You are on page 1of 318

Penerbit

FORDA PRESS
Bogor, 2016
HUTAN RAKYAT MANGLID
Status Riset dan Pengembangan

Editor:
Mohamad Siarudin
Aris Sudomo
Yonky Indrajaya
Triyono Puspitojati
Nina Mindawati

Penerbit:
FORDA PRESS
Bogor, 2016
HUTAN RAKYAT MANGLID:
Status Riset dan Pengembangan

Editor:
Mohamad Siarudin, Aris Sudomo, Yonky Indrajaya, Triyono Puspitojati,
dan Nina Mindawati

Penerbit:
FORDA PRESS (Anggota IKAPI No. 257/JB/2014)
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610 Jawa Barat
Telp/Fax. +62 251 7520093

Copyright 2016 Penulis


Cetakan Pertama, Desember 2016
vi + 308 halaman; 182 x 257 mm

ISBN 978-602-6961-14-3

Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:


Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry
Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis, Jawa Barat
Telp +62 265 771352, Fax +62 265 775866

Perpustakaan Nasional RI., Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan / editor, M. Siarudin, A.


Sudomo, Y. Indrajaya, T. Puspitojati, N. Mindawati. -- Bogor : Forda Press, 2016.
vi + 308 hlm. : ill. ; 25,7 cm. --

ISBN 978-602-6961-14-3

1. Hutan Rakyat 2. Manglid 3. Status Riset dan Pengembangan I. Editor


II. Forda Press III. Bunga Rampai
333.75
KATA PENGANTAR

Di Jawa Barat, pasokan bahan baku kayu sebagian besar dari hutan rakyat
yang dikelola petani secara tradisional dan belum intensif. Namun, hutan rakyat
umumnya memiliki produktivitas rendah karena bahan tanaman seadanya dan
belum dikelola memenuhi kaidah scientific based knowledge. Hal tersebut terjadi
karena keterbatasan kemampuan petani dalam membangun dan mengelola kebun
sesuai dengan teknologi yang direkomendasikan.

Salah satu jenis kayu yang banyak ditanam pada lahan hutan rakyat di Jawa
Barat adalah Manglid (Magnolia champaca). Jenis tersebut potensial sebagai back-up
species untuk peningkatan produktivitas hutan rakyat. Bahkan, berdasarkan
potensinya, jenis tersebut dijadikan ikon pengembangan hutan rakyat di Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat. Usaha hutan rakyat manglid terbukti memberikan keuntungan
ekonomi.

Sejak tahun 2006, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agro-


forestry bersama petani di berbagai kabupaten di Provinsi Jawa Barat telah melaku-
kan penelitian manglid dari berbagai aspek, antara lain budi daya, sistem agroforestry,
sosial ekonomi dan kebijakan hutan rakyat, pengelolaan dan lingkungan, serta aspek
lainnya. Pengelolaan hutan rakyat manglid dengan input scientific based knowledge
memberikan alternatif bagi petani dan pengambil kebijakan kehutanan untuk
meningkatkan produktivitas lahan dengan memerhatikan berbagai kendala teknis
budidaya, sosial-ekonomi, kelembagaan, dan pengelolaan yang dihadapi petani.

Buku ini merupakan salah satu hasil dari rangkaian kegiatan penelitian
manglid. Tujuan penelitian jenis kayu manglid adalah memberikan acuan ilmiah
dalam meningkatkan produktivitas kayu rakyat sehingga berkontribusi bagi keber-
lanjutan produksi kayu rakyat. Buku ini akan membahas tentang:

1. Taksonomi dan ekologi manglid;


2. Sistem silvikultur hutan rakyat manglid;
3. Manjanemen optimal tegakan manglid;

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | iii


4. Manfaat lingkungan hutan rakyat manglid;
5. Karakteristik kayu dan pengolahan kayu manglid; dan
6. Kondisi sosial ekonomi petani hutan rakyat dan pemasaran manglid

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan dan


penyajian isi buku ini. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat
kami hargai. Penyempurnaan terhadap isi buku ini akan terus dilakukan dengan
memerhatikan perkembangan informasi dan hasi-hasil di lapangan.

Kepada Tim Penulis, Editor, dan Mitra Bestari; kami mengucapkan terima
kasih atas peran sertanya sehingga terwujud buku Hutan Rakyat Manglid ini,
dengan harapan semoga bermanfaat bagi para pihak dan pembaca yang memerlu-
kannya.

