You are on page 1of 203

PROSIDING SIMPOSIUM DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

A to Z about infections Pediatric antibiotic stewardship: How to prevent of antibiotic resistance?


FKUI-RSCM - JAKARTA UNIVERSITAS
INDONESIA
Veritas, Probitas, Justitia

XLIV Alergi-Imunologi, Infeksi 30-31 Juli 2001 Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi FAKULTAS

dan Penyakit Tropis KEDOKTERAN

XLV Dep.IKA FKUI-RSCM 18-19 Feb 2002 Hot Topics and Pediatrics II
XLVI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Sep 2004 Current Management of Pediatrics Problems
XLVII Dep. IKA FKUI-RSCM 19-20 Sep 2005 Penanganan Demam pada Anak Secara Profesional
XLVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 13-14 Des 2005 Update in Neonatal Infections
XLIX Dep. IKA FKUI-RSCM 5-7 Maret 2006 Neurology in Children for General Practitioner in Daily Practice
L Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Juli 2006 Strategi Pendekatan Klinis Secara Profesional Batuk pada Anak
LI Dep. IKA FKUI-RSCM 20-21 Nov 2006 Pain Management in Children
LII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Juli 2007 Pendekatan Praktis Pucat: Masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan
anak
LIII Dep. IKA FKUI-RSCM 12-13 Nov 2007 Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning
LIV Dep. IKA FKUI-RSCM 27-28 Okt 2008 The 1st National Symposium on Immunization
LV

LVI
Dep. IKA FKUI-RSCM

Dep. IKA FKUI-RSCM


22-23 Maret 2009

9-10 Agt 2009


HIV Infection in Infants and Children in Indonesia: Current Challenges in
Management
The 2nd Adolescent Health National Symposia:
Prosiding Simposium LxxiV
Current Challenges in Management
LVII

LVIII
Dep. IKA FKUI-RSCM

Dep. IKA FKUI-RSCM


8-9 Nov 2009

20-21 Juni 2010


Management of Pediatric Heart Disease for Practitioners: From Early
Detection to Intervention
Pediatric Skin Allergy and Its Problems
A to Z about infections
LIX Dep. IKA FKUI-RSCM & IDAI
Jaya
19-20 Des 2010 The Current Management of Pediatric Ambulatory Patients
Pediatric antibiotic stewardship:
How to prevent of antibiotic
LX Dep. IKA FKUI-RSCM & IDAI 9-10 Okt 2011 Peran Dokter Anak dalam Diagnosis Dini dan Pemantauan Keganasan pada
Jaya Anak
LXI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Feb 2012 Kegawatan Pada Bayi dan Anak
LXII
LXIII
LXIV
Dep. IKA FKUI-RSCM
Dep. IKA FKUI-RSCM
Dep. IKA FKUI-RSCM
1-2 Apr 2012
17-18 Juni 2012
24-25 Maret 2013
Current Management in Pediatric Allergy and Respiratory Problems
Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders
Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak
resistance?
LXV Dep. IKA FKUI-RSCM 17-18 Nop 2013 Pelayanan Kesehatan Anak Terpadu
LXVI Dep. IKA FKUI-RSCM 22-23 Maret 2014 Pendekatan Holistik Penyakit Kronik pada Anak untuk Meningkatkan Kualitas DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
Hidup
LXVII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Nop 2014 Current Evidence in Pediatric Practices FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
LXVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 12-13 April 2015 Current Evidences in Pediatric Emergencies Management RS. CIPTO MANGUNKUSUMO
LXIX Dep. IKA FKUI-RSCM 6-7 Des 2015 Menuju diagnosis: pemeriksaan apa yang perlu dilakukan?
LXX Dep. IKA FKUI-RSCM 3-4 April 2016 Common and Re-Emerging Infectious Disease: Current Evidence
LXXI Dep. IKA FKUI-RSCM 30-31 Okt 2016 Doctors Without Border: Recent Advances in Pediatrics
LXXII Dep. IKA FKUI-RSCM 25-26 Maret 2017 Transformation from Fetus to Excellent Adolescents
LXXIII Dep. IKA FKUI-RSCM 22-23 Okt 2017 Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, senantiasa mengetengahkan perkembangan mutakhir dalam bidang
ilmu kesehatan anak di samping masalah pediatri praktis. Keterangan tentang program ini setiap saat dapat dimintakan kepada:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jalan Diponegoro 71, Jakarta 10430, Telp. (021) 3161420, Fax. (021) 3161420
Jakarta, 29 - 30 April 2018
PROSIDING SIMPOSIUM DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FKUI-RSCM - JAKARTA
I Kardiologi 7-8 Juli 1980 Penataran Berkala Kardiologi Pediatrik
II Gawat Darurat 23 Jan 1982 Demam Berdarah Dengue
III Hematologi 5 Juni 1982 Beberapa Aspek Hematologi
IV Neurologi 11-16 April 1983 Kejang pada Anak
V Kardiologi 19-20 April 1983 Penataran EKG Bayi danAnak
VI Nefrologi 1 Juni 1983 Penanggulangan Penyakit Ginjal Kronik
VII Gizi 13 Nov 1983 Gizi dan Tumbuh Kembang
VIII Pulmonologi 9-10 Nov 1983 Bronkitis dan Asma pada Anak
IX Perinatologi 3-4 Des 1984 Ikterus pada Neonatus
X Penyakit Tropis 4 Mei 1985 Permasalahan dan Penatalaksanaan Mutakhir Beberapa Penyakit Tropis
XI Kardiologi 31 JuIi-1 Agt 1985 Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Bawaan yang Dapat
Dikoreksi
XII Radiologi 1-2 Nov 1985 Radiologi Klinis dan Ultrasonografi pada Bayi dan Anak
XIII Endokrinologi 23 Febr 1986 Masalah penyimpangan Pertumbuhan Somatik dan Seksual pada Anak dan
Remaja
XIV Gawat Darurat 9 Agt 1986 Penanggulangan Terpadu Enterokolitis Nekrotikans Neonatal
XV Radiologi 20-21 Juni 1988 Radiologi dan Ortopedi Praktis pada Anak
XVI Gastroenterologi 30 Sept-1 Okt 1988 Penanggulangan Mutakhir Beberapa Penyakit Gastrointestinal pada Anak
XVII Pulmonologi 21-22 Okt 1988 Beberapa Masalah Klinis Praktis Pulmonologi Anak
XVIII Neurologi 27-28 Jan 1989 Kedaruratan Saraf Anak
XIX Gizi 8-9 Sept 1989 Beberapa Aspek Tentang Vitamin dan Mineral pada Tumbuh Kembang Anak
XX Kardiologi 15-16 Des 1989 Penatalaksanaan Kedaruratan Kardio vaskular pada Anak
XXI Alergi-imunologi 9-10 Mar 1990 Meningkatkan Profesionalisme dalam Penatalaksanaan Penyakit Alergi-
Imunologi
XXII Nefrologi 7-8 Des 1990 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal pada Anak
XXIII Perinatologi 8-9 Juli 1991 Sindrom Gawat Napas pada Neonatus
XXIV Hematologi 6-7 Sept 1991 Perkembangan Mutakhir Penyakit Hematologi Onkologi Anak
XXV Penyakit Tropis 26-27 Juni 1992 Tata Iaksana Penyakit Infeksi pada Anak Masa Kini dan Masa Mendatang
XXVI Radiologi 11-12 Sept 1992 Pencitraan Traktus Urinarius pada Anak
XXVII Hepatologi 6-7 Nop 1992 Hepatologi Anak Masa Kini
XXVIII Endokrinologi 16-15 Feb 1993 Masalah Penyimpangan Pertumbuhan Somatik pada Anak dan Remaja
XXIX Nefrologi 24-25 Sept 1993 Penanggulangan Masalah Uronefrologi pada Anak
XXX Gawat Darurat 3-4 Des 1993 Pendekatan Farmakologi pada Pediatrik Gawat Darurat
XXXI Gastroenterologi 3-4 Feb 1994 Optimalisasi Tatalaksana Gagal Tumbuh Gastointestinal Guna Meningkatkan
Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXII Kardiologi 1-2 Juli 1994 Pengenalan Dini dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan pada Neonatus
XXXIII Pulmonologi 2-3 Des 1994 Perkembangan dan Masalah Pulmonologi Anak Saat ini
XXXIV Neurologi 24-25 Mar 1995 Neurologi Anak dalam Praktek Sehari-hari
XXXV Gizi 11-12 Agt 1995 Masalah Gizi Ganda dan Tumbuh Kembang Anak
XXXVI Alergi-Imunologi 10-11 Nop 1995 Strategi Pendekatan Klinis Berbagai Penyakit Alergi dan Reumatik pada Anak
XXXVII Tumbuh Kembang 21-23 Nop 1996 Deteksi dan Intervensi Dini Penyimpangan Tumbuh Pediatri Sosial Kembang
Anak dalam Upaya Optimalisasi Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXVIII Perinatologi 7-8 Apr 1997 Penanganan Mutakhir Bayi Prematur: Memenuhi Kebutuhan Bayi Prematur
untuk Menunjang Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXIX Infeksi dan Pediatrik Tropik 25-26 Agt 1997 Strategi Pemilihan dan Penggunaan Vaksin serta Antibiotik dalam Upaya
Antisipasi Era Perubahan Pola Penyakit
XL Radiologi 26-27 Nop 1997 Pencitraan: Penggunaannya untuk Menunjang Diagnosis Penyakit Saluran
Napas dan Saraf pada Anak
XLI Hematologi 24-25 Jun 1998 Darah dan Tumbuh Kembang: Aspek Transfusi
XLII Gastroenterologi, 22-23 Feb 1999 Dari Kehidupan Intrauterin sampai Transplantasi Organ: Aktualisasi
Hepatologi dan Gizi Gastroenterologi-Hepatologi dan Gizi
XLIII Hepatologi 31 Mei 2000 Tinjauan Komprehensif Hepatitis Virus Pada Anak
UNIVERSITAS
INDONESIA
Veritas, Probitas, Justitia

FAKULTAS

KEDOKTERAN

Prosiding Simposium LxxiV


A to Z about infections
Pediatric antibiotic stewardship:
How to prevent of antibiotic
resistance?
Jakarta, 29 - 30 April 2018

Penyunting:
Mulyadi M. Djer
Wahyuni Indawati
Eka Laksmi Hidayati
Hikari A. Sjakti
Frida Soesanti

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
Judul Prosiding Simposium LXXIV
Tema A to Z about infections Pediatric antibiotic stewardship:
How to prevent of antibiotic resistance?
Pelaksanaan Jakarta, 29 - 30 April 2018
Penanggung Jawab DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K), MPH
Ketua Departemen IKA FKUI-RSCM
Reviewer Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, SpA(K)
Dr. Wahyuni Indawati, SpA(K)
Dr. Eka Laksmi Hidayati, SpA(K)
Dr. Hikari A. Sjakti, SpA(K)
Dr. Frida Soesanti, SpA(K)
Editor Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, SpA(K)
Dr. Wahyuni Indawati, SpA(K)
Dr. Eka Laksmi Hidayati, SpA(K)
Dr. Hikari A. Sjakti, SpA(K)
Dr. Frida Soesanti, SpA(K)

Hak Cipta dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh
buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan
penerbit

Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Cetakan Pertama 2018

ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM

Yth Teman Sejawat Dokter Spesialis Anak


Ass Wr Wb, salam sejahtera untuk kita semua
Kampanye rational used of medicine (penggunaan obat rasional) telah
didengungkan oleh badan kesehatan dunia (WHO), termasuk di dalamnya
penggunaan antibiotik. Sejak ditemukannya antibiotik pertama kali yaitu
penisilin oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, maka banyak antibiotik
lain yang ditemukan dari berbagai golongan untuk berbagai indikasi medis.
Namun demikian, pada dekade terakhir penemuan antibiotik baru tidak
sehebat beberapa dekade sebelumnya, sedangkan ditemukan penyakit dengan
spektrum kuman baru yang resisten terhadap antibiotik yang tersedia. Oleh
karena itu, diperlukan perilaku penggunaan antibiotik yang rasional. Hal ini
sesuai dengan UU No 29 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 menyatakan
bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
atau kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada PKB kali ini Departemen Ilmu
Kesehataan Anak FKUI-RSCM mengangkat tema “A to Z about infections
pediatric antibiotic stewardship: How to prevent of antibiotic resistance?”. Topik-
topik yang dibahas pada PKB kali ini antara lain kebijakan pemberian antibiotik
rasional pada anak serta dikaitkan dengan aspek keamanan dan etik. Pemakaian
antibiotik pada berbagai kondisi seperti pada pasien imunokompromais, gizi
buruk, infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran kemih, di unit perawatan
intensif, sepsis neonatorum, dan pada tindakan operasi dibahas pada PKB kali
ini. Pemilihan dan pertimbangan penggantian antibiotik juga dielaborasi pada
PKB kali ini. Pemberian antibiotik intravena di poliklinik atau rawat jalan
juga dibahas tuntas pada PKB ini karena cara ini mengurangi pembiayaan
dan lama rawat pasien.
Kami berharap PKB kali ini dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan para dokter spesialis anak untuk mencapai kualitas pelayanan
pasien anak yang optimal.

DR. Dr. Aryono Hendarto, SpA(K), MPH


Ketua Departemen IKA FKUI-RSCM

iii
iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXXIV

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Simposium “A to Z about infection pediatric antibiotic stewardship: How


to prevent antibiotic resistance?” dirancang untuk meningkatkan pengetahuan
dokter spesialis anak dalam pemberian antibiotik yang rasional dalam berbagai
kondisi. Topik ini dirasakan menjadi penting karena semakin banyaknya
masalah dalam pemberian antibiotik pada anak dan masalah resistensi
antibiotik yang semakin luas.
Materi simposium kali ini merupakan kebijakan pemberian antibiotik
rasional pada anak yang dikaitkan dengan aspek keamanan dan etik. Akan
dibahas pula mengenai ealuasi penggunaan antibiotik dengan menggunakan
metoda Gyssen dan langkah-langkah penggantian antibiotik. Cara penting
untuk menentukan pilihan antibiotik rasional yang juga dibahas, serta
bagaimana mengintepretasikan hasil laboratorium dan hasil resistensi
antibiotik. Pemakaian antibiotik rasional pada berbagai kondisi seperti pada
pasien imunokompromais, pasien gizi buruk, infeksi saluran napas, infeksi
saluran kemih, di unit perawatan intensif, sepsis neonatorum, dan pada
tindakan operasi juga merupakan materi yang dibahas dalam buku ini.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
seluruh penulis yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk menyiapkan
naskah dalam buku ini. Kami berharap bahwa buku ini dapat memberikan
sumbangsih dalam meningkatkan pengetahuan para dokter spesialis anak
untuk mencapai kualitas pelayanan pasien anak yang optimal demi tercapainya
kesehatan anak yang berkualitas di Indonesia.

Terima kasih.
Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh

DR. Dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A(K)


Ketua Panitia

v
vi
Kata Pengantar Tim Penyunting

Assalamu’alakum wr wb.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyunting makalah PKB
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM ini tepat waktu.
Tema pada PKB Departemen IKA yang ke LXXIV mengangkat
permasalahan “ A to Z about infectons pediatrics antibiotic stewardship: How
to prevent of antibiotic resistance? Masalah yang dibahas adalah masalah tata
laksana terkini beberapa penyakit infeksi dan pemilihan antibiotik secara tepat
yang diperlukan para dokter anak, dokter spesialis lainnya serta dokter umum
dalam melaksanakan tugasnya di ruang rawat atau di poliklinik. Pembicara
umumnya berasal dari Staf Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM
ditambah dengan Staf dari Departemen Farmakologi, Departemen Forensik
dan Departemen Mikrobiologi FKUI-RSCM.
Dalam menyunting setiap naskah, kami dari Tim Penyunting
menyesuaikan format penulisan sesuai dengan pedoman yang ada pada buku
PKB Departemen IKA FKUI-RSCM. Isi makalah semuanya ditulis oleh penulis
dan kami tidak rubah sama sekali.
Walaupun buku ini sudah kami susun dengan benar, tidak menutup
kemungkinan kami masih menerima saran dari pembaca untuk memperbaki
buku ini.
Semoga dengan membaca naskah di dalam buku ini dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan para dokter spesialis anak, spesialis lainnya
serta dokter umum sesuai amanat undang-undang praktik kedokteran.

Wassalamu’alaikum wr wb.

Tim Penyunting
Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, SpA(K)
Dr. Wahyuni Indawati, SpA(K)
Dr. Eka Laksmi Hidayati, SpA(K)
Dr. Hikari A. Sjakti, SpA(K)
Dr. Frida Soesanti, SpA(K)

vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM

Ketua : DR. Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)


Wakil Ketua : DR. Dr. Partini P. Trihono, Sp.A(K), MMed(Paed)
Sekretaris : Dr. Bernie Endyarni, Sp.A(K), MPH
Bendahara : Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K)
Anggota : 1. Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)
2. Prof. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
3. Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)
4. Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)
5. Dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(Paed)
6. DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K)

ix
Susunan Panitia

Ketua DR. Dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A(K)


Wakil Ketua Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K)
Sekretaris Dr. Dina Muktiarti, Sp.A(K)
Bendahara Dr. Fitri Primacakti, Sp.A
Seksi Dana Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K)
Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)
Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)
Prof. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
Prof. DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)
Prof. Dr. Badriul Hegar, PhD, Sp.A(K)
Seksi Ilmiah Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K)
Dr. Wahyuni Indawati, Sp.A(K)
Dr. Eka Laksmi Hidayati, Sp.A(K)
Dr. Hikari A. Sjakti, Sp.A(K)
Dr. Frida Soesanti, Sp.A(K)
Seksi Perlengkapan, Dr. Ari Prayitno, Sp.A(K)
Dokumentasi & Dr. Ratno M. Sidauruk, Sp.A(K)
Pameran
Seksi Sidang Dr. Klara Yuliarti, Sp.A(K)
Dr. Nina Dwi Putri, Sp.A(K)
Dr. Putri Maharani Tristanita, Sp.A(K)
Seksi Konsumsi Dr. Henny Adriani Puspitasari, Sp.A
Dr. Cut Nurul Hafifah, Sp.A

x
Daftar Penulis

Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo –


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Prof. Dr. Taralan Tambunan, Sp.A(K) Divisi Nefrologi
Dr. Mulya Rahma Karyanti, Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
DR. Dr. Hindra I. Satari, Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
Dr. Hikari A. Sjakti, Sp.A(K) Divisi Hematologi – Onkologi
Dr. Ari Prayitno, Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
Dr. Darmawan B. Setyanto, Sp.A(K) Divisi Respirologi
Dr. Wahyuni Indawati, Sp.A(K) Divisi Respirologi
DR. Dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K) Divisi Respirologi
DR. Dr. Irene Yuniar, Sp.A(K) Divisi Nefrologi
Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K) Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik
DR. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A(K) Divisi Neonatologi
Dr. Rosalina D. Roeslani. Sp.A(K) Divisi Neonatologi
Dr. Nina Dwi Putri, Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
DR. Dr. Sudung O Pardede, Sp.A(K) Divisi Nefrologi
DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K), MPH Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik
DR. Dr. Murti Andriastuti, Sp.A(K) Divisi Hematologi – Onkologi

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia


DR. Dr. Yuli Budiningsih, Sp.F Departemen Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal
Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, Sp.FK(K) Departemen Farmakologi &
Terapeutik
Dr. Anis Kurniawati, PhD, Sp.MK(K) Departemen Medik Mikrobiologi Klinik

xi
xii
Daftar isi

Kata Sambutan Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM.............................. iii


Kata Sambutan Ketua Panitia PKB Dep. IKA FKUI-RSCM LXXIV............ v
Kata Pengantar Tim Penyunting................................................................. vii
Tim PKB FKUI-RSCM............................................................................... ix
Susunan Panitia........................................................................................... x
Daftar Penulis............................................................................................. xi
Daftar isi................................................................................................... xiii

Introduction to Rationale Antibiotic Used in Children.................................... 1


Rianto Setiabudy
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia ........................ 9
Taralan Tambunan
Antibiotic Usage: Ethic and Patient Safety Issues......................................... 20
Yuli Budiningsih
Qualitative Evaluation of Antibiotic Uses: Gyssen Method........................... 27
Mulya Rahma Karyanti
Switching Antibiotic Therapy: When and How............................................ 35
Sri Rezeki S Hadinegoro
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?.............................. 45
Hindra Irawan Satari
Interpretation of Antibiotic Resistance in Susceptibility Test.......................... 65
Anis Karuniawati

xiii
Antibiotic Choice in Hemato-Oncology Patient............................................ 73
Hikari Ambara Sjakti
Hospital Acquired Infections (Hals), Needs Awareness for Health
Professionals............................................................................................... 81
Ari Prayitno
Antibiotic treatment in pneumonia, how to choose?...................................... 93
Darmawan B Setyanto
Acute Rhinotonsilopharyngitis in Children: When Antibiotic is Needed?...... 105
Wahyuni Indawati
Tuberculosis Chemoprophylaxis in Children Exposed to Drug Sensitive or
Resistant Index Case................................................................................. 112
Nastiti Kaswandani
Difficulties in Choosing Proper Antibiotics in PICU Setting ....................... 124
Irene Yuniar
Awareness in Antibiotic Therapy for Severe Malnutrition........................... 134
Titis Prawitasari
Suspect Viral and Fungal Infection in Sepsis Neonatarum........................... 140
Rinawati Rohsiswatmo, Distyayu Sukarja
Ampicillin-Gentamycin as First Line in Neonatal Sepsis:
Are Still Relevant?....................................................................................150
Rosalina Dewi Roeslani, Septina Ashariani
Recommendation of Prophylaxix Antibiotic for Surgical Intervention .......... 159
Nina Dwi Putri
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness.............................. 171
Sudung O. Pardede
Outpatient Parenteral Antimicrobial Therapy (OPAT): Efficiency Approach
of Rational Antibiotic Use......................................................................... 183
Aryono Hendarto

xiv
Introduction to Rationale Antibiotic
Used in Children
Rianto Setiabudy

Tujuan:
1. Meningkatkan pemahaman panduan penggunaan antibiotika
yang baik dan benar pada anak agar tidak menimbulkan
resistensi kuman.

Dalam menghadapi kasus tersangka menderita infeksi, penggunaan antimikroba


(AM) sering kali bermanfaat untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas,
namun kita tidak boleh melupakan bahwa selain efek terapi mengobati infeksi,
AM juga berdampak terhadap mikroba yang hidup di sekitar kita. AM memang
harus diberikan dengan dosis cukup tinggi dan waktu yang cukup lama, tetapi
pemberian terlalu lama dan terlalu sering akan menyuburkan berkembangnya
kuman-kuman yang resisten. Di unit pelayanan kesehatan yang baik setiap
dokter yang meresepkan AM harus menuliskan bukti terjadinya infeksi antara
lain suhu tubuh, hitung leukosit, kadar CRP, kadar prokalsitonin serum, dll
dalam formulir yang sudah disediakan.
Ketika diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi, maka harus dipilih
AM efektif tapi yang punya spektrum antibakteri paling sempit. Pada pusat
pengobatan infeksi yang dikelola dengan baik, juga dibuat suatu daftar AM
yang hanya boleh digunakan dengan ijin khusus yang dikeluarkan oleh spesialis
mikrobiologi klinik atau tim yang ditunjuk oleh direktur rumah sakit untuk
tugas tersebut. Tindakan ini akan mencegah timbulnya infeksi rumah sakit
yang resisten terhadap semua AM yang digunakan di rumah sakit tersebut.
Meningkatnya angka kejadian resistensi kuman terhadap antibiotika
merupakan masalah global dewasa ini. Salah satu penyakit yang paling
sering dijumpai pada anak ialah infeksi, terutama infeksi saluran nafas atas.
Antibiotika sering digunakan untuk infeksi saluran nafas atas, misalnya
influenza, nyeri tenggorok, dll., padahal telah diketahui bahwa sebagian besar
infeksi akut saluran nafas atas disebabkan oleh virus. Penggunaan antibiotika
untuk infeksi saluran nafas atas pada anak adalah salah satu faktor penting yang
menyebabkan timbulnya resistensi kuman terhadap antibiotika.2 Sementara itu

1
Introduksi Penggunaan Antibiotika yang Rasional pada Anak

dilaporkan pula bahwa 25-50% penggunaan antibiotika adalah tidak rasional.1-3


Suatu penelitian pada anak di Vietnam menunjukkan bahwa 91% anak dengan
infeksi akut saluran nafas atas mendapat terapi antibiotika. Pada populasi
ini didapatkan angka resistensi yang tinggi dan prevalensi yang tinggi untuk
kuman yang resisten terhadap banyak obat (multi-drug resistant pathogens).4-5
Penggunaan antibiotika yang sering, baik yang rasional maupun yang tidak,
selalu menimbulkan dampak berkembangnya resistensi kuman. Penggunaan
yang rasional dan tepat indikasinya tentu tidak perlu dipersoalkan. Yang harus
dikendalikan ialah pemakaian yang tidak rasional.Tulisan ini dibuat untuk
membahas bagaimana seharusnya antibiotika antibiotika digunakan dengan
baik dan benar pada anak agar tidak menimbulkan penggunaan berlebihan
yang kemudian meningkatkan resistensi kuman

Antibiotic stewardship
Program antibiotic stewardship (PAS) dewasa ini memegang peran penting untuk
menerapkan penggunaan AM yang aman dan efektif. PAS pada dasarnya
menggunakan konsep yang sederhana yaitu: pilihan AM yang tepat, dengan
dosis yang tepat, dengan rute pemberian yang tepat, durasi yang tepat, dan
pasien yang tepat. AS biasanya dimulai dengan membuat keputusan apakah
seorang pasien memang memerlukan pemberian AM atau tidak. Untuk ini
pedoman yang dipegang ialah jangan memberikan AM bila tidak ada bukti
terjadinya infeksi. Bila diputuskan perlu diberikan AM, maka berikut ini adalah
hal-hal yang harus diperhatikan:
yy Harus dilakukan anamnesis yang teliti mengenai adanya riwayat alergi.
yy Untuk anak yang mengalami infeksi berat, pengobatan harus segera
dimulai sedapat mungkin dalam waktu 1 jam setelah diagnosis kerja
ditegakkan.
yy Pengobatan sesuai dengan pedoman pengobatan yang berlaku setempat
yy Indikasi pemberian AM, dosis, cara pemberian, dan tanggal review/
penghentian pemberiannya dicatat pada formulir yang tersedia.
yy Harus dipastikan bahwa sampel biologik untuk pemeriksaan mikrobiologik
sudah diambil sebelum terapi AM dimulai.
yy Dalam waktu 48-72 jam harus dilakukan review klinik untuk menentukan
salah satu dari kemungkinan sbb:
–– Terapi AM harus dihentikan
–– Dilakukan switching dari pemberian parenteral ke oral
–– AM yang berspektrum lebar diubah ke AM dengan spektrum sempit
–– Terapi diteruskan tapi akan direviewevaluasi lagi dalam 24 jam ke depan

2
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Lima pertanyaan menuju penggunaan antibiotika yang


rasional pada anak
1. Apakah memang ada indikasi untuk memberikan AM pada kasus yang
dihadapi?
Terapi rasional dengan antibiotika selalu dimulai dengan mengamati
kondisi pasien. Di sini dapat diperoleh beberapa informasi penting
berkaitan dengan penggunaan antibiotika yaitu:
–– Diagnosis klinik pasien
–– Beratnya kondisi pasien
–– Lama pasien sakit: Sebagian klinikus berpendapat bahwa AM baru
perlu dimulai bila pasien sudah menderita demam 5 hari. Pendapat ini
seringkali keliru karena sering terjadi infeksi berat yang bisa berakhir
dengan kematian dalam waktu kurang dari 5 hari. Sebaliknya untuk
infeksi-infeksi viral pada saluran nafas atau diare akut non-spesifik
sama sekali tidak perlu diberikan AM.
Banyak penggunaan antibiotika yang sebenarnya tidak diperlukan,
namun diberikan hampir rutin sehingga timbul masalah resistensi.
Sebagai contoh, banyak dokter di Indonesia meresepkan amoksisilin atau
sefiksim untuk anak yang menderita infeksi viral akut pada saluran nafas
atas (influenza). Akibatnya terjadi peningkatan resistensi S. pneumonia
terhadap antibiotika golongan betalaktam. Penggunaan sefiksim berulang-
ulang pada ISPA potensial menyebabkan berkembangnya kuman-kuman
yang mampu menghasilkan extended spectrum betalactamase (ESBL).

2. Apakah pilihan antimikroba sudah tepat?


Tidak semua diagnosis klinik penyakit infeksi harus disokong dengan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Diagnosis klinik seperti tetanus
tidak memerlukan pemeriksaan biakan karena penyebabnya pasti C.
tetani. Kuman ini biasanya juga peka terhadap penisilin G. Demikian
pula furunkulosis atau piodermi yang berasal dari komunitas biasanya
disebabkan karena stafilokokus (biasanya penghasil betalaktamase) dan
streptokokus yang sensitif terhadap antibiotika golongan betalaktam
atau makrolid. Terkadang pewarnaan sederhana dengan pulasan Gram
(tanpa biakan) sudah dapat memberikan informasi penting mengenai
etiologi penyebab infeksi, dan dengan demikian memberi arahan dalam
memilih antibiotika yang tepat. Walaupun demikian harus disadari bahwa
pulasan Gram tidak memberi informasi apapun untuk resistensi terhadap
antibiotika tertentu dan tidak menjelaskan mengenai genus dan spesies
kuman.

3
Introduksi Penggunaan Antibiotika yang Rasional pada Anak

Pada infeksi berat misalnya sepsis pada neonatus, seringkali kuman


penyebab infeksi sulit diperkirakan sehingga perlu diberikan AM secara
empiris yaitu kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan salah satu
aminoglikosida. Dalam tatalaksana pengobatan yang rasional, pilihan
bersifat AM empiris ini harus diganti dengan yang definitif bila hasil biakan
dan uji kepekaan sudah diperoleh dari laboratorium mikrobiologi klinik.
Yang juga harus diperhatikan ialah jangan sampai terjadi pengambilan
spesimen untuk biakan dilakukan setelah pemberian AM. Untuk
infeksi tertentu, pengambilan spesimen sangat sulit dikerjakan karena
prosedurnya invasif dan spesimen yang diperoleh sering terkontaminasi.
Pada infeksi saluran nafas bawah, pemeriksaan biakan dari sputum pada
anak menjadi masalah karena memerlukan tindakan bronkoskopi.
Kombinasi antibiotika bisa sangat bermanfaat untuk pasien bila
digunakan dengan indikasi yang tepat. Namun sayang di Indonesia,
kombinasi antibiotika sering digunakan secara berlebihan dan tidak
terarah. Indikasi yang benar untuk penggunaan kombinasi antibiotika
ialah:
–– Untuk infeksi yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis kuman
yang peka terhadap antibiotika yang berbeda. Misalnya infeksi intra
abdominal akibat perforasi usus, biasanya disebabkan oleh infeksi
kuman Gram negatif, Gram positif, dan kuman anaerob. Dengan
demikian perlu diberikan sefalosporin generasi ketiga, gentamisin,
dan metronidazol.
–– Infeksi oleh mikroba tertentu yang sudah diketahui tidak boleh diobati
dengan antimikroba tunggal. Misalnya tuberkulosis, lepra, dan HIV.
–– Terapi awal pada infeksi berat (misalnya sepsis). Pada keadaan ini
terapi antibiotik harus dimulai segera, karena keterlambatan terapi
dapat berakibat fatal bagi pasien. Misalnya sepsis.
–– Untuk infeksi tertentu di mana sudah dibuktikan bahwa antibiotika
tunggal tidak cukup untuk mengatasi infeksi. Misalnya: endokarditis
bakterial oleh Streptococcus viridans. Di sini diberikan kombinasi benzil
penisilin G dengan gentamisin.

Dalam menghadapi infeksi berat (misalnya sepsis), terapi antibiotika


harus segera dimulai tanpa mengunggu hasil biakan. Dalam kondisi yang
membahayakan dibenarkan memberikan antibiotika kombinasi dengan
dosis tinggi secara IV. Bila kondisi pasien membaik dalam beberapa
hari, maka dilakukan pengurangan jenis antibiotika sesuai dengan hasil
biakan. Strategi ini dikenal dengan de-eskalasi. Bila kondisi pasien

4
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

sudah stabil dan sudah bisa menerima obat per oral, maka secepatnya
pemberian obat parenteral diganti dengan pemberian per oral. Telah lama
diketahui orang bahwa tusukan jarum infus merupakan tempat masuknya
infeksi nosokomial. Tindakan ini dikenal dengan switching. Strategi ini
mengurangi kemungkinan infeksi nosokomial dan juga mengurangi biaya
obat.
Sebagian klinikus mengabaikan hasil kultur karena merasa bahwa
dengan hasil awal yang baik pada awal terapi, maka sebaiknya terapi jangan
diubah lagi dan pemberian kombinasi antimikroba diteruskan untuk
jangka waktu relatif lama. Tindakan ini dapat menimbulkan kesulitan
baru karena memicu berkembangnya kuman yang resisten terhadap
banyak obat, menambah kemungkinan timbulnya efek samping obat, dan
meningkatkan biaya pengobatan.

3. Apakah AM yang akan digunakan itu tepat diberikan untuk pasien anak?
Dalam pengembangan obat baru (termasuk antimikroba), subjek yang
digunakan ialah orang dewasa. Anak dan bayi tidak diikutsertakan
karena mereka tergolong subjek yang vulnerable sehinga perlu diberikan
perlindungan khusus. Dari segi ini tentu kebijakan itu dianggap baik,
namun konsekuensinya ialah terjadi kekurangan data keamanan dan
efektivitas antimikroba baru. Sebagai contoh banyak kuman gram negatif
maupun kuman gram positif penyebab infeksi berat pada orang dewasa yang
secara efektif dan aman dapat dihambat oleh golongan fluorokuinolon.
Pada kasus anak, obat ini tidak digunakan karena kekhawatiran akan
terjadinya kerusakan sendi yang secara konsisten terlihat pada hewan
coba.
Beberapa faktor risiko yang harus diperhatikan ketika suatu AM
akan diberikan pada anak ialah:
–– Adanya riwayat alergi terhadap AM tersebut.
–– Fungsi ginjal dan hati pada neonatus dan bayi muda mungkin belum
berfungsi baik sehingga klirens obat belum sebaik orang dewasa.
–– Daya tahan anak terhadap infeksi juga belum sebaik pada orang
dewasa.
–– Adanya kelainan genetik: anak dengan defisiensi glukosa-6-
fosfat dehidrogenase cenderung mengalami hemolisis bila diberi
kloramfenikol, sulfonamid, primakuin, dll.

4. Apakah diberikan dosis dan rute yang tepat?


Dewasa ini pengetahuan mengenai pharmacokinetics and pharmacodynamics

5
Introduksi Penggunaan Antibiotika yang Rasional pada Anak

(PK/PD) AM diyakini sangat berpengaruh untuk mematikan secepat


mungkin kuman penyebab infeksi.7 Matinya kuman dalam waktu yang
singkat ini bukan saja akan menurunkan mortalitas, tapi juga mengurangi
penyebaran resistensi karena kuman mati tidak bisa berproliferasi lagi. Di
dalam konsep PK/PD dibedakan AM yang bersifat concentration dependent
dan yang bersifat time dependent dalam mematikan kuman. AM yang
bersifat concentration dependent akan memberikan efek bakterisidal yang
optimal bila diberikan dengan dosis cukup tinggi secara bolus intravena.
Yang termasuk golongan ini ialah gentamisin, amikasin, tobramisin, dll.
AM yang bersifat time dependent memberikan efek maksimal
untuk mematikan kuman bila diberikan dengan infus kontinyu. Kadar
puncak obat yang tinggi sekali tidak bermanfaat. Yang diperlukan ialah
mempertahankan kadar obat sedikit di atas Kadar Hambat Minimal
(Minimal Inhibitory Concentration, MIC) kuman untuk waktu yang cukup
lama (biasanya 40% dari interval dosis). AM yang termasuk kelompok ini
ialah golongan penisilin, sefalosporin dan karbapenem.

5. Apakah AM diberikan dalam jangka waktu (duration) yang tepat?


Banyak klinikus berpendapat bahwa terapi antibiotika yang ideal adalah 5
hari agar tidak terjadi resistensi. Pandangan ini tidak selalu benar karena
sebenarnya makin lama antibiotika diberikan, makin besar kemungkinan
terjadinya resistensi. Selain itu lamanya pengobatan juga tergantung dari
jenis infeksi dan jenis antibiotika yang dipakai.
Untuk pengobatan sepsis dan infeksi akut yang mengancam jiwa,
dewasa ini banyak ahli berpendapat bahwa 48-72 jam setelah dimulainya
terapi sudah harus dinilai apakah pemberian AM dapat dihentikan atau
dimodifikasi, misalnya bila pada awal pengobatan diberikan 2 macam AM,
apakah dapat dikurangi menjadi 1 macam. Yang pada awalnya diberikan
AM berspektrum lebar, apakah dapat diberikan AM berspektrum sempit.
Yang tadinya diberikan per infus intravena, apakah dapat diberikan per
oral (switching). Tindakan-tindakan ini sering disebut de-eskalasi dan
merupakan bagian integral dalam antimicrobial stewardship.8

Ringkasan langkah-langkah pemilihan dan penggunaan


antibiotika yang rasional pada anak:

6
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

yy Tentukan diagnosis klinik dengan memperhatikan anamnesis, keluhan,


dan gejala klinik.
yy Upayakan menegakkan diagnosis etiologi: Ini dapat dilakukan dengan
cara empiris maupun pemeriksaan biakan dan uji kepekaan, tergantung
dari diagnosis kliniknya.
yy Pilih antibiotika yang merupakan obat pilihan utama untuk etiologi yang
bersangkutan. Bila tidak dapat diberikan karena sesuatu sebab (misalnya
alergi), maka digunakan antibiotika lini kedua atau pilihan kedua. Obat
pilihan utama dapat dilihat di berbagai buku ajar atau literatur yang
objektif. Perlu diperhatikan juga apakah obat itu cocok untuk pasien yang
bersangkutan dan apakah harganya terjangkau oleh pasien. Kombinasi
AM hanya boleh diberikan bila tidak ada indikasinya. Cara dan lama
pemberian AM harus ditentukan dengan baik.
yy Untuk pasien berobat jalan, perlu dijelaskan kepada orang tua pasien
bagaimana cara menggunakan dan menyimpan antibiotika itu dengan
cara yang baik dan benar. Jelaskan juga antisipasi efek samping yang
mungkin timbul serta kapan pasien harus kembali untuk pemeriksaan
lanjutan. Lakukan pemeriksaan follow up, dan tentukan apakah terapi
harus diteruskan, dihentikan, atau dimodifikasi.
yy Untuk pasien rawat inap, kondisi pasien harus dievaluasi setiap hari, bahkan
lebih sering lagi, tergantung dari jenis dan beratnya infeksi. Bila hasil
pemeriksaan biakan sudah tersedia, harus diputuskan apakah pemberian
antibiotika harus dihentikan, diteruskan, diganti, atau dimodifikasi cara
pemberiannya. Pemberian antibiotik yang berkepanjangan hampir selalu
menimbulkan masalah resistensi kuman, karena itu harus dihentikan bila
kondisi klinis pasien sudah memungkinkan.
yy Perhatikan juga apakah infeksi mungkin menyebar pada anggota keluarga
lain sehingga perlu pemeriksaan atau pencegahan terhadap anggota
keluarga yang lain.

Simpulan
Penggunaan antibiotika yang baik pada anak merupakan upaya untuk
menggunakan antibiotika menurut konsep antibiotic stewardship yang
mecakup pilihan, indikasi, cara pemberian, lama pemberian, dan pasien yang
tepat. Penerapan antibiotic stewardship terbukti bukan saja mampu menekan
perkembangan resistensi kuman, tetapi juga mengurangi risiko efek samping
dan biaya pengobatan.

Daftar pustaka
1. Nyquist AC, Gonzales R, Steiner JF, Sande MA. Antibiotic prescribing for children

7
Introduksi Penggunaan Antibiotika yang Rasional pada Anak

with colds, upper respiratory tract infections, and bronchitis, J Am Med Assoc
1998; 279: 875-7
2. Ingram PR, Seet JM, Budgeon CA, Murray R. Point-prevalence study of
inappropriate antibiotic use at a tertiary Australian hospital. Internal med J.
2012;42:719-21.
3. Levin PD, Idrees S, Sprung CL, et al. Antimicrobial use in the ICU: indications
and accuracy–an observational trial. J of hosp med : an official publication of the
Society of Hospital Medicine. 2012;7:672-78.
4. Larsson M, Kronvall GG, Chuc NTK, Karlsson I, Lager F, Hanh HC, et al.
Antibiotic medication and bacterial resistance to antibiotics: a survey of children
in a Vietnamese community. Trop Med Int Health 2000; 711-21.
5. Spellberg B, Guidos R, Gilbert D, Bradley J, Boucher HW, Scheld WM, et al.
The epidemic of antibiotic resistant infections: a call to action for the medical
community from the Infectious Diseases of America. Clin Infect Dis 2008;
46:155-64
6. Quintiliani R Sr and Quintiliani R Jr. Pharmacokinetics/Pharmacodynamics for
critical care clinicians. Crit Care Clin. 2008;24:335-48
7. Masterton RG. Antibiotic de-escalation. Crit Care Clin 2011; 27: 149-162

8
Antibiotic Resistance Control Program
(Arcp) in Indonesia
Taralan Tambunan

Tujuan:
1. Memahami masalah mikroba resisten secara global dan nasional
2. Memahami pencegahan peningkatan mikroba resisten
3. Memahami strategi pengendalian resistensi antimikroba
4. Memahami konsep antimicrobial stewardship program

Kemampuan mikroorganisme menjadi resisten terhadap berbagai antimikroba


telah lama diketahui dan disadari semakin meningkat. Peningkatan resistensi
kuman terhadap berbagai antimikroba khususnya antibiotik merupakan
ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.1 Resistensi terhadap antimikroba
telah menjadi masalah global dan tidak ada satu negarapun yang secara
tersendiri mampu mengatasi masalah global ini. Dalam upaya menyikapi
masalah global ini sidang organisasi kesehatan sedunia ke 68 tahun 2015
mencanangkan rencana aksi global mengatasi resistensi kuman terhadap
antimikroba (global action plan on AMR = GAP AMR).2
Selanjutnya dalam sidang umum Majelis Kesehatan sedunia World
Health Assembly New York tahun 2016 telah dibahas masalah resistensi
antimikroba. Sidang tersebut mendorong agar setiap negara mampu
menerapkan program yang digagas dalam GAP-AMR menjadi rencana aksi
nasional di negara masing-masing termasuk Indonesia3 karena tanggung
jawab utama penanganan resistensi antimikroba ini menjadi tanggung jawab
nasional tiap Negara.1 Dengan tersusunnya National action plan on antimicrobial
resistance (NAP-AMR) Indonesia 2017-2019, maka program pengendalian
resistensi antimikroba di Indonesia diharapkan dapat berjalan lebih terarah
dan terwujud secara nyata.

Timbulnya resistensi kuman terhadap antimikroba


Masalah timbulnya resistensi kuman terhadap antimikroba khususnya
antibiotik (dikenal dengan istilah resistensi antimikroba) merupakan masalah

9
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia

kesehatan masyarakat secara global.1 Berbagai mikroba termasuk bakteri,


virus dan protozoa sebagai penyebab penyakit infeksi menjadi kebal atau
resisten terhadap berbagai antimikroba dan bila tidak ditangani secara serius
dan bijaksana, situasi dapat kembali seperti zaman pre antibiotik4 atau bahkan
tiba pada situasi yang lebih gawat yang dikenal sebagai era post antibiotik yaitu
bila kuman yang biasa saja tidak bisa lagi ditangani dengan antibiotik yang
ada saat ini.5
Masalah resistensi antimikroba sebenarnya merupakan fenomena
alamiah. Resistensi dapat timbul sebagai reaksi atas terpaparnya mikroba
terhadap antimikroba.4 Resistensi dapat timbul akibat mutasi spontan gen
dalam satu populasi bakteri, maupun akibat perpindahan materi genetik
pengkode sifat resisten secara horizontal dari satu kuman ke kuman lain atau
vertikal dari sel induk ke anaknya.6 Resistensi mikroba juga dapat timbul akibat
proses seleksi (selective pressure) terutama di rumah sakit akibat penggunaan
antibiotik.7 Dalam suatu paparan kuman terhadap antibiotik, kuman yang
sensitif akan mati sedangkan mikroba yang resisten dapat bertahan hidup
dan berkembang sehingga akibat proses seleksi ini timbullah koloni kuman
yang resisten dan menyebar. Makin sering terpapar dengan berbagai antibiotik
makin tinggi angka resistensi. Dapat dipahami bahwa penggunaan antibiotik
yang tidak tepat akan meningkatkan pola resistensi kuman.4
Peningkatan pola resistensi antibiotik sangat berkorelasi dengan
peningkatan penggunaan antibiotik. Resistensi ternyata dapat bertahan selama
6 bulan setelah terpapar dengan antibiotik.8 Oleh sebab itu para klinisi harus
menanyakan riwayat penggunaan antibiotik 6 bulan sebelumnya untuk memilih
antibiotik yang akan diresepkan.
Setelah kuman resisten timbul dan berkembang, transmisi kuman resisten
dapat terjadi melalui kontak langsung antara pasien dengan pasien lain atau
melalui tenaga kesehatan kepada pasien lain maupun melalui berbagai alat
kesehatan yang digunakan.1,4 Oleh sebab itu pencegahan transmisi mikroba
merupakan satu metoda pencegahan terhadap peningkatan resistensi mikroba.
Dalam hal ini peranan petugas kesehatan sangat penting dalam pencegahan
transmisi mikroba.
Selain di rumah sakit, resistensi mikroba juga terjadi di semua lini
yang menggunakan antibiotik dalam terapi. Studi meta-analisis di Inggris
menyatakan bahwa hampir 80% antibiotik diresepkan di pusat kesehatan
primer/primary health care.8 Berbagai jenis antibiotik juga marak digunakan di
luar bidang kesehatan manusia. Hanya sekitar 50% antibiotik yang beredar di
pasaran yang diresepkan untuk terapi pada manusia, sisanya digunakan dalam
pakan ternak sebagai growth promoter.1,3-5 Antimikroba juga ditambahkan ke
dalam air dalam tambak atau kolam ikan untuk mencegah penyakit pada ikan.4
Sebagian besar antibiotik yang digunakan pada manusia juga terdaftar sebagai

10
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

antibiotik yang diresepkan pada hewan. Ditemukan juga bukti bahwa kuman
resisten seperti salmonella, kampilobakter dan enterokokus yang menyerang
manusia berasal dari hewan.4

Upaya pengendalian timbulnya mikroba resisten


Upaya pengendalian timbulnya resistensi antimikroba sudah dimulai sejak
lebih kurang 20 tahun yang lalu. Menindak-lanjuti resolusi tentang resistensi
antimikroba, WHO bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan
strategi global dalam pencegahan timbulnya resistensi antimikroba.9 Sidang
tersebut mendorong agar setiap negara berupaya menggunakan antimikroba
secara tepat dan cost effective malarang penggunaan antibiotik di luar peresepan
oleh tenaga kesehatan yang professional, meningkatkan praktek pencegahan
transmisi mikroba serta mengurangi penggunaan antimikroba pada pakan
ternak. Dalam sidang kesehatan sedunia (World Health Assemby) pada bulan
Mei 2015 disimpulkan suatu rencana aksi global (global action plan) yang
memuat 5 sasaran yaitu5
yy Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang pengendalian resistensi
antimikroba melalui komunikasi pendidikan dan pelatihan efektif
yy Meningkatkan pengetahuan dan bukti melalui survelans dan penelitian
yy Menurunkan insidens infeksi melalui tindakan sanitasi, hygiene dan
pencegahan infeksi yang efektif
yy Mengoptimalkan penggunaan antimikroba dalam pengobatan terhadap
manusia dan hewan
yy Mengembangkan investasi untuk penemuan pengobatan, metode
diagnostik dan vaksin baru untuk mengurangi berkembangnya masalah
resistensi antimikroba.

Rencana aksi tersebut menekankan kebutuhan pendekatan “one health”


yang efektif dengan mengikut-sertakan berbagai sektor dan upaya kolaborasi
antara professional terkait kesehatan dan para professional yang membantu
antara lain bidang kedokteran, kedokteran hewan, pertanian, keuangan,
lingkungan dan para konsumen yang berkepentingan. Ringkasnya resistensi
antimikroba merupakan krisis yang harus ditangani segera.5
Kemampuan menangani infeksi membutuhkan tersedianya antimikroba
yang efektif, aman, nyaman dan harga terjangkau dan diresepkan secara tepat
dan akurat. Untuk menjamin pengobatan terhadap infeksi berat dengan
antibiotik yang baru dan tepat guna, dibutuhkan survelans, riset, laboratorium
yang handal, sistem kesehatan manusia dan hewan serta edukasi dan pelatihan
dalam sektor kesehatan manusia dan hewan.3

11
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia

Sejalan dengan aksi global penanganan resistensi antimikroba atau GAP-


AMR. Indonesia juga turut mengembangkan rencana aksi nasional yang
disebut NAP-AMR. Rencana aksi nasional (RAN) ini mendapat sokongan
kuat dari World Health Organization (WHO). Food and Agriculture Organization
of the United Nation (FAO) dan World Organisation of Animal Health (OIE).3
Sejalan dengan rencana aksi global (GAP), resistensi antimikroba yang
didasarkan pada lima prinsip implementasi, termasuk pendekatan “one health”
yang mengikat semua sektor untuk menjaga efektivitas antimikroba dalam
program pengendaliannya (stewardship). Rencana aksi nasional (RAN), PRA
Indonesia dibangun dengan lima tujuan strategis sesuai dengan rencana aksi
global (GAP).
Semua tujuan strategis tersebut bersama dengan rincian kegiatan
akan memberikan pemahaman dasar yang berguna untuk mengungkapkan
masalah resistensi antimikroba di Indonesia. Bersamaan dengan itu, Komite
Pengendalian Resistensi Antimikroba Nasional (KPRA Nasional = National
antimicrobial resistance control committed, NARCC) 3 sebagai perwakilan
pemerintah berkewajiban menyelesaikan rancangan operasional, anggaran,
monitoring dan evaluasi sebelum melaksanakan semua kegiatan dalam rencana
strategi ini.
KPRA Nasional terdiri atas para ahli yang berasal dari kementerian
serta perwakilan lembanga swadaya masyarakat (LSM), korporasi, perwakilan
kelompok masyarakat, media dan badan internasional yang berkecimpung
dalam pengendalian resistensi antimikroba. Mekanisme tata kelola terdiri
dari steering committee (SC) tingkat tinggi antar kementerian. KPRA Nasional
dengan perwakilan KPRA dari masing-masing kementerian dan kelompok
kerja antar sektor yang akan menentukan tujuan strategis aksi global dan
satuan tugas yang ditugaskan oleh masing-masing kelompok kerja.3 Karena
tujuan akhir pengendalian resistensi antimikroba adalah untuk meningkatkan
kesehatan manusia, SC akan dibentuk di bawah koordinasi Kementerian
Kesehatan.

Pengendalian resistensi antimikroba di Indonesia


Sejak WHO mengumumkan bahwa masalah resistensi antimikroba telah
menjadi isu global, maka setiap negara turut berpartisipasi aktif.4 Upaya
menekan resistensi antimikroba juga mulai diterapkan di Indonesia melalui
riset yang disebut antimicrobial resistance in Indonesia: prevalence and prevention
yang terkenal dengan sebutan AMRIN study yang berlangsung antara tahun
2001 sampai 2005.10 Hasil AMRIN study juga menunjukkan bahwa masalah
resistensi antimikroba juga dijumpai di Indonesia. Untuk mengatasi masalah
ini Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencanangkan terbentuknya

12
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) di rumah sakit di


Indonesia. PPRA dibentuk melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia (PERMENKES) dengan nomor 8 tahun 2015.11
PPRA dibentuk dengan landasan hukum yang kuat yaitu Undang-Undang
no.36 tahun 2009 tentang kesehatan12 dan Undang-Undang tahun no.44 tahun
2009 tentang rumah sakit.13 PERMENKES ini digunakan sebagai acuan bagi
rumah sakit dalam upaya pengendalian resistensi antimikroba agar PPRA di
rumah sakit berlangsung secara baku, terukur dan terpadu. Strategi PPRA di
rumah sakit dilakukan dengan cara:
yy Mengendalikan berkembangnya mikroba resisten akibat tekanan seleksi
oleh antibiotik melalui penggunaan antibiotik secara bijak.
yy Mencegah penyebaran mikroba resisten melalui peningkatan ketaatan
terhadap prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi.
Penggunaan antimikroba secara bijak yaitu penggunaan antimikroba
yang cost-effective dengan efek terapi yang maksimal sekaligus dengan efek
toksik minimal dan dampak minimal terhadap munculnya mikroba resisten.17
Penggunaan antibiotik secara bijak dilaksanakan melalui pemilihan antibiotik
sesuai dengan penyebab infeksi dengan regimen dosis optimal, lama pemberian
optimal, efek samping minimum dan interval yang tepat. Pemilihan jenis
antibiotik untuk mengatasi infeksi bakteri harus berdasarkan hasil pemeriksaan
mikrobiologi4,11 atau berdasarkan pola mikroba dan pola kepekaan antibiotik
dan diarahkan pada antibiotik berspektrum sempit untuk mengurangi tekanan
seleksi (selection pressure).

Pelaksanaan PPRA di rumah sakit dilakukan melalui:


yy Pembentukan tim pelaksana program PPRA
yy Penyusunan kebijakan dan panduan pengguaan antibiotik
yy Melaksanakan penggunaan antibiotik secara bijak
yy Melaksanakan prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi
Tim pelaksana PPRA dibentuk melalui keputusan kepala/direktur
rumah sakit. Tim pelaksana bertanggungjawab langsung kepada kepala/
direktur rumah sakit. Tugas dan fungsi tim pelaksana PPRA pada dasarnya
ialah membantu pimpinan rumah sakit dalam menetapkan kebijakan tentang
pengendalian resistensi antimikroba, termasuk menetapkan kebijakan umum
dan panduan penggunaan antibiotik di rumah sakit. Semua tugas dan fungsi
tim pelaksana PPRA dijelaskan dalam pasal 9 PERMENKES no.8 tahun 2015.11
Keanggotaan tim pelaksana PPRA diatur dalam pasal 8 PERMENKES
no. 8 tahun 2015, sedikitnya terdiri dari unsur:
yy Klinisi perwakilan SMF/bagian
yy Keperawatan

13
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia

yy Instalasi farmasi
yy Laboratorium mikrobiologi klinik
yy Komite/tim pencegahan pengendalian infeksi (PPI) dan
yy Komite /tim farmasi dan terapi (KFT)

Keanggotaan tim pelaksana PPRA harus merupakan tenaga kesehatan


yang kompeten sebagai pilar pendukung terlaksanaya kegiatan PPRA10 serta
mampu menerapkan pengendalian dan pencegahan infeksi (infection control)
dan menghambat perkembangan bakteri resisten antibiotik.15 Rumah sakit
yang belum memiliki sarana penunjang seperti pemeriksaan mikrobiologi
diharapkan dapat melengkapinya, karena tanpa fasilitas laboratorium
mikrobiologi yang handal, pengendalian resistensi antimikroba sulit terwujud.14
Penerapan program ini dimulai di rumah sakit pendidikan di Indonesia dan
selanjutnya dikembangkan ke seluruh rumah sakit secara bertahap melalui
proses pengampuan oleh rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan.14
Dalam rangka mengendalikan penggunaan antibiotik baik di fasilitas pelayanan
kesehatan dan di masyarakat, Kementerian Kesehatan membentuk Komite
Pengendalian Resistensi Antimikroba.11
Melalui peraturan Menteri Kesehatan no. 2406 tahun 2011, Kementerian
Kesehatan RI menerbitkan Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik untuk
memberikan acuan bagi tenaga kesehatan menggunakan antibiotik dalam
pemberian pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan dalam
penggunaan antibiotik, serta pemerintah dalam kebijakan penggunaan
antibiotik.16 Selanjutnya tiap rumah sakit menyusun buku pedoman Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba sebagai dasar dan acuan dalam
Pembuatan Pedoman Penggunaan Antibiotik (PPAB) yang disesuaikan dengan
kondisi dan besarnya rumah sakit yang bersangkutan. PPAB tiap rumah sakit
disusun dalam bentuk panduan penggunaan antibiotik profilaksis dan terapi
dan mengacu pada
yy Pedoman umum penggunaan antibiotik
yy Pedoman nasional pelayanan kesehatan (PNPK)
yy Pola mikroba dan kepekaan antibiotik setempat.11

Implementasi PPRA di rumah sakit


Implementasi dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah
kesiapan rumah sakit dalam hal sarana, prasarana dan managemen. Sarana
utama terlaksananya program ini adalah empat pilar pendukung yaitu:14
yy Mikrobiologi klinik
yy Farmasi klinik

14
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

yy Komite farmasi terapetik


yy Komite pengendalian dan pencegahan infeksi

Setelah ke-empat pilar pendukung ini siap melaksanakan tugasnya


masing-masing dan mampu berkoordinasi dengan klinikus yang menangani
pasien maka tim PPRA ini sudah dapat memulai tugasnya. Pasien dengan
diagnosis kerja sebagai infeksi bakteri dapat diberi terapi empiris setelah terlebih
dahulu dilakukan biakan spesimen yang sesuai dengan kemungkinan asal
infeksi bakteri yang dicurigai. Pilihan antibiotik disesuaikan dengan pedoman
penggunaan antibiotik (PPAB) yang telah disusun berdasarkan pola kuman dan
pola kepekaan kuman di rumah sakit setempat.4,14 Penggunaan antibiotik baik
secara empiris, profilaksis maupun definitif dilakukan sesuai dengan prosedur
operasional baku penggunaan antibiotik yang dibuat bersama antara klinisi,
Komite Farmasi dan Terapi.14,18
Tim farmasi klinis memiliki peranan penting dalam mengatur penggunaan
antibiotik di rumah sakit agar tidak terjadi penggunaan yang berlebihan.4,14
Klasifikasi antibiotik disusun berdasarkan kewenangan dokter penanggung
jawab penanganan pasien (DPJP) dan pola kuman dan resistensi rumah sakit
setempat. Umumnya klasifikasi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok
antibiotik tanpa restriksi, kelompok restriksi dan kelompok antibiotik sangat
restriksi berdasarkan harga dan luasnya spektrum aktivitas antibiotik.4
Komite PPI rumah sakit bertanggung jawab terhadap penanganan dan
pencegahan transmisi kuman di rumah sakit dengan melakukan kewaspadaan
standar, isolasi pasien, penanganan sumber infeksi dan surveilans pola mikroba
penyebab infeksi dan kepekaannya terhadap antibiotik serta melaporkannya
secara bertahap.4,11
Sejalan dengan rencana aksi global maupun rencana aksi nasional
penanganan resistensi antimikroba yang menerapkan prinsip “one health”,
dewasa ini telah terjadi peningkatan kesadaran terhadap pentingnya
penanganan resistensi antimikroba di Indonesia. Melalui kegiatan world
antibiotic awareness week (WAAW) tahun 2017, Food and Agriculture
Organisation of the United Nations Emergency Center for Transboundary Animal
Disease (FAO-ECTAD) Indonesia bersama dengan Kementerian Pertanian
Republik Indonesia dan instansi terkait telah berhasil melaksanakan AAW
selama 7 hari di berbagai tempat di Indonesia dalam upaya meningkatkan
kesadaran akan bahaya yang timbul akibat penggunaan antimikroba yang
tidak terkendali.19

15
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia

Antibiotic stewardship program (ASP)


ASP didefinisikan sebagai intervensi terkordinasi yang dirancang untuk
menangani dan meningkatkan penggunaan antibiotik secara bijak melalui
pemilihan antibiotik yang tepat, dosis dan interval serta cara pemberian
yang tepat pula.20 Manfaat ASP antara lain meningkatkan hasil pengobatan,
mengurangi efek samping, meningkatkan kepekaan kuman terhadap antibiotik
serta optimalisasi penggunaan dana pengobatan.
Peningkatan penggunaan antibiotik secara bijak merupakan bagian
penting dalam keselamatan pasien (patient safety) serta merupakan bagian
rencana aksi nasional (RAN).3,21 ASP berbasis rumah sakit dapat menolong
praktisi klinis dalam mewujudkan patient safety sebagai ultimate goal penanganan
pasien di rumah sakit.21 Sejak bulan Januari 2017, ASP telah diterima oleh Joint
Commission sebagai standar dalam penanganan medis (medication management)
dengan kode MM.09.01.01

Unsur utama (core elements) ASP rumah sakit meliputi:21


yy Pimpinan yang bertanggung jawab dalam hal kebutuhan finansial dan
teknologi informasi
yy Akuntabilitas seorang yang bertanggung jawab terhadap program
yy Seorang ahli farmasi yang bertanggung jawab terhadap penggunaan
antibiotik bijak
yy Implementasi kegiatan yang direkomendasikan dalam satu periode
rancangan pengobatan
yy Kegiatan pemantauan peresepan antibiotik dan pola resistensi kuman
yy Pelaporan secara berkala dan berkesinambungan kepada dokter, perawat
dan anggota staf yang berkepentingan
yy Edukasi yang berkesinambungan terhadap resistensi antimikroba dan
peresepan yang optimal.

