Professional Documents
Culture Documents
XLIV Alergi-Imunologi, Infeksi 30-31 Juli 2001 Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi FAKULTAS
XLV Dep.IKA FKUI-RSCM 18-19 Feb 2002 Hot Topics and Pediatrics II
XLVI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Sep 2004 Current Management of Pediatrics Problems
XLVII Dep. IKA FKUI-RSCM 19-20 Sep 2005 Penanganan Demam pada Anak Secara Profesional
XLVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 13-14 Des 2005 Update in Neonatal Infections
XLIX Dep. IKA FKUI-RSCM 5-7 Maret 2006 Neurology in Children for General Practitioner in Daily Practice
L Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Juli 2006 Strategi Pendekatan Klinis Secara Profesional Batuk pada Anak
LI Dep. IKA FKUI-RSCM 20-21 Nov 2006 Pain Management in Children
LII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Juli 2007 Pendekatan Praktis Pucat: Masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan
anak
LIII Dep. IKA FKUI-RSCM 12-13 Nov 2007 Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning
LIV Dep. IKA FKUI-RSCM 27-28 Okt 2008 The 1st National Symposium on Immunization
LV
LVI
Dep. IKA FKUI-RSCM
LVIII
Dep. IKA FKUI-RSCM
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, senantiasa mengetengahkan perkembangan mutakhir dalam bidang
ilmu kesehatan anak di samping masalah pediatri praktis. Keterangan tentang program ini setiap saat dapat dimintakan kepada:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jalan Diponegoro 71, Jakarta 10430, Telp. (021) 3161420, Fax. (021) 3161420
Jakarta, 29 - 30 April 2018
PROSIDING SIMPOSIUM DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FKUI-RSCM - JAKARTA
I Kardiologi 7-8 Juli 1980 Penataran Berkala Kardiologi Pediatrik
II Gawat Darurat 23 Jan 1982 Demam Berdarah Dengue
III Hematologi 5 Juni 1982 Beberapa Aspek Hematologi
IV Neurologi 11-16 April 1983 Kejang pada Anak
V Kardiologi 19-20 April 1983 Penataran EKG Bayi danAnak
VI Nefrologi 1 Juni 1983 Penanggulangan Penyakit Ginjal Kronik
VII Gizi 13 Nov 1983 Gizi dan Tumbuh Kembang
VIII Pulmonologi 9-10 Nov 1983 Bronkitis dan Asma pada Anak
IX Perinatologi 3-4 Des 1984 Ikterus pada Neonatus
X Penyakit Tropis 4 Mei 1985 Permasalahan dan Penatalaksanaan Mutakhir Beberapa Penyakit Tropis
XI Kardiologi 31 JuIi-1 Agt 1985 Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Bawaan yang Dapat
Dikoreksi
XII Radiologi 1-2 Nov 1985 Radiologi Klinis dan Ultrasonografi pada Bayi dan Anak
XIII Endokrinologi 23 Febr 1986 Masalah penyimpangan Pertumbuhan Somatik dan Seksual pada Anak dan
Remaja
XIV Gawat Darurat 9 Agt 1986 Penanggulangan Terpadu Enterokolitis Nekrotikans Neonatal
XV Radiologi 20-21 Juni 1988 Radiologi dan Ortopedi Praktis pada Anak
XVI Gastroenterologi 30 Sept-1 Okt 1988 Penanggulangan Mutakhir Beberapa Penyakit Gastrointestinal pada Anak
XVII Pulmonologi 21-22 Okt 1988 Beberapa Masalah Klinis Praktis Pulmonologi Anak
XVIII Neurologi 27-28 Jan 1989 Kedaruratan Saraf Anak
XIX Gizi 8-9 Sept 1989 Beberapa Aspek Tentang Vitamin dan Mineral pada Tumbuh Kembang Anak
XX Kardiologi 15-16 Des 1989 Penatalaksanaan Kedaruratan Kardio vaskular pada Anak
XXI Alergi-imunologi 9-10 Mar 1990 Meningkatkan Profesionalisme dalam Penatalaksanaan Penyakit Alergi-
Imunologi
XXII Nefrologi 7-8 Des 1990 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal pada Anak
XXIII Perinatologi 8-9 Juli 1991 Sindrom Gawat Napas pada Neonatus
XXIV Hematologi 6-7 Sept 1991 Perkembangan Mutakhir Penyakit Hematologi Onkologi Anak
XXV Penyakit Tropis 26-27 Juni 1992 Tata Iaksana Penyakit Infeksi pada Anak Masa Kini dan Masa Mendatang
XXVI Radiologi 11-12 Sept 1992 Pencitraan Traktus Urinarius pada Anak
XXVII Hepatologi 6-7 Nop 1992 Hepatologi Anak Masa Kini
XXVIII Endokrinologi 16-15 Feb 1993 Masalah Penyimpangan Pertumbuhan Somatik pada Anak dan Remaja
XXIX Nefrologi 24-25 Sept 1993 Penanggulangan Masalah Uronefrologi pada Anak
XXX Gawat Darurat 3-4 Des 1993 Pendekatan Farmakologi pada Pediatrik Gawat Darurat
XXXI Gastroenterologi 3-4 Feb 1994 Optimalisasi Tatalaksana Gagal Tumbuh Gastointestinal Guna Meningkatkan
Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXII Kardiologi 1-2 Juli 1994 Pengenalan Dini dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan pada Neonatus
XXXIII Pulmonologi 2-3 Des 1994 Perkembangan dan Masalah Pulmonologi Anak Saat ini
XXXIV Neurologi 24-25 Mar 1995 Neurologi Anak dalam Praktek Sehari-hari
XXXV Gizi 11-12 Agt 1995 Masalah Gizi Ganda dan Tumbuh Kembang Anak
XXXVI Alergi-Imunologi 10-11 Nop 1995 Strategi Pendekatan Klinis Berbagai Penyakit Alergi dan Reumatik pada Anak
XXXVII Tumbuh Kembang 21-23 Nop 1996 Deteksi dan Intervensi Dini Penyimpangan Tumbuh Pediatri Sosial Kembang
Anak dalam Upaya Optimalisasi Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXVIII Perinatologi 7-8 Apr 1997 Penanganan Mutakhir Bayi Prematur: Memenuhi Kebutuhan Bayi Prematur
untuk Menunjang Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXIX Infeksi dan Pediatrik Tropik 25-26 Agt 1997 Strategi Pemilihan dan Penggunaan Vaksin serta Antibiotik dalam Upaya
Antisipasi Era Perubahan Pola Penyakit
XL Radiologi 26-27 Nop 1997 Pencitraan: Penggunaannya untuk Menunjang Diagnosis Penyakit Saluran
Napas dan Saraf pada Anak
XLI Hematologi 24-25 Jun 1998 Darah dan Tumbuh Kembang: Aspek Transfusi
XLII Gastroenterologi, 22-23 Feb 1999 Dari Kehidupan Intrauterin sampai Transplantasi Organ: Aktualisasi
Hepatologi dan Gizi Gastroenterologi-Hepatologi dan Gizi
XLIII Hepatologi 31 Mei 2000 Tinjauan Komprehensif Hepatitis Virus Pada Anak
UNIVERSITAS
INDONESIA
Veritas, Probitas, Justitia
FAKULTAS
KEDOKTERAN
Penyunting:
Mulyadi M. Djer
Wahyuni Indawati
Eka Laksmi Hidayati
Hikari A. Sjakti
Frida Soesanti
Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM
iii
iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXXIV
Terima kasih.
Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh
v
vi
Kata Pengantar Tim Penyunting
Assalamu’alakum wr wb.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyunting makalah PKB
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM ini tepat waktu.
Tema pada PKB Departemen IKA yang ke LXXIV mengangkat
permasalahan “ A to Z about infectons pediatrics antibiotic stewardship: How
to prevent of antibiotic resistance? Masalah yang dibahas adalah masalah tata
laksana terkini beberapa penyakit infeksi dan pemilihan antibiotik secara tepat
yang diperlukan para dokter anak, dokter spesialis lainnya serta dokter umum
dalam melaksanakan tugasnya di ruang rawat atau di poliklinik. Pembicara
umumnya berasal dari Staf Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM
ditambah dengan Staf dari Departemen Farmakologi, Departemen Forensik
dan Departemen Mikrobiologi FKUI-RSCM.
Dalam menyunting setiap naskah, kami dari Tim Penyunting
menyesuaikan format penulisan sesuai dengan pedoman yang ada pada buku
PKB Departemen IKA FKUI-RSCM. Isi makalah semuanya ditulis oleh penulis
dan kami tidak rubah sama sekali.
Walaupun buku ini sudah kami susun dengan benar, tidak menutup
kemungkinan kami masih menerima saran dari pembaca untuk memperbaki
buku ini.
Semoga dengan membaca naskah di dalam buku ini dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan para dokter spesialis anak, spesialis lainnya
serta dokter umum sesuai amanat undang-undang praktik kedokteran.
Wassalamu’alaikum wr wb.
Tim Penyunting
Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, SpA(K)
Dr. Wahyuni Indawati, SpA(K)
Dr. Eka Laksmi Hidayati, SpA(K)
Dr. Hikari A. Sjakti, SpA(K)
Dr. Frida Soesanti, SpA(K)
vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM
ix
Susunan Panitia
x
Daftar Penulis
xi
xii
Daftar isi
xiii
Antibiotic Choice in Hemato-Oncology Patient............................................ 73
Hikari Ambara Sjakti
Hospital Acquired Infections (Hals), Needs Awareness for Health
Professionals............................................................................................... 81
Ari Prayitno
Antibiotic treatment in pneumonia, how to choose?...................................... 93
Darmawan B Setyanto
Acute Rhinotonsilopharyngitis in Children: When Antibiotic is Needed?...... 105
Wahyuni Indawati
Tuberculosis Chemoprophylaxis in Children Exposed to Drug Sensitive or
Resistant Index Case................................................................................. 112
Nastiti Kaswandani
Difficulties in Choosing Proper Antibiotics in PICU Setting ....................... 124
Irene Yuniar
Awareness in Antibiotic Therapy for Severe Malnutrition........................... 134
Titis Prawitasari
Suspect Viral and Fungal Infection in Sepsis Neonatarum........................... 140
Rinawati Rohsiswatmo, Distyayu Sukarja
Ampicillin-Gentamycin as First Line in Neonatal Sepsis:
Are Still Relevant?....................................................................................150
Rosalina Dewi Roeslani, Septina Ashariani
Recommendation of Prophylaxix Antibiotic for Surgical Intervention .......... 159
Nina Dwi Putri
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness.............................. 171
Sudung O. Pardede
Outpatient Parenteral Antimicrobial Therapy (OPAT): Efficiency Approach
of Rational Antibiotic Use......................................................................... 183
Aryono Hendarto
xiv
Introduction to Rationale Antibiotic
Used in Children
Rianto Setiabudy
Tujuan:
1. Meningkatkan pemahaman panduan penggunaan antibiotika
yang baik dan benar pada anak agar tidak menimbulkan
resistensi kuman.
1
Introduksi Penggunaan Antibiotika yang Rasional pada Anak
Antibiotic stewardship
Program antibiotic stewardship (PAS) dewasa ini memegang peran penting untuk
menerapkan penggunaan AM yang aman dan efektif. PAS pada dasarnya
menggunakan konsep yang sederhana yaitu: pilihan AM yang tepat, dengan
dosis yang tepat, dengan rute pemberian yang tepat, durasi yang tepat, dan
pasien yang tepat. AS biasanya dimulai dengan membuat keputusan apakah
seorang pasien memang memerlukan pemberian AM atau tidak. Untuk ini
pedoman yang dipegang ialah jangan memberikan AM bila tidak ada bukti
terjadinya infeksi. Bila diputuskan perlu diberikan AM, maka berikut ini adalah
hal-hal yang harus diperhatikan:
yy Harus dilakukan anamnesis yang teliti mengenai adanya riwayat alergi.
yy Untuk anak yang mengalami infeksi berat, pengobatan harus segera
dimulai sedapat mungkin dalam waktu 1 jam setelah diagnosis kerja
ditegakkan.
yy Pengobatan sesuai dengan pedoman pengobatan yang berlaku setempat
yy Indikasi pemberian AM, dosis, cara pemberian, dan tanggal review/
penghentian pemberiannya dicatat pada formulir yang tersedia.
yy Harus dipastikan bahwa sampel biologik untuk pemeriksaan mikrobiologik
sudah diambil sebelum terapi AM dimulai.
yy Dalam waktu 48-72 jam harus dilakukan review klinik untuk menentukan
salah satu dari kemungkinan sbb:
–– Terapi AM harus dihentikan
–– Dilakukan switching dari pemberian parenteral ke oral
–– AM yang berspektrum lebar diubah ke AM dengan spektrum sempit
–– Terapi diteruskan tapi akan direviewevaluasi lagi dalam 24 jam ke depan
2
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
3
Introduksi Penggunaan Antibiotika yang Rasional pada Anak
4
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
sudah stabil dan sudah bisa menerima obat per oral, maka secepatnya
pemberian obat parenteral diganti dengan pemberian per oral. Telah lama
diketahui orang bahwa tusukan jarum infus merupakan tempat masuknya
infeksi nosokomial. Tindakan ini dikenal dengan switching. Strategi ini
mengurangi kemungkinan infeksi nosokomial dan juga mengurangi biaya
obat.
Sebagian klinikus mengabaikan hasil kultur karena merasa bahwa
dengan hasil awal yang baik pada awal terapi, maka sebaiknya terapi jangan
diubah lagi dan pemberian kombinasi antimikroba diteruskan untuk
jangka waktu relatif lama. Tindakan ini dapat menimbulkan kesulitan
baru karena memicu berkembangnya kuman yang resisten terhadap
banyak obat, menambah kemungkinan timbulnya efek samping obat, dan
meningkatkan biaya pengobatan.
3. Apakah AM yang akan digunakan itu tepat diberikan untuk pasien anak?
Dalam pengembangan obat baru (termasuk antimikroba), subjek yang
digunakan ialah orang dewasa. Anak dan bayi tidak diikutsertakan
karena mereka tergolong subjek yang vulnerable sehinga perlu diberikan
perlindungan khusus. Dari segi ini tentu kebijakan itu dianggap baik,
namun konsekuensinya ialah terjadi kekurangan data keamanan dan
efektivitas antimikroba baru. Sebagai contoh banyak kuman gram negatif
maupun kuman gram positif penyebab infeksi berat pada orang dewasa yang
secara efektif dan aman dapat dihambat oleh golongan fluorokuinolon.
Pada kasus anak, obat ini tidak digunakan karena kekhawatiran akan
terjadinya kerusakan sendi yang secara konsisten terlihat pada hewan
coba.
Beberapa faktor risiko yang harus diperhatikan ketika suatu AM
akan diberikan pada anak ialah:
–– Adanya riwayat alergi terhadap AM tersebut.
–– Fungsi ginjal dan hati pada neonatus dan bayi muda mungkin belum
berfungsi baik sehingga klirens obat belum sebaik orang dewasa.
–– Daya tahan anak terhadap infeksi juga belum sebaik pada orang
dewasa.
–– Adanya kelainan genetik: anak dengan defisiensi glukosa-6-
fosfat dehidrogenase cenderung mengalami hemolisis bila diberi
kloramfenikol, sulfonamid, primakuin, dll.
5
Introduksi Penggunaan Antibiotika yang Rasional pada Anak
6
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Simpulan
Penggunaan antibiotika yang baik pada anak merupakan upaya untuk
menggunakan antibiotika menurut konsep antibiotic stewardship yang
mecakup pilihan, indikasi, cara pemberian, lama pemberian, dan pasien yang
tepat. Penerapan antibiotic stewardship terbukti bukan saja mampu menekan
perkembangan resistensi kuman, tetapi juga mengurangi risiko efek samping
dan biaya pengobatan.
Daftar pustaka
1. Nyquist AC, Gonzales R, Steiner JF, Sande MA. Antibiotic prescribing for children
7
Introduksi Penggunaan Antibiotika yang Rasional pada Anak
with colds, upper respiratory tract infections, and bronchitis, J Am Med Assoc
1998; 279: 875-7
2. Ingram PR, Seet JM, Budgeon CA, Murray R. Point-prevalence study of
inappropriate antibiotic use at a tertiary Australian hospital. Internal med J.
2012;42:719-21.
3. Levin PD, Idrees S, Sprung CL, et al. Antimicrobial use in the ICU: indications
and accuracy–an observational trial. J of hosp med : an official publication of the
Society of Hospital Medicine. 2012;7:672-78.
4. Larsson M, Kronvall GG, Chuc NTK, Karlsson I, Lager F, Hanh HC, et al.
Antibiotic medication and bacterial resistance to antibiotics: a survey of children
in a Vietnamese community. Trop Med Int Health 2000; 711-21.
5. Spellberg B, Guidos R, Gilbert D, Bradley J, Boucher HW, Scheld WM, et al.
The epidemic of antibiotic resistant infections: a call to action for the medical
community from the Infectious Diseases of America. Clin Infect Dis 2008;
46:155-64
6. Quintiliani R Sr and Quintiliani R Jr. Pharmacokinetics/Pharmacodynamics for
critical care clinicians. Crit Care Clin. 2008;24:335-48
7. Masterton RG. Antibiotic de-escalation. Crit Care Clin 2011; 27: 149-162
8
Antibiotic Resistance Control Program
(Arcp) in Indonesia
Taralan Tambunan
Tujuan:
1. Memahami masalah mikroba resisten secara global dan nasional
2. Memahami pencegahan peningkatan mikroba resisten
3. Memahami strategi pengendalian resistensi antimikroba
4. Memahami konsep antimicrobial stewardship program
9
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia
10
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
antibiotik yang diresepkan pada hewan. Ditemukan juga bukti bahwa kuman
resisten seperti salmonella, kampilobakter dan enterokokus yang menyerang
manusia berasal dari hewan.4
11
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia
12
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
13
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia
yy Instalasi farmasi
yy Laboratorium mikrobiologi klinik
yy Komite/tim pencegahan pengendalian infeksi (PPI) dan
yy Komite /tim farmasi dan terapi (KFT)
14
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
15
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia
16
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Simpulan
Resistensi kuman terhadap antimikroba khususnya antibiotik telah menjadi
masalah global dan tidak satu negara pun secara tersendiri mampu mengatasi
masalah resistensi antimikroba ini. Bila tidak ditangani secara serius dan
bijaksana situasi dapat berlanjut dan dunia dapat mengalami era post antibiotik
yaitu saat tidak ada satu antibiotik pun yang dapat diandalkan untuk mengatasi
masalah infeksi bakteri.
Masalah utama penyebab timbulnya resistensi antimikroba terutama di
rumah sakit maupun di pusat pelayanan kesehatan adalah akibat “pressure
selection” sebagai sebagai konsekuensi penggunaan yang tidak terkendali
(inappropriate use of antibiotics). Di samping itu penggunaan antibiotik sebagai
growth promoter pada peternakan maupun perikanan dan pertanian turut
meningkatkan terjadinya resistensi antimikroba.
Ada dua strategi utama yang dipilih sebagai cara mengatasi berkembangnya
resistensi antimikroba yaitu mencegah “pressure selection” melalui penggunaan
antibiotik secara bijak dan melakukan pencegahan terhadap transmisi kuman
dengan melakukan prinsip “general precaution”. Untuk melakukan tugas ini
pemerintah melalui Kementerian Kesehatan membentuk Komite Pengendalian
Resistensi Antimikroba sebagai pelaksana Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba (PPRA). Pada awalnya PPRA dibentuk di rumah sakit pendidikan
yang tersebar di seluruh Indonesia selanjutnya dengan sistem pengampuan
PPRA dibentuk di rumah sakit tingkat propinsi dan kabupaten dan diharapkan
setiap rumah sakit memiliki tim PPRA yang bertanggung jawab terhadap
pengendalian resistensi antimikroba di tempat masing-masing.
Kegiatan PPRA disokong oleh 4 pilar yang berperan langsung dalam
pelaksanaan pengamanan antibiotik secara bijak yaitu tim Mikrobiologi Klinik,
tim Farmasi Klinik, Komite atau tim Farmasi Terapi dan Komite Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi. Untuk mendukung pelaksanaan atau kinerja PPRA
perlu dibentuk antibiotic stewardship program (ASP) sebagai wadah untuk
intervensi terkordinasi untuk meningkatkan penggunaan antibiotik secara
bijak melalui pemilihan antibiotik yang tepat dosis dan interval yang tepat
pula. ASP diharapkan dapat meningkatkan hasil pengobatan, mengurangi efek
samping obat, dan meningkatkan kepekaan kuman terhadap antimikroba serta
optimalisasi penggunaan dana pengobatan. Agar ASP dapat berperan optimal
dibutuhkan komitmen/tanggung jawab pimpinan rumah sakit, dan tenaga
medis professional yang mampu melaksanakan program serta perangkat lain
seperti tersedianya ahli farmasi yang bertanggung jawab terhadap peningkatan
penggunaan antibiotik bijak.
Dengan telah terbentuknya rencana aksi tingkat nasional (national
action plan) yang menekankan pendekatan “one health” yang efektif dengan
17
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia
Daftar pustaka
1. Smith RD, Coast J. Antimicrobial resistance. A global response. Bulletin of the
World Health Organisation 2002;80:126-130
2. World Health Organisation. Global action plan on antimicrobial resistance.
Geneva;2015. Diunduh dari http://www.who.int/antimicrobial-resistance/global-
action-plan/en/
3. National Action Plan on Antimicrobial Resistance, Indonesia 2017-2019.
Diunduh dari: https://puskespemda.net/download/national-action-plan-
antimicrobial-resistance-indonesia-2017-2019/
4. WHO perspectives on medicine. Containing antimicrobial resistance
WHO, Geneva, April 2005. Diunduh dari: http://www.who.int/management/
anmicrobialresistance.pdf
5. Ventola CL. The antibiotic resistance crisis. PT 2015;40:277-283. Diunduh dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4378521/
6. Kumarasami KK, Toleman MA, Walsh TR, Bagaria J, Butt F, Bolakrishnan R, et
al. Emergence of new antibiotic resistance mechanism in India, Pakistan, and
the UK: a mollecular, biological, and epidemiological study. Lancet Infect Dis
2010;10:597-602
7. Simonsen GS, Tapsall JW, Allegranzi B, Talbot EA, Lazzari S. The antimicrobial
resistance containment and surveillance approach – a public health tool. Bulletin
of the World Health Organisation 2004;82:928-934.
8. Bryce A, Hay AD, Lane IF, Thornton HV, Wootton M, Costelloe C. Global
prevalence of antibiotics resistance in paediatric urinary tract infections caused by
eschericloia coli and association with national use of antibiotics in primary care:
Systematic review and meta-analysis. Brit Med J 2016;352: i939.doi:10.1136/
bmj.i939. Published online 2016, Mar 2015
9. World Health Organisation. WHO global strategy for containment of
antimicrobial resistance. Prioritization and implementation workshop. Geneva
12-14 September 2000. Diunduh dari: http://www.who.int/drugresistance/
WHO_Global_Strategy.htm/en/
10. AMRIN study group 2005. Antimicrobial resistance, antibiotic usage and
infection control. A self-assessment program for Indonesian hospitals. Directorate
General of Medical Care, Ministry of Health, Republik of Indonesia. Diunduh
dari: http://www.who.int/drugresistance/WHO_Global_Strategy.htm/en/
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 8 tahun 2015 tentang
Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit (lembaran negara
Republik Indonesia tahun 2009 nomor 144, tambahan lembaran negara Republik
Indonesia nomor 5063). Diunduh dari: https://ghsaindonesia.files.wordpress.
18
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
com/2016/02/peraturan-menteri-kesehatan-ri-no-8-tahun-2015-tentang-
pengendalian-resistensi-antimikroba-di-rumah-sakit.pdf
12. Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan (lembaran negara
Republik Indonesia tahun 2009 nomor 144, tambahan lembaran negara Republik
Indonesia nomor 5063). Diunduh dari: http://www.depkes.go.id/resources/
download/general/UU%20Nomor%2036%20Tahun2%20009%20tentang%20
Kesehatan.pdf
13. Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit (lembaran negara
Republik Indonesia tahun 2009 nomor 153, tambahan lembaran negara Republik
Indonesia nomor 5072). Diunduh dari: http://www.depkes.go.id/resources/
download/peraturan/UU%20No.%2044%20Th%202009%20ttg%20Rumah%20
Sakit.PDF
14. Hadi U, Kuntaman, Qibtiyah M, Paraton H. Problem of antibiotic use and
antimicrobial resistance in Indonesia: are we really making progress? Indon J
Tropical and Inf Dis. 2013:5-8
15. Handayani RS, Siahaan S, Herman MJ. Antimicrobial resistance and its control
policy implementation in hospital in Indonesia. J Penelitian dan Pengembangan
Pelayanan Kesehatan 2017;1:131-140
16. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 2406/MENKES/PER/
XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Diunduh dari: http://
peraturan.go.id/permen/kemenskes-nomor-2406-menkes-per-xii-2011-tahun-
2011-11e44c50ca1edff09638313233313030.html
17. WHO global strategy for containment of antimicrobial resistance. WHO,
Switzerland 2001. Diunduh dari: http://www.who.int/drugresistance/WHO_
Global_Strategy_English.pdf
18. Penggunaan antibiotik terapi. Modul workshop. Implementasi PPRA di rumah
sakit, edisi kedua. Naskah lengkap Workshop Komite Pengendalian Resistensi
Antimikroba. Direktorat Jenderal Bina Upaya Keseshatan Kementerian
Kesehatan RI, tahun 2015, hal.29-36
19. FAO.org Indonesia. Indonesia raising awareness on antimicrobial resistance.
Diunduh dari www.fao.org/indonesia/new/detail-event/en/c/1069206 tanggal
26 Maret 2018
20. Barlam TF, Cosgrove SE, Abbo LM, McDougall C, Schultz AN, Septimus EJ,
et. Al. Implementing an antibiotic stewardship program: Guidelines by the
infectious disease society of America and society for healthcare epidemiology of
America. Clin Infect Dis 2016;62:e51-e77. http;//doi.org/10.1093/cid/ciw118.