Ciamis, Desember 2016


Kepala Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi
Agroforestry

Ir. Bambang Sugiarto, MP


NIP 19580924 198602 1 002

iv | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii


DAFTAR ISI v
I. PENDAHULUAN 3-7
II. TAKSONOMI DAN EKOLOGI MANGLID
Status Taksonomi dan Morfologi Manglid 11-18
Aji Winara, Aditya Hani & Levina Augusta G. Pieter
Perkembangan Tegakan Manglid (Magnolia champaca) pada Hutan 19-31
Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya
Budiman Achmad
Sebaran dan Karakteristik Hutan Rakyat Manglid, serta Potensinya 33-48
untuk Pengembangan Sumber Benih di Wilayah Priangan Timur
Asep Rohandi & Gunawan

III. BUDI DAYA MANGLID


Status Silvikultur Hutan Rakyat Manglid (Magnolia champaca) 51-70
Aris Sudomo
Produktivitas dan Kualitas Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus 71-82
BI) pada Sistem Agroforestry Manglid
Aris Sudomo
Hama dan Penyakit Manglid 83-96
Endah Suhaendah & Aji Winara

IV. MANAJEMEN OPTIMAL TEGAKAN MANGLID


Daur Optimal Hutan Rakyat Manglid di Kecamatan Kawalu, 99-113
Tasikmalaya, Jawa Barat
Yonky Indrajaya
Pengaruh Jasa Lingkungan Karbon terhadap Daur Optimal Tegakan 115-129
Manglid dalam Proyek Aforestasi
Yonky Indrajaya
V. KAJIAN LINGKUNGAN TEGAKAN MANGLID
Struktur Tegakan Cadangan Karbon Hutan Rakyat Pola Agroforestry 133-150
Manglid (Magnolia champaca) di Tasikmalaya, Jawa Barat
M. Siarudin & Yonky Indrajaya

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | v


Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestry Manglid di Desa Tenggerharja, 151-170
Kecamatan, Sukamantri, Kabupaten Ciamis
Wuri Handayani
Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid 171-189
Edy Junaidi
VI. PENGOLAHAN HASIL KAYU MANGLID
Sifat Fisik dan Pemesinan Kayu Manglid 193-204
M. Siarudin & Ary Widiyanto
Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergajian Kayu Manglid 205-216
(Magnolia champaca)
M. Siarudin
Pengawetan Kayu Manglid 217-224
Endah Suhaendah & M. Siarudin
VII. SOSIAL EKONOMI DAN PEMASARAN MANGLID
Kontribusi Pendapatan Kayu Manglid pada Usaha Hutan Rakyat di 227-238
Kabupaten Tasikmalaya
Dian Diniyati
Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid pada Pemilikan 239-255
Lahan Sempit di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat
Dian Diniyati & Tri Sulistyati Widyaningsih
Analisis Finansial Agroforestry Manglid dan Empat Jenis Tanaman 257-276
Bawah di Priangan Timur
Yonky Indrajaya & Aris Sudomo
Kajian Pemasaran Kayu Manglid (Magnolia champaca) di Kabupaten 277-298
Tasikmalaya
Soleh Mulyana
VIII. PENUTUP
Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan 302-308

vi | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


BAB I

PENDAHULUAN
Pendahuluan

Pembangunan kehutanan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pem-


bangunan hutan rakyat yang perkembangannya semakin pesat dan kontribusinya
cukup nyata dalam turut serta memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan rumah
tangga. Seiring dengan permintaan kayu yang terus meningkat dan laju degradasi
hutan yang masih cukup besar, hutan rakyat pun menempati posisi strategis.
Kebutuhan kayu nasional mencapai 57,1 juta m3/tahun, sedangkan kemampuan
produksi kayu dari hutan, baik alam maupun tanaman, hanya sekitar 45,8 juta
m3/tahun yang berarti terjadi defisit sebesar 11,3 juta m3/tahun pada tahun 2006
(Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2006). Keberadaan hutan rakyat
yang tersebar di berbagai lahan masyarakat menjadi potensial dikembangkan untuk
memberikan manfaat, baik secara sosial, ekonomi maupun lingkungan. Hutan rakyat
di Jawa memiliki luas sekitar 778.253,26 ha atau 49,6% dari total luas hutan rakyat
di Indonesia (1.560.229 ha). Produksi log dari hutan rakyat di Jawa mencapai
32,47% dari total produksi log nasional. Stok hutan rakyat sebesar 3.284.700 m3/ha
dan hutan tanaman sebesar 6.534.800 m3/ha, sedangkan stok hutan alam sebesar
31.448.900 m3/ha (Anonim, 2005; Wardhana, 2005).

