You are on page 1of 9

VIKING; Penggerak baru pembangunan Bandung

Imron Rosidin
http://www.imronrosidin.word
http://www.imronrosidin.wordpress.com
V I K I N G ;
Penggerak baru pembangunan Bandung(?)
I m r o n R o s i d i n
B a n d u n g , 5 J u m a d i l U u l a 1 4 3 1

Abstract
No one would deny that football (or soccer as it sometimes known) has undergone a
fundamental structural transformation. The contribution that football can make to community
has been a contemporary theme with in both sociological and political thinking about football.
This papper examines assumptions that are often associated with communitarianism as a basis
for thinking about aspect of football in Indonesia. It is argued that unrealistic to expect sport
to sustain a notion of social capital or civil society or good governance wich it including
govermentaly without addressing the issue of football communities existence (supporters,
follower, fans and flaneurs).

In era when traditional engine –or suppliers, or motoric- of development are being
increasingly criticized, football is being seen by some as a vehicle that can be used to develop,
to govern or to government to reach walfare society. This papper would like to describe how
communitirianism see football’s community can be a new engine of development.

Viking or bobotoh is one of football’s spectator, they living and growth with Bandung as
society, territory, policy and govermentality. In this case, governance needed to govern
government wich have oriented for society development.

Keywords : communitarianism, PERSIB, Viking, social capital, governance,


government[ality].
Viking;wajah komunitarinisme
Adalah Bandoeng Inlandsche Voetball Bond ( BIVB ) pada tahun 1923 yang merupakan cikal
bakal dari Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung (PERSIB) saat ini. 14 Maret 1933, seluruh
klub sepakbola di Bandung seperti SIAP, Soenda, Singgalang, Diana, Matahari, OVU, RAN,
HBOM, JOP, MALTA, dan Merapi menggabungkan diri di dalamnya. Di masa revolusi fisik,
PERSIB merupakan alat perjuangan prajurit Siliwangi untuk menanamkan rasa nasionalisme
masyarakat Jawa Barat menghadapi NICA. PERSIB menjadi media berkumpul, berorganisasi
dan apresiasi masyarakat Jawa Barat menghadapi Voetbal Bond Bandung & Omstreken
(VBBO); persatuan sepakbola yang didirikan NICA dengan maksud menunjukan kekuatan
tentara sekutu sekaligus merendahkan kekuatan pribumi.

Perjalanan panjang sejarah yang terbayarkan dengan loyalitas masyarakat Jawa Barat,
khususnya masyarakat Bandung saat ini. Viking menggambarkan warna lain loyalitas
sekaligus mewakili nilai, etika dalam tata kelola komunitas (community governance). Banyak
versi tentang siapa, kapan dan dimana Viking dibentuk sebagai kelompok masyarakat yang
memberi dukungan kepada PERSIB, tetapi apa dan kenapa Viking menjadi pilihan apresiasi
kecintaan kepada klub sepakbola disampaikan dalam perbincangan saya dengan teman kerja,
ia menjelaskan:

“Urang ngilu gabung ka Viking kusabab mulaina beda jeung The Jack (pendukung PERSIJA)
nu dimotori ku Gugun Gondrong. The Jack mah ngahaja menta tiap Kelurahan di Jakarta
ngirimkeun 5 perwakilana keur gabung berpartisipasi asup The Jack. Viking mah teu jiga
kitu, Viking di mimitian ku rasa kacintaan ka PERSIB lain kusabab dipenta […]. Urang yakin
mun organisasi dimulai ku rasa kacintaan, eweuh nu karasa berat keur dikorbankeun [..] di
Viking urang boga dulur rea, teu paduli manehna ti Tasik, Ciamis, Garut atawa ti Majalaya,
Kopo atau Cicadas, pokokna eta dulur urang.”1

Dalam perbincangan dengan anak ibu kontrakan saya yang tercatat sebagai pelajar SLTA di
Bandung, ia memaparkan:

1
“Saya memilih bergabung ke Viking sebab mulainya berbeda dengan The Jack yang dimotori oleh Gugun
Gondrong. The Jack sengaja minta setiap Kelurahan di Jakarta mengirimkan 5 perwakilannya untuk gabung
berpartisipasi masuk ke The Jack. Viking tidak seperti itu, Viking dimulai dengan rasa kecintaan kepada
PERSIB bukan sebab diminta […]. Saya yakin jika organisasi dimulai dengan rasa kecintaan, tidak ada yang
terasa berat untuk dikorbankan. Di Viking Saya mempunyai banyak saudara, tidak perduli dia dari Tasik,
Ciamis, Garut atau dari Majalaya, Kopo atau Cicadas, pokoknya itu saudara.”
“…setiap PERSIB maen di kandang atau tandang, banyak temen-temen milih gak masuk
kelas buat nonton siaran TVnya di kantin Kang, kalau ada yang tetep di kelas karena takut
sama guru, paling dengerin siaran radio di HP….”

Saat PERSIB dikalahkan lawannya, Viking tercedarai, saat kemenangan diraihnya suka cita
menyelimuti. Akhirnya, menang-kalahnya PERSIB, untuk Viking tidak ada bedanya, karena
bagaimanapun klub sepakbolanya adalah “pangeran biru” yang mereka hormati. Dengan
bangga seorang mahasiswa Teknik Industri ITB (anggota Viking Ganesha) yang saya
wawancarai berkata:

“Menang atau kalah, PERSIB nu aing […] untuk PERSIB jiwa raga kami”

Komunitarinisme (Kymlicka;1997, James Rachel; 1995, Rawls; 1999, Nozick; 1998) melihat
fenomena ini sebagai bukti bahwa tindakan-tindakan pribadi dalam kelompok merupakan
perihal berdasarkan atas kondisi nyata yang dimiliki dan diyakini oleh komunitas (self
determination), sikap dan tindakan dimaksud dinyatakan benar dan diyakini berdasarkan nilai
dan etika dalam komunitas. Nilai yang diyakini benar oleh komunitas sebagai sebuah prinsip
berpengaruh terhadap hubungan antar anggota kelompok seperti yang di tulis oleh Kristin
Walseth:

“This ‘normativity’ and ‘expressivity’. Normativity as a principle for belonging to a


community implies that the individual is linked to community by the feel for and will to take
part in a set of collectively defined practices, norm and rules.”

Liberalisme tentu saja akan melihat fenomena komunitas sepakbola seperti Viking dalam
pemahaman yang berbeda, sikap dan tindakan yang dilakukan oleh komunitas tertentu perlu
diatur berdasarkan ‘nilai bersama’ antar komunitas, contohnya pemerintahan sebuah kota.

Liberalisme menyangkal adanya kondisi awal (pre-condition) di dalam kehidupan komunitas


dimana pemerintah –berdasar komunitarianism- memiliki tanggung jawab untuk memberikan
perlindungan terhadap nilai, norma dan-kode–etik komunitas bukan untuk mengaturnya
berdasarkan jumlah anggota kelompok terbanyak. Netralitas negara (state neutrality) sebagai
sebuah gagasan dan praktik politik pemerintahan dipandang gagal oleh komunitarianism
dalam menyikapi fenomena ini. Alih-alih memberikan perlindungan dan membangun tata
kelola kebijakan bersama komunitas sepakbola, netralitas negara menunjuk keberadaan
komunitas ini sebagai “kelompok masyarakat abu-abu”; warga negara dengan nilai, norma
dan –kode- etika yang terbiarkan begitu saja.

“Neutrality does not mean that public interest are superior to the goals of thick conceptions
of the good […] Neutrality also does mean that citizen should treat each other in a neutral
way. Neutrality regulates the public relations between the state and its citizen […] Neutrality
is a political and not a social or private ideal.” (Larmore, 1997).

V i k i n g ; penggerak pembangunan Bandung(?)

Gambar 1. Kuadran identifikasi supporter, fan, follower dan flaneur


(Richard Giulianatti)

Kuadran identifikasi Giulinatti di atas cukup mewakili gambaran Viking saat ini yang tidak
melulu dapat disebut sebagai supporter. Viking memiliki fan, follower dan flaneur yang
memposisikan dirinya dalam komunitas. Inilah yang ditunjuk oleh Bourdie (1984) sebagai
habitus dalam sebuah gelanggang (field) yang bergerak menuju sebuah sumber daya (capital)
dengan mengubah kebutuhan-kebutuhan (necessity) menjadi sebuah hal yang utama (virtue)
lantas memandu agen-agen manusia pada sebuah tatanan (order). Bahwa dalam gelanggang-
komunitaspun anggotanya bahkan saling berstrategi menuju kapital. Kondisi ini
menggambarkan adanya ruang (space) terbuka dalam komunitas (dalam hal ini Viking) untuk
melakukan interelasi guna melakukan aksi (Yuliar, 2009) dengan komunitas di luar dirinya.

