You are on page 1of 13

Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya, 14 November 2009

ANALISIS PRIORITAS PENANGANAN JALAN DENGAN METODE MULTI KRITERIA (STUDI KASUS JALAN NASIONAL DI PROVINSI MALUKU)
Alborang Pangaribuan, Staf Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Maluku Anriani Safar, Karyasiswa Magister Teknik Perencanaan Transportasi Angkatan 2008, Kerjasama Pusbiktek BPKSDM Dep.PU dan Universitas Hasanudin Makassar annisa_herrysyauta@yahoo.com M.Yamin Jinca Dosen Pasca Sarjana Jurusan TPT Unhas.

Abstract Some national road sections in Maluku Province are in bad condition but havent been repaired because they dont meet the criteria from Indonesia Integrated Road Management System (IRMS). To overcome this matter there has to be change in road management priority criteria for national road in Maluku Province by giving criteria that is in accordance with their need. The result from secondary data collection showed that there are 3 road sections of National Road had is in very bad condition. These 3 section are : Mondoumohe-Namrole, Kobisonta-Banggoi and Banggoi-Bula. The result was done by using multi criteria method through Analytical Hirarchy Process (AHP) instrument with criterias; traffic flow, road damage due to crisis, environmental impact and benefit cost ratio. Scoring in this research are exsercise by spreading some quisioner to the which its ain to receifed some opinion, where the stakeholders are the responden and they which the competention in organizer road and environmental issue. The result showed that damage due to traffic load is in the top priority for road management on national road in Maluku. The other factor that is dominan was environment impact, while traffic congestion and benefit cost was in significant. This is difference with the IRMS criteria where cost benefit is on top priority. Road management priority order from the most needed is : 1. Banggoi-Bula, 2. Paso-Durian Patah, 3. Modaumohe-Namrole, 4. Kobisonta-Banggoi, 5. Airbuaya-Telukbara, and 6. Galalala-Paso. Keywords : National road sections, damage road, road management priority, analytical hirarchy process.

PENDAHULUAN Pembangunan jaringan jalan di Maluku banyak dihadapkan dengan issue-issue kompleks yang membutuhkan perhatian yang serius dan perlu ditangani dengan manajemen yang tepat dengan mempertimbangkan aspek sosial ekonomi untuk membantu perkembangan pembangunan nasional. Beberapa kendala utama yang dihadapi dalam penanganan jaringan jalan di Provinsi Maluku antara lain adalah luasnya wilayah yang harus ditangani, pulau-pulau dan pusat-pusat komunitas yang tesebar, distribusi penduduk dan sumber daya ekonomi yang tidak merata dan rendahnya pendapatan masyarakat. Kendala tersebut menyebabkan perlunya kebijakan dan perencanaan yang efektif dalam penanganan jaringan jalan di Provinsi Maluku. Selain itu kendala lain yang sangat berpengaruh bagi penanganan jaringan jalan di Provinsi Maluku adalah jumlah anggaran biaya penanganan jalan yang sangat terbatas, sehingga harus menentukan prioritas penanganan jalan secara tepat. Sesuai data dari Dinas Pekerjaan Pekerjaan Umum Provinsi Maluku, panjang ruas jalan yang berada di wilayah Provinsi Maluku adalah 3.959,49 Km yang terdiri dari jalan nasional 985,46 km, jalan provinsi 899,77 km, jalan kabupaten atau kota 2.074,26 km. Jalan nasional terdiri dari 41 ruas tersebar di 5 (lima) pulau besar di Provinsi Maluku, dan sekitar 390,72 km berada dalam kondisi rusak berat dan 241,51 km dalam kondisi rusak ringan sedangkan sisanya sebesar 353,23 km dalam kondisi baik.

219

Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya, 14 November 2009

Selama ini program penanganan jalan nasional di Provinsi Maluku hanya didasarkan pada pendekatan Sistem Manajemen Jalan Terpadu, dimana dengan sistim ini prioritas penanganan jalan hanya didasarkan pada nilai manfaat finansial jalan yang akan ditangani dibandingkan dengan nilai pembangunan atau pemeliharaannya. Metode Benefit Cost Ratio nampaknya sulit diterapkan karena identifikasi manfaat langsung dan tidak langsung sulit dilakukan dengan mengemukakan faktor rielnya, sehingga penerapannya hanya melihat aspek volume lalu lintas saja dan ini merugikan ruas-ruas jalan yang LHR nya rendah sehingga usulan penanganannya sering tidak menjadi prioritas, sehingga diperlukan kriteria lain yang dapat melihat berbagai aspek. Mengacu pada hal tersebut di atas, maka penelitian ini menitik beratkan pada penanganan jalan nasional di Provinsi Maluku dengan memasukkan berbagai kriteria antara lain adanya kerusakan jalan akibat bencana alam atau kerusuhan, kondisi lingkungan dan kondisi lainnya selain pertimbangan benefit cost ratio atau perbandingan biaya manfaat kedalam perencanaan penanganan jaringan jalan.

METODE ANALISA DAN PERENCANAAN Metode Penilaian Multi Kriteria adalah sebuah metode yang bertujuan mengukur hasil akhir melalui penyederhanaan tugas-tugas pengambilan keputusan yang kompleks dan melibatkan banyak variabel, dengan kriteria yang terkadang tidak dapat terukur. Pada sebuah pengambilan keputusan yang kompleks yang melibatkan banyak kriteria, banyak tujuan dan banyak pengambil keputusan, struktur berfikir logis sangat mungkin terabaikan oleh kompleksitas permasalahan. Salah satu metode Analisis Multi Kriteria yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan metode Proses Hirarki Analisis (Analysis Hierarchy Process) yang dikembangkan oleh Saaty (1991). Pengkajian Proses Hirarki Analisis dimulai dengan menata elemen-elemen persoalan dalam bentuk hirarki, lalu membuat perbandingan berpasangan antar elemen dan suatu tingkat sesuai dengan yang diperlukan oleh kriteria yang berada setingkat lebih tinggi. Berbagai perbandingan ini menghasilkan prioritas dan akhirnya, melalui sintesis, menghasilkan prioritas menyeluruh. Dalam penelitian ini, kriteria yang digunakan untuk menetapkan prioritas penanganan jalan nasional adalah mengacu pada program krisis yang dikembangkan oleh Munawar, 2001 yaitu : kriteria arus lalu lintas, kerusakan akibat beban lalu lintas, kerusakan akibat krisis, dampak terhadap lingkungan dan Kriteria perbandingan manfaat biaya. Kriteria kerusakan akibat beban lalu lintas dan kerusakan akibat krisis kemudian diuraikan lagi menjadi sub kriteria rusak berat, rusak ringan dan kriteria baik, sementara kriteria dampak terhadap lingkungan diuraikan lagi menjadi sub kriteria hutan lindung, hutan lainnya, sawah atau ladang dan fasilitas umum. Tahap awal dari analisis ini adalah melakukan pembobotan kriteria dengan cara menyebarkan sejumlah kuisioner ke masing-masing instansi yang mempunyai tugas dan fungsi menangani prasarana jalan. Pembobotan dilakukan dengan cara menyebarkan sejumlah kuisioner ke masing-masing instansi yang memiliki tugas dan fungsi dalam menangani jalan dan instansi yang menangani masalah lingkungan. Instansi tersebut terdini dan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Maluku, Kantor Bappedalda dan Bappeda Propinsi Maluku.

220

Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya, 14 November 2009

Tujuan dari penyebaran kuisioner ini adalah untuk mendapatkan kejelasan opini para responden atau stakeholders yang memiliki tugas dan kewenangan, keterkaitan dan pengalaman dalam menangani jalan. Jumlah kuisioner yang disebar di Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Maluku adalah duabelas dengan perincian stakeholders sebagai berikut: 1. Kepala Dinas Pekerjaan Umum, 2. Kepala Seksi Perencanaan, 3. Kepala Seksi Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Maluku, 4. Kepala Seksi Pembangunan Jalan, 5. Pemimpin Proyek Perencanaan dan Pengawasan Teknik Jalan dan Jembatan Provinsi Maluku, 6. Pemimpin Proyek Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Provinsi Maluku, 7. Pemimpin Proyek Pembangunan Jalan dan Jembatan Provinsi Maluku, 8. Pemimpin Bagian Proyek Pemeliharaan Jalan Maluku Tengah, 9. Pemimpin Bagian Proyek Pemeliharaan Jalan Pulau Buru, 10. Pemimpin Bagian Proyek Pemeliharaan Jalan Pulau Buru, 11. Pemimpin Bagian Proyek Pembangunan Jalan Maluku Tenggara, 12.Pemimpin Bagian Proyek Pembangunan Jalan liwaki - Lurang. Jumlah kuisioner yang disebar di Bappeda adalah 2 (dua) buah terdiri dari Kepala Bappeda dan Kabid Pengawasan dan Pengendalian. Jumlah kuisioner yang disebar di Kantor Bapedalda adalah 4 (empat) buah terdiri dari 1.Kepala Sub Bidang AMDAL dan PML, 2. Kepala Sub Bidang Saran dan Teknologi Pengendalian Dampak Lingkungan dan 3. Dua orang staf sub bidang AMDAL. Analytic Hierarchy Process (AHP) Proses pengambilan keputusan pada dasarnya adalah memilih suatu alternative, dimana peralatan utama Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya adalah persepsi manusia, dengan hirarki suatu masalah kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan kedalam kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki (Kadarsah, 1998). 1. Perhitungan bobot faktor Pada dasarnya formulasi matematis pada multi kriteria dengan model AHP dilakukan dengan menggunakan suatu matriks. Dalam suatu sub sistim operasi terdapat n faktor operasi, yaitu faktor-faktor operasi A1, A2 , A maka hasil perbandingan secara berpasangan faktor-faktor operasi tersebut akan membentuk matriks perbandingan. Perbandingan berpasangan dimulai dari tingkat hirarki paling tinggi, dimana suatu kriteria digunakan sebagai dasar pembuatan perbandingan. Wi =aixj;i,j=l,2, .. .,fl Wi Dalam hal ini matriks perbandingan adalah matriks A dengan unsur-unsurnya adalah a dengan i,j = 1,2,. . , n. Unsur-unsur matriks tersebut diperoleh dengan membandingkan satu faktor operasi terhadap faktor operasi lainnya untuk tingkat hirarki yang sama. 2. Perhitungan konsistensi Pada matriks bobot yang diperoleh dan hasil perbandingan secara berpasangan tersebut, harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal, sebagai berikut: Hubungan kardinal : aij. a = ak Hubungan ordinal : A>A, AJ>Ak, maka A>Ak Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dan hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini dapat terjadi karena ketidak

