You are on page 1of 12

Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X

Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

Kebijakan Publik yang Tidak Terimplementasikan: Studi Kasus Peraturan


Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan pada Perubahan
Kepemilikan Angkutan Umum Milik Perseorangan Menjadi Badan Hukum
di Surabaya

Rizky Satiti Tinolah1


Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga

Abstract
The researcher took factors influencing the implementation of public policy as a research theme, which is appointing failing
implementation of Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2014 embodies the switchover of privately owned angkot (public
transportation) become legal entited as public transportation in Surabaya. The purpose of this research is to describe the form of
implementation failure and to examine the factors that cause the implementation failure of the policy.In order to answer problem
mentioned, researcher utilize the qualitative research with explorative research type. Datas were collected using deep interviews
technique addressed to policy executors, policy affiliated organization and targets of the policy, whilst the secondary datas were
choosen documentation. Sources or informants are determined by using purposive sampling which is developed to snowball
sampling technique.The result of this research is three out of five policy categories are identified, collected which are statements,
decisions, and policy demands. There are few factors which cause failure of the implementation such as are policies quality, policy
programmes, implementors capacity, policies support, and policy socialization or deliveries. Furthermore three factors were found
as in the policy failures, such aspoor economic subject of the policy, instruction given by Surabaya government, and unified group
culture.

Keywords: Failure factors, non-implemented policy, legal entited public transportation

Pendahuluan pemerintah, peraturan menteri, dan program


Kebijakan publik dapat dirasakan pembangunan tahunan harus mengalami kesulitan atau
keberadaannya jika sudah diimplementasikan atau bahkan berhenti ketika harus berhadapan dengan
diterapkan kepada masyarakat. Tahap implementasi berbagai relitas di lapangan. Tidak sedikit kebijakan
merupakan penghubung antara formulasi kebijakan pemerintah yang tidak terimplementasikan dengan baik
dengan hasil kebijakan (outcome). Pelaksanaan (non implementation dan unsuccesful implementation).
kebijakan publik ini memiliki proses yang sangat Sebagai contoh suatu kebijakan yang
panjang sebelum dampaknya dapat dirasakan oleh dikategorikan sebagai kebijakan yang “non
masyarakat. Dalam proses implementasi kebijakan implementation” adalah kebijakan Menteri Keuangan
publik terdapat pelaku-pelaku yang berperan penting, yang mengenakan pajak 5% untuk penukaran rupiah ke
dari peran pelaku tersebutlah nasib US $, yang ternyata tiga hari kemudian kebijakan
pengimplementasian kebijakan publik berada, apakah tersebut dicabut kembali, contoh lain yaitu pengakuan
kebijakan itu berhasil atau gagal di implementasikan. terbuka dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di
Namun peran serta masyarakat (Citizen Participation) rapat paripurna kabinet Indonesia Bersatu II bahwa
juga menjadi penentu keberhasilan implementasi hanya 50 persen saja kebijakannya yang telah
kebijakan, masyarakat harus menjadi pelaku yang baik dilaksanakan oleh para menteri-menterinya. Sedangkan
dalam implementasi kebijakan. contoh kebijakan yang dikategorikan “unsuccessful
Kebijakan yang telah dibuat oleh policy maker implementation” adalah implementasi kebijakan
tidak selalu bisa berhasil diimplementasikan dengan pemungutan retribusi pesawat TV (televisi), yang
baik. Telah lebih dari empat dekade sejak Presman dan pelaksanaannya tersendat-sendat. Kemudian sebagai
Wildavsky pada tahun 1970-an melakukan studi untuk contoh lain, kebijakan yang dihapus yaitu kebijakan
memahami mengapa implementasi berbagai program pembatasan usia kendaraan khususnya angkutan umum
yang dirancang oleh pemerintah pusat (federal yang mulai intensif diberlakukan sesuai dengan
government) cenderung gagal ketika Peraturan Daerah nomor 7 tahun 2006 di Surabaya.
diimplementasikan oleh pemerintah daerah (Purwanto Dimana angkot usia 15 tahun ke atas sudah harus
dan Sulistyastuti, 2012: 2). Faktanya berbagai kondisi diremajakan. Kebijakan ini di demo oleh para sopir
ideal yang tercantum di undang-undang, peraturan angkot Surabaya karena dinilai merugikan sopir angkot

1. Korespondensi Rizky Satiti Tinolah, Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas
Airlangga, Jl Airlangga 4-6 Surabaya
Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

dan para sopir angkot tidak mendukung adanya pada jam-jam tertentu dan titik tertentu di ruas jalan
kebijakan tersebut, sehingga Wali Kota Surabaya Kota Surabaya.
membatalkan point kebijakan tersebut Mengingat kondisi permasalahan tersebut, maka
(Mercuryfm.co.id, 2012). diperlukan solusi yang terintegrasi, terpadu dan
Di era otonomi daerah dan desentralisasi ini menyeluruh baik dari segi rekayasa lalu lintas maupun
tidak jarang ada beberapa konflik yang timbul dalam manajemen lalu lintas yang didukung oleh semua pihak
pelaksanaan kebijakan publik karena tidak selarasnya baik regulator, operator, maupun masyarakat. Salah
antara visi misi Pemerintah pusat dan Pemerintah satu yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah
daerah dengan kepentingan masyarakat. Salah satu kepadatan jalan adalah penataan dan pembenahan
kebijakan yang menjadi polemik di masyarakat saat ini sistem angkutan umum kota agar bisa ditingkatkan
adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia kinerjanya. Angkutan umum atau transportasi umum
Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. diharapkan menjadi alternatif terbaik dalam memenuhi
Peraturan yang lahir berdasarkan pada Undang-undang kebutuhan masyarakat dalam hal transportasi dan
Nomor 22 tahun 2009 tentang LAJJ ini mengatur mencegah kemacetan lalu lintas yang di akibatkan oleh
segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan jalan. banyaknya penggunaan kendaraan pribadi. Keterlibatan
Salah satu point kebijakan yang menjadi perdebatan masyarakat khususnya pemilik angkot dalam
dalam peraturan pemerintah ini adalah himbauan pembenahan atau restrukturisasi sektor transportasi
kepada semua angkutan umum agar tergabung atau diharapkan menjadi solusi yang baik.
membentuk badan hukum. Angkutan kota (angkot) di Surabaya dengan luas wilayah 326,36 km2 dan
Indonesia harus beralih kepemilikannya menjadi milik jumlah penduduk ±7,4% dari total penduduk Jawa
badan hukum seperti BUMN, BUMD, perseroan Timur, dan kekuatan ekonomi yang dimilikinya
terbatas (PT) atau koperasi. menjadikan kota ini mempunyai peran yang cukup
Tujuan diberlakukan aturan angkutan umum penting dan diperhitungkan dalam menentukan arah
berbadan hukum ini adalah untuk pendataan ulang kebijakan Propinsi Jawa Timur. Berkaitan dengan
angkutan kota secara resmi atau legal dengan cara ditetapkannya PP Nomor 74 Tahun 2014, setelah
bergabung dengan badan hukum. Selain itu adanya peraturan tersebut disosialisasikan menimbulkan pro
undang-undang yang mengatur tentang hal perpajakan dan kontra di kalangan penggiat angkot Surabaya.
yang mengindikasi jika angkutan umum dikelola Ditambah lagi dengan adanya Surat Edaran Sekretaris
perorangan kemungkinan besar angkutan tersebut tidak Provinsi Jawa Timur bulan Januari 2015 tentang
membayar pajak, tapi jika angkutan umum tergabung Perpanjangan Surat Kendaraan plat kuning harus
dalam suatu badan hukum lebih mudah dipantau memiliki badan hukum dan bernaung di dalam wadah
pembayaran pajaknya. Selain itu pemerintah lebih koperasi yang dirasa sangat merugikan pemilik angkot
mudah memberikan subsidi sesuai dengan undang- di Surabaya.
undang (jika terbentuk PO berbadan hukum PT). Bagi pihak yang pro dengan adanya kebijakan
Artinya, dalam hal ini pemerintah tidak bisa tersebut, pemilik angkot tidak keberatan untuk
memberikan subsidi secara perorangan. Keuntungan mengikuti himbauan tersebut dan berusaha bergabung
pengelola angkutan umum berbadan hukum lainnya dengan koperasi atau PT. Namun bagi pihak yang
adalah memiliki SOP dan SPM, sehingga kualitas kontra, menilai kebijakan tersebut merugikan penggiat
pelayanan lebih terjamin dan pengawasan lebih optimal angkot khususnya pemilik angkot sehingga melakukan
dalam operasional di lapangan. penolakan dan menuntut pencabutan PP Nomor 74
Surabaya sebagai salah satu kota besar di Tahun 2014. Point – point yang ditolak dari Peraturan
Indonesia saat ini telah mengalami persoalan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 adalah:
transportasi yang sangat rumit. Kerumitan persoalan itu a. Pasal 78 ayat (1): Perusahaan angkutan umum
beriringan dengan peningkatan jumlah penduduk yang yang menyelenggarakan angkutan orang dan/ atau
tinggi karena tingkat kelahiran maupun urbanisasi dan barang wajib memiliki izin penyelenggaraan
jumlah kendaraan bermotor yang bertambah setiap angkutan orang dalam trayek; izin
tahunnya. Jika diperhatikan saat ini di Kota Surabaya penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam
banyak masyarakat lebih suka menggunakan kendaraan trayek; dan/ atau izin penyelenggaraan angkutan
pribadi daripada kendaraan umum. Kecenderungan barang khusus.
penduduk untuk menggunakan kendaraan pribadi b. Pasal 79 ayat (1): Perusahaan angkutan umum
menurut Tamin (2000: 511) disebabkan oleh beberapa sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 ayat (1)
aspek negatif sistem angkutan umum, yaitu tidak harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai
adanya jadwal yang tetap, pola rute yang memaksa dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
terjadinya transfer, kelebihan penumpang pada jam c. Pasal 79 ayat (2): Badan hukum Indonesia
sibuk, cara mengemudikan kendaraan yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
sembarangan dan membahayakan keselamatan, dan badan usaha milik negara; badan usaha milik
kondisi internal dan eksternal yang buruk. Sedangkan daerah; perseroan terbatas; atau koperasi.
dampak dari banyaknya masyarakat yang Penolakan terhadap kebijakan ini ditunjukkan
menggunakan kendaraan pribadi adalah kemacetan dengan aksi mogok dan demo besar-besaran sopir
angkot. Demo ini bukan hanya diikuti angkot se-

2
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X
Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

Surabaya saja tetapi juga angkot dari Sidoarjo dan 2013 angkot dari
1. Bogor 80%
Gresik ikut melakukan demo didepan gedung negara total 2517 angkot
Grahadi tanggal 12 Mei 2015. Peserta demo yang
berjumlah sekitar 5000 angkot ini menyatakan 46 angkot dari
2. Banjarnegara 40%
keberatan karena menurut peserta demo tersebut, total 115 angkot
mayoritas sopir telah menjadi pemilik kendaraan
sehingga pengurusan koperasi bagi seorang sopir dirasa 160 angkot dari
3. Solo 38%
sangat memberatkan. Selain itu karena tidak adanya total 420 angkot
jaminan atas kepemilikan armada yang mereka
operasikan setelah pensiun dan bahkan harus dibalik 617 angkot dari
4. Garut 30%
nama menjadi milik koperasi. Padahal, banyak dari total 2057 angkot
mereka yang membeli armada dengan menggunakan
399 angkot dari
sistem utang. 5. Malang 29%
total 2006 angkot
Sementara itu, anggota komite IV DPD RI
Bapak HA Budiono menyatakan sebelum 200 angkot dari
mengeluarkan peraturan tersebut pemerintah 6. Cimahi 10%
total 2000 angkot
seharusnya turun ke lapangan dan melakukan kajian
ulang apakah peraturan tersebut sudah sesuai dengan Sumber: Data diolah dari berbagai sumber
apa yang diharapkan oleh para sopir di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, menimbulkan
Aspirasi para sopir ini tentunya harus diperhatikan dan pertanyaan mengapa di Surabaya PP Nomor 74 Tahun
ditampung, sehingga pemerintah provinsi dapat 2014 bisa ditunda pemberlakuannya, sedangkan di DKI
memperjuangkan kepada pemerintah pusat Jakarta PP tersebut tetap dilaksanakan meskipun ada
(jatimprov.go.id 2015). Pengamat kebijakan publik dari sebagian pemilik angkot yang tidak setuju. Kemudian
Universitas Airlangga Surabaya Bapak Dr. Falih pemerintah Provinsi Jawa Barat juga sudah
Suaedi, Drs. M.Si menyatakan bahwa langkah menerapkan PP tersebut bahkan menegaskan akan
pemerintah mengatur jasa pelayanan umum harus mencabut ijin trayek bagi angkot yang tidak berbadan
berbadan hukum merupakan keputusan sepihak. hukum selambatnya tahun 2016
Kendati apa yang dilakukan tersebut sebagai bentuk (dispenda.jabarprov.go.id 2015). Seperti yang tertulis
penataan agar lebih terorganisir, pemerintah kata bapak di surabayanews.co.id di Jawa Timur sendiri baru
Falih juga harus mempertimbangkan apa yang menjadi angkutan kota Malang, Madiun, Situbondo dan
aspirasi sopir angkot. Langkah bijak yang bisa Pamekasan yang sudah berbadan hukum bahkan
dilakukan pemerintah adalah menggelar dialog dengan berstatus Perseroan Terbatas.
pemilik angkutan umum (rri.co.id 2015). Berdasarkan uraian diatas, maka dalam
Saat ini tercatat dari 4700 angkutan kota di penelitian ini akan berupaya mengkaji bagaimana
Surabaya, 2700 armada diantaranya menerima kinerja kebijakan publik yang tidak terimplementasikan
peraturan pemberlakuan badan hukum bagi angkutan. dalam implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 74
Sementara 2000 sisanya enggan mengikuti peraturan Tahun 2014 khususnya mengenai kewajiban peralihan
yang ada. Namun dari jumlah angkot yang menerima kepemilikan angkot perseorangan menjadi badan
peraturan tersebut dan mau bergabung dengan badan hukum di Surabaya dan faktor apa yang menghambat
hukum pun juga merasakan dampak negatif, karena atau menyebabkan tidak terimplementasinya Peraturan
mereka harus melalui proses yang berbelit-belit dalam Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan
peralihan kepemilikannya dan akhirnya mereka harus Jalan khususnya mengenai kewajiban peralihan
membayar pajak kendaraannya seharga dengan pajak kepemilikan angkot milik perseorangan menjadi badan
kendaraan pribadi. Sehingga permasalahan peralihan hukum di Surabaya.
angkutan umum menjadi badan hukum ini tidak hanya Pada dasarnya, tujuan penelitian ini adalah
ditolak tetapi juga semakin memburuk dengan untuk menjawab permasalahan penelitian. Adapun
bertambahnya jumlah pihak yang kontra dengan tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui
kebijakan tersebut. Untuk itu dengan pertimbangan kinerja kebijakan publik yang tidak terimplementasikan
demo besar-besaran sebagai simbol penolakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014
pemberlakuan PP Nomor 74 Tahun 2014 tersebut, dan tentang angkutan jalan di wilayah Surabaya, Untuk
saran sejumlah tokoh dan pengamat kebijakan publik, mengetahui faktor – faktor apa saja yang menghambat
akhirnya PP tersebut ditunda pengimplementasiannya atau menyebabkan tidak terimplementasinya Peraturan
di Surabaya hingga tahun 2016. Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang angkutan
Tabel 1 jalan di wilayah Surabaya, Penelitian ini lebih lanjut
Daerah yang Telah Mengimplementasikan Peraturan bermaksud untuk menjelaskan fenomena yang ada
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan dengan teori – teori yang relevan dalam Ilmu
Jalan (Pasal 79) Administrasi Negara sehingga dapat menjawab
No. Wilayah Persentase Keterangan permasalahan.
Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

Adapun penelitian ini diharapkan mempunyai Alternatif lain dari penilaian Implementation
manfaat baik secara akademis maupun praktis. Adapun gap untuk mengukur hasil dan keluaran secara implisit
manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: atau eksplisit dari sebuah kebijakan adalah dengan
1. Secara akademis: Penelitian ini diharapkan menggunakan istilah 'kegagalan implementasi'. Dalam
mampu memberikan kontribusi dalam praktek sehari-hari kualifikasi tersebut mudah
perkembangan Ilmu Administrasi Negara pada digunakan. Demikian pula dalam studi pelaksanaan
bidang kegagalan implementasi kebijakan yaitu kualifikasi dalam hal 'sukses' atau 'kegagalan'
kebijakan yang tidak terimplementasikan. umumnya diberikan. Dan memang kadang-kadang
2. Secara praktis: penelitian ini diharapkan mampu penggunaan istilah 'kegagalan kebijakan' tampaknya
memberikan bahan masukan, pertimbangan dan dibenarkan, namun untuk memberikan istilah
kontribusi pemikiran yang bermanfaat bagi Dinas kegagalan kebijakan tersebut harus melalui analisis
Perhubungan Kota Surabaya untuk melaksanakan yang normatif dan empiris (Hill dan Hupe, 2002: 10).
kebijakan dalam masalah transportasi terutama Jenis Kegagalan Implementasi Kebijakan
kebijakan kepemilikan angkutan kota berbadan Dalam kenyataannya, kebijakan publik itu
hukum. mengandung risiko untuk mengalami kegagalan.
Hogwood dan Gunn (1986) (dalam Wahab, 2014: 128-
Landasan Teori 129), mengelompokkan kegagalan implementasi
Kegagalan Implementasi Kebijakan kebijakan tersebut dalam dua kategori, yaitu:
Proses kebijakan selalu akan terbuka 1. Non implementation:
kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang Tidak terimplementasikan, mengandung arti
diharapkan atau direncanakan oleh policy maker bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai
dengan apa yang senyatanya dicapai, sebagai hasil atau dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang
prestasi dari pelaksanaan kebijakan. Meskipun terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama,
implementasi kebijakan itu penting, tetapi baru atau mereka sudah bekerja secara tidak efisien, bekerja
beberapa waktu terakhir saja para ilmuwan sosial setengah hati, atau karena mereka tidak sepenuhnya
menaruh perhatian terhadap masalah implementasi menguasai permasalahan, atau kemungkinan
dalam proses kebijakan. Sebagai akibat kurang adanya permasalahan yang dikerjakan diluar jangkauan
perhatian pada implementasi kebijakan adalah adanya kekuasaannya, sehingga walaupun usaha mereka sangat
semacam “mata rantai yang hilang” antara tahap gigih, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup
perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Oleh ditangulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif
karena itu sering dikatakan bahwa kebanyakan sulit untuk dipenuhi.
pemerintah di dunia ini baru mampu untuk mensahkan 2. Unsuccesful implementation
kebijakan dan belum sepenuhnya mampu untuk Implementasi yang tidak berhasil, biasanya terjadi
menjamin bahwa kebijakan yang telah disahkan itu saat suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai
benar-benar akan menimbulkan dampak atau dengan rencana, namun karena kondisi eksternal
perubahan yang diinginkan (Wahab, 2014: 126-127). ternyata tidak menguntungkan sehingga kebijakan
McConnell (2010) dalam Michael Howlett tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau
(2012: 542)mendefinisikan kegagalan implementasi hasil akhir yang dikehendaki. Kebijakan memiliki
kebijakan sebagai “a policy fails insofar as it does not resiko gagal karena faktor pelaksanannya jelek (bad
achieve the goals that proponents set out to achieve execution), Kebijakannya sendiri jelek (bad policy),
and no longer receives support from them” maksudnya atau Kebijakan itu bernasib jelek (bad luck).
kebijakan gagal ketika tidak mencapai tujuan dan Model Kegagalan Implementasi Kebijakan
komponen yang ditetapkan untuk mencapai tujuan dan Morgan dalam Parsons (2014: 490) berpendapat
tidak lagi menerima dukungan dari mereka (penerima bahwa jika ingin memahami kompleksitas, harus
kebijakan). mengadopsi pendekatan kritis dan kreatif untuk
Agar bisa berbicara tentang hasil dan keluaran berpikir dalam term model atau metafora. Pandangan
secara implisit atau eksplisit berarti harus membuat Morgan dipengaruhi teori postmodernis dan
penilaian terlebih dahulu. Membandingkan apa yang konstruktivis. Menurut Morgan, problem implementasi
diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan bisa dikonstruksi dengan cara yang berbeda-beda.
dengan apa yang dicapai (sebagai hasil dari Metafora kegagalan implementasi digambarkan sebagai
implementasi kebijakan) sering mengarah pada berikut:
pengamatan sebuah “implementasi gap”. Besar Bagan 1
kecilnya perbedaan (implementation gap) tersebut akan Metafora Kegagalan Implementasi
tergantung pada “implementation capacity” dari Metafora Mesin: Metafora
Metafora Otak:
organisasi/aktor yang dipercaya untuk Organisme:
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Akibat dari rantai
Akibat Dari
Implementation capacity ini adalah kemampuan suatu komando yang Akibat dari
arus informasi
organisasi/aktor untuk melaksanakan keputusan buruk – problem “relasi
yang buruk –
kebijakan agar tujuan yang telah ditetapkan tersebut dengan struktur dan manusia” atau
“lingkungan” atau problem
dapat dicapai (Wahab, 2014: 61). peran
belajar
4
Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

pemerintah yang menunjukkan hasrat dan tujuan


pemerintah, serta apa yang akan dilaksanakan
Metafora untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Dominasi: Metafora 4. Policy Outputs (keluaran kebijakan): menyangkut apa
Kultur: yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah, yang
“Kegagalan
Akibat dari konflik harus dibedakan dari apa yang dikerjakan oleh
Implementasi Akibat dari
manajemen/tenaga pemerintah.
Kebijakan” “kultur 5.
kerja Policy Outcomes (hasil akhir kebijakan): akibat- akibat
organisasi” atau dampak langsung yang benar-benar dirasakan oleh
masyarakat, baik yang diharapkan (unintended), sebagai
konsekuensi logis dari adanya tindakan atau tidak adanya
Metafora Fisik: tindakan pemerintah dalam bidang-bidang atau masalah-
Metafora
Metafora Kekuasaan masalah tertentu yang ada di masyarakat.
Akibat dari
Autopetic: : Abdul Wahab (2014: 24) menambahkan bahwa
kekuatan bawah
kategori-kategori tersebut tidak selalu terjadi berurutan,
sadar –
Akibat dari Akibat dapat berbeda-beda sesuai dengan kondisi di lapangan
groupthink/pertah
sistem dari saat pelaksanaan kebijakan.
a nan ego/insting
“referensi kekuasaan di Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Implementasi
seksual yang
diri” dalam dan di Kebijakan
ditekan
sekitar Secara umum menurut Triana (2011: 61-63)
dapat dikatakan bahwa kegagalan dalam suatu proses
Sumber: Morgan dalam Parsons (2014: 491)
implementasi (Unimplemented Policy & Poorly
Sementara model yang digunakan dalam
Implemented Policy) disebabkan oleh:
menganalisis kegagalan implementasi kebijakan publik
1. Unimplemented Policy :
menurut Hogwood dan Gunn (1984) dalam Hill dan
a. Kebijakan hanya bersifat politis dan tidak
Hupe (2002: 173) menyebutkan bahwa kegagalan
benar-benar dimaksudkan untuk
implementasi dapat ditelusuri dari:
dilaksanakan. Kebijakan seperti ini umumnya
1. Kebijakan yang tidak memadai
hanya untuk mengakomodir tuntutan-tuntutan
2. Mengkritik proses bottom-up dalam mengambil
kelompok kepentingan yang bersifat oposisi.
sikap oposisi pejabat terpilih.
b. Kesulitan menafsirkan kebijakan dalam
3. Pejabat yang terpilih tidak melihat mengapa
bentuk-bentuk kegiatan operasional, baik
pandangan dari atas (top-down) kurang valid, dan
tujuan kebijakan yang terlalu utopis, tidak
berpendapat bahwa implikasi dari pandangan
sesuai dengan keadaan lapangan, ataupun
bottom-up kurang menarik.
karena kendala-kendala di lapangan yang
4. Menganalisis perbedaan antara perspektif top-
membatasi alternatif tindakan.
down dan perspektif bottom-up lebih lanjut sejauh
2. Poorly Implemented Policy
hubungan antara masalah teori dan praktek yang
Lemahnya kapasitas implementasi
bersangkutan
(implementation capacity) dari pelaksananya. Hal
Kinerja Kebijakan Publik
ini dapat terjadi karena :
Pemahaman yang lebih baik terhadap hakikat
a. Struktur implementasi tidak disusun secara
kebijakan publik sebagai tindakan yang mengarah pada
efektif.
tujuan, akan dapat dipahami lebih baik dengan
b. Benturan penafsiran atas tujuan program antar
mengidentifikasi lebih lanjut dalam beberapa kategori
aktor, baik administrator, petugas lapangan,
berikut (Wahab, 2014: 24-33):
maupun kelompok sasaran.
1. Policy Demands (tuntutan kebijakan): tuntutan
c. Benturan kepentingan antar aktor baik
atau desakan yang ditujukan pada pejabat-pejabat
administrator, petugas lapangan, maupun
pemerintah yang dilakukan oleh aktor-aktor lain,
kelompok sasaran.
baik swasta ataupun kalangan dalam pemerintah
d. Kurangnya kapasitas dan kapabilitas
sendiri, dalam sistem politik untuk melakukan
pelaksana (SDM yang dibutuhkan tidak
tindakan tertentu, atau sebaliknya tidak berbuat
tepat/sesuai)
sesuatu terhadap masalah tertentu.
e. Kurangnya kapasitas dan kapabilitas
2. Policy Decisions (keputusan kebijakan):
organisasional dari institusi-institusi
keputusan-keputusan yang dibuat oleh para
pelaksana
pejabat pemerintah untuk memberikan legitimasi,
f. Lemahnya manajemen implementasi
kewenangan, atau memberikan arah terhadap
g. Kurangnya risorsis (anggaran, alat, waktu),
pelaksanaan kebijakan publik.
dll.
3. Policy Statements (pernyataan kebijakan):
Menurut Sunggono (1994: 149-154), faktor-
pernyataan resmi atau artikulasi (penjelasan)
faktor yang menjadi dasar dari kegagalan
mengenai kebijakan publik tertentu. Termasuk
implementasikebijakan tentu berbeda satu sama lain
ketetapan-ketetapan, maupun pernyataan-
pernyataan dan pidato-pidato resmi para pejabat
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X
Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

tetapi aspek yang jelas berkaitan dengan aspek: 4. Adanyaketidakpastian hukum atauketidakjelasan
1. Isi kebijakan: ukuran kebijakanyang (mungkin)saling
a. Pertama, samarnyaisi bertentangansatusamalain,yang
kebijakan,maksudnyaapayang dapatmenjadisumber ketidakpatuhan
menjaditujuantidakcukupterperinci,sarana- orangpadahukum atau kebijaksanaanpublik;
saranadanpenerapanprioritas,atauprogram- 5. Apabilasuatukebijaksanaanditentang
programkebijakanterlaluumum atausama secaratajam(bertentangan)dengansistem
sekalitidak ada. nilaiyang
b. Kedua,karena kurangnya dianutmasyarakatsecaraluasataukelompok-
ketetapaninternmaupun kelompoktertentudalam masyarakat;
eksterndarikebijakanyang akan dilaksanakan. Sedangkan menurut Sabatier (1986) dalam
c. Ketiga, kebijakanyang akan Purwanto dan Sulistyastuti (2012: 19-20) menyebutkan
diimplementasiakan menunjukkan adanya setelah mereview berbagai penelitian implementasi,
kekurangan-kekurangan yang sangatberarti. ada enam variabel utama yang dianggap memberi
Misalnya masih menunjukkan banyak lubang- kontribusi keberhasilan atau kegagalan implementasi
lubang sehingga sasaran kebijakan dapat kebijakan yaitu sebagai berikut:
mengelaknya. 1. Tujuan atau sasaran kebijakan yang jelas dan
d. Keempat,kekurangan-kekurangan yang konsisten;
menyangkutsumberdayapembantu,misalnyaya 2. Dukungan teori yang kuat dalam merumuskan
ng menyangkut waktu, biaya/danadan kebijakan;
tenagamanusia. 3. Proses implementasi memiliki dasar hukum yang
2. Informasi: kekurangan informasi pada sasaran jelas sehingga menjamin terjadi kepatuhan para
kebijakan ini terjadi misalnya karena sasaran petugas di lapangan dan kelompok sasaran;
kebijakan (masyarakat) tidak cukup mengetahui 4. Komitmen dan keahlian para pelaksana kebijakan;
kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh 5. Dukungan para Stakeholder;
pemerintah, atau tentang kewajiban-kewajiban 6. Stablitas kondisi sosial, ekonomi, dan politik.
yang harus mereka penuhi. Faktor penyebab kegagalan implementasi
3. Dukungan: Masyarakat tidak akan mematuhi kebijakan dalam contoh kasus lain yaitu implementasi
kebijakan yang akan diimplementasikan apabila program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan
kebijakan tersebut bertentangan dengan pandangan (P2KP) yang ditulis oleh Warsito (2004) dalam
atau kepentingan masyarakat. Purwanto dan Sulistyastuti (2012: 10) yaitu:
4. Pembagian Potensi: 1. Koordinasi pelaksanaan antar aktor implementor
Dalamhaliniberkaitandengandiferensiasi kebijakan tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini
tugasdanwewenang diindikasikan oleh jarangnya diadakan rapat dan
organisasipelaksana.Strukturorganisasipelaksanaan tidak ada jadwal rencana kegiatan;
dapat menimbulkan masalah-masalah apabila 2. Sikap dan perilaku aparat pemerintah implementor
pembagian wewenang dan tanggung kebijakan dan masyarakat yang beranggapan
jawabkurangdisesuaikandenganpembagiantugas bahwa program yang dilaksanakan pemerintah
atauditandaioleh adanya pembatasan-pembatasan tidak ada bedanya dengan program-program
yang kurang jelas. sebelumnya. Sikap tersebut ditunjukkan dengan
MenurutAnderson (1979) dalam Sunggono acuh terhadap substansi sosialisasi program, tidak
(1994: 144-145),faktor-faktoryang munculnya partisipasi aktif masyarakat, sehingga
menyebabkananggotamasyarakat tidak mematuhi dan sebagian masyarakat tidak paham dengan tujuan
melaksanakan suatu kebijakanpublik,yaitu: program;
1. Adanya konsepketidakpatuhanselektif 3. Faktor komunikasi menjadi kelemahan
terhadaphukum,dimanaterdapat beberapa implementasi program karena terbatasnya
peraturanperundang- informasi mengenai program kepada kelompok
undanganataukebijakanpublikyangbersifat masyarakat tertentu;
kurangmengikat individu-individu; 4. Faktor organisasi yang kurang mendukung
2. Karena keanggotaan terhadap implementasi program karena tidak
seseorangdalamsuatukelompokatauperkumpulan, adanya unit khusus yang menangani kegiatan
dimana teknis, sehingga terjadi overload tugas dalam
merekamempunyaigagasanataupemikiranyang lingkup organisasi.
tidaksesuaiataubertentangan dengaan peraturan Kegagalan implementasi sebagaimana yang
hukum dan keinginan pemerintah; ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh
3. Adanyakeinginan untuk Makatita (2010) dalam Purwanto dan Sulistyastuti
mencarikeuntungandengan cepatdiantaraanggota (2012: 89) apabila dicermati memang diakibatkan oleh
masyarakatyang mencenderungkanorang beberapa hal yang hampir sama dengan faktor
bertindak dengan menipuataudengan jalan penyebab kegagalan dalam kasus lain yang telah
melawan hukum; dikemukakan sebelumnya, yaitu:
6
Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

1. Sosialisasi yang kurang baik; Jalan di Surabaya. Penelitian ini dilakukan di Surabaya
2. Masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan khususnya di empat lokasi yaitu: Dinas Perhubungan
keputusan sehingga dukungan kebijakan atau Kota Surabaya, untuk mengetahui kesulitan atau
program tersebut rendah; penghambat implementasi kebijakan; Organisasi
3. Adanya korupsi; Angkutan Daerah (Organda) DPC Kota Surabaya,
4. Proses monitoring yang tidak berjalan dengan selaku organisasi angkutan daerah yang menampung
baik. aspirasi-aspirasi pemilik angkot; Terminal Joyoboyo,
Kemudian Purwanto dan Sulistyastuti (2012: dengan pertimbangan terminal Joyoboyo adalah satu-
85-87) menyebutkan faktor-faktor yang menjadi satunya terminal tipe B di Surabaya sehingga angkot
penentu keberhasilan atau kegagalan dari implementasi yang ada di terminal Joyoboyo cukup beragam, bukan
kebijakan publik setidaknya ada enam faktor, yaitu: hanya angkutan desa tapi juga angkutan kota dan
1. Kualitas kebijakan itu sendiri yaitu kejelasan angkutan kota dalam provinsi. Teknik penentuan
tujuan, kejelasan implementor atau penanggung informan menggunakan teknik purposive sampling dan
jawab implementasi, dan lainnya. Kualitas berkembang menggunakan teknik Snow Ball Sampling.
kebijakan juga ditentukan oleh proses perumusan Teknik pengumpulan data menggunakan observasi,
kebijakan, apakah kebijakan tersebut dirumuskan wawancara, dan studi dokumen. Teknik analisis data
secara demokratis atau tidak. yang digunakan peneliti dengan reduksi data, penyajian
2. Kecukupan input kebijakan (terutama anggaran). data, dan kesimpulan, penarikan atau verivikasi serta
Suatu kebijakan atau program tidak akan bisa teknik keabsahan data dalam penelitian ini
mencapai tujuan atau sasarannya tanpa adanya menggunakan triangulasi.
dukungan anggaran yang memadai. Secara
hipotesis bisa dirumuskan bahwa semakin besar Pembahasan
anggaran yang diperuntukkan bagi suatu Kinerja Kebijakan Publik
kebijakan, maka semakin besar pula peluang Beberapa kategori kinerja kebijakan publik
keberhasilan implementasi kebijakan. berikut digunakan untuk memahami hakikat apa saja
3. Ketepatan instrumen yang dipakai untuk yang terkandung dalam PP nomor 74 tahun 2014
mencapai tujuan kebijakan (pelayanan, subsidi, khususnya mengenai peralihan angkot milik
hibah, dan lainnya). perseorangan menjadi badan hukum di Surabaya yang
4. Kapasitas implementor (struktur organisasi, mengalami penolakan dalam pelaksanaannya. Sejalan
dukungan SDM, koordinasi, pengawasan, dan dengan Wahab (2014: 24-33) kategori kinerja
sebagainya). Struktur organisasi yang terlalu kebijakan publik meliputi lima aspek yang bisa terjadi
hirarkis akan menghambat proses kebijakan. tidak berurutan sesuai dengan kondisi lapangan saat
5. Karakteristik dan dukungan kelompok sasaran. pengimplementasian kebijakan publik yaitu:
Karakteristik kelompok sasaran akan sangat 1. Policy Statements (pernyataan kebijakan)
mempengaruhi dukungan kelompok sasaran Dalam kasus ini sebagai dasar regulasi lahirnya
terhadap proses implementasi. kebijakan angkutan umum berbadan hukum terdapat
6. Kondisi lingkungan geografi, sosial, ekonomi dan dalam Undang-undang nomor 29 tahun 2009 tentang
politik dimana implementasi kebijakan dilakukan. LAJJ pasal 139 ayat 4 yang menyebutkan bahwa
Kebijakan yang berkualitas tidak akan berhasil penyedia jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan
diimplementasikan dalam situasi dan kondisi usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau
lingkungan yang tidak kondusif. badan hukum lain sesuai dengan ketentuan undang-
Melihat dari beberapa faktor penghambat atau undang. Kemudian diturunkan Peraturan Pemerintah
penyebab kegagalan implementasi kebijakan dari nomor 74 tahun 2014 tentang angkutan jalan pasal 79
berbagai tokoh tersebut maka penulis menyimpulkan ayat 1 dan 2 yang menyebutkan bahwa perusahaan
melalui elaborasi berikut faktor penyebab kegagalan angkutan umum harus berbentuk badan hukum
implementasi kebijakan publik: Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
1. Kualitas Kebijakan perundang-undangan yaitu badan usaha milik negara;
2. Anggaran Kebijakan badan usaha milik daerah; perseroan terbatas; atau
3. Program Kebijakan koperasi, setelah itu diikuti oleh Surat Edaran
4. Kapasitas Implementor Sekretaris Jawa Timur bulan Januari tahun 2015.
5. Dukungan Kebijakan Peralihan angkot menjadi badan hukum ini
6. Komunikasi/Sosialisasi dilakukan agar angkutan umum memiliki keamanan
Metode Penelitian dan pendataan yang rill untuk mendapatkan subsidi
Penelitian ini menggunakan metode penelitian dari pemerintah yang sejak lahirnya undang-undang
kualitatif dengan tipe penelitian eksploratif karena tentang bantuan subsidi atau hibah tidak boleh
ingin mengetahui tuntutan apa saja yang menyebabkan diberikan kepada perseorangan melainkan melalui
subjek kebijakan menolak untuk melaksanakan badan hukum. Kemudian tujuan kebijakan peralihan
kebijakan dan faktor-faktor apa saja yang menghambat angkot milik perseorangan menjadi badan hukum ini
atau menyebabkan tidak terimplementasinya Peraturan adalah untuk mempermudah pemberian bantuan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan pemerintah seperti perawatan angkot, fasilitas angkot,
Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

dan sejenisnya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut Keluaran dan hasil akhir kebijakan dalam kasus
pemerintah menghimbau seluruh angkot di Surabaya ini belum bisa diidentifikasi karena belum ada pemilik
untuk bergabung dengan badan hukum yang telah angkot di Surabaya yang bergabung dengan badan
ditentukan dalam undang-undang yaitu BUMN, hukum. Belum dapat diketahui apakah tujuan dari
BUMD, Perseroan Terbatas, atau Koperasi. kebijakan ini dapat tercapai atau tidak karena dalam
2. Policy Decisions (keputusan kebijakan) pelaksanaan kebijakan tahap awal sudah mengalami
Dalam pembagian kewenangan atau pembagian penolakan. Hal ini yang disebut oleh Hogwood dan
tugas terhadap pelaksana PP nomor 74 tahun 2014 ini Gunn (1986) yang dikutip oleh Wahab (2014: 129)
khususnya mengenai peralihan angkot milik sebagai kegagalan kebijakan yaitu Non implementation
perseorangan menjadi badan hukum sudah sangat jelas, policy atau kebijakan yang tidak terimplementasikan
yaitu pihak Kepolisian yang mengurus perpindahan karena kebijakan sejak awal sebelum dilaksanakan
nama dalam STNK, Dinas Pendapatan Daerah Kota sudah mengalami penolakan, tidak dilaksanakan sesuai
Surabaya dan Kantor Pelayanan Pajak yang mengurus dengan rencana atau mengalami penyusunan ulang
biaya balik nama kendaraan, dan Dinas Perhubungan rencana pengimplementasian kebijakan sebelum
Kota Surabaya yang mengurus perijinan trayek angkot. seluruh proses implementasi selesai.
Mengenai peraturan-peraturan administratif Faktor Penyebab Kegagalan Implementasi
dalam pengimplementasian kebijakan ini masih dalam Kebijakan
tahap perumusan ulang karena mengalami penolakan 1. Kualitas Kebijakan:
dari pemilik angkot Surabaya, namun hingga saat ini Dalam implementasi PP nomor 74 tahun 2014
Dinas Perhubungan Kota Surabaya telah beberapa kali tentang angkutan jalan ini faktor kualitas kebijakan
melakukan sosialisasi kepada pemilik dan sopir angkot juga termasuk dalam salah satu penghambat
di Surabaya mengenai kebijakan tersebut, dan akan pelaksanaan kebijakan. Hal ini dapat dilihat dari hasil
mencontohkan keuntungan-keuntungan angkot yang wawancara peneliti dengan beberapa narasumber yang
sudah berbadan hukum. Dinas Perhubungan Kota menemukan bahwa dalam proses perumusan kebijakan
Surabaya berencana menjalin kerjasama dengan peralihan angkot milik pribadi menjadi badan hukum
perusahaan swasta yaitu Blue Bird Group untuk ini tidak melalui proses yang demokratis atau
melatih manajerial koperasi yang profesional yaitu melibatkan stakeholder yang berkaitan dengan subjek
membentuk koperasi anak cabang dari Blue Bird untuk kebijakan. Namun dari segi kejelasan tujuan berbadan
beberapa angkot Surabaya. hukum sudah sangat jelas yaitu agar pemilik angkot
3. Policy Demands (tuntutan kebijakan) dapat menikmati subsidi dari emerintah yang saat ini
Dalam kasus ini pemilik dan sopir angkot di sudah tidak dapat diberikan lagi kepada perseorangan
Surabaya keberatan apabila diharuskan untuk berbadan melainkan harus melalui badan hukum agar
hukum, karena kebanyakan angkot di Surabaya adalah pertanggungjawaban dan pendataannya jelas.
milik perseorangan atau atas nama pribadi. Pemilik Untuk kejelasan implementor dalam kebijakan
angkot keberatan dan menyertakan tuntutan-tuntutan ini sudah sangat jelas siapa saja aktor implementasinya
dalam pelaksanaan PP nomor 74 tahun 2014 khususnya maupum pembagian-pembagian tugasnya. Aktornya
mengenai peralihan angkot milik perseorangan menjadi yaitu Kepolisian, Dinas Pendapatan Daerah Kota
badan hukum ini disampaikan kepada DPRD Provinsi Surabaya dan Kantor Pelayanan Pajak, dan Dinas
Jawa Timur adalah: Perhubungan Kota Surabaya. Dalam kebijakan ini
a. Menginginkan adanya pemutihan biaya-biaya sendiri sebenarnya sudah jelas dan tegas peraturannya
pajak yang timbul dalam proses balik nama dari sehingga dapat mengikat individu untuk mengikutinya,
perseorangan menjadi badan hukum tersebut. namun subjek kebijakannya lebih nekat dan berani
b. Nama pemilik lama atau nama perseorangan untuk mengambil resiko dengan tidak mengikuti isi
tetap dicantumkan dalam surat-surat bukti dari kebijakan tersebut. Selain itu kebijakan peralihan
kepemilikan kendaraan bermotor, karena dalam angkot menjad badan hukum ini sudah cukup jelas
peralihan dari perseorangan menjadi badan perintahnya sehingga para implementor kebijakan
hukum ini tidak terjadi proses jual beli namun sudah cukup jelas dengan tugas mereka masing-
hanya ganti nama saja. masing.
c. Apabila kepemilikan angkot berbadan hukum 2. Ekonomi Subjek Kebijakan Rendah:
koperasi, maka anggota kepengurusannya harus Dalam kasus ini kecukupan anggaran yang
dari paguyuban angkot itu sendiri dimaksud bukanlah yang bersumber dari pemerintah
Point tuntutan yang paling ditekankan adalah atau yang bertujuan untuk pendanaan program, tetapi
agar nama pemilik asli angkot (perseorangan) tetap minimnya anggaran yang dimaksud berasal dari subjek
tertera dalam surat-surat bukti kepemilikan kendaraan. kebijakan yang tidak mampu mengikuti program
Atau jika tetap tidak bisa tertera maka angkot tersebut kebijakan karena dirasa biayanya memberatkan. Faktor
akan di notariskan sebagai jaminan keamanan apabila empiris ekonomi pemilik angkot rendah dalam temuan
terjadi penyalahgunaan yang dilakukan oleh pengurus peneliti dikelompokkan dalam dua hal, yaitu:
koperasi. a. Biaya pendirian badan hukum yang sangat
4. Policy Outputs (keluaran kebijakan) dan Policy tinggi sangat yaitu pendirian badan hukum
Outcomes (hasil akhir kebijakan) berbentuk koperasi membutuhkan biaya
Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

Rp.15.000,000,- sedangkan badan hukum yang melaksanakan kebijakan ini sebelum gejolak di
berbentuk PT biayanya berkisar Rp.7.000.000,-. lapangan mulai reda, sedangkan DPD Organda Jawa
Pemilik-pemilik angkot yang awalnya adalah Timur menginginkan adanya perubahan dari program
perseorangan bergabung menjadi satu kemudian kebijakan yaitu nama pemilik angkot perseorangan
mendirikan badan hukum sehingga mau tidak tetap ditulis dalam BPKB dan STNK kemudian pajak
mau pemilik-pemilik angkot harus membayar yang muncul dari proses balik nama menjadi koperasi
sejumlah harga yang ditetapkan untuk tersebut diputihkan.
mendirikan koperasi atau PT tersebut. Dari subjek kebijakan yaitu pemilik dan
b. Pajak yang timbul saat perpindahan nama pada penggiat-penggiat angkot di Surabaya dukungan
surat-surat kendaraan dari perseorang menjadi terhadap kebijakan ini dirasa kurang, karena pemilik
badan hukum yang mencapai 2,5% hingga 2,7% angkot dan subjek kebijakan yang bersangkutan merasa
dari total harta benda yang dimiliki oleh pemilik belum siap dengan adanya kebijakan peralihan angkot
angkot dirasa sangat memberatkan. Karena milik perseorangan menjadi badan hukum ini. Hal ini
dalam peralihan nama angkot dari perseorangan dapat dilihat dari gejolak-gejolak yang ada di lapangan
menjadi badan hukum ini tidak melalui proses yaitu berupa penolakan terhadap implementasi
jual beli, hanya penggantian nama saja. program-program yang dilakukan implementor
3. Program Kebijakan kebijakan. Pemilik angkot beranggapan tidak akan
Kebijakan peralihan angkot milik pribadi bebas dalam mengoperasikan angkotnya melainkan
menjadi badan hukum ini dalam hal program harus mengikuti aturan dari badan hukum, termasuk
kebijakannya banyak mendapatkan penolakan. Tidak ketika ingin menjual angkotnya. Dalam kata lain
jelasnya koperasi yang merupakan program utama pemilik angkot sudah terbiasa dengan perseorangan
kebijakan menjadi penghambat dalam implementasi kemudian pemilik-pemilik angkot enggan mengurus
kebijakan ini. Ketidakjelasan koperasi dikarenakan perpindahan menjadi badan hukum karena dinilai rumit
oleh: dan berbelit-belit. Sopir angkot juga tidak siap
a. Pembagian koperasi yang belum jelas karena di menerima kebijakan ini dikarenakan para sopir takut
Surabaya tidak diperbolehkan mendirikan terjadi pengurangan jumlah sopir angkot yang
koperasi sendiri-sendiri atau perpaguyuban mengakibatkan para sopir harus mencari pekerjaan lain
trayek tetapi akan dipetakan sesuai daerah atau menjadi pengangguran.
angkot beroperasi 6. Komunikasi atau Sosialisasi
b. Sudah terbentuk beberapa koperasi di Surabaya Komunikasi atau sosialisasi dalam
yang akan memwadahi angkot-angkot namun impelementasi kebijakan ini dapat dikatakan
kepengurusannya belum jelas merupakan faktor utama penyebab kegagalan
c. Rendahnya SDM pemilik angkot yang nantinya implementasi kebijakan peralihan angkot milik
akan menjadi pengurus koperasi sehingga perseorangan menjadi badan hukum. Kurangnya
manajerial koperasi yang baik atau profesional sosialisasi kebijakan mengakibatkan kurangnya
akan sulit tercapai informasi atau pemahaman tentang perngurusan balik
d. Dari kurang profesionalnya koperasi nama dan manfaat-manfaat yang akan didapat oleh
menimbulkan ketidakpercayaan pemilik-pemilik pemilik angkot apabila bergabung dengan badan
angkot di Surabaya terhadap koperasi hukum sehingga pemilik angkot di Surabaya cederung
4. Kapasitas Implementor untuk menolak kebijakan tersebut.
Kapasitas implementor dalam implementasi Sosialisasi yang kurang mendetail dan tidak
kebijakan peralihan angkot milik perseorangan menjadi merata kepada semua pemilik angkot mengakibatkan
badan hukum ini bukan menjadi salah satu faktor yang penolakan besar-besaran oleh pemilik angkot
menghambat pengimplementasian kebijakan, karena perseorangan di Surabaya karena pemilik angkot tidak
hal-hal yang berkaitan dengan kapasitass implementor mengetahui keuntungan-keuntungan yang akan didapat
seperti pembagian wewenang dan tanggung jawab, apabila bergabung dengan badan hukum, selain itu
pembatasan tugas-tugas, kualitas SDM implementor dengan keterbatasan sosialisasi ini pemilik angkot
dan pengawasan sudah dilaksanakan dengan baik. beranggapan bahwa dalam proses pengalihan angkot
Aktor dalam implementasi kebijakan ini yaitu perseorangan menjadi badan hukum sangat rumit atau
Kepolisian yang mengurus perpindahan nama dalam berbelit-belit sehingga pemilik angkot enggan untuk
STNK, Dinas Pendapatan Daerah Kota Surabaya dan mengurusnya.
Kantor Pelayanan Pajak yang mengurus biaya balik 7. Instruksi Pemerintah Kota Surabaya
nama kendaraan, dan Dinas Perhubungan Kota Sejalan dengan Morgan (1998: ) bahwa terdapat
Surabaya yang mengurus perijinan trayek angkot. gaya yang berbeda di setiap pemerintahan, faktor
5. Dukungan Kebijakan kegagalan implementasi kebijakan dalam studi kasus
Dukungan terhadap kebijakan peralihan angkot ini yang berbeda dengan kasus-kasus yang lain adalah
milik pribadi menjadi badan hukum ini sudah sangat pemerintah kota Surabaya tidak ingin masyarakatnya
baik dari Dinas Perhubungan Kota Surabaya maupun ricuh sehingga pemerintah kota Surabaya lebih
dari DPD Organda Jawa Timur. Namun Dinas memilih mengimplementasikan kebijakan dengan
Perhubungan tidak bisa memaksakan untuk perlahan sambil mencari jalan tengah yang tidak
Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

menimbulkan kegaduhan dan tidak kaku seperti pemilik lama atau nama perseorangan tetap
sejumlah daerah lain. Sesuai instruksi Wali Kota dicantumkan dalam surat-surat bukti kepemilikan
Surabaya, kebijakan kewajiban angkot berbada hukum kendaraan bermotor, dan apabila kepemilikan angkot
ini akan dilaksanakan ketika di lapangan tidak berbadan hukum koperasi maka anggota
menimbulkan masalah atau dalam artian sudah dapat kepengurusannya harus dari paguyuban angkot itu
diterima oleh subyek kebijakan yaitu penggiat-penggiat sendiri; Kemudian untuk keluaran kebijakan dan hasil
angkot di Surabaya. Hal ini bukan berarti Pemerintah akhir kebijakan belum bisa diidentifikasi karena belum
kota Surabaya memiliki kepentingan lain atau tujuan dapat diketahui apakah tujuan dari kebijakan ini dapat
yang lain dari pemerintah pusat yaitu semua angkot tercapai atau tidak
wajib berbadan hukum, tetapi pemerintah kota Faktor-faktor yang menyebabkan tidak
Surabaya tetap akan menjalankan kebijakan tersebut terimplementasinya Peraturan Pemerintah Nomor 74
dengan cara yang berbeda sehingga tidak menimbulkan Tahun 2014 khususnya mengenai peralihan
kegaduhan misalnya terjadi demo yang bisa kepemilikan angkutan kota di Surabaya yaitu:
menumbulkan kemacetan jalan raya, terbengkalainya Kurangnya sosialisasi atau komunikasi yang
penumpang, dan sejenisnya. mengakibatkan pemilik angkot di Surabaya cederung
8. Paguyuban Pemilik dan Sopir Angkot Kompak untuk menolak kebijakan tersebut; Dukungan dari
Sejalan dengan Morgan (1998), faktor subjek kebijakan terhadap kebijakan dalam studi kasus
penghambat lain dari kebijakan peralihan angkot milik ini kurang atau bahkan tidak memiiki dukungan
perseorangan menjadi badan hukum ini adalah faktor dikarenakan subjek kebijakan tidak siap untuk
budaya. Di Indonesia orang-orang yang berkumpul dan menerima kebijakan ini; Dalam penyusunan kebijakan
memiliki kesamaan baik pekerjaan, tempat tinggal dalam studi kasus ini dinilai tidak menggambarkan
yang berdekatan, maupun kesamaan nasib maka keinginan subjek kebijakan, proses jaring aspirasi
individu-individu tersebut merasa tergabung dalam satu dirasa kurang efektif atau kurang mengena langsung
paguyuban. Pemilik-pemilik angkot dan sopir-sopir kepada pemilik dan sopir angkot; Program
angkot merasa terikat dalam satu paguyuban sehingga implementasi belum jelas yaitu hal-hal yang berkaitan
jika satu orang menolak kebijakan, maka semua dengan badan hukum yang akan mewadahi angkot
anggota paguyuban juga menolaknya. Hal ini dapat perseorangan masih belum jelas; Faktor anggaran atau
dilihat dari belum adanya angkot di Surabaya yang ekonomi yaitu minimnya anggaran subjek kebijakan
tergabung dalam badan hukum baik dari pihak yang yang tidak mampu mengikuti program kebijakan
pro maupun kontra terhadap kebijakan peralihan karena biayanya dirasa memberatkan; Pemerintah kota
angkot milik perseorangan menjadi badan hukum ini. Surabaya tidak ingin masyarakatnya ricuh sehingga
pemerintah kota Surabaya lebih memilih
Kesimpulan mengimplementasikan kebijakan dengan perlahan
Dari hasil penelitian tentang kebijakan publik sambil mencari jalan tengah yang tidak menimbulkan
yang tidak terimplementasikan dalam studi kasus PP kegaduhan; Faktor terakhir yaitu paguyuban kompak,
nomor 74 tahun 2014 khususnya mengenai peralihan pemilik-pemilik angkot dan sopir-sopir angkot merasa
angkot milik perseorangan menjadi badan hukum di terikat dalam satu paguyuban sehingga jika satu orang
Surabaya, dapat disimpulkan sebagai berikut: menolak kebijakan, maka semua anggota paguyuban
Kinerja kebijakan dari Peraturan Pemerintah juga menolaknya.
Nomor 74 Tahun 2014 khususnya mengenai peralihan
kepemilikan angkutan kota di Surabaya yaitu: Saran
Mengenai pernyataan kebijakan, kebijakan ini Berdasarkan hasil penelitian maka diajukan
bertujuan untuk pendataan angkot yang rill dan secara saran kepada implementor kebijakan (Dinas
legal dengan dasar regulasi terdapat dalam Undang- Perhubungan Kota Surabaya) untuk proses
undang nomor 29 tahun 2009 tentang LAJJ pasal 139 implementasi kebijakan selanjutnya yaitu sebagai
ayat 4, kemudian diturunkan Peraturan Pemerintah berikut:
nomor 74 tahun 2014 tentang angkutan jalan pasal 79 1. Dalam formulasi kebijakan pemerintah seharusnya
ayat 1 dan 2, setelah itu diikuti oleh Surat Edaran lebih memperhatikan pendapat masyarakat.
Sekretaris Jawa Timur bulan Januari tahun 2015; Masyarakat tidak hanya dilibatkan dalam
Mengenai keputusan kebijakan, pembagian tugas dan implementasi dan evaluasi saja tetapi harus ada
kewenangan aktor implementasi kebijakan yaitu komunikasi pada saat formulasi sehingga
Kepolisian yang mengurus perpindahan nama dalam masyarakat tidak kaget jika tiba-tiba muncul satu
STNK, Dinas Pendapatan Daerah Kota Surabaya dan kebijakan tertentu.
Kantor Pelayanan Pajak yang mengurus biaya balik 2. Komunikasi penting tidak hanya untuk
nama kendaraan, dan Dinas Perhubungan Kota merumuskan sebuah kebijakan baru tapi juga untuk
Surabaya yang mengurus perijinan trayek angkot; implementasi agar berjalan sesuai harapan atau
Mengenai tuntutan kebijakan, pemilik angkot tujuan kebijakan. Pemerintah seharusnya tidak kaku
menginginkan adanya pemutihan biaya-biaya pajak pada keputusan yang dibuat, jika memang tidak
yang timbul dalam proses balik nama dari sesuai dengan kondisi di lapangan pemerintah
perseorangan menjadi badan hukum tersebut, nama
Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

seharusnya lebih fleksibel agar tujuan kebijakan http://www.toorenburg.net/timbv/adviesgebiede


tetap tercapai. n/organisatiediagnose-en-ontwerp/preview-
3. Sosialisasi dilaksanakan lebih merata kepada subjek boek-beelden-van-organisatie-gareth-
kebijakan, misalnya dengan mengundang masing- morgan/at_download/file
masing ketua paguyuban angkot, kemudian dari Nugroho, Wahyu (2012) 20 Februari 2012. Lyn Demo,
masing-masing ketua paguyuban angkot bisa Risma Akhirnya Menyera. [Diakses 10
menyampaikan langsung kepada anggotanya. Jika September 2015]
perlu juga disosialisasikan perhitungan jumlah http://www.mercuryfm.co.id/index.php?option=
keuntungan yang akan didapat dalam jumlah rupiah com_content&view=article&id=812:sopir-lyn-
dan dibandingkan dengan pengeluaran yang harus demo-risma-akhirnya-menyerah-
pemilik angkot bayar untuk berbadan hukum. &catid=1:sosial-dan-budaya&Itemid=50
4. Implementor kebijakan melakukan pendekatan Parsons, Wayne (2014) Public Policy: Pengantar teori
kepada tokoh atau orang-orang yang memiliki dan praktik analisis kebijakan. Jakarta: Kencana
pengaruh besar dan disegani oleh pemilik-pemilik Purwanto, Erwan Agus dan Dyah Ratih Sulistyastuti
angkot lainnya untuk komunikasi yang lebih (2012) Implementasi Kebijakan Publik: Konsep
mendalam dengan harapan tokoh tersebut dapat dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta:
mempengaruhi pemilik-pemilik angkot lainnya agar Gava Media
mau bergabung dengan badan hukum. Sunggono, Bambang (1994) Hukum
5. Menyiapkan tenaga-tenaga profesional di bidang dan Kebijaksanaan Publik. Jakarta:
manajerial koperasi agar koperasi dapat segera Sinar Grafika
dibentuk atau melakukan pelatihan yang lebih Surabaya News (2015) 12 Mei 2015. Organda
mendalam kepada penggiat-penggiat angkot yang Surabaya Dukung Pemberlakuan Badan
memiliki potensi dalam mengelola koperasi. Hukum Pada Angkutan Kota. [Diakses 26
6. Menggunakan anggaran program kebijakan untuk Mei 2015]
mendirikan koperasi yang nantinya akan mewadahi surabayanews.co.id/2015/05/12/22941/organda-
pemilik angkot-angkot perseorangan termasuk surabaya-dukung-pemberlakuan-badan-hukum-
gedung dan isinya bisa menggunakan alat-alat
pada-angkutan-kota.html
kantor bekas yang masih layak pakai misal meja
Tamin, Ofyar Z. (2000) Perencanaan dan
dan kursi bekas dari kantor pemerintah kota.
Pemodelan Transportasi, ITB, Bandung
Daftar Pustaka Triana, Rochyati Wahyuni (2011) Implementasi dan
Dinas Pendapatan Daerah Jawa Barat (2015) 17 Juni Evaluasi Kebijakan Publik. Surabaya: Revka
2015. Angkot Badan Hukum Demi Kebaikan Petra Media
Bersama. [Diakses 11 September 2015] Wahab, Solichin Abdul (2014) Analisis
dispenda.jabarprov.go.id/2015/06/17/angkot- Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Penyusunan
badan-hukum-demi-kebaikan-bersama/ Model-Model Implementasi Kebijakan Publik.
Jakarta: Bumi Aksara
Hermawan, Benny (2015) 13 Mei 2015. Pengamat :
Penolakan PP 74/2014, Pemerintah Harus Ajak
Dialog Pemilik Angkot. [Diakses 23 Mei 2015]
www.rri.co.id/surabaya/post/berita/165356/umu
m/pengamat_penolakan_pp_742014_pemerinta
h_harus_ajak_dialog_pemilik_angkot.html
Hill, Michael dan Peter Hupe (2002) Implementing
Public Policy: Governance in Theory and
Practice. London: Sage Publication [Diakses 29
Januari 2016] http:en.bookfi.net/book/1065459
Howlett, Michael (2012) The lessons of failure:
learning and blame avoidance in public policy
making. International Political Science Review
33(5) 539 –555 [Diakses 10 Februari 2016]
http://ips.sagepub.com
Jatimprov (2015) 12 Mei 2015. Pemerintah DPD
RI Minta Pemerintah Mengkaji Ulang PP No
74/2014. [Diakses 23 Mei 2015]
http://www.jatimprov.go.id/site/komite-iv-dpd-
ri-minta-pemerintah-kaji-ulang-pp-no-742014/
Morgan, G. (1998). Images of Organization. Thousand
Oaks, CA: Sage Publications. [Diakses 28 Mei
2016]

You might also like