You are on page 1of 22

SUMBER DAYA LAUT TROPIS

ISU STUNTING DI DAERAH


PESISIR
Kelompok 10
A3
ISU STUNTING DI WILAYAH
PERBATASAN
Anak merupakan generasi penerus bagi keluarga. Tumbuh kembang anak tentu menjadi perhatian khusus bagi
keluarga (orang tua) guna anak tetap terpenuhi asupan gizinya. Tumbuh kembang adalah proses yang kontinu sejak dari
konsepsi sampai dewasa, yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan. Ini berarti bahwa tumbuh kembang sudah
terjadi sejak di dalam kandungan dan setelah kelahiran merupakan suatu masa dimana mulai saat itu tumbuh kembang
anak dapat dengan mudah diamati.

Menurut Soetjiningsih (2005), istilah tumbuh kembang mencakup dua peristiwa yang berbeda sifatnya. Namun,
peristiwa tersebut saling berkaitan dan sulit untuk dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.

Salah satu masalah kesehatan yang mengancam pada tumbuh dan berkembang anak Indonesia adalah stunting.
APA ITU
STUNTING ?
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang
atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur.
Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih
dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak
dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang
disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi,
gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan
gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan
mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan
kognitif yang optimal. Balita stunting bisa mengalami gangguan
perkembangan otak, kecerdasan, gangguan fisik dan gangguan
metabolisme tubuh.
Mengutip dari bulletin Pusdatin (Kementerian
Kesehatan (2018) mengenai status gizi anak di
Indonesia, kejadian balita stunting ini merupakan
masalah gizi yang utama, dengan prevalensi
tertinggi bila dibandingkan dengan masalah gizi
lainnya. Indonesia merupakan salah satu negara
dengan prevalensi stunting yang cukup tinggi
dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan
menengah lainnya. Di dunia, Indonesia menduduki
posisi ke-17 dari 117 negara.
“Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Litbangkes), Provinsi Kaltara menunjukkan angka yang cukup menggembirakan terkait masalah stunting gizi buruk. Untuk
wilayah Kalimantan, Kaltara berada pada posisi terendah yakni 27 persen. Disusul Kalimantan Timur (Kaltim) 29,4 persen,
Kalimantan Selatan (Kalsel) 33,2 persen, Kalimantan Barat (Kalbar) 33,5 persen. Dan yang tertinggi Kalimantan Tengah
(Kalteng) sebesar 34,2 persen. Pada 2017, stunting di Kaltara berada pada angka 33,3 persen, dan di 2018 turun menjadi 27
persen, di mana sebagian besar anak-anak tersebut tinggal di wilayah pesisir. (Kaltara Miliki Kasus Gizi Buruk Terendah Se-
Kalimantan | KLA -Kabupaten/Kota Layak Anak, n.d.)
Daerah pesisir merupakan salah satu daerah yang banyak memiliki masalah khususnya di bidang kesehatan masyarakat. Masalah
kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat kompleks. Hal ini saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar
kesehatan. Demikian pula pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya sendiri tetapi
harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah "sehat-sakit".
01
PENYEBAB
STUNTING
Penyebab stunting sangat beragam dan kompleks sebagai berikut (Fitri, 2012):

1. Nutrisi pada masa kehamilan maupun pada balita.


Masalah kekurangan gizi diawali dari perlambatan pertumbuhan janin atau retardasi janin yaitu IUGR (Intra Uterine Growth
Retardation). IUGR berhubungan dengan berat badan (BB) ibu pada masa pra-hamil yang tidak sesuai dengan tinggi badan
ibu atau bertubuh pendek dan pertambahan berat badan selama kehamilan kurang dari seharusnya (Mitra, 2015).

2. ASI eksklusif dan Makanan pendamping ASI (MP-ASI)


ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan hingga enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau
mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin dan mineral). Setelah usia 6 bulan, di samping ASI
diberikan makanan tambahan. Semakin rendah tingkat pemberian ASI maka semakin tinggi angka pertumbuhan anak dengan
kategori gizi kurang, baik dilihat dari indeks BB/U maupun PB/U. Rendahnya tingkat pemberian ASI dapat disebabkan karena
pengeluaran ASI ibu yang sedikit sehingga ibu langsung menggantikan ASI dengan susu botol (Al-rahmad, Miko, & Hadi,
2013).
3. Kelengkapan imunisasi
Imunisasi dasar sangat penting bagi imunitas anak, dimana jika anak yang tidak diimunisasi secara lengkap terdapat gangguan
kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi karena produksi antibodi menurun mengakibatkan mudahnya bibit penyakit masuk ke
dalam tubuh anak. Infeksi yang menghambat reaksi imunologis yang normal dapat menghabiskan energi tubuh. Sebagai reaksi
pertama akibat adanya infeksi adalah menurunnya nafsu makan anak sehingga anak menolak makanan yang diberikan.
Penolakan terhadap makanan berarti berkurangnya pemasukan zat gizi dalam tubuh anak (Al-rahmad et al., 2013).

4. Penyakit infeksi
Penyakit infeksi dapat mengganggu pertumbuhan tinggi badan atau berat badan pada anak. Terlebih dahulu penyakit infeksi
akan mempengaruhi status gizi anak balita. Hal ini terjadi karena penyakit infeksi dapat menurunkan konsumsi makanan,
mengganggu absorbsi zat gizi, menyebabkan hilangnya zat gizi secara langsung, meningkatkan kebutuhan metabolik.
5. Pola asuh
Pola asuh merupakan interaksi antara orang tua dan anak yang terdiri dari praktik dalam merawat anak dan praktik pemberian
makanan pada anak. Status gizi anak berhubungan dengan praktik dalam pemberian makanan khususnya pada saat balita berumur
dua tahun (Ratu, Nancy S. H, & Maureen l, 2018). Peran keluarga terutama ibu dalam mengasuh anak akan menentukan tumbuh
kembang anak. Pola asuh dalam praktik memberi makanan yang sehat, memberi makanan yang bergizi akan meningkatkan status
gizi anak (Rahmayana, Ibrahim, & Dwi Santy Damayanti, 2014).

6. Status sosial dan ekonomi keluarga


Status ekonomi keluarga yang kurang dapat diartikan daya beli juga rendah sehingga, kemampuan keluarga untuk membeli bahan
makanan yang baik juga rendah. Kualitas dan kuantitas makanan akan menjadi berkurang menyebabkan kebutuhan zat gizi anak
tidak terpenuhi, padahal anak memerlukan zat gizi yang lengkap untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Candra, 2013).
7. Status pendidikan
Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan tentang gizi yang
diperoleh. Tingkat pendidikan ibu dapat mempengaruhi kemampuan dan pengetahuan ibu mengenai perawatan kesehatan terutama
dalam memahami pengetahuan mengenai gizi yang baik untuk anak. Namun pendidikan formal ibu dengan tingkat pendidikan
tinggi lebih banyak yang berprofesi sebagai wanita karier dibanding sebagai ibu rumah tangga sehingga perawatan anak diserahkan
kepada pengasuh yang belum tentu mempunyai pendidikan dan pengetahuan yang cukup baik tentang gizi yang baik untuk anak
(Candra, 2013).

8. BBLR
BBLR yaitu dimana berat bayi lahir kurang dari 2.500 gram akan menyebabkan risiko kematian, gangguan pertumbuhan dan
perkembangan anak, termasuk dapat berisiko menjadi pendek jika tidak tertangani dengan baik (Depkes RI, 2016).
9. Pekerjaan ibu
Status pekerjaan ibu akan mempengaruhi terhadap polah asuh anak karena ibu yang bekerja akan memiliki peran ganda pada
keluarga. Peran utama ibu yaitu berstatus sebagai ibu rumah tangga, tetapi ibu juga menjalankan peran yang lain ketika memiliki
aktivitas lain di luar rumah seperti bekerja, menuntut pendidikan atau pun aktivitas lain dalam kegiatan sosial. Dengan peran ganda
ini, seorang ibu dituntut untuk dapat menyeimbangkan perannya sebagai seorang ibu ataupun peran-peran lain yang harus
diembannya (Al-rahmad et al., 2013).

10. Sanitasi
Sanitasi dasar adalah sarana sanitasi rumah tangga yang terdiri dari sarana buang air besar, sarana pengelolaan sampah dan limbah
rumah tangga. Sanitasi yang buruk merupakan penyebab utama dari penyakit diare, disentri, kolera, tifoid, dan hepatitis A. Jika
sanitasi baik maka dapat menurunkan resiko terjadinya penyakit dan kematian pada anak anak. Sanitasi baik dapat terpenuhi jika
fasilitas dari sanitasi aman, memadai dan dekat dengan tempat tinggal (Wiyogowati, 2012).
02
02
DAMPAK
STUNTING
Dampak stunting dalam Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting menurut
(Sandjojo, 2017) :

1. Dampak jangka pendek


Dampak jangka pendek yang dapat ditimbulkan adalah terganggunya
perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan
metabolisme dalam tubuh.