Diunduh tanggal 9 April 2018
21. CDC antibiotic use for healthcare implementation resources: core elements of
hospital antibiotic stewardship programs. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/
antibiotic-use/healthcare/implementation/core-e. tanggal 9 April 2018
22. Approved: New antimicarobial stewardship standard. Joint Commission
Perspective. 2016;36:1-11
19
Antibiotic Usage:
Ethic and Patient Safety Issues
Yuli Budiningsih
Tujuan:
1. Mengenali dilema etik yang mungkin dihadapi selama
pemberian antibiotik
2. Membangun pola pikir yang logis dan sistematis dalam
menghadapi masalah etik
3. Mengenal stakeholders dan faktor yang berperan dalam
masalah etik
4. Menjabarkan solusi bagi permasalahan etik dalam pemberian
antibiotik
5. Menjelaskan mengenai pelaksanaan antibiotic stewardship dan
hubungannya dengan keselamatan pasien
Resistensi antibiotik merupakan hal yang nyata di dalam dunia kita saat ini.
Kita secara konstan melawan kuman yang terus berkembang dan semakin
resisten terhadap antibiotik yang ada saat ini. Pada Gambar 1, kita dapat
melihat bahwa untuk setiap antibiotik yang diciptakan, kuman-kuman akan
beradaptasi dengan cepat untuk menimbulkan resistensi setelahnya. Resistensi
terhadap antibiotik merupakan hal natural yang akan terjadi karena kuman
berusaha mempertahankan dirinya.1 Oleh sebab itu, tujuan kita saat ini adalah
untuk memperlambat terbentuknya resistensi tersebut.
Kita dapat melihat perlawanan manusia dengan menciptakan antibiotik
baru semakin lama semakin lemah karena kurangnya antibiotik-antibiotik baru
yang diperkenalkan, baik karena kurangnya atau terbatasnya sumber daya,
maupun karena bagi perusahaan farmasi, pengembangan antibiotik tidaklah
semenarik pengembangan obat-obatan lain yang digunakan dalam jangka
panjang seperti obat kemoterapi atau obat penyakit tidak menular.1
Dengan bertambahnya mortalitas, morbiditas, dan kerugian ekonomi
yang disebabkan oleh resistensi antibiotik ini, maka diperlukan strategi
untuk mencegah semakin banyaknya resistensi antibiotik. Terdapat berbagai
cara untuk mencegah resistensi, namun tetap harus dipikirkan dalam
pelaksanaannya, dokter tetap harus memikirkan etik kedokteran dengan
menimbang kebaikan bagi pasien dan khalayak luas.
20
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Gambar 1. Perbandingan jumlah resistensi bakteri dengan antibiotik baru di dunia1
Antibiotic stewardship
Saat ini sudah banyak panduan yang telah dicoba untuk dibuat agar dokter
dapat memilih antibiotik yang paling tepat sesuai dengan infeksi yang dialami
oleh pasien. Walaupun demikian, masih banyak kekurangan yang tidak
menjawab pertanyaan moral dan menginduksi dokter-dokter untuk berpikir
lebih jauh mengenai tujuan dari pemilihan antibiotik dan implikasinya terhadap
pasien.2 Dalam panduan saat ini, kebanyakan hanya mencakup pemberian
antibiotik “paling tepat” bagi suatu penyakit secara umum, tanpa memikirkan
pasien secara individu. Hal ini menimbulkan pertanyaan dan dilema etik
yang mungkin dialami dokter dalam kesehariannya, misalnya apakah seorang
dokter seharusnya menggunakan antibiotik yang sama bagi seluruh pasien
secara imbang, atau apakah boleh menggunakan antibiotik yang tidak sesuai
dengan panduan bila keadaan pasien dianggap tidak sesuai dengan antibiotik
yang diberikan dalam panduan. Pertanyaan lainnya misalnya bila pasien
meminta antibiotik spesifik tertentu dan bagaimana menimbang pemberian
antibiotik yang paling tepat. Apakah melakukan restriksi terhadap penggunaan
antibiotik merupakan hal yang bisa diterima dari sisi etik bila dilakukan demi
kepentingan bersama?3
21
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia
22
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
lain, dalam pembatasan antibiotik, argumen etik yang paling sering dinyatakan
adalah bahwa pembatasan antibiotik merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan kebaikan orang banyak dan mencegah terjadinya mortalitas
dan morbiditas lebih lanjut.4 Berikutnya hal ini dapat membenarkan pemberian
tata laksana yang dibatasi dengan bijak. Walaupun demikian, masih ada yang
berpikir bahwa pembatasan tata laksana ini merupakan salah satu bentuk
pelanggaran terhadap hak pasien, karena dapat memperpanjang masa rawat,
menimbulkan mortalitas, dan komplikasi yang tidak diinginkan.
23
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia
yy Etik
–– Para pakar dalam hal etik harus mampu menyelaraskan pemberian
antibiotik pada pasien dengan kepentingan orang banyak, dan dengan
demikian memberikan pertimbangan yang adil dan dapat digunakan
secara umum dalam populasi.
yy Kebijakan
–– Berdasarkan panduan berbasis bukti, pemangku kebijakan harus
mampu membuat kebijakan dan aturan yang jelas sehingga bila ada
sengketa etik nantinya, akan dapat diselesaikan berdasarkan peraturan
tersebut. Peraturan yang dibuat harus mencakup perlu tidaknya
dilakukan informed consent dalam pemberian antibiotik, bagaimana
pemberian antibiotik dan bijak, serta keadaan-keadaan khusus yang
tidak mengikuti panduan, misalnya dalam kondisi syok septik maupun
infeksi yang berat.
yy Tenaga kesehatan
–– Tenaga kesehatan harus memiliki kemampuan yang mumpuni
mengenai antibiotik untuk mengambil keputusan, karena gerbang
akses terhadap antibiotik berada pada tenaga kesehatan. Peran dari
tenaga kesehatan termasuk di dalamnya memberikan edukasi mengenai
pemberian antibiotik yang baik dan benar kepada pasien, mencegah
pembelian antibiotik secara bebas, dan melakukan pemilihan terhadap
antibiotik yang diberikan untuk setiap pasien. Tenaga kesehatan
menginterpretasikan panduan dan peraturan yang telah dibuat untuk
diaplikasikan pada pasien sesuai dengan kebutuhan individual.
yy Industri
–– Sebagai bagian dari pencegahan resistensi antibiotik, industri berperan
besar dalam menentukan distribusi dari antibiotik untuk mencegahnya
sampai ke tangan yang tidak tepat. Industri juga membiayai dan
meneliti berbagai antibiotik baru yang walaupun semakin lama semakin
sedikit, namun dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi bahaya
resistensi antibiotik. Regulasi dalam produksi dan pendistribusian
antibiotik yang berkualitas akan membantu dalam penyelesaian
masalah.
24
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Simpulan
yy Keseimbangan antara otonomi pasien dengan keadilan bagi pasien di masa
depan perlu ditegakkan
yy Panduan dan peraturan perlu mencakup etik sebagai salah satu
pertimbangan
yy Hingga titik tertentu otonomi pasien dapat dibatasi demi kepentingan
pasien dan orang banyak
25
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia
Daftar pustaka
1. Leibovici L, Paul M, Ezra O. Ethical dilemmas in antibiotic treatment. Journal
of Antimicrobial Chemotherapy 2012; 67:12-6
2. Littman J. The ethical significance of antimicrobial resistance. Public Health
Ethics 2015; 8: 209-24
3. Littman J, Buyx A, Cars O. Antibiotic resistance: an ethical challenge. Int J
Microbiob Agents 2015; 46: 359-61
4. Garau J. Impact of antibiotic restrictions: the ethical perspective. Clinical
Microbiology and Infection 2006;12: 16-24
5. Leibovici L, Paul M. Ethical dilemmas in antibiotic treatment: focus on the elderly.
Clinical Microbiology and Infection 2015; 2: 27-9
26
Qualitative Evaluation of Antibiotic Uses:
Gyssen Method
Mulya Rahma Karyanti
Tujuan:
1. Mengetahui klasifikasi dasar penggunaan antibiotik
2. Mengetahui evaluasi penggunaan antibiotik dengan alur Gyssens
3. Mengetahui manfaat alur Gyssens
27
Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kualitatif dengan Alur Gyssens
28
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
luaran proses, luaran pasien dan parameter luaran secara mikrobiologi. Pada
makalah ini akan dibahas mengenai luaran proses dari perilaku peresepan
yang dievaluasi dengan metode Gyssens. Audit penggunaan obat antimikroba
didefinisikan sebagai analisis kelayakan terhadap peresepan individu. Walaupun
pendekatan ini memakan tenaga, audit merupakan metode paling lengkap
untuk menilai semua aspek terapi. Lebih dari itu, proses evaluasi dapat
digunakan sebagai alat edukasi. Timbal balik dari hasil audit dapat menjadi
bagian intervensi untuk memperbaiki peresepan.
29
Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kualitatif dengan Alur Gyssens
30
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
31
Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kualitatif dengan Alur Gyssens
b. Terlalu pendek
Parameter ini mendapat perhatian lebih, karena penghentian pemberian
antimikroba yang terlalu cepat dapat menyebabkan bakteri belum
dieradikasi seluruhnya.
32
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
b. Interval dosis
Frekuensi dosis optimal tergantung pada waktu paruh dan mekanisme
aksi obat. Dengan menggunakan aminoglikosida dalam rejimen sekali
sehari, kondisi farmakodinamik optimal dikombinasikan dengan toksisitas
minimal. Sebaliknya, infus lanjutan telah digunakan berdasarkan
mekanisme aksi beta laktam yang tergantung waktu. Pengurangan
frekuensi pemberian parenteral berpengaruh pada biaya. Lebih dari itu,
obat parenteral yang dapat diberikan sekali sehari memungkinkan untuk
pengobatan infeksi serius pada pasien rawat jalan.
c. Rute Pemberian
Pemberian parenteral seharusnya digunakan untuk terapi empiris pada
infeksi serius, untuk pasien dengan gangguan saluran pencernaan dan
untuk obat-obat dengan bioavailabilitas rendah jika diberikan lewat
jalur enteral. Dalam prakteknya, faktor kultural tampaknya memainkan
peranan penting dalam pilihan rute pemberian. Di Inggris, 60% pasien
rawat inap diobati dengan antibiotik oral, sementara di Italia lebih dari
80% pasien diobati dengan injeksi IM. Di Amerika Serikat, pemberian
secara intravena telah dipertimbangkan sebagai pelayanan standar untuk
jangka panjang.4,8
b. Terlalu cepat
Terapi antimikroba mungkin diberikan terlalu cepat, contohnya sebelum
sampel darah atau urin atau jaringan lainnya diambil untuk biakan.4-6
33
Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kualitatif dengan Alur Gyssens
balik bagi para klinisi agar peresepan antibiotik dilakukan dengan justifikasi
yang tepat sehingga dapat dihindari terjadinya resistensi antibiotik dan terapi
menjadi lebih tepat guna bagi pasien. 4-6
Simpulan
Penggunaan antibiotik yang bijaksana meliputi diagnosis yang tepat,
menentukan indikasi dan waktu pemberian yang tepat, dosis yang tepat,
disesuaikan dengan keadaan pejamu, dengan menggunakan antibiotik
spektrum sempit dalam waktu yang singkat dan beralih ke terapi per oral
secepatnya. Penggunaan antibiotik dengan justifikasi yang tepat akan
mencegah terjadinya resistensi antibiotik, sehingga morbiditas serta mortalitas
penyakit karena infeksi dapat menurun.
Daftar pustaka
1. Utt E, Wells C. The global response to the threat of antimicrobial resistance and
the important role of vaccines. Pharmaceuticals Policy and Law. 2016:18;179-197.
2. Infectious Diseases Society of America. Combating antimicrobial resistance:
policy recommendations to save lives. Clinical Infectious Diseases. 2011;52:397-
428.
3. Prestinaci F, Pezzoti P, Pantosti A. Antimicrobial resistance: a global multifaceted
phenomenon. Pathogens and Global Health. 2015:109;309-317.
4. Gyssens IC. Audit for monitoring the quality of antimicrobial prescriptions.
Dalam: Gould, Meer VD, editors. First edition. Antibiotic policies: theory and
practice. New York: Plenum Publishers; 2005. h. 197-211.
5. Leekha S, Terrel CL, Edson RS. General principles of antimicrobial therapy. Mayo
Clinic Proceedings. 2011;86:156-66.
6. Dryden M, Johnson AP, Ashiru D, Oredope, Sharland M. Using antibiotics
responsibly: right time, right dose, right duration. Journal of Antimicrobial
Chemotheraphy. 2011;66:2441-43.
7. Tamma PD, Cosgrove SE, Maragakis LL. Combination therapy for treatment
of infections with gram-negative bacteria. Clinical Microbiology Reviews.
2012;25:450-70.
8. Kuper KM. Intravenous to oral therapy conversion. Dalam: Murdaugh LB.
Competence assesment tools for health-system pharmacies. Fourth edition.
Bethesda, MD: ASHP; 2008. h. 347-60.
34
Switching Antibiotic Therapy:
When and How
Sri Rezeki S Hadinegoro
Tujuan:
1. Mengetahui dasar pemilihan antibiotik
2. Mengetahui kapan dapat dilakukan switching antibiotic
3. Mengetahui bagaimana melakukan switching antibiotic pada
pasien pediatri
35
Switching Antibiotic Therapy: When and How
alat penunjang untuk membuktikan, misalnya darah perifer lengkap, CRP, LED,
prokalsitonin, biakan, PCR, uji serologis, dan sebagainya. Maka secara umum
pemberian antibiotik bertujuan untuk mengontrol infeksi bakteri, dengan
cara membunuh bakteri, menekan jumlah bakteri, dan mengeradikasi bakteri.
Sehingga pemberian yang tidak diperlukan akan mengurangi pemakaian
antibiotik yang tidak berguna, namun di lain pihak menimbulkan hal-hal yang
merugikan terutama timbulnya resistensi terhadap antibiotik tersebut. Berbagai
hal yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan sifat farmakodinamik dan
farmakokinetik antibiotik serta efek sampingnya. Oleh karena itu, dalam
pemberian antibiotik perlu diperhatikan dosis, rute atau cara, serta frekuensi
pemberian.2
36
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
37
Switching Antibiotic Therapy: When and How
38
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
39
Switching Antibiotic Therapy: When and How
Simpulan
Switching pengobatan dari pemberian secara intravena ke oral merupakan
tantangan tersendiri bagi para dokter, terutama guna mengurangi resistensi
antibiotik. kemampuan klinis dalam pemantauan perjalanan penyakit infeksi
merupakan kunci keberhasilan switching therapy tersebut. Parameter marker
infeksi perlu diperiksa untuk memastikan toleransi klinis pasien telah dapat
menerima terapi oral. Beberapa pedoman telah disajikan guna mendapat
paparan yang lebih luas terhadap penyakit apa saja yang dapat dilakukan
switching, serta waktu dan cara melakukan switching therapy dari intravena ke
oral. Namun, pedoman yang dibuat oleh rumah sakit di luar negeri tersebut
harus disesuaikan dengan keadaan rumah sakit di tempat kita bekerja, misalnya
adakah pemeriksaan marker infeksi telah tersedia dan ketersediaan antibiotik
oral sebagai pengganti.
40
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Daftar pustaka
1. Scheinfeld NS. Dalam: Chandrasekar PH, penyunting. Antimicrobial treatment:
early intravenous to oral switch - Paediatric Guideline. Children’s Health
Queensland, Australia CHQ-GDL-01057 2016.
2. Bradly JS, Long SS. Principles of anti-infective therapy. Dalam: Principles and
practice of Pediatric Infectious Diseases. Long SS, Prober CG, Fischer M, editors.
15th editions. Elsevier, Philadelphia 2018.p.1460-7.
3. Gallagher JC, MacDougall C. Antibiotics simplified. Boston: Jones & Bartlett
Pub; 2009.
4. Alby K, Miller MB. Mechanism and detection of antimicrobial resistance. Dalam:
Long SS, Prober CG, Fischer M, penyunting. Principles and practice of pediatric
infectious diseases. Edisi ke-15. Philadelphia: Elsevier; 2018. h. 1467-78.
5. WHO. Global action plan on antimicrobial resistance. World Health Organization.
Documents A68/19, A68/20 and A68/20 Corr.1. Geneva 2015.
6. Smitha Mundasad. Antimicrobial treatment: early intravenous to oral switch –
Paediatric. PLoS Biology. 2015. https://www.childrens.health.qld.gov.au/wp-content/
uploads/.../DUG-Early-Intravenous-po.
7. Mcmullan B, Andresen D, Blyth CC, Avent ML. Antibiotic duration and timing
of the switch from intravenous to oral route for bacterial infections in children: a
systematic review and guideline. The Lancet Infect Dis. June 2016 DOI: 10.1016/
S1473-3099(16)30024-X. https://www.researchgate.net/publication/304195897
8. Ingrid Palmer. Making the move from IV to PO antibiotics. Today’s Hospitalist,
Canada; 2010
9. Batchelder N, Tsz-Yin So. Transitioning antimicrobials from intravenous to oral
in pediatric acute uncomplicated osteomyelitis. World J Clin Pediatr. 2016; 5:
244–50. PMCID: PMC4978616. Published online 2016 Aug 8. doi: 10.5409/
wjcp.v5.i3.244 PMID: 27610339.
10. MCLaughlin, Bodasing N, Boyter AC, Fenelon C, Fox JG, Seaton RA. Pharmacy-
implemented guidelines on switching from intravenous to oral antibiotics: an
intervention study. Q J Med. 2005; 98:745–52.
11. Clarkson A, Westin V, Hills T. Guideline for the intravenous to oral switch
of antibiotic therapy. Nottingham University hospitals Antibiotic Guidelines
Committee. Review December 2010.
41
Switching Antibiotic Therapy: When and How
Lampiran 1
Gambar 4. Bagan terapi antibiotik intravena ke oral11
42
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Lampiran 2
Tabel 1. Pedoman lama pemberian antibiotik dan IV-Oral switch pada anak
Tabel 1. Pedoman lama pemberian antibiotik dan IV‐Oral switch pada anak
43
Switching Antibiotic Therapy: When and How
ANZPID‐ASAP Guidelines for antibiotic duration and IV‐Oral switch in children.7
44 9
Viral or Bacterial Infection:
Does Need Laboratory Test?
Hindra Irawan Satari
Tujuan:
1. Mengetahui uji laboratorium pada infeksi virus atau bakteri
2. Mengetahui kapan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium
Hampir setiap dokter yang menghadapi pasien setiap hari, selama duduk
dibangku fakultas kedokteran, hanya sedikit mendapat paparan atau kuliah
mengenai laboratory medicine. Kepentingan untuk memahami prinsip memilih
dan melakukan uji laboratorium secara bijak pada pasien secara spesifik
bermanfaat dalam meningkatkan tatalaksana perawatan pasien. Untuk memilih
uji laboratorium perlu dipertimbangkan: alasan, keperluan, dan kesesuaian
berbasis bukti standar perawatan klinis. Era melakukan uji laboratorium
dengan pendekatan shot gun approach saat ini harus digantikan dengan rifle
atau targeted approach dengan dasar mengerti penampilan uji diagnostik dan
keabsahan alasan untuk melakukan uji laboratorium. Pemahaman seperti
ini sangat penting agar tercapai pelayanan laboratorium yang baik dalam
tatalaksana pasien1.
45
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?
Hitung leukosit
Adanya peningkatan jumlah leukosit secara konsisten meningkatkan risiko
occult dan occult pneumococcal bacteremia.3 Pada anak berumur 3-36 bulan
dengan fever without source (FWS) serta hitung leukosit lebih dari 14.000/µl
akan meningkatkan risiko prediksi untuk terjadinya occult bacteremia. Occult
bacteremia adalah suatu keadaan adanya bakteri dalam aliran darah pada
anak dengan demam tanpa gejala lain, berpenampilan baik dan tidak tampak
sumber infeksi yang jelas. Umumnya disebabkan oleh bakteri Streptococcus
pneumoniae.4 Occult bacterial pneumonia adalah pneumonia yang tidak terlihat
kasat mata, hanya dapat terlihat dengan pemeriksaan rontgen dada5, sedangkan
FWS adalah demam 2-3 minggu yang setelah dilakukan investigasi awal
tidak ditemukan penyebabnya. Demam ini dapat disebabkan penyakit yang
tidak biasa (seperti rematologi, onkologi), namun umumnya disebabkan
infeksi, seringkali virus.6 Sebagian besar anak balita dengan peningkatan
hitung leukosit tidak mempunyai latar belakang infeksi bakteri sebagai
penyebab demam.(?)
Tujuan kriteria penapisan dan uji laboratorium untuk menilai bayi dan
balita dengan demam dirancang untuk menentukan apakah pasien dalam
keadaan risiko rendah sehingga dapat berobat jalan tanpa antibiotik. Untuk
keperluan tersebut, dipilih kriteria penapisan yang tujuan utamanya untuk
mempunyai uji yang mempunyai sensitivitas dan nilai prediktif negatif yang
maksimal. Hitung leukosit 15.000/µl mempunyai nilai prediktif negatif sampai
98-99% dan nilai prediktif positif 5-6% untuk membedakan occult bacteremia
dari FWS yang jinak atau noninvasif.
Tabel 1. Evaluasi hitung leukosit lebih dari 15.000/µl untuk menapis Occult Bacteremia pada FWS2.
Studi Ambang (x1.000/µl) NPV (%) PPV (%)
Kuppermann, 1999 Hitung leukosit >15 99 6
Lee, 2001 Hitung leukosit >15 99 5
Strait, 1999 Hitung leukosit >15 98 6
46
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
47
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?
Hitung batang
Hitung batang tidak bermanfaat untuk menapis bakteriemia.
Peningkatan hitung batang ditemukan pada;2
yy Influenza A and B : 29%
yy Enterovirus : 23%
yy Respiratory syncytial virus : 22%
yy Rotavirus : 22%
CRP
CRP merupakan suatu protein fase akut yang dibentuk oleh hepatosit sebagai
respons terhadap stimulasi sitokin-sitokin anti inflamasi. Kadar CRP akan
meningkat dalam 4 – 6 jam, meningkat hingga 2 kali lipat dalam 8 jam, dan
mencapai puncaknya dalam 36 – 50 jam. CRP sangat baik digunakan untuk
menilai perjalanan penyakit dalam fase akut. Kadar CRP dapat meningkat
pada kondisi-kondisi selain infeksi seperti komplikasi hipersensitivitas infeksi
(demam rematik, eritema nodusum), penyakit inflamasi non infeksi (artritis
rheumatoid, ankylosing spondilitis, artritis psoriatik, vaskulitis sistemik, penyakit
Crohn), transplantasi, keganasan, dan trauma.
CRP saat ini bukan merupakan standar bagi uji tapis occult bacteremia2.
Analisis pada tahun 1999 menemukan bahwa CRP tidak dapat digunakan
untuk menduga occult bacteremia pada balita.
Studi lainnya melaporkan nilai tapis optimal dengan menggunakan kurva
ROC untuk menentukan balans terbaik antara sensitivitas dan spesifisitas.
Ambang optimal CRP berkisar antara 2.8-5, dan mempunyai nilai nilai praduga
negatif 81-98% dan nilai praduga positif 30-69% dalam membedakan antara
infeksi bakteri invasif/serius dengan infeksi yang noninvasif/ringan.2
48
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Prokalsitonin
PCT adalah prekursor hormon kalsitonin yang dalam keadaan inflamasi
dapat menunjukkan aktivitas mirip sitokin.1 Dalam keadaan infeksi mikroba
49
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?
atau inflamasi, kadar PCT yang bersirkulasi dapat meningkat hingga berkali-
kali lipat. Infeksi mikroba dapat meningkatkan pelepasan PCT dari seluruh
jaringan parenkim dari berbagai sel-sel tubuh. PCT yang dilepaskan dari sel-
sel parenkim (termasuk hepar, paru, ginjal, adiposit, dan otot rangka) lebih
banyak dibandingkan dengan yang dilepaskan oleh sel-sel yang bersirkulasi
(misalnya leukosit). Hal tersebut menunjukkan bahwa fungsi pertahanan tubuh
yang dimediasi oleh PCT bersifat tissue based. Oleh karena itu PCT dapat
digunakan sebagai biomarker diagnosis infeksi bakteri pada pasien dengan febrile
neutropenia. Penelitian yang dilakukan oleh Qu et al7 menyatakan bahwa PCT
memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 64,5% dan 84% dalam mendeteksi
infeksi bakteri pada pasien demam. Pada penelitian tersebut juga dinyatakan
bahwa PCT lebih baik dibandingkan CRP (P<0,05), IL-6 (P<0,001), dan
serum amyloid A (SAA) (P<0,01) dalam mendeteksi dini infeksi bakteri.