Kinerja ASP rumah sakit dapat ditingkatkan bila ditunjang oleh


tersedianya perangkat atau kelompok kerja lain yang berhubungan dengan
penanganan pasien antara lain klinisi yang handal dan terlatih sebagai
dokter penanggung jawab penanganan pasien, tenaga ahli dalam pencegahan
penyebaran infeksi, staf laboratorium yang ahli dalam bidangnya. Selain
itu kehadiaran ahli teknologi informasi sangat berguna dalam mengelola
data dan rekam medik elektronik (electronic health record = EHR). Peranan
tenaga perawat (nurse) juga sangat penting dalam perawatan umum pasien
dan pengambilan spesimen untuk keperluan pemeriksaan laboratorium dan
biakan kuman.21

16
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Simpulan
Resistensi kuman terhadap antimikroba khususnya antibiotik telah menjadi
masalah global dan tidak satu negara pun secara tersendiri mampu mengatasi
masalah resistensi antimikroba ini. Bila tidak ditangani secara serius dan
bijaksana situasi dapat berlanjut dan dunia dapat mengalami era post antibiotik
yaitu saat tidak ada satu antibiotik pun yang dapat diandalkan untuk mengatasi
masalah infeksi bakteri.
Masalah utama penyebab timbulnya resistensi antimikroba terutama di
rumah sakit maupun di pusat pelayanan kesehatan adalah akibat “pressure
selection” sebagai sebagai konsekuensi penggunaan yang tidak terkendali
(inappropriate use of antibiotics). Di samping itu penggunaan antibiotik sebagai
growth promoter pada peternakan maupun perikanan dan pertanian turut
meningkatkan terjadinya resistensi antimikroba.
Ada dua strategi utama yang dipilih sebagai cara mengatasi berkembangnya
resistensi antimikroba yaitu mencegah “pressure selection” melalui penggunaan
antibiotik secara bijak dan melakukan pencegahan terhadap transmisi kuman
dengan melakukan prinsip “general precaution”. Untuk melakukan tugas ini
pemerintah melalui Kementerian Kesehatan membentuk Komite Pengendalian
Resistensi Antimikroba sebagai pelaksana Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba (PPRA). Pada awalnya PPRA dibentuk di rumah sakit pendidikan
yang tersebar di seluruh Indonesia selanjutnya dengan sistem pengampuan
PPRA dibentuk di rumah sakit tingkat propinsi dan kabupaten dan diharapkan
setiap rumah sakit memiliki tim PPRA yang bertanggung jawab terhadap
pengendalian resistensi antimikroba di tempat masing-masing.
Kegiatan PPRA disokong oleh 4 pilar yang berperan langsung dalam
pelaksanaan pengamanan antibiotik secara bijak yaitu tim Mikrobiologi Klinik,
tim Farmasi Klinik, Komite atau tim Farmasi Terapi dan Komite Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi. Untuk mendukung pelaksanaan atau kinerja PPRA
perlu dibentuk antibiotic stewardship program (ASP) sebagai wadah untuk
intervensi terkordinasi untuk meningkatkan penggunaan antibiotik secara
bijak melalui pemilihan antibiotik yang tepat dosis dan interval yang tepat
pula. ASP diharapkan dapat meningkatkan hasil pengobatan, mengurangi efek
samping obat, dan meningkatkan kepekaan kuman terhadap antimikroba serta
optimalisasi penggunaan dana pengobatan. Agar ASP dapat berperan optimal
dibutuhkan komitmen/tanggung jawab pimpinan rumah sakit, dan tenaga
medis professional yang mampu melaksanakan program serta perangkat lain
seperti tersedianya ahli farmasi yang bertanggung jawab terhadap peningkatan
penggunaan antibiotik bijak.
Dengan telah terbentuknya rencana aksi tingkat nasional (national
action plan) yang menekankan pendekatan “one health” yang efektif dengan

17
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia

mengikutsertakan berbagai sektor dan upaya kolaborasi antara professional


terkait kesehatan antara lain bidang kedokteran, kedokteran hewan, pertanian,
keuangan, lingkungan dan sebagainya maka program pengendalian resistensi
antimikroba di Indonesia diharapkan dapat berlangsung lebih terarah dan
terwujud secara nyata.

Daftar pustaka
1. Smith RD, Coast J. Antimicrobial resistance. A global response. Bulletin of the
World Health Organisation 2002;80:126-130
2. World Health Organisation. Global action plan on antimicrobial resistance.
Geneva;2015. Diunduh dari http://www.who.int/antimicrobial-resistance/global-
action-plan/en/
3. National Action Plan on Antimicrobial Resistance, Indonesia 2017-2019.
Diunduh dari: https://puskespemda.net/download/national-action-plan-
antimicrobial-resistance-indonesia-2017-2019/
4. WHO perspectives on medicine. Containing antimicrobial resistance
WHO, Geneva, April 2005. Diunduh dari: http://www.who.int/management/
anmicrobialresistance.pdf
5. Ventola CL. The antibiotic resistance crisis. PT 2015;40:277-283. Diunduh dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4378521/
6. Kumarasami KK, Toleman MA, Walsh TR, Bagaria J, Butt F, Bolakrishnan R, et
al. Emergence of new antibiotic resistance mechanism in India, Pakistan, and
the UK: a mollecular, biological, and epidemiological study. Lancet Infect Dis
2010;10:597-602
7. Simonsen GS, Tapsall JW, Allegranzi B, Talbot EA, Lazzari S. The antimicrobial
resistance containment and surveillance approach – a public health tool. Bulletin
of the World Health Organisation 2004;82:928-934.
8. Bryce A, Hay AD, Lane IF, Thornton HV, Wootton M, Costelloe C. Global
prevalence of antibiotics resistance in paediatric urinary tract infections caused by
eschericloia coli and association with national use of antibiotics in primary care:
Systematic review and meta-analysis. Brit Med J 2016;352: i939.doi:10.1136/
bmj.i939. Published online 2016, Mar 2015
9. World Health Organisation. WHO global strategy for containment of
antimicrobial resistance. Prioritization and implementation workshop. Geneva
12-14 September 2000. Diunduh dari: http://www.who.int/drugresistance/
WHO_Global_Strategy.htm/en/
10. AMRIN study group 2005. Antimicrobial resistance, antibiotic usage and
infection control. A self-assessment program for Indonesian hospitals. Directorate
General of Medical Care, Ministry of Health, Republik of Indonesia. Diunduh
dari: http://www.who.int/drugresistance/WHO_Global_Strategy.htm/en/
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 8 tahun 2015 tentang
Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit (lembaran negara
Republik Indonesia tahun 2009 nomor 144, tambahan lembaran negara Republik
Indonesia nomor 5063). Diunduh dari: https://ghsaindonesia.files.wordpress.

18
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

com/2016/02/peraturan-menteri-kesehatan-ri-no-8-tahun-2015-tentang-
pengendalian-resistensi-antimikroba-di-rumah-sakit.pdf
12. Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan (lembaran negara
Republik Indonesia tahun 2009 nomor 144, tambahan lembaran negara Republik
Indonesia nomor 5063). Diunduh dari: http://www.depkes.go.id/resources/
download/general/UU%20Nomor%2036%20Tahun2%20009%20tentang%20
Kesehatan.pdf
13. Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit (lembaran negara
Republik Indonesia tahun 2009 nomor 153, tambahan lembaran negara Republik
Indonesia nomor 5072). Diunduh dari: http://www.depkes.go.id/resources/
download/peraturan/UU%20No.%2044%20Th%202009%20ttg%20Rumah%20
Sakit.PDF
14. Hadi U, Kuntaman, Qibtiyah M, Paraton H. Problem of antibiotic use and
antimicrobial resistance in Indonesia: are we really making progress? Indon J
Tropical and Inf Dis. 2013:5-8
15. Handayani RS, Siahaan S, Herman MJ. Antimicrobial resistance and its control
policy implementation in hospital in Indonesia. J Penelitian dan Pengembangan
Pelayanan Kesehatan 2017;1:131-140
16. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 2406/MENKES/PER/
XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Diunduh dari: http://
peraturan.go.id/permen/kemenskes-nomor-2406-menkes-per-xii-2011-tahun-
2011-11e44c50ca1edff09638313233313030.html
17. WHO global strategy for containment of antimicrobial resistance. WHO,
Switzerland 2001. Diunduh dari: http://www.who.int/drugresistance/WHO_
Global_Strategy_English.pdf
18. Penggunaan antibiotik terapi. Modul workshop. Implementasi PPRA di rumah
sakit, edisi kedua. Naskah lengkap Workshop Komite Pengendalian Resistensi
Antimikroba. Direktorat Jenderal Bina Upaya Keseshatan Kementerian
Kesehatan RI, tahun 2015, hal.29-36
19. FAO.org Indonesia. Indonesia raising awareness on antimicrobial resistance.
Diunduh dari www.fao.org/indonesia/new/detail-event/en/c/1069206 tanggal
26 Maret 2018
20. Barlam TF, Cosgrove SE, Abbo LM, McDougall C, Schultz AN, Septimus EJ,
et. Al. Implementing an antibiotic stewardship program: Guidelines by the
infectious disease society of America and society for healthcare epidemiology of
America. Clin Infect Dis 2016;62:e51-e77. http;//doi.org/10.1093/cid/ciw118.
Diunduh tanggal 9 April 2018
21. CDC antibiotic use for healthcare implementation resources: core elements of
hospital antibiotic stewardship programs. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/
antibiotic-use/healthcare/implementation/core-e. tanggal 9 April 2018
22. Approved: New antimicarobial stewardship standard. Joint Commission
Perspective. 2016;36:1-11

19
Antibiotic Usage:
Ethic and Patient Safety Issues
Yuli Budiningsih

Tujuan:
1. Mengenali dilema etik yang mungkin dihadapi selama
pemberian antibiotik
2. Membangun pola pikir yang logis dan sistematis dalam
menghadapi masalah etik
3. Mengenal stakeholders dan faktor yang berperan dalam
masalah etik
4. Menjabarkan solusi bagi permasalahan etik dalam pemberian
antibiotik
5. Menjelaskan mengenai pelaksanaan antibiotic stewardship dan
hubungannya dengan keselamatan pasien

Resistensi antibiotik merupakan hal yang nyata di dalam dunia kita saat ini.
Kita secara konstan melawan kuman yang terus berkembang dan semakin
resisten terhadap antibiotik yang ada saat ini. Pada Gambar 1, kita dapat
melihat bahwa untuk setiap antibiotik yang diciptakan, kuman-kuman akan
beradaptasi dengan cepat untuk menimbulkan resistensi setelahnya. Resistensi
terhadap antibiotik merupakan hal natural yang akan terjadi karena kuman
berusaha mempertahankan dirinya.1 Oleh sebab itu, tujuan kita saat ini adalah
untuk memperlambat terbentuknya resistensi tersebut.
Kita dapat melihat perlawanan manusia dengan menciptakan antibiotik
baru semakin lama semakin lemah karena kurangnya antibiotik-antibiotik baru
yang diperkenalkan, baik karena kurangnya atau terbatasnya sumber daya,
maupun karena bagi perusahaan farmasi, pengembangan antibiotik tidaklah
semenarik pengembangan obat-obatan lain yang digunakan dalam jangka
panjang seperti obat kemoterapi atau obat penyakit tidak menular.1
Dengan bertambahnya mortalitas, morbiditas, dan kerugian ekonomi
yang disebabkan oleh resistensi antibiotik ini, maka diperlukan strategi
untuk mencegah semakin banyaknya resistensi antibiotik. Terdapat berbagai
cara untuk mencegah resistensi, namun tetap harus dipikirkan dalam
pelaksanaannya, dokter tetap harus memikirkan etik kedokteran dengan
menimbang kebaikan bagi pasien dan khalayak luas.

20
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship


Gambar 1. Perbandingan jumlah resistensi bakteri dengan antibiotik baru di dunia1

Antibiotic stewardship
Saat ini sudah banyak panduan yang telah dicoba untuk dibuat agar dokter
dapat memilih antibiotik yang paling tepat sesuai dengan infeksi yang dialami
oleh pasien. Walaupun demikian, masih banyak kekurangan yang tidak
menjawab pertanyaan moral dan menginduksi dokter-dokter untuk berpikir
lebih jauh mengenai tujuan dari pemilihan antibiotik dan implikasinya terhadap
pasien.2 Dalam panduan saat ini, kebanyakan hanya mencakup pemberian
antibiotik “paling tepat” bagi suatu penyakit secara umum, tanpa memikirkan
pasien secara individu. Hal ini menimbulkan pertanyaan dan dilema etik
yang mungkin dialami dokter dalam kesehariannya, misalnya apakah seorang
dokter seharusnya menggunakan antibiotik yang sama bagi seluruh pasien
secara imbang, atau apakah boleh menggunakan antibiotik yang tidak sesuai
dengan panduan bila keadaan pasien dianggap tidak sesuai dengan antibiotik
yang diberikan dalam panduan. Pertanyaan lainnya misalnya bila pasien
meminta antibiotik spesifik tertentu dan bagaimana menimbang pemberian
antibiotik yang paling tepat. Apakah melakukan restriksi terhadap penggunaan
antibiotik merupakan hal yang bisa diterima dari sisi etik bila dilakukan demi
kepentingan bersama?3

Tujuan etik dalam pemberian antibiotik


Perlu diingat bahwa target pertimbangan etik dalam pengaturan antibiotic
stewardship memiliki tujuan akhir bukan untuk mengurangi kerugian sebesar
mungkin, namun untuk optimalisasi kebaikan.2 Oleh sebab itu, tujuan utama
tetap adalah untuk optimalisasi kebaikan dengan cara yang tidak merugikan

21
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia

pihak manapun. Dengan demikian, seluruh stakeholders tidak boleh melakukan


tindakan yang merugikan kepentingan pasien.
Dalam pemberian antibiotik yang etis, dokter harus tetap mengingat akan
kesembuhan pasien yang sedang dilayani sebagai yang paling utama, sehingga
walaupun meminimalkan antibiotik yang diberikan secara sembarangan,
harus dihindari restriksi pemberian antibiotik bagi pasien yang sekiranya
membutuhkan. Oleh sebab itu, tenaga kesehatan harus memiliki pengetahuan
yang baik mengenai penggunaan masing-masing antibiotik, algoritma
pemberian antibiotik, dan pertimbangan yang perlu dipikirkan dalam setiap
pengambilan keputusan.4

Pertanyaan etik penggunaan antibiotik


Masalah etik dalam resistensi antibiotik berawal dari adanya dua kutub berbeda
yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan panduan dan keputusan. Pada
satu kutub, dokter harus memberikan pelayanan yang optimum bagi pasien, dan
berusaha agar pasien tersebut mendapatkan pelayanan yang paling baik. Bila
hanya menilik kutub ini, maka dalam kondisi infeksi, adalah pada tempatnya
dokter memberikan antibiotik yang memiliki potensi paling kuat dan spektrum
luas, misalnya karbapenem.5 Di sisi lain, terdapat kutub kedua, yaitu perlunya
pembatasan antibiotik dan pemilihan antibiotik dengan seksama sehingga
tidak menimbulkan resistensi. Bila menilik dari sisi ini, maka dokter harus
se”bijaksana” mungkin menggunakan antibiotik, dengan risiko bahwa dokter
dapat menimbulkan harm pada pasien karena tidak memberikan terapi yang
optimum semerta-merta.2
Dalam strategi penggunaan antibiotik di rumah sakit untuk mengurangi
resistensi antibiotik, diperlukan keseimbangan di antara kedua kutub ini. Oleh
sebab itulah muncul berbagai pertanyaan etik yang nantinya akan membantu
dalam membentuk sistem yang optimal bagi seluruh stakeholders yang tergabung
di dalamnya.1
Dalam pelaksanaannya, banyak pertanyaan terkait etik yang tidak ada di
dalam guidelines. Berbeda dengan standar yang ada dalam panduan, seringkali
pasien merupakan individu yang berbeda-beda dengan kebutuhan yang
berbeda, dan tidak semuanya akan dapat mengkuti panduan. Oleh sebab itu,
pertanyaan-pertanyaan seperti di atas sebenarnya dapat dijawab apabila tenaga
kesehatan mengerti mengenai konsep pertimbangan etik dalam pemberian
antibiotik.
Pada dasarnya terdapat dua sisi yang berbeda dalam pertimbangan
etik pemberian antibiotik. Di satu sisi, seorang dokter harus memberikan
pelayanan yang optimal bagi pasien, dan pasien dapat memilih alternatif
pengobatan yang paling disetujui, dengan informed consent yang sesuai. Di sisi

22
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

lain, dalam pembatasan antibiotik, argumen etik yang paling sering dinyatakan
adalah bahwa pembatasan antibiotik merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan kebaikan orang banyak dan mencegah terjadinya mortalitas
dan morbiditas lebih lanjut.4 Berikutnya hal ini dapat membenarkan pemberian
tata laksana yang dibatasi dengan bijak. Walaupun demikian, masih ada yang
berpikir bahwa pembatasan tata laksana ini merupakan salah satu bentuk
pelanggaran terhadap hak pasien, karena dapat memperpanjang masa rawat,
menimbulkan mortalitas, dan komplikasi yang tidak diinginkan.

Kaidah etik penggunaan antibiotik


Perlu diketahui kaidah etik yang tercakup dalam pengambilan keputusan
penggunaan antibiotik. Kaidah autonomy mengutamakan keinginan dan
preferensi pasien, didukung dengan kaidah beneficence yang menggambarkan
perlunya seorang dokter memberikan pelayanan yang optimum bagi pasien.3
Dalam hal ini, banyak yang berargumen bahwa pemberian antibiotik yang
dikurangi dapat menyebabkan dampak negatif bagi pasien, sehingga tidak
seharusnya dilakukan. Di sisi lain, memikirkan justice berarti memikirkan
pasien-pasien potensial yang mungkin akan menjadi pasien namun belum
terjadi dan bagaimana tindakan yang dilakukan harus juga memikirkan
kerugian yang nantinya mungkin dihadapi.
Keseimbangan yang diharapkan dari penyelesaian masalah etik ini
bertujuan untuk memberikan pelayanan sebaik mungkin, sambil memutuskan
penggunaan antibiotik secara bijak. Dalam hal ini, terdapat beberapa batasan
yang cukup jelas, misalnya saja antibiotik tidak diberikan pada pasien yang
dicurigai mengalami infeksi virus, dan antibiotik diberikan dengan dosis
terapetik.2 Selanjutnya, terdapat kasus-kasus yang batasan ini menjadi
kurang jelas, misalnya saat etiologi infeksi tidak dapat ditemukan, atau pada
saat pasien dirasa tidak mengalami perbaikan setelah pemberian antibiotik.
Diperlukan panduan, namun lebih dari itu, dibutuhkan pemahaman mengenai
penggunaan antibiotik yang etis untuk mengambil keputusan paling bijak
mengenai pemberian, penggantian, dan penghentian antibiotik.1

Penyelesaian masalah etik penggunaan antibiotik


Langkah pertama untuk menyelesaikan masalah etik penggunaan antibiotik
adalah dengan mengidentifikasi stakeholders yang berperan dalam penggunaan
antibiotik terutama di lingkungan rumah sakit. Terdapat setidaknya 4 hal
yang perlu diperhatikan dalam mengatasi masalah etik dalam pemberian
antibiotik1, yaitu:

23
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia

yy Etik
–– Para pakar dalam hal etik harus mampu menyelaraskan pemberian
antibiotik pada pasien dengan kepentingan orang banyak, dan dengan
demikian memberikan pertimbangan yang adil dan dapat digunakan
secara umum dalam populasi.
yy Kebijakan
–– Berdasarkan panduan berbasis bukti, pemangku kebijakan harus
mampu membuat kebijakan dan aturan yang jelas sehingga bila ada
sengketa etik nantinya, akan dapat diselesaikan berdasarkan peraturan
tersebut. Peraturan yang dibuat harus mencakup perlu tidaknya
dilakukan informed consent dalam pemberian antibiotik, bagaimana
pemberian antibiotik dan bijak, serta keadaan-keadaan khusus yang
tidak mengikuti panduan, misalnya dalam kondisi syok septik maupun
infeksi yang berat.
yy Tenaga kesehatan
–– Tenaga kesehatan harus memiliki kemampuan yang mumpuni
mengenai antibiotik untuk mengambil keputusan, karena gerbang
akses terhadap antibiotik berada pada tenaga kesehatan. Peran dari
tenaga kesehatan termasuk di dalamnya memberikan edukasi mengenai
pemberian antibiotik yang baik dan benar kepada pasien, mencegah
pembelian antibiotik secara bebas, dan melakukan pemilihan terhadap
antibiotik yang diberikan untuk setiap pasien. Tenaga kesehatan
menginterpretasikan panduan dan peraturan yang telah dibuat untuk
diaplikasikan pada pasien sesuai dengan kebutuhan individual.
yy Industri
–– Sebagai bagian dari pencegahan resistensi antibiotik, industri berperan
besar dalam menentukan distribusi dari antibiotik untuk mencegahnya
sampai ke tangan yang tidak tepat. Industri juga membiayai dan
meneliti berbagai antibiotik baru yang walaupun semakin lama semakin
sedikit, namun dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi bahaya
resistensi antibiotik. Regulasi dalam produksi dan pendistribusian
antibiotik yang berkualitas akan membantu dalam penyelesaian
masalah.

Secara umum, perhitungan mengenai hak pasien sebenarnya sangat


sederhana, yaitu menyeimbangkan antara hak pasien dengan pencegahan
potensi kerugian yang mungkin dihadapi di masa depan. Model ini merupakan
model cost-benefit dan cost-effective yang formal, keseimbangan akan dicapai
bila kedua belah pihak diuntungkan secara kurang lebih sama besar.3

24
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Di sisi lain, terdapat pengecualian dan keadaan khusus yang memerlukan


perhitungan lebih detail mengenai hal ini. Hak pasien untuk mendapat
kesembuhan dengan antibiotik yang optimal dapat diprioritaskan dalam
keadaan khusus, misalnya pasien dengan keadaan yang gawat darurat atau
kronik dengan keadaan umum yang buruk. Pertimbangan khusus yang lebih
dari sekadar menyeimbangkan terapi pasien ini dengan keuntungan yang
akan didapat oleh pasien berikutnya diperlukan. Oleh sebab itu, harus ada
aturan yang mengatur kapan tindakan khusus boleh dan harus diambil untuk
mencapai pelayanan yang terbaik dengan tujuan mencapai “greatest good”.1
Walaupun memikirkan otonomi pasien, perlu dipikirkan juga mengenai
pembatasan dari otonomi pasien tersebut. Kebebasan dalam memilih yang
diberikan kepada pasien harus dibatasi pada keputusan yang tidak merugikan
orang lain dan dirinya sendiri. Analogi dalam otonomi yang terlalu luas
menyebabkan kerugian yang besar misalnya pada gerakan antivaksin.
Banyaknya yang menganggap otonomi berarti memilih sebebas-bebasnya
menyebabkan banyak orang yang berakhir tidak menyetujui vaksin bagi
anaknya dan menyebabkan outbreak yang seharusnya dapat dicegah. Dalam hal
ini, analogi di atas memiliki makna bahwa pembatasan pemberian antibiotik
merupakan salah satu cara yang mengurangi kerugian bagi pasien lain di masa
depan, dan sampai pada titik tertentu, mencegah penggunaan antibiotik
sembarangan yang juga dapat merugikan pasien sendiri.2
Harus diingat bahwa tujuan akhir dari pertimbangan etik adalah kebaikan
terbesar bagi pasien saat ini dan di masa depan. Oleh sebab itu, hal ini akan
berhubungan dengan perlindungan bagi pasien dengan membuat panduan
yang tidak merugikan keselamatan mereka. Dalam konsep keselamatan pasien/
patient safety, keselamatan pasien dan pencegahan dari resistensi antibiotik
adalah dengan mencuci tangan untuk mencegah penyebaran kuman.3 Namun,
lebih dari itu, konsep ini juga memikirkan kepentingan pasien walaupun
membuat peraturan demi kepentingan orang banyak, sehingga pemenuhan
tujuan dari penggunaan antibiotik yang etis akan mencapai juga keselamatan
bagi pasien.

Simpulan
yy Keseimbangan antara otonomi pasien dengan keadilan bagi pasien di masa
depan perlu ditegakkan
yy Panduan dan peraturan perlu mencakup etik sebagai salah satu
pertimbangan
yy Hingga titik tertentu otonomi pasien dapat dibatasi demi kepentingan
pasien dan orang banyak

25
Antibiotic Resistance Control Program (Arcp) in Indonesia

yy Keselamatan pasien dapat dicapai dengan menjalankan penggunaan


antibiotik yang etis dan sesuai aturan

Daftar pustaka
1. Leibovici L, Paul M, Ezra O. Ethical dilemmas in antibiotic treatment. Journal
of Antimicrobial Chemotherapy 2012; 67:12-6
2. Littman J. The ethical significance of antimicrobial resistance. Public Health
Ethics 2015; 8: 209-24
3. Littman J, Buyx A, Cars O. Antibiotic resistance: an ethical challenge. Int J
Microbiob Agents 2015; 46: 359-61
4. Garau J. Impact of antibiotic restrictions: the ethical perspective. Clinical
Microbiology and Infection 2006;12: 16-24
5. Leibovici L, Paul M. Ethical dilemmas in antibiotic treatment: focus on the elderly.
Clinical Microbiology and Infection 2015; 2: 27-9

26
Qualitative Evaluation of Antibiotic Uses:
Gyssen Method
Mulya Rahma Karyanti

Tujuan:
1. Mengetahui klasifikasi dasar penggunaan antibiotik
2. Mengetahui evaluasi penggunaan antibiotik dengan alur Gyssens
3. Mengetahui manfaat alur Gyssens

Antimicrobial resistance (AMR) atau resistensi antibiotik menjadi masalah


di dunia dan menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
Pada tahun 2014, World Health Organization (WHO) melakukan surveilans
untuk mengevaluasi beban resistensi antibiotik di dunia, terutama terhadap
obat tuberkulosis, malaria dan HIV.1 Peningkatan resistensi antibiotik dapat
disebabkan oleh karena penggunaan antibiotik yang berlebihan atau irasional
dan hal ini menjadi masalah yang dapat mengancam kesehatan manusia di
dunia.2
Penelitian dan pengembangan antibiotik baru, khususnya dengan inovasi
mekanisme baru melawan resistensi telah menurun sejak tahun 1980-an.
Resistensi antimikroba terjadi jika mikroorganisme (bakteri, virus, parasit dan
jamur) tidak respons lagi dengan antimikroba yang awalnya sensitif. Obat untuk
infeksi dapat kehilangan efeknya karena mikroba berubah, bermutasi atau
memperoleh informasi genetik resisten dari mikroorganisme lain. Fenomena
ini dipercepat dengan penggunaan dan penyalahgunaan obat-obat antimikroba
yang menyebabkan strain mikroba tertentu berhasil hidup dan beragregasi.
Masalah ini dapat terjadi jika pasien menggunakan obat yang dibeli sendiri
sehingga tidak sesuai indikasi, dosis yang tidak adekuat atau kualitas buruk
(obat palsu). Situasi ini mengakibatkan dampak yang merugikan seperti tidak
berespon terhadap terapi standar sehingga infeksi lebih sulit diatasi atau
dikontrol, lama perawatan bertambah dan biaya pengobatan juga meningkat
meningkat. Dampak akhirnya adalah angka mortalitas meningkat 2 kali lipat
dari pasien dengan infeksi bakteri non-resisten.1-3
Penggunaan antibiotik harus dilakukan dengan bijaksana didasarkan
pada pemahaman berbagai aspek dari penyakit infeksi. Faktor-faktor yang

27
Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kualitatif dengan Alur Gyssens

terkait dengan pertahanan tubuh pejamu, tingkat virulensi dan kepekaan


mikroorganisme, serta farmakokinetik dan farmakodinamik obat antibiotik
harus dipertimbangkan. Dalam upaya menjamin efikasi obat antimikroba
untuk jangka waktu yang panjang maka kualitas penggunaan antimikroba
harus maksimal dan penggunaan secara berlebihan dihindari. Pengobatan
yang optimal tercapai jika terjadi efikasi maksimum disertai dengan toksisitas
minimal untuk pejamu, biaya terjangkau, dan perkembangan resistensi mikroba
minimal. 4

Klasifikasi dasar penggunaan antibiotik


Pada fasilitas pelayanan kesehatan, obat antimikroba digunakan dalam tiga
tipe situasi (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi jenis terapi antimikroba dan definisinya.4


Terapi empirik Pemberian antibiotik untuk mengobati infeksi aktif dengan blind approach sebelum
mikroorganisme penyebab berhasil diidentifikasi dan diberikan antibiotik yang sesuai
Terapi definitif Pemberian antibiotik ditargetkan pada mikroorganisme spesifik penyebab infeksi
Terapi profilaksis Pemberian antibiotik untuk mencegah kemungkinan infeksi (yang belum terlihat atau
dalam masa inkubasi)

Kualitas terapi empirik dan profilaksis antimikroba terutama


ditentukan oleh ketersediaan data surveilans lokal tentang resistensi
antimikroba dan pengetahun dokter sebagai pembuat resep akan
epidemiologi lokal infeksi dan organisme penyebab infeksi. Laboratorium
mikrobiologi berperan dalam mengumpulkan, analisis, melaporkan data
surveilans, serta dalam pemilihan terapi empirik (“well-educated guess”)
atau profilaksis.
Pedoman untuk terapi empirik dan profilaksis yang didasarkan pada
surveilans ini sebaiknya tersedia pada setiap fasilitas pelayanan kesehatan.
Akses dari fasilitas laboratorium mikrobiologi penting untuk mengidentifikasi
patogen sehingga membantu menentukan terapi definitif sesuai kepekaan
kuman. Saat pasien dalam kondisi stabil, maka disarankan pemberian terapi
diubah dari parenteral menjadi oral dan dilanjutkan dengan rawat jalan.
Terapi antibiotik seharusnya dapat dipersingkat pada kesempatan awal. Studi
terbaru menunjukkan bahwa lama terapi antimikroba pada beberapa infeksi
dapat diperpendek.4

Evaluasi penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens


Evaluasi luaran pada audit penggunaan antibiotik dapat dikategorikan menjadi

28
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

luaran proses, luaran pasien dan parameter luaran secara mikrobiologi. Pada
makalah ini akan dibahas mengenai luaran proses dari perilaku peresepan
yang dievaluasi dengan metode Gyssens. Audit penggunaan obat antimikroba
didefinisikan sebagai analisis kelayakan terhadap peresepan individu. Walaupun
pendekatan ini memakan tenaga, audit merupakan metode paling lengkap
untuk menilai semua aspek terapi. Lebih dari itu, proses evaluasi dapat
digunakan sebagai alat edukasi. Timbal balik dari hasil audit dapat menjadi
bagian intervensi untuk memperbaiki peresepan.

Gambar 1. Algoritme alur Gyssens untuk evaluasi terapi antimikroba4

29
Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kualitatif dengan Alur Gyssens

Algoritme metode Gyssens untuk mengevaluasi setiap parameter penting


yang terkait dengan peresepan obat antimikroba dapat dilihat pada Gambar 1.
Dalam memperoleh suatu evaluasi yang lengkap, beberapa pertanyaan pada
Tabel 2 harus ditanyakan agar tidak ada parameter penting yang terlewat.
Pertanyaan dalam algoritme diklasifikasi dalam kategori penggunaan yang
baik untuk menstrukturisasi dan mengakselerasi proses evaluasi. Dengan
menggunakan algoritme, para ahli dapat mengkategorisasikan peresepan secara
individu. Peresepan dapat menjadi tidak sesuai untuk alasan yang berbeda
pada waktu bersamaan dan dapat digantikan lebih dari satu kategori. Selama
prosedur evaluasi, algoritme dikerjakan secara berurutan dari atas sampai
bawah untuk mengevaluasi setiap parameter yang berhubungan dengan luaran
proses. Semua parameter ini dijelaskan pada diagram di bawah (Gambar 1).4,5

Tabel 2. Kriteria evaluasi kualitas terapi antimikroba


Apakah informasi untuk mengikuti kategorisasi sudah cukup?
Apakah gambaran klinis sesuai dengan infeksi? Apakah ada indikasi untuk pengobatan dengan antibiotik?
Apakah ada pilihan obat antimikroba yang adekuat?
a) Efikasi: apakah senyawa (tersangka) aktif?
b) Toksisitas/Alergi: Apakah ada alternatif yang kurang toksik?
c) Biaya: Apakah ada alternatif dengan biaya yang lebih murah dengan efikasi dan toksisitas yang sama?
d) Keluasan spektrum: apakah spektrum tidak perlu lebar/luas?
Apakah durasi pengobatan sesuai?
Terlalu panjang
Terlalu pendek
Apakah dosis benar?
Dosis
Interval
Rute pemberian
Apakah waktu pemberiannya tepat?
Terlalu dini
Terlalu lambat

Kategori VI: Apakah informasi untuk mengikuti kategorisasi sudah cukup?


Jika informasi dari status medik terkait pengobatan tidak cukup, evaluasi tidak
dapat dilakukan. Ada atau tidaknya data yang lengkap untuk meresepkan obat
antimikroba berhubungan dengan kualitas.

Kategori V: Apakah gambaran klinis sesuai dengan infeksi? Apakah ada


indikasi untuk pengobatan dengan antibiotik?
Infeksi berat sering dimulai dengan demam. Sebaliknya, demam tidak
selalu disebabkan oleh adanya infeksi. Pengetahuan tentang penyakit
infeksi dan fasilitas mikrobiologi penting untuk membedakan pasien yang
memerlukan antibiotik dari pasien yang tidak memerlukan antibiotik.

30
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Kategori IV: Apakah pilihan obat antimikroba sesuai?


a. Efikasi: Apakah mikroorganisme penyebab sensitif?
Terapi empiris sering terdiri dari obat berspektrum luas dengan dosis tinggi
atau dengan kombinasi obat. Pilihan senyawa antimikroba yang bijaksana
hanya dapat diharapkan dokter mengetahui organisme penyebab dan
pola kepekaan yang ada di rumah sakit setempat. Distribusi galur resisten
bervariasi antar negara, rumah sakit, dan bahkan di tingkat pelayanan
dalam satu rumah sakit. Sebaiknya di masing-masing pusat kesehatan
memiliki data surveilans.

b. Toksisitas/Alergi: Apakah ada alternatif yang kurang toksik?


Mayoritas obat antimikroba dieliminasi di ginjal. Untuk obat-obat dengan
indeks terapi sempit, contohnya aminoglikosida, diperlukan penyesuaian
dosis pada kasus dengan gagal ginjal. Penelitian dengan uji samar berganda
menunjukkan bahwa dosis sekali sehari menurunkan kemungkinan
nefrotoksisitas pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal. Beberapa
penulis telah menganalisis potensi toksisitas penggunaan aminoglikosida
baik karena konsentrasi serum tidak dipantau atau karena ketidaktepatan
regimen. Di Inggris, toksisitas aminoglikosida sekitar 14% disebabkan
karena tidak memantau konsentrasi serum dan 21% karena permintaan
yang tidak tepat. Ketakutan akan toksisitas dapat menyebabkan pemberian
dosis aminoglikosida yang lebih rendah dari yang dianjurkan. Setelah
dilakukan program pemantauan terhadap aminoglikosida dengan studi
acak terkontrol, didapatkan respons yang membaik sebesar 48-60% dan
lama rawat berkurang akan tetapi tidak ada perbedaan dalam toksisitas.4,6

c. Biaya: Dapatkah biaya dipotong tanpa mengganggu kualitas?


Biaya terapi antimikroba dianggap sebagai indikator kualitas. Obat oral
lebih hemat daripada parenteral. Penggunaan obat yang lebih lama,
pengurangan frekuensi pemberian obat parenteral, injeksi secara bolus,
serta menghindari penggunaan obat-obat yang memerlukan pemantauan
konsentrasi serum akan berpengaruh pada biaya. Beberapa audit telah
menganalisa aspek biaya dan banyak intervensi dapat menghemat biaya
secara langsung. Beberapa penulis menganalisa biaya sebagai satu-satunya
luaran proses. Penggantian parenteral ke oral lebih dini (setelah 72 jam)
dapat memotong biaya. Pemendekan durasi profilaksis melalui intervensi
atau penggunaan obat lama telah menunjukkan cost-effective.

31
Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kualitatif dengan Alur Gyssens

d. Keluasan spektrum: Apakah spektrum tidak perlu luas?


Pemberian antibiotik spektrum luas jangka panjang mengakibatkan
gangguan ekologi yang penting. Perbandingan dua kebijakan antibiotik
empiris dengan spektrum yang berbeda di bangsal neonatal telah
menggambarkan bahwa kombinasi sefotaksim dengan amoksisilin
membantu penyeleksian galur Enterobakter yang resisten dibandingkan
dengan regimen kombinasi penisilin dan tobramisin. Penggantian
antibiotik dengan antibiotik lain dengan spektrum yang lebih sempit,
tetapi juga senyawa yang aktif melawan mikroorganisme yang diisolasi
adalah strategi klasik yang digunakan oleh konsultan penyakit infeksi.
Justifikasi di balik strategi ini adalah untuk menghindari tekanan selektif
dengan menggunakan obat antimikroba berspektrum luas.

Kategori III: Apakah durasi pengobatan sesuai?


a. Terlalu panjang
Penelitian pada profilaksis bedah telah menggambarkan bahwa dosis
tunggal cukup untuk sebagian besar tindakan bedah. Penggunaan
profilaksis yang tidak sesuai sering terjadi karena pemberian yang
diperpanjang, dan banyak studi intervensi yang berhasil dalam mengurangi
praktek ini. Di lingkungan rumah sakit, pemanjangan penggunaan
antibiotik profilaksis terbukti berkorelasi dengan risiko resistensi yang
didapat.4

b. Terlalu pendek
Parameter ini mendapat perhatian lebih, karena penghentian pemberian
antimikroba yang terlalu cepat dapat menyebabkan bakteri belum
dieradikasi seluruhnya.

Kategori II: Apakah dosis benar?


a. Dosis
Dosis obat antimikroba harus dihitung untuk memperoleh konsentrasi serum
yang optimal yang berhubungan dengan minimum inhibitory concentration
(MIC) obat untuk melawan patogen. Terapi optimal memerlukan
konsentrasi obat di atas MIC. Pada pasien immnunokompromais dan
untuk infeksi di bagian tubuh yang sulit dicapai (meningitis, abses)
diperlukan konsentrasi di atas MIC. Dosis obat harus disesuaikan
dengan sifat obat antibiotik baik bersifat concentrate-dependent atau time
dependent.4,7

32
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

b. Interval dosis
Frekuensi dosis optimal tergantung pada waktu paruh dan mekanisme
aksi obat. Dengan menggunakan aminoglikosida dalam rejimen sekali
sehari, kondisi farmakodinamik optimal dikombinasikan dengan toksisitas
minimal. Sebaliknya, infus lanjutan telah digunakan berdasarkan
mekanisme aksi beta laktam yang tergantung waktu. Pengurangan
frekuensi pemberian parenteral berpengaruh pada biaya. Lebih dari itu,
obat parenteral yang dapat diberikan sekali sehari memungkinkan untuk
pengobatan infeksi serius pada pasien rawat jalan.

c. Rute Pemberian
Pemberian parenteral seharusnya digunakan untuk terapi empiris pada
infeksi serius, untuk pasien dengan gangguan saluran pencernaan dan
untuk obat-obat dengan bioavailabilitas rendah jika diberikan lewat
jalur enteral. Dalam prakteknya, faktor kultural tampaknya memainkan
peranan penting dalam pilihan rute pemberian. Di Inggris, 60% pasien
rawat inap diobati dengan antibiotik oral, sementara di Italia lebih dari
80% pasien diobati dengan injeksi IM. Di Amerika Serikat, pemberian
secara intravena telah dipertimbangkan sebagai pelayanan standar untuk
jangka panjang.4,8

Kategori I: Apakah waktu pemberian tepat?


a. Terlalu lambat
Waktu pemberian profilaksis bedah akan optimal jika diberikan dalam 30
menit sebelum insisi yaitu pada saat induksi anestesi. Pemberian dalam 2
jam sebelum insisi masih dianggap bermanfaat.

b. Terlalu cepat
Terapi antimikroba mungkin diberikan terlalu cepat, contohnya sebelum
sampel darah atau urin atau jaringan lainnya diambil untuk biakan.4-6

Manfaat evaluasi penggunaan antibiotik dengan alur


Gyssens
Alur gyssens membantu mengevaluasi keseluruhan proses peresepan sehingga
dapat dianalisis secara sistematik. Evaluasi harus dilakukan oleh dua atau lebih
ahli penyakit infeksi yang independen dan melibatkan ahli farmakologi klinik,
mikrobiologi klinik, serta apoteker. Hasilnya dapat digunakan sebagai umpan

33
Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kualitatif dengan Alur Gyssens

balik bagi para klinisi agar peresepan antibiotik dilakukan dengan justifikasi
yang tepat sehingga dapat dihindari terjadinya resistensi antibiotik dan terapi
menjadi lebih tepat guna bagi pasien. 4-6

Simpulan
Penggunaan antibiotik yang bijaksana meliputi diagnosis yang tepat,
menentukan indikasi dan waktu pemberian yang tepat, dosis yang tepat,
disesuaikan dengan keadaan pejamu, dengan menggunakan antibiotik
spektrum sempit dalam waktu yang singkat dan beralih ke terapi per oral
secepatnya. Penggunaan antibiotik dengan justifikasi yang tepat akan
mencegah terjadinya resistensi antibiotik, sehingga morbiditas serta mortalitas
penyakit karena infeksi dapat menurun.

Daftar pustaka
1. Utt E, Wells C. The global response to the threat of antimicrobial resistance and
the important role of vaccines. Pharmaceuticals Policy and Law. 2016:18;179-197.
2. Infectious Diseases Society of America. Combating antimicrobial resistance:
policy recommendations to save lives. Clinical Infectious Diseases. 2011;52:397-
428.
3. Prestinaci F, Pezzoti P, Pantosti A. Antimicrobial resistance: a global multifaceted
phenomenon. Pathogens and Global Health. 2015:109;309-317.
4. Gyssens IC. Audit for monitoring the quality of antimicrobial prescriptions.
Dalam: Gould, Meer VD, editors. First edition. Antibiotic policies: theory and
practice. New York: Plenum Publishers; 2005. h. 197-211.
5. Leekha S, Terrel CL, Edson RS. General principles of antimicrobial therapy. Mayo
Clinic Proceedings. 2011;86:156-66.
6. Dryden M, Johnson AP, Ashiru D, Oredope, Sharland M. Using antibiotics
responsibly: right time, right dose, right duration. Journal of Antimicrobial
Chemotheraphy. 2011;66:2441-43.
7. Tamma PD, Cosgrove SE, Maragakis LL. Combination therapy for treatment
of infections with gram-negative bacteria. Clinical Microbiology Reviews.
2012;25:450-70.
8. Kuper KM. Intravenous to oral therapy conversion. Dalam: Murdaugh LB.
Competence assesment tools for health-system pharmacies. Fourth edition.
Bethesda, MD: ASHP; 2008. h. 347-60.

34
Switching Antibiotic Therapy:
When and How
Sri Rezeki S Hadinegoro

Tujuan:
1. Mengetahui dasar pemilihan antibiotik
2. Mengetahui kapan dapat dilakukan switching antibiotic
3. Mengetahui bagaimana melakukan switching antibiotic pada
pasien pediatri

Pemberian antibiotik secara intravena (IV) ditujukan untuk mengobati infeksi


berat. Namun ternyata mayoritas kondisi klinis pasien yang telah membaik
dan dapat menelan obat oral secara baik, dapat dilakukan switch dari IV ke
oral (PO). Kadangkala setelah pemberian IV selama 48 jam, dapat dilakukan
switch dari IV ke PO. Jadi, switching antibiotic therapy dari IV ke PO dapat
dilakukan segera setelah keadaan klinis pasien stabil. Manfaatnya selain
mengurangi lama rawat juga mengurangi biaya pengobatan dan perawatan.
Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah bioavailabilitas terapi antibiotik IV
lebih tinggi daripada PO, namun tersedia juga antibiotik oral yang mempunyai
kadar dalam serum sama dengan pemberian IV.
Secara umum, obat-obatan yang dapat dilakukan switching bukan
saja antibiotik tetapi juga analgesik, antiviral, dan antipsikotik. Suatu studi
mendapatkan peningkatan efektifitas dan cost saving secara signifikan jika
dilakukan switching dari IV ke PO, misalnya dilakukan pada infeksi kulit
akibat Staphylococcus aureus dapat dilakukan switching dengan hasil
baik walaupun dalam uji sensitivitas dilaporkan resisten terhadap antibiotik
tersebut. Demikian pula dilaporkan suatu studi meta-analisis switch antibiotik
IV ke PO secara dini dengan hasil yang memuaskan pada community-acquired
pneumonia (CAP) sedang dan berat.1

Dasar pemilihan antibiotik


Pada dasarnya, pemberian antibiotik harus berdasarkan keyakinan seorang
dokter bahwa penyebab infeksi adalah bakteri. Untuk hal tersebut diperlukan

35
Switching Antibiotic Therapy: When and How

alat penunjang untuk membuktikan, misalnya darah perifer lengkap, CRP, LED,
prokalsitonin, biakan, PCR, uji serologis, dan sebagainya. Maka secara umum
pemberian antibiotik bertujuan untuk mengontrol infeksi bakteri, dengan
cara membunuh bakteri, menekan jumlah bakteri, dan mengeradikasi bakteri.
Sehingga pemberian yang tidak diperlukan akan mengurangi pemakaian
antibiotik yang tidak berguna, namun di lain pihak menimbulkan hal-hal yang
merugikan terutama timbulnya resistensi terhadap antibiotik tersebut. Berbagai
hal yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan sifat farmakodinamik dan
farmakokinetik antibiotik serta efek sampingnya. Oleh karena itu, dalam
pemberian antibiotik perlu diperhatikan dosis, rute atau cara, serta frekuensi
pemberian.2

Pedoman dalam memilih dan menggunakan antibiotik


Dalam pemberian antibiotik perlu suatu perencanaan yang baik, termasuk
pemantauan hasil terapi. Maka sebelum pemberian antibiotik, beberapa
pertanyaan perlu dijawab terlebih dahulu yaitu3,

yy Adakah indikasi pemberian antibiotik pada pasien


–– Bagaimana kondisi klinis pasien (bayi, imunokompromais, menderita
morbiditas lain, dan lainnya)
–– Apa kira-kira mikroorganisme penyebab dari infeksi ini (perkiraan
diagnosis etiologi)
–– Apa kira-kira antibiotik yang sesuai dengan mikroorganisme penyebab
–– Antibiotik monoterapi atau kombinasi yang akan saya berikan
–– Berapa dosis, frekuensi, cara, dan lama pemberiannya (perhatikan
adanya kelainan hati dan ginjal)
–– Pemeriksaan penunjang apa yang dapat membantu menegakkan
diagnosis (definitif) dan pemantauan antibiotik, termasuk terhadap
efek samping

Pengobatan antibiotik berdasarkan perkiraan sebelum ada hasil biakan,


disebut pengobatan empiris. Namun perlu dibuktikan temuan klinis yang
ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium guna mendukung adanya infeksi,
walaupun belum ada bukti pemeriksaan mikrobiologis yang memastikan
penyebab infeksi. Dalam memperkirakan penyebab infeksi perlu diketahui
pola epidemiologi penyakit dan kepekaan kuman setempat. Terapi empiris
dianjurkan tidak lebih dari 72 jam. Namun, kadangkala perlu diperpanjang
karena belum ada hasil biakan (disebut extended empirical therapy) sambil
memperhatikan apakah terdapat perbaikan klinis pasien. Demikian juga jika

36
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Gambar 1. Antibiotic impact in bacteria synthesis4

hasil biakan negatif sementara data klinis/ laboratorium mendukung adanya


infeksi bakterial, pengobatan antibiotik dapat dilanjutkan. Sedangkan jika
pemberian antibiotik telah sesuai dengan hasil biakan serta uji resistensi
dinamakan pengobatan definitif. Untuk pasien yang dirawat di rumah sakit
harus selalu diupayakan pemberian pengobatan definitif.2,3
Dalam memilih jenis antibiotik juga harus diperhatikan cara kerja
antibiotik menghambat pertumbuhan bakteri (Gambar 1). Misalnya golongan
penisilin, sefalosporin, basitrasin, dan vankomisin bekerja dengan cara
menghambat sintesis dinding sel bakteri; sedangkan kloramfenikol, eritromisin,
tetrasiklin, streptomisin menghambat sintesis protein. Golongan sulfa dan
trimetoprim menghambat sintesis enzim metabolit; kuinolon, rifampisin
menghambat replikasi asam nukleat dan proses transkriptase; sedangkan
polimiksin B merusak membran plasma. Tentunya dalam memilih kombinasi
antibiotik atau switching perlu diperhatikan cara kerja masing-masing antibiotik
tersebut.4
Pada pemberian antibiotik perlu dilakukan pemantauan apakah
pemilihan, cara pemberian, dosis, dan lain-lain telah sesuai dengan pedoman
antibiotic stewardship? Apakah sudah memenuhi pedoman dan kriteria sehingga
tidak menimbulkan resistensi di kemudian hari.5 Untuk menjawab hal tersebut
dapat dilakukan beberapa cara evaluasi, misalnya melalui penilaian dengan
kriteria Gyssen, de-escalation therapy, switching antibiotic, ataupun outpatient
parenteral antibiotic therapy (OPAT). Pada makalah ini akan dibahas mengenai
switching antibiotic.

37
Switching Antibiotic Therapy: When and How

Intravenous-to-oral switch therapy


Beberapa peneliti mengemukakan bahwa switching antara dua jenis antibiotik
dapat mengurangi resistensi antibiotik. Pada pemberian antibiotik yang
sebenarnya tidak diperlukan diduga akan terjadi sensitisasi antibiotik terhadap
bakteri tertentu sehingga diperlukan antibiotik yang lain. Masalah resistensi
antibiotik telah merupakan masalah yang serius di seluruh dunia sehingga
dikatakan oleh WHO sebagai “major global threat”. Masalah lain yang mendasar
dalam resistensi antibiotik adalah bakteri dapat melakukan mutasi secara
cepat dan segera dapat menghindari dari daya bunuh antibiotik. Terutama jika
diberikan antibiotik kombinasi yang sangat kuat (cocktail) untuk membunuh
bakteri, padahal mungkin tidak diperlukan. Penelitian di laboratorium
mendapatkan bakteri akan mati dalam pemberian antibiotik selama 4 hari,
dan jika antibiotik diganti dalam waktu pendek (kurang dari dua hari) maka
resistensi akan mudah terjadi.6,7
Keputusan untuk melakukan switching dari IV ke PO berdasarkan
pertimbangan klinis. Gambar 2 memperlihatkan. (A) Pada keadaan kondisi
pasien belum stabil, antibiotik diberikan secara IV. (B) Awal kondisi klinis
pasien terjadi perbaikan, dapat segera dipertimbangkan untuk segera mengganti
IV ke PO. (C) Untuk mendapat kepastian perbaikan klinis dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang misalnya CRP atau foto Rontgen toraks.

Gambar 2. Pertimbangan melakukan switching antibiotic therapy dari intravena ke oral7

38
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Keuntungan switch IV ke PO8,9


Pemberian antibiotik secara PO lebih dianjurkan daripada IV oleh karena.
yy Mengurangi risiko infeksi dari infus
yy Mengurangi risiko terjadinya tromboflebitis
yy Mengurangi biaya pengadaan obat IV
yy Mengurangi biaya yang tidak tersembunyi, misalnya pengadaan alat infus,
jarum suntik, pelarut, atau waktu perawat untuk observasi berkala
yy Pasien sudah dapat menelan dengan baik dan tidak ada masalah dengan
absorbsi makanan seperti muntah atau diare
yy Suhu badan telah stabil pada 37,50C selama 24-48 jam
yy Tersedia obat oral sebagai pengganti obat IV
yy Pasien merasa lebih enak mendapat PO dari pada harus dipasang infus
yy Dapat pulang lebih cepat dan antibiotik dapat dilanjutkan di rumah

Gambar 3. Bagan Switching Therapy IV – PO


Dikutip dari: CHQ-GDL-01057. Antimicobial treatment: early intravenous to oral switch, Paediaric
Guideline. Children’s Health Queensland Hospital and Health Services7

39
Switching Antibiotic Therapy: When and How

Indikasi beberapa penyakit yang dapat dilakukan switching IV ke PO


antara lain6,8
yy Bakteriemia yang disebabkan oleh bakteri gram negatif
yy Hospital acquired infections
yy Infeksi intra-abdominal
yy Pneumonia
yy Infeksi kulit dan jaringan lunak
yy Infeksi saluran kemih

Penyakit yang tidak dapat dilakukan switching IV ke


PO10,11
Terdapat beberapa keadaan yang tidak memungkinkan dilakukan switching
dari IV ke PO oleh karena diperlukan pemberian IV jangka panjang guna
mencapai konsentrasi tinggi dalam serum dan jaringan. Misalnya pada pasien
berikut.
yy Meningitis bakterialis
yy Infeksi pada tulang dan persendian
yy Bakteriemia
yy Abses yang berlokasi dalam (deep abscess)
yy Endokarditis
yy Pasien menderita imunokompromais (diperlukan saran dari tim
pengendalian antibiotik)
yy Tidak dapat menelan dengan baik dan terdapat gangguan dalam proses
absorbsi

Simpulan
Switching pengobatan dari pemberian secara intravena ke oral merupakan
tantangan tersendiri bagi para dokter, terutama guna mengurangi resistensi
antibiotik. kemampuan klinis dalam pemantauan perjalanan penyakit infeksi
merupakan kunci keberhasilan switching therapy tersebut. Parameter marker
infeksi perlu diperiksa untuk memastikan toleransi klinis pasien telah dapat
menerima terapi oral. Beberapa pedoman telah disajikan guna mendapat
paparan yang lebih luas terhadap penyakit apa saja yang dapat dilakukan
switching, serta waktu dan cara melakukan switching therapy dari intravena ke
oral. Namun, pedoman yang dibuat oleh rumah sakit di luar negeri tersebut
harus disesuaikan dengan keadaan rumah sakit di tempat kita bekerja, misalnya
adakah pemeriksaan marker infeksi telah tersedia dan ketersediaan antibiotik
oral sebagai pengganti.

40
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Daftar pustaka
1. Scheinfeld NS. Dalam: Chandrasekar PH, penyunting. Antimicrobial treatment:
early intravenous to oral switch - Paediatric Guideline. Children’s Health
Queensland, Australia CHQ-GDL-01057 2016.
2. Bradly JS, Long SS. Principles of anti-infective therapy. Dalam: Principles and
practice of Pediatric Infectious Diseases. Long SS, Prober CG, Fischer M, editors.
15th editions. Elsevier, Philadelphia 2018.p.1460-7.
3. Gallagher JC, MacDougall C. Antibiotics simplified. Boston: Jones & Bartlett
Pub; 2009.
4. Alby K, Miller MB. Mechanism and detection of antimicrobial resistance. Dalam:
Long SS, Prober CG, Fischer M, penyunting. Principles and practice of pediatric
infectious diseases. Edisi ke-15. Philadelphia: Elsevier; 2018. h. 1467-78.
5. WHO. Global action plan on antimicrobial resistance. World Health Organization.
Documents A68/19, A68/20 and A68/20 Corr.1. Geneva 2015.

6. Smitha Mundasad. Antimicrobial treatment: early intravenous to oral switch –
Paediatric. PLoS Biology. 2015. https://www.childrens.health.qld.gov.au/wp-content/
uploads/.../DUG-Early-Intravenous-po.
7. Mcmullan B, Andresen D, Blyth CC, Avent ML. Antibiotic duration and timing
of the switch from intravenous to oral route for bacterial infections in children: a
systematic review and guideline. The Lancet Infect Dis. June 2016 DOI: 10.1016/
S1473-3099(16)30024-X. https://www.researchgate.net/publication/304195897
8. Ingrid Palmer. Making the move from IV to PO antibiotics. Today’s Hospitalist,
Canada; 2010
9. Batchelder N, Tsz-Yin So. Transitioning antimicrobials from intravenous to oral
in pediatric acute uncomplicated osteomyelitis. World J Clin Pediatr. 2016; 5:
244–50. PMCID: PMC4978616. Published online 2016 Aug 8. doi: 10.5409/
wjcp.v5.i3.244 PMID: 27610339.
10. MCLaughlin, Bodasing N, Boyter AC, Fenelon C, Fox JG, Seaton RA. Pharmacy-
implemented guidelines on switching from intravenous to oral antibiotics: an
intervention study. Q J Med. 2005; 98:745–52.
11. Clarkson A, Westin V, Hills T. Guideline for the intravenous to oral switch
of antibiotic therapy. Nottingham University hospitals Antibiotic Guidelines
Committee. Review December 2010.

41
Switching Antibiotic Therapy: When and How

Lampiran 1


Gambar 4. Bagan terapi antibiotik intravena ke oral11

42
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Lampiran 2

Tabel 1. Pedoman lama pemberian antibiotik dan IV-Oral switch pada anak
Tabel 1. Pedoman lama pemberian antibiotik dan IV‐Oral switch pada anak

43
Switching Antibiotic Therapy: When and How


ANZPID‐ASAP Guidelines for antibiotic duration and IV‐Oral switch in children.7 

44 9
Viral or Bacterial Infection:
Does Need Laboratory Test?
Hindra Irawan Satari

Tujuan:
1. Mengetahui uji laboratorium pada infeksi virus atau bakteri
2. Mengetahui kapan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium

Hampir setiap dokter yang menghadapi pasien setiap hari, selama duduk
dibangku fakultas kedokteran, hanya sedikit mendapat paparan atau kuliah
mengenai laboratory medicine. Kepentingan untuk memahami prinsip memilih
dan melakukan uji laboratorium secara bijak pada pasien secara spesifik
bermanfaat dalam meningkatkan tatalaksana perawatan pasien. Untuk memilih
uji laboratorium perlu dipertimbangkan: alasan, keperluan, dan kesesuaian
berbasis bukti standar perawatan klinis. Era melakukan uji laboratorium
dengan pendekatan shot gun approach saat ini harus digantikan dengan rifle
atau targeted approach dengan dasar mengerti penampilan uji diagnostik dan
keabsahan alasan untuk melakukan uji laboratorium. Pemahaman seperti
ini sangat penting agar tercapai pelayanan laboratorium yang baik dalam
tatalaksana pasien1.

Uji laboratorium pada infeksi virus dan bakteri


Infeksi bakteri sistemik, sepsis, dan sindrom-sindrom serupa dapat bersifat fatal
dan mengancam nyawa. Oleh karena itu infeksi bakteri harus didiagnosis secara
tepat dan cepat sehingga terapi antimikroba yang tepat dapat diberikan sesegera
mungkin. Uji laboratorium, dalam hal ini biomarker, dalam menegakkan
diagnosis infeksi bakteri dapat mempersingkat waktu penegakkan diagnosis.
Biomarker yang digunakan harus bersifat cepat, dapat memprediksi perjalanan
dan prognosis infeksi yang terjadi, serta dapat menjadi dasar pemberian terapi
antimikroba. Beberapa jenis biomarker potensial yang telah banyak diteliti
dalam mendiagnosis sepsis bakterial adalah hitung leukosit, laju endap darah
(LED), C-reactive protein (CRP), soluble triggering receptor expressed on myeloid
cells 1 (sTREM-1), pro-adrenomodullin (ProADM), prokalsitonin serum

45
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?

(PCT), mid-regional pro-atrial natriuretic peptide (ANP), pancreatic stone protein


(PSP) atau regenerating protein (reg), interleukin-6 (IL-6), IL-8, IL-27, dan
soluble urokinase-type plasminogen activator receptor (suPAR).2

Hitung leukosit
Adanya peningkatan jumlah leukosit secara konsisten meningkatkan risiko
occult dan occult pneumococcal bacteremia.3 Pada anak berumur 3-36 bulan
dengan fever without source (FWS) serta hitung leukosit lebih dari 14.000/µl
akan meningkatkan risiko prediksi untuk terjadinya occult bacteremia. Occult
bacteremia adalah suatu keadaan adanya bakteri dalam aliran darah pada
anak dengan demam tanpa gejala lain, berpenampilan baik dan tidak tampak
sumber infeksi yang jelas. Umumnya disebabkan oleh bakteri Streptococcus
pneumoniae.4 Occult bacterial pneumonia adalah pneumonia yang tidak terlihat
kasat mata, hanya dapat terlihat dengan pemeriksaan rontgen dada5, sedangkan
FWS adalah demam 2-3 minggu yang setelah dilakukan investigasi awal
tidak ditemukan penyebabnya. Demam ini dapat disebabkan penyakit yang
tidak biasa (seperti rematologi, onkologi), namun umumnya disebabkan
infeksi, seringkali virus.6 Sebagian besar anak balita dengan peningkatan
hitung leukosit tidak mempunyai latar belakang infeksi bakteri sebagai
penyebab demam.(?)
Tujuan kriteria penapisan dan uji laboratorium untuk menilai bayi dan
balita dengan demam dirancang untuk menentukan apakah pasien dalam
keadaan risiko rendah sehingga dapat berobat jalan tanpa antibiotik. Untuk
keperluan tersebut, dipilih kriteria penapisan yang tujuan utamanya untuk
mempunyai uji yang mempunyai sensitivitas dan nilai prediktif negatif yang
maksimal. Hitung leukosit 15.000/µl mempunyai nilai prediktif negatif sampai
98-99% dan nilai prediktif positif 5-6% untuk membedakan occult bacteremia
dari FWS yang jinak atau noninvasif.

Tabel 1. Evaluasi hitung leukosit lebih dari 15.000/µl untuk menapis Occult Bacteremia pada FWS2.
Studi Ambang (x1.000/µl) NPV (%) PPV (%)
Kuppermann, 1999 Hitung leukosit >15 99 6
Lee, 2001 Hitung leukosit >15 99 5
Strait, 1999 Hitung leukosit >15 98 6

Penelitian sebelumnya menemukan prevalensi occult bacteremia dan


FWS pada bayi dan balita adalah 1.5-2.3%.2 Penelitian terakhir menunjukkan
perevalensi 11-38% dari serious or invasive bacterial infections. 2
Dengan optimal ambang hitung leukosit sebanyak 15-17.000/µl,
menunjukkan nilai praduga negatif sebesar 69-95% dan nilai praduga positif

46
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

sebesar 30-69% dalam membedakan invasif/infeksi bakteri serius dengan infeksi


bakteri non invasif/ringan.

Tabel 2. Reevaluasi hitung leukosit sebagai uji tapis FWS2


Studi Goal uji tapis Ambang (X1.000/µl) NPV, % PPV, %
Fernandez Lopez, 2003 Infeksi bakteri invasif* Hitung leukosit >17 69 69
Pulliam, 2001 Infeksi bakteri serius† Hitung leukosit >15 89 30
Lacour, 2002 Infeksi bakteri serius‡ Hitung leukosit >15 89 46
Isaacman, 2002 Occult bacterial infection§ Hitung lekusit >17 95 30
*
Kultur-positif bakteremia/
meningitis/sepsis/osteoitis/artritis;
dimercaptosuccinic acid (DMSA)–positif
pielonefritis; lobaris pneumonia;
bakterial enteritis in pada bayi usia
kurang dari 3 bulang

Kultur-positif bakteremia/meningitis/
septik artritis/infeksi saluran kemih (ISK);
fokus infiltrat pada foto dada

kulture-positif bakteremia/meningitis/
osteomielitis; DMSA-positif pielonefritis;
lobaris pneumonia
§
Kultur-positif bakteremia/ISK; lobaris
pneumonia
 
Penelitian lain menyatakan bahwa hitung leukosit, C-reactive protein
(CRP) dan procalcitonin (PCT) merupakan uji yang karakteristik dalam
menapis occult bacterial infection pada bayi dan balita. Sampai saat ini, penapisan
dengan hitung leukosit masih merupakan standar sejak dipublikasikan pada
tahun1993.2

Hitung absolut neutrofil (ANC)


Risiko untuk occult bacteremia meningkat dengan meningginya ANC.
Hubungan antara kasus occult pneumococcal bacteremia adalah sebagai berikut:2
yy Kurang dari 5.000 : 0%
yy 5.000-9.000 : 1,4%
yy 10.000-14.900 : 5,8%
yy Lebih dari 15.000 : 12,2%

Tabel 3. ANC sebagai penapis Occult Bacteremia 2


Hitung neutrophil absolut (/µl) Sensitivitas(%) Specifisitas( %) PPV( %) NPV ( %)
10.000 76 78 8 99.2
>7.200 82 74 7.5 99.4

47
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?

