COMMUNICATION INTENSITY AND RELATIONAL DIALECTICS IN
LONG DISTANCE RELATIONSHIP
Tuti Widiastuti
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Bakrie Kampus Universitas Bakrie Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-22, Kuningan, Jakarta Selatan 12920 Telp: 021-526 1448 ext. 247, Faks: 021-526 3191, HP: 0816 1659649 E-mail: tuti.widiastuti@bakrie.ac.id
Abstract
The background of this study is the phenomenon of the number of students who undergo long-distance relationship (LDR) with their partner. This research wants to know the extent of influence on the level of intensity called dialectical relationship of couples undergoing this LDR. In general, the theory used for this study is Relational Dialectics Theory from Leslie Baxter and Barbara Montgomery. Contention in a relationship at the core of the concept of relational dialectics and opposition that became a key concept in this theory refers to the reciprocal relationships that dynamically occur between a united opposition. Conflicts are formed when there are two tendencies/coercions which are interdependent/the principle of unity and yet mutually negate one another/the principle of rejection. Research method used in is a case study which focuses on one case in an individual, a group, an organization, etc. within its social context at one point in time, even if that one time spans months or years, or a design with a long and respected history. From the data analysis which implies that the intensity of the call and the dialectic has a very weak. It proves that the higher the intensity of calls, the lower level of the dialectic relationship is right or acceptable.
Keywords: communication intensity, relational dialectics, and long distance relationship
Introduction Selama menjalani kehidupan perkuliahan, banyak ditemui orang-orang yang memiliki kekasih yang tinggal di tempat yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka sekarang.Penyebab utamanya adalah biasanya pasangan-pasangan ini sudah berhubungan sebagai sepasang kekasih sejak mereka duduk di bangku 2
SMA. Saat masing-masing dari mereka menjalani kuliah di tempat yang berbeda- beda, secara otomatis hubungan mereka akan menjadi hubungan jarak jauh atau long distance relationship. Pacaran jarak jauh sendiri memiliki arti yang sama dengan hubungan pacaran lainnya, hanya saja pasangan yang menjalani pacaran jarak jauh memiliki jarak yang cukup jauh yang memisahkan keduanya. Hubungan jarak jauh memiliki kendala. Salah satu kendala yang paling jelas adalah berkurangnya kontak fisik. Kontak fisik yang dimaksud bisa berupa apa saja. Hal-hal seperti bertemu secara tatap muka pun juga pasti akan berkurang. Dengan adanya kendala-kendala ini, maka kemungkinan akan terjadinya konflik juga akan semakin besar. Dalam penelitian ini, komunikasi yang dipilih adalah adalah komunikasi via telepon. Peneliti memilih komunikasi via telepon karena menurut peneliti, orang yang melakukan komunikasi melalui telepon akan mendapatkan feedback yang lebih terasa nyata dan cepat dibanding dengan komunikasi melalui media lain. Selain itu, telepon dan ponsel adalah benda yang cukup umum dan hampir semua orang memilikinya sehingga peneliti menganggap pasangan-pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh akan lebih banyak memilih telepon sebagai media komunikasi mereka. Peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengaruh intensitas menelepon terhadap tingkat dialektika hubungan pasangan yang menjalani LDR ini. Selain itu, berdasarkan komunikasi yang dilakukan oleh para pasangan ini, peneliti ingin mengetahui akibatnya pada perasaan mereka terhadap pasangan masing-masing. Jika semakin sering intensitas meneleponnya, apakah mereka akan tingkat dialektika hubungan mereka akan semakin rendah atau malah sebaliknya, akan semakin tinggi. Berdasarkan uaraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah membuktikan bahwa Relational Dialectical Theory dalam teori komunikasi dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh komunikasi via telepon dalam long distance relationship terhadap tingkat dialektika pasangan tersebut secara ilmiah. Menjadi informasi atau bahan acuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan 3
bagi kalangan praktis atau peneliti lain yang ingin melakukan penelitian mengenai masalah yang serupa. Penelitian ini dapat digunakan agar masyarakat dapat lebih memahami long distance relationship dan juga agar masyarakat dapat menerapkan bagian-bagian dari penelitian ini dalam kehidupan romantisme mereka agar hubungan yang mereka lakukan dapat berjalan dengan lebih lancar.
