Professional Documents
Culture Documents
XLIV Alergi-Imunologi, Infeksi 30-31 Juli 2001 Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi FAKULTAS
XLV Dep.IKA FKUI-RSCM 18-19 Feb 2002 Hot Topics and Pediatrics II
XLVI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Sep 2004 Current Management of Pediatrics Problems
XLVII Dep. IKA FKUI-RSCM 19-20 Sep 2005 Penanganan Demam pada Anak Secara Profesional
XLVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 13-14 Des 2005 Update in Neonatal Infections
XLIX Dep. IKA FKUI-RSCM 5-7 Maret 2006 Neurology in Children for General Practitioner in Daily Practice
L Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Juli 2006 Strategi Pendekatan Klinis Secara Profesional Batuk pada Anak
LI Dep. IKA FKUI-RSCM 20-21 Nov 2006 Pain Management in Children
LII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Juli 2007 Pendekatan Praktis Pucat: Masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan
anak
LIII Dep. IKA FKUI-RSCM 12-13 Nov 2007 Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning
LIV Dep. IKA FKUI-RSCM 27-28 Okt 2008 The 1st National Symposium on Immunization
LV
LVI
Dep. IKA FKUI-RSCM
LVIII
Dep. IKA FKUI-RSCM
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, senantiasa mengetengahkan perkembangan mutakhir dalam bidang
ilmu kesehatan anak di samping masalah pediatri praktis. Keterangan tentang program ini setiap saat dapat dimintakan kepada:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jalan Diponegoro 71, Jakarta 10430, Telp. (021) 3161420, Fax. (021) 3161420
Jakarta, 29 - 30 April 2018
PROSIDING SIMPOSIUM DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FKUI-RSCM - JAKARTA
I Kardiologi 7-8 Juli 1980 Penataran Berkala Kardiologi Pediatrik
II Gawat Darurat 23 Jan 1982 Demam Berdarah Dengue
III Hematologi 5 Juni 1982 Beberapa Aspek Hematologi
IV Neurologi 11-16 April 1983 Kejang pada Anak
V Kardiologi 19-20 April 1983 Penataran EKG Bayi danAnak
VI Nefrologi 1 Juni 1983 Penanggulangan Penyakit Ginjal Kronik
VII Gizi 13 Nov 1983 Gizi dan Tumbuh Kembang
VIII Pulmonologi 9-10 Nov 1983 Bronkitis dan Asma pada Anak
IX Perinatologi 3-4 Des 1984 Ikterus pada Neonatus
X Penyakit Tropis 4 Mei 1985 Permasalahan dan Penatalaksanaan Mutakhir Beberapa Penyakit Tropis
XI Kardiologi 31 JuIi-1 Agt 1985 Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Bawaan yang Dapat
Dikoreksi
XII Radiologi 1-2 Nov 1985 Radiologi Klinis dan Ultrasonografi pada Bayi dan Anak
XIII Endokrinologi 23 Febr 1986 Masalah penyimpangan Pertumbuhan Somatik dan Seksual pada Anak dan
Remaja
XIV Gawat Darurat 9 Agt 1986 Penanggulangan Terpadu Enterokolitis Nekrotikans Neonatal
XV Radiologi 20-21 Juni 1988 Radiologi dan Ortopedi Praktis pada Anak
XVI Gastroenterologi 30 Sept-1 Okt 1988 Penanggulangan Mutakhir Beberapa Penyakit Gastrointestinal pada Anak
XVII Pulmonologi 21-22 Okt 1988 Beberapa Masalah Klinis Praktis Pulmonologi Anak
XVIII Neurologi 27-28 Jan 1989 Kedaruratan Saraf Anak
XIX Gizi 8-9 Sept 1989 Beberapa Aspek Tentang Vitamin dan Mineral pada Tumbuh Kembang Anak
XX Kardiologi 15-16 Des 1989 Penatalaksanaan Kedaruratan Kardio vaskular pada Anak
XXI Alergi-imunologi 9-10 Mar 1990 Meningkatkan Profesionalisme dalam Penatalaksanaan Penyakit Alergi-
Imunologi
XXII Nefrologi 7-8 Des 1990 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal pada Anak
XXIII Perinatologi 8-9 Juli 1991 Sindrom Gawat Napas pada Neonatus
XXIV Hematologi 6-7 Sept 1991 Perkembangan Mutakhir Penyakit Hematologi Onkologi Anak
XXV Penyakit Tropis 26-27 Juni 1992 Tata Iaksana Penyakit Infeksi pada Anak Masa Kini dan Masa Mendatang
XXVI Radiologi 11-12 Sept 1992 Pencitraan Traktus Urinarius pada Anak
XXVII Hepatologi 6-7 Nop 1992 Hepatologi Anak Masa Kini
XXVIII Endokrinologi 16-15 Feb 1993 Masalah Penyimpangan Pertumbuhan Somatik pada Anak dan Remaja
XXIX Nefrologi 24-25 Sept 1993 Penanggulangan Masalah Uronefrologi pada Anak
XXX Gawat Darurat 3-4 Des 1993 Pendekatan Farmakologi pada Pediatrik Gawat Darurat
XXXI Gastroenterologi 3-4 Feb 1994 Optimalisasi Tatalaksana Gagal Tumbuh Gastointestinal Guna Meningkatkan
Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXII Kardiologi 1-2 Juli 1994 Pengenalan Dini dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan pada Neonatus
XXXIII Pulmonologi 2-3 Des 1994 Perkembangan dan Masalah Pulmonologi Anak Saat ini
XXXIV Neurologi 24-25 Mar 1995 Neurologi Anak dalam Praktek Sehari-hari
XXXV Gizi 11-12 Agt 1995 Masalah Gizi Ganda dan Tumbuh Kembang Anak
XXXVI Alergi-Imunologi 10-11 Nop 1995 Strategi Pendekatan Klinis Berbagai Penyakit Alergi dan Reumatik pada Anak
XXXVII Tumbuh Kembang 21-23 Nop 1996 Deteksi dan Intervensi Dini Penyimpangan Tumbuh Pediatri Sosial Kembang
Anak dalam Upaya Optimalisasi Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXVIII Perinatologi 7-8 Apr 1997 Penanganan Mutakhir Bayi Prematur: Memenuhi Kebutuhan Bayi Prematur
untuk Menunjang Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXIX Infeksi dan Pediatrik Tropik 25-26 Agt 1997 Strategi Pemilihan dan Penggunaan Vaksin serta Antibiotik dalam Upaya
Antisipasi Era Perubahan Pola Penyakit
XL Radiologi 26-27 Nop 1997 Pencitraan: Penggunaannya untuk Menunjang Diagnosis Penyakit Saluran
Napas dan Saraf pada Anak
XLI Hematologi 24-25 Jun 1998 Darah dan Tumbuh Kembang: Aspek Transfusi
XLII Gastroenterologi, 22-23 Feb 1999 Dari Kehidupan Intrauterin sampai Transplantasi Organ: Aktualisasi
Hepatologi dan Gizi Gastroenterologi-Hepatologi dan Gizi
XLIII Hepatologi 31 Mei 2000 Tinjauan Komprehensif Hepatitis Virus Pada Anak
UNIVERSITAS
INDONESIA
Veritas, Probitas, Justitia
FAKULTAS
KEDOKTERAN
Penyunting:
Mulyadi M. Djer
Wahyuni Indawati
Eka Laksmi Hidayati
Hikari A. Sjakti
Frida Soesanti
Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM
iii
iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXXIV
Terima kasih.
Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh
v
vi
Kata Pengantar Tim Penyunting
Assalamu’alakum wr wb.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyunting makalah PKB
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM ini tepat waktu.
Tema pada PKB Departemen IKA yang ke LXXIV mengangkat
permasalahan “ A to Z about infectons pediatrics antibiotic stewardship: How
to prevent of antibiotic resistance? Masalah yang dibahas adalah masalah tata
laksana terkini beberapa penyakit infeksi dan pemilihan antibiotik secara tepat
yang diperlukan para dokter anak, dokter spesialis lainnya serta dokter umum
dalam melaksanakan tugasnya di ruang rawat atau di poliklinik. Pembicara
umumnya berasal dari Staf Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM
ditambah dengan Staf dari Departemen Farmakologi, Departemen Forensik
dan Departemen Mikrobiologi FKUI-RSCM.
Dalam menyunting setiap naskah, kami dari Tim Penyunting
menyesuaikan format penulisan sesuai dengan pedoman yang ada pada buku
PKB Departemen IKA FKUI-RSCM. Isi makalah semuanya ditulis oleh penulis
dan kami tidak rubah sama sekali.
Walaupun buku ini sudah kami susun dengan benar, tidak menutup
kemungkinan kami masih menerima saran dari pembaca untuk memperbaki
buku ini.
Semoga dengan membaca naskah di dalam buku ini dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan para dokter spesialis anak, spesialis lainnya
serta dokter umum sesuai amanat undang-undang praktik kedokteran.
Wassalamu’alaikum wr wb.
Tim Penyunting
Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, SpA(K)
Dr. Wahyuni Indawati, SpA(K)
Dr. Eka Laksmi Hidayati, SpA(K)
Dr. Hikari A. Sjakti, SpA(K)
Dr. Frida Soesanti, SpA(K)
vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM
ix
Susunan Panitia
x
Daftar Penulis
xi
xii
Daftar isi
xiii
Antibiotic Choice in Hemato-Oncology Patient............................................ 73
Hikari Ambara Sjakti
Hospital Acquired Infections (Hals), Needs Awareness for Health
Professionals............................................................................................... 81
Ari Prayitno
Antibiotic treatment in pneumonia, how to choose?...................................... 93
Darmawan B Setyanto
Acute Rhinotonsilopharyngitis in Children: When Antibiotic is Needed?...... 105
Wahyuni Indawati
Tuberculosis Chemoprophylaxis in Children Exposed to Drug Sensitive or
Resistant Index Case................................................................................. 112
Nastiti Kaswandani
Difficulties in Choosing Proper Antibiotics in PICU Setting ....................... 124
Irene Yuniar
Awareness in Antibiotic Therapy for Severe Malnutrition........................... 134
Titis Prawitasari
Suspect Viral and Fungal Infection in Sepsis Neonatarum........................... 140
Rinawati Rohsiswatmo, Distyayu Sukarja
Ampicillin-Gentamycin as First Line in Neonatal Sepsis:
Are Still Relevant?....................................................................................150
Rosalina Dewi Roeslani, Septina Ashariani
Recommendation of Prophylaxix Antibiotic for Surgical Intervention .......... 159
Nina Dwi Putri
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness.............................. 171
Sudung O. Pardede
Outpatient Parenteral Antimicrobial Therapy (OPAT): Efficiency Approach
of Rational Antibiotic Use......................................................................... 183
Aryono Hendarto
xiv
Suspect Viral and Fungal Infection
in Sepsis Neonatarum
Rinawati Rohsiswatmo, Distyayu Sukarja
Tujuan:
1. Agar dapat mengenali sejak dini gejala klinis yang tidak khas
sepsis neonatus yang disebabkan oleh jamur dan virus
2. Memberikan terapi dan pemeriksaan diagnostik yang tepat
pada pasien neonatus dengan infeksi jamur dan virus.
Seringkali diagnosis infeksi virus dan jamur pada neonatus sulit ditegakkan.
Gejala klinis yang muncul tidak khas dan tidak dapat dibedakan dengan infeksi
bakteri. Hal ini menyebabkan terjadinya keterlambatan pemberian terapi yang
dapat memengaruhi luaran pada bayi sakit. Kecurigaan terhadap virus dan
jamur sebagai mikroorganisme penyebab sepsis berat harus dipikirkan bila
tidak ditemukan bakteri pada pemeriksaan kultur.
Infeksi Virus
Penularan infeksi virus pada neonatus dapat terjadi melalui penularan dari ibu
ke bayi (mother-to-child transmission) dan lingkungan (komunitas/nosokomial).
Penularan ibu ke bayi baik terjadi sejak dalam kandungan, saat proses kelahiran,
maupun melalui pemberian air susu ibu (ASI).1
Untuk menegakkan diagnosis infeksi virus pada neonatus, perlu diketahui
faktor risiko ibu dan waktu munculnya gejala. Gejala yang muncul sejak lahir
seperti kelainan kongenital yang khas biasanya berhubungan dengan infeksi
virus yang diperoleh sejak dalam kandungan.1 (Tabel 1) Namun demikian,
tidak sedikit gejala baru terlihat setelah beberapa hari yang masih mungkin
disebabkan penularan saat proses kelahiran. Hal ini harus dapat dibedakan
dengan infeksi virus dari lingkungan yang juga terjadi setelah 72 jam kelahiran.
Gejala klinis infeksi virus seringkali menyerupai sepsis akibat bakteri atau
jamur seperti demam dan letargis. Namun secara umum perbedaan karakteristik
infeksi virus dengan bakteri dapat dilihat melalui lokasi terjadinya infeksi. Pada
infeksi bakteri lebih sering ditemukan infeksi aliran darah, sedangkan infeksi
140
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
virus sebagian besar banyak ditemukan pada saluran cerna dan saluran napas.
Gejala lain yang dapat pula ditemukan berupa organomegali, ptekie, purpura,
ikterik, mikrosefal, ensefalopati, kelainan mata, anemia, trombositopenia,
hiperbilirubinemia terkonjugasi, dan peningkatan enzim hati.1
Komunitas/Nosokomial
Infeksi virus dari lingkungan dapat diperoleh dari orang terdekat (komunitas),
dan petugas kesehatan di rumah sakit (nosokomial). Penyebab tersering yang
banyak ditemukan adalah, enterovirus (non-polio), respiratory syncytial virus
(RSV), rotavirus, adenovirus, cytomegalovirus, dan sebagainya.2,3 Gejala paling
banyak ditemukan yaitu pada saluran napas (distres napas, apnea, sianosis)
dan saluran cerna (diare, enterokolitis nekrotikans).3,4 Namun demikian gejala
lain dapat pula ditemukan seperti, gangguan neurologis (kejang) yang khas
pada enterovirus,5 trombositopenia, dan hipoglikemia.6 (Tabel 2)
141
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus
Infeksi Jamur
Sama seperti halnya dengan infeksi virus, diagnosis infeksi jamur sering
terlambat ditegakkan karena gejala yang tidak spesifik. Diperlukan kejelian
dalam identifikasi gejala yang berhubungan dengan infeksi jamur invasif.