Hitung batang
Hitung batang tidak bermanfaat untuk menapis bakteriemia.
Peningkatan hitung batang ditemukan pada;2
yy Influenza A and B : 29%
yy Enterovirus : 23%
yy Respiratory syncytial virus : 22%
yy Rotavirus : 22%

Laju endap darah (LED)


LED merupakan suatu marker non spesifik terhadap cedera jaringan. LED
dinilai lebih bermanfaat dalam mengidentifikasi inflamasi dibandingkan dengan
hitung leukosit. LED juga bermanfaat dalam mendeteksi keganasan. Akan
tetapi LED tidak dapat menentukan etiologi inflamasi dari pasien.
Laju endap darah (LED) sampai saat ini tidak direkomendasikan sebagai
uji tapis bagi occult bacteremia.2

CRP
CRP merupakan suatu protein fase akut yang dibentuk oleh hepatosit sebagai
respons terhadap stimulasi sitokin-sitokin anti inflamasi. Kadar CRP akan
meningkat dalam 4 – 6 jam, meningkat hingga 2 kali lipat dalam 8 jam, dan
mencapai puncaknya dalam 36 – 50 jam. CRP sangat baik digunakan untuk
menilai perjalanan penyakit dalam fase akut. Kadar CRP dapat meningkat
pada kondisi-kondisi selain infeksi seperti komplikasi hipersensitivitas infeksi
(demam rematik, eritema nodusum), penyakit inflamasi non infeksi (artritis
rheumatoid, ankylosing spondilitis, artritis psoriatik, vaskulitis sistemik, penyakit
Crohn), transplantasi, keganasan, dan trauma.
CRP saat ini bukan merupakan standar bagi uji tapis occult bacteremia2.
Analisis pada tahun 1999 menemukan bahwa CRP tidak dapat digunakan
untuk menduga occult bacteremia pada balita.
Studi lainnya melaporkan nilai tapis optimal dengan menggunakan kurva
ROC untuk menentukan balans terbaik antara sensitivitas dan spesifisitas.
Ambang optimal CRP berkisar antara 2.8-5, dan mempunyai nilai nilai praduga
negatif 81-98% dan nilai praduga positif 30-69% dalam membedakan antara
infeksi bakteri invasif/serius dengan infeksi yang noninvasif/ringan.2

48
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Table 4. Reevaluasi CRP sebagai uji tapis FWS2


Studi Goal uji tapis Ambang NPV, % PPV, %
Lopez, 2003 [55] Infeksi bakteri invasif* 2.8 81 69
Pulliam, 2001 [56] Infeksi baktetri Serius† 5 98 Not reported
Lacour, 2001 [57] Infeksi bakteri serius‡ 4 96 51
Gendrel, 1999 [60] Infeksi bakteri invasif § 4 97 34
Isaacman, 2002 [58] Occult bacterial infectionll 4.4 94 30
*
Kultur-positif bakteremia/meningitis/
sepsis/osteoitis/artritis; dimercaptosuccinic
acid (DMSA)–positif pielonefritis; lobaris
pneumonia; bakterial enteritis in pada bayi
usia kurang dari 3 bulang

Kultur-positif bakteremia/meningitis/
septik artritis/infeksi saluran kemih (ISK);
fokus infiltrat pada foto dada

kulture-positif bakteremia/meningitis/
osteomielitis; DMSA-positif pielonefritis;
lobaris pneumonia
§
Kultur-positif bakteremia/ISK; lobaris
pneumonia

Beberapa penelitian diatas mengaitkan langsung hitung neutrofil dengan


level CRP sebagai uji tapis laboratorium pada balita FWS, dan ternyata, nilai
praduga negatif dan nilai praduga positif PCT lebih baik daripada hitung
neutrofil. Uji tapis CRP di unit gawat darurat saat ini merupakan protokol
baku di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, karena ketersediaan, kecepatan
waktu dan sampel dapat diambil dari kapiler.
Nilai CRP meningkat dalam 6 jam pasca terjadinya kerusakan jaringan,
meningkat dua kali dalam 8 jam, dan puncak tercapai setelah 36-48 jam. [61]
Berdasarkan penyetahuan ini , patut diingat bahwa sensitivitas CRP rendah
pada awal perjalanan penyakit.
Penelitian lain juga menunjang bahwa CRP kurang bermanfaat pada
infeksi awal, jadi uji laboratorium pada penyakit dengan durasi pendek, tidak
mudah, meski menggunakan hitung neutrofil dan CRP.
Evaluasi amyloid A CRP mempunyai sensitivitas yang tinggt pada sepsis
neonatal pada saat gejala timbul dan dua hari setelahnya. Terlihat serum
amyloid A memperlihatkan nila praduga positif PPV bervariabel antara 0,67
dan 0,92 dengan nilai praduga negatif tinggi (0,97-1.00). Pembagian ini
menunjukkan hasil yang menggembirakan dan harus dilakukan penelitian
lanjutan dalam kilnik.

Prokalsitonin
PCT adalah prekursor hormon kalsitonin yang dalam keadaan inflamasi
dapat menunjukkan aktivitas mirip sitokin.1 Dalam keadaan infeksi mikroba

49
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?

atau inflamasi, kadar PCT yang bersirkulasi dapat meningkat hingga berkali-
kali lipat. Infeksi mikroba dapat meningkatkan pelepasan PCT dari seluruh
jaringan parenkim dari berbagai sel-sel tubuh. PCT yang dilepaskan dari sel-
sel parenkim (termasuk hepar, paru, ginjal, adiposit, dan otot rangka) lebih
banyak dibandingkan dengan yang dilepaskan oleh sel-sel yang bersirkulasi
(misalnya leukosit). Hal tersebut menunjukkan bahwa fungsi pertahanan tubuh
yang dimediasi oleh PCT bersifat tissue based. Oleh karena itu PCT dapat
digunakan sebagai biomarker diagnosis infeksi bakteri pada pasien dengan febrile
neutropenia. Penelitian yang dilakukan oleh Qu et al7 menyatakan bahwa PCT
memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 64,5% dan 84% dalam mendeteksi
infeksi bakteri pada pasien demam. Pada penelitian tersebut juga dinyatakan
bahwa PCT lebih baik dibandingkan CRP (P<0,05), IL-6 (P<0,001), dan
serum amyloid A (SAA) (P<0,01) dalam mendeteksi dini infeksi bakteri.
Pelepasan PCT dalam keadaan inflamasi terjadi karena adanya induksi
langsung dari toksin mikroba (misalnya endotoksin) atau induksi tidak
langsung melalui respons imun humoral atau selular (misalnya IL-1β, tumor
necrosis factor-alpha (TNF-α), dan IL-6). Kadar PCT hampir tidak pernah
meningkat pada infeksi virus, hal ini diduga karena pada infeksi virus terjadi
sintesis interferon alfa oleh makrofag yang kemudian menginhibisi sintesis
TNF. Oleh karena itu, PCT dapat pula digunakan untuk membedakan infeksi
bakteri dengan infeksi virus.1 PCT memiliki rentang biologis yang lebar, waktu
induksi yang singkat (2 – 4 jam), dan waktu paruh yang panjang (22 – 26 jam)
sehingga baik digunakan sebagai biomarker infeksi bakteri dan dasar pemberian
terapi antimikroba yang rasional. Sebuah meta analisis5 (30 penelitian, 3.244
pasien) yang dilakukan pada tahun 2013 untuk menganalisis akurasi dan
nilai klinis dari PCT dalam penegakkan diagnosis sepsis pada pasien-pasien
kritis menghasilkan rerata sensitivitas sebesar 0,77 [95% confidence intervals
(CI) 0,72-0,81], spesifisitas sebesar 0,79 (95% CI 0,74-0,84), dan area under
the curve (AUC) sebesar 0,85 (95% CI 0,81-0,88), mengonfirmasi peran PCT
sebagai biomarker yang berguna dalam penegakkan diagnosis infeksi bakteri.8
Secara keseluruhan, PCT bermanfaat sebagai biomarker infeksi bakteri
pada pasien dengan demam. Dalam mempergunakan PCT sebagai biomarker
infeksi bakteri, hasil positif dan negatif palsu harus diperhitungkan. Peningkatan
kadar PCT yang bersifat positif palsu (tanpa infeksi bakteri) dapat terjadi pada
acute respiratory distress syndrome (ARDS), malaria falsiparum berat, trauma,
dan pneumonitis kimiawi.1 Kadar PCT yang rendah dapat digunakan untuk
menyingkirkan infeksi bakteri, akan tetapi kadar PCT yang rendah dapat
pula terjadi pada awal perjalanan infeksi bakteri, endokarditis bakterialis
subakut dengan bakteremia, dan pada infeksi bakteri yang bersifat lokal. Oleh
karena itu jika kondisi klinis pasien sesuai dengan sepsis bakterialis, pasien
harus ditatalaksana sesuai dengan diagnosis sepsis meskipun kadar PCT tidak

50
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

meningkat. Pemeriksaan PCT dapat dilakukan secara serial dalam 48 jam untuk
mengonfirmasi diagnosis infeksi bakteri sehingga pemberian antimikroba dapat
dihentikan segera apabila kadar PCT tetap rendah.
PCT adalah prohormon dari kalsitonin yang meningkat dengan cepat
apabila terpapar endotoksin bakteri, dimulai dalam 2-4 jam pertama dan lebih
cepat dari level CRP. PCT level tetap rendah pada infeksi virus dan penyakit
infeksi sistemik, seperti Lupus eritematosus sistemik dan penyakit Crohn, PCT
level juga meningkat pada beberapa penyakit non bakteri yang melibatkan
kerusakan jaringan masif, melibatkan jaringan major (seperti, bedah major,
luka bakar, syok kardiogenik, rejeksi transplantasi akut). Beberapa penelitian
di Unit Perawatan Intensif menunjukkan hubungan peningkatan PCT dengan
infeksi berat, dan PCT berkaitan baik dengan respon pengobatan. Apabila
antibiotik berhasil, maka PCT akan menurun dan peningkatan PCT persisten
berhubungan dengan buruknya prognosis.
Beberapa penelitian melaporkan nilai optimal uji berbasis kurva ROC
untuk menetapkan batasan terbaik sensitivitas dan spesifisitas. Salah satu
peneliti mengajukan ambang optimal ambang untuk PCT yang berkisar
diantara 0.6-2, serta menunjukkan nilai duga negatif sebesar 90-99% dan nilai
duga positif sebesar 52-91% dalam membedakan antara infeksi bakteri serius
/invasif dengan infeksi noninvasif/ ringan.

Tabel 5. Evaluasi level PCT sebagai uji tapis FWS2


Studi Goal uji tapis Ambang NPV, % PPV, %
Lopez, 2003 Infeksi bakteri serius* 0.6 90 91
Lacour, 2001 Infeksi bakteri serius† 1 97 55
Gendrel, 1999 Infeksi bakteri invasif‡ 2 99 52
*
Kulture-positif bakteremia/meningitis/sepsis/
osteoitis/artritis; DMSA-positif pielonefritis; lobaris
pneumonia; bakterial enteritis pada bayi usia < 3bulan

kultur-positif bakteremia/meningitis/osteomielitis;
DMSA-positif pielonefritis; lobaris pneumonia

kultur-positif bakteremia/sepsis/meningitis

Pada penelitian ini PCT berpenampilan terbaik dibandingkan hitung


leukosit dan CRP sebagai uji penapis infeksi bakteri invasif, dalam hal nilai
prediksi negatif dan nilai prediksi positif. Seperti diuraikan diatas, hitung
neutrofil dan CRP mempunyai masalah dalam penyakit yang durasinya singkat.
Dalam beberapa studi dilaporkan uji PCT pada penyakit yang berjalan kurang
dari 12 jam dan ternyata ambang yang diperoleh tetap sama dengan penyakit
yang lebih lama.
Informasi ini sesuai dengan tingginya kecepatan PCT setelah stimulus,
dan memperlihatkan PCT bermanfaat sebagi uji tapis pada penyakit yang
berdurasi pendek.

51
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?

Tabel 6. Efek lamanya sakit – dan level PCT level sebagai uji tapis pada FWS 2
Lama sakit Goal tapis Ambang NPV, % PPV, %
(< 12 jam dan >12 jam) infeksi bakteri invasif* 0.6 90 91
< 12 jam Infeksi bakteri invasif* 0.7 90 97
*kultur-positif bakteremia/meningitis/bakteri sepsis/
bone/artritis; DMSA-positif pielonefritis; lobaris
pneumonia; bakterial enteritis pada bayi kurang dari 3
bulan

Bakteremia dapat melanjut menjadi fokus infeksi bakteri, terutama


meningitis. Salah satu studi menunjukkan bahwa PCT merupakan uji tapis yang
baik sebagai uji tapis meningitis bakteri. Ambang nilai PCT 2, mempunyai
nilai prediksi negatif 100% dan 100 % nilai prediksi positif dalam membedakan
meningitis bakterial dan virus. Untuk itu PCT dapat digunakan sebagai uji
tapis bakteriemia dan sekuele seperti meningitis pada anak balita. 11
Sebagai kesimpulan, nilai PCT tampak lebih sensitif dan spesifik bagi
infeksi bakteri dibandingkan dengan nilai laboratorium lain sebagai uji
tapis, dan bermanfaat pada penyakit bermasa singkat. Faktor kelebihan lain,
diantaranya adalah: jumlah serum yang dibutuhkan hanya sedikit, dan adanya
alat uji bedside yang menunjukkan kemampuan setara seperti di laboratorium
biasa.
Kelemahannya adalah masalah biaya, juga dapat ditemukan peningkatan
pada penyakit non bateri, serta ketersediaaannnya.
Penelitian mengenai PCT biasanya dilakukan pada kasus di instalasi gawat
darurat, namun saat ini pemeriksaan PCT juga menjanjikan sebagai uji tapis
pada bayi dan balita demam, sehingga masih diperlukan penelitian selanjutnya
untuk penerapan langsung pada anak dengan FWS yang berisiko untuk occult
bacteremia, di unit gawat darurat atau di klinik pediatri.
Dalam 15 tahun terakhir ini, PCT muncul sebagai komponen diagnostik
yang bermanfaat dalam memilih antibiotik dalam pengobatan demam pada
infeksi saluran nafas bawah dan infeksi lainnya, seperti sepsis, meningitis dan
infeksi saluran kemih.9,10,11
Pedoman dan keamanan PCT di dewasa sudah terbukti, namun
penggunaan ambang di anak dan remaja masih perlu di konfirmasi. Integrasi
dengan uji lain selanjunya dapat membantu panduan pengobatan antibiotik.

Urinalisis
Sekitar 7 % bayi laki laki dengan FWS yang berumur kurang dari 6 bulan dan
8% anak wanita kurang dari 1 tahun, menderita infeksi saluran kemih (ISK).
Pada neonatus dengan FWS, direkomendasikan pemeriksaan urin, dan banyak

52
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

pedoman yang merekomendasikan pemeriksan urin pada anak kurang dari


umur 1-2 tahun dan bayi kurang dari 6 bulan.
Pemeriksaan uji tapis urin meliputi jumlah leukosit/µl, biakan dan leukosit
esterase, dengan aplikasi pedoman tersebut, sekitar 20% diagnosis ISK dapat
ditegakkan yang tidak terdeteksi dari urinalisis.12
Urinalisis (hitung sel dengan hemositometer dan pewarnaan gram) dan
pengecatan gram pada sedimen menunjukkan sensitivitas 99-100% dan 100%
NPV untuk ISK.

Salmonella typhi IgM


WHO menyimpulakn bahwa tes antibodi tampak kurang sesuai dengan hasil
kultur Salmonella typhi di sub Sahara Afrika, tetapi mungkin bermanfaat
apabila terjadi keadaan emerjensi, seperti KLB.13 TUBEX dan Typhidot
tampaknya menampilkan hasil yang sebanding dan lebih spesifik meski kurang
sensitif dibandingkan dengan semiquantitative slide agglutination test dan uji
Widal berpasangan.14 Unpaired Widal and semiquantitative slide agglutination
juga tidak dapat diandalkan, karena spesifisitas dan nilai praduga positif
yang rendah. Biakan darah sebelum terapi dengan antimikroba tetap pilihan
metode diagnostik.
Typhidot (IgM) merupakan uji yang cepat, mudah dilakukan dan andal
untuk menegakan diagnosis demam tifoid dan dapat dilakukan di laboratorium
sederhana. Penelitian ada anak 50 anak dengan biakan darah Salmonella typhi
positif, uji ini mempunyai sensitivitas 100%, spesifisitas 95.5%, serta nilai
praduga positif 89,2 % dan nilai praduga negatif 100%3.

Biakan darah
Biakan darah positif merupakan kriteria standar definisi bakteremia15. Biakan
darah dengan isolat tunggal secara umum dianggap sebagai hasil positif. Kultur
dengan hasil multipel isolat atau bakteri nonpatogen dianggap kontaminasi.
Patogen lebih cepat tumbuh dari kontaminan, umumnya kurang dari 24 jam.
Contoh2:
yy S pneumoniae : 11-15 jam
yy Salmonella spesies : 9-12 jam
yy N meningitidis : 12-23 jam

Identifikasi infeksi bakteri dalam darah merupakan tugas paling utama


bagi laboratorium mikrobiologi. Kriteria untuk mendapatkan specimen
biakan darah pada dewasa sudah disepakati, namun tidak demikian pada

53
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?

populasi anak. Fokus harus ditujukan pada waktu pengambilan, volume dan
seleksi botol. Hasil positif berhubungan dengan jmulah darah dan inkubasi
di laboratorium. Apabila volume mencapai 6 ml, maka tingkat positivitas
mencapai 83%, sedang bila 2 ml, positivitasnya 60 %. Masa inkubasi juga
menentukan, bila di inkubasi dua jam setelah pengambilan darah, maka tingkat
keberhasilannya 95%, dan menurun menjadi 70% apabila inkubasi dilakukan
lebih dari 3 jam setelah pengambilan. 

Pemeriksaan Serologis pada Infeksi Virus


Cytomegalovirus (CMV)
Deteksi adanya IgG CMV pada pasien dapat menentukan adanya infeksi
lampau. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi
IgG CMV adalah pemeriksaan fiksasi komplemen, ELISA, imunofluoresens
antikomplemen, radioimmunoassay, dan hemaglutinasi indirek (IHA).23
Terdeteksinya IgG CMV pada pasien menunjukkan adanya infeksi lampau
dalam kurun waktu 2 minggu hingga bertahun-tahun sebelum dilakukannya
pemeriksaan pada pasien usia lebih dari 12 bulan ketika pada pasien tidak lagi
didapatkan antibodi maternal.23,26 Adanya infeksi baru atau akut pada pasien
diobservasi melalui deteksi antibodi IgM CMV. Deteksi IgM CMV dapat
dilakukan dengan beberapa metode diagnostik tetapi metode yang paling
banyak dilakukan adalah metode ELISA. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa pemeriksaan IgM CMV tanpa didampingi pemeriksaan lain tidak
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis infeksi primer dan sering
menunjukkan hasil positif palsu. Hal tersebut dikarenakan titer IgM dapat
persisten hingga 6 – 9 bulan setelah infeksi primer dan dapat meningkat pada
pasien dengan infeksi CMV sekunder atau reaktivasi.23,27
Pemeriksaan aviditas IgG digunakan bersama pemeriksaan IgM untuk
membedakan infeksi CMV primer dengan non-primer.16,17 Pemeriksaan ini
dilakukan dengan cara mengobservasi adanya antibodi IgG CMV aviditas
rendah dalam beberapa bulan pertama setelah infeksi.23 Ditemukannya IgG
CMV aviditas rendah mengindikasikan adanya infeksi primer. Dalam kurun
waktu 2 – 4 bulan IgG CMV akan mengalami maturasi menjadi IgG CMV
aviditas tinggi dan menggambarkan suatu infeksi lampau atau kronik. Aviditas
IgG CMV dinilai sebagai indeks aviditas; yaitu persentase IgG CMV yang
berikatan dengan antigen selama pemberian terapi dilakukan. Pemeriksaan
aviditas IgG CMV memiliki sensitivitas sebesar 63% bila dilakukan pada wanita
hamil dengan usia gestasi 20 – 23 minggu. Sensitivitas pemeriksaan tersebut
akan meningkat hingga 81% bila dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
IgM CMV.18 Meskipun demikian, tidak semua pemeriksaan aviditas IgG telah

54
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

tervalidasi bermanfaat dalam menegakkan diagnosis infeksi akut CMV sehingga


interpretasi hasil pemeriksaan aviditas IgG CMV harus dilakukan secara teliti.
Neonatus yang lahir dengan kecurigaan infeksi CMV kongenital harus
dikonfirmasi status infeksinya menggunakan metode isolasi virus dengan
spesimen urin dan/atau saliva dalam 2 – 3 minggu pertama kehidupan.19 Deteksi
genom CMV menggunakan metode PCR dan deteksi antigen virus (antigen
pp65) juga dapat dilakukan pada waktu-waktu tersebut.19,20 IgM CMV jarang
terdeteksi pada neonatus sedangkan IgG CMV ditransmisikan transplasenta
sehingga pemeriksaan antibodi secara umum tidak dapat diandalkan untuk
menegakkan diagnosis infeksi CMV kongenital. Neonatus yang didiagnosis
terinfeksi CMV kongenital harus menjalani pemeriksaan fisis, radiologis, dan
hematologis lebih lanjut untuk mengevaluasi manifestasi klinis infeksi CMV
yang dialaminya.19

Pemeriksaan Serologis pada Infeksi Dengue


Penegakkan diagnosis yang cepat dan akurat serta pengenalan fase-fase
perjalanan penyakit merupakan suatu hal yang penting dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien.21
Pada tabel 1 dijabarkan pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan
dalam menegakkan diagnosis infeksi dengue. Infeksi dengue dikatakan
terkonfirmasi (confirmed case) apabila didapatkan virus, genom virus atau
NS1 Ag, atau serokonversi (dari negatif menjadi positif IgM/IgG atau
peningkatan titer antibodi sebesar 4 kali lipat) IgM atau IgG antidengue
dalam dua kali pemeriksaan (paired sera).21 Infeksi dengue dikatakan probable

Tabel 7. Metode diagnostik infeksi dengue21


Spesimen Metode Diagnostik Metodologi Waktu yang
Diperlukan
Deteksi Serum akut (hari Isolasi virus Inokulasi kultur nyamuk ≥ 1 minggu
virus dan demam ke 1 – 5) dan atau sel-sel nyamuk
komponennya jaringan nekropsi Deteksi asam RT-PCR dan real time 1 – 2 hari
nukleat RT-PCR
Deteksi antigen NS1 Ag rapid test Beberapa menit
NS1 Ag ELISA 1 hari
Imunohistokimia 2 – 5 hari
Respons Serum akut (hari ELISA, HIA 1 – 2 hari
serologis demam ke 1 – 5) Serokonversi IgM Tes netralisasi Minimal 7 hari
dan serum dari 15 atau IgG
– 21 hari kemudian
(paired sera)
Serum dari hari Deteksi IgM ELISA 1 – 2 hari
demam ke 6 – Rapid test Beberapa menit
seterusnya
Deteksi IgG IgG ELISA; HIA 1 – 2 hari

55
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?

apabila didapatkan IgM antidengue atau titer antibodi sebesar 1280 atau lebih
melalui metode HIA atau ELISA pada spesimen tunggal.21 Infeksi dengue
terkonfirmasi dan probable harus ditangani sesuai dengan derajat keparahan
manifestasi klinisnya.
ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay; HIA, hemagglutination
inhibition assay; IgG, immunoglobulin G; IgM, immunoglobulin M; NS1 Ag,
non-structural protein 1 antigen; RT-PCR, reverse transcriptase-polymerase chain
reaction.
Masa inkubasi infeksi virus dengue terjadi dalam 4 – 10 hari setelah
gigitan nyamuk.21 Pada masa inkubasi virus bereplikasi dan respons imun
tubuh mulai berkembang. Viremia dapat dideteksi sejak awal munculnya
manifestasi klinis dan menghilang pada periode deferfesens (perpindahan fase
febris menjadi afebris). Antibodi IgM antidengue mulai muncul pada saat yang
sama. Pemeriksaan virologis dan serologis dapat membedakan infeksi primer
dengan infeksi sekunder dan memperkirakan perjalanan penyakit.
Pemeriksaan serologis yang bermanfaat dilakukan pada fase febris (hari
demam ke 1 – 5) adalah pemeriksaan NS1 Ag melalui metode ELISA atau
dengan menggunakan alat rapid diagnostic test (RDT).21 NS1 Ag adalah suatu
glikoprotein yang diproduksi oleh seluruh flavivirus dan berperan penting dalam
proses replikasi dan kelangsungan hidup virus tersebut.22 Metode diagnostik
ini tidak dapat membedakan infeksi primer dan infeksi sekunder serta tidak
dapat menentukan galur virus dengue yang menginfeksi pasien.22 Sensitivitas
dan spesifisitas alat diagnostik yang telah tersedia di pasaran sedang dievaluasi
lebih lanjut.
Pemeriksaan serologis yang bermanfaat dilakukan pada fase kritis dan
konvalesens (setelah hari demam ke 5) adalah pemeriksaan IgM dan IgG
antidengue melalui metode ELISA atau dengan menggunakan alat RDT.21,22
Pemeriksaan IgG antidengue yang dilakukan bersama dengan IgM antidengue
dapat bermanfaat untuk menilai adanya infeksi lampau. Klasifikasi infeksi
primer dan infeksi sekunder atau lampau dinilai menggunakan rasio densitas
optik IgM/IgG. Rasio lebih dari 1,2 dengan spesimen serum terdilusi 1/100
atau 1,4 dengan spesimen serum terdilusi 1/20 menunjukkan infeksi primer.29,30
Titer IgG antidengue lebih dari 1/1280 melalui metode HIA atau ELISA
menunjukkan infeksi sekunder. Pemeriksaan HIA dan ELISA memiliki
kemungkinan reaktivitas silang dengan spesies flavivirus lainnya. Metode
pemeriksaan uji netralisasi merupakan metode pemeriksaan pilihan untuk
mendeteksi serotipe spesifik.21,22

Pemeriksaan Serologis pada Infeksi Rubela


Diagnosis rubela tidak dapat ditegakkan hanya melalui penilaian kondisi klinis

56
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

pasien karena bervariasinya manifestasi klinis yang dapat terjadi.23 Setiap kasus
rubella harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dilakukan untuk mengonfirmasi rubella antara lain
adalah deteksi virus dan pemeriksaan serologis. Deteksi virus dapat dilakukan
melalui metode real time RT-PCR dan RT-PCR. Pemeriksaan serologis lebih
disukai karena dapat menilai status imun pasien terhadap rubella.
Metode pemeriksaan serologis yang paling banyak dilakukan adalah
pendeteksian antibodi IgM dan IgG rubella melalui enzyme immunoassay
(EIA).24 Pemeriksaan tersebut bersifat sensitif dan mudah dilakukan. Perjalanan
respons imun pasien dengan infeksi rubella dijabarkan pada gambar 4. Antibodi
IgM rubella dapat dideteksi dalam 4 – 30 hari setelah awitan penyakit.
Pemeriksaan ini dapat mengonfirmasi infeksi rubella kecuali apabila pasien
mendapatkan vaksinasi yang mengandung virus rubella dalam 8 hari – 8
minggu sebelum spesimen diambil.32 Hasil positif palsu dapat terjadi pada
pasien dengan faktor reumatoid tinggi dan reaktivitas silang dengan infeksi
virus lain seperti parvovirus B19.23,24 Oleh karena itu pemeriksaan antibodi
IgM rubella tidak disarankan untuk dilakukan secara tunggal melainkan
dikombinasi dengan pemeriksaan aviditas antibodi dan deteksi virus rubella.
Hasil positif harus dikonfirmasi lebih lanjut apabila didapatkan pada wanita
hamil yang tidak mengalami gejala rubella dan tidak memiliki kontak dengan
orang yang terinfeksi rubella.24
Pemeriksaan antibodi IgG rubela harus dilakukan secara serial
menggunakan minimal dua spesimen serum dari dua waktu berbeda dan
dilakukan pada pasien yang tidak mendapatkan vaksinasi yang mengandung
virus rubella dalam kurun waktu 8 hari – 8 minggu sebelum pengambilan
spesimen.23,24 Serum pertama harus diambil sesegera mungkin setelah awitan
penyakit, sedangkan serum kedua diambil 10 – 21 hari setelah pengambilan
serum pertama. Pada kedua serum tersebut kemudian dinilai adanya kenaikan
titer IgG rubela. Pemeriksaan aviditas IgG rubella bermanfaat dalam
membedakan infeksi akut dan infeksi lampau.23 Didapatkannya IgG aviditas
tinggi pada pasien berkorelasi dengan infeksi lampau atau reinfeksi. Meskipun
demikian, pemeriksaan aviditas IgG rubella tidak banyak dilakukan karena
tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan memiliki sarana untuk melakukan
pemeriksaan tersebut.

Pemeriksaan Serologis pada Infeksi Virus Herpes Simpleks


Herpes simplex virus (HSV) adalah penyebab utama ulkus genital di seluruh
dunia.25 Galur HSV yang paling banyak menyebabkan ulkus genital adalah
HSV2. Infeksi HSV sering kali tidak terdiagnosis karena sebagian besar infeksi
bersifat asimtomatik. Transmisi HSV pada partner seksual atau neonatus
paling sering terjadi pada kasus-kasus asimtomatik. Infeksi HSV juga diketahui

57
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?

meningkatkan risiko transmisi HIV. Penegakkan diagnosis infeksi HSV penting


untuk dilakukan secara cepat dan tepat karena pemberian terapi antiviral
dapat menurunkan risiko transmisi HSV.25 Penegakkan diagnosis infeksi HSV
harus selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium karena manifestasi
klinis infeksi HSV seringkali tidak spesifik dan bersifat atipikal. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dilakukan adalah deteksi virus dan pemeriksaan
serologis. Diagnosis infeksi HSV definitif ditegakkan bila didapatkan HSV
pada daerah genital pasien melalui metode isolasi virus atau deteksi antigen.
Metode diagnostik yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
infeksi HSV terbagi menjadi dua yaitu pemeriksaan direk dan pemeriksaan
serologis indirek.25 Pemeriksaan direk terdiri atas isolasi virus, deteksi antigen,
pewarnaan Tzanck, pemeriksaan mikroskopis elektron, dan deteksi DNA virus
melalui PCR sedangkan pemeriksaan serologis indirek terdiri atas western blot
dan uji gG-based type-specific.
Deteksi antigen merupakan alternatif pemeriksaan yang dapat dikerjakan
apabila pada fasilitas pelayanan kesehatan tidak ada sarana yang diperlukan
untuk mengisolasi virus dengan sensitivitas yang hampir sama dengan isolasi
virus.33 Spesimen yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah apusan cairan
vesikel atau ulkus genital pasien yang diambil dalam waktu 3 hari setelah
awitan penyakit. Metode deteksi antigen yang dapat dilakukan adalah direct
fluorescence assay (DFA) dan uji imunoperoksidase. Sensitivitas pemeriksaan
DFA mencapai 90% dan memiliki kemampuan yang baik untuk mendeteksi
infeksi HSV primer. Hasil pemeriksaan DFA dikatakan positif apabila pada
spesimen didapatkan gambaran apple-green fluorescence pada nukleus dan
sitoplasma sel basal dan sel parabasal intak saat diperiksa menggunakan
mikroskop fluoresens.25
Pemeriksaan serologis indirek dilakukan dengan mendeteksi adanya
antibodi HSV.25 Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan virologis
lainnya tidak mampu laksana atau menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan ini
bermanfaat untuk mendiagnosis karier HSV asimtomatik yang bersifat sangat
infeksius. Pemeriksaan antibodi HSV dapat membedakan serotipe HSV1
dengan HSV2 melalui deteksi glikoprotein yang berbeda yaitu gG1 dan gG2.
Pemeriksaan western blot merupakan baku emas dalam deteksi antibodi HSV.
Pemeriksaan ini sangat sensitif dan dapat secara spesifik membedakan infeksi
HSV1 dan HSV2. Namun pemeriksaan ini tidak cost effective, memerlukan
waktu lama, dan bersifat operator dependent.33 Uji gG-based type-specific lebih
banyak dilakukan dibandingkan western blot dan telah tersedia secara komersil.
Contoh alat diagnostik uji gG-based type-specific yang telah tersedia adalah
HerpeSelect HSV1 dan HSV2 dari perusahaan Focus Technologies (USA)
yang menggunakan metode ELISA. Sensitivitas alat diagnostik ini adalah
sebesar 97% - 100% dengan spesifisitas sebesar 98% untuk masing-masing

58
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

serotipe HSV.25 Alat diagnostik ini juga memerlukan waktu lebih singkat
dalam mendeteksi terjadinya serokonversi yaitu 25 hari dari awitan penyakit
untuk HerpeSelect HSV1 (33 hari dengan western blot) dan 21 hari dari awitan
penyakit untuk HerpeSelect HSV2 (40 hari dengan western blot).

Pemeriksaan Serologis pada Varicella


Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mengonfirmasi diagnosis
varicella terutama pada kasus-kasus atipikal. Pemeriksaan laboratorium
yang dapat dilakukan adalah isolasi virus melalui PCR dan kultur virus serta
pemeriksaan serologis. Pemeriksaan serologis yang dapat dilakukan untuk
mengonfirmasi diagnosis varicella adalah deteksi antibodi IgM VZV atau
peningkatan titer antibodi IgG VZV sebanyak 4 kali lipat dari fase akut hingga
konvalesens.26 Deteksi antibodi IgM VZV yang dilakukan secara tunggal
tidak direkomendasikan karena tidak sensitif dan tidak spesifik. Pemeriksaan
tersebut dapat dikombinasi dengan deteksi peningkatan titer antibodi IgG VZV.
Pemeriksaan-pemeriksaan serologis tersebut harus dilakukan di laboratorium-
laboratorium yang terstandarisasi karena tidak semua alat diagnostik yang
telah beredar secara komersil memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik
dalam menegakkan diagnosis varicella.26

Pemeriksaan Serologis pada Campak


Antibodi IgM dan IgG campak terbentuk dalam beberapa hari setelah
munculnya ruam. Titer antibodi IgM mencapai puncak dalam 7 – 10 hari
dan menurun dengan cepat.23 Sedangkan titer antibodi IgG mencapai puncak
dalam 4 minggu dan persisten dalam jangka waktu yang lama. Paparan
terhadap virus campak setelah terjadi infeksi primer akan memicu kenaikan
titer IgG campak secara cepat sehingga manifestasi klinis penyakit tidak
terjadi. Imunitas terhadap campak dapat bertahan hingga seumur hidup.
Diagnosis campak dapat ditegakkan melalui penilaian kondisi klinis pasien.23
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mengonfirmasi diagnosis pada
kasus-kasus atipikal dan kasus-kasus ringan di mana manifestasi klinis tidak
tampak jelas. Pemeriksaan laboratorium yang dapat bermanfaat untuk
mengonfirmasi diagnosis campak antara lain adalah pemeriksaan serologis
melalui deteksi antibodi IgM dan IgG campak, deteksi virus, dan isolasi virus.
Pendeteksian virus dan isolasi virus menggunakan spesimen klinis tidak rutin
dilakukan karena memiliki sensitivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan
pemeriksaan serologis.23
Deteksi antibodi IgM campak dapat dilakukan menggunakan metode
EIA kecuali pada pasien yang menerima vaksinasi mengandung virus campak
dalam kurun waktu 8 hari hingga 6 minggu sebelum pengambilan spesimen,

59
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?

tidak memiliki bukti kontak dengan pasien campak, dan tidak memiliki riwayat
bepergian ke daerah endemis campak.23
Pemeriksaan antibodi IgG campak harus dilakukan menggunakan dua
spesimen di mana spesimen kedua diambil sekurang-kurangnya 10 hari setelah
pengambilan spesimen pertama. Serokonversi sebesar 4 kali lipat menandakan
hasil positif. Pemeriksaan antibodi IgG campak juga tidak dapat dilakukan
pada pasien yang menerima vaksinasi mengandung virus campak dalam kurun
waktu 8 hari hingga 6 minggu sebelum pengambilan spesimen, tidak memiliki
bukti kontak dengan pasien campak, dan tidak memiliki riwayat bepergian ke
daerah endemis campak.23 Pemeriksaan aviditas IgG campak dapat dilakukan
untuk membedakan infeksi akut dan infeksi lampau.23 Pemeriksaan aviditas IgG
campak tidak rutin dilakukan karena membutuhkan alat-alat dan laboratorium
khusus yang telah distandarisasi.
Biomarker diagnosis baru untuk membedakan infeksi bakteri dari virus
pada anak Untuk memastikan pengobatan yang memadai bagi pasien infeksi
diperlukan informasi rinci. Meski hitung leukosit dan CRP merupakan
indikator infeksi yang bermanfaat, diperlukan indikator pemeriksaan yang
cepat dan mudah untuk meningkatkan kemampuan meningkatkan diagnosis.
Disamping itu, membedakan bakteri dan virus sebagai patogen kausatif
merupakan suatu hal yang sangat penting. Beberapa studi memperlihatkan
level ekspresi TLR2 dan TLR4 dalam neutrofil yang berasal dari individu yang
terinfeksi bakteri(n=118) dan virus (n=34) tercatat lebih tinggi dibandingkan
dengan sampel kontrol (n=47). Demikian pula, level lebih tinggi dari TNF-α
pada pasien kedua infeksi di amati serta IL-2, IL8 dan IL 10 pasca infeksi virus
juga diamati, menunjukkan level interleukin tadi secara bermakna meningkat
dibandingkan 1 hari pasca infeksi bakteri. Berdasarkan penelitian tersebut,
IL-4, IL-8, IL-10, IL-12 dan TNF-α mungkin merupakan biomarker infeksi,
sebagai tambahan dari hitung leukosit dan level CRP, dan IL-2, IL8 serta IL-10
berpotensi dapat membedakan antara infeksi bakteri dan virus.

Kapan harus dilakukan pemeriksaan laboratorium


Biakan darah tetap merupakan diagnosis laboratorium utama dalam
menegakkan diagnosis infeksi bakteri pada bayi dan anak. Menemukan patogen
merupakan suatu keberhasilan untuk konfirmasi diagnosis dan memungkinkan
untuk identifikasi serta menguji organisme agar terapi antimikroba yang
diberikan optimal. Hasil biakan negatif juga sama kepentingannya, karena
menyingkirkan kasus bakteremia dan mengharuskan kita mencari etiologi
infeksi dan non infeksi sehingga menghindari penggunaan antimikroba yang
tidak perlu.
Interpretasi hasil laboratorium oleh para klinisi sangat diperlukan, oleh

60
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

karena itu pemilihan pemeriksaan harus berdasarkan kondisi klinis, anamnesis


dan pemeriksaan fisis, yang memegang peranan strategis dalam menentukan
pemeriksaan laboratorium. Patut diingat, bahwa nilai laboratorium dewasa
pada bayi serta anak dapat juga berbeda, demikian pula untuk setiap golongan
umur. Untuk itu, kebijakan dalam pemilihan uji laboratorium pun diperlukan
bagi setiap dokter.

Pemeriksaan laboratorium baru untuk membedakan


infeksi bakteri dan virus
Sebagian besar tantangan tatanlaksana pasien dengan demam, terutama pada
anak, adalah kesulitan klinisi untuk membedakan antara infeksi bakteri dan
virus. Ketidakpastian klinisi ini memacu penggunaan antibiotik yang tidak
tepat, sehingga berakibat dosis yang kurang atau malah kelebihan dosis, yang
akan merugikan pasien, sistem kesehatan dan masyarakat. Meski uji diagnostik
untuk mendeteksi patogen dapat menolong dalam menentukan etiologi infeksi,
seringkali sulit, oleh karena terpengaruh keterbatasan kunci berikut ini, seperti
lamanya waktu untuk menerima hasil, kebutuhan mendapatkan sampel dari
tempat infeksi yang sulit, ketidak pastian interpretasi klinis untuk identifikasi
menyingkirkan kemungkinan koinfeksi bakteri, dan munculnya alarm yang
salah yang disebabkan terambilnya mikroba pathogen yang berpotensi dan
diduga merupakan bagian dari flora nomal.
Akhir-akhir ini ada peneliti yang memeriksa host-RNA signatures sebagai
respons berbagai infeksi, dan memperlihatkan hasil yang menggembirakan,
namun kesulitan masih ditemukan dalam pengukuran secara kuantittaif
multiple host RNA, terutama pada waktu menentukan titik yang dibutuhkan.
Sebaliknya, protein host (terutama yang larut) menggembirakan sebagai uji
diagnostik, karena mudah dan cepat dengan menggunakan teknologi yang
telah ada.
Sampai saat ini protein yang secara rutin dipakai adalah C-reactive
protein (CRP), namun petanda ini sangat bervariasi bergantung kepada
pasien. Saat ini, telah selesai dirancang 3-protein host-assay, suatu viral-induced
host protein yang disebut sebagai tumor necrosis factor-related apoptosis-inducing
ligand (TRAIL), dan juga interferon γ-induced protein dan traditional bacterial-
induced protein CRP. Host-signature assay ini secara tepat dapat membedakan
infeksi bakteri dari infeksi virus dan mempunyai nilai sensivisitas 92% dan
spesifistas 89%. Hasil yang mengembirakan ini akan mendukung para klinisi
untuk menghindari luputnya infeksi bakteri atau pengunaan antibiotik yang
berkelebihan.29

61
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?

Simpulan
Bagi klinisi, harus disadari, meski data laboratorium potensial sangat bermanfaat
dalam menegakkan diagnosis, namun harus tetap digunakan sebagai tambahan
atau pelengkap dari penemuan riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisis
yang berhubungan dengan keadaan klinis pasien. Klinisi harus mengobati
pasien, bukan hasil laboratorium.

Daftar pustaka
1. Frank HW. Clinical Laboratory Tests: Which, Why, and What Do The Results
Mean? Laboratory Medicine 2009;40,(2): 105–13.
2. Mohan A, Harikrishna J. Biomarkers for the diagnosis of bacterial infections: in
pursuit of the ‘holy grail’. Indian J Med Res. 2015 Mar; 141(3): 271-3.
3. Bennet NJ. Bacteremia Workup.Medscape. Updated:Sep 08, 2017 [cited 16 April
2018]. Didapat dari URL: https://emedicine.medscape.com/article/961169-
overview.
4. Weinberg G. Occult Bacteremia and Fever Without Apparent Source in Infants
and Young Children. MSD Manual Proffesional version [cited 17 April 2018].
Didapat dari: URL:https://www.msdmanuals.com/pediatrics/bacterialchildren/
occult-bacteremia.
5. Steele RW. Pediatric Pneumococcal Bacteremia. Medscape, updated 2015 [cited
17 April 2018]. Didapat dari:URL:https://emedicine.medscape.com/article/967600-
overview.
6. Ploegstra WM, Onnes B, de Vries NK, Kamps AW. Occult pneumonia in a child.
BMJ Case Rep. 2012 (8):1.
7. Qu J, Lü X, Liu Y, Wang X. Evaluation of procalcitonin, C-reactive protein,
interleukin-6 & serum amyloid A as diagnostic biomarkers of bacterial infection
in febrile patients. Indian J Med Res. 2015;141:315–21.
8. Chinelo P Onyenekwu Charles I Okwundu Eleanor A Ochodo. Procalcitonin,
C-reactive protein, and presepsin for the diagnosis of sepsis in adults and children.
5 April 2017.
9. Baumann P,  Baer G,  Boenhoeffer J,Fuchs A, Gotta V, Heininger U, Ritz N, 
Szinnai G, Bonhoeffer J. Procalcitonin for Diagnostics and Treatment Decisions
in Pediatric Lower Respiratory Tract Infections. Front Pediatr 2017; 28.
10. Gomez B, Bressan S, Mintegi S, Dalt LD, Blazquez D, Olaciregui I,Torre M,Palacios
M, Berlese M, Ruano A. Diagnostic Value of Procalcitonin in Well-Appearing
Young Febrile Infants. Pediatrics 2012;130,(5): 815-22.
11. Wei TT, Zhi-De Hu, Qin BD, Ma N, Tang QQ, Wang LL, Zhou L, Zhong RQ.
Diagnostic Accuracy of Procalcitonin in Bacterial Meningitis Versus Nonbacterial
Meningitis. Medicine 95,(11), 2016:1-9
12. Tsai JD , Lin CC, Yang SS . Diagnosis of pediatric urinary tract infections.
Urological Science 27 (2016) 131-4.
13. Karen H K , Arvinda S , Maupi E L , Greta H , Claire L C , Anne B M, John
A. Sensitivity and specificity of typhoid fever rapid antibody tests for laboratory

62
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

diagnosis at two sub-Saharan African sites. Bulletin of the World Health


Organization 2011;89:640-7.
14. Sushma Krishna, Seemanthini Desai, VK Anjana, RG Paranthaaman. Typhidot
(IgM) as a reliable and rapid diagnostic test for typhoid fever. Annals of Tropical
Medicine and Public Health 2011;4(1): 42-4.
15. Bard JD, Te Kippe EM. Diagnosis of Bloodstream Infections in Children. J Clin
Microbiol 2016; 54(6): 1418–24.
16. Ross SA, Novak Z, Pati S, Boppana SB. Diagnosis of cytomegalovirus infections.
Infect Disord Drug Targets. 2011; 11(5):466-74.
17. Bhatia J, Shah BV, Mehta AP, Deshmukh M, Sirsat RA, Rodrigues C. Comparing
serology, antigenemia assay and polymerase chain reaction for the diagnosis of
cytomegalovirus infection in renal transplant patients. J. Assoc. Physicians India.
2004; 52:297-300.
18. Sousa-Figueiredo JC, Betson M, Kabatereine NB, et al. The urine circulating
cathodic antigen (CCA) dipstick: a valid substitute for microscopy for mapping
and point-of-care diagnosis of intestinal schistosomiasis. PLoS Negl. Trop. Dis.
2013; 7:e2008.
19. Swanson EC, Schleiss MR. Congenital cytomegalovirus infection: new prospects
for prevention and therapy. Pediatr Clin North Am. 2013; 60(2):doi:10.1016/j.
pcl.2012.12.008.
20. Centers for Disease Control and Prevention. Cytomegalovirus (CMV) and
congenital CMV infection: interpretation of laboratory tests [Internet]. Atlanta:
Centers for Disease Control and Prevention; June 17 2016 [cited 2018 April 17].
Available from http://www.cdc.gov/cmv/clinical/lab-tests.html.
21. World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and
control of dengue and dengue haemorrhagic fever: revised and expanded edition
[Internet]. New Delhi: World Health Organization; 2011 [cited 2018 April 17].
Available from http://apps.searo.who.int/pds_docs/B4751.pdf?ua=1.
22. McLean H, Redd S, Abernathy E, Icenogle J, Wallace G. Rubella. In: VPD
surveillance manual 5th Ed [Internet]. Atlanta: Centers for Disease Control
and Prevention; 2012 [cited 2016 June 27]. Available from http://www.cdc.gov/
vaccines/pubs/surv-manual/chpt14-rubella.pdf.
23. World Health Organization. Manual for the laboratory diagnosis of measles
and rubella virus infection: second edition [Internet]. Geneva: World Health
Organization; 2007 [cited 2018 April 17]. Available from http://www.who.int/
ihr/elibrary/manual_diagn_lab_mea_rub_en.pdf.
24. Singh A, Preiksaitis J, Romanowski B. The laboratory diagnosis of herpes simplex
virus infection. Can J Infect Dis Med Microbiol. 2005;16(2): 92-8.
25. Singh A, Preiksaitis J, Romanowski B. The laboratory diagnosis of herpes simplex
virus infection. Can J Infect Dis Med Microbiol. 2005;16(2): 92-8.
26. McLean H, Redd S, Abernathy E, Icenogle J, Wallace G. Varicella. In: VPD
surveillance manual 5th Ed [Internet]. Atlanta: Centers for Disease Control and
Prevention; 2012 [cited 2018 April 2018]. Diambil dari URL: http://www.cdc.
gov/vaccines/pubs/surv-manual/chpt17-varicella.pdf.
27. Hamilton JL, John SP. Evaluation of Fever in Infants and Young Children. Am
Fam Physician 2013;87(4):254-60.

63
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?

28. Yusa T, Tateda K, Ohara A, Miyazaki S. New possible biomarkers for diagnosis
of infections and diagnostic distinction between bacterial and viral infections in
children. J Infect Chemother. 2017;23(2):96-100.
29. S r u g o I , K l e i n A , S t e i n M , G o l a n - S h a n y O P, Ke r e m G ,
Chistyakov I, Genizi J, et al. Novell assay to Distinguish Bacterial and Viral
Infection. PEDIATRICS 2017;140, (4): 1-13.

64
Interpretation of Antibiotic Resistance in
Susceptibility Test
Anis Karuniawati

Tujuan:
1. Meningkatkan pemahaman tentang interpretasi hasil uji
kepekaan antibiotik

Antibiotic stewardship yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai


penatagunaan antibiotik merupakan upaya untuk menggunaan antibiotik,
baik sebagai profilaksis ataupun terapi dengan bijak. Antibiotic stewardship
merupakan salah satu strategi untuk mengatasi masalah resistensi antimikroba
dalam penanganan pasien melalui kerjasama inter-profesional. Strategi tersebut
meliputi ketepatan pemilihan, waktu, dosis, dan durasi pemberian antimikroba
sehingga meminimalisasi toksisitas obat.1
Terdapat 4 tujuan antimicrobial stewardship yang utama, yaitu
meningkatkan luaran (outcome) pasien; meningkatkan keselamatan pasien
(patient safety); mengurangi laju resistensi mikroba terhadap antimikroba;
dan mengurangi biaya perawatan.2 Keempat tujuan tersebut tentu saling
berhubungan dan mempengaruhi. Pencapaian salah satu tujuan secara
langsung atau tidak akan memengaruhi keberhasilan tujuan lainnya. Dalam
makalah ini dibahas tentang interpretasi hasil pemeriksaan mikrobiologi yang
sangat menentukan pemilihan antibiotik yang tepat bagi pasien sesuai tujuan
antimicrobial stewardship.
Pengetahuan tentang patogenesis penyakit infeksi, sifat mikroba,
mekanisme kerja dan resistensi antibiotik sangatlah diperlukan dalam
menginterpretasi hasil pemeriksaan mikrobiologi dengan tepat. Interpretasi
hasil meliputi interpretasi pertumbuhan bakteri (atau mikroba lain yang
terdeteksi melalui metode selain biakan), maupun hasil uji kepekaan
antibiotiknya. Meskipun hasil uji menunjukkan peka atau susceptible, pemilihan
antibiotik tidak dapat disamakan misalnya antara bakteri yang tergolong Family
Enterobacteriaceae dan bakteri non-fermenter seperti Pseudomonas aeruginosa
dan Acinetobacter baumannii.

65
Interpretasi Hasil Uji Kepekaan Antibiotik

Pertumbuhan bakteri dari spesimen, atau bahan uji apapun perlu dikaji
dengan baik untuk dapat diputuskan bahwa bakteri tersebut merupakan
kontaminan, kolonisasi atau patogen penyebab infeksi. Interpretasi akan
menjadi lebih mudah bila pemeriksaan mikrobiologi dilakukan pada spesimen
pasien dengan diagnosis infeksi, dan spesimen yang diperiksa tersebut diambil
dari tempat dan dengan cara yang tepat. Bakteri dianggap sebagai kontaminan
bila tumbuh dari spesimen yang seharusnya steril namun terkontaminasi pada
saat pengambilan spesimen. Sebagai contoh adalah spesimen darah yang
terkontaminasi bakteri yang tumbuh sebagai flora normal pada kulit tempat
dilakukan punksi vena. Bakteri dianggap sebagai kolonisasi bila tumbuh
dari spesimen yang berasal dari sistem, organ atau mukosa yang tidak ada
tanda infeksi. Bakteri dapat pula dianggap sebagai kolonisasi apabila tidak
terdapat bukti ilmiah yang dapat menjelaskan bahwa bakteri tersebut dapat
menyebabkan infeksi pada suatu sistem atau organ tempat asal spesimen.
Sebagai contoh pada mukosa saluran napas atas dapat ditemukan berbagai jenis
bakteri flora normal, sehingga pada keadaan tanpa tanda infeksi bila dilakukan
biakan dari usap mukosa saluran napas atas maka akan tumbuh bakteri yang
berkolonisasi. Bakteri yang ditemukan pada biakan dianggap patogen bila
spesimen yang diperiksa berasal dari sistem atau organ dengan tanda infeksi
yang jelas. Selain itu juga terdapat bukti ilmiah yang dapat menjelaskan
patogenesis terjadinya infeksi serta data epidemiologi yang mendukung.
Hasil interpretasi tentang patogen atau tidaknya bakteri yang tumbuh selain
sangat penting untuk menegakkan diagnosis, juga untuk menentukan perlu atau
tidaknya pemeriksaan dilanjutkan uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik.
Apabila uji kepekaan harus dilakukan maka perlu ditetapkan jenis antibiotik
yang diuji dengan mempertimbangkan beberapa hal diantaranya kesesuaian jenis
antibiotik yang diuji dengan ketersediaan obat di fasilitas layanan kesehatan
tersebut atau kebutuhan pasien pada jenis antibiotik yang tersedia berupa sediaan
oral atau parenteral. Disamping kedua hal tersebut, perlu pula dipertimbangkan
pula sifat resistensi intrinsik yang dimiliki bakteri. Apabila sudah diketahui sifat
resisten bakteri secara intrinsik terhadap antibiotik tertentu maka tidak perlu
dilakukan uji kepekaan untuk efisiensi biaya.
Pengetahuan tentang mekanisme kerja dan resistensi antibiotik sangat
diperlukan dalam melakukan interpretasi hasil uji kepekaan bakteri. Secara
garis besar mekanisme kerja antibiotik dapat dikelompokkan menjadi 4,
yaitu mengganggu sintesis dinding sel (penisilin, sefalosporin, karbapenem,
monobaktam, dan glikopeptida termasuk vankomisin dan teikoplanin);
menghambat sintesis protein (makrolid, aminoglikosida, tetrasiklin,
kloramfenikol, streptogramins, dan oxazolidinones); mengganggu sintesis asam
nukleat (fluorokuinolon); dan menghambat jalur metabolik (trimethoprim-
sulfametoksazol); merusak membran sitoplasma sel (polimiksin, daptomisin).3

66
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Sifat bakteri yang resisten terhadap antibiotik dapat merupakan sifat


intrinsik yang dimilikinya secara turun menurun atau sifat yang didapat. Suatu
populasi bakteri yang peka terhadap antibiotik tertentu bisa menjadi resisten
atau kebal terhadap 1 atau lebih antibiotik melalui proses mutasi, seleksi, atau
mendapatkan gen pengkode sifat resisten dari bakteri lain. Pemindahan gen
pengkode resisten dari satu bakteri ke bakteri lainnya terjadi akibat salah satu
mekanisme, yaitu transformasi, konjugasi, atau transduksi. Sifat resisten yang
didapat akibat mutasi dan seleksi kromosom disebut sebagai evolusi vertikal,
sedangkan sifat resisten yang didapat akibat mendapatkan gen pengkode
resisten dari bakteri lain disebut sebagai evolusi horizontal. Evolusi horizontal
dapat terjadi antar strain, antar spesies bakteri atau bahkan antar genus yang
berbeda.
Mutasi dan perpindahan gen resisten menimbulkan mekanisme
resistensi berupa perubahan protein target antibiotik melalui modifikasi atau
mengeliminasi binding site (contoh perubahan penicillin-binding protein 2b
mengakibatkan bakteri resisten terhadap penisilin); menghasilkan enzim yang
menginaktifasi antibiotik (contoh beta-laktamase); mengubah outer membrane
protein channel untuk masuknya molekul antibiotik ke dalam sel bakteri (contoh
OmpF pada E.coli), meningkatkan aktifitas pompa yang mengeluarkan molekul
obat keluar dari sel (contoh efflux fluorokuinolon pada S.aureus).
Berikut ini disampaikan contoh kasus nyata yang dapat membantu
memahami perkembangan sifat resisten suatu spesies bakteri sehingga hasil uji
kepekaan bakteri yang sama dari pasien yang sama dapat berubah dari waktu
ke waktu selama periode perawatan pasien.Seorang anak perempuan, 4 tahun
masuk rumah sakit dengan aplastik anemia dan bakteremia. Hasil kultur darah
pada minggu pertama perawatan adalah E.coli yang resisten terhadap ampisilin
dan sefalosporin spektrum sempit tapi masih peka terhadap sefalosporin
generasi 3. Selama 3 minggu perawatan pasien mendapat terapi beberapa
macam antibiotik untuk mengatasi demam persisten dan bakteremianya.
Antibiotik yang telah diberikan selama masa perawatan meliputi tikarsilin,
gentamisin, sefotaksim, seftazidim, vankomisin dan klindamisin. Pada
minggu ke-4 hasil kultur darah menunjukkan pertumbuhan E.coli dengan
peningkatan resistensi terhadap sefalosporin generasi 3, terutama seftazidim
dan aztreonam. Terdapat kemungkinan bahwa dalam darah pasien terdapat
beberapa strain E.coli dengan sifat resisten yang berbeda, namun demikian
hasil uji typing menunjukkan E.coli yang tumbuh berasal dari strain yang
sama. Berdasarkan pemeriksaan secara molekuler diperoleh bukti bahwa
strain E.coli di dalam tubuh pasien telah memiliki gen TEM-1 yang mengkode
produksi beta-laktamase. Dalam waktu kurang dari 2 bulan selama periode
perawatan, E.coli mendapatkan gen baru yaitu SHV-1 yang memediasi sifat
resisten terhadap sefalosporin generasi 3; mutasi gen SHV-1 menjadi SHV-8

67
Interpretasi Hasil Uji Kepekaan Antibiotik

yang lebih meningkatkan resistensi terhadap sefalosporin dan downregulated


porin dinding sel (OmpF) yang berakibat peningkatan resistensi terhadap
sefalosporin dan sefamisin.3
Hasil pemeriksaan mikrobiologi seringkali memberikan hasil uji kepekaan
yang berubah meskipun spesies bakteri yang diuji sama. Dalam keadaan
seperti ini interpretasi harus dilakukan secara hati-hati. Kepastian bahwa hasil
identifikasi bakteri adalah benar, interpretasi bahwa bakteri adalah patogen
pada pasien tersebut, dan terjaminnya kualitas hasil uji kepekaan antibiotik
sangat penting sebagai dasar interpretasi yang tepat.
Pemilihan jenis antibiotik yang diuji pada spesies bakteri tertentu telah
ditetapkan oleh acuan standar yang digunakan. Pada umumnya laboratorium
mikrobiologi di Indonesia menggunakan Clinical and Laboratory Standard
Institute (CLSI) sebagai acuan standar uji. Dalam standar tersebut telah
ditetapkan antara lain jenis antibiotik, breakpoint masing-masing antibiotik
untuk disebut sebagai S (susceptible=peka), I (intermediate), atau R
(resistance=kebal) serta peraturan pelaporan berdasarkan kesepakatan para
ahli.4 Hasil uji kepekaan S, I, ataupun R tidak diinterpretasi secara langsung
hanya dengan melihat hurufnya saja dan kemudian dipilih antibiotik yang
S tanpa melihat nama spesies bakteri. Rangkaian hasil uji kepekaan harus
diinterpretasi secara menyeluruh dan apabila ada hasil yang R dan S, ditelaah
dengan baik kemungkinan adanya resistensi silang, atau merupakan penanda
resistensi antibiotik lainnya.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam melakukan pemilihan
antibiotik berdasarkan hasil uji kepekaan adalah sebagai berikut:

Fenotip resisten yang tidak biasa (Exceptional resistance


phenotypes)
Hasil uji kepekaan pada spesies bakteri tertentu yang belum pernah atau sangat
jarang dilaporkan sebagai resisten terhadap antibiotik tertentu, harus diuji
ulang untuk memastikan kebenaran identifikasi dan hasil uji kepekaannya.
Apabila pada uji ulang memberikan hasil yang sama maka isolat dikirimkan
ke laboratorium rujukan untuk konfirmasi. Fenotip resisten yang tidak biasa
ini tentu sangat berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya, demikian juga
dari satu periode waktu ke periode waktu lainnya. Contoh fenotip resisten
yang tidak biasa adalah Streptococcus pyogenes resisten terhadap penisilin,
Staphylococcus aureus resisten terhadap vankomisin, Neisseria gonorrhoeae
resisten terhadap sefalosporin generasi 3 dan spektinomisin, bakteri anaerob
resisten terhadap metronidazole.5

68
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Sifat resisten intrinsik atau inherent


Bakteri tertentu memiliki sifat resisten secara intrinsik atau inherent terhadap
antibiotik tertentu. Pada keadaan seperti ini uji kepekaan tidak perlu dilakukan,
kalaupun dilakukan dan hasilnya menunjukkan susceptible atau peka maka
perlu dilakukan evaluasi hasil identifikasi spesies dan uji kepekaannya kembali.
Apabila hasil tetap menunjukkan peka, sebaiknya antibiotik tidak digunakan
dan bila tidak ada pilihan antibiotik lain maka dapat ‘terpaksa’ digunakan
dengan hati-hati dan pemantauan klinis dengan ketat. Terdapat kemungkinan
secara in vitro bakteri menunjukkan peka namun sebaliknya secara in vivo
antibiotik menjadi tidak aktif. Contoh resistensi intrinsik adalah:5
yy Enterobacteriaceae resisten intrinsik terhadap linezolid
yy Proteus mirabilis resisten intrinsik terhadap nitrofurantoin dan kolistin,
yy Serratia marcescens resisten intrinsik terhadap kolistin
yy Stenotrophomonas maltophilia resisten intrinsik terhadap karbapenem
yy Acinetobacter baumannii resisten intrinsik terhadap amoksisilin asam
klavulanat, sefazolin, sefotaksim, seftriakson, fosfomisin
yy Pseudomonas aeruginosa resisten intrinsik terhadap amoksisilin-asam
klavulanat, sefazolin, sefotaksim, seftriakson, ertapenem, kloramfenikol,
kanamisin, tigesiklin dan seterusnya.

