You are on page 1of 43

PROSIDING SIMPOSIUM DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

A to Z about infections Pediatric antibiotic stewardship: How to prevent of antibiotic resistance?


FKUI-RSCM - JAKARTA UNIVERSITAS
INDONESIA
Veritas, Probitas, Justitia

XLIV Alergi-Imunologi, Infeksi 30-31 Juli 2001 Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi FAKULTAS

dan Penyakit Tropis KEDOKTERAN

XLV Dep.IKA FKUI-RSCM 18-19 Feb 2002 Hot Topics and Pediatrics II
XLVI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Sep 2004 Current Management of Pediatrics Problems
XLVII Dep. IKA FKUI-RSCM 19-20 Sep 2005 Penanganan Demam pada Anak Secara Profesional
XLVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 13-14 Des 2005 Update in Neonatal Infections
XLIX Dep. IKA FKUI-RSCM 5-7 Maret 2006 Neurology in Children for General Practitioner in Daily Practice
L Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Juli 2006 Strategi Pendekatan Klinis Secara Profesional Batuk pada Anak
LI Dep. IKA FKUI-RSCM 20-21 Nov 2006 Pain Management in Children
LII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Juli 2007 Pendekatan Praktis Pucat: Masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan
anak
LIII Dep. IKA FKUI-RSCM 12-13 Nov 2007 Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning
LIV Dep. IKA FKUI-RSCM 27-28 Okt 2008 The 1st National Symposium on Immunization
LV

LVI
Dep. IKA FKUI-RSCM

Dep. IKA FKUI-RSCM


22-23 Maret 2009

9-10 Agt 2009


HIV Infection in Infants and Children in Indonesia: Current Challenges in
Management
The 2nd Adolescent Health National Symposia:
Prosiding Simposium LxxiV
Current Challenges in Management
LVII

LVIII
Dep. IKA FKUI-RSCM

Dep. IKA FKUI-RSCM


8-9 Nov 2009

20-21 Juni 2010


Management of Pediatric Heart Disease for Practitioners: From Early
Detection to Intervention
Pediatric Skin Allergy and Its Problems
A to Z about infections
LIX Dep. IKA FKUI-RSCM & IDAI
Jaya
19-20 Des 2010 The Current Management of Pediatric Ambulatory Patients
Pediatric antibiotic stewardship:
How to prevent of antibiotic
LX Dep. IKA FKUI-RSCM & IDAI 9-10 Okt 2011 Peran Dokter Anak dalam Diagnosis Dini dan Pemantauan Keganasan pada
Jaya Anak
LXI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Feb 2012 Kegawatan Pada Bayi dan Anak
LXII
LXIII
LXIV
Dep. IKA FKUI-RSCM
Dep. IKA FKUI-RSCM
Dep. IKA FKUI-RSCM
1-2 Apr 2012
17-18 Juni 2012
24-25 Maret 2013
Current Management in Pediatric Allergy and Respiratory Problems
Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders
Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak
resistance?
LXV Dep. IKA FKUI-RSCM 17-18 Nop 2013 Pelayanan Kesehatan Anak Terpadu
LXVI Dep. IKA FKUI-RSCM 22-23 Maret 2014 Pendekatan Holistik Penyakit Kronik pada Anak untuk Meningkatkan Kualitas DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
Hidup
LXVII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Nop 2014 Current Evidence in Pediatric Practices FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
LXVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 12-13 April 2015 Current Evidences in Pediatric Emergencies Management RS. CIPTO MANGUNKUSUMO
LXIX Dep. IKA FKUI-RSCM 6-7 Des 2015 Menuju diagnosis: pemeriksaan apa yang perlu dilakukan?
LXX Dep. IKA FKUI-RSCM 3-4 April 2016 Common and Re-Emerging Infectious Disease: Current Evidence
LXXI Dep. IKA FKUI-RSCM 30-31 Okt 2016 Doctors Without Border: Recent Advances in Pediatrics
LXXII Dep. IKA FKUI-RSCM 25-26 Maret 2017 Transformation from Fetus to Excellent Adolescents
LXXIII Dep. IKA FKUI-RSCM 22-23 Okt 2017 Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, senantiasa mengetengahkan perkembangan mutakhir dalam bidang
ilmu kesehatan anak di samping masalah pediatri praktis. Keterangan tentang program ini setiap saat dapat dimintakan kepada:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jalan Diponegoro 71, Jakarta 10430, Telp. (021) 3161420, Fax. (021) 3161420
Jakarta, 29 - 30 April 2018
PROSIDING SIMPOSIUM DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FKUI-RSCM - JAKARTA
I Kardiologi 7-8 Juli 1980 Penataran Berkala Kardiologi Pediatrik
II Gawat Darurat 23 Jan 1982 Demam Berdarah Dengue
III Hematologi 5 Juni 1982 Beberapa Aspek Hematologi
IV Neurologi 11-16 April 1983 Kejang pada Anak
V Kardiologi 19-20 April 1983 Penataran EKG Bayi danAnak
VI Nefrologi 1 Juni 1983 Penanggulangan Penyakit Ginjal Kronik
VII Gizi 13 Nov 1983 Gizi dan Tumbuh Kembang
VIII Pulmonologi 9-10 Nov 1983 Bronkitis dan Asma pada Anak
IX Perinatologi 3-4 Des 1984 Ikterus pada Neonatus
X Penyakit Tropis 4 Mei 1985 Permasalahan dan Penatalaksanaan Mutakhir Beberapa Penyakit Tropis
XI Kardiologi 31 JuIi-1 Agt 1985 Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Bawaan yang Dapat
Dikoreksi
XII Radiologi 1-2 Nov 1985 Radiologi Klinis dan Ultrasonografi pada Bayi dan Anak
XIII Endokrinologi 23 Febr 1986 Masalah penyimpangan Pertumbuhan Somatik dan Seksual pada Anak dan
Remaja
XIV Gawat Darurat 9 Agt 1986 Penanggulangan Terpadu Enterokolitis Nekrotikans Neonatal
XV Radiologi 20-21 Juni 1988 Radiologi dan Ortopedi Praktis pada Anak
XVI Gastroenterologi 30 Sept-1 Okt 1988 Penanggulangan Mutakhir Beberapa Penyakit Gastrointestinal pada Anak
XVII Pulmonologi 21-22 Okt 1988 Beberapa Masalah Klinis Praktis Pulmonologi Anak
XVIII Neurologi 27-28 Jan 1989 Kedaruratan Saraf Anak
XIX Gizi 8-9 Sept 1989 Beberapa Aspek Tentang Vitamin dan Mineral pada Tumbuh Kembang Anak
XX Kardiologi 15-16 Des 1989 Penatalaksanaan Kedaruratan Kardio vaskular pada Anak
XXI Alergi-imunologi 9-10 Mar 1990 Meningkatkan Profesionalisme dalam Penatalaksanaan Penyakit Alergi-
Imunologi
XXII Nefrologi 7-8 Des 1990 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal pada Anak
XXIII Perinatologi 8-9 Juli 1991 Sindrom Gawat Napas pada Neonatus
XXIV Hematologi 6-7 Sept 1991 Perkembangan Mutakhir Penyakit Hematologi Onkologi Anak
XXV Penyakit Tropis 26-27 Juni 1992 Tata Iaksana Penyakit Infeksi pada Anak Masa Kini dan Masa Mendatang
XXVI Radiologi 11-12 Sept 1992 Pencitraan Traktus Urinarius pada Anak
XXVII Hepatologi 6-7 Nop 1992 Hepatologi Anak Masa Kini
XXVIII Endokrinologi 16-15 Feb 1993 Masalah Penyimpangan Pertumbuhan Somatik pada Anak dan Remaja
XXIX Nefrologi 24-25 Sept 1993 Penanggulangan Masalah Uronefrologi pada Anak
XXX Gawat Darurat 3-4 Des 1993 Pendekatan Farmakologi pada Pediatrik Gawat Darurat
XXXI Gastroenterologi 3-4 Feb 1994 Optimalisasi Tatalaksana Gagal Tumbuh Gastointestinal Guna Meningkatkan
Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXII Kardiologi 1-2 Juli 1994 Pengenalan Dini dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan pada Neonatus
XXXIII Pulmonologi 2-3 Des 1994 Perkembangan dan Masalah Pulmonologi Anak Saat ini
XXXIV Neurologi 24-25 Mar 1995 Neurologi Anak dalam Praktek Sehari-hari
XXXV Gizi 11-12 Agt 1995 Masalah Gizi Ganda dan Tumbuh Kembang Anak
XXXVI Alergi-Imunologi 10-11 Nop 1995 Strategi Pendekatan Klinis Berbagai Penyakit Alergi dan Reumatik pada Anak
XXXVII Tumbuh Kembang 21-23 Nop 1996 Deteksi dan Intervensi Dini Penyimpangan Tumbuh Pediatri Sosial Kembang
Anak dalam Upaya Optimalisasi Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXVIII Perinatologi 7-8 Apr 1997 Penanganan Mutakhir Bayi Prematur: Memenuhi Kebutuhan Bayi Prematur
untuk Menunjang Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXIX Infeksi dan Pediatrik Tropik 25-26 Agt 1997 Strategi Pemilihan dan Penggunaan Vaksin serta Antibiotik dalam Upaya
Antisipasi Era Perubahan Pola Penyakit
XL Radiologi 26-27 Nop 1997 Pencitraan: Penggunaannya untuk Menunjang Diagnosis Penyakit Saluran
Napas dan Saraf pada Anak
XLI Hematologi 24-25 Jun 1998 Darah dan Tumbuh Kembang: Aspek Transfusi
XLII Gastroenterologi, 22-23 Feb 1999 Dari Kehidupan Intrauterin sampai Transplantasi Organ: Aktualisasi
Hepatologi dan Gizi Gastroenterologi-Hepatologi dan Gizi
XLIII Hepatologi 31 Mei 2000 Tinjauan Komprehensif Hepatitis Virus Pada Anak
UNIVERSITAS
INDONESIA
Veritas, Probitas, Justitia

FAKULTAS

KEDOKTERAN

Prosiding Simposium LxxiV


A to Z about infections
Pediatric antibiotic stewardship:
How to prevent of antibiotic
resistance?
Jakarta, 29 - 30 April 2018

Penyunting:
Mulyadi M. Djer
Wahyuni Indawati
Eka Laksmi Hidayati
Hikari A. Sjakti
Frida Soesanti

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
Judul Prosiding Simposium LXXIV
Tema A to Z about infections Pediatric antibiotic stewardship:
How to prevent of antibiotic resistance?
Pelaksanaan Jakarta, 29 - 30 April 2018
Penanggung Jawab DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K), MPH
Ketua Departemen IKA FKUI-RSCM
Reviewer Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, SpA(K)
Dr. Wahyuni Indawati, SpA(K)
Dr. Eka Laksmi Hidayati, SpA(K)
Dr. Hikari A. Sjakti, SpA(K)
Dr. Frida Soesanti, SpA(K)
Editor Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, SpA(K)
Dr. Wahyuni Indawati, SpA(K)
Dr. Eka Laksmi Hidayati, SpA(K)
Dr. Hikari A. Sjakti, SpA(K)
Dr. Frida Soesanti, SpA(K)

Hak Cipta dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh
buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan
penerbit

Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Cetakan Pertama 2018

ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM

Yth Teman Sejawat Dokter Spesialis Anak


Ass Wr Wb, salam sejahtera untuk kita semua
Kampanye rational used of medicine (penggunaan obat rasional) telah
didengungkan oleh badan kesehatan dunia (WHO), termasuk di dalamnya
penggunaan antibiotik. Sejak ditemukannya antibiotik pertama kali yaitu
penisilin oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, maka banyak antibiotik
lain yang ditemukan dari berbagai golongan untuk berbagai indikasi medis.
Namun demikian, pada dekade terakhir penemuan antibiotik baru tidak
sehebat beberapa dekade sebelumnya, sedangkan ditemukan penyakit dengan
spektrum kuman baru yang resisten terhadap antibiotik yang tersedia. Oleh
karena itu, diperlukan perilaku penggunaan antibiotik yang rasional. Hal ini
sesuai dengan UU No 29 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 menyatakan
bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
atau kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada PKB kali ini Departemen Ilmu
Kesehataan Anak FKUI-RSCM mengangkat tema “A to Z about infections
pediatric antibiotic stewardship: How to prevent of antibiotic resistance?”. Topik-
topik yang dibahas pada PKB kali ini antara lain kebijakan pemberian antibiotik
rasional pada anak serta dikaitkan dengan aspek keamanan dan etik. Pemakaian
antibiotik pada berbagai kondisi seperti pada pasien imunokompromais, gizi
buruk, infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran kemih, di unit perawatan
intensif, sepsis neonatorum, dan pada tindakan operasi dibahas pada PKB kali
ini. Pemilihan dan pertimbangan penggantian antibiotik juga dielaborasi pada
PKB kali ini. Pemberian antibiotik intravena di poliklinik atau rawat jalan
juga dibahas tuntas pada PKB ini karena cara ini mengurangi pembiayaan
dan lama rawat pasien.
Kami berharap PKB kali ini dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan para dokter spesialis anak untuk mencapai kualitas pelayanan
pasien anak yang optimal.