Insidens infeksi jamur pada neonatus sangat rendah bila dibandingkan dengan
infeksi bakteri. Sebanyak 2,5% infeksi aliran darah pada bayi dengan berat
lahir rendah (BBLR) disebabkan oleh jamur.9 Akan tetapi, morbiditas dan
142
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
143
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus
kadar C-reactive protein (CRP) dan interleukin (IL) 6, serta beberapa prosedur
lain yang masih dalam penelitian seperti metabolomik.15,16
Pemberian antijamur sangat penting dalam mengeradikasi infeksi jamur
invasif pada neonatus. Pilihan antijamur yang sering digunakan adalah
amfoterisin B dan flukonazol. (Tabel 5)17 Pemilihan antijamur yang digunakan
tentunya dengan mempertimbangkan efek terapeutik yang aman dengan efek
samping yang minimal.12,13 Flukonazol merupakan pilihan antijamur yang paling
sering digunakan pada neonatus baik sebagai terapeutik maupun profilaksis
dengan durasi pemberian bervariasi sesuai dengan kondisi infeksi yang dialami.
(Tabel 6) Efektifitasnya cukup baik, mudah diberikan, dan memberikan sedikit
efek samping pada ginjal dibandingkan dengan antijamur lainnya.
144
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
terapi profilaksis pada neonatus dengan berat lahir <1500 gram dengan dosis
pemberian 100.000 unit/8 jam selama 6 minggu.19
Keterlambatan diagnosis dan pemberian terapi berpengaruh terhadap
luaran jangka panjang bayi sakit. Infeksi jamur invasif berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi. Hasil pemantauan jangka panjang
menunjukkan adanya gangguan neurodevelopmental (palsi serebral, kebutaan,
tuli, gangguan kognisi) yang dapat memengaruhi kualitas hidup di kemudian
hari.19 Pencegahan infeksi dapat dilakukan yaitu dengan pencabutan akses
sentral sejak dini bila tidak dibutuhkan dan menghindari transmisi nosokomial
di rumah sakit.
Daftar pustaka
1. Pass RF. Viral Infections in the Fetus and Neonate. Long SS, penyunting. Dalam:
Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke-4. Philadelphia:
Saunders; 2012. h. 544-8.
2. Tzialla C, Civardi E, Borghesi A, Sarasini A, Baldanti F, Stronati M. Emerging
viral infections in neonatal intensive care unit. J Matern Fetal Neonatal Med.
2011;1:156-8.
3. Civardi E, Tzialla C, Baldanti F, Strocchio L, Manzoni P, Stronati M. Viral
outbreaks in neonatal intensive care units: what we do not know. Am J Infect
Control. 2013;41:854-6.
4. Agueda S. Viral Infections in a Neonatal Intensive Care Unit. Pediat Therapeut.
2013;3:147.
5. Morriss FH Jr, Lindower JB, Bartlett HL, Atkins DL, Kim JO, Klein JM. Neonatal
Enterovirus Infection: Case Series of Clinical Sepsis and Positive Cerebrospinal
FluidPolymerase Chain Reaction Test with Myocarditis and Cerebral White
Matter Injury Complications. AJP Rep. 2016;6:344-51.
6. Shahroodi MJG, Ghazvini K, Sadeghi R, Sasan MS. Enteroviral Meningitis in
Neonates and Children of Mashhad, Iran. Jundishapur J Microbiol. 2016;9:19955.
7. Naing Z, Rayner B, Killikulangara A, Vunnam K, Leach S, McIver CJ, et al.
Prevalence of viruses in stool of premature neonates at a neonatal intensive care
unit. J Paediatr Child Health. 2013;49:221-6.
8. Barford G, Rentz AC, Faix RG. Viral infection and antiviral therapy in the
neonatal intensive care unit. J Perinat Neonatal Nurs. 2004:259-74.
9. Kaufman DA. Challenging issues in neonatal candidiasis. Curr Med Res Opin.
2010;26:1769-78.
10. Kelly MS, Benjamin DK, Smith PB. The epidemiology and diagnosis of invasive
candidiasis among premature infants. Clinics in perinatology. 2015;42:17–105.
11. Jahan S, et al. Epidemiology of candida infections among high risk neonates and
infants from a tertiary care setting of north india. EC Microbiology. 2016: 585-596.
12. Basu S, Kumar R, Tilak R, Kumar A. Candida Blood Stream Infection in Neonates:
Experience from A Tertiary Care Teaching Hospital of Central India. Indian
Pediatr. 2017;54:556-559.
145
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus
13. Agarwal RR, Agarwal RL, Chen X, Lua JL, Ang JY. Epidemiology of Invasive
Fungal Infections at Two Tertiary Care Neonatal Intensive Care UnitsOver a
12-Year Period (2000-2011). Glob Pediatr Health. 2017;4.
14. Hundalani S, Pammi M. Invasive fungal infections in newborns and current
management strategies. Expert Rev Anti Infect Ther. 2013;11:709-721.
15. Arendrup MC, Fisher BT, Zaoutis TE. Invasive fungal infections in the paediatric
and neonatal population: diagnostics and management issues. Clin Microbiol
Infect. 2009;15:613-24.
16. Dessi A. Neonatal fungal infections: new strategies in diagnosis. J Pediatr Neonat
Individual Med. 2014;3.
17. Tezer H, Canpolat FE, Dilmen U. Invasive fungal infections during the neonatal
period: diagnosis, treatment and prophylaxis. Expert Opin Pharmacother.
2012;13:193-205.
18. Devlin RK. Invasive fungal infections caused by Candida and Malassezia species
in the neonatal intensive care unit. Adv Neonatal Care. 2006;6:68-77.
19. Pappas PG, Kauffman CA, Andes DR, Clancy CJ, Marr KA, Ostrosky-Zeichner L,
et al. Clinical Practice Guideline for the Management of Candidiasis: 2016 Update
by the InfectiousDiseases Society of America. Clin Infect Dis. 2016;62:1-50.
20. Shane LA. Common viral infections in neonates. 2018 NeoPREP. Disampaikan
pada kursus 2018 NeoPREP “An Intensive Review and Update of Neonatal/Perinatal
Medicine” di Atlanta tanggal 24 Januari 2018.
146
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Lampiran.20
Lampiran.20
HSV (Herpes Simplex virus) CMV (Cytomegalovirus) EBV (Epstein Barr virus)
Epidemiology • Ubiquitous; transmitted from • Ubiquitous, transmitted horizontally, • Humans only known reservoir,
symptomatic or asymptomatic vertically, and via transfusions and 90% adults infected
with primary or recurrent transplants. • Close personal contact (saliva),
infection. • Persists after primary infection with blood transfusion, transplantation
• Persists after a primary infection shedding. • Incubation 30-50 days.
with intermittent shedding. • Reinfection with other strains can Intrauterine infection not
• 1/3000-1/20,000 live births occur. documented.
Clinical Disseminated (25%) Spectrum - asymptomatic to 10% with Fever, exudative pharyngitis with
Presentation CNS (30%) IUGR, jaundice, purpura, microcephaly, petechiae, lymphadenopathy,
SEM (45%) intracerebral calcifications, retinitis, hepatosplenomegaly.
developmental delays sensorineural EBV-associated lymphoproliferative
hearing loss. disorders.
