You are on page 1of 12

Naskah Publikasi

HUBUNGAN ANTARA KELENGKAPAN STATUS IMUNISASI DENGAN


KEJADIAN ISPA PADA BALITA UMUR 12-59 BULAN DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS LINDU DI KECAMATAN LINDU
KABUPATEN SIGI TAHUN 2015
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana S-1

UNTAD
Diajukan oleh :

RINAIMAH ZAHRA AMALIAH


N 101 12 139

Kepada

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO

JUNI 2016

THE RELATIONSHIP BETWEEN THE COMPLETENES OF


IMMUNIZATION STATUS WITH THE INCIDENCE OF
ARI IN UNDER FIVE CHILDREN AGED 12-59
MONTHS IN AREA OF PUSKESMAS LINDU
IN DISTRICT LINDU
SIGI IN 2015
Rinaimah Zahra Amaliah *, I Nyoman Widajadnja **, Junjun Fitriani ***
* Students of Medicine, Faculty of Medicine and Health Sciences, University of
Tadulako.
** Department of Physiology, Faculty of Medicine and Health Science, Tadulako
University.
*** Department of Pharmacology, Faculty of Medicine and Health Science, Tadulako
University.

ABSTRACT
Background: Acute Respiratory Infections (ARI) is a respiratory disease upper or
lower and cause a spectrum of illnesses. In Indonesia, ARI is one of the causes of
patient visits to health facilities, that are clinic and hospital. One of the risk factor
for ARI is not getting complete immunization.
Objective: To determine the relationship between completeness of immunization
status with ARI occurrence in under five children aged 12-59 months in the area
of Puskesmas Lindu Sigi 2015.
Methods: The study was observational analytic with cross sectional approach.
The population of under five children aged 12-59 months who come to the
Puskesmas Lindu 2015. The sample amounted to 83 children, obtained by
purposive sampling. Diagnosis is based on history and physical examination
according to the guidelines clinic. Immunization status obtained from Kartu
Menuju sehat (KMS). Analysis of data using statistical Chi Square test.
Results: Data obtained ARI under five children get immunization Complete as
many as nine children (28.1%), ARI under five children who do not get the full
immunization as many as 39 children (76.5%). Patients ARI and under five
children who do not get as many as 23 full immunization of children (71.9%),
while 12 under five children (23.5%) did not receive full immunization and
respiratory infection. From these data it looks under five children who are not
given full immunization greater risk of ARI. This is supported by Chi-Square
where the value of p = 0.000 is an association between immunization is complete
with ARI. Value Phi test -0.476 showed a negative correlation with the strength of
a medium correlation.
Conclusion: There is significant relationship between the completeness of
Immunization against ARI occurrence in under five children aged 12-59 months
in the area of Puskesmas Lindu in 2015.

Keywords: ARI, Immunization

HUBUNGAN ANTARA KELENGKAPAN STATUS IMUNISASI


DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA USIA 12-59 BULAN
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LINDU
DI KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI
TAHUN 2015
Rinaimah Zahra Amaliah*, I Nyoman Widajadnja**, Junjun Fitriani***
* Mahasiswi Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Tadulako
**Bagian Fisiologi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Tadulako.
*** Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas
Tadulako