DR. Dr. Aryono Hendarto, SpA(K), MPH


Ketua Departemen IKA FKUI-RSCM

iii
iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXXIV

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Simposium “A to Z about infection pediatric antibiotic stewardship: How


to prevent antibiotic resistance?” dirancang untuk meningkatkan pengetahuan
dokter spesialis anak dalam pemberian antibiotik yang rasional dalam berbagai
kondisi. Topik ini dirasakan menjadi penting karena semakin banyaknya
masalah dalam pemberian antibiotik pada anak dan masalah resistensi
antibiotik yang semakin luas.
Materi simposium kali ini merupakan kebijakan pemberian antibiotik
rasional pada anak yang dikaitkan dengan aspek keamanan dan etik. Akan
dibahas pula mengenai ealuasi penggunaan antibiotik dengan menggunakan
metoda Gyssen dan langkah-langkah penggantian antibiotik. Cara penting
untuk menentukan pilihan antibiotik rasional yang juga dibahas, serta
bagaimana mengintepretasikan hasil laboratorium dan hasil resistensi
antibiotik. Pemakaian antibiotik rasional pada berbagai kondisi seperti pada
pasien imunokompromais, pasien gizi buruk, infeksi saluran napas, infeksi
saluran kemih, di unit perawatan intensif, sepsis neonatorum, dan pada
tindakan operasi juga merupakan materi yang dibahas dalam buku ini.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
seluruh penulis yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk menyiapkan
naskah dalam buku ini. Kami berharap bahwa buku ini dapat memberikan
sumbangsih dalam meningkatkan pengetahuan para dokter spesialis anak
untuk mencapai kualitas pelayanan pasien anak yang optimal demi tercapainya
kesehatan anak yang berkualitas di Indonesia.

Terima kasih.
Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh

DR. Dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A(K)


Ketua Panitia

v
vi
Kata Pengantar Tim Penyunting

Assalamu’alakum wr wb.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyunting makalah PKB
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM ini tepat waktu.
Tema pada PKB Departemen IKA yang ke LXXIV mengangkat
permasalahan “ A to Z about infectons pediatrics antibiotic stewardship: How
to prevent of antibiotic resistance? Masalah yang dibahas adalah masalah tata
laksana terkini beberapa penyakit infeksi dan pemilihan antibiotik secara tepat
yang diperlukan para dokter anak, dokter spesialis lainnya serta dokter umum
dalam melaksanakan tugasnya di ruang rawat atau di poliklinik. Pembicara
umumnya berasal dari Staf Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM
ditambah dengan Staf dari Departemen Farmakologi, Departemen Forensik
dan Departemen Mikrobiologi FKUI-RSCM.
Dalam menyunting setiap naskah, kami dari Tim Penyunting
menyesuaikan format penulisan sesuai dengan pedoman yang ada pada buku
PKB Departemen IKA FKUI-RSCM. Isi makalah semuanya ditulis oleh penulis
dan kami tidak rubah sama sekali.
Walaupun buku ini sudah kami susun dengan benar, tidak menutup
kemungkinan kami masih menerima saran dari pembaca untuk memperbaki
buku ini.
Semoga dengan membaca naskah di dalam buku ini dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan para dokter spesialis anak, spesialis lainnya
serta dokter umum sesuai amanat undang-undang praktik kedokteran.

Wassalamu’alaikum wr wb.

Tim Penyunting
Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, SpA(K)
Dr. Wahyuni Indawati, SpA(K)
Dr. Eka Laksmi Hidayati, SpA(K)
Dr. Hikari A. Sjakti, SpA(K)
Dr. Frida Soesanti, SpA(K)

vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM

Ketua : DR. Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)


Wakil Ketua : DR. Dr. Partini P. Trihono, Sp.A(K), MMed(Paed)
Sekretaris : Dr. Bernie Endyarni, Sp.A(K), MPH
Bendahara : Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K)
Anggota : 1. Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)
2. Prof. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
3. Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)
4. Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)
5. Dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(Paed)
6. DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K)

ix
Susunan Panitia

Ketua DR. Dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A(K)


Wakil Ketua Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K)
Sekretaris Dr. Dina Muktiarti, Sp.A(K)
Bendahara Dr. Fitri Primacakti, Sp.A
Seksi Dana Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K)
Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)
Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)
Prof. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
Prof. DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)
Prof. Dr. Badriul Hegar, PhD, Sp.A(K)
Seksi Ilmiah Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K)
Dr. Wahyuni Indawati, Sp.A(K)
Dr. Eka Laksmi Hidayati, Sp.A(K)
Dr. Hikari A. Sjakti, Sp.A(K)
Dr. Frida Soesanti, Sp.A(K)
Seksi Perlengkapan, Dr. Ari Prayitno, Sp.A(K)
Dokumentasi & Dr. Ratno M. Sidauruk, Sp.A(K)
Pameran
Seksi Sidang Dr. Klara Yuliarti, Sp.A(K)
Dr. Nina Dwi Putri, Sp.A(K)
Dr. Putri Maharani Tristanita, Sp.A(K)
Seksi Konsumsi Dr. Henny Adriani Puspitasari, Sp.A
Dr. Cut Nurul Hafifah, Sp.A

x
Daftar Penulis

Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo –


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Prof. Dr. Taralan Tambunan, Sp.A(K) Divisi Nefrologi
Dr. Mulya Rahma Karyanti, Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
DR. Dr. Hindra I. Satari, Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
Dr. Hikari A. Sjakti, Sp.A(K) Divisi Hematologi – Onkologi
Dr. Ari Prayitno, Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
Dr. Darmawan B. Setyanto, Sp.A(K) Divisi Respirologi
Dr. Wahyuni Indawati, Sp.A(K) Divisi Respirologi
DR. Dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K) Divisi Respirologi
DR. Dr. Irene Yuniar, Sp.A(K) Divisi Nefrologi
Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K) Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik
DR. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A(K) Divisi Neonatologi
Dr. Rosalina D. Roeslani. Sp.A(K) Divisi Neonatologi
Dr. Nina Dwi Putri, Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
DR. Dr. Sudung O Pardede, Sp.A(K) Divisi Nefrologi
DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K), MPH Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik
DR. Dr. Murti Andriastuti, Sp.A(K) Divisi Hematologi – Onkologi

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia


DR. Dr. Yuli Budiningsih, Sp.F Departemen Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal
Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, Sp.FK(K) Departemen Farmakologi &
Terapeutik
Dr. Anis Kurniawati, PhD, Sp.MK(K) Departemen Medik Mikrobiologi Klinik

xi
xii
Daftar isi

Kata Sambutan Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM.............................. iii


Kata Sambutan Ketua Panitia PKB Dep. IKA FKUI-RSCM LXXIV............ v
Kata Pengantar Tim Penyunting................................................................. vii
Tim PKB FKUI-RSCM............................................................................... ix
Susunan Panitia........................................................................................... x
Daftar Penulis............................................................................................. xi
Daftar isi................................................................................................... xiii

Introduction to Rationale Antibiotic Used in Children.................................... 1


Rianto Setiabudy
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia ........................ 9
Taralan Tambunan
Antibiotic Usage: Ethic and Patient Safety Issues......................................... 20
Yuli Budiningsih
Qualitative Evaluation of Antibiotic Uses: Gyssen Method........................... 27
Mulya Rahma Karyanti
Switching Antibiotic Therapy: When and How............................................ 35
Sri Rezeki S Hadinegoro
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?.............................. 45
Hindra Irawan Satari
Interpretation of Antibiotic Resistance in Susceptibility Test.......................... 65
Anis Karuniawati

xiii
Antibiotic Choice in Hemato-Oncology Patient............................................ 73
Hikari Ambara Sjakti
Hospital Acquired Infections (Hals), Needs Awareness for Health
Professionals............................................................................................... 81
Ari Prayitno
Antibiotic treatment in pneumonia, how to choose?...................................... 93
Darmawan B Setyanto
Acute Rhinotonsilopharyngitis in Children: When Antibiotic is Needed?...... 105
Wahyuni Indawati
Tuberculosis Chemoprophylaxis in Children Exposed to Drug Sensitive or
Resistant Index Case................................................................................. 112
Nastiti Kaswandani
Difficulties in Choosing Proper Antibiotics in PICU Setting ....................... 124
Irene Yuniar
Awareness in Antibiotic Therapy for Severe Malnutrition........................... 134
Titis Prawitasari
Suspect Viral and Fungal Infection in Sepsis Neonatarum........................... 140
Rinawati Rohsiswatmo, Distyayu Sukarja
Ampicillin-Gentamycin as First Line in Neonatal Sepsis:
Are Still Relevant?....................................................................................150
Rosalina Dewi Roeslani, Septina Ashariani
Recommendation of Prophylaxix Antibiotic for Surgical Intervention .......... 159
Nina Dwi Putri
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness.............................. 171
Sudung O. Pardede
Outpatient Parenteral Antimicrobial Therapy (OPAT): Efficiency Approach
of Rational Antibiotic Use......................................................................... 183
Aryono Hendarto

xiv
Suspect Viral and Fungal Infection
in Sepsis Neonatarum
Rinawati Rohsiswatmo, Distyayu Sukarja

Tujuan:
1. Agar dapat mengenali sejak dini gejala klinis yang tidak khas
sepsis neonatus yang disebabkan oleh jamur dan virus
2. Memberikan terapi dan pemeriksaan diagnostik yang tepat
pada pasien neonatus dengan infeksi jamur dan virus.

Seringkali diagnosis infeksi virus dan jamur pada neonatus sulit ditegakkan.
Gejala klinis yang muncul tidak khas dan tidak dapat dibedakan dengan infeksi
bakteri. Hal ini menyebabkan terjadinya keterlambatan pemberian terapi yang
dapat memengaruhi luaran pada bayi sakit. Kecurigaan terhadap virus dan
jamur sebagai mikroorganisme penyebab sepsis berat harus dipikirkan bila
tidak ditemukan bakteri pada pemeriksaan kultur.

Infeksi Virus
Penularan infeksi virus pada neonatus dapat terjadi melalui penularan dari ibu
ke bayi (mother-to-child transmission) dan lingkungan (komunitas/nosokomial).
Penularan ibu ke bayi baik terjadi sejak dalam kandungan, saat proses kelahiran,
maupun melalui pemberian air susu ibu (ASI).1
Untuk menegakkan diagnosis infeksi virus pada neonatus, perlu diketahui
faktor risiko ibu dan waktu munculnya gejala. Gejala yang muncul sejak lahir
seperti kelainan kongenital yang khas biasanya berhubungan dengan infeksi
virus yang diperoleh sejak dalam kandungan.1 (Tabel 1) Namun demikian,
tidak sedikit gejala baru terlihat setelah beberapa hari yang masih mungkin
disebabkan penularan saat proses kelahiran. Hal ini harus dapat dibedakan
dengan infeksi virus dari lingkungan yang juga terjadi setelah 72 jam kelahiran.
Gejala klinis infeksi virus seringkali menyerupai sepsis akibat bakteri atau
jamur seperti demam dan letargis. Namun secara umum perbedaan karakteristik
infeksi virus dengan bakteri dapat dilihat melalui lokasi terjadinya infeksi. Pada
infeksi bakteri lebih sering ditemukan infeksi aliran darah, sedangkan infeksi

140
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

virus sebagian besar banyak ditemukan pada saluran cerna dan saluran napas.
Gejala lain yang dapat pula ditemukan berupa organomegali, ptekie, purpura,
ikterik, mikrosefal, ensefalopati, kelainan mata, anemia, trombositopenia,
hiperbilirubinemia terkonjugasi, dan peningkatan enzim hati.1

Penularan Ibu Ke Bayi


Penegakan diagnosis infeksi virus akibat penularan ibu ke bayi dapat dilakukan
dengan pemeriksaan antibodi ibu dan bayi (IgG dan IgM), kultur virus, dan
polymerase chain reaction (PCR). Tata laksana infeksi virus meliputi terapi
suportif, pemberian antiviral seperti asiklovir dan gansiklovir, dan pencegahan
komplikasi.

