan swasta, karena jika BUMN
membayar kerugian keuangan negara maka akan sama saja negara membayar kerugian negara.

B. Status Hukum Aset BUMN


Pada dasarnya, jika perusahaan negara melakukan kejahatan, niat jahat tersebut terletak pada
pengurus perusahaan negara yang dapat dianggap sebagai tanggung jawab orang perorangan atau
pribadi. Karena sulit untuk menentukan BUMN sebagai pembuat tindak pidana korupsi, terutama jika
pengurus perusahaan yang melakukan korupsi yang menyebabkan berkurangnya keuangan negara yang
secara tidak sengaja menguntungkan atau bermanfaat terhadap keuangan BUMN karena BUMN sebagai
perusahaan yang mengejar keuntungan juga merupakan terusan dari tangan negara. Meskipun terdapat
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Pidana oleh
Korporasi, namun dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung tersebut tidak mengurangi kesulitan
dalam penuntutan perkara pidana bagi perusahaan negara. Sulit untuk menghukum BUMN karena tidak
ada hukum acara yang mengatur pemidanaan terhadap BUMN. Penanganan perkara pidana terhadap
BUMN harus dilakukan menurut prinsip hukum yang jelas. Karena jika ada BUMN yang mempunyai
dividen besar, kemudian terjadi hal yang merugikan BUMN, maka saham BUMN akan turun dan
merugikan BUMN11. Oleh karena itu, perusahaan negara tidak akan dikenakan sanksi karena berfokus
pada prinsip kemanfaatan hukum
Penyitaan aset BUMN yang melakukan kejahatan korupsi dapat terkendala karena adanya aset
BUMN yang termasuk ke dalam keuangan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf g Undang-
Undang Keuangan Negara mengatur bahwa keuangan Negara meliputi: kekayaan negara/kekayaan
daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak
hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/
perusahaan daerah. Maka BUMN termasuk keuangan negara karena negara memasukkan modal ke
dalam BUMN, alhasil ketika BUMN menghimpun keuntungan, maka keuntungan tersebut diperoleh atas
beban dari sarana yang diberikan oleh negara, sebagaimana dalam Pasal 2 huruf i Undang-Undang
Keuangan Negara, keuangan negara yaitu: “kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan
fasilitas yang diberikan pemerintah.” Hal ini tentunya berbeda dengan penjelasan Pasal 4 Undang-
Undang BUMN yang menyatakan bahwa Pengelolaan modal BUMN tidak berdasarkan Sistem APBN,
karena berasal dari kekayaan negara yang terpisah.
Maka berdasarkan pertentangan hukum antara Undang-Undang BUMN dengan Undang-Undang
Keuangan Negara, Menteri Keuangan meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) untuk menerbitkan
Fatwa MA kemudian dikeluarkan Fatwa MA No. WKMA/YUD/20/VIII/2006 tentang Piutang BUMN. Fatwa
tersebut menegaskan kedudukan BUMN dalam Undang Undang BUMN, dengan menyatakan bahwa
utang BUMN bukan merupakan utang negara. Namun, fatwa MA tersebut tidak mengikat secara hukum
dan tidak ada sanksi jika menyimpang dari fatwa MA.12
Kemudian pada tahun 2009, salah satu penandatangan Fatwa MA, yaitu Hakim Agung Mariana
Sutedi, membatalkan putusan hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang telah memutuskan pailit PT.
8
Pasal 7 ayat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam
Tindak Pidana Korupsi.
9
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti
Dalam Tindak Pidana Korupsi.
10
Anis Rifai, “Rekonstruksi Model Hukum Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”, Disertasi Ilmu Hukum,Program Doktor Ilmu Hukum, Surakarta,
Fakultas Hukum (Solo : Universitas Negeri Sebelas Maret), 2019, hlm. 450.
11