Diagnosis Cell culture, PCR assay of mucosal Shell vial (days) or traditional culture Serological testing and PCR of
swab specimens obtained 12-24 (>28 days) or PCR assay of tissue and immunocompromised
hours after birth, CSF, whole blood. fluids (rapid). Detection ≠ infection.
Management parenteral acyclovir, 60mg/kg/day symptomatic - parenteral ganciclovir or Symptomatic
divided q8 for 14 days (SEM) and oral valganciclovir before 1 month of age
minimum 21 days for CNS or for 6 months to improve
disseminated infections. developmental/auditory outcomes
Prevention oral acyclovir suppressive therapy hand hygiene for all - standard hand hygiene for all - standard
300mg/m2/dose q 8 hours for 6 precautions precautions
months following treatment of acute
disease improves
neurodevelopmental outcomes and
decreases SEM outbreaks.
Consideration Observe of skin infection (skin
lesions, respiratory distress,
seizures, signs of sepsis)
• If asymptomatic: no specimens
and empiric acyclovir needed
• Educate parents signs and
symptoms during 1st 6 wks of life
VZV (Herpes Zoster virus) HAV (Hepatitis A virus) HBV (Hepatitis B virus)
Epidemiology • Highly contagious; airborne Person to person; fecal-oral; • Transmitted via blood and body fluids.
• In utero infection results from vertical transmission rare • Up to 90% infected in the first year of
trans placental passage during life will develop chronic HBV.
maternal viremia with VZV. • Immune tolerant phase for years, some
• Establishes latency and with growth impairment.
reactivates = herpes zoster or
shingles.
Clinical • Fetal infection after maternal Acute, self-limited fever, malaise, • Subacute (nonspecific) to clinical and
Presentation varicella in 1st or early 2nd anorexia, and jaundice fulminant hepatitis.
trimester (1-2%) may result in • Extrahepatic manifestations.
death, varicella embryopathy
(limb hypoplasia, cutaneous
scarring, eye and CNS
abnormalities).
• Children infected with VZV in
utero may develop zoster without
extra uterine varicella.
• Maternal varicella 5 days before
to 2 days after delivery has high
case fatality rate due to
disseminated varicella.
Diagnosis VZV PCR of lesion Serology Serology
Management VariZIG or IVIG considered for Supportive care No therapy for acute HBV; screened
exposed, asymptomatic neonates periodically; goal to prevent progression
at risk. to hepatocellular carcinoma
Prevention Airborne and contact Contact precautions for 1 week • HBIG and hepatitis B vaccine for
following symptom onset. infants born to HBsAg + women.
Hand hygiene and immunization • Contact precautions if visible blood.
including post exposure prophylaxis
for up to 40yr; immune globulin
(0.02mL/kg) to infant if maternal
symptoms began between 2 weeks
before and 1 week after delivery.
Efficacy has not been established.
147
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus
Clinical Influenza infection in neonates • Significant and frequent illnesses with • Rhinitis, cough, wheezing, tachypnea.
Presentation associated with a sepsis-like numerous manifestations. • Preterm infants may not manifest respiratory
syndrome, apnea, pneumonia, • Nonspecific febrile illness, respiratory, symptoms – lethargy, anorexia, apnea.
and morbidity. skin, neurologic, GI, ocular, cardiac,
muscular.
• Neonates without maternal immunity at
risk for severe viral sepsis,
meningoencephalitis, myocarditis,
hepatitis, coagulopathy, and
pneumonitis.
Diagnosis RT-PCR, rapid influenza RT-PCR from stool, nasopharynx, Antigen detection assays, RT-PCR (30%
molecular assays, viral culture conjunctival swabs, CSF, tissue, blood, coinfected), rapid molecular assays.
urine.
Management • 2 classes of antivirals – Supportive; IGIV or convalescent maternal • Supportive – hydration and ventilation if indicated.
neuraminidase inhibitors (NI) plasma used for life- threatening neonatal • Ribavirin not recommended for routine use;
and adamantanes. infections consider for severe infections.
• Oseltamivir (NI) licensed for • Corticosteroids, antimicrobials, and
>2 weeks; may be used in bronchodilators not recommended.
neonates.
Prevention • Droplet precautions: hand Contact precautions for infants for duration • Palivizumab (humanized mouse immunoglobulin (Ig)
hygiene. of illness; cohorting G1 monoclonal antibody may reduce the risk of RSV.
• Infants born to influenza- Administered IM q 30 days for 5 months during RSV
season. Not effective in treatment of RSV disease or in
immunized mother have
controlling outbreaks.
better outcomes and reduce • Infants in a neonatal unit who qualify because of CLD,
chance of preterm/SGA. CHD, or prematurity may receive the first dose 48-72
hours before discharge.
148
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
149
Urinary Tract Infection Prophylaxis:
Cost Effectiveness
Sudung O. Pardede
Tujuan:
1. Meningkatkan pemahaman tentang manfaat dan indikasi
pemberian antibiotik profilaksis pada anak dengan ISK.
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit infeksi yang sering pada
anak di samping infeksi saluran nafas dan infeksi saluran cerna. Infeksi
saluran kemih dapat dibedakan menjadi ISK atas dan ISK bawah. Pada
ISK atas atau pielonefritis, bakteri naik ke ginjal melalui saluran kemih,
menyebabkan inflamasi dan kerusakan ginjal, atau pembentukan jaringan
parut. Infeksi saluran kemih dapat menimbulkan komplikasi berupa urosepsis
atau acute kidney injury yang dapat bersifat fatal.1,2 Selain itu, ISK berulang
akan menyebabkan masalah ketidak-nyamanan pada anak, gangguan aktivitas
dan kehidupan sehari-hari, beban psikologis pada anak dan keluarga, serta
masalah biaya.2,3
Untuk mencegah berulangnya ISK, dapat dilakukan berbagai upaya
seperti memperbaiki keadaan umum termasuk mengatasi masalah gizi,
memperhatikan kebersihan daerah perineum, mendeteksi kelainan anatomi
atau fungsional saluran kemih dan mengatasinya, menghilangkan faktor risiko,
dan pemberian profilaksis.4 Di samping itu koreksi bedah terhadap kelainan
struktural seperti obstruksi, refluks, ureterokel dan ureter dupleks yang disertai
obstruksi penting untuk mencegah infeksi berulang.5 .