Tabel 1. Metode penularan infeksi virus ibu ke bayi.1


Virus Gejala Klinis Rute
Virus chikungunya Demam, sepsis, ensefalopati transplasenta/intrapartum
Cytomegalovirus (CMV) Sindrom CMV kongenital (mikrosefal, tuli, ptekie, transplasenta, ASI
jaundis)
Virus dengue Demam, ruam, organomegali, trombositopenia, transplasenta/intrapartum
efusi pleura
Virus hepatitis B Penyakit hati kronis Intrapartum
Virus hepatitis C Penyakit hati kronis Intrapartum
Virus hepatitis E Jaundis, hepatitis, gagal hati transplasenta/intrapartum
Virus herpes simplex (HSV) Herpes neonatal, hidransefali Intrapartum
Human immunodeficiency HIV/AIDS perinatal Intrapartum, ASI
virus (HIV)
Virus varicella-zoster Hipoplasia alat gerak, kelainan okular, kelainan Intrapartum
kulit
Human papillomavirus Papiloma laringeal Intrapartum
Pavovirus B19 Anemia, hidrops transplasenta
Virus rubella Sindrom rubella kongenital (katarak, kelainan transplasenta
jantung bawaan, tuli)

Komunitas/Nosokomial
Infeksi virus dari lingkungan dapat diperoleh dari orang terdekat (komunitas),
dan petugas kesehatan di rumah sakit (nosokomial). Penyebab tersering yang
banyak ditemukan adalah, enterovirus (non-polio), respiratory syncytial virus
(RSV), rotavirus, adenovirus, cytomegalovirus, dan sebagainya.2,3 Gejala paling
banyak ditemukan yaitu pada saluran napas (distres napas, apnea, sianosis)
dan saluran cerna (diare, enterokolitis nekrotikans).3,4 Namun demikian gejala
lain dapat pula ditemukan seperti, gangguan neurologis (kejang) yang khas
pada enterovirus,5 trombositopenia, dan hipoglikemia.6 (Tabel 2)

141
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus

Tabel 2. Gejala infeksi virus.4


Virus Gejala Klinis
Enterovirus Kejang, miokarditis, Sepsis like disease
RSV Bronkiolitis, pneumonia
Rotavirus Diare, distensi abdomen
Adenovirus Gejala gastrointestinal dan saluran napas
CMV Hepatosplenomegali
Metapneumovirus Bronkiolitis
Parainfluenza Bronkiolitis

Tabel 3. Penggunaan antiviral pada infeksi virus.8


Virus Antivirus Dosis
CMV Gansiklovir 5 mg/kg I.V (b.i.d) selama 12-21 hari
Foscarnet 60 mg/kg I.V (ti.i.d) selama 14-21 hari*
Cidofovir 5 mg/kg I.V + probensid 1 kali pemberian,
kemudian 3 mg/kg setiap minggu*
Enterovirus non-polio Pleconaril 5 mg/kg p.o (t.i.d) minimal 7 hari*
Hepatitis B Lamivudin 3 mg/kg/hari p.o*
Hepatitis C Pegylated interferon Variatif*
HSV Asiklovir 20 mg/kg IV (t.i.d) selama 21 hari
HIV Zidovudin 160 mg/m2 setiap 8 jam
Influenza Amantadine 2,5 mg/kg p.o (b.i.d)
Rimantadin 2,5 mg/kg p.o (b.i.d)
RSV Ribavarin 20 mg/mL aerosol, 12-22 jam/hari
selama 3 hari atau hingga perbaikan*
*diperlukan pemantauan terhadap toksisitas
t.i.d: 3 kali sehari; b.i.d: 2 kali sehari; I.V: intravena; p.o: peroral

Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan RNA


dan DNA virus melalui sampel darah, cairan serebrospinal, dan tinja. Teknik
yang digunakan bervariasi seperti PCR, ELISA, mikroskop elektron, dan kultur
virus.7 Terapi antiviral yang diberikan tentunya dengan mempertimbangkan
efektifitas, toksisitas, dan farmakokinetik karena tidak semua antiviral yang
tersedia aman diberikan pada neonatus.8 (Tabel 3)

Infeksi Jamur
Sama seperti halnya dengan infeksi virus, diagnosis infeksi jamur sering
terlambat ditegakkan karena gejala yang tidak spesifik. Diperlukan kejelian
dalam identifikasi gejala yang berhubungan dengan infeksi jamur invasif.
Insidens infeksi jamur pada neonatus sangat rendah bila dibandingkan dengan
infeksi bakteri. Sebanyak 2,5% infeksi aliran darah pada bayi dengan berat
lahir rendah (BBLR) disebabkan oleh jamur.9 Akan tetapi, morbiditas dan

142
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

mortalitas yang diakibatkan sama tinggi dengan infeksi bakteri, sehingga


pemahaman mengenai infeksi jamur sangat penting. Infeksi jamur biasanya
terjadi setelah lahir dan diperoleh melalu transmisi nosokomial. Adapun
patogen yang sering ditemukan pada neonatus adalah Candida, Aspergillus,
Malassezia, Cryptococcus, Balstomyces.spp.10
Jamur dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui proses kolonisasi
pada kulit atau mukosa, kemudian masuk ke dalam sirkulasi melalui kateter.
Di dalam tubuh manusia, jamur berproliferasi hingga akhirnya menginvasi
jaringan host. Hal ini sangat mudah terjadi terutama pada bayi prematur
dengan imaturitas sistem imun.11 Terdapat beberapa faktor risiko pada neonatus
terinfeksi jamur yang terlampir pada Tabel 4.
Candida adalah penyebab terbanyak infeksi jamur pada neonatus.
Sedikitnya ada 15 spesies candida yang berhasil diidentifikasi, dan yang sering
dijumpai pada manusia adalah C.albicans, C.glabrata, C.tropicalis, C.parapsilosis,
dan C.krusei. Candidia albicans adalah spesies yang paling banyak ditemukan
sebagai penyebab infeksi jamur invasif terutama pada BBLR.9,10,14
Gejala infeksi jamur pada neonatus berupa oral thrush, letargis,
perdarahan, intoleransi minum, instabilitas suhu, peningkatan kebutuhan
oksigen, dan keterlibatan multisistem organ lainnya (meningitis, kandidiasis
renal, endocarditis, endoftalmitis).11,12 Kultur darah jamur merupakan metode
yang digunakan dalam menegakkan diagnosis infeksi jamur invasif. Akan tetapi,
pemeriksaan ini tidak sensitif disebabkan hasil kultur yang rentan dipengaruhi
oleh waktu pengambilan dan jumlah sampel. Namun demikian, kultur darah
jamur masih menjadi pemeriksaan baku emas hingga saat ini, karena metode
ini adalah metode yang paling mudah dikerjakan. Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi infeksi jamur adalah dengan melakukan
pemeriksaan antigen jamur (beta D glukan dan mannan, galaktomannan,
(1,3)-beta-D glukan, persepsis), PCR (DNA jamur), rapid test (aglutinasi),

Tabel 4. Faktor risiko infeksi jamur invasif.11-3


Faktor intrinsik Faktor ekstrinsik
1. Prematur (32 minggu) atau berat lahir 1. Penggunaan >2 antibiotik spektrum luas (sefalosporin
rendah (<1500 g) generasi 3)
2. Gangguan imunitas 2. Penggunaan alat invasif
3. Pertumbuhan janin terhambat - Akses sentral > 7 hari
- Ventilasi mekanik > 5 hari
4. Skor Apgar <5 pada menit ke-5
5. Perdarahan paru 3. Penundaan nutrisi enteral >5 hari
6. Syok 4. Mendapat kortikosteroid sistemik
7. Koagulopati intravaskular diseminata 5. Mendapat nutrisi parenteral > 7 hari (terutama emulsi
lemak)
6. Pembedahan pada saluran cerna/enterokolitis nekrotikans
7. Penggunaan H2 blocker
8. Durasi rawat inap > 28 hari

143
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus

kadar C-reactive protein (CRP) dan interleukin (IL) 6, serta beberapa prosedur
lain yang masih dalam penelitian seperti metabolomik.15,16
Pemberian antijamur sangat penting dalam mengeradikasi infeksi jamur
invasif pada neonatus. Pilihan antijamur yang sering digunakan adalah
amfoterisin B dan flukonazol. (Tabel 5)17 Pemilihan antijamur yang digunakan
tentunya dengan mempertimbangkan efek terapeutik yang aman dengan efek
samping yang minimal.12,13 Flukonazol merupakan pilihan antijamur yang paling
sering digunakan pada neonatus baik sebagai terapeutik maupun profilaksis
dengan durasi pemberian bervariasi sesuai dengan kondisi infeksi yang dialami.
(Tabel 6) Efektifitasnya cukup baik, mudah diberikan, dan memberikan sedikit
efek samping pada ginjal dibandingkan dengan antijamur lainnya.

Tabel 5. Antijamur pada neonatus.17


Golongan Antijamur Dosis
Polyene Amfoterisin B
Deoksikolat 1 mg/kg/hari I.V
Liposomal 3-5 mg/kg/hari I.V
Azol Flukonazol 12 mg/kg/hari I.V/p.o
Ekiinokandins Mikafungin 10-12 mg/kg/hari*
*Dipertimbangkan penggunaan pada neonatus
t.i.d: 3 kali sehari; b.i.d: 2 kali sehari; I.V: intravena; p.o: peroral

Pada kasus infeksi jamur invasif persisten harus dipertimbangakan evaluasi


multisistem untuk menghindari keterlibatan di berbagai organ. Pemeriksaan
lumbal punksi, evaluasi retina, ultrasonografi saluran genitourinaria, hati, dan
ginjal disarankan pada neonatus dengan hasil kultur jamur darah dan/atau
urin positif yang menetap.18

Tabel 6. Durasi pemberian flukonazol.18


Kondisi Durasi
Infeksi berkaitan dengan kateter Minimal 7 hari setelah pencabutan kateter
Kandidiasis kutaneus diseminata 14-21 hari hingga klinis perbaikan
Infeksi aliran darah 14-21 hari hingga klinis perbaikan dan hasil kultur negatif
Endokarditis Minimal 6 minggu
Endoftalmitis 6-12 minggu hingga vitrektomi
Meningitis Minimal 4 hari hingga klinis perbaikan

Pemberian flukonazol sebagai terapi profilaksis di unit perinatologi


direkomendasikan bila terdapat insidens infeksi jamur invasif yang tinggi
(>10%), terutama pada kelompok neonatus dengan berat lahir <1000 gram.
Dosis yang digunakan adalah 3-6 mg/kg, diberikan sebanyak dua kali dalam
1 minggu selama 6 minggu. Nistatin oral dapat menjadi pilihan alternatif

144
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

terapi profilaksis pada neonatus dengan berat lahir <1500 gram dengan dosis
pemberian 100.000 unit/8 jam selama 6 minggu.19
Keterlambatan diagnosis dan pemberian terapi berpengaruh terhadap
luaran jangka panjang bayi sakit. Infeksi jamur invasif berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi. Hasil pemantauan jangka panjang
menunjukkan adanya gangguan neurodevelopmental (palsi serebral, kebutaan,
tuli, gangguan kognisi) yang dapat memengaruhi kualitas hidup di kemudian
hari.19 Pencegahan infeksi dapat dilakukan yaitu dengan pencabutan akses
sentral sejak dini bila tidak dibutuhkan dan menghindari transmisi nosokomial
di rumah sakit.

Daftar pustaka
1. Pass RF. Viral Infections in the Fetus and Neonate. Long SS, penyunting. Dalam:
Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke-4. Philadelphia:
Saunders; 2012. h. 544-8.
2. Tzialla C, Civardi E, Borghesi A, Sarasini A, Baldanti F, Stronati M. Emerging
viral infections in neonatal intensive care unit. J Matern Fetal Neonatal Med.
2011;1:156-8.
3. Civardi E, Tzialla C, Baldanti F, Strocchio L, Manzoni P, Stronati M. Viral
outbreaks in neonatal intensive care units: what we do not know. Am J Infect
Control. 2013;41:854-6.
4. Agueda S. Viral Infections in a Neonatal Intensive Care Unit. Pediat Therapeut.
2013;3:147.
5. Morriss FH Jr, Lindower JB, Bartlett HL, Atkins DL, Kim JO, Klein JM. Neonatal
Enterovirus Infection: Case Series of Clinical Sepsis and Positive Cerebrospinal
FluidPolymerase Chain Reaction Test with Myocarditis and Cerebral White
Matter Injury Complications. AJP Rep. 2016;6:344-51.
6. Shahroodi MJG, Ghazvini K, Sadeghi R, Sasan MS. Enteroviral Meningitis in
Neonates and Children of Mashhad, Iran. Jundishapur J Microbiol. 2016;9:19955.
7. Naing Z, Rayner B, Killikulangara A, Vunnam K, Leach S, McIver CJ, et al.
Prevalence of viruses in stool of premature neonates at a neonatal intensive care
unit. J Paediatr Child Health. 2013;49:221-6.
8. Barford G, Rentz AC, Faix RG. Viral infection and antiviral therapy in the
neonatal intensive care unit. J Perinat Neonatal Nurs. 2004:259-74.
9. Kaufman DA. Challenging issues in neonatal candidiasis. Curr Med Res Opin.
2010;26:1769-78.
10. Kelly MS, Benjamin DK, Smith PB. The epidemiology and diagnosis of invasive
candidiasis among premature infants. Clinics in perinatology. 2015;42:17–105.
11. Jahan S, et al. Epidemiology of candida infections among high risk neonates and
infants from a tertiary care setting of north india. EC Microbiology. 2016: 585-596.
12. Basu S, Kumar R, Tilak R, Kumar A. Candida Blood Stream Infection in Neonates:
Experience from A Tertiary Care Teaching Hospital of Central India. Indian
Pediatr. 2017;54:556-559.