Pelepasan PCT dalam keadaan inflamasi terjadi karena adanya induksi
langsung dari toksin mikroba (misalnya endotoksin) atau induksi tidak
langsung melalui respons imun humoral atau selular (misalnya IL-1β, tumor
necrosis factor-alpha (TNF-α), dan IL-6). Kadar PCT hampir tidak pernah
meningkat pada infeksi virus, hal ini diduga karena pada infeksi virus terjadi
sintesis interferon alfa oleh makrofag yang kemudian menginhibisi sintesis
TNF. Oleh karena itu, PCT dapat pula digunakan untuk membedakan infeksi
bakteri dengan infeksi virus.1 PCT memiliki rentang biologis yang lebar, waktu
induksi yang singkat (2 – 4 jam), dan waktu paruh yang panjang (22 – 26 jam)
sehingga baik digunakan sebagai biomarker infeksi bakteri dan dasar pemberian
terapi antimikroba yang rasional. Sebuah meta analisis5 (30 penelitian, 3.244
pasien) yang dilakukan pada tahun 2013 untuk menganalisis akurasi dan
nilai klinis dari PCT dalam penegakkan diagnosis sepsis pada pasien-pasien
kritis menghasilkan rerata sensitivitas sebesar 0,77 [95% confidence intervals
(CI) 0,72-0,81], spesifisitas sebesar 0,79 (95% CI 0,74-0,84), dan area under
the curve (AUC) sebesar 0,85 (95% CI 0,81-0,88), mengonfirmasi peran PCT
sebagai biomarker yang berguna dalam penegakkan diagnosis infeksi bakteri.8
Secara keseluruhan, PCT bermanfaat sebagai biomarker infeksi bakteri
pada pasien dengan demam. Dalam mempergunakan PCT sebagai biomarker
infeksi bakteri, hasil positif dan negatif palsu harus diperhitungkan. Peningkatan
kadar PCT yang bersifat positif palsu (tanpa infeksi bakteri) dapat terjadi pada
acute respiratory distress syndrome (ARDS), malaria falsiparum berat, trauma,
dan pneumonitis kimiawi.1 Kadar PCT yang rendah dapat digunakan untuk
menyingkirkan infeksi bakteri, akan tetapi kadar PCT yang rendah dapat
pula terjadi pada awal perjalanan infeksi bakteri, endokarditis bakterialis
subakut dengan bakteremia, dan pada infeksi bakteri yang bersifat lokal. Oleh
karena itu jika kondisi klinis pasien sesuai dengan sepsis bakterialis, pasien
harus ditatalaksana sesuai dengan diagnosis sepsis meskipun kadar PCT tidak
50
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
meningkat. Pemeriksaan PCT dapat dilakukan secara serial dalam 48 jam untuk
mengonfirmasi diagnosis infeksi bakteri sehingga pemberian antimikroba dapat
dihentikan segera apabila kadar PCT tetap rendah.
PCT adalah prohormon dari kalsitonin yang meningkat dengan cepat
apabila terpapar endotoksin bakteri, dimulai dalam 2-4 jam pertama dan lebih
cepat dari level CRP. PCT level tetap rendah pada infeksi virus dan penyakit
infeksi sistemik, seperti Lupus eritematosus sistemik dan penyakit Crohn, PCT
level juga meningkat pada beberapa penyakit non bakteri yang melibatkan
kerusakan jaringan masif, melibatkan jaringan major (seperti, bedah major,
luka bakar, syok kardiogenik, rejeksi transplantasi akut). Beberapa penelitian
di Unit Perawatan Intensif menunjukkan hubungan peningkatan PCT dengan
infeksi berat, dan PCT berkaitan baik dengan respon pengobatan. Apabila
antibiotik berhasil, maka PCT akan menurun dan peningkatan PCT persisten
berhubungan dengan buruknya prognosis.
Beberapa penelitian melaporkan nilai optimal uji berbasis kurva ROC
untuk menetapkan batasan terbaik sensitivitas dan spesifisitas. Salah satu
peneliti mengajukan ambang optimal ambang untuk PCT yang berkisar
diantara 0.6-2, serta menunjukkan nilai duga negatif sebesar 90-99% dan nilai
duga positif sebesar 52-91% dalam membedakan antara infeksi bakteri serius
/invasif dengan infeksi noninvasif/ ringan.
51
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?
Tabel 6. Efek lamanya sakit – dan level PCT level sebagai uji tapis pada FWS 2
Lama sakit Goal tapis Ambang NPV, % PPV, %
(< 12 jam dan >12 jam) infeksi bakteri invasif* 0.6 90 91
< 12 jam Infeksi bakteri invasif* 0.7 90 97
*kultur-positif bakteremia/meningitis/bakteri sepsis/
bone/artritis; DMSA-positif pielonefritis; lobaris
pneumonia; bakterial enteritis pada bayi kurang dari 3
bulan
Urinalisis
Sekitar 7 % bayi laki laki dengan FWS yang berumur kurang dari 6 bulan dan
8% anak wanita kurang dari 1 tahun, menderita infeksi saluran kemih (ISK).
Pada neonatus dengan FWS, direkomendasikan pemeriksaan urin, dan banyak
52
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Biakan darah
Biakan darah positif merupakan kriteria standar definisi bakteremia15. Biakan
darah dengan isolat tunggal secara umum dianggap sebagai hasil positif. Kultur
dengan hasil multipel isolat atau bakteri nonpatogen dianggap kontaminasi.
Patogen lebih cepat tumbuh dari kontaminan, umumnya kurang dari 24 jam.
Contoh2:
yy S pneumoniae : 11-15 jam
yy Salmonella spesies : 9-12 jam
yy N meningitidis : 12-23 jam
53
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?
populasi anak. Fokus harus ditujukan pada waktu pengambilan, volume dan
seleksi botol. Hasil positif berhubungan dengan jmulah darah dan inkubasi
di laboratorium. Apabila volume mencapai 6 ml, maka tingkat positivitas
mencapai 83%, sedang bila 2 ml, positivitasnya 60 %. Masa inkubasi juga
menentukan, bila di inkubasi dua jam setelah pengambilan darah, maka tingkat
keberhasilannya 95%, dan menurun menjadi 70% apabila inkubasi dilakukan
lebih dari 3 jam setelah pengambilan.
54
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
55
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?
apabila didapatkan IgM antidengue atau titer antibodi sebesar 1280 atau lebih
melalui metode HIA atau ELISA pada spesimen tunggal.21 Infeksi dengue
terkonfirmasi dan probable harus ditangani sesuai dengan derajat keparahan
manifestasi klinisnya.
ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay; HIA, hemagglutination
inhibition assay; IgG, immunoglobulin G; IgM, immunoglobulin M; NS1 Ag,
non-structural protein 1 antigen; RT-PCR, reverse transcriptase-polymerase chain
reaction.
Masa inkubasi infeksi virus dengue terjadi dalam 4 – 10 hari setelah
gigitan nyamuk.21 Pada masa inkubasi virus bereplikasi dan respons imun
tubuh mulai berkembang. Viremia dapat dideteksi sejak awal munculnya
manifestasi klinis dan menghilang pada periode deferfesens (perpindahan fase
febris menjadi afebris). Antibodi IgM antidengue mulai muncul pada saat yang
sama. Pemeriksaan virologis dan serologis dapat membedakan infeksi primer
dengan infeksi sekunder dan memperkirakan perjalanan penyakit.
Pemeriksaan serologis yang bermanfaat dilakukan pada fase febris (hari
demam ke 1 – 5) adalah pemeriksaan NS1 Ag melalui metode ELISA atau
dengan menggunakan alat rapid diagnostic test (RDT).21 NS1 Ag adalah suatu
glikoprotein yang diproduksi oleh seluruh flavivirus dan berperan penting dalam
proses replikasi dan kelangsungan hidup virus tersebut.22 Metode diagnostik
ini tidak dapat membedakan infeksi primer dan infeksi sekunder serta tidak
dapat menentukan galur virus dengue yang menginfeksi pasien.22 Sensitivitas
dan spesifisitas alat diagnostik yang telah tersedia di pasaran sedang dievaluasi
lebih lanjut.
Pemeriksaan serologis yang bermanfaat dilakukan pada fase kritis dan
konvalesens (setelah hari demam ke 5) adalah pemeriksaan IgM dan IgG
antidengue melalui metode ELISA atau dengan menggunakan alat RDT.21,22
Pemeriksaan IgG antidengue yang dilakukan bersama dengan IgM antidengue
dapat bermanfaat untuk menilai adanya infeksi lampau. Klasifikasi infeksi
primer dan infeksi sekunder atau lampau dinilai menggunakan rasio densitas
optik IgM/IgG. Rasio lebih dari 1,2 dengan spesimen serum terdilusi 1/100
atau 1,4 dengan spesimen serum terdilusi 1/20 menunjukkan infeksi primer.29,30
Titer IgG antidengue lebih dari 1/1280 melalui metode HIA atau ELISA
menunjukkan infeksi sekunder. Pemeriksaan HIA dan ELISA memiliki
kemungkinan reaktivitas silang dengan spesies flavivirus lainnya. Metode
pemeriksaan uji netralisasi merupakan metode pemeriksaan pilihan untuk
mendeteksi serotipe spesifik.21,22
56
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
pasien karena bervariasinya manifestasi klinis yang dapat terjadi.23 Setiap kasus
rubella harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dilakukan untuk mengonfirmasi rubella antara lain
adalah deteksi virus dan pemeriksaan serologis. Deteksi virus dapat dilakukan
melalui metode real time RT-PCR dan RT-PCR. Pemeriksaan serologis lebih
disukai karena dapat menilai status imun pasien terhadap rubella.
Metode pemeriksaan serologis yang paling banyak dilakukan adalah
pendeteksian antibodi IgM dan IgG rubella melalui enzyme immunoassay
(EIA).24 Pemeriksaan tersebut bersifat sensitif dan mudah dilakukan. Perjalanan
respons imun pasien dengan infeksi rubella dijabarkan pada gambar 4. Antibodi
IgM rubella dapat dideteksi dalam 4 – 30 hari setelah awitan penyakit.
Pemeriksaan ini dapat mengonfirmasi infeksi rubella kecuali apabila pasien
mendapatkan vaksinasi yang mengandung virus rubella dalam 8 hari – 8
minggu sebelum spesimen diambil.32 Hasil positif palsu dapat terjadi pada
pasien dengan faktor reumatoid tinggi dan reaktivitas silang dengan infeksi
virus lain seperti parvovirus B19.23,24 Oleh karena itu pemeriksaan antibodi
IgM rubella tidak disarankan untuk dilakukan secara tunggal melainkan
dikombinasi dengan pemeriksaan aviditas antibodi dan deteksi virus rubella.
Hasil positif harus dikonfirmasi lebih lanjut apabila didapatkan pada wanita
hamil yang tidak mengalami gejala rubella dan tidak memiliki kontak dengan
orang yang terinfeksi rubella.24
Pemeriksaan antibodi IgG rubela harus dilakukan secara serial
menggunakan minimal dua spesimen serum dari dua waktu berbeda dan
dilakukan pada pasien yang tidak mendapatkan vaksinasi yang mengandung
virus rubella dalam kurun waktu 8 hari – 8 minggu sebelum pengambilan
spesimen.23,24 Serum pertama harus diambil sesegera mungkin setelah awitan
penyakit, sedangkan serum kedua diambil 10 – 21 hari setelah pengambilan
serum pertama. Pada kedua serum tersebut kemudian dinilai adanya kenaikan
titer IgG rubela. Pemeriksaan aviditas IgG rubella bermanfaat dalam
membedakan infeksi akut dan infeksi lampau.23 Didapatkannya IgG aviditas
tinggi pada pasien berkorelasi dengan infeksi lampau atau reinfeksi. Meskipun
demikian, pemeriksaan aviditas IgG rubella tidak banyak dilakukan karena
tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan memiliki sarana untuk melakukan
pemeriksaan tersebut.
57
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?
58
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
serotipe HSV.25 Alat diagnostik ini juga memerlukan waktu lebih singkat
dalam mendeteksi terjadinya serokonversi yaitu 25 hari dari awitan penyakit
untuk HerpeSelect HSV1 (33 hari dengan western blot) dan 21 hari dari awitan
penyakit untuk HerpeSelect HSV2 (40 hari dengan western blot).
59
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?
tidak memiliki bukti kontak dengan pasien campak, dan tidak memiliki riwayat
bepergian ke daerah endemis campak.23
Pemeriksaan antibodi IgG campak harus dilakukan menggunakan dua
spesimen di mana spesimen kedua diambil sekurang-kurangnya 10 hari setelah
pengambilan spesimen pertama. Serokonversi sebesar 4 kali lipat menandakan
hasil positif. Pemeriksaan antibodi IgG campak juga tidak dapat dilakukan
pada pasien yang menerima vaksinasi mengandung virus campak dalam kurun
waktu 8 hari hingga 6 minggu sebelum pengambilan spesimen, tidak memiliki
bukti kontak dengan pasien campak, dan tidak memiliki riwayat bepergian ke
daerah endemis campak.23 Pemeriksaan aviditas IgG campak dapat dilakukan
untuk membedakan infeksi akut dan infeksi lampau.23 Pemeriksaan aviditas IgG
campak tidak rutin dilakukan karena membutuhkan alat-alat dan laboratorium
khusus yang telah distandarisasi.
Biomarker diagnosis baru untuk membedakan infeksi bakteri dari virus
pada anak Untuk memastikan pengobatan yang memadai bagi pasien infeksi
diperlukan informasi rinci. Meski hitung leukosit dan CRP merupakan
indikator infeksi yang bermanfaat, diperlukan indikator pemeriksaan yang
cepat dan mudah untuk meningkatkan kemampuan meningkatkan diagnosis.
Disamping itu, membedakan bakteri dan virus sebagai patogen kausatif
merupakan suatu hal yang sangat penting. Beberapa studi memperlihatkan
level ekspresi TLR2 dan TLR4 dalam neutrofil yang berasal dari individu yang
terinfeksi bakteri(n=118) dan virus (n=34) tercatat lebih tinggi dibandingkan
dengan sampel kontrol (n=47). Demikian pula, level lebih tinggi dari TNF-α
pada pasien kedua infeksi di amati serta IL-2, IL8 dan IL 10 pasca infeksi virus
juga diamati, menunjukkan level interleukin tadi secara bermakna meningkat
dibandingkan 1 hari pasca infeksi bakteri. Berdasarkan penelitian tersebut,
IL-4, IL-8, IL-10, IL-12 dan TNF-α mungkin merupakan biomarker infeksi,
sebagai tambahan dari hitung leukosit dan level CRP, dan IL-2, IL8 serta IL-10
berpotensi dapat membedakan antara infeksi bakteri dan virus.
60
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
61
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?
Simpulan
Bagi klinisi, harus disadari, meski data laboratorium potensial sangat bermanfaat
dalam menegakkan diagnosis, namun harus tetap digunakan sebagai tambahan
atau pelengkap dari penemuan riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisis
yang berhubungan dengan keadaan klinis pasien. Klinisi harus mengobati
pasien, bukan hasil laboratorium.
Daftar pustaka
1. Frank HW. Clinical Laboratory Tests: Which, Why, and What Do The Results
Mean? Laboratory Medicine 2009;40,(2): 105–13.
2. Mohan A, Harikrishna J. Biomarkers for the diagnosis of bacterial infections: in
pursuit of the ‘holy grail’. Indian J Med Res. 2015 Mar; 141(3): 271-3.
3. Bennet NJ. Bacteremia Workup.Medscape. Updated:Sep 08, 2017 [cited 16 April
2018]. Didapat dari URL: https://emedicine.medscape.com/article/961169-
overview.
4. Weinberg G. Occult Bacteremia and Fever Without Apparent Source in Infants
and Young Children. MSD Manual Proffesional version [cited 17 April 2018].
Didapat dari: URL:https://www.msdmanuals.com/pediatrics/bacterialchildren/
occult-bacteremia.
5. Steele RW. Pediatric Pneumococcal Bacteremia. Medscape, updated 2015 [cited
17 April 2018]. Didapat dari:URL:https://emedicine.medscape.com/article/967600-
overview.
6. Ploegstra WM, Onnes B, de Vries NK, Kamps AW. Occult pneumonia in a child.
BMJ Case Rep. 2012 (8):1.
7. Qu J, Lü X, Liu Y, Wang X. Evaluation of procalcitonin, C-reactive protein,
interleukin-6 & serum amyloid A as diagnostic biomarkers of bacterial infection
in febrile patients. Indian J Med Res. 2015;141:315–21.
8. Chinelo P Onyenekwu Charles I Okwundu Eleanor A Ochodo. Procalcitonin,
C-reactive protein, and presepsin for the diagnosis of sepsis in adults and children.
5 April 2017.
9. Baumann P, Baer G, Boenhoeffer J,Fuchs A, Gotta V, Heininger U, Ritz N,
Szinnai G, Bonhoeffer J. Procalcitonin for Diagnostics and Treatment Decisions
in Pediatric Lower Respiratory Tract Infections. Front Pediatr 2017; 28.
10. Gomez B, Bressan S, Mintegi S, Dalt LD, Blazquez D, Olaciregui I,Torre M,Palacios
M, Berlese M, Ruano A. Diagnostic Value of Procalcitonin in Well-Appearing
Young Febrile Infants. Pediatrics 2012;130,(5): 815-22.
11. Wei TT, Zhi-De Hu, Qin BD, Ma N, Tang QQ, Wang LL, Zhou L, Zhong RQ.
Diagnostic Accuracy of Procalcitonin in Bacterial Meningitis Versus Nonbacterial
Meningitis. Medicine 95,(11), 2016:1-9
12. Tsai JD , Lin CC, Yang SS . Diagnosis of pediatric urinary tract infections.
Urological Science 27 (2016) 131-4.
13. Karen H K , Arvinda S , Maupi E L , Greta H , Claire L C , Anne B M, John
A. Sensitivity and specificity of typhoid fever rapid antibody tests for laboratory
62
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
63
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?
28. Yusa T, Tateda K, Ohara A, Miyazaki S. New possible biomarkers for diagnosis
of infections and diagnostic distinction between bacterial and viral infections in
children. J Infect Chemother. 2017;23(2):96-100.
29. S r u g o I , K l e i n A , S t e i n M , G o l a n - S h a n y O P, Ke r e m G ,
Chistyakov I, Genizi J, et al. Novell assay to Distinguish Bacterial and Viral
Infection. PEDIATRICS 2017;140, (4): 1-13.
64
Interpretation of Antibiotic Resistance in
Susceptibility Test
Anis Karuniawati
Tujuan:
1. Meningkatkan pemahaman tentang interpretasi hasil uji
kepekaan antibiotik
65
Interpretasi Hasil Uji Kepekaan Antibiotik
Pertumbuhan bakteri dari spesimen, atau bahan uji apapun perlu dikaji
dengan baik untuk dapat diputuskan bahwa bakteri tersebut merupakan
kontaminan, kolonisasi atau patogen penyebab infeksi. Interpretasi akan
menjadi lebih mudah bila pemeriksaan mikrobiologi dilakukan pada spesimen
pasien dengan diagnosis infeksi, dan spesimen yang diperiksa tersebut diambil
dari tempat dan dengan cara yang tepat. Bakteri dianggap sebagai kontaminan
bila tumbuh dari spesimen yang seharusnya steril namun terkontaminasi pada
saat pengambilan spesimen. Sebagai contoh adalah spesimen darah yang
terkontaminasi bakteri yang tumbuh sebagai flora normal pada kulit tempat
dilakukan punksi vena. Bakteri dianggap sebagai kolonisasi bila tumbuh
dari spesimen yang berasal dari sistem, organ atau mukosa yang tidak ada
tanda infeksi. Bakteri dapat pula dianggap sebagai kolonisasi apabila tidak
terdapat bukti ilmiah yang dapat menjelaskan bahwa bakteri tersebut dapat
menyebabkan infeksi pada suatu sistem atau organ tempat asal spesimen.
Sebagai contoh pada mukosa saluran napas atas dapat ditemukan berbagai jenis
bakteri flora normal, sehingga pada keadaan tanpa tanda infeksi bila dilakukan
biakan dari usap mukosa saluran napas atas maka akan tumbuh bakteri yang
berkolonisasi. Bakteri yang ditemukan pada biakan dianggap patogen bila
spesimen yang diperiksa berasal dari sistem atau organ dengan tanda infeksi
yang jelas. Selain itu juga terdapat bukti ilmiah yang dapat menjelaskan
patogenesis terjadinya infeksi serta data epidemiologi yang mendukung.
Hasil interpretasi tentang patogen atau tidaknya bakteri yang tumbuh selain
sangat penting untuk menegakkan diagnosis, juga untuk menentukan perlu atau
tidaknya pemeriksaan dilanjutkan uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik.
Apabila uji kepekaan harus dilakukan maka perlu ditetapkan jenis antibiotik
yang diuji dengan mempertimbangkan beberapa hal diantaranya kesesuaian jenis
antibiotik yang diuji dengan ketersediaan obat di fasilitas layanan kesehatan
tersebut atau kebutuhan pasien pada jenis antibiotik yang tersedia berupa sediaan
oral atau parenteral. Disamping kedua hal tersebut, perlu pula dipertimbangkan
pula sifat resistensi intrinsik yang dimiliki bakteri. Apabila sudah diketahui sifat
resisten bakteri secara intrinsik terhadap antibiotik tertentu maka tidak perlu
dilakukan uji kepekaan untuk efisiensi biaya.
Pengetahuan tentang mekanisme kerja dan resistensi antibiotik sangat
diperlukan dalam melakukan interpretasi hasil uji kepekaan bakteri. Secara
garis besar mekanisme kerja antibiotik dapat dikelompokkan menjadi 4,
yaitu mengganggu sintesis dinding sel (penisilin, sefalosporin, karbapenem,
monobaktam, dan glikopeptida termasuk vankomisin dan teikoplanin);
menghambat sintesis protein (makrolid, aminoglikosida, tetrasiklin,
kloramfenikol, streptogramins, dan oxazolidinones); mengganggu sintesis asam
nukleat (fluorokuinolon); dan menghambat jalur metabolik (trimethoprim-
sulfametoksazol); merusak membran sitoplasma sel (polimiksin, daptomisin).3
66
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
67
Interpretasi Hasil Uji Kepekaan Antibiotik
68
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
69
Interpretasi Hasil Uji Kepekaan Antibiotik
terapi (B); tidak terdapat bukti klinis tapi data mikrobiologi menyarankan
penggunaan antibiotik sebaiknya dihindari (C). European Committee on
Antimicrobial Susceptibility Testing (EUCAST) menyusun expert rules yang
berbeda dengan CLSI pada beberapa jenis bakteri, namun kedua standar
dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk menginterpretasi hasil (Tabel 1).5
70
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Demikian pula S.aureus yang peka vankomisin akan menjadi berubah menjadi
intermediate setelah durasi terapi diperpanjang.4 Hasil biakan ulangan dari
spesimen yang sama dari seorang pasien seringkali membingungkan klinisi,
namun dengan pengetahuan yang baik tentang mekanisme resistensi maka
hal tersebut dapat dijelaskan alasannya secara ilmiah.4
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa interpretasi hasil uji kepekaan
harus dilakukan berdasarkan jenis bakteri dan antibiotiknya. Berikut ini adalah
contoh interpretasi hasil uji kepkaan berdasarkan kelompok atau jenis bakteri
dan antibiotiknya:4
yy Staphylococcus spp.
–– Resistensi terhadap oxacillin (uji menggunakan cefoxitin) pada
umumnya karena mempunyai gen mecA yang mengkode penicillin-
binding protein 2A (PBP2A)
–– Staphylococcus aureus dan Staphylococcus non-coagulase yang resisten
terhadap oxacillin (=methicillin resistant Staphylococcus, MRS) dianggap
resisten terhadap antibiotik golongan β-lactam lainnya (penisilin,
β-lactam/ β-lactamase inhibitor, cephems (kecuali yang memiliki
aktifitas anti-MRSA, dan karbapenem), karena dari berbagai studi
menunjukkan bahwa terapi infeksi oleh MRS dengan antibiotik
tersebut tidak memberi respon yang baik.
yy Bulkhoderia cepacia complex
–– Uji kepekaan dan interpretasinya hanya dilakukan pada antibiotik
ticarcillin-clavulanate, ceftazidime, meropenem, minocycline,
levofloxacin, trimethoprim-sulphamethoxazole, chloramphenicol
(tidak dilaporkan untuk isolat dari urin)
yy Stenotrophomonas maltophilia
–– Uji kepekaan dan interpretasinya hanya dilakukan pada antibiotik
ticarcillin-clavulanate, ceftazidime, minocycline, levofloxacin,
trimethoprim-sulphamethoxazole, chloramphenicol (tidak dilaporkan
untuk isolat dari urin)
yy Pseudomonas aeruginosa
–– Terdapat kemungkinan bakteri yang peka berkembang menjadi resisten
terhadap berbagai antibiotik setelah terapi antibiotik 3-4 hari. Oleh
karenanya dianjurkan dilakukan pemeriksaan ulang.
71
Interpretasi Hasil Uji Kepekaan Antibiotik
dan pendapat ahli, dalam hal ini spesialis mikrobiologi klinik, sehingga
keputusan tatalaksana yang dipilih dapat meningkatkan luaran klinis dan
menurunkan kemungkinan terjadinya resistensi antibiotik.
Daftar pustaka
1. Nathwani, D. Antimicrobial stewardship. In: Hospitals epidemiology and infection
control; Ed: C.Glen Mayhall; 4th Edition, Philadelphia, Lippincott, Williams and
Wilkins, 2012
2. McGowan JE Jr. Antimicrobial stewardship – the State of the Art in 2011: Focus
on Outcomes and Methods. ICHE 2012;33;331-7
3. Tenover, FC. The American Journal of Medicine (2006) Vol 119 (6A), S3–S10
4. Clinical and Laboratory Standard Institute. M100 S25. Performance Standards
for Antimicrobial Susceptibility Testing; Twenty-fifth Informational Supplement.