221

Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya, 14 November 2009

konsistenan dalam preferensi seseorang. Dalam teori matriks diketahui bahwa kesalahan kecil pada koefisien akan menyebabkan penyimpangan kecil pula pada eigenvalue. Penyimpangan dan konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi, dengan persamaan: maks-n Cl= n-1 Dengan : maks-n = elgenvalue maksimum n = ukuran matriks Perbandingan antara CI dan RI suatu matriks didefinisikan sebagai rasio konsistensi (CR). Cl CR= RI Untuk model AHP, matriks perbandingan dapat diterima jika nilai ratio konsistensi 0,1. 3. Matriks perbandingan berpasangan Skala perbandingan berpasangan didasarkan pada nilai-nilai fundamental Analytic Hierarchy Process dengan pembobotan dan nilai 1 untuk sama penting sampai 9 untuk sangat penting sekali. Susunan matriks perbandingan berpasangan dihasilkan sejumlah prioritas yang merupakan pengaruh relatif sejumlah faktor pada faktor didalam tingkat yang ada diatasnya. Perhitungan eigenvector dengan mengalikan faktor-faktor pada setiap baris dan mengalikan dengan akar n, n adalah jumlah factor, kemudian melakukan normalisasi untuk menyatukan jumlah kolom yang diperoleh, dengan membagi setiap nilai dengan total nilai. Pembuat keputusan bisa menentukan tidak hanya urutan ranking prioritas setiap tahap perhitungannya tetapi juga besaran prioritasnya. 4. Pembobotan kriteria total stakeholders Jika pembobotan kriteria dan masing-masing stakholders telah diperoleh perhitungan dilanjutkan dengan menjumlahkan tiap kriteria pada masing-masing stakeholders. Nilai ini kemudian dirata-ratakan dengan cara membaginya dengan jumlah stakeholders. Adapun kriteria untuk menetapkan prioritas penanganan jalan antara lain adalah : a) Arus Lalulintas Menurut Morlok (1998), arus lalu lintas (Q) adalah jumlah kendaraan bermotor yang melalu, titik pada jalan per satuan waktu, dinyatakan dalam kendaraan per jam (Qkend), satuan mobill penumpang per jam (Qsmp) atau lalu lintas harian rata-rata tahunan (QLHRT). Adapun Variabel Penilaian Kriteria adalah proses penilaian kinerja suatu usulan terhadap kriteria pengembangan jaringan jalan dilakukan dengan memberikan score. Dalam hal ini skor diberikan dengan skala 0 - 100%, dimana angka 0 diberikan untuk penilaian terendah. Variabel yang digunakan dalam proses skoring kriteria arus lalu lintas adalah derajat kejenuhan yang merupakan perbandingan antara besarnya lalu lintas harian rata-rata pada ruas jalan yang ditinjau dibandingkan dengan kapasitas ruas jalan tersebut, atau dapat ditulis sebagai berikut DS = QIC. Dimana DS = Derajat kejenuhan, Q = Volume lalu lintas (smp/jam), C = Kapasitas ruas jalan (smp/jam). Q = k.LHRT dimana K = koefisien arus rencana (nilai normal = 0,09 untuk jalan perkotaan dan 0,11 untuk jalan luar kota) dan LHRT= Lalu lintas harian rata-rata. C = CO x FCW x FCSP x FCSF x FCCS dimana CO = Kapasitas dasar, FCW = faktor penyesuaian lebar jalur lalu-lintas, FCSP = faktor penyesuaian pemisahan arah, FCSF = faktor penyesuaian hambatan samping dan FCCS = faktor penyesuaian ukuran kota. Dalam perhitungan, nilai DS bisa berada pada nilai antara 0 - > 1, untuk itu apabila nilai DS > 1 maka nilai yang diambil untuk proses skoring adalah 1, sedangkan apabila 222

Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya, 14 November 2009

nilainya berada antara 0 sampai 1, maka nilai yang diambil untuk proses skoring adalah sesuai dengan besarnya derajat kejenuhan (DS) tersebut. b) Kerusakan dan Pemeliharaan Permukaan Jalan Penanganan konstruksi perkerasan jalan, dapat berupa pemeliharaan, penunjangan, peningkatan atau rehabilitasi akan dapat dilakukan dengan baik setelah kerusakankerusakan yang timbul pada perkerasan tersebut dievaluasi mengenai penyebab dan akibat dan kerusakan tersebut. Besarnya pengaruh suatu kerusakan dan langkah penanganan selanjutnya sangat tergantung dan evaluasi yang dilakukan oleh pengamat, oleh karena itu pengamat harus orang yang benar-benar menguasai jenis dan sebab serta tingkat penanganan yang dibutuhkan dan kerusakan-kerusakan yang timbul. Terdapat 3 (tiga) variabel yang digunakan sebagal penyusun kriteria kerusakan akibat beban maupun kerusakan akibat krisis. Ketiga variabel tersebut yang juga adalah jenis kondisi ruas jalan yang ditinjau, dibedakan atas rusak berat, rusak ringan dan baik. Setiap ruas jalan yang ditinjau dihitung prosentase rusak berat, rusak ringan maupun kondisi baik. Besarnya prosentase masing-masing kondisi inilah yang digunakan sebagai skor untuk menghitung bobot total masing-masing ruas jalan. c) Dampak Terhadap Lingkungan Variabel yang digunakan sebagal penyusun kriteria ini adalah keberadaan guna lahan dimana ruas jalan berada, yaitu hutan lindung, hutan lainnya, sawah atau ladang dan fasilitas umum. Berbeda dengan variabel pada kriteria lainnya, keberadaan variabel dalam kriteria ini akan merupakan pengurangan terhadap bobot kriteria. Skor tertinggi diberikan apabila kondisi guna lahan tidak terdapat salah satupun dan variabel tersebut diatas, atau dengan kata lain kondisi guna lahan adalah lahan tidur, sedangkan skore terendah apabila keseluruhan variabel terdapat pada ruas jalan tersebut. d) Perbandingan Manfaat Biaya Perbandingan manfaat biaya (benefit cost ratio) adalah perbandingan antara nilai tunai penerimaan dengan nilai tunai pengeluaran atau biaya, dimana dalam hal ini nilai tunai penerimaan adalah manfaat dan suatu proyek penanganan jalan yaitu berupa penurunan Biaya Operasional Kendaraan (BOK), sedangkan nilai tunai pengeluaran adalah biaya yang digunakan untuk penanganan suatu ruas jalan termasuk biaya perencanaannya. Suatu proyek dikatakan layak bila perbandingan manfaat biaya 1. Skoring terhadap kriteria perbandingan manfaat biaya dilakukan dengan membandingkan antara manfaat penghematan biaya perjalanan dengan biaya yang digunakan untuk penanganan jalan.

PERENCANAAN DAN PEMBAHASAN Tingginya LHR pada ruas-ruas jalan di Pulau Ambon menyebabkan kegiatan penanganan jalan nasional baik berupa peningkatan ataupun pemeliharaan lebih banyak diprioritaskan di Pulau Ambon sehingga kondisi ruas jalan nasional di pulau ini yang umumnya masih baik akan tetap menjadi prioritas dalam rencana penanganan berikutnya, sementara ruas jalan di pulau lainnya dengan LHR yang lebih rendah sebagian besar berada dalam kondisi rusak ringan maupun rusak berat tetapi tidak diprioritaskan untuk mendapatkan penanganan. Pada tahun 2003 tercatat 3 (tiga) ruas jalan yang seluruh panjang ruasnya sudah dalam kondisi rusak berat tetapi ketiga ruas ini justru tidak mendapatkan penanganan, yaitu Modaumohe Namrole, Kobisonta - Banggoi dan Banggoi - Bula. Ruas jalan yang justru mendapatkan penanganan pada tahun 2003 adalah Galala - Passo, Durian Patah - Laha, Passo - Tulehu dan Tulehu - Liang yang kondisinya relatif masih jauh lebih baik daripada ketiga ruas yang

223

Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya, 14 November 2009

disebutkan diatas. Ketiga ruas jalan yang sudah rusak berat sepanjang ruas ini masih belum mendapatkan penanganan karena LHR yang rendah yaitu berkisar antara 70 sampal 173 smp sangat jauh dibandingkan dengan ruas-ruas jalan yang berada di Pulau Ambon yang berkisar antara 2.939 - 6.483 smp. Adapun instansi - instansi yang berkompeten dalam hal pengelolaan infrastruktur jalan adalah 3 (tiga) instansi yang erat kaitannya dengan manajemen pengelolaan prasarana jalan di Provinsi Maluku, yaitu Dinas Pekerjaan Umum, Bappeda dan Bapedalda. Dinas Pekerjaan umum mempunyai tanggung jawab menyiapkan perencanaan teknis dan pelaksanaan pembangunan atau pemeliharaan jaringan jalan, Bappeda bertugas mensinkronkan program penanganan jalan yang disiapkan oleh Dinas Pekerjaan umum dengan lintas sektoral dan Bapedalda yang bertanggung jawab atas kelayakan pembangunan prasarana jalan ditinjau dari aspek lingkungan. Hasil Pembobotan Kriteria Berdasarkan kuisioner yang telah diisi, diketahui stakeholder 1 berpendapat bahwa kriteria faktor arus lalu lintas sama penting dengan faktor kerusakan akibat beban lalu lintas, apabila kedua elemen sama penting maka intensitas kepentingan diberi nilai 1. Untuk kriteria ALL dengan KAK, stakeholder 1 berpendapat bahwa faktor ALL lebih penting daripada faktor KAK dengan nilai antara sama penting dengan sedikt lebih penting. Untuk nilai antara sama penting dengan sedikit Iebih penting diberi nilai 2, sehingga elemen matriks pada sisi kanan diagonal yaitu a1 yang membandingkan ALL dengan KAK diberi nilal 2, sedangkan elemen matriks disisi kin diagonal yaitu a31 yang membandingkan antara KAK dengan ALL diberi nilal 1/2. Dengan cara yang sama, semua elemen matriks peroleh berdasarkan kuisioner yang telah dilsi oleh stakeholder 1 yang hasilnya seperti disajikan dalam matriks perbandingan berpasangan kriteria oleh stakeholder 1.
Kriteria ALL KABLL KAK DTL PMB Keterangan : ALL 1,00 1,00 0,50 1,00 0,33 KABLL 1,00 1,00 0,33 0,33 0,33 KAK 2,00 3,00 1,00 1,00 0,33 DTL 1,00 3,00 1,00 1,00 0,20 PMB 3,00 3,00 3,00 5,00 1,00

ALL = Arus lalu lintas, KABL = Kerusakan akibat beban lalulintas, KAK = Kerusakan akibat krisis, DTL = Dampak terhadap lingkungan dan PMB = Perbandingan Manfaat dengan Biaya.

Selanjutnya menghitung bobot masing-masing kriteria diperoleh masing-masing nilai Wi sebagai berikut W1 + W2 + W3 + W4 + W5 atau 1,43 + 1,93 + 0,87 + 1,11 + 0,37 = 5,72. Bobot lokal untuk nilai tiap kriteria diperoleh dengan membagi nilai bobot dan hasil normalisasi dengan total bobot hasil normalisasi, maka diperoleh bobot lokal untuk masingmasing kriteria sebagai berikut bobot kriteria arus lalulintas (X1) = 0,25, bobot kriteria kerusakan akibat beban lalulintas (X2) = 0,34, bobot kriteria kerusakan akibat krisis (X3) 0,15, bobot kriteria dampak tenhadap lingkungan (X4) = 0,19 dan bobot kriteria perbandingan manfaat dengan biaya (X5) = 0,07. Adapun nilai eigen maksimum diperoleh nilai eigen value maksimumnya max = aij.Xi = 5,28. Untuk indeks konsistensi (CI) dapat dihitung dengan memasukkan eigen value maksimum kedalam persamaan sehingga diperoleh CI = 0,07, dan hasil perhitungan rasio Konsistensi adalah CR = 0,06 < 0,10 (memenuhi). Nilai Indeks Konsistensi dianggap memenuhi syarat apabila < dari 1. Hasil analisis terhadap kuisioner dari stakeholder 1 dapat diringkas seperti pada tabel berikut :

224

Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya, 14 November 2009

Tabel Bobot Lokal Kriteria berdasarkan kuisioner stakeholder 1


Kriteria ALL KABLL KAK DTL PMB ALL 1,00 1,00 0,50 1,00 0,33 KABLL 1,00 1,00 0,33 0,33 0,33 KAK 2,00 3,00 1,00 1,00 0,33 DTL 1,00 3,00 1,00 1,00 0,20 PMB 3,00 3,00 3,00 5,00 1,00 W1 1,43 1,93 0,87 1,11 0,37 X1 0,25 0,34 0,15 0,19 0,07

Melalui pembobotan kriteria diatas, dapat ditentukan bobot lokal kriteria dengan mengambil eigen vector dari matriks perbandingan yang telah diperoleh, sehingga bobot kriteria dari masing-masing stakeholder diatas dapat dirangkum pada dibawah ini. Tabel Bobot lokal rata-rata dari seluruh Stakeholder
Kriteria ALL KABLL KAK DTL PMB Kriteria ALL KABLL KAK DTL PMB Stak-1 0,25 0,34 0,15 0,19 0,07 Stak-8 0,14 1,27 0,34 0,20 0,04 Stak-2 0,26 0,28 0,18 0,22 0,07 Stak-9 0,25 0,20 0,35 0,14 0,06 Stak-3 0,34 0,23 0,18 0,20 0,05 Stak-10 0,31 0,20 0,27 0,16 0,05 Stak-4 0,23 0,19 0,39 0,09 0,10 Stak-11 0,20 0,21 0,36 0,17 0,06 Stak-5 0,15 0,34 0,25 0,22 0,04 Stak-12 0,26 0,24 0,33 0,11 0,06 Stak-6 0,22 0,34 0,23 0,15 0,05 Stak-13 0,23 0,21 0,33 0,15 0,07 Stak-7 0,24 0,18 0,36 0,16 0,07 Rata-rata 0,24 0,25 0,28 0,17 0,06

Pembobotan sub criteria Untuk perhitungan sub kriteria yang etrdiri dari perhitungan sub kriteria kerusakan akibat beban lalu lintas dan akibat krisis, dimana menyusun matriks perbandingan berpasangan dengan data yang diperoleh dari salah seorang stakeholder melalui kuisioner untuk kriteria kerusakan akibat beban lalu lintas dan kerusakan akibat krisis.
Sub Kriteria Rusak berat Rusak ringan Baik Rusak berat 1,00 0,20 0,14 Rusak ringan 5,00 1,00 0,33 Baik 7,00 3,00 1,00

Untuk menghitung bobot masing-masing sub kriteria yang hasilnya adalah W21 = 3,27, W22 = 0,84 dan W23 = 4,48. Sedangkan bobot lokal untuk nilai tiap sub kriteria adalah bobot sub kriteria rusak berat (X21) = 0,73, bobot sub kriteria rusak ringan (X22) = 0,19 dan bobot sub kriteria balk (X23) = 0,08. Nilai eigen maksimum diperoleh hasil nilai eigen value maksimumnya max = aij.Xi = 3,08, dan indeks konsistensi diperoleh Cl = 0,039. Sedangkan rasio konsistensi diperoleh adalah CR = 0,07 <0,10 (memenuhi). Adapun ringkasan hasil analisis terhadap kuisioner dan responden 1 dapat diringkas seperti pada tabel berikut :
Sub Kriteria Rusak berat Rusak ringan Baik Rusak berat 1,00 0,20 0,14 Rusak ringan 5,00 1,00 0,33 Baik 7,00 3,00 1,00 W1 3,27 0,84 0,36 X1 0,73 0,19 0,08

225

Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya, 14 November 2009

Melalui pembobotan kriteria diatas, dapat ditentukan bobot lokal kriteria dengan mengambil eigen vector dari matriks perbandingan yang telah diperoleh, sehingga bobot kriteria dari masing-masing stakeholder diatas dapat dirangkum pada tabel berikut : Tabel Bobot lokal rata-rata sub kriteria kerusakan akibat beban lalu lintas dan akibat krisis seluruh stakeholder
Kriteria Rusak berat Rusak ringan Baik Kriteria Rusak berat Rusak ringan Baik Stak-1 0,73 0,19 0,08 Stak-8 0,68 0,24 0,08 Stak-2 0,67 0,24 0,09 Stak-9 0,72 0,22 0,07 Stak-3 0,67 0,27 0,06 Stak-10 0,74 0,21 0,06 Stak-4 0,74 0,19 0,06 Stak-11 0,68 0,22 0,10 Stak-5 0,63 0,29 0,08 Stak-12 0,62 0,32 0,07 Stak-6 0,71 0,22 0,07 Stak-13 0,70 0,23 0,07 Stak-7 0,73 0,20 0,07 Rata-rata 0,70 0,23 0,07

Untuk kriteria dampak terhadap ingkungan disusun dalam bentuk matriks seperti berikut :
Hutan lindung Hutan lainnya Sawah lading Fasilitas umum Hutan lindung 1,00 0,20 0,50 1,00 Hutan lainnya 5,00 1,00 2,00 4,00 Sawah ladang 2,00 0,50 1,00 3,00 Fasilitas umum 1,00 0,25 0,33 1,00

Tahapan perhitungan bobot masing-masing sub kriteria, mencari nilai eigen maksimum, menghitung indeks konsistensi dan menghitung rasio konsistensi sama seperti pada perhitungan sub kriteria kerusakan akibat beban lalu lintas dan akibat krisis, sehingga dapat diperoleh bobot lokal sub kriteria dampak terhadap lingkungan berdasarkan kuisioner stakeholder 1 pada tabel di bawah ini :
Hutan lindung Hutan lainnya Sawah ladang Fasilitas umum W1 X1

Hutan lindung Hutan lainnya Sawah ladang Fasilitas umum

1,00 0,20 0,50 1,00

5,00 1,00 2,00 4,00

2,00 0,50 1,00 3,00

1,00 0,25 0,33 1,00

1,78 0,40 0,76 1,86

0,37 0,08 0,16 0,39

Melalui pembobotan kriteria diatas, dapat ditentukan bobot lokal sub kriteria dengan mengambil eigen vector dari matriks perbandingan yang telah diperoleh, sehingga bobot lokal rata-rata sub kriteria dari seluruh stakeholder yang ada dapat dirangkum seperti di bawah ini :
Hutan lindung Hutan lainnya Sawah lading Fasilitas umum Stak-1 0,37 0,08 0,16 0,39 Stak-2 0,33 0,09 0,19 0,39 Stak-3 0,46 0,12 0,14 0,28 Stak-4 0,41 0,10 0,20 0,29 Rata-rata 0,39 0,10 0,17 0,34

Bobot global dan seluruh kriteria dari sub kriteria serta sub-sub kriteria, dapat diperoleh melalui pengolahan data dimana nilai tersebut merupakan bobot lokal rata-rata dari seluruh stakeholders dan bobot global dari seluruh kriteria dengan rasio konsistensi yang memenuhi persyaratan (CR < 0,1).