145
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus

13. Agarwal RR, Agarwal RL, Chen X, Lua JL, Ang JY. Epidemiology of Invasive
Fungal Infections at Two Tertiary Care Neonatal Intensive Care UnitsOver a
12-Year Period (2000-2011). Glob Pediatr Health. 2017;4.
14. Hundalani S, Pammi M. Invasive fungal infections in newborns and current
management strategies. Expert Rev Anti Infect Ther. 2013;11:709-721.
15. Arendrup MC, Fisher BT, Zaoutis TE. Invasive fungal infections in the paediatric
and neonatal population: diagnostics and management issues. Clin Microbiol
Infect. 2009;15:613-24.
16. Dessi A. Neonatal fungal infections: new strategies in diagnosis. J Pediatr Neonat
Individual Med. 2014;3.
17. Tezer H, Canpolat FE, Dilmen U. Invasive fungal infections during the neonatal
period: diagnosis, treatment and prophylaxis. Expert Opin Pharmacother.
2012;13:193-205.
18. Devlin RK. Invasive fungal infections caused by Candida and Malassezia species
in the neonatal intensive care unit. Adv Neonatal Care. 2006;6:68-77.
19. Pappas PG, Kauffman CA, Andes DR, Clancy CJ, Marr KA, Ostrosky-Zeichner L,
et al. Clinical Practice Guideline for the Management of Candidiasis: 2016 Update
by the InfectiousDiseases Society of America. Clin Infect Dis. 2016;62:1-50.
20. Shane LA. Common viral infections in neonates. 2018 NeoPREP. Disampaikan
pada kursus 2018 NeoPREP “An Intensive Review and Update of Neonatal/Perinatal
Medicine” di Atlanta tanggal 24 Januari 2018.

146
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Lampiran.20
Lampiran.20 
HSV (Herpes Simplex virus) CMV (Cytomegalovirus) EBV (Epstein Barr virus)
Epidemiology • Ubiquitous; transmitted from • Ubiquitous, transmitted horizontally, • Humans only known reservoir,
symptomatic or asymptomatic vertically, and via transfusions and 90% adults infected
with primary or recurrent transplants. • Close personal contact (saliva),
infection. • Persists after primary infection with blood transfusion, transplantation
• Persists after a primary infection shedding. • Incubation 30-50 days.
with intermittent shedding. • Reinfection with other strains can Intrauterine infection not
• 1/3000-1/20,000 live births occur. documented.

Clinical Disseminated (25%) Spectrum - asymptomatic to 10% with Fever, exudative pharyngitis with
Presentation CNS (30%) IUGR, jaundice, purpura, microcephaly, petechiae, lymphadenopathy,
SEM (45%) intracerebral calcifications, retinitis, hepatosplenomegaly.
developmental delays sensorineural EBV-associated lymphoproliferative
hearing loss. disorders.
Diagnosis Cell culture, PCR assay of mucosal Shell vial (days) or traditional culture Serological testing and PCR of
swab specimens obtained 12-24 (>28 days) or PCR assay of tissue and immunocompromised
hours after birth, CSF, whole blood. fluids (rapid). Detection ≠ infection.
Management parenteral acyclovir, 60mg/kg/day symptomatic - parenteral ganciclovir or Symptomatic
divided q8 for 14 days (SEM) and oral valganciclovir before 1 month of age
minimum 21 days for CNS or for 6 months to improve
disseminated infections. developmental/auditory outcomes
Prevention oral acyclovir suppressive therapy hand hygiene for all - standard hand hygiene for all - standard
300mg/m2/dose q 8 hours for 6 precautions precautions
months following treatment of acute
disease improves
neurodevelopmental outcomes and
decreases SEM outbreaks.
Consideration Observe of skin infection (skin
lesions, respiratory distress,
seizures, signs of sepsis)
• If asymptomatic: no specimens
and empiric acyclovir needed
• Educate parents signs and
symptoms during 1st 6 wks of life  

VZV (Herpes Zoster virus) HAV (Hepatitis A virus) HBV (Hepatitis B virus)
Epidemiology • Highly contagious; airborne Person to person; fecal-oral; • Transmitted via blood and body fluids.
• In utero infection results from vertical transmission rare • Up to 90% infected in the first year of
trans placental passage during life will develop chronic HBV.
maternal viremia with VZV. • Immune tolerant phase for years, some
• Establishes latency and with growth impairment.
reactivates = herpes zoster or
shingles.
Clinical • Fetal infection after maternal Acute, self-limited fever, malaise, • Subacute (nonspecific) to clinical and
Presentation varicella in 1st or early 2nd anorexia, and jaundice fulminant hepatitis.
trimester (1-2%) may result in • Extrahepatic manifestations.
death, varicella embryopathy
(limb hypoplasia, cutaneous
scarring, eye and CNS
abnormalities).
• Children infected with VZV in
utero may develop zoster without
extra uterine varicella.
• Maternal varicella 5 days before
to 2 days after delivery has high
case fatality rate due to
disseminated varicella.
Diagnosis VZV PCR of lesion Serology Serology

Management VariZIG or IVIG considered for Supportive care No therapy for acute HBV; screened
exposed, asymptomatic neonates periodically; goal to prevent progression
at risk. to hepatocellular carcinoma
Prevention Airborne and contact Contact precautions for 1 week • HBIG and hepatitis B vaccine for
following symptom onset. infants born to HBsAg + women.
Hand hygiene and immunization • Contact precautions if visible blood.
including post exposure prophylaxis
for up to 40yr; immune globulin
(0.02mL/kg) to infant if maternal
symptoms began between 2 weeks
before and 1 week after delivery.
Efficacy has not been established.
 

147
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus

HCV (Hepatitis C virus) Measles Rubella


Epidemiology • Maternal-fetal transmission Humans only host; transmitted by Humans only source; transmitted
• Risk of perinatal transmission 5-6%; droplets or airborne spread; one through direct or droplet contact with
10-20% if HIV co-infected, occurring of most highly communicable of all nasopharyngeal secretions.
only from women who are HCV infectious diseases. Communicability few days before to 7
RNA + at delivery. days after rash onset.
Infants may shed and transmit for 1
year following infection.
Clinical Mild and insidious; jaundice < 20%, • Acute fever, cough, coryza, and Many subclinical; generalized
Presentation less hepatitis than hepatitis B conjunctivitis  maculopapular rash erythematous maculopapular rash,
spreads cephalo-caudally and lymphadenopathy, mild fever.
centrifugally. Encephalitis and thrombocytopenia
• Complications include otitis media, are complications.
bronchopneumonia, croup,  Congenital rubella syndrome:
diarrhea, acute encephalitis. more severe
• Post- infectious: SSPE
Diagnosis • Hepatitis C IgG serology and • Serology Rubella IgM from birth to 3 months of
NAATS to detect HCV RNA – may • Measles PCR from throat, age (false positives occur) and stable
be performed at 1-2 months of age. nasopharyngeal, urine, blood. or increasing rubella IgG first 7-11
• Passively acquired maternal Recommend both serologic and months of life. Isolation of virus from
antibody may persist in infants for virologic testing. throat, NP, or urine in cell culture
up to 18 months.
Management Antivirals aimed at inhibiting HCV Supportive; vitamin A Supportive
replication and eradicating infection. supplementation daily x 2 days
Prevention Standard precautions • Airborne precautions until day 4 • Droplet precautions until 7 days
after rash onset. after onset of rash.
• Administer IGIV within 6 days after • Contact precautions for
exposure to measles-susceptible known/suspected CRS until 1 year
pregnant women. of age or cultures obtained 1 month
• Measles in pregnancy associated apart after 3 months of age are
with severe maternal; infection and negative.
prematurity. • MMR immunization.
 
Influenza Non Polio Enterovirus RSV
Epidemiology • Epidemics attributed to • Fecal-oral and respiratory routes, mother • Acute respiratory tract infection.
influenza A & B. Antigenic drift to infant in prenatal period and via • Most RSV hospitalizations within the first 3
results in new strains and breastfeeding. months of life.
seasonal epidemics. • Usual incubation 3-6 days • Predisposed are premature, cyanotic or complex
• Antigenic shift only with • >100 distinct serotypes (group A and B cardiac disease, pulmonary hypertension,
influenza A strains pandemic. coxsackieviruses, echoviruses, and premature lung disease, immunodeficiency.
• Person to person via droplets. numbered enteroviruses. • Occurs in annual epidemics in during winter and
• Infectious 24 hours before • NP enteroviruses also grouped into 4 early spring.
symptoms; shedding species EV A,B,C,D with polioviruses = • Viral shedding 3-8 days up to 3-4 weeks.
correlated with fever. EV-C. Incubation period is 2-8 days.
• Echoviruses 22 and 23 = human
parechoviruses 1 and 2.

Clinical Influenza infection in neonates • Significant and frequent illnesses with • Rhinitis, cough, wheezing, tachypnea.
Presentation associated with a sepsis-like numerous manifestations. • Preterm infants may not manifest respiratory
syndrome, apnea, pneumonia, • Nonspecific febrile illness, respiratory, symptoms – lethargy, anorexia, apnea.
and morbidity. skin, neurologic, GI, ocular, cardiac,
muscular.
• Neonates without maternal immunity at
risk for severe viral sepsis,
meningoencephalitis, myocarditis,
hepatitis, coagulopathy, and
pneumonitis.

Diagnosis RT-PCR, rapid influenza RT-PCR from stool, nasopharynx, Antigen detection assays, RT-PCR (30%
molecular assays, viral culture conjunctival swabs, CSF, tissue, blood, coinfected), rapid molecular assays.
urine.

Management • 2 classes of antivirals – Supportive; IGIV or convalescent maternal • Supportive – hydration and ventilation if indicated.
neuraminidase inhibitors (NI) plasma used for life- threatening neonatal • Ribavirin not recommended for routine use;
and adamantanes. infections consider for severe infections.
• Oseltamivir (NI) licensed for • Corticosteroids, antimicrobials, and
>2 weeks; may be used in bronchodilators not recommended.
neonates.

Prevention • Droplet precautions: hand Contact precautions for infants for duration • Palivizumab (humanized mouse immunoglobulin (Ig)
hygiene. of illness; cohorting G1 monoclonal antibody may reduce the risk of RSV.
• Infants born to influenza- Administered IM q 30 days for 5 months during RSV
season. Not effective in treatment of RSV disease or in
immunized mother have
controlling outbreaks.
better outcomes and reduce • Infants in a neonatal unit who qualify because of CLD,
chance of preterm/SGA. CHD, or prematurity may receive the first dose 48-72
hours before discharge.
 
 

148
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Rotavirus Perinatal HIV Metapneumovirus (hMPV)


Epidemiology • Most common etiology of acute Blood, semen, cervicovaginal Mild disease in immunocompetent;
gastroenteritis in community and secretions, and human milk severe in immunocompromised.
healthcare settings prior to universal implicated in transmission. Similar to and overlaps with RSV
immunization. Mother to child transmission (MTC) in season.
• Transmission by fecal-oral route and utero, at labor and delivery and via
possibly via fomites. breastfeeding.
• Incubation 1-3 days.
Clinical Acute onset of fever and vomiting Unexplained fevers, generalized • Acute respiratory tract illness,
Presentation followed by watery diarrhea for 3-8 lymphadenopathy, hepatomegaly, including bronchiolitis, pneumonia,
days. Dehydration, electrolyte splenomegaly, failure to thrive, asthma, croup, acute otitis media.
abnormalities, and persistent persistent candidiasis, recurrent • Preterm birth and cardiopulmonary
diarrhea. diarrhea, parotitis, hepatitis, CNS disease at risk for more severe
disease, opportunistic infections. disease.
Diagnosis Enzyme immunoassays (EIAs) RT- HIV DNA PCR  positive result by 48 RT-PCR
PCR to detect viral RNA hours. In utero transmission; 93% HIV
DNA PCR+ by 2 weeks of age and
95% DNA PCR+ by 4 weeks of age.
Management Supportive – hydration. Antiretroviral • Supportive – hydration, respiratory
Zidovudine prophylaxis support.
• Ribavirin has activity with hMPV but
clinical benefit not demonstrated.
• Antimicrobial agents not indicated
unless bacterial infection.
Prevention • Contact precautions  bleach (1:2 • Standard precautions for care of HIV Contact precautions with hand
with water) and 70% ethanol infected infant (all infants). hygiene.
inactivates rotavirus on environmental • Decreased MTC due to antenatal
surfaces. testing, antiretroviral (ARV)
• Consumption of human milk is prophylaxis ante-, intra-, and post-
associated with milder risk partum, cesarean section before
• Immunization required  debatable labor and ROM, and avoidance of
administration in NICU. breastfeeding.
• Preterm infants may be immunized
when > 6 weeks postnatal age and
clinically stable.
 
 
   

149
Urinary Tract Infection Prophylaxis:
Cost Effectiveness
Sudung O. Pardede

Tujuan:
1. Meningkatkan pemahaman tentang manfaat dan indikasi
pemberian antibiotik profilaksis pada anak dengan ISK.