2015
5. Leclercq, R. et al. Review: EUCAST expert rules in antimicrobial susceptibility
testing. Clinical Microbiology and Infection. 2011
72
Antibiotic Choice in
Hemato-Oncology Patient
Hikari Ambara Sjakti
Tujuan:
1. Mengetahui risiko terjadinya demam neutropenia dan
penggunaan sistem skor dalam memprediksi prognosis demam
neutropenia pada pasien kanker anak
2. Memahami pemilihan antibiotik pada pasien kanker anak
dengan demam neutropenia
73
Pemilihan Antibiotik pada Pasien Kanker
Demam neutropenia
Demam neutropenia merupakan kondisi yang berbahaya pada pasien kanker
terutama pada pasien yang mendapat kemoterapi berat. Angka mortalitas
terkait demam neutropenia pada pasien kanker mencapai 75%, namun
berkurang seiring diterapkannya pemakaian antibiotik empirik sejak awal
diagnosis.3 Kondisi ini termasuk kegawatdaruratan onkologi karena dapat
mengancam jiwa, terutama bila disertai infeksi bakterial berat, bakteremia atau
sepsis. Demam neutropenia dapat juga ringan yang tidak memerlukan rawat
inap dan risiko mortalitas yang rendah. Dengan demikian perlu pengenalan dini
yang baik dan cepat agar pasien demam neutropenia dapat ditangani dengan
tepat serta menghindari pengobatan yang berlebihan atau tidak adekuat.4
Definisi demam neutropenia yang umum digunakan adalah berdasarkan
Infectious Disease Society of America Guidelines 2010 yaitu jika didapatkan: (a)
demam ≥38,3°C pada pemeriksaan suhu oral atau >38°C yang bertahan selama
minimal 1 jam atau dalam dua kali pengukuran dalam periode 12 jam; dan (b)
neutropenia yaitu jumlah neutrofil absolut (absolute neutrophil count/ANC)
<500 sel/μL atau ANC antara 500-1000 sel/μL yang diprediksi akan terus
menurun sampai kurang dari nilai tersebut dalam 48 jam kemudian.5,6 Setiap
pasien yang mendapat kemoterapi berisiko mengalami demam neutropenia,
terutama pasien dengan kemoterapi berat seperti leukemia fase induksi atau
konsolidasi, osteosarkoma, karsinoma nasofaring atau lainnya, tergantung
rejimen kemoterapi yang didapat.
Stratifikasi risiko
Rentang manifestasi klinis demam neutropenia dapat berupa infeksi ringan
yang hanya memerlukan pengobatan rawat jalan sampai infeksi berat yang
memerlukan pengobatan rawat inap. Prognosis dan risiko kematian juga
bergantung pada berbagai faktor diantaranya adanya komplikasi infeksi seperti
syok, sepsis, atau invasive bacterial infection dan lainnya.7 Namun umumnya
pasien dengan demam neutropenia pada saat awal manifestasi klinis tidak
dapat diprediksi akan mengalami infeksi berat atau tidak. Berbagai penelitian
telah dilakukan untuk dapat membantu klinisi membedakan pasien seperti
ini dengan mengembangkan risk scoring system. Penggunaan sistem skor ini
diharapkan mampu membedakan pasien risiko rendah dan pasien risiko tinggi
74
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
mengalami infeksi berat agar penanganan lebih tepat. Strategi ini mampu
mereduksi angka rawat inap pasien demam neutropenia kelompok risiko
rendah.5 Keamanan dan efektifitas penanganan dengan memperpendek durasi
rawat inap untuk pasien risiko rendah telah banyak diteliti. Suatu meta-analisis
mengenai hal ini telah membuktikan bahwa very early discharge adalah sama
amannya dengan early discharge maupun non-early discharge.8
Sistem skor yang dapat digunakan pada anak bervariasi, dan aplikasinya
tergantung kondisi setiap klinik. Sejauh ini belum ada sistem skor yang dapat
diterapkan secara universal. Semua jenis sistem skor ini sebaiknya divalidasi
di tempat masing-masing karena efektivitasnya dapat berbeda-beda. Pemilihan
sistem skor harus disesuaikan dengan kemampuan dan masalah di masing-
masing tempat.4,7 Setiap sistem skor umumnya mencoba memprediksi luaran
infeksi berat atau kematian atau kemungkinan bakteremia pada pasien
neutropenia. Sistem skor umumnya menggabungkan data klinis dan penunjang.
Adopsi sistem skor sebaiknya memperhatikan apakah sistem tersebut telah
divalidasi untuk lokasi target, apakah fasilitas pemeriksaan tersedia dan dapat
dilakukan dengan cepat, dan apakah langkah-langkahnya dapat dikerjakan
di tempat tersebut.4
Beberapa sistem skor yang dapat digunakan diantaranya sistem Santolaya,
Rondinelli dan Ammann (Tabel 1). Santolaya dkk9 membuat sistem skor
untuk memprediksi bakteremia atau infeksi berat pada demam neutropenia
anak dengan kanker dengan mengelompokkan pasien dalam kelompok risiko
tinggi apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
yy leukemia relaps
yy hipotensi
yy CRP kuantitatif >90 mg/L
atau terdapat 2 kriteria berikut:
yy demam dalam 7 hari setelah kemoterapi terakhir
yy trombosit <50 000/μL
Pasien yang tidak memenuhi kriteria tersebut dikelompokkan dalam risiko
rendah. Metode ini memiliki sensitifitas dan sensitifitas cukup baik dalam
memprediksi pasien risiko rendah.9 Sistem skor lainnya juga dapat digunakan
sepanjang telah divalidasi di lokasi masing-masing dan mampu laksana. Sistem
skor Ammann dan Rondinelli tidak memerlukan pemeriksaan penunjang yang
sulit sehingga lebih mudah diterapkan. Apapun sistem skor yang digunakan
sebaiknya yang dipilih sistem skor yang mampu laksana dan telah divalidasi
di lokasi setempat.10,11
75
Pemilihan Antibiotik pada Pasien Kanker
Pemilihan antibiotik
Untuk pasien demam neutropenia dengan risiko tinggi direkomendasikan
untuk segera memberikan antibiotik intravena dosis infeksi berat.13 Pemilihan
antibiotik empirik tentunya harus disesuaikan dengan peta kuman dan
76
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
77
Pemilihan Antibiotik pada Pasien Kanker
Gambar 1. Algoritma tata laksana demam neutropenia pada pasien kanker anak.4
78
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Bila pasien termasuk risiko rendah saat evaluasi tersebut maka pasien dapat
dipulangkan dengan antibiotik oral, bila masih termasuk risiko tinggi tetap
menjalani rawat inap.4
Untuk pasien risiko rendah maupun risiko tinggi dengan biakan negatif
dalam 48-72 jam dan pasien bebas demam minimal selama 24 jam maka
pemberian antibiotik dapat dihentikan. 9,11 Uji klinis acak membandingkan
pasien yang tetap mendapat antibiotik dengan yang dihentikan antibiotiknya
menunjukkan luaran yang sama.19
Simpulan
Pemilihan antibiotik pada pasien kanker anak yang mengalami demam
sebaiknya mengikuti pedoman tata laksana lokal dan mempertimbangkan
peta kuman dan resistensi antibiotik setempat. Pasien demam neutropenia
risiko tinggi sebaiknya mendapat antibiotik empirik intravena dosis infeksi
berat golongan penilisin Β-lactam atau sefalosforin generasi keempat atau
karbapenem (sesuai peta kuman), dan modifikasi dilakukan dengan melihat
respon klinis serta hasil biakan bakteri. Pasien demam neutropenia risiko
rendah yang secara klinis baik dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik
oral golongan kuinolon atau amoksisilin-asam klavulanat, namun bila secara
klinis kurang baik dapat dipertimbangkan antibiotik intravena seperti pada
pasien risiko tinggi dengan dosis lebih ringan.
Daftar pustaka
1. Inaba H, Pei D, Wolf J, Howard SC, Hayden RT, Go M, dkk. Infection-related
complications during treatment for childhood acute lymphoblastic leukemia.
Ann Oncol. 2017;28:386-92.
2. Kar YD, Özdemir ZC, Bör Ö. Evaluation of febrile neutropenic attacks of pediatric
hematology-oncology patients. Turkish Arch Pediatr. 2017;52:213-20.
3. Teranishi H, Koga Y, Nishio H, Kato W, Ono H, Kanno S, dkk. Clinical efficacy
of cycling empirical antibiotic therapy for febrile neutropenia in pediatric cancer
patients. J Infect Chemother. 2017;23:463-7.
4. Barton CD, Waugh LK, Nielsen MJ, Paulus S. Febrile neutropenia in children
treated for malignancy. J Infect. 2015;71.
5. Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, Boeckh MJ, Ito JI, Mullen CA, dkk. Clinical
practice guideline for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with
cancer: 2010 update by the infectious diseases society of america. Clin Infect
Dis. 2011;52:e56-93.
6. Delebarre M, Tiphaine A, Martinot A, Dubos F. Risk-stratification management
of febrile neutropenia in pediatric hematology-oncology patients: results of a
French nationwide survey. Pediatr Blood Cancer. 2016;63:2167-72.
79
Pemilihan Antibiotik pada Pasien Kanker
80
Hospital Acquired Infections (Hals), Needs
Awareness for Health Professionals
Ari Prayitno
Tujuan:
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya HAI
2. Mengetahui strategi pencegahan terjadinya HAI
81
Healthcare Associated Infections (HAI) dan Kewaspadaan Bagi Tenaga Kesehatan Professional
dan Afrika Sub-Sahara. Infeksi daerah operasi (Surgical Site Infections = SSI)
adalah sumber infeksi utama HAI di negara berkembang, menyebabkan infeksi
pada dua pertiga pasien yang dioperasi dan dengan frekuensi hingga sembilan
kali lebih tinggi daripada di negara maju.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya HAI baik di negara maju
maupun negara berkembang, antara lain penggunaan alat medis dan antibiotik
yang tidak sesuai dan berkepanjangan, prosedur canggih dan beresiko,
pasien sakit berat, penggunaan obat-obat imunosupresan serta penerapan
kewaspadaan standar dan kewaspadaan isolasi yang tidak optimal. Faktor lain
mempengaruhi terjadinya HAI di Negara berkembang antara lain:
yy Higiene lingkungan dan pembuangan limbah yang tidak memadai
yy infrastruktur yang buruk
yy prasarana yang serba terbatas
yy sumber daya manusia yang kurang
yy kepadatan penduduk
yy rendahnya pengetahuan dan kualitas penerapan prinsip-prinsip
pencegahan infeksi
yy kurangnya pengetahuan dan pemahaman berbagai prosedur medis
yy kurangnya pengetahuan mengenai keamanan cara penyuntikan dan
transfusi darah
yy belum adanya kebijakan dan pedoman tentang HAI baik lokal maupun
nasional
82
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Tabel 1. Distribusi KLB berdasarkan penyebab dan karakteristiknya per-100 KLB (spesies yang dicantumkan hanya
spesies yang ditemukan pada minimal 20 KLB)4
Jumlah KLB (%) Rerata jumlah Rearata jumlah pasien Rerata jumlah staf
pasien* yang meninggal* yang terlibat*
Staphylococcus aureus 151 (14,8) 56,8 3,1 6,3
Pseudomonas aeruginosa 91 (8,9) 20,3 1,8 0,1
Klebsiella pneumonia 73 (7,1) 23,1 3,0 0,1
Serratia marcescens 67 (6,6) 36,4 1,5 0,9
Hepatitis B virus 60 (5,9) 18,3 0,8 1,5
Hepatitis C virus 42 (4,1) 10,4 0,1 0,3
Legionella pneumopila 38 (3,7) 15,3 3,1 3,9
Enterobacter cloacae 34 (3,3) 19,0 1,1 0,4
Eschericia coli 27 (2,6) 44,1 2,0 3,0
Acitenobacter baumannii 24 (2,3) 26,3 1,1 0,2
Hepatitis A virus 22 (22) 13,6 0,1 7,6
Curkholderia cepacia 21 (2,1) 32,0 4,6 0,1
Mycobacterium tuberculosis 21 (21) 18,7 10,9 6,0
Candida albicans 20 (2,0) 40,9 3,2 1,3
* Hanya wabah dengan data lengkap yang dipertimbangkan untuk perhitungan ini
Kerentanan/suseptibilitas pejamu/pasien
Individu memiliki kerentanan yang bervariasi untuk terjadinya infeksi
setelah terpapar organisme patogen. Beberapa individu memiliki mekanisme
pertahanan bawaan sehingga tidak berkembang menjadi penyakit yang
simptomatik karena pertumbuhan mikroba dapat dihambat atau memiliki
kekebalan terhadap virulensi mikroba tertentu. Sedangkan individu lain yang
terinfeksi mikroorganisme yang sama dapat membentuk hubungan komensal
dan mempertahankan organisme penyebab sebagai pembawa asimtomatik
(hanya berkolonisasi) atau berkembang prosesnya menjadi penyakit aktif.
Faktor intrinsik lainnya yang mempengaruhi suseptibilitas HAI pada
seorang anak adalah adanya keadaan yang menyebabkan tidak optimalnya
sistim imun karena faktor usia (seperti neonatus), menderita penyakit yang
berat/parah, obat imunosupresif, atau dalam terapi medis tertentu atau
pembedahan. Anak yang dalam kondisi gangguan sistim imun seluler maupun
humoral juga sangat rentan untuk mengalami HAI. Demikian juga anak
dengan defisiensi imun baik primer maupun sekunder.
Faktor risiko ekstrinsik meliputi prosedur bedah atau invasif lainnya,
intervensi diagnostik atau terapeutik (mis., perangkat medis invasif, implan
benda asing, transplantasi organ, obat imunosupresif), dan eksposur personel.
Chang dkk, menyatakan bahwa paling tidak 90% infeksi dikaitkan dengan
peanggunaan/pemasangan alat medis yang invasif. Perangkat medis invasif
akan memotong mekanisme pertahanan normal kulit atau selaput lendir dan
memberikan fokus jalan masuk sehingga kuman patogen dapat berkembang,
yang kemudian dilindungi secara internal dari pertahanan kekebalan pasien.
83
Healthcare Associated Infections (HAI) dan Kewaspadaan Bagi Tenaga Kesehatan Professional
84
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Strategi pencegahan
Ada berbagai faktor yang turut mempengaruhi terjadinya HAI, yaitu faktor
pasien (misalnya status kesehatan pasien secara keseluruhan), faktor perawatan
pasien di fasilitas pelayanan kesehatan (misalnya, penggunaan antibiotik,
penggunaan perangkat medis yang bersifat invasif), faktor administratif
(misalnya, rasio perawat terhadap pasien, tingkat pendidikan petugas medis,
petugas medis yang bersifat permanen atau sementara/kontrak), dan faktor
penggunaan teknik aseptik oleh petugas kesehatan. Meskipun HAI umumnya
dikaitkan dengan faktor pasien dan faktor perawatan pasien, faktor-faktor lain
juga bisa berkontribusi secara signifikan.
Strategi untuk mencegah terjadinya HAI ini bisa dilakukan dengan cara
H.E.L.P.C.A.R.E. Akronim ini digunakan untuk memperkenalkan konsep-
konsep penting untuk mengurangi kejadian HAI.
H : Hand Hygiene = Kebersihan Tangan
E : Enviromental Cleanliness = Kebersihan Lingkungan
85
Healthcare Associated Infections (HAI) dan Kewaspadaan Bagi Tenaga Kesehatan Professional
L : Leadership = Kepemimpinan
P : Proper use of Personal Protective Equipment = Penggunaan APD
C : Consistent Evidence-Based Practices = Praktik berbasis bukti yang konsisten
A : Antimicrobial-Resistance Campaign = Kampanye Resistensi Antimikrobial
R : Respiratory Hygiene and Cough Etiquette = Etika Pernapasan dan Batuk
E : Evaluation = Evaluasi
86
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Leadership (Kepemimpinan)
Tanggung jawab untuk mengurangi risiko HAI melibatkan tenaga manager atau
administrator, direktur, dan para praktisi individu. Jelas bahwa para pemimpin
mendorong nilai-nilai, kemudian nilai mendorong perilaku, dan perilaku
mendorong kinerja organisasi. Keterlibatan para pemimpin keperawatan
untuk berkolaborasi dengan rekan kerja dan administrator rumah sakit dalam
keselamatan, kerja tim, dan strategi komunikasi adalah persyaratan penting
untuk meningkatkan perawatan yang aman dan terpercaya.
87
Healthcare Associated Infections (HAI) dan Kewaspadaan Bagi Tenaga Kesehatan Professional
88
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Dokter memiliki peran sebagai bagian dari tim perawatan kesehatan yang
mendiagnosis dan mengobati infeksi dengan tepat dan harus terbiasa dengan
strategi untuk meningkatkan efektifitas penggunaan antimikroba. Semua
petugas kesehatan memiliki peran penting dalam mengurangi risiko penularan
infeksi dan mikroba resisten antibiotik ini.
Dalam strategi ini ada 12 langkah spesifik bagi klinisi yang merawat pasien
dewasa di fasilitas pelayanan kesehatan :
yy Langkah 1: vaksinasi
89
Healthcare Associated Infections (HAI) dan Kewaspadaan Bagi Tenaga Kesehatan Professional
90
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Evaluation (Evaluasi)
Seorang pelaksana program pengendalian infeksi (Infection Prevention and
Control Doctor = IPCD) dan (Infection Prevention and Control Nurse= IPCN)
harus senantiasa melakukan evaluasi praktik pengendalian infeksi termasuk
praktik teknik aseptik. Metode evaluasinya bisa berupa survei penilaian diri
sendiri, observasi langsung oleh petugas kesehatan lain atau berdasarkan
penilaian pasien. Umumnya evaluasi baru akan dilakukan jika terjadi masalah
yang biasanya hal tersebut jarang terjadi. Keuntungan dari evaluasi sistem
adalah bahwa hal itu akan mendorong tenaga medis profesional untuk
melaporkan efek simpang dan kejadian nyaris cedera yang mungkin dapat
dicegah di masa depan. Evaluasi diperlukan untuk mendapatkan data tentang
faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kesalahan sehingga memungkinkan
untuk mengubah perilaku individu dan sistem yang menunjang pelaksanaan
pengendalian infeksi yang lebih aman. Beberapa contoh langkah evaluasi
terhadap proses yang berjalan adalah :
yy Adanya protokol yang mengharuskan staf medis menggunakan barier steril
(topi, masker, gaun steril, sarung tangan steril dll) dan teknik antiseptik
yang benar untuk insersi kateter vena sentral
yy Adanya protokol atau dokumen yang menunjukkan waktu yang tepat
untuk pemberian antibiotik profilaksis sebelum pembedahan
yy Adanya protokol yang menyatakan bahwa sebelum dilakukan insersi
kateter, harus melakukan kebersihan tangan dan kemudian menggunakan
sarung tangan steril.
Simpulan
Pencegahan terjadinya HAI merupakan tanggungjawab semua penyedia
layanan kesehatan, meskipun tidak semua infeksi dapat dicegah. Beberapa
faktor risiko pada pasien seperti usia lanjut, penyakit yang mendasari, tingkat
keparahan penyakit, dan status kekebalan tubuh pasien merupakan faktor yang
tidak dapat dimodifikasi dan berkontribusi langsung terhadpa meningkatnya
risiko infeksi pada pasien. Sumber organisme penyebab infeksi dapat bersifat
endogen dari tubuh pasien sendiri atau eksogen akibat kontaminasi silang di
fasilitas pelayanan kesehatan. Perawat dan dokter dapat berperan mengurangi
risiko infeksi dan kolonisasi dengan menerapkan prinsip kerja aseptik dengan
benar, tindakan kebersihan tangan dan penggunaan APD. Peran dari tenaga
medis professional sangatlah besar demi keberhasilan program pencegahan
pengendalian infeksi, termasuk dalam menekan kemungkinan terjadinya
resitensi terhadap antibiotik dengan menerapkan 12 langkah perawatan pasien
di fasilitas pelayanan kesehatan.
91
Healthcare Associated Infections (HAI) dan Kewaspadaan Bagi Tenaga Kesehatan Professional
Daftar pustaka
1. Horan TC, Gaynes RP. Surveillance of nosocomial infections. In: Mayhall CG,
ed. Hospital epidemiology and infection control. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. 2004:1659-702. CDC definitions of nosocomial infections
Available at: http://www.cdc.gov/ncidod/dhqp/nnis_pubs.html. Accessed January
2008
2. Allegranzi B, Nejad S, Combescure C, Graafmans W, Attar H, Donaldson L et
al. Burden of endemic health-care-associated infection in developing countries:
systematic review and meta-analysis. The Lancet. 2011;377(9761):228-241.
3. Gastmeier P, et al. How Outbreaks Can Contribute to Prevention of Nosocomial
Infection: Analysis of 1,022 Outbreaks. Infection Control & Hospital
Epidemiology. 2005;26(04):357-361.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Campaign to prevent antimicrobial
resistance in healthcare settings: 12 steps. Available at: http://www.cdc.gov/
drugresistance/healthcare/. Accessed April 2018.
5. Collins AS. Preventing Health Care–Associated Infections. In: Hughes RG,
editor. Patient Safety and Quality: An Evidence-Based Handbook for Nurses.
Rockville (MD): Agency for Healthcare Research and Quality (US); 2008 Apr.
Chapter 41. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2683/
92
Antibiotic treatment in pneumonia,
how to choose?
Darmawan B Setyanto
Tujuan:
1. Mengetahui pembagian kelompok pneumonia berdasarkan
sumber kuman
2. Mengetahui penyebab kesulitan penentuan etiologi pneumonia
3. Menngetahui tingkat keparahan pneumonia dan indikasi rawat
4. Mengetahui alasan semua pneumonia perlu diberi antibiotik
5. Mengetahui pola kuman penyebab pneumonia berdasarkan
kelompok umur
6. Mengetahui pemilihan antibiotik berdasarkan jenis rawatan
dan kelompok umur
Pneumonia adalah inflamasi pada parenkim paru, oleh kuman yang merangsang
tanggap adaptif tubuh sehingga berakibat kerusakan parenkim paru.1 Parenkim
atau jaringan fungsional paru terdiri dari alveoli dengan jaringan intersisial
yang berisi kapiler. Di parenkim paru inilah terjadi pernapasan eksternal yaitu
masuknya oksigen dari udara lingkungan ke dalam tubuh melalui mekanisme
difusi oksigen dari alveoli ke kapiler. Inflamasi parenkim paru akan mengganggu
proses difusi sehingga terjadi hipoksemia yang berlanjut terjadinya hipoksia di
semua sistem organ. Derajat hipoksemia tergantung luasnya parenkim paru
yang mengalami inflamasi. Inflamasi yang luas akan menyebabkan hipoksemia
yang berat dan dapat berujung kematian.
Pneumonia bakterialis seringkali didahului oleh infeksi virus (khususnya
respiratory syncytial virus – RSV atau rhinovirus) atau infeksi Mycoplasm
pneumoniae di saluran respiratori atas. Gangguan bersihan jalan napas (airway
clearance), baik pada komponen bersihan mukosilier (mucociliary clearance)
maupun refleks batuk, serta peningkatan perlekatan bakteri yang diinduksi
oleh infeksi virus, ikut berperan dalam terjadinya pneumonia bakterialis.1
Dugaan sumber kuman penyebab pneumonia mendasari pengelompokan
pneumonia menjadi pneumonia komunitas (community acquired pneumonia -
CAP) dan pneumonia rumah sakit (hospital acquired pneumonia - HAP) atau
disingkat pneumonia rumkit. Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang
93
Antibiotic Treatment in Pneumonia, How to Choose?
94
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Gambar 1. Spektrum pneumonia berdasarkan dari mana sumber kuman penyebab didapatkan. CAP –
community acquried pneumonia, HCAP – health-care associated pneumonia, HAP – hospital acquired
pneumonia, VAP – ventilator associated pneumonia, MDR – multi-drug resistant.4
95
Antibiotic Treatment in Pneumonia, How to Choose?
akibat pneumonia pada kelompok umur 1-4 sedikit lebih tinggi yaitu sebesar
0,13% dibandingkan pada kelompok bayi yang sebesar 0,06%.8
96
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
dan respons imun parsial dengan 1 dosis, penyakit invasif karena H influenzae
type B menjadi jarang dijumpai. Untuk kuman streptokokus, terjadi penurunan
morbiditas pneumonia sejak diterapkannya imunisasi streptokokus secara
luas. Selain itu terjadi perubahan pola galur kuman ke arah galur yang tidak
terdapat dalam vaksin streptokokus.10 Apakah keadaan yang sama juga terjadi
di Indonesia, belum jelas diketahui.
Untuk S aureus, didapatkan bukti bahwa pneumonia anak oleh methicillin-
resistant S aureus (MRSA) makin meningkat.12,13 Pada anak usia sekolah dan
remaja, selain kuman yang biasa, ada kelompok kuman penyebab pneumonia
yang disebut kuman atipikal yaitu Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
pnemoniae, Chlamyidia trachomatis, dan Legionella pneumonia.
Secara klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan pencitraan,
ada beberapa temuan yang dapat mengarahkan dugaan kita tentang
etiologi pneumonia. Misalnya gambaran infiltrat alveolar biasanya dikaitkan
dengan infeksi nakteri, sedangkan infiltrat intersisial akibat infeksi virus.
Sayangnya tidak ada satupun kriteria baik klinis maupun penunjang yang
dapat memastikan penyebabnya virus atau bakteri. Secara umum, baku emas
diagnostik penyakit infeksi adalah dengan menemukan kuman penyebab.
Namun untuk pneumonia yang menjadi masalah adalah kesulitan untuk
mendapatkan spesimen pemeriksaan yang representatif.2
Spesimen paling representatif tentunya jaringan parenkim yang
mengalami inflamasi yang bisa diperoleh dengan biopsi paru. Tantangannya
adalah tindakan tersebut invasif dengan risiko komplikasi yang berat seperti
pneumotoraks atau perdarahan paru. Seandainya berhasil dilakukan biopsi
tanpa komplikasi, belum tentu jaringan yang terambil benar yang mengalami
inflamasi. Lokasi inflamasi pada pneumonia biasanya menyebar, tidak dalam
satu lokasi yang sama, kecuali pada pneumonia lobaris.2
Pilihan berikutnya adalah spesimen sekret saluran respiratori. Pada
anak, apalagi balita, belum mampu untuk mengekspektorasikan dahaknya.
