You are on page 1of 8

Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu

HUBUNGAN POLA PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI SUSU IBU


(MP-ASI) DENGAN ANEMIA DAN STUNTI NG
PADA ANAK USIA 6-24 BULAN DI KECAMATAN
LEUPUNG KABUPATEN ACEH BESAR


Aripin Ahmad
1
, Siska Silaban
1
, Novemi
2



Abstract: Stunting and anemia are nutritional problems are still high in infants. Data from Riskesdas 2007
and 2010, 44.6 % and 38.9 % of underfive childreen in Aceh is stunting, while the anemia prevalence from
Susenas (2001) 47% of infants is anemia and in infant 6-11 months age is 64.8%. The occurrence of anemia
and stunting strongly related to intake of food, one of which is the complementary feeding patterns. This study
aimed to determine the relationship of complementary feeding pattern with stunting and anemia in children
aged 6-24 months in Leupung sub district of Aceh Besar district. This study used cross sectional study design
with 30 children aged 6-24 months. The data collected is stunting, anemia and complementary feeding
patterns. Stunting was analisys by anthropometric method using Lenght for Age (LA) index used WHO 2005
standart. Complementary feeding pattern is obtained by interveiw method with structured questionnaires,
whereas anemia was analisys with Haemoglobin (Hb) level using the cyianmethaemoglobin method. The data
were analyzed using univariate and bivariate, to analysis of relationship of complemantary feeding pattern
with anemia and sunting used Chi square test and fisher exact test, with a confidence level of 95%.
The results of this research is 46.7% of children who have complementary feeding pattern on less category,
43.3% had anemia and 13.3% stunting. There is no significant relationship between complementary feeding
pattern with stunting (p = 0.103) and anemia (p=0.961). There is no relationship complementary feeding
pattern with stunting and anemia. Need to improve the knowledge of the community, especially the mother
with counseling to increased provision of Complemantary feeding by health care providers, and further
research needs to analysis energy, nutrients and bio-avalibility of complemantary feeding

Keywords: Complemantary feeding Patterns, stunting and Anaemia.
1. Dosen Jurusan Gizi 2. Dosen Jurusan Kebidanan Banda Aceh