Literature Review Dialectics of Close Relationship Theory Leslie Baxter dan Barbara Montgomery adalah para ahli komunikasi yang meneliti bagaimana komunikasi dapat menciptakan dan secara tetap membuat perubahan terhadap suatu hubungan dekat. Baxter sendiri adalah ketua extensive program penelitian di Universitas Iowa sedangkan Montgomery adalah ketua bagian akademik di Colorado State University-Pueblo. Pada mulanya Baxter melaksanakan sebuah wawancara secara mendalam (in-depth) pada sekelompok orang tentang hubungan personal yang sedang mereka jalani. Dia sendiri pada mulanya menyerah terhadap penelitiannya tersebut. Dia mengalami pertentangan, kemungkinan, hal yang tidak masuk akal dari hasil penelitiannya. Dia menemukan bahwa manusia berusaha untuk menginterpretasi segala macam pesan yang kompleks tentang hubungan yang dijalani yang kemudian mereka saling bicarakan dan dengarkan. Meskipun Montgomery melakukan penelitian terpisah dengan Baxter, namun pengalaman mereka serupa. Keduannya menemukan bahwa ada suatu ketegangan yang melekat pada suatu hubungan romantisme dan mereka mulai menggolongkan pertentangan yang dialami dalam suatu pasangan, Merekapun kemudian membukukan hasil penemuan mereka yaitu bahwa hubungan personal adalah proses yang belum bisa dipastikan sebagai suatu bentuk perubahan yang terus menerus. Penekanan yang mereka berikan bahwa hal tersebut tidaklah hanya dialami dalam hubungan romantisme saja, namun juga pada hubungan teman dekat bahkan hubungan keluarga sekalipun. 4
Menurut mereka, kehidupan sosial merupakan sekumpulan pertentangan yang dinamis, tidak berhenti untuk saling mempengaruhi kecenderungan untuk bertentangan. Relational dialetics berfokus pada ketegangan, pemberontakan, permasalahan dalam suatu ikatan personal. Pertentangan dalam suatu hubungan menjadi inti dari konsep relational dialectics. Bexter dan Mongomery menekankan bahwa dalam memandang suatu hubungan dekat janganlah dilihat secara demografis maupun sifat (kepribadian). Karena bukan biologis ataupun biografis lah yang menentukaan kecenderungan untuk memberontak terhadap pertentangan yang ada. Pertentangan yang menjadi konsep utama dalam teori ini merujuk pada hubungan timbal balik yang secara dinamis terjadi di antara pertentangan yang disatukan. Pertentangan terbentuk ketika ada 2 kecenderungan/paksaan yang saling bergantung (prinsip kesatuan) namun saling meniadakan satu dengan yang lainnya (prinsip penolakan). Menurut Baxter, setiap hubungan personal mengalami tekanan yang sama seperti demikian. Berdasarkan pemikiran Mikhail Bakhtin, intelektual Rusia, tekanan dialektis dianggap sebagai struktur dalam yang terdapat pada setiap manusia. Di satu sisi sebagai suatu daya tarik untuk bersama (bersatu) namun di sisi lain adalah daya tarik untuk berpisah. Dalam kamus Collin Cobuild, dialectic juga diartikan serupa yaitu suatu keadaan dimana terdapat dua faktor atau tekanan yang berbeda bisa berjalan secara bersamaan dan dimana perbedaan-perbedaan tersebut bisa terpecahkan. Baxter sependapat dengan Bakhtin bahwa suatu hubungan selalu mengalami perubahan, hanya ada satu kepastian yaitu secara pasti selalu berubah. Baginya, hal tersebut bukanlah hal buruk, namun dialectic tension menawarkan suatu kesempatan untuk berdialog, yakni kesempatan bagi setiap pasangan untuk bisa bekerja secara bersamaan di tengah-tengah antara kekuatan untuk bersatu dan perbedaan yang ada. Penggambaran tersebut yang kemudian terlihat merujuk pada suatu daya tarik atau tug, sehingga disebut tug-of-war, yang selalu berubah melalui percakapan yang terjadi di antara pasangan. 5