Memang ada cara untuk mendapatkan sekret respiratori bawah pada anak
yaitu dengan cara induksi sputum. Sputum yang dihasilkan dapat dinilai apakah
memang berasal dari saluran respiratori bawah dengan menilai karakteristiknya
dilihat dari jumlah sel epitel dan leukosit. Untuk pemeriksaan mikrobiologi
TB, sputum yang representatif dari hasil induksi dapat digunakan, karena
jika hasilnya positif berarti benar sakit TB. Namun, untuk hasil mikrobiologi
kuman non-TB masih mungkin yang didapat adalah kuman residen saluran
respiratori yang mengkontaminasi sputum. Jadi tidak dapat dipastikan sebagai
kuman penyebab pneumonia.
97
Antibiotic Treatment in Pneumonia, How to Choose?
98
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Pilihan antibiotik
Rawat jalan
Hampir semua pedoman tatakelola pneumonia komunitas menganjurkan
pemberian amoksisilin sebagai lini pertama karena efektifitasnya terhadap
streptokokus, ditoleransi dengan baik, murah dan mudah didapat. 14-17
99
Antibiotic Treatment in Pneumonia, How to Choose?
Rawat inap
Pemberian antibiotik secara oral aman dan efektif bahkan untuk pasien anak
dengan pneumonia komunitas yang berat, dan hal ini dianjurkan. Antibiotik
secara injeksi diberikan bila anak tidak dapat minum misalnya karena muntah
atau sesak berat sehingga dikhawatirkan terjadi aspirasi, atau pasien dengan
sepsis, atau pneumonia dengan komplikasi.17
Ampisilin atau penisilin G diberikan kepada bayi dan anak dengan
pneumonia komunitas yang memerlukan rawat inap dengan riwayat imunisasi
lengkap. Terapi empirik dengan sefalosporin generasi ketiga (seftriakson,
sefotaksim) diberikan pada bayi dan anak yang imunisasinya tidak lengkap,
infeksi berat yang mengancam nyawa, atau empiema. Antibiotik injeksi yang
dianjurkan untuk pneumonia berat termasuk amoksisilin, ko-amoksiklav,
sefuroksim, sefotaksim, atau seftriakson. Pemilihan antibiotik akan lebih
rasional bila ada hasil biakan.1,16,17
Penambahan terapi kombinasi empirik dengan makrolid (oral atau
injeksi) diberikan kepada anak dengan temuan yang mengarah ke pneumonia
100
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
101
Antibiotic Treatment in Pneumonia, How to Choose?
102
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Simpulan
Pneumonia merupakan salah satu penyebab utama mortalitas pada anak,
terutama balita. Pneumonia dikelompokkan atas dasar tempat terjadinya,
menjadi pneumonia komunitas dan pneumonia rumkit. Pengamatan terakhir
menunjukkan bahwa ada kelompok pneumonia di antara keduanya yaitu
pneumonia yankes (health-care associated pneumonia – HCAP). Pembagian
tersebut terkait kuman penyebab dan antibiotik yang sesuai. Penentuan
pasti etiologi pneumonia sangat sulit sehingga pilihan antibiotik diberikan
secara empirik. Penyebab pneumonia berbeda pada berbagai kelompok umur.
Makin muda umur makin besar kemungkinan penyebabnya virus. Sebagian
pneumonia disebabkan oleh virus, namun karena sulit membedakan antara
infeksi virus dengan bakteri - sementara pneumonia berpotensi kematian –
maka semua pasien pneumonia diberi antibiotik. Sebagian besar pneumonia
adalah pneumonia komunitas, yang sebagian di antaranya dapat ditatalaksana
rawat jalan. Antibitotik lini pertama untuk pneumonia komunitas adalah
golongan penisilin seperti ampisilin atau amoksisilin. Lini kedua adalah
golongan sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson dan sefotaksim.
Daftar pustaka
1. Stein RT, Marostica PJC. Community-acquired bacterial pneumonia. Dalam:
Wilmott RW, Chernick V, Ed. Kendig and Chermick’s Disorders of the respiratory
tract in children. Edisi ke-19. Philadelphia : Elsevier Saunders, 2012. h. 453-60
2. García-Elorriaga G, Del Rey-Pineda G. Basic concepts on community-
acquired bacterial pneumonia in pediatrics. Pediatric Infect Dis 2016. 1:3. doi:
10.21767/2573-0282.100003
103
Antibiotic Treatment in Pneumonia, How to Choose?
104
Acute Rhinotonsilopharyngitis in Children:
When Antibiotic is Needed?
Wahyuni Indawati
Tujuan:
1. Mampu membuat diagnosis rinotonsilofatingitis akut
2. Mampu mengidentifikasi kondisi rinotonsilofatingitis yang
memerlukan antibiotik.
Definisi
ISPA merupakan kumpulan penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang
meliputi rino/nasofaringitis akut hingga pneumonia. Istilah ini seringkali
direduksi dan disalahgunakan untuk menyebut diagnosis common cold/
selesma. Dalam mendiagnosis infeksi saluran pernapasan akut perlu dibuat
secara spesifik bagian mana yang terkena agar tata laksana yang diberikan
sesuai dengan kelainannya. Istilah naso/rinofaringitis akut digunakan untuk
menunjukkan adanya inflamasi pada rongga hidung hingga ke faring. Istilah
ini juga meliputi terminologi selesma/common cold. 1 Terminologi “Flu” yang
merupakan infeksi saluran napas akut seringkali diklasifikasikan tersendiri dan
dibedakan dari istilah selesma karena memiliki gejala klinis yang lebih berat.1
Tonsilofaringitis akut merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan
infeksi pada faring dan atau tonsil.2-4
105
Acute Rhinotonsilopharyngitis in Children:When Antibiotic is Needed?
106
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Tonsilofaringitis/Faringitis akut
Faringitis atau tonsilofaringitis akut merupakan inflamasi akut pada faring
(orofaring) dan atau tonsil (tonsil palatina). Keadaan ini merupakan keadaan
yang sering dijumpai pada anak dan remaja. Penyebab utama tonsilofaringitis
akut adalah infeksi virus. Jenis virus yang paling sering menyebabkannya
adalah rinovirus, koronavirus dan adenovirus sebanyak 30%. Penyebab virus
lainnya meliputi influenza, parainfluenza, Epstein Barr, coxsackie dan herpes
simpleks. Walaupun demikian perlu diwaspadai kemungkinan penyebab lain dari
tonsilofaringitis yaitu infeksi bakteri. Pada anak usia lebih dari 5 tahun infeksi
Streptokokus beta hemolyticus Grup A merupakan penyebab infeksi bakteri
tersering (37%) sedangkan penyebab bakteri yang lain meliputi Mycoplasma
107
Acute Rhinotonsilopharyngitis in Children:When Antibiotic is Needed?
Tabel 1. Tanda dan gejala klinis Faringitis karena Streptokokus Beta-Hemolyticus Grup A (GABSH) , sensitivitas
dan spesifisitas5
Temuan Tanda dan Gejala Klinis Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)
Tidak batuk 51-79 36-68
Pembengkakan atau pembesaran KGB leher bagian anterior 55-82 34-73
Nyeri kepala 48 50-80
Nyeri otot 49 60
Bintik merah pada palatum 7 95
Eksudat faring 26 88
Demam .38oC 22-58 52-92
Eksudat tonsil 36 85
108
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
streptokok, Centor skor merupakan yang paling sering digunakan (tabel 3).7
Centor skor dapat digunakan sebagai panduan prediksi kemungkinan infeksi
streptokok. Namun pada kemungkinan yang rendah tetap diperlukan bantuan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan adalah rapid antigen
detection test (RADT) untuk streptokok yang memiliki sensitivitas 70% dan
spesifisitas 98%. Sedangkan kultur swab tenggorok memiliki sensitivitas 81%
dengan spesifisitas 97%.3
Hingga saat ini masih didapatkan perbedaan dari beberapa panduan di
dunia dalam menindaklanjuti hasil Centor skor. Salah satu algoritma yang
dapat digunakan adalah yang dikeluarkan oleh American Academy of Physician
(Gambar 1).10
Tatalaksana tonsilofaringitis secara umum adalah terapi suportif karena
umumnya disebabkan karena virus. Antibiotik diperlukan jika terdapat
kecurigaan yang kuat kea rah infeksi bakterial terutama infeksi Streptokokus
B hemolyticus Grup A. Panduan antibiotik yang direkomendasikan untuk
infeksi tersebut dapat dilihat pada tabel 4.11
109
Acute Rhinotonsilopharyngitis in Children:When Antibiotic is Needed?
Tabel 4. Rekomendasi pilihan terapi untuk faringitis GABHS oleh American Heart Association and American
Academy of Pediatrics AAP11
Obat Dosis Durasi
Penisilin
Penisilin V (oral) • Anak < 27 kg: 400.000U (250mg) 2-3 kali dalam sehari 10 hari
• Anak > 27 kg, remaja, dan dewasa: 800.000 U (500mg)
2-3 kali dalam sehari
Amoxicilin (oral) 50mg/kg satu kali dalam sehari (dosis maksumum 1 g) 10 hari
Benzathin Penicilin G (intramuscular) • Anak < 27 kg: 600.000U (375mg) Satu kali
• Anak > 27 kg, remaja, dan dewasa: 1.200.000 U
(750mg)
Alergi Penicilin
Sefalosporin spectrum kecil (cephalexin, Variabel 10 hari
cefadroxil) (oral)*
Clindamycin (oral) 20 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis (dosis maksimum 10 hari
1.8g/hari)
Azithromycin (oral) 12mg/kg sekali dalam sehari (dosis maksimum 500mg) 5 hari
Clarithromycin (oral) 15mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis (dosis maksimum 10 hari
250mg 2 kali sehari)
*Pasien dengan Hipersensitivitas tipe 1 atau hipersensitivitas segera terhadap penisilin tidak dapat di terapi
dengan Sefalosporin.
110
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Simpulan
Rinotonsilofaringitis akut merupakan infeksi saluran napas atas yang paling
sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Walaupun memiliki morbiditas
yang tinggi namun penyakit ini memiliki mortalitas yang rendah. Penyebab
tersering adalah virus sehingga secara umum tidak perlu diberikan antibiotik.
Pada kecurigaan ke arah infeksi bakteri khususnya infeksi Streptokokus Grup A
Beta hemolyticus pemberian antibiotik yang tepat diperlukan untuk mencegah
komplikasi jangka panjang.
Daftar Pustaka
1. Pitrez PMC, Pitrez JLB. Acute upper respiratory tract infections outpatient
diagnosis and treatment. Jornal de Pediatria 2003;79:S77-85.
2. Chow AW, Benninger MS, Brook I, Brozek JL, Goldstein EJC, dkk. IDSA clinical
practice guideline for acute bacterial rhinosinusitis in children and adults. Clin
Infect Dis 2012;15:1041-45.
3. Regoli M, Chiappini E, Bonsignori F, Galli L, Martino M. Update on the
management of acute pharyngitis in children. Italian J of Pediatr 2011;37:1-7.
4. Gerber MA. Diagnosis and treatment of pharyngitis in children. Pedatr Clin N
Am 2005;52:729-747.
5. Choby BA. Diagnosis and treatment of streptococcal pharyngitis. Am Fam
Physician 2009;79:383-90.
6. Steinhoff MC, Abd el Khalek MK, Khallaf N, Hamza HS, El Ayadi A, dkk.
Effectiveness of clinical guidelines for the presumptive treatment of streptococcal
pharyngitis in Egyptian children. Lancet 1997;350:918-21.
7. McIsaac WJ, White D, Tannenbaum D, Low DE. A clinical score to reduce
unnecessary antibiotic use in patients with sore throat. CMAJ 1998;158:75-83.
8. Wald ER, Green MD, Schwatrz B, Barbadora K. A streptococcal score card
revisited. Pediatr Emerg care 1998;14:109-11.
9. Attia MW, Zaoutis T, Klein JD, Meier FA. Performance of a predictive model
for streptococcal pharyngitis in children. Arch Pediatr Adolesc Med 2001;
155:687-91.
10. Snow V, Mottur-Pilson C, Cooper RJ, Hoffman Jr. American academy of family
physician: American college of physicians-american society of internal medicine;
centers for disease control. Principles of appropriate antibiotic use pharyngitis in
adult. Ann Intern Med 2001;134:506-8.
11. Bisno AL, Gerber MA, Gwaltney JM. Practical guidelines for the diagnosis and
management of Group A streptococcal pharyngitis. Infectious Diseases Society
of America. Clin Infect Dis 2001;35:113-25.
111
Tuberculosis Chemoprophylaxis in Children
Exposed to Drug Sensitive or Resistant
Index Case
Nastiti Kaswandani
Tujuan
1. Memahami risiko anak yang terpajan TB menjadi tertular atau
sakit TB
2. Mampu memberikan kemoprofilaksis anak terpajan TB sensitif
obat
3. Mampu memberikan kemoprofilaksis anak dengan infeksi laten
TB
4. Memahami kemoprofilaksis anak terpajan TB resisten obat
112
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
113
Kemoprofilaksis pada Anak Terpajan Tuberkulosis Sensitif atau Resisten Obat
(OR 3.3; 95% CI 2,2– 5.1).5 Risiko tertular infeksi TB sangat tinggi didapati
pada anak-anak yang kontak dengan orang dewasa yang BTA positif (risiko
relatif [RR] 6,78; 95% CI 3,51-13,10) atau orang dewasa dengan lesi kavitas
yang dibuktikan dengan rontgen paru (RR 2,45; 95% CI 1,60–3,76), atau
mereka yang memiliki kontak dekat dengan pengguna napza (RR 1,81; 95%
CI 1,03–3,19). Anak-anak yang keluarganya (termasuk wanita) sakit TB
berisiko lebih tinggi (RR 1,34; 95% CI 1,34-3,14), mungkin karena kontak
mereka lebih sering daripada dengan keluarga laki-laki.6
Suatu studi kasus kontrol di Thailand menemukan bahwa risiko terkena
sakit TB tinggi pada anak-anak yang memiliki kontak dengan pasien TB (sangat
dekat: OR 85,67; 95% CI 33-647,79; p <0,001; dekat : ATAU 31,11; 95% CI
4,18–255,94; p = 0,001; tidak dekat: ATAU 32,70; 95% CI 4,18–255,94; p
<0,001). Peningkatan risiko TB paru ditemukan pada anak-anak yang hidup
dengan orang dewasa yang terkena kanker (OR 2,46; 95% CI 1,14-7,37; p =
0,005), yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa risiko TB juga dapat
meningkat di anak-anak yang hidup dengan pasien dengan penyakit kronis
yang mampu mengubah status kekebalan mereka sehingga orang dewasa
tersebut rentan sakit TB.7
114
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
115
Kemoprofilaksis pada Anak Terpajan Tuberkulosis Sensitif atau Resisten Obat
116
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
117
Kemoprofilaksis pada Anak Terpajan Tuberkulosis Sensitif atau Resisten Obat
anak, efektivitas INH pada praktik klinis lebih rendah daripada efikasi yang
ditunjukkan pada uji klinis karena kepatuhan untuk menyelesaikan terapi INH
sampai 9 bulan kurang dari 50%. Penelitian Rutherford dkk menyimpulkan
bahwa kepatuhan anak terhadap terapi profilaksis isoniazid di Indonesia
masih sangat rendah akibat dari kombinasi multifaktor yakni kemiskinan,
pengetahuan yang rendah, serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai.16
Terapi infeksi laten TB dengan INH tunggal telah dievaluasi dan
digunakan selama lebih dari 6 dekade. Akhir-akhir ini perhatian terhadap
rendahnya angka selesai pengobatan, biaya, dan meningkatnya angka resistensi
obat, telah mendorong dilakukannya penelitian untuk mencari paduan terapi
infeksi laten TB yang dapat diberikan dalam waktu lebih singkat, sayangnya
hanya sedikit sekali penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak. Pemilihan
paduan ini hendaknya didasarkan atas data sensitivitas obat dari sumber infeksi,
interaksi dengan obat-obatan lain yang diterima anak, ketersediaan obat, kerja
sama keluarga dalam menyelesaikan terapi, biaya, dan kepatuhan terhadap
pengobatan. Keuntungan terapi kombinasi di antaranya durasi pengobatan
yang lebih singkat dan cakupan yang lebih luas bila terdapat resistensi terhadap
salah satu obat.12,17
Pemilihan paduan terapi harus seimbang antara efikasi (derajat proteksi
yang diperlihatkan pada uji klinis) dan kejadian efek samping (relatif rendah
pada anak pada semua jenis paduan), kepatuhan, dan sensitivitas obat
terhadap isolat yang didapat dari penderita TB yang terdapat kontak dengan
anak. Paduan yang memiliki efikasi tinggi akan terbatas efektivitasnya apabila
pasien tidak menyelesaikan terapi secara komplit. The British Thoracic Society
(BTS) pada tahun 1998 merekomendasikan pemberian kombinasi INH dan
rifampisin selama 3 bulan sebagai alternatif terapi infeksi laten TB. Penelitian
yang dilakukan Spyridis dkk menyimpulkan bahwa pemberian paduan INH
dan rifampisin selama 3 bulan memiliki efikasi yang setara dengan pemberian
INH dan rifampisin selama 4 bulan, dan kedua paduan ini lebih superior
dibandingkan pemberian INH selama 9 bulan.18,19 Hal yang serupa didapatkan
dari studi meta-analisis yang dilakukan oleh Ena dan Valls yang menyimpulkan
bahwa pemberian paduan INH dan rifampisin selama 3 bulan dan terapi standar
dengan INH selama 6-12 bulan memiliki kesetaraan dalam efikasi, proporsi
efek samping berat yang terjadi, dan kematian.20
Untuk anak berusia 12 tahun atau lebih, alternatif terbaik untuk
menggantikan terapi infeksi TB laten dengan INH selama 9 bulan adalah terapi
12 minggu kombinasi INH dan ripafentin yang diberikan satu kali seminggu
dengan pengawasan. Paduan diberikan dalam waktu yang singkat, efektif,
dapat ditoleransi dengan baik, dan merupakan paduan dengan dosis terkecil.
Sayangnya, keterbatasan ketersediaan rifapentin menyebabkan penggunaan
paduan ini masih belum dapat diterapkan.
118
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
119
Kemoprofilaksis pada Anak Terpajan Tuberkulosis Sensitif atau Resisten Obat
120
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
selama 6 bulan. Obat diminum 1-2 jam sebelum makan. Selama pemberian
obat, dilakukan pemantauan berkala terhadap munculnya gejala TB atau
keluhan efek samping obat. Alur tata laksana anak kontak TB RO tersaji
pada Gambar 2.
Simpulan
Upaya pemberian kemoprofilaksis merupakan strategi yang sangat penting
untuk mencapai eliminasi TB. Kemoprofilaksis dilakukan dengan memberikan
satu atau dua macam obat anti TB kepada anak balita atau kelompok risiko
tinggi (yaitu anak dan dewasa yang memiliki penyakit yang menurunkan
imunitas / imunokompromais) apabila terpajan sumber infeksi TB atau
terinfeksi TB namun belum bergejala sakit TB aktif. Bila sumber infeksi adalah
TB sensitif obat maka obat yang diberikan adalah INH selama 6, 9 atau 12
bulan atau INH/RIF selama 3 bulan atau rifapentin/INH selama 3 bulan. Jika
sumber infeksi adalah TB RO maka obat pencegahan yang diberikan adalah
etambutol dan levofloksasin.
121
Kemoprofilaksis pada Anak Terpajan Tuberkulosis Sensitif atau Resisten Obat
Daftar pustaka
1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2017. Geneva: World
Health Organization; 2017.
2. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes
on the management of tuberculosis in children. Geneva: World Health
Organization; 2014. Available at http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/137094/
1/9789241564809_eng.pdf?ua=1. Accessed on 6 January 2015.
3. Hawkridge T. Tuberculosis contact and prophylaxis. SAMJ. 2007;97:998-1000.
4. Marais BJ, Gie RP, Schaaf HS, Beyers N, Donald PR, Starke JR. Childhood
pulmonary tuberculosis: old wisdom and new challange. Am J Respir Crit Care
Med. 2006;173:1078−90.
5. Fox GJ, Barry SE, Britton WJ, Marks GB. Contact investigation for tuberculosis:
a systematic review and meta-analysis. Eur Resp J. 2013;41:140-56.
6. Nguyen TH, Odermatt P, Slesak G, Barennes H. Risk of latent tuberculosis
in- fection in children living in households with tuberculosis patients: a cross
sectional survey in remote northern Lao People’s Democratic Republic. BMC
Infect Dis. 2009;9:96.
7. Tipayamongkholgul M, Podhipak A, Chearskul S, Sunakorn P. Factors associated
with the development of tuberculosis in BCG immunized children. Southeast
Asian J Trop Med Public Health. 2005;36:145–50.
8. David SG, Sant’Anna CC, Marques AM. Antituberculosis chemoprophylaxis in
children. J Pediatr (Rio J). 2000;76:109-14.
9. Smieja MJ, Marchetti CA, Cook DJ, Smaill FM . Isoniazid for preventing
tuberculo- sis in non-HIV infected persons. Cochrane Database Syst Rev
2000;2:CD001363.
10. Ayieko J, Abuogi L, Simchowitz B, Bukusi EA, Smith AH, Reingold A. Efficacy
of isoniazid prophylactic therapy in prevention of tuberculosis in children: a
meta–analysis. BMC Infect Dis. 2014;14:91-100.
11. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tata
Laksana TB Anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2016.
12. Lancella L, Vecchio AL, Chiappini E, Tadolini M, Cirillo D, Tortoli E, dkk.
How to manage children who have come into contact with patients affected by
tuberculosis. J ClinTuberc Other Mycobact Dis. 2015;1:1-12.
13. World Health Organization. Guideline on the management of latent tuberculosis
infection. Geneva: World Health Organization; 2015.
14. UKK Respirologi PP IDAI. Rekomendasi infeksi laten tuberculosis pada anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2017.
15. Cruz AT, Starke JR, Lobato MN. Old and new approaches to diagnosing and
treating latent tuberculosis in children in low-incidence countries. Curr Open
Pediatr. 2014;26:106-13.
16. Rutherford ME, Ruslami R, Maharani W, Yulita I, Lovell S, Crevel RV,
dkk. Adherence to isoniazid preventive therapy in Indonesian children:
a quantitative and qualitative investigation. BMC. 2012;5:2-7.
122
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
17. van Zyl S, Marais BJ, Hesseling AC, Gie RP, Beyers N, Schaaf HS. Adherence
to anti-tuberculosis chemoprophylaxis and treatment in children. Int J Tuberc
Lung Dis. 2006;10:13-8.
18. Spyridis NP, Spyridis PG, Gelesme A, Sypsa V, Valianatou M, Metsou F, dkk. The
effectiveness of a 9-month regimen of isoniazid alone versus 3- and 4-month
regimens of isoniazid plus rifampin for treatment of latent tuberculosis infection in
children: results of an 11-year randomized study. Clin Infect Dis. 2007;45:715-22.
19. Bright-Thomas R, Nandwani S, Smith J, Morris JA, Ormerod LP. Effectiveness
of 3 months of rifampicin and isoniazid chemoprophylaxis for the treatment of
latent tuberculosis infection in children. Arch Dis Child. 2010;95:600-2
20. Ena J, Valls V. Short-course therapy with rifampin plus isoniazid, compared with
standard therapy with isoniazid, for latent tuberculosis infection: a meta-analysis.
Clin Infect Dis. 2005;40:670-6.
21. World Health Organization. Latent tuberculosis infection: update and
consolidated guidelines for programmatic management. Geneva: World Health
Organization; 2018.
22. Cruz AT, Ahmed A, Mandalakas AM, Starke JR. Treatment of latent tuberculosis
infection in children. Pediatr Infect Dis J. 2013;30:1-11.
23. 23 Jenkins HE, Yuen CM. The burden of multidrug-resistant TB in children.
Intl J TB Lung Dis. 2018;22:S3-6.
24. Schaaf HS, Gie RP, Kennedy M, Beyers N, Hesseling PB, Donald PR. Evaluation of
young children in contact with adult multidrug-resistant pulmonary tuberculosis;
a 30-months follow-up. Pediatrics. 2002;109:765-71.