226

Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya, 14 November 2009

Kriteria Uraian
1. Arus Lalu lintas 2. Kerusakan akibat beban lalulintas 3. Kerusakan akibat krisis

Bobot (%)
24,00 25,00 28,00 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4.

Sub Kriteria Uraian Bobot (%)


Rusak berat Rusak ringan Baik Rusak berat Rusak ringan Baik Hutan lindung Hutan lainnya Sawah lading Fasilitas umum 70,00 23,00 7,00 70,00 23,00 7,00 39,00 10,00 17,00 34,00 -

Bobot Global (%)


24,00 17,50 5,75 1,75 20,00 6,00 2,00 6,67 2,66 2,93 5,74 6,00

4. Dampak terhadap lingkungan 5. Perbandingan Manfaat biaya

17,00 6,00

Berdasarkan tabel bobot global seluruh kriteria dapat diketahui bahwa kerusakan akibat krisis mendapatkan bobot terbesar dalam menentukan prioritas penanganan jalan di Maluku, ini ditunjukkan dengan bobot kriteria kerusakan akibat krisis sebesar 0,28 yang merupakan nilai terbesar dan kriteria lainnya. Hal ini berarti para stakeholders berpendapat bahwa kerusakan akibat krisis merupakan pertimbangan utama dalam menentukan urutan prioritas penanganan jalan nasional di Maluku. Setelah kriteria kerusakan akibat krisis, kriteria berikut yang mendapatkan penilalan terbesar adalah kriteria kerusakan akibat beban lalu lintas yaitu sebesar 0,25, disusul oleh kriteria arus lalu lintas sebesar 0,24, kemudia dampak terhadap lingkungan sebesar 0,17 dan terakhir kriteria perbandingan manfaat dan biaya yaitu sebesar 0,06. Dapat pula dilihat bahwa rata-rata stakeholders menempatkan sub kriteria rusak berat sebagai bahan pertimbangan utama dalam menilai kriteria kerusakan jalan akibat beban lalu lintas maupun akibat krisis yaitu sebesar 0,70, disusul oleh sub kriteria rusak ringan sebesar 0,23 dan terakhir sub kriteria baik sebesar 0,07, ini berarti bahwa para stakeholders menginginkan prioritas penanganan kerusakan jalan diutakamakan pada kondisi jalan yang rusak berat, baru kemudian pada kondisi jalan rusak ringan dan terakhir adalah untuk mempertahankan kondisi jalan agar tetap baik. Untuk kriteria dampak terhadap lingkungan, para stakeholders menempatkan sub kriteria hutan lindung sebagai sub kriteria utama yaitu sebesar 0,39, disusul oleh sub kriteria fasilitas umum sebesar 0,34, sub kriteria sawah atau ladang sebesar 0,17 dan terakhir sub kriteria hutan lainnya sebesar 0,10. Hal ini memperlihatkan bahwa stakeholders beranggapan dampak terhadap lingkungan yang perlu dihindari pertama-tama adalah kewasakan pada daerah hutan lindung, kemudian pada daerah dimana terdapat fasilitas umum, selanjutnya pada daerah sawah atau ladang dan terakhir pada daerah hutan lainnya. Urutan Prioritas Penanganan Jalan Nasional Bobot global dari seluruh kriteria dan sub kriteria yang diperoleh berdasarkan Analityc Hierarchy Process pada tahapan analisis di atas, akan digunakan untuk menentukan urutan prioritas penanganan jalan nasional di Provinsi Maluku. Secara umum persamaan akhir untuk menghitung prioritas penanganan jalan berdasarkan total bobot masing-masing ruas jalan dapat dinyatakan sebagai berikut: Total bobot = 0,24 X1 + 0,25 X2 + O,28 X3 + O,17 X4 + 0,06 X5 227

Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya, 14 November 2009

Dimana X1 = bobot arus lalu lintas, X2= bobot kerusakan akibat beban lalu lintas, X3 = bobot kerusakan akibat krisis, X4 = bobot dampak terhadap lingkungan, X5 = bobot perbandingan manfaat dan biaya. a2X2 = 0,1750 X21 + 0,0575 X22 + 0,0175 X23 Dimana X21 = bobot rusak berat akibat beban lalulintas, X22 = bobot rusak ringan akibat beban lalulintas dan X23 = bobot kondisi baik. a3X3 = 0,20 X31 + 0,06 X32 + 0,02 X33 Dimana X31 = bobot rusak berat akibat krisis, X32 = bobot rusak ringan akibat krisis dan X33 = bobot kondisi baik. a4X4 = 0,17 (0,0680 X41 + 0,0221 X42 + 0,0255 X43 + 0,0544 X44) Dimana X41 = bobot hutan lindung, X42 = bobot hutan lainnya, X43 = bobot sawah/ladang dan X44 = bobot fasilitas umum. Bobot prioritas kriteria arus lalu lintas: Bobot prioritas kriteria arus lalulintas = 0,24 X1 dimana X1 = bobot arus lalulintas = Derajat kejenuhan DS = Q/C , Q = k.LHRT (k = untuk rural road=0,11). C = Co X FC x FCsp x FCSF C0 = kapasitas dasar = 3.000 smp/jam total kedua arah FC = faktor penyesuaian lebar jalur lalulintas = 0,69 (jalan terdiri dan dua lajur tak terbagi, lebar efektif jalur lalulintas 3,00 m) FCP = faktor penyesuaian pemisahan arah = 1,00 FCSF = faktor penyesuaian hambatan samping 1,01 (lebar bahu 1,50 m dan hambatan samping sangat rendah). Nilai faktor FC, FCsp dan FCSF dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain tingkat disiplin pengguna jalan, namun untuk kondisi Maluku digunakan sesuai dengan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), sehingga diperoleh Q=k.LHRT= 13,31 sehingga C = 2.090,70 X1=DS=QIC=0,0064 Bobot kriteria arus lalu lintas = 0,24 X1 = 0,0015. Berdasarkan hasil perhitungan dari kriteria arus lalu lintas bahwa prioritas tertinggi didominasi oleh ruas-ruas jalan yang terletak di Pulau Ambon dengan bobot tertinggi pada ruas Jalan AM Sangaji, Jalan A. Yani dan Jalan Pantai Mardika, sementara prioritas terendah di Pulau Wetar yaitu ruas Jalan Liwaki-Lurang, di Pulau Seram ruas Jalan Banggoi-Bula dan di Pulau Yamdena ruas Aruidas-Arma. Bobot prioritas kriteria kerusakan akibat arus lalu lintas = 0,1750 X21 + 0,0575 X22 + 0,0175 X23 = 0,1117, Kondisi rusak berat = X21 = 23,67 km = 48,84 %, Kondisi rusak ringan = X22 20,89 km 43,11% Kondisi baik = X23 = 3,90 km = 8,05%. Bobot prioritas kriteria kerusakan akibat beban lalu lintas = 01750 X21 + 0,0575 X22 + 0,0175 X23 = 0,1117. Dari hasil perhitungan diketahui bobot prioritas tertinggi untuk kriteria kerusakan akibat beban lalu lintas adalah ruas Jalan Modaumohe-Namrole, Kobisonta-Banggoi dan BanggoiBula sedangkan prioritas terendah umumnya berada pada ruas-ruas jalan yang terletak di Pulau Ambon. Kondisi ruas-ruas jalan di Pulau Ambon yang umumnya baik disebabkan LHR pada daerah tersebut tinggi sehingga selalu mendapatkan prioritas pertama penanganan berdasarkan kriteria IRMS yang selama ini diterapkan untuk penentuan penanganan ruas jalan nasional.

228

Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya, 14 November 2009

Bobot prioritas kriteria kerusakan akibat krisis dimana tidak ada kerusakan akibat krisis jadi bobot prioritas kriterianya = 0%, sedangkan bobot prioritas kriteria dampak terhadap lingkungan = 0,17 - (0,0680 X41 + 0,0221 X42 + 0,0255 X43 + 0,0544 X44). Untuk lingkungan jalan adalah sawah atau ladang = X43 = 1 sedangkan X41, X42 dan X44 = 0. Bobot prioritas kriteria dampak terhadap lingkungan = 0,17 - (0,0680 X41 + 0,0221 X42 + 0,0255 X43 + 0,0544 X44) = 0,1434. Untuk bobot prioritas kriteria Perbandingan Manfaat Biaya = 0,06 X5 dimana X5 adalah perbandingan manfaat biaya = B / C. Biaya proyek penanganan jalan sebagaimana dikemukakan Tamin adalah sebagal berikut: Rutin maintenance Rp. 5.000.000 / km, periodik maintenance = Rp. 20.000.000 / km dan untuk peningkatan adalah Rp. 550.000.000 / km. Sehingga biaya konstruksi = 23,67 x Rp 550.000.000 + 20,89 x Rp.20.000.000 + 3,9O x Rp.5.000.000 = Rp. 13.455.800.000,-. Penurunan BOK per kend - km = RP. 56,34 dimana jumlah kendaraan yang lewat setiap tahun = 121 x 365 = 44.165 smp. Manfaat = 48,46 x 44.165 x 5 x Rp. 56,34 = Rp. 603.904.453,00 X5= B/C =0,0448. Bobot prioritas kriteria perbandingan manfaat biaya = 0,06 X5 = 0,0027. Dari hasil perhitungan nampak bahwa ruas-ruas jalan di Pulau Ambon menempati urutan prioritas utama. Hal ini disebabkan ruas-ruas jalan di Pulau Ambon mempunyai LHR yang relatif lebih tinggi sehingga berdampak pada tingginya manfaat biaya. Total Bobot = 0,24 X1 + 0,25 X2 + 0,28 X3 + 0,17 X4 + 0,06 X5 = 0,2593. Setelah mendapatkan bobot prioritas untuk masing-masing ruas jalan, kemudian disusun ranking atau urutan prioritas dengan menetapkan prioritas pertama adalah ruas jalan yang memiliki bobot prioritas tertinggi, kemudian disusul dengan prioritas kedua dan seterusnya sebagaimana diperlihatkan pada tabel berikut :