Catatan yang perlu ditambahkan di sini bahwa relational dialectic bukanlah merujuk pada 2 pemikiran,- dilemma kognitif dalam kepala setiap individu yang muncul sebagai keinginan untuk berkonflik, namun dialetic tension adalah suatu hal yang naluriah (alamiah) atau tak dapat terhindarkan sebagai hasil percakapan, bukan motif yang memaksakan untuk mengucapkan suatu hal dalam percakapan. Bahkan Baxter dan Montgomery melihat bahwa pertentangan tersebut sebagai suatu hal yang konstruktif dan konflik yang terjadi bukanlah suatu hal yang akan merusak hubungan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Baxter dan Montgomery difokuskan menyeluruh terhadap tiga dialektika relasional terdapat efek setiap hubungan dekat. 1. Integration and separation Dalam aspek ini kelas dialektika relasional mencakup koneksi-otonomi, inklusi-pengasingan, dan keintiman-kemerdekaan. Baxter dan Montgomery menganggap adanya kontadiksi antara koneksi dan otonomi sebagai suatu hal yang utama dalam semua hubungan. Jika satu sisi menang atau saling tarik- menarik maka hubungan akan hilang. Baxter dan Mongomery juga menjelaskan bahwa tidak ada hubungan yang bisa bertahan kecuali para pihak yang menjalin hubungan mau mengorbankan beberapa otonomi individunya. Namun, jika koneksi terlalu banyak paradox atau berlawanan akan menghancurkan hubungan karena identitas dari individu menjadi hilang. Kedua ilmuwan ini mempertahankan bahwa sebagai pasangan dengan stress keintiman dalam hubungannya mereka vis--vis dengan satu sama lain, sebagai pasangan mereka juga mengalami apa yang dinamakan dengan paralel yin-yang dengan orang-orang dalam jaringan sosial mereka. 2. Stability and Change Kelas dialektika relasional yang mencakup kepastian-ketidakpastian, konvensionalitas-keunikan, prediktabilitas-kejutan, dan rutin-kebaruan. Teori pengurangan ketidakpastian Berger membuat kasus yang kuat untuk suatu gagasan bahwa orang-orang berusaha untuk prediktabilitas dalam hubungan mereka. Sedangkan menurut Baxter dan Montgomery tidak mempertanyakan 6
pencarian individu untuk kepastian interpersonal. Mereka yakin bahwa Berger membuat suatu kesalahan dengan dengan mengabaikan upaya simultan kita terhadap suatu pembaharuan yang berlawanan. Kita mencari sedikit misteri, misalnya dalam sentuhan spontanitas kejutan sesekali diperlukan untuk bersenang-senang tanpa hal itu waktu hubungan menjadi hambar, membosankan dan emosional. 3. Expression and Nonexpression Kelas dialektika relasional yang mencakup keterbukaan-ketertutupan, revalation-penyembunyian, kerahasiaan dan keterbukaan, serta transparansi- privasi. Baxter dan Montgomery menangkap pengakuan dari Altman bahwa suatu hubungan tidak ada padan suatu jalan yang straight-line untuk sebuah keintiman. Mereka melihat tekanan untuk keterbukaan dan ketertutupan itu adakalanya bertambah besar atau pudar seperti yang terjadi pada fase bulan. Sama seperti open dan close dialektik menjadi sumber ketegangan yang berlangsung dalam suatu hubungan, pasangan juga menghadapi apa yang dinamakan revalation dan concealment mengenai apa yang harus diberitahukan kepada orang lain. Baxter dan Monthgomery memperhatikan bahwa setiap yang mungkin terjadi dari go public diimbangi dengan potensi bahaya yang sesuai. Dialog merupakan komunikasi yang konstituational, selalu mengalir, dan mampu mencapai momen estetika. Baxter menulis buku yang isinya berfokus kepada konsep dialog hubungan implikasi Mikhail Bakhtin. Ada 5 dialogic menggunakan pemikiran Bakhtin: 1. Dialogic as Constitutive Relationship in Communication Gagasan dialogic ini hampir sama dengan inti dari teori symbolic interactionism dan coordinated management of meaning, yang dinyatakan oleh Mead bahwa konsep diri itu dibentuk dari interaksi. Teori Coordinated Management of Meaning dari Pearce dan Cornen adalah jika dalam suatu hubungan sedang menghadapi konflik bagaimana menentukan titik temu antar keduanya, namun CMM theory dalam konteks Relational Dialectics adalah hal-hal yang dipertentangkan, dan perlu dibahas secara mendalam, sehingga 7
dapat menemukan titik temu dari berbagai sumber untuk membentuk pemahaman yang sebenar-benarnya. Dahulu, orang-orang lebih menekankan suatu hubungan terhadap kesamaan yang dimiliki baik dalam hal pemikiran, latar belakang, dan kesukaan, sehingga bisa membuat suatu hubungan tetap terjalin. Dan untuk terjalinnya hubungan itu kembali lagi kepada, self- disclosure yang merupakan inti yang sangat diperlukan dalam bentuk komunikasi karena dengan sel-disclosure mereka bisa mencari kesamaan yang sudah ada. Tetapi dalam pandangan dialogic perbedaan sama pentingnya dengan kesamaan, yang diciptakan serta dievaluasi saat kedua orang melakukan dialog. 