25. Bamrah S, Brostrom R, Dorina F, Setik L, Song R, Kawamura LM, dkk. Treatment
for LTBI in contacts of MDR-TB patients, Federated States of Micronesia, 2009-
2012. Int J Tuberc Lung Dis. 2014;18:912-8.
123
Difficulties in Choosing Proper Antibiotics
in PICU Setting
Irene Yuniar
Tujuan:
1. Mengetahui pola pemakaian antibiotik di ruang rawat intensif
anak
2. Memahami farmakodinamik dan farmakokinetik penggunaan
antibiotik untuk pasien yang menjalani perawatan di ruang
rawat intensif anak
3. Memahami strategi pemakaian antibiotik di ruang rawat intensif
anak
Infeksi sering terjadi pada anak yang menjalani perawatan di ruang rawat
intensif anak (pediatric intensive care unit/ PICU). Selain karena penyakit yang
mendasarinya, pasien juga rentan terhadap infeksi akibat pemasangan alat-
alat invasif serta penggunaan kateter urin dan intravena jangka panjang.1,2
Studi yang ada menyebutkan bahwa 16 – 23% anak mengalami infeksi
selama perawatan di PICU (healthcare-associated infections/HAIs).3-5 Tingginya
angka infeksi pada pasien-pasien yang dirawat di PICU menyebabkan
intensitas pemakaian antibiotik di PICU meningkat.6 Faktor predisposisi yang
menyebabkan pasien mendapat terapi antibiotik selama perawatan PICU
adalah adanya infeksi aliran darah, pemakaian ventilasi mekanik, jumlah
pemasangan kateter vena atau arteri, disfungsi multi organ dan lama rawat
pasien. Faktor-faktor ini menyebabkan pasien mendapat terapi antibiotik
spektrum luas serta kombinasi beberapa antibiotik pada saat yang bersamaan.7,8
Pemakaian antibiotik di PICU dapat bersifat profilaksis, empiris dan
definitif. Pemakaian antibiotik profilaksis adalah pemakaian antibiotik tanpa
bukti adanya infeksi. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi pada pasien
yang berisiko tinggi terkena infeksi, terutama pasien pasca operasi. Pemakaian
antibiotik empiris diberikan pada pasien yang mengalami infeksi sistemik tetapi
belum diketahui sumber infeksinya. Pemakaian antibiotik definitif diberikan pada
pasien yang mengalami infeksi dan telah terbukti sumber infeksinya berdasarkan
hasil kultur dan sensitivitasnya terhadap masing-masing antibiotik yang ada.9
124
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
125
Kesulitan Pemilihan Antibiotik di Ruang Rawat Intensif Anak
Start
no
Sufficient VI Stop
data
yes
no
AB indicated V Stop
yes
yes
More effective IVa
alternative
no
Alternative yes
less toxic IVb
no
Alternative yes
less costly IVc
no
Alternative yes
narrower IVd
no
Duration no Duration no no
too long too long Correct Dose IIa
yes yes yes
no
Correct Route IIc
yes
no
Correct Timing I
yes
Not in categories
I - IV
126
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
127
Kesulitan Pemilihan Antibiotik di Ruang Rawat Intensif Anak
128
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
129
Kesulitan Pemilihan Antibiotik di Ruang Rawat Intensif Anak
2. Distribusi
Pada pasien kondisi kritis seperti telah disebutkan di atas mengalami
gangguan permeabilitas pembuluh darah akibat lepasnya berbagai mediator
inflamasi sehingga terjadi ektravasasi cairan ke jaringan interstisial dan
meningkatkan Vd antibiotik hidrofilik dan konsentrasi antibiotik di darah
turun. Hal ini sering terjadi pada pemakaian antibiotik golongan beta
laktam, aminoglikosid, glikopeptid, linezolid dan kolistin. Perubahan Vd
juga terjadi pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik, sirkuit
ektra korporeal dan hipoalbuminemia.29-31
3. Ekskresi
Eliminasi antibiotik dalam kondisi sepsis sangat bervariasi. Bila tidak
terdapat disfungsi organ dengan fungsi ginjal yang baik, maka ekskresi
antibiotik hidrofilik meningkat. Pada kondisi gangguan kontraktilitas
jantung dan gangguan bersihan antibiotik di ginjal dan hati akan terjadi
peningkatan waktu paruh dan toksisitas antibiotik.29 Pada pasien yang
menjalani terapi sulih ginjal akan terjadi peningkatan bersihan antibiotik
sesuai dengan berat molekul antibiotik, Vd dan ikatan antibiotik dengan
protein.31,32
130
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
dengan spektrum yang lebih sempit. Data menunjukkan bahwa cara pemakaian
antibiotik secara de-eskalasi ini cukup efektif dan sesuai.35
Simpulan
Pemakaian antibiotik pada pasien yang menjalani perawatan PICU cukup tinggi.
Penggunaan antibiotik pada pasien dengan kondisi kritis harus memperhatikan
farmakodinamik dan farmakokinetik antibiotik tersebut. Pemakaian antibiotik
yang tidak rasional di PICU dapat menyebabkan resistensi antibiotik global.
Oleh sebab itu pemakaian antibiotik di PICU memerlukan evaluasi berkala
dalam hal ketepatan penggunaan antibiotik. Sampai saat ini, untuk menilai
ketepatan penggunaan antibiotik dilakukan dengan menggunakan alur
Gyssens. Dengan menggunakan perangkat penilaian ini diharapkan pemakaian
antibiotik yang tidak rasional di PICU dapat dihilangkan. Untuk mengatasi
resistensi global antibiotik diperlukan kerja sama tim PPRA di tiap rumah
sakit atau unit pelayanan kesehatan lainnya.
Daftar pustaka
1. Blinova E, Lau E, Bitnun A, Cox P, Schwartz S, Atenafu E, et al. Point prevalence
survey of antimicrobial utilization in the cardiac and pediatric critical care unit.
Pediatr Crit Care Med. 2013;14:e280-8.
2. Ding H, Yang Y, Chen Y, Wang Y, Fan S, Shen X. Antimicrobial usage in paediatric
intensive care units in China. Acta Paediatr. 2008;97:100-4.
3. Urrea M, Pons M, Serra M, Latorre C, Palomeque A. Prospective incidence
study of nosocomial infections in a pediatric intensive care unit. Pediatr Infect
Dis J. 2003;22:490-4.
4. Stockwell JA. Nosocomial infections in the pediatric intensive care unit: affecting
the impact on safety and outcome. Pediatr Crit Care Med. 2007;8:S21-37.
5. Joram N, de Saint Blanquat L, Stamm D, Launay E, Gras-Le Guen C. Healthcare-
associated infection prevention in pediatric intensive care units: a review. Eur J
Clin Microbiol Infect Dis. 2012;31:2481-90.
6. van Houten MA, Luinge K, Laseur M, Kimpen JL. Antibiotic utilisation for
hospitalised paediatric patients. Int J Antimicrob Agents. 1998;10:161-4.
7. Briassoulis G, Natsi L, Tsorva A, Hatzis T. Prior antimicrobial therapy in the
hospital and other predisposing factors influencing the usage of antibiotics in a
pediatric critical care unit. Ann Clin Microbiol Antimicrob. 2004;3:4.
8. Mello MJ, Albuquerque Mde F, Lacerda HR, Souza WV, Correia JB, Britto MC.
Risk factors for healthcare-associated infection in pediatric intensive care units:
a systematic review. Cad Saude Publica. 2009;25 Suppl 3:S373-91.
131
Kesulitan Pemilihan Antibiotik di Ruang Rawat Intensif Anak
132
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
26. Roberts JA, Roberts MS, Robertson TA, Cross SE, Lipman J. A novel way to
investigate the effects of plasma exchange on antibiotic levels: use of microdialysis.
Int J Antimicrob Agents. 2008;31:240-4.
27. Marshall JC. Inflammation, coagulopathy, and the pathogenesis of multiple organ
dysfunction syndrome. Crit Care Med. 2001;29:S99-106.
28. Zuppa AF, Barrett JS. Pharmacokinetics and pharmacodynamics in the critically
ill child. Pediatr Clin North Am. 2008;55:735-55, xii.
29. Roberts JA, Lipman J. Pharmacokinetic issues for antibiotics in the critically ill
patient. Crit Care Med. 2009;37:840-51; quiz 59.
30. Roberts DM. The relevance of drug clearance to antibiotic dosing in critically
ill patients. Curr Pharm Biotechnol. 2011;12:2002-14.
31. Lewis SJ, Mueller BA. Antibiotic Dosing in Patients With Acute Kidney Injury:
“Enough But Not Too Much”. J Intensive Care Med. 2016;31:164-76.
32. Kielstein JT, Burkhardt O. Dosing of antibiotics in critically ill patients undergoing
renal replacement therapy. Curr Pharm Biotechnol. 2011;12:2015-9.
33. Tambunan T. Kebijakan pengendalian resistensi antimikroba. 2012.
34. Gyssens IC, van den Broek PJ, Kullberg BJ, Hekster Y, van der Meer JW.
Optimizing antimicrobial therapy. A method for antimicrobial drug use evaluation.
J Antimicrob Chemother. 1992;30:724-7.
35. Masterton RG. Antibiotic de-escalation. Crit Care Clin. 2011;27:149-62.
133
Awareness in Antibiotic Therapy for
Severe Malnutrition
Titis Prawitasari
Tujuan:
1. Memahami mekanisme infeksi pada kondisi gizi buruk
2. Memahami kuman penyebab tersering infeksi pada gizi buruk
3. Memahami pemberian antibiotik yang tepat pada gizi buruk
134
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
135
Terapi Antibiotik pada Anak Gizi Buruk
136
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
antibiotik pada anak gizi buruk yang tidak menampakkan tanda klinis
mampu menurunkan angka mortalitas secara signifikan (7,48% menjadi
4,63%, p<0,002). Walaupun WHO juga mengingatkan akan adanya
bahaya resistensi terhadap antibiotik, sehingga penentu kebijakan harus
memutuskannya sesuai kondisi lokal yang ada dan perhitungan ekonomi
kesehatan jangka panjang.11
137
Terapi Antibiotik pada Anak Gizi Buruk
Simpulan
Tata laksana gizi buruk perlu dilakukan secara komprehensif, termasuk
penanganan infeksi yang adekuat. Pemberian antibiotik pada gizi buruk
dilakukan berdasarkan berbagai pertimbangan dengan memperhatikan kondisi
pasien, pola resistensi kuman dan juga penyulit yang terjadi.
Daftar pustaka
1. UNICEF/ WHO/ World Bank Group - Joint Child Malnutrition Estimates. 2017
diunduh dari http://www.who.int/nutgrowthdb/jme_brochoure2017.pdf, diakses
tanggal 1 April 2017.
2. Kementerian Kesehatan RI. Laporan hasil riset kesehatan dasar 2013. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI, 2013.
138
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
139
Suspect Viral and Fungal Infection
in Sepsis Neonatarum
Rinawati Rohsiswatmo, Distyayu Sukarja
Tujuan:
1. Agar dapat mengenali sejak dini gejala klinis yang tidak khas
sepsis neonatus yang disebabkan oleh jamur dan virus
2. Memberikan terapi dan pemeriksaan diagnostik yang tepat
pada pasien neonatus dengan infeksi jamur dan virus.
Seringkali diagnosis infeksi virus dan jamur pada neonatus sulit ditegakkan.
Gejala klinis yang muncul tidak khas dan tidak dapat dibedakan dengan infeksi
bakteri. Hal ini menyebabkan terjadinya keterlambatan pemberian terapi yang
dapat memengaruhi luaran pada bayi sakit. Kecurigaan terhadap virus dan
jamur sebagai mikroorganisme penyebab sepsis berat harus dipikirkan bila
tidak ditemukan bakteri pada pemeriksaan kultur.
Infeksi Virus
Penularan infeksi virus pada neonatus dapat terjadi melalui penularan dari ibu
ke bayi (mother-to-child transmission) dan lingkungan (komunitas/nosokomial).
Penularan ibu ke bayi baik terjadi sejak dalam kandungan, saat proses kelahiran,
maupun melalui pemberian air susu ibu (ASI).1
Untuk menegakkan diagnosis infeksi virus pada neonatus, perlu diketahui
faktor risiko ibu dan waktu munculnya gejala. Gejala yang muncul sejak lahir
seperti kelainan kongenital yang khas biasanya berhubungan dengan infeksi
virus yang diperoleh sejak dalam kandungan.1 (Tabel 1) Namun demikian,
tidak sedikit gejala baru terlihat setelah beberapa hari yang masih mungkin
disebabkan penularan saat proses kelahiran. Hal ini harus dapat dibedakan
dengan infeksi virus dari lingkungan yang juga terjadi setelah 72 jam kelahiran.
Gejala klinis infeksi virus seringkali menyerupai sepsis akibat bakteri atau
jamur seperti demam dan letargis. Namun secara umum perbedaan karakteristik
infeksi virus dengan bakteri dapat dilihat melalui lokasi terjadinya infeksi. Pada
infeksi bakteri lebih sering ditemukan infeksi aliran darah, sedangkan infeksi
140
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
virus sebagian besar banyak ditemukan pada saluran cerna dan saluran napas.
Gejala lain yang dapat pula ditemukan berupa organomegali, ptekie, purpura,
ikterik, mikrosefal, ensefalopati, kelainan mata, anemia, trombositopenia,
hiperbilirubinemia terkonjugasi, dan peningkatan enzim hati.1
Komunitas/Nosokomial
Infeksi virus dari lingkungan dapat diperoleh dari orang terdekat (komunitas),
dan petugas kesehatan di rumah sakit (nosokomial). Penyebab tersering yang
banyak ditemukan adalah, enterovirus (non-polio), respiratory syncytial virus
(RSV), rotavirus, adenovirus, cytomegalovirus, dan sebagainya.2,3 Gejala paling
banyak ditemukan yaitu pada saluran napas (distres napas, apnea, sianosis)
dan saluran cerna (diare, enterokolitis nekrotikans).3,4 Namun demikian gejala
lain dapat pula ditemukan seperti, gangguan neurologis (kejang) yang khas
pada enterovirus,5 trombositopenia, dan hipoglikemia.6 (Tabel 2)
141
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus
Infeksi Jamur
Sama seperti halnya dengan infeksi virus, diagnosis infeksi jamur sering
terlambat ditegakkan karena gejala yang tidak spesifik. Diperlukan kejelian
dalam identifikasi gejala yang berhubungan dengan infeksi jamur invasif.
Insidens infeksi jamur pada neonatus sangat rendah bila dibandingkan dengan
infeksi bakteri. Sebanyak 2,5% infeksi aliran darah pada bayi dengan berat
lahir rendah (BBLR) disebabkan oleh jamur.9 Akan tetapi, morbiditas dan
142
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
143
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus
kadar C-reactive protein (CRP) dan interleukin (IL) 6, serta beberapa prosedur
lain yang masih dalam penelitian seperti metabolomik.15,16
Pemberian antijamur sangat penting dalam mengeradikasi infeksi jamur
invasif pada neonatus. Pilihan antijamur yang sering digunakan adalah
amfoterisin B dan flukonazol. (Tabel 5)17 Pemilihan antijamur yang digunakan
tentunya dengan mempertimbangkan efek terapeutik yang aman dengan efek
samping yang minimal.12,13 Flukonazol merupakan pilihan antijamur yang paling
sering digunakan pada neonatus baik sebagai terapeutik maupun profilaksis
dengan durasi pemberian bervariasi sesuai dengan kondisi infeksi yang dialami.
(Tabel 6) Efektifitasnya cukup baik, mudah diberikan, dan memberikan sedikit
efek samping pada ginjal dibandingkan dengan antijamur lainnya.
144
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
terapi profilaksis pada neonatus dengan berat lahir <1500 gram dengan dosis
pemberian 100.000 unit/8 jam selama 6 minggu.19
Keterlambatan diagnosis dan pemberian terapi berpengaruh terhadap
luaran jangka panjang bayi sakit. Infeksi jamur invasif berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi. Hasil pemantauan jangka panjang
menunjukkan adanya gangguan neurodevelopmental (palsi serebral, kebutaan,
tuli, gangguan kognisi) yang dapat memengaruhi kualitas hidup di kemudian
hari.19 Pencegahan infeksi dapat dilakukan yaitu dengan pencabutan akses
sentral sejak dini bila tidak dibutuhkan dan menghindari transmisi nosokomial
di rumah sakit.
Daftar pustaka
1. Pass RF. Viral Infections in the Fetus and Neonate. Long SS, penyunting. Dalam:
Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke-4. Philadelphia:
Saunders; 2012. h. 544-8.
2. Tzialla C, Civardi E, Borghesi A, Sarasini A, Baldanti F, Stronati M. Emerging
viral infections in neonatal intensive care unit. J Matern Fetal Neonatal Med.
2011;1:156-8.
3. Civardi E, Tzialla C, Baldanti F, Strocchio L, Manzoni P, Stronati M. Viral
outbreaks in neonatal intensive care units: what we do not know. Am J Infect
Control. 2013;41:854-6.
4. Agueda S. Viral Infections in a Neonatal Intensive Care Unit. Pediat Therapeut.
2013;3:147.
5. Morriss FH Jr, Lindower JB, Bartlett HL, Atkins DL, Kim JO, Klein JM. Neonatal
Enterovirus Infection: Case Series of Clinical Sepsis and Positive Cerebrospinal
FluidPolymerase Chain Reaction Test with Myocarditis and Cerebral White
Matter Injury Complications. AJP Rep. 2016;6:344-51.
6. Shahroodi MJG, Ghazvini K, Sadeghi R, Sasan MS. Enteroviral Meningitis in
Neonates and Children of Mashhad, Iran. Jundishapur J Microbiol. 2016;9:19955.
7. Naing Z, Rayner B, Killikulangara A, Vunnam K, Leach S, McIver CJ, et al.
Prevalence of viruses in stool of premature neonates at a neonatal intensive care
unit. J Paediatr Child Health. 2013;49:221-6.
8. Barford G, Rentz AC, Faix RG. Viral infection and antiviral therapy in the
neonatal intensive care unit. J Perinat Neonatal Nurs. 2004:259-74.
9. Kaufman DA. Challenging issues in neonatal candidiasis. Curr Med Res Opin.
2010;26:1769-78.
10. Kelly MS, Benjamin DK, Smith PB. The epidemiology and diagnosis of invasive
candidiasis among premature infants. Clinics in perinatology. 2015;42:17–105.
11. Jahan S, et al. Epidemiology of candida infections among high risk neonates and
infants from a tertiary care setting of north india. EC Microbiology. 2016: 585-596.
12. Basu S, Kumar R, Tilak R, Kumar A. Candida Blood Stream Infection in Neonates:
Experience from A Tertiary Care Teaching Hospital of Central India. Indian
Pediatr. 2017;54:556-559.
145
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus
13. Agarwal RR, Agarwal RL, Chen X, Lua JL, Ang JY. Epidemiology of Invasive
Fungal Infections at Two Tertiary Care Neonatal Intensive Care UnitsOver a
12-Year Period (2000-2011). Glob Pediatr Health. 2017;4.
14. Hundalani S, Pammi M. Invasive fungal infections in newborns and current
management strategies. Expert Rev Anti Infect Ther. 2013;11:709-721.
15. Arendrup MC, Fisher BT, Zaoutis TE. Invasive fungal infections in the paediatric
and neonatal population: diagnostics and management issues. Clin Microbiol
Infect. 2009;15:613-24.
16. Dessi A. Neonatal fungal infections: new strategies in diagnosis. J Pediatr Neonat
Individual Med. 2014;3.
17. Tezer H, Canpolat FE, Dilmen U. Invasive fungal infections during the neonatal
period: diagnosis, treatment and prophylaxis. Expert Opin Pharmacother.
2012;13:193-205.
18. Devlin RK. Invasive fungal infections caused by Candida and Malassezia species
in the neonatal intensive care unit. Adv Neonatal Care. 2006;6:68-77.
19. Pappas PG, Kauffman CA, Andes DR, Clancy CJ, Marr KA, Ostrosky-Zeichner L,
et al. Clinical Practice Guideline for the Management of Candidiasis: 2016 Update
by the InfectiousDiseases Society of America. Clin Infect Dis. 2016;62:1-50.
20. Shane LA. Common viral infections in neonates. 2018 NeoPREP. Disampaikan
pada kursus 2018 NeoPREP “An Intensive Review and Update of Neonatal/Perinatal
Medicine” di Atlanta tanggal 24 Januari 2018.
146
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Lampiran.20
Lampiran.20
HSV (Herpes Simplex virus) CMV (Cytomegalovirus) EBV (Epstein Barr virus)
Epidemiology • Ubiquitous; transmitted from • Ubiquitous, transmitted horizontally, • Humans only known reservoir,
symptomatic or asymptomatic vertically, and via transfusions and 90% adults infected
with primary or recurrent transplants. • Close personal contact (saliva),
infection. • Persists after primary infection with blood transfusion, transplantation
• Persists after a primary infection shedding. • Incubation 30-50 days.
with intermittent shedding. • Reinfection with other strains can Intrauterine infection not
• 1/3000-1/20,000 live births occur. documented.
Clinical Disseminated (25%) Spectrum - asymptomatic to 10% with Fever, exudative pharyngitis with
Presentation CNS (30%) IUGR, jaundice, purpura, microcephaly, petechiae, lymphadenopathy,
SEM (45%) intracerebral calcifications, retinitis, hepatosplenomegaly.
developmental delays sensorineural EBV-associated lymphoproliferative
hearing loss. disorders.
Diagnosis Cell culture, PCR assay of mucosal Shell vial (days) or traditional culture Serological testing and PCR of
swab specimens obtained 12-24 (>28 days) or PCR assay of tissue and immunocompromised
hours after birth, CSF, whole blood. fluids (rapid). Detection ≠ infection.
Management parenteral acyclovir, 60mg/kg/day symptomatic - parenteral ganciclovir or Symptomatic
divided q8 for 14 days (SEM) and oral valganciclovir before 1 month of age
minimum 21 days for CNS or for 6 months to improve
disseminated infections. developmental/auditory outcomes
Prevention oral acyclovir suppressive therapy hand hygiene for all - standard hand hygiene for all - standard
300mg/m2/dose q 8 hours for 6 precautions precautions
months following treatment of acute
disease improves
neurodevelopmental outcomes and
decreases SEM outbreaks.
Consideration Observe of skin infection (skin
lesions, respiratory distress,
seizures, signs of sepsis)
• If asymptomatic: no specimens
and empiric acyclovir needed
• Educate parents signs and
symptoms during 1st 6 wks of life
VZV (Herpes Zoster virus) HAV (Hepatitis A virus) HBV (Hepatitis B virus)
Epidemiology • Highly contagious; airborne Person to person; fecal-oral; • Transmitted via blood and body fluids.
• In utero infection results from vertical transmission rare • Up to 90% infected in the first year of
trans placental passage during life will develop chronic HBV.
maternal viremia with VZV. • Immune tolerant phase for years, some
• Establishes latency and with growth impairment.
reactivates = herpes zoster or
shingles.
Clinical • Fetal infection after maternal Acute, self-limited fever, malaise, • Subacute (nonspecific) to clinical and
Presentation varicella in 1st or early 2nd anorexia, and jaundice fulminant hepatitis.
trimester (1-2%) may result in • Extrahepatic manifestations.
death, varicella embryopathy
(limb hypoplasia, cutaneous
scarring, eye and CNS
abnormalities).
• Children infected with VZV in
utero may develop zoster without
extra uterine varicella.
• Maternal varicella 5 days before
to 2 days after delivery has high
case fatality rate due to
disseminated varicella.
Diagnosis VZV PCR of lesion Serology Serology
Management VariZIG or IVIG considered for Supportive care No therapy for acute HBV; screened
exposed, asymptomatic neonates periodically; goal to prevent progression
at risk. to hepatocellular carcinoma
Prevention Airborne and contact Contact precautions for 1 week • HBIG and hepatitis B vaccine for
following symptom onset. infants born to HBsAg + women.
Hand hygiene and immunization • Contact precautions if visible blood.
including post exposure prophylaxis
for up to 40yr; immune globulin
(0.02mL/kg) to infant if maternal
symptoms began between 2 weeks
before and 1 week after delivery.
Efficacy has not been established.
147
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus
Clinical Influenza infection in neonates • Significant and frequent illnesses with • Rhinitis, cough, wheezing, tachypnea.
Presentation associated with a sepsis-like numerous manifestations. • Preterm infants may not manifest respiratory
syndrome, apnea, pneumonia, • Nonspecific febrile illness, respiratory, symptoms – lethargy, anorexia, apnea.
and morbidity. skin, neurologic, GI, ocular, cardiac,
muscular.
• Neonates without maternal immunity at
risk for severe viral sepsis,
meningoencephalitis, myocarditis,
hepatitis, coagulopathy, and
pneumonitis.
Diagnosis RT-PCR, rapid influenza RT-PCR from stool, nasopharynx, Antigen detection assays, RT-PCR (30%
molecular assays, viral culture conjunctival swabs, CSF, tissue, blood, coinfected), rapid molecular assays.
urine.
Management • 2 classes of antivirals – Supportive; IGIV or convalescent maternal • Supportive – hydration and ventilation if indicated.
neuraminidase inhibitors (NI) plasma used for life- threatening neonatal • Ribavirin not recommended for routine use;
and adamantanes. infections consider for severe infections.
• Oseltamivir (NI) licensed for • Corticosteroids, antimicrobials, and
>2 weeks; may be used in bronchodilators not recommended.
neonates.
Prevention • Droplet precautions: hand Contact precautions for infants for duration • Palivizumab (humanized mouse immunoglobulin (Ig)
hygiene. of illness; cohorting G1 monoclonal antibody may reduce the risk of RSV.
• Infants born to influenza- Administered IM q 30 days for 5 months during RSV
season. Not effective in treatment of RSV disease or in
immunized mother have
controlling outbreaks.
better outcomes and reduce • Infants in a neonatal unit who qualify because of CLD,
chance of preterm/SGA. CHD, or prematurity may receive the first dose 48-72
hours before discharge.
148
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
149
Ampicillin-Gentamycin as First Line in
Neonatal Sepsis: Are Still Relevant?
Rosalina Dewi Roeslani, Septina Ashariani
Tujuan:
1. Rasionalisasi pemakaian antibiotika ampisilin dan gentamisin
untuk SNAD khususnya di RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan secara
nasional di Indonesia
Sepsis pada bayi baru lahir (BBL) atau sepsis neonatorum masih merupakan
salah satu penyebab kematian di dunia dan khususnya di negara berkembang.
Sepsis neonatorum adalah penyebab ketiga kematian pada masa neonatus,
yaitu sebanyak 7% (±400.000/tahun) dari angka kematian bayi baru lahir dan
masih merupakan masalah kesehatan di negara berkembang.1-5 Mortalitas dan
morbiditas tertinggi terjadi pada bayi prematur dan terutama kelompok bayi
berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan insidens berkisar antara 1-5 hingga
49-170 per 1000 kelahiran hidup,6,7 sedangkan insidens sepsis neonatorum
awitan dini adalah 1-2 per 1000 kelahiran hidup.7
150
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Wilayah Asia merupakan wilayah urutan ketiga kematian bayi baru lahir
setelah Afrika dan Mediterania yaitu sekitar 24,3 per 1000 kelahiran hidup.
Indonesia menempati urutan kelima angka kematian neonatus tertinggi yaitu
13,5 per 1000 kelahiran hidup di Asia Tenggara.8 Sepsis neonatorum merupakan
penyebab kematian ke-3 tersering pada bayi usia 0-6 hari (12%), dan penyebab
kematian utama pada usia 7-28 hari (20,5%) di Indonesia.9
Sepsis Neoanatorum
Sepsis neonatorum merupakan infeksi sistemik yang terjadi pada usia 28 hari
kehidupan pertama.10,11 Sepsis neonatorum menurut organisasi kesehatan
dunia atau World Health Organization (WHO) adalah terdapatnya minimal
dua gejala klinis disertai dua hasil laboratorium penunjang yang menunjukkan
adanya infeksi pada bayi baru lahir pada kasus terduga sepsis. Pasien dinyatakan
terbukti sepsis bila didapatkan hasil biakan, mikroskopis, atau pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) yang positif. Adapun gejala klinis dapat berupa
instabilitas kardiovaskuler, suhu tubuh yang tidak stabil, lesi pada kulit maupun
subkutan, sesak napas, gangguan saluran cerna dan lain-lain. Pemeriksaan
penunjang adalah sebagai berikut leukosit: <4.000/μL atau >20.000/μL,
perbandingan neutrofil imatur dan total (I/T ratio) lebih dari 0,2; trombosit
<100.000/μL, C reactive protein (CRP) > 15 mg/L atau prokalsitonin ≥ 2 ng/
mL atau kadar gula darah tidak stabil.12
Sepsis secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu, sepsis neonatorum
awitan dini (SNAD) dan sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL). Sepsis
neonatorum awitan dini (SNAD) adalah infeksi yang terjadi pada 3 hari
pertama kehidupan dan disebabkan oleh bakteri yang ditransmisikan secara
vertikal dari ibu ke bayinya pada sebelum, dan saat kelahiran.10-12 Sepsis
Neonatorum awitan lanjut (SNAL) adalah infeksi yang terjadi setelah usia 72
jam kehidupan. Pada beberapa pusat pelayanan kesehatan ada yang mengambil
batasan SNAD adalah yang terjadi pada 7 hari pertama dan selanjutnya
disebut SNAL.13
151
Pemberian Ampisilin dan Gentamisin Sebagai Terapi Sepsis Neonatorum
Staphylococcus Klebsiela
Epidermidis Pneumoniae
Acinetobacter
1% 2%
baumannii
1%
Steril
96%
9
8 7.64
7 5.93
6
5
4 3.04
3 1.63
2 1.48 , 1.19 0.89 0.89 0.74 0.67
1
0
Pada bulan Desember 2017 hingga Februari 2018 di Rumah Sakit Dr.
Ciptomangunkusumo (RSCM) terdapat 287 kelahiran hidup dan 102 dari
bayi tersebut dirawat karena terduga SNAD, berdasarkan risiko infeksi pada
ibu dan gejala klinis bayi. Bayi tersebut mendapat antibiotik setelah dilakukan
pemeriksaan penunjang sepsis seperti darah perifer rutin, CRP, I/T dan kultur.
Hasil biakan darah positif didapatkan sebanyak 4% dengan kuman penyebab,
2% Klebsiela pneumoniae, 1% Acinetobacter baumannii, dan 1% Staphylococcus
epidermidis.
Hasil kultur positif yang didapatkan selama Januari-Juni tahun 2017
pada BBL yang menderita sepsis baik SNAD maupun SNAL di RSCM adalah
153/579 bayi baru lahir (26,4%) atau 355/1348 isolates (26,3%). Sepuluh
patogen terbanyak adalah Acinetobacter baumanii (7,64%), Klebsiella pneumoniae
(5,93%), Staphylococcus epidermidis (3,04%), Pseudomonas aeruginosa (1,63%),
Enterobacter cloacae (1,48%), Eschericia coli (1,19%), Enterococcus faecalis
(0,89%), Serratia marcescens (0,89%), Staphylococcus aureus (0,74%) dan
Acinetobacter iwwofii (0,67%).15
152
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
153
Pemberian Ampisilin dan Gentamisin Sebagai Terapi Sepsis Neonatorum
154
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
155
Pemberian Ampisilin dan Gentamisin Sebagai Terapi Sepsis Neonatorum
Simpulan
yy World Health Organization masih menganjurkan pemberian golongan
penisilin dan aminoglikosida pada BBL sebagai terapi empiris SNAD
karena aman, berspektrum luas serta masih cukup efektif dan mudah
didapat.
yy RS Dr. Cipto Mangunkusumo masih menggunakan penisilin dan
aminoglikosida sebagai lini pertama karena 67 % bayi yang berisiko SNAD
dapat dihentikan pemberian antibiotikany dalam 24-72 jam berdasarkan
pemantauan klinis dan pemeriksaan penunjang.
yy Indonesia masih menggunakan golongan ampisilin dan aminoglikosida
karena berdasarkan penelitian di negara berkembang menunjukkan
bakteri penyebab sepsis pada 10 tahun terakhir belum berubah hingga
saat ini dan perlu terapi segera untuk mencegah kematian.
yy Sebaiknya setiap fasilitas yang mempunyai perawatan untuk bayi baru lahir
memiliki peta bakteri penyebab sepsis neonatorum disertai uji sensitifitas-
resistensinya sehingga pemilihan antibiotik lebih tepat.
156
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Daftar pustaka
1. Liu L, Johnson HL, Cousens S, Perin J, Scott S, Lawn JE, et al. Global , regional, and
national causes of child mortality : an updated systematic analysis for 2010 with
time trends since 2000. Lancet [Internet]. Elsevier Ltd; 2012;379(9832):2151–61.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(12)60560-1
2. WHO. Antibiotic Use for Sepsis in Neonates and Children : 2016 Evidence
Update. WHO. 2016;
3. Thaver D, Zaidi AKM. Burden of Neonatal Infections in Developing Countries.
Pediatr Infect Dis J. 2009;28(1):3–9.
4. Lawn JE, Cousens S, Zupan J. Neonatal Survival 1 4 million neonatal deaths :
When? Where? Why? Lancet. 2005;365:891–900.
5. Zea-vera A, Ochoa TJ. Challenges in the diagnosis and management of neonatal
sepsis. J Trop Pediatr. 2015;61:1–13.
6. WHO. Region Sepsis and Other Infectious Conditions of Newborn
[Internet]. 2015. Available from: (http://apps.who.int/gho/data/view.main.
CM3002015REG6-CH12)
7. Taylor P, Shah BA, Padbury JF. Neonatal sepsis An old problem with new insights.
Virulence. 2013;5(1):170–8.
8. WHO. Probability of Dying per 1000 live births data by WHO
region [Internet]. 2015. Available from: (http://apps.who.int/iris/
bitstream/10665/170250/1/9789240694439_eng.pdf)
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2010.
10. Simonsen KA, Anderson-berry AL, Delair SF, Davies HD. Early-Onset Neonatal
Sepsis. Clin Microbiol Rev. 2014;27(1):21–47.
11. Sivanandan S, Soraisham AS, Swarnam K. Choice and Duration of Antimicrobial
Therapy for Neonatal Sepsis and Meningitis. Hindawi Int J Pediatr. 2011;2011.
12. Mtitimila E, Cooke R. Antibiotic regimens for suspected early neonatal sepsis (
Review ). Cochrane. 2009;(4):1–10.
13. Dele H. Neonatal Sepsis. Clin Microbiol Rev. 2014;27(1):21–47.
14. Ramesh BY, Lewis LES, Vandana K. OF PEDIATRICS Bacterial isolates of early-
onset neonatal sepsis and their antibiotic susceptibility pattern between 1998 and
2004 : an audit from a center in India. Ital J Pediatr [Internet]. BioMed Central
Ltd; 2011;37(1):32. Available from: http://www.ijponline.net/content/37/1/32
15. RSCM. Bacterial and Antibiotics Susceptibility Profile at Ciptomangunkusumo
General Hospital January-June 2017. Jakarta: RSCM; 2017.
16. Smith PB, Jr DKB. Choosing the right empirical antibiotics for neonates. Arch
Dis Child Fetal Neonatal. 2010;1–3.
17. Gleason CA, Devaskar SU. Avery’s Disease Of The Newborn. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.
18. Pacifici GM. Clinical Pharmacology of Ampicillin in Neonates and Infants :
Effects and Pharmacokinetics. Int J Pediatr. 2017;5(12):6383–410.
19. Woldu MA, Tamiru MT, Berha AB, Haile DB. Challenges to the empiric
management of neonatal sepsis using gentamicin plus ampicillin . Curr Pediatr.
2016;20(1):288–93.
157
Pemberian Ampisilin dan Gentamisin Sebagai Terapi Sepsis Neonatorum
158
Recommendation of Prophylaxix Antibiotic
for Surgical Intervention
Nina Dwi Putri
Tujuan:
1. Mengetahui definisi infeksi daerah operasi
2. Mengetahui prinsip pemberian antibiotik profilaksis pada
pembedahan anak
3. Mengetahui pilihan antibiotik berdasarkan jenis operasi
159
Penggunaan Antibiotik Profilaksis untuk Pencegahan Infeksi Daerah Operasi pada Anak
160
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Jenis infeksi IDO berdasarkan lokasi infeksi yaitu:(7), 12) Infeksi daerah operasi
superfisial adalah yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari pasca operasi DAN
infeksi melibatkan hanya kulit dan jaringan subkutan dari daerah insisi DAN
disertai setidak-tidaknya satu dari gejala di bawah ini yaitu:
yy Pus dari luka insisi superfisial
yy Teridentifikasi organisme penyebab di spesimen yang diambil dari luka
superfisial atau jaringan subkutan melalui pemeriksaan mikrobiologi, baik
dengan kultur atau non kultur untuk kepentingan diagnosis klinis dan
tata laksana (bukan untuk tujuan surveilans aktif)
yy Diagnosis IDO superfisial oleh dokter bedah atau dokter penanggung
jawab pasien (DPJP)
1. Infeksi daerah operasi dalam adalah infeksi yang terjadi dalam kurun waktu
30 atau 90 hari pasca pembedahan DAN melibatkan jaringan lunak dalam
di area insisi seperti fasia, lapisan otot) DAN setidak-tidaknya disertai
salah satu gejala dibawah ini:
–– Pus dari luka insisi dalam
–– Luka insisi dalam yang terjadi spontan atau dibuka dengan sengaja
atau diaspirasi oleh dokter bedah atau DPJP
DAN
Teridentifikasi organisme di spesimen yang diambil dari luka superfisial
atau jaringan subkutan melalui pemeriksaan mikrobiologi metode
kultur atau non kultur untuk kepentingan diagnosis klinis dan tata
laksana (bukan untuk tujuan surveilans aktif)
DAN
Pasien mengalami setidaknya SATU dari gejala berikut: (1) Demam
(>38°C); (2) Rasa nyeri atau nyeri tekan lokal; (3) Abses atau bukti
infeksi lain dari luka insisi dalam yang ditemukan melalui pemeriksaan
gross anatomi, histopatologi dan pencitraan.
2. Infeksi daerah operasi organ atau rongga tubuh adalah infeksi yang terjadi
dalam kurun waktu 30 atau 90 hari pasca pembedahan DAN infeksi
melibatkan bagian tubuh yang lebih dalam dari fasia dan lapisan otot
yang dibuka atau dimanipulasi selama prosedur pembedahan DAN pasien
disertai setidaknya salah satu dari gejala dibawah ini:
–– Pus yang keluar melalui drain yang diletakkan di organ atau rongga
tubuh seperti sistem drain closed suction, drain terbuka, drain tabung
T, drainase dengan panduan CT-scan
161
Penggunaan Antibiotik Profilaksis untuk Pencegahan Infeksi Daerah Operasi pada Anak
162
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
163
Penggunaan Antibiotik Profilaksis untuk Pencegahan Infeksi Daerah Operasi pada Anak
164
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Mikrobiologi
Mikroorganisme penyebab IDO pada prosedur bersih adalah flora normal kulit
seperti spesies Streptoccoccus, Staphylococcus, Coagulase negative staphylococcus.
Pada prosedur bersih terkontaminasi, mikroorganisme penyebab meliputi flora
normal kulit ditambah bakteri batang gram negatif, dan enterococcus. Ketika
prosedur pembedahan melibatkan saluran, kemungkinan mikroorganisme
penyebab berasal dari flora endogen saluran tersebut atau permukaan mukosa
terdekat yang biasanya bersifat polimikrobial.(18)
165
Penggunaan Antibiotik Profilaksis untuk Pencegahan Infeksi Daerah Operasi pada Anak
Ruptur viscus (terapi, bukan Batang Gram-negatif enterik, Ceftriaxon DAN Metronidazole
profilaksis) enterococcus anaerob (Bacteroides ATAU
sp) Gentamicin DAN Metronidazole
DAN Ampicillin
ATAU
Meropenem
ATAU
Regimen lain untuk appendisitis
dengan komplikasi
166
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Keterangan:
a. Risiko tinggi saluran cerna: obstruksi esofagus, penggunaan antagonis reseptor H2 atau PPI atau
motilitas usus menurun
b. Kolesistitis akut, gangguan kandung empedu, obstructive jaundice, batu kandung empedu
c. Prosedur kolorektal menggunakan antibiotik profilaksis oral eritromisin atau neomisin atau
metronidazol
d. Risiko tinggi saluran kemih: kultur urin positif atau tidak dilakukan, kateter perioperatif, biopsi
transrektal prostesis, pemasangan prostesis
167
Penggunaan Antibiotik Profilaksis untuk Pencegahan Infeksi Daerah Operasi pada Anak
menurun menjadi 0,6%. Pemberian APP dalam kurun waktu 3 jam pasca insisi
mengurangi risiko IDO menjadi 2,1%, sedangkan pemberian APP sesudah 3
jam pasca insisi mengurangi risiko IDO menjadi sebesar 5,8%.(21)
Secara umum pemberian APP cukup satu kali. Untuk memastikan
kadar antibiotik pada serum dan jaringan cukup, pengulangan dosis APP
diperlukan jika durasi operasi melebihi dua kali waktu paruh antibiotik atau
terdapat perdarahan massif (>1500 mL pada dewasa). Pengulangan APP juga
direkomendasikan pada keadaan yang menyebabkan waktu paruh antibiotik
memendek seperti pada pasien yang mengalami luka bakar masif. Pengulangan
dosis APP tidak diperlukan pada pasien yang mengalami pemanjangan waktu
paruh antibiotik seperti pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada
operasi bersih dan bersih terkontaminasi, tidak direkomendasikan untuk
memberikan tambahan APP setelah luka insisi bedah ditutup di kamar
operasi walaupun terdapat drain dan menggunakan prostesis pada sendi.(15,16,20)
Pemberian antibiotik lebih dari 24 jam meningkatkan risiko terjadinya infeksi
Clostridium difficile (Rasio Odds 3,74).(22) Pemberian APP 24-48 jam hanya
diperbolehkan pada keadaan khusus seperti pemasangan shunt internal dan
operasi cardiotoraks (extended prophylaxis).(20)
Simpulan
Pemilihan dan pemberian APP yang tepat dan bijaksana dapat menurunkan
risiko IDO dan mengurangi risiko terjadinya efek samping dan resistensi
antibiotik.
168
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Daftar pustaka
1. Butler EK, Tran TM, Nagarajan N, Canner J, Fuller AT, Kushner A, et al.
Epidemiology of pediatric surgical needs in low-income countries. PLoS One.
2017;12(3):1–9.
2. Bickler SW, Sanno-Duanda B. Epidemiology of paediatric surgical admissions
to a government referral hospital in the Gambia. Bull World Health Organ.
2000;78(11):1330–6.
3. Sandora TJ, Fung M, Melvin P, Graham DA, Rangel SJ. National variability
and appropriateness of surgical antibiotic prophylaxis in US children’s hospitals.
JAMA Pediatr. 2016;170(6):570–6.
4. Leaper DJ, Edmiston CE. World Health Organization: global guidelines for the
prevention of surgical site infection. J Hosp Infect [Internet]. 2017;95(2):135–6.
5. Duerink DO, Roeshadi D, Wahjono H, Lestari ES, Hadi U, Wille JC, et al.
Surveillance of healthcare-associated infections in Indonesian hospitals. J Hosp
Infect. 2006;62(2):219–29.
6. Haryanti L, Pudjiadi AH, Ifran EKB, Thayeb A. Prevalens dan Faktor Risiko
Infeksi Luka Operasi Pasca-bedah. Sari Pediatr. 2013;15(4):207–12.
7. National Healthcare Safety Network,Centers for Disease Control and Prevention.
Surgical site infection (SSI) event. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/nhsn /pdfs/
pscmanual/9pscssicurrent.pdf. Diakses tanggal: 14 April 2018.
8. Berríos-Torres SI, Umscheid CA, Bratzler DW, Leas B, Stone EC, Kelz RR, et
al. Centers for Disease Control and Prevention Guideline for the Prevention of
Surgical Site Infection, 2017. JAMA Surg [Internet]. 2017;152(8):784.
9. Salkind AR, Rao KC. Antibiotic Prophylaxis to Prevent Surgical Site Infection.
Am Fam Physician. 2011;585–90.
10. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health. Surgical Site
Infection: Prevention and Treatment of Surgical Site Infection. Natl Inst Heal
Care Excell - Clin Guidel [Internet]. 2008;74(13):168.
11. The Society for Hospital Epidemiology of America, The Association for
Practitioners in Infection Control, The Centers for Disease Control, The
Surgical Infection Society. Consensus paper on the surveillance of surgical
wound infections. Infect Control Hosp Epidemiol Off J Soc Hosp Epidemiol Am
[Internet]. 1992;13(10):599–605.
12. Horan TC, Gaynes RP, Martone WJ, Jarvis WR, Emori TGR. CDC definitions
of nosocomial surgical site infections,1992: a modification of CDC definitions
of surgical wound infections. Infect Control Hosp Epidemiol [Internet].
1992;13(10):606–8.
13. Woods RK, Ph D, Dellinger EP, Medical W. Current Guidelines for Antibiotic
Prophylaxis of Surgical Wounds. 1998;57(11):1–6.
14. Zweigner J, Magiorakos A-P, Haag L-M, Gebhardt S, Meyer E, Gastmeier P.
Systematic review and evidence- based guidance on perioperative antibiotic
prophylaxis [Internet]. 2013. 1-53 p.
169
Penggunaan Antibiotik Profilaksis untuk Pencegahan Infeksi Daerah Operasi pada Anak
15. Kimberlin DW, Brady MT, Jackson MA, Long SS. Red Book, 2015 Report of the
Committee on Infectious Diseases, 30th Edition. 30th ed. AAP; 2015. h627-38.
16. Dale W, Patchen E, Keith M, Trish M, Paul G. Clinical Practice Guidelines
for Antimicrobial Prophylaxis in Surgery. ASHP Ther Guidel [Internet].
2013;14(1):600–82.
17. Setiawan B. The role of prophylactic antibiotics in preventing perioperative
infection. Acta Med Indones [Internet]. 2011;43:262–6.
18. Hidron AI, Edwards JR, Patel J, Horan TC, Sievert DM, Pollock DA, et al.
Antimicrobial-Resistant Pathogens Associated With Healthcare-Associated
Infections: Annual Summary of Data Reported to the National Healthcare Safety
Network at the Centers for Disease Control and Prevention, 2006–2007. Infect
Control Hosp Epidemiol [Internet]. 2008;29(11):996–1011.
19. Cedure PRO. Antibiotic prophylaxis for surgery guideline. Neurosurgery.
2010;1–4.
20. Bratzler DW, Dellinger EP, Olsen KM, Perl TM, Auwaerter PG, Bolon MK, et al.
Clinical practice guidelines for antimicrobial prophylaxis in surgery. Am J Heal
Pharm. 2013;70(3):195–283.
21. Bratzler DW, Dellinger EP, Olsen KM, Perl TM, Auwaerter PG, Bolon MK, et
al. Clinical Practice Guidelines for Antimicrobial Prophylaxis in Surgery. Surg
Infect (Larchmt) [Internet]. 2013 Feb;14(1):73–156.
22. Bernatz JT, Safdar N, Anderson PA. Antibiotic Overuse is a Major Risk Factor
for Clostridium dif fi cile Infection in Surgical Patients. 2017;38(10):8–11.
170
Urinary Tract Infection Prophylaxis:
Cost Effectiveness
Sudung O. Pardede
Tujuan:
1. Meningkatkan pemahaman tentang manfaat dan indikasi
pemberian antibiotik profilaksis pada anak dengan ISK.
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit infeksi yang sering pada
anak di samping infeksi saluran nafas dan infeksi saluran cerna. Infeksi
saluran kemih dapat dibedakan menjadi ISK atas dan ISK bawah. Pada
ISK atas atau pielonefritis, bakteri naik ke ginjal melalui saluran kemih,
menyebabkan inflamasi dan kerusakan ginjal, atau pembentukan jaringan
parut. Infeksi saluran kemih dapat menimbulkan komplikasi berupa urosepsis
atau acute kidney injury yang dapat bersifat fatal.1,2 Selain itu, ISK berulang
akan menyebabkan masalah ketidak-nyamanan pada anak, gangguan aktivitas
dan kehidupan sehari-hari, beban psikologis pada anak dan keluarga, serta
masalah biaya.2,3
Untuk mencegah berulangnya ISK, dapat dilakukan berbagai upaya
seperti memperbaiki keadaan umum termasuk mengatasi masalah gizi,
memperhatikan kebersihan daerah perineum, mendeteksi kelainan anatomi
atau fungsional saluran kemih dan mengatasinya, menghilangkan faktor risiko,
dan pemberian profilaksis.4 Di samping itu koreksi bedah terhadap kelainan
struktural seperti obstruksi, refluks, ureterokel dan ureter dupleks yang disertai
obstruksi penting untuk mencegah infeksi berulang.5 .
Komplikasi ISK
Komplikasi ISK berulang pada anak dapat berupa acute kidney injury, urosepsis,
hipertensi dan dalam jangka lama menyebabkan pembentukan jaringan parut
di ginjal dan penyakit ginjal kronik stadium akhir yang memerlukan tindakan
dialisis atau transplantasi ginjal.2,3
Insidens pembentukan jaringan parut ginjal akan meningkat pada setiap
episode pielonefritis.6 Kerusakan ginjal pada anak setelah pielonefritis akut
171
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness
terdapat pada 5-20% anak berdasarkan deteksi dengan pielografi dan angka ini
meningkat menjadi 40% berdasarkan pemeriksaan skintigafi DMSA (99TmTc-
dimercapto succinic acid).7 Pada penelitian The RIVUR, insidens pembentukan
jaringan parut baru (new renal scars) sama pada anak dengan pemberian
antibiotik profilaksis dengan tanpa antibiotik profilaksis (8,2% vs. 8,4% ).8
Antibakteri profilaksis
Antimikroba profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama telah
digunakan secara tradisional terhadap pasien yang rentan dengan berulangnya
pielonefritis akut atau ISK bawah.10 Tujuan pemberian antibiotik profilaksis
adalah mempertahankan urin tetap dalam keadaan steril, mencegah ISK
berulang, dan mencegah kerusakan ginjal.8,10,11
Sejak diketahui bahwa sebagian besar RVU dapat sembuh spontan,
banyak peneliti merekomendasikan terapi konservatif seperti antibiotik
profilaksis berkesinambungan, sebagai opsi terapi inisial pada anak, dan
mempersiapkan anak untuk intervensi bedah jika antibiotik profilaksis
tidak efektif mencegah ISK.11 Namun, efikasi antibiotik profilaksis sering
dipertanyakan dan dapat meningkatkan risiko resistensi bakteri terhadap
antibiotik, sehingga para klinikus perlu menentukan apakah pasien perlu
mendapat antibiotik profilaksis.10
Pada makalah Beetz di jurnal Pediatric Nephrology tahun 2006 disebutkan
bahwa pada tahun 1941, untuk pertama kali Helmholtz merekomendasikan
pemberian sulfatiazol dosis rendah jangka lama untuk ISK kronik. Beberapa
tahun kemudian, Stansfiled dan Webb (1954) serta Marshal dan Johnson
(1956) melaporkan manfaat pemberian terapi antimikroba jangka lama,
terutama nitrofurantoin, pada bayi dan anak usia muda.6
172
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Indikasi profilaksis
Antibiotik profilaksis terindikasi pada anak dengan ISK dengan risiko tinggi
173
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness
mengalami ISK atau indeks infeksi yang berat untuk mencegah ISK berulang
dan terbentuknya jaringan parut ginjal.3,18 Indikasi antibiotik profilaksis
antara lain RVU, uropati obstruktif termasuk yang terdeteksi antenatal atau
skrining pasca natal.6,10,19 Indikasi lain adalah ISK simtomatik berulang (>
3 kali per tahun) terutama yang disertai instabilitas kandung kemih atau
abnormalitas berkemih, neonatus atau bayi < 1 tahun dengan ISK febris
karena sepertiga bayi ini berisiko mengalami ISK simtomatik dan lebih dari 90%
menjadi pielonefritis atau urosepsis, atau pada bayi atau anak usia muda yang
mengalami pielonefritis meski tidak terdapat RVU.6,18,19 Direkomendasikan
juga pada anak perempuan yang lebih besar dengan sistitis yang sering
berulang.18. Antibiotik profilaksis tidak diberikan secara rutin,3,6 dan pada
RVU derajat rendah, pemberian profilaksis tidak perlu.10
Montini dan Hewitt (2009) melakukan review terhadap beberapa
penelitan tentang pemberian antibiotik profilaksis dan membuat kesimpulan
meskipun masih banyak hal-hal yang belum dapat disimpulkan. 1. Antibiotik
profilaksis tidak terindikasi untuk ISK demam yang pertama kali (first febrile
UTI) yang tidak disertai RVU atau hanya RVU derajat I dan II. Ada 3 alasan
terhadap kesimpulan ini yaitu: a. penelitian metaanalisis menunjukkan
tidak ada keuntungan pemberian antibiotik profilaksis. b. terdapat risiko
meningkatnya resistensi terhadap bakteri. c. frekuensi terjadinya reinfeksi
rendah. 2. Untuk refluks derajat tinggi, tidak dapat diambil kesimpulan yang
jelas, dengan alasan: a. persentase reinfeksi lebih tinggi pada RVU derajat
III dibandingkan dengan derajat 0, I, dan II. b. penelitian metaanalisis
membuktikan bahwa dengan antibiotik profilaksis tidak terdapat keuntungan
yang bermakna pada kelompok ini, namun jumlah pasien yang diikutkan dalam
penelitian tersebut tidak mencukupi.20 Pada tahun 2007, National Institute for
Health and Clinical Excellence (NIHCE) merekomendasikan bahwa antibotik
profilaksis tidak rutin diberikan pada bayi dan anak yang mengalami ISK
untuk pertama kali. Antibiotik profilaksis dipertimbangkan pada bayi dan
anak dengan ISK berulang.21
Pada tahun 2011, Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia (UKK Nefrologi IDAI) membuat konsensus tentang ISK yang
salah satu isinya adalah tentang pemberian antibiotik profilaksis pada anak.