Komplikasi ISK
Komplikasi ISK berulang pada anak dapat berupa acute kidney injury, urosepsis,
hipertensi dan dalam jangka lama menyebabkan pembentukan jaringan parut
di ginjal dan penyakit ginjal kronik stadium akhir yang memerlukan tindakan
dialisis atau transplantasi ginjal.2,3
Insidens pembentukan jaringan parut ginjal akan meningkat pada setiap
episode pielonefritis.6 Kerusakan ginjal pada anak setelah pielonefritis akut
171
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness
terdapat pada 5-20% anak berdasarkan deteksi dengan pielografi dan angka ini
meningkat menjadi 40% berdasarkan pemeriksaan skintigafi DMSA (99TmTc-
dimercapto succinic acid).7 Pada penelitian The RIVUR, insidens pembentukan
jaringan parut baru (new renal scars) sama pada anak dengan pemberian
antibiotik profilaksis dengan tanpa antibiotik profilaksis (8,2% vs. 8,4% ).8
Antibakteri profilaksis
Antimikroba profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama telah
digunakan secara tradisional terhadap pasien yang rentan dengan berulangnya
pielonefritis akut atau ISK bawah.10 Tujuan pemberian antibiotik profilaksis
adalah mempertahankan urin tetap dalam keadaan steril, mencegah ISK
berulang, dan mencegah kerusakan ginjal.8,10,11
Sejak diketahui bahwa sebagian besar RVU dapat sembuh spontan,
banyak peneliti merekomendasikan terapi konservatif seperti antibiotik
profilaksis berkesinambungan, sebagai opsi terapi inisial pada anak, dan
mempersiapkan anak untuk intervensi bedah jika antibiotik profilaksis
tidak efektif mencegah ISK.11 Namun, efikasi antibiotik profilaksis sering
dipertanyakan dan dapat meningkatkan risiko resistensi bakteri terhadap
antibiotik, sehingga para klinikus perlu menentukan apakah pasien perlu
mendapat antibiotik profilaksis.10
Pada makalah Beetz di jurnal Pediatric Nephrology tahun 2006 disebutkan
bahwa pada tahun 1941, untuk pertama kali Helmholtz merekomendasikan
pemberian sulfatiazol dosis rendah jangka lama untuk ISK kronik. Beberapa
tahun kemudian, Stansfiled dan Webb (1954) serta Marshal dan Johnson
(1956) melaporkan manfaat pemberian terapi antimikroba jangka lama,
terutama nitrofurantoin, pada bayi dan anak usia muda.6
172
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Indikasi profilaksis
Antibiotik profilaksis terindikasi pada anak dengan ISK dengan risiko tinggi
173
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness
mengalami ISK atau indeks infeksi yang berat untuk mencegah ISK berulang
dan terbentuknya jaringan parut ginjal.3,18 Indikasi antibiotik profilaksis
antara lain RVU, uropati obstruktif termasuk yang terdeteksi antenatal atau
skrining pasca natal.6,10,19 Indikasi lain adalah ISK simtomatik berulang (>
3 kali per tahun) terutama yang disertai instabilitas kandung kemih atau
abnormalitas berkemih, neonatus atau bayi < 1 tahun dengan ISK febris
karena sepertiga bayi ini berisiko mengalami ISK simtomatik dan lebih dari 90%
menjadi pielonefritis atau urosepsis, atau pada bayi atau anak usia muda yang
mengalami pielonefritis meski tidak terdapat RVU.6,18,19 Direkomendasikan
juga pada anak perempuan yang lebih besar dengan sistitis yang sering
berulang.18. Antibiotik profilaksis tidak diberikan secara rutin,3,6 dan pada
RVU derajat rendah, pemberian profilaksis tidak perlu.10
Montini dan Hewitt (2009) melakukan review terhadap beberapa
penelitan tentang pemberian antibiotik profilaksis dan membuat kesimpulan
meskipun masih banyak hal-hal yang belum dapat disimpulkan. 1. Antibiotik
profilaksis tidak terindikasi untuk ISK demam yang pertama kali (first febrile
UTI) yang tidak disertai RVU atau hanya RVU derajat I dan II. Ada 3 alasan
terhadap kesimpulan ini yaitu: a. penelitian metaanalisis menunjukkan
tidak ada keuntungan pemberian antibiotik profilaksis. b. terdapat risiko
meningkatnya resistensi terhadap bakteri. c. frekuensi terjadinya reinfeksi
rendah. 2. Untuk refluks derajat tinggi, tidak dapat diambil kesimpulan yang
jelas, dengan alasan: a. persentase reinfeksi lebih tinggi pada RVU derajat
III dibandingkan dengan derajat 0, I, dan II. b. penelitian metaanalisis
membuktikan bahwa dengan antibiotik profilaksis tidak terdapat keuntungan
yang bermakna pada kelompok ini, namun jumlah pasien yang diikutkan dalam
penelitian tersebut tidak mencukupi.20 Pada tahun 2007, National Institute for
Health and Clinical Excellence (NIHCE) merekomendasikan bahwa antibotik
profilaksis tidak rutin diberikan pada bayi dan anak yang mengalami ISK
untuk pertama kali. Antibiotik profilaksis dipertimbangkan pada bayi dan
anak dengan ISK berulang.21
Pada tahun 2011, Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia (UKK Nefrologi IDAI) membuat konsensus tentang ISK yang
salah satu isinya adalah tentang pemberian antibiotik profilaksis pada anak.
Dalam konsensus tersebut disebutkan bahwa: a. Antibiotik profilaksis tidak
rutin diberikan pada anak dengan ISK pertama kali, b. tidak terindikasi pada
ISK demam yang tidak disertai RVU atau hanya RVU derajat I dan II, c.
diberikan pada anak risiko tinggi seperti RVU derajat tinggi (III-V), uropati
obstruktif, dan berbagai kondisi risiko tinggi lainnya, d. dipertimbangkan pada
bayi dan anak dengan ISK berulang, dan e. jika anak yang mendapat antibiotik
profilaksis mengalami reinfeksi, maka infeksi diterapi dengan antibiotik yang
berbeda dan tidak dengan menaikkan dosis antibiotik profilaksis tersebut.4
174
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
175
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness
176
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
kejadian jaringan parut ginjal, tidak terdapat perbedaan pada pasien yang
mendapat antibiotik profilaksis dan yang tidak mendapat profilaksis (40% vs.
36%, p=0,4).28 Penelitian Montini dkk. (2009) melibatkan 338 anak usia 2
bulan-7 tahun dengan RVU grade I-III yang mendapat antibiotik profilaksis
dan yang tidak mendapat profilaksis. Pada akhir pemantauan 1 tahun, tidak
terdapat perbedaan pada kedua kelompok terhadap terjadinya ISK berulang
dan terbentuknya jaringan parut.20 Penelitin Garin dkk (2005) melibatkan 218
anak berusia 1 bulan-18 tahun dengan pielonefritis akut yang dirandomisasi
mendapat antibiotik profilaksis dan tidak mendapat profilaksis untuk menilai
jaringan parut dengan skintigrafi DMSA. Hasilnya menunjukkan bahwa
setelah satu tahun, tidak terdapat perbedaan kejadian parut ginjal pada anak
yang mendapat antibiotik profilaksis dan yang tidak mendapat profilaksis.29
Penelitian meta-analisis terhadap ISK anak dengan RVU primer. melibatkan
809 anak dengan risiko relatif berulangnya ISK dengan profilaksis 0,82 (IK
95$: 0,62-1,08, p=0,16) Selain itu, meta-analisis terhadap 4 penelitian untuk
mengevaluasi parut ginjal yang melibatkan 662 anak dengan ISK mendapat
profilaksis menunjukkan risiko relatif 1,04 (IK 95% 0,84-1,30, p=0,69)
Hasil meta-analisis ini menyebutkan tidak ada manfaat pemberian antibiotik
profilaksis untuk mencegah ISK berulang dan pembentukan jaringan parut,
namun interpretasi hasil ini harus hati-hati karena berbagai keterbatasan
penelitian seperti blindness, jumlah anak dengan RVU, metode pengambilan
sampel urin untuk mendiagnosis ISK, lebarnya kelompok usia, tingginya
persentase pasien dengan displasi ginjal, kriteria inklusi derajat RVU, durasi
follow-up yang relatif singkat yang memengaruhi hasil penelitian.13 Pada tahun
1980-an, ada dua penelitian randomized- control trial yang membandingkan
pemberian antibiotik profilaksis saja dengan tindakan bedah atau kombinasi
dengan profilaksis ajuvan yang menunjukkan hasil hampir sama.20 Pada
penelitian randomized clinical trial oleh The RIVUR, insidens jaringan
parut baru (new renal scars) sama pada anak dengan pemberian antibiotik
profilaksis dengan tanpa antibiotik profilaksis (8,2 vs. 8,4 %), dan tidak dapat
menentukan apakah antibiotik profilaksis dapat mencegah kerusakan ginjal.8
Penelitian Hari dkk. (2015) melaporkan bahwa pemberian antibiotik
trimetoprim-sulfametoksazol sebagai profilaksis jangka panjang meningkatkan
risiko ISK berulang pada anak dengan RVU derajat I-III dibandingkan dengan
yang mendapat plasebo.30 Hal yang sama juga dilaporkan oleh Garin dkk.