Interpretative reading dan expert rules


Dalam hal ini, interpretasi hasil uji kepekaan dilakukan berdasarkan
mekanisme resistensi yang terjadi; jenis antibiotik yang diuji dan seringkali
juga dengan mempertimbangkan MIC isolat klinis yang diuji. Sebagai contoh
hasil uji kepekaan semua bakteri terhadap azythromisin, clarithromycin,
dan roxithromycin mengikuti hasil uji erythromycin, karena terdapatnya
kemungkinan resistensi silang antar antibiotik golongan makrolid tersebut.
Berdasarkan adanya kemungkinan resistensi silang, maka dapat dilakukan
pengubahan hasil kepekaan dari S menjadi R, tapi perlu diperhatikan bahwa
tidak pernah ada hasil I atau R diubah menjadi S atau R diubah menjadi I.
Meskipun misalnya terdapat bakteri yang selalu memberi hasil S terhadap
antibiotik tertentu tapi pada suatu saat memberi hasil R, maka perlu dipikirkan
adanya kemungkinan bakteri memiliki mekanisme resistensi baru dan perlu
diteliti lebih lanjut.5
Interpretasi yang dilakukan dalam hal ini tentu harus berbasis bukti
dan perlu diinformasikan kepada klinisi tentang kekuatan bukti tersebut.
Kekuatan bukti terdiri dari 3 tingkatan yaitu terdapat bukti klinis yang baik
bahwa pelaporan hasil sebagai susceptible atau peka menyebabkan kegagalan
terapi (A); bukti lemah, hanya berdasarkan beberapa laporan atau percobaan.
Pelaporan hasil sebagai susceptible atau peka dianggap mengakibatkan kegagalan

69
Interpretasi Hasil Uji Kepekaan Antibiotik

terapi (B); tidak terdapat bukti klinis tapi data mikrobiologi menyarankan
penggunaan antibiotik sebaiknya dihindari (C). European Committee on
Antimicrobial Susceptibility Testing (EUCAST) menyusun expert rules yang
berbeda dengan CLSI pada beberapa jenis bakteri, namun kedua standar
dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk menginterpretasi hasil (Tabel 1).5

Bakteri Antibiotik yang diuji Aturan Pengecualian, dasar Evidence


ilmiah, komentar grade
Staphylococcus Oxacillin, cefoxitin Bila R terhadap isoxazolyl- Produksi PBP2a (yang A
spp. (difusi cakram) atau penicillins (oxacillin, dikode oleh mecA)
deteksi mecA atau cefoxitin, terdeteksi mecA menyebabkan resistensi
PBP2a atau PBP2a) maka semua silang dengan antibiotik
gol. beta-laktam dilaporkan gol.beta-laktam
R, kecuali gol.beta-laktam kecuali seftobiprol dan
yang memang ditujukan seftarolin.
untuk terapi infeksi oleh
Staphylococcus sp.yang
resisten metilsilin.
Enterobacteriaceae Ciprofloxacin Jika R terhadap ciprofloxacin, Resistensi terjadi B
maka semua fluorokuinolon akibat adanya minimal
dilaporkan R 2 mutasi target yaitu
gyrA atau gyrA dan
parC. Kecuali produksi
enzim AAC(6’)-lb-cr
mungkin mempengaruhi
ciprofloxacin tapi tidak
levofloxacin
Enterobacteriaceae Ticarcillin dan Jika R terhadap ticarcillin tapi Ticarcillin-hydrolysing C
(terutama Piperacillin S terhadap piperacillin maka β-lactamases juga
K.pneumoniae dan piperacillin diubah menjadi R merusak piperacillin, tapi
E.coli) resistensi kurang jelas
bila ekspresi rendah.

Di dalam panduan CLSI yang mengatur tentang prosedur uji kepekaan


antibiotik, jenis dan konsentrasi antibiotik yang diuji, juga mencantumkan cara
menginterpretasi dan aturan yang telah disepakati oleh para ahli (expert rules),
diantaranya adalah hasil uji kepekaan bakteri tertentu tidak boleh dilaporkan
sebagai susceptible atau peka terhadap antibiotik tertentu (contoh Salmonella sp.
dan Shigella sp. tidak dilaporkan peka terhadap sefalosporin generasi 1 dan 2,
sefamisin, dan aminoglikosida; Enterococcus sp. tidak dilaporkan peka terhadap
aminoglosida, sefalosporin, klindamisin, trimethoprim-sulfametoksasol).
Panduan CLSI menyatakan bahwa beberapa isolat dapat berkembang
menjadi intermediate atau resisten beberapa hari setelah terapi antibiotik.
Bahkan dalam 3-4 hari setelah terapi beberapa spesies seperti Enterobacter,
Citrobacter, dan Serratia spp. dapat menjadi resisten terhadap sefalosporin
generasi 3, sedangkan Pseudomonas aeruginosa berkembang menjadi resisten
terhadap semua antibiotik dan Staphylococcus sp. terhadap fluorokuinolon.

70
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Demikian pula S.aureus yang peka vankomisin akan menjadi berubah menjadi
intermediate setelah durasi terapi diperpanjang.4 Hasil biakan ulangan dari
spesimen yang sama dari seorang pasien seringkali membingungkan klinisi,
namun dengan pengetahuan yang baik tentang mekanisme resistensi maka
hal tersebut dapat dijelaskan alasannya secara ilmiah.4
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa interpretasi hasil uji kepekaan
harus dilakukan berdasarkan jenis bakteri dan antibiotiknya. Berikut ini adalah
contoh interpretasi hasil uji kepkaan berdasarkan kelompok atau jenis bakteri
dan antibiotiknya:4
yy Staphylococcus spp.
–– Resistensi terhadap oxacillin (uji menggunakan cefoxitin) pada
umumnya karena mempunyai gen mecA yang mengkode penicillin-
binding protein 2A (PBP2A)
–– Staphylococcus aureus dan Staphylococcus non-coagulase yang resisten
terhadap oxacillin (=methicillin resistant Staphylococcus, MRS) dianggap
resisten terhadap antibiotik golongan β-lactam lainnya (penisilin,
β-lactam/ β-lactamase inhibitor, cephems (kecuali yang memiliki
aktifitas anti-MRSA, dan karbapenem), karena dari berbagai studi
menunjukkan bahwa terapi infeksi oleh MRS dengan antibiotik
tersebut tidak memberi respon yang baik.
yy Bulkhoderia cepacia complex
–– Uji kepekaan dan interpretasinya hanya dilakukan pada antibiotik
ticarcillin-clavulanate, ceftazidime, meropenem, minocycline,
levofloxacin, trimethoprim-sulphamethoxazole, chloramphenicol
(tidak dilaporkan untuk isolat dari urin)
yy Stenotrophomonas maltophilia
–– Uji kepekaan dan interpretasinya hanya dilakukan pada antibiotik
ticarcillin-clavulanate, ceftazidime, minocycline, levofloxacin,
trimethoprim-sulphamethoxazole, chloramphenicol (tidak dilaporkan
untuk isolat dari urin)
yy Pseudomonas aeruginosa
–– Terdapat kemungkinan bakteri yang peka berkembang menjadi resisten
terhadap berbagai antibiotik setelah terapi antibiotik 3-4 hari. Oleh
karenanya dianjurkan dilakukan pemeriksaan ulang.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa interpretasi


hasil uji kepekaan memerlukan pengetahuan yang baik tentang mekanisme
kerja antibiotik, mekanisme resistensi, kemungkinan adanya resistensi silang,
dan yang juga harus diperhatikan pemilihan antibiotik didasari bukti ilmiah,
bukan sekedar pengalaman klinis. Hasil uji kepekaan harus disertai interpretasi

71
Interpretasi Hasil Uji Kepekaan Antibiotik

dan pendapat ahli, dalam hal ini spesialis mikrobiologi klinik, sehingga
keputusan tatalaksana yang dipilih dapat meningkatkan luaran klinis dan
menurunkan kemungkinan terjadinya resistensi antibiotik.

Daftar pustaka
1. Nathwani, D. Antimicrobial stewardship. In: Hospitals epidemiology and infection
control; Ed: C.Glen Mayhall; 4th Edition, Philadelphia, Lippincott, Williams and
Wilkins, 2012
2. McGowan JE Jr. Antimicrobial stewardship – the State of the Art in 2011: Focus
on Outcomes and Methods. ICHE 2012;33;331-7
3. Tenover, FC. The American Journal of Medicine (2006) Vol 119 (6A), S3–S10
4. Clinical and Laboratory Standard Institute. M100 S25. Performance Standards
for Antimicrobial Susceptibility Testing; Twenty-fifth Informational Supplement.
2015
5. Leclercq, R. et al. Review: EUCAST expert rules in antimicrobial susceptibility
testing. Clinical Microbiology and Infection. 2011

72
Antibiotic Choice in
Hemato-Oncology Patient
Hikari Ambara Sjakti

Tujuan:
1. Mengetahui risiko terjadinya demam neutropenia dan
penggunaan sistem skor dalam memprediksi prognosis demam
neutropenia pada pasien kanker anak
2. Memahami pemilihan antibiotik pada pasien kanker anak
dengan demam neutropenia

Pasien kanker terutama leukemia merupakan pasien dengan keadaan


imunokompromais. Pemberian kemoterapi akan memperberat keadaan
tersebut sehingga pasien memiliki risiko tinggi mengalami infeksi, mulai dari
yang ringan sampai berat dan mengancam jiwa terutama jika pasien dalam
keadaan neutropenia berat. Dalam naskah singkat ini akan dijelaskan mengenai
penanganan pasien kanker yang menderita infeksi terutama dalam keadaan
neutropenia. Beberapa hal yang akan dibahas adalah:
yy stratifikasi risiko demam neutropenia
yy pemilihan antibiotik empirik
yy modifikasi antibiotik
Pasien kanker, terutama setelah mendapat kemoterapi berada dalam
keadaan imunokompromais yang membuatnya rentan terhadap infeksi baik
infeksi bakteri, virus atau jamur. Setiap pasien pasti akan mengalami episode
infeksi selama menjalani kemoterapi, bahkan demam neutropenia bisa dialami
lebih dari sekali. Penelitian yang melibatkan 409 pasien leukemia limfoblastik
akut (LLA) anak di St. Jude Children’s Research Hospital Amerika Serikat
mendapatkan 1107 episode demam neutropenia dan 1313 episode infeksi.
Lokasi infeksi tersering dari 1313 episode tersebut adalah saluran nafas atas
(30%), infeksi telinga (11,5%), bakteremia (11%), dan traktus gastrointestinal
(11%).1 Angka kejadian bervariasi tergantung banyak faktor, misalnya jenis
kanker, jenis kemoterapi, kondisi rumah sakit dan lain-lain. Penelitian di Turki
terhadap 68 pasien kanker anak mendapatkan 200 episode demam neutropenia
dengan infeksi yang paling banyak ditemukan adalah mukositis (33,4%) dan
pneumonia (27,4%).2

73
Pemilihan Antibiotik pada Pasien Kanker

Faktor yang terkait dengan beratnya infeksi diantaranya usia kurang


dari 10 tahun, jenis kelamin wanita, mendapat kemoterapi fase induksi atau
pasien leukemia risiko tinggi. Pasien dengan faktor-faktor ini memiliki risiko
tinggi untuk mengalami infeksi dan demam neutropenia.1

Demam neutropenia
Demam neutropenia merupakan kondisi yang berbahaya pada pasien kanker
terutama pada pasien yang mendapat kemoterapi berat. Angka mortalitas
terkait demam neutropenia pada pasien kanker mencapai 75%, namun
berkurang seiring diterapkannya pemakaian antibiotik empirik sejak awal
diagnosis.3 Kondisi ini termasuk kegawatdaruratan onkologi karena dapat
mengancam jiwa, terutama bila disertai infeksi bakterial berat, bakteremia atau
sepsis. Demam neutropenia dapat juga ringan yang tidak memerlukan rawat
inap dan risiko mortalitas yang rendah. Dengan demikian perlu pengenalan dini
yang baik dan cepat agar pasien demam neutropenia dapat ditangani dengan
tepat serta menghindari pengobatan yang berlebihan atau tidak adekuat.4
Definisi demam neutropenia yang umum digunakan adalah berdasarkan
Infectious Disease Society of America Guidelines 2010 yaitu jika didapatkan: (a)
demam ≥38,3°C pada pemeriksaan suhu oral atau >38°C yang bertahan selama
minimal 1 jam atau dalam dua kali pengukuran dalam periode 12 jam; dan (b)
neutropenia yaitu jumlah neutrofil absolut (absolute neutrophil count/ANC)
<500 sel/μL atau ANC antara 500-1000 sel/μL yang diprediksi akan terus
menurun sampai kurang dari nilai tersebut dalam 48 jam kemudian.5,6 Setiap
pasien yang mendapat kemoterapi berisiko mengalami demam neutropenia,
terutama pasien dengan kemoterapi berat seperti leukemia fase induksi atau
konsolidasi, osteosarkoma, karsinoma nasofaring atau lainnya, tergantung
rejimen kemoterapi yang didapat.

Stratifikasi risiko
Rentang manifestasi klinis demam neutropenia dapat berupa infeksi ringan
yang hanya memerlukan pengobatan rawat jalan sampai infeksi berat yang
memerlukan pengobatan rawat inap. Prognosis dan risiko kematian juga
bergantung pada berbagai faktor diantaranya adanya komplikasi infeksi seperti
syok, sepsis, atau invasive bacterial infection dan lainnya.7 Namun umumnya
pasien dengan demam neutropenia pada saat awal manifestasi klinis tidak
dapat diprediksi akan mengalami infeksi berat atau tidak. Berbagai penelitian
telah dilakukan untuk dapat membantu klinisi membedakan pasien seperti
ini dengan mengembangkan risk scoring system. Penggunaan sistem skor ini
diharapkan mampu membedakan pasien risiko rendah dan pasien risiko tinggi

74
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

mengalami infeksi berat agar penanganan lebih tepat. Strategi ini mampu
mereduksi angka rawat inap pasien demam neutropenia kelompok risiko
rendah.5 Keamanan dan efektifitas penanganan dengan memperpendek durasi
rawat inap untuk pasien risiko rendah telah banyak diteliti. Suatu meta-analisis
mengenai hal ini telah membuktikan bahwa very early discharge adalah sama
amannya dengan early discharge maupun non-early discharge.8
Sistem skor yang dapat digunakan pada anak bervariasi, dan aplikasinya
tergantung kondisi setiap klinik. Sejauh ini belum ada sistem skor yang dapat
diterapkan secara universal. Semua jenis sistem skor ini sebaiknya divalidasi
di tempat masing-masing karena efektivitasnya dapat berbeda-beda. Pemilihan
sistem skor harus disesuaikan dengan kemampuan dan masalah di masing-
masing tempat.4,7 Setiap sistem skor umumnya mencoba memprediksi luaran
infeksi berat atau kematian atau kemungkinan bakteremia pada pasien
neutropenia. Sistem skor umumnya menggabungkan data klinis dan penunjang.
Adopsi sistem skor sebaiknya memperhatikan apakah sistem tersebut telah
divalidasi untuk lokasi target, apakah fasilitas pemeriksaan tersedia dan dapat
dilakukan dengan cepat, dan apakah langkah-langkahnya dapat dikerjakan
di tempat tersebut.4
Beberapa sistem skor yang dapat digunakan diantaranya sistem Santolaya,
Rondinelli dan Ammann (Tabel 1). Santolaya dkk9 membuat sistem skor
untuk memprediksi bakteremia atau infeksi berat pada demam neutropenia
anak dengan kanker dengan mengelompokkan pasien dalam kelompok risiko
tinggi apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
yy leukemia relaps
yy hipotensi
yy CRP kuantitatif >90 mg/L
atau terdapat 2 kriteria berikut:
yy demam dalam 7 hari setelah kemoterapi terakhir
yy trombosit <50 000/μL
Pasien yang tidak memenuhi kriteria tersebut dikelompokkan dalam risiko
rendah. Metode ini memiliki sensitifitas dan sensitifitas cukup baik dalam
memprediksi pasien risiko rendah.9 Sistem skor lainnya juga dapat digunakan
sepanjang telah divalidasi di lokasi masing-masing dan mampu laksana. Sistem
skor Ammann dan Rondinelli tidak memerlukan pemeriksaan penunjang yang
sulit sehingga lebih mudah diterapkan. Apapun sistem skor yang digunakan
sebaiknya yang dipilih sistem skor yang mampu laksana dan telah divalidasi
di lokasi setempat.10,11

75
Pemilihan Antibiotik pada Pasien Kanker

Tabel 1. Sistem skor prediksi risiko demam neutropenia.


Sistem skor Penilaian
Santolaya, Amerika Selatan, 20019 Tidak ada faktor risiko
• leukemia relaps atau hanya trombosit rendah
• hipotensi atau hanya <7 hari pasca kemoterapi
• CRP kuantitatif >90 mg/L dikelompokkan dalam kelompok risiko rendah
atau terdapat 2 kriteria berikut: infeksi bakterial berat
• demam dalam 7 hari setelah kemoterapi
• trombosit <50 000/μL
Rondinelli, Brazil, 200311 Skor 2,5 ≤5,5 = risiko rendah infeksi berat
• Kateter vena sentral (2 poin) Skor ≥5,5-9 = risiko intermediet
• Usia ≤5 tahun (1 poin) Skor ≥9 = risiko tinggi
• Ada fokus infeksi (4,5 poin) HSCT = risiko tinggi
• ISPA (2,5 poin)
• Demam ≥38,5°C (1 poin)
• Kadar Hb ≤7 g/dL (1 poin)
Ammann, Eropa, 200310 Skor total < 9 = risiko rendah untuk mengalami
• Kemoterapi yang lebih intensif dari LLA fase rumatan (4 komplikasi berat
poin) HSCT = risiko tinggi
• Hemoglobin >9 g/dL (5 poin)
• Leukosit < 300/μL, (3 poin)
• Trombosit < 50.000/μL (3 poin)
Alexander, United Kingdom, 200212 Tidak ada faktor risiko tersebut= risiko rendah
• Hipotensi HSCT = risiko tinggi
• Takipnea
• Hipoksia <94%;
• Perubahan Röntgen toraks
• Perubahan status mental
• Mukositis berat
• Nyeri abdomen
• Infeksi fokal
• Indikasi rawat inap
Keterangan: HSCT: hematopoietic stem-cell transplantation. LLA: leukemia limfoblastik akut

Pemilihan pemeriksaan penunjang pada pasien kanker yang mengalami


demam atau demam neutropenia disesuaikan dengan kondisi klinis dan
kemampuan setiap rumah sakit. Pada pasien demam neutropenia memerlukan
pemeriksaan penunjang yang lebih lebih banyak dan biaya yang lebih besar
untuk mencari sumber infeksi. International Pediatric Fever and Neutropenia
Guideline Panel merekomendasikan agar melakukan pemeriksaan kultur darah
dari lumen insersi kateter vena sentral dan foto Röntgen toraks. Pemeriksaan
kultur darah perifer, urinalisis dan kultur urin juga dianjurkan untuk rutin
dilakukan.13

Pemilihan antibiotik
Untuk pasien demam neutropenia dengan risiko tinggi direkomendasikan
untuk segera memberikan antibiotik intravena dosis infeksi berat.13 Pemilihan
antibiotik empirik tentunya harus disesuaikan dengan peta kuman dan

76
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

resitensi di masing-masing rumah sakit. Panduan dari berbagai laporan


mengenai pilihan terapi umumnya menganjurkan antibiotik spektrum luas
dengan melihat peta kuman tersebut. Umumnya pasien demam neutropenia
terinfeksi oleh bakteri Gram positif, namun infeksi oleh bakteri Gram negatif
terutama Klebsiella sp cenderung terus meningkat. Infeksi oleh bakteri Gram
negatif yang memproduksi β-lactamase seperti golongan Enterobacteriaceae,
Pseudomonas aeruginosa dan A. baumannii  dilaporkan semakin meningkat.2
Peta kuman yang diisolasi dari pasien di RS Dr. Cipto Mangunkusumo juga
menunjukkan peningkatan infeksi bakteri Gram negatif. Laporan tahun 2016
menunjukkan bahwa infeksi oleh E. coli dan Klebsiella pneumoniae adalah yang
tersering dengan persentase masing-masing 12% dari seluruh biakan darah
dan urin yang tumbuh.14 Atas dasar itulah maka berbagai panduan umumnya
sepakat bahwa pasien yang tergolong risiko tinggi harus mendapat antibiotik
golongan antipseudomonas β-lactam (penisilin β-lactam) atau sefalosporin
generasi keempat atau karbapenem (strong recommendation, high-quality
evidence).13,15 Saat ini lebih dianjurkan antibiotik monoterapi dibandingkan
dengan kombinasi. Monoterapi penisilin β-lactam (piperacillin/tazobactam)
memberikan efektifitas yang setara dengan kombinasi penisilin β-lactam dan
aminoglikosida, dengan kegagalan terapi yang secara klinis tidak bermakna.16
Antibiotik untuk bakteri Gram negatif sebaiknya ditunda sebagai pilihan lini
kedua atau untuk pasien yang secara klinis tidak stabil atau di berada di rumah
sakit yang memiliki angka resistensi antibiotik tinggi (strong recommendation,
moderate-quality evidence).13,15
Tata laksana pasien demam neutropenia risiko rendah bervariasi dari
pemberian antibiotik intravena untuk beberapa hari pertama sampai pemberian
antibiotik oral sejak awal, walaupun mayoritas menganjurkan antibiotik
intravena (dosis biasa) dan rawat inap pada beberapa hari pertama.16 Suatu
meta analisis membandingkan antara pilihan antibiotik intravena dan oral,
dan ternyata keduanya memberikan efek yang setara. Kegagalan terapi yang
didefinisikan sebagai perlunya modifikasi antibiotik atau rawat inap antara
kedua kelompok tersebut tidak berbeda (20% versus 22%, p<0.68).17
Pilihan antibiotik untuk kelompok dengan risiko rendah sama dengan
kelompok risiko tinggi tetapi dengan dosis yang lebih ringan.13 Apabila memilih
pemberian oral, maka golongan kuinolon atau amoksisilin-asam klavulanat
atau sefiksim merupakan pilihan pertama. Tentunya pemilihan ini harus
didasarkan pada peta kuman masing-masing rumah sakit.16 Pemilihan obat
antibiotik oral untuk pasien kanker anak di RSCM saat ini adalah amoksisilin-
asam klavulatat. Untuk pasien yang lebih jelas penyebab demam atau fokus
infeksi demamnya maka antibiotik disesuaikan dengan diagnosisnya. Sebagai
contoh pasien dengan kecurigaan infeksi saluran kemih (ISK) maka antibiotik
pilihan pertamanya adalah kotrimoksazol-trimetroprim.18

77
Pemilihan Antibiotik pada Pasien Kanker

Modifikasi dan penghentian pemberian antibiotik


Lama pemberian antibiotik pada demam neutropenia dapat ditentukan oleh
respon klinis dan hasil biakan bakteri. Penilaian dapat dilakukan dalam 24-
72 jam setelah mulai mendapat antibiotik. Pasien risiko tinggi yang membaik
secara klinis dengan pemberian antibiotik empirik kombinasi dapat dikurangi
menjadi monoterapi apabila tidak terdapat biakan spesifik yang mendukung.
Pasien yang mengalami demam persisten tetapi klinis stabil sebaiknya tidak
perubahan rejimen antibiotik empirik, namun apabila secara klinis tidak stabil
perlu eskalasi antibiotik, termasuk penambahan antibiotik untuk Gram negatif
dan Gram positif dan bakteri anaerob (kombinasi).13,15
Penilaian awal pada 24-48 jam pertama setelah mendapat antibiotik
dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor, misalnya sistem skor
Alexander (Alexander rules). Salah satu contoh algoritma penilaian dan
tata laksana demam neutropenia pada anak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Algoritma tata laksana demam neutropenia pada pasien kanker anak.4

78
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Bila pasien termasuk risiko rendah saat evaluasi tersebut maka pasien dapat
dipulangkan dengan antibiotik oral, bila masih termasuk risiko tinggi tetap
menjalani rawat inap.4
Untuk pasien risiko rendah maupun risiko tinggi dengan biakan negatif
dalam 48-72 jam dan pasien bebas demam minimal selama 24 jam maka
pemberian antibiotik dapat dihentikan. 9,11 Uji klinis acak membandingkan
pasien yang tetap mendapat antibiotik dengan yang dihentikan antibiotiknya
menunjukkan luaran yang sama.19

Simpulan
Pemilihan antibiotik pada pasien kanker anak yang mengalami demam
sebaiknya mengikuti pedoman tata laksana lokal dan mempertimbangkan
peta kuman dan resistensi antibiotik setempat. Pasien demam neutropenia
risiko tinggi sebaiknya mendapat antibiotik empirik intravena dosis infeksi
berat golongan penilisin Β-lactam atau sefalosforin generasi keempat atau
karbapenem (sesuai peta kuman), dan modifikasi dilakukan dengan melihat
respon klinis serta hasil biakan bakteri. Pasien demam neutropenia risiko
rendah yang secara klinis baik dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik
oral golongan kuinolon atau amoksisilin-asam klavulanat, namun bila secara
klinis kurang baik dapat dipertimbangkan antibiotik intravena seperti pada
pasien risiko tinggi dengan dosis lebih ringan.

Daftar pustaka
1. Inaba H, Pei D, Wolf J, Howard SC, Hayden RT, Go M, dkk. Infection-related
complications during treatment for childhood acute lymphoblastic leukemia.
Ann Oncol. 2017;28:386-92.
2. Kar YD, Özdemir ZC, Bör Ö. Evaluation of febrile neutropenic attacks of pediatric
hematology-oncology patients. Turkish Arch Pediatr. 2017;52:213-20.
3. Teranishi H, Koga Y, Nishio H, Kato W, Ono H, Kanno S, dkk. Clinical efficacy
of cycling empirical antibiotic therapy for febrile neutropenia in pediatric cancer
patients. J Infect Chemother. 2017;23:463-7.
4. Barton CD, Waugh LK, Nielsen MJ, Paulus S. Febrile neutropenia in children
treated for malignancy. J Infect. 2015;71.
5. Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, Boeckh MJ, Ito JI, Mullen CA, dkk. Clinical
practice guideline for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with
cancer: 2010 update by the infectious diseases society of america. Clin Infect
Dis. 2011;52:e56-93.
6. Delebarre M, Tiphaine A, Martinot A, Dubos F. Risk-stratification management
of febrile neutropenia in pediatric hematology-oncology patients: results of a
French nationwide survey. Pediatr Blood Cancer. 2016;63:2167-72.

79
Pemilihan Antibiotik pada Pasien Kanker

7. Das A, Trehan A, Oberoi S, Bansal D. Validation of risk stratification for children


with febrile neutropenia in a pediatric oncology unit in India. Pediatr Blood
Cancer. 2017;64.
8. Loeffen EAH, te Poele EM, Tissing WJE, Boezen MH, de Bont E. Very early
discharge versus early discharge versus non-early discharge in children with
cancer and febrile neutropenia. Cochrane database syst rev. 2016;2.
9. Santolaya ME, Alvarez AM, Becker A, Cofre J, Enriquez N, O’Ryan M, dkk.
Prospective, multicenter evaluation of risk factors associated with invasive
bacterial infection in children with cancer, neutropenia, and fever. J Clin Oncol.
2001;19:3415-21.
10. Ammann RA, Bodmer N, Hirt A, Niggli FK, Nadal D, Simon A, dkk. Predicting
adverse events in children with fever and chemotherapy-induced neutropenia: the
prospective multicenter SPOG 2003 FN Study. J Clin Oncol. 2010;28:2008-14.
11. Rondinelli PI, Ribeiro Kde C, de Camargo B. A proposed score for predicting
severe infection complications in children with chemotherapy-induced febrile
neutropenia. J Pediatr Hematol Oncol. 2006;28:665-70.
12. Alexander SW, Wade KC, Hibberd PL, Parsons SK. Evaluation of risk prediction
criteria for episodes of febrile neutropenia in children with cancer. J Pediatr
Hematol Oncol. 2002;24:38-42.
13. Lehrnbecher T, Robinson P, Fisher B, Alexander S, Ammann RA, Beauchemin
M, dkk. Guideline for the management of fever and neutropenia in children with
cancer and hematopoietic stem-cell transplantation recipients: 2017 update. J
Clin Oncol. 2017;35:2082-94.
14. Departemen Patologi Klinik. Pola kuman dan resistensi antibiotik RSCM tahun
2016. [Tidak dipublikasi].
15. Lehrnbecher T, Phillips R, Alexander S, Alvaro F, Carlesse F, Fisher B, dkk.
Guideline for the management of fever and neutropenia in children with cancer
and/or undergoing hematopoietic stem-cell transplantation. J Clin Oncol.
2012;30:4427-38.
16. Robinson PD, Lehrnbecher T, Phillips R, Dupuis LL, Sung L. Strategies for
empiric management of pediatric fever and neutropenia in patients with cancer
and hematopoietic stem-cell transplantation recipients: a systematic review of
randomized trials. J Clin Oncol. 2016;34:2054-60.
17. Manji A, Beyene J, Dupuis LL, Phillips R, Lehrnbecher T, Sung L. Outpatient
and oral antibiotic management of low-risk febrile neutropenia are effective
in children—a systematic review of prospective trials. Support Care Cancer.
2012;20:1135-45.
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2009.
19. Klaassen RJ, Allen U, Doyle JJ. Randomized placebo-controlled trial of oral
antibiotics in pediatric oncology patients at low-risk with fever and neutropenia.
J Pediatr Hematol Oncol. 2000;22:405-11.

80
Hospital Acquired Infections (Hals), Needs
Awareness for Health Professionals
Ari Prayitno

Tujuan:
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya HAI
2. Mengetahui strategi pencegahan terjadinya HAI

Healthcare associated infections (HAI) dahulu dikenal sebagai infeksi nosokomial


atau hospital-acquired infections. Berdasarkan Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) tahun 2004, HAI adalah infeksi yang terjadi pada pasien
selama perawatan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang tidak ditemukan
atau tidak sedang berinkubasi pada saat pasien masuk rawat, umumnya terjadi
lebih dari 48 hingga 72 jam setelah masuk dan dalam 10 hari setelah pasien
pulang dari rumah sakit. Termasuk ke dalam definisi HAI adalah infeksi
yang dialami oleh petugas kesehatan selama bertugas di fasilitas pelayanan
kesehatan.
Prevalens HAI di negara maju bervariasi antara 3,5% sampai 12%.2
The European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) melaporkan
prevalens HAI sebesar 7,1% di negara-negara Eropa dan diperkirakan terdapat
sekitar 4.544.100 episode HAI setiap tahunnya di Eropa. Insiden di Amerika
Serikat (AS) adalah 4,5% pada tahun 2002, dengan 9,3 kasus infeksi per 1000
pasien-hari dan 1,7 juta pasien mengalami HAI. Data HAI dari negara-negara
berkembang sangat terbatas, dan kalaupun ada, kualitas akurasi datanya
rendah. Walaupun demikian, WHO menyatakan bahwa HAI lebih sering
terjadi di negara-negara berkembang dibandingkan di negara maju. Prevalens
HAI di negara berkembang berkisar antara 5,7 hingga 9,1%. Proporsi pasien
dengan infeksi yang didapat di ICU berkisar antara 4,4% hingga 88,9% dengan
frekuensi infeksi secara keseluruhan sebesar 42,7 episode per 1000 pasien-hari,
yang berarti hampir tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan di negara maju.
Bayi baru lahir di Negara berkembang juga memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami HAI 3-20 kali lebih tinggi daripada di negara maju. Healthcare
associated infections bertanggung jawab terhadap 4% - 56% dari semua penyebab
kematian neonatal, dan dan angka ini meningkat menjadi 75% di Asia Tenggara

81
Healthcare Associated Infections (HAI) dan Kewaspadaan Bagi Tenaga Kesehatan Professional

dan Afrika Sub-Sahara. Infeksi daerah operasi (Surgical Site Infections = SSI)
adalah sumber infeksi utama HAI di negara berkembang, menyebabkan infeksi
pada dua pertiga pasien yang dioperasi dan dengan frekuensi hingga sembilan
kali lebih tinggi daripada di negara maju.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya HAI baik di negara maju
maupun negara berkembang, antara lain penggunaan alat medis dan antibiotik
yang tidak sesuai dan berkepanjangan, prosedur canggih dan beresiko,
pasien sakit berat, penggunaan obat-obat imunosupresan serta penerapan
kewaspadaan standar dan kewaspadaan isolasi yang tidak optimal. Faktor lain
mempengaruhi terjadinya HAI di Negara berkembang antara lain:
yy Higiene lingkungan dan pembuangan limbah yang tidak memadai
yy infrastruktur yang buruk
yy prasarana yang serba terbatas
yy sumber daya manusia yang kurang
yy kepadatan penduduk
yy rendahnya pengetahuan dan kualitas penerapan prinsip-prinsip
pencegahan infeksi
yy kurangnya pengetahuan dan pemahaman berbagai prosedur medis
yy kurangnya pengetahuan mengenai keamanan cara penyuntikan dan
transfusi darah
yy belum adanya kebijakan dan pedoman tentang HAI baik lokal maupun
nasional

Faktor risiko pasien terhadap HAI


Tiga hal yang dibutuhkan untuk transmisi penyakit, yaitu sumber infeksi atau
mikroorganisma, pejamu atau pasien yang rentan serta media transmisi.3

Mikroorganisme penyebab HAI


Selama perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan, pasien dapat terpapar
berbagai mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, dan protozoa) dari pasien
lain, petugas kesehatan, atau dari pengunjung. Sumber mikroorganisme
lainnya termasuk flora endogen pasien (misalnya, flora normal yang berada di
kulit pasien, saluran pencernaan, atau saluran pernapasan) dan benda-benda
yang telah terkontaminasi (misalnya, permukaan lingkungan kamar pasien,
permukaan peralatan medis dan obat-obatan). Jenis mikroorganisme penyebab
HAI bisa dilihat pada tabel 1.

82
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Tabel 1. Distribusi KLB berdasarkan penyebab dan karakteristiknya per-100 KLB (spesies yang dicantumkan hanya
spesies yang ditemukan pada minimal 20 KLB)4

Jumlah KLB (%) Rerata jumlah Rearata jumlah pasien Rerata jumlah staf
pasien* yang meninggal* yang terlibat*
Staphylococcus aureus 151 (14,8) 56,8 3,1 6,3
Pseudomonas aeruginosa 91 (8,9) 20,3 1,8 0,1
Klebsiella pneumonia 73 (7,1) 23,1 3,0 0,1
Serratia marcescens 67 (6,6) 36,4 1,5 0,9
Hepatitis B virus 60 (5,9) 18,3 0,8 1,5
Hepatitis C virus 42 (4,1) 10,4 0,1 0,3
Legionella pneumopila 38 (3,7) 15,3 3,1 3,9
Enterobacter cloacae 34 (3,3) 19,0 1,1 0,4
Eschericia coli 27 (2,6) 44,1 2,0 3,0
Acitenobacter baumannii 24 (2,3) 26,3 1,1 0,2
Hepatitis A virus 22 (22) 13,6 0,1 7,6
Curkholderia cepacia 21 (2,1) 32,0 4,6 0,1
Mycobacterium tuberculosis 21 (21) 18,7 10,9 6,0
Candida albicans 20 (2,0) 40,9 3,2 1,3
* Hanya wabah dengan data lengkap yang dipertimbangkan untuk perhitungan ini

Kerentanan/suseptibilitas pejamu/pasien
Individu memiliki kerentanan yang bervariasi untuk terjadinya infeksi
setelah terpapar organisme patogen. Beberapa individu memiliki mekanisme
pertahanan bawaan sehingga tidak berkembang menjadi penyakit yang
simptomatik karena pertumbuhan mikroba dapat dihambat atau memiliki
kekebalan terhadap virulensi mikroba tertentu. Sedangkan individu lain yang
terinfeksi mikroorganisme yang sama dapat membentuk hubungan komensal
dan mempertahankan organisme penyebab sebagai pembawa asimtomatik
(hanya berkolonisasi) atau berkembang prosesnya menjadi penyakit aktif.
Faktor intrinsik lainnya yang mempengaruhi suseptibilitas HAI pada
seorang anak adalah adanya keadaan yang menyebabkan tidak optimalnya
sistim imun karena faktor usia (seperti neonatus), menderita penyakit yang
berat/parah, obat imunosupresif, atau dalam terapi medis tertentu atau
pembedahan. Anak yang dalam kondisi gangguan sistim imun seluler maupun
humoral juga sangat rentan untuk mengalami HAI. Demikian juga anak
dengan defisiensi imun baik primer maupun sekunder.
Faktor risiko ekstrinsik meliputi prosedur bedah atau invasif lainnya,
intervensi diagnostik atau terapeutik (mis., perangkat medis invasif, implan
benda asing, transplantasi organ, obat imunosupresif), dan eksposur personel.
Chang dkk, menyatakan bahwa paling tidak 90% infeksi dikaitkan dengan
peanggunaan/pemasangan alat medis yang invasif. Perangkat medis invasif
akan memotong mekanisme pertahanan normal kulit atau selaput lendir dan
memberikan fokus jalan masuk sehingga kuman patogen dapat berkembang,
yang kemudian dilindungi secara internal dari pertahanan kekebalan pasien.

83
Healthcare Associated Infections (HAI) dan Kewaspadaan Bagi Tenaga Kesehatan Professional

Selain menyediakan jalan masuk untuk kolonisasi atau infeksi mikrobayang


non-patogen, perangkat ini juga memfasilitasi transfer kuman patogen dari
satu bagian tubuh pasien ke bagian yang lain, dari petugas kesehatan ke
pasien, atau dari pasien ke petugas layanan kesehatan kemudian ke pasien
lagi. Resiko ini bisa dikurangi dengan memahami dan mengaplikasikan Praktik
Pengendalian Infeksi berbasis bukti. Perawatan yang lama ikut berkontribusi
terhadap kerentanan pejamu terhadap infeksi karena memiliki lebih banyak
kesempatan untuk menggunakan perangkat medis yang invasif dan lebih
banyak waktu untuk terpapar mikroorganisme eksogen.

Media Transmisi penyakit


Ada 4 media penyebaran penyakit dari pasien ke pasien atau ke petugas
kesehatan ataupun sebaliknya, meliputi:
a. Penyebaran melalui Kontak (Contact Transmission)
Inilah media penyebaran penyakit yang paling penting dan paling sering
di fasilitas pelayanan kesehatan. Organisme ditransfer melalui kontak
langsung antara pasien yang terinfeksi atau yang mempunyai kolonisasi
dengan petugas kesehatan yang rentan atau pasien lain. Organisme
pada tubuh pasien dapat dipindahkan ke kulit petugas kesehatan
(tidak menyebabkan infeksi) dan kemudian dipindahkan ke pasien yang
rentan sehingga pasien terinfeksi. Hal ini menunjukkan jenis transmisi
kontak yang tidak langsung dari satu pasien ke pasien lainnya. Contoh
lainnya adalah jika seorang pasien yang terinfeksi menyentuh kenop
pintu, yang kemudian kenop tersebut disentuh oleh petugas kesehatan
dan mikroorganisme yang ada di kenop tersebut kemudian dipindahkan
ke pasien lain. Mikroorganisme yang dapat disebarkan melalui kontak
termasuk diantaranya impetigo, abses, penyakit diare, skabies, dan
organisme resisten antibiotik, misalnya, Methicillin Resistance Staphylococcus
Aureus (MRSA) dan Vancomycin Resistance Enterococci (VRE).

b. Penyebaran melalui Droplet (Droplet Transmission)


Cairan tubuh berbentuk droplet yang mengandung mikroorganisme
dapat dihasilkan selama proses batuk, bersin, berbicara, penyedotan
lendir (melalui suction), dan bronkoskopi. Mikroorganisme tersebut
akan disemprotkan atau dilepaskan ke udara dalam jarak dekat sebelum
akhirnya turun dan menetap di permukaan. Mikroorganisme tersebut
dapat menyebabkan infeksi jika jatuh langsung ke permukaan mukosa
orang yang rentan (misalnya, konjungtiva, mulut, atau hidung) atau ke
permukaan lingkungan di dekatnya yang kemudian dapat disentuh oleh
orang yang rentan yang melakukan autoinokulasi ke permukaan mukosa

84
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

mereka sendiri. Contoh penyakit yang disebarkan melalui transmisi droplet


adalah faringitis, meningitis, dan pneumonia.

c. Penyebaran melalui Udara (Airborne Transmission)


Mikroorganisme berukuran kecil seperti Tuberkel bacilli, Varisela, dan
virus Rubeola dapat bertahan di udara untuk jangka waktu yang lama,
dan dapat menyebar ke orang lain. Penggunaan Alat Pelindung Diri
(APD), teknik aseptik, kebersihan tangan, dan tindakan pengendalian
infeksi lingkungan adalah metode utama untuk melindungi pasien dari
transmisi mikroorganisme dari pasien lain dan dari petugas kesehatan.
Alat pelindung diri juga melindungi petugas kesehatan dari paparan
mikroorganisme di fasilitas pelayanan kesehatan.

d. Penyebaran melalui Bahan atau Material (Vehicle Transmission)


Penyebaran melalui bahan atau material tertentu ini bisa terjadi
ketika banyak orang terpapar dan kemudian jatuh sakit setelah
berhubungan dengan bahan atau material tertentu, seperti makanan
yang terkontaminasi, air, obat-obatan, cairan atau alat medis. Penyebaran
melalui media ini khusus untuk bakteri, dan tidak untuk virus. Contoh
penyebaran dengan cara ini adalah makanan olahan yang terkontaminasi,
botol obat multidosis yang terkontaminasi dan alat bronkoskopi yang
terkontaminasi.

Strategi pencegahan
Ada berbagai faktor yang turut mempengaruhi terjadinya HAI, yaitu faktor
pasien (misalnya status kesehatan pasien secara keseluruhan), faktor perawatan
pasien di fasilitas pelayanan kesehatan (misalnya, penggunaan antibiotik,
penggunaan perangkat medis yang bersifat invasif), faktor administratif
(misalnya, rasio perawat terhadap pasien, tingkat pendidikan petugas medis,
petugas medis yang bersifat permanen atau sementara/kontrak), dan faktor
penggunaan teknik aseptik oleh petugas kesehatan. Meskipun HAI umumnya
dikaitkan dengan faktor pasien dan faktor perawatan pasien, faktor-faktor lain
juga bisa berkontribusi secara signifikan.
Strategi untuk mencegah terjadinya HAI ini bisa dilakukan dengan cara
H.E.L.P.C.A.R.E. Akronim ini digunakan untuk memperkenalkan konsep-
konsep penting untuk mengurangi kejadian HAI.
H : Hand Hygiene = Kebersihan Tangan
E : Enviromental Cleanliness = Kebersihan Lingkungan

85
Healthcare Associated Infections (HAI) dan Kewaspadaan Bagi Tenaga Kesehatan Professional

L : Leadership = Kepemimpinan
P : Proper use of Personal Protective Equipment = Penggunaan APD
C : Consistent Evidence-Based Practices = Praktik berbasis bukti yang konsisten
A : Antimicrobial-Resistance Campaign = Kampanye Resistensi Antimikrobial
R : Respiratory Hygiene and Cough Etiquette = Etika Pernapasan dan Batuk
E : Evaluation = Evaluasi

Hand Hygiene (Kebersihan Tangan)


Ribuan orang meninggal setiap hari di seluruh dunia karena infeksi yang
diperoleh saat menerima perawatan kesehatan. Tangan adalah jalur utama
transmisi kuman selama perawatan kesehatan. Oleh karena itu kebersihan
tangan adalah upaya yang paling penting untuk menghindari transmisi kuman
berbahaya dan mencegah terjadinya HAI. Setiap petugas kesehatan, pengasuh
atau orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam perawatan pasien,
perlu memperhatikan kebersihan tangan dan harus mampu melakukannya
dengan cara yang benar dan waktu yang tepat.
Kebersihan tangan dilakukan dengan menggosok tangan dengan
menggunakan formula berbasis alkohol, sebagai antiseptik yang lebih disukai
jika tangan tidak tampak kotor karena bekerja lebih cepat, lebih efektif, dan
dapat ditoleransi dengan baik dibanding mencuci tangan dengan sabun dan
air. Cuci tangan dengan sabun dan air dilakukan ketika tangan terlihat kotor
atau tangan tercemar dengan darah atau cairan tubuh lainnya atau setelah
menggunakan toilet. Jika tangan diduga kuat atau telah terbukti terpapar
oleh kuman patogen pembentuk spora, termasuk bila ada kejadian luar biasa
Clostridium difficile, maka mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
merupakan cara yang lebih dianjurkan. Lama mencuci tangan dengan
menggunakan Handrub adalah 20 – 30 detik, sedangkan bila menggunakan
sabun dan air mengalir adalah 40 – 60 detik. Cuci tangan dilakukan pada
saat sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan tindakan aseptik,
sesudah terpapar cairan tubuh pasien, sesudah menyentuh pasien dan sesudah
menyentuh lingkungan di sekitar pasien.
Penggunaan sarung tangan tidak menggantikan kebutuhan untuk
membersihkan tangan. Kebersihan tangan harus dilakukan tanpa
memperhatikan indikasi penggunaan sarung tangan. Lepas sarung tangan
untuk melakukan kebersihan tangan, bila ada indikasi untuk kebersihan tangan
saat mengenakan sarung tangan. Buang sarung tangan setelah digunakan dan
bersihkan tangan, karena sarung tangan dapat membawa kuman. Kenakan
sarung tangan hanya jika terdapat indikasi karena sarung tangan juga berisiko
mentransmisikan kuman.

86
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Enviromental Cleanliness (Kebersihan Lingkungan)


Lingkungan perawatan kesehatan di sekitar pasien mengandung berbagai
mikroorganisme patogen yang muncul dari kulit normal dan utuh pasien atau
dari luka yang terinfeksi. Permukaan lantai dan ruangan fasilitas pelayanan
kesehatan juga dapat terkontaminasi dengan organisme patogen (misalnya,
dari kolonisasi atau infeksi kuman MRSA, VRE, atau Clostridium difficile)
dan dapat menyimpan organisme tersebut selama beberapa hari. Permukaan
yang terkontaminasi, seperti manset tekanan darah, pakaian seragam petugas
kesehatan, faucet, dan keyboard komputer, dapat berfungsi sebagai reservoar
kuman patogen. Upaya untuk mengatasi hal ini adalah dengan melakukan
desinfeksi permukaan lingkungan yang tepat dan prosedur kebersihan tangan
yang benar (setelah kontak langsung ke permukaan atau kontak dengan
penggunaan sarung tangan) sangat penting untuk mengurangi kemungkinan
transmisi baik langsung maupun tidak langsung.
Gunakan desinfektan berbahan kimia yang sudah terdaftar di US-
Enviromental Protection Agency (EPA) untuk pembersihan standar dan untuk
desinfeksi alat-alat medis yang kontak dengan lebih dari satu pasien. Bila
Clostridium difficile telah dicurigai atau terbukti ada, maka gunakan produk
berbasis hipoklorit untuk desinfeksi permukaan karena tidak ada produk yang
terdaftar di EPA yang spesifik untuk menonaktifkan bentuk spora organisme.
Pastikan kepatuhan oleh staf fasilitas pelayanan kesehatan termasuk Cleaning
Service dengan prosedur pembersihan dan disinfeksi, terutama permukaan
yang sangat mudah disentuh di area perawatan pasien (misalnya, tempat tidur,
brangkar, papan rekam medik, troley, gagang pintu, atau gagang keran). Ketika
tindakan pencegahan kontak diindikasikan untuk perawatan pasien (misalnya,
MRSA, VRE, C. difficile, abses, penyakit diare), gunakan bahan sekali pakai
sedapat mungkin untuk meminimalkan kontaminasi silang dengan Multiple
Drug Resistance Organisms (MDRO).

Leadership (Kepemimpinan)
Tanggung jawab untuk mengurangi risiko HAI melibatkan tenaga manager atau
administrator, direktur, dan para praktisi individu. Jelas bahwa para pemimpin
mendorong nilai-nilai, kemudian nilai mendorong perilaku, dan perilaku
mendorong kinerja organisasi. Keterlibatan para pemimpin keperawatan
untuk berkolaborasi dengan rekan kerja dan administrator rumah sakit dalam
keselamatan, kerja tim, dan strategi komunikasi adalah persyaratan penting
untuk meningkatkan perawatan yang aman dan terpercaya.

87
Healthcare Associated Infections (HAI) dan Kewaspadaan Bagi Tenaga Kesehatan Professional

Proper Use of Personal Protective Equipment (Penggunaan APD)


Praktik Pengendalian Infeksi untuk menurunkan HAI termasuk penggunaan
barier proteksi, seperti sarung tangan, pelindung wajah, pelindung mata atau
kacamata google, masker dan lain-lain, untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya transmisi mikroorganisme dari pasien ke petugas kesehatan atau
dari petugas kesehatan ke pasien. Alat pelindung diri akan melindungi kulit
dan mukosa mata, hidung dan mulut pasien dari paparan terhadap darah dan
material atau cairan tubuh infeksius lainnya serta untuk mencegah kontak
parenteral. Penggunaan, pemakaian dan pelepasan APD yang tepat sangatlah
penting untuk memaksimalkan perlindungan terhadap petugas kesehatan,
karena itu setiap petugas kesehatan wajib memahami hal ini dengan baik dan
benar.

Consistent evidence-based practices (Pelaksanaan Pengendalian Infeksi


Berbasis Bukti)
Organisasi profesi pengendalian infeksi dan epidemiologi pelayanan kesehatan
telah mengeluarkan pedoman berbasis-bukti mengenai praktik pengendalian
infeksi di pelayanan kesehatan, strategi surveilans dan pencegahan serta
pengendalian HAI di pusat pelayanan kesehatan di Amerika Serikat. Publikasi
ilmiah berbasis konsensus ini memberikan rekomendasi prioritas berdasarkan
data ilmiah yang ada; alasan teoritis; dan penerapan penelitian eksperimental,
klinis, atau epidemiologi yang dirancang dengan baik untuk mencegah HAI
dalam pengaturan perawatan pasien yang berbeda.

Antimicrobial Resistance Champaign (Kampanye Resistensi Antibiotik)


Tingkat resistensi antimikroba di rumah sakit dan komunitas telah meningkat
pesat selama beberapa dekade terakhir. Lebih dari 70 persen bakteri yang
menyebabkan HAI resisten terhadap setidaknya satu antibiotik yang sering
digunakan untuk mengobati infeksi ini. Menurut data National Nosocomial
Infections Surveillance System 2003 pada pasien ICU, 60 persen isolat
Staphylococcus aureus resisten terhadap methicillin, oxacillin, atau nafcillin
(MRSA). Angka ini meningkat 11 persen dari data yang dilaporkan pada
tahun sebelumnya.
Pengobatan infeksi bakteri bukanlah proses yang sederhana. Bakteri
awalnya sensitif terhadap antibiotik baru, namun lama kelamaan, setelah
pemakaian antibiotik semakin meningkat akan timbul terjadinya resistensi
terhadap antibiotik. Mikroorganisme ini memiliki kemampuan untuk
melakukan mutasi spontan di dalam dirinya sendiri (endogen) atau menerima
gen mutasi dari mikroorganisme lain melalui transfer gen (eksogen),
menyebabkan antibiotik menjadi tidak aktif atau tidak memiliki kemampuan

88
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

untuk membunuh mikroorganisme. Populasi mikrobial manusia mengandung


kombinasi bakteri yang rentan terhadap antibiotik maupun yang kebal atau
resisten terhadap antibiotik. Kombinasi ini dalam kondisi normal berada
dalam posisi seimbang. Penggunaan antibiotik akan mengubah keseimbangan
tersebut, sehingga akan meningkatkan populasi bakteri yang kebal terhadap
antibiotik. Area-area kritis di rumah sakit seperti ruang rawat intensif dengan
pemakaian antibiotik yang tinggi dan berspektrum luas, merupakan area yang
sering ditemukan bakteri yang kebal terhadap antibiotik.
Peningkatan penggunaan antibiotik di komunitas dapat menyebabkan
timbulnya kolonisasi organisme yang resisten terhadap antimikroba di tingkat
komunitas/masyarakat, dan organisme tersebut akan dibawa ke rumah sakit
oleh pasien yang masuk perawatan. Organisme yang berkolonisasi ini mungkin
tidak terdeteksi saat pasien masuk pertama kali ke rumah sakit. Untuk
mencegah atau meminimalisasi terjadinya resistensi antimikrobial, maka
harus dilaksanakan melalui program Penatagunaan Penggunaan Antimikroba
(Antimicobial Usage Stewardship), sistem surveilans aktif, dan program
pengendalian infeksi yang efisien. Penatagunaan penggunaan antimikroba
tidak hanya mencakup pembatasan penggunaan antimikroba yang tidak tepat,
tetapi juga bagaimana memilih antibiotik, dosis, dan durasi terapi yang tepat
untuk mencapai efikasi optimal dalam mengelola infeksi. CDC menyatakan
bahwa 30-50% dokter di rumah sakit maupun fasilitas pelayanan kesehatan,
meresepkan antibiotik secara tidak benar atau tidak perlu. Penggunaan
antibiotik yang irasional berkontribusi terhadap berkembangnya pertumbuhan
Clostridium difficile dan terjadinya resistensi antibiotik.
Center for Disease Control (CDC) melakukan kampanye pencegahan
resistensi antibiotik di fasilitas pelayanan kesehatan dalam The International
Conference on Emerging Infectious Diseases di Atlanta pada tahun 2002 yang
meliputi 4 strategi yaitu:
yy Pencegahan infeksi
yy Diagnosis dan terapi infeksi secara efektif
yy Gunakan antibiotik secara bijak
yy Cegah transmisi pathogen yang resisten antibiotik.

Dokter memiliki peran sebagai bagian dari tim perawatan kesehatan yang
mendiagnosis dan mengobati infeksi dengan tepat dan harus terbiasa dengan
strategi untuk meningkatkan efektifitas penggunaan antimikroba. Semua
petugas kesehatan memiliki peran penting dalam mengurangi risiko penularan
infeksi dan mikroba resisten antibiotik ini.
Dalam strategi ini ada 12 langkah spesifik bagi klinisi yang merawat pasien
dewasa di fasilitas pelayanan kesehatan :
yy Langkah 1: vaksinasi

89
Healthcare Associated Infections (HAI) dan Kewaspadaan Bagi Tenaga Kesehatan Professional

yy Langkah 2 : lepaskan kateter


yy Langkah 3 : sasaran kuman patogen
yy Langkah 4 : akses ke tenaga ahli
yy Langkah 5 : terapkan pengendalian antimikroba
yy Langkah 6 : gunakan data lokal
yy Langkah 7 : terapi infeksi, bukan kontaminasi
yy Langkah 8 : terapi infeksi, bukan kolonisasi
yy Langkah 9 : tahu kapan harus berkata ‘tidak’ terhadap vankomisin
yy Langkah 10 : hentikan pengobatan antimikroba
yy Langkah 11 : isolasi kuman patogen
yy Langkah 12 : putuskan rantai penularan

Respiratory Hygiene and Cough Etiquette (Kebersihan Saluran Napas dan


Etika Batuk)
Virus di saluran pernapasan lebih mudah menyebar dalam rungan tertutup
di fasilitas pelayanan kesehatan dibandingkan di udara terbuka dan dapat
menyebabkan wabah yang berkontribusi pada morbiditas pasien dan petugas
kesehatan. Penyakit di saluran napas mudah menular melalui droplet. Droplet
menyebar ke udara selama bersin, berbicara, dan batuk dan dapat menetap
di permukaan lantai. Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan
membran mukosa atau dengan menyentuh permukaan yang terkontaminasi.
Virus di saluran napas kadang-kadang dapat menyebar melalui diseminasi
aerosol. Langkah-langkah pengendalian infeksi berikut harus dilaksanakan
pada saat kontak pertama dengan orang yang bergejala atau berpotensi
terinfeksi. Kebijakan kesehatan kerja harus ada untuk memantau petugas
kesehatan. Berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat dikerjakan dalam
rangka mengurangi angka HAI dengan menjaga kebersihan saluran napas
dan etika batuk:
yy Kewaspadaan setelah melalui pengamatan visual (dalam bahasa yang
sesuai) di pintu masuk ke fasilitas rawat jalan, dan menginstruksikan
pasien dan orang yang menemaninya (misalnya, keluarga, teman) untuk
memberi tahu petugas kesehatan mengenai gejala infeksi saluran napas
ketika mereka pertama kali mendaftar ke rumah sakit.
yy Pasien dan petugas kesehatan harus secara konsisten mempraktekkan
hal-hal berikut:
–– Tutup hidung / mulut saat batuk atau bersin.
–– Gunakan tisu untuk menampung sekret saluran napas saat batuk/
bersin dan buang ke tempat sampah.
–– Lakukan kebersihan tangan setelah kontak dengan sekret saluran
napas dan benda atau bahan yang terkontaminasi oleh sekret tersebut.

90
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Evaluation (Evaluasi)
Seorang pelaksana program pengendalian infeksi (Infection Prevention and
Control Doctor = IPCD) dan (Infection Prevention and Control Nurse= IPCN)
harus senantiasa melakukan evaluasi praktik pengendalian infeksi termasuk
praktik teknik aseptik. Metode evaluasinya bisa berupa survei penilaian diri
sendiri, observasi langsung oleh petugas kesehatan lain atau berdasarkan
penilaian pasien. Umumnya evaluasi baru akan dilakukan jika terjadi masalah
yang biasanya hal tersebut jarang terjadi. Keuntungan dari evaluasi sistem
adalah bahwa hal itu akan mendorong tenaga medis profesional untuk
melaporkan efek simpang dan kejadian nyaris cedera yang mungkin dapat
dicegah di masa depan. Evaluasi diperlukan untuk mendapatkan data tentang
faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kesalahan sehingga memungkinkan
untuk mengubah perilaku individu dan sistem yang menunjang pelaksanaan
pengendalian infeksi yang lebih aman. Beberapa contoh langkah evaluasi
terhadap proses yang berjalan adalah :
yy Adanya protokol yang mengharuskan staf medis menggunakan barier steril
(topi, masker, gaun steril, sarung tangan steril dll) dan teknik antiseptik
yang benar untuk insersi kateter vena sentral
yy Adanya protokol atau dokumen yang menunjukkan waktu yang tepat
untuk pemberian antibiotik profilaksis sebelum pembedahan
yy Adanya protokol yang menyatakan bahwa sebelum dilakukan insersi
kateter, harus melakukan kebersihan tangan dan kemudian menggunakan
sarung tangan steril.

Simpulan
Pencegahan terjadinya HAI merupakan tanggungjawab semua penyedia
layanan kesehatan, meskipun tidak semua infeksi dapat dicegah. Beberapa
faktor risiko pada pasien seperti usia lanjut, penyakit yang mendasari, tingkat
keparahan penyakit, dan status kekebalan tubuh pasien merupakan faktor yang
tidak dapat dimodifikasi dan berkontribusi langsung terhadpa meningkatnya
risiko infeksi pada pasien. Sumber organisme penyebab infeksi dapat bersifat
endogen dari tubuh pasien sendiri atau eksogen akibat kontaminasi silang di
fasilitas pelayanan kesehatan. Perawat dan dokter dapat berperan mengurangi
risiko infeksi dan kolonisasi dengan menerapkan prinsip kerja aseptik dengan
benar, tindakan kebersihan tangan dan penggunaan APD. Peran dari tenaga
medis professional sangatlah besar demi keberhasilan program pencegahan
pengendalian infeksi, termasuk dalam menekan kemungkinan terjadinya
resitensi terhadap antibiotik dengan menerapkan 12 langkah perawatan pasien
di fasilitas pelayanan kesehatan.