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit infeksi yang sering pada
anak di samping infeksi saluran nafas dan infeksi saluran cerna. Infeksi
saluran kemih dapat dibedakan menjadi ISK atas dan ISK bawah. Pada
ISK atas atau pielonefritis, bakteri naik ke ginjal melalui saluran kemih,
menyebabkan inflamasi dan kerusakan ginjal, atau pembentukan jaringan
parut. Infeksi saluran kemih dapat menimbulkan komplikasi berupa urosepsis
atau acute kidney injury yang dapat bersifat fatal.1,2 Selain itu, ISK berulang
akan menyebabkan masalah ketidak-nyamanan pada anak, gangguan aktivitas
dan kehidupan sehari-hari, beban psikologis pada anak dan keluarga, serta
masalah biaya.2,3
Untuk mencegah berulangnya ISK, dapat dilakukan berbagai upaya
seperti memperbaiki keadaan umum termasuk mengatasi masalah gizi,
memperhatikan kebersihan daerah perineum, mendeteksi kelainan anatomi
atau fungsional saluran kemih dan mengatasinya, menghilangkan faktor risiko,
dan pemberian profilaksis.4 Di samping itu koreksi bedah terhadap kelainan
struktural seperti obstruksi, refluks, ureterokel dan ureter dupleks yang disertai
obstruksi penting untuk mencegah infeksi berulang.5 .

Komplikasi ISK
Komplikasi ISK berulang pada anak dapat berupa acute kidney injury, urosepsis,
hipertensi dan dalam jangka lama menyebabkan pembentukan jaringan parut
di ginjal dan penyakit ginjal kronik stadium akhir yang memerlukan tindakan
dialisis atau transplantasi ginjal.2,3
Insidens pembentukan jaringan parut ginjal akan meningkat pada setiap
episode pielonefritis.6 Kerusakan ginjal pada anak setelah pielonefritis akut

171
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness

terdapat pada 5-20% anak berdasarkan deteksi dengan pielografi dan angka ini
meningkat menjadi 40% berdasarkan pemeriksaan skintigafi DMSA (99TmTc-
dimercapto succinic acid).7 Pada penelitian The RIVUR, insidens pembentukan
jaringan parut baru (new renal scars) sama pada anak dengan pemberian
antibiotik profilaksis dengan tanpa antibiotik profilaksis (8,2% vs. 8,4% ).8

Faktor risiko kekambuhan ISK


Setelah episode pertama, ISK berulang dapat terjadi pada 30-40% anak
terutama pada anak dengan kelainan saluran kemih.2 Pada penelitian kohort
terhadap 262 anak usia kurang dari 1 tahun yang diterapi sebagai ISK pertama
kali, dalam pengamatan 3 tahun setelah pengobatan didapatkan angka
kekambuhan 35% pada anak laki-laki dan 32% pada anak perempuan.9 Faktor
risiko kekambuhan ISK tergantung banyak faktor, antara lain mekanisme
pertahanan defektif sel uroepitel, disfungsi kandung kemih (neurogenik atau
non neurogenik), refluks vesiko-ureter (RVU), obstruksi saluran kemih atau
uropati obstruktif, divertikulum kandung kemih, usia terutama < 6 bulan,
jenis kelamin perempuan.2,6 Pada anak dengan RVU dilatasi, terdapat kaitan
kuat antara berulangnya ISK demam atau pielonefritis dengan jaringan parut.1

Antibakteri profilaksis
Antimikroba profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama telah
digunakan secara tradisional terhadap pasien yang rentan dengan berulangnya
pielonefritis akut atau ISK bawah.10 Tujuan pemberian antibiotik profilaksis
adalah mempertahankan urin tetap dalam keadaan steril, mencegah ISK
berulang, dan mencegah kerusakan ginjal.8,10,11
Sejak diketahui bahwa sebagian besar RVU dapat sembuh spontan,
banyak peneliti merekomendasikan terapi konservatif seperti antibiotik
profilaksis berkesinambungan, sebagai opsi terapi inisial pada anak, dan
mempersiapkan anak untuk intervensi bedah jika antibiotik profilaksis
tidak efektif mencegah ISK.11 Namun, efikasi antibiotik profilaksis sering
dipertanyakan dan dapat meningkatkan risiko resistensi bakteri terhadap
antibiotik, sehingga para klinikus perlu menentukan apakah pasien perlu
mendapat antibiotik profilaksis.10
Pada makalah Beetz di jurnal Pediatric Nephrology tahun 2006 disebutkan
bahwa pada tahun 1941, untuk pertama kali Helmholtz merekomendasikan
pemberian sulfatiazol dosis rendah jangka lama untuk ISK kronik. Beberapa
tahun kemudian, Stansfiled dan Webb (1954) serta Marshal dan Johnson
(1956) melaporkan manfaat pemberian terapi antimikroba jangka lama,
terutama nitrofurantoin, pada bayi dan anak usia muda.6

172
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Antibiotik profilaksis untuk ISK digunakan secara empirik pada tahun


1950-an, dan belum ada penelitian controlled hingga tahun 1960-an.12
Pada tahun 1965-an, antibiotik profilaksis diperkenalkan sebagai ukuran
terapi mencegah ISK berulang pada anak.13 Pada tahun 1976, Smellie dkk
melaporkan penurunan kejadian ISK berulang selama pemberian trimetoprim-
sulfametoksazol pada anak dengan ISK simtomatik.14 Pada tahun 1977, Lohr
dkk. melaporkan hasil penelitian terhadap 18 anak usia 3-13 tahun yang dibagi
menjadi kelompok yang mendapat antibiotik profilaksis dan plasebo. Hasilnya
menunjukkan bahwa dalam 1 tahun pengamatan, terjadi 35 episode ISK pada
kelompok yang mendapat plasebo dan 2 episode pada kelompok yang mendapat
profilaksis dan perbedaan ini bermakna dengan p<0,01.15 Pada tahun 1978,
Smellie dkk melaporkan penelitian randomized controlled trial pada 45 anak
dengan ISK akut tanpa kelainan saluran kemih berdasakan pemeriksaan
radiologi. Setelah mendapat terapi ko-trimoksazol, pasien dibagi menjadi dua
kelompok yaitu yang mendapat ko-trimoksazol atau nitrofurantoin profilaksis
dosis rendah dan yang tidak mendapat profilaksis selama 12 bulan. Hasilnya
menunjukkan bahwa tidak seorang pun di antara 25 pasien yang mendapat
profilaksis mengalami ISK berulang, sedangkan pada kelompok yang tidak
mendapat profilaksis didapatkan 11 dari 22 pasien mengalami minimal satu
kali ISK simtomatik. Dua belas bulan setelah antibiotik profilaksis dihentikan,
8 (32%) di antara pasien yang mendapat profilaksis dan 13 (64%) di antara
yang tidak mendapat profilaksis mengalami ISK berulang.16 Smellie dkk.
(1982) merekomendasikan pemberian antibiotik profilaksis pada anak yang
mengalami ISK berulang terutama yang menyebabkan sakit berat atau absen
dari sekolah, serta pada anak dengan kemungkinan ISK berulang terutama
dengan RVU, dengan atau tanpa jaringan parut ginjal.17
Pada tahun 1992, The International Reflux Study of Children melakukan
penelitian untuk membandingkan efektivitas pemberian antibiotik profilaksis
jangka lama dengan tindakan operasi pada anak dengan RVU derajat tinggi
untuk mencegah penurunan fungsi ginjal. Dilakukan evaluasi selama 10
tahun, hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada kedua
kelompok tersebut dalam hal terjadinya parut ginjal dan komplikasinya. Hal
ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis efektif pada RVU
derajat tinggi.18 American Urologic Association menganjurkan pemberian
antibiotik profilaksis pada semua anak usia kurang dari 5 tahun dengan RVU
derajat I-IV.22 Antibiotik profilaksis pada anak dengan RVU merupakan upaya
alternatif terhadap upaya operatif. 10

Indikasi profilaksis
Antibiotik profilaksis terindikasi pada anak dengan ISK dengan risiko tinggi

173
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness

mengalami ISK atau indeks infeksi yang berat untuk mencegah ISK berulang
dan terbentuknya jaringan parut ginjal.3,18 Indikasi antibiotik profilaksis
antara lain RVU, uropati obstruktif termasuk yang terdeteksi antenatal atau
skrining pasca natal.6,10,19 Indikasi lain adalah ISK simtomatik berulang (>
3 kali per tahun) terutama yang disertai instabilitas kandung kemih atau
abnormalitas berkemih, neonatus atau bayi < 1 tahun dengan ISK febris
karena sepertiga bayi ini berisiko mengalami ISK simtomatik dan lebih dari 90%
menjadi pielonefritis atau urosepsis, atau pada bayi atau anak usia muda yang
mengalami pielonefritis meski tidak terdapat RVU.6,18,19 Direkomendasikan
juga pada anak perempuan yang lebih besar dengan sistitis yang sering
berulang.18. Antibiotik profilaksis tidak diberikan secara rutin,3,6 dan pada
RVU derajat rendah, pemberian profilaksis tidak perlu.10
Montini dan Hewitt (2009) melakukan review terhadap beberapa
penelitan tentang pemberian antibiotik profilaksis dan membuat kesimpulan
meskipun masih banyak hal-hal yang belum dapat disimpulkan. 1. Antibiotik
profilaksis tidak terindikasi untuk ISK demam yang pertama kali (first febrile
UTI) yang tidak disertai RVU atau hanya RVU derajat I dan II. Ada 3 alasan
terhadap kesimpulan ini yaitu: a. penelitian metaanalisis menunjukkan
tidak ada keuntungan pemberian antibiotik profilaksis. b. terdapat risiko
meningkatnya resistensi terhadap bakteri. c. frekuensi terjadinya reinfeksi
rendah. 2. Untuk refluks derajat tinggi, tidak dapat diambil kesimpulan yang
jelas, dengan alasan: a. persentase reinfeksi lebih tinggi pada RVU derajat
III dibandingkan dengan derajat 0, I, dan II. b. penelitian metaanalisis
membuktikan bahwa dengan antibiotik profilaksis tidak terdapat keuntungan
yang bermakna pada kelompok ini, namun jumlah pasien yang diikutkan dalam
penelitian tersebut tidak mencukupi.20 Pada tahun 2007, National Institute for
Health and Clinical Excellence (NIHCE) merekomendasikan bahwa antibotik
profilaksis tidak rutin diberikan pada bayi dan anak yang mengalami ISK
untuk pertama kali. Antibiotik profilaksis dipertimbangkan pada bayi dan
anak dengan ISK berulang.21
Pada tahun 2011, Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia (UKK Nefrologi IDAI) membuat konsensus tentang ISK yang
salah satu isinya adalah tentang pemberian antibiotik profilaksis pada anak.
Dalam konsensus tersebut disebutkan bahwa: a. Antibiotik profilaksis tidak
rutin diberikan pada anak dengan ISK pertama kali, b. tidak terindikasi pada
ISK demam yang tidak disertai RVU atau hanya RVU derajat I dan II, c.
diberikan pada anak risiko tinggi seperti RVU derajat tinggi (III-V), uropati
obstruktif, dan berbagai kondisi risiko tinggi lainnya, d. dipertimbangkan pada
bayi dan anak dengan ISK berulang, dan e. jika anak yang mendapat antibiotik
profilaksis mengalami reinfeksi, maka infeksi diterapi dengan antibiotik yang
berbeda dan tidak dengan menaikkan dosis antibiotik profilaksis tersebut.4

174
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Efektivitas antibiotik profilaksis


Pemberian antibiotik profilaksis masih kontroversial dan sering diperdebatkan.
Pemberian profilaksis dapat mencegah ISK berulang dan menurunkan risiko
pembentukan jaringan parut di ginjal, tetapi ada pendapat yang menyatakan
bahwa pemberian profilaksis tidak bermakna menurunkan kejadian ISK
beulang atau jaringan parut, malah meningkatkan resisten bakteri terhadap
antibiotik.
Terdapat beberapa penelitian tentang antibiotik profilaksis yang hasilnya
kontradiktif, tetapi hanya sedikit yang merupakan penelitian randomized
controlled. Terdapat kecenderungan penurunan pemberian antibotik profilaksis
jangka lama. Kelihatannya, pasien yang perlu mendapat antibiotik profilaksis
adalah anak kecil dengan RVU dilatasi, terutama perempuan.1 .
Hasil penelitian tentang antibiotik profilaksis dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok, yaitu penelitian yang menyebutkan profilaksis dapat
mencegah ISK berulang, penelitian yang hasil pemberian profilaksis dan yang
tidak mendapat profilaksis tidak berbeda, dan penelitian yang menyebutkan
bahwa pemberian profilaksis menyebabkan meningkatnya risiko ISK berulang.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa antibiotik profilaksis dapat
menurunkan kejadian rekurensi ISK bawah.10 Cooper dkk. melaporkan hasil
penelitian pada 40 anak perempuan dan 11 anak laki-laki menderita RVU
dengan hidronefrosis yang tidak signifikan dan proses berkemih normal.
Selama mendapat antibiotik profilaksis, riwayat ISK sangat minimal. Setelah
penghentian antibiotik profilaksis, sebagian besar anak dalam keadaan baik,
namun 1 anak mengalami sistitis, dan 5 anak dengan ISK demam. Infeksi
terjadi dalam waktu rerata 2,3 tahun (4 bulan hingga 9.4 tahun) setelah
antibiotik dihentikan dan tidak ada pembentukan jaringan parut.23 Craig dkk.
(2009) meneliti 576 anak usia 0-18 tahun yang dirandomisasi untuk mendapat
antibiotik profilaksis dan yang tidak mendapat profilaksis dan dipantau
selama 1 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa ISK berulang lebih rendah
pada kelompok yang mendapat profilaksis dibandingkan yang dapat plasebo
yakni 13% vs. 19% dengan hazard ratio 0,61% (IK 95% 0,40-0,93; p=0,02).24
Pada tahun 2001, penelitian meta-analisis mengidentifikasi ada 5 penelitian
randomized control di antara anak yang mendapat antibiotik profilaksis yang
melibatkan 463 anak. Tiga penelitian di antaranya melibatkan 392 anak usia
2-6 bulan dan dua penelitian melibatkan 71 anak untuk menilai efektvitas
pemberian antibiotik dosis rendah jangka lama untuk mencegah ISK. Hasilnya
menunjukkan antibiotik profilaksis menurunkan risiko terjadinya ISK (risiko
relatif 0,31; IK 95% 0,10 – 1,00).25
Penelitian multisite, randomized, placebo-controlled trial oleh Hoberman
dkk. (2014) melibatkan 607 anak, median usia 12 bulan yang didiagnosis