ABSTRAK
Latar Belakang : Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit
saluran pernapasan atas atau bawah dan menimbulkan berbagai spektrum
penyakit. Di Indonesia ISPA merupakan salah satu penyebab kunjungan pasien ke
sarana kesehatan, yaitu ke puskesmas dan ke RS. Salah satu faktor resiko kejadian
ISPA adalah tidak mendapatkan imunisasi lengkap.
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan kelengkapan status imunisasi dengan
kejadian ISPA pada balita usia 12-59 bulan di Puskesmas Lindu Kabupaten Sigi
Tahun 2015.
Metode : Penelitian observasional analitik dengan pendekatan Cross Sectional.
Populasinya balita usia 12-59 bulan yang datang ke Puskesmas Lindu tahun 2015.
Sampelnya berjumlah 83 anak, diperoleh dengan cara purposive sampling.
Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik sesuai pedoman
puskesmas. Status pemberian Imunisasi didapatkan dari Kartu Menuju Sehat
(KMS). Analisis data menggunakan uji statistic Chi Square .
Hasil : Diperoleh data balita ISPA yang mendapatkan Imunisasi Lengkap
sebanyak 9 anak (28.1%), balita ISPA yang tidak mendapatkan Imunisasi Lengkap
sebanyak 39 anak (76,5%). Pasien balita yang tidak ISPA serta mendapatkan
Imunisasi Lengkap sebanyak 23 anak (71,9%) sedangkan 12 balita (23,5%) tidak
mendapatkan Imunisasi Lengkap dan tidak ISPA. Dari data tersebut terlihat balita
yang tidak diberikan Imunisasi Lengkap lebih beresiko mengalami ISPA. Ini
didukung dengan uji Chi-Square dimana nilai p= 0,000 yaitu terdapat hubungan
antara pemberian imunisasi lengkap dengan kejadian ISPA. Nilai uji Phi -0,476
menunjukkan korelasi negatif dengan kekuatan sedang.
Simpulan : Ada hubungan yang bermakna antara pemberian Imunisasi Lengkap
dengan kejadian ISPA pada balita usia 12-59 bulan di puskesmas Lindu Tahun
2015.
Kata Kunci : ISPA, Imunisasi

PENDAHULUAN
ISPA atau infeksi saluran pernapasan akut adalah infeksi mulai dari infeksi
respiratori atas dan adneksanya hingga parenkim paru. Pengertian akut adalah
infeksi yang berlangsung hingga 14 hari. Infeksi respiratori atas adalah infeksi
primer respiratori di atas laring, sedangkan infeksi laring ke bawah disebut infeksi
respiratori bawah[1], Populasi yang rentan terserang ISPA adalah anak-anak usia
kurang dari 5 tahun, usia lanjut >65 tahun atau orang dengan masalah kesehatan
seperti (malnutrisi, dan gangguan kekebalan tubuh)[2].
Di Indonesia sendiri, ISPA merupakan salah satu penyebab utama
kunjungan pasien ke sarana kesehatan, yaitu 40-60% dari seluruh kunjungan ke
puskesmas dan 15-30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS.
Jumlah episode ISPA di Indonesia diperkirakan 3-6 kali pertahun, tetapi berbeda
antar daerah[1]. Salah satunya di Provinsi Sulawesi Tengah, penyebaran ISPA di
seluruh Provinsi Sulawesi Tengah dengan rentang prevalensi yang sangat
bervariasi (18,8 42,7%)[3].
Berdasarkan data Dinkes Kabupaten Sigi tahun 2013, di Kabupaten sigi
presentase penderita ISPA yang dapat ditemukan dan berhasil di tangani baru
sebesar 51,7%, sedangkan pada kecamatan Lindu yang merupaka daerah resiko
schistosomiasis penderita ISPA yang dapat ditemukan dan berhasil di tangani baru
sekitar 4,2% dari total perkiraan balita penderita ISPA[2].
Campak, pertusis, dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko
terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi sebelumnya hal ini dapat
dicegah. Di india, anak yang baru sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya
dapat mengalami ISPA enam kali lebih sering daripada anak yang tidak terkena
campak. Balita yang terkena campak, pertusis, dan difteri akibat tidak lengkapnya
pemberian imunisasi dasar dapat menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian
yang berkaitan dengan ISPA[1].
Imunisasi atau vaksinasi adalah prosedur untuk meningkatkan derajat
imunitas, memberikan imunitas protektif dengan menginduksi respons memori
terhadap pathogen tertentu/toksin dengan menggunakan preparat antigen
nonvirulen/nontoksik[4]. Usaha global dalam meningkatkan cakupan imunisasi

campak dan pertusis telah mengurangi angka kematian ISPA akibat kedua
penyakit ini. Vaksin pneumokokus dan H.influenzae tipe B saat ini sudah
diberikan pada anak-anak dengan efektivitas yang cukup baik[1].
Anak yang lengkap imunisasinya pada saat menginjak usia dua tahun,
maka dia sudah terlindung dari 8 macam penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi, yaitu: Tuberculosis, Hepatitis B,

Polio, Campak, Difteri, Pertusis,

Tetanus, dan Haemophilus Influenza Type B (Pneumonia dan Meningitis) [5],


sedangkan imunisasi tidak lengkap dapat memberikan dampak terhadap
peningkatan kejadian ISPA pada balita. Umumnya, semua anak di bawah usia 5
tahun mengalami peningkatan risiko terkena ISPA[6].
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pemberian
imunisasi lengkap dengan kejadian ISPA pada balita usia 12-59 bulan di
Puskesmas Lindu di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi tahun 2015.
METODE
Penelitian ini termasuk jenis penelitian observasional analitik dengan
pendekatan Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien
balita yang datang ke Puskesmas Lindu priode januari-desember 2015.
Sampel pada penelitian ini berjumlahlah 83 anak yang berusia 12-59 bulan.
Diagnosis pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan oleh dokter/ bidan berdasarkan pedoman pengobatan dipuskesmas.
Status pemberian imunisasi lengkap didapatkan dari Kartu Menuju Sehat (KMS).
Jumlah sampel diperoleh dengan cara

purposive sampling yang memenuhi

kriteria yaitu :
1. Kriteria Inklusi
a. Balita beruia 12-59 bulan
b. Datang ke Puskesmas Lindu Tahun 2015
c. Pasien balita dengan data rekam medis lengkap
d. Balita dengan KMS (Kartu Menuju Sehat) yang lengkap
e. Balita yang berdomisili diwilayah kerja Puskesmas Lindu Kabupaten
Sigi Provinsi Sulawesi Tengah
2. Kriteria Ekskulsi

a. Balita yang awalnya datang berobat ke Puskesmas Lindu kemudian


rumahnya pindah berada di luar wilayah Puskesmas Lindu Kabupaten
Sigi.
b. Balita dengan data Rekam Medis yang tidak lengkap
Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik masingmasing variabel yang diteliti. Analisis data bivariat yang digunakan adalah uji
statistik Chi Square untuk mengetahui hubungan antara 2 variabel. Jika H1
diterima, selanjutnya dilakukan uji Phi untuk mengetahui kekuatan hubungan
antara kedua variabel.
HASIL
1. Analisis Univariat
a. Distribusi sampel berdasarkan usia
Tabel 1 Distribusi sampel berdasarkan usia
Usia

Jumlah

Persentase (%)

12-24 bulan

38

45,7

25-36 bulan

17

20,4

37-59 bulan

28

33,7

Total

83

100

Berdasarkan table di atas, dapat dilihat bahwa jumlah pasien


balita yang datang di Puskesmas Lindu Kabupaten Sigi dengan usia 12-24
bulan sebanyak 38 orang (45,7%), jumlah pasien usia 25-36 bulan adalah
sebanyak 17 orang (20,4%), dan jumlah pasien usia 37-59 bulan adalah 28
orang (33,7%).

b. Distribusi sampel berdasarkan kelengkapan status imunisasi


Tabel 2 Distribusi sampel berdasarkan kelengkapan status imunisasi
Imunisasi

Jumlah

Persentase (%)

Lengkap

32

38,5

Tidak Lengkap

51

61,5

Total

83

100

Berdasarkan data dari tabel 2 di atas sebanyak 32 orang (38,5%)


mendapatkan Imunisasi Lengkap dan sebanyak 51 orang (61,5%) tidak
mendapatkan Imunisasi Lengkap.
c. Distribusi sampel berdasarkan kejadian ISPA
Tabel 3 Distribusi sampel berdasarkan kejadian ISPA
ISPA

Jumlah

Persentase (%)

Ya

55

66,3

Tidak

28

33,7

Total

83

100

Berdasarkan data table 3 diatas sebanyak 55 orang (66,3%)


mengalami ISPA dan sebanyak 28 orang (33,7%) tidak mengalami ISPA.
2. Analisis Bivariat
Hubungan Kelengkapan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA
Tabel 4 Hubungan kelengkapan status imunisasi dengan kejadian ISPA
Imunisasi
Tidak
Ya

ISPA

Total

Jumlah
Presentase
Jumlah

Ya
39
76.5%
9

Tidak
12
23.5%
23

51
100 %
32

Presentase

28.1%

71.9%

100 %

62

21

83

Total

Nilai

0,05

Nilai p

0,000

Pada tabel 4 menunjukkan bahwa balita ISPA yang memiliki status


imunisasi lengkap adalah 9 balita (28,1%) sedangkan balita ISPA yang tidak
memiliki status imunisasi lengkap 39 balita (76,5%). Pasien balita yang tidak
mengalami ISPA serta memiliki status imunisasi lengkap 23 balita (71,9%)
sedangkan balita yang tidak mengalami ISPA dan tidak memiliki status
imunisasi lengkap adalah 12 balita (23,5%). Dari data tersebut terlihat bahwa
balita yang tidak diberikan imunisasi lengkap lebih beresiko mengalami
ISPA. Hal ini juga didukung dengan hasil uji Chi-Square dimana nilai p <

nilai yaitu p = 0,000. Selanjutnya untuk mengetahui kekuatan hubungan


kedua variabel maka dilakukan uji Phi, dari hasil statistik ditemukan nilai Phi
sebesar -0,476. Hal ini berarti, kekuatan hubungan antara kelengkapan status
imunisasi dengan kejadian ISPA yaitu sedang dan korelasinya kearah negatif.
PEMBAHASAN
Distribusi sampel berdasarkan usia didapatkan jumlah pasien
terbanyak usia 12-24 bulan yaitu 38 balita (45,7%). Hasil ini sesuai dengan
teori yang menyatakan serangan ISPA terutama meningkat pada 5 tahun
pertama kehidupan, terutama pada 2 tahun pertama kehidupan. Hal ini
disebabkan oleh belum matangnya sistem IgA pada anak berusia 2 tahun[7].
Berdasarkan hasil analisis univariat menunjukkan bahwa sebagian
besar balita menderita ISPA. Hal ini dikarenakan sebagian besar balita tidak
mendapatkan imunisasi lengkap (table 2). Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA
adalah pemberian vaksin/ imunisasi[8].
Imunisasi merupakan kemajuan

yang

besar

dalam

usaha

imunoprofilaksis serta menurunkan prevalensi penyakit, oleh karena itu saat


ini imunisasi merupakan salah satu program pemerintah untuk memperbaiki
tingkat kesehatan masyarakat. Pemberian imunisasi bertujuan untuk
memberikan imunitas protektif dengan menginduksi respons memori
terhadap pathogen tertentu/toksin dengan menggunakan preparat antigen
nonvirulen/nontoksik[4].
Uji statistik yang dipilih untuk mengetahui hubungan antara
kelengkapan status imuniasi dengan kejadian ISPA adalah uji Chi-Square.
Berdasarkan hasil statistic ada hubungan bermakna antara balita yang tidak
mendapatkan imunisasi lengkap dengan kejadian ISPA dimana nilai p < 0,05
yaitu 0,000. Oleh karena itu, hipotesis kerja (H1) pada penelitian ini dapat
diterima. Penelitian yang saya lakukan dengan hasil yang menyatakan adanya
hubungan kelengkapan status imunisasi dengan kejadian ISPA. Sama halnya
dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Fitri (2005) dan
Sulistyoningsih .H (2011) yang menyatakan terdapat hubungan antara Status

imunisasi dengan kejadian ISPA (p value = 0,000) [9][10]. Selanjutnya untuk


mengetahui kekuatan hubungan kedua variabel maka dilakukan uji Phi, dari
hasil statistik ditemukan nilai Phi sebesar -0,476. Hal ini berarti, kekuatan
hubungan antara pemberian imunisasi lengkap dengan kejadian ISPA yaitu
sedang dan korelasinya kearah negatif dimana semakin tinggi pemberian
imunisasi maka semakin rendah kejadian ISPA pada balita.
Pemberian imunisasi berguna untuk memproduksi antibody yang
efektif terutama terhadap mikroba ekstraselular dan produknya (toksin).
Antibody ini berfungsi mencegah mikroba masuk kedalam sel untuk
menginfeksinya, atau efek yang merusak sel dengan menetralkan toksin
mikroba tersebut[4].
Menurut WHO 2007, terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut
beberapa faktor. Penyebaran dan dampak penyakit berkaitan dengan:
1) kondisi lingkungan (misalnya, polutan udara, kepadatan anggota
keluarga), kelembaban, kebersihan, musim, temperatur);
2) ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan
pencegahan