91
Healthcare Associated Infections (HAI) dan Kewaspadaan Bagi Tenaga Kesehatan Professional

Daftar pustaka
1. Horan TC, Gaynes RP. Surveillance of nosocomial infections. In: Mayhall CG,
ed. Hospital epidemiology and infection control. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. 2004:1659-702. CDC definitions of nosocomial infections
Available at: http://www.cdc.gov/ncidod/dhqp/nnis_pubs.html. Accessed January
2008
2. Allegranzi B, Nejad S, Combescure C, Graafmans W, Attar H, Donaldson L et
al. Burden of endemic health-care-associated infection in developing countries:
systematic review and meta-analysis. The Lancet. 2011;377(9761):228-241.
3. Gastmeier P, et al. How Outbreaks Can Contribute to Prevention of Nosocomial
Infection: Analysis of 1,022 Outbreaks. Infection Control & Hospital
Epidemiology. 2005;26(04):357-361.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Campaign to prevent antimicrobial
resistance in healthcare settings: 12 steps. Available at: http://www.cdc.gov/
drugresistance/healthcare/. Accessed April 2018.
5. Collins AS. Preventing Health Care–Associated Infections. In: Hughes RG,
editor. Patient Safety and Quality: An Evidence-Based Handbook for Nurses.
Rockville (MD): Agency for Healthcare Research and Quality (US); 2008 Apr.
Chapter 41. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2683/

92
Antibiotic treatment in pneumonia,
how to choose?
Darmawan B Setyanto

Tujuan:
1. Mengetahui pembagian kelompok pneumonia berdasarkan
sumber kuman
2. Mengetahui penyebab kesulitan penentuan etiologi pneumonia
3. Menngetahui tingkat keparahan pneumonia dan indikasi rawat
4. Mengetahui alasan semua pneumonia perlu diberi antibiotik
5. Mengetahui pola kuman penyebab pneumonia berdasarkan
kelompok umur
6. Mengetahui pemilihan antibiotik berdasarkan jenis rawatan
dan kelompok umur

Pneumonia adalah inflamasi pada parenkim paru, oleh kuman yang merangsang
tanggap adaptif tubuh sehingga berakibat kerusakan parenkim paru.1 Parenkim
atau jaringan fungsional paru terdiri dari alveoli dengan jaringan intersisial
yang berisi kapiler. Di parenkim paru inilah terjadi pernapasan eksternal yaitu
masuknya oksigen dari udara lingkungan ke dalam tubuh melalui mekanisme
difusi oksigen dari alveoli ke kapiler. Inflamasi parenkim paru akan mengganggu
proses difusi sehingga terjadi hipoksemia yang berlanjut terjadinya hipoksia di
semua sistem organ. Derajat hipoksemia tergantung luasnya parenkim paru
yang mengalami inflamasi. Inflamasi yang luas akan menyebabkan hipoksemia
yang berat dan dapat berujung kematian.
Pneumonia bakterialis seringkali didahului oleh infeksi virus (khususnya
respiratory syncytial virus – RSV atau rhinovirus) atau infeksi Mycoplasm
pneumoniae di saluran respiratori atas. Gangguan bersihan jalan napas (airway
clearance), baik pada komponen bersihan mukosilier (mucociliary clearance)
maupun refleks batuk, serta peningkatan perlekatan bakteri yang diinduksi
oleh infeksi virus, ikut berperan dalam terjadinya pneumonia bakterialis.1
Dugaan sumber kuman penyebab pneumonia mendasari pengelompokan
pneumonia menjadi pneumonia komunitas (community acquired pneumonia -
CAP) dan pneumonia rumah sakit (hospital acquired pneumonia - HAP) atau
disingkat pneumonia rumkit. Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang

93
Antibiotic Treatment in Pneumonia, How to Choose?

sumber kumannya dari lingkungan di luar rumah sakit. Disebut pneumonia


rumkit bila diduga pasien mendapat kumannya akibat atau selama perawatan
di rumah sakit, setidaknya 48 jam setelah masuk rumkit. Termasuk di dalam
kelompok pneumonia rumkit adalah pneumonia yang terkait intubasi dan
penggunaan ventilator (ventilator associated pneumonia – VAP).2 Pengelompokan
ini perlu dilakukan untuk memperkirakan jenis kuman penyebabnya, terkait
dengan antibiotik yang akan diberikan. Pneumonia komunitas biasanya
disebabkan oleh kuman golongan gram positif, sedangkan pneumonia rumkit
disebabkan oleh kuman gram negatif.
Dalam beberapa waktu terakhir, perbedaan tradisional antara pneumonia
komunitas dengan pneumonia rumkit menjadi kabur, karena beberapa infeksi
yang terjadi memiliki karakteristik campuran antara keduanya. Pneumonia
yang terjadi sebelum pasien dirawat di rumkit pada pasien yang mengalami
mengalami kontak dengan sistem layanan kesehatan disebut pneumonia
terkait layanan kesehatan (healthcare associated pneumonia – HCAP) atau
disingkat pneumonia yankes. Pneumonia yankes sebelumnya termasuk dalam
pneumonia komunitas, kemudian diusulkan sebagai kelompok baru yang
memerlukan pendekatan berbeda ketika memilih terapi antibiotik empirik.3,4
Pneumonia yankes mencakup beberapa keadaan yaitu pneumonia yang
terjadi pada pasien:3
yy Dengan riwayat perawatan rumkit minimal selama 2 hari dalam 90 hari
sebelumnya (rentang 30-360 hari)
yy Yang menerima layanan medis di luar rumkit seperti layanan dialisis,
layanan rehabilitasi, terapi infus di rumah
yy Yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang (long-term care facility)
di luar rumkit
yy Dalam keadaan imunosupresi karena terapi (steroid jangka panjang,
kemoterapi, obat imunosupresan lain) dalam 30 hari sebelumnya.
Dari kriteria di atas, terlihat bahwa pneumonia yankes mencakup
pengertian yang luas di luar pengertian pneumonia komunitas klasik, maupun
pneumonia rumkit dan pneumonia terkait ventilator.
Sejak publikasi bersama ATS (American Thoracic Society) dan IDSA
(Infectious Disease Society of America) tentang pedoman pneumonia nosokomial
pada tahun 2005, pertama kali diangkat konsep pneumonia yankes. Dari data
yang ada, ternyata pasien dengan pneumonia yankes tampaknya mengalami
peningkatan risiko untuk terinfeksi oleh kuman resisten obat jamak (multi-
drug resistant – MDR) seperti Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter species,
dan methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Patogen ini kerapkali
belum tercakup oleh antibiotik yang dianjurkan dalam pedoman pneumonia
komunitas. Dengan demikian, pendekatan tatakelola pneumonia yankes mirip
dengan pneumonia rumkit.3-5

94
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

 
Gambar 1. Spektrum pneumonia berdasarkan dari mana sumber kuman penyebab didapatkan. CAP –
community acquried pneumonia, HCAP – health-care associated pneumonia, HAP – hospital acquired
pneumonia, VAP – ventilator associated pneumonia, MDR – multi-drug resistant.4

Makalah ini membahas pneumonia komunitas pada anak utamanya


anak balita dalam arti klasik. Jadi tidak termasuk pneumonia yankes maupun
pneumonia rumkit yang memerlukan bahasan panjang tersendiri.

Epidemiologi, beban masalah


Pneumonia komunitas pada balita merupakan beban masalah kesehatan
masyarakat yang besar. Bersama dengan diare, pneumonia merupakan penyebab
mortalitas terbesar pada anak, khususnya bayi dan balita. Sejak tahun 1990
hingga 2011 pneumonia merupakan penyebab mortalitas balita sekitar 20%.6
Insidens pneumonia di negara berkembang 10 kali lebih tinggi dibanding di
negara maju, dengan mortalitas mencapai 5 juta kematian balita pertahun.1
Pneumonia merupakan penyebab dari 16% kematian balita, yaitu
diperkirakan sebanyak 920.136 balita di tahun 2015. Pneumonia menyerang
semua umur di semua wilayah di dunia, yang terbanyak adalah di Asia Selatan
dan Afrika sub-Sahara (www.who.int, factsheet, pneumonia, updated September
2016).7 Untuk Indonesia, seperti tercantum dalam Profil Kesehatan Indonesia,
angka kematian akibat pneumonia pada balita tahun 2016 sebesar 0,11%
sedangkan tahun 2015 sebesar 0,16%. Pada tahun 2016 Angka kematian

95
Antibiotic Treatment in Pneumonia, How to Choose?

akibat pneumonia pada kelompok umur 1-4 sedikit lebih tinggi yaitu sebesar
0,13% dibandingkan pada kelompok bayi yang sebesar 0,06%.8

Kesulitan penentuan etiologi pneumonia


Dasar inflamasi parenkim paru pada pneumonia sebagian besar adalah
inflamasi infeksi. Agen penyebab infeksi sebagian besar adalah virus dan
bakteri. Walaupun penyebab pneumonia komunitas lebih sering virus, namun
membedakan antara penyebab virus dengan bakteri sulit. Hal ini mendorong
penggunaan antibiotik secara berlebihan.9 Proporsi pneumonia karena
virus cukup besar. Sekitar 80% pneumonia komunitas pada anak <2 tahun
disebabkan oleh virus. Makin muda usia anak makin besar kemungkinan
virus sebagai penyebab, dan sebaliknya makin besar anak makin mengarah
ke bakteri. Pada bayi dan balita, pneumonia bakterial biasanya merupakan
komplikasi pneumonia yang awalnya disebabkan oleh virus.2
Terdapat kecenderungan perubahan pola kuman penyebab pneumonia
sesuai dengan kelompok umurnya, seperti dapat dilihat dalam tabel berikut.1

Tabel 1. Penyebab tersering pneumonia komunitas sesuai kelompok umur.


Kelompok umur Kuman tersering
Neonatus Streptokokus grup B
Kuman enterik gram negatif
1-3 bulan Chlamydia trachomatis
Ureaplasma urealyticum
Virus
Bordetella pertussis
1-12 bulan Virus
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenza
Staphylococcus aureus
Moraxella catharrhalis
1-5 tahun Virus
Streptococcus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Chlamydia trachomatis
>5 tahun Streptococcus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Chlamydia pneumoniae

Sampai saat ini masih disepakati bahwa bakteri penyebab tersering


pneumonia komunitas adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus
aureus, Haemophilus influenzae type B, Moraxella catharralis dan Streptococcus
pyogenes.10,11 Di negara maju, karena cakupan imunisasi yang luas, herd immunity,

96
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

dan respons imun parsial dengan 1 dosis, penyakit invasif karena H influenzae
type B menjadi jarang dijumpai. Untuk kuman streptokokus, terjadi penurunan
morbiditas pneumonia sejak diterapkannya imunisasi streptokokus secara
luas. Selain itu terjadi perubahan pola galur kuman ke arah galur yang tidak
terdapat dalam vaksin streptokokus.10 Apakah keadaan yang sama juga terjadi
di Indonesia, belum jelas diketahui.
Untuk S aureus, didapatkan bukti bahwa pneumonia anak oleh methicillin-
resistant S aureus (MRSA) makin meningkat.12,13 Pada anak usia sekolah dan
remaja, selain kuman yang biasa, ada kelompok kuman penyebab pneumonia
yang disebut kuman atipikal yaitu Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
pnemoniae, Chlamyidia trachomatis, dan Legionella pneumonia.
Secara klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan pencitraan,
ada beberapa temuan yang dapat mengarahkan dugaan kita tentang
etiologi pneumonia. Misalnya gambaran infiltrat alveolar biasanya dikaitkan
dengan infeksi nakteri, sedangkan infiltrat intersisial akibat infeksi virus.
Sayangnya tidak ada satupun kriteria baik klinis maupun penunjang yang
dapat memastikan penyebabnya virus atau bakteri. Secara umum, baku emas
diagnostik penyakit infeksi adalah dengan menemukan kuman penyebab.
Namun untuk pneumonia yang menjadi masalah adalah kesulitan untuk
mendapatkan spesimen pemeriksaan yang representatif.2
Spesimen paling representatif tentunya jaringan parenkim yang
mengalami inflamasi yang bisa diperoleh dengan biopsi paru. Tantangannya
adalah tindakan tersebut invasif dengan risiko komplikasi yang berat seperti
pneumotoraks atau perdarahan paru. Seandainya berhasil dilakukan biopsi
tanpa komplikasi, belum tentu jaringan yang terambil benar yang mengalami
inflamasi. Lokasi inflamasi pada pneumonia biasanya menyebar, tidak dalam
satu lokasi yang sama, kecuali pada pneumonia lobaris.2
Pilihan berikutnya adalah spesimen sekret saluran respiratori. Pada
anak, apalagi balita, belum mampu untuk mengekspektorasikan dahaknya.
Memang ada cara untuk mendapatkan sekret respiratori bawah pada anak
yaitu dengan cara induksi sputum. Sputum yang dihasilkan dapat dinilai apakah
memang berasal dari saluran respiratori bawah dengan menilai karakteristiknya
dilihat dari jumlah sel epitel dan leukosit. Untuk pemeriksaan mikrobiologi
TB, sputum yang representatif dari hasil induksi dapat digunakan, karena
jika hasilnya positif berarti benar sakit TB. Namun, untuk hasil mikrobiologi
kuman non-TB masih mungkin yang didapat adalah kuman residen saluran
respiratori yang mengkontaminasi sputum. Jadi tidak dapat dipastikan sebagai
kuman penyebab pneumonia.

97
Antibiotic Treatment in Pneumonia, How to Choose?

Kriteria rawat inap


Tidak semua pasien pneumonia memerlukan rawat inap untuk pemberian
antibiotik suntikan. Pada awal tahun 1980an, WHO membuat pedoman
tatakelola pneumonia yang ditujukan untuk layanan kesehatan primer dalam
bentuk yang mudah untuk diterapkan. Pneumonia ditegakkan cukup dengan
temuan klinis awal berupa batuk, yang kemudian diikuti timbulnya napas
cepat sesuai dengan batasan umur, dan napas sesak. Pemeriksaan radiologis
tidak diperlukan. Pasien pneumonia dengan napas cepat tanpa napas sesak
dapat diterapi secara rawat jalan.14
Panduan pneumonia balita yang dibuat WHO ditujukan untuk fasilitas
layanan kesehatan primer di lapangan dengan segala keterbatasan sarana dan
sumber daya manusia. Untuk fasilitas layanan rujukan, dgunakan kriteria yang
lebih rinci.

Pasien anak dengan pneumonia komunitas dapat dirawat apabila:15


yy Tidak sesak
yy Saturasi oksigen >90% pada udara kamar
yy Orangtua / pengasuh dinilai mampu merawat di rumah

Indikasi rawat pada pneumonia komunitas:15,16


yy Bayi <6 bulan
yy Sesak napas: grunting, napas cuping hidung, head bobbing, retraksi, apnea
yy Saturasi oksigen <90%, <92%17
yy Bayi dan anak dengan dugaan atau terbukti infeksi oleh patogen virulen
seperti community-associated methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(CA-MRSA)
yy Pasien tampak toksik
yy Orangtua / pengasuh diragukan kemampuan merawat di rumah
yy Kegagalan terapi rawat jalan

Untuk menilai tingkat keparahan pneumonia pada anak, British Thoracic


Society membuat kriteria seperti Tabel 2.17

98
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Tabel 2. Penilaian derajat keparahan pneumonia anak


Kelompok Ringan sedang Berat
Bayi Suhu <38,5° Suhu >38,5°
Laju napas <50 Laju napas >70
Retraksi ringan Retraksi sedang – berat
Dapat minum penuh Napas cuping hidung
Sianosis
Apnea intermiten
Grunting
Tidak dapat minum
Takikardia*
Capillary refill time >2s
Anak Suhu <38,5° Suhu >38,5°
Laju napas <50 Laju napas >50
Sesak ringan Sesak berat
Tidak ada muntah Napas cuping hidung
Sianosis
Apnea intermiten
Grunting
Tidak dapat minum
Takikardia*
Capillary refill time >2s
*Nilai dipengaruhi umur dan suhu

Pemberian antibiotik pada pneumonia


Semua pedoman tatakelola pneumonia dunia menyebutkan antibiotik sebagai
terapi utama. Padahal cukup besar porsi pneumonia yang disebabkan oleh virus.
Alasan diberikannya antibiotik pada semua pneumonia adalah karena dua
hal utama. Pertama, tidak ada cara untuk membedakan secara pasti apakah
suatu pneumonia hanya disebabkan oleh virus tanpa keterlibatan bakteri.1,15-17
Kedua, pneumonia merupakan penyakit dengan risiko mortalitas yang tinggi.
Dengan demikian pemberian antibiotik secara rutin pada pneumonia adalah
terapi yang rasional. Berbeda dengan infeksi respiratori akut lain yang dalam
pemberian antibiotik harus ketat kriterianya.
Idealnya, pemberian antibiotik sesuai dengan kuman penyebab, dan
dipilih antibiotik spektrum sempit yang kumannya sensitif. Karena sulitnya
penentuan etiologi pneumonia, maka antibiotik diberikan secara empirik,
berdasarkan observasi dan pengalaman.1

Pilihan antibiotik
Rawat jalan
Hampir semua pedoman tatakelola pneumonia komunitas menganjurkan
pemberian amoksisilin sebagai lini pertama karena efektifitasnya terhadap
streptokokus, ditoleransi dengan baik, murah dan mudah didapat. 14-17

99
Antibiotic Treatment in Pneumonia, How to Choose?

Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk pneumonia komunitas pada


bayi, anak prasekolah, anak sekolah dan remaja tanpa penyakit dasar dan
imunisasi lengkap. Amoksisilin efektif untuk Streptococcus pneumoniae sebagai
patogen utama.11,16,18
Untuk anak sekolah dan remaja, bila temuan klinis mengarah ke
pneumonia atipikal diberikan antibiotik golongan makrolid seperti eritromisin,
klaritromisin, dan azitromisin.15,16 Untuk pasien yang alergi dengan golongan
penisilin, dapat diberikan sefalosporin generasi 2 atau 3, atau klindamisin.15
Pada tahun 2013 Cochrane Library menerbitkan kajian tentang Antibiotik
untuk pneumonia komunitas pada anak. Hasil kajian menunjukkan bahwa
untuk rawat jalan, amoksisilin sebagai antibiotik alternatif pengganti
kotrimoksazol. Koamoksiklav dan sefpodoksim sebagai antibiotik alternatif lini
kedua pasien rawat jalan. Untuk pasien rawat inap, penisilin atau ampisilin +
gentamisin lebih unggul dibanding kloramfenikol tunggal. Antibiotik alternatif
lini kedua untuk pasien rawat inap adalah koamoksiklav dan sefuroksim.19
Panduan tatakelola pneumonia balita yang diterbitkan oleh WHO pada
awalnya mengajurkan pemberian kotrimoksazol sebagai antibiotik untuk
pneumonia komunitas rawat jalan. Pada tahun 2014 WHO menerbitkan
revisi panduan dan mengganti kotrimoksazol dengan amoksisilin untuk
pneumonia rawat jalan.14 Pada tahun 2016 dilakukan kajian terhadap bukti
ilmiah terbaru. Disimpulkan bahwa hingga dilakukannya kajian tersebut, tidak
ditemukan bukti baru yang dapat menjadi alasan untuk mengubah panduan
WHO tahun 2014.11

Rawat inap
Pemberian antibiotik secara oral aman dan efektif bahkan untuk pasien anak
dengan pneumonia komunitas yang berat, dan hal ini dianjurkan. Antibiotik
secara injeksi diberikan bila anak tidak dapat minum misalnya karena muntah
atau sesak berat sehingga dikhawatirkan terjadi aspirasi, atau pasien dengan
sepsis, atau pneumonia dengan komplikasi.17
Ampisilin atau penisilin G diberikan kepada bayi dan anak dengan
pneumonia komunitas yang memerlukan rawat inap dengan riwayat imunisasi
lengkap. Terapi empirik dengan sefalosporin generasi ketiga (seftriakson,
sefotaksim) diberikan pada bayi dan anak yang imunisasinya tidak lengkap,
infeksi berat yang mengancam nyawa, atau empiema. Antibiotik injeksi yang
dianjurkan untuk pneumonia berat termasuk amoksisilin, ko-amoksiklav,
sefuroksim, sefotaksim, atau seftriakson. Pemilihan antibiotik akan lebih
rasional bila ada hasil biakan.1,16,17
Penambahan terapi kombinasi empirik dengan makrolid (oral atau
injeksi) diberikan kepada anak dengan temuan yang mengarah ke pneumonia

100
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Tabel 3. Terapi antibiotik empirik pneumonia komunitas anak16


Tempat Pelayanan Terapi Empirik
Diduga peumonia bakterial Diduga pneumonia atipikal
Pasien rawat jalan
Usia balita amoksisilin, peroral (90mg/kgBB/hari azitromisin, peroral (10mg/kgBB pada hari ke
dibagi 2 dosis.) 1, dilanjutkan 5mg/kg/hari, sekali sehari untuk
hari ke 2-5)
Alternatif: Alternatif:
amoksisilin klavulanat, peroral klaritromisin, peroral, 15mg/kgBB/hari dibagi
(amoksisilin 90mg/kgBB/hari dibagi 2 2 dosis, 7-14 hari) ATAU eritromisin 40mg/
dosis) kgBB/hr dibagi 4 dosis
Usia ≥5 tahun Amoksisilin (90mg/kgBB/hari dibagi 2 azitromisin, peroral, 10mg/kgBB pada hari ke-
dosis, dosis maksimal 4g/hari), pasien 1, dilanjutkan 5mg/kgBB/hari 1x sehari untuk
pneumonia bakterial yang secara klinis, hari ke 2-5 dengan dosis maksimal 500mg pada
laboratorium maupun radiologi yang tidak hari pertama diikuti 250mg pada hari ke2-5.
dapat membedakan dengan pneumonia
atipikal, makrolid bisa ditambahkan.
Alternatif: Alternatif:
amoksisilin klavulanat, peroral klaritromisin, peroral, 15mg/kgBB/hari dibagi
(amoksisilin 90mg/kgBB/hari dibagi 2 2 dosis, maksimal 1g/hari.
dosis, dosis maksimal 4g/hari. Eritromisin, doksisiklin untuk anak usia >7
tahun
Pasien rawat inap (semua umur)
Tervaksinasi Hib ampisilin atau penisilin G. azitromisin (tambahan untuk β-laktam,
dan streptokok; jika diagnosis pneumonia atipikal masih
resistensi lokal Alternatif: dipikirkan);
minimal thd seftriakson ATAU sefotaksim; tambahan Alternatif:
penisilin (strain vankomisin ATAU klindamisin jika curiga klaritromisin ATAU eritromisin; doksisiklin
pneumokokus CA-MRSA untuk anak usia >7 tahun; levofloksasin untuk
invasif). anak yang telah melewati masa pertumbuhan
atau anak yang tidak dapat mengkonsumsi
makrolid.
Tidak vaksinasi seftriakson ATAU sefotaksim; tambahan azitromisin (tambahan untuk β-laktam, jika
Hib & streptokok; vankomisin ATAU klindamisin jika curiga diagnosis masih dipikirkan)
resistensi lokal CA-MRSA Alternatif:
bermakna thd klaritromisin ATAU eritromisin; doksisiklin
penisilin (strain Alternatif: untuk anak usia >7 tahun; levofloksasin untuk
pneumokokus levofloksasin; tambahan vankomisin anak yang telah melewati masa pertumbuhan
invasif). ATAU klindamisin jika curiga CA-MRSA atau anak yang tidak dapat mengkonsumsi
makrolid

atipikal. Vankomisin atau klindamisin perlu ditambahkan jika temuan klinis,


laboratoris, atau radiologis sesuai dengan infeksi oleh S. aureus. Selengkapnya
anjuran pemberian antibiotik untuk pneumonia komunitas pada anak dapat
dilihat dalam Tabel 3.

Durasi pemberian antibiotik


Durasi pemberian antibiotik untuk pneumonia yang optimal 10 hari, dengan
rentang antara 3 hingga 14 hari, dan umumnya pedoman tatakelola pneumonia

101
Antibiotic Treatment in Pneumonia, How to Choose?

mengajurkan pemberian selama 7-10 hari. Infeksi oleh patogen tertentu


misalnya CAMRSA memerlukan waktu yang lebih lama.15-17 Untuk azitromisin
durasi pemberian cukup 5 hari saja karena farmakokinetik obat di jaringan
yang bertahan lebih lama. Penentuan durasi belum mempunyai dasar yang
kuat, hanya berdasarkan observasi dan kesepakatan semata.

Mengurangi risiko resistensi antibiotik


Dalam rangka mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi perlu dicermati
beberarapa hal dalam pemilihan pemberian antibiotik.1,15,16
yy Gunakan antibiotik spektrum sempit bila memungkinkan
yy Berikan dosis antibiotik yang memadai
yy Durasi pemberian sependek mungkin bila pasien telah menunjukkan
respons positif

Evaluasi respons tatalaksana


Bila jenis dan dosis antibiotik yang kita berikan sesuai yaitu kuman
penyebabnya sensitif dengan antibiotik tersebut maka perbaikan klinis akan
terlihat dalam 48-72 jam awal. Demam cenderung turun menuju normal. Sesak
akan berkurang secara bertahap seiring dengan penurunan kebutuhan terapi
oksigen. Bila terlihat kecenderungan perbaikan klinis, tidak perlu dilakukan
evaluasi pemeriksaan penunjang.1,2,15-17 Pada pasien yang menerima antibiotik
injeksi, pengalihan ke oral dapat dipertimbangkan bila terjadi perbaikan klinis
yang jelas.17
Pneumonia perbaikan lambat adalah pneumonia yang secara klinis atau
radiologis menetap setelah jangka waktu yang lazimnya sudah terjadi perbaikan.
Bila dalam 3 hari belum tampak tanda perbaikan klinis, apalagi justru terjadi
perburukan dalam 48-72 jam pertama, maka mulai perlu dipikirkan berbagai
kemungkinan penyebabnya. Kemungkinan pertama antibiotik yang kita
berikan belum tepat atau terjadi resistensi kuman terhadap antibiotik yang
kita berikan. Perlu dipikirkan pula adanya penyakit dasar atau penyerta yang
belum terdeteksi pada saat awal, sehingga membuat respons terapi kurang.1
Perlu dilakukan evaluasi pemeriksaan penunjang berupa darah tepi
untuk melihat nilai leukosit dan hitung jenisnya.15 Pemeriksaan penanda
inflamasi bakteri yaitu prokalsitonin perlu dilakukan sejak awal sakitnya
berat atau bila terjadi perburukan klinis dengan dugaan sepsis. Pemeriksaan
foto toraks ulangan perlu dilakukan untuk menilai apakah terjadi perluasan
gambaran patologi atau kemungkinan terjadinya komplikasi seperti atelektasis,
pneumotoraks, efusi pleura, atau gambaran pneumatokel.15,16

102
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Bila terjadi perbaikan klinis tidak perlu dilakukan pemeriksaan radiologis


ulang. Namun bila dilakukan, dan secara radiologis belum ada perbaikan, tidak
perlu dikhawatirkan dan tidak perlu perpanjangan pemberian antibiotik atau
penggantian dengan antibiotik lain. Perlu diingat bahwa pada sebagian kasus,
resolusi lengkap radiologis memerlukan waktu hingga beberapa pekan, ada
yang hingga 3 bulan. Waktu resolusi untuk S aureus bahkan lebih lama lagi.
Bahkan untuk pneumonia virus sekalipun terkadang perlu waktu lama untuk
mengalami perbaikan radiologis.1
Bila secara klinis tidak terjadi perbaikan klinis dalam rentang waktu
yang diharapkan, apalagi bila terjadi perburukan klinis, disertai perburukan
hasil pemeriksaan penunjang maka antibiotik perlu diganti dengan antibiotik
alternatif atau dikombinasikan dengan antibiotik tambahan. Antibiotik
makroid dapat ditambahkan untuk semua kelompok umur, bila dengan
antibiotik lini pertama responsnya tidak baik.17

Simpulan
Pneumonia merupakan salah satu penyebab utama mortalitas pada anak,
terutama balita. Pneumonia dikelompokkan atas dasar tempat terjadinya,
menjadi pneumonia komunitas dan pneumonia rumkit. Pengamatan terakhir
menunjukkan bahwa ada kelompok pneumonia di antara keduanya yaitu
pneumonia yankes (health-care associated pneumonia – HCAP). Pembagian
tersebut terkait kuman penyebab dan antibiotik yang sesuai. Penentuan
pasti etiologi pneumonia sangat sulit sehingga pilihan antibiotik diberikan
secara empirik. Penyebab pneumonia berbeda pada berbagai kelompok umur.
Makin muda umur makin besar kemungkinan penyebabnya virus. Sebagian
pneumonia disebabkan oleh virus, namun karena sulit membedakan antara
infeksi virus dengan bakteri - sementara pneumonia berpotensi kematian –
maka semua pasien pneumonia diberi antibiotik. Sebagian besar pneumonia
adalah pneumonia komunitas, yang sebagian di antaranya dapat ditatalaksana
rawat jalan. Antibitotik lini pertama untuk pneumonia komunitas adalah
golongan penisilin seperti ampisilin atau amoksisilin. Lini kedua adalah
golongan sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson dan sefotaksim.

Daftar pustaka
1. Stein RT, Marostica PJC. Community-acquired bacterial pneumonia. Dalam:
Wilmott RW, Chernick V, Ed. Kendig and Chermick’s Disorders of the respiratory
tract in children. Edisi ke-19. Philadelphia : Elsevier Saunders, 2012. h. 453-60
2. García-Elorriaga G, Del Rey-Pineda G. Basic concepts on community-
acquired bacterial pneumonia in pediatrics. Pediatric Infect Dis 2016. 1:3. doi:
10.21767/2573-0282.100003

103
Antibiotic Treatment in Pneumonia, How to Choose?

3. Falcone M, Venditti M, Shindo Y, Kollef MH. Healthcare-associated pneumonia:


Diagnostic criteria and distinction from community-acquired pneumonia. Int J
Infect Dis 2011; e545-50
4. Kollef MH, Lee E. Morrow LE, Baughman RP, Craven DE, McGowan JE, et al.
Health Care–Associated Pneumonia (HCAP): A Critical Appraisal to Improve
Identification, Management, and Outcomes—Proceedings of the HCAP Summit.
Clin Infect Dis 2008; 46:S296–334
5. American Thoracic Society, Infectious Diseases Society of America. Guidelines
for the management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated, and
healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2005;171:388–416
6. Izadnegahdar R, Cohen AL, Klugman KP, Qazi SA. Childhood pneumonia in
developing countries. Lancet Respir Med 2013; 1: 574–84
7. Pneumonia. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/. diakses pada
tanggal 10 Apr 2018
8. Kementerian Kesehatan RI 2016. Profil Kesehatan Indonesia 2016.
9. Mangione-Smith R, Zhou C, Robinson JD, Taylor JA, Elliott MN, Heritage J.
Communication practices and antibiotic use for acute respiratory tract infections
in children. Ann Fam Med 2015;13(3):221–227
10. Messinger AI, Kupfer O, Hurst A, Parker S. Management of Pediatric Community-
acquired Bacterial Pneumonia. Ped in Rev 2017; 38:394-409
11. Shrey Mathur S, Fuchs A, Bielicki J, Van Den Anker JN, Sharland M. Antibiotic
Use for Community Acquired Pneumonia (CAP) in Neonates and Children: 2016
Evidence Update. www.who.int/selection_medicines/.../21/.../s6_paed_antibiotics_
appendix3_cap.pdf
12. Li STTD, Tancredi DJ. Empyema hospitalizations increased in US children despite
pneumococcal conjugate vaccine. Pediatrics 2010;125(1):26–33
13. Schultz KD, Fan LL, Pinsky J, et al. The changing face of pleural empyemas in
children: epidemiology and management. Pediatrics 2004;113(6):1735–1740
14. World Health Organization 2016. Revised WHO classification and treatment
of childhood pneumonia at health facilities • EVIDENCE SUMMARIES •
15. Community Acquired Pneumonia – Pediatric Ages 3 month to 18 years.
Clinical Practice Guideline. MedStar Health Antibiotic Stewardship https://ct1.
medstarhealth.org/content/uploads/sites/43/2017/11/F.
16. Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C, et al. The
Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older
than 3 Months of Age: Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious
Deseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect
Dis 2011; 52:e1-52
17. Harris M, Clark J, Coote N, Fletcher P, Harnden A, McKean M, Thomson A.
British Thoracic Society guideline for the management of community acquired
pneumonia in children: update 2011. Thorax 2011; 66:ii1-23
18. Starship Children’s Health Clinical Guideline. Pneumonia. https://www.starship.
org.nz/for-health.../starship-clinical-guidelines/p/pneumonia/
19. Lodha R, Kabra SK, Pandey RM. Antibiotics for community-acquired pneumonia
in children (Review) Cochrane Database of Systematic Reviews 2013.
cochranelibrary-wiley.com/doi/10.1002/14651858.CD004874.pub4/full

104
Acute Rhinotonsilopharyngitis in Children:
When Antibiotic is Needed?
Wahyuni Indawati

Tujuan:
1. Mampu membuat diagnosis rinotonsilofatingitis akut
2. Mampu mengidentifikasi kondisi rinotonsilofatingitis yang
memerlukan antibiotik.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut atas (ISPA atas) merupakan masalah


yang paling sering dijumpai pada praktek sehari-hari. ISPA atas merupakan
kumpulan penyakit yang mengenai hidung hingga laring sehingga meliputi
naso/rinofaringitis, rinosinusitis, faringitis/tonsilofaringitis, otitis media dan
laryngitis. ISPA atas merupakan penyebab tersering penggunaan antibiotik
yang tidak rasional sehingga menyumbangkan dampak resistensi terhadap
antibiotik secara global. Oleh karena itu makalah ini bertujuan untuk
membahas mengenai penggunaan antibiotik yang rasional pada ISPA atas
khususnya rinotonsilofaringitis akut.

Definisi
ISPA merupakan kumpulan penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang
meliputi rino/nasofaringitis akut hingga pneumonia. Istilah ini seringkali
direduksi dan disalahgunakan untuk menyebut diagnosis common cold/
selesma. Dalam mendiagnosis infeksi saluran pernapasan akut perlu dibuat
secara spesifik bagian mana yang terkena agar tata laksana yang diberikan
sesuai dengan kelainannya. Istilah naso/rinofaringitis akut digunakan untuk
menunjukkan adanya inflamasi pada rongga hidung hingga ke faring. Istilah
ini juga meliputi terminologi selesma/common cold. 1 Terminologi “Flu” yang
merupakan infeksi saluran napas akut seringkali diklasifikasikan tersendiri dan
dibedakan dari istilah selesma karena memiliki gejala klinis yang lebih berat.1
Tonsilofaringitis akut merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan
infeksi pada faring dan atau tonsil.2-4

105
Acute Rhinotonsilopharyngitis in Children:When Antibiotic is Needed?

Rino/nasofaringitis akut (selesma)


Rinofaringitis akut merupakan jenis ISPA atas yang paling sering dijumpai pada
anak. Anak balita normal dapat mengalami rinofaringitis akut sebanyak 5-8
episode dalam satu tahun.1 Rinofaringitis akut hampir selalu disebabkan oleh
virus seperti rhinovirus, coronavirus, RSV, parainfluenza, influenza, coxsackie
dan adenovirus. Cara penularan rinofaringitis akut adalah melalui percik renik
yang keluar saat batuk dan bersin atau melalui kontak dengan tangan yang
terkontaminasi. Masa inkubasi umumnya 2-5 hari, sedangkan masa penularan
dimulai sejak beberapa jam hingga beberapa hari setelah munculnya gejala.1
Rinofaringitis seringkali diawali dengan pilek, napas tersumbat, bersin,
batuk kering, nyeri tenggorokan dan demam dengan derajat keparahan yang
berbeda. Pada anak yang usianya kurang dari 5 tahun umumnya gejala lebih
berat. Pada beberapa anak dapat menunjukkan gejala tanpa disertai demam
dan dapat disertai diare. Gejala pada bayi dapat berupa anak tampak gelisah,
rewel, tidak mau makan, muntah, sesak napas akibat kongesti hidung. Pada
anak yang lebih besar gejala dapat disertai sakit kepala, nyeri otot atau pun
mengigil. 1
Pada pemeriksaan fisis menunjukkan kongesti hidung, hiperemis mukosa
faring dan membran timpani. Adanya membran timpani yang hiperemis tidak
menunjukkan otitis media akut, terutama jika anak menangis saat pemeriksaan
otoskopi. 1
Pada beberapa kasus dapat terjadi komplikasi infeksi bakterial, hal ini
perlu diwaspadai jika demam menetap lebih dari 3 hari, demam berulang
setelah sempat membaik atau anak tampak sangat lemah atau lesu. Gejala
lain yang perlu diwaspadai adalah adanya sesak napas yang mengindikasikan
laryngitis atau infeksi saluran napas bawah akut seperti bronkiolitis atau
pneumonia. Komplikasi infeksi bakterial yang tersering adalah otitis media
akut dan sinusitis. Komplikasi lain dari episode infeksi virus pada saluran napas
adalah terpicunya serangan asma terutama jika penyebab infeksinya adalah
Respiratory Syncytial virus (RSV) dan Rhinovirus.1-3
Diagnosis rinofaringitis ditegakkan secara klinis, namun perlu dipikirkan
apakah gejala ini merupakan gejala atau tanda awal dari penyakit lain seperti
campak, pertussis, faringitis streptokok, infeksi meningokok ataupun infeksi
mononucleosis. Jika terdapat keluhan seperti infeksi saluran napas atas yang
menetap atau berulang dengan tanpa disertai demam perlu dipikirkan rinitis
alergi. Secara umum tidak diperlukan pemeriksaan identifikasi virus, namun
perlu diwaspadai kapan kita mencurigai infeksi bakteri sehingga pemberian
antibiotik menjadi rasional.1
Tata laksana umumnya berupa terapi suportif karena penyakit ini
merupakan “self limiting disease”. Istirahat yang cukup disertai hidrasi yang

106
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

baik (banyak minum) dan pemberian nutrisi yang seimbang merupakan


anjuran umum untuk penyakit ini. Irigasi hidung dengan larutan salin isotonik
yang kadang-kadang perlu disertai aspirasi ringan sekret hidung akan sangat
membantu pasien. Hal ini terutama untuk bayi dibawah 6 bulan yang akan
sangat terganggu dengan sekret hidung terutama saat minum atau tidur.
Pemberian antipiretik atau antinyeri dapat diberikan sesuai kebutuhan. Nasal
dekongestan topikal dapat digunakan pada anak yang lebih besar jika dengan
irigasi salin isotonic tidak menolong. Pemberian nasal dekongestan topikal
sebaiknya tidak melebihi 5 hari. Pemberian antibiotik tidak diperlukan karena
tidak bermanfaat pada infeksi virus maupun tidak akan mencegah komplikasi
infeksi bakterial. Prognosis rinofaringitis akut adalah baik, umumnya akan
membaik dalam 5-7 hari. Komplikasi akan mudah terjadi pada bayi, anak
dengan malnutrisi atau imunodepresi. 1
Pemberian antibiotik pada rinofaringitis akut terindikasi jika terjadi
komplikasi infeksi bakterial, yaitu jika ditemukan tanda dan gejala otitis
media bakterialis atau komplikasi rinosinusitis bakterialis. Gejala otitis
media bakterialis adalah gejala yang berat berupa nyeri telingan hebat, nyeri
telinga lebih dari 48 jam atau suhu tubuh sangat tinggi yaitu lebih dari 39 C,
keterlibatan kedua telinga (bilateral) dan usia anak kurang dari 23 bulan.
Sedangkan rinosinusitis bakterialis perlu dicurigai pada keadaan gejala yang
menetap lebih dari sama dengan 10 hari tanpa ada perbaikan klinis, awitan
penyakit dengan gejala yang berat seperti demam yang tinggi, sekret hidung
yang purulent atau nyeri di wajah yang menetap 3-4 hari sejak awal penyakit
dan adanya perburukan gejala setelah gejala sempat membaik ditandai dengan
munculnya demam baru , nyeri kepala dan peningkatan sekret hidung yang
memburuk setelah 5-6 hari sejak gejala awal yang mulai membaik. Pada
keadaan tersebut maka pemberian antibiotik memiliki justifikasi untuk
diberikan.2

Tonsilofaringitis/Faringitis akut
Faringitis atau tonsilofaringitis akut merupakan inflamasi akut pada faring
(orofaring) dan atau tonsil (tonsil palatina). Keadaan ini merupakan keadaan
yang sering dijumpai pada anak dan remaja. Penyebab utama tonsilofaringitis
akut adalah infeksi virus. Jenis virus yang paling sering menyebabkannya
adalah rinovirus, koronavirus dan adenovirus sebanyak 30%. Penyebab virus
lainnya meliputi influenza, parainfluenza, Epstein Barr, coxsackie dan herpes
simpleks. Walaupun demikian perlu diwaspadai kemungkinan penyebab lain dari
tonsilofaringitis yaitu infeksi bakteri. Pada anak usia lebih dari 5 tahun infeksi
Streptokokus beta hemolyticus Grup A merupakan penyebab infeksi bakteri
tersering (37%) sedangkan penyebab bakteri yang lain meliputi Mycoplasma

107
Acute Rhinotonsilopharyngitis in Children:When Antibiotic is Needed?

pneumonia, Streptokokus Grup C, Chlamydia pneumonia, Chlamydia trachomatis


dan Neisseria gonorrhoeae. Pada negara dengan cakupan imunisasi DPT yang
rendah perlu dipikirkan juga penyebab Corynebacterium diphteriae.3-5
Sebagai klinisi sangat penting untuk dapat membedakan tonsilofaringitis
yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri terutama infeksi Streptokokus
beta hemolyticus Grup A (Streptokokus pyogenes). Hal ini agar penggunaan
antibiotik yang tidak perlu dapat dicegah namun pada saat diperlukan
antibiotik harus diberikan dengan tepat agar tidak terjadi komplikasi yang
berat. Komplikasi infeksi Streptokokus Beta hemolyticus Grup A meliputi
komplikasi supuratif dan non supuratif. Komplikasi supuratif dapat berupa
penyebaran infeksi ke jaringan sekitarnya yaitu limfadenitis servikal, abses
peritonsilar, abses retrofaring, otitis media, mastoiditis dan sinusitis. Komplikasi
non supuratif merupakan komplikasi akibat lanjutan kondisi yang dimediasi
sistem imun berupa demam rematik akut, glomerulonefritis akut pasca
streptokokus, artritis reaktif, korea Sydenham dan kelainan neuropsikiatrik
autoimun akibat Streptococcus pyogenes. 3,5
Gejala klinis faringitis virus umumnya bersifat gradual dan meliputi
adanya rinorea, batuk, diare dan suara serak. Faringitis streptokok umumnya
diawali dengan gejala demam dan nyeri menelan yang mendadak, faring yang
merah, pembesaran tonsil yang disertai detritus. Selain itu dapat dijumpai
petekie pada palatum dan faring posterior. Pembesaran kelenjar getah bening
servikal anterior sering ditemukan pada faringitis streptokok. Gejala lain yang
sering dijumpai adalah nyeri kepala, nyeri perut dan muntah. Sensitivitas dan
spesifisitas gejala faringitis streptokok dapat dilihat pada tabel 1. 5
Namun demikian walaupun terdapat beberapa gejala dan tanda yang
cukup mengarahkan diagnosis ke arah Streptokok faringitis, kumpulan gejala
dan tanda tersebut tidak ada yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang
cukup tinggi untuk memastikan diagnosis (tabel 2). 6-9Dari berbagai kumpulan
gejala dan tanda serta karakteristik pasien yang mengarah pada faringitis

Tabel 1. Tanda dan gejala klinis Faringitis karena Streptokokus Beta-Hemolyticus Grup A (GABSH) , sensitivitas
dan spesifisitas5
Temuan Tanda dan Gejala Klinis Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)
Tidak batuk 51-79 36-68
Pembengkakan atau pembesaran KGB leher bagian anterior 55-82 34-73
Nyeri kepala 48 50-80
Nyeri otot 49 60
Bintik merah pada palatum 7 95
Eksudat faring 26 88
Demam .38oC 22-58 52-92
Eksudat tonsil 36 85

108
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Tabel 2. Skor klinis Faringitis karena Streptokokus Beta-Hemolyticus Grup A (GABSH)6-9


Tanda dan gejala klinis Sensivisitas Spesifisitas
(%) (%)
Paparan baru terhadap GABHS, eksudat faring, pembesaran atau nyeri tekan KGB 55 74
leher, demam
Musim, usia, sel darah putih (laboratorium), demam, tidak batuk, pembesaran KGB 68 85
leher, eksudat atau pembengkakan tonsil
Pembengkakan dan nyeri tekan KGB leher bagian anterior, eksudat tonsil 84 40
Demam, pembesaran KGB leher, eksudat atau pembengkakan atau hipertrofi tonsil, 63 67
tidak batuk
Musim, usia, demam, pembesaran KGB leher, eksudat atau pembengkakan atau 22 93
hipertrofi tonsil, nyeri tekan atau rhinitis atau konjungtivitis
Hipertrofi tonsil, pembesaran KGB leher, tidak ada rhinitis, bintik demam scarlet 18 97

Tabel 3. Centor Skor7


Kriteria klinis Skor
Tidak batuk 1
Pembengkakan dan nyeri tekanKGB leher bagian anterior 1
Suhu >38oC 1
Eksudat atau pembengkakan tonsil 1
Usia 3 - 14 tahun 1
Usian 15 - 44 tahun 0
Usia ≥ 45 tahun -1
Ket : skor 0-1 risiko 1-10%, skor 2-3 11-35% dan skor 4 atau lebih 51-53%

streptokok, Centor skor merupakan yang paling sering digunakan (tabel 3).7
Centor skor dapat digunakan sebagai panduan prediksi kemungkinan infeksi
streptokok. Namun pada kemungkinan yang rendah tetap diperlukan bantuan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan adalah rapid antigen
detection test (RADT) untuk streptokok yang memiliki sensitivitas 70% dan
spesifisitas 98%. Sedangkan kultur swab tenggorok memiliki sensitivitas 81%
dengan spesifisitas 97%.3
Hingga saat ini masih didapatkan perbedaan dari beberapa panduan di
dunia dalam menindaklanjuti hasil Centor skor. Salah satu algoritma yang
dapat digunakan adalah yang dikeluarkan oleh American Academy of Physician
(Gambar 1).10
Tatalaksana tonsilofaringitis secara umum adalah terapi suportif karena
umumnya disebabkan karena virus. Antibiotik diperlukan jika terdapat
kecurigaan yang kuat kea rah infeksi bakterial terutama infeksi Streptokokus
B hemolyticus Grup A. Panduan antibiotik yang direkomendasikan untuk
infeksi tersebut dapat dilihat pada tabel 4.11

109
Acute Rhinotonsilopharyngitis in Children:When Antibiotic is Needed?

Gambar 1. Tatalaksana antibiotik sesuai skor Centor berdasarkan ACP10

Tabel 4. Rekomendasi pilihan terapi untuk faringitis GABHS oleh American Heart Association and American
Academy of Pediatrics AAP11
Obat Dosis Durasi
Penisilin
Penisilin V (oral) • Anak < 27 kg: 400.000U (250mg) 2-3 kali dalam sehari 10 hari
• Anak > 27 kg, remaja, dan dewasa: 800.000 U (500mg)
2-3 kali dalam sehari
Amoxicilin (oral) 50mg/kg satu kali dalam sehari (dosis maksumum 1 g) 10 hari
Benzathin Penicilin G (intramuscular) • Anak < 27 kg: 600.000U (375mg) Satu kali
• Anak > 27 kg, remaja, dan dewasa: 1.200.000 U
(750mg)
Alergi Penicilin
Sefalosporin spectrum kecil (cephalexin, Variabel 10 hari
cefadroxil) (oral)*
Clindamycin (oral) 20 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis (dosis maksimum 10 hari
1.8g/hari)
Azithromycin (oral) 12mg/kg sekali dalam sehari (dosis maksimum 500mg) 5 hari
Clarithromycin (oral) 15mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis (dosis maksimum 10 hari
250mg 2 kali sehari)
*Pasien dengan Hipersensitivitas tipe 1 atau hipersensitivitas segera terhadap penisilin tidak dapat di terapi
dengan Sefalosporin.

110
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Simpulan
Rinotonsilofaringitis akut merupakan infeksi saluran napas atas yang paling
sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Walaupun memiliki morbiditas
yang tinggi namun penyakit ini memiliki mortalitas yang rendah. Penyebab
tersering adalah virus sehingga secara umum tidak perlu diberikan antibiotik.
Pada kecurigaan ke arah infeksi bakteri khususnya infeksi Streptokokus Grup A
Beta hemolyticus pemberian antibiotik yang tepat diperlukan untuk mencegah
komplikasi jangka panjang.

Daftar Pustaka
1. Pitrez PMC, Pitrez JLB. Acute upper respiratory tract infections outpatient
diagnosis and treatment. Jornal de Pediatria 2003;79:S77-85.
2. Chow AW, Benninger MS, Brook I, Brozek JL, Goldstein EJC, dkk. IDSA clinical
practice guideline for acute bacterial rhinosinusitis in children and adults. Clin
Infect Dis 2012;15:1041-45.
3. Regoli M, Chiappini E, Bonsignori F, Galli L, Martino M. Update on the
management of acute pharyngitis in children. Italian J of Pediatr 2011;37:1-7.
4. Gerber MA. Diagnosis and treatment of pharyngitis in children. Pedatr Clin N
Am 2005;52:729-747.
5. Choby BA. Diagnosis and treatment of streptococcal pharyngitis. Am Fam
Physician 2009;79:383-90.
6. Steinhoff MC, Abd el Khalek MK, Khallaf N, Hamza HS, El Ayadi A, dkk.
Effectiveness of clinical guidelines for the presumptive treatment of streptococcal
pharyngitis in Egyptian children. Lancet 1997;350:918-21.
7. McIsaac WJ, White D, Tannenbaum D, Low DE. A clinical score to reduce
unnecessary antibiotic use in patients with sore throat. CMAJ 1998;158:75-83.
8. Wald ER, Green MD, Schwatrz B, Barbadora K. A streptococcal score card
revisited. Pediatr Emerg care 1998;14:109-11.
9. Attia MW, Zaoutis T, Klein JD, Meier FA. Performance of a predictive model
for streptococcal pharyngitis in children. Arch Pediatr Adolesc Med 2001;
155:687-91.
10. Snow V, Mottur-Pilson C, Cooper RJ, Hoffman Jr. American academy of family
physician: American college of physicians-american society of internal medicine;
centers for disease control. Principles of appropriate antibiotic use pharyngitis in
adult. Ann Intern Med 2001;134:506-8.
11. Bisno AL, Gerber MA, Gwaltney JM. Practical guidelines for the diagnosis and
management of Group A streptococcal pharyngitis. Infectious Diseases Society
of America. Clin Infect Dis 2001;35:113-25.

111
Tuberculosis Chemoprophylaxis in Children
Exposed to Drug Sensitive or Resistant
Index Case
Nastiti Kaswandani

Tujuan
1. Memahami risiko anak yang terpajan TB menjadi tertular atau
sakit TB
2. Mampu memberikan kemoprofilaksis anak terpajan TB sensitif
obat
3. Mampu memberikan kemoprofilaksis anak dengan infeksi laten
TB
4. Memahami kemoprofilaksis anak terpajan TB resisten obat

Indonesia masih menduduki peringkat ke-2 sebagai penyumbang pasien


Tuberkulosis (TB) terbanyak di dunia setelah India. Dalam laporannya melalui
Global TB Report 2017, World Health Organization (WHO) menuliskan bahwa
setiap tahunnya insidens TB di Indonesia adalah 1.020.000 pasien dengan
mortalitas 110.000 kematian.1 Angka proporsi TB Anak di Indonesia berkisar
pada angka 8-10% dari keseluruhan pasien TB. Anak tertular TB dari pasien
dewasa yang berkontak erat dengannya. Tingginya angka TB anak merupakan
gambaran masih berlangsungnya penularan TB di masyarakat. Anak terutama
balita yang sakit TB juga mengindikasikan upaya pencegahan penularan TB
kepada anak belum berjalan sesuai harapan.
Pencegahan TB merupakan salah satu strategi penting WHO untuk
menghentikan penyebaran penyakit TB di dunia. Risiko tertular TB pada anak
berbanding lurus dengan banyaknya jumlah kuman TB pada sumber infeksi,
semakin eratnya kontak dengan sumber infeksi dan semakin muda usia anak
saat kontak. Anak yang kontak erat dengan sumber infeksi TB tidak semuanya
mengalami infeksi TB dan anak yang terinfeksi TB tidak semuanya akan mengalami
progresivitas menjadi sakit TB aktif. Pencegahan agar anak tidak tertular dan/
atau sakit TB meliputi pemberian imunisasi BCG pada daerah dengan insidens
TB yang tinggi termasuk Indonesia, pengendalian infeksi (infection control) yang
meliputi penggunaan masker, tata cara batuk dan pola sikap hidup sehat lainnya.2

112
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Setiap kali ditemukan pasien TB yang infeksius, harus dilakukan


pelacakan. Pelacakan kontak didasarkan pada lingkaran konsentris yaitu
prioritas ditetapkan dengan mempertimbangkan durasi paparan pada kasus
indeks selama indeks masih infeksius dan kondisi lingkungan. Pencarian
pertama mempertimbangkan kontak erat dan kelompok risiko tinggi dan jika
prevalens infeksi di area lingkungan ini lebih tinggi daripada di populasi umum
atau kasus indeks sangat menular, harus diperluas untuk memasukkan kontak
reguler dan akhirnya juga termasuk yang kontak hanya sesekali.
Upaya pencegahan sakit TB aktif dengan memberikan obat medikamentosa
atau kemoprofilaksis telah dibuktikan efektivitasnya dalam menurunkan angka
kejadian infeksi laten TB dan sakit TB aktif pada kelompok risiko tinggi yang
terpajan kuman TB.3 Makalah ini bertujuan untuk membahas pemberian
kemoprofilaksis pada anak yang terpajan sumber infeksi TB baik TB yang masih
sensitif dengan obat TB (lini pertama) maupun yang resisten obat (TB RO).

Risiko Penularan dan Progresivitas TB pada Anak


Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB yang infeksius (dengan
hasil pulasan miskroskopik dahak yang mengandung kuman TB atau basil
tahan asam/BTA positif) akan terinfeksi atau tertular TB. Tidak semua anak
yang telah terinfeksi akan mengalami sakit TB. Risiko terjadinya transmisi
kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut
mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas,
produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat
faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik.2
Bila respon imunitas seluler anak baik, anak terinfeksi kuman TB tanpa
disertai tanda dan gejala klinis TB. Kondisi ini disebut infeksi laten TB (ILTB).
Anak dengan ILTB lebih berisiko berkembang menjadi sakit TB dibandingkan
orang dewasa karena kemampuan yang rendah melawan infeksi akibat sistem
imun yang belum berkembang sempurna (imatur). Angka progresivitas TB dari
terinfeksi menjadi sakit TB aktif dipengaruhi usia saat tertular TB. Sekitar
5-10% akan mengalami reaktivasi dan berkembang menjadi sakit TB. Infeksi
TB pada anak juga memiliki risiko yang lebih besar untuk berkembang menjadi
TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan upaya
untuk mencegah terjadinya sakit TB.
Secara ringkas risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat dilihat
pada Tabel 1.
Sebuah meta-analisis telah menunjukkan bahwa kontak dengan pasien
TB BTA positif merupakan faktor yang mengindikasikan risiko infeksi yang
sama besarnya baik di negara pendapatan tinggi (rasio odds [OR] 3,3; 95%
interval kepercayaan [CI] 2,2-4,8 ) dan negara-negara berpenghasilan rendah

113
Kemoprofilaksis pada Anak Terpajan Tuberkulosis Sensitif atau Resisten Obat

Tabel 1. Risiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis4


Umur saat infeksi Risiko sakit
Primer (tahun) Tidak Sakit TB Paru TB Diseminata (milier, meningitis)
<1 50% 30−40% 10−20%
1−2 75−80% 10−20% 2−5%
2−5 95% 5% 0.5%
5−10 98% 2% <0.5%
>10 80−90% 10−20% <0.5%

(OR 3.3; 95% CI 2,2– 5.1).5 Risiko tertular infeksi TB sangat tinggi didapati
pada anak-anak yang kontak dengan orang dewasa yang BTA positif (risiko
relatif [RR] 6,78; 95% CI 3,51-13,10) atau orang dewasa dengan lesi kavitas
yang dibuktikan dengan rontgen paru (RR 2,45; 95% CI 1,60–3,76), atau
mereka yang memiliki kontak dekat dengan pengguna napza (RR 1,81; 95%
CI 1,03–3,19). Anak-anak yang keluarganya (termasuk wanita) sakit TB
berisiko lebih tinggi (RR 1,34; 95% CI 1,34-3,14), mungkin karena kontak
mereka lebih sering daripada dengan keluarga laki-laki.6
Suatu studi kasus kontrol di Thailand menemukan bahwa risiko terkena
sakit TB tinggi pada anak-anak yang memiliki kontak dengan pasien TB (sangat
dekat: OR 85,67; 95% CI 33-647,79; p <0,001; dekat : ATAU 31,11; 95% CI
4,18–255,94; p = 0,001; tidak dekat: ATAU 32,70; 95% CI 4,18–255,94; p
<0,001). Peningkatan risiko TB paru ditemukan pada anak-anak yang hidup
dengan orang dewasa yang terkena kanker (OR 2,46; 95% CI 1,14-7,37; p =
0,005), yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa risiko TB juga dapat
meningkat di anak-anak yang hidup dengan pasien dengan penyakit kronis
yang mampu mengubah status kekebalan mereka sehingga orang dewasa
tersebut rentan sakit TB.7

Kemoprofilaksis pada Anak Terpajan TB Sensitif Obat


Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan
kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi TB sehingga diberikan kepada anak yang terpajan sumber
infeksi namun belum terinfeksi, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah
berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Kemoprofilaksis sekunder diberikan
pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji
tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak semua anak
diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam
kelompok risiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak
pada keadaan imunokompromais.

114
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Anti TB sebagai terapi profilaksis pertama kali diperkenalkan pada sekitar


tahun 1950, setelah temuan obat-obat anti TB lainnya yang mengubah tata
laksana TB secara revolusioner. Selama tahun 1950 sampai 1960 obat anti TB
yang digunakan adalah kombinasi INH dan periodic acid-Schiff (PAS) selama
18 bulan. Pada tahun 1967, the American Thoracic Society (ATS) merupakan
institusi yang pertama kalo secara resmi merekomendasikan penggunaan
kemoprofilaksis untuk pasien dengan infeksi laten TB dan berisiko tinggi
mengalami progresivitas menjadi TB aktif.8
Obat anti TB yang paling banyak digunakan sebagai obat kemoprofilaksis
baik primer maupun sekunder adalah isoniazid (INH). Mengapa INH yang
dipilih sebagai obat kemoprofilaksis ? INH menghambat sintesis dinding
mycobacteria dengan cara menghambat sintesis asam mikolat, berefek
bakteriosidal, cepat diserap dan menghasilkan distribusi yang tinggi di jaringan.
INH mengubah metabolisme kuman TB dan mereduksi/mengeliminasi kuman
TB yang hidup pada lesi TB sehingga kuman tidak dapat bereplikasi dan mudah
dikalahkan oleh system imunitas seluler tubuh.3
Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Terdapat dua kelompok
pasien berdasarkan kemampuannya melakukan asetilasi, yaitu asetilator cepat
dan asetilator lambat. Asetilasi cepat lebih sering terjadi pada orang Afrika-
Amerika dan Asia daripada orang kulit putih. Anak-anak mengeliminasi
isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/
kgBB yang lebih tinggi daripada dewasa. Isoniazid terdapat pada air susu ibu
(ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta,
tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak membahayakan.3,8
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada
pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia.
Hepatotoksisitas akan meningkat apabila isoniazid diberikan bersama dengan
rifampisin dan pirazinamid. Penggunaan isoniazid bersama dengan fenobarbital
atau fenitoin juga dapat meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksik.
Pemberian isoniazid tidak dilanjutkan bila kadar transaminase serum naik lebih
dari lima kali harga normal, atau tiga kali disertai ikterik dan/atau manifestasi
klinis hepatitis berupa mual, muntah, dan nyeri perut.3,8
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme
piridoksin. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati
rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Kadar piridoksin berkurang
pada anak yang menggunakan isoniazid, tetapi manifestasi klinisnya jarang
sehingga tidak diperlukan pemberian piridoksin tambahan. Akan tetapi,
remaja dengan diet yang tidak adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan
daging yang kurang, malnutrisi, serta bayi yang hanya minum ASI, memerlukan
piridoksin tambahan. Piridoksin diberikan 25−50 mg satu kali sehari, atau

115
Kemoprofilaksis pada Anak Terpajan Tuberkulosis Sensitif atau Resisten Obat

10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid. INH diberikan secara oral. Dosis


harian yang biasa diberikan adalah 10 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari,
dan diberikan dalam satu kali pemberian. Konsentrasi puncak di dalam darah,
sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1−2 jam, dan menetap selama paling
sedikit 6−8 jam.9
Penelusuran literatur secara sistematik dilakukan untuk menilai uji klinis
yang mengevaluasi efikasi profilaksis INH pada anak. Dari delapan studi
yang terdiri dari 10.320 subyek dilibatkan dalam analisis dan data dari semua
studi mendapatkan bahwa profilaksis isoniazid berkhasiat dalam mencegah
perkembangan tuberkulosis, dengan RR gabungan 0,65 (95% CI 0,47, 0,89)
p = 0,004. Analisis sub-kelompok mendapatkan bahwa usia merupakan
faktor yang berperan; isoniazid yang dimulai pada usia empat bulan atau lebih
awal menghasilkan efek yang lebih kuat (RR = 0,41 (95% CI 0,31, 0,55) p
<0,001). Kesimpulan literatur ini adalah profilaksis isoniazid mengurangi risiko
berkembangnya tuberkulosis sebesar 59% di antara anak-anak berusia kurang
dari 15 tahun (RR = 0,41, 95% CI 0,31, 0,55 p <0,001).10

Gambar 1. Alur pengobatan pencegahan (PP) INH pada anak.11

116
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan Petunjuk


Teknis Manajemen dan Tata Laksana TB Anak yang di dalamnya juga
mencantumkan manajemen pengobatan pencegahan pada anak balita atau
HIV yang kontak erat dengan sumber infeksi TB. Alur pengobatan pencegahan
tersaji pada Gambar 1.

Kemoprofilaksis pada Anak dengan Infeksi Laten TB


Program TB nasional dalam upaya mencapai eliminasi TB mencanangkan
investigasi kontak atau melakukan upaya skrining terhadap kelompok risiko
tinggi yang terpajan sumber infeksi TB. Tujuan skrining anak-anak yang kontak
dengan kasus TB adalah: (1) untuk mengidentifikasi anak yang bergejala yaitu
anak-anak dari segala usia dengan penyakit TB yang tidak terdiagnosis, dan
(2) untuk memberikan profilaksis ke subjek yang rentan (yaitu anak-anak
asimtomatik berusia ≤ 5 tahun yang telah kontak erat dengan kasus TB
paru BTA positif dan anak-anak dengan gangguan imun). Anak terinfeksi
kuman TB tanpa disertai tanda dan gejala klinis TB disebut infeksi laten TB
(ILTB). Tata laksana infeksi laten TB (ILTB) merupakan strategi paling efektif
dalam mencegah perkembangan penyakit di kemudian hari. Terapi profilaksis
ditujukan terhadap pasien dengan infeksi TB yang ditandai dengan hasil positif
pada uji tuberkulin atau IGRA dan memiliki risiko tinggi untuk perkembangan
menjadi penyakit aktif namun belum bergejala TB.2,12
World Health Organization membuat suatu rekomendasi untuk manajemen
ILTB pada kelompok yang berisiko tinggi yakni pada pasien HIV dan anak
di bawah 5 tahun yang kontak dengan pasien TB.2,13 UKK Respirologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) mendeskripsikan beberapa kelompok risiko
tinggi lainnya yaitu anak yang kontak serumah dengan pasien TB, anak yang
tinggal di asrama, panti asuhan, tempat penitipan anak, anak yang mengalami
kondisi imunokompromais (sindrom defisiensi imun, infeksi HIV, penyakit
ginjal kronis, keganasan) dan anak dengan gizi buruk.14 
Kelompok lainnya
berisiko antara lain pasien yang mendapatkan terapi anti-tumor necrosis factor
(anti-TNF), dialisis, transplantasi organ, dan penderita silikosis. Identifikasi
dapat dilakukan pada kelompok yang berisiko tinggi dengan melakukan uji
diagnostik untuk menilai respon imun seluler terhadap antigen MTB, yakni
uji tubekulin atau interferon gamma release assays (IGRA).15
Pemberian terapi isoniazid tunggal selama 6-9 bulan secara umum
direkomendasikan untuk terapi ILTB dan telah menunjukkan hasil efektif baik
pada anak maupun dewasa. Namun, angka kepatuhan yang menurun terhadap
terapi ini telah mendorong para ahli untuk mencari paduan dengan durasi yang
lebih pendek. Meskipun AAP dan Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) telah lama merekomendasikan INH sebagai terapi infeksi laten TB pada

117
Kemoprofilaksis pada Anak Terpajan Tuberkulosis Sensitif atau Resisten Obat

anak, efektivitas INH pada praktik klinis lebih rendah daripada efikasi yang
ditunjukkan pada uji klinis karena kepatuhan untuk menyelesaikan terapi INH
sampai 9 bulan kurang dari 50%. Penelitian Rutherford dkk menyimpulkan
bahwa kepatuhan anak terhadap terapi profilaksis isoniazid di Indonesia
masih sangat rendah akibat dari kombinasi multifaktor yakni kemiskinan,
pengetahuan yang rendah, serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai.16
Terapi infeksi laten TB dengan INH tunggal telah dievaluasi dan
digunakan selama lebih dari 6 dekade. Akhir-akhir ini perhatian terhadap
rendahnya angka selesai pengobatan, biaya, dan meningkatnya angka resistensi
obat, telah mendorong dilakukannya penelitian untuk mencari paduan terapi
infeksi laten TB yang dapat diberikan dalam waktu lebih singkat, sayangnya
hanya sedikit sekali penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak. Pemilihan
paduan ini hendaknya didasarkan atas data sensitivitas obat dari sumber infeksi,
interaksi dengan obat-obatan lain yang diterima anak, ketersediaan obat, kerja
sama keluarga dalam menyelesaikan terapi, biaya, dan kepatuhan terhadap
pengobatan. Keuntungan terapi kombinasi di antaranya durasi pengobatan
yang lebih singkat dan cakupan yang lebih luas bila terdapat resistensi terhadap
salah satu obat.12,17
Pemilihan paduan terapi harus seimbang antara efikasi (derajat proteksi
yang diperlihatkan pada uji klinis) dan kejadian efek samping (relatif rendah
pada anak pada semua jenis paduan), kepatuhan, dan sensitivitas obat
terhadap isolat yang didapat dari penderita TB yang terdapat kontak dengan
anak. Paduan yang memiliki efikasi tinggi akan terbatas efektivitasnya apabila
pasien tidak menyelesaikan terapi secara komplit. The British Thoracic Society
(BTS) pada tahun 1998 merekomendasikan pemberian kombinasi INH dan
rifampisin selama 3 bulan sebagai alternatif terapi infeksi laten TB. Penelitian
yang dilakukan Spyridis dkk menyimpulkan bahwa pemberian paduan INH
dan rifampisin selama 3 bulan memiliki efikasi yang setara dengan pemberian
INH dan rifampisin selama 4 bulan, dan kedua paduan ini lebih superior
dibandingkan pemberian INH selama 9 bulan.18,19 Hal yang serupa didapatkan
dari studi meta-analisis yang dilakukan oleh Ena dan Valls yang menyimpulkan
bahwa pemberian paduan INH dan rifampisin selama 3 bulan dan terapi standar
dengan INH selama 6-12 bulan memiliki kesetaraan dalam efikasi, proporsi
efek samping berat yang terjadi, dan kematian.20
Untuk anak berusia 12 tahun atau lebih, alternatif terbaik untuk
menggantikan terapi infeksi TB laten dengan INH selama 9 bulan adalah terapi
12 minggu kombinasi INH dan ripafentin yang diberikan satu kali seminggu
dengan pengawasan. Paduan diberikan dalam waktu yang singkat, efektif,
dapat ditoleransi dengan baik, dan merupakan paduan dengan dosis terkecil.
Sayangnya, keterbatasan ketersediaan rifapentin menyebabkan penggunaan
paduan ini masih belum dapat diterapkan.

118
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Rekomendasi WHO terbaru tahun 2018 mengenai kemoprofilaksis ILTB


adalah sebagai berikut:21
yy Isoniazid monoterapi selama 6 bulan direkomendasikan untuk anak dan
dewasa baik di negara dengan insidensi tinggi maupun rendah
yy Rifampisin dan isoniazid selama 3 bulan dapat menjadi alternatif pada
anak dan remaja < 15 tahun di negara dengan insidens tinggi.
yy Rifapentin dan isoniazid dapat digunakan sebagai alternatif pada anak
dan dewasa di Negara dengan insidensi tinggi.
yy Pilihan terapi di negara dengan insidens rendah sebagai alternatif terapi
standar antara lain pemberian isoniazid selama 9 bulan atau kombinasi
rifapentin dan isoniazid selama 3 bulan atau kombinasi rifampisin dan
isoniazid selama 3-4 bulan, atau rifampisin monoterapi selama 3-4 bulan.
Beberapa pilihan paduan obat untuk ILTB saat ini disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Paduan serta dosis untuk terapi ILTB22


Paduan Dosis Dosis maksimal
Isoniazid 1x per hari, selama 6 atau 9 bulan 10 mg/kg 300 mg
Isoniazid dan rifampisin 1x per hari, selama 3-4 Isoniazid: 10 mg/kg Isoniazid: 300 mg
bulan Rifampisin: 10 mg/kg Rifampisin: 600 mg
Isoniazid dan rifapentin 1 x per minggu, selama Isoniazid: 15 mg/kg Isoniazid: 900 mg
3 bulan Rifapentin: Rifapentin: 900 mg
10-14 kg: 300 mg
14,1-25 kg: 450 mg
25,1-32 kg: 600 mg
32,1-50 kg: 750 mg
>50 kg: 900 mg

Kemoprofilaksis pada Anak Terpajan TB Resisten Obat


Seiring dengan meningkatnya jumlah kasus TB resisten obat (TB RO) pada
orang dewasa, jumlah kasus TB RO pada anak juga diestimasi semakin besar.
Artikel terbaru menunjukkan bahwa di dunia terdapat sekitar 25.000 sampai
32.000 anak dengan TB RO setiap tahunnya atau sekitar 3% dari keseluruhan
TB anak. Hanya sekitar 3-4% dari jumlah tersebut yang menjalani pengobatan
sebagai TB RO dan diperkirakan 21% dari anak dengan TB RO akan meninggal
dunia. Upaya investigasi kontak terhadap anak-anak di sekitar TB RO pada
dewasa diharapkan dapat menemukan kasus 12 kali lebih banyak daripada
sebelumnya.23
Dalam meta-analisis dari 25 penelitian, 7,8% anak yang kontak
serumah dengan TB-MDR menjadi sakit TB, sebagian besar terjadi dalam 3
tahun setelah kontak. Sebesar 47,2% anak kontak dengan pasien TB MDR
mendapat infeksi TB laten. Schaaf melaporkan pengamatan selama 30 bulan

119
Kemoprofilaksis pada Anak Terpajan Tuberkulosis Sensitif atau Resisten Obat

terhadap 119 anak-anak yang kontak dengan TB MDR dewasa di Afrika


Selatan, yang hasilnya 78% terinfeksi atau sakit TB. Dari 41 anak yang
menerima kemoprofilaksis dua (5%) sakit TB, sedangkan dari 64 anak yang
tidak mendapat kemoprofilaksis, 13 (20%) selama pengamatan mengalami
sakit TB.24 Bamrah, dkk melaporkan studi tentang pengobatan LTBI untuk
anak kontak pasien MDR-TB di Negara Federasi Mikronesia, 2009–2012. Di
antara 104 kontak yang terinfeksi yang memulai pengobatan, tidak ada yang
menjadi sakit TB-MDR. Sebanyak 93 (89%) anak menyelesaikan pengobatan,
sementara 4 anak tidak melanjutkan karena efek samping. Dari 15 anak yang
menolak diberikan pencegahan, 3 di antaranya mengalami sakit TB-MDR.25
Kebijakan tata laksana kontak anak bervariasi di berbagai negara, mulai
dari observasi ketat hingga pemberian pengobatan pencegahan dengan
pilihan paduan obat yang beragam. Menurut rekomendasi WHO, pemberian
pengobatan pencegahan dapat dipertimbangkan pada kelompok risiko tinggi
tertentu yang merupakan kontak serumah pasien TB resistan obat, berdasarkan
penilaian risiko individual dan pertimbangan klinis.12,13 Di Indonesia, dengan
mempertimbangkan bukti yang ada mengenai beratnya risiko kesakitan dan
manfaat pengobatan pencegahan maka pengobatan pencegahan diberikan pada
kontak TB RO yang berisiko tinggi sakit TB, yaitu balita atau anak dengan
imunokompromais yang tidak bergejala TB.
Pemilihan paduan obat sebagai profilaksis TB RO sebaiknya didasarkan
data profil resistensi obat dari sumber infeksi. Golongan fluorokuinolon generasi
baru (misalnya levofloksasin dan moksifloksasin) diyakini sebagai komponen
obat profilaksis yang penting, kecuali dideteksi adanya resistensi sumber
infeksi terhadap obat tersebut. Etambutol merupakan obat bakteriostatik,
namun bias bersifat bakterisidal jika diberikan pada dosis tinggi. Etambutol
menghambat sintesis dinding sel, memiliki distribusi dan absorpsi yang baik
kecuali dalam cairan serebro-spinal. Golongan fluoro kuinolon memiliki
aktivitas bakteriosidal, menghambat DNA-gyrase dan diabsorpsi dengan baik
serta dapat terdistribusi secara luas. Meskipun terdapat kekhawatiran terhadap
penggunaan fluorokuinolon pada anak dapat menyebabkan keterlambatan
perkembangan kartilago yang dijumpai pada studi terhadap hewan coba,
kondisi serupa ternyata tidak dijumpai pada studi terhadap manusia.21
Masih sedikit bukti mengenai durasi lamanya pengobatan pencegahan,
sehingga penilaian klinis sangat diperlukan dalam mengambil keputusan.
Studi-studi yang ada sejauh ini memberikan pencegahan selama 6, 9 atau 12
bulan. Kelompok kerja TB Anak Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
yang terdiri dari tim ahli klinis dari Ikatan Dokter Anak Indonesia dan
organisasi terkait lainnya mencantumkan alur tata laksana terhadap anak
yang kontak erat dengan TB RO. Paduan obat pencegahan yang diberikan
adalah Levofloksasin 15-20 mg/kgBB/hari dan Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari

120
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Gambar 2. Alur tata laksana anak kontak TB RO11

selama 6 bulan. Obat diminum 1-2 jam sebelum makan. Selama pemberian
obat, dilakukan pemantauan berkala terhadap munculnya gejala TB atau
keluhan efek samping obat. Alur tata laksana anak kontak TB RO tersaji
pada Gambar 2.

Simpulan
Upaya pemberian kemoprofilaksis merupakan strategi yang sangat penting
untuk mencapai eliminasi TB. Kemoprofilaksis dilakukan dengan memberikan
satu atau dua macam obat anti TB kepada anak balita atau kelompok risiko
tinggi (yaitu anak dan dewasa yang memiliki penyakit yang menurunkan
imunitas / imunokompromais) apabila terpajan sumber infeksi TB atau
terinfeksi TB namun belum bergejala sakit TB aktif. Bila sumber infeksi adalah
TB sensitif obat maka obat yang diberikan adalah INH selama 6, 9 atau 12
bulan atau INH/RIF selama 3 bulan atau rifapentin/INH selama 3 bulan. Jika
sumber infeksi adalah TB RO maka obat pencegahan yang diberikan adalah
etambutol dan levofloksasin.

121
Kemoprofilaksis pada Anak Terpajan Tuberkulosis Sensitif atau Resisten Obat

Daftar pustaka
1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2017. Geneva: World
Health Organization; 2017.
2. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes
on the management of tuberculosis in children. Geneva: World Health
Organization; 2014. Available at http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/137094/
1/9789241564809_eng.pdf?ua=1. Accessed on 6 January 2015.
3. Hawkridge T. Tuberculosis contact and prophylaxis. SAMJ. 2007;97:998-1000.
4. Marais BJ, Gie RP, Schaaf HS, Beyers N, Donald PR, Starke JR. Childhood
pulmonary tuberculosis: old wisdom and new challange. Am J Respir Crit Care
Med. 2006;173:1078−90.
5. Fox GJ, Barry SE, Britton WJ, Marks GB. Contact investigation for tuberculosis:
a systematic review and meta-analysis. Eur Resp J. 2013;41:140-56.
6. Nguyen TH, Odermatt P, Slesak G, Barennes H. Risk of latent tuberculosis
in- fection in children living in households with tuberculosis patients: a cross
sectional survey in remote northern Lao People’s Democratic Republic. BMC
Infect Dis. 2009;9:96. 

7. Tipayamongkholgul M, Podhipak A, Chearskul S, Sunakorn P. Factors associated
with the development of tuberculosis in BCG immunized children. Southeast
Asian J Trop Med Public Health. 2005;36:145–50. 

8. David SG, Sant’Anna CC, Marques AM. Antituberculosis chemoprophylaxis in
children. J Pediatr (Rio J). 2000;76:109-14.
9. Smieja MJ, Marchetti CA, Cook DJ, Smaill FM . Isoniazid for preventing
tuberculo- sis in non-HIV infected persons. Cochrane Database Syst Rev
2000;2:CD001363.
10. Ayieko J, Abuogi L, Simchowitz B, Bukusi EA, Smith AH, Reingold A. Efficacy
of isoniazid prophylactic therapy in prevention of tuberculosis in children: a
meta–analysis. BMC Infect Dis. 2014;14:91-100.
11. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tata
Laksana TB Anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2016.
12. Lancella L, Vecchio AL, Chiappini E, Tadolini M, Cirillo D, Tortoli E, dkk.
How to manage children who have come into contact with patients affected by
tuberculosis. J ClinTuberc Other Mycobact Dis. 2015;1:1-12.
13. World Health Organization. Guideline on the management of latent tuberculosis
infection. Geneva: World Health Organization; 2015.
14. UKK Respirologi PP IDAI. Rekomendasi infeksi laten tuberculosis pada anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2017.
15. Cruz AT, Starke JR, Lobato MN. Old and new approaches to diagnosing and
treating latent tuberculosis in children in low-incidence countries. Curr Open
Pediatr. 2014;26:106-13.
16. Rutherford ME, Ruslami R, Maharani W, Yulita I, Lovell S, Crevel RV,
dkk. Adherence to isoniazid preventive therapy in Indonesian children:
a quantitative and qualitative investigation. BMC. 2012;5:2-7.

122
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

17. van Zyl S, Marais BJ, Hesseling AC, Gie RP, Beyers N, Schaaf HS. Adherence
to anti-tuberculosis chemoprophylaxis and treatment in children. Int J Tuberc
Lung Dis. 2006;10:13-8.
18. Spyridis NP, Spyridis PG, Gelesme A, Sypsa V, Valianatou M, Metsou F, dkk. The
effectiveness of a 9-month regimen of isoniazid alone versus 3- and 4-month
regimens of isoniazid plus rifampin for treatment of latent tuberculosis infection in
children: results of an 11-year randomized study. Clin Infect Dis. 2007;45:715-22.
19. Bright-Thomas R, Nandwani S, Smith J, Morris JA, Ormerod LP. Effectiveness
of 3 months of rifampicin and isoniazid chemoprophylaxis for the treatment of
latent tuberculosis infection in children. Arch Dis Child. 2010;95:600-2
20. Ena J, Valls V. Short-course therapy with rifampin plus isoniazid, compared with
standard therapy with isoniazid, for latent tuberculosis infection: a meta-analysis.
Clin Infect Dis. 2005;40:670-6.
21. World Health Organization. Latent tuberculosis infection: update and
consolidated guidelines for programmatic management. Geneva: World Health
Organization; 2018.
22. Cruz AT, Ahmed A, Mandalakas AM, Starke JR. Treatment of latent tuberculosis
infection in children. Pediatr Infect Dis J. 2013;30:1-11.
23. 23 Jenkins HE, Yuen CM. The burden of multidrug-resistant TB in children.
Intl J TB Lung Dis. 2018;22:S3-6.
24. Schaaf HS, Gie RP, Kennedy M, Beyers N, Hesseling PB, Donald PR. Evaluation of
young children in contact with adult multidrug-resistant pulmonary tuberculosis;
a 30-months follow-up. Pediatrics. 2002;109:765-71.
25. Bamrah S, Brostrom R, Dorina F, Setik L, Song R, Kawamura LM, dkk. Treatment
for LTBI in contacts of MDR-TB patients, Federated States of Micronesia, 2009-
2012. Int J Tuberc Lung Dis. 2014;18:912-8.

123
Difficulties in Choosing Proper Antibiotics
in PICU Setting
Irene Yuniar

Tujuan:
1. Mengetahui pola pemakaian antibiotik di ruang rawat intensif
anak
2. Memahami farmakodinamik dan farmakokinetik penggunaan
antibiotik untuk pasien yang menjalani perawatan di ruang
rawat intensif anak
3. Memahami strategi pemakaian antibiotik di ruang rawat intensif
anak

Infeksi sering terjadi pada anak yang menjalani perawatan di ruang rawat
intensif anak (pediatric intensive care unit/ PICU). Selain karena penyakit yang
mendasarinya, pasien juga rentan terhadap infeksi akibat pemasangan alat-
alat invasif serta penggunaan kateter urin dan intravena jangka panjang.1,2
Studi yang ada menyebutkan bahwa 16 – 23% anak mengalami infeksi
selama perawatan di PICU (healthcare-associated infections/HAIs).3-5 Tingginya
angka infeksi pada pasien-pasien yang dirawat di PICU menyebabkan
intensitas pemakaian antibiotik di PICU meningkat.6 Faktor predisposisi yang
menyebabkan pasien mendapat terapi antibiotik selama perawatan PICU
adalah adanya infeksi aliran darah, pemakaian ventilasi mekanik, jumlah
pemasangan kateter vena atau arteri, disfungsi multi organ dan lama rawat
pasien. Faktor-faktor ini menyebabkan pasien mendapat terapi antibiotik
spektrum luas serta kombinasi beberapa antibiotik pada saat yang bersamaan.7,8
Pemakaian antibiotik di PICU dapat bersifat profilaksis, empiris dan
definitif. Pemakaian antibiotik profilaksis adalah pemakaian antibiotik tanpa
bukti adanya infeksi. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi pada pasien
yang berisiko tinggi terkena infeksi, terutama pasien pasca operasi. Pemakaian
antibiotik empiris diberikan pada pasien yang mengalami infeksi sistemik tetapi
belum diketahui sumber infeksinya. Pemakaian antibiotik definitif diberikan pada
pasien yang mengalami infeksi dan telah terbukti sumber infeksinya berdasarkan
hasil kultur dan sensitivitasnya terhadap masing-masing antibiotik yang ada.9

124
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Pemakaian antibiotik secara definitif memerlukan bukti adanya infeksi


berdasarkan hasil kultur (darah, urin, feses, cairan serebrospinal, cairan pleura,
sekret bronkus dll). Namun, hasil kultur sering tidak sejalan dengan klinis
dan petanda infeksi lainnya (leukosit, hitung jenis, prokalsitonin dan CRP).
Pemakaian antibiotik secara irasional menyebabkan meningkatnya angka
resistensi antibiotik, meningkatnya insidens superinfeksi, reaksi simpang obat,
luaran yang buruk dan biaya perawatan yang mahal.10 Untuk mengatasi hal-hal
tersebut di atas diperlukan adanya strategi pemakaian antibiotik yang rasional
baik di tingkat regional, nasional maupun internasional.

Pola Pemakaian Antibiotik di PICU


Studi pemakaian antibiotik secara rasional di PICU sangat terbatas. Pemakaian
antibiotik rasional berdasarkan temuan klinis, mikrobiologis dan panduan
penggunaan antibiotik yang berlaku. Panduan penggunaan antibiotik yang
berlaku dapat berbeda-beda di tiap tingkat pelayanan kesehatan sesuai dengan
pola kuman dan resistensi antibiotik di masing-masing unit pelayanan. Studi
pemakaian antibiotik yang dilakukan di PICU tersier di Toronto pada tahun
2007-2008 dalam 2 periode mendapatkan hasil bahwa 70% pasien mendapat
terapi antibiotik, dengan sebanyak 55% mendapat antibiotik pada periode
pertama dan 69% pada periode kedua mendapat lebih dari 1 antibiotik.
Pemakaian antibiotik profilaksis adalah sebesar 33%, antibiotik empirikal
sebesar 29% dan antibiotik definitif 38%. Penggunaan antibiotika yang
tidak sesuai dilaporkan sebesar 33 – 56%.1 Penelitian lain yang dilakukan di
PICU tersier di Pakistan menunjukkan bahwa 100% pasien yang masuk ke
PICU diberikan antibiotik. Antibiotik profilaksis diberikan pada 43% pasien,
empirikal 42% dan terapi definitif 15%. Pada penelitian ini didapatkan 25%
pasien mendapat satu jenis antibiotik, 23% kombinasi 2 antibiotik, 29%
kombinasi 3 antibiotik dan sisanya mendapat ≥ 4 antibiotik.9
Penelitian yang dilakukan di PICU FKUI-RSCM pada tahun 2013
mendapatkan bahwa hanya 19,3% pasien yang mendapat terapi antibiotik.
Persentase pemberian antibiotik profilaksis, empirikal dan definitif berturut-
turut adalah 9,6%, 77,1% dan 13,3%. Semua antibiotik profilaksis diberikan
pada seluruh kasus pasca bedah. Kombinasi dua antibiotik diberikan pada
17,7%, tiga antibiotik pada 4,4% pasien dan sisanya pemberian satu jenis
antibiotik. Pada penelitian ini tidak ditemukan pemberian kombinasi empat
macam antibiotik.11
Pemilihan antibiotik yang baik harus memenuhi syarat bahwa antibiotik
tersebut efektif, memiliki toksisitas yang rendah, biaya yang tidak mahal, serta
waktu dan interval pemberian yang tepat.12 Ketepatan penggunaan antibiotik

125
Kesulitan Pemilihan Antibiotik di Ruang Rawat Intensif Anak

secara kualitatif dinilai dengan menggunakan kriteria Gyssens. Bagan kriteria


Gyssens dapat dilihat pada Gambar 1.13
Ketidak-tepatan penggunaan antibiotik dapat meliputi data pasien yang
tidak adekuat, indikasi pemberian antibiotik, ketidaktepatan dosis dan lama
penggunaan antibiotik dan ketidaktepatan pemakaian kombinasi antibiotik.
Penelitian yang dilakukan di FKUI-RSCM pada tahun 2013 menemukan bahwa
hanya 53% pemberian antibiotik di PICU yang tepat secara kualitatif. Hal
tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti tidak dilakukan penyesuaian
dosis antibiotik pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal, farmakodinamik
dan farmakokinetik yang kurang tepat, serta pemakaian antibiotik yang
cukup lama meskipun minimal inhibition concentration (MIC) antibiotik sudah
terlampaui.11

Start

no
Sufficient VI Stop
data
yes
no
AB indicated V Stop
yes
yes
More effective IVa
alternative
no

Alternative yes
less toxic IVb
no

Alternative yes
less costly IVc
no

Alternative yes
narrower IVd
no

Duration no Duration no no
too long too long Correct Dose IIa
yes yes yes

IIIa IIIb Correct Interval


no
IIb
yes

no
Correct Route IIc
yes

no
Correct Timing I
yes

Not in categories
I - IV

Gambar 1. Kriteria Gyssens13

126
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Farmakodinamik dan Farmakokinetik Antibiotik Pasien


dalam Kondisi Kritis
Pengetahuan mengenai farmakodinamik dan farmakokinetik pemakaian
antibiotik pada pasien yang menjalani perawatan di PICU sangat penting
bagi intensivis anak untuk dapat memilih dosis antibiotik yang tepat
sehingga meningkatkan luaran pasien.14 Farmakodinamik antibiotik ada
2 jenis yaitu time-dependent dan concentration-dependent. Time-dependent
antibiotik berhubungan dengan waktu sejak mulai terpajan antibiotik sampai
tercapainya minimum inhibitory concentration (MIC), yaitu suatu parameter
untuk mengukur efektivitas antibiotik melawan mikroorganisme.15 Antibiotik
yang termasuk time-dependent adalah golongan beta laktam, klaritromisin,
eritromisisn, karbapenem, linezolid, klindamisin dan flukonazol. Yang termasuk
consentration-dependent adalah golongan aminoglikosida, metronidazole,
daptomisin, amfoterisin B dan eknokardin. Ada beberapa antibiotik yang
termasuk time-dependent sekaligus concentration-dependent seperti kuinolon,
azitromisin, glikopeptida dan tetrasiklin.15,16 Prinsip kerja kedua sifat ini dapat
dilihat pada Gambar 2.17
Perubahan volume distribusi (Vd) dan nilai bersihan (clearance/CL)
antibiotik harus diperhatikan pada tiap pasien. Volume distribusi dan
nilai bersihan ini memengaruhi konsentrasi antibiotik yang diberikan serta
target terapi yang ingin dicapai dan menurunkan resistensi antibiotik.18,19
Antibiotik bekerja melalui beberapa mekanisme yang berbeda, seperti
menghambat sintesis dinding bakteri (penisilin, glikopeptida, karbapenem
dan sefalosporin), menghambat replikasi DNA (kuinolon) atau transkripsi

Gambar 2. Parameter Farmakodinamik dan Farmakokinetik Antibiotik17

127
Kesulitan Pemilihan Antibiotik di Ruang Rawat Intensif Anak

(rifampisin), mengganggu sintesis ribosom dan protein bakteri (makrolid,


linezolid, tetrasiklin dan aminoglikosida), mengganggu metabolisme bakteri
(sulfonamide dan trimethoprim) atau merusak membrane sitoplasma
(polimiksin dan daptomisin).15
Pada pasien dalam kondisi kritis terjadi perubahan parameter
farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik yang disebabkan oleh sifat
antibiotik maupun penyakit dasarnya. Berdasarkan sifat antibiotik, ada 2 jenis
sifat dasar yaitu antibiotik yang bersifat hidrofilik dan lipofilik. Kedua sifat
dasar ini akan memengaruhi Vd dan CL. Sifat hidrofilik dan lipofilik yang
memengaruhi Vd dan CL dapat dilihat pada Gambar 3.17
Patogenesis infeksi pada pasien dengan kondisi kritis sangat kompleks.20-22
Endotoksin bakteri atau jamur akan meningkatkan produksi berbagai mediator
endogen yang akan memengaruhi endotel vaskuler sehingga terjadi vasodilatasi
atau vasokonstriksi pembuluh darah. Hal ini akan mengakibatkan maldistribusi
aliran darah, kerusakan endotel dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
terjadi pergeseran cairan dari kompartemen intravaskuler ke interstisial.23,24
Hal ini akan meningkatkan Vd antibiotik yang bersifat hidrofilik dan akan
menurunkan konsentrasi antibiotik dalam plasma. Peningkatan Vd antibiotik
hidrofilik dapat juga terjadi pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik,
hipoalbuminemia (akibat transfusi tukar, cardiopulmonary by-pass, pemasangan
drain pasca pembedahan) atau pasien dengan luka bakar.25,26

Gambar 3. Sifat Hidrofilik dan Lipofilik yang Memengaruhi Vd dan CL17


Keterangan : PK : pharmacokinetics; CL, clearance; Vd, volume of distribution

128
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Waktu paruh T(1/2) antibiotik berhubungan dengan Vd dan CL. Waktu


paruh dihitung dengan rumus :

Peningkatan CL akan menurunkan T(1/2), tetapi peningkatan Vd akan


meningkatkan T(1/2). Pada pasien sepsis dengan disfungsi multi organ terjadi
penurunan bersihan antibiotik di ginjal dengan hasil akhir pemendekan T(1/2).
Pemendekan waktu paruh ini akan meningkatkan toksisitas antibiotik.27
Secara skematik perubahan farmakokinetik pada pasien sepsis dapat dilihat
pada Gambar 4.
Berbagai mekanisme yang dapat memengaruhi farmakokinetik pasien
dalam kondisi kritis adalah :
1. Absorpsi
Absorpsi antibiotik melalui jalur enteral dapat terganggu akibat
dismotilitas usus, interaksi berbagai komponen nutrisi yang diberikan,
atau berubahnya pH lambung akibat pemakaian proton pump inhibitors.16
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pemakaian antibiotik pada pasien
dengan kondisi kritis diberikan melalui jalur intravena. Bioavailabilitas
antibiotik melalui jalur intra vena adalah 100%.28

Gambar 4. Perubahan Farmakokinetik Antibiotik pada Pasien Sepsis17

129
Kesulitan Pemilihan Antibiotik di Ruang Rawat Intensif Anak

2. Distribusi
Pada pasien kondisi kritis seperti telah disebutkan di atas mengalami
gangguan permeabilitas pembuluh darah akibat lepasnya berbagai mediator
inflamasi sehingga terjadi ektravasasi cairan ke jaringan interstisial dan
meningkatkan Vd antibiotik hidrofilik dan konsentrasi antibiotik di darah
turun. Hal ini sering terjadi pada pemakaian antibiotik golongan beta
laktam, aminoglikosid, glikopeptid, linezolid dan kolistin. Perubahan Vd
juga terjadi pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik, sirkuit
ektra korporeal dan hipoalbuminemia.29-31
3. Ekskresi
Eliminasi antibiotik dalam kondisi sepsis sangat bervariasi. Bila tidak
terdapat disfungsi organ dengan fungsi ginjal yang baik, maka ekskresi
antibiotik hidrofilik meningkat. Pada kondisi gangguan kontraktilitas
jantung dan gangguan bersihan antibiotik di ginjal dan hati akan terjadi
peningkatan waktu paruh dan toksisitas antibiotik.29 Pada pasien yang
menjalani terapi sulih ginjal akan terjadi peningkatan bersihan antibiotik
sesuai dengan berat molekul antibiotik, Vd dan ikatan antibiotik dengan
protein.31,32

Strategi pemakaian antibiotik di PICU


Penggunaan antibiotik yang rasional sangat diperlukan terutama untuk pasien
yang menjalani perawatan PICU agar tidak terjadi resistensi global antibiotik.
Pengobatan antibiotik yang rasional memerlukan komitmen dan kerja sama
berbagai disiplin ilmu. Untuk meningkatkan pemakaian antibiotik yang rasional,
pada tahun 2009 RSCM membentuk tim Program Pengendalian Resistensi
Antibiotik (PPRA) yang di dalamnya terdapat 4 pilar yaitu tim Mikrobiologi
Klinis, Farmasi Terapi, Komite Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPIRS),
dan Farmakologi Klinik.33 Tim PPRA RSCM selanjutnya menyusun kartu
pemantauan antibiotik untuk menilai setiap penggunaan antibiotik baik secara
kualitatif (dengan menggunakan alur Gyssens)34 maupun secara kuantitaf.
Tim PPRA ini mengeluarkan panduan penggunaan antibiotik di RSCM.
Antibiotik dibagi dalam 3 kelas berdasarkan penggunaan antibiotik sebagai
lini pertama, kedua dan pengunaan terbatas (restricted). Pasien yang dirawat di
PICU dapat menggunakan antibiotik kelas restricted tanpa melaporkan terlebih
dahulu kepada tim PPRA. Meski demikian, semua pemakaian antibiotik tetap
dalam supervisi tim PPRA. Pemakaian antibiotik di PICU menganut sistem
de-eskalasi. Sistem de-eskalasi adalah suatu mekanisme pemberian antibiotik
empiris spektrum luas sebagai tata laksana inisial selama 3 hari, setelah itu
antibiotik tersebut dihentikan atau dikurangi serta diganti dengan antibiotik

130
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

dengan spektrum yang lebih sempit. Data menunjukkan bahwa cara pemakaian
antibiotik secara de-eskalasi ini cukup efektif dan sesuai.35

Simpulan
Pemakaian antibiotik pada pasien yang menjalani perawatan PICU cukup tinggi.
Penggunaan antibiotik pada pasien dengan kondisi kritis harus memperhatikan
farmakodinamik dan farmakokinetik antibiotik tersebut. Pemakaian antibiotik
yang tidak rasional di PICU dapat menyebabkan resistensi antibiotik global.
Oleh sebab itu pemakaian antibiotik di PICU memerlukan evaluasi berkala
dalam hal ketepatan penggunaan antibiotik. Sampai saat ini, untuk menilai
ketepatan penggunaan antibiotik dilakukan dengan menggunakan alur
Gyssens. Dengan menggunakan perangkat penilaian ini diharapkan pemakaian
antibiotik yang tidak rasional di PICU dapat dihilangkan. Untuk mengatasi
resistensi global antibiotik diperlukan kerja sama tim PPRA di tiap rumah
sakit atau unit pelayanan kesehatan lainnya.

Daftar pustaka
1. Blinova E, Lau E, Bitnun A, Cox P, Schwartz S, Atenafu E, et al. Point prevalence
survey of antimicrobial utilization in the cardiac and pediatric critical care unit.
Pediatr Crit Care Med. 2013;14:e280-8.
2. Ding H, Yang Y, Chen Y, Wang Y, Fan S, Shen X. Antimicrobial usage in paediatric
intensive care units in China. Acta Paediatr. 2008;97:100-4.
3. Urrea M, Pons M, Serra M, Latorre C, Palomeque A. Prospective incidence
study of nosocomial infections in a pediatric intensive care unit. Pediatr Infect
Dis J. 2003;22:490-4.
4. Stockwell JA. Nosocomial infections in the pediatric intensive care unit: affecting
the impact on safety and outcome. Pediatr Crit Care Med. 2007;8:S21-37.
5. Joram N, de Saint Blanquat L, Stamm D, Launay E, Gras-Le Guen C. Healthcare-
associated infection prevention in pediatric intensive care units: a review. Eur J
Clin Microbiol Infect Dis. 2012;31:2481-90.
6. van Houten MA, Luinge K, Laseur M, Kimpen JL. Antibiotic utilisation for
hospitalised paediatric patients. Int J Antimicrob Agents. 1998;10:161-4.
7. Briassoulis G, Natsi L, Tsorva A, Hatzis T. Prior antimicrobial therapy in the
hospital and other predisposing factors influencing the usage of antibiotics in a
pediatric critical care unit. Ann Clin Microbiol Antimicrob. 2004;3:4.
8. Mello MJ, Albuquerque Mde F, Lacerda HR, Souza WV, Correia JB, Britto MC.
Risk factors for healthcare-associated infection in pediatric intensive care units:
a systematic review. Cad Saude Publica. 2009;25 Suppl 3:S373-91.

131
Kesulitan Pemilihan Antibiotik di Ruang Rawat Intensif Anak

9. Abbas Q UHA, Kumar R,Ali S A, Hussain K, Shakoor S. Evaluation of Antibiotic


use in Pediatric Intensive Care Unit of a developing country. Indian J Crit Care
Med. 2016;20:291-4.
10. Ding H, Yang Y, Lu Q, Wang Y, Chen Y, Deng L, et al. Five-year surveillance
of antimicrobial use in Chinese Pediatric Intensive Care Units. J Trop Pediatr.
2008;54:238-42.
11. Yuniar I. Evaluasi Penggunaan Antibiotik dengan Kartu Monitoring Antibiotik
Gyssens. Sari Pediatri. 2013;14:384-90.
12. Ceyhan M YI, Ecevit C, Aydoga A, Ornek A, Salman N, et al. Inappropriate
antimicrobial use in Turkish pediatric hospital: A multicenter point prevalence
survey. Int J Infect Dis. 2010;14:e55-61.
13. van der Meer JW, Gyssens IC. Quality of antimicrobial drug prescription in
hospital. Clin Microbiol Infect. 2001;7 Suppl 6:12-5.
14. Nicolau DP. Using pharmacodynamic and pharmacokinetic surrogate markers in
clinical practice: optimizing antimicrobial therapy in respiratory-tract infections.
Am J Health Syst Pharm. 1999;56:S16-20.
15. Robert W. Finberg RG. Clinical Use of Anti-infective Agents. 1 ed. New York:
Springer-Verlag; 2012. 182 p.
16. Fissell WH. Antimicrobial dosing in acute renal replacement. Adv Chronic
Kidney Dis. 2013;20:85-93.
17. Jason A. Roberts PH, Jeffry Lipman. Pharmacokinetics issues for antibiotics in
the critically ill patient. Crit Care Med. 2009;37:840-51.
18. Nicolau DP. Optimizing outcomes with antimicrobial therapy through
pharmacodynamic profiling. J Infect Chemother. 2003;9:292-6.
19. Roberts JA, Kruger P, Paterson DL, Lipman J. Antibiotic resistance--what’s dosing
got to do with it? Crit Care Med. 2008;36:2433-40.
20. Rice TW, Bernard GR. Therapeutic intervention and targets for sepsis. Annu
Rev Med. 2005;56:225-48.
21. Calandra T, Cohen J, International Sepsis Forum Definition of Infection in the
ICUCC. The international sepsis forum consensus conference on definitions of
infection in the intensive care unit. Crit Care Med. 2005;33:1538-48.
22. Parrillo JE. Pathogenetic mechanisms of septic shock. N Engl J Med.
1993;328:1471-7.
23. T vdP. Immunotherapy of sepsis. Lancet Infect Dis. 2001;1:165-74.
24. Gosling P SK, Dickson G. Generalized vascular permeabiliy and pulmonary
function in patients following serious trauma. J Trauma. 1994;36:477-81.
25. Barbot A, Venisse N, Rayeh F, Bouquet S, Debaene B, Mimoz O. Pharmacokinetics
and pharmacodynamics of sequential intravenous and subcutaneous teicoplanin
in critically ill patients without vasopressors. Intensive Care Med. 2003;29:1528-
34.

132
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

26. Roberts JA, Roberts MS, Robertson TA, Cross SE, Lipman J. A novel way to
investigate the effects of plasma exchange on antibiotic levels: use of microdialysis.
Int J Antimicrob Agents. 2008;31:240-4.
27. Marshall JC. Inflammation, coagulopathy, and the pathogenesis of multiple organ
dysfunction syndrome. Crit Care Med. 2001;29:S99-106.
28. Zuppa AF, Barrett JS. Pharmacokinetics and pharmacodynamics in the critically
ill child. Pediatr Clin North Am. 2008;55:735-55, xii.
29. Roberts JA, Lipman J. Pharmacokinetic issues for antibiotics in the critically ill
patient. Crit Care Med. 2009;37:840-51; quiz 59.
30. Roberts DM. The relevance of drug clearance to antibiotic dosing in critically
ill patients. Curr Pharm Biotechnol. 2011;12:2002-14.
31. Lewis SJ, Mueller BA. Antibiotic Dosing in Patients With Acute Kidney Injury:
“Enough But Not Too Much”. J Intensive Care Med. 2016;31:164-76.
32. Kielstein JT, Burkhardt O. Dosing of antibiotics in critically ill patients undergoing
renal replacement therapy. Curr Pharm Biotechnol. 2011;12:2015-9.
33. Tambunan T. Kebijakan pengendalian resistensi antimikroba. 2012.
34. Gyssens IC, van den Broek PJ, Kullberg BJ, Hekster Y, van der Meer JW.
Optimizing antimicrobial therapy. A method for antimicrobial drug use evaluation.
J Antimicrob Chemother. 1992;30:724-7.
35. Masterton RG. Antibiotic de-escalation. Crit Care Clin. 2011;27:149-62.

133
Awareness in Antibiotic Therapy for
Severe Malnutrition
Titis Prawitasari

Tujuan:
1. Memahami mekanisme infeksi pada kondisi gizi buruk
2. Memahami kuman penyebab tersering infeksi pada gizi buruk
3. Memahami pemberian antibiotik yang tepat pada gizi buruk

Malnutrisi merupakan masalah kesehatan global. Berdasarkan data World


Health Organization (WHO) tahun 2016, sekitar 17 juta anak pra-sekolah
mengalami kondisi gizi buruk, dan umumnya berasal dari negara Afrika dan
Asia Tenggara.1 Malnutrisi juga berkontribusi dalam menyumbang sekitar
35% angka kematian anak di bawah 5 tahun (balita), serta dalam jangka
panjang akan menurunkan produktivitas dan morbiditas pada masa dewasa.1
Angka kejadian gizi buruk secara nasional di Indonesia berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) sejak tahun 2007-2013, berturut-turut adalah
sebesar 6,2%, 6,0% dan 5,3%.2 Gizi buruk didefinisikan sebagai kondisi klinis
dan antropometri apabila terdapat gejala wasting atau sangat kurus dan berat
badan menurut tinggi badan (weight for height) < -3 SD atau < 70% dengan
atau tanpa edema.3
Sejak tahun 1999, WHO mengeluarkan panduan tentang tata laksana
anak dengan gizi buruk dan merekomendasikan pemberian antibiotik pada
semua anak dengan gizi buruk yang dirawat.3 Demikian pula pada tahun
2007 terdapat joint statement United Nations on Community-based management
of severe acute malnutrition yang merekomendasikan pemberian antibiotik oral
jangka pendek dilakukan bersamaan dengan pemberian ready-to-use therapeutic
food (RUTF) pada kasus gizi buruk yang ditangani di komunitas.4 Makalah ini
selanjutnya akan membahas pemberian antibiotik pada gizi buruk berdasarkan
panduan WHO.

Kerentanan terhadap infeksi pada gizi buruk


Kondisi gizi buruk memengaruhi perkembangan sistem kekebalan tubuh

134
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

sehingga meningkatkan kerentanan untuk terjadinya infeksi. Perubahan


spesifik yang terjadi pada sistem imun, dapat dikelompokkan sebagai berikut:5,6
1. Perubahan respon imun yang diperantarai sel (cell-mediated)
Atrofi timus akan mengakibatkan menurunnya fungsi proliferasi sel T dan
meningkatkan apoptosis sehingga menyebabkan imaturitas sel T CD4+
dan CD8+. Malnutrisi juga memengaruhi sistem lymphohematopoietic
lineages yang berperan terhadap pembentukan mieloid, eritroid dan limfoid
(T dan B) dan produksi berbagai sitokin seperti IL2, IL6, TNFα dan IFNδ
menjadi terganggu. Fungsi biologik sel, seperti makrofag dan sel Kupffer
juga menurun.5,6
2. Perubahan epitel
Terjadi perubahan struktur mukosa saluran cerna, berupa hipotrofi vili
usus, menurunnya jumlah kelenjar limfoid pada plak Peyer, berkurangnya
sekresi imunoglubulin A (IgA) sehingga mengganggu fungsi perlindungan
saluran cerna.5,6
3. Perubahan komplemen
Menurunnya jumlah komplemen dan fungsi fagosit menurunkan
kemampuan untuk dapat mengeliminasi virus dan bakteri yang patogen.5,6
4. Perubahan antibodi
Terdapat perubahan pada antibodi imunoglobulin E (IgE) yang dipunyai
anak gizi buruk sehingga tidak memberi perlindungan terhadap kecacingan
(Ascaris lumbricoides). Dikatakan bahwa sel T memori yang dimilikinya
tidak mampu mengenali antigen helminthes.5,6

Selain itu juga terdapat berbagai macam nutrien yang berpengaruh

Tabel 1. Berbagai nutrient dan resnpon imun tubuh6


Defisiensi nutrien Respon imun
Semua jenis nutrien dan energi Pelepasan IFNδ
Respon imun terhadap vaksin
Imaturitas & proliferasi sel CD4 dan CD8
Produksi sitokin
Protein/asam amino Pengaturan angiotensin I converting enzyme 2
Vitamin A Respon imun terhadap vaksin
Imunitas mukosa
Fe, Mg, Zn TNFα, IL-1β, IL-10
Fe IL-4, fungsi sel T
Zn Imaturitas & proliferasi sel CD4 dan CD8
Vit D Toll-like receptor antimicrobial dalam monosit

135
Terapi Antibiotik pada Anak Gizi Buruk

terhadap respon imun secara keseluruhan, di antaranya terangkum dalam


tabel 1 di bawah ini:
Mikroba penyebab infeksi tersering
Kuman penyebab bakteremia tersering pada anak gizi buruk yang dirawat,
umumnya berasal dari kuman patogen saluran cerna (Salmonella sp dan
E.coli) dan gram negatif lainnya (seperti: Klebsiella pneumonia, Hemophilus
influenza, Pseudomonas aureginosa), sedangkan sebagian lagi berasal dari
kuman Gram positif seperti Streptococcus dan Staphylococcus aureus.5 Beberapa
studi juga memperlihatkan adanya coagulase-negative Staphylococcus (CONS),
yang sebetulnya merupakan flora normal kulit tetapi sering menyebabkan
resistensi. 7,8 Selain infeksi saluran cerna, infeksi saluran kemih (ISK)
merupakan penyebab tersering anak gizi buruk harus dirawat di rumah sakit.
Kuman penyebab tersering adalah E. coli, Klebsiella sp dan Gram negatif
lainnya.8 Pada studi yang dilakukan oleh Page dkk 311 anak gizi buruk dengan
penyulit yang dirawat di Nigeria didapatkan hasil bahwa penyebab tersering
infeksi adalah gastroenteritis dengan enterobakteria penyebab tidak sensitif
terhadap amoksilin dan kotrimoksazol.8

Penggunaan antibiotik pada anak dengan gizi buruk


Pada tahun 2009 dan 2013, WHO mengadakan pertemuan untuk melakukan
pembaharuan terhadap panduan tata laksana anak dengan gizi buruk, termasuk
di antaranya menyangkut pemberian antibiotik.9,10 Dalam panduan pemberian
antibiotik, WHO membedakan anak dengan gizi buruk menjadi 2 kelompok,
yaitu tanpa penyulit (uncomplicated) dan dengan penyulit (complicated).10
Dikatakan mempunyai penyulit apabila memberikan tanda dan gejala klinis
infeksi atau gangguan metabolik, edema berat dan tidak ada keinginan
makan. Sedangkan kelompok tanpa penyulit adalah anak dengan gizi buruk
dengan klinis baik dengan keinginan makan yang masih ada sehingga tidak
memerlukan perawatan.

1. Penggunaan antibiotik pada tata laksana gizi buruk rawat jalan


Anak dengan gizi buruk tanpa penyulit, dapat ditata laksana di komunitas,
dengan tetap memberikan antibiotik oral seperti amoksilin. Rasionalisasi
kebijakan ini adalah mengingat anak dengan gizi buruk mempunyai
kerentanan yang tinggi terhadap infeksi bakteri, tidak mudahnya
untuk menyatakan anak dalam kondisi infeksi karena seringkali justru
demam tidak muncul serta adanya kondisi bacterial overgrowth yang
sering terjadi pada saluran cerna anak dengan gizi buruk. 9,10 Penelitian
di Mawalawi pada tahun 2013 membuktikan bahwa pemberian terapi

136
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

antibiotik pada anak gizi buruk yang tidak menampakkan tanda klinis
mampu menurunkan angka mortalitas secara signifikan (7,48% menjadi
4,63%, p<0,002). Walaupun WHO juga mengingatkan akan adanya
bahaya resistensi terhadap antibiotik, sehingga penentu kebijakan harus
memutuskannya sesuai kondisi lokal yang ada dan perhitungan ekonomi
kesehatan jangka panjang.11

2. Penggunaan antibiotik pada tata laksana gizi buruk rawat inap


Anak gizi buruk yang dirawat umumnya memberikan tanda klinis
yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Panduan WHO masih
menyarankan pemberian antibiotik parenteral (kombinasi ampisilin 50 mg/
kg setiap 6 jam dan gentamisin 7,5 mg/kg, satu kali per hari) pada kondisi
syok septik, hipotermia, hipoglikemia, infeksi kulit, infeksi respiratorik,
infeksi saluran kemih, atau terlihat letargik atau toksik. Apabila dalam
48 jam tidak terdapat perbaikan dapat diberikan kloramfenikol (25 mg/
kg, tiap 6-8 jam).3,10

3. Penggunaan antibiotik pada kondisi tertentu


Bayi berusia <6 bulan yang mengalami gizi buruk, harus dirawat dan diberi
antibiotik sebagaimana tata laksana pada anak yang lebih besar. Demikian
pula pada pasien dengan HIV positif, tidak terdapat panduan khusus,
sampai terbukti adanya infeksi oportunistik yang mengganggu, termasuk
sitomegalovirus yang sering menjadi penyebab diare berkepanjangan. 3,10

Prinsip pemberian antibiotik pada anak dengan gizi buruk sesungguhnya


adalah dengan mempertimbangkan mikroba penyebab. Pilihan amoksilin,
ampisilin dan gentamisin, bukan tanpa alasan, mengingat sifatnya yang
mempunyai spektrum luas3,10 Jika memang diketahui dan terbukti adanya
infeksi lain (bisa saja suatu candidiasis, tuberkulosis, shigelosis, helmintiasis),
maka harus diberikan tata laksana antimikrobial yang sesuai.3,10 Tidak banyak
penelitian tentang penggunaan antibiotik yang mempunyai level of evidence yang
tinggi sehingga rekomendasi WHO masih banyak digunakan sebagai panduan.
Lazerini dan Tickel melakukan review sistematik terhadap keamanan dan
efikasi serta melakukan evaluasi terhadap farmakokinetik beberapa antibiotik
yang biasa digunakan pada tata laksana anak dengan gizi buruk, dengan hasil
sebagai berikut:
yy Amoksilin: adanya penurunan laju filtrasi glomerulus dan aliran
darah ginjal menyebabkan waktu paruh obat memanjang sehingga
bersihan (clearance) menjadi lambat. Efek samping yang terjadi lebih
banyak idiosinkrasi, dengan toksisitas yang minimal, sehingga untuk

137
Terapi Antibiotik pada Anak Gizi Buruk

mencapai efikasi terapeutik lebih baik diperhatikan waktu tercapainya


minimal inhibitory concentration (MIC) dibanding dengan meningkatkan
konsentrasinya dalam serum.12
yy Kotrimoksazol: tidak ada penelitian yang menggunakan kotrimoksazol
sebagai antibiotik lini pertama. Kotrimoksazol mempunyai bioavailabilitas
oral yang tinggi dan tidak terdapat perbedaan dalam pencapaian
konsentrasi maksimal dalam darah jika dibandingkan dengan populasi
dengan status gizi baik.12
yy Ampisilin-gentamisin: sebagai antibiotik lini kedua yang digunakan pada
tata laksana gizi buruk, gabungan keduanya berhasil menurunkan case
fatality rate pada gizi buruk dengan hipoglikemia dari 20% menjadi 6%
(OR=4; 95% CI: 1.7-9.8). 12
yy Gentamisin: aktivitasnya tergantung konsentrasinya dalam darah,
sehingga pemberian satu kali per hari lebih dianjurkan dibanding tiga kali
per hari. Pemberian satu kali per hari dapat memberikan kadar puncak
yang lebih tinggi dibanding populasi nomal. Bersihan gentamisin tidak
terganggu pada kondisi gizi buruk, kecuali yang mengalami penurunan
fungsi ginjal.12
yy Kloramfenikol intravena mencapai kadar puncak yang lebih tinggi pada
anak gizi buruk jika dibandingkan dengan populasi normal. Keterlambatan
bersihan dan lebih panjangnya waktu paruh disebabkan oleh gangguan
konjugasi di hepar yang dialami oleh anak dengan gizi buruk. Oleh
karenanya, perlu dipikirkan reduksi dosis pada anak dengan gizi buruk. 12
yy Ceftriakson: belum ada penelitian berkenaan dengan hal ini. 12
yy Ciprofloksasin: terdapat satu studi yang menyatakan dosis 10 mg/kg/kali,
tiga kali per hari merupakan alternatif terapi antibiotik pada pasien gizi
buruk dengan sepsis.13

Simpulan
Tata laksana gizi buruk perlu dilakukan secara komprehensif, termasuk
penanganan infeksi yang adekuat. Pemberian antibiotik pada gizi buruk
dilakukan berdasarkan berbagai pertimbangan dengan memperhatikan kondisi
pasien, pola resistensi kuman dan juga penyulit yang terjadi.

Daftar pustaka
1. UNICEF/ WHO/ World Bank Group - Joint Child Malnutrition Estimates. 2017
diunduh dari http://www.who.int/nutgrowthdb/jme_brochoure2017.pdf, diakses
tanggal 1 April 2017.
2. Kementerian Kesehatan RI. Laporan hasil riset kesehatan dasar 2013. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI, 2013.

138
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

3. Management of severe malnutrition: a manual for physicians and other senior


health workers. Geneva: World Health Organization, 1999.
4. Community-based management of severe acute malnutrition. A joint statement
by the World Health Organization, World Food Programme, United Nations
Standing Committee on Nutrition, United Nations Children’s Fund. Geneva:
World Health Organization/World Food Programme/United Nations Standing
Committee on Nutrition/United Nations Children’s Fund; 2007.
5. Jones KDJ, Berkley JA. Severe malnutrition and infection. Ped Intl Child Health.
2014;34:S1-29.
6. Krawinkel MB. Interaction of Nutrition and Infections Globally: An Overview.
Ann Nutr Metab 2012;61:39-45.
7. Obiero CW, Seale AC, Jones K, Ngari M, Brendon CL, Morpeth S, et al. Should
first-line empiric treatment strategies cover coagulase-negative staphylococcal
infections in severely malnourished or HIV-infected children in Kenya? PLoS
One. 2017;12:1823-54.
8. Page AL, de Rekeneire N, Sayadi S, Aberane S, Janseens AC, et al. Infections
in children admitted with complicated severe acute malnutrition in Niger. PLoS
One. 2013;8:686-99.
9. WHO child growth standards and the identification of severe acute malnutrition
in infants and children. A joint statement by the World Health Organization and
the United Nations Children’s Fund. Geneva: World Health Organization; 2009.
10. WHO. Guideline: Updates on the management of severe acute malnutrition in
infants and children. Geneva: World Health Organization; 2013.
11. Trehan I, Goldbach HS, LaGrone LN, Meuli GJ, Wang RJ, Maleta KM, Manary
MJ. Antibiotics as pasrt of the management of severe acute malnutrition. N Engl
J Med. 2013;368:425-35.
12. Lazzerini M, Tickell D. Antibiotics in severely malnourished children: a
systematic review of efficacy, safety and pharmokinetics. Bull World Health Org.
2011;89:593-606.
13. Thuo N, Ungphakorn W, Karisa J, Muchohi S, Muturi A, Kokwaro G, et al.
Dosing regimens of oral ciprofloxacin for children with severe malnutrition: a
population pharmacokinetic study with Monte Carlo simulation. J Antimicrob
Chemother 2011; 66: 2336-45.

139
Suspect Viral and Fungal Infection
in Sepsis Neonatarum
Rinawati Rohsiswatmo, Distyayu Sukarja

Tujuan:
1. Agar dapat mengenali sejak dini gejala klinis yang tidak khas
sepsis neonatus yang disebabkan oleh jamur dan virus
2. Memberikan terapi dan pemeriksaan diagnostik yang tepat
pada pasien neonatus dengan infeksi jamur dan virus.

Seringkali diagnosis infeksi virus dan jamur pada neonatus sulit ditegakkan.
Gejala klinis yang muncul tidak khas dan tidak dapat dibedakan dengan infeksi
bakteri. Hal ini menyebabkan terjadinya keterlambatan pemberian terapi yang
dapat memengaruhi luaran pada bayi sakit. Kecurigaan terhadap virus dan
jamur sebagai mikroorganisme penyebab sepsis berat harus dipikirkan bila
tidak ditemukan bakteri pada pemeriksaan kultur.

Infeksi Virus
Penularan infeksi virus pada neonatus dapat terjadi melalui penularan dari ibu
ke bayi (mother-to-child transmission) dan lingkungan (komunitas/nosokomial).
Penularan ibu ke bayi baik terjadi sejak dalam kandungan, saat proses kelahiran,
maupun melalui pemberian air susu ibu (ASI).1
Untuk menegakkan diagnosis infeksi virus pada neonatus, perlu diketahui
faktor risiko ibu dan waktu munculnya gejala. Gejala yang muncul sejak lahir
seperti kelainan kongenital yang khas biasanya berhubungan dengan infeksi
virus yang diperoleh sejak dalam kandungan.1 (Tabel 1) Namun demikian,
tidak sedikit gejala baru terlihat setelah beberapa hari yang masih mungkin
disebabkan penularan saat proses kelahiran. Hal ini harus dapat dibedakan
dengan infeksi virus dari lingkungan yang juga terjadi setelah 72 jam kelahiran.
Gejala klinis infeksi virus seringkali menyerupai sepsis akibat bakteri atau
jamur seperti demam dan letargis. Namun secara umum perbedaan karakteristik
infeksi virus dengan bakteri dapat dilihat melalui lokasi terjadinya infeksi. Pada
infeksi bakteri lebih sering ditemukan infeksi aliran darah, sedangkan infeksi

140
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

virus sebagian besar banyak ditemukan pada saluran cerna dan saluran napas.
Gejala lain yang dapat pula ditemukan berupa organomegali, ptekie, purpura,
ikterik, mikrosefal, ensefalopati, kelainan mata, anemia, trombositopenia,
hiperbilirubinemia terkonjugasi, dan peningkatan enzim hati.1

Penularan Ibu Ke Bayi


Penegakan diagnosis infeksi virus akibat penularan ibu ke bayi dapat dilakukan
dengan pemeriksaan antibodi ibu dan bayi (IgG dan IgM), kultur virus, dan
polymerase chain reaction (PCR). Tata laksana infeksi virus meliputi terapi
suportif, pemberian antiviral seperti asiklovir dan gansiklovir, dan pencegahan
komplikasi.

Tabel 1. Metode penularan infeksi virus ibu ke bayi.1


Virus Gejala Klinis Rute
Virus chikungunya Demam, sepsis, ensefalopati transplasenta/intrapartum
Cytomegalovirus (CMV) Sindrom CMV kongenital (mikrosefal, tuli, ptekie, transplasenta, ASI
jaundis)
Virus dengue Demam, ruam, organomegali, trombositopenia, transplasenta/intrapartum
efusi pleura
Virus hepatitis B Penyakit hati kronis Intrapartum
Virus hepatitis C Penyakit hati kronis Intrapartum
Virus hepatitis E Jaundis, hepatitis, gagal hati transplasenta/intrapartum
Virus herpes simplex (HSV) Herpes neonatal, hidransefali Intrapartum
Human immunodeficiency HIV/AIDS perinatal Intrapartum, ASI
virus (HIV)
Virus varicella-zoster Hipoplasia alat gerak, kelainan okular, kelainan Intrapartum
kulit
Human papillomavirus Papiloma laringeal Intrapartum
Pavovirus B19 Anemia, hidrops transplasenta
Virus rubella Sindrom rubella kongenital (katarak, kelainan transplasenta
jantung bawaan, tuli)

Komunitas/Nosokomial
Infeksi virus dari lingkungan dapat diperoleh dari orang terdekat (komunitas),
dan petugas kesehatan di rumah sakit (nosokomial). Penyebab tersering yang
banyak ditemukan adalah, enterovirus (non-polio), respiratory syncytial virus
(RSV), rotavirus, adenovirus, cytomegalovirus, dan sebagainya.2,3 Gejala paling
banyak ditemukan yaitu pada saluran napas (distres napas, apnea, sianosis)
dan saluran cerna (diare, enterokolitis nekrotikans).3,4 Namun demikian gejala
lain dapat pula ditemukan seperti, gangguan neurologis (kejang) yang khas
pada enterovirus,5 trombositopenia, dan hipoglikemia.6 (Tabel 2)

141
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus

Tabel 2. Gejala infeksi virus.4


Virus Gejala Klinis
Enterovirus Kejang, miokarditis, Sepsis like disease
RSV Bronkiolitis, pneumonia
Rotavirus Diare, distensi abdomen
Adenovirus Gejala gastrointestinal dan saluran napas
CMV Hepatosplenomegali
Metapneumovirus Bronkiolitis
Parainfluenza Bronkiolitis

Tabel 3. Penggunaan antiviral pada infeksi virus.8


Virus Antivirus Dosis
CMV Gansiklovir 5 mg/kg I.V (b.i.d) selama 12-21 hari
Foscarnet 60 mg/kg I.V (ti.i.d) selama 14-21 hari*
Cidofovir 5 mg/kg I.V + probensid 1 kali pemberian,
kemudian 3 mg/kg setiap minggu*
Enterovirus non-polio Pleconaril 5 mg/kg p.o (t.i.d) minimal 7 hari*
Hepatitis B Lamivudin 3 mg/kg/hari p.o*
Hepatitis C Pegylated interferon Variatif*
HSV Asiklovir 20 mg/kg IV (t.i.d) selama 21 hari
HIV Zidovudin 160 mg/m2 setiap 8 jam
Influenza Amantadine 2,5 mg/kg p.o (b.i.d)
Rimantadin 2,5 mg/kg p.o (b.i.d)
RSV Ribavarin 20 mg/mL aerosol, 12-22 jam/hari
selama 3 hari atau hingga perbaikan*
*diperlukan pemantauan terhadap toksisitas
t.i.d: 3 kali sehari; b.i.d: 2 kali sehari; I.V: intravena; p.o: peroral

Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan RNA


dan DNA virus melalui sampel darah, cairan serebrospinal, dan tinja. Teknik
yang digunakan bervariasi seperti PCR, ELISA, mikroskop elektron, dan kultur
virus.7 Terapi antiviral yang diberikan tentunya dengan mempertimbangkan
efektifitas, toksisitas, dan farmakokinetik karena tidak semua antiviral yang
tersedia aman diberikan pada neonatus.8 (Tabel 3)

Infeksi Jamur
Sama seperti halnya dengan infeksi virus, diagnosis infeksi jamur sering
terlambat ditegakkan karena gejala yang tidak spesifik. Diperlukan kejelian
dalam identifikasi gejala yang berhubungan dengan infeksi jamur invasif.
Insidens infeksi jamur pada neonatus sangat rendah bila dibandingkan dengan
infeksi bakteri. Sebanyak 2,5% infeksi aliran darah pada bayi dengan berat
lahir rendah (BBLR) disebabkan oleh jamur.9 Akan tetapi, morbiditas dan

142
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

mortalitas yang diakibatkan sama tinggi dengan infeksi bakteri, sehingga


pemahaman mengenai infeksi jamur sangat penting. Infeksi jamur biasanya
terjadi setelah lahir dan diperoleh melalu transmisi nosokomial. Adapun
patogen yang sering ditemukan pada neonatus adalah Candida, Aspergillus,
Malassezia, Cryptococcus, Balstomyces.spp.10
Jamur dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui proses kolonisasi
pada kulit atau mukosa, kemudian masuk ke dalam sirkulasi melalui kateter.
Di dalam tubuh manusia, jamur berproliferasi hingga akhirnya menginvasi
jaringan host. Hal ini sangat mudah terjadi terutama pada bayi prematur
dengan imaturitas sistem imun.11 Terdapat beberapa faktor risiko pada neonatus
terinfeksi jamur yang terlampir pada Tabel 4.
Candida adalah penyebab terbanyak infeksi jamur pada neonatus.
Sedikitnya ada 15 spesies candida yang berhasil diidentifikasi, dan yang sering
dijumpai pada manusia adalah C.albicans, C.glabrata, C.tropicalis, C.parapsilosis,
dan C.krusei. Candidia albicans adalah spesies yang paling banyak ditemukan
sebagai penyebab infeksi jamur invasif terutama pada BBLR.9,10,14
Gejala infeksi jamur pada neonatus berupa oral thrush, letargis,
perdarahan, intoleransi minum, instabilitas suhu, peningkatan kebutuhan
oksigen, dan keterlibatan multisistem organ lainnya (meningitis, kandidiasis
renal, endocarditis, endoftalmitis).11,12 Kultur darah jamur merupakan metode
yang digunakan dalam menegakkan diagnosis infeksi jamur invasif. Akan tetapi,
pemeriksaan ini tidak sensitif disebabkan hasil kultur yang rentan dipengaruhi
oleh waktu pengambilan dan jumlah sampel. Namun demikian, kultur darah
jamur masih menjadi pemeriksaan baku emas hingga saat ini, karena metode
ini adalah metode yang paling mudah dikerjakan. Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi infeksi jamur adalah dengan melakukan
pemeriksaan antigen jamur (beta D glukan dan mannan, galaktomannan,
(1,3)-beta-D glukan, persepsis), PCR (DNA jamur), rapid test (aglutinasi),

Tabel 4. Faktor risiko infeksi jamur invasif.11-3


Faktor intrinsik Faktor ekstrinsik
1. Prematur (32 minggu) atau berat lahir 1. Penggunaan >2 antibiotik spektrum luas (sefalosporin
rendah (<1500 g) generasi 3)
2. Gangguan imunitas 2. Penggunaan alat invasif
3. Pertumbuhan janin terhambat - Akses sentral > 7 hari
- Ventilasi mekanik > 5 hari
4. Skor Apgar <5 pada menit ke-5
5. Perdarahan paru 3. Penundaan nutrisi enteral >5 hari
6. Syok 4. Mendapat kortikosteroid sistemik
7. Koagulopati intravaskular diseminata 5. Mendapat nutrisi parenteral > 7 hari (terutama emulsi
lemak)
6. Pembedahan pada saluran cerna/enterokolitis nekrotikans
7. Penggunaan H2 blocker
8. Durasi rawat inap > 28 hari

143
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus

kadar C-reactive protein (CRP) dan interleukin (IL) 6, serta beberapa prosedur
lain yang masih dalam penelitian seperti metabolomik.15,16
Pemberian antijamur sangat penting dalam mengeradikasi infeksi jamur
invasif pada neonatus. Pilihan antijamur yang sering digunakan adalah
amfoterisin B dan flukonazol. (Tabel 5)17 Pemilihan antijamur yang digunakan
tentunya dengan mempertimbangkan efek terapeutik yang aman dengan efek
samping yang minimal.12,13 Flukonazol merupakan pilihan antijamur yang paling
sering digunakan pada neonatus baik sebagai terapeutik maupun profilaksis
dengan durasi pemberian bervariasi sesuai dengan kondisi infeksi yang dialami.
(Tabel 6) Efektifitasnya cukup baik, mudah diberikan, dan memberikan sedikit
efek samping pada ginjal dibandingkan dengan antijamur lainnya.

Tabel 5. Antijamur pada neonatus.17


Golongan Antijamur Dosis
Polyene Amfoterisin B
Deoksikolat 1 mg/kg/hari I.V
Liposomal 3-5 mg/kg/hari I.V
Azol Flukonazol 12 mg/kg/hari I.V/p.o
Ekiinokandins Mikafungin 10-12 mg/kg/hari*
*Dipertimbangkan penggunaan pada neonatus
t.i.d: 3 kali sehari; b.i.d: 2 kali sehari; I.V: intravena; p.o: peroral

Pada kasus infeksi jamur invasif persisten harus dipertimbangakan evaluasi


multisistem untuk menghindari keterlibatan di berbagai organ. Pemeriksaan
lumbal punksi, evaluasi retina, ultrasonografi saluran genitourinaria, hati, dan
ginjal disarankan pada neonatus dengan hasil kultur jamur darah dan/atau
urin positif yang menetap.18

Tabel 6. Durasi pemberian flukonazol.18


Kondisi Durasi
Infeksi berkaitan dengan kateter Minimal 7 hari setelah pencabutan kateter
Kandidiasis kutaneus diseminata 14-21 hari hingga klinis perbaikan
Infeksi aliran darah 14-21 hari hingga klinis perbaikan dan hasil kultur negatif
Endokarditis Minimal 6 minggu
Endoftalmitis 6-12 minggu hingga vitrektomi
Meningitis Minimal 4 hari hingga klinis perbaikan

Pemberian flukonazol sebagai terapi profilaksis di unit perinatologi


direkomendasikan bila terdapat insidens infeksi jamur invasif yang tinggi
(>10%), terutama pada kelompok neonatus dengan berat lahir <1000 gram.
Dosis yang digunakan adalah 3-6 mg/kg, diberikan sebanyak dua kali dalam
1 minggu selama 6 minggu. Nistatin oral dapat menjadi pilihan alternatif

144
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

terapi profilaksis pada neonatus dengan berat lahir <1500 gram dengan dosis
pemberian 100.000 unit/8 jam selama 6 minggu.19
Keterlambatan diagnosis dan pemberian terapi berpengaruh terhadap
luaran jangka panjang bayi sakit. Infeksi jamur invasif berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi. Hasil pemantauan jangka panjang
menunjukkan adanya gangguan neurodevelopmental (palsi serebral, kebutaan,
tuli, gangguan kognisi) yang dapat memengaruhi kualitas hidup di kemudian
hari.19 Pencegahan infeksi dapat dilakukan yaitu dengan pencabutan akses
sentral sejak dini bila tidak dibutuhkan dan menghindari transmisi nosokomial
di rumah sakit.

Daftar pustaka
1. Pass RF. Viral Infections in the Fetus and Neonate. Long SS, penyunting. Dalam:
Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke-4. Philadelphia:
Saunders; 2012. h. 544-8.
2. Tzialla C, Civardi E, Borghesi A, Sarasini A, Baldanti F, Stronati M. Emerging
viral infections in neonatal intensive care unit. J Matern Fetal Neonatal Med.
2011;1:156-8.
3. Civardi E, Tzialla C, Baldanti F, Strocchio L, Manzoni P, Stronati M. Viral
outbreaks in neonatal intensive care units: what we do not know. Am J Infect
Control. 2013;41:854-6.
4. Agueda S. Viral Infections in a Neonatal Intensive Care Unit. Pediat Therapeut.
2013;3:147.
5. Morriss FH Jr, Lindower JB, Bartlett HL, Atkins DL, Kim JO, Klein JM. Neonatal
Enterovirus Infection: Case Series of Clinical Sepsis and Positive Cerebrospinal
FluidPolymerase Chain Reaction Test with Myocarditis and Cerebral White
Matter Injury Complications. AJP Rep. 2016;6:344-51.
6. Shahroodi MJG, Ghazvini K, Sadeghi R, Sasan MS. Enteroviral Meningitis in
Neonates and Children of Mashhad, Iran. Jundishapur J Microbiol. 2016;9:19955.
7. Naing Z, Rayner B, Killikulangara A, Vunnam K, Leach S, McIver CJ, et al.
Prevalence of viruses in stool of premature neonates at a neonatal intensive care
unit. J Paediatr Child Health. 2013;49:221-6.
8. Barford G, Rentz AC, Faix RG. Viral infection and antiviral therapy in the
neonatal intensive care unit. J Perinat Neonatal Nurs. 2004:259-74.
9. Kaufman DA. Challenging issues in neonatal candidiasis. Curr Med Res Opin.
2010;26:1769-78.
10. Kelly MS, Benjamin DK, Smith PB. The epidemiology and diagnosis of invasive
candidiasis among premature infants. Clinics in perinatology. 2015;42:17–105.
11. Jahan S, et al. Epidemiology of candida infections among high risk neonates and
infants from a tertiary care setting of north india. EC Microbiology. 2016: 585-596.
12. Basu S, Kumar R, Tilak R, Kumar A. Candida Blood Stream Infection in Neonates:
Experience from A Tertiary Care Teaching Hospital of Central India. Indian
Pediatr. 2017;54:556-559.

145
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus

13. Agarwal RR, Agarwal RL, Chen X, Lua JL, Ang JY. Epidemiology of Invasive
Fungal Infections at Two Tertiary Care Neonatal Intensive Care UnitsOver a
12-Year Period (2000-2011). Glob Pediatr Health. 2017;4.
14. Hundalani S, Pammi M. Invasive fungal infections in newborns and current
management strategies. Expert Rev Anti Infect Ther. 2013;11:709-721.
15. Arendrup MC, Fisher BT, Zaoutis TE. Invasive fungal infections in the paediatric
and neonatal population: diagnostics and management issues. Clin Microbiol
Infect. 2009;15:613-24.
16. Dessi A. Neonatal fungal infections: new strategies in diagnosis. J Pediatr Neonat
Individual Med. 2014;3.
17. Tezer H, Canpolat FE, Dilmen U. Invasive fungal infections during the neonatal
period: diagnosis, treatment and prophylaxis. Expert Opin Pharmacother.
2012;13:193-205.
18. Devlin RK. Invasive fungal infections caused by Candida and Malassezia species
in the neonatal intensive care unit. Adv Neonatal Care. 2006;6:68-77.
19. Pappas PG, Kauffman CA, Andes DR, Clancy CJ, Marr KA, Ostrosky-Zeichner L,
et al. Clinical Practice Guideline for the Management of Candidiasis: 2016 Update
by the InfectiousDiseases Society of America. Clin Infect Dis. 2016;62:1-50.
20. Shane LA. Common viral infections in neonates. 2018 NeoPREP. Disampaikan
pada kursus 2018 NeoPREP “An Intensive Review and Update of Neonatal/Perinatal
Medicine” di Atlanta tanggal 24 Januari 2018.

146
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Lampiran.20
Lampiran.20 
HSV (Herpes Simplex virus) CMV (Cytomegalovirus) EBV (Epstein Barr virus)
Epidemiology • Ubiquitous; transmitted from • Ubiquitous, transmitted horizontally, • Humans only known reservoir,
symptomatic or asymptomatic vertically, and via transfusions and 90% adults infected
with primary or recurrent transplants. • Close personal contact (saliva),
infection. • Persists after primary infection with blood transfusion, transplantation
• Persists after a primary infection shedding. • Incubation 30-50 days.
with intermittent shedding. • Reinfection with other strains can Intrauterine infection not
• 1/3000-1/20,000 live births occur. documented.

Clinical Disseminated (25%) Spectrum - asymptomatic to 10% with Fever, exudative pharyngitis with
Presentation CNS (30%) IUGR, jaundice, purpura, microcephaly, petechiae, lymphadenopathy,
SEM (45%) intracerebral calcifications, retinitis, hepatosplenomegaly.
developmental delays sensorineural EBV-associated lymphoproliferative
hearing loss. disorders.
Diagnosis Cell culture, PCR assay of mucosal Shell vial (days) or traditional culture Serological testing and PCR of
swab specimens obtained 12-24 (>28 days) or PCR assay of tissue and immunocompromised
hours after birth, CSF, whole blood. fluids (rapid). Detection ≠ infection.
Management parenteral acyclovir, 60mg/kg/day symptomatic - parenteral ganciclovir or Symptomatic
divided q8 for 14 days (SEM) and oral valganciclovir before 1 month of age
minimum 21 days for CNS or for 6 months to improve
disseminated infections. developmental/auditory outcomes
Prevention oral acyclovir suppressive therapy hand hygiene for all - standard hand hygiene for all - standard
300mg/m2/dose q 8 hours for 6 precautions precautions
months following treatment of acute
disease improves
neurodevelopmental outcomes and
decreases SEM outbreaks.
Consideration Observe of skin infection (skin
lesions, respiratory distress,
seizures, signs of sepsis)
• If asymptomatic: no specimens
and empiric acyclovir needed
• Educate parents signs and
symptoms during 1st 6 wks of life  

VZV (Herpes Zoster virus) HAV (Hepatitis A virus) HBV (Hepatitis B virus)
Epidemiology • Highly contagious; airborne Person to person; fecal-oral; • Transmitted via blood and body fluids.
• In utero infection results from vertical transmission rare • Up to 90% infected in the first year of
trans placental passage during life will develop chronic HBV.
maternal viremia with VZV. • Immune tolerant phase for years, some
• Establishes latency and with growth impairment.
reactivates = herpes zoster or
shingles.
Clinical • Fetal infection after maternal Acute, self-limited fever, malaise, • Subacute (nonspecific) to clinical and
Presentation varicella in 1st or early 2nd anorexia, and jaundice fulminant hepatitis.
trimester (1-2%) may result in • Extrahepatic manifestations.
death, varicella embryopathy
(limb hypoplasia, cutaneous
scarring, eye and CNS
abnormalities).
• Children infected with VZV in
utero may develop zoster without
extra uterine varicella.
• Maternal varicella 5 days before
to 2 days after delivery has high
case fatality rate due to
disseminated varicella.
Diagnosis VZV PCR of lesion Serology Serology

Management VariZIG or IVIG considered for Supportive care No therapy for acute HBV; screened
exposed, asymptomatic neonates periodically; goal to prevent progression
at risk. to hepatocellular carcinoma
Prevention Airborne and contact Contact precautions for 1 week • HBIG and hepatitis B vaccine for
following symptom onset. infants born to HBsAg + women.
Hand hygiene and immunization • Contact precautions if visible blood.
including post exposure prophylaxis
for up to 40yr; immune globulin
(0.02mL/kg) to infant if maternal
symptoms began between 2 weeks
before and 1 week after delivery.
Efficacy has not been established.
 

147
Pendekatan Klinis Sepsis Neonatorum Akibat Jamur dan Virus

HCV (Hepatitis C virus) Measles Rubella


Epidemiology • Maternal-fetal transmission Humans only host; transmitted by Humans only source; transmitted
• Risk of perinatal transmission 5-6%; droplets or airborne spread; one through direct or droplet contact with
10-20% if HIV co-infected, occurring of most highly communicable of all nasopharyngeal secretions.
only from women who are HCV infectious diseases. Communicability few days before to 7
RNA + at delivery. days after rash onset.
Infants may shed and transmit for 1
year following infection.
Clinical Mild and insidious; jaundice < 20%, • Acute fever, cough, coryza, and Many subclinical; generalized
Presentation less hepatitis than hepatitis B conjunctivitis  maculopapular rash erythematous maculopapular rash,
spreads cephalo-caudally and lymphadenopathy, mild fever.
centrifugally. Encephalitis and thrombocytopenia
• Complications include otitis media, are complications.
bronchopneumonia, croup,  Congenital rubella syndrome:
diarrhea, acute encephalitis. more severe
• Post- infectious: SSPE
Diagnosis • Hepatitis C IgG serology and • Serology Rubella IgM from birth to 3 months of
NAATS to detect HCV RNA – may • Measles PCR from throat, age (false positives occur) and stable
be performed at 1-2 months of age. nasopharyngeal, urine, blood. or increasing rubella IgG first 7-11
• Passively acquired maternal Recommend both serologic and months of life. Isolation of virus from
antibody may persist in infants for virologic testing. throat, NP, or urine in cell culture
up to 18 months.
Management Antivirals aimed at inhibiting HCV Supportive; vitamin A Supportive
replication and eradicating infection. supplementation daily x 2 days
Prevention Standard precautions • Airborne precautions until day 4 • Droplet precautions until 7 days
after rash onset. after onset of rash.
• Administer IGIV within 6 days after • Contact precautions for
exposure to measles-susceptible known/suspected CRS until 1 year
pregnant women. of age or cultures obtained 1 month
• Measles in pregnancy associated apart after 3 months of age are
with severe maternal; infection and negative.
prematurity. • MMR immunization.
 
Influenza Non Polio Enterovirus RSV
Epidemiology • Epidemics attributed to • Fecal-oral and respiratory routes, mother • Acute respiratory tract infection.
influenza A & B. Antigenic drift to infant in prenatal period and via • Most RSV hospitalizations within the first 3
results in new strains and breastfeeding. months of life.
seasonal epidemics. • Usual incubation 3-6 days • Predisposed are premature, cyanotic or complex
• Antigenic shift only with • >100 distinct serotypes (group A and B cardiac disease, pulmonary hypertension,
influenza A strains pandemic. coxsackieviruses, echoviruses, and premature lung disease, immunodeficiency.
• Person to person via droplets. numbered enteroviruses. • Occurs in annual epidemics in during winter and
• Infectious 24 hours before • NP enteroviruses also grouped into 4 early spring.
symptoms; shedding species EV A,B,C,D with polioviruses = • Viral shedding 3-8 days up to 3-4 weeks.
correlated with fever. EV-C. Incubation period is 2-8 days.
• Echoviruses 22 and 23 = human
parechoviruses 1 and 2.

Clinical Influenza infection in neonates • Significant and frequent illnesses with • Rhinitis, cough, wheezing, tachypnea.
Presentation associated with a sepsis-like numerous manifestations. • Preterm infants may not manifest respiratory
syndrome, apnea, pneumonia, • Nonspecific febrile illness, respiratory, symptoms – lethargy, anorexia, apnea.
and morbidity. skin, neurologic, GI, ocular, cardiac,
muscular.
• Neonates without maternal immunity at
risk for severe viral sepsis,
meningoencephalitis, myocarditis,
hepatitis, coagulopathy, and
pneumonitis.

Diagnosis RT-PCR, rapid influenza RT-PCR from stool, nasopharynx, Antigen detection assays, RT-PCR (30%
molecular assays, viral culture conjunctival swabs, CSF, tissue, blood, coinfected), rapid molecular assays.
urine.

Management • 2 classes of antivirals – Supportive; IGIV or convalescent maternal • Supportive – hydration and ventilation if indicated.
neuraminidase inhibitors (NI) plasma used for life- threatening neonatal • Ribavirin not recommended for routine use;
and adamantanes. infections consider for severe infections.
• Oseltamivir (NI) licensed for • Corticosteroids, antimicrobials, and
>2 weeks; may be used in bronchodilators not recommended.
neonates.

Prevention • Droplet precautions: hand Contact precautions for infants for duration • Palivizumab (humanized mouse immunoglobulin (Ig)
hygiene. of illness; cohorting G1 monoclonal antibody may reduce the risk of RSV.
• Infants born to influenza- Administered IM q 30 days for 5 months during RSV
season. Not effective in treatment of RSV disease or in
immunized mother have
controlling outbreaks.
better outcomes and reduce • Infants in a neonatal unit who qualify because of CLD,
chance of preterm/SGA. CHD, or prematurity may receive the first dose 48-72
hours before discharge.
 
 

148
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Rotavirus Perinatal HIV Metapneumovirus (hMPV)


Epidemiology • Most common etiology of acute Blood, semen, cervicovaginal Mild disease in immunocompetent;
gastroenteritis in community and secretions, and human milk severe in immunocompromised.
healthcare settings prior to universal implicated in transmission. Similar to and overlaps with RSV
immunization. Mother to child transmission (MTC) in season.
• Transmission by fecal-oral route and utero, at labor and delivery and via
possibly via fomites. breastfeeding.
• Incubation 1-3 days.
Clinical Acute onset of fever and vomiting Unexplained fevers, generalized • Acute respiratory tract illness,
Presentation followed by watery diarrhea for 3-8 lymphadenopathy, hepatomegaly, including bronchiolitis, pneumonia,
days. Dehydration, electrolyte splenomegaly, failure to thrive, asthma, croup, acute otitis media.
abnormalities, and persistent persistent candidiasis, recurrent • Preterm birth and cardiopulmonary
diarrhea. diarrhea, parotitis, hepatitis, CNS disease at risk for more severe
disease, opportunistic infections. disease.
Diagnosis Enzyme immunoassays (EIAs) RT- HIV DNA PCR  positive result by 48 RT-PCR
PCR to detect viral RNA hours. In utero transmission; 93% HIV
DNA PCR+ by 2 weeks of age and
95% DNA PCR+ by 4 weeks of age.
Management Supportive – hydration. Antiretroviral • Supportive – hydration, respiratory
Zidovudine prophylaxis support.
• Ribavirin has activity with hMPV but
clinical benefit not demonstrated.
• Antimicrobial agents not indicated
unless bacterial infection.
Prevention • Contact precautions  bleach (1:2 • Standard precautions for care of HIV Contact precautions with hand
with water) and 70% ethanol infected infant (all infants). hygiene.
inactivates rotavirus on environmental • Decreased MTC due to antenatal
surfaces. testing, antiretroviral (ARV)
• Consumption of human milk is prophylaxis ante-, intra-, and post-
associated with milder risk partum, cesarean section before
• Immunization required  debatable labor and ROM, and avoidance of
administration in NICU. breastfeeding.
• Preterm infants may be immunized
when > 6 weeks postnatal age and
clinically stable.
 
 
   

149
Ampicillin-Gentamycin as First Line in
Neonatal Sepsis: Are Still Relevant?
Rosalina Dewi Roeslani, Septina Ashariani

Tujuan:
1. Rasionalisasi pemakaian antibiotika ampisilin dan gentamisin
untuk SNAD khususnya di RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan secara
nasional di Indonesia

Sepsis pada bayi baru lahir (BBL) atau sepsis neonatorum masih merupakan
salah satu penyebab kematian di dunia dan khususnya di negara berkembang.
Sepsis neonatorum adalah penyebab ketiga kematian pada masa neonatus,
yaitu sebanyak 7% (±400.000/tahun) dari angka kematian bayi baru lahir dan
masih merupakan masalah kesehatan di negara berkembang.1-5 Mortalitas dan
morbiditas tertinggi terjadi pada bayi prematur dan terutama kelompok bayi
berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan insidens berkisar antara 1-5 hingga
49-170 per 1000 kelahiran hidup,6,7 sedangkan insidens sepsis neonatorum
awitan dini adalah 1-2 per 1000 kelahiran hidup.7

Gambar 1: Penyebab kematian pada masa neonatus dan anak.8

150
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Wilayah Asia merupakan wilayah urutan ketiga kematian bayi baru lahir
setelah Afrika dan Mediterania yaitu sekitar 24,3 per 1000 kelahiran hidup.
Indonesia menempati urutan kelima angka kematian neonatus tertinggi yaitu
13,5 per 1000 kelahiran hidup di Asia Tenggara.8 Sepsis neonatorum merupakan
penyebab kematian ke-3 tersering pada bayi usia 0-6 hari (12%), dan penyebab
kematian utama pada usia 7-28 hari (20,5%) di Indonesia.9

Sepsis Neoanatorum
Sepsis neonatorum merupakan infeksi sistemik yang terjadi pada usia 28 hari
kehidupan pertama.10,11 Sepsis neonatorum menurut organisasi kesehatan
dunia atau World Health Organization (WHO) adalah terdapatnya minimal
dua gejala klinis disertai dua hasil laboratorium penunjang yang menunjukkan
adanya infeksi pada bayi baru lahir pada kasus terduga sepsis. Pasien dinyatakan
terbukti sepsis bila didapatkan hasil biakan, mikroskopis, atau pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) yang positif. Adapun gejala klinis dapat berupa
instabilitas kardiovaskuler, suhu tubuh yang tidak stabil, lesi pada kulit maupun
subkutan, sesak napas, gangguan saluran cerna dan lain-lain. Pemeriksaan
penunjang adalah sebagai berikut leukosit: <4.000/μL atau >20.000/μL,
perbandingan neutrofil imatur dan total (I/T ratio) lebih dari 0,2; trombosit
<100.000/μL, C reactive protein (CRP) > 15 mg/L atau prokalsitonin ≥ 2 ng/
mL atau kadar gula darah tidak stabil.12
Sepsis secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu, sepsis neonatorum
awitan dini (SNAD) dan sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL). Sepsis
neonatorum awitan dini (SNAD) adalah infeksi yang terjadi pada 3 hari
pertama kehidupan dan disebabkan oleh bakteri yang ditransmisikan secara
vertikal dari ibu ke bayinya pada sebelum, dan saat kelahiran.10-12 Sepsis
Neonatorum awitan lanjut (SNAL) adalah infeksi yang terjadi setelah usia 72
jam kehidupan. Pada beberapa pusat pelayanan kesehatan ada yang mengambil
batasan SNAD adalah yang terjadi pada 7 hari pertama dan selanjutnya
disebut SNAL.13

Kuman penyebab sepsis neonatorum


Mengetahui jenis kuman penyebab dan resistensi-sensitivitas antibotiknya
dapat membantu dalam pemilihan terapi antibiotik yang tepat untuk SNAD.15
Kuman penyebab tersering SNAD di negara maju adalah group B Streptococcus
(GBS) dan Escherichia coli (E. coli) sedangkan penyebab SNAL adalah
coagulase-negatif staphylococci (CoNS). Penelitian meta-analisis yang melibatkan
13 negara berkembang, menunjukkan penyebab tersering berdasarkan kultur
darah adalah Staphylococcus aureus, Klebsiella spp. dan E. coli. 2,11,14

151
Pemberian Ampisilin dan Gentamisin Sebagai Terapi Sepsis Neonatorum

Staphylococcus Klebsiela
Epidermidis Pneumoniae
Acinetobacter
1% 2%
baumannii
1%

Steril
96%

Gambar 2 Hasil Kultur Pada SNAD Bulan Desember 2017-Februari 2018

9
8 7.64
7 5.93
6
5
4 3.04
3 1.63
2 1.48 , 1.19 0.89 0.89 0.74 0.67
1
0

Gambar 3: Bakteri Penyebab SNAD di RSCM

Pada bulan Desember 2017 hingga Februari 2018 di Rumah Sakit Dr.
Ciptomangunkusumo (RSCM) terdapat 287 kelahiran hidup dan 102 dari
bayi tersebut dirawat karena terduga SNAD, berdasarkan risiko infeksi pada
ibu dan gejala klinis bayi. Bayi tersebut mendapat antibiotik setelah dilakukan
pemeriksaan penunjang sepsis seperti darah perifer rutin, CRP, I/T dan kultur.
Hasil biakan darah positif didapatkan sebanyak 4% dengan kuman penyebab,
2% Klebsiela pneumoniae, 1% Acinetobacter baumannii, dan 1% Staphylococcus
epidermidis.
Hasil kultur positif yang didapatkan selama Januari-Juni tahun 2017
pada BBL yang menderita sepsis baik SNAD maupun SNAL di RSCM adalah
153/579 bayi baru lahir (26,4%) atau 355/1348 isolates (26,3%). Sepuluh
patogen terbanyak adalah Acinetobacter baumanii (7,64%), Klebsiella pneumoniae
(5,93%), Staphylococcus epidermidis (3,04%), Pseudomonas aeruginosa (1,63%),
Enterobacter cloacae (1,48%), Eschericia coli (1,19%), Enterococcus faecalis
(0,89%), Serratia marcescens (0,89%), Staphylococcus aureus (0,74%) dan
Acinetobacter iwwofii (0,67%).15

152
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Alasan penggunaan ampisilin dan gentamisin sebagai lini


pertama pada sepsis neonatorum secara global
Hingga saat ini belum terdapat penelitian yang menunjukkan jenis antibiotik
terbaik untuk SNAD yang dapat berlaku secara universal.12,16 Pemilihan
antibiotik empiris yang tepat pada SNAD berdasarkan pada pola bakteri
penyebab yang ditunjukkan dari penelitian epidemiologi, riwayat perinatal,
kultur maupun resistensi kuman.10,11
Terapi empiris untuk SNAD terdiri dari kombinasi antibotik terhadap
Gram positif (misalnya GBS, L. monocytogenes) dan Gram negatif (E. coli).
Dua kombinasi yang paling sering digunakan adalah golongan penisilin
dan aminoglikosida atau ampisilin dengan sefalosporin generasi ketiga
(sefotaksim). 17 Penambahan vankomisin terindikasi pada sepsis yang
disebabkan oleh Staphylococcus sp. Apabila sepsis diduga akibat bakteri Gram
negatif yang resisten terhadap aminoglikosida, maka sefalosporin generasi
ketiga dapat menjadi alternatif.18 World Health Organization merekomendasikan
cara pemberian intramuskular (IM) atau intravena (IV) antibiotika ampisilin
dan gentamisin pada neonatus yang mempunyai risiko infeksi dengan lama
pemberian minimal 2 hari lalu dilakukan pemeriksaan kembali.2 Bila tidak
terbukti sepsis, maka terapi antibiotik harus dihentikan.17 Pemberian antibiotik
empiris harus disertai pemeriksaan kultur.19
Penelitian Downie dkk, tahun 2013 di 13 negara berkembang menunjukkan
sefalosporin generasi ketiga tidak lebih baik sebagai lini pertama dibanding
ampisilin dan gentamisin. Sefalosporin generasi ketiga secara in vitro memiliki
efikasi sebesar 56% sedangkan penggunaan gentamisin ditambah ampisilin
memiliki efikasi 57%. Satu uji acak menunjukkan pengunaan sefalosporin
generasi ketiga sebagai lini pertama sepsis neonatorum meningkatkan resistensi
bakteri patogen di rumah sakit. Pada neonatus yang terinfeksi bakteri yang
resisten sebagian besar disebabkan oleh kuman enterik Gram negatif seperti
Klebsiella spp. Bakteri tersebut merupakan penyebab satu dari lima kasus
sepsis neonatorum di negara berkembang. Amikasin dapat menjadi alternatif
menggantikan gentamisin sebagai pengobatan lini kedua bersama penisilin
untuk infeksi oleh Klebsiella.20 Penggunanan sefotaksim dan vankomisin yang
tidak rasional dikaitkan dengan peningkatan resistensi bakteri Enterococcus
terhadap vankomisin serta berkurangnya efektivitas sefotaksim terhadap
Enterococcus dan L. monocytogenes.16,17 Studi kohort yang dilakukan Clark RH
dkk menunjukkan bahwa penggunaan sefotaksime daapat meningkatan risiko
kematian (OR 1.5; 95% CI1.4 to 1.7).21
Satu penelitian retrospektif pada neonatus dan anak berusia kurang
dari 59 bulan di Bangladesh menunjukkan pasien yang mendapat ampisillin
dan gentamisin sebagai lini pertama 7/183 pasien diantaranya meninggal

153
Pemberian Ampisilin dan Gentamisin Sebagai Terapi Sepsis Neonatorum

sedangkan 2/181 pasien yang mendapat ceftriaksone and gentamisin tidak


ada yang meninggal. Penelitian ini menyatakan hasil yang tidak signifikan
bermakna secara statistik pada kedua grup ini. Penulis menyimpulkan bahwa
kombinasi ampisilin dan gentamisin masih efektif sebagai lini pertama untuk
terapi sepsis.2
Penggunaan ampisilin dan gentamisin setidaknya memiliki 4 keuntungan
dibandingkan antiobiotik lainnya berdasarkan bukti yang Gram masih amannya
penggunaan antibiotik tersebut dalam jangka panjang, efek sinergis kedua
antibiotik, aktivitas spektrum antibiotik yang luas dan efektifitas yang tinggi
dari ampisilin untuk eradikasi Listeria monocytogenes.17,19 Pada 10 tahun terakhir
tidak terlihat adanya perubahan dramatis resistensi bakteri. Oleh karena itu
penggunaan antibiotik ampisilin dan gentamisin cocok untuk terapi SNAD
baik pada bayi cukup maupun kurang bulan. 5,23

Pemilihan ampisilin dan gentamisin sebagai terapi


antibiotika lini pertama untuk SNAD di RSCM dan
Indonesia.
Protokol pemberian antibiotik pada sepsis neonatorum di RSCM adalah
sebagai berikut:
1. Sepsis Neonatorun Awitan Dini
Antibiotika Lini 1
–– Ringan : ampisilin dan gentamisin
–– Berat : ampisilin sulbaktam dan gentamisin
2. Sepsis Neonatorum Awitan Lambat
–– Community acquired
ŠŠ Community acquired tanpa meningitis: ampisilin sulbaktam dan
gentamisin
ŠŠ Community acquired dengan meningitis: ampisilin sulbaktam,
gentamisin, sefotaksim
–– Hospital acquired
ŠŠ Ventilator associated pnemonia (VAP), hospital acquired pneumonia
(HAP),
ŠŠ infeksi saluran kencing : Ceftazidime
ŠŠ Infeksi asosiasi dengan operasi, Infeksi Aliran Darah :
sefosulbaktam + amikasin
ŠŠ Central line associated blood stream infection : meropenem
ŠŠ Multi-Drug Resistant: karbapenem

154
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

* Durasi pemberian: Gram positif: 7-10 hari,negative 7-14 hari, meningitis


21 hari dan jika suatu abses 4-6 minggu.
Untuk pemeriksaan Septic Screening, dilakukan juga pemeriksaan gambaran
darah tepi.
Semua tersangka SNAL: cek urin rutin dan kultur urin.
* SNAD Ringan: jika faktor risiko jelas namun klinis baik dan lab tidak
terlalu jelek
* SNAD Berat: Jika faktor risiko dan klinis jelas serta laboratorium
mendukung kuat sepsis

Data yang terkumpul di Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan


Anak RSCM 2017 hingga awal 2018 Gram bakteri penyebab SNAD
terbanyak masih di dominasi Klebsiella penumonia, Staphylococcus epidermidis
dan Acinetobacter baumanii sehingga antibiotika berspektrum luas golongan
penisilin dan aminoglikosida masih merupakan pilihan yang tepat. Berdasarkan
hasil kutur dan resistensi pada 4 tahun terakhir yaitu antara bulan Januari-
Juni 2017 ada penurunan sensitifitas bakteri terhadap ampisilin yaitu dari
50% menjadi kurang lebih 15%, demikian pula terhadap gentamisin yang
sensitifitasnya masih berkisar antara 20%. Data bulan Desember 2017 hingga
Februari 2018 menunjukkan hanya 33% dari 102 bayi yang berisiko menderita
SNAD yang pada akhirnya mendapat terapi antibiotika selama 7 hari karena
klinis dan pemeriksaan penunjang Gram adanya infeksi.
Antibiotik ampisilin dan gentamisin di RSCM masih merupakan pilihan
yang baik mengingat data bahwa hanya 29% bayi tersebut menderita clinical
sepsis tanpa terbukti kultur infeksi dan hanya 4% yang mempunyai hasil kultur
positif. Bila BBL tersebut hanya mempunyai faktor risiko infeksi dari ibu saja
tanpa disertai gejala klinis ataupun gejala klinis ringan tidak disertai faktor
risiko infeksi pada ibu maka pilihannya adalah ampisilin dan gentamisin. Tetapi
apabila ada faktor risiko infeksi disertai gejala klinis sepsis maka pilihan lini
pertamanya adalah ampisilin sulbaktam dan gentamisin, untuk bakteri yang
menghasilkan enzim beta laktamase.
Pemberian antibiotik ampisilin dan gentamisin tidak menurunkan
sensitifitas antibiotik lainnya. Pemberian antibiotik tersebut diharapkan
tidak meningkatkan resistensi bakteri di ruang rawat inap bayi baru lahir dan
keuntungan lainnya yaitu aman, murah dan mudah didapat.
Pemilihan golongan penisilin dan aminoglikosida masih tepat untuk terapi
lini pertama di Indonesia walaupun hingga saat ini belum ada data nasional
mengenai bakteri penyebab sepsis neonatorum serta uji sensitifitasnya demikian
pula dengan angka kejadian yang terduga maupun terbukti menderita sepsis

155
Pemberian Ampisilin dan Gentamisin Sebagai Terapi Sepsis Neonatorum

neonatorum. Data penelitian menunjukkan bakteri penyebab SNAD belum


banyak berubah,20,23 sehingga pemilihan golongan ampisilin dan aminoglikosida
masih cukup baik dibandingkan sefalosporin karena dengan pemantauan
berkala dapat diputuskan apakah bayi tersebut diteruskan atau dihentikan
pengobatan antibiotiknya. Pemantauan pada bayi berisiko infeksi tersebut
adalah berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang termasuk penanda
infeksi. Penanda infeksi dapat diulang dalam 24-72 jam setelah pemeriksaan
pertama, sambil menunggu hasil biakan bakteri. Penggunaan sefalosporin
sebagai terapi empiris SNAD menyebabkan peningkatan resistensi bakteri
terhadap antibiotik. Pemberian antibiotik pada BBL yang berisiko menderita
SNAD tidak boleh ditunda. Pemilihan penisilin dan aminoglikosida di negara
berkembang masih relatif aman, mudah didapat dan murah.

Simpulan
yy World Health Organization masih menganjurkan pemberian golongan
penisilin dan aminoglikosida pada BBL sebagai terapi empiris SNAD
karena aman, berspektrum luas serta masih cukup efektif dan mudah
didapat.
yy RS Dr. Cipto Mangunkusumo masih menggunakan penisilin dan
aminoglikosida sebagai lini pertama karena 67 % bayi yang berisiko SNAD
dapat dihentikan pemberian antibiotikany dalam 24-72 jam berdasarkan
pemantauan klinis dan pemeriksaan penunjang.
yy Indonesia masih menggunakan golongan ampisilin dan aminoglikosida
karena berdasarkan penelitian di negara berkembang menunjukkan
bakteri penyebab sepsis pada 10 tahun terakhir belum berubah hingga
saat ini dan perlu terapi segera untuk mencegah kematian.
yy Sebaiknya setiap fasilitas yang mempunyai perawatan untuk bayi baru lahir
memiliki peta bakteri penyebab sepsis neonatorum disertai uji sensitifitas-
resistensinya sehingga pemilihan antibiotik lebih tepat.

156
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Daftar pustaka
1. Liu L, Johnson HL, Cousens S, Perin J, Scott S, Lawn JE, et al. Global , regional, and
national causes of child mortality : an updated systematic analysis for 2010 with
time trends since 2000. Lancet [Internet]. Elsevier Ltd; 2012;379(9832):2151–61.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(12)60560-1
2. WHO. Antibiotic Use for Sepsis in Neonates and Children : 2016 Evidence
Update. WHO. 2016;
3. Thaver D, Zaidi AKM. Burden of Neonatal Infections in Developing Countries.
Pediatr Infect Dis J. 2009;28(1):3–9.
4. Lawn JE, Cousens S, Zupan J. Neonatal Survival 1 4 million neonatal deaths :
When? Where? Why? Lancet. 2005;365:891–900.
5. Zea-vera A, Ochoa TJ. Challenges in the diagnosis and management of neonatal
sepsis. J Trop Pediatr. 2015;61:1–13.
6. WHO. Region Sepsis and Other Infectious Conditions of Newborn
[Internet]. 2015. Available from: (http://apps.who.int/gho/data/view.main.
CM3002015REG6-CH12)
7. Taylor P, Shah BA, Padbury JF. Neonatal sepsis An old problem with new insights.
Virulence. 2013;5(1):170–8.
8. WHO. Probability of Dying per 1000 live births data by WHO
region [Internet]. 2015. Available from: (http://apps.who.int/iris/
bitstream/10665/170250/1/9789240694439_eng.pdf)
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2010.
10. Simonsen KA, Anderson-berry AL, Delair SF, Davies HD. Early-Onset Neonatal
Sepsis. Clin Microbiol Rev. 2014;27(1):21–47.
11. Sivanandan S, Soraisham AS, Swarnam K. Choice and Duration of Antimicrobial
Therapy for Neonatal Sepsis and Meningitis. Hindawi Int J Pediatr. 2011;2011.
12. Mtitimila E, Cooke R. Antibiotic regimens for suspected early neonatal sepsis (
Review ). Cochrane. 2009;(4):1–10.
13. Dele H. Neonatal Sepsis. Clin Microbiol Rev. 2014;27(1):21–47.
14. Ramesh BY, Lewis LES, Vandana K. OF PEDIATRICS Bacterial isolates of early-
onset neonatal sepsis and their antibiotic susceptibility pattern between 1998 and
2004 : an audit from a center in India. Ital J Pediatr [Internet]. BioMed Central
Ltd; 2011;37(1):32. Available from: http://www.ijponline.net/content/37/1/32
15. RSCM. Bacterial and Antibiotics Susceptibility Profile at Ciptomangunkusumo
General Hospital January-June 2017. Jakarta: RSCM; 2017.
16. Smith PB, Jr DKB. Choosing the right empirical antibiotics for neonates. Arch
Dis Child Fetal Neonatal. 2010;1–3.
17. Gleason CA, Devaskar SU. Avery’s Disease Of The Newborn. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.
18. Pacifici GM. Clinical Pharmacology of Ampicillin in Neonates and Infants :
Effects and Pharmacokinetics. Int J Pediatr. 2017;5(12):6383–410.
19. Woldu MA, Tamiru MT, Berha AB, Haile DB. Challenges to the empiric
management of neonatal sepsis using gentamicin plus ampicillin . Curr Pediatr.
2016;20(1):288–93.

157
Pemberian Ampisilin dan Gentamisin Sebagai Terapi Sepsis Neonatorum

20. Downie L, Armiento R, Subhi R, Kelly J, Clifford V, Duke T. Community-acquired


neonatal and infant sepsis in developing countries : efficacy of WHO’ s currently
recommended antibiotics — systematic review and meta-analysis. Arch Dis
Child. 2013;98:146–54.
21. Clark RH, Bloom BT, Spitzer AR, Gerstmann DR. Empiric Use of Ampicilin
and Cefotaxime, Compared With Ampicillin and Gentamicin, for Neonates at
Risk for Sepsis Is Associated With an Increased Risk of Neonatal Death. AAP.
2006;117(1):67-74.
22. Bibi S, Christi MJ, Akram F, Pietroni MAC. Ampicillin and Gentamicin Are
a Useful First-line Combination for the Management of Sepsis in Under-
five Children at an Urban Hospital in Bangladesh. J Health Popul Nutr.
2012;30(4):487-490.
23. Maayan-metzger A, Barzilai A, Keller N, Kuint J. Are the “ Good Old ” Antibiotics
Still Appropriate for Early-Onset Neonatal Sepsis ? A 10 Year Survey. IMAJ.
2009;11(March):138–41.

158
Recommendation of Prophylaxix Antibiotic
for Surgical Intervention
Nina Dwi Putri

Tujuan:
1. Mengetahui definisi infeksi daerah operasi
2. Mengetahui prinsip pemberian antibiotik profilaksis pada
pembedahan anak
3. Mengetahui pilihan antibiotik berdasarkan jenis operasi

Di negara berkembang, sekitar 85% anak di usia 15 tahun diprediksi menderita


penyakit yang memerlukan terapi pembedahan.(1) Di Gambia, terdapat sekitar
11,3% pasien anak yang dirawat menjalani pembedahan.(2) Infeksi daerah
operasi (IDO) merupakan komplikasi operasi yang paling sering ditemukan dan
menyebabkan kesakitan dan kematian yang cukup banyak.(3) Angka kejadian
IDO di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan di negara maju dengan
insidens 11,8 (kisaran 1,2-23,6) per 100 prosedur pembedahan.(4) Walaupun
demikian, di Eropa dan Amerika Serikat, IDO tetap menempati posisi kedua
dari keseluruhan infeksi terkait rumah sakit (hospital associated infections /
HAI).(4) Di Indonesia, pada studi AMRIN, didapatkan angka IDO sebesar
1,7 dan 1,8%, walaupun pada studi ini disimpulkan bahwa angka ini tidak
mengambarkan keadaan yang sebenarnya.(5) Di negara maju seperti Amerika
Serikat, angka IDO pada anak berkisar antara 1-4%.(3) Di negara berkembang,
insidens IDO pada anak adalah 2,7%; (IK 95%: 6,7–20,3).(4) Di Indonesia,
IDO pada anak dilaporkan sebesar 7,2%.(6) Penggunaan antibiotik profilaksis
pembedahan (APP) terbukti efektif sebagai salah satu upaya untuk mengurangi
IDO disamping pencegahan lainnya. Akan tetapi, untuk menghindari efek
samping dan mencegah resistensi antibiotik, pemberian antibiotik profilaksis
pembedahan harus dilakukan dengan tepat dan bijaksana.

159
Penggunaan Antibiotik Profilaksis untuk Pencegahan Infeksi Daerah Operasi pada Anak

Definisi dan patogeneis terjadinya infeksi daerah operasi


(IDO)
Infeksi daerah operasi adalah infeksi yang terjadi pada daerah insisi atau
organ atau rongga setelah tindakan pembedahan.(7,8) Infeksi daerah operasi
menyebabkan lama rawat menjadi panjang, angka kesakitan dan risiko
kematian lebih tinggi. Selain itu IDO menyebabkan biaya perawatan menjadi
lebih besar yaitu menambah sekitar 2 miliar dolar Amerika per tahunnya. Lama
perawatan pun menjadi lebih panjang yaitu menghabiskan hampir 4 juta hari
perawatan per tahun. Surveilans aktif IDO ditujukan pada prosedur-prosedur
yang berisiko tinggi dan berjumlah besar.(9)
Kejadian IDO sangat bergantung dengan terjadinya kontaminasi pada
daerah luka pada akhir prosedur pembedahan. Tidak hanya itu, terjadinya
IDO juga terkait dengan patogenisitas dan inokulasi mikroorganisme serta
keseimbangan antara respons imun host dan mikroorganisme tersebut.
Mikroorganisme yang menyebabkan IDO pada umumnya berasal dari pasien
(infeksi endogen) yang berasal dari kulit maupun dari rongga yang terbuka.
Infeksi eksogen dapat terjadi ketika terdapat kontaminasi mikroorganisme di
alat operasi, kontaminasi daerah operasi dari lingkungan kamar operasi, atau
luka yang terbuka terkontaminasi lingkungan sekitar atau mikroorganisme
sesaat sebelum luka ditutup. Infeksi yang terjadi dari sumber yang jauh seperti
penyebaran secara hematogen amat jarang terjadi, contohnya adalah pada
pasien yang menggunakan implant.(10) Berdasarkan pathogenesis terjadinya
IDO, pencegahan IDO ditujukan untuk mengurangi jumlah organisme yang
masuk ke daerah operasi melalui beberapa cara seperti: (1) menghilangkan
mikroorganisme yang secara normal berkolonisasi di kulit; (2) mencegah
tumbuhnya mikroorganisme pada daerah operasi misalnya dengan menggunakan
antibiotik profilaksis; (3) meningkatkan pertahanan tubuh host terhadap infeksi,
misalnya dengan mengurangi kerusakan jaringan dan menjaga suhu tubuh agar
tetap normal selama operasi; (4) mencegah masuknya mikroorganisme ke daerah
insisi pasca operasi, misalnya dengan menggunakan dressing luka.(10)

Kriteria diagnosis dan jenis infeksi daerah operasi
Untuk kepentingan surveilans, definisi IDO yang saat ini masih digunakan di
Indonesia adalah mengikuti definisi IDO yang dikeluarkan oleh CDC, yaitu
infeksi yang terkait dengan prosedur operasi yang terjadi saat atau berdekatan
dengan prosedur bedah, dalam kurun waktu 30 hari pasca pembedahan atau
90 hari jika menggunakan implantasi bedah. Infeksi daerah operasi umunya
terjadi secara lokal di lokasi insisi namun dapat juga meluas ke struktur lain
yang berdekatan.(11)

160
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Jenis infeksi IDO berdasarkan lokasi infeksi yaitu:(7), 12) Infeksi daerah operasi
superfisial adalah yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari pasca operasi DAN
infeksi melibatkan hanya kulit dan jaringan subkutan dari daerah insisi DAN
disertai setidak-tidaknya satu dari gejala di bawah ini yaitu:
yy Pus dari luka insisi superfisial
yy Teridentifikasi organisme penyebab di spesimen yang diambil dari luka
superfisial atau jaringan subkutan melalui pemeriksaan mikrobiologi, baik
dengan kultur atau non kultur untuk kepentingan diagnosis klinis dan
tata laksana (bukan untuk tujuan surveilans aktif)
yy Diagnosis IDO superfisial oleh dokter bedah atau dokter penanggung
jawab pasien (DPJP)

1. Infeksi daerah operasi dalam adalah infeksi yang terjadi dalam kurun waktu
30 atau 90 hari pasca pembedahan DAN melibatkan jaringan lunak dalam
di area insisi seperti fasia, lapisan otot) DAN setidak-tidaknya disertai
salah satu gejala dibawah ini:
–– Pus dari luka insisi dalam
–– Luka insisi dalam yang terjadi spontan atau dibuka dengan sengaja
atau diaspirasi oleh dokter bedah atau DPJP
DAN
Teridentifikasi organisme di spesimen yang diambil dari luka superfisial
atau jaringan subkutan melalui pemeriksaan mikrobiologi metode
kultur atau non kultur untuk kepentingan diagnosis klinis dan tata
laksana (bukan untuk tujuan surveilans aktif)
DAN
Pasien mengalami setidaknya SATU dari gejala berikut: (1) Demam
(>38°C); (2) Rasa nyeri atau nyeri tekan lokal; (3) Abses atau bukti
infeksi lain dari luka insisi dalam yang ditemukan melalui pemeriksaan
gross anatomi, histopatologi dan pencitraan.
2. Infeksi daerah operasi organ atau rongga tubuh adalah infeksi yang terjadi
dalam kurun waktu 30 atau 90 hari pasca pembedahan DAN infeksi
melibatkan bagian tubuh yang lebih dalam dari fasia dan lapisan otot
yang dibuka atau dimanipulasi selama prosedur pembedahan DAN pasien
disertai setidaknya salah satu dari gejala dibawah ini:
–– Pus yang keluar melalui drain yang diletakkan di organ atau rongga
tubuh seperti sistem drain closed suction, drain terbuka, drain tabung
T, drainase dengan panduan CT-scan

161
Penggunaan Antibiotik Profilaksis untuk Pencegahan Infeksi Daerah Operasi pada Anak

–– Teridentifikasi organisme di spesimen yang diambil dari luka superfisial


atau jaringan subkutan melalui pemeriksaan mikrobiologi metode
kultur atau non kultur untuk kepentingan diagnosis klinis dan tata
laksana (bukan untuk tujuan surveilans aktif)
–– Abses atau bukti infeksi lain yang mengenai organ atau rongga dalam
yang ditemukan melalui pemeriksaan anatomi, histopatologi dan
pencitraan.
DAN
Memenuhi setidaknya kriteria organ atau rongga spesifik dibawah ini:
ŠŠ Osteomielitis
ŠŠ Abses payudara atau mastitis
ŠŠ Miokarditis atau pericarditis
ŠŠ Rongga diskus
ŠŠ Telinga, mastoid
ŠŠ Endometritis
ŠŠ Saluran cerna
ŠŠ Intraabdomen lain
ŠŠ Intrakranial, abses otak atau dura
ŠŠ Sendi atau bursa
ŠŠ Infeksi lain di saluran napas bawah
ŠŠ Mediastinitis
ŠŠ Meningitis atau ventrikulitis
ŠŠ Rongga mulut (mulut, lidah, gusi)
ŠŠ Infeksi lain di saluran reproduksi pria dan wanita
ŠŠ Infeksi periprostesis sendi
ŠŠ Abses spinal tanpa meningitis
ŠŠ Sinusitis
ŠŠ Saluran napas atas
ŠŠ Saluran kemih
ŠŠ Infeksi arteri atau vena
ŠŠ Vaginal cuff

162
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Berdasarkan kriteria IDO di atas, durasi pemantauan surveilans IDO


dilakukan berdasarkan jenis operasi (Tabel 1.).(7)

Tabel 1. Pembagian durasi surveilans IDO berdasarkan jenis operasi(7)


Surveilans 30 hari Surveilans 90 hari
Perbaikan aneurisma aorta abdominalis Operasi payudara
Amputasi tungkai Operasi jantung
Operasi apendiks Bypass graft arteri coroner dengan lokasi insisi dada dan donor
Pemasangan shunt dialisis Bypass graft arteri coroner dengan lokasi insisi dada saja
Operasi kandung empedu, hati dan pankreas Kraniotomi
Ligasi arteri karotis Fusi spinal
Operasi kandung empedu Reduksi terbuka fraktur
Laminektomi Herniorafi
Transplantasi hati Prostesis pinggul
Operasi leher Prostesis lutut
Operasi ginjal Operasi pacemaker
Operasi ovarium Operasi bypass pembuluh darah perifer
Operasi prostat Shunt ventrikel
Operasi rektum
Operasi usus halus
Operasi lien
Operasi toraks
Operasi tiroid dan paratiroid
Histrektomi vagina
Laparatomi eksplorasi

Antibiotik profilaksis pembedahan (APP) anak


Penggunaan antibiotik profilaksis pembedahan telah terbukti efektif dan memiliki
dampak yang cukup besar untuk mengurangi IDO. Akan tetapi, penggunaan
APP hanya merupakan salah satu bagian kecil dari pencegahan IDO pada anak.
Banyak faktor lain yang juga penting untuk pencegahan IDO, seperti optimalisasi
keadaan preoperatif dan penyakit penyerta pasien, pengendalian lingkungan
ruang operasi, pembersihan kulit yang tepat serta teknik pembedahan yang
aseptik.(13) Walaupun penggunaan APP terbukti efektif mencegah IDO, namun
penggunaan APP ini juga berkontribusi pada jumlah antibiotik yang digunakan
di rumah sakit, resistensi antibiotik dan biaya perawatan. Penggunaan APP yang
tidak tepat menyebabkan efek samping seperti infeksi karena Clostridium difficile
serta meningkatnya risiko HAIs yang terjadi tidak hanya pada pasien tapi pada
pasien lainnya karena terjadi peningkatan resistensi antibiotik. Untuk mencegah
hal makan penting bagi klinisi untuk dapat menggunakan APP secara tepat dan
bijaksana.(14) Data penggunaan antibiotik proflikasis pembedahan pada anak
tidak sebanyak pada dewasa, namun prinsip pemilihan dan penggunaannya
tidak berbeda dengan dewasa.(15)

163
Penggunaan Antibiotik Profilaksis untuk Pencegahan Infeksi Daerah Operasi pada Anak

Prinsip pemberian antibiotik profilaksis pembedahan


pada anak
Prinsip pemberian APP pada anak meliputi: (1) Penentuan indikasi; (2)
Pemilihan jenis antibiotik, dosis, waktu pemberian, dan pengulangan dosis
intraoperatif; dan (3) Durasi profilaksis.(15, 16) Antibiotik profilaksis pembedahan
adalah pemberian antibiotik jangka pendek sebelum pasien dilakukan prosedur
pembedahan. Jika terdapat tanda-tanda infeksi, maka pemberian antibiotik
bukan lagi bertujuan sebagai profilaksis namun bertujuan untuk terapi.
Keputusan untuk memulai antibiotik harus mempertimbangkan risiko dan
manfaatnya.(17)

Indikasi antibiotik profilaksis pembedahan pada anak


Indikasi pemberian APP pada anak didasarkan pada kategori jenis luka
yaitu:(13,15)
yy Luka bersih yaitu luka operasi yang tidak terinfeksi dan tidak ada inflamasi
akut. Operasi sifatnya elektif bukan gawat darurat, ditutup primer, operasi
dengan teknik aseptik dan tidak memasuki saluran napas, cerna, bilier,
urogenital. Jika menggunakan drain, digunakan sistem tertutup. Risiko
IDO pada luka jenis ini rendah sekitar 1-2%, sehingga secara umum
tidak memerlukan pemberian APP kecuali pada keadaan risiko infeksi
meningkat, seperti pada: (1) Implantasi materi prostesis intravaskular
(pemasangan prostesis katup jantung) atau prostesis pada sendi; (2)
Operasi jantung terbuka untuk memperbaiki struktur; (3) Eksplorasi
rongga tubuh pada neonatus; (4) Sebagian besar prosedur bedah saraf.
Contoh operasi luka bersih yang tidak memerlukan APP adalah trauma
tumpul abdomen yang tidak mengenai saluran cerna dan urogenital.
yy Luka bersih terkontaminasi adalah operasi urgen dan emergensi yang
bersih atau jika operasi elektif membuka saluran napas, cerna, bilier dan
urogenital dalam keadaan terencana tanpa kontaminasi yang signifikan.
Tidak ada bukti infeksi dan dilakukan secara aseptik. Risiko IDO pada
kategori ini adalah 3-15%. Pemberian APP terbatas pada prosedur
yang diperkirakan terdapat kontaminasi luka yang bermakna. Contoh
pemberian profilaksis pada kategori ini adalah (1) Semua prosedur yang
melibatkan saluran cerna pada pasien yang mendapatkan terapi antagonis
reseptor H2 dan proton pump inhibitor (PPI); (2) pasien terdapat benda
asing permanen; (3) operasi saluran bilier tertentu (obstruksi common bile
duct karena batu); (4) pembedahan saluran kemih atau instrumentasi pada
keadaan terdapat bakteriuria atau uropati obstruktif.

164
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

yy Luka terkontaminasi adalah luka yang sebelumnya merupakan jaringan


steril diperkirakan terkontaminasi dengan banyak kuman seperti pada
luka terbuka baru, luka yang tidak dilakukan dengan teknik aseptik atau
terdapat kebocoran nyata dari saluran cerna, rongga viseral terpapar saat
lahir pada kelainan kongenital, luka tusuk kurang dari 4 jam dan insisi
pada daerah inflamasi nonpurulen. Risiko IDO pada jenis luka ini adalah
15%. Pemberian APP diperuntukan pada pasien dengan inflamasi akut
nonpurulen yang masih terbatas pada rongga yang terinflamasi (seperti
pada apendiks nonperforasi atau kolesistitis). Pada luka yang sudah
terkontaminasi bakteri dan berisiko untuk terjadi inflamasi dan infeksi,
pemberian antibiotik ditujukan untuk terapi bukan untuk profilaksis.
yy Luka kotor dan terinfeksi meliputi trauma tusuk lebih dari 4 jam, luka
dengan jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi atau terdapat perforasi
visceral. Risiko IDO pada jenis luka ini adalah 40%. Antibiotik ditujukan
untuk terapi bukan profilaksis. Contoh luka jenis ini adalah pembedahan
pada perforasi saluran abdomen (apendiks perforasi), fraktur kompleks,
laserasi karena gigitan manusia dan hewan, dan operasi dengan teknik
tidak steril.

Mikrobiologi
Mikroorganisme penyebab IDO pada prosedur bersih adalah flora normal kulit
seperti spesies Streptoccoccus, Staphylococcus, Coagulase negative staphylococcus.
Pada prosedur bersih terkontaminasi, mikroorganisme penyebab meliputi flora
normal kulit ditambah bakteri batang gram negatif, dan enterococcus. Ketika
prosedur pembedahan melibatkan saluran, kemungkinan mikroorganisme
penyebab berasal dari flora endogen saluran tersebut atau permukaan mukosa
terdekat yang biasanya bersifat polimikrobial.(18)

Pemilihan antibiotik profilaksis pembedahan anak


Tujuan pemberian APP adalah untuk memastikan bahwa kadar antibiotik pada
serum dan jaringan tercapai saat insisi dan selama operasi.(19) Pemilihan APP
harus mempertimbangkan keefektifan terhadap mikroorganisme yang dituju,
kemampuan untuk mencapai kadar yang cukup di jaringan, efek samping
minimal, relatif murah, dan kemungkinan kecil untuk menyebabkan perubahan
resistensi atau virulensi kuman.(13)
Panduan pemilihan APP pada anak tidak berbeda dengan dewasa, kecuali
dosis. Secara umum antibiotik yang digunakan adalah sefalosporin generasi
I dan II, dengan Vancomycin sebagai alternatif dan hanya digunakan untuk
pasien yang alergi antibiotik golongan beta lactam atau terdapat kolonisasi
MRSA. Cefazolin digunakan pada sebagian besar pembedahan. Cefazolin

165
Penggunaan Antibiotik Profilaksis untuk Pencegahan Infeksi Daerah Operasi pada Anak

memiliki waktu kerja yang cukup, spektrum antibiotiknya pun mencakup


bakteri yang umum pada pembedahan, cukup aman dan harganya murah.
Cefazolin aktif membunuh streptococcus, methicillin-susceptible staphylococci
dan beberapa bakteri gram negatif. Sefalosporin generasi kedua seperti
Cefuroxime dapat digunakan sebagai alternative karena memiliki cakupan
bakteri yang lebih luas dari Cefazolin. Fluorokuinolon tidak digunakan rutin
untuk APP. Pemilihan APP pada pasien yang diketahui sudah memiliki
kolonisasi mikroorganisme resisten antibiotik sangat individual berdasarkan
pola kepekaan antibiotik pasien tersebut. Rekomendasi jenis pilihan antibiotik
berdasarkan jenis pembedahan dirangkum pada Tabel 2.(15,19)
Tabel 2. Jenis antibiotik berdasarkan jenis pembedahan(15,19)
Jenis Operasi Jenis Patogen Jenis Antibiotik
Neonatus (usia <72 jam) – semua Streptococcus grup B, Batang Ampicillin
prosedur operasi besar Gram-negatif enterik, Enterococcus, DAN
Staphylococcus koagulase-negatif Gentamicin
Neonatus (usia >72 jam) – semua
Profilaksis sesuai bakteri koloni, bakteri HAI dan lokasi operasi
prosedur operasi besar
Jantung
(operasi jantung, katup jantung Staphylococcus epidermidis, Cefazolin ATAU (Bila curiga MRSA)
prostesis, pacu jantung, alat bantu Staphylococcus aureus, Vancomycin
ventrikular lainnya, PDA, ASD, VSD) Corynebacterium sp, Batang Gram-
negatif enterik
Gastrointestinal
Esofagus dan gastroduodenum Batang Gram-negatif enterik, Coccus Cefazolin (hanya risiko tinggia)
(pemasangan PEG, revisi, konversi Gram-positif
dari selang makan lain atau kondisi
risiko tinggi

Traktus biliaris (lap kolesistektomi) Batang Gram-negatif enterik, Cefazolinb


Enterococcus

Kolorektalc atau appendektomi Batang Gram-negatif enterik, Metronidazole


(tanpa komplikasi, tidak perforasi) anaerob (Bacteroides sp) DAN Gentamicin
ATAU
Cefazolin DAN Metronidazole
ATAU
Ceftriaxone DAN
Metronidazole

Ruptur viscus (terapi, bukan Batang Gram-negatif enterik, Ceftriaxon DAN Metronidazole
profilaksis) enterococcus anaerob (Bacteroides ATAU
sp) Gentamicin DAN Metronidazole
DAN Ampicillin
ATAU
Meropenem
ATAU
Regimen lain untuk appendisitis
dengan komplikasi

Genitourinaria Batang Gram-negatif enterik, Cefazolin ATAU


enterococcus Ampicillin DAN
Gentamicin (risiko tinggid)

166
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Jenis Operasi Jenis Patogen Jenis Antibiotik


Kepala dan Leher Anaerob, Batang Gram-negatif Cefazolin DAN Metronidazole
(insisi melalui rongga mulut atau enterik, S aureus
mukosa faring)
Bedah Saraf S epidermidis, S aureus Cefazolin ATAU (bila curiga MRSA)
(kraniotomi, shunt baclofen Vancomycin
intratekal atau penempatan shunt
ventrikular)
Mata S epidermidis, S aureus, Gentamicin, ciprofloxacin,
Streptococcus, Batang Gram-negatif ofloxacin, moxifloxacin, tobramycin
enterik, Pseudomonas sp ATAU
Neomycin, gramicidin, polymyxin B
ATAU
Cefazolin
Orthopaedi S epidermidis, S aureus Cefazolin
(fiksasi interna fraktur, implantasi ATAU
material termasuk prostesis sendi (bila curiga MRSA)
dan prosedur spinal dengan atau Vancomycin
tanpa instrumentasi)

Luka traumatik (selain karena S aureus, Streptococcus grup A, Cefazolin


gigitan) Clostridium sp
Thorax S epidermidis, S aureus, Cefazolin ATAU
(selain operasi jantung) Streptococcus, Batang Gram-negatif (bila curiga MRSA) Vancomycin
enterik
Vaskular S aureus, S. Epidermidis, Batang Cefazolin ATAU (bila curiga MRSA)
Amputasi kaki, pemasangan akses Gram-negatif enterik Vancomycin
HD

Keterangan:
a. Risiko tinggi saluran cerna: obstruksi esofagus, penggunaan antagonis reseptor H2 atau PPI atau
motilitas usus menurun
b. Kolesistitis akut, gangguan kandung empedu, obstructive jaundice, batu kandung empedu
c. Prosedur kolorektal menggunakan antibiotik profilaksis oral eritromisin atau neomisin atau
metronidazol
d. Risiko tinggi saluran kemih: kultur urin positif atau tidak dilakukan, kateter perioperatif, biopsi
transrektal prostesis, pemasangan prostesis

Prosedur pemberian APP


Dosis antibiotik pada anak menggunakan dosis per kgBB. Pada anak dengan
berat badan lebih dari 40 kg, umumnya dosis akan melebihi dosis dewasa
sehingga dalam keadaan seperti ini, dosis diberikan sesuai dosis dewasa.(19,20)
Dosis APP pada anak dirangkum pada Tabel 3.(16,19)
Waktu optimal pemberian APP direkomendasikan dalam kurun waktu
60 menit atau kurang dari 60 menit sebelum insisi, kecuali Vancomycin
dan Fluroquinolone yang diberikan 120 menit sebelum insisi.(14,16,20) Pada
suatu penelitian, risiko IDO pada pemberian APP 2-24 jam sebelum insisi
adalah sebesar 3,8%, sedangkan jika diberikan 0-2 jam sebelum insisi, risiko

167
Penggunaan Antibiotik Profilaksis untuk Pencegahan Infeksi Daerah Operasi pada Anak

menurun menjadi 0,6%. Pemberian APP dalam kurun waktu 3 jam pasca insisi
mengurangi risiko IDO menjadi 2,1%, sedangkan pemberian APP sesudah 3
jam pasca insisi mengurangi risiko IDO menjadi sebesar 5,8%.(21)
Secara umum pemberian APP cukup satu kali. Untuk memastikan
kadar antibiotik pada serum dan jaringan cukup, pengulangan dosis APP
diperlukan jika durasi operasi melebihi dua kali waktu paruh antibiotik atau
terdapat perdarahan massif (>1500 mL pada dewasa). Pengulangan APP juga
direkomendasikan pada keadaan yang menyebabkan waktu paruh antibiotik
memendek seperti pada pasien yang mengalami luka bakar masif. Pengulangan
dosis APP tidak diperlukan pada pasien yang mengalami pemanjangan waktu
paruh antibiotik seperti pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada
operasi bersih dan bersih terkontaminasi, tidak direkomendasikan untuk
memberikan tambahan APP setelah luka insisi bedah ditutup di kamar
operasi walaupun terdapat drain dan menggunakan prostesis pada sendi.(15,16,20)
Pemberian antibiotik lebih dari 24 jam meningkatkan risiko terjadinya infeksi
Clostridium difficile (Rasio Odds 3,74).(22) Pemberian APP 24-48 jam hanya
diperbolehkan pada keadaan khusus seperti pemasangan shunt internal dan
operasi cardiotoraks (extended prophylaxis).(20)

Tabel 3. Rekomendasi dosis dan jarak pengulangan dosis(16,19)


Antibiotik Dosis anak Lama Waktu Durasi
pemberian paruh pengulangan
Ampicillin/ 50 mg/kg (maks 2g) komponen ampisilin 30 menit 0.8–1.3 jam tiap 2 jam
Sulbactam
Cefazolin 30 mg/kg (maks 2g, 3g untuk pasien BB≥ 30 menit 1,2–2,2 jam tiap 4 jam
120 kg)
Cefuroxime 50 mg/kg (maks 1,5g) 30 menit 1-2 jam tiap 4 jam
Ceftriaxone 50–75 mg/kg, (maks 2g) 60 menit 5,4–10,9 jam NA
Cefotaxim 50 mg/kg (maks 1g) 30 menit 0,9–1,7 jam tiap 4 jam
Cefepime 50 mg/kg (maks 2g) 30 menit NA Tiap 4 jam
Clindamycin 10 mg/kg (maks 900 mg) 30 menit 2-4 jam Tiap 6 jam
Gentamicin 2.5 mg/kg (maks 5 mg/kg) dosis tunggal 30 menit 2-3 jam Tiap 8 jam
Metronidazole IV: 15 mg/kg (maks 500 mg), neonatus BB< 30 menit 6-8 jam Tiap 6 jam
1200 g 7,5 mg/kg, dosis tunggal 6-10 jam NA
PO: 15 mg/kg (maks 1 g)
Vancomycin 15 mg/kg (maks 15 mg/kg) 60 menit 4-8 jam Tiap 6 jam

Simpulan
Pemilihan dan pemberian APP yang tepat dan bijaksana dapat menurunkan
risiko IDO dan mengurangi risiko terjadinya efek samping dan resistensi
antibiotik.

168
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Daftar pustaka
1. Butler EK, Tran TM, Nagarajan N, Canner J, Fuller AT, Kushner A, et al.
Epidemiology of pediatric surgical needs in low-income countries. PLoS One.
2017;12(3):1–9.
2. Bickler SW, Sanno-Duanda B. Epidemiology of paediatric surgical admissions
to a government referral hospital in the Gambia. Bull World Health Organ.
2000;78(11):1330–6.
3. Sandora TJ, Fung M, Melvin P, Graham DA, Rangel SJ. National variability
and appropriateness of surgical antibiotic prophylaxis in US children’s hospitals.
JAMA Pediatr. 2016;170(6):570–6.
4. Leaper DJ, Edmiston CE. World Health Organization: global guidelines for the
prevention of surgical site infection. J Hosp Infect [Internet]. 2017;95(2):135–6.
5. Duerink DO, Roeshadi D, Wahjono H, Lestari ES, Hadi U, Wille JC, et al.
Surveillance of healthcare-associated infections in Indonesian hospitals. J Hosp
Infect. 2006;62(2):219–29.
6. Haryanti L, Pudjiadi AH, Ifran EKB, Thayeb A. Prevalens dan Faktor Risiko
Infeksi Luka Operasi Pasca-bedah. Sari Pediatr. 2013;15(4):207–12.
7. National Healthcare Safety Network,Centers for Disease Control and Prevention.
Surgical site infection (SSI) event. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/nhsn /pdfs/
pscmanual/9pscssicurrent.pdf. Diakses tanggal: 14 April 2018.
8. Berríos-Torres SI, Umscheid CA, Bratzler DW, Leas B, Stone EC, Kelz RR, et
al. Centers for Disease Control and Prevention Guideline for the Prevention of
Surgical Site Infection, 2017. JAMA Surg [Internet]. 2017;152(8):784.
9. Salkind AR, Rao KC. Antibiotic Prophylaxis to Prevent Surgical Site Infection.
Am Fam Physician. 2011;585–90.
10. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health. Surgical Site
Infection: Prevention and Treatment of Surgical Site Infection. Natl Inst Heal
Care Excell - Clin Guidel [Internet]. 2008;74(13):168.
11. The Society for Hospital Epidemiology of America, The Association for
Practitioners in Infection Control, The Centers for Disease Control, The
Surgical Infection Society. Consensus paper on the surveillance of surgical
wound infections. Infect Control Hosp Epidemiol Off J Soc Hosp Epidemiol Am
[Internet]. 1992;13(10):599–605.
12. Horan TC, Gaynes RP, Martone WJ, Jarvis WR, Emori TGR. CDC definitions
of nosocomial surgical site infections,1992: a modification of CDC definitions
of surgical wound infections. Infect Control Hosp Epidemiol [Internet].
1992;13(10):606–8.
13. Woods RK, Ph D, Dellinger EP, Medical W. Current Guidelines for Antibiotic
Prophylaxis of Surgical Wounds. 1998;57(11):1–6.
14. Zweigner J, Magiorakos A-P, Haag L-M, Gebhardt S, Meyer E, Gastmeier P.
Systematic review and evidence- based guidance on perioperative antibiotic
prophylaxis [Internet]. 2013. 1-53 p.

169
Penggunaan Antibiotik Profilaksis untuk Pencegahan Infeksi Daerah Operasi pada Anak

15. Kimberlin DW, Brady MT, Jackson MA, Long SS. Red Book, 2015 Report of the
Committee on Infectious Diseases, 30th Edition. 30th ed. AAP; 2015. h627-38.
16. Dale W, Patchen E, Keith M, Trish M, Paul G. Clinical Practice Guidelines
for Antimicrobial Prophylaxis in Surgery. ASHP Ther Guidel [Internet].
2013;14(1):600–82.
17. Setiawan B. The role of prophylactic antibiotics in preventing perioperative
infection. Acta Med Indones [Internet]. 2011;43:262–6.
18. Hidron AI, Edwards JR, Patel J, Horan TC, Sievert DM, Pollock DA, et al.
Antimicrobial-Resistant Pathogens Associated With Healthcare-Associated
Infections: Annual Summary of Data Reported to the National Healthcare Safety
Network at the Centers for Disease Control and Prevention, 2006–2007. Infect
Control Hosp Epidemiol [Internet]. 2008;29(11):996–1011.
19. Cedure PRO. Antibiotic prophylaxis for surgery guideline. Neurosurgery.
2010;1–4.
20. Bratzler DW, Dellinger EP, Olsen KM, Perl TM, Auwaerter PG, Bolon MK, et al.
Clinical practice guidelines for antimicrobial prophylaxis in surgery. Am J Heal
Pharm. 2013;70(3):195–283.
21. Bratzler DW, Dellinger EP, Olsen KM, Perl TM, Auwaerter PG, Bolon MK, et
al. Clinical Practice Guidelines for Antimicrobial Prophylaxis in Surgery. Surg
Infect (Larchmt) [Internet]. 2013 Feb;14(1):73–156.
22. Bernatz JT, Safdar N, Anderson PA. Antibiotic Overuse is a Major Risk Factor
for Clostridium dif fi cile Infection in Surgical Patients. 2017;38(10):8–11.

170
Urinary Tract Infection Prophylaxis:
Cost Effectiveness
Sudung O. Pardede

Tujuan:
1. Meningkatkan pemahaman tentang manfaat dan indikasi
pemberian antibiotik profilaksis pada anak dengan ISK.

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit infeksi yang sering pada
anak di samping infeksi saluran nafas dan infeksi saluran cerna. Infeksi
saluran kemih dapat dibedakan menjadi ISK atas dan ISK bawah. Pada
ISK atas atau pielonefritis, bakteri naik ke ginjal melalui saluran kemih,
menyebabkan inflamasi dan kerusakan ginjal, atau pembentukan jaringan
parut. Infeksi saluran kemih dapat menimbulkan komplikasi berupa urosepsis
atau acute kidney injury yang dapat bersifat fatal.1,2 Selain itu, ISK berulang
akan menyebabkan masalah ketidak-nyamanan pada anak, gangguan aktivitas
dan kehidupan sehari-hari, beban psikologis pada anak dan keluarga, serta
masalah biaya.2,3
Untuk mencegah berulangnya ISK, dapat dilakukan berbagai upaya
seperti memperbaiki keadaan umum termasuk mengatasi masalah gizi,
memperhatikan kebersihan daerah perineum, mendeteksi kelainan anatomi
atau fungsional saluran kemih dan mengatasinya, menghilangkan faktor risiko,
dan pemberian profilaksis.4 Di samping itu koreksi bedah terhadap kelainan
struktural seperti obstruksi, refluks, ureterokel dan ureter dupleks yang disertai
obstruksi penting untuk mencegah infeksi berulang.5 .

Komplikasi ISK
Komplikasi ISK berulang pada anak dapat berupa acute kidney injury, urosepsis,
hipertensi dan dalam jangka lama menyebabkan pembentukan jaringan parut
di ginjal dan penyakit ginjal kronik stadium akhir yang memerlukan tindakan
dialisis atau transplantasi ginjal.2,3
Insidens pembentukan jaringan parut ginjal akan meningkat pada setiap
episode pielonefritis.6 Kerusakan ginjal pada anak setelah pielonefritis akut

171
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness

terdapat pada 5-20% anak berdasarkan deteksi dengan pielografi dan angka ini
meningkat menjadi 40% berdasarkan pemeriksaan skintigafi DMSA (99TmTc-
dimercapto succinic acid).7 Pada penelitian The RIVUR, insidens pembentukan
jaringan parut baru (new renal scars) sama pada anak dengan pemberian
antibiotik profilaksis dengan tanpa antibiotik profilaksis (8,2% vs. 8,4% ).8

Faktor risiko kekambuhan ISK


Setelah episode pertama, ISK berulang dapat terjadi pada 30-40% anak
terutama pada anak dengan kelainan saluran kemih.2 Pada penelitian kohort
terhadap 262 anak usia kurang dari 1 tahun yang diterapi sebagai ISK pertama
kali, dalam pengamatan 3 tahun setelah pengobatan didapatkan angka
kekambuhan 35% pada anak laki-laki dan 32% pada anak perempuan.9 Faktor
risiko kekambuhan ISK tergantung banyak faktor, antara lain mekanisme
pertahanan defektif sel uroepitel, disfungsi kandung kemih (neurogenik atau
non neurogenik), refluks vesiko-ureter (RVU), obstruksi saluran kemih atau
uropati obstruktif, divertikulum kandung kemih, usia terutama < 6 bulan,
jenis kelamin perempuan.2,6 Pada anak dengan RVU dilatasi, terdapat kaitan
kuat antara berulangnya ISK demam atau pielonefritis dengan jaringan parut.1

Antibakteri profilaksis
Antimikroba profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama telah
digunakan secara tradisional terhadap pasien yang rentan dengan berulangnya
pielonefritis akut atau ISK bawah.10 Tujuan pemberian antibiotik profilaksis
adalah mempertahankan urin tetap dalam keadaan steril, mencegah ISK
berulang, dan mencegah kerusakan ginjal.8,10,11
Sejak diketahui bahwa sebagian besar RVU dapat sembuh spontan,
banyak peneliti merekomendasikan terapi konservatif seperti antibiotik
profilaksis berkesinambungan, sebagai opsi terapi inisial pada anak, dan
mempersiapkan anak untuk intervensi bedah jika antibiotik profilaksis
tidak efektif mencegah ISK.11 Namun, efikasi antibiotik profilaksis sering
dipertanyakan dan dapat meningkatkan risiko resistensi bakteri terhadap
antibiotik, sehingga para klinikus perlu menentukan apakah pasien perlu
mendapat antibiotik profilaksis.10
Pada makalah Beetz di jurnal Pediatric Nephrology tahun 2006 disebutkan
bahwa pada tahun 1941, untuk pertama kali Helmholtz merekomendasikan
pemberian sulfatiazol dosis rendah jangka lama untuk ISK kronik. Beberapa
tahun kemudian, Stansfiled dan Webb (1954) serta Marshal dan Johnson
(1956) melaporkan manfaat pemberian terapi antimikroba jangka lama,
terutama nitrofurantoin, pada bayi dan anak usia muda.6

172
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Antibiotik profilaksis untuk ISK digunakan secara empirik pada tahun


1950-an, dan belum ada penelitian controlled hingga tahun 1960-an.12
Pada tahun 1965-an, antibiotik profilaksis diperkenalkan sebagai ukuran
terapi mencegah ISK berulang pada anak.13 Pada tahun 1976, Smellie dkk
melaporkan penurunan kejadian ISK berulang selama pemberian trimetoprim-
sulfametoksazol pada anak dengan ISK simtomatik.14 Pada tahun 1977, Lohr
dkk. melaporkan hasil penelitian terhadap 18 anak usia 3-13 tahun yang dibagi
menjadi kelompok yang mendapat antibiotik profilaksis dan plasebo. Hasilnya
menunjukkan bahwa dalam 1 tahun pengamatan, terjadi 35 episode ISK pada
kelompok yang mendapat plasebo dan 2 episode pada kelompok yang mendapat
profilaksis dan perbedaan ini bermakna dengan p<0,01.15 Pada tahun 1978,
Smellie dkk melaporkan penelitian randomized controlled trial pada 45 anak
dengan ISK akut tanpa kelainan saluran kemih berdasakan pemeriksaan
radiologi. Setelah mendapat terapi ko-trimoksazol, pasien dibagi menjadi dua
kelompok yaitu yang mendapat ko-trimoksazol atau nitrofurantoin profilaksis
dosis rendah dan yang tidak mendapat profilaksis selama 12 bulan. Hasilnya
menunjukkan bahwa tidak seorang pun di antara 25 pasien yang mendapat
profilaksis mengalami ISK berulang, sedangkan pada kelompok yang tidak
mendapat profilaksis didapatkan 11 dari 22 pasien mengalami minimal satu
kali ISK simtomatik. Dua belas bulan setelah antibiotik profilaksis dihentikan,
8 (32%) di antara pasien yang mendapat profilaksis dan 13 (64%) di antara
yang tidak mendapat profilaksis mengalami ISK berulang.16 Smellie dkk.
(1982) merekomendasikan pemberian antibiotik profilaksis pada anak yang
mengalami ISK berulang terutama yang menyebabkan sakit berat atau absen
dari sekolah, serta pada anak dengan kemungkinan ISK berulang terutama
dengan RVU, dengan atau tanpa jaringan parut ginjal.17
Pada tahun 1992, The International Reflux Study of Children melakukan
penelitian untuk membandingkan efektivitas pemberian antibiotik profilaksis
jangka lama dengan tindakan operasi pada anak dengan RVU derajat tinggi
untuk mencegah penurunan fungsi ginjal. Dilakukan evaluasi selama 10
tahun, hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada kedua
kelompok tersebut dalam hal terjadinya parut ginjal dan komplikasinya. Hal
ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis efektif pada RVU
derajat tinggi.18 American Urologic Association menganjurkan pemberian
antibiotik profilaksis pada semua anak usia kurang dari 5 tahun dengan RVU
derajat I-IV.22 Antibiotik profilaksis pada anak dengan RVU merupakan upaya
alternatif terhadap upaya operatif. 10

Indikasi profilaksis
Antibiotik profilaksis terindikasi pada anak dengan ISK dengan risiko tinggi

173
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness

mengalami ISK atau indeks infeksi yang berat untuk mencegah ISK berulang
dan terbentuknya jaringan parut ginjal.3,18 Indikasi antibiotik profilaksis
antara lain RVU, uropati obstruktif termasuk yang terdeteksi antenatal atau
skrining pasca natal.6,10,19 Indikasi lain adalah ISK simtomatik berulang (>
3 kali per tahun) terutama yang disertai instabilitas kandung kemih atau
abnormalitas berkemih, neonatus atau bayi < 1 tahun dengan ISK febris
karena sepertiga bayi ini berisiko mengalami ISK simtomatik dan lebih dari 90%
menjadi pielonefritis atau urosepsis, atau pada bayi atau anak usia muda yang
mengalami pielonefritis meski tidak terdapat RVU.6,18,19 Direkomendasikan
juga pada anak perempuan yang lebih besar dengan sistitis yang sering
berulang.18. Antibiotik profilaksis tidak diberikan secara rutin,3,6 dan pada
RVU derajat rendah, pemberian profilaksis tidak perlu.10
Montini dan Hewitt (2009) melakukan review terhadap beberapa
penelitan tentang pemberian antibiotik profilaksis dan membuat kesimpulan
meskipun masih banyak hal-hal yang belum dapat disimpulkan. 1. Antibiotik
profilaksis tidak terindikasi untuk ISK demam yang pertama kali (first febrile
UTI) yang tidak disertai RVU atau hanya RVU derajat I dan II. Ada 3 alasan
terhadap kesimpulan ini yaitu: a. penelitian metaanalisis menunjukkan
tidak ada keuntungan pemberian antibiotik profilaksis. b. terdapat risiko
meningkatnya resistensi terhadap bakteri. c. frekuensi terjadinya reinfeksi
rendah. 2. Untuk refluks derajat tinggi, tidak dapat diambil kesimpulan yang
jelas, dengan alasan: a. persentase reinfeksi lebih tinggi pada RVU derajat
III dibandingkan dengan derajat 0, I, dan II. b. penelitian metaanalisis
membuktikan bahwa dengan antibiotik profilaksis tidak terdapat keuntungan
yang bermakna pada kelompok ini, namun jumlah pasien yang diikutkan dalam
penelitian tersebut tidak mencukupi.20 Pada tahun 2007, National Institute for
Health and Clinical Excellence (NIHCE) merekomendasikan bahwa antibotik
profilaksis tidak rutin diberikan pada bayi dan anak yang mengalami ISK
untuk pertama kali. Antibiotik profilaksis dipertimbangkan pada bayi dan
anak dengan ISK berulang.21
Pada tahun 2011, Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia (UKK Nefrologi IDAI) membuat konsensus tentang ISK yang
salah satu isinya adalah tentang pemberian antibiotik profilaksis pada anak.
Dalam konsensus tersebut disebutkan bahwa: a. Antibiotik profilaksis tidak
rutin diberikan pada anak dengan ISK pertama kali, b. tidak terindikasi pada
ISK demam yang tidak disertai RVU atau hanya RVU derajat I dan II, c.
diberikan pada anak risiko tinggi seperti RVU derajat tinggi (III-V), uropati
obstruktif, dan berbagai kondisi risiko tinggi lainnya, d. dipertimbangkan pada
bayi dan anak dengan ISK berulang, dan e. jika anak yang mendapat antibiotik
profilaksis mengalami reinfeksi, maka infeksi diterapi dengan antibiotik yang
berbeda dan tidak dengan menaikkan dosis antibiotik profilaksis tersebut.4

174
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Efektivitas antibiotik profilaksis


Pemberian antibiotik profilaksis masih kontroversial dan sering diperdebatkan.
Pemberian profilaksis dapat mencegah ISK berulang dan menurunkan risiko
pembentukan jaringan parut di ginjal, tetapi ada pendapat yang menyatakan
bahwa pemberian profilaksis tidak bermakna menurunkan kejadian ISK
beulang atau jaringan parut, malah meningkatkan resisten bakteri terhadap
antibiotik.
Terdapat beberapa penelitian tentang antibiotik profilaksis yang hasilnya
kontradiktif, tetapi hanya sedikit yang merupakan penelitian randomized
controlled. Terdapat kecenderungan penurunan pemberian antibotik profilaksis
jangka lama. Kelihatannya, pasien yang perlu mendapat antibiotik profilaksis
adalah anak kecil dengan RVU dilatasi, terutama perempuan.1 .
Hasil penelitian tentang antibiotik profilaksis dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok, yaitu penelitian yang menyebutkan profilaksis dapat
mencegah ISK berulang, penelitian yang hasil pemberian profilaksis dan yang
tidak mendapat profilaksis tidak berbeda, dan penelitian yang menyebutkan
bahwa pemberian profilaksis menyebabkan meningkatnya risiko ISK berulang.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa antibiotik profilaksis dapat
menurunkan kejadian rekurensi ISK bawah.10 Cooper dkk. melaporkan hasil
penelitian pada 40 anak perempuan dan 11 anak laki-laki menderita RVU
dengan hidronefrosis yang tidak signifikan dan proses berkemih normal.
Selama mendapat antibiotik profilaksis, riwayat ISK sangat minimal. Setelah
penghentian antibiotik profilaksis, sebagian besar anak dalam keadaan baik,
namun 1 anak mengalami sistitis, dan 5 anak dengan ISK demam. Infeksi
terjadi dalam waktu rerata 2,3 tahun (4 bulan hingga 9.4 tahun) setelah
antibiotik dihentikan dan tidak ada pembentukan jaringan parut.23 Craig dkk.
(2009) meneliti 576 anak usia 0-18 tahun yang dirandomisasi untuk mendapat
antibiotik profilaksis dan yang tidak mendapat profilaksis dan dipantau
selama 1 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa ISK berulang lebih rendah
pada kelompok yang mendapat profilaksis dibandingkan yang dapat plasebo
yakni 13% vs. 19% dengan hazard ratio 0,61% (IK 95% 0,40-0,93; p=0,02).24
Pada tahun 2001, penelitian meta-analisis mengidentifikasi ada 5 penelitian
randomized control di antara anak yang mendapat antibiotik profilaksis yang
melibatkan 463 anak. Tiga penelitian di antaranya melibatkan 392 anak usia
2-6 bulan dan dua penelitian melibatkan 71 anak untuk menilai efektvitas
pemberian antibiotik dosis rendah jangka lama untuk mencegah ISK. Hasilnya
menunjukkan antibiotik profilaksis menurunkan risiko terjadinya ISK (risiko
relatif 0,31; IK 95% 0,10 – 1,00).25
Penelitian multisite, randomized, placebo-controlled trial oleh Hoberman
dkk. (2014) melibatkan 607 anak, median usia 12 bulan yang didiagnosis

175
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness

dengan RVU dan ISK simtomatik mendapat profilaksis kotrimoksazol dan


plasebo untuk mencegah berulangnya ISK. Dilakukan evaluasi terhadap
parut ginjal, kegagalan terapi (menurunnya kekambuhan), dan resistensi
bakteri. Hasil penelitian menunjukkan kekambuhan ISK terdapat pada 39
di antara 302 anak (12,9%) yang mendapat profilaksis dibandingkan 72 di
antara 305 (23,6%) yang mendapat plasebo (risiko relatif 0,55; IK 95% 0,38-
0,78). Pemberian antibiotik profilaksis menurunkan risiko rekurensi 50%
(hazard ratio 0,50; IK 95% 0,34-0,74), terutama efektif pada anak dengan
demam (hazard ratio 0,41;IK 95%0,26-0,64) dan pada anak dengan disfungsi
saluran kemih dan saluran cerna (hazard ratio 0,21; IK0,08-0,58), namun tidak
terdapat perbedaan bermakna terjadinya parut ginjal pada anak yang mendapat
profilaksis dan plasebo (11,9% vs. 10,2%, p=0,55) baik pada jaringan parut
berat (4,0% vs.2,6%, p=0,37), maupun terbentuknya jaringan parut baru
(8,2% vs. 8,4%, p=0,94), dengan number needed to treat (NNT) 10. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis menurunkan risiko
berulangnya ISK pada anak dengan RVU, tetapi tidak terdapat perbedaan
terhadap terjadinya parut ginjal antara anak yang mendapat antibiotik
profilaksis dengan yang tidak. Penelitian juga menunjukkan bahwa antibiotik
profilakis menurunkan berulangnya ISK hingga 50%.26
Wang dkk., (2015) melakukan penelitian meta-analisis yang menyertakan
1.594 pasien usia 8,6 bulan hingga 21,3 bulan (median 12 hingga 24 bulan),
dengan pemantauan 1-3 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian
antibiotik profilaksis berkesinambungan secara bermakna menurunkan risiko
berulangnya ISK simtomatik (OR 0,63; IK95%: 0,42-0,96), tetapi jika terjadi
ISK maka terdapat peningkatan risiko organisme yang resisten terhadap
antibiotik (OR 8,75; IK 95%: 3,52-21,73). Pemberian antibiotik profilaksis
tidak terkait dengan penurunan pembentukan jaringan parut baru. Kejadian
efek samping tidak berbeda antara pasien yang mendapat antibiotik profilaksis
dengan yang tidak. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pemberian
antibiotik profilaksis berkelanjutan menurunkan risiko ISK febris dan ISK
simtomatik secara bermakna, namun meningkatkan risiko resistensi bakteri dan
tidak berkaitan dengan terbentuknya jaringan parut baru dan efek samping.11
Penelitian Roussey-Kesler dkk. (2008) terhadap 225 anak usia 1 bulan
– 3 tahun dengan RVU grade I-III dirandomisasi untuk mendapat antibiotik
profilakis dan tidak mendapat profilaksis, menunjukkan bahwa setelah 18 bulan
pemantauan, tidak terdapat perbedaan terjadinya ISK berulang (17% vs. 26%,
p=0,15) 27 Penelitian Pennesy dkk. (2008) terhadap 100 anak usia 0 bulan- 2
½ tahun dengan pielonefritis yang mendapat antibiotik profilaksis dan tidak
mendapat profilaksis selama 2 tahun, menunjukkan bahwa setelah 2 tahun
pemantauan pasca penghentian antibiotik profilaksis tidak terdapat perbedaan
berulangnya ISK pada kedua kelompok (36% vs.30%). Demikian juga dengan

176
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

kejadian jaringan parut ginjal, tidak terdapat perbedaan pada pasien yang
mendapat antibiotik profilaksis dan yang tidak mendapat profilaksis (40% vs.
36%, p=0,4).28 Penelitian Montini dkk. (2009) melibatkan 338 anak usia 2
bulan-7 tahun dengan RVU grade I-III yang mendapat antibiotik profilaksis
dan yang tidak mendapat profilaksis. Pada akhir pemantauan 1 tahun, tidak
terdapat perbedaan pada kedua kelompok terhadap terjadinya ISK berulang
dan terbentuknya jaringan parut.20 Penelitin Garin dkk (2005) melibatkan 218
anak berusia 1 bulan-18 tahun dengan pielonefritis akut yang dirandomisasi
mendapat antibiotik profilaksis dan tidak mendapat profilaksis untuk menilai
jaringan parut dengan skintigrafi DMSA. Hasilnya menunjukkan bahwa
setelah satu tahun, tidak terdapat perbedaan kejadian parut ginjal pada anak
yang mendapat antibiotik profilaksis dan yang tidak mendapat profilaksis.29
Penelitian meta-analisis terhadap ISK anak dengan RVU primer. melibatkan
809 anak dengan risiko relatif berulangnya ISK dengan profilaksis 0,82 (IK
95$: 0,62-1,08, p=0,16) Selain itu, meta-analisis terhadap 4 penelitian untuk
mengevaluasi parut ginjal yang melibatkan 662 anak dengan ISK mendapat
profilaksis menunjukkan risiko relatif 1,04 (IK 95% 0,84-1,30, p=0,69)
Hasil meta-analisis ini menyebutkan tidak ada manfaat pemberian antibiotik
profilaksis untuk mencegah ISK berulang dan pembentukan jaringan parut,
namun interpretasi hasil ini harus hati-hati karena berbagai keterbatasan
penelitian seperti blindness, jumlah anak dengan RVU, metode pengambilan
sampel urin untuk mendiagnosis ISK, lebarnya kelompok usia, tingginya
persentase pasien dengan displasi ginjal, kriteria inklusi derajat RVU, durasi
follow-up yang relatif singkat yang memengaruhi hasil penelitian.13 Pada tahun
1980-an, ada dua penelitian randomized- control trial yang membandingkan
pemberian antibiotik profilaksis saja dengan tindakan bedah atau kombinasi
dengan profilaksis ajuvan yang menunjukkan hasil hampir sama.20 Pada
penelitian randomized clinical trial oleh The RIVUR, insidens jaringan
parut baru (new renal scars) sama pada anak dengan pemberian antibiotik
profilaksis dengan tanpa antibiotik profilaksis (8,2 vs. 8,4 %), dan tidak dapat
menentukan apakah antibiotik profilaksis dapat mencegah kerusakan ginjal.8
Penelitian Hari dkk. (2015) melaporkan bahwa pemberian antibiotik
trimetoprim-sulfametoksazol sebagai profilaksis jangka panjang meningkatkan
risiko ISK berulang pada anak dengan RVU derajat I-III dibandingkan dengan
yang mendapat plasebo.30 Hal yang sama juga dilaporkan oleh Garin dkk.
(2006) yang menyebutkan bahwa risiko kejadian pielonefritis lebih tinggi pada
anak yang mendapat antibiotik profilaksis dibandingkan yang tidak mendapat
antibiotik profilaksis.29 Hal ini kemungkinan disebabkan pada kelompok yang
mendapat antibiotik profilaksis terjadi eradikasi flora protektif periuretra yang
menyebabkan kolonisasi bakteri dan peningkatan virulensi bakteri.30

177
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness

Dampak negatif antibiotik profilaksis


Masalah yang dapat terjadi akibat pemberian antibiotik profilaksis adalah
resistensi antimikroba, reaksi simpang (gangguan saluran cerna, skin rashes,
hepatotoksik, kelainan hematologi, sindrom Stevens-Johnson), kekurang
patuhan, dan tidak nyaman untuk pasien.13
Masalah yang paling sering diperbincangkan pada penggunaan antibiotik
profilaksis adalah peningkatan resistensi bakteri terhadap kuman patogen.
Penelitian The RIVUR menemukan meningkatnya insidens ISK yang
disebabkan patogen yang resisten pada pasien dengan antibiotik profilaksis
dibandingkan dengan pasien yang mendapat plasebo. (68.4 vs. 24.6 %).8
Pada peneltian Garin dkk., 7 di antara 8 pasien dengan RVU yang mendapat
profilaksis mengalami pielonefritis akut berulang dengan biakan urin
menunjukkan bakteri resisten terhadap antibiotik yang digunakan sebagai
profilaksis.29 Craig dkk. melaporkan hasil yang sama yaitu bakteri yang resisten
lebih tinggi pada kelompok yang mendapat antibiotik profilaksis dibandingkan
dengan plasebo (67 vs. 25 %).24 Montini dkk. melaporkan bahwa rekurensi
disebabkan oleh bakteri resisten terjadi pada kelompok yang mendapat
profilaksis.20 Pennesi dkk. menemukan bahwa rekurensi ISK pada kelompok
yang mendapat profilaksis disebabkan oleh bakteri multiresisten sedangkan
pada kelompok kontrol rekurensi disebabkan oleh pan-sensitive Escherichia
coli.28 Penelitian Bitsori dkk. (2014) menunjukkan peningkatan persentase
bakteri resisten terhadap antibiotik nitrofurantoin (p<0,0002), seftriakson
(p<0,0034), dan gentamisin (p<0,014). Pemberian profilaksis meningkatkan
proporsi bakteri patogen non E. coli sebagai penyebab ISK (46,9% vs. 26,9%,
odds ratio 2,4; IK 95%1,61-3,55, p<0,0001).19 Pada penelitian Hoberman dkk.,
resistensi bakteri E.coli terhadap trimetoprim-sulfametoksazol lebih tinggi pada
pasien yang mendapat profilaksis dibandingkan dengan yang mendapat plasebo
tetapi tidak berbeda bermakna, yakni 63% dibandingkan 19%. 26

Antibiotik yang digunakan untuk profilaksis


Antibiotik untuk profilaksis yang ideal adalah mampu mencegah infeksi
dengan dampak terhadap flora usus yang minimal. Kriteria antibiotik yang
diberikan sebagai profilaksis pada ISK antara lain: antibiotik yang efektif
terhadap bakteri uropatogen, diabsorbsi dengan baik di usus halus sehingga
aktivitas terhadap bakteri di kolon minimal, konsentrasi di urin adekuat,
efek samping minimal dengan pemberian jangka pendek atau lama, resistensi
rendah terhadap bakteri, mudah dikonsumsi anak, rasanya enak, menyebabkan
dampak minimal terhadap flora usus, mudah didegradasi agar efek negatif
terhadap lingkungan minimal.1,6

178
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

Antibiotik yang digunakan untuk profilaksis adalah trimethoprim,


kotrimoksazol, sulfisoksazol, sefaleksin, asam nalidiksat, sefaklor, sefiksim,
sefadroksil, siprofloksasin.1,5,10,31

Lama pemberian profilaksis


Lamanya pemberian antibiotik profilaksis berbeda-beda karena durasi optimal
tergantung indikasi. Berdasarkan rasionalisasi, antibiotik profilaksis diberikan
hingga tidak ada lagi risiko pielonefritis berulang dan atau risiko pembentukan
jaringan parut.6 Pada anak dengan obstruktif saluran kemih, profilaksis
diberikan hingga penyakit dasarnya dioperasi atau hilang spontan.6,18,19 Pada
ISK kompleks pemberian profilaksis dapat berlangsung 3-4 bulan dan dapat
dilanjutkan pada kasus RVU atau obstruksi.5 Beberapa penelitian menyebutkan
durasi pemberian antibiotik profilaksis selama 1 tahun.6,16,24 Cara-Fuentes dkk.
meneliti anak yang mendapat antibiotik profilaksis selama 2 tahun.8 Pada
dewasa perempuan dengan ISK berulang, hasil pemberian profilaksis selama
1 tahun lebih baik dibandingan dengan pemberian 6 bulan.6
Keputusan untuk menghentikan pemberian profilaksis lebih mudah pada
anak laki-laki dibandingkan perempuan. Pemberian antibiotik profilaksis
dapat mempunyai efek jangka lama setelah penghentian profilaksis. Pada satu
penelitian randomised, prospective, placebo-controlled study pada anak didapatkan
bahwa 12 bulan setelah penghentian profilaksis, didapatkan 32% anak yang
mendapat profilaksis dan 64% anak yang mendapat plasebo mengalami ISK
kembali.6

Pembiayaan
Antibiotik profilaksis dapat menurunkan risiko berulangnya ISK, aman, dan
dapat ditoleransi dengan baik, namun selain meningkatkan risiko resistensi
bakteri terhadap antibiotik, pemberian antibiotik profilaksis juga memerlukan
biaya.30 Pasien anak yang tidak mendapat profilaksis dilaporkan mengalami
ISK simtomatik 3 kali lebih sering dibandingkan dengan yang tidak mendapat
antibiotik profilaksis selama 2 tahun pengamatan,8 antimikroba profilaksis dosis
rendah diberikan selama 12 bulan.16
Dari penelusuran literatur, tidak ditemukan literatur tentang cost
effectiveness pemberian antibiotik profilaksis. Oleh karena itu, dicoba
melakukan perhitungan biaya yang dikeluarkan jika seorang anak dengan
ISK memerlukan antibiotik profilaksis. Sebagai ilustrasi, ada dua orang anak
perempuan masing-masing 2 tahun dengan berat badan 12 kg. yang sudah
didiagnosis dengan ISK kompeks (RVU derajat IV-V). Satu orang mendapat
antibiotik profilaksis sefaleksin 1 x 150-200 mg setiap malam selama 1 tahun

179
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness

sedangkan satu orang lagi tidak mendapat profilaksis. Pada kedua kelompok
ini, dianggap selama pemantauan dilakukan pemeriksaan laboratorium
berupa urinalisis dan biakan urin dengan frekuensi yang sama. Dilakukan
perhitungan perkiraan biaya untuk kedua anak. Untuk anak yang mendapat
profilaksis, diperlukan biaya untuk mengadakan obat sebesar 365 hari x Rp
5.200 = Rp. 1.898.000. Perhitungan lama pemberian antibiotik selama satu
tahun didasarkan pada lamanya pemberian antibiotik profilaksis yaitu antara
1-2 tahun, dan kemungkinan berulangnya ISK selama satu tahun sebanyak
3 kali atau lebih.8,16 Anak yang tidak mendapat antibiotik profilaksis dengan
kemungkinan akan mengalami 2-3 kali ISK dalam setahun, yang mungkin
memerlukan perawatan. Anak ini mendapat terapi antibiotik selama 10
hari, yaitu 5 hari parenteral x 3 kali pemberian x Rp. 7.500 = Rp. 112.500
ditambah dengan pemberian oral 5 x 3 x Rp.6.500 = Rp. 97.500 sehingga
jumlahnya menjadi Rp. 210.000. Biaya pemeriksaan laboratorium (2 x urinalisis
@ Rp.38.000) + darah tepi Rp. 60.000 + biakan urin Rp. 220.000) =
Rp. 356.000, dan 5 hari perawatan x Rp.175.000. = Rp. 875.000 dan uang
visit dokter 5 hari Rp. 52.000 = Rp. 260.000. Jadi untuk 1 kali rawat inap
dibutuhkan biaya sebesar Rp. 1.701.000, dan untuk tiga kali rawat inap
diperlukan biaya tiga kali lipatnya. Dalam biaya ini belum termasuk biaya
untuk orangtua (makan dan transportasi), waktu, tenaga dan hal lainnya
terkait perawatan anak.
Ilustrasi kasus ini menunjukkan biaya (cost) yang dibutuhkan untuk anak
yang tidak mendapat antibiotik profilaksis lebih besar dibandingkan dengan
yang mendapat profilaksis. Selain itu, jika pasien dirawat karena ISK berulang,
pasien atau keluarga menghadapi masalah lain seperti masalah psikologis yang
mengkhawatirkan orangtua tentang kondisi pasien, biaya untuk orangtua
selama anak dirawat (makan minum, transportasi, kebutuhan lain), tenaga,
waktu, dan terganggunya aktivitas sehari-hari, (Catatan: sefaleksin 250 mg
= Rp. 6.500/kapsul; Sanprima = Rp. 1.100/tablet, kotrimoksazol = Rp. 410/
tablet; sefotaksim I gram injeksi = Rp. 15.000/vial; Laboratorium: darah
lengkap =Rp. 60.000; urinalisis = Rp. 38.000; kultur urin = Rp. 220.000;
biaya kamar Rp/ 175.000 per hari, visit dokter Rp. 52.000/hari)
Keputusan menentukan pemberian antibiotik profilaksis atau tidak
tergantung pada beberapa faktor seperti tipe dan keparahan RVU, usia saat
diagnosis, riwayat ISK sebelumnya, adanya disfungsi berkemih, konstipasi, dan
beratnya jaringan parut.13

Simpulan
Pemberian antibiotik proflaksis dapat menurunkan kejadian ISK berulang pada
anak tetapi tidak jelas perannya dalam menurunkan pembentukan jaringan

180
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

parut ginjal. Meningkatnya kejadian bakteri yang resisten menjadi perhatian


bagi tenaga medis sehingga antibiotik profilaksis diberikan dengan selektif.

Daftar pustaka
1. Brandstrom P, Hansson S. Long-term, low-dose prophylaxis against urinary tract
infection in young children. Pediatr Nephrol.2015;30:425-32.
2. Goldberg B, Jantausch B. Urinary tract infection. Dalam: Kher KK, Schnaper
HM, Breenbaum LA, penyunting. Clinical Pediatric Nephrology, edisi ke-3, CRC
PRESS, New York, 2017;h.967-91.
3. Hodgson EM, Craig JC. Urinary tract infection in children. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa B, Emma F, Goldstein SL, penyunting,
Pediatric Nephrology, edisi ke-7, New York, Springer Reference, 2016;h.1696-714,
4. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP, Hidayati EL. Konsensus Infeksi
Saluran Kemih pada Anak. UKK Nefrologi IDAI, Badan Penerbit IDAI, Jakarta,
2011.
5. Lambert H,Coultard M. The child with urinary tract infection. Dalam: Webb
NJA, Postlethwaite RJ, penyunting. Clinic Paediatric Nephrology, edisi ke-3,
Oxford, Oxford University Pres, 2003.;h.197-225.
6. Beetz R. May go on with antibacterial prophylaxis for urinary tract infections?
Pediatr Nephrol.2006;21:5-13.
7. Jakobsson B, Nolstedt L, Svensson L, Soderlundh S, Berg U. 99TmTc-
dimercaptosuccinic acid (DMSA) scan ini the diagnosis of acute
pyelonephritis in children: relation to clinical and radiological findings. Pediatr
Nephrol.1992;6:328-34.
8. Cara-Fuentes G, Gupta N, Garin EH. The RIVUR Study: A review of its findings.
Pediatr Nephrol.2015;30:703-6.
9. Nuutinen M, Uhari M. Recurrence and follow-up after urinary tract infection
under the age of 1 year. Pediatr Nephrol.2001;16:69-72.
10. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinary tract infections. Dalam: Avner
ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric Nephrology,
Heidelberg, Springer-Verlag Berlin edisi ke-4, 2009. h.1299-310.
11. Wang HHS, Gbadegesin RA, Foreman JW, Nagaraj SK, Wigfall DR, Wiener
JS, dkk. Efficacy of antibiotic prophylaxis in childen with vesicoureteral reflux:
Systematic reviow and meta-analysis. J Urol.2015;193:963-9.
12. Montini G, Tullus K, Hewitt I. Febrile urinary tract infections in children. New
Engl J Med.2011;365:239-50.
13. Mattoo TK. Evidence for and against urinary prophylaxis in vesicoureteral reflux.
Pediatr Nephrol.2010;25:2379-82.
14. Smellie JM, Grueneberg RN, Leakey A, Atkins WS. Long-term low dose co-
trimoxazole in prophylaxis of childhood urinary tract infection: clinical aspects.
Br Med J.1976;2:203-6.
15. Lohr JA, Nunley DH, Howards SS, Ford RF. Prevention of recurrent urinary tract
infections in girls. Pediatrics.1977;59:562-5.
16. Smellie JM. Kantz G, Grueneberg RN. Controlled trial of prophylaxis treatment
in childhood urinary tract infection. Lancet.1978;ii:175-8.

181
Urinary Tract Infection Prophylaxis: Cost Effectiveness

17. Smellie JM, Grueneberg RN, Normand ICS, Bantock HM. Trimetoprim-
sulfamethoxazole and trimethoprim alone in the prophylaxis of childhood urinary
tract infection. Rev Infect Dis.1982;4:461-6.
18. Hellerstein S, Nickell E. Prophylactic antibiotics in children at risk for urinary
tract infection. Pediatr Nephrol. 2002;17:506-10.
19. Bitsori M, Maraki S, Galanakis E. Long-term resistance trends of uropathogens
and association with antimicrobial prophylaxis. Pediatr Nephrol.2014;29:1053-8.
20. Montini G, Hewitt I. Urinary tract infections: to prophylaxis or not to prophylaxis.
Pediatr Nephrol 2009;24:1605-9.
21. National Institute for Health and Clinical Excellence. (2007): Urinary tract
infection in children. http://guidance.nice.org.uk..CG054.
22. Elder JS, Peters CA, Arant BS, Ewalt DH, Hawtrey CE, Hurwit RS,, dkk. Pediatric
vesicoureteral reflux guidelines panel summary report on the management of
primary vesicoureteral reflux in children. J Urol.1997;157:1846-51.
23. Cooper CS, Chung BI, Kirsch AJ, Canning DA, Snyder HM III.The outcome of
stopping prophylactic antibiotics in older children with vesicoureteral reflux. J
Urol.2000; 163:269–73
24. Craig JC, Simpson JM, Williams GJ, Lowe A, Reynolds GJ, McTaggart SJ, dkk.
Prevention of Recurrent urinary Tract Infection in Children with Vesicoureteric
Reflux and Normal Renal Tracts (PRIVENT).Antibiotics prophylaxis and
recurrent urinary tract infection in children. New Engl J Med.2009;361:1748-59.
25. Williams G, Lee A, Craig J. Antibiotics for the prevention of urinary tract infection
in children: a systematic review of randomized controlled trials. J Pediatr.2001;
138:868–74.
26. Hoberman A, Greenfield SP, Mattoo TK, Keren R, Mathwes R, Pohl HG, dkk.
Antimicrobial prophylaxis for children with vesicoureteral reflux. The RIVUR
Trial Investigators. New Engl J Med.2014;370:2367-76.
27. Roussey-Kesler G, Gadjos V, Idres N, Horen B, Ichay L. Leclair MD, dkk.,
Antibiotic prophylaxis for the prevention of recurrent urinary tract infection
in children with low-grade vesico-ureteral reflux: results from prospective
randomized study. J Urol.2008;179:674-9.
28. Pennesi M, Travan L, Peratoner L, Bordugo A, Cattaneo A, Ronfani L, dkk.
North East Italy Prophylaxis in VUR Study Group. In antibiotic prophylaxis in
children with vesicoureteral reflux effective in preventing pyelonephritis and
renal scar? Pediatrics.2008;121:e1489-94.
29. Garin EH, Alavarria F, Garcia NV, Valenciano B, Campos A, Young L. Clinical
significance of primary vesicoureteral reflux and urinary antibiotic prophylaxis
after acute pyelonephritis : a multicenter, randomized, controlled study.
Pediatrics.2006;117:626-32.
30. Hari P, Hari S, Sinha A, Kumar R, Kapil A, Pandey RM, dkk. Antibiotic
prophylaxis in the management of vesicoureteric reflux: a randomized double-
blind placebo-controlled trial. Pediatr Nephrol.2015;30:479-86.
31. Smellie JM. Management and investigation of children with urinary tract
infection. Dalam: Postlethwaite RJ (ed). Clinical Paediatrc Nephrology edisi ke
2. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1994:160-74.

182
Outpatient Parenteral Antimicrobial
Therapy (OPAT): Efficiency Approach of
Rational Antibiotic Use
Aryono Hendarto

Tujuan:
1. Memahami peran Terapi Antibiotik Parenteral Rawat Jalan
dalam penggunaan antibiotik secara rasional

Penyakit infeksi di Indonesia menempati peringkat tertinggi dalam pelayanan


kesehatan di rumah sakit (RS). Pasien dengan infeksi sedang-berat memerlukan
rawat inap sekitar 2 minggu untuk mengatasi fase akut dan selanjutnya untuk
menyelesaikan pemberian antibiotik parenteral.1 Saat ini di berbagai RS luar
negeri mulai dilakukan pelayanan terapi antibiotik parenteral rawat jalan
(TAP-RJ) atau lebih dikenal dengan sebutan outpatient parenteral antimicrobial
therapy (OPAT), yaitu metode pemberian antibiotik intravena melalui prosedur
rawat jalan sebagai alternatif terapi antibiotik parenteral rawat inap (TAP-RI),
namun memiliki efektifitas yang sama.2,3
Pelayanan TAP-RJ pertama kali dilakukan pada tahun 1970-an di
Amerika Serikat untuk mengobati anak dengan penyakit fibrosis kistik dan
pelayanan ini semakin berkembang dalam dua dekade terakhir.5,6 Stiver
dkk tahun 1978 menerbitkan laporan pertama penggunaan TAP-RJ yang
melibatkan 23 pasien yang dirawat di RS dengan infeksi kronis di Kanada dan
kemudian dipulangkan dan berhasil menyelesaikan terapi antibiotik intravena
sebagai pasien rawat jalan.4 Penelitian yang dilakukan di beberapa negara Asia
menunjukkan bahwa dari 17 negara di Asia sebanyak 57% dari 171 fasilitas
kesehatan telah melayani pemberian antibiotik parenteral rawat jalan, namun
hanya 3% yang memiliki layanan komprehensif dengan pengawasan khusus.7
Di Singapura pelayanan TAP-RJ pertama kali diberikan pada tahun 2001 dan
terus berkembang hingga kini.8 Sepengetahuan penulis pelayanan pertama
TAP-RJ di Indonesia dilakukan di RSCM dengan diresmikannya pelayanan
ini pada bulan April 2015 o;leh Menteri Kesehatan dan dikukuhkan dengan
Surat Keputusan Direktur Utama RSCM. 9

183
Outpatient Parenteral Antimicrobial Therapy (OPAT): Efficiency Approach of Rational Antibiotic Use

Pelayanan TAP-RJ/OPAT
Pelayanan TAP-RJ berguna bagi pasien dengan infeksi sedang hingga berat
yang memerlukan terapi antibiotik parenteral, namun memiliki kondisi
tubuh yang cukup baik untuk memulai atau melanjutkan terapi tanpa perlu
menginap di RS.2 Terdapat empat model pemberian TAP-RJ yang terdiri
dari (1) penyuntikan antibiotik sendiri di rumah, (2) penyuntikan antibiotik
oleh perawat di rumah (3) penyuntikan di fasilitas/klinik kesehatan dan (4)
perawatan intensif di rumah.10 Pemilihan antibiotik pada pasien yang mengikuti
program TAP-RJ perlu mempertimbangkan beberapa aspek yaitu spektrum
antibiotik, cara kerja, interaksi dengan obat lain, target organ, durasi pemberian
antibiotik, kriteria pemenuhan target kesembuhan, dan alternatif pemberian
antibiotik oral. Pemberian antibiotik pertama kali harus dilakukan di fasilitas
kesehatan dengan supervisi untuk memastikan pasien tidak mengalami reaksi
anafilaktik.11
Manfaat TAP-RJ antara lain menurunkan angka masuk RS dan lama
menginap sehingga meningkatkan kapasitas rawat inap di RS, penghematan
biaya yang signifikan di bandingkan dengan rawat inap, penurunan risiko
infeksi nosokomial, dan kepuasan pasien yang lebih baik.2,5,13

Efisiensi opat
Finansial
Pelaksanaan program TAP-RJ di Kanada menunjukkan penghematan biaya
sebesar 1.730.520 dolar Kanada selama 3 tahun. Hasil serupa dilaporkan dalam
penelitian yang dilakukan di Prancis yang melaporkan bahwa pengobatan

Pasien 
mempertimbangkan  Diskusi bersama 
Penilaian pasien oleh 
untuk melakukan  pasien mengenai 
tim TAP‐RJ
potensi TAP‐RJ
TAP‐RJ

Kesimpulan 
Pasien setuju 
pemberian Terapi 
Pemberian terapi melakukan TAP‐RJ 
intravena melalui 
dan inisiasi terapi
metode TAP‐RJ

Gambar 1. Alur pelayanan pasien TAP-RJ 12

184
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

terhadap 39 pasien osteomielitis berpotensi menghemat biaya sebesar 1.873.885


dolar Amerika pertahun dibandingkan dengan terapi konvensional. Penelitian
lainnya yang mendukung pernyataan bahwa program TAP-RJ secara finansial
lebih menguntungkan yaitu di Oxford-Ingris, rerata biaya per-episode untuk
infeksi sebanyak £1749 dibandingkan dengan £11400 untuk pasien rawat inap
melalui metode analisis retrospektif pada 55 episode infeksi tulang dan sendi.3
Penelitian yang dilakukan di Singapura memperlihatkan adanya perbedaan
yang bermakna yaitu biaya rerata harian pasien menggunakan metode TAP-RJ
39% lebih rendah di bandingkan dengan pasien rawat inap.14 Metode TAP-
RJ juga bermanfaat bagi pasien tunawisma melalui tim multidisplin, yang jika
melakukan rawat inap secara konvensional biaya yang dikeluarkan $1500/hari
sedangkan dengan program TAP-RJ biaya yang dikeluarkan yaitu $25.000 per
episode.15 Penelitian TAP-RJ yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun
2011 menunjukkan pasien dengan program TAP-RJ mampu menghemat biaya
sebanyak $3847/pasien.16 Penelitian di Jakarta menunjukkan biaya pengobatan
pasien yang menjalani TAP-RJ di RSCM lebih efisien dibandingkan dengan
pasien yang menjalani TAP-RI.17

Bed saved days


Program TAP-RJ di kota Oxford Inggris telah berhasil menghemat lebih dari
6200 bed saved day selama satu tahun.3 Penelitian lainnya yang dilakukan
oleh National Health Service (NHS) di Inggris menunjukkan bahwa selama 2
tahun program TAP-RJ mampu menghemat 4034 bed saved day.13 Pada Tahun
2010 penelitian yang melibatkan 89 pasien di 6 rumah sakit di Inggris, 73
pasien diantaranya dapat menghemat sebanyak 483 bed saved day.18 Penelitian
dengan jangka waktu 10 tahun yang dilakukan di Inggris menunjukan dapat
menghemat total bed saved days sebanyak 49.854 dengan tingkat keberhasilan
penyembuhan 88%.19 Di daerah tropis seperti Australia, program TAP-RJ pada
pasien dengan infeksi tulang dan sendi mampu menghemat sebanyak 1307
bed saved days dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun.20 Penelitian lainnya
dilakukan di Tan Tock Seng Hospital di Singapura, dari 120 pasien terjadi
perbaikan klinis sebanyak 90% dengan total bed saved day sebanyak 318.21

Kepuasan Pasien dan Keluarga


Dalam berbagai jurnal penelitian terlihat bahwa program TAP-RJ memiliki
tingkat kepuasan pasien yang tinggi.12,19,22,23 Survei menggunakan kuesioner
untuk menilai tingkat kepuasan pasien terhadap program TAP-RJ di Inggris
menunjukkan bahwa dari 272 responden merasa pelayanan TAP-RJ sangat
bagus atau excellent, dan sebanyak 99,6% pasien akan memilih kembali
pelayanan metode TAP-RJ.12,20 Tingkat kepuasan yang tinggi terhadap program

185
Outpatient Parenteral Antimicrobial Therapy (OPAT): Efficiency Approach of Rational Antibiotic Use

TAP-RJ juga dirasakan di Bahrain pada tahun 2012 hingga 2014 dengan skor
kepuasan pasien 4.41 (± 0.31) dari total 5.22 Penelitian di Jakarta dengan
melakukan wawancara terhadap orangtua pasien anak yang mendapatkan
pelayanan TAP RJ menunjukkan bawah sebagian besar orangtua merasa puas
terhadap berbagai aspek pelayanan ini.17

Simpulan
Program TAP-RJ telah terbukti efektif dari segi biaya, bed saved days dan
kepuasan pasien dalam menangani berbagai infeksi. Secara finansial meskipun
telah terbukti menurunkan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk suatu
penyakit, namun tetap bergantung pada berbagai faktor seperti pilihan agen
antimikroba, lokasi pemberian (yaitu klinik rawat jalan, pusat infus atau rumah
pasien) dan kondisi klinis pasien.

Daftar pustaka
1. Nathwani D, Raman G, Sulham K, Gevaghan M, Menon V. Clinical and economic
consequences of hospital acquired resistant and multidrug-resistant Pseudomonas
aeruginosa infections: a systematic review and meta-analysis. Antimicrob Resist
and Infect Control. 2014; 3, 32
2. Chapman AL, Seaton RA, Cooper MA, Hedderwick S, Goodall V, Reed C, et al.
Good practice recommendations for outpatient parenteral antimicrobial therapy
(OPAT) in adults in the UK: a consensus statement. JAC. 2012; 67: 1053–62
3. Nathwani D. Developments in outpatient parenteral antimicrobial therapy
(OPAT) for gram-positive infections in Europe, and the potential impact of
daptomycin. JAC. 2009; 64: 447-53
4. Stiver HG, Telford GO, Mossey JM, Cote DD, Van Middlessworth EJ, Trosky SK,
et al. Intravenous antibiotic therapy at home. Ann Intern Med. 1978; 89: 690-3
5. Laupland KB, Valiquette L. Outpatient parenteral antimicrobial therapy. Can J
Infect Dis Med Microbiol. 2013; 24: 9-11
6. Chapman ALN. Outpatient parenteral antimicrobial therapy. BMJ. 2013; 346:
1585
7. Fisher D, Michaels J, Hase R, Zhang J, Kataria S, Sim B, et al. Outpatient
parenteral antibiotic therapy (OPAT) in Asia: missing an opportunity. J
Antimicrobial Chemotherapy. 2017; 72: 1221-6
8. Fisher DA, Kurup A, lye D, Tambyah PA, Sulaiman Z, Poon EY, et al. Outpatient
parenteral antibiotic therapy in Singapore. Int J Antimicrob Agents. 2006; 28:
545-50
9. Direktur Utama RSCM. Keputusan Direktur Utama RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo nomor HK 02.04/KI.3/6834/2015 tentang pelayanan terapi
antibotik parenteral rawat jalan pada pasien anak di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo. Jakarta.

186
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship

10. Tice A. The use of outpatient parenteral antimicrobial therapy in the management
of osteomyelitis: Data from the outpatient parenteral antimicrobial therapy
outcomes registries. Chemotherapy. 2001; 47:16
11. Patel S,  Abrahamson E, Goldring S, Green H, Wickens H, Laundy M. Good
practice recommendations for paediatric outpatient parenteral antibiotic therapy
(p-OPAT) in the UK: a consensus statement. JAC. 2015; 70; 360-73
12. Gilchrist M, Franklin BD, Patel JP. An outpatient parenteral antibiotic therapy
(OPAT) map to identify risks associated with an OPAT service. JAC. 2008; 62:
177-83
13. Chapman AL, Dixon S, Andrews D, Lillie PJ, Bazaz R, Patchett JD. Clinical
efficacy and cost-effectiveness of outpatient parenteral antibiotic therapy
(OPAT): a UK perspective. JAC. 2009; 64: 1316–24
14. Yong C, Fisher DA, Sklar GE, Li SC. A cost analysis of outpatient parenteral
antibiotic therapy (OPAT): an Asian perspective. International Journal of
Antimicrobial Agents. 2009; 33: 46-51
15. Beieler AM, Dellit TH, Chan JD, Dhanireddy S, Enzian LK, Stone TJ, et al.
Successful implementation of outpatient parenteral antimicrobial therapy at a
medical respite facility for homeless patients. J Hosp Med. 2016;11:531-5
16. Conant MM, Erdman SM, Osterholzer D. Mandatory infectious diseases approval
of outpatient parenteral antimicrobial therapy (OPAT): clinical and economic
outcomes of averted cases. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 2014; 69:
1695-1700
17. Hendarto A. Perbandingan pelayanan terapi antibiotik parenteal rawat
jalan dengan rawat inap di departemen ilmu kesehatan anak RSCM. Tesis.
FKUGM,2017
18. Dryden M, Saeed K, Townsend R, Winnard C, Bourne S, Parker N, et al. Antibiotic
stewardship and early discharge from hospital: impact of a structured approach
to antimicrobial management. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 2012;
67: 2289-96,
19. Durojaiye OC, Bell H, Andrews D, Ntziora F, Carwright K. Clinical efficacy,
cost analysis and patient acceptability of outpatient parenteral antibiotic
therapy (OPAT): a decade of Sheffield (UK) OPAT service. Int J Antimicrob
Agents. 2018; 51:26-32
20. White HA, Davis JS. Kittler P, Currie BJ. Outpatient parenteral antimicrobial
therapy-treated bone and joint infections in a tropical setting. Intern Med J. 2011;
41: 668-73
21. Chan M, Ooi CK, Wong J, Zhong L, Lye D. Role of outpatient parenteral antibiotic
therapy in the treatment of community acquired skin and soft tissue infections
in Singapore. BMC Infect Dis. 2017; 17: 474
22. Alwi S, Abdulkarim S, Elhennawy H, Al-Manshoor A, Al Ansari A. Outpatient
parenteral antimicrobial therapy with ceftriaxone for acute tonsillopharyngitis:
efficacy, patient satisfaction, cost effectiveness, and safety. Infect Drug
Resist. 2015; 7: 279-85
23. Kieran J, O’Reilly A, Parker J, Clarke S, Bergin C. Self-administered outpatient
parenteral antimicrobial therapy: a report of three years experience in the Irish
healthcare setting. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2009; 28: 1369-74

187

You might also like