Dalam konsensus tersebut disebutkan bahwa: a. Antibiotik profilaksis tidak
rutin diberikan pada anak dengan ISK pertama kali, b. tidak terindikasi pada
ISK demam yang tidak disertai RVU atau hanya RVU derajat I dan II, c.
diberikan pada anak risiko tinggi seperti RVU derajat tinggi (III-V), uropati
obstruktif, dan berbagai kondisi risiko tinggi lainnya, d. dipertimbangkan pada
bayi dan anak dengan ISK berulang, dan e. jika anak yang mendapat antibiotik
profilaksis mengalami reinfeksi, maka infeksi diterapi dengan antibiotik yang
berbeda dan tidak dengan menaikkan dosis antibiotik profilaksis tersebut.4
174
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
175
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness
176
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
kejadian jaringan parut ginjal, tidak terdapat perbedaan pada pasien yang
mendapat antibiotik profilaksis dan yang tidak mendapat profilaksis (40% vs.
36%, p=0,4).28 Penelitian Montini dkk. (2009) melibatkan 338 anak usia 2
bulan-7 tahun dengan RVU grade I-III yang mendapat antibiotik profilaksis
dan yang tidak mendapat profilaksis. Pada akhir pemantauan 1 tahun, tidak
terdapat perbedaan pada kedua kelompok terhadap terjadinya ISK berulang
dan terbentuknya jaringan parut.20 Penelitin Garin dkk (2005) melibatkan 218
anak berusia 1 bulan-18 tahun dengan pielonefritis akut yang dirandomisasi
mendapat antibiotik profilaksis dan tidak mendapat profilaksis untuk menilai
jaringan parut dengan skintigrafi DMSA. Hasilnya menunjukkan bahwa
setelah satu tahun, tidak terdapat perbedaan kejadian parut ginjal pada anak
yang mendapat antibiotik profilaksis dan yang tidak mendapat profilaksis.29
Penelitian meta-analisis terhadap ISK anak dengan RVU primer. melibatkan
809 anak dengan risiko relatif berulangnya ISK dengan profilaksis 0,82 (IK
95$: 0,62-1,08, p=0,16) Selain itu, meta-analisis terhadap 4 penelitian untuk
mengevaluasi parut ginjal yang melibatkan 662 anak dengan ISK mendapat
profilaksis menunjukkan risiko relatif 1,04 (IK 95% 0,84-1,30, p=0,69)
Hasil meta-analisis ini menyebutkan tidak ada manfaat pemberian antibiotik
profilaksis untuk mencegah ISK berulang dan pembentukan jaringan parut,
namun interpretasi hasil ini harus hati-hati karena berbagai keterbatasan
penelitian seperti blindness, jumlah anak dengan RVU, metode pengambilan
sampel urin untuk mendiagnosis ISK, lebarnya kelompok usia, tingginya
persentase pasien dengan displasi ginjal, kriteria inklusi derajat RVU, durasi
follow-up yang relatif singkat yang memengaruhi hasil penelitian.13 Pada tahun
1980-an, ada dua penelitian randomized- control trial yang membandingkan
pemberian antibiotik profilaksis saja dengan tindakan bedah atau kombinasi
dengan profilaksis ajuvan yang menunjukkan hasil hampir sama.20 Pada
penelitian randomized clinical trial oleh The RIVUR, insidens jaringan
parut baru (new renal scars) sama pada anak dengan pemberian antibiotik
profilaksis dengan tanpa antibiotik profilaksis (8,2 vs. 8,4 %), dan tidak dapat
menentukan apakah antibiotik profilaksis dapat mencegah kerusakan ginjal.8
Penelitian Hari dkk. (2015) melaporkan bahwa pemberian antibiotik
trimetoprim-sulfametoksazol sebagai profilaksis jangka panjang meningkatkan
risiko ISK berulang pada anak dengan RVU derajat I-III dibandingkan dengan
yang mendapat plasebo.30 Hal yang sama juga dilaporkan oleh Garin dkk.
(2006) yang menyebutkan bahwa risiko kejadian pielonefritis lebih tinggi pada
anak yang mendapat antibiotik profilaksis dibandingkan yang tidak mendapat
antibiotik profilaksis.29 Hal ini kemungkinan disebabkan pada kelompok yang
mendapat antibiotik profilaksis terjadi eradikasi flora protektif periuretra yang
menyebabkan kolonisasi bakteri dan peningkatan virulensi bakteri.30
177
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness
178
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Pembiayaan
Antibiotik profilaksis dapat menurunkan risiko berulangnya ISK, aman, dan
dapat ditoleransi dengan baik, namun selain meningkatkan risiko resistensi
bakteri terhadap antibiotik, pemberian antibiotik profilaksis juga memerlukan
biaya.30 Pasien anak yang tidak mendapat profilaksis dilaporkan mengalami
ISK simtomatik 3 kali lebih sering dibandingkan dengan yang tidak mendapat
antibiotik profilaksis selama 2 tahun pengamatan,8 antimikroba profilaksis dosis
rendah diberikan selama 12 bulan.16
Dari penelusuran literatur, tidak ditemukan literatur tentang cost
effectiveness pemberian antibiotik profilaksis. Oleh karena itu, dicoba
melakukan perhitungan biaya yang dikeluarkan jika seorang anak dengan
ISK memerlukan antibiotik profilaksis. Sebagai ilustrasi, ada dua orang anak
perempuan masing-masing 2 tahun dengan berat badan 12 kg. yang sudah
didiagnosis dengan ISK kompeks (RVU derajat IV-V). Satu orang mendapat
antibiotik profilaksis sefaleksin 1 x 150-200 mg setiap malam selama 1 tahun
179
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness
sedangkan satu orang lagi tidak mendapat profilaksis. Pada kedua kelompok
ini, dianggap selama pemantauan dilakukan pemeriksaan laboratorium
berupa urinalisis dan biakan urin dengan frekuensi yang sama. Dilakukan
perhitungan perkiraan biaya untuk kedua anak. Untuk anak yang mendapat
profilaksis, diperlukan biaya untuk mengadakan obat sebesar 365 hari x Rp
5.200 = Rp. 1.898.000. Perhitungan lama pemberian antibiotik selama satu
tahun didasarkan pada lamanya pemberian antibiotik profilaksis yaitu antara
1-2 tahun, dan kemungkinan berulangnya ISK selama satu tahun sebanyak
3 kali atau lebih.8,16 Anak yang tidak mendapat antibiotik profilaksis dengan
kemungkinan akan mengalami 2-3 kali ISK dalam setahun, yang mungkin
memerlukan perawatan. Anak ini mendapat terapi antibiotik selama 10
hari, yaitu 5 hari parenteral x 3 kali pemberian x Rp. 7.500 = Rp. 112.500
ditambah dengan pemberian oral 5 x 3 x Rp.6.500 = Rp. 97.500 sehingga
jumlahnya menjadi Rp. 210.000. Biaya pemeriksaan laboratorium (2 x urinalisis
@ Rp.38.000) + darah tepi Rp. 60.000 + biakan urin Rp. 220.000) =
Rp. 356.000, dan 5 hari perawatan x Rp.175.000. = Rp. 875.000 dan uang
visit dokter 5 hari Rp. 52.000 = Rp. 260.000. Jadi untuk 1 kali rawat inap
dibutuhkan biaya sebesar Rp. 1.701.000, dan untuk tiga kali rawat inap
diperlukan biaya tiga kali lipatnya. Dalam biaya ini belum termasuk biaya
untuk orangtua (makan dan transportasi), waktu, tenaga dan hal lainnya
terkait perawatan anak.
Ilustrasi kasus ini menunjukkan biaya (cost) yang dibutuhkan untuk anak
yang tidak mendapat antibiotik profilaksis lebih besar dibandingkan dengan
yang mendapat profilaksis. Selain itu, jika pasien dirawat karena ISK berulang,
pasien atau keluarga menghadapi masalah lain seperti masalah psikologis yang
mengkhawatirkan orangtua tentang kondisi pasien, biaya untuk orangtua
selama anak dirawat (makan minum, transportasi, kebutuhan lain), tenaga,
waktu, dan terganggunya aktivitas sehari-hari, (Catatan: sefaleksin 250 mg
= Rp. 6.500/kapsul; Sanprima = Rp. 1.100/tablet, kotrimoksazol = Rp. 410/
tablet; sefotaksim I gram injeksi = Rp. 15.000/vial; Laboratorium: darah
lengkap =Rp. 60.000; urinalisis = Rp. 38.000; kultur urin = Rp. 220.000;
biaya kamar Rp/ 175.000 per hari, visit dokter Rp. 52.000/hari)
Keputusan menentukan pemberian antibiotik profilaksis atau tidak
tergantung pada beberapa faktor seperti tipe dan keparahan RVU, usia saat
diagnosis, riwayat ISK sebelumnya, adanya disfungsi berkemih, konstipasi, dan
beratnya jaringan parut.13
Simpulan
Pemberian antibiotik proflaksis dapat menurunkan kejadian ISK berulang pada
anak tetapi tidak jelas perannya dalam menurunkan pembentukan jaringan
180
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
Daftar pustaka
1. Brandstrom P, Hansson S. Long-term, low-dose prophylaxis against urinary tract
infection in young children. Pediatr Nephrol.2015;30:425-32.
2. Goldberg B, Jantausch B. Urinary tract infection. Dalam: Kher KK, Schnaper
HM, Breenbaum LA, penyunting. Clinical Pediatric Nephrology, edisi ke-3, CRC
PRESS, New York, 2017;h.967-91.
3. Hodgson EM, Craig JC. Urinary tract infection in children. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa B, Emma F, Goldstein SL, penyunting,
Pediatric Nephrology, edisi ke-7, New York, Springer Reference, 2016;h.1696-714,
4. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP, Hidayati EL. Konsensus Infeksi
Saluran Kemih pada Anak. UKK Nefrologi IDAI, Badan Penerbit IDAI, Jakarta,
2011.
5. Lambert H,Coultard M. The child with urinary tract infection. Dalam: Webb
NJA, Postlethwaite RJ, penyunting. Clinic Paediatric Nephrology, edisi ke-3,
Oxford, Oxford University Pres, 2003.;h.197-225.
6. Beetz R. May go on with antibacterial prophylaxis for urinary tract infections?
Pediatr Nephrol.2006;21:5-13.
7. Jakobsson B, Nolstedt L, Svensson L, Soderlundh S, Berg U. 99TmTc-
dimercaptosuccinic acid (DMSA) scan ini the diagnosis of acute
pyelonephritis in children: relation to clinical and radiological findings. Pediatr
Nephrol.1992;6:328-34.
8. Cara-Fuentes G, Gupta N, Garin EH. The RIVUR Study: A review of its findings.
Pediatr Nephrol.2015;30:703-6.
9. Nuutinen M, Uhari M. Recurrence and follow-up after urinary tract infection
under the age of 1 year. Pediatr Nephrol.2001;16:69-72.
10. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinary tract infections. Dalam: Avner
ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric Nephrology,
Heidelberg, Springer-Verlag Berlin edisi ke-4, 2009. h.1299-310.
11. Wang HHS, Gbadegesin RA, Foreman JW, Nagaraj SK, Wigfall DR, Wiener
JS, dkk. Efficacy of antibiotic prophylaxis in childen with vesicoureteral reflux:
Systematic reviow and meta-analysis. J Urol.2015;193:963-9.
12. Montini G, Tullus K, Hewitt I. Febrile urinary tract infections in children. New
Engl J Med.2011;365:239-50.
13. Mattoo TK. Evidence for and against urinary prophylaxis in vesicoureteral reflux.
Pediatr Nephrol.2010;25:2379-82.
14. Smellie JM, Grueneberg RN, Leakey A, Atkins WS. Long-term low dose co-
trimoxazole in prophylaxis of childhood urinary tract infection: clinical aspects.
Br Med J.1976;2:203-6.
15. Lohr JA, Nunley DH, Howards SS, Ford RF. Prevention of recurrent urinary tract
infections in girls. Pediatrics.1977;59:562-5.
16. Smellie JM. Kantz G, Grueneberg RN. Controlled trial of prophylaxis treatment
in childhood urinary tract infection. Lancet.1978;ii:175-8.
181
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness
17. Smellie JM, Grueneberg RN, Normand ICS, Bantock HM. Trimetoprim-
sulfamethoxazole and trimethoprim alone in the prophylaxis of childhood urinary
tract infection. Rev Infect Dis.1982;4:461-6.
18. Hellerstein S, Nickell E. Prophylactic antibiotics in children at risk for urinary
tract infection. Pediatr Nephrol. 2002;17:506-10.
19. Bitsori M, Maraki S, Galanakis E. Long-term resistance trends of uropathogens
and association with antimicrobial prophylaxis. Pediatr Nephrol.2014;29:1053-8.
20. Montini G, Hewitt I. Urinary tract infections: to prophylaxis or not to prophylaxis.
Pediatr Nephrol 2009;24:1605-9.
21. National Institute for Health and Clinical Excellence. (2007): Urinary tract
infection in children. http://guidance.nice.org.uk..CG054.
22. Elder JS, Peters CA, Arant BS, Ewalt DH, Hawtrey CE, Hurwit RS,, dkk. Pediatric
vesicoureteral reflux guidelines panel summary report on the management of
primary vesicoureteral reflux in children. J Urol.1997;157:1846-51.
23. Cooper CS, Chung BI, Kirsch AJ, Canning DA, Snyder HM III.The outcome of
stopping prophylactic antibiotics in older children with vesicoureteral reflux. J
Urol.2000; 163:269–73
24. Craig JC, Simpson JM, Williams GJ, Lowe A, Reynolds GJ, McTaggart SJ, dkk.
Prevention of Recurrent urinary Tract Infection in Children with Vesicoureteric
Reflux and Normal Renal Tracts (PRIVENT).Antibiotics prophylaxis and
recurrent urinary tract infection in children. New Engl J Med.2009;361:1748-59.
25. Williams G, Lee A, Craig J. Antibiotics for the prevention of urinary tract infection
in children: a systematic review of randomized controlled trials. J Pediatr.2001;
138:868–74.
26. Hoberman A, Greenfield SP, Mattoo TK, Keren R, Mathwes R, Pohl HG, dkk.
Antimicrobial prophylaxis for children with vesicoureteral reflux. The RIVUR
Trial Investigators. New Engl J Med.2014;370:2367-76.
27. Roussey-Kesler G, Gadjos V, Idres N, Horen B, Ichay L. Leclair MD, dkk.,
Antibiotic prophylaxis for the prevention of recurrent urinary tract infection
in children with low-grade vesico-ureteral reflux: results from prospective
randomized study. J Urol.2008;179:674-9.
28. Pennesi M, Travan L, Peratoner L, Bordugo A, Cattaneo A, Ronfani L, dkk.
North East Italy Prophylaxis in VUR Study Group. In antibiotic prophylaxis in
children with vesicoureteral reflux effective in preventing pyelonephritis and
renal scar? Pediatrics.2008;121:e1489-94.
29. Garin EH, Alavarria F, Garcia NV, Valenciano B, Campos A, Young L. Clinical
significance of primary vesicoureteral reflux and urinary antibiotic prophylaxis
after acute pyelonephritis : a multicenter, randomized, controlled study.
Pediatrics.2006;117:626-32.
30. Hari P, Hari S, Sinha A, Kumar R, Kapil A, Pandey RM, dkk. Antibiotic
prophylaxis in the management of vesicoureteric reflux: a randomized double-
blind placebo-controlled trial. Pediatr Nephrol.2015;30:479-86.
31. Smellie JM. Management and investigation of children with urinary tract
infection. Dalam: Postlethwaite RJ (ed). Clinical Paediatrc Nephrology edisi ke
2. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1994:160-74.
182
Outpatient Parenteral Antimicrobial
Therapy (OPAT): Efficiency Approach of
Rational Antibiotic Use
Aryono Hendarto
Tujuan:
1. Memahami peran Terapi Antibiotik Parenteral Rawat Jalan
dalam penggunaan antibiotik secara rasional
183
Outpatient Parenteral Antimicrobial Therapy (OPAT): Efficiency Approach of Rational Antibiotic Use
Pelayanan TAP-RJ/OPAT
Pelayanan TAP-RJ berguna bagi pasien dengan infeksi sedang hingga berat
yang memerlukan terapi antibiotik parenteral, namun memiliki kondisi
tubuh yang cukup baik untuk memulai atau melanjutkan terapi tanpa perlu
menginap di RS.2 Terdapat empat model pemberian TAP-RJ yang terdiri
dari (1) penyuntikan antibiotik sendiri di rumah, (2) penyuntikan antibiotik
oleh perawat di rumah (3) penyuntikan di fasilitas/klinik kesehatan dan (4)
perawatan intensif di rumah.10 Pemilihan antibiotik pada pasien yang mengikuti
program TAP-RJ perlu mempertimbangkan beberapa aspek yaitu spektrum
antibiotik, cara kerja, interaksi dengan obat lain, target organ, durasi pemberian
antibiotik, kriteria pemenuhan target kesembuhan, dan alternatif pemberian
antibiotik oral. Pemberian antibiotik pertama kali harus dilakukan di fasilitas
kesehatan dengan supervisi untuk memastikan pasien tidak mengalami reaksi
anafilaktik.11
Manfaat TAP-RJ antara lain menurunkan angka masuk RS dan lama
menginap sehingga meningkatkan kapasitas rawat inap di RS, penghematan
biaya yang signifikan di bandingkan dengan rawat inap, penurunan risiko
infeksi nosokomial, dan kepuasan pasien yang lebih baik.2,5,13
Efisiensi opat
Finansial
Pelaksanaan program TAP-RJ di Kanada menunjukkan penghematan biaya
sebesar 1.730.520 dolar Kanada selama 3 tahun. Hasil serupa dilaporkan dalam
penelitian yang dilakukan di Prancis yang melaporkan bahwa pengobatan
Pasien
mempertimbangkan Diskusi bersama
Penilaian pasien oleh
untuk melakukan pasien mengenai
tim TAP‐RJ
potensi TAP‐RJ
TAP‐RJ
Kesimpulan
Pasien setuju
pemberian Terapi
Pemberian terapi melakukan TAP‐RJ
intravena melalui
dan inisiasi terapi
metode TAP‐RJ
184
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
185
Outpatient Parenteral Antimicrobial Therapy (OPAT): Efficiency Approach of Rational Antibiotic Use
TAP-RJ juga dirasakan di Bahrain pada tahun 2012 hingga 2014 dengan skor
kepuasan pasien 4.41 (± 0.31) dari total 5.22 Penelitian di Jakarta dengan
melakukan wawancara terhadap orangtua pasien anak yang mendapatkan
pelayanan TAP RJ menunjukkan bawah sebagian besar orangtua merasa puas
terhadap berbagai aspek pelayanan ini.17
Simpulan
Program TAP-RJ telah terbukti efektif dari segi biaya, bed saved days dan
kepuasan pasien dalam menangani berbagai infeksi. Secara finansial meskipun
telah terbukti menurunkan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk suatu
penyakit, namun tetap bergantung pada berbagai faktor seperti pilihan agen
antimikroba, lokasi pemberian (yaitu klinik rawat jalan, pusat infus atau rumah
pasien) dan kondisi klinis pasien.
Daftar pustaka
1. Nathwani D, Raman G, Sulham K, Gevaghan M, Menon V. Clinical and economic
consequences of hospital acquired resistant and multidrug-resistant Pseudomonas
aeruginosa infections: a systematic review and meta-analysis. Antimicrob Resist
and Infect Control. 2014; 3, 32
2. Chapman AL, Seaton RA, Cooper MA, Hedderwick S, Goodall V, Reed C, et al.
Good practice recommendations for outpatient parenteral antimicrobial therapy
(OPAT) in adults in the UK: a consensus statement. JAC. 2012; 67: 1053–62
3. Nathwani D. Developments in outpatient parenteral antimicrobial therapy
(OPAT) for gram-positive infections in Europe, and the potential impact of
daptomycin. JAC. 2009; 64: 447-53
4. Stiver HG, Telford GO, Mossey JM, Cote DD, Van Middlessworth EJ, Trosky SK,
et al. Intravenous antibiotic therapy at home. Ann Intern Med. 1978; 89: 690-3
5. Laupland KB, Valiquette L. Outpatient parenteral antimicrobial therapy. Can J
Infect Dis Med Microbiol. 2013; 24: 9-11
6. Chapman ALN. Outpatient parenteral antimicrobial therapy. BMJ. 2013; 346:
1585
7. Fisher D, Michaels J, Hase R, Zhang J, Kataria S, Sim B, et al. Outpatient
parenteral antibiotic therapy (OPAT) in Asia: missing an opportunity. J
Antimicrobial Chemotherapy. 2017; 72: 1221-6
8. Fisher DA, Kurup A, lye D, Tambyah PA, Sulaiman Z, Poon EY, et al. Outpatient
parenteral antibiotic therapy in Singapore. Int J Antimicrob Agents. 2006; 28:
545-50
9. Direktur Utama RSCM. Keputusan Direktur Utama RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo nomor HK 02.04/KI.3/6834/2015 tentang pelayanan terapi
antibotik parenteral rawat jalan pada pasien anak di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo. Jakarta.
186
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
10. Tice A. The use of outpatient parenteral antimicrobial therapy in the management
of osteomyelitis: Data from the outpatient parenteral antimicrobial therapy
outcomes registries. Chemotherapy. 2001; 47:16
11. Patel S, Abrahamson E, Goldring S, Green H, Wickens H, Laundy M. Good
practice recommendations for paediatric outpatient parenteral antibiotic therapy
(p-OPAT) in the UK: a consensus statement. JAC. 2015; 70; 360-73
12. Gilchrist M, Franklin BD, Patel JP. An outpatient parenteral antibiotic therapy
(OPAT) map to identify risks associated with an OPAT service. JAC. 2008; 62:
177-83
13. Chapman AL, Dixon S, Andrews D, Lillie PJ, Bazaz R, Patchett JD. Clinical
efficacy and cost-effectiveness of outpatient parenteral antibiotic therapy
(OPAT): a UK perspective. JAC. 2009; 64: 1316–24
14. Yong C, Fisher DA, Sklar GE, Li SC. A cost analysis of outpatient parenteral
antibiotic therapy (OPAT): an Asian perspective. International Journal of
Antimicrobial Agents. 2009; 33: 46-51
15. Beieler AM, Dellit TH, Chan JD, Dhanireddy S, Enzian LK, Stone TJ, et al.
Successful implementation of outpatient parenteral antimicrobial therapy at a
medical respite facility for homeless patients. J Hosp Med. 2016;11:531-5
16. Conant MM, Erdman SM, Osterholzer D. Mandatory infectious diseases approval
of outpatient parenteral antimicrobial therapy (OPAT): clinical and economic
outcomes of averted cases. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 2014; 69:
1695-1700
17. Hendarto A. Perbandingan pelayanan terapi antibiotik parenteal rawat
jalan dengan rawat inap di departemen ilmu kesehatan anak RSCM. Tesis.
FKUGM,2017
18. Dryden M, Saeed K, Townsend R, Winnard C, Bourne S, Parker N, et al. Antibiotic
stewardship and early discharge from hospital: impact of a structured approach
to antimicrobial management. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 2012;
67: 2289-96,
19. Durojaiye OC, Bell H, Andrews D, Ntziora F, Carwright K. Clinical efficacy,
cost analysis and patient acceptability of outpatient parenteral antibiotic
therapy (OPAT): a decade of Sheffield (UK) OPAT service. Int J Antimicrob
Agents. 2018; 51:26-32
20. White HA, Davis JS. Kittler P, Currie BJ. Outpatient parenteral antimicrobial
therapy-treated bone and joint infections in a tropical setting. Intern Med J. 2011;
41: 668-73
21. Chan M, Ooi CK, Wong J, Zhong L, Lye D. Role of outpatient parenteral antibiotic
therapy in the treatment of community acquired skin and soft tissue infections
in Singapore. BMC Infect Dis. 2017; 17: 474
22. Alwi S, Abdulkarim S, Elhennawy H, Al-Manshoor A, Al Ansari A. Outpatient
parenteral antimicrobial therapy with ceftriaxone for acute tonsillopharyngitis:
efficacy, patient satisfaction, cost effectiveness, and safety. Infect Drug
Resist. 2015; 7: 279-85
23. Kieran J, O’Reilly A, Parker J, Clarke S, Bergin C. Self-administered outpatient
parenteral antimicrobial therapy: a report of three years experience in the Irish
healthcare setting. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2009; 28: 1369-74
187