175
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness

dengan RVU dan ISK simtomatik mendapat profilaksis kotrimoksazol dan


plasebo untuk mencegah berulangnya ISK. Dilakukan evaluasi terhadap
parut ginjal, kegagalan terapi (menurunnya kekambuhan), dan resistensi
bakteri. Hasil penelitian menunjukkan kekambuhan ISK terdapat pada 39
di antara 302 anak (12,9%) yang mendapat profilaksis dibandingkan 72 di
antara 305 (23,6%) yang mendapat plasebo (risiko relatif 0,55; IK 95% 0,38-
0,78). Pemberian antibiotik profilaksis menurunkan risiko rekurensi 50%
(hazard ratio 0,50; IK 95% 0,34-0,74), terutama efektif pada anak dengan
demam (hazard ratio 0,41;IK 95%0,26-0,64) dan pada anak dengan disfungsi
saluran kemih dan saluran cerna (hazard ratio 0,21; IK0,08-0,58), namun tidak
terdapat perbedaan bermakna terjadinya parut ginjal pada anak yang mendapat
profilaksis dan plasebo (11,9% vs. 10,2%, p=0,55) baik pada jaringan parut
berat (4,0% vs.2,6%, p=0,37), maupun terbentuknya jaringan parut baru
(8,2% vs. 8,4%, p=0,94), dengan number needed to treat (NNT) 10. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis menurunkan risiko
berulangnya ISK pada anak dengan RVU, tetapi tidak terdapat perbedaan
terhadap terjadinya parut ginjal antara anak yang mendapat antibiotik
profilaksis dengan yang tidak. Penelitian juga menunjukkan bahwa antibiotik
profilakis menurunkan berulangnya ISK hingga 50%.26
Wang dkk., (2015) melakukan penelitian meta-analisis yang menyertakan
1.594 pasien usia 8,6 bulan hingga 21,3 bulan (median 12 hingga 24 bulan),
dengan pemantauan 1-3 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian
antibiotik profilaksis berkesinambungan secara bermakna menurunkan risiko
berulangnya ISK simtomatik (OR 0,63; IK95%: 0,42-0,96), tetapi jika terjadi
ISK maka terdapat peningkatan risiko organisme yang resisten terhadap
antibiotik (OR 8,75; IK 95%: 3,52-21,73). Pemberian antibiotik profilaksis
tidak terkait dengan penurunan pembentukan jaringan parut baru. Kejadian
efek samping tidak berbeda antara pasien yang mendapat antibiotik profilaksis
dengan yang tidak. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pemberian
antibiotik profilaksis berkelanjutan menurunkan risiko ISK febris dan ISK
simtomatik secara bermakna, namun meningkatkan risiko resistensi bakteri dan
tidak berkaitan dengan terbentuknya jaringan parut baru dan efek samping.11
Penelitian Roussey-Kesler dkk. (2008) terhadap 225 anak usia 1 bulan
– 3 tahun dengan RVU grade I-III dirandomisasi untuk mendapat antibiotik
profilakis dan tidak mendapat profilaksis, menunjukkan bahwa setelah 18 bulan
pemantauan, tidak terdapat perbedaan terjadinya ISK berulang (17% vs. 26%,
p=0,15) 27 Penelitian Pennesy dkk. (2008) terhadap 100 anak usia 0 bulan- 2
½ tahun dengan pielonefritis yang mendapat antibiotik profilaksis dan tidak
mendapat profilaksis selama 2 tahun, menunjukkan bahwa setelah 2 tahun
pemantauan pasca penghentian antibiotik profilaksis tidak terdapat perbedaan
berulangnya ISK pada kedua kelompok (36% vs.30%). Demikian juga dengan

176
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

kejadian jaringan parut ginjal, tidak terdapat perbedaan pada pasien yang
mendapat antibiotik profilaksis dan yang tidak mendapat profilaksis (40% vs.
36%, p=0,4).28 Penelitian Montini dkk. (2009) melibatkan 338 anak usia 2
bulan-7 tahun dengan RVU grade I-III yang mendapat antibiotik profilaksis
dan yang tidak mendapat profilaksis. Pada akhir pemantauan 1 tahun, tidak
terdapat perbedaan pada kedua kelompok terhadap terjadinya ISK berulang
dan terbentuknya jaringan parut.20 Penelitin Garin dkk (2005) melibatkan 218
anak berusia 1 bulan-18 tahun dengan pielonefritis akut yang dirandomisasi
mendapat antibiotik profilaksis dan tidak mendapat profilaksis untuk menilai
jaringan parut dengan skintigrafi DMSA. Hasilnya menunjukkan bahwa
setelah satu tahun, tidak terdapat perbedaan kejadian parut ginjal pada anak
yang mendapat antibiotik profilaksis dan yang tidak mendapat profilaksis.29
Penelitian meta-analisis terhadap ISK anak dengan RVU primer. melibatkan
809 anak dengan risiko relatif berulangnya ISK dengan profilaksis 0,82 (IK
95$: 0,62-1,08, p=0,16) Selain itu, meta-analisis terhadap 4 penelitian untuk
mengevaluasi parut ginjal yang melibatkan 662 anak dengan ISK mendapat
profilaksis menunjukkan risiko relatif 1,04 (IK 95% 0,84-1,30, p=0,69)
Hasil meta-analisis ini menyebutkan tidak ada manfaat pemberian antibiotik
profilaksis untuk mencegah ISK berulang dan pembentukan jaringan parut,
namun interpretasi hasil ini harus hati-hati karena berbagai keterbatasan
penelitian seperti blindness, jumlah anak dengan RVU, metode pengambilan
sampel urin untuk mendiagnosis ISK, lebarnya kelompok usia, tingginya
persentase pasien dengan displasi ginjal, kriteria inklusi derajat RVU, durasi
follow-up yang relatif singkat yang memengaruhi hasil penelitian.13 Pada tahun
1980-an, ada dua penelitian randomized- control trial yang membandingkan
pemberian antibiotik profilaksis saja dengan tindakan bedah atau kombinasi
dengan profilaksis ajuvan yang menunjukkan hasil hampir sama.20 Pada
penelitian randomized clinical trial oleh The RIVUR, insidens jaringan
parut baru (new renal scars) sama pada anak dengan pemberian antibiotik
profilaksis dengan tanpa antibiotik profilaksis (8,2 vs. 8,4 %), dan tidak dapat
menentukan apakah antibiotik profilaksis dapat mencegah kerusakan ginjal.8
Penelitian Hari dkk. (2015) melaporkan bahwa pemberian antibiotik
trimetoprim-sulfametoksazol sebagai profilaksis jangka panjang meningkatkan
risiko ISK berulang pada anak dengan RVU derajat I-III dibandingkan dengan
yang mendapat plasebo.30 Hal yang sama juga dilaporkan oleh Garin dkk.
(2006) yang menyebutkan bahwa risiko kejadian pielonefritis lebih tinggi pada
anak yang mendapat antibiotik profilaksis dibandingkan yang tidak mendapat
antibiotik profilaksis.29 Hal ini kemungkinan disebabkan pada kelompok yang
mendapat antibiotik profilaksis terjadi eradikasi flora protektif periuretra yang
menyebabkan kolonisasi bakteri dan peningkatan virulensi bakteri.30

177
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness

Dampak negatif antibiotik profilaksis


Masalah yang dapat terjadi akibat pemberian antibiotik profilaksis adalah
resistensi antimikroba, reaksi simpang (gangguan saluran cerna, skin rashes,
hepatotoksik, kelainan hematologi, sindrom Stevens-Johnson), kekurang
patuhan, dan tidak nyaman untuk pasien.13
Masalah yang paling sering diperbincangkan pada penggunaan antibiotik
profilaksis adalah peningkatan resistensi bakteri terhadap kuman patogen.
Penelitian The RIVUR menemukan meningkatnya insidens ISK yang
disebabkan patogen yang resisten pada pasien dengan antibiotik profilaksis
dibandingkan dengan pasien yang mendapat plasebo. (68.4 vs. 24.6 %).8
Pada peneltian Garin dkk., 7 di antara 8 pasien dengan RVU yang mendapat
profilaksis mengalami pielonefritis akut berulang dengan biakan urin
menunjukkan bakteri resisten terhadap antibiotik yang digunakan sebagai
profilaksis.29 Craig dkk. melaporkan hasil yang sama yaitu bakteri yang resisten
lebih tinggi pada kelompok yang mendapat antibiotik profilaksis dibandingkan
dengan plasebo (67 vs. 25 %).24 Montini dkk. melaporkan bahwa rekurensi
disebabkan oleh bakteri resisten terjadi pada kelompok yang mendapat
profilaksis.20 Pennesi dkk. menemukan bahwa rekurensi ISK pada kelompok
yang mendapat profilaksis disebabkan oleh bakteri multiresisten sedangkan
pada kelompok kontrol rekurensi disebabkan oleh pan-sensitive Escherichia
coli.28 Penelitian Bitsori dkk. (2014) menunjukkan peningkatan persentase
bakteri resisten terhadap antibiotik nitrofurantoin (p<0,0002), seftriakson
(p<0,0034), dan gentamisin (p<0,014). Pemberian profilaksis meningkatkan
proporsi bakteri patogen non E. coli sebagai penyebab ISK (46,9% vs. 26,9%,
odds ratio 2,4; IK 95%1,61-3,55, p<0,0001).19 Pada penelitian Hoberman dkk.,
resistensi bakteri E.coli terhadap trimetoprim-sulfametoksazol lebih tinggi pada
pasien yang mendapat profilaksis dibandingkan dengan yang mendapat plasebo
tetapi tidak berbeda bermakna, yakni 63% dibandingkan 19%. 26

Antibiotik yang digunakan untuk profilaksis


Antibiotik untuk profilaksis yang ideal adalah mampu mencegah infeksi
dengan dampak terhadap flora usus yang minimal. Kriteria antibiotik yang
diberikan sebagai profilaksis pada ISK antara lain: antibiotik yang efektif
terhadap bakteri uropatogen, diabsorbsi dengan baik di usus halus sehingga
aktivitas terhadap bakteri di kolon minimal, konsentrasi di urin adekuat,
efek samping minimal dengan pemberian jangka pendek atau lama, resistensi
rendah terhadap bakteri, mudah dikonsumsi anak, rasanya enak, menyebabkan
dampak minimal terhadap flora usus, mudah didegradasi agar efek negatif
terhadap lingkungan minimal.1,6

178
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Antibiotik yang digunakan untuk profilaksis adalah trimethoprim,


kotrimoksazol, sulfisoksazol, sefaleksin, asam nalidiksat, sefaklor, sefiksim,
sefadroksil, siprofloksasin.1,5,10,31

Lama pemberian profilaksis


Lamanya pemberian antibiotik profilaksis berbeda-beda karena durasi optimal
tergantung indikasi. Berdasarkan rasionalisasi, antibiotik profilaksis diberikan
hingga tidak ada lagi risiko pielonefritis berulang dan atau risiko pembentukan
jaringan parut.6 Pada anak dengan obstruktif saluran kemih, profilaksis
diberikan hingga penyakit dasarnya dioperasi atau hilang spontan.6,18,19 Pada
ISK kompleks pemberian profilaksis dapat berlangsung 3-4 bulan dan dapat
dilanjutkan pada kasus RVU atau obstruksi.5 Beberapa penelitian menyebutkan
durasi pemberian antibiotik profilaksis selama 1 tahun.6,16,24 Cara-Fuentes dkk.
meneliti anak yang mendapat antibiotik profilaksis selama 2 tahun.8 Pada
dewasa perempuan dengan ISK berulang, hasil pemberian profilaksis selama
1 tahun lebih baik dibandingan dengan pemberian 6 bulan.6
Keputusan untuk menghentikan pemberian profilaksis lebih mudah pada
anak laki-laki dibandingkan perempuan. Pemberian antibiotik profilaksis
dapat mempunyai efek jangka lama setelah penghentian profilaksis. Pada satu
penelitian randomised, prospective, placebo-controlled study pada anak didapatkan
bahwa 12 bulan setelah penghentian profilaksis, didapatkan 32% anak yang
mendapat profilaksis dan 64% anak yang mendapat plasebo mengalami ISK
kembali.6