Perkembangan hutan rakyat di wilayah Jawa Barat dihadapkan pada beberapa


permasalahan sehingga produktivitasnya relatif masih rendah. Permasalahan tersebut
disebabkan antara lain oleh serangan hama penyakit, kurangnya dukungan IPTEK,
lahan relatif sempit, serta kurangnya sarana dan prasarana produksi. Pembangunan
hutan rakyat cenderung mengarah ke jenis yang sedang tren di masyarakat (sengon,
mahoni, dan jati) dan cenderung monokultur. Penanaman satu spesies terus-
menerus menjadikannya rentan terhadap serangan hama dan penyakit, serta
berkurangya ketersediaan hara sehingga menurunkan produktivitas tanaman.
Contoh konkretnya adalah hutan rakyat monokultur sengon yang banyak terserang
karat tumor. Serangan hama dan penyakit terhadap sengon telah berada pada
ambang yang mengkhawatirkan sehingga menurunkan nilai ekonomis sengon. Oleh
karena itu, pembangunan hutan rakyat memerlukan spesies alternatif, baik secara
monokultur, campuran maupun agroforestry.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 3


Masyarakat petani hutan rakyat umumnya mengembangkan jenis-jenis kayu
yang mudah didapat, telah tumbuh, mempunyai nilai pasar, cepat tumbuh, dan
mereka sukai. Hal ini yang menyebabkan jenis-jenis yang dikembangkan di setiap
daerah berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Jenis-jenis kayu hutan rakyat
tersebut terkadang bersifat lesser known species sehingga ketersediaan ilmu pengeta-
huan dan teknologi (IPTEK) relatif terbatas.

Salah satu jenis tanaman yang potensial untuk dijadikan back-up spesies pada
hutan tanaman, khususnya hutan rakyat adalah manglid. Manglid (Magnolia
champaca) tergolong dalam famili Magnoliaceae. Jenis manglid dianggap mudah
pemasarannya dan relatif tahan terhadap hama dan penyakit sehingga potensial
memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Kualitas kayu manglid relatif lebih
bagus dibandingkan dengan kayu-kayu yang telah berkembang di masyarakat
(sengon, mahoni, dan jabon). Kayu manglid digunakan sebagai bahan kontruksi
ringan, kayu pertukangan, barang kerajinan, dan perabot rumah tangga/mebeler,
serta potensial sebagai bahan baku industri pulp dan kertas. Hutan rakyat manglid di
Tasikmalaya umur delapan tahun memiliki pertumbuhan batang lurus monopodial
dengan persentase tajuk aktif rata-rata 21,45%. Pertumbuhannya dapat mencapai
tinggi 12,96 m dan diameter 13,94 cm. Manglid umur 16 tahun mempunyai riap
tertinggi 13,25 m3/ha/tahun (Indrajaya, 2016; Sudomo, 2011).

Manglid merupakan jenis andalan setempat di Jawa Barat. Jenis ini menunjuk-
kan prospektif untuk dikembangkan di hutan rakyat. Oleh karena itu, landasan
IPTEK untuk pengembangannya sangat diperlukan. Landasan IPTEK merupakan
hal yang penting dalam pegelolaan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat. Hal ini
disebabkan peningkatan produktivitas fisik per satuan luas lahan hanya dapat ditem-
puh dengan temuan IPTEK. Hasil penelitian dapat menjadi alternatif pilihan bagi
masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat manglid.

Buku ini merupakan rangkuman hasil-hasil penelitian mengenai pengelolaan


hutan rakyat manglid di Jawa Barat yang menggambarkan aspek teknis budi daya,
pengelolaan, pengolahan hasil, sosial ekonomi dan pemasaran, dan lingkungan.
Buku ini diharapkan dapat berkontribusi dalam diskusi pengelolaan hutan rakyat

4 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Pendahuluan

jenis potensil yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Informasi tentang jenis manglid
dari berbagai aspek dapat menjadi referensi bagi para pengambil kebijakan sektor
kehutanan terutama di daerah, pengusaha hutan rakyat, dan akademisi.

