You are on page 1of 13

PENYUSUNAN ALGORITMA PENDUGA KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN DATA SPEKTRORADIOMETER DI PERAIRAN TELUK JAKARTA DAN KEPULAUAN SERIBU Abstrak

One of the potency of ocean natural resource which has important economic value is fishery resource. One of fish characteristic is they generally gather in fertile water territorial. Fertile water territorial is water territorial with high primary productivity. There are linear relation between the primary productivity with the overflows of plankton. If the oferflows of plankton in a water territorial is high, the prumary produktivity also tends to increase It is also said that active pigment concentration in photosynthesis (chlorofil-a) serves as standing stock of fitoplankton to estimate the fast primary productivity in territorial water. Therefore, a few research use chlorofil-a method to estimate primary productivity in water territorial. This research is executed as a means to make correct algorithm model between chlorofil-a data concentration in situ and the spektral spektroradiometer value through regretion - correlation analysis and depicts map of spreading concentration of chlorofil-a in Jakarta Bay and Seribu Islands so that the spread of primary productivity in the water territorial can be seen. Process of algorithm compilation is conducted by using linear regrestion analysis between concentration chlorofil-a value as independent variable and canal combination of spectroradiometer as dependent variable. Next, F test and t test is conducted to yielded algorithm. Spectral concentration of chlorofil-a data and concentration of chlorofil-a a data in situ done by using Microsoft Excel, while algorithm compilation is conducted by using SPSS 11.00 for windows Statistically processing data yields best canal combination to estimate spread of chlorofil-a concentration in Jakarta Bay and Seribu Islands is K1+LnK5+K9. Equation model to estimate of chlorofil-a concentration wich is assessed statistically is consedered very good because it has correlation coefficient value, r = 0.999, and assessed determination coefficient, R 2 = 99.8%. In this research conducted by a algorithm compilation to estimate horizontal spread from average value of chlorofil-a concentration which exists in deepness of 1-3 metres. The conversion of the data result of primary productivity concentrations which are produced by both by chlorofil-a concentration in situ and chlorofil-a concentration value through Final Algorithm are almost the same. Water teritorial can be considered as less fertile or fertile from the range of the primary productivity concentration 0.032 g C/m3/hour until 0.229 g C/m3/hour. Based on the criterion, hence territorial water of Seribu Islands is considered a fertile territorial water with value of primary productivity concentration equal to 1.104 g C/m3/hour. 1. PENDAHULUAN Salah satu potensi sumber daya perikanan alam di lautan yang memiliki nilai ekonomis tinggi atau penting yaitu sumber daya perikanan. Potensi sumber daya perikanan dapat diduga berdasarkan produktivitas primer suatu perairan. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan faktor efisiensi ekologis dalam jaring-jaring makanan. Faktor efisiensi ekologis adalah faktor konversi untuk menduga produktivitas bahan organik dari organisme tingkat atas (konsumen) berdasarkan produksi bahan organik organisme tingkat rendah (produsen), dalam jenjang aliran energi (trophic level). Menurut Raymond (1963), terdapat hubungan yang linier antara produktivitas primer dengan kelimpahan plankton. Dikatakannya bahwa semakin tinggi kelimpahan plankton di suatu perairan, maka perairan tersebut cenderung memiliki produktivitas primer yang tinggi. Ryther dan Yentsch (1957), mengungkapkan bahwa konsentrasi pigmen aktif dalam fotosintesis (klorofil-a) dapat digunakan sebagai standing stock dari fitoplankton untuk memperkirakan laju produtivitas primer di perairan. Oleh karena itu dalam beberapa penelitian digunakan metode klorofil-a untuk menduga produktivitas primer suatu perairan. Pengukuran produktivitas primer selama ini hanya dilakukan dengan metode konvensional. Kondisi wilayah laut Indonesia yang luas menjadi salah satu kendala untuk menginventarisasi sumber daya alam, khususnya untuk mengetahui sebaran produktivitas primer di suatu perairan. Kondisi tersebut tidak jarang mengakibatkan kegiatan penelitian menjadi sangat mahal, dan memakan waktu yang lama. Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi yang dapat memberikan informasi tentang kondisi laut dan daratan di Indonesia secara cepat, murah dan memiliki akurasi tinggi dalam memberikan informasi global. Melalui teknologi