12
Rahayu Hartini, BUMN Persero Konsep Keuangan Negara Dan Kepailitan Di Indonesia, (Malang : Setara Press,
2017), hlm.124.
DI dengan alasan seluruh modal Badan Usaha Milik Negara adalah milik Negara. 13 Hal ini menegaskan
bahwa masih ada ketidakpastian dalam konsep keuangan negara, bahkan Fatwa Mahkamah Agung yang
seharusnya dapat mengurangi gejolak tentang aset negara dalam BUMN dalam kenyataannya juga
masih belum cukup untuk mengatasi pertentangan norma antara Undang-Undang BUMN dengan
Undang-undang Keuangan Negara karena salah satu penandatangan fatwa Mahkamah Agung tersebut
menyimpang dari Fatwa yang ditandatangani dirinya sendiri. Tujuan Fatwa MA bukan untuk menjelaskan
kedudukan kekayaan BUMN pada saat disita apabila dikenakan proses pidana, tetapi untuk menjelaskan
kekayaan BUMN dalam kaitannya dengan urusan perdata. Maka, Fatwa ini tidak ada kaitannya dengan
kasus BUMN yang melanggar hukum pidana, melainkan fatwa tersebut untuk mengatasi permasalahan
BUMN dalam Hukum Perdata.14
Dalam Ketentuan Pasal 50 huruf d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara mengatur tentang larangan untuk melakukan sita atas aset milik negara yang
berbunyi: 15 Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap: d. barang tidak bergerak dan hak
kebendaan lainnya milik negara/daerah;
Arti dalam Pasal tersebut termasuk juga melarang penyidik/penuntut umum dalam melakukan
penyitaan. Karena barang milik negara merupakan barang yang termasuk diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia atau disingkat sebagai APBN, termasuk BUMN
yang didirikan dengan modal yang disediakan negara dan modal yang diperoleh secara sah, 16 mengingat
modal BUMN berasal dari aset negara yang dipisahkan yang bersumber dari APBN, kapitalisasi
cadangan, dan sumber lainnya.17
Maka Pasal 50 tersebut melarang penyidik atau penuntut umum melakukan penyitaan harta
kekayaan BUMN, karena dalam pertanggungjawaban harta kekayaan BUMN, Undang-Undang BUMN
tidak mengatur sanksi pidana melainkan hanya mengatur orang yang bertanggung jawab terhadap
perusahaan. Karena “UU BUMN hanya menentukan siapa-siapa yang bertanggung jawab dalam
kepengurusan korporasi tersebut, tidak satupun mengatur mengenai ketentuan mengenai sanksi pidana.
Sanksi pidana tidak dapat dibebankan terhadap BUMN sebagai korporasi, melainkan hanya dapat
dikenakannya kepada direksi ataupun pengurusnya di dalam suatu BUMN.”18
Terkait BUMN, terdapat beberapa ketentuan yang harus ditaati, maka dalam membahas BUMN
harus diperhatikan terkait modal BUMN dalam Pasal 4 Undang-Undang BUMN yang mengatur bahwa:
“Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.” Kemudian sumber
pendanaan BUMN dari negara salah satunya didapat dari APBN, sebagaimana rumusan Pasal 4 ayat (2)
huruf a Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara yang berbunyi: Penyertaan modal negara dalam
rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari: Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. Kemudian dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara yaitu Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN
untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip
perusahaan yang sehat.
Apabila terjadi pertentangan peraturan perundang-undangan antara Pasal 4 Undang-Undang
BUMN dengan Pasal 2 Undang-Undang Keuangan Negara, maka dapat diselesaikan dengan asas
hukum umum untuk menyelesaikan pertentangan hukum. Oleh karena itu, dalam hal terjadi pertentangan
hukum mengenai Pasal 2 g dan i undang-undang keuangan negara, dapat digunakan asas Lex specialis
derogat legi generalis.19 Berdasarkan asas Lex Specialis derogat legi generalis, Pasal 4 Undang-Undang