Buku ini terdiri dari delapan bab yang dimulai dari Bab I sebagai penda-
huluan dan diakhiri Bab VIII yang merangkum keseluruhan uraian dalam masing-
masing bab. Sementara itu, Bab IIVII menguraikan hasil-hasil penelitian dan
kajian tentang seluruh aspek yang mendasari dipilihnya jenis manglid sebagai alter-
natif spesies untuk pengembangan hutan rakyat di Jawa Barat, termasuk teknik budi
daya dan kemanfaatannya. Penjelasan masing-masing bab terhadap topik bahasan
tentang manglid sebagaimana hal berikut ini.

Bab I adalah pendahuluan yang membahas hutan rakyat manglid di Jawa Barat
secara umum beserta sistematika penyampaian buku ini.

Bab II membahas taksonomi, morfologi, sebaran alami, dan potensi peman-


faatan tegakan manglid untuk sumber benih. Bab ini menyajikan informasi
tentang (a) morfologi daun, warna bunga, batang dan bentuk tajuk yang berguna
untuk membedakan tanaman manglid dengan tanaman kayu-kayuan lainnya, (b)
perkembangan pertumbuhan manglid yang berguna untuk meningkatkan
produktivitasnya, (c) sebaran populasi manglid di wilayah Jawa Barat bagian
timur yang berguna untuk menentukan kesesuaian tempat tumbuh dan wilayah
pengembangannya, dan (d) potensi pemanfaatan hutan rakyat manglid untuk
sumber benih.

Bab III membahas aspek budi daya manglid dan pola interaksinya dengan
tanaman lain. Bab ini menyajikan informasi tentang (a) teknik perbanyakan
manglid (penanganan benih, perkecambahan, penyapihan, pemberian naungan,
dan stek pucuk), (b) jarak tanam, (c) pengendalian hama dan penyakit, dan (d)
pola interaksi manglid dengan beberapa jenis tanaman bawah. Informasi tersebut
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membudidayakan manglid
secara monokultur, campuran, dan agroforestry.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 5


Bab IV membahas daur optimal hutan rakyat manglid. Bab ini menyajikan infor-
masi tentang daur optimal biologis dan ekonomi tegakan manglid, dengan atau
tanpa tambahan pendapatan dari penjualan jasa lingkungan karbon. Informasi
tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan daur
manglid yang paling menguntungkan.

Bab V membahas manfaat lingkungan hutan rakyat agroforestry manglid dalam


bentuk kompleks dan sederhana. Bab ini menyajikan informasi mengenai
cadangan karbon dan hasil air hutan rakyat manglid. Informasi tersebut dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan hutan rakyat
manglid yang menghasilkan manfaat lingkungan tinggi.

Bab VI membahas informasi dasar dan pengolahan kayu manglid. Bab ini menya-
jikan informasi tentang sifat fisik dan pemesinan kayu manglid, rendemen peng-
gergajian kayu manglid, dan pengawetan kayu manglid. Informasi tersebut dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan pemanfaatan kayu
manglid.

Bab VII membahas manfaat sosial ekonomi dan kelayakan finansial hutan rakyat
manglid, serta pemasaran kayu manglid. Bab ini menyajikan informasi tentang (a)
kontribusi pendapatan kayu manglid terhadap total pendapatan dari hutan rakyat,
(b) kelayakan finansial hutan rakyat manglid yang dikelola dalam bentuk
campuran dan agroforestry, dan (c) pemasaran kayu manglid. Informasi tersebut
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola hutan rakyat
manglid dan membantu petani memasarkan hasilnya sehingga berkontribusi
nyata terhadap pendapatan petani.

Bab VIII merupakan penutup buku ini yang menyampaikan rangkuman status
riset dari hasil-hasil penelitian manglid pada bab-bab sebelumnya. Selain itu,
bagian akhir bab ini juga menyampaikan pengembangan dan implikasi kebijakan
yang mungkin dirancang berdasarkan status riset hutan rakyat manglid.

6 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Pendahuluan

Daftar Pustaka

Anonim. (2005). Hutan rakyat Indonesia. Majalah Kehutanan Indonesia, Edisi


III(32).

Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. (2006). Data potensi hutan rakyat
di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kehutanan.

Indrajaya, Y. (2016). Daur optimal hutan rakyat manglid di Kecamatan Kawalu,


Tasikmalaya, Jawa Barat.

Sudomo, A. (2011). Karakteristik pertumbuhan dan tempat tumbuh manglid di hutan


rakyat Babakan Lame, Desa Cikubang, Kecamatan Taraju, Kabupaten
Tasikmalaya. Paper presented at the Workshop Puslitbang Peningkatan
Produktivitas Hutan Tanaman, Bogor.