tersebut diharapkan kendala yang biasa ditemui oleh teknologi konvensional dalam menginventarisasi sumber daya hayati laut dapat diatasi. Teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu metode alternatif yang sangat menguntungkan jika dimanfaatkan pada suatu negara dengan wilayah yang sangat luas seperti Indonesia. Menurut Sutanto (1992), ada beberapa keuntungan penggunaan teknologi penginderaan jauh, antara lain yaitu: 1. citra menggambarkan obyek, daerah dan gejala di permukaan bumi dengan wujud dan letak obyek yang mirip dengan wujud dan letaknya di permukaan bumi, relatif lengkap, permanen dan meliputi daerah yang sangat luas. 2. karakteristik obyek yang tidak tampak dapat diwujudkan dalam bentuk citra, sehingga dimungkinkan pengenalan obyeknya 3. citra dapat dibuat secara tepat, meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara teresterial. 4. merupakan satu-satunya cara untuk memetakan daerah bencana. 5. periode pembuatan citra relatif pendek Melalui penggunaan metode tersebut pendugaan produktivitas primer dapat dilakukan secara sinoptik berdasarkan konsentrasi klorofil. Keberhasilan pendugaan produktivitas primer sangat tergantung kepada penentuan model algoritma konsentrasi klorofil yang cocok untuk wilayah perairan yang diamati pada penelitian ini. 2. METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlokasi di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Lokasi pengambilan data in situ ditentukan berdasarkan perbedaan kualitas air yang diamati secara visual. Perairan Teluk Jakarta secara visual terlihat bahwa pada daerah teluk warna perairan keruh dan gelap dan semakin ke utara, perairan semakin jernih. Dalam penelitian ini terdapat 2 pendekatan pengukuran kualitas air yaitu: 1. Pengambilan sampel arah tegak lurus garis pantai: dekat teluk diwakili oleh titik sampel di perairan Muara Angke, di tengah diwakili oleh titik sampel di perairan Pulau Pari dan jauh dari teluk diwakili oleh titik sampel di perairan Pulau Pramuka. 2. Pengambilan sejajar dengan pantai Teluk Jakarta: dekat dan jauh dari daerah estuary
-5

Sumatera
-5.5

Teluk Jakarta

-6
- 5 .6

-6.5

Jawa Barat
-7

P. Pramuka 1 P. Pari 2 Jakarta


- 6 .2 106. 106.8 107 107.2 - 5 .8

5 -6 4
-7.5

-8

105

105.5

106

106.5

107

107.5

108

108.5

109

Keterangan : Stasiun Pengamatan Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Pada saat pengambilan sampel air, dilakukan juga perekaman nilai reflektansi dari perairan tersebut dengan menggunakan spektroradiometer. Berikut Tabel Titik dan Waktu Pengambilan Sampel Air di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu Tabel 1. Titik dan Waktu Pengambilan Sampel Air Stasiun 1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5 Titik Sampel 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Latittude(0) 5,768 LS 5,778 LS 5,787 LS 5,870 LS 5,875 LS 5,881 LS 6,089 LS 6,087 LS 6,085 LS 6,095 LS 0,095 LS 0,095 LS 6,100 LS 6,100 LS 6,100 LS Langitude(0) 106,604 BT 106,594 BT 106,590 BT 106,590 BT 106,592 BT 106,592 BT 106,821 BT 106,823 BT 106,822 BT 106,780 BT 106,781 BT 106,780 BT 106,767 BT 106,767 BT 106,766 BT Waktu (wib) 13.20 13.35 13.40 13.55 14.00 14.15 15.00 15.20 15.25 15.40 15.45 16.00 09.40 09.50 09.55 10.05 10.10 10.20 10.25 10.40 10.45 10.55 11.05 11.15 11.20 11.30 11.35 11.45 11.50 12.00

2.2 Alat dan Bahan Data klorofila in situ merupakan bahan utama yang digunakan untuk menyusun algoritma dalam penelitian ini. Konsentrasi klorofil-a in situ diperoleh dari sampel yang diambil di lapisan permukaan dan diolah lebih lanjut di laboratorium. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol sampel, kertas miliphore berpori 0,45 mm dan diameter 47 mm, pompa tekan hisap, plastik hitam, aluminium foil, tabung niskin, sebtrifuse, tissue grinder, freezer (pendingin), spektroradiometer, GPS, pensil, buku tulis, perahu motor, cool box, aseton 90% dan MgCO3. Berikutnya yang diperlukan adalah data spektral dari spektroradiometer. Data yang diperoleh sudah dalam bentuk nilai digital (nilai negatif). Namun untuk kepentingan konversi data, maka nilai negatif tersebut kemudian dibuatkan nilai absolutnya. 2.3 Pengambilan Sampel Klorofil-a in situ dan Pengambilan Nilai Reflektansi Klorofil-a dengan Spektroradiometer Lokasi pengambilan data in situ dibagi menjadi 5 stasiun dari perairan di sekitar Muara Angke, Pulau Pramuka dan Pulau Pari dengan perincian yaitu stasiun 1 berada di sekitar pulau Pramuka, stasiun 2 di sekitar pulau Pari dan stasiun 3, 4, dan 5 di Muara Angke. Di setiap stasiun terdapat 3 titik pengambilan sampel air. Pada stasiun 1 dan stasiun 2 dilakukan pengambilan sampel pada kedalaman 1,2,3,4,5,6,8,10 meter dengan menggunakan botol Niskin. Kedalaman 7 dan kedalaman 9 tidak dilakukan pengambilan sampel air karena diasumsikan sudah dapat diwakilkan oleh kedalaman 8 dan 10 dimana konsentrasi klorofil akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Sedangkan pada stasiun 3 dan 4 pengambilan sampel dilakukan pada kedalaman 1, 2, 3, 4 dan 5 meter, sedangkan stasiun 5 pada kedalaman 1, 2 meter. Dari 3 titik tersebut, air yang berasal dari kedalaman yang sama kemudian dicampur antara yang satu dengan yang lain dan hasil campuran tadi kemudian dijadikan sebagi data sampel. Pada saat yang sama juga

dilakukan pengukuran nilai spectral reflectance dari perairan dengan menggunakan spektroradiometer. Sensor spektro ditempatkan di kapal dengan jarak 2 meter di atas permukaan air laut. Air sampel dianalisa di Laboratorium Limnologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 2.4 Pengolahan Data Klorofil-a Pada hari pertama pengambilan sampel air dilakukan di sekitar Pulau Pramuka dan Pulau Pari pada pukul 13.20 wib dimana kondisi cuaca cukup cerah sehingga matahari dapat menembus kolom perairan. Hari kedua pengambilan sampel air dilakukan di sekitar Muara Angke pada pukul 09.40 wib. Jarak antar titik pengambilan sampel air sekitar 5 menit dengan menggunakan kapal bermotor. Air sampel selanjutnya diberi MgCO3, sebagai pengawet. Berikutnya dilakukan pengolahan sampel di Laboratorium, untuk mengetahui konsentrasi klorofil-a di dalam air sampel. Sampel air selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas milipore berdiameter 47 mm. Penyaringan dibantu dengan pompa tekan hisap ( hand pump). Pada keadaan sebelum dan sesudah penyaringan selesai, kertas dibilas dengan menggunakan larutan MgCO 3. Selanjutnya hasil saringan dibungkus dengan aluminium foil dan disimpan dalam freezer (pendingin) sampai proses ekstraksi dikerjakan. Ekstraksi sampel dilakukan dengan menggerus sampel dalam pelarut aseton 90% dengan tissue grinder. Ekstrak selanjutnya dibiarkan beberapa saat dalam wadah kedap cahaya. Kemudian sampel disentrifus dan dicatat nilai ekstensinya dengan menggunakan spektroradiometer . Setelah melalui pengolahan sampel di laboratorium, maka hal lain yang dilakukan yaitu mencari konsentrasi klorofil-a berdasarkan formula yang disiapkan dan dipublikasikan oleh: American Public Health Association, American Water Works Association dan Water Environment Federation. Formula tersebut adalah sebagai berikut ini: Chl-a = Dimana: Chl-a Ca V S
CaxV S

= konsentrasi klorofil-a (mg/l) = indeks klorofil = volume sampel yang diekstrak (l)=0,01 = volume sampel yang diambil (m3)= 0,2ml

Untuk keperluan konversi ke produktivitas primer, maka satuan untuk klorofil-a yang semula mg/l, maka untuk selanjutnya akan diganti menjadi mg/m 3. Dimana proses konversinya melalui cara yaitu: Chl-a (mg/l)x1000 2.5 Pengolahan Data Spektroradiometer Data yang diperoleh dari spektroradiometer masih berupa nilai negatif. Untuk keperluan transformasi data, maka kemudian nilai tersebut dibuatkan nilai absolutnya 2.6 Penyusunan Algoritma Gitelson et al. (1993) memberikan formula untuk mengkombinasikan kanal yaitu: Z =
( Ractive Rreference) ( Ractive + Rreference)

Namun koreksi atmosfer tidak dilakukan karena alat yang digunakan untuk memperoleh nilai klorofil-a yaitu spektroradiometer hanya berada sekitar 2 meter dari permukaan air laut yang artinya alat tersebut tidak terhalang oleh awan dalam memperoleh nilai reflektansi klorofil-a sehingga tidak perlu dilakukan koreksi atmosfer. Untuk pembuatan persamaan regresi (algoritma) maka kanal yang akan dipakai adalah kanal 1, kanal 2, kanal 9 dan kanal 10 dari spektroradiometer, karena panjang gelombang radiasi elektromganetik yang dapat diindera oleh keempat kanal tersebut memiliki hubungan erat terbaik dengan [Chl-a] yang akan diamati.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Penelitian Hasil penelitian yang dilakukan diuraikan dalam beberapa sub bahasan yang mencakup beberapa hal yaitu, penentuan kombinasi kanal untuk pendugaan konsentrasi klorofil-a, penyusunan algoritma, pengujian model dan transformasi nilai konsentrasi klorofil-a menjadi nilai produktivitas primer. 3.1.1 Penentuan Kombinasi Kanal untuk Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a Daerah Teluk Jakarta dan sekitarnya merupakan daerah perairan yang memiliki konsentrasi padatan tersuspensi lebih banyak daripada konsentrasi klorofil, sehingga wilayah penelitian diasumsikan tergolong perairan kasus dua (Robinson, 1985). Pendugaan klorofil-a pada kasus perairan dua cukup rumit karena konsentrasi klorofil-a jauh lebih kecil dibandingkan konsentrasi MPT (Muatan Padatan Tersuspensi) dan yellow substance. Oleh karena itu harus dilakukan penelitian kanal yang tepat dan memiliki sifat optik yang peka (sensitif) terhadap konsentrasi klorofil-a agar kesalahan dalam interpretasi dapat diminimumkan. Pendugaan sebaran konsentrasi klorofil-a selanjutnya [Chl-a] pada penelitian ini, akan menggunakan perbandingan kanal (kanalaktif kanal reference/ kanalaktif +kanal reference) yang diajukan oleh Gitelson et al. (1993). Diperlukan 2 kanal yang berfungsi sebagai kanal yang aktif (sensitif) dan kanal refence (kurang sensitif) untuk diperbandingkan. Untuk pembuatan persamaan regresi (algoritma) maka kanal yang akan dipakai adalah kanal 1, kanal 2, kanal 9 dan kanal 10 dari spektroradiometer, karena panjang gelombang radiasi elektromagnetik yang dapat diindera oleh keempat kanal tersebut memiliki hubungan erat terbaik dengan [Chl-a] yang akan diamati. Maul (1985), menyimpulkan bahwa titik puncak pertama penyerapan berada pada selang panjang gelombang 400-500 nm dan titik puncak kedua pada selang 600-700 nm. Kesimpulan ini juga didukung oleh pendapat dari Lillesand dan Kiefer (1990) yang mengungkapkan bahwa, penyerapan klorofil-a berpusat pada panjang gelombang 450 nm dan panjang gelombang 650 nm. Tingginya koefisien penyerapan pada kedua selang panjang gelombang tersebut menunjukkan eratnya hubungan antara panjang gelombang yang bersangkutan dengan klorofil-a. Diketahui pula bahwa kedua selang panjang gelombang yang memiliki kisaran koefisien penyerapan terbesar tadi, berada pada kisaran panjang gelombang yang dapat diindera oleh sensor yang terdiri atas kanal 1 (46025nm), kanal 2 (46035nm), kanal 9 (66025nm) dan kanal 10 (66035nm) spektroradiometer. Untuk pengolahan algoritma penduga sebaran [Chl-a] berikutnya, maka akan digunakan kanal 1, kanal 2, kanal 9 dan kanal 10. Dengan demikian maka untuk sementara variabel bebas penduga sebaran klorofil-a adalah: X1 =

(K2 - K10) (K2 + K10)

X2 =

[K(1 + 2)/2] - [K(9 +10)/2] [(K1 + 2)/2] +[K(9 +10)/2]

3.1.2. Penyusunan Model Algoritma Estimasi algoritma dilakukan dengan meregresikan variabel bebas X dengan variabel tak bebas Y. Sebelum melakukan regresi linear antara varabel X dengan varabel tak bebas Y, terlebih dahulu dilakukan berbagai macam operasi untuk memperoleh kombinasi X dan Y yang terbaik. Berdasarkan hasil penentuan kanal yang ditentukan maka untuk sementara ada 2 variabel bebas X yaitu: X1 = X2 =

(K2 - K10) (K2 + K10)

atau

b1 b2
atau

[K(1 + 2)/2] - [K(9 +10)/2] [K(1 + 2)/2] +[K(9 +10)/2]

c1 c2

variabel tak bebas Y adalah [Chl-a]. Untuk melihat keeratan hubungan antara ke-2 variabel maka perlu dilihat koefisien korelasi antara ke-2 variabel. Setelah dilakukan perhitungan korelasi berdasar regresi linear sederhana dengan 2 variabel antara variabel X 1 dan Y diperoleh nilai koefisien korelasinya = 0, 698999284 serta antara variabel X2 dan Y diperoleh nilai koefisien korelasinya = 0,607536007. Agar diperoleh korelasi yang lebih besar, dapat dilakukan metode transformasi terhadap variabel bebasnya. Pada penelitian ini digunakan 3 jenis transformasi yaitu log X, Ln X dan X 2. Alasan penggunaan dari suatu transformasi tergantung pada sifat dari data itu sendiri. Bentuk transformasi yang paling mendekati terhadap komposisi klorofil secara vertikal di dalam kolom air adalah log X, Ln X dan X 2.

Setelah melalui perhitungan regresi, maka diperoleh nilai korelasi tertinggi adalah untuk kombinasi
(K2 - K10) kanal yaitu sebesar 0.698927750. Disamping model algoritma di atas, maka dalam (K2 + K10) penelitian ini akan dibuat model algoritma lain dengan terlebih dahulu membedakan antara data pengambilan sampel air sebelum pukul 12.00 wib dengan data setelah pukul 12.00 wib dan faktor kedalaman, dimana hal ini dilakukan agar dapat menghasilkan model algoritma yang lebih baik lagi. Setelah memplotkan antara data klorofil yang diperoleh secara insitu dengan kedalaman maka diperoleh bahwa kedalaman yang baik sebagai pengambilan sampel air pada penelitian ini adalah pada kedalaman 15 meter di bawah permukaan air laut. Dari Gambar 1 dapat kita ketahui bahwa dengan semakin dekat dengan daratan konsentrasi klorofil semakin meningkat. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan hal tersebut terjadi yaitu: Pertama, perairan pantai menerima sejumlah besar unsur-unsur kritis, yaitu P dan N dalam bentuk PO 4 dan NO3, melalui runoff dari daratan (dimana kandungan zat hara jauh lebih baik). Karenanya perairan pantai tidak kekurangan zat hara. Faktor kedua adalah bahwa pada umumnya perairan pantai kedalaman airnya dangkal, bahkan lebih dangkal daripada kedalaman kritis. Dengan demikian pada cuaca apapun, fitoplankton tidak mungkin terseret ke bawah kedalaman kritis. Bila intensitas cahaya cukup, produksi dapat terus berlangsung, bahkan juga dalam musim dingin. Faktor ketiga ialah bahwa dalam perairan pantai jarang terdapat termoklin permanen, sehingga tidak ada zat hara yang terperangkap di dasar perairan. Faktor terakhir yaitu banyaknya bahan reruntuhan dan serasah yang berasal dari daratan yang dapat membatasi kedalaman zona fotik dan dengan demikian menyebabkan tingginya kadar zat hara, serta dangkalnya perairan. Sedangkan pada stasiun 5 tidak mengikuti pola secara umum, karena kedalaman pengambilan sampel air hanya dilakukan pada kedalaman 1 dan 2 meter saja.
2