13
Ibid.
14
Ahmad Anugerah Kharisma Putra, “Pemidanaan Badan Usaha Milik Negara Yang Berbentuk Perseroan Terbatas
Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Skripsi Sarjana Ilmu Hukum, Program Sarjana Ilmu Hukum, Fakultas Hukum (Malang
: ,:Universitas Brawijaya), 2018.
15
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
16
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
17
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
18
Fakhri Arindra Zaki, “Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Milik Negara (Bumn) Sebagai Pelaku Tindak
Pidana Pencucian Uang Yang Berasal Dari Korupsi”, Juris-Diction, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 1,
Nomor 2, November 2018, hlm. 526.
19
Maruarar Siahaan, dalam Putusan Mahkamah Nomor 48/PUU-XI/2013, hlm. 155
BUMN lebih umum daripada Pasal 2 huruf g dan i Undang Keuangan Negara karena telah diuji oleh
Mahkamah Konstitusi pada tahun 2013 yang menghasilkan putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 dan
Putusan MK Nomor 62/PUU-XI/2013 yang pada intinya menolak permohonan pemohon.
Karena jika pada Pasal 2 huruf g dan i Undang-Undang Keuangan Negara dianggap
menimbulkan ketidakpastian hukum, maka ketidakpastian hukum justru timbul jika Pasal 2 g dan i
Undang-Undang Keuangan Negara diputus Melanggar UUD NRI 1945 atau tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Ketidakpastian keuangan negara akan timbul jika Pasal 2 huruf g dan i Undang-
Undang Keuangan Negara dianggap inkonstitusional, baik yang digunakan oleh badan usaha milik
negara maupun pihak lain. Kemudian jika Pasal 2 huruf g dan i Undang-Undang Keuangan Negara
dinyatakan inkonstitusional, maka akan terjadi celah hukum karena tidak ada ketentuan lain yang secara
tegas mengatur tentang kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan kekayaan negara. Oleh karena itu,
Pasal 2 huruf g dan i Undang-Undang Keuangan Negara memberikan kepastian hukum atas kekayaan
negara yang digunakan oleh pihak-pihak seperti BUMN.20
Maka berdasarkan Putusan MK nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan MK Nomor
62/PUU-XI/2013, keberadaan Pasal 2 g dan i Undang-Undang Keuangan Negara sangat dibutuhkan
karena mengatur keuangan negara. Sebagaimana asas Lex specialis derogat legi generalis sebagai asas
penyelesaian konflik norma, maka Pasal 2 g dan i Undang-Undang Keuangan Negara bersifat khusus,
karena jika Pasal 2 g dan i Undang Undang Keuangan Negara tersebut tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat, maka akan terjadi kekosongan hukum karena tidak ada aturan yang jelas yang mengatur
mengenai keuangan negara dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dari fasilitas negara. Maka
berdasarkan asas Lex Specialis derogat legi generalis terkait dengan keuangan negara, Pasal 2 g dan i
Undang-Undang Keuangan Negara lebih khusus dan lebih diutamakan ketimbang Pasal 4 Undang-
Undang BUMN. Oleh karena itu, kedua Putusan Mahkamah Konstitusi mengukuhkan bahwa keuangan
negara mencakup BUMN yang ditegaskan dalam Pasal 2 huruf g dan i Undang-Undang Keuangan
Negara tetap berlaku.
Maka, menurut Putusan MK, aset yang dikuasai BUMN yang dimasukkan oleh negara tidak
terjadi peralihan hak.21 Jika berdasarkan Putusan MK Nomor 62/PUU-XI/2013, maka dalam pemisahan
kekayaan tidak terjadi peralihan hak dari negara kepada BUMN. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah tersebut menyatakan aset
BUMN semula adalah barang milik negara kemudian menjadi barang milik BUMN. Namun jika melihat
dari Putusan Mahkamah Konstitusi, maka aset BUMN tidak terjadi peralihan kepemilikan namun hanya
terjadi pemisahan kekayaan, sama halnya dengan definisi aset negara yang terdapat pada Pasal 1 angka
10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yaitu: “Barang Milik Negara
adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya
yang sah.”22 Dari rumusan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Perbendaharaan Negara tersebut dapat
diketahui bahwa Barang Milik Negara tidak hanya aset yang dikuasai oleh Pemerintah Pusat atau
Daerah, tetapi lebih luas lagi, kekayaan negara ini mencakup semua kekayaan yang dibeli atau
didapatkan menggunakan APBN. Dalam hal ini modal BUMN bersumber dari aset yang telah dipisahkan
dari APBN.23
Dalam hubungan antara kekayaan yang dipisahkan dari APBN, modal perusahaan negara yang
disertakan langsung oleh pemerintah adalah bersumber modal dari APBN. Dengan demikian,
pendapatan dari BUMN yang dibayarkan kepada pemerintah adalah milik pemerintah. Oleh karena itu,
maksud dari kekayaan negara yang dipisahkan adalah yang bukan penerimaan dan pengeluaran APBN
atau hanya dipisahkan dari pencatatan penerimaan dan pengeluaran APBN. Dengan demikian,
pemisahan aset BUMN dari APBN adalah pemisahan catatan yang diselenggarakan dalam APBN, bukan
dari aset negara. Dengan demikian, kekayaan yang dipisahkan dari BUMN adalah kekayaan negara,
keuangan negara, dan barang milik negara.24