2. Dialogic as Utterance Chain- Building Block of Meaning Ungkapan adalah yang diucapkan seseorang secara sepihak. Ungkapan (utterance) tersebut membentuk rantai ungkapan, rantai ungkapan meliputi apa yang telah didengar di masa lalu dan respon yang didapatkan di masa depan dari orang lain, orang terdekat, pihak ketiga, bahkan orang yang baru akan muncul di masa depan. Karena itu, Baxter menyatakan rantai ungkapan sebagai building block of meaning dalam pembangunan menciptakan makna melalui dialog. 3. Dialoque as Dialectical flux- The Complexity of Close Relationship Menurut Bakhtin dan Baxter semua kehidupan sosial manusia merupakan hasil dari pertentangan, tekanan terhadap kesatuan yang merupakan gabungan dari 2 pertentangan yang berbeda, hal ini menunjukkan suatu hubungan itu tidak dapat diprediksi, tidak dapat diakhiri, dan tidak tentu. Karena hubungan dibangun melalui dialog yang mengalir melalui percakapan yang sedang berlangsung, sehingga susunannnya tidak beraturan. Ketidak-beraturan dalam personal relationship menjauhkan suatu hubungan dari kedekatan, pemahaman, dan meningkatkan kepastian. 4. Dialoque as Aesthetic Moment- Creating Unity in Diversity Dialog sebagai momen estetika, yaitu sekilas perasaan menyatu diikuti dengan rasa menghargai yang mendalam dalam perbedaan pendapat dalam sebuah 8
dialog. Setiap pihak sangat menyadari perbedaan yang ada dan berusaha untuk keluar dari semua itu dengan menciptakan suatu hal yang baru. 5. Dialoque as Critical Sensibility-A critique of Dominant Voices Kewajiban untuk mengkritisi pendapat-pendapat yang dominan, khususnya yang menekankan sudut pandang yang berlawanan. Pendapat yang dominan menyebabkan atau disebabkan oleh terjadinya kekuasaan yang tidak seimbang, hubungan hirarki, dan pertimbangan yang dikesampingkan atau yang disisihkan.
Long Distance Relationship Lydon, Pierce, dan ORegan (1997) membedakan antara pacaran jarak jauh dan pacaran jarak dekat. Pacaran jarak jauh adalah hubungan pacaran yang terjadi pada dua orang yang tinggal pada dua kota yang berbeda. Sedangkan pacaran jarak dekat adalah hubungan pacaran yang terjadi pada dua orang yang tinggal pada kota yang sama. Sampai sekarang definisi hubungan jarak jauh belum ada definisi yang paten, karena pendapat individu yang berbeda-beda. Tetapi menurut Stafford (2005:7) pacaran jarak jauh adalah sebuah hubungan dimana kesempatan untuk berkomunikasi sangatlah terbatas dalam persepsi individu masing-masing yang menjalani dikarenakan batasan geografis dan individu di dalamnya terdapat ekspektasi untuk melanjutkan hubungan intim yang dekat. Turner dan Helms (1995) mengatakan, hubungan jarak jauh adalah hubungan antara dua pihak yang saling berkomitmen dimana keduanya tinggal terpisah minimal sejauh tiga jam tempuh kendaraan darat dan tidak dapat bertemu ketika mereka saling membutuhkan. Menurut Rohlfing (dalam Shantz dan Hartup, 1992) dalam penelitiannya mengenai hubungan pacaran jarak jauh, bahwa hubungan pacaran jarak jauh memiliki sisi negatif, yaitu dapat menimbulkan perasaan kecewa dan bahkan stres. Dalam penelitian ini Long Distance Relationship(LDR) atau hubungan jarak jauh yang kami maksud adalah ikatan antara dua orang yang membentuk suatu hubungan romantisme yang keduanya dibatasi oleh batasan geografis. 9
Menurut Coleman (2000) dalam penelitiannya, pikiran dan perasaan yang muncul dalam hubungan jarak jauh, membutuhkan suatu alat komunikasi yang efektif untuk memperlancar suatu hubungan, seperti telepon dan Internet. Tetapi komunikasi itu sendiri dapat menjadi penyebab putusnya hubungan pasangan. Bird dan Melville (1994) mengatakan bahwa dengan komunikasi yang lebih intensif, pasangan menjadi lebih mampu memahami satu sama lain sehingga keintiman di antara mereka juga semakin erat terjalin (Bird & Melville, 1994). Rohlfing (dalam Shantz dan Hartup, 1992) menyebutkan dalam penelitiannya mengenai hubungan pacaran jarak jauh bahwa individu yang menjalani hubungan ini cenderung memiliki pengharapan yang tinggi akan kualitas waktu yang dihabiskan bersama pasangan. Jadi berdasarkan teori relational dialectics yang telah peneliti paparkan di atas, peneliti berasumsi bahwa hasil penelitian ini akan menunjukkan korelasi yang positif, antara intensitas menelpon dengan tingkat dialektika hubungan romantisme jarak jauh. Dengan kata lain, semakin tinggi intensitas menelpon semakin tinggi tingkat dialektika dalam hubungan LDR.