Model algoritma yang akan dicobakan yaitu: Y = aX1 Y = aX1 + bX2 Dimana: Y = [Chl-a], X2 = kanal 5 (kanal hijau), model algoritma yang lain yaitu: Y = aX4 Dimana: Y = [Chl-a], X5 = kanal 6 (kanal hijau), Y = aX4 + bX5

Y = aX1 + bX2 + cX3

X1 = kanal 1 (kanal biru) X3 = kanal 9 (kanal merah)

Y = aX4 + bX5 + cX6

X4 = kanal 2 (kanal biru) X6 = kanal 10 (kanal merah)

Setelah melalui perhitungan regresi dengan menggunakan program SPSS 11.00 for Windows, maka dihasilkan koefisien korelasi dan koefisien determinasi tertinggi adalah untuk kombinasi kanal K1 2+K5+K9 yaitu sebesar 0.187 dan 2.5% dengan menggunakan data sebelum pukul 12.00 wib dan kedalaman 1 5 meter, sedangkan untuk data setelah pukul 12.00 wib diperoleh koefisien korelasi dan koefisien determinasi tertinggi adalah untuk kombinasi kanal K12+K52+K92 yaitu sebesar 0.488 dan 23.8% Dengan cara yang sama, maka dihasilkan koefisien korelasi dan koefisien determinasi tertinggi adalah untuk kombinasi kanal K22+K62+K102 yaitu sebesar 0.386 dan 14.9% dengan menggunakan data sebelum pukul 12.00 wib dan kedalaman 1 5 meter, sedangkan untuk data setelah pukul 12.00 wib diperoleh koefisien korelasi dan koefisien determinasi tertinggi adalah untuk kombinasi kanal K2 2+K62+K102 yaitu sebesar 0.637 dan 0.6%. Dengan menggunakan cara yang sama tetapi dengan lebih memperkecil selang kedalaman menjadi 1 3 meter, maka dihasilkan koefisien korelasi dan koefisien determinasi tertinggi adalah untuk kombinasi kanal K12+K52+K92 yaitu sebesar 0.702 dan 49.3% dengan menggunakan data sebelum pukul 12.00 wib, sedangkan untuk data setelah pukul 12.00 wib diperoleh koefisien korelasi dan koefisien determinasi tertinggi ada pada 13 kombinasi kanal yaitu:

Tabel 2. Nilai Determinasi dan Korelasi untuk 13 Kombinasi Kanal Terbaik No KOMBINASI KANAL DETERMINASI (R2) KORELASI (r) 1 Y K1+k5+K9 99.8% 0.999* 2 Y - K1+logK5+logK9 99.8% 0.999* 3 Y K1+K5+logK9 99.8% 0.999* 4 Y logK1+K5+K9 99.8% 0.999* 5 Y K12+K5+K9 99.8% 0.999* 6 Y K1+K52+K9 99.8% 0.999* 2 7 Y K1+K5+K9 99.8% 0.999* 8 Y Ln K1+K5+K9 99.8% 0.999* 9 Y K1+LnK5+K9 99.8% 0.999* 10 Y K1+K5+LnK9 99.8% 0.999* 11 Y LogK1+K5+LogK9 99.8% 0.999* 12 Y LogK1+LogK5+LogK9 99.8% 0.999* 13 Y K12+K52+K92 99.8% 0.999* Dengan cara yang sama, maka dihasilkan koefisien korelasi dan koefisien determinasi tertinggi adalah untuk kombinasi kanal K22+K62+K102 yaitu sebesar 0.331 dan 10.9% dengan menggunakan data sebelum pukul 12.00 wib dan kedalaman 1 3 meter, sedangkan untuk data setelah pukul 12.00 wib diperoleh koefisien korelasi dan koefisien determinasi tertinggi adalah untuk kombinasi kanal K2+K6+K10 2 yaitu sebesar 0.908 dan 82%. Dengan menggunakan cara yang sama untuk kombinasi kanal yang diajukan oleh Gitelson et al. (1993) ( Ractive Rreference) yaitu: Z= ( Ractive + Rreference) bila dirubah kedalam kanal Spektroradiometer, maka akan menjadi: X=