Kuadran identifikasi Giulinatti meluaskan cakrawala pemahaman tentang betapa sangat


terbuka bagi Viking terhubung langsung, bersinggungan, bersilangan, berkolaborasi, atau -
meminjam istilah Hegel dan Gramsci- bersinergi dengan gelanggang industri media (tayang,
cetak dan dengar), industri kreatif (merchandise, factory outlet, event organizer) dan bahkan
media politik (partai, kekuasaan,legislatif). Viking melakukan [r]evolusi diri dalam habitus
pada gelanggangnya, luasannya memasuki dan atau dimasuki oleh kepentingan gelanggang
lainnya. Dalam pemilihan kepala daerah Bandung, menjadi seolah-olah bagian dari Viking
(being to; image), sangat membantu calon Walikota Bandung mendapatkan simpatik dan
perolehan suara mayoritas, ini membuktikan gelanggang Viking juga dirambahi dan atau
merambahi gelanggang politik praktis, inilah yang disebut Yasraf (2005) sebagai
transpolitika2. Di gelanggang lainnya, peraturan liga sepakbola Indonesia yang mengharuskan
klub sepakbola tidak lagi didanai dari anggaran pendapatan belanja daerah memungkinkan
adanya aksi antar aktor; PERSIB dan perusahaan swasta (corporate) melakukan kerjasama
sebagai pihak yang saling mensponsori, di waktu yang bersamaan dengan itu, aktor politik
bergerak acak mengambil peran-peran pencitraan publik dengan berada paling depan
mempertemukan dua gelanggang yang memiliki kepentingan berbeda.

Keberadaan Viking merupakan contoh keberadaan “Common Culture’s–symbolic creativity”


(Willis P, 1999) yang menegaskan bahwa “komoditas (produk)” telah mencapai makna yang
lebih luas melalui saluran “nilai” sebuah komunitas. Komoditas (produk) saat ini menurut
Willis bukan saja berupa material, sebab, komoditas selalu ‘dicemari oleh fetishism3’
(Baudrillard; 1983, Pilliang; 2003, Marcus Free and John Hughson; 2010) yang merubahnya
menjadi sumber daya (capital). Fetishism sendiri yang meniscayakan ruang terbuka untuk
saling berbagi (strategi) antar komunitas.

Komoditas sosial niscaya hadir dari modal sosial, selanjutnya modal sosial yang dimiliki
selayaknya memberikan keuntungan kepada sosial. Memiliki modal sosial yang tumbuh dari
akar-akar sosial menawarkan harapan baru bagi keberlangsungan dan keberlanjutan proses
pembangunan. Modal sosial yang menghasilkan komoditi berbasis sosialitas adalah sumber
daya tidak terbatas selama basis komunitasnya di kelola dalam sebuah tata kelola kebijakan
yang mampu melindungi dan memberikan ruang lebih bagi kekaryaannya (komodifikasi). Ini
merupakan alternatif baru bagi pembangunan yang selama ini bergantung dan berorientasi
kepada sumber daya material yang tidak terbarukan.

2
Transpolitika menggambarkan politik dalam sebuah dunia yang telah kehilangan batas-batasnya. Tiga isu
sentral dalam transpolitika adalah geopolitik, politik ruang (spatio-politics) dan politik waktu (chrono politics).
3
Fetis (Fethis); setiap objek yang di dalamnya dianggap bersemayam ruh atau kekuatan tertentu, sehingga
menimbulkan pengaruh magis dan daya pesona (dalam antropologi) dan rangsangan seksual tertentu (dalam
seksualitas). Fetisisme komoditi (commodity fethism); sikap yang menganggap adanya kekuatan, daya pesona
atau makna sosial tertentu yang dimiliki oleh seseorang yang memiliki produk (komoditi).
Viking; “creative governance” dan “enterpreuner government”
Menjadi penting untuk membicarakan Viking dalam tata kelola kebijakan di kota Bandung
sebab, pertama, menunjukan adanya partisipasi dalam jaringan yang tidak hanya dibentuk
oleh individu tetapi juga kelompok. Kedua, hubungan timbal balik (reciprocity) dalam
jaringan. Ketiga, saling mempercayai (trust), dalam pandangan Fukuyama (2002) trust adalah
sikap saling percaya di dalam masyarakat yang memungkinkan masyarakat saling bersatu dan
memberikan konstribusi pada peningkatan kemampuan mengembangkan komunitas.
Keempat, norma sosial, berupa sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh
anggota masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Kelima, nilai, sesuatu yang telah
turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Nilai yang
dominan dalam sebuah masyarakat akan membentuk dan mempengaruhi aturan bertindak (the
rules of conducts) dan aturan bertingkah laku (the rules of behavior) yang pada saat yang
sama juga membentuk pola kultural (cultral pattern). Keenam, tindakan proaktif, keinginan
kuat dari anggota kelompok untuk tidak sekedar berpartispasi, tapi juga senantiasa mencari
keberadaannya memiliki nilai sosial sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan tata
kelola dalam komunitasnya. Viking sejatinya telah menjadi modal sosial, yang dapat ditinjau
dalam empat perspektif (Michael Woolcock and Deepa Narayan, 2000):

Persepective Actor Policy prescriptions


Communitarian view Community groups Small is beautiful
Local associations Voluntary organizations Recognize social assets of the poor

Networks view Entrepreneurs Decentralize


Bonding and bridging community Business groups Create enterprise zones
ties Information brokers Bridge social divides

Grant civil and political liberties


Institutional view
Private and public sectors Institute transparency,
Political and legal institutions
accountability
Coproduction, complementarity,
Synergy view
Community groups, civil society, Participation, linkages, Enhance
Community networks and state-
firms, states capacity and scale of local
society relations
organizations
Tabel 1. Empat sudut pandang modal sosial

Pre-skripsi kebijakan empat sudut pandang yang memuat pendekatan berbeda dari
pemahaman modal sosial di atas, relevan secara tekstual dan kontekstual dalam melihat
fenomena Viking. Yang menarik adalah adanya cara pandang institusi dan sinergi, berkenaan
dengan aktor-aktor yang terlibat dan pre-skripsi yang muncul atas fenomena Viking.
Kebijakan-kebijakan, dengan adanya komunitas sepakbola seperti Viking memerlukan ruang
yang terbuka bagi pemerintah, pihak swasta (corporate) dan masyarakat untuk membangun
tata kebijakan bersama yang memungkinkan komoditas sosial yang muncul, tumbuh dan
berkembang bersama nilai, keutamaan dan kebutuhan-kebutuhan pembangunan sosial.

Tata kelola kebijakan (policy governance) yang selayaknya dibangun guna mensikapi
keberadaan Viking lebih merupakan ruang bersama yang memungkinkan semua pihak untuk
sama-sama belajar atas adanya relasi pengetahuan dari masing-masing pihak. Ruang belajar
bersama ini yang kemudian diakselerasi lebih lanjut dengan dukungan penuh tata kelola
lembaga-lembaga, prosedur, dan aparat pemerintah (governmentalit[y] governance) yang
terus melakukan pengembangan dan mempromosikan pengetahuan ini sebagai modal sosial
(Foucault; 1979, Rose and Miller; 1990, Crouch; 2005).

Tugas pemerintahan berdasar paradigma tata kelola kebijakan jelas tidak di ranah pengaturan
(regulasi) atas nilai, keutamaan (virtue) dan hubungan kerjasama Viking dengan kelompok
lainnya (swasta dan atau akademis) melalui peraturan-peraturan daerah maupun lokal atas
perkembangan komunitas sosial seperti Viking, namun lebih kepada memberi dukungan
penuh dengan menyiapkan ruang-ruang berbagi bagi Viking dan kelompok lainnya untuk
berperan bagi pembangunan (civil society). Tentunya hal ini harus juga lepas dari campur
tangan politik praktis yang penuh sesak kepentingan-kepentingan golongannya. Tata kelola
kebijakan (policy governance) yang baik dan benar memungkinkan Viking maju sebagai
komunitas penggerak sekaligus komoditas layak jual bagi proses pembangunan di kota
Bandung. Inilah ruh dari tata kelola (governance) kebijakan.

Searah dengan tata kelola kebijakan yang memungkinkan Viking beserta kelompok lainnya
saling melakukan strategi untuk pembangunan kota Bandung, diperlukan tata kepemerintahan
(gevermentality) yang berorientasi kepada kewirausaha-an (enterpreuner). Tata kelola
kepemerintahan seperti ini yang oleh Crouch (2005) disebut institusional enterpreuneur yang
memberikan perhatian penuh terhadap tumbuh kembangnya komunitas-komunitas kreatif di
tengah masyarakat, melibatkannya dalam proses pembangunan berdasarkan jaringan, hirarki
dan pasarnya. Pemerintahan daerah harus segera mensikapi potensi komoditas berbasis
komunitas sperti Viking dengan segera melakukan pembenahan paradigm tata kelola
kebijakannya, menyiapakan lembaga-lembaga yang mampu mendukung upaya-upaya
meluaskan ruang berbagi antar komunitas dan pelaku pasar, yang juga didukung dengan
peningkatan kapabilitas aparat pemerintahan daerah. Sudah saatnya Bandung sebagai
kepemerintahan merubah cara pandang, paradigma dan orientasi pembangunannya dengan
memberikan perhatian penuh terhadap komunitas kreatif seperti Viking.

Rujukan-rujukan:
Charles Larmore. Patterns of Moral Complexity, Cambridge University Press, 1997.
Crouch, C. Capitalist diversity and change: Recombinant governance and institutional
entrepreneurs. Oxford: Oxford University Press, 2005.
Francis Fukuyama. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, NewYork
FreePress, 2002.
James Rachels. The Elements of Moral Philosophy, Singapore: McGraw-Hill, 1995.
Jean Baudrillard. Simulations, Semiotext(e). New York, 1983.
John Rawls. A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press, 1999.
Kristin Walseth. Sport and Belonging. http://irs.sagepub.com/cgi/content/abstract/41/3-4/447.
Downloaded from http://irs.sagepub.com at CALIFORNIA DIGITAL
LIBRARY on April 9, 2010.
Marcus Free and John Hughson. Common culture, commodity fetishism and the cultural
contradictions of Sport. http://ics.sagepub.com/cgi/content/abstract/9/1/83.
Downloaded from http://ics.sagepub.com at CALIFORNIA DIGITAL
LIBRARY on April 21, 2010.
Michael Foucault. Govermentality (1979). In G. Burchell, C. Gordon & P. Miller (Eds), The
Foucault effect. London: Harvester Wheatsheaf, 1991, pp. 87–104
Michael Woolcock and Deepa Narayan. Social Capital; Implications for Development
Theory, Research, and Policy. The World Bank Research Observer, vol. 15,
no. 2 (August 2000), pp. 225–49. 2000.
Piere Bourdieu. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. London:
Routledge.1984.
Piere Bourdieu. What Makes a Social Class? On the Theoretical and Practical. Existence of
Groups’, Berkeley Journal, 1984.
Richard Giulianatti. Supporter, fan, follower and flaneur.
http://jss.sagepub.com/cgi/content/abstract/26/1/25. Downloaded from
http://jss.sagepub.com at CALIFORNIA DIGITAL LIBRARY on April 21,
2010.
Robert Nozick. Anarchy, State, and Utopia, Oxford: Blackwell Publishers, 1998.
Roger Levermore. Sport: a new engine of development?.
http://pdj.sagepub.com/cgi/content/abstract/8/2/183. Downloaded from
http://pdj.sagepub.com at UNIV OF ILLINOIS URBANA on April 9, 2010
Rose, N. & Miller, P. Political power beyond the state: Problematics of government. British
Journal of Sociology, 1992.
Sonny Yuliar. Tata Kelola Teknologi. Perspektif Teori Jaringan Aktor. Institut Teknologi
Bandung, 2009.
Will Kymlicka. Contemporary Political Philosophy, An introduction, Oxford: Clarendon
Press, 1997.
Willis, P. Fetishism and the Cultural Commodity, in J. Pachecho (ed.).Lund Sweden: Lund
University Press, 1999.
Yasraf Amir Piliang. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Jalasutra,
2003.
Yasraf Amir Piliang. Transpolitika. Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas. Jalasutra,
2005.

You might also like