Research Method Research method used in is a case study. Case study is a research strategy which focuses on one case (an individual, a group, an organization, etc.) within its social context at one point in time, even if that one time spans months or years, or a design with a long and respected history. In case study, generalizability is limited due to relatively small numbers of participant (Clark, 2011: 178-181). For data collection techniques, this research applied in-depth interview at 11 informans. Tabel 1. Operasionalisasi Konsep Menelepon Intensitas Durasi Frekuensi Relational Dialectics dalam LDR Kondisi Lama hubungan Kontradiksi Keterbukaan 10
Keterikatan Kestabilan
Research Findings and Discussion Penelitian ini dilakukan di Kampus Universitas Bakrie yang berlokasi di Gelanggang Mahasiswa Soemantri Brojonegoro Suite GF, Jl. HR Rasuna Said Kav C-22, Kuningan - Jakarta Selatan, yaitu pada Program Studi Ilmu Komunikasi. Informan dalam penelitian ini adalah 15 mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie angkatan 2010 yang pernah melakukan LDR. Informan terdiri dari 10 orang perempuan dan 5 orang laki-laki. Rentang umur responden dalam penelitian ini adalah 18 sampai dengan 21 tahun. Berdasarkan wawancara bahwa mayoritas, yakni sebanyak 10 orang informan adalah mahasiswa usia 19 tahun. Informan yang berusia 18 tahun ada 4 orang. Sedangkan yang berusia 21 tahun sebanyak 1 orang. Berdasarkan latar belakang asal daerah informan, sejumlah 10 informan adalah mahasiswa yang berasal dari daerah luar Jakarta. Dua orang informan dalam penelitian ini adalah mahasiswa asal Mataram, 2 informan berasal dari Bukit Tinggi. Sedangkan 6 orang informan sisanya berasal dari Bogor, Bandung, Cirebon, Lampung, Gorontalo, dan Batam. Sebanyak 5 informan berasal dari Jakarta. Keseluruhan responden melakukan LDR dengan pacar dikarenakan perbedaan geografis (lokasi tempat) untuk melanjutkan pendidikannya.
Intensitas Berkomunikasi Untuk variabel intensitas berkomunikasi diukur melalui dua indikator, yaitu frekuensi menelepon dan durasi menelepon. Untuk mengukur indikator tersebut, peneliti membuat pertanyaan mengenai seberapa sering responden menelepon dan seberapa lama durasi waktu yang dihabiskan ketika menelepon pasangan saat melakukan LDR. Mengenai pertanyaan tentang frekuensi menelepon pasangan, rata-rata informan dalam penelitian ini, menelepon pasangan saat melakukan LDR sebanyak 5 sampai 9 kali dalam seminggu. Jawaban paling banyak mengenai 11
frekuensi menelepon adalah kurang dari 4 kali dalam seminggu atau sebanyak 8 orang informan, menelepon pasangan saat LDR sebanyak kurang dari 4 kali dalam seminggu. Mengenai lama durasi menelepon yang dilakukan informan saat melakukan LDR dengan pacar, yaitu bahwa informan menghabiskan waktu rata- rata 30 hingga 59 menit setiap menelepon pasangannya. Ini berarti bahwa durasi menelepon pasangan saat LDR yang didapatkan dalam penelitian ini adalah mayoritas informan, yaitu sejumlah 9 orang. Sementara sisanya, sejumlah 6 orang, setiap kali menelepon pasangan LDR membutuhkan waktu antara 60 hingga 89 menit.
Relational Dialectics Variabel LDR diturunkan menjadi dimensi lama hubungan, keterbukaan, keterikatan, dan kestabilan. Dalam penelitian ini, variabel Y yaitu tingkat dialektika dapat diukur melalui dimensi kondisi. Dimensi lama hubungan, peneliti terapkan ke dalam dua pertanyaan, yaitu berapa lama hubungan LDR yang telah dijalani dan masih berjalankah hubungan tersebut hingga kini. Berdasarkan wawancara dijumpai bahwa rata-rata informan menjalin hubungan LDR dengan pasangan selama 12 sampai 23 bulan. Nilai tengah dari ke-15 data yang terhimpun dari para informan tentang lama hubungan LDR yang dijalani adalah antara 12 sampai 23 bulan. Sedangkan mayoritas informan, yaitu sebanyak 6 orang responden dalam penelitian ini menjalani hubungan LDR dengan pasangan selama 12 sampai 23 bulan. Pertanyaan mengenai masih atau tidakkah hubungan LDR yang dijalani para informan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa rata-rata informan tidak lagi menjalani LDR. Mayoritas hubungan LDR yang dijalani oleh para informan sudah berakhir, terlihat dari sebanyak 10 orang informan mengidentifikasikan bahwa informan tidak lagi menjalani hubungan LDR. Untuk mengukur dimensi keterbukaan, peneliti mengajukan pertanyaan, yakni: hal apa saja yang dibicarakan kepada pasangannya, dan hal apa saja yang ditutupi responden kepada pasangannya. Pertanyaan mengenai dalam hal apa saja 12
responden terbuka kepada pasangannya, berdasarkan hasil wawancara diperoleh data bahwa informan cukup terbuka pada pasangannya seputar informasi mengenai rutinitas, hubungan dengan teman, dan masalah keluarga. Dalam dimensi keterikatan, peneliti mengajukan pertanyaan seberapa dekat informan dengan pasangannya untuk melihat keseriusan informan dalam menjalin hubungan. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh data bahwa rata-rata dari 15 informan menjawab dekat dengan pasangannya. Mayoritas informan 9 orang di antaranya memilih jawaban dekat dengan pasangannya. Data ini juga menunjukkan bahwa informan cukup serius dalam menjalani hubungan dengan pasangannya. Pada dimensi kestabilan, peneliti ingin mengetahui tingkat kejenuhan yang terjadi saat informan menjalani hubungan LDR dengan pasanganya. Untuk itu peneliti melihatnya dari konflik yang pernah terjadi saat informan menjalani hubungan LDR dengan pasangannya. Berdasarkan wawancara diperoleh data bahwa yang menjadi penyebab timbulnya kejenuhan dalam hubungan antara lain tingkat konflik tinggi, kegiatan luar lebih menarik, dan teman membuat lebih nyaman.
Pembahasan Penelitian ini dilakukan untuk menguji hipotesis bahwa semakin tinggi intensitas menelepon maka semakin tinggi tingkat dialektika yang terjadi dalam hubungan jarak jauh. Hipotesis tersebut didasarkan pada kerangka teori yang telah dikemukakan oleh peneliti dalam bahwa dalam suatu hubungan personal yang dijalin antar individu, baik hubungan pertemanan, keluarga, maupun romantisme, selalu terjadi kontradiksi/pertentangan yang berupa Integration & Separation, Stability & Change, Expression & Nonexpression. Penelitian yang dilakukan oleh Baxter dan Montgomery difokuskan menyeluruh terhadap tiga dialektika relasional terdapat efek setiap hubungan dekat. 4. Integration and separation 13
Dalam aspek ini kelas dialektika relasional mencakup koneksi-otonomi, inklusi-pengasingan, dan keintiman-kemerdekaan. Baxter dan Montgomery menganggap adanya kontadiksi antara koneksi dan otonomi sebagai suatu hal yang utama dalam semua hubungan. Jika satu sisi menang atau saling tarik- menarik maka hubungan akan hilang. Baxter dan Mongomery juga menjelaskan bahwa tidak ada hubungan yang bisa bertahan kecuali para pihak yang menjalin hubungan mau mengorbankan beberapa otonomi individunya. Namun, jika koneksi terlalu banyak paradox atau berlawanan akan menghancurkan hubungan karena identitas dari individu menjadi hilang. Kedua ilmuwan ini mempertahankan bahwa sebagai pasangan dengan stress keintiman dalam hubungannya mereka vis--vis dengan satu sama lain, sebagai pasangan mereka juga mengalami apa yang dinamakan dengan paralel yin-yang dengan orang-orang dalam jaringan sosial mereka. 5. Stability and Change Kelas dialektika relasional yang mencakup kepastian-ketidakpastian, konvensionalitas-keunikan, prediktabilitas-kejutan, dan rutin-kebaruan. Teori pengurangan ketidakpastian Berger membuat kasus yang kuat untuk suatu gagasan bahwa orang-orang berusaha untuk prediktabilitas dalam hubungan mereka. Sedangkan menurut Baxter dan Montgomery tidak mempertanyakan pencarian individu untuk kepastian interpersonal. Mereka yakin bahwa Berger membuat suatu kesalahan dengan dengan mengabaikan upaya simultan kita terhadap suatu pembaharuan yang berlawanan. Kita mencari sedikit misteri, misalnya dalam sentuhan spontanitas kejutan sesekali diperlukan untuk bersenang-senang tanpa hal itu waktu hubungan menjadi hambar, membosankan dan emosional. 6. Expression and Nonexpression Kelas dialektika relasional yang mencakup keterbukaan-ketertutupan, revalation-penyembunyian, kerahasiaan dan keterbukaan, serta transparansi- privasi. Baxter dan Montgomery menangkap pengakuan dari Altman bahwa suatu hubungan tidak ada padan suatu jalan yang straight-line untuk sebuah keintiman. Mereka melihat tekanan untuk keterbukaan dan ketertutupan itu 14
adakalanya bertambah besar atau pudar seperti yang terjadi pada fase bulan. Sama seperti open dan close dialektik menjadi sumber ketegangan yang berlangsung dalam suatu hubungan, pasangan juga menghadapi apa yang dinamakan revalation dan concealment mengenai apa yang harus diberitahukan kepada orang lain. Baxter dan Monthgomery memperhatikan bahwa setiap yang mungkin terjadi dari go public diimbangi dengan potensi bahaya yang sesuai. Dialog merupakan komunikasi yang konstituational, selalu mengalir, dan mampu mencapai momen estetika. Baxter menulis buku yang isinya berfokus kepada konsep dialog hubungan implikasi Mikhail Bakhtin. Ada 5 dialogic menggunakan pemikiran Bakhtin: 6. Dialogic as Constitutive Relationship in Communication Gagasan dialogic ini hampir sama dengan inti dari teori symbolic interactionism dan coordinated management of meaning, yang dinyatakan oleh Mead bahwa konsep diri itu dibentuk dari interaksi. Teori Coordinated Management of Meaning dari Pearce dan Cornen adalah jika dalam suatu hubungan sedang menghadapi konflik bagaimana menentukan titik temu antar keduanya, namun CMM theory dalam konteks Relational Dialectics adalah hal-hal yang dipertentangkan, dan perlu dibahas secara mendalam, sehingga dapat menemukan titik temu dari berbagai sumber untuk membentuk pemahaman yang sebenar-benarnya. Dahulu, orang-orang lebih menekankan suatu hubungan terhadap kesamaan yang dimiliki baik dalam hal pemikiran, latar belakang, dan kesukaan, sehingga bisa membuat suatu hubungan tetap terjalin. Dan untuk terjalinnya hubungan itu kembali lagi kepada, self- disclosure yang merupakan inti yang sangat diperlukan dalam bentuk komunikasi karena dengan sel-disclosure mereka bisa mencari kesamaan yang sudah ada. Tetapi dalam pandangan dialogic perbedaan sama pentingnya dengan kesamaan, yang diciptakan serta dievaluasi saat kedua orang melakukan dialog. 7. Dialogic as Utterance Chain- Building Block of Meaning 15
Ungkapan adalah yang diucapkan seseorang secara sepihak. Ungkapan (utterance) tersebut membentuk rantai ungkapan, rantai ungkapan meliputi apa yang telah didengar di masa lalu dan respon yang didapatkan di masa depan dari orang lain, orang terdekat, pihak ketiga, bahkan orang yang baru akan muncul di masa depan. Karena itu, Baxter menyatakan rantai ungkapan sebagai building block of meaning dalam pembangunan menciptakan makna melalui dialog. 8. Dialoque as Dialectical flux- The Complexity of Close Relationship Menurut Bakhtin dan Baxter semua kehidupan sosial manusia merupakan hasil dari pertentangan, tekanan terhadap kesatuan yang merupakan gabungan dari 2 pertentangan yang berbeda, hal ini menunjukkan suatu hubungan itu tidak dapat diprediksi, tidak dapat diakhiri, dan tidak tentu. Karena hubungan dibangun melalui dialog yang mengalir melalui percakapan yang sedang berlangsung, sehingga susunannnya tidak beraturan. Ketidak-beraturan dalam personal relationship menjauhkan suatu hubungan dari kedekatan, pemahaman, dan meningkatkan kepastian. 9. Dialoque as Aesthetic Moment- Creating Unity in Diversity Dialog sebagai momen estetika, yaitu sekilas perasaan menyatu diikuti dengan rasa menghargai yang mendalam dalam perbedaan pendapat dalam sebuah dialog. Setiap pihak sangat menyadari perbedaan yang ada dan berusaha untuk keluar dari semua itu dengan menciptakan suatu hal yang baru. 10. Dialoque as Critical Sensibility-A critique of Dominant Voices Kewajiban untuk mengkritisi pendapat-pendapat yang dominan, khususnya yang menekankan sudut pandang yang berlawanan. Pendapat yang dominan menyebabkan atau disebabkan oleh terjadinya kekuasaan yang tidak seimbang, hubungan hirarki, dan pertimbangan yang dikesampingkan atau yang disisihkan. Masih didasarkan pada teori Relational Dialectics tersebut, diketahui bahwa ketiga bentuk kontradiksi tersebut akan dapat diatasi ketika kedua belah pihak yang melakukan hubungan personal selalu melakukan dialog mengenai hubungan mereka untuk membangun makna yang dipahami bersama. 16
Sehingga dalam hal ini, terlihat bahwa dialog yang dilakukan pasangan dapat mempengaruhi tingkat dialektika/kontradiksi yang terjadi dalam hubungan tersebut. Pasangan melakukan dialog dengan pasangan dengan tujuan untuk mengurangi tingkat kontradiksi yang terjadi. Karena itu lah, peneliti merumuskan dugaan bahwa semakin tinggi intensitas menelepon pasangan, maka tingkat dialektika yang terjadi akan semakin tinggi. Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan dengan melakukan wawancara terhadap 15 informan yaitu mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie yang pernah melakukan LDR, didapatkan data bahwa semakin tinggi intensitas berkomunikasi justru berpeluang terhadap munculnya konflik. Hal ini dikarenakan informasi yang diberikan kepada pasangan masing-masing pada saat berinteraksi justru berpeluang untuk timbulnya kecurigaan terhadap kepercayaan yang telah diberikan pasangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketika intensitas menelepon semakin tinggi, maka tingkat dialektika yang terjadi akan semakin rendah. Dengan kata lain, ketika pasangan semakin sering melakukan hubungan telepon, maka tingkat kontradiksi untuk terbuka-tidak terbuka, stabil-tidak stabil, serta terikat-tidak terikat dengan pasangan akan semakin kecil.
Simpulan Dalam suatu hubungan pacaran jarak jauh (LDR) secara alamiah pasangan akan mengalami kontradiksi/pertentangan yang dirasakan terhadap hubungan tersebut dengan pasangan masing-masing. Hubungan tersebut dapat diatasi ketika kedua belah pihak yang melakukan hubungan saling mendialogakan kondisi hubungan yang sedang dijalani. Hal tersebut peneliti terapkan dalam penelitian ini dimana melihat hubungan intensitas menelepon dapat mempengaruhi tingkat dialektika dalam hubungan jarak jauh tersebut. Kemudian penelitia rumuskan menjadi sebuah hipotesis bahwa semakin tinggi intensitas menelepon, maka tingkat dilaketika yang terjadi akan semakin tinggi. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 15 informan yang pernah melakukan LDR, diketahui bahwa intensitas menelepon dan tingkat dialektika 17
memiliki kaitan yang sangat lemah. Dengan demikian hal ini membuktikan bahwa hipotesis peneliti ini ditolak. Data ini juga menyiratkan bahwa tingkat dialektika tersebut dipengaruhi oleh varibel atau faktor-faktor yang lainnya. Dengan kata lain, intensitas menelepon memiliki pengaruh yang kecil terhadap tingkat dialektika dalam LDR. Dari hasil penelitian ini tentang pengaruh intensitas menelepon terhadap tingkat dialektika yang terjadi dalam Long Distance Relationship (LDR), yang telah dipaparkan oleh peneliti dalam kesimpulan di atas diketahui bahwa intensitas menelepon hanya berpengaruh kecil terhadap dilaketika, yang menyiratkan bahwa ada faktor lainnya yang dapat mempengaruhi dialketika. Sehingga dari penelitian ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk para pasangan yang sedang melakukan hubungan jarak jauh bahwa menelepon tidak bisa menjadi cara yang paling efektif untuk mengurangi kontradiksi (pertentangan) dengan pasangan. Pasangan perlu melakukan bentuk komunikasi lainnya untuk dapat mengurangi tingkat pertentangan tersebut demi menjaga keharmonisan hubungan yang dijalani. Peneliti juga berharap bahwa penelitian ini bisa dijadikan bahan rujukan bagi penelitian serupa selanjutnya untuk melihat faktor-faktor atau variabel lainnya yang lebih berpengaruh terhadap dialektika dalam hubungan, selain intensitas menelepon ini. Terakhir, harapan peneliti adalah bahwa penelitian ini bisa menjadi sebuah pengetahuan dan wawasan baru bagi seluruh mahasiswa Ilmu Komunikasi terkait dengan konsep komunikasi pada level interpersonal.
References Bird, E., and K. Melville, 1994. Families and Intimate Relationship. New York: McGraw Hill Inc. Griffin, Em. 2003. A Frist Look at Communication Theory. Fifth Edition. New York: McGraw Hill Inc. Levine, T.R., K.S. Aune, and H.S. Park. 2006. Love Styles and Communication in Relationships: Partners Preference, Initiation, and Satisfaction. Communication Quarterly Vol. 54. 18
Lydon, J., Pierce, T., and ORegan, S. 1997. Coping with Moral Commitment to Long-Distance Dating Relationships. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 73. Neto, F. 2007. Love Styles: A Cross-Cultural Study of British, Indian, and Portuguesse College Students. Journal of Comparative Family Studies Vol. 38. Shantz, C.U., and W.W. Hartup. 1992. Conflict in Child Adolescence Development. New York: McGraw Hill Inc. Turner, J.S., and D.B. Helm, 1995. Life Span Development. Fort Worth: Harcourt Brace College Publisher. Willmot, W.W., and J.L. Hocker, 2001. Interpersonal Conflict. Sixth Edition. New York: McGraw Hill Inc. Wood, Julia T. 2008. Communication Mosaics: An Introduction to the Field of Communication. International Edition.Canada: Nelson Education, Ltd.