[K(1 + 2)/2] - [K(9 +10)/2] [K(1 + 2)/2] +[K(9 +10)/2]

atau

c1 c2
2

c Koefisien korelasi tertinggi adalah untuk kombinasi kanal 1 yaitu sebesar 0.218840987 dengan c2 menggunakan data di bawah pukul 12.00 wib dan kedalaman 1 5 meter, sedangkan untuk data setelah c1 pukul 12.00 wib diperoleh koefisien korelasi tertinggi adalah untuk kombinasi kanal Ln yaitu sebesar c2 0.19849332. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa ada 13 kombinasi kanal yang mempunyai nilai korelasi paling besar yang sama. Menurut Sembiring (1995), untuk menentukan algoritma yang lebih baik apabila ada lebih dari satu algoritma yang memiliki nilai korelasi yang sama, maka kita dapat memilihnya dengan melihat nilai dari jumlah rataan kuadrat sisanya atau KTSnya. Semakin kecil nilai KTS maka algoritma yang diperoleh akan semakin baik. Berikut tabel nilai KTS dari 13 kombinasi kanal tersebut:
Tabel 3. Nilai KTS dari 13 Kombinasi Kanal Terbaik NO Kombinasi Kanal Nilai KTS 1 Y K1+k5+K9 8.2493x10-16 2 Y - K1+logK5+logK9 7.6498x10-16 3 Y K1+K5+logK9 8.2345x10-16 4 Y logK1+K5+K9 8.2876x10-16 2 5 Y K1 +K5+K9 8.2265x10-16 2 6 Y K1+K5 +K9 8.9246x10-16 7 Y K1+K5+K92 8.2762x10-16 8 Y Ln K1+K5+K9 8.2876x10-16 9 Y K1+LnK5+K9 7.6430x10-16*

10 11 12 13

Y K1+K5+LnK9 Y LogK1+K5+LogK9 Y LogK1+LogK5+LogK9 Y K12+K52+K92

8.2345x10-16 8.2599x10-16 7.6512x10-16 8.9147x10-16

Dari Tabel 3 dapat kita ketahui bahwa kombinasi kanal yang mempunyai nilai KTS paling kecil adalah K1+LnK5+K9, sehingga variabel bebas yang akan digunakan adalah K1+LnK5+K9 dan dapat disimpulkan bahwa kanal dan transformasi terbaik adalah K1+LnK5+K9 dengan menggunakan data [Chl-a] dan data reflektansi klorofil-a setelah pukul 12.00 wib dan kedalaman 1-3 meter, karena memiliki nilai koefisien determinasi dan koefisien korelasi terbesar yaitu 99.8% dan 0.999 serta nilai KTS yang paling kecil yaitu 7.6430x10-16. Dengan demikian maka, untuk variabel bebasnya kita menggunakan 3 variabel bebas yaitu X1 = K1, X2 = LnK5, X3 = K9 dan variabel tak bebasnya Y = [Chl-a]. Dengan menggunakan Program SPSS 11.00 for Windows maka diperoleh [Chl-a] = -5.4170x10 -5 + 5.2882x10-6 K1 + 3.0598x10-6 LnK5 + 4.4079x10-6 K9. Selanjutnya model tersebut akan disebut sebagai Algoritma Akhir.
Normal P-P Plot of R egression Standardiz ed Residual Dependent Variable: Y

1,00

,75

,50

,25
Expec ted Cum Prob

0,00 0,00
Obs erved Cum Prob

,25

,50

,75

1,00

Gambar 2. Hubungan [Chl-a] dengan Kombinasi Kanal K1+LnK5+K9 3.1.3. Pengujian Model Uji yang dilakukan terhadap model adalah uji F dan uji t. Melalui perhitungan regresi yang dilakukan, diperoleh nilai seperti Tabel 3. Berdasarkan analisis regresi-korelasi, algoritma memiliki nilai korelasi r = 0.999. Dengan demikian pada algoritma yang diperoleh, terdapat hubungan yang sangat erat antara variabel bebas K1 + LnK5 + K9 dengan variabel tak bebas [Chl-a]. Algoritma juga dapat dikatakan mampu menjelaskan 99.8% permasalahan yang diamati. Pada pengujian algoritma, diperoleh Fhitung sebesar 335.0714. Oleh karena nilai F tabel dengan db (3,2) pada taraf nyata 1% adalah 99.16 maka F hitung > Ftabel. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel bebas K1 + LnK5 + K9 terhadap perubahan nilai variabel tak bebas [Chl-a]

Tabel 4. Uji Kehandalan Model Algoritma Akhir

KETERANGAN

HASIL

Model Umum Y = 0+1X1+2X2+3X3 Uji F Fhitung Ftabel Taraf Nyata Uji t untuk 0 thitung ttabel Taraf Nyata Uji t untuk 1 thitung ttabel Taraf Nyata Uji t untuk 2 thitung ttabel Taraf Nyata Uji t untuk 3 thitung ttabel Taraf Nyata Selang Kepercayaan untuk 0 1 2 3

[Chl-a] = -5.4170x10-5 + 5.2882x10-6 K1 + 3.0598x10-6 LnK5+ 4.4079x10-6 K9 335.0714 99.16 1% 25.0084 9.9250 1% 15.3558 9.9250 1% 20.7006 9.9250 1% 16.3683 9.9250 1% Fhitung > Ftabel

thitung > ttabel

thitung > ttabel

thitung > ttabel

thitung > ttabel

-7.5669x10-5 < 0 < -3.2672x10-5 1.8703x10-6 < 1< 8.7062x10-6 1.5928x10-6 < 2 < 4.5269x10-6 1.7352x10-6 < 3 < 7.0806x10-6

Pada uji-t yang dilakukan terhadap algoritma akhir diatas, nilai t hitung untuk b 0 = 25.0084, b1 = 115.3558, b2 = 20.7006 maupun untuk b3 = 16.3683 lebih besar dibandingkan dengan t tabel = 9.9250 dengan dB (3) dan taraf 1%. Berdasarkan hasil tersebut maka berhasil tolak Ho pada uji t untuk b 0, b1, b2, b3 karena 0 0, 1 0, 2 0 dan 3 0. Hal ini dapat dibuktikan juga untuk Selang Kepercayaan pada taraf nyata 1% yang dimiliki 0, 1, 2, dan 3. Selang Kepercayaan 0 adalah -7.5669x10-5 < 0 < -3.2672x10-5, Selang Kepercayaan 1 adalah 1.8703x10-6 < 1< 8.7062x10-6, Selang Kepercayaan 2 adalah 1.5928x10-6 < 2 < 4.5269x10-6 dan Selang Kepercayaan 3 adalah 1.7352x10-6 < 3 < 7.0806x10-6. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, berdasarkan nilai 0, 1, 2 dan 3 persamaan yang diperoleh tidak akan menyebabkan pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebasnya = 0. Berikut ditampilkan perbandingan antar kombinasi kanal terbaik: Tabel 5. Perbandingan Kombinasi Kanal Terbaik Korelasi NO Kombinasi Kanal Keterangan Terbaik 1 [Chl-a]- (K2-K10)/(K2+K10) 0.6989 Gitelson et al. (1983) (umum) 2 [Chl-a]- K12+K5+K9 0.187 Waktu: sebelum 12.00 wib Kedalaman: 1 5 m 3 [Chl-a] - K12+K52+K92 0.488 Waktu: setelah 12.00 wib Kedalaman: 1 5 m 4 [Chl-a] - K22+K62+K102 0.386 Waktu: sebelum 12.00 wib Kedalaman: 1 5 m 5 [Chl-a] - K22+K62+K102 0.637 Waktu: setelah 12.00 wib Kedalaman: 1 5 m 6 [Chl-a] - K12+K52+K92 0.702* Waktu: sebelum 12.00 wib Kedalaman: 1 3 m 7 [Chl-a] - K1+LnK5+K9 0.999* Waktu: setelah 12.00 wib

8 9 10 11

[Chl-a] - K2 +K6 +K10 [Chl-a] - K2+K6+K102

0.331 0.908 0.219 0.198

[Chl-a](k1,2-k9,10/K1,2+K9,10)2 [Chl-a]Ln(k1,2-k9,10/K1,2+K9,10)2

Kedalaman: 1 3 m Waktu: sebelum 12.00 wib Kedalaman: 1 3 m Waktu: setelah 12.00 wib Kedalaman: 1 3 m Gitelson et al. (1983) Waktu: sebelum 12.00 wib Kedalaman: 1 5 m Gitelson et al. (1983) Waktu: setelah 12.00 wib Kedalaman: 1 5 m

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa kombinasi kanal terbaik adalah K1+LnK5+K9 sebagai peubah tak bebasnya dan [Chl-a] sebagai peubah bebasnya dengan data [Chl-a] setelah pukul 12.00 wib dan kedalaman 1 3 m. 3.1.4. Transformasi Nilai [Chl-a] Menjadi Nilai Produktivitas Primer Untuk mentransformasi nilai [Chl-a] menjadi nilai Produktivitas Primer (selanjutnya PP), digunakan persamaan Soesilo et al. (1997). Persamaan tersebut di peroleh dari hasil penelitian di perairan Teluk Jakarta tanggal 28 13 juli 1994 dan pernah dipublikasikan dalam acara PORSEC di Canada pada bulan Agustus 1996. Jadi musim dan tempat pengambilan data untuk pembuatan persamaan di atas, mirip dengan waktu dan daerah pengambilan data untuk penelitian ini. Persamaan transformasi menurut Soesilo et al. (1997) adalah P = 0,0460 + 0,0107C (dengan r = 0,85) dimana: P = Pertumbuhan Produktivitas Primer (mgC/l/hari) C = Konsentrasi Klorofil-a (gChl-a/l) Selanjutnya satuan (PP) yang digunakan adalah gC/m 3/jam. Satuan tersebut setara dengan satuan (PP) awal yaitu mgC/l/jam. Hal ini diperlukan untuk membandingkan (PP) di lokasi penelitian dengan wilayah lain sehingga perlu dilakukan penyetaraan dengan satuan pengukuran (PP) di tempat lain. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan, diperoleh hasil seperti yang disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 6. Konversi Nilai [Chl-a] Menjadi Nilai Produktivitas Primer pada Kedalaman 1-3 meter [Chl-a] (mg/m3) (PP) (gC/m3/jam) NO Stasiun Insitu Algoritma Akhir Insitu Algoritma Akhir 1 2 I II 1.138x10-6 1.651x10-6 1.138x10-6 1.647x10-6 1.104 1.104 1.10 1.10

Dari Tabel 6 dapat kita ketahui bahwa nilai [Chl-a] antara hasil analisa Laboratorium dengan nilai [Chla] melalui penggunaan Algoritma Akhir mempunyai nilai yang hampir sama, sehingga hasil konversi nilai [Chl-a] menjadi nilai produktivitas primer baik melalui analisa Laboratorium maupun dengan penggunaan Algoritma Akhir akan mempunyai nilai yang hampir sama pula. Untuk lebih memperjelas hal tersebut, dapat dilihat dari grafik di bawah ini.

Algoritma Akhir 2.50E-06 2.00E-06 1.50E-06 1.00E-06 [Chl-a] (mg/m3) 5.00E-07 Analisa Lab

0.00E+00 1 2 3 4 5 6 Sampel

Grafik 3. Perbandingan Histogram [Chl-a] Melalui Algoritma Akhir dan Analisa Lab Dari Grafik 3 tersebut dapat kita ketahui bahwa nilai [Chl-a] yang diperoleh melalui analisa laboratorium mempunyai nilai yang hampir sama dengan nilai [Chl-a] yang diperoleh melalui penggunaan Algoritma Akhir, sehingga dapat disimpulkan bahwa Algoritma Akhir sangat bisa mewakili atau menjelaskan nilai [Chl-a] yang ada di lapangan. Pada umumnya satelit melewati wilayah perairan Indonesia sebelum pukul 12.00 wib. Oleh karena itu, maka dalam penelitian ini akan ditampilkan juga uji model untuk algoritma yang menggunakan data sebelum pukul 12.00 wib dan kedalaman 1 3 m. Berikut tabel uji model untuk algoritma tersebut: Tabel 7. Uji Kehandalan Model Algoritma KETERANGAN HASIL Model Umum [Chl-a] = 0.00012 1.5332410-5 K12 + 2.95065x10-6 K52 + Y = 0+1X1+2X2+3X3 1.0494x10-5 K92 Uji F Fhitung 12977 Ftabel Fhitung < Ftabel 6.59 Taraf Nyata 5% Uji t untuk 0 0.39513 thitung thitung < ttabel 2.776 ttabel 5% Taraf Nyata Uji t untuk 1 1.8278 thitung thitung < ttabel 2.776 ttabel 5% Taraf Nyata Uji t untuk 2 0.2047 thitung thitung < ttabel 2.776 ttabel 5% Taraf Nyata Uji t untuk 3 1.4309 thitung thitung < ttabel 2.776 ttabel 5% Taraf Nyata Selang Kepercayaan untuk 0 -0.00073 < 0 < 0.00097 1 -3.8622x10-5 < 1< 7.9574x10-6 2 -3.7074x10-5 < 2 < 4.2976x10-5 3 -9.8685x10-6 < 3 < 3.0857x10-5 koefisien determinasi (R2) 49.32% koefisien korelasi (r) 0.7023

KESIMPULAN Pemetaan sebaran konsentrasi klorofil-a di lokasi penelitian memerlukan pemilihan kanal yang tepat. Terutama karena lokasi penelitian tergolong perairan kasus 2, yaitu perairan yang sebagian besar terdiri dari sedimen tersuspensi. Berdasarkan proses pemilihan kanal yang dilakukan dengan spektroradiometer, terpilih kanal yang mempunyai selang yang sempit yaitu kanal 1 (kanal biru) dengan panjang gelombang (46025nm), kanal 5 (kanal hijau) dengan panjang gelombang (56025nm), dan kanal 9 (kanal merah) dengan panjang gelombang (66025nm) spektroradiometer sebagai kanal yang optimal untuk menduga sebaran konsentrasi klorofil-a. Secara uji statistik kombinasi K1+LnK5+K9 merupakan kombinasi kanal terbaik untuk menduga sebaran konsentrasi klorofil-a, khususnya di perairan Kepulauan Seribu dan sekitarnya. Algoritma yang dihasilkan penelitian ini optimal untuk menduga konsentrasi klorofil-a pada kedalaman 13 meter dengan waktu pengambilan sampel setelah pukul 12.00 wib. Hasil akhir menunjukkan bahwa perairan Teluk Jakarta merupakan perairan yang tidak subur dan setelah konsentrasi klorofil-a dikonversi menjadi nilai produktivitas primer, maka dapat diketahui bahwa perairan Kepulauan Seribu merupakan perairan yang subur. Hal ini dapat diketahui dengan melihat nilai produktivitas primer yang mempunyai nilai diatas 0,229 gC/m 3/jam. DAFTAR PUSTAKA Gitelson, A. G., G. Szylogyi, K. H. Mitterzwe, A. Carnichi. N. A. Kaiser. 1993. Quantity Remote Sensing Method for Real Time of Inland Water Quality. International Journal of Remote Sensing. Vol. 14, No. 7, 1269 1295 pp Lillesand, T. M., and F. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.Alih Bahasa : Duhari dkk. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 725 halaman Maul, G. A. 1985. Introduction to Satellite Oceanography. Martinus Nijhoff Publisher. Netherlands Raymond, J. E. G. 1963. Plankton Productivity in The Ocean. Pergamon Press. The Mac Milland Co. New York 600 p Ryther and C. S. Yentsch. 1957. The Estimation of Phytoplankton Productivity in The Ocean From Chlorophyl Light Data. Limnol. Oceanography 2 : 281-286 p Robinson, I. S. 1985. Satellite Oceanography. John Wiley dan Sons. New York. USA Sembiring, R. K. 1995. Analisis Regresi. ITB Bandung. 359 halaman Sutanto. 1992. Penginderaan Jauh Jilid I. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Soesilo, S. B. 1997. Penginderaan Jauh Warna Air Laut (Ocean Colour Remote Sensing). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor

You might also like