Wardhana, S. (2005). Peta potensial aktual hasil hutan Indonesia sebagai penghara
industri kehutanan.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 7


BAB IIII
TAKSONOMI DAN EKOLOGI
MANGLID

TAKSONOMI DAN
EKOLOGI MANGLID
Status Taksonomi dan Morfologi Manglid

Aji Winara 1, Aditya Hani1 & Levina Augusta G. Pieter1

ABSTRAK

Manglid merupakan salah satu kayu unggulan hutan rakyat di Jawa Barat bagian timur.
Penamaan manglid secara ilmiah masih simpang siur dan terkadang tertukar dengan jenis
lain sehingga diperlukan identifikasi jenis secara ilmiah dari beberapa jenis manglid yang
dikenal oleh masyarakat. Hasil identifikasi Herbarium Bogoriense LIPI menunjukkan bahwa
semua manglid yang dikenal oleh masyarakat memiliki nama latin Magnolia champaca (L.)
Baill. ex Pierre. dan terdapat satu variasi manglid yang teridentifikasi hingga tingkat varietas,
yaitu Magnolia champaca var. pubinervia (Blume) Figlar & Noot. Selain itu, terdapat variasi
morfologi manglid pada bagian daun, bunga, batang, dan tajuk.

Kata kunci: manglid, taksonomi, morfologi, Jawa Barat

I. Pendahuluan

Manglid telah dikenal di Jawa Barat khususnya bagian timur sebagai komo-
ditas kayu pertukangan asli atau lokal yang banyak dikembangkan di hutan rakyat.
Jenis manglid dikenal oleh masyarakat yang meliputi beberapa variasi morfologi.
Contohnya, masyarakat Sodonghilir, Tasikmalaya, mengenal beberapa jenis manglid
dengan sebutan manglid bodas, manglid bulu, dan manglid tanduk. Hal ini pun ber-
dampak pada kesimpangsiuran dalam memilih jenis variasi manglid yang berkualitas
untuk dibudidayakan. Selain itu, tataran penelitian juga memunculkan permasalahan
penamaan manglid yang kerap tertukar dengan jenis baros (Manglietia glauca) yang
saat ini sedang direvisi menjadi Magnolia blumei. Padahal, manglid dan baros
memiliki perbedaan secara morfologi sehingga tergolong spesies yang berbeda,
meskipun keduanya masih tergabung dalam genus yang sama, yaitu Magnolia.

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 04, Po Box 5 Ciamis 46201
Email: ajiwinara1@gmail.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 11


A. Winara, A. Hani & L.A.G. Pieter

Manglid memiliki banyak penamaan nama latin. Heyne (1987) menyebutkan


bahwa manglid yang dikenal secara lokal di Jawa Barat terdiri atas manglid baros
(Manglietia glauca BL.), manglid bodas (Michelia montana BL.), dan manglid atau
baros (Michelia velutina). Sosef et al. (1998) dalam buku prosea 5 dan Nooteboom
(1988) dalam buku Flora Malesiana menyebutkan bahwa dalam Bahasa Sunda,
manglid atau manglit adalah jenis Michelia montana atau sinonim dari Magnolia
montana, atau disebut juga cempaka jahe karena salah satu ciri M. montana adalah
bagian kayu terasnya mengeluarkan aroma seperti jahe, sedangkan Michelia champaca
var. pubinervia disebut sebagai baros atau manglis (Jawa).

Penamaan jenis tumbuhan secara ilmiah yang merujuk pada nama daerah
terkadang cukup membingungkan karena ada beberapa kesamaan nama daerah
untuk jenis yang berbeda secara taksonomi. Oleh karena itu, untuk memastikan
penamaan manglid secara ilmiah, pengumpulan sampel herbarium manglid dilakukan
di Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya, yang selanjutnya dilakukan identifikasi jenis
oleh Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi (Puslit-
bang Biologi), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Bogor.

II. Metodologi

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan AprilMei 2015. Lokasi penelitian


adalah Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis; Kecamatan Pagerageung,
Ciawi, dan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan antara lain gunting stek, perlengkapan pembuatan her-
barium, dan kamera. Sementara itu, bahan yang digunakan antara lain alkohol dan
sampel herbarium manglid yang meliputi daun, bunga, dan buah.

12 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Status Takson omi dan Morfologi Manglid

C. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan teknik eksplorasi dan identifikasi morfologis.


Eksplorasi tegakan manglid dilakukan untuk mengumpulkan sampