You are on page 1of 7

PENGARUH TRANSPORTASI DAN PEMULIHAN CEKAMANNYA

DENGAN PEMBERIAN AIR GULA DAN PENGISTIRAHATAN


TERHADAPKUALITAS DAGING KAMBING LOKAL
(The Effect of Transportation and Its Stress Recovery by Sugar Water Dringking
and Resting on the Meat Quality in Indigenous Goat)
I. Haryoko, P. Suparman, B. Haryanto, dan A. H. D. Rahardjo
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh transportasi dan pemulihan cekamannya dengan pemberian
air gula dan istirahat terhadap kualitas daging kambing lokal. Enam belas ekor kambing lokal secara acak dibagi
dalam 4 kelompok, dan masing-masing kelompok mendapatkan perlakuan : tanpa transportasi (k0), transportasi
sejauh 100 km (k1); transportasi dan diikuti dengan istirahat selama 3 jam (k2); dan transportasi diikuti dengan
istirahat 3 jam dan pemberian minum 200 ml air gula. Masing-masing kelompok dipotong dan diobservasi
kualitas dagingnya (kandungan glikogen dan asam laktat, serta tingkat keasaman). Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa transportasi meningkatkan kadar kortisol darah kambing. Meskipun terdapat perbedaan
nyata pada kadar glikogen daging diantara perlakuan, kadar asam laktat dan tingkat keasaman daging tidak
berbeda nyata diantara perlakuan. Diantara Biceps femoris and Longissimus dorsi, tidak didapatkan perbedaan
nyata pada kandungan glikogen, asam laktat dan derajat keasaman diantara 0 sampai 6 jam lama pelayuan.
Transportasi berpengaruh nyata terhadap kadar kortisol darah dan kadar glikogen daging kambing, tetapi
pemberian 200 ml air gula dan istirahat selama 3 jam dapat memulihkan cekaman akibat transportasi pada
kambing.
Kata kunci : transportasi, air gula, istirahat, kualitas daging, kambing
ABSTRACT
The aim of research was to study the effect of transportation and its stress recovery by sugar water
dringking and resting on the meat quality in indigenous goat. Sixteen indigenous goat were randomly divided
into four groups, and were subjected to treatments : no transportation (k0); transportation for 100 km (k1);
transportation and were followed by resting for 3 hours (k2); and transportation and were followed by resting
for 3 hours and dringking 200 ml of water sugar, respectively. Each group was slaughtered and was observed
their meat quality (glicogen content, lactic acid content, and degree of acidity). The results showed that the
transportation increased blood cortisol level. A highly significant difference was observed on meat glicogen
content among the treatments, however, the content of lactic acid and acidity degree did not differ significantly. Between Biceps femoris and Longissimus dorsi, there were no significant differences on glicogen and
lactic acid content, and acidity degree except for lactic acid content between 0 and 6 hours aging time. The
transportation had a significant influence on cortisol and glicogen content of the indigenous goat meat;
however, drinking 200 ml water sugar with 3 hours resting could recover the effect of transportation.
Keywords: transportation, water sugar dringking, resting, meat quality, goat

The Stress Recovery of Transportation and the Meat Quality in Indigenous Goat (Haryoko et al.)