20
Pendapat Mahkamah Konstitusi pada Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013, hlm. 230.
21
Isis Ikhwansyah, dkk., Hukum Perusahaan, (Bandung : Refika Aditama, 2019), hlm. 27.
22
Dian Puji N. Simatupang, dkk., “Laporan Akhir Tim Analisa Dan Evaluasi Peraturan Perundang Undangan Tentang
Aset Negara UU No. 51 Prp Tahun 1960”, Kemenkumham, 2010, hlm. 13.
23
David Putra Timbo dan Peter Mahmud Marzuki, “Status Uang APBN Yang Dipisahkan Dan Dijadikan Penyertaan
Modal Pada BUMN Persero”, Jurnal Law Reform, Volume 8, Nomor 2, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
2013, hlm. 6.
Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 Tentang Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2023, diatur bahwa pendapatan BUMN disebut sebagai “pendapatan
dari kekayaan negara yang dipisahkan”, maka Badan Usaha Milik Negara dapat disebut sebagai
“kekayaan negara yang dipisahkan” karena penyertaan modal negara dan menyebutkan bahwa
kekayaan negara yang dipisahkan “dikelola” melalui BUMN. Hal ini membuktikan bahwa keuntungan
Badan Usaha Milik Negara adalah keuntungan yang didapatkan dari hasil penyertaan modal yang
berasal dari APBN untuk mendirikan BUMN, meskipun prosedur meraih untungnya bertentangan dengan
Undang-Undang. Karena jika benda milik BUMN merupakan milik BUMN secara mutlak, maka jika
direksi, komisaris atau pegawainya merugikan BUMN secara melawan hukum tidak dianggap sebagai
korupsi, namun nyatanya tidak seperti itu. Hal ini membuktikan bahwa kepemilikan modal pemerintah
dalam BUMN menyebabkan aset BUMN menjadi barang milik negara, maka aturan peralihan kepemilikan
dari negara menjadi aset BUMN secara mutlak belum optimal.
Maka Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perbendaharaan Negara yang mengatur “Barang Milik
Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan
lainnya yang sah” sangat relevan jika dikaitkan pada saat ini. Dapat dikatakan, jika berdasarkan Pasal 1
angka 10 Undang-undang Perbendaharaan Negara, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
48/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62 /PUU-XI/2013, aset BUMN tidak dapat
disita sebagaimana tertuang dalam Pasal 50 huruf c dan d Undang-Undang Perbendaharaan Negara
karena termasuk barang milik negara. Maka Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berwenang memeriksa
keuangan negara dalam BUMN sebagai bentuk tanggung jawabnya. Dalam dua Putusan Mahkamah
Konstitusi menegaskan ruang lingkup keuangan negara dalam Pasal 2 Undang-Undang Keuangan
Negara, yaitu menetapkan bahwa kekayaan negara itu dipisahkan dari APBN kepada BUMN adalah
keuangan negara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 62/PUU XI/2013 menjadi dasar untuk mengakhiri perbedaan dalam menjelaskan
kekayaan negara terpisah dalam BUMN yang termasuk keuangan negara atau bukan menjadi bagian
dari keuangan negara.25
Modal BUMN yang diberikan pemerintah berasal dari APBN merupakan Konstitusi aset negara.
Aset-aset ini yang telah disertakan pada BUMN adalah bentuk investasi pemerintah jangka panjang untuk
memperoleh manfaat ekonomi dan manfaat lainnya. Pemerintah dalam melakukan investasi dapat
berupa surat utang, saham, dan investasi langsung meliputi pemberian benda bergerak maupun tidak
bergerak. Maka terkait dengan pemaknaan kekayaan negara tidak hanya didasarkan pada asas Lex
superior derogat lex inferior, namun lebih dari itu, dalam pendapat mahkamah dalam putusan Mahkamah
Konstitusi juga menyatakan BUMN sebagai kekayaan milik negara yang terpisah tetap menjadi milik
negara.26 Aset BUMN tidak dapat disita oleh semua pihak, karena adanya modal negara yang dikelola
oleh BUMN sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Perbendaharaan Negara karena
termasuk barang milik negara. Maka semua kekayaan negara, termasuk modal BUMN yang
menghasilkan aset BUMN, tidak boleh disita oleh semua pihak. 27 Kemudian menurut ketentuan Pasal 50
huruf c dan d Undang-Undang Perbendaharaan Negara semakin jelas bahwa aset BUMN adalah barang
milik negara yang berada pada tangan pihak ketiga dan hak atas aset lainnya yang dimiliki oleh negara.