229

Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya, 14 November 2009

Tabel Hasil Perhitungan Urutan Prioritas


Bobot Prioritas Kriteria No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. Penanganan Ruas Jalan Banggoi-Bula Passo Durian Patah Modaumohe-Namrole Kabisonta-Banggoi Airbuaya-Telukbara Galala-Passo Jalan AM. Sangaji Mako-Modaumohe Arma-Siwahan Passo-Tuluhe Jl. A. Yani Jl. Pantai Mardika Jl. Pelabuhan Pasahari-Kabisonto Jl. Diponegoro Liwaki-Lurang Samalagi-Airbuaya Jl. Pantai Batumerah Jl. Sultan Hasanuddin Jl. Jendral Sudirman Jl. Yos Sudarso Jl. Pala Jl. Rijali Namlea-Samalangi Airuidas-Arma Liang-Simpang Waipia Namlea-Marloso Durian Patah-Laha Latu-Liang Tulehe-Liang Masohi-Makariki Masohi-Amahai Saumlaki-Aruidas Wahai-Pasahari Makariki-Waipia Waiselan-Latu Kairatu-Waiselan Marloso-Mako Besi-Wahai Saleman-Besi Waipia-Saleman ALL 0,0009 0,0344 0,0022 0,0013 0,0014 0,0437 0,0907 0,0022 0,0010 0,0375 0,0738 0,0726 0,0720 0,0015 0,0656 0,0005 0,0011 0,0503 0,0503 0,0488 0,0472 0,0457 0,0430 0,0065 0,0009 0,0083 0,0069 0,0248 0,0083 0,0193 0,0148 0,0127 0,0040 0,0041 0,0099 0,0083 0,0080 0,0042 0,0019 0,0011 0,0022 KABL 0,1750 0,1272 1,1750 1,1750 0,1698 0,0963 0,0175 0,1313 0,1290 0,0615 0,0175 0,0175 0,0175 0,1117 0,0175 0,1010 0,0955 0,0175 0,0175 0,0175 0,0175 0,0175 0,0175 0,0175 0,0675 0,1430 0,0401 0,0382 0,0175 0,0336 0,0175 0,0175 0,0175 0,0679 0,0793 0,0175 0,0175 0,0505 0,0779 0,0175 0,0398 DTL 0,1700 0,1126 0,1434 0,1407 0,1434 0,1126 0,1126 0,1434 0,1434 0,1126 0,1126 0,1126 0,1126 0,1434 0,1126 0,1434 0,1434 0,1126 0,1126 0,1126 0,1126 0,1126 0,1126 0,1126 0,0860 0,1126 0,1126 0,1126 0,1126 0,1126 0,1126 0,1126 0,1126 0,1033 0,1126 0,1126 0,1126 0,0833 0,0860 0,0767 0,0767 PMB 0,0079 0,0600 0,0097 0,0114 0,0064 0,0600 0,0600 0,0029 0,0064 0,0600 0,0600 0,0600 0,0600 0,0027 0,0600 0,0082 0,0128 0,0600 0,0600 0,0600 0,0600 0,0600 0,0600 0,0446 0,0010 0,0600 0,0600 0,0600 0,0600 0,0600 0,0600 0,0600 0,0180 0,0151 0,0660 0,0600 0,0600 0,0600 0,0053 0,0600 0,0128 Total Kriteria 0,3537 0,3342 0,3303 0,3284 0,3209 0,3126 0,2802 0,2798 0,2797 0,2715 0,2639 0,2627 0,2621 0,2593 0,2557 0,2531 0,2527 0,2404 0,2404 0,2389 0,2373 0,2358 0,2331 0,2312 0,2308 0,2177 0,2149 0,2095 0,2094 0,2044 0,2024 0,2018 0,1980 0,1954 0,1922 0,1876 0,1853 0,1752 0,1711 0,1553 0,1316 Ranking Prioritas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41

Keterangan : ALL = Arus Lalulintas, KABL = Kerusakan Akibat Beban Lalulintas, DTL = Dampak Terhadap Lingkungan, PMB = Perbandingan Manfaat Biaya

230

Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya, 14 November 2009

KESIMPULAN Berdasarkan penilaian multi kriteria dengan menggunakan Analitic Hierarchy Process (AHP) nampak bahwa faktor kerusakan jalan akibat beban lalu lintas merupakan prioritas utama pertimbangan dalam penanganan jalan nasional di Provinsi Maluku. Faktor lainnya yang mendominasi adalah faktor dampak terhadap lingkungan, sedangkan faktor kepadatan lalu lintas dan manfaat biaya nampak pengaruhnya rendah. Berbeda dengan kriteria IRMS yang menempatkan manfaat biaya langsung dan tidak langsung sebagai pertimbangan utama. Berdasarkan hasil analisis dengan metode multi kriteria diperoleh kejelasan bahwa untuk prioritas penanganan jalan adalah ruas jalan Banggoi-Bula, Passo-Durian Patah, ModaumoheNamrole, Kobisonta-Banggoi, Airbuaya-Telukbara, dan Galala-Passo menempati urutan prioritas tertinggi 1 sampai dengan 6. Urutan berikutnya yaitu dengan urutan 7 sampai dengan 41 menempati urutan menengah sampai terendah dan hal ini banyak dipengaruhi oleh faktor dampak terhadap lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA Abubakar, et at, 1998. Sistem Transportasi Kota, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Jakarta. Anderson, et at, 1998. Introduction to Management Science, (http://www. swcollege.com/BookTour/2000/asw9e_ toe. html) Hobbs, F.D. 1995. Perencanaan dan Teknik Lalu Lintas. Jogyakarta, Edisi Kedua Gajah Mada University Press. Kadarsah. 1998. Sistim Pendukung Keputusan. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Khisty, et at. 1998. Transportation Engineering : An Introduction, Prentice-Hall International, New Jersey. Kraft, et at. 1971. The Role of Transportation in Regional Development, D.C.Heath, Lexington. Morlok,E.K. 1990. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi , Jakarta, Erlangga. Mulyono, S. 1996. Teori Pengambilan Keputusan. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Munawar. 2001. Penentuan Prioritas Penanganan Jalan dan Jembatan dengan Metoda Multi Kriteria. Seminar KRTJ. Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 26 Tahun 1985, Tentang Jalan. Permadi, B.S. 1992. Analysis Hierarchy Process :Universitas Indonesia, Jakarta Proctor, W. 2000. Decision-Making for Environmental Policy : An Application of Multi Criteria Analysis to the Comprehensive Regional Assesment of Australias Forest. Australian National University. Canberra. Saaty, T.L. 1991. Decision Making for Leader, The Analysis Hierarchy Process for Decision Making in Complex World. RWS Publication 4922. Ellsworth Avenue. Pittsburgh. PA 15213. Saaty, T.L, 1994. The Analytic Hierarchy Process. Planning, Priority Setting, Resouce Allocation. The Wharton School. University of Pennsylvania.

231

You might also like