13

PENDAHULUAN
Penanganan ternak sebelum dan sesudah
pemotongan dapat mempengaruhi sifat fisik daging
yang dihasilkan. Jenis pengananan pada ternak
sebelum dipotong yang dapat mempengaruhi sifat
fisik daging adalah kondisi fisik dan cekaman yang
dialami oleh ternak. Cekaman dapat disebabkan
karena proses dan selama pengangkutan
(transportasi), suhu lingkungan yang terlalu panas
atau terlalu dingin, perlakuan yang kasar, suara yang
asing dan sangat mengganggu (Forrest et al., 1975).
Keadaan cekaman akan meningkatkan produksi
hormon kortisol yaitu hormon yang dihasilkan oleh
korteks adrenal.
Hormon kortisol akan memacu proses
glikogenolisis dan glikolisis pada hati dan otot serta
menghambat sintesis glikogen (Tarrant, 1989). Hal
ini akan menyebabkan cadangan glikogen dalam otot
dapat berkurang atau habis. Pada saat ternak
dipotong, cadangan glikogen rendah, maka dalam
proses glikolisis anaerob akan dihasilkan asam laktat
yang rendah pula. Kondisi ini akan berpengaruh
terhadap derajat keasaman (pH) akhir yang dicapai
yaitu akan lebih tinggi dibandingkan pada ternak
yang saat dipotong memiliki cadangan ototnya tinggi
(Swatland, 1984).
Glikogen otot yang rendah saat ternak
dipotong akan mempengaruhi derajat keasaman
daging setelah ternak mati. Jika derajat keasaman
otot tetap tinggi maka respirasi mitokondria juga tinggi
dan mioglobin akan dideoksigenasi sehingga daging
menjadi berwarna merah gelap (Ashmore et al., 1973).
Jacobs et al., 1973 melaporkan bahwa domba yang
mengalami cekaman sebelum disembelih akan
menghasilkan daging yang kurang empuk.
Pada umumnya cara untuk mengatasi
rendahnya cadangan glikogen otot adalah dengan
memberi waktu istirahat yang cukup pada ternak yaitu
antara 12 sampai 24 jam (Buckle et al., 1987). Namun
hal ini kurang praktis karena waktu istirahat terlalu
lama. Pemberian istirahat yang singkat yaitu selama
3 jam disertai dengan pemberian larutan gula pasir
diharapkan dapat meningkatkan cadangan glikogen
otot. Gula pasir mengandung 99,8 persen sukrose
yaitu bahan penting dalam makanan dan berbentuk
kristal. Sukrose ini merupakan disakarida yang akan

14

dihidrolisa menjadi glukosa dan fruktosa. Selanjutnya


glukosa dan fruktosa oleh darah dibawa ke hati atau
otot untuk diubah menjadi energi atau disimpan
sebagai glikogen (Cantarow dan Schepartz, 1957).
Dengan cadangan glikogen yang cukup diharapkan
dapat digunakan untuk memulihkan kondisi ternak
kambing menjadi lebih baik (tidak cekaman) sehingga
daging yang dihasilkan akan mempunyai kualitas
yang baik pula. Penelitian bertujuan untuk mengkaji
pengaruh transportasi dan pemulihan cekamannya
dengan pemberian air gula dan istirahat terhadap
kualitas daging kambing lokal
MATERI DAN METODE
Materi penelitian adalah 16 (enam belas) ekor
kambing jantan lokal (berasal dari Kecamatan
Kejobong, Kabupaten Purbalingga, Propinsi Jawa
Tengah) yang berumur antara 1-1,5 tahun. Bahanbahan yang digunakan dalam penelitian adalah pakan
hijauan (ramban dan rumput lapang), aquades, larutan
gula pasir 25% dalam 200 ml, larutan buffer standar
pH 7,00, kantong plastik dan gelang karet, kertas tissue, larutan TCA 10%, Ca(OH)2, CuSO4, H2SO4, KOH
30%, ethanol 95%, dan alkohol 60%.
Peralatan penelitian meliputi kandang
pemeliharaan dan perlengkapannya, mobil bak
terbuka (pick up), pisau, tabung reaksi, kertas aluminium foil, penangas air, blender, kompor gas,
timbangan analitik, thermos es, panci, spuit, pH meter,
masing-masing seperangkat peralatan analisis
kortisol, glikogen, dan asam laktat.
Penelitian dilaksanakan dengan metode
eksperimen. Sebagai preliminary, kambing dipelihara
pada kandang individu selama 14 hari dengan pakan
hijauan berupa ramban dan rumput lapang.
Pengangkutan kambing dengan menggunakan mobil
pick up sejauh 100 km (setara waktu 2 jam) dimulai
pukul 14.00 WIB. Sampel darah diambil melalui vena
jugularis dengan menggunakan spuit kapasitas 10
ml sebelum ternak kambing dipotong. Setelah
kambing dipotong sampel daging diambil dari otot
Biceps femoris (Bf) dan Longissimus dorsi (Ld).
Variabel yang diamati meliputi :
1. Kadar kortisol serum darah, dianalisis dengan
metode radio immuno assay.

J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (1) March 2005

2. Kadar glikogen daging, dilakukan dengan


metode Barker dan Summerson yang disitasi Hawk
et al. (1954).
3. Kadar asam laktat daging, dianalisis menurut
metode Hawk et al. (1954).
4. Derajat keasaman (pH) daging, diukur dengan
metode Albersten et al. (1957).
Analisis data
Rancangan penelitian yang digunakan
adalah rancangan acak lengkap untuk kadar kortisol
serum darah, dan Pola Tersarang tiga tingkat
digunakan untuk data kualitas daging yang meliputi
kadar glikogen, asam laktat dan derajat keasaman
daging. Sebagai grup adalah perlakuan meliputi :
K0 : kambing yang dipotong tanpa mengalami
pengangkutan.
K1 : kambing yang diangkut sejauh 100 km, kemudian
segera dipotong.
K2 : kambing yang diangkut sejauh 100 km, lalu
diistirahatkan selama 3 jam kemudian dipotong.

kambing berbeda sangat nyata antara perlakuan K0


vs K1, K2, K3 (34,83 vs 57,79 mg/l); antara perlakuan
K1 vs K2, K3 juga menunjukkan perbedaan sangat
nyata (94,28 vs 39,55 mg/l), demikian pula pada
perlakuan antara K2 vs K3 juga berbeda sangat nyata
(27,38 vs 51,73 mg/l).
Tingkat cekaman paling tinggi pada perlakuan
di atas dicapai pada K1 yaitu kambing yang mengalami
pengangkutan sejauh 100 km (selama 2 jam) tanpa
disertai istirahat, sedangkan cekaman terendah
dicapai pada ternak kambing yang diistirahatkan
selama 3 jam setelah pengangkutan (K2). Gregory dan
Grandin (1998) melaporkan bahwa kadar kortisol serum darah domba yang diangkut selama 24 jam,
menunjukkan bahwa pada saat awal pengangkutan
(1-2 jam) terjadi peningkatan kadar kortisol serum
darah domba dapat mencapai 60 mg/l dan berangsurangsur menurun drastis menjadi 20-30 mg/l sampai
12 jam pengangkutan dan akhirnya pada
pengangkutan 24 jam diperoleh kortisol serum darah
yang konstan antara 25-35 mg/l. Bila dibandingkan

Tabel 1. Rataan kadar kortisol serum darah kambing jantan lokal pada perlakuan yang berbeda
Perlakuan
Kortisol serum darah (g/l)
K0
34,83 0,59
K1
94,28 0,40
K2
27,38 0,68
K3
51,73 0,82

K3 : kambing yang diangkut sejauh 100 km,


diistirahatkan selama 3 jam serta diberi minum larutan
gula pasir 25% sebanyak 200 ml, kemudian dipotong.
Sebagai sub grup adalah jenis otot yaitu Bf
dan Ld, dan sub sub grup adalah lama pelayuan
daging kambing selama 0 dan 6 jam. Data dianalisis
ragam, apabila F hitung menunjukkan perbedaan
yang nyata (BNT)maka dilanjutkan dengan uji
ortogonal polinomial.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar kortisol serum darah
Rataan kadar kortisol serum darah kambing
jantan sebelum dipotong disajikan pada Tabel 1. Hasil
analisis variansi menunjukkan kortisol serum darah

dengan hasil penelitian Gregory dan Grandin (1998),


hasil penelitian ini menguatkan bahwa pada awal
pengangkutan kortisol serum darah kambing sebesar
34,83g/l dan setelah diangkut sejauh 100 km (selama
2 jam) kortisol serum darah kambing meningkat tajam
menjadi 94,28 g/l.
Pada perlakuan K3 ternyata kortisol serum
darah kambing lebih tinggi daripada K2. Hal ini diduga
karena pemberian larutan gula pasir 25% sebanyak
200 ml yang diminumkan secara paksa mengakibatkan
kambing mengalami cekaman tambahan. Menurut
Gregory dan Grandin (1998) bahwa kortisol serum
darah domba tertinggi akibat perbedaan perlakuan
antara lain karena pengangkutan sebesar 80 g/l,
kastrasi 62g/l, potong ekor 49 g/l dicukur bulunya
131 g/l dan akibat pengekangan 34 g/l.

The Stress Recovery of Transportation and the Meat Quality in Indigenous Goat (Haryoko et al.)

15

Tabel 2. Rataan Kadar Glikogen, Asam Laktat, dan Derajat Keasaman Daging Kambing Jantan
pada Perlakuan, Jenis Otot, dan Lama Pelayuan yang Berbeda
Lama
Kadar
Derajat Keasaman
Perlakuan
Jenis Otot
Kadar Glikogen (%)
Pelayuan
Asam Laktat (%)
(pH)
(jam)
K0
Bf
0
0,85 0,20
0,31 0,02
6,47 0,29
6
0,60 0,13
0,45 0,05
6,15 0,08
Ld
0
0,67 0,06
0,37 0,12
6,29 0,21
6
0,55 0,06
0,42 0,08
6,10 0,14
Rataan
0,67 0,11
0,39 0,07
6,25 0,27
K1

Bf
Ld

K2

Bf
Ld

K3

Bf
Ld

0
6
0
6
Rataan

0,20 0,14
0,07 0,05
0,14 0,09
0,04 0,03
0,11 0,08

0,20 0,07
0,23 0,07
0,26 0,07
0,29 0,07
0,24 0,07

6,82 0,19
6,27 0,26
6,54 0,23
6,28 0,23
6,47 0.24

0
6
0
6
Rataan

0,56 0,11
0,31 0,14
0,35 0,09
0,09 0,01
0,33 0,09

0,25 0,05
0,23 0,16
0,23 0,03
0,37 0,03
0,27 0,07

6,57 0,19
6,26 0,25
6,57 0,28
6,24 0,15
6,41 ,0,23

0
6
0
6
Rataan

0,37 0,05
0,10 0,01
0,40 0,08
0,11 0,05
0,25 0,05

0,31 0,04
0,37 0,12
0,46 0,06
0,51 0,06
0,41 0,07

6,44 0,22
6,25 0,13
6,24 0,19
6,20 0,19
6,28 0,17

Kadar glikogen
Data rataan kadar glikogen, asam laktat dan
derajat keasaman (pH) daging kambing jantan lokal
pada berbagai perlakuan, jenis otot, dan lama
pelayuan yang berbeda disajikan pada Tabel 2.
Rataan kadar glikogen daging kambing pada
perlakuan K0, K1, K2, K3 berturut-turut 0,67; 0,11; 0,33
dan 0,25 persen. Hasil analisis variansi menunjukkan
bahwa kadar glikogen daging kambing pada
perlakuan K0 vs K1, K2, K3 berbeda sangat nyata.
Perlakuan K1 vs K2, K3 juga berbeda nyata dan K2 vs
K3 menunjukkan perbedaan yang tidak nyata.
Sugianto (1989) melaporkan kambing yang tidak
mengalami pengangkutan, kadar glikogen daging
pada lama pelayuan 0 jam sebesar 0,918 persen. Hasil
pemeriksaan pada lama pelayuan nol jam diperoleh
petunjuk bahwa K1 lebih rendah daripada K0, K2, dan
K3. Hal ini disebabkan oleh cekaman akibat
pengangkutan sehingga proses pemecahan glikogen
dalam otot akan dipercepat dan sintesa glikogen
dihambat. Akibatnya kadar glikogen daging setelah

16

pemotongan atau kadar kadar glikogen awalnya


rendah. Demikian juga pada lama pelayuan 6 jam,
kadar glikogen daging pada perlakuan K1 lebih rendah
daripada K0, K2, dan K3.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa
lama pelayuan daging (0 dan 6 jam) berpengaruh
sangat nyata terhadap kadar glikogen daging
kambing. Dari hasil uji BNT menunjukkan pengaruh
perbedaan lama pelayuan terjadi pada perlakuan K1,
K2 dan K3. Rataan kadar glikogen daging pada lama
pelayuan 0 jam yaitu 0,44 persen lebih tinggi
dibandingkan pelayuan 6 jam yaitu 0,24 persen. Hal
ini disebabkan karena kadar glikogen pada
pemeriksaan 0 jam pada perlakuan K1 juga paling
rendah. Selang waktu 6 jam pelayuan akan terjadi
proses glikolisis anaerobik sehingga kadar glikogen
daging secara perlahan-lahan akan menjadi rendah.
Forrest et al. (1975) menyatakan bahwa glikogen
daging sapi sebesar 0,71 persen saat dipotong dan
menurun menjadi 0,32 persen setelah 4 jam
penyimpanan pada suhu ruang.

J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (1) March 2005

Kadar glikogen daging pada perlakuan K2 dan


K3 lebih tinggi daripada K1 dan berbeda sangat nyata
artinya pemberian larutan gula pasir dan istirahat
dapat memperbaiki kadar glikogen awal karena larutan
gula pasir 25 persen sebanyak 200 ml dapat digunakan
sebagai donor G-1-P untuk sintesa glikogen.
Rataan kadar glikogen daging antara jenis otot
Bf dan Ld (0,38 dan 0,30 persen) menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata pada semua perlakuan.
Soeparno (1992) menyatakan bahwa otot Bf adalah
jenis otot yang banyak bergerak dan Ld adalah jenis
otot yang tidak banyak gerak. Namun demikian di
antara kedua jenis otot tersebut kadar glikogennya
relatif sama. Hal ini dimungkinkan karena selama
ternak kambing diangkut dengan mobil pick up, kedua
jenis otot baik Bf dan Ld praktis tidak banyak
bergerak.
Kadar asam laktat
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa
asam laktat daging kambing berbeda tidak nyata pada
semua perlakuan, antar jenis otot, maupun lama
pelayuan. Soeparno (1992) menyatakan bahwa
perubahan glikogen menjadi asam laktat dipengaruhi
oleh cepat atau lambatnya proses glikolisis postmortem. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa cepat
lambatnya proses glikolisis dipengaruhi oleh
temperatur lingkungan. Pada temperatur lingkungan
yang tinggi maka glikolisis berjalan cepat, sebaliknya
pada temperatur yang lingkungan yang lebih rendah
proses glikolisis berjalan lambat.
Kadar asam laktat daging kambing pada
masing-masing perlakuan menunjukkan perbedaan
yang tidak nyata, hal ini diduga karena dipengaruhi
waktu dan temperatur lingkungan yang berbeda pada
saat pengambilan sampel daging untuk analisis kadar
asam laktat. Pengambilan sampel daging pada lama
pelayuan 0 jam pada masing-masing perlakuan K0,
K1, K2, dan K3 dilakukan pada pukul 15.30; 18.00;
21.00; dan 21.00 wib. dengan temperatur lingkungan
masing-masingsebesar 30,50 C; 300 C; 280 C; dan 280
C. Demikian pula pengambilan sampel daging untuk
pemeriksaan jam ke-6 setelah pemotongan untuk
perlakuan K0, K1, K2, dan K3 berturut-turut dilakukan
pada pukul 21.30; 24.00; 03.00; dan 03.00 wib dengan
temperatur lingkungan masing-masing sebesar 280
C; 27,50 C; 260 C; dan 260 C.

Walaupun secara statistik lama pelayuan


daging 0 dan 6 jam berbeda tidak nyata tetapi secara
kuantitatif kadar asam laktat daging cenderung
meningkat pada pengukuran setelah 6 jam pelayuan.
Hal ini disebabkan karena proses pemecahan
glikogen masih terus berlangsung, akibatnya asam
laktat masih terus terbentuk dan tertimbun pada
kondisi anaerobik.
Derajat keasaman daging
Rataan nilai pH daging kambing pada
perlakuan, jenis otot dan lama pelayuan yang berbeda
dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisis variansi
menunjukkan bahwa perlakuan ternyata berbengaruh
tidak nyata terhadap derajat keasaman (pH) daging
kambing. Hal ini dapat dipahami karena berkaitan
dengan kadar asam laktat daging kambing yang
bersangkutan juga berbeda tidak nyata. Derajat
keasaman antar jenis otot Bf dan Ld juga
menunjukkan perbedaan tidak nyata pada masingmasing perlakuan. Rataan Bf dan Ld sebesar 6,40
dan 6,30 mempunyai arti nilai pH daging pada otot Bf
dan Ld relatif sama walaupun secara kuantitatif
terlihat nilai pH otot Bf lebih tinggi daripada Ld.
Soeparno (1992) menyatakan bahwa laju dan besarnya
penurunan pH post mortem di antara otot dipengaruhi
oleh pembentukan asam laktat. Oleh karena kadar
asam laktat juga berbeda tidak nyata maka
menyebabkan pH yang terbentuk relatif sama.
Lama pelayuan berpengaruh nyata terhadap
derajat keasaman daging kambing. Masing-masing
pemeriksaan pH pada jam ke-6 setelah pemotongan
lebih rendah daripada pada jam ke-0. Hal ini
disebabkan karena kadar asam laktat yang dihasilkan
dari proses glikogenolisis dari masing-masing
perlakuan semakin meningkat dengan bertambahnya
waktu yang akan menurunkan pH daging. Hasil uji
BNT, pengaruh lama pelayuan terhadap pH daging
berbeda tidak nyata pada perlakuan K0 dan K3, tetapi
berpengaruh nyata pada perlakuan K1 dan K2. Daging
segar (pelayuan 0 jam) mempunyai pH daging masingmasing perlakuan K0, K1, K2, dan K3 berturut-turut
sebesar 6,33; 6,68; 6,57 dan 6,34. Menurut Buckle et
al. (1987) daging segar mempunyai pH antara 6,5
6,8. Derajat keasaman daging pada perlakuan K0
dan K3 lebih rendah dari pH normal karena pH awal
daging tidak dipengaruhi kadar asam laktat akibat

The Stress Recovery of Transportation and the Meat Quality in Indigenous Goat (Haryoko et al.)

17

pemecahan glikogen. Hal ini karena asam laktat yang


terbentuk karena proses glikogenolisis dan glikolisis
saat ternak hidup segera dibawa ke hati oleh darah.
Di dalam hati, asam laktat dikonversikan menjadi
glukosa-6-phosphat dan sebagian disimpan sebagai
glikogen dalam hati dan sebagian lagi digunakan
sebagai glukosa yang masuk ke peredaran darah
(Soeparno, 1992).
Pada jam ke-6 pelayuan diperoleh rataan pH
daging kambing pada perlakuan K0, K1, K2, dan K3
masing-masing 6,13; 6,28; 6,25 dan 6,23. Menurut
Lawrie (1995) kadar glikogen yang tinggi saat ternak
dipotong menyebabkan banyak asam laktat yang
dihasilkan selama proses glikolisis anaerobik sehingga
pH daging menjadi rendah. Angka-angka tersebut
secara kuantitatif relatif sama artinya pengangkutan,
pengistirahatan, dan pemberian larutan gula 25
persen sebanyak 200 ml pada kambing belum dapat
memperbaiki kualitas daging sampai pelayuan 6 jam.
Rosmawati (1999) melaporkan bahwa penurunan pH
dapat dipercepat dengan meningkatkan kandungan
glikogen dengan memberi minum air gula pasir pada
sapi PO sebanyak 0,51,5 kg/5 liter air, 12 jam sebelum
dipotong sehingga menghasilkan pH daging sebesar
5,52 0,08 namun penurunan ini tidak sampai drastis.

