You are on page 1of 17

PELAKSANAAN KEBIJAKAN HULU MINYAK BUMI PADA SUMUR SUKOWATI

OLEH PEMDA KABUPATEN BOJONEGORO


Sukma Prima Setyabekti, S.AP., M.PA
Alumni Pascasarjana Ilmu Adminsitrasi Negara FISIPOL UGM
Email: najwazuhur_s@yahoo.com
ABSTRACT
Implementation of the policy on the upstream petroleum wells in Sukowati
Bojonegoro have a tendency to conflict at the level of horizontal and vertical.
The study will describe the implementation of public policy by using the model
synthesis approaches (hybrid theories), and then the analysis through formal and
informal mechanisms developed by local governments. The lack of involvement
and opportunities for local government as a producing region directly involved in
the petroleum upstream activities, and the lack of understanding of the region
has implemented the policy of uniformity as an autonomous region in general, it
would severely limit the autonomous regional authority to manage the area
according to their characteristics. The high community participation is not
accompanied by the strengthening of the law. The existence of additional
authority to the autonomous oil-producing regions of the earth to participate
directly in policy formulation were deemed still centralized. Providing public
space to generate discourse between central and local governments will make a
localization element in public policy on matters of decentralized options. The
local government more actively used its right to issue an equivalent policy to
support the decentralization of public policy, and the central government can
control it with a general policy, while local governments were given the right to
determine certain criteria based on central government policy. Strengthening the
presence of the community for advocacy, facilitation, litigation practices, even
opposition to counterbalance the hegemonic power of the state or at least were
the alternatives discourse outside the bureaucratic apparatus.
Key word: execution of public policy, decentralization, autonomous regions.
PENDAHULUAN

28 Blok Migas dalam tahap eksplorasi.


Pengelolaan
minyak
bumi
di
Bojonegoro
diantaranya
Sumur
Sukowati bagian dari Blok Tuban yang
berada
di
wilayah
kecamatan
Bojonegoro (desa Campurejo) yang
dikelola oleh PetroChina.
Pengelolaan Sumur Sukowati
(Blok Tuban) adalah dengan Joint
Operating
Body
PertaminaPetroChina East Java (JOB P-PEJ).
Dengan demikian pengelolaan minyak
bumi secara industri melibatkan
pihak swasta dalam penentuan
pelaksanaan
kebijakannya.

Sumber daya alam (SDA) yang


dimiliki Indonesia tersebar pada
hampir seluruh wilayah Indonesia.
Meskipun menyebar pada seluruh
wilayah pemerintah daerah, tidak
serta
merta
kepemilikan
dan
pengelolaannya
ditangani
oleh
pemerintah daerah yang terlahir dari
konsep desentralisasi yang dipakai
pemerintahan
Indonesia
pasca
reformasi. Data WALHI pada tahun
2006, saat ini Propinsi Jawa Timur
menopang 40% Migas nasional dengan

22

Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari Juni 2010

Sebagaimana
diketahui
bahwa
kerjasama produksi minyak bumi di
Indonesia berbentuk Kontrak Kerja
Sama (KKS) di sektor minyak bumi.
KKS yang merupakan bagi hasil antara
Pemerintah dan Kontraktor, dan jenis
kontrak bagi hasil yang banyak
dipakai
di
Indonesia
adalah
Production Sharing Contract (PSC).
Dengan demikian dapat diasumsikan
bahwa demokrasi ekonomi kebijakan
hulu minyak bumi adalah pada skala
industri dan melibatkan pihak swasta,
pemerintah pusat yang mempunyai
andil besar dalam implementasi
kebijakan serta pemerintah daerah
sebagai penghasil minyak bumi dapat
diuntungkan dalam kontrak kerja
sama tersebut1.
Peraturan-Pemerintah No. 38
Tahun 2007 menjelaskan bahwa
kewenangan
Pemerintah
daerah
sebagai
implementator
meliputi
kegiatan; 1) Penghitungan produksi
dan realisasi lifting minyak bumi dan
gas bumi bersama pemerintah, 2)
Pemberian rekomendasi penggunaan
wilayah kerja kontrak kerja sama
untuk kegiatan lain di luar kegiatan
Migas pada wilayah kabupaten/kota,
dan 3) Pemberian izin pembukaan
kantor perwakilan perusahaan di sub
sektor Migas. Selama ini kebijakankebijakan yang ada masih terkesan
sebagai kebijakan parsial yang tidak
ada aliran strategis terhadap program
jangka panjangnya. Dengan kondisi
ini maka perlu kebijakan yang
berlandaskan
paradigma
baru
(Sugiono, 2004), oleh karena itu
semangat
responsibilitas
administratif dan politis harus
melekat juga pada diri administrator
publik,
sehingga
ia
dapat
1

Lihat pada UU Migas No. 22 tahun


2001 pasal 1 nomor 19, bahwa Kontrak
Kerja Sama (KKS) adalah Kontrak Bagi
Hasil (Production Sharing Contract, PSC)
atau bentuk kontrak kerja sama lain
dalam
kegiatan
Eksploitasi
dan
Eksplorasi yang lebih menguntungkan
Negara dan hasilnya dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.

ADMINISTRATIO

menjalankan peran profesionalnya


dengan baik. Jika kepentingan publik
adalah sentral maka menjadikan
administrtor
publik
sebagai
profesional yang proaktif adalah
mutlak, yaitu administrator publik
yang selalu berusaha meningkatkan
responsibilitas
obyektif
dan
subyektifnya serta meningkatkan
aktualisasi dirinya (Islamy dalam
Putra, 2003).
Analisis implementasi kebijakan
hulu minyak bumi berupa lifting,
pemberian rekomendasi dan ijin
lahan coba dilihat melalui format,
mekanisme, dan dinamika dalam
pemerintah daerah yang kemudian
dikaji melalui mekanisme formal dan
mekanisme
informal
yang
dikembangkan pemerintah daerah
kabupaten
Bojonegoro
sebagai
pemegang mineral right dalam
implementasi kebijakan hulu minyak
bumi. Namun, walaupun demikian
negara tidak salah jika dalam
pelaksanaan dari hak penguasaan itu
menyerahkannya pada pihak lain.
Permasalahannya kemudian adalah
bagaimana penyerahan itu dilakukan?
(Muhajir, 2006). Mengingat Wahab
(2005),
Implementasi
kebijakan
sesungguhnya
bukanlah
sekedar
bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran
keputusan-keputusan
politik melalui prosedur birokrasi.
Melainkan
lebih
dari
itu,
ia
menyangkut konflik, keputusan dan
siapa yang memperoleh apa dari
suatu kebijakan. Atas dasar tersebut,
pelaksanaan kebijakan hulu minyak
bumi di kabupaten Bojonegoro pada
tahun 2004-2009 menjadi sorotan,
seberapa
besar
implementasi
kebijakan
dipengaruhi
oleh
kepentingan masing-masing sektor
dari tiga sektor penting yang terlibat,
yaitu antara Pemerintahan Daerah
(Pemda), PetroChina, dan masyarakat
untuk melihat dinamika implementasi
inter
organisasi
dalam
bentuk
network oleh policy subsystem dalam
proses politik dan kebijakan serta

ISSN : 2087-0825

Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro

kejadian di luar subsystem kebijakan


tersebut. Sementara itu kajian
tentang hal tersebut masih belum
banyak diketahui, oleh karena itu
penelitian
yang
mendasar
dan
komprehensif diperlukan.
KERANGKA TEORI
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
Kajian administrasi publik dapat
didefinisikan dengan kebijakan itu
tersendiri,
sebenarnya
masih
merupakan
ajang
perdebatan
diantara
para
ahli
mengenai
kebijakan tersebut. Harrold D.
Laswell
dan
Abraham
Caplan
(Islamy,1997) mengatakan bahwa
kebijakan adalah a projected
program of goals, values and
practices (kebijakan adalah suatu
program pencapaian tujuan, nilai dan
praktek yang terarah). Beberapa
pakar mengartikan kebijakan adalah
upaya/aksi untuk
mempengaruhi
sistem mencapai tujuan (Muhammadi
et al. 2001). Kebijakan publik adalah
pilihan aksi yang dilakukan atau tidak
dilakukan pemerintah (Dye, 1978);
menunjuk pada keputusan saling
berhubungan yang dibuat oleh satu
atau
sekelompok
aktor
dan
diperjuangkan dalam situasi spesifik
yang memungkinkan (Jenkins, 1996).
Van Meter dan Van Horn (dalam
Wahab, 1997) merumuskan proses
implementasi sebagai those actions
by public or private individuals (or
groups) that are directed at the
achievement of objectives set forth
in prior policy decisions (tindakantindakan yang dilakukan baik oleh
individu-individu/pejabat-pejabat
atau kelompok-kelompok pemerintah
atau swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan-tujuan yang telah
digariskan
dalam
keputusan
kebijaksanaan).
Analisis
kebijakan
sebagai
pekerjaan intelektual memilah dan
mengelompokkan upaya/aksi untuk