2. Dampak jangka panjang


Dalam dalam jangka panjang yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya
kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga
mudah sakit, dan resiko tinggi munculnya penyakit diabetes, kegemukan,
penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pad
03
SOLUSI YANG
DITAWARKAN
Dengan demikian, usaha pemerintah untuk menanggulangi stunting meliputi berbagai sektor, seperti kesehatan, pendidikan,
sampai perumahan rakyat yang mana banyak diantaranya merupakan kebutuhan dasar yang harus tersedia bagi masyarakat
Indonesia. Saat ini, salah satu fokus pemerintah saat ini adalah pencegahan stunting. Mencegah Stunting akibat asupan gizi
yang kurang dapat dilakukan dengan memenuhi kebutuhan gizi yang sesuai, Namun, yang menjadi pertanyaan adalah,
bagaimana jalan yang paling tepat agar kebutuhan gizi dapat tercukupi dengan baik. Pencegahan Stunting bisa dilakukan
dengan cara-cara berikut ini :

1. Berikan anak gizi seimbang agar tubuhnya bisa bertambah tinggi dan untuk perkembangan otak anak.
2. Melakukan aktivitas fisik, minimal olahraga 30 menit setiap hari.
3. Jangan biarkan anak tidur larut malam agar anak mendapat istirahat yang cukup.
Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yang termasuk
pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk
malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah
menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025. Untuk mewujudkan hal tersebut,
pemerintah menetapkan stunting sebagai salah satu program prioritas.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia
Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di antaranya sebagai
berikut (Danna, 2019; Haskas, 2020; Kesehatan & Indonesia, 2011)

Ibu Hamil dan Bersalin

a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;


b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;
c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;
d. Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dab mikronutrien
e. (TKPM); Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);
f. Pemberantasan kecacingan;
g. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku KIA;
h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI eksklusif; dan
i. Penyuluhan dan pelayanan KB.
2. Balita
a.Pemantauan pertumbuhan balita;
b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita;
c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan
d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

3. Anak Usia Sekolah


a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);
b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;
c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan
d. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba
 
Remaja
a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pola gizi seimbang,
b. Tidak merokok, dan mengonsumsi narkoba; dan
c. Pendidikan kesehatan reproduksi.
d. Dewasa Muda
e. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);
f. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan
g. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak merokok/mengonsumsi
h. Narkoba
Berdasarkan Jurnal dari Awaludin Bima dengan
judul Jurnal Analisis Bagaimana Mengatasi
Permasalahan Stunting Di Indonesia, maka
solusi yang bisa dilakukan adalah :
1. Melakukan pembentukan kebun gizi di setiap desa dengan pemanfaatan anggaran dana desa yang telah digelontorkan
oleh pemerintah. Lewat peraturan yang dikeluarkan tersebut, Warga Desa bisa terlibat aktif menghadirkan aneka
kegiatan yang berhubungan upaya penanganan stunting yang berfokus pada kebun gizi pada tiap desa dengan
pendekatan keluarga. Sehingga Kehadiran Dana Desa tidak hanya berfokus pada Pondok Bersalin Desa (Polindes),
maupun (Posyandu), namun berfokus pada pembentukan kebun gizi dengan pendekatan keluarga dengan berbasis
pemberdayaan masyarakat sehingga bisa dilakukan edukasi mengenai gizi.

2. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 harus disikapi dengan koordinasi yang kuat di
tingkat pusat dan aturan main dan teknis yang jelas di tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga
pelaksana ujung tombak. Diseminasi informasi dan advocacy perlu dilakukan oleh unit teknis
kepada stakeholders lintas sektor dan pemangku kepentingan lain pada tingkatan yang sama.
Sehingga Dibutuhkan upaya yang bersifat holistik dan saling terintegrasi.

3. Mendorong Kebijakan Akses Pangan Bergizi, akses air bersih dan sanitasi serta melakukan
Pemantauan dan Evaluasi secara berkala.

4. Memperkuat surveilans gizi masyarakat sehingga dapat mendeteksi secara dini permasalahan
permasalahan gizi yang muncul di masyarakat. (Awaludin, 2019)
Thank u !

You might also like