Kesimpulan
Penyitaan aset BUMN yang melakukan kejahatan korupsi dapat terkendala karena adanya aset
BUMN yang termasuk ke dalam keuangan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf g Undang-
Undang Keuangan Negara mengatur bahwa keuangan Negara meliputi: kekayaan negara/kekayaan
daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak
hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/
perusahaan daerah. Maka BUMN termasuk keuangan negara karena negara memasukkan modal ke
dalam BUMN, alhasil ketika BUMN menghimpun keuntungan, maka keuntungan tersebut diperoleh atas
beban dari sarana yang diberikan oleh negara, sebagaimana dalam Pasal 2 huruf i Undang-Undang
Keuangan Negara, keuangan negara yaitu: “kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan
fasilitas yang diberikan pemerintah.” Hal ini tentunya berbeda dengan penjelasan Pasal 4 Undang-
Undang BUMN yang menyatakan bahwa Pengelolaan modal BUMN tidak berdasarkan Sistem APBN,
karena berasal dari kekayaan negara yang terpisah. Dikarenakan terdapat pertentangan perundang-
undangan antara Pasal 4 Undang-Undang BUMN dengan Pasal 2 Undang-Undang Keuangan Negara,
maka berdasarkan putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan MK Nomor 62/PUU-XI/2013, dapat
digunakan asas Lex specialis derogat legi generalis, yakni Pasal 4 Undang-Undang BUMN lebih umum
daripada Pasal 2 huruf g dan i Undang Keuangan Negara dengan mengukuhkan bahwa keuangan
negara mencakup aset BUMN itu sendiri, maka dalam pemisahan kekayaan tidak terjadi peralihan hak
dari negara kepada BUMN.
Kedua putusan tersebut juga menjelaskan bahwa Aset BUMN tidak dapat disita oleh semua
pihak, karena adanya modal negara yang dikelola oleh BUMN sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50
Undang-Undang Perbendaharaan Negara karena termasuk barang milik negara. Maka semua kekayaan
negara, termasuk modal BUMN yang menghasilkan aset BUMN, tidak boleh disita oleh semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Ade Mahmud, Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta : Sinar
Grafika, 2020.
Edi Yunara, Korupsi & Pertanggungjawaban Korporasi, Bandung : Citra Aditya Bakti , 2012.
Isis Ikhwansyah, dkk., Hukum Perusahaan, Bandung : Refika Aditama, 2019.
Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Hukum Keuangan Negara Teori dan Praktik,
Jakarta : Rajawali Pers, 2014.
Rahayu Hartini, BUMN Persero Konsep Keuangan Negara Dan Kepailitan Di Indonesia, Malang : Setara
Press, 2017
Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2015.

Jurnal :
Andi Sabputera, “Analisis Eksekusi Pidana Uang Pengganti Pada Korporasi BUMN Yang Tidak Dijadikan
Sebagai Terdakwa (Studi Kasus Mahkamah Agung No. 1964 K/PID.SUS/2015)”, jurnal hukum
adigama, Volume 2, Nomor 1, Fakultas Hukum UniversitasTarumanagara, 2019, hlm. 13.
David Putra Timbo dan Peter Mahmud Marzuki, “Status Uang APBN Yang Dipisahkan Dan Dijadikan
Penyertaan Modal Pada BUMN Persero”, Jurnal Law Reform, Volume 8, Nomor 2, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 2013, hlm. 6.
David Putra Timbo dan Peter Mahmud Marzuki, “Status Uang APBN Yang Dipisahkan Dan Dijadikan
Penyertaan Modal Pada BUMN Persero”, Jurnal Law Reform, Volume 8, Nomor 2, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 2013, hlm. 6.
Detania Sukarja, dkk., “Telaah Kritis Status Badan Hukum, Dan Konsep Dasar Badan Usaha Milik Desa”,
Arena Hukum, Volume 13, Nomor 3, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2020, hlm. 573.
Fakhri Arindra Zaki, “Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Milik Negara (Bumn) Sebagai Pelaku
Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Berasal Dari Korupsi”, Juris-Diction, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Volume 1, Nomor 2, November 2018, hlm. 526.

Skripsi/Thesis/Disertasi :
Ahmad Anugerah Kharisma Putra, “Pemidanaan Badan Usaha Milik Negara Yang Berbentuk Perseroan
Terbatas Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Skripsi Ilmu Hukum Program Sarjana Ilmu Hukum, ,
Fakultas Hukum, (Malang :Universitas Brawijaya), 2018.
Anis Rifai, “Rekonstruksi Model Hukum Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”, Disertasi Ilmu Hukum,Program
Doktor Ilmu Hukum, Surakarta, Fakultas Hukum (Solo : Universitas Negeri Sebelas Maret), 2019.

Peraturan Perundang – Undangan :


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2023.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam
Tindak Pidana Korupsi

24
Keterangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, hlm. 201-
202.
25
Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Op.Cit hlm. 51-52.
26
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, hlm. 231.
27
Fatih Ghozali, Loc Cit.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang
Badan Pemeriksa Keuangan

You might also like