ADMINISTRATIO

memahami
cara
strategis
mempengaruhi sistem (mencapai
tujuan). Analisis mengkaji berbagai
alternatif aksi untuk akselerasi
pencapaian hasil positif, antisipasi
dampak negatif, dan perlambatan
pencapaian
titik
yang
tidak
diharapkan.
Analisis
melalui
intervensi struktural dan fungsional
(Muhammadi et al, 2001). Selain
analisis yang perlu dipahami pula
adalah model, model suatu kebijkan
publik
khususnya
implementasi
kebijakan.
Pandangan mengenai model
(teori)
implementasi
kebijakan
banyak ditemukan dalam berbagai
literatur yang akan dijabarkan lebih
gamblang. Sebagai perbandingan
analisis dalam model implementasi
mengutip
dari
Parsons
(1997)
membagi
garis
besar
model
implementasi
kebijakan
menjadi
empat yaitu:
1) The Analysis of failure
(model analisis kegagalan), 2)
Model Rasional (top down)
untuk
mengidentifikasi
faktor-faktor
mana
yang
membuat
implementasi
sukses, 3) Model pendekatan
Bottom-up kritikan terhadap
model pendekatan top-down
dalam
kaitannya
dengan
pentingnya faktor-faktor lain
dan interaksi organisasi, 4)
Teori-teori
hasil
sintesis
(hybrid theories).
Untuk keperluan penelitian, akan
diambil
beberapa
pandangan
mengenai implementasi, masingmasing pandangan mewakili tiga dari
empat perkembangan model yang
dikemukakan Parsons (1997) dan
beberapa model-model implementasi
kebijakan seperti yang dikutip Wahab
(2005) dan Dwijowijoto (2006), dan
menurut peneliti cocok dengan tema
penelitian model tersebut. Model
yang akan dipakai sekiranya dapat
menganalisis implementasi kebijakan

ISSN : 2087-0825

Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari Juni 2010

pada individu yang dikenai kebijakan,


diantaranya masyarakat, pemerintah
serta pihak swasta.
Kebijakan apapun bentuknya
sebenarnya mengandung resiko untuk
gagal. Hoogwood dan Gunn (dalam
Azwar, 2003; dan Solichin,1991),
membagi
pengertian
kegagalan
kebijakan (policy failure) ke dalam
dua
kategori
yaitu
non
implementation
(tidak
terimplementasikan) dan unsuccesful
implementation (implementasi yang
tidak berhasil). Implementasi yang
tidak berhasil terjadi manakala suatu
kebijakan
tertentu
telah
dilaksanakan sesuai dengan rencana,
namun mengingat kondisi eksternal
ternyata
tidak
menguntungkan
(misalnya tiba-tiba terjadi peristiwa
penggantian kekuasaan, bencana
alam,
dan
sebagainya),
kebijaksanaan tersebut tidak berhasil
dalam mewujudkan dampak atau
hasil
akhir
yang
dikehendaki.
Terkadang kebijakan yang memiliki
resiko untuk gagal itu disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain:
pelaksanaannya
jelek
(bad
execution),
kebijakannya
sendiri
jelek (bad policy) atau kebijakan itu
memang bernasib jelek (bad luck)
(dalam Wahab, 1997).
Implementasi Kebijakan Publik Oleh
Pemerintah
Daerah
Di
Era
Desentralisasi
Reformasi di Indonesia membawa
paradigma
baru
dalam
bentuk
pemerintahan sebelumnya yang lebih
cenderung
bersifat
sentralistik
kepada pemerintahan desentralisasi.
Konotasi dari kata desentralisasi ini
mencerminkan adanya kewenangan
dari bagian atau bawahannya untuk
melaksanakan
sesuatu
yang
diserahkan dari pusat, dengan tetap
adanya hubungan antara pusat
dengan bagian atau bawahannya.
Sarundajang (dalam Tangkilisan 2004)

ADMINISTRATIO

mengemukakan
pengertian
desentralisasi sebagai suatu transfer
perencanaan, pembuatan keputusan,
atau otoritas administratif dari
pemerintah pusat kepada organisasi
dan institusi Pemerintah Daerah
(Pemda) dengan sistem demokrasi
sebagai
inti
diterapkannya
desentralisasi pasca reformasi dari
sistem pemerintahan sebelumnya
yang
cenderung
terbatasi
dan
sentralisasi.
Kebijakan
publik
selama
beberapa dekade, cenderung pada
kepentingan
untuk
kepentingan
individu, kelompok, dan aliran
membuat
lebih
banyak
memperjuangkan
publik
yang
terbatas yaitu para konstituen
kekuasaan
politik,
dari
pada
masyarakat
luas.
Tidak
mengherankan
jika
selama
ini
kebijakan publik yang dirumuskan
oleh sebagian besar daerah otonom
maupun pemerintah pusat acap kali
keluar dari kebijakan publik yang
lain,
bertentangan
dengan
kepentingan publik. Permasalahan
tersebut ternyata sama tuanya
dengan kebijakan publik yang sudah
berkembang sejak 1920-an, yang
dipelopori Woodrow Wilson dengan
kredonya
when
politics
ends,
administration begins. Namun tetap
saja, para pengambil keputusan
banyak melibatkan ego politiknya dan
tidak
bersedia
menguranginya.
Sebagaimana dapat dikutip dari Hank
C.
Jenkins-Smith
(dalam
Dwidjowijoto, 2007), bahwa analisis
kebijakan
hanya
akan
diakui
mengerosi
kekuatan
politik,
termasuk di dalamnya demokrasi.
Penelitian akan membahas sedikit
banyak tentang kebijakan publik
tersebut.
Terutama
tentang
implementasi kebijakan publik yang
dipengaruhi oleh ekonomi politik
dalam pengelolaan sumber daya hulu
minyak bumi di pemerintahan daerah
sebagai daerah otonom.

ISSN : 2087-0825

Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro

Politik implementasi kebijakan


publik oleh implementator baik
publik maupun privat dipengari oleh
tujuan dasar yang dibawa oleh
masing-masing aktor implementator
yang
terlibat.
Implementator
kebijakan hulu minyak bumi pada
daerah penghasil yang tidak hanya
mempunyai latar belakang maupun
tujuan yang sama, namun kebijakan
tersebut ditujukan pada sektor publik
maupun privat. Implikasi nyata
adalah bahwa penghormatan atas
sebuah keputusan perlindungan lebih
pada barang-barang publik yang jelas
berakibat penting untuk keduanya
yaitu pembangunan ekonomi dan
demokrasi. (Remmer, 2007).
Setelah menguraikan banyak
tentang
implementasi
dan
desentralisasi,
perlulah
kiranya
menyertakan dampak serta evaluasi
dan monitoring oleh Pemda pada
implementasi kebijakan hulu minyak
bumi pada pemerintah daerah
otonom. Perlu diperhatikan bahwa
implemetasi
kebijaksaan
tidak
selamanya bisa berjalan mulus
seperti yang telah direncanakan
karena ketika kebijaksanaan tersebut
diimplementasikan
akan
muncul
banyak hambatan-hambatan yang
ada, dan bisa saja muncul tuntutantuntutan
baru
yang
harus
ditransformasikan kembali kedalam
mekanisme perumusan kebijakan.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
memfokuskan
pada:
Bagaimana
pelaksanaan
kebijakan hulu minyak bumi pada
sumur
Sukowati
oleh
Pemda
kabupaten Bojonegoro pada tahun
2004-2009.
Penelitian
ini
menggunakan
metode
deskriptif
dengan
pendekatan
kualitatif,
metode
dimaksudkan
untuk
memberikan gambaran secara riil
mengenai pelaksanaan kebijakan hulu
minyak bumi oleh Pemda kabupaten

ADMINISTRATIO

Bojonegoro dari fenomena secara


aktual dan teratur.
PEMBAHASAN
PENGHITUNGAN
PRODUKSI
DAN
REALISASI LIFTING MINYAK BUMI DI
DAERAH
Revisi
Undang-Undang
desentralisasi yang baru memiliki
dampak yang beragam. Dalam hal
pendapatan per kapita alokasi
demikian
akan
meningkatkan
pemerataan, namun dari sudut rasio
penerimaan
pemerintah
daerah
terhadap kebutuhan pengeluarannya,
maka
alokasi
demikian
akan
berdampak pada distribusi fiskal yang
kurang merata (Granado, 2007).
Produksi Sumur Sukowati hingga
akhir tahun 2009 sebagaimana
dijelaskan oleh Catur Susilo (dalam
Antara Jawa Timur News, 2009) 2.,
berdasarkan data JOB PPJEV, jumlah
produksi minyak dari lapangan
Sukowati A dan Sukowati B, menjadi
sekitar 40/bph. Kegiatan eksploitasi
minyak bumi Sumur Sukowati oleh
PetroChina sebagai pelaksana pada
awal tahun 2005, meskipun pada
kenyataannya eksploitasi minyak
bumi telah belangsung pada tahun
2004 dan dinyatakan oleh PetroChina
bahwa dalam kurun waktu tahun
2004-2005
merupakan
masa
percobaan/uji coba dalam eksploitasi
minyak bumi Sumur Sukowati. Pada
pelaksanaannya pemerintah daerah
kabupaten Bojonegoro hingga tahun
2006 belum mendapatkan laporan
dari PetroChina atas kewajibannya
sebagai pengelola sumur Sukowati
(Blok Tuban) di Desa Campurejo.
2

Pernyataan humas Joint Operating


Body (JOB) Pertamina PetroChina East
Java kepada Antara Jawa Timur News,
29 Desember 2009, memberitakan
bahwa Sumur Minyak Sukowati 14
Berproduksi,
http://www.antarajatim.com/lihat/berita/24
640/Sumur-Minyak-Sukowati-14-MulaiBerproduksi-Rabu.

ISSN : 2087-0825

Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari Juni 2010

Batas urusan Pemda dalam


penghitungan produksi dan lifting
minyak bumi pelaksanaan atas
rencana produksi yang dilakukan
anatara BP Migas dan PetroChina
(Kontraktor
Kontrak
Kerja
Sama/KKKS). Kemudian kebijakan
tersebut
ditindaklanjuti
oleh
Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (MESDM) untuk menjadi
pandangan
atas
wilayah
yang
diputuskan sebagai wilayah penghasil
minyak bumi, dan atas hasil tersebut
pemerintah
pusat
menentukan
prognosa serta peraturan berupa
keputusan MESDM atas perkiraan
kandungan minyak yang ada pada
wilayah
operasi
adalah
Sumur
Sukowati. Kemudian data mengenai
potensi produksi minyak bumi pada
kurun waktu satu tahunan akan
disesuaikan dengan kurs dan harga
jual minyak mentah dunia untuk
Indonesia, kemudian dikeluarkan
berupa Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) sebagai proyeksi daerah
pengahasil dalam sumber penerimaan
daerah
dalam
bentuk
Dana
Perimbangan yang digolongkan dalam
Dana Bagi Hasil (DBH).
Peningkatan
anggaran
pendapatan
Pemkab
Bojonegoro
memang
terlihat
mengalami
perubahan sangat drastis, dengan
hadirnya kontraktor luar dalam
memproduksi potensi daerah berupa
minyak dan gas bumi. Akan tetapi
jika menilik dari sejarah minyak bumi
yang telah lama sudah ada dan
diproduksi, maka dapat dikatakan
pemkab Bojonegoro telah kecolongan
atas potensi daerah yang dimiliki.
Pemerintah daerah pada pelaksanaan
kebijakan hulu minyak bumi dalam
perhitungan produksi dan lifting
minyak bumi
kurun waktu tahun
2004- 2009 dapat dijelaskan, bahwa
dalam kurun waktu tersebut terdapat
dua kepemimpinan daerah yang
berbeda antara tahun anggaran 20032008 dan tahun anggaran 2008-2013.
Dan masa kinerja legislatif (DPRD)

ADMINISTRATIO

yang berbeda, yaitu masa jabatan


DPRD tahun 2004-2009 dan masa
jabatan tahun 2009-2014.
Realisasi pendapatan daerah
kabupaten Bojonegoro tahun 2004
hingga
tahun
2008
dibawah
kepemimpinan
Bupati
Santoso.
Seiring dengan eksploitasi yang
terjadi di kabupaten Bojonegoro,
menjadikan kabupaten Bojonegoro
oleh invesor sebagai lahan yang
sangat potensial untuk menanamkan
modal investasinya dari segala
bidang.
Tuntutan
kabupaten
Bojonegoro sebagai penghasil minyak
dan bersifat sebagai commanditair
menjadi semangat tersendiri oleh
Bupati Santoso, mendorong pemkab
Bojonegoro
untuk
melakukan
peningkatan pembangunan disegala
bidang dengan program pembangunan
yang
bersifat
Mega
Proyek,
diantaranya
RSI
(Rumah
Sakit
Internasional)/tipe b, SMK Migas,
Pembangunan
Jembatan
Malo.
Namun,
sampai
dengan
2009,
kenyataaannya banguan mangkrak
(tidak difungsikan) dan menyisakan
hutang.
Pemilihan
umum
Pemkab
Bojonegoro juga memberi pengaruh
besar akan otoritas pembangunan
yang akan diusung melalui visi dan
misi oleh kepala daerah baru. Setelah
PJMD 2003-2008, dilanjutkan Bupati
Suyoto 2008-2012. Tanggal 12 Maret
2008 Suyoto dilantik sebagai Bupati
Bojonegoro untuk masa jabatan
selanjutnya3. Orientasi Pemkab atas
3

Adapun konsep Bupati Suyoto dalam


membangun Bojonegoro seperti yang
disampikannya pada Buletin Inovasi:
Saya menggunakan Teori min (-) ke nol
(0) dan nol ke plus. Disebut plus, kalau
produktivitas
meningkat/PDRB
meningkat. Saya bayangkan Bojonegoro
merupakan sebuah corporation, sebuah
korporasi besar. Karena itu saya bukan
pemimpin administrasi, tetapi pemimpin
enterpreneurship yang dikelola dalam
pemerintahan. Untuk masalah minyak
begini, saya tak pernah mengajak rakyat
saya untuk bermimpi tentang minyak,
karena merupakan belong to nation, milik

ISSN : 2087-0825

Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro

realisasi lifting minyak bumi dilihat


dari pemanfaatan DHB tersebut. Dari
dua kepala daerah pada kurun waktu
penelitian tahun 2004-2009 terlihat
bahwa,
kepemimpinan
bupati
sebelumnya yang berlatar belakang
dan personaliti militer cenderung
tertutup dan komunikasi publik
bersifat top-down. Kepala daerah
terakhir dengan latar belakang
akademisi,
kebijakan
lebih
terprogram dan komunikasi bersifat
bottom-up. Perkembangan peran
serta Pemkab dalam implementasi
kebijakan
publik
yang
terdesentralisasi juga dipengaruhi
oleh kebijakan pusat.
Opsi
tentang
pembagian
kekuasaan dalam penyelenggaraan
pemerintah
juga
menjadi
pertimbangan lain, yaitu dengan
areal division of power atau dengan
capital division of power. Dengan
demikian setiap daerah otonom
mempunyai caranya sendiri dalam
perumusan
kebijakan
daerahnya
sesuai
dengan
kapasitas
dan
kapabilitas daerah masing-masing.
Namun, pelaksanaan kebijakan hulu
minyak bumi sumur Sukowati oleh
Pemkab
Bojonegoro
terkesan
terlambat. Dengan Surat Keputusan
Bupati Bojonegoro No. 7 tahun 2009
atas Peraturan Pemerintah (PP) No.
38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan
Pemerintahan
Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota,
sampai
dengan
sekarang Perda yang mengatur
tentang kewenangan atas sumber
daya mineral dan energi serta air
bawah tanah, dan pengelolaan
negara, hanya sedikit yang bisa diakses,
namun itupun saya dorong untuk
mempunyai nilai ekonomi tinggi karena
time life industri Migas tidak lama. Kalau
ingin makmur, Bojonegoro harus bisa
mengembangkan potensi ekonominya di
sektor-sektor yang lain. Uraian tersebut
secara tidak langsung menggambarkan
adanya pengaruh personal kepala
daerah dalam pelaksanaan kebijakan
pada daerah otonom.

ADMINISTRATIO

sumber daya mineral dan Migas sesuai


dengan ketentuan yang berlaku. Jika
kebijakan
tersebut
sejak awal
Produksi
minyak
bumi
telah
dirumuskan,
Pemkab
dapat
mendapatkan ganti atas sumber daya
mineral dan energi serta air bawah
tanah yang akan masuk dalam
penerimaan daerah dari retribusi dan
pajak daerah atas pemanfaatannya.
Peran kepala daerah dalam hal
ini Bupati kabupaten Bojonegoro
selama periode 2004-2009, dalam
perumusan kebijakan pemanfaatan
minyak bumi cenderung bersifat topdown. Belum ada bahkan tidak ada
inisiatif pemerintah daerah dalam
pembuatan kebijakannya melibatkan
masyarakat sebagai pedampak dari
kebijakan minyak bumi. Khususnya
masyarakat seputar Blok Tuban dan
secara
umum
masyarakat
Bojonegoro4. Ruang publik sebagai
sarana tanggung gugat Pemda tidak
ada.
Kebijakan
yang
diambil
didasarkan
atas
keterwakilan
masyarakat dalam kursi DPRD dan
Bupati mengambil peranan dominan
didalamnya. Kehadiran masyarakat
hanya
sebatas
pada
sosialisai
kebijakan
dan
dampak
dari
implementasi kebijakan.
Hubungan
antara
Pemkab
Bojonegoro dengan PeroChina terlihat
masih sangat tertutup. Perbedaan
orientasi dalam kegiatan hulu minyak
bumi menjadi pemicu mengapa pihak
PetroChina tidak membuka akses
dalam informasinya secara penuh
kepada masyarakat maupun terhadap
Pemkab
Bojonegoro.
Namun,
PetroChina juga telah melaksanakan
kewajibannya meskipun terkadang
masih banyak menimbulkan konflik
dalam pelaksanaannya. Semangat
responsibilitas
seharusnya
dapat
menjalankan
peran
profesional
PetroChina
dengan
baik,
jika
kepentingan publik adalah sentral.
4

Wawancara dengan Usman, anggota


DPRD masa bakti 2004-2009 dari fraksi
PAN, pada tanggal 8 Oktober 2009.

ISSN : 2087-0825

Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari Juni 2010

Konflik antara masyarakat sekitar


pertambangan
sebagai
pemilik
sumberdaya alam dengan kontraktor
yang telah diberi kuasa oleh
pemerintah
untuk
mengelola
sumberdaya alam, bermula dari
penerapan sistem pendekatan yang
salah. Gie (1995) sebagai akademisi
dan
pemerhati
perekonomian
Indonesia mengaitkan ekonomi dan
politik dalam kebijakan publik,
bahwa:
Tingkat
perkembangan
ekonomi sangat menentukan
pola pikir dan toleransi di
bidang politik. Tidak jarang
terjadi bahwa ketidak puasan
dalam bidang ekonomi tampil
sebagai tuntutan ke arah
demokratisasi politik yang
lebih besar, karena melalui
kesempatan
partisipasi
pengambilan
keputusan
dalam bidang politik, maka
bidang
ekonomi
dengan
sendirinya akan terpengaruhi.
Paparan tersebut menjelaskan ada
toleransi politik dalam memandang
ekonomi pada kebijakan publik.
Berdasar atas asumsi tersebut,
kebijakan publik hulu minyak bumi
diimplementasikan
pada
daerah
otonom dengan tidak menyertakan
secara langsung daerah pada proses
formulasi
kebijakannya
akan
menimbulkan
ketidakpuasan
didalamnya. Tuntutan baru yang
dimunculkan
pemerintah
daerah
untuk menyesuaikan suatu kebijakan
dalam proses desentralisasi ke arah
demokratisasi politik yang lebih
besar. Dengan demikian melalui
kesempatan partisipasi implementor
daerah dalam bidang politik, dan
bidang ekonomi dengan sendirinya
akan
terpengaruhi
mengingat
kebijakan hulu minyak bumi dikelola
secara
industri.
Disisi
lain
implementasi kebijakan hulu minyak
bumi pada daerah otonom terdapat
perusahaan
yang
berusaha

ADMINISTRATIO

meningkatkan kesejahteraan dirinya


sendiri, dimana sistem etika yang
digunakan
adalah
egoisme.
Perusahaan tidak pernah peduli
dengan kondisi disekitarnya, yang
penting perusahaan dapat meraup
untung yang sebesar-besarnya selama
kontrak karya diberikan kepadanya.
Jika perusahaan terpaksa harus
peduli dan memikirkan kesejahteraan
masyarakat sekitarnya, hal tersebut
dilakukan tetap dalam kerangka
pengeluaran biaya yang seminimal
mungkin (Nahib, 2006).
Partisipasi dilihat segi politik
lebih memprioritaskan participatory
dibanding
demokrasi
perwakilan
(representative democracy) sebagai
hak demokrasi dan setiap orang dan
dengan demikian publik secara
umum, untuk berpartisipasi dalam
proses
pengambilan
keputusan.
Partisipasi
publik
juga
akan
membantu Pemkab Bojonegoro untuk
mendapatkan gambaran lebih jelas
mengenai
permintaan-permintaan
dan aspirasi konstituen mereka atau
semua pihak yang akan terpengaruh,
dan sensivitas pembuatan keputusan
untuk melaksanakan kebijan dengan
maksimal jika ditangani secara tepat.
Dari
segi
planning
partisipasi
menyediakan sebuah forum untuk
saling tukar gagasan dan prioritas,
nilai akan public interest dalam
dinamikanya serta dinamikanya serta
diterimanya
proposal-proposal
perencanaan.
Aset
Pemkab
Bojonegoro melalui kepemilikikan
tanah masyarakat dapat didata dan
meminimalisir
penggunaan
lebih
lahan masyarakat dengan tidak
bertanggungjawab.
Adanya ruang publik sebagai
bentuk
dari
penguatan
proses
desentralisasi kabupaten Bojonegoro,
memberikan pendasaran baru dalam
implementasi kebijakan publik di
daerah melalui diskursus rasional
oleh warga negara. Melalui diskursus
yang menuntut kesamaan hak dalam
diskusi dijamin dan bebas dari segala

ISSN : 2087-0825

Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro

bentuk dominasi. Berdasarkan hal


tersebut,
demokrasi
dalam
implementasi kebijakan publik telah
menyediakan suatu dasar untuk
mengawasi dan memastikan agar
kekuasaan
digunakan
demi
kepentingan bersama yang setara.
Dengan adanya diskursus dalam dua
tingkat pembentukan opini dan
kehendak memungkinkan lahirnya
kebijakan
maupun
implementasi
kebijakan daerah yang membela
masyarakat. Jadi, ruang publik
sebagai lokus diskursus adalah
jawaban
untuk
mengatasi
permasalahan
keterbatasan
kewenangan daerah otonom atas
sebuah
kebijakan
publik
yang
diformulasikan oleh pemerintah pusat
dengan
melihat
daerah-daerah
otonom segara umum tanpa melihat
karakteristik khusus daerah otonom.
Bagi Habermas (dalam Zauhar, 2007),
diskursus
dalam
ruang
publik
bertujuan membentuk opini dan
kehendak
(opinion
and
will
formations)
yang
mengandung
kemungkinan
kepentingan
masyarakat akan menjadi prioritas.
Gambar 1. Perbandingan Negara
dengan Penguatan demokrasi dalam
Desentralisasi dan Kekuatan Civil
Society

Sumber: Data diolah.


Gambar tersebut menerangkan
Penerapan
demokrasi
sebagai
penguat
dalam
kerangka
desentralisasi
pada
sistem
masyarakat
(civil
society).
Pelaksanaan kebijakan publik pada

ADMINISTRATIO

sebuah
masyarakat
adalah
terwujudnya kerjasama, pemerataan
kekuasaan, adanya dorongan/harapan
yang besar, dan adanya keterlibatan
sosial yang tinggi dalam pengambilan
keputusan. Pada sisi lain digambarkan
bahwa, pemerintahan dengan sifat
militeristik dan kaku, kekuasaan
terpusat pada satu pihak sehingga
keterlibatan
masyarakat
minim
bahkan tidak ada sama sekali dan
adanya hukum yang sangat mengikat
masyarakat sebagai warga negara
(citizenship).
Melihat
hubungan
masyarakat dengan negara, civil
society dianggap memiliki tiga fungsi;
Pertama, sebagai komplementer di
mana elemen-elemen civil society
mempunyai aktivitas memajukan
kesejahteraan dengan memajukan
kegiatan yang ditujukan untuk
melengkapi peran negara sebagai
pelayan publik (public services).
Kedua, sebagai subtitutor. Artinya,
kalangan civil society melakukan
serangkaian aktivitas yang belum
atau tidak dilakukan negara dalam
kaitannya sebagai institusi yang
melayani kepentingan masyarakat
luas. Dan ketiga, sebagai kekuatan
tandingan
negara
atau
counterbalancing the state atau
countervailing forces. Kalangan civil
society
melakukan
advokasi,
pendampingan,
ligitasi,
bahkan
praktik-praktik
oposisi
untuk
mengimbangi kekuatan hegemonik
negara atau paling tidak menjadi
wacana alternatif di luar aparatur
birokrasi negara. Dengan konsep
tersebut hubungan antara tiga sektor
yang terlibat dapat melahirkan proses
yang
dinamis
dan
saling
menguntungkan, sehingga konflikpun
dapat diminimalisir dan dihindari.
PEMBERIAN REKOMENDASI DAN IZIN
PENGGUNAAN
WILAYAH
KERJA
KONTRAK KERJA SAMA MINYAK BUMI
DI DAERAH

ISSN : 2087-0825

10

Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari Juni 2010

Lahan merupakan sumber daya


pembangunan
yang
memiliki
karakteristik unik, dengan kesesuaian
tersendiri
dalam
menampung
kegiatan masyarakat yang cenderung
spesifik. Oleh karena itu, penggunaan
lahan
perlu
diarahkan
untuk
dimanfaatkan untuk kegiatan yang
paling sesuai dengan sifat fisiknya
serta
dikelola
agar
mampu
menampung kegiatan masyarakat
yang terus berkembang. (Hermanto
dalam Ahmada, 2008).
Keputusan
Menteri
Negara
Lingkungan Hidup No. 214 Tahun 2007
tentang Kelayakan Lingkungan Hidup
Pengembangan Lapangan Minyak Dan
Gas Bumi Blok Tuban West Area Di
Kabupaten
Bojonegoro
Dan
Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur
Oleh JOB Pertamina-Petrochina East
Java. Keputusan tersebut merupakan
kebijakan yang dijadikan acuan
dalam pelaksanaan kebijakan hulu
minyak bumi dalam pemberian
rekomendasi dan perijinan. Dalam
ketetapan dijelaskan bahwa setelah
Tim Izin Lokasi selesai memberikan
rekomendasinya, maka ijin yang akan
dikeluarkan berupa Surat keputusan
(SK) Bupati Bojonegoro sebagai
Daerah Penghasil. Namun pada
kenyataannya proses pemberian ijin
dari tahun 2004 hingga 2009 tidak
ada SK Bupati yang disebut sebagai
dasar pemberian Ijin Lokasi5.
Berdasarkan
konsep
desentralisasi, kebijakan yang telah
diserahkan pada Pemkab Bojonegoro
5

Adapun kenyataan tersebut diperkuat


oleh Evi Rahmawati, Kasubag Tata
Pemerintahan dan Pertanahan, bahwa:
Tidak ada Perda maupun SK Bupati
Bojonegoro yang mengatur tentang
perijinan yang mengatur khusus wilayah
eksploitasi minyak bumi. Pada tahun
2004 dengan adanya eksploitasi minyak
sumur Sukowati ditangani langsung oleh
Badan Pertanahanan Nasional. Dan
dengan adanya UU No. 41 tahun 2007,
Dinas Perijinan baru dibentuk dalam
SKPD
Bojonegoro
tahun
2009
(wawancara tanggal 4 Desember 2009,
pukul 11.45 wib)

ADMINISTRATIO

dapat
lebih
memaksimalkan
kebijakan dalam pelaksanaannya.
Jika dalam pelaksanaan kebijakan
formal tidak dapat memaksimalkan
pengelolaan wilayah hulu minyak
bumi, maka pelaksanaan secara
informal dengan adanya karaktersitik
tertentu dari sebuah kebijakan yang
tidak bisa diterapkan di kabupaten
Bojonegoro. Karena rekomendasi dan
pemberian izin tersebut tidak hanya
untuk waktu yang relatif sebentar
dan melibatkan sektor swasta yaitu
PetroChina for East Java. Dilain pihak
PetroChina
juga
harus
lebih
transparan sebagai partner Pemkab.
Pemberian
rekomendasi
rekomendasi penggunaan wilayah
kerja kontrak kerja sama untuk
kegiatan lain di luar kegiatan Migas
pada wilayah kabupaten/kota, dan
pemberian izin pembukaan kantor
perwakilan perusahaan di sub sektor
Migas dari Pemerintah kabupaten
Bojonegoro
kepada
PetroChina.
Ladang minyak pada desa Campurejo
Kecamatan Bojonegoro yang telah
ada pada tahun 1990-an dikelola oleh
SFER pada tahun 1998-1999 telah
berproduksi
dengan
adanya
eksploitasi minyak bumi pada sumur 1
dan 2 Sumur Sukowati di desa
Campurejo. Pada 2000-2001 ladang
minyak SFER melalui jual beli
akhirnya berpindah tangan kepada
Devon Energy, kemudian dibeli oleh
PeroChina, dimana ladang minyak di
desa Campurejo merupakan salah
satu dari Blok Tuban yang dikelola
oleh PertoChina.
Peran Pemkab Bojonegoro dalam
pelaksanaannya
adalah
sebagai
fasilitator
dalam
pemberian
rekomendasi dan ijin penggunaan
wilayah, diawali adanya instruksi dari
Bupati yang menyampaikan adanya
permohonan untuk wilayah tertentu
dari BP Migas atas PetroChina dalam
eksplorasi dan ekspoitasi minyak
bumi pada desa Campurejo. Jika
dicermati,
keberadaan
wilayah
pertambangan
di
kabupaten

ISSN : 2087-0825

Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro

Bojonegoro sudah ada sejak lama,


bahkan sebelum PetroChina menjadi
pengelola pada tahun 2000-an.
Namun, kebijakan dari pemerintah
pusat mengenai wilayah tersebut
terkesan lamban dan baru keluar
pada tahun 2007 tepatnya 3 tahun
dari produksi awal pada Juli 2004.
Dalam kurun waktu 3 tahun bisa
dinominalkan,
bahkan
dihitung
kerugian yang harus ditanggung
Pemkab.
Rekomendasi dan pemberiaan
izin penggunaan wilayah kepada
PetroChina seharusnya diputuskan
melalui Surat Keputusan Bupati pada
awal dimulainya sejak tahun 2000-an.
Namun pada kenyataannya tidak ada
kebijakan turunan oleh Pemkab
Bojonegoro yang dijadikan acuan
sehingga jika ditilik dari kepentingan
publik, sangat melemahkan hak
maupun kepentingan publik pemilik
lahan desa Campurejo. Pada tahun
2006 baru diterbitkan Peraturan
Bupati Bojonegoro No. 06 tentang
Regulasi Perizinan di Kabupaten
Bojonegoro dijadikan dasar dalam
Pengawasan merupakan upaya-upaya
untuk
menjaga
kesatuan
pemanfaatan ruang dengan fungsi
ruang yang ditetapkan dalam rencana
tata ruang secara umum, dan tidak
mengatur lebih rinci mengenai lahan
industri
pertambangan
yang
mempunyai
intensitas
dan
kecenderungan konflik yang lebih
besar dari pemberian rekomendasi
dan pemberiaan izin penggunaan
lahan untuk kegiatan yang lain.
Pengawasan yang perlu dijadikan
acuan oleh Pemkab Bojonegoro oleh
SKPD yang terkait dari permasalahan
yang
telah
dijelaskan
dalam
penyajian data adalah perubahan
pemanfaatan
ruang
(kegiatan
pembangunan fisik) yang terjadi, baik
yanng sesuai maupun tidak sesuai
dengan rencana beserta besaranbesaran
perubahannya.
Objek

ADMINISTRATIO

11

pengawasan
SKPD6
terkait
pengendalian pemanfaatan ruang
melalui penetapan perizinan.
Peran pemerintah daerah dalam
pemberian
rekomendasi
dan
pemberian ijin penggunaan wilayah
kontrak kerjasama sumur Sukowati
mulai dari tahun 2004 sampai dengan
tahun 2009 adalah sebagai fasilitator,
pengawas dan evaluasi sebagaimana
telah diatur dalam UU dan Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup yang telah
dijelaskan sebelumnya. Kewajiban
PetroChina yang menjadi hak Pemkab
Bojonegoro
dalam
mendapat
informasi kegiatan atas pelaksanaan
pemboran sumur Sukowati keberapa
yang
sedang
dibor
dan
juga
melaporkan penyelesaian pengeboran
maupun segala bentuk kegiatan
terkait. Informasi tersebut wajib
diinformasikan
pada
Sekretaris
Daerah, Kapolres, Ketua DPRD,
Kepala Dinas Lingkungan Hidup,
Dandim, Kepala desa Campurejo.
Otoritas Pemerintah kabupaten
(Pemkab) Bojonegoro pada poin
ketiga atas Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 214 Tahun 2007
tentang Kelayakan Lingkungan Hidup
Pengembangan Lapangan Minyak Dan
Gas Bumi Blok Tuban West Area Di
Kabupaten
Bojonegoro
Dan
Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur
Oleh Job Pertamina-Petrochina East
Java. Sebagai fasilitator, pengawas
dan evaluasi yang dimiliki Pemkab
Bojonegoro dalam rekomendasi dan
pemberian ijin lahan coba dilihat
melalui format, mekanisme, dan
dinamika dalam pemerintah daerah
yang
kemudian
dikaji
melalui
mekanisme formal dan mekanisme
informal
yang
dikembangkan
pemerintah
daerah
kabupaten
Bojonegoro
sebagai
pemegang
6

Sesuai dengan Draft Rencana:


Penyusunan RDTR Kawasan Perkotaan
Kecamatan
Kapas
Kabupaten
Bojonegoro Beserta Draf Rancangan
Perda Tahun 2009, Badan Perencanaan
Pembangunan
Daerah,
Pemerintah
Kabupaten Bojonegoro, hal.V-2.

ISSN : 2087-0825

12

Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari Juni 2010

mineral right dalam implementasi


kebijakan hulu minyak bumi berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan.
Peran
Pemkab
Bojonegoro
sebagai
fasilitator
sebagaimana
dijelaskan
sebelumnya,
yaitu
bertindak berdasarkan instruksi dari
Bupati yang menyampaikan adanya
permohonan wilayah tertentu dari BP
Migas
atas
PetroChina
dalam
eksplorasi dan ekspoitasi minyak
bumi
pada
desa
Campurejo.
Permohonan tersebut lalu ditindak
lanjuti oleh Tim Izin Lokasi, yang
terdiri dari Diperta sebagai pemberi
rekomendasi klasifikasi penggunaan
tanah, Bappeda sebagai pemberi
rekomendasi tata ruang dan BPN
sebagai Rekomendasi tata guna
tanah. Rekomendasi dan perijinan
diproses selama 12 hari, diputuskan
melalui rapat lintas sektoral bersama
Bupati,
kemudian
diserahkan
pakepada BP Migas dan PetroChina.
Minimnya peran dan partisipasi
pasif Pemkab Bojonegoro sangat
terlihat dalam pelaksanaan kebijakan
hulu dalam pemberian rekomendasi
dan ijin wilayah pertambangan
tersebut. Pemkab sebagai fasilitator
terkesan
sebagai
pemenuhan
formalitas
administrasi
dari
pemerintah pusat dalam hal ini
BPMigas. Hal serupa juga diutarakan
oleh Bidang Sumber Daya Alam (SDA),
bahwa
Pemkab
tidak
banyak
dilibatkan dalam proses penentuan
wilayah antara BP Migas dengan
PetroChina. Dengan demikian dapat
dikatakan Pemkab hanya bertindak
sebagai
pemenuhan
formalitas
administrasi
dan
lemah
dalam
intervensi kebijakan yang ditebtukan
pemerintah
pusat,
meskipun
pelaksanaan kebijakan berada pada
tingkat daerah otonom.
Kewenangan
terbatas
yang
dimiliki oleh Pemkab Bojonegoro
dalam rekomendasi dan pemberian
ijin, menimbulkan dampak yang

ADMINISTRATIO

bervariasi atas minimnya pengawasan


secara
intensif
dari
Pemkab
Bojonegoro.
Komunikasi
yang
dibangun pada pemerintahan Bupati
Santoso dilapangan menggambarkan
komunikasi
yang
terbangun
cenderung bersifat vertikal, dan pada
pemerintahan Bupati Suyoto dengan
menerapkan Dialog Publik lebih
cenderung cepat serta efektif dalam
merespon permasalahan masyarakat.
Pemkab Bojonegoro, dalam hal
tersebut DPRD kabupaten Bojonegoro
terkesan pasif mengiringi masyarakat
dalam pengawasan dan evaluasi akan
pengelolaan
lahan
yang
telah
mendapatkan rekomendasi dan ijin
atas penggunaannya oleh PetroChina.
Pemkab cenderung bergerak jika
sudah terjadi permasalahan. Selama
ini pemerintah desa sebagai bagian
daerah otonomi yang bebas mengusur
rumah tangganya sendiri selam tidak
bertentangan
dengan
kebijakan
pemerintah
daerah
kabupaten.
Sistem hearing selama ini dilakukan
oleh komisi A DPRD kabupaten
Bojonegoro dan komisi lain yang
terkait dalam menanggapi tuntutan
masyarakat
akan
eksploitasi.
Seharusnya DPRD membuka forum
untuk mengadakan pembahasan atas
permasalahan yang terjadi akibat
ketidak cocokan antara warga dengan
JOB Pertaminan-PetroChina dalam
waktu yang berkala. Dengan demikian
permasalahan yang timbul akan
segera terselesaikan dan tidak terjadi
penumpukan permasalahn yang akan
berakibat
konflik
yang
berkepanjangan. Dilain pihak SKDP
(pembantu eksekutif) dan DPRD
(legislatif)
sendiri,
lebih
pada
menunggu
permasalahan
timbul
dibandingkan
untuk
mengantisipasinya dengan sistem
jemput
bola
dan
memberikan
perhatian khusus kepada kegiatan
hulu Migas dalam rekomendasi dan
juga perizinan.
Hadirnya penambangan minyak
bumi Blok Tuban di desa Campurejo,

ISSN : 2087-0825

Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro

tidak
hanya
berdampak
pada
pendapatan melalui lifting, namun
juga banyaknya permasalahan yang
ditimbulkan dari proses pelaksanaan
kebijakan hulu Sumur Sukowati.
Sebagaimana diungkapkan aparat
TNI, bahwa memang ada permainan
politik dalam eskploitasi minyak bumi
dengan pihak pemerintah baik yang
berada di desa maupun di kabupaten,
untuk
memberikan
pengarahanpengarahan secara tidak langsung
pada masyarakat tentang apa-apa
yang dapat mereka peroleh dengan
keberadaan eksploitasi pada desa
penghasil. Keadaan tersebut sangat
merugikan masyarakat, karena dapat
mempengaruhi keputusan PetroChina
dalam proses produksi. Ditambah lagi
sumber
daya
manusia
ahli
pemahaman mengenai pertambangan
pada desa penghasil dirasa sangat
kurang bahkan tidak ada.
Hubungan
antara
Pemkab
Bojonegoro dengan pemerintah pusat
sifatnya hanya sebagai saksi dalam
pelaksanaan realisasi penghitungan
lifting minyak bumi, dan juga
berperan sebagai fasilitator dalam
proses pemberian rekomendasi dan
ijin secara formalitas sebagai tindak
lanjut kebijakan pusat (ESDM) di
daerah. Selain fasilitator, Pemkab
juga berperan sebagai pengawas dan
evaluasi kebijakan hulu minyak bumi
oleh PetroChina. PetroChina sebagai
kontraktor KKS dengan Pertamina
dengan job operating body (JOB),
berkewajiban
memberikan
keterangan berupa laporan kinerja
dari setiap kegiatan produksi sumur
Sukowati (Blok Tuban) pada tiap
bulannya,
sedangkan
hubungan
Pemkab dengan masyarakat terbatas
sebagai fasilitator dan mediator
dengan PetroChina maupun dengan
pemerintah pusat.
Kesuksesan
implementasi
kebijakan publik dalam desentralisasi
tidak tergantung pada kegiatan
kolektif warga negara, tetapi pada
terlembaganya
keterhubungan

ADMINISTRATIO

13

prosedur
dan
kondisi-kondisi
komunikasi. Dalam model tersebut
struktur demokrasi membentuk opini
dan kehendak yang memungkinkan
terjadinya
kesepakatan rasional.
Individu tidak lagi dipahami sebagai
individu yang lepas dari sebuah
komunitas, sebagaimana dipahami
dipahami oleh masyarakat liberal.
Individu juga, tidak lagi dikenali
sebagai bagian dari suatu komunitas
tertentu.
Dalam
implementasi
kebijakan
publik
dengan
mengikutsertakan
demokrasi,
individu mengambil peran sebagai
warga negara yang berorientasi pada
keseluruhan.
Individu
tersebut,
meminjam istilah F. Budi Hardiman
dikutip oleh Zauhar (2007), disebut
individu diskursif. Individu diskursif
adalah individu yang memperoleh
identitasnya
dari
proses
pembentukan identitas baru yang
dirancang bersama secara diskursif.
Terdapat pro dan kontra dalam
hal apakah demokrasi yang tertuang
dalam
sistem
desentralisasi
dibutuhkan atau tidak dalam civil
society oleh para pakar maupun
akademisi
dalam
diskusi-diskusi
selama, sebagaimana gambaran pro
dan kontra demokratisasi dalam civil
society:
Kewarganegaraan demokratis
bukanlah
konsep
dimana
birokrat dermawan menjadi
pengganti atas kebijakan
mereka
untuk
pejabat
terpilih (Bourgon, 2007)
Pernyataan tersebut menjelaskan
tentang kontra penguatan akan
desentralisasi dalam civil society,
sedangkan pendapat pro demokrasi
dalam civil society menyatakan
bahwa:
civil
society
merupakan
faktor yang dipercaya sangat
penting untuk memperkuat
demokrasi
(Putnam
dan
Schimitte dalam Bourgon,
2007). Civil society dipercaya

ISSN : 2087-0825

14

Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari Juni 2010

memperkuat
political
engagement,
dan
pada
gilirannya
political
engagement
memperkuat
partisipasi
politik
yang
merupakan
inti
dari
demokrasi
(Verba,
Schlozman, and Brady, dalam
Bourgon, 2007).
Gambar 2. Democratic Citizenship
Sebagai Perwujudan Penguatan
Civil Society

Sumber: Data diolah.


Proses demokrasi dengan tumbuh
dan aktifnya Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) sebagai kelompok
masyarakat
yang
mempunyai
kekuatan hukum dalam menghimpun
aspirasi masyarakat yang akan
menumbuhkan tatanan masyarakat
yang berpihak pada publik (civil
society). Menanggapi hal tersebut,
mengambil poin penting dari tulisan
Bourgon (2007) tentang konsep
democratic citizenship membuat
perspektif baru, bahwa:
Peran administrator publik
tidak bisa direduksi menjadi
hanya menanggapi pengguna
'permintaan
atau
melaksanakan
perintah.
Melibatkan:
1) Membangun
hubungan
kolaboratif dengan warga
dan
kelompok
warga
negara.

ADMINISTRATIO

2) Mendorong
tanggung
jawab bersama.
3) Menyebarkan
informasi
untuk
meningkatkan
wacana publik.
4) Menumbuhkan pemahaman
bersama tentang isu-isu
publik.
5) Mencari peluang untuk
melibatkan
masyarakat
dalam
kegiatan
pemerintahan.
Digambarkan implementasi kebijakan
hulu minyak bumi di Pemkab
Bojonegoro, dari dinamika antara
pemerintah, swasta dan masyarakat
pada era desentralisasi dengan
demokrasi dijadikan acuan. Interaksi
tersebut dimungkinkan terciptanya
civil society dengan democracy
citizenship yang menempatkan pada
keseimbangan
dan
saling
menguntungkan antara pihak.
Permasalahan
utama
dalam
menganalisis implementasi kebijakan
hulu minyak bumi dengan penguatan
lokalisasi (daerah otonom) adalah
adanya
tiga
element
good
governance pada Pemkab Bojonegoro
dalam implementasi kebijakan di
tingkat pemerintah daerah penghasil,
yaitu pemerintah, pihak swasta dan
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut
didapat
indikator
kegagalan
demokrasi implementasi kebijakan
publik hulu minyak bumi meliputi
tidak adanya aspek dasar seperti
tidak adanya interaksi, tidak ada
transparansi dan cenderung tertutup,
tidak ada kesepemahaman emosional
antar aktor publik yang terlibat,
prosedur yang berbeli-belit, dan
berorientasi
untuk
kepentingan
kelompok yang cerderung tidak
rasional.
Implementasi kebijakan publik
yang bertumpu pada desentralisasi
tidak dibangun atas dasar kebebasan
individu atau suara mayoritas, tetapi
lebih merupakan aksi para partisipan
melalui tindakan saling pengertian,
berargumentasi,
dan
perjanjian

ISSN : 2087-0825

Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro

dalam struktur pembentukan opini


dan kehendak7. Sebuah institusi
dibentuk guna mengakui pelbagai
kepentingan
kelompok
yang
terbangun dalam proses deliberasi
kolektif,
yang
mencangkup
rasionalitas,
kebebasan,
dan
kesetaraan
individu.
Dengan
demikian maka hasil yang dicapai
adalah rasionalitas dan legitimasi.
Dalam hal ini dapat diperoleh melalui
proses pembentukan opini dan
kehendak.
Proseduralisasi kedaulatan rakyat
dipahami sebagai bentuk komunikasi
tanpa
subjek
(subjektlose
kommunikationsformen)
dalam
model demokrasi tidak lain dari pada
konsep ruang publik politis8. Maka,
ruang publik politis tidak lain
daripada
hakikat
kondisi-kondisi
komunikasi yang denganya sebuah
formasi opini dan aspirasi diskursif
sebuah publik yang terdiri dari para
warganegara
dapat
berlangsung.
Sesuai dengan pendapat tersebut,
dipahami bahwa ruang publik politis
tersebut
sebagai
prosedur
komunikasi.
Ruang
publik
memungkinkan para warganegara
untuk bebas menyatakan sikap
mereka, karena ruang publik tersebut
menciptakan kondisi-kondisi yang
memungkinkan para warganegara
untuk
menggunakan
kekuatan
argumen. Di dalam ruang publik
politis sebagai kondisi komunikasi
yang dapat menumbuhkan kekuasaan
solidaritas
yang
menguntungkan
sebuah
masyarakat
dalam
perlawanannya terhadap sumbersumber lain.
7

Sebagaimana
disampaikan
oleh
Zauhar (2007), bahwa tujuan demokrasi
deliberatif yang dianggap peneliti baik
untuk menyelesaikan konflik di lapangan
adalah memperoleh legitimasi yang
didasarkan pada rasionalitas yang
mumpuni dalam proses memutuskan
sebuah kebijakan.
Seperti dikutip dari Hardiman (2009)
aspirasi politis umum terbangun secara
komunikatif.

ADMINISTRATIO

15

PENUTUP
Penelitian yang mengkaji analisis
tingkat pelaksanaan Pemda dalam
Kebijakan Hulu Minyak Bumi pada
Sumur Sukowati (Blok Tuban) di
Kabupaten Bojonegoro disimpulkan
sebagai
berikut:
bahwa
masih
minimnya keterlibatan dan peluang
Pemkab sebagai daerah penghasil
untuk terlibat secara langsung dalam
perhitungan lifting. Kebijakan publik
pada
tataran
daerah
otonom
penghasil minyak bumi kurang
memperhatikan diversitas daerah dan
kapasitas
pemerintah
daerah.
Pemerintah
daerah
kurang
mengembangkan aparatur yang sesuai
dengan kebutuhan akan kegiatan hulu
minyak bumi. Pemkab bertindak
sebagai fasilitator, evaluasi dan
monitoring, dengan kebijakan sangat
terbatas
dalam
pelaksanaan
pemberian rekomendasi dan izin
penggunaan wilayah kontrak kerja
sama minyak bumi. Selain hal
tersebut kesepahaman atas kebijakan
karena minimnya sosialisasi atas
kebijakan yang diimplementasikan
didaerah mempunyai keseragaman
seperti
daerah
otonom
pada
umumnya, hal tersebut sangat
membatasi
kewenangan
daerah
otonom dalam mengelola daerah
sesuai
dengan
karakteristiknya.
Ditambah
tingginya
partisipasi
masyarakat tidak dibarengi dengan
penguatan dari segi hukum.
Saran
sebagai
solusi
dari
eksploitasi
minyak
bumi
di
pemerintahan
daerah
kabupaten
Bojonegoro
adalah
adanya
kewenangan
tambahan
kepada
daerah otonom penghasil minyak
bumi untuk dapat terlibat secara
langsung dalam perumusan kebijakan
yang selama ini masih dirasa
sentralistik. Memberikan ruang publik
untuk menghasilkan diskursus antara
pemerintah pusat dengan pemerintah

ISSN : 2087-0825

16

Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari Juni 2010

daerah untuk dapat menambahkan


beberapa usulan tambahan dalam
kebijakan yang didesentrlisasikan
sesuai
dengan
kondisi
sosial
masyarakatnya. Kewenangan daerah
otonom dalam menentukan kebijakan
hulu minyak bumi pada tataran
pemerintah
daerah
selayaknya
menjadi
pertimbangan
bagi
pemerintah pusat dalam memberikan
urusan umum kepada daerah untuk
menentukan ukuran, komposisi dan
kompetensi daerah sebagai penghasil
minyak bumi. Selain hal tersebut,
perlu adanya unsur lokalisasi pada
kebijakan publik atas urusan pilihan
yang
terdesentralisasi,
sehingga
pemerintah daerah tidak hanya
sebagai formalitas dan melakukan
apa yang pemerintah pusat telah
lakukan atas pemberian rekomendasi
dan ijin penggunaan wilayah kontrak
kerja sama. Pemkab lebih aktif
memanfaatkan
haknya
dalam
menerbitkan kebijakan daerah dalam
surat keputusan maupun kebijakan
setara
untuk
mendukung
desentralisasi kebijakan publik, serta
penguatan aspirasi masyarakat dalam
kelompok-kelompok yang berbadan
hukum.
Penguatan
keberadaan
masyarakat
dimungkinkan
untuk
advokasi, pendampingan, ligitasi,
bahkan praktik-praktik oposisi untuk
mengimbangi kekuatan hegemonik
negara atau paling tidak menjadi
wacana alternatif di luar aparatur
birokrasi negara.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU DAN JURNAL:
Ahmada.
Rifqi,
2008,
Strategi
Pegedalia Perubahan Pegguana
Lahan
Untuk
Kepetigan
Pembaguan (Studi Tentang Ijin
Lokasi
Penggunaan
Lahan
Pertanian Untuk Perumahan dan
Industri Di Kabupaten Gresik),
Konsentrasi
Administrasi
Pembangunan, Fakultas Ilmu
Administrasi, UNIBRAW, Malang.

ADMINISTRATIO

Dwijowijoyo, Riant Nugroho. 2006.


Kebijakan Publik Untuk NegaraNegara Berkembang, PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta.
Dwidjowijoto. Riant.N, 2007, Analisis
Kebijakan, PT. Alex Media
Komputindo, Jakarta.
Gie,

Kwik Kian. 1995. Analisis


Ekonomi
Politik
Indonesia,
cetaka keempat. PT Ikrar
Mandiri Abadi. Jakarta.

Islamy. Irfan, 1997, Prinsip-Prinsip


Perumusan
Kebijaksanaan
Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Jenkins,
T.
1996.
Public
Administration. MacDonald &
Evans. London.
Muhammadi. Aminullah, E. dan
Soesilo, B. 2001. Analisis Sistem
Dinamis. UMJ. Jakarta.
Parsons. Wayne, 1997, Public Policy:
An Introduction to the Theory
and Practise of Policy Analysis.
Edward Elgar, Cheltenham, UK
Lyme. US.
Putra. Fadilah, 2003, Paradigma Kritis
Dalam Studi Kebijakan Publik:
Perubahan
Dan
Inovasi
Kebijakan Publik Dan Ruang
Partisipasi Masyarakat Dalam
Proses Kebijakan Publik Cetakan
Kedua,
Pustaka
Pelajar,
Surabaya.
Remmer. Karen L., May 2007, The
Political Economy of Patronage:
Expenditure Patterns in the
Argentine Provinces, 19832003,
The Journal of Politics, Vol. 69,
No. 2, Southern Political
Science
Association,
Duke
University.
Setyabekti. Sukma Prima, 2008,
skripsi:
Dampak
Eksploitasi
Minyak Bumi Pada Pendapatan
Daerah Dan Masyarakat (Studi
Pada Eksploitasi Minyak Bumi
Oleh
Petrochina
Di
Desa
Campurejo
Kecamatan

ISSN : 2087-0825

Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro

Bojonegoro
Kabupaten
Bojonegoro).
Fakultas
Ilmu
Administrasi Publik, UNIBRAW,
Malang.
Tangkilisan Hessel,S.N, 2004, Strategi
Pengembangan Sumber Daya
Birokrasi
Publik,
YPAPI,
Yogyakarta.
Wahab, Abdul.S. 1997. Analisis
Kebijaksanaan dari Formulasi ke
Implementasi.
Kebijaksanaan
Negara, Bumi Aksara, Jakarta

17

Buletin Inovasi, 2009, Bojonegoro


Dalam Lintasan Pembangunan,
Muhajir, Mumu. 2006. Concept Paper
Qua Vadis: Kemandirian Bangsa
Dalam Bidang Energi. Institut
Sumber Daya Alam.
Sugiono. Agus, 2004, Perubahan
Paradigma Kebijakan Energi
Menuju Pembangunan yang
Berkelanjutan, BPPT.

Wahab, Solichin Abdul. 2005. Analisis


Kebijakan Dari Formulasi ke
Implementasi
Kebijaksanaan
Negara: Edisi Kedua. Bumi
Aksara, Jakarta.
Zauhar. Soesilo, 2007, Administrasi
Publik
Deliberatif
Dalam
Masyarakat Neokrofilia. Jurnal
Ilmiah Administrasi Publik, Vol.9
No.1 September. LPD, FIA
UNIBRAW, Malang.
INTERNET:
Granado. Arze del, F.J. 2005. Fiscal
Equalization Impact of Changes
to
the
DAU
Allocation
Mechanism. Policy note. World
Bank,
Jakarta
Office.
http://siteresources.
worldbank.org/INTINDONESIA/R
esources/2262711168333550999/
PERHBAB7DesentralisasiFiskalKe
senjanganDaerah.pdf, Diakses
tanggal 1 April 2007.
Walhi, 2006,http://www.walhi.or.id/
kampanye/cemar/industri/0607
30_lapindo_cu/
ARTIKEL DAN DOKUMEN:
Akbar. Wanda Ali, 2009, Pembahasan
Keekonomian
Pada
Usulan
Perpanjangan Kontrak Kerja
Sama
Migas.
Makalah
disampaikan pada Dies Emas
ITB,
Sarasehan
Nasional
Mencari Solusi Untuk Bangsa
di Kampus ITB 4-5 Maret 2009.

ADMINISTRATIO

ISSN : 2087-0825

You might also like