infeksi

untuk

mencegah

dan

penyebaran

langkah
(misalnya,

imunisasi/vaksin yang lengkap, akses terhadap fasilitas pelayanan


kesehatan, kapasitas ruang isolasi);
3) faktor pejamu, seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu
menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau
infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi kesehatan
umum; dan
4) karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya tular, faktor virulensi
(misalnya, gen penyandi toksin), dan jumlah atau dosis mikroba[8].
Namun dalam penelitian ini peneliti hanya meneliti pengaruh pemerian
vaksin/ imunisasi lengkap melalui data sekunder pada rekam medis dan KMS,
sehingga hasilnya kurang maksimal.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada 83 sampel maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan diantaranya yakni :

Kejadian ISPA pada balita usia 12-59 bulan adalah sebagian besar

mengalami ISPA yaitu sebanyak 55 balita (66,3%)


Status kelengkapan imunisasi pada balita usia 12-59 bulan sebagian besar

tidak mendapatkan imuniasi lengkap yaitu sebanyak 51 balita (61,5%)


Terdapat hubungan bermakna antara pemberian imunisasi lengkap
terhadap kejadian ISPA pada balita usia 12-59 bulan di puskesmas Lindu
Kecamatan Lindu Tahun 2015 dengan nilai p < 0,05 yaitu 0,000.

SARAN
1. Diharapkan dapat memberikan motivasi kepada petugas kesehatan untuk
berperan dalam meningkatkan pemberian imunisasi lengkap.
2. Diharapkan dapat meningkatkan pemahaman kepada orang tua tentang
pentingnya pemberian imunisasi lengkap dalam mencegah ISPA pada
balita
3. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya, disarankan kepada peneliti agar
melanjutkan penelitian dengan mencari faktor-faktor lain penyebab ISPA.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2013. Cakupan Imunisasi Dasar
Anak Usia 1-5 tahun. Sari Pediatri.Vol. 14, Pp. 283-286. Banda Aceh.
[Diakses 22 juli 2015]. Dari: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/14-5-3.pdf.
2. Riskesda (Dinas Kesehatan Kabupaten Sigi). 2013. Profil Kesehatan
Kabupaten Sigi 2013. Palu: Bagian Promosi Kesehatan.
3. Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) Privinsi Sulawesi Tengah Tahun 2007. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehtan DEPKES RI.
4. Baratawidjaja. K.R., 2010. Imunologi Dasar. Edisi ke-9. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indoneia.
5. Kemenkes RI. 2011. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan
Akut. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
6. Nira, N.K., Pramono, D., Naning, R, 2013, Risk Factors of Pneumonia
Among Under Five Children in Purbalingga District, Central Java

Province. Tropical Medicine Journal. Vol.3,No.2,pp.131. [Diakses pada 20


Mei 2015]. Dari: http://jurnal.ugm.ac.id/tropmed/article/download/58
64/4750.
7. Scott J.A., Brooks, W.A., Peiris, J.S., Holtzman, D, Mulholland, E.K.
2008. Review series : Pneumonia research to reduce childhoold mortality
in the developing world, Jurnal Clin Invest, Vol.118,No.4.[Diakses pada19
Maret 2016]. Dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18382741.
8. WHO. 2007. Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas
pelayanan kesehatan. Pedoman Interim WHO. [Diakses 30 April 2015].
Dari: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/69707/14/WHO_CDS_EP
R_2007.6_ind.pdf
9. Fitri. W. 2010. Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA
pada balita di Propinsi Riau tahun 2009. Program Pasca Sarjana. Depok:
FKM-UI.
10. Sulistyoningsih .H. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Jamanis
Kabupaten Tasikmlaya Tahun 2010. Peran Kesehatan Masyarakat dalam
Pencapaian MDGs di Indonesia. Tasikmalaya. Vol.1. No.4. Pp 154-159.
[Diakses

pada

29

Juli

2015].

Dari:

http://journal.unsil.ac.id/jurnal/prosiding/9/9HariyaniStikes%20Respati
%20TSM(18).pdf.pdf.

You might also like