1.

2.

3.

KESIMPULAN
Pengangkutan sejauh 100 km atau selama 2 jam
akan meningkatkan cekaman pada kambing
ditandai dengan meningkatnya kadar kortisol
serum darah dan menurunnya kadar glikogen
awal daging pada kambing tersebut.
Pemberian istirahat selama 3 jam setelah
pengangkutan dapat menurunkan kadar kortisol
serum darah dan dapat memperbaiki kadar
glikogen awal daging kambing.
Pemberian larutan gula pasir 25 persen sebanyak
200 ml yang diminumkan secara paksa selama
kambing beristirahat 3 jam dapat menimbulkan
cekaman tambahan.
DAFTAR PUSTAKA

Albersten, V.E., R. Benoit, H. Thorton, T. Bloom, P.G.


Groft, C.E. Dolman, H. Drieux, R.I. Hood, M.J.J.

18

Houthuis, A. Jepsen, H.H. Johansen, M.M.


Kaplan, S.O. Koch, G.S. Scarafoni, G. Schmid,
F. Schonberg and H. Schonberg Contributors.
1957. Meat Hygiene. WHO Palais Des Nations, Geneva, Switzerland.
Ashmore, C.R., F. Carrol, L. Doerr, G. Tompkins, H.
Stokes and W. Parker. 1973. Experimental prevention of dark cutting meat. J. Anim. Sci. 36
: 33 41.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet and M.
Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan.
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Cantarow, A. and B. Schepartz. 1957. Biochemistry.
2nd ed. W.B. Saunders, Co., Philadhelpia, London.
Forrest, J.C., C.D. Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge
and R.A. Markel. 1975. Principle of Meat Science. W.H. Freeman and Co. San Francisco.
Gregory, N.D. and T. Grandin.1998. Animal Welfare
and Meat Science. CABI Publishing.
Hawk, P.B., B.L. Oser, and W.H. Summerson. 1954.
Practical Physiological Chemistry. 13th ed. Mc.
Graw Hill Book, Co., Inc. New York.
Jacobs, J.A., R.A. Field, M.P. Botkin and M.L. Riley.
1973. Effect of dietary cekaman on lamb carcass composition and quality. J. Animal Sci.
36 : 507 - 515.
Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Penerbit Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Rosmawati, D. 1999. Studi Derajat Keasaman (pH)
dan Keempukan Otot Biceps femoris (BF) dan
Longissimus dorsi (LD) pada Sapi PO Jantan
Dengan Diberi Air Gula Pasir Sebelum
Dipotong di RPH Mersi. Purwokerto. Skripsi.
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal
Soedirman. Purwokerto.

J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (1) March 2005

Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah


Mada University Press. Yogyakarta.
Sugianto, L.S. 1989. Pengaruh Pengangkutan dan
Pemberian Larutan Sukrosa Serta Istirahat
Terhadap Kadar Glikogen, Asam Laktat dan
Derajat Keasaman Daging Kambing. Thesis.
Pascasarjana Univewrsitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of


Meat Animal. Prentice Hall. Inc., Englewood
Cliffs, New York.
Tarrant, P.V. 1989. Animal behavior and environment in the dark cutting condition in beef.
A review. Irish J. Food Sci. Tech. 13 : 1-21.

The Stress Recovery of Transportation and the Meat Quality in Indigenous Goat (Haryoko et al.)

19

You might also like