Pembiayaan
Antibiotik profilaksis dapat menurunkan risiko berulangnya ISK, aman, dan
dapat ditoleransi dengan baik, namun selain meningkatkan risiko resistensi
bakteri terhadap antibiotik, pemberian antibiotik profilaksis juga memerlukan
biaya.30 Pasien anak yang tidak mendapat profilaksis dilaporkan mengalami
ISK simtomatik 3 kali lebih sering dibandingkan dengan yang tidak mendapat
antibiotik profilaksis selama 2 tahun pengamatan,8 antimikroba profilaksis dosis
rendah diberikan selama 12 bulan.16
Dari penelusuran literatur, tidak ditemukan literatur tentang cost
effectiveness pemberian antibiotik profilaksis. Oleh karena itu, dicoba
melakukan perhitungan biaya yang dikeluarkan jika seorang anak dengan
ISK memerlukan antibiotik profilaksis. Sebagai ilustrasi, ada dua orang anak
perempuan masing-masing 2 tahun dengan berat badan 12 kg. yang sudah
didiagnosis dengan ISK kompeks (RVU derajat IV-V). Satu orang mendapat
antibiotik profilaksis sefaleksin 1 x 150-200 mg setiap malam selama 1 tahun

179
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness

sedangkan satu orang lagi tidak mendapat profilaksis. Pada kedua kelompok
ini, dianggap selama pemantauan dilakukan pemeriksaan laboratorium
berupa urinalisis dan biakan urin dengan frekuensi yang sama. Dilakukan
perhitungan perkiraan biaya untuk kedua anak. Untuk anak yang mendapat
profilaksis, diperlukan biaya untuk mengadakan obat sebesar 365 hari x Rp
5.200 = Rp. 1.898.000. Perhitungan lama pemberian antibiotik selama satu
tahun didasarkan pada lamanya pemberian antibiotik profilaksis yaitu antara
1-2 tahun, dan kemungkinan berulangnya ISK selama satu tahun sebanyak
3 kali atau lebih.8,16 Anak yang tidak mendapat antibiotik profilaksis dengan
kemungkinan akan mengalami 2-3 kali ISK dalam setahun, yang mungkin
memerlukan perawatan. Anak ini mendapat terapi antibiotik selama 10
hari, yaitu 5 hari parenteral x 3 kali pemberian x Rp. 7.500 = Rp. 112.500
ditambah dengan pemberian oral 5 x 3 x Rp.6.500 = Rp. 97.500 sehingga
jumlahnya menjadi Rp. 210.000. Biaya pemeriksaan laboratorium (2 x urinalisis
@ Rp.38.000) + darah tepi Rp. 60.000 + biakan urin Rp. 220.000) =
Rp. 356.000, dan 5 hari perawatan x Rp.175.000. = Rp. 875.000 dan uang
visit dokter 5 hari Rp. 52.000 = Rp. 260.000. Jadi untuk 1 kali rawat inap
dibutuhkan biaya sebesar Rp. 1.701.000, dan untuk tiga kali rawat inap
diperlukan biaya tiga kali lipatnya. Dalam biaya ini belum termasuk biaya
untuk orangtua (makan dan transportasi), waktu, tenaga dan hal lainnya
terkait perawatan anak.
Ilustrasi kasus ini menunjukkan biaya (cost) yang dibutuhkan untuk anak
yang tidak mendapat antibiotik profilaksis lebih besar dibandingkan dengan
yang mendapat profilaksis. Selain itu, jika pasien dirawat karena ISK berulang,
pasien atau keluarga menghadapi masalah lain seperti masalah psikologis yang
mengkhawatirkan orangtua tentang kondisi pasien, biaya untuk orangtua
selama anak dirawat (makan minum, transportasi, kebutuhan lain), tenaga,
waktu, dan terganggunya aktivitas sehari-hari, (Catatan: sefaleksin 250 mg
= Rp. 6.500/kapsul; Sanprima = Rp. 1.100/tablet, kotrimoksazol = Rp. 410/
tablet; sefotaksim I gram injeksi = Rp. 15.000/vial; Laboratorium: darah
lengkap =Rp. 60.000; urinalisis = Rp. 38.000; kultur urin = Rp. 220.000;
biaya kamar Rp/ 175.000 per hari, visit dokter Rp. 52.000/hari)
Keputusan menentukan pemberian antibiotik profilaksis atau tidak
tergantung pada beberapa faktor seperti tipe dan keparahan RVU, usia saat
diagnosis, riwayat ISK sebelumnya, adanya disfungsi berkemih, konstipasi, dan
beratnya jaringan parut.13

Simpulan
Pemberian antibiotik proflaksis dapat menurunkan kejadian ISK berulang pada
anak tetapi tidak jelas perannya dalam menurunkan pembentukan jaringan

180
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

parut ginjal. Meningkatnya kejadian bakteri yang resisten menjadi perhatian


bagi tenaga medis sehingga antibiotik profilaksis diberikan dengan selektif.

Daftar pustaka
1. Brandstrom P, Hansson S. Long-term, low-dose prophylaxis against urinary tract
infection in young children. Pediatr Nephrol.2015;30:425-32.
2. Goldberg B, Jantausch B. Urinary tract infection. Dalam: Kher KK, Schnaper
HM, Breenbaum LA, penyunting. Clinical Pediatric Nephrology, edisi ke-3, CRC
PRESS, New York, 2017;h.967-91.
3. Hodgson EM, Craig JC. Urinary tract infection in children. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa B, Emma F, Goldstein SL, penyunting,
Pediatric Nephrology, edisi ke-7, New York, Springer Reference, 2016;h.1696-714,
4. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP, Hidayati EL. Konsensus Infeksi
Saluran Kemih pada Anak. UKK Nefrologi IDAI, Badan Penerbit IDAI, Jakarta,
2011.
5. Lambert H,Coultard M. The child with urinary tract infection. Dalam: Webb
NJA, Postlethwaite RJ, penyunting. Clinic Paediatric Nephrology, edisi ke-3,
Oxford, Oxford University Pres, 2003.;h.197-225.
6. Beetz R. May go on with antibacterial prophylaxis for urinary tract infections?
Pediatr Nephrol.2006;21:5-13.
7. Jakobsson B, Nolstedt L, Svensson L, Soderlundh S, Berg U. 99TmTc-
dimercaptosuccinic acid (DMSA) scan ini the diagnosis of acute
pyelonephritis in children: relation to clinical and radiological findings. Pediatr
Nephrol.1992;6:328-34.
8. Cara-Fuentes G, Gupta N, Garin EH. The RIVUR Study: A review of its findings.
Pediatr Nephrol.2015;30:703-6.
9. Nuutinen M, Uhari M. Recurrence and follow-up after urinary tract infection
under the age of 1 year. Pediatr Nephrol.2001;16:69-72.
10. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinary tract infections. Dalam: Avner
ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric Nephrology,
Heidelberg, Springer-Verlag Berlin edisi ke-4, 2009. h.1299-310.
11. Wang HHS, Gbadegesin RA, Foreman JW, Nagaraj SK, Wigfall DR, Wiener
JS, dkk. Efficacy of antibiotic prophylaxis in childen with vesicoureteral reflux:
Systematic reviow and meta-analysis. J Urol.2015;193:963-9.
12. Montini G, Tullus K, Hewitt I. Febrile urinary tract infections in children. New
Engl J Med.2011;365:239-50.
13. Mattoo TK. Evidence for and against urinary prophylaxis in vesicoureteral reflux.
Pediatr Nephrol.2010;25:2379-82.
14. Smellie JM, Grueneberg RN, Leakey A, Atkins WS. Long-term low dose co-
trimoxazole in prophylaxis of childhood urinary tract infection: clinical aspects.
Br Med J.1976;2:203-6.
15. Lohr JA, Nunley DH, Howards SS, Ford RF. Prevention of recurrent urinary tract
infections in girls. Pediatrics.1977;59:562-5.
16. Smellie JM. Kantz G, Grueneberg RN. Controlled trial of prophylaxis treatment
in childhood urinary tract infection. Lancet.1978;ii:175-8.

181
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness

17. Smellie JM, Grueneberg RN, Normand ICS, Bantock HM. Trimetoprim-
sulfamethoxazole and trimethoprim alone in the prophylaxis of childhood urinary
tract infection. Rev Infect Dis.1982;4:461-6.
18. Hellerstein S, Nickell E. Prophylactic antibiotics in children at risk for urinary
tract infection. Pediatr Nephrol. 2002;17:506-10.
19. Bitsori M, Maraki S, Galanakis E. Long-term resistance trends of uropathogens
and association with antimicrobial prophylaxis. Pediatr Nephrol.2014;29:1053-8.
20. Montini G, Hewitt I. Urinary tract infections: to prophylaxis or not to prophylaxis.
Pediatr Nephrol 2009;24:1605-9.
21. National Institute for Health and Clinical Excellence. (2007): Urinary tract
infection in children. http://guidance.nice.org.uk..CG054.
22. Elder JS, Peters CA, Arant BS, Ewalt DH, Hawtrey CE, Hurwit RS,, dkk. Pediatric
vesicoureteral reflux guidelines panel summary report on the management of
primary vesicoureteral reflux in children. J Urol.1997;157:1846-51.
23. Cooper CS, Chung BI, Kirsch AJ, Canning DA, Snyder HM III.The outcome of
stopping prophylactic antibiotics in older children with vesicoureteral reflux. J
Urol.2000; 163:269–73
24. Craig JC, Simpson JM, Williams GJ, Lowe A, Reynolds GJ, McTaggart SJ, dkk.
Prevention of Recurrent urinary Tract Infection in Children with Vesicoureteric
Reflux and Normal Renal Tracts (PRIVENT).Antibiotics prophylaxis and
recurrent urinary tract infection in children. New Engl J Med.2009;361:1748-59.
25. Williams G, Lee A, Craig J. Antibiotics for the prevention of urinary tract infection
in children: a systematic review of randomized controlled trials. J Pediatr.2001;
138:868–74.
26. Hoberman A, Greenfield SP, Mattoo TK, Keren R, Mathwes R, Pohl HG, dkk.
Antimicrobial prophylaxis for children with vesicoureteral reflux. The RIVUR
Trial Investigators. New Engl J Med.2014;370:2367-76.
27. Roussey-Kesler G, Gadjos V, Idres N, Horen B, Ichay L. Leclair MD, dkk.,
Antibiotic prophylaxis for the prevention of recurrent urinary tract infection
in children with low-grade vesico-ureteral reflux: results from prospective
randomized study. J Urol.2008;179:674-9.
28. Pennesi M, Travan L, Peratoner L, Bordugo A, Cattaneo A, Ronfani L, dkk.
North East Italy Prophylaxis in VUR Study Group. In antibiotic prophylaxis in
children with vesicoureteral reflux effective in preventing pyelonephritis and
renal scar? Pediatrics.2008;121:e1489-94.
29. Garin EH, Alavarria F, Garcia NV, Valenciano B, Campos A, Young L. Clinical
significance of primary vesicoureteral reflux and urinary antibiotic prophylaxis
after acute pyelonephritis : a multicenter, randomized, controlled study.
Pediatrics.2006;117:626-32.
30. Hari P, Hari S, Sinha A, Kumar R, Kapil A, Pandey RM, dkk. Antibiotic
prophylaxis in the management of vesicoureteric reflux: a randomized double-
blind placebo-controlled trial. Pediatr Nephrol.2015;30:479-86.
31. Smellie JM. Management and investigation of children with urinary tract
infection. Dalam: Postlethwaite RJ (ed). Clinical Paediatrc Nephrology edisi ke
2. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1994:160-74.