PENDAHULUAN
Salah satu masalah gizi utama yang
masih dihadapi oleh masyarakat Indonesia
adalah masalah kekurangan Gizi, yaitu
stunting dan anemia, terutama diderita oleh
balita. Anak pendek atau stunting
merupakan salah satu indikator dari 3
indikator mutlak dalam menentukan Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM), yaitu prevalensi gizi kurang dan
buruk, prevalensi anak kurus dan
prevalensi anak pendek atau stunting
(Lokakarya daerah Bermasalah Kesehatan,
2011).
Hasil Riskesdas menunjukkan
prevalensi stunting di Indonesia masih
sangat tinggi, yaitu 36,8 (2007) dan 35,6%
(2010), sementara di Aceh angkanya jauh
lebih tinggi, yaitu 44,6% (2007) dan 38,9%
(2010).
Selain itu anemia merupakan
permasalahan gizi yang banyak diderita
pada anak balita yang dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan fisik dan
perkembangan dan pertumbuhan otak serta
daya tahan tubuh yang rendah sehingga
mudah terserang penyakit.
Anemia terjadi ketika kadar hemoglobin
dalam darah kurang dari normal. Batas
normal kadar hemoglobin darah bagi
wanita hamil dan balita adalah 11 gr%.
Hemoglobin terdapat di dalam sel darah
Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu
merah dan bertugas membawa oksigen dari
paru-paru keseluruh bagian tubuh termasuk
otak. Berkurangnya hemoglobin dalam
darah menyebabkan tubuh akan
kekurangan oksigen. Tidak terpenuhinya
kebutuhan oksigen akan menimbulkan
gejala-gejala seperti lesu, mudah letih,
pucat, pusing dan sakit kepala.
Prevalensi anemia pada bayi dan balita
masih sangat tinggi, hasil Susenas (2001)
didapatkan rata-rata 47% balita anemia
dengan prevalensi terbesar pada usia 6-11
bulan yaitu 64,8%
Hasil survei World Vision Indonesi
(2010) di empat kabupaten yaitu Aceh
Besar Banda Aceh Aceh Jaya dan Aceh
Barat didapatkan prevalensi anemia pada
balita 67,8%. Hasil penelitan lain oleh
Ahmad,dkk (2010) di Kecamatan Darul
Imarah Aceh Besar didapatkan 78,3% anak
usia 6-24 bulan mengalami anemia.
Stunting dan anemia sangat erat
kaitannya dengan pola pemberian makanan
terutama pada 2 tahun pertama kehidupan,
yaitu ASI dan MP-ASI. Dari hasil beberapa
penelitian menyatakan bahwa keadaan
kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan
karena kebiasaan pemberian MP-ASI yang
tidak tepat (Depkes RI, 2000). Hasil
penelitian Amelia, dkk (2008) yang
mengolah data Riskesdas 2007 didapatkan
defisit energi pada bayi 6-11 bulan 210
kkal sedangkan anak baduta 12-23 bulan
300 kkal, sementara defisit protein pada
bayi 6-11 bulan 5gr dan pada anak 12-23
bulan 7.5gr .
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pola Pemberian Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI) meliputi
jenis, jumlah, frekuensi pemberian dan
komposisi bahan sumber zat gizi dari MP-
ASI dan hubungannya dengan kejadian
stunting dan anemia pada anak usia 6-23
bulan di Kecamatan Leupung Kabupaten
Aceh Besar.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
observasional bersifat diskriptif analitik
dengan desain crossectional study.
Variabel independen pada penelitian
adalah Pola pemberian MP-ASI, sedangkan
variabel dependen adalah anemia dan
stunting. Populasi penelitian seluruh anak
usia 6-24 bulan dengan jumlah 30 anak
baduta. Pengambilan sampel dilakukan
dengan simple random sampling. Data
yang dikumpulkan adalah Kadar
Haemoglobin (Hb) ditentukan dengan
pemeriksaan Hb dengan menggunakan
metode cyanmethaemoglobin oleh tenaga
laboran, sedangkan stunting dikumpulkan
dengan pengukuran antropometri terhadap
panjang badan anak menggunakan Baby
lenght board (BLB). Sedangkan pola
Pemberian MP-ASI dikumpulkan
dengan metode wawancara menggunakan
kuesioner terstruktur oleh enumerator
lulusan D-III Gizi
Analisis data dilakukan untuk
mengetahui distribusi masing-masing
variabel (distribusi frekuensi, rata-rata,
Standart deviasi), analisis hubungan untuk
mengetahui hubungan antar pola
pemberian MP-ASI dengan anemia dan
stunting dilakukan dengan uji statistik,
yaitu uji beda proporsi Chi square test.
Semua analisis data mengunakan tingkat
kepercayaan 95% (=0,05).

HASIL PENELITIAN
Sampel peneltian adalah anak usia 6-23
bulan sebagian besar berumur 12-24
bulan (70%), sedangkan berdasarkan jenis
kelamin sebagian besar perempuan
(60,0%) dan berdasarkan urutan anak
dalam keluarga sebagian besar anak ke 1-
2 (70,0%). Dilihat dari karakteristik
keluarga sebagian umur ayah dari sampel
adalah antara 30-40 tahun (53,3%),
Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu
sedangkan menurut jenis pekerjaan adalah
swasta (60,0%). Sementara berdasarkan
karakteristik ibu sebagian ibu anak baduta
berusia antara 25-35 tahun, bekerja sebagai
Ibu Rumah Tangga (86,7%), dan
mempunyai pendidikan sebagian besar
SLTA (40,0%).

1. Pola Pemberian MP-ASI
Pola pemberian MP-ASI dilihat dari
bentuk, frekuensi pemberian, porsi/jumlah
dan jenis bahan makanan dalam MP-ASI.
Hasil penelitian didapatkan berdasarkan
bentuk dan frekuensi pemberian MP-ASI
sebagian besar sampel sudah sesuai, yaitu
80% dan 70%, tetapi dilihat kesesuaian
porsi/jumlah MP-ASI yang diberikan
sebagian besar masih belum sesuai, yaitu
43,3%. Selanjutnya jika dilihat dari
pemberian lauk hewani sebagian besar
selalu memberikan (53,3%) tetapi porsi
yang diberikan sebagian besar tidak sesuai
(40,0%), sedangkan untuk lauk nabati
sebagian besar sampel jarang diberi lauk
nabati (66,7%) tetapi dari segi porsi/jumlah
lauk nabati sebagian besar sudah sesuai
(50,0%) seperti disajikan pada
Selanjutnya kebiasaan memberikan
sayuran pada anak baduta dari hasil
penelitian ini sebagian besar jarang
memberikan (60,0%) demikian juga
dengan porsi sayuran yang diberikan
sebagian besar hanya kadang-kadang
sesuai (63,0%). Sementara pemberian
buah-buahan juga sebagian besar jarang
diberikan (70%) sedangkan porsi juga
sebagian besar tidak sesuai (40,0%). Jika
dilihat dari variasi makanan yang diberikan
pada anak sebagian besar sampel jarang
bervariasi (56,7%).
Dari hasil analisis skoring terhadap
asfek pola pemberian MP-ASI didapatkan
tingkatan pola pemberian MP-ASI. Pola
MP-ASI dikatakan baik bila persentase
skor yang diperoleh 70% dan kurang bila
skor <70%. Hasil analisis data tentang
kategori pola Pemberian MP-ASI
didapatkan hampir separuh dari anak
baduta mempunyai pola pemberian MP-
ASI pada kategori, yaitu 46,7%.
2. Anemia dan stunting
Hasil pemeriksaan terhadap kadar
Haemoglobin (Hb) didapatkan rata-rata
kadar Hb pada sampel adalah 10,91,17SD
dengan Hb tertinggi 13,4 mg/dl dan
terendah 8 mg/dl. Hasil analisis status
anemia berdasarkan kadar Hb didapatkan
persentase anemia yang sangat tinggi, yaitu
43,3% anak baduta.
Selanjutnya hasil penilaian status gizi
menggunakan indeks PB/U didapatkan
rata-rata panjang badan (PB) pada anak
baduta di lokasi penelitian adalah
75,3cm5,5SD dengan PB terendah 64,2
cm dan tertinggi 84,5cm. Seorang anak
baduta dikatakan stunting/pendek bila
Panjang Badan menurut Umur (indeks
PB/U) nilai z-score berada <-2SD. Hasil
analisis status gizi sebagian besar sampel
mempunyai status gizi dengan indeks PB/U
dalam kategori normal (86,7%), hanya
13,3% anak baduta yang mengalami
stunting/pendek.

3. Hubungan pola MP-ASI dengan anemia
dan stunting

Hasil analisis hubungan antara pola
pemberian MP-ASI dengan Anemia
didapatkan persentase anemia hampir sama
antara anak yang mempunyai pola MP-ASI
baik dengan kurang yaitu 42,9% pada
anak baduta dengan pola MP-ASI kurang
dan 43,8% pada anak baduta dengan pola
MP-ASI baik. Hasil uji statistik dengan
chi-square test tidak ada hubungan yang
signifikan antara pola MP-ASI dengan
anemia pada baduta di kecamatan Leupung
Aceh Besar p=0,961 (p>0,05).
Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu
Sementara hasil analisis hubungan pola
MP-ASI dengan stunting diketahui pada
stunting tidak didapatkan pada anak
dengan pola MP-ASI kurang sedangkan
pada anak dengan pola MP-ASI baik
didapatkan 25% anak stunting. Hasil uji
statistik dengan uji fisher exact Test
menunjukkan tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara pola MP-ASI
dengan stunting p=0,103 (p>0,05).

PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan
persentase anak baduta yang mempunyai
pola MP-ASI dengan kategori kurang
sangat tinggi yaitu 43,3%, kondisi ini
menunjukkan pola pemberian MP-ASI
masih bermasalah pada anak baduta
khususnya di lokasi penelitian.
Pemberian MP-ASI kepada bayi
dilakukan secara bertahap dalam hal
bentuk, jumlah, frekuensi dan jenisnya.
Oleh karena itu perlu diperhatikan bentuk
MP-ASI yang sesuai untuk bayi.
Ketidaksesuai bentuk MP-ASI menurut
umur bayi dapat menyebabkan kurangnya
asupan gizi (Narendra, 2002)
Bayi yang berusia 9-11 bulan jika diberi
MP-ASI bentuk lumat akan berpengaruh
terhadap jumlah asupan gizi karena
makanan lumat/bubur lebih rendah
komposisi nilai gizinya dibandingkan
makanan yang lebih pada seperti makanan
lembik/tim, apalagi bila anak yang berusia
12 bulan masih diberi makanan dalam
bentuk lembik apalagi lumat tentu akan
tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi.
Bubur MP-ASI yang cukup kental akan
memberikan energi lebih banyak bagi anak
dari pada bubur MP-ASI yang terlalu encer
(Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 2010).
Dari hasil analsis secara univariat
terhadap asfek-asfek pola MP-ASI terlihat
dari 12 asfek yang dilihat hanya sebagian
yang sudah sesuai dengan standart
pemberian makanan bayi, antara lain
bentuk dan frekuensi pemberian MP-ASI
yang sebagian besar sampel sudah sesuai,
yaitu 80% dan 70%. Dari segi bentuk MP-
ASI yang diberikan hasil penelitian ini
lebih baik dibandingkan hasil penelitian
Waziah (2010) dimana hanya 50% bayi
yang sesuai bentuk MP-ASI yang diberikan
jika dibandingkan dengan umur anak.
Tetapi dilihat dari asfek lainnya
porsi/jumlah MP-ASI hasil penelitian ini
sebagian besar masih belum sesuai, yaitu
43,3%
Dari segi frekuensi sebagian besar
sampel dalam penelitian ini sudah sesuai
frekuensi pemberian MP-ASI (70%).
Sementara hasil penelitian ini juga sama
dengan penelitian Syafiq dan Fikawati
(2007) di jakarta timur menunjukkan
frekuensi pemberian makanan padat pada
anak 6 bulan adalah yang tidak memberi
makanan padat 2,1% yang memberi 2 kali
sehari 27,2% dan yang hanya 1 kali 7,2%.
Kondisi ini menggambarkan bahwa
frekuensi pemberian MP-ASI pada bayi 6-
12 bulan belum sesuai dengan yang
seharusnya. Frekuensi pemberian MP-ASI
menurut umur yang tepat adalah pada usia
6-8 bulan sebaiknya diberikan MP-ASI 2-3
kali sehari ditambah ASI dan ditambah1-2
kali makanan selingan (jus buah dan
biskuit), sedangkan pada usia 9-11 bulan
sebaiknya diberikan 3-4 kali per hari
ditambah ASI dan makanan selingan.
Selanjutnya pada usia 12 bulan 3-4 kali
MP-ASI sehari ditambah ASI dan selingan
2 kali (Direktorat Bina Gizi Masyarakat,
2010). Menurut Depkes RI (2000) salah
satu permasalahan dalam pemberian MP-
ASI dimasyarakat adalah frekuensi
pemberian MP-ASI yang masih kurang
tidak sesuai kebutuhan bayi.
Sedangkan jika dilhat dari Kesesuaian
bentuk MP-ASI yang diberikan pada bayi
banyak ditemukan bayi yang tidak sesuai
Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu
bentuk MP-ASI yang diberikan. Bentuk
MP-ASI akan mempengaruhi jumlah
masukan zat gizi. Direktorat Bina Gizi
Masyarakat (2010) menyatakan kondisi
yang ini sering ditemukan dimasyarakat
adalah pemberian MP-ASI yang terlalu
encer/kepadatan MP-ASI, hal ini akan
berpengaruh pada kepadatan energi MP-
ASI. Anak mempunyai ukuran lambung
yang kecil, makanan yang terlalu encer/cair
akan cepat membuat anak kenyang,
kekentalan makanan akan menentukan
kebutuhan gizi anak terpenuhi atau tidak.
Dari asfek pemberian lauk hewani
dalam MP-ASI walaupun sebagian besar
selalu memberikan (53,3%) tetapi porsi
yang diberikan sebagian besar tidak sesuai
(40,0%), sedangkan untuk lauk nabati
sebagian besar sampel masih jarang
memberikan (66,7%). Kebiasaan
memberikan sayuran pada anak baduta
juga masih bermaslah dari hasil penelitian
ini sebagian besar jarang memberikan
(60,0%) demikian juga dengan porsi
sayuran yang diberikan sebagian besar
hanya kadang-kadang sesuai (63,0%).
Sementara pemberian buah-buahan juga
sebagian besar jarang diberikan (70%)
sedangkan porsi juga sebagian besar tidak
sesuai (40,0%). Jika dilihat dari variasi
makanan yang diberikan pada anak
sebagian besar sampel jarang bervariasi
(56,7%).

Hubungan Pola MP-ASI dengan Anemia
Pola MP-
ASI
Status Anemia n p
Anemia Normal
Kurang
Baik
6 (42,9)
7 (43.8)
8
(57.1)
9
(56.2)
14
(100)
16
(100)
0,961

Anemia merupakan suatu keadaan dimana
seseorang mengalami kadar Haemoglobin
yang rendah dalam darahnya. Untuk usia
balita kadar Hb normal adalah 11mg%.
Hasil penelitian ini didapatkan persentase
anemia pada anak baduta sangat tinggi,
yaitu 43,3%. Hasil ini jika dibandingkan
dengan batasan prevalensi dianggap
menjadi masalah kesehatan masyarakat
yaitu >5% maka anemia di kecamatan
Leupung merupakan masalah kesehatan
masyarakat dan menurut klasifikasi
prevalensi diatas 40% maka persentase
anemia dari hasil penelitian termasuk
kategori berat (WHO/UNICEF, 2001.
Hasil penelitian ini jika dibandingkan
dengan hasil Susenas (2001) didapatkan
rata-rata 47% balita anemia dengan
prevalensi terbesar pada usia 6-11 bulan
yaitu 64,8%. Selain itu hasil survei World
Vision Indonesi (2010) di empat kabupaten
yaitu Aceh Besar Banda Aceh Aceh Jaya
dan Aceh Barat didapatkan rata-rata
prevalensi anemia pada balita didapatkan
rata-rata 67,8% dimana Aceh Barat 69,1%,
Aceh Besar 68,5%, Aceh Jaya 66,7% dan
Banda Aceh 62,5%. Sedangkan jika
dibandingkan dengan prevalensi anemia
pada umur yang sama yaitu 6-11 bulan dan
12-24 bulan masing-masing 75% dan 73%
maka prevalensi hasil penelitian ini relatif
lebih rendah. Hasil penelitan lain oleh
Ahmad,dkk (2010) di Kecamatan Darul
Imarah Aceh Besar didapatkan 78,3% anak
usia 6-24 bulan mengalami anemia. Hasil
penelitian ini jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan angka prevalensi
anemia pada anak di Indonesia pada tahun
2007 yaitu 50,9% (Hidayati, 2007).
Hasil penelitian ini dapat diketahui
bahwa persentase anemia hampir sama
antara anak baduta yang mempunyai pola
MP-ASI baik dengan kurang yaitu 42,9%
pada anak baduta dengan pola MP-ASI
kurang dan 43,8% pada anak baduta
dengan pola MP-ASI baik. Hasil uji
statistik dengan chi-square test tidak ada
hubungan yang signifikan antara pola MP-
Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu
ASI dengan anemia pada baduta di
kecamatan Leupung Aceh Besar p=0,961
(p>0,05).
Pada penelitian ini pola MP-ASI
dikumpulkan secara kualitatif sedangkan
gambaran jumlah intake zat gizi termasuk
zat besi yang berpengaruh pada anemia
tidak dikumpulkan. Peneliti berasumsi
walaupun pola MP-ASI sebagian besar
anak baduta baik tetapi jumlah asupan zat
besi dari MP-ASI yang dikonumsi tidak
diketahui, apalagi secara analisis univariat
dilihat dari pola pemberan lauk hewani
pada anak baduta sebagian besar masih
jarang yang memberikan .
Selain itu anemia juga dipengaruhi oleh
status anemia bayi sewaktu lahir, anak
yang anemia pada saat lahir akan
mempengaruhi status anemia-nya sampai
pada usia seterusnya. Apalagi ditambah
dengan asupan zat besi yang kurang dari
MP-ASI. Zat besi pada bayi masih dapat
diperoleh dari ASI sampai usia 6 bulan,
tetapi setelah 6 bulan zat besi harus
diperoleh dari MP-ASI (Direktorat Bina
Gizi Masyarakat, 2010).

Hubungan Pola MP-ASI dengan Stunting
Pola
MP-
ASI
Status Gizi n p
Stunting Normal
Kurang
Baik
0 (0.00)
4 (25.0)
14 (100)
12 (75,0)
14
(100)
16
(100)
0,103

Stunting merupakan suatu keadaan
dimana tinggi badan anak tidak sesuai
menurut tinggi badan anak normal yang
susianya artinya anak dikatakan pendek.
Stunting dapat ditentukan dengan
pengukuran antropometri terhadap
parameter Tinggi badan, kemudian
menggunakan indeks Tinggi Badan
Menurut Umur (TB/U) atau Panjang
menurut umur (PB/U) dapat ditentukan
apakan seorang anak termasuk
stunting/pendek atau normal (Gibson,
2008). Hasil penelitian anak baduta yang
mengalami stunting sebanyak 13,3%. Hasil
ini lebih rendah jika dibandingkan dengan
prevalensi anemia di Aceh pada tahun
2007, yaitu 44,6% (Riskesdas, 2007) dan
pada tahun 2010, yaitu 39,8% (Riskesdas
2010). Hasil pnelitian ini jika
dibandingkan dengan klasifikasi tingkatan
prevalensi stunting dianggap menjadi
masalah kesehatan termasuk dalam
kategori rendah karena prevalensinya
<20% (WHO/UNICEF, 2001). Sementara
hasil PSG Kadarzi tahun 2009 prevalensi
Stunting pada balita di Kecamatan Darul
Imarah mencapai 41,5% (Laporan PSG
Kadarzi, 2010)
Tinggi badan pada suatu waktu
merupakan hasil pertumbuhan secara
kumulatif semenjak lahir, oleh karena itu
dapat dipakai sebagai Gambaran riwayat
status gizi masa lampau. Tinggi badan juga
merupakan indeks yang paling sensitif
untuk mendeteksi adanya perubahan sosial
ekonomi (Habicht, 1983). Pola makan yang
miskin pangan hewani (sumber protein)
dan kurangnya asupan energi sehari-hari
bisa menjadi penyebab terjadinya stunted
pada anak.
Hasil penelitian ini Tabel 3 diketahui
prevalensi stunting pada pola MP-ASI baik
didapatkan 25% anak stunting. Sementara
stunting tidak didapatkan pada anak
dengan pola MP-ASI kurang. Hasil uji
statistik dengan uji fisher exact Test
menunjukkan tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara pola MP-ASI
dengan stunting p=0,103 (p>0,05).
Pemberian MP-ASI yang tepat dapat
menurunkan prevalensi stunting.
Bhutta,et.al (2008) menyatakan pemberian
ASI ekslusif dan MP-ASI yang tepat
sampai usia 12 bulan dapat menurunkan
Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu
prevalensi stunting dimana intervensi
pemberian makanan ASI dan MP-ASI yang
tepat dapat menurunkan stunting 19,8%
dan intervensi suplementasi zink dapat
menurunkan stunting 9,1%.
Stunting pada anak balita secara
langsung sangat dipengaruhi oleh
ketidakseimbangan asupan zat gizi, khusus
untuk anak usia 6-24 bulan sangat
dipengaruhi oleh pola pemberian ASI dan
MP-ASI. Ada 4 standart emas (golden
standart) makanan anak mulai usia 0-24
bulan, yaitu Inisiasi menyusu dini,
pemberian ASI secara ekslusif sampai 6
bulan, mulai memberikan MP-ASI sejak
usia 6 bulan dan meneruskan pemberian
ASI sampai usia 2 tahun (Unicef, 2008).
Tidak adanya hubungan antara pola
pemberian MP-ASI dengan stunting pada
penelitian dapat dipengaruhi oleh faktor
lain, yaitu mutu atau nilai bio-availibility
dari MP-ASI yang diberikan, daya cerna
dan daya serap di dalam tubuh dan adanya,
artinya bentuk, frekuensi dan porsi yang
sesuaipun belum dapat menjamin
terpenuhinya asupan zat gizi, jika nilai gizi
(bio-availibility) dari makanan kurang.
Apalagi dari hasil penelitian ini masih
banyak didapatkan pola pemberian MP-
ASI yang kurang baik.

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan proporsi
pola pemberian MP-ASI pada anak baduta
dengan kategori kurang baik sangat tinggi
dan belum sesuai terutama pada
porsi/jumlah MP-ASI, pemberian lauk
hewani, sayuran dan pemberian buah
buahan dan variasi MP-ASI yang
diberikan.
Prevalensi anemia dan stunting pada
anak baduta sangat tinggi dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat dalam
kategori berat. Tidak ada hubungan yang
signifikan antara pola MP-ASI dengan
anemia dan stunting pada anak baduta di
Kecamatan Leupung Aceh Besar.

SARAN
Perlu dilakukan peningkatan
pengetahuan masyarakat tentang pola
pemberian MP-ASI yang baik sesuai
dengan standart pemberian makanan bayi
dan anak (PMBA) melalui penigkatan
kegiatan konseling di Puskesmas dan
masyarakat oleh petugas kesehatan.
Perlu dilakukan upaya penanggulangan
anemia secara dini pada anak baduta
melihat prevalensi anemia yang sangat
tinggi, melalui peningkatan asupan zat besi
dari MP-ASI.
Perlu penelitian lanjutan untuk
menganalisis kontribusi asupat energi dan
zat gizi terutama zat besi dari MP-ASI dan
menganalisis mutu gizi MP-ASI yang
diberikan untuk dijadikan dasar
penyusunan menu makanan pada bayi dan
balita.

DAFTAR PUSTKA

Arnelia, dkk. 2008, Besaran Defisit zat gizi
makro dan mikro pada anak baduta
dengan masalah kurus di pedesaan
dan perkotaan di Indonesia.
Puslitbang Gizi dan Makanan,
Bogor
Amiruddin, dkk. 2007. Anemia Defisiensi
Zat Besi pada Ibu Hamil di
Indonesia (Evidenced Based).
Diakses tanggal 17 September
2010.http://ridwanamiruddin.wordp
ress.com
Azwar A. 2004. Kecenderungan Masalah
Gizi dan Tantangan masa datang.
Pertemuan advokasi Program
Perbaikan Gizi Menuju Keluarga
Sadar Gizi. Jakarta.
Badan Pusat Statistik, Laporan Kondisi dan
Penanganan Bencana Alam di
Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu
Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, 2005, BPS Prov.
NAD.
Direktorat Bina Gizi Masyarakat
Kemenkes RI, 2010. Modul
Pelatihan Peserta Konseling
Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI), Kemekes RI, jakarta.
Dijkhuizen. M.A dan Wieringa. FT, 2001.
Vitamin A, Iron and Zinc
Defisiency in Indonesia;
Micronutrient interaction s and
effects of suplementation. (Thesis)
Wegeningen University.
Djaja, S, dan Soemantri, S, Penyebab
kematian Bayi Baru Lahir
(Neonatal) dan Sistem Pelayanan
Kesehatan yang Berkaitan di
Indonesia Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) 2001, Buletin
Penelitian Kesehatan, Vol. 31 (3);
155-165, Badan Litbangkes,
Jakarta.
Litbangkes Depkes RI (2007) Laporan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
Litbangkes, Bogor 2008
Litbangkes Depkes RI (2010) Laporan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
Litbangkes, Bogor 2011.
Triono Soendoro. 2011. Lokakarya
Penanggulangan Daerah
Bermasalah Kesehatan (PDBK)
Regional I, Selasa, di Denpasar

You might also like