(2006) yang menyebutkan bahwa risiko kejadian pielonefritis lebih tinggi pada
anak yang mendapat antibiotik profilaksis dibandingkan yang tidak mendapat
antibiotik profilaksis.29 Hal ini kemungkinan disebabkan pada kelompok yang
mendapat antibiotik profilaksis terjadi eradikasi flora protektif periuretra yang
menyebabkan kolonisasi bakteri dan peningkatan virulensi bakteri.30
177
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness
178
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Pembiayaan
Antibiotik profilaksis dapat menurunkan risiko berulangnya ISK, aman, dan
dapat ditoleransi dengan baik, namun selain meningkatkan risiko resistensi
bakteri terhadap antibiotik, pemberian antibiotik profilaksis juga memerlukan
biaya.30 Pasien anak yang tidak mendapat profilaksis dilaporkan mengalami
ISK simtomatik 3 kali lebih sering dibandingkan dengan yang tidak mendapat
antibiotik profilaksis selama 2 tahun pengamatan,8 antimikroba profilaksis dosis
rendah diberikan selama 12 bulan.16
Dari penelusuran literatur, tidak ditemukan literatur tentang cost
effectiveness pemberian antibiotik profilaksis. Oleh karena itu, dicoba
melakukan perhitungan biaya yang dikeluarkan jika seorang anak dengan
ISK memerlukan antibiotik profilaksis. Sebagai ilustrasi, ada dua orang anak
perempuan masing-masing 2 tahun dengan berat badan 12 kg. yang sudah
didiagnosis dengan ISK kompeks (RVU derajat IV-V). Satu orang mendapat
antibiotik profilaksis sefaleksin 1 x 150-200 mg setiap malam selama 1 tahun
179
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness
sedangkan satu orang lagi tidak mendapat profilaksis. Pada kedua kelompok
ini, dianggap selama pemantauan dilakukan pemeriksaan laboratorium
berupa urinalisis dan biakan urin dengan frekuensi yang sama. Dilakukan
perhitungan perkiraan biaya untuk kedua anak. Untuk anak yang mendapat
profilaksis, diperlukan biaya untuk mengadakan obat sebesar 365 hari x Rp
5.200 = Rp. 1.898.000. Perhitungan lama pemberian antibiotik selama satu
tahun didasarkan pada lamanya pemberian antibiotik profilaksis yaitu antara
1-2 tahun, dan kemungkinan berulangnya ISK selama satu tahun sebanyak
3 kali atau lebih.8,16 Anak yang tidak mendapat antibiotik profilaksis dengan
kemungkinan akan mengalami 2-3 kali ISK dalam setahun, yang mungkin
memerlukan perawatan. Anak ini mendapat terapi antibiotik selama 10
hari, yaitu 5 hari parenteral x 3 kali pemberian x Rp. 7.500 = Rp. 112.500
ditambah dengan pemberian oral 5 x 3 x Rp.6.500 = Rp. 97.500 sehingga
jumlahnya menjadi Rp. 210.000. Biaya pemeriksaan laboratorium (2 x urinalisis
@ Rp.38.000) + darah tepi Rp. 60.000 + biakan urin Rp. 220.000) =
Rp. 356.000, dan 5 hari perawatan x Rp.175.000. = Rp. 875.000 dan uang
visit dokter 5 hari Rp. 52.000 = Rp. 260.000. Jadi untuk 1 kali rawat inap
dibutuhkan biaya sebesar Rp. 1.701.000, dan untuk tiga kali rawat inap
diperlukan biaya tiga kali lipatnya. Dalam biaya ini belum termasuk biaya
untuk orangtua (makan dan transportasi), waktu, tenaga dan hal lainnya
terkait perawatan anak.
Ilustrasi kasus ini menunjukkan biaya (cost) yang dibutuhkan untuk anak
yang tidak mendapat antibiotik profilaksis lebih besar dibandingkan dengan
yang mendapat profilaksis. Selain itu, jika pasien dirawat karena ISK berulang,
pasien atau keluarga menghadapi masalah lain seperti masalah psikologis yang
mengkhawatirkan orangtua tentang kondisi pasien, biaya untuk orangtua
selama anak dirawat (makan minum, transportasi, kebutuhan lain), tenaga,
waktu, dan terganggunya aktivitas sehari-hari, (Catatan: sefaleksin 250 mg
= Rp. 6.500/kapsul; Sanprima = Rp. 1.100/tablet, kotrimoksazol = Rp. 410/
tablet; sefotaksim I gram injeksi = Rp. 15.000/vial; Laboratorium: darah
lengkap =Rp. 60.000; urinalisis = Rp. 38.000; kultur urin = Rp. 220.000;
biaya kamar Rp/ 175.000 per hari, visit dokter Rp. 52.000/hari)
Keputusan menentukan pemberian antibiotik profilaksis atau tidak
tergantung pada beberapa faktor seperti tipe dan keparahan RVU, usia saat
diagnosis, riwayat ISK sebelumnya, adanya disfungsi berkemih, konstipasi, dan
beratnya jaringan parut.13
Simpulan
Pemberian antibiotik proflaksis dapat menurunkan kejadian ISK berulang pada
anak tetapi tidak jelas perannya dalam menurunkan pembentukan jaringan
180
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Daftar pustaka
1. Brandstrom P, Hansson S. Long-term, low-dose prophylaxis against urinary tract
infection in young children. Pediatr Nephrol.2015;30:425-32.
2. Goldberg B, Jantausch B. Urinary tract infection. Dalam: Kher KK, Schnaper
HM, Breenbaum LA, penyunting. Clinical Pediatric Nephrology, edisi ke-3, CRC
PRESS, New York, 2017;h.967-91.
3. Hodgson EM, Craig JC. Urinary tract infection in children. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa B, Emma F, Goldstein SL, penyunting,
Pediatric Nephrology, edisi ke-7, New York, Springer Reference, 2016;h.1696-714,
4. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP, Hidayati EL. Konsensus Infeksi
Saluran Kemih pada Anak. UKK Nefrologi IDAI, Badan Penerbit IDAI, Jakarta,
2011.
5. Lambert H,Coultard M. The child with urinary tract infection. Dalam: Webb
NJA, Postlethwaite RJ, penyunting. Clinic Paediatric Nephrology, edisi ke-3,
Oxford, Oxford University Pres, 2003.;h.197-225.
6. Beetz R. May go on with antibacterial prophylaxis for urinary tract infections?
Pediatr Nephrol.2006;21:5-13.
7. Jakobsson B, Nolstedt L, Svensson L, Soderlundh S, Berg U. 99TmTc-
dimercaptosuccinic acid (DMSA) scan ini the diagnosis of acute
pyelonephritis in children: relation to clinical and radiological findings. Pediatr
Nephrol.1992;6:328-34.
8. Cara-Fuentes G, Gupta N, Garin EH. The RIVUR Study: A review of its findings.
Pediatr Nephrol.2015;30:703-6.
9. Nuutinen M, Uhari M. Recurrence and follow-up after urinary tract infection
under the age of 1 year. Pediatr Nephrol.2001;16:69-72.
10. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinary tract infections. Dalam: Avner
ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric Nephrology,
Heidelberg, Springer-Verlag Berlin edisi ke-4, 2009. h.1299-310.
11. Wang HHS, Gbadegesin RA, Foreman JW, Nagaraj SK, Wigfall DR, Wiener
JS, dkk. Efficacy of antibiotic prophylaxis in childen with vesicoureteral reflux:
Systematic reviow and meta-analysis. J Urol.2015;193:963-9.
12. Montini G, Tullus K, Hewitt I. Febrile urinary tract infections in children. New
Engl J Med.2011;365:239-50.
13. Mattoo TK. Evidence for and against urinary prophylaxis in vesicoureteral reflux.
Pediatr Nephrol.2010;25:2379-82.
14. Smellie JM, Grueneberg RN, Leakey A, Atkins WS. Long-term low dose co-
trimoxazole in prophylaxis of childhood urinary tract infection: clinical aspects.
Br Med J.1976;2:203-6.
15. Lohr JA, Nunley DH, Howards SS, Ford RF. Prevention of recurrent urinary tract
infections in girls. Pediatrics.1977;59:562-5.
16. Smellie JM. Kantz G, Grueneberg RN. Controlled trial of prophylaxis treatment
in childhood urinary tract infection. Lancet.1978;ii:175-8.
181
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness
17. Smellie JM, Grueneberg RN, Normand ICS, Bantock HM. Trimetoprim-
sulfamethoxazole and trimethoprim alone in the prophylaxis of childhood urinary
tract infection. Rev Infect Dis.1982;4:461-6.
18. Hellerstein S, Nickell E. Prophylactic antibiotics in children at risk for urinary
tract infection. Pediatr Nephrol. 2002;17:506-10.
19. Bitsori M, Maraki S, Galanakis E. Long-term resistance trends of uropathogens
and association with antimicrobial prophylaxis. Pediatr Nephrol.2014;29:1053-8.
20. Montini G, Hewitt I. Urinary tract infections: to prophylaxis or not to prophylaxis.
Pediatr Nephrol 2009;24:1605-9.
21. National Institute for Health and Clinical Excellence. (2007): Urinary tract
infection in children. http://guidance.nice.org.uk..CG054.
22. Elder JS, Peters CA, Arant BS, Ewalt DH, Hawtrey CE, Hurwit RS,, dkk. Pediatric
vesicoureteral reflux guidelines panel summary report on the management of
primary vesicoureteral reflux in children. J Urol.1997;157:1846-51.
23. Cooper CS, Chung BI, Kirsch AJ, Canning DA, Snyder HM III.The outcome of
stopping prophylactic antibiotics in older children with vesicoureteral reflux. J
Urol.2000; 163:269–73
24. Craig JC, Simpson JM, Williams GJ, Lowe A, Reynolds GJ, McTaggart SJ, dkk.
Prevention of Recurrent urinary Tract Infection in Children with Vesicoureteric
Reflux and Normal Renal Tracts (PRIVENT).Antibiotics prophylaxis and
recurrent urinary tract infection in children. New Engl J Med.2009;361:1748-59.
25. Williams G, Lee A, Craig J. Antibiotics for the prevention of urinary tract infection
in children: a systematic review of randomized controlled trials. J Pediatr.2001;
138:868–74.
26. Hoberman A, Greenfield SP, Mattoo TK, Keren R, Mathwes R, Pohl HG, dkk.
Antimicrobial prophylaxis for children with vesicoureteral reflux. The RIVUR
Trial Investigators. New Engl J Med.2014;370:2367-76.
27. Roussey-Kesler G, Gadjos V, Idres N, Horen B, Ichay L. Leclair MD, dkk.,
Antibiotic prophylaxis for the prevention of recurrent urinary tract infection
in children with low-grade vesico-ureteral reflux: results from prospective
randomized study. J Urol.2008;179:674-9.
28. Pennesi M, Travan L, Peratoner L, Bordugo A, Cattaneo A, Ronfani L, dkk.
North East Italy Prophylaxis in VUR Study Group. In antibiotic prophylaxis in
children with vesicoureteral reflux effective in preventing pyelonephritis and
renal scar? Pediatrics.2008;121:e1489-94.
29. Garin EH, Alavarria F, Garcia NV, Valenciano B, Campos A, Young L. Clinical
significance of primary vesicoureteral reflux and urinary antibiotic prophylaxis
after acute pyelonephritis : a multicenter, randomized, controlled study.
Pediatrics.2006;117:626-32.
30. Hari P, Hari S, Sinha A, Kumar R, Kapil A, Pandey RM, dkk. Antibiotic
prophylaxis in the management of vesicoureteric reflux: a randomized double-
blind placebo-controlled trial. Pediatr Nephrol.2015;30:479-86.
31. Smellie JM. Management and investigation of children with urinary tract
infection. Dalam: Postlethwaite RJ (ed). Clinical Paediatrc Nephrology edisi ke
2. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1994:160-74.
182
Outpatient Parenteral Antimicrobial
Therapy (OPAT): Efficiency Approach of
Rational Antibiotic Use
Aryono Hendarto
Tujuan:
1. Memahami peran Terapi Antibiotik Parenteral Rawat Jalan
dalam penggunaan antibiotik secara rasional
183
Outpatient Parenteral Antimicrobial Therapy (OPAT): Efficiency Approach of Rational Antibiotic Use
Pelayanan TAP-RJ/OPAT
Pelayanan TAP-RJ berguna bagi pasien dengan infeksi sedang hingga berat
yang memerlukan terapi antibiotik parenteral, namun memiliki kondisi
tubuh yang cukup baik untuk memulai atau melanjutkan terapi tanpa perlu
menginap di RS.2 Terdapat empat model pemberian TAP-RJ yang terdiri
dari (1) penyuntikan antibiotik sendiri di rumah, (2) penyuntikan antibiotik
oleh perawat di rumah (3) penyuntikan di fasilitas/klinik kesehatan dan (4)
perawatan intensif di rumah.10 Pemilihan antibiotik pada pasien yang mengikuti
program TAP-RJ perlu mempertimbangkan beberapa aspek yaitu spektrum
antibiotik, cara kerja, interaksi dengan obat lain, target organ, durasi pemberian
antibiotik, kriteria pemenuhan target kesembuhan, dan alternatif pemberian
antibiotik oral. Pemberian antibiotik pertama kali harus dilakukan di fasilitas
kesehatan dengan supervisi untuk memastikan pasien tidak mengalami reaksi
anafilaktik.11
Manfaat TAP-RJ antara lain menurunkan angka masuk RS dan lama
menginap sehingga meningkatkan kapasitas rawat inap di RS, penghematan
biaya yang signifikan di bandingkan dengan rawat inap, penurunan risiko
infeksi nosokomial, dan kepuasan pasien yang lebih baik.2,5,13
Efisiensi opat
Finansial
Pelaksanaan program TAP-RJ di Kanada menunjukkan penghematan biaya
sebesar 1.730.520 dolar Kanada selama 3 tahun. Hasil serupa dilaporkan dalam
penelitian yang dilakukan di Prancis yang melaporkan bahwa pengobatan
Pasien
mempertimbangkan Diskusi bersama
Penilaian pasien oleh
untuk melakukan pasien mengenai
tim TAP‐RJ
potensi TAP‐RJ
TAP‐RJ
Kesimpulan
Pasien setuju
pemberian Terapi
Pemberian terapi melakukan TAP‐RJ
intravena melalui
dan inisiasi terapi
metode TAP‐RJ
184
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
185
Outpatient Parenteral Antimicrobial Therapy (OPAT): Efficiency Approach of Rational Antibiotic Use
TAP-RJ juga dirasakan di Bahrain pada tahun 2012 hingga 2014 dengan skor
kepuasan pasien 4.41 (± 0.31) dari total 5.22 Penelitian di Jakarta dengan
melakukan wawancara terhadap orangtua pasien anak yang mendapatkan
pelayanan TAP RJ menunjukkan bawah sebagian besar orangtua merasa puas
terhadap berbagai aspek pelayanan ini.17
Simpulan
Program TAP-RJ telah terbukti efektif dari segi biaya, bed saved days dan
kepuasan pasien dalam menangani berbagai infeksi. Secara finansial meskipun
telah terbukti menurunkan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk suatu
penyakit, namun tetap bergantung pada berbagai faktor seperti pilihan agen
antimikroba, lokasi pemberian (yaitu klinik rawat jalan, pusat infus atau rumah
pasien) dan kondisi klinis pasien.
Daftar pustaka
1. Nathwani D, Raman G, Sulham K, Gevaghan M, Menon V. Clinical and economic
consequences of hospital acquired resistant and multidrug-resistant Pseudomonas
aeruginosa infections: a systematic review and meta-analysis. Antimicrob Resist
and Infect Control. 2014; 3, 32
2. Chapman AL, Seaton RA, Cooper MA, Hedderwick S, Goodall V, Reed C, et al.
Good practice recommendations for outpatient parenteral antimicrobial therapy
(OPAT) in adults in the UK: a consensus statement. JAC. 2012; 67: 1053–62
3. Nathwani D. Developments in outpatient parenteral antimicrobial therapy
(OPAT) for gram-positive infections in Europe, and the potential impact of
daptomycin. JAC. 2009; 64: 447-53
4. Stiver HG, Telford GO, Mossey JM, Cote DD, Van Middlessworth EJ, Trosky SK,
et al. Intravenous antibiotic therapy at home. Ann Intern Med. 1978; 89: 690-3
5. Laupland KB, Valiquette L. Outpatient parenteral antimicrobial therapy. Can J
Infect Dis Med Microbiol. 2013; 24: 9-11
6. Chapman ALN. Outpatient parenteral antimicrobial therapy. BMJ. 2013; 346:
1585
7. Fisher D, Michaels J, Hase R, Zhang J, Kataria S, Sim B, et al. Outpatient
parenteral antibiotic therapy (OPAT) in Asia: missing an opportunity. J
Antimicrobial Chemotherapy. 2017; 72: 1221-6
8. Fisher DA, Kurup A, lye D, Tambyah PA, Sulaiman Z, Poon EY, et al. Outpatient
parenteral antibiotic therapy in Singapore. Int J Antimicrob Agents. 2006; 28:
545-50
9. Direktur Utama RSCM. Keputusan Direktur Utama RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo nomor HK 02.04/KI.3/6834/2015 tentang pelayanan terapi
antibotik parenteral rawat jalan pada pasien anak di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo. Jakarta.
186
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
10. Tice A. The use of outpatient parenteral antimicrobial therapy in the management
of osteomyelitis: Data from the outpatient parenteral antimicrobial therapy
outcomes registries. Chemotherapy. 2001; 47:16
11. Patel S, Abrahamson E, Goldring S, Green H, Wickens H, Laundy M. Good
practice recommendations for paediatric outpatient parenteral antibiotic therapy
(p-OPAT) in the UK: a consensus statement. JAC. 2015; 70; 360-73
12. Gilchrist M, Franklin BD, Patel JP. An outpatient parenteral antibiotic therapy
(OPAT) map to identify risks associated with an OPAT service. JAC. 2008; 62:
177-83
13. Chapman AL, Dixon S, Andrews D, Lillie PJ, Bazaz R, Patchett JD. Clinical
efficacy and cost-effectiveness of outpatient parenteral antibiotic therapy
(OPAT): a UK perspective. JAC. 2009; 64: 1316–24
14. Yong C, Fisher DA, Sklar GE, Li SC. A cost analysis of outpatient parenteral
antibiotic therapy (OPAT): an Asian perspective. International Journal of
Antimicrobial Agents. 2009; 33: 46-51
15. Beieler AM, Dellit TH, Chan JD, Dhanireddy S, Enzian LK, Stone TJ, et al.
Successful implementation of outpatient parenteral antimicrobial therapy at a
medical respite facility for homeless patients. J Hosp Med. 2016;11:531-5
16. Conant MM, Erdman SM, Osterholzer D. Mandatory infectious diseases approval
of outpatient parenteral antimicrobial therapy (OPAT): clinical and economic
outcomes of averted cases. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 2014; 69:
1695-1700
17. Hendarto A. Perbandingan pelayanan terapi antibiotik parenteal rawat
jalan dengan rawat inap di departemen ilmu kesehatan anak RSCM. Tesis.
FKUGM,2017
18. Dryden M, Saeed K, Townsend R, Winnard C, Bourne S, Parker N, et al. Antibiotic
stewardship and early discharge from hospital: impact of a structured approach
to antimicrobial management. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 2012;
67: 2289-96,
19. Durojaiye OC, Bell H, Andrews D, Ntziora F, Carwright K. Clinical efficacy,
cost analysis and patient acceptability of outpatient parenteral antibiotic
therapy (OPAT): a decade of Sheffield (UK) OPAT service. Int J Antimicrob
Agents. 2018; 51:26-32
20. White HA, Davis JS. Kittler P, Currie BJ. Outpatient parenteral antimicrobial
therapy-treated bone and joint infections in a tropical setting. Intern Med J. 2011;
41: 668-73
21. Chan M, Ooi CK, Wong J, Zhong L, Lye D. Role of outpatient parenteral antibiotic
therapy in the treatment of community acquired skin and soft tissue infections
in Singapore. BMC Infect Dis. 2017; 17: 474
22. Alwi S, Abdulkarim S, Elhennawy H, Al-Manshoor A, Al Ansari A. Outpatient
parenteral antimicrobial therapy with ceftriaxone for acute tonsillopharyngitis:
efficacy, patient satisfaction, cost effectiveness, and safety. Infect Drug
Resist. 2015; 7: 279-85
23. Kieran J, O’Reilly A, Parker J, Clarke S, Bergin C. Self-administered outpatient
parenteral antimicrobial therapy: a report of three years experience in the Irish
healthcare setting. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2009; 28: 1369-74
187