182
Outpatient Parenteral Antimicrobial
Therapy (OPAT): Efficiency Approach of
Rational Antibiotic Use
Aryono Hendarto

Tujuan:
1. Memahami peran Terapi Antibiotik Parenteral Rawat Jalan
dalam penggunaan antibiotik secara rasional

Penyakit infeksi di Indonesia menempati peringkat tertinggi dalam pelayanan


kesehatan di rumah sakit (RS). Pasien dengan infeksi sedang-berat memerlukan
rawat inap sekitar 2 minggu untuk mengatasi fase akut dan selanjutnya untuk
menyelesaikan pemberian antibiotik parenteral.1 Saat ini di berbagai RS luar
negeri mulai dilakukan pelayanan terapi antibiotik parenteral rawat jalan
(TAP-RJ) atau lebih dikenal dengan sebutan outpatient parenteral antimicrobial
therapy (OPAT), yaitu metode pemberian antibiotik intravena melalui prosedur
rawat jalan sebagai alternatif terapi antibiotik parenteral rawat inap (TAP-RI),
namun memiliki efektifitas yang sama.2,3
Pelayanan TAP-RJ pertama kali dilakukan pada tahun 1970-an di
Amerika Serikat untuk mengobati anak dengan penyakit fibrosis kistik dan
pelayanan ini semakin berkembang dalam dua dekade terakhir.5,6 Stiver
dkk tahun 1978 menerbitkan laporan pertama penggunaan TAP-RJ yang
melibatkan 23 pasien yang dirawat di RS dengan infeksi kronis di Kanada dan
kemudian dipulangkan dan berhasil menyelesaikan terapi antibiotik intravena
sebagai pasien rawat jalan.4 Penelitian yang dilakukan di beberapa negara Asia
menunjukkan bahwa dari 17 negara di Asia sebanyak 57% dari 171 fasilitas
kesehatan telah melayani pemberian antibiotik parenteral rawat jalan, namun
hanya 3% yang memiliki layanan komprehensif dengan pengawasan khusus.7
Di Singapura pelayanan TAP-RJ pertama kali diberikan pada tahun 2001 dan
terus berkembang hingga kini.8 Sepengetahuan penulis pelayanan pertama
TAP-RJ di Indonesia dilakukan di RSCM dengan diresmikannya pelayanan
ini pada bulan April 2015 o;leh Menteri Kesehatan dan dikukuhkan dengan
Surat Keputusan Direktur Utama RSCM. 9

183
Outpatient Parenteral Antimicrobial Therapy (OPAT): Efficiency Approach of Rational Antibiotic Use

Pelayanan TAP-RJ/OPAT
Pelayanan TAP-RJ berguna bagi pasien dengan infeksi sedang hingga berat
yang memerlukan terapi antibiotik parenteral, namun memiliki kondisi
tubuh yang cukup baik untuk memulai atau melanjutkan terapi tanpa perlu
menginap di RS.2 Terdapat empat model pemberian TAP-RJ yang terdiri
dari (1) penyuntikan antibiotik sendiri di rumah, (2) penyuntikan antibiotik
oleh perawat di rumah (3) penyuntikan di fasilitas/klinik kesehatan dan (4)
perawatan intensif di rumah.10 Pemilihan antibiotik pada pasien yang mengikuti
program TAP-RJ perlu mempertimbangkan beberapa aspek yaitu spektrum
antibiotik, cara kerja, interaksi dengan obat lain, target organ, durasi pemberian
antibiotik, kriteria pemenuhan target kesembuhan, dan alternatif pemberian
antibiotik oral. Pemberian antibiotik pertama kali harus dilakukan di fasilitas
kesehatan dengan supervisi untuk memastikan pasien tidak mengalami reaksi
anafilaktik.11
Manfaat TAP-RJ antara lain menurunkan angka masuk RS dan lama
menginap sehingga meningkatkan kapasitas rawat inap di RS, penghematan
biaya yang signifikan di bandingkan dengan rawat inap, penurunan risiko
infeksi nosokomial, dan kepuasan pasien yang lebih baik.2,5,13

Efisiensi opat
Finansial
Pelaksanaan program TAP-RJ di Kanada menunjukkan penghematan biaya
sebesar 1.730.520 dolar Kanada selama 3 tahun. Hasil serupa dilaporkan dalam
penelitian yang dilakukan di Prancis yang melaporkan bahwa pengobatan

Pasien 
mempertimbangkan  Diskusi bersama 
Penilaian pasien oleh 
untuk melakukan  pasien mengenai 
tim TAP‐RJ
potensi TAP‐RJ
TAP‐RJ

Kesimpulan 
Pasien setuju 
pemberian Terapi 
Pemberian terapi melakukan TAP‐RJ 
intravena melalui 
dan inisiasi terapi
metode TAP‐RJ

Gambar 1. Alur pelayanan pasien TAP-RJ 12

184
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

terhadap 39 pasien osteomielitis berpotensi menghemat biaya sebesar 1.873.885


dolar Amerika pertahun dibandingkan dengan terapi konvensional. Penelitian
lainnya yang mendukung pernyataan bahwa program TAP-RJ secara finansial
lebih menguntungkan yaitu di Oxford-Ingris, rerata biaya per-episode untuk
infeksi sebanyak £1749 dibandingkan dengan £11400 untuk pasien rawat inap
melalui metode analisis retrospektif pada 55 episode infeksi tulang dan sendi.3
Penelitian yang dilakukan di Singapura memperlihatkan adanya perbedaan
yang bermakna yaitu biaya rerata harian pasien menggunakan metode TAP-RJ
39% lebih rendah di bandingkan dengan pasien rawat inap.14 Metode TAP-
RJ juga bermanfaat bagi pasien tunawisma melalui tim multidisplin, yang jika
melakukan rawat inap secara konvensional biaya yang dikeluarkan $1500/hari
sedangkan dengan program TAP-RJ biaya yang dikeluarkan yaitu $25.000 per
episode.15 Penelitian TAP-RJ yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun
2011 menunjukkan pasien dengan program TAP-RJ mampu menghemat biaya
sebanyak $3847/pasien.16 Penelitian di Jakarta menunjukkan biaya pengobatan
pasien yang menjalani TAP-RJ di RSCM lebih efisien dibandingkan dengan
pasien yang menjalani TAP-RI.17

Bed saved days


Program TAP-RJ di kota Oxford Inggris telah berhasil menghemat lebih dari
6200 bed saved day selama satu tahun.3 Penelitian lainnya yang dilakukan
oleh National Health Service (NHS) di Inggris menunjukkan bahwa selama 2
tahun program TAP-RJ mampu menghemat 4034 bed saved day.13 Pada Tahun
2010 penelitian yang melibatkan 89 pasien di 6 rumah sakit di Inggris, 73
pasien diantaranya dapat menghemat sebanyak 483 bed saved day.18 Penelitian
dengan jangka waktu 10 tahun yang dilakukan di Inggris menunjukan dapat
menghemat total bed saved days sebanyak 49.854 dengan tingkat keberhasilan
penyembuhan 88%.19 Di daerah tropis seperti Australia, program TAP-RJ pada
pasien dengan infeksi tulang dan sendi mampu menghemat sebanyak 1307
bed saved days dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun.20 Penelitian lainnya
dilakukan di Tan Tock Seng Hospital di Singapura, dari 120 pasien terjadi
perbaikan klinis sebanyak 90% dengan total bed saved day sebanyak 318.21

Kepuasan Pasien dan Keluarga


Dalam berbagai jurnal penelitian terlihat bahwa program TAP-RJ memiliki
tingkat kepuasan pasien yang tinggi.12,19,22,23 Survei menggunakan kuesioner
untuk menilai tingkat kepuasan pasien terhadap program TAP-RJ di Inggris
menunjukkan bahwa dari 272 responden merasa pelayanan TAP-RJ sangat
bagus atau excellent, dan sebanyak 99,6% pasien akan memilih kembali
pelayanan metode TAP-RJ.12,20 Tingkat kepuasan yang tinggi terhadap program

185
Outpatient Parenteral Antimicrobial Therapy (OPAT): Efficiency Approach of Rational Antibiotic Use

TAP-RJ juga dirasakan di Bahrain pada tahun 2012 hingga 2014 dengan skor
kepuasan pasien 4.41 (± 0.31) dari total 5.22 Penelitian di Jakarta dengan
melakukan wawancara terhadap orangtua pasien anak yang mendapatkan
pelayanan TAP RJ menunjukkan bawah sebagian besar orangtua merasa puas
terhadap berbagai aspek pelayanan ini.17

Simpulan
Program TAP-RJ telah terbukti efektif dari segi biaya, bed saved days dan
kepuasan pasien dalam menangani berbagai infeksi. Secara finansial meskipun
telah terbukti menurunkan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk suatu
penyakit, namun tetap bergantung pada berbagai faktor seperti pilihan agen
antimikroba, lokasi pemberian (yaitu klinik rawat jalan, pusat infus atau rumah
pasien) dan kondisi klinis pasien.

Daftar pustaka
1. Nathwani D, Raman G, Sulham K, Gevaghan M, Menon V. Clinical and economic
consequences of hospital acquired resistant and multidrug-resistant Pseudomonas
aeruginosa infections: a systematic review and meta-analysis. Antimicrob Resist
and Infect Control. 2014; 3, 32
2. Chapman AL, Seaton RA, Cooper MA, Hedderwick S, Goodall V, Reed C, et al.
Good practice recommendations for outpatient parenteral antimicrobial therapy
(OPAT) in adults in the UK: a consensus statement. JAC. 2012; 67: 1053–62
3. Nathwani D. Developments in outpatient parenteral antimicrobial therapy
(OPAT) for gram-positive infections in Europe, and the potential impact of
daptomycin. JAC. 2009; 64: 447-53
4. Stiver HG, Telford GO, Mossey JM, Cote DD, Van Middlessworth EJ, Trosky SK,
et al. Intravenous antibiotic therapy at home. Ann Intern Med. 1978; 89: 690-3
5. Laupland KB, Valiquette L. Outpatient parenteral antimicrobial therapy. Can J
Infect Dis Med Microbiol. 2013; 24: 9-11
6. Chapman ALN. Outpatient parenteral antimicrobial therapy. BMJ. 2013; 346:
1585
7. Fisher D, Michaels J, Hase R, Zhang J, Kataria S, Sim B, et al. Outpatient
parenteral antibiotic therapy (OPAT) in Asia: missing an opportunity. J
Antimicrobial Chemotherapy. 2017; 72: 1221-6
8. Fisher DA, Kurup A, lye D, Tambyah PA, Sulaiman Z, Poon EY, et al. Outpatient
parenteral antibiotic therapy in Singapore. Int J Antimicrob Agents. 2006; 28:
545-50
9. Direktur Utama RSCM. Keputusan Direktur Utama RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo nomor HK 02.04/KI.3/6834/2015 tentang pelayanan terapi
antibotik parenteral rawat jalan pada pasien anak di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo. Jakarta.

186
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

10. Tice A. The use of outpatient parenteral antimicrobial therapy in the management
of osteomyelitis: Data from the outpatient parenteral antimicrobial therapy
outcomes registries. Chemotherapy. 2001; 47:16
11. Patel S,  Abrahamson E, Goldring S, Green H, Wickens H, Laundy M. Good
practice recommendations for paediatric outpatient parenteral antibiotic therapy
(p-OPAT) in the UK: a consensus statement. JAC. 2015; 70; 360-73
12. Gilchrist M, Franklin BD, Patel JP. An outpatient parenteral antibiotic therapy
(OPAT) map to identify risks associated with an OPAT service. JAC. 2008; 62:
177-83
13. Chapman AL, Dixon S, Andrews D, Lillie PJ, Bazaz R, Patchett JD. Clinical
efficacy and cost-effectiveness of outpatient parenteral antibiotic therapy
(OPAT): a UK perspective. JAC. 2009; 64: 1316–24
14. Yong C, Fisher DA, Sklar GE, Li SC. A cost analysis of outpatient parenteral
antibiotic therapy (OPAT): an Asian perspective. International Journal of
Antimicrobial Agents. 2009; 33: 46-51
15. Beieler AM, Dellit TH, Chan JD, Dhanireddy S, Enzian LK, Stone TJ, et al.
Successful implementation of outpatient parenteral antimicrobial therapy at a
medical respite facility for homeless patients. J Hosp Med. 2016;11:531-5
16. Conant MM, Erdman SM, Osterholzer D. Mandatory infectious diseases approval
of outpatient parenteral antimicrobial therapy (OPAT): clinical and economic
outcomes of averted cases. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 2014; 69:
1695-1700
17. Hendarto A. Perbandingan pelayanan terapi antibiotik parenteal rawat
jalan dengan rawat inap di departemen ilmu kesehatan anak RSCM. Tesis.
FKUGM,2017
18. Dryden M, Saeed K, Townsend R, Winnard C, Bourne S, Parker N, et al. Antibiotic
stewardship and early discharge from hospital: impact of a structured approach
to antimicrobial management. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 2012;
67: 2289-96,
19. Durojaiye OC, Bell H, Andrews D, Ntziora F, Carwright K. Clinical efficacy,
cost analysis and patient acceptability of outpatient parenteral antibiotic
therapy (OPAT): a decade of Sheffield (UK) OPAT service. Int J Antimicrob
Agents. 2018; 51:26-32
20. White HA, Davis JS. Kittler P, Currie BJ. Outpatient parenteral antimicrobial
therapy-treated bone and joint infections in a tropical setting. Intern Med J. 2011;
41: 668-73
21. Chan M, Ooi CK, Wong J, Zhong L, Lye D. Role of outpatient parenteral antibiotic
therapy in the treatment of community acquired skin and soft tissue infections
in Singapore. BMC Infect Dis. 2017; 17: 474
22. Alwi S, Abdulkarim S, Elhennawy H, Al-Manshoor A, Al Ansari A. Outpatient
parenteral antimicrobial therapy with ceftriaxone for acute tonsillopharyngitis:
efficacy, patient satisfaction, cost effectiveness, and safety. Infect Drug
Resist. 2015; 7: 279-85
23. Kieran J, O’Reilly A, Parker J, Clarke S, Bergin C. Self-administered outpatient
parenteral antimicrobial therapy: a report of three years experience in the Irish
healthcare setting. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2009; 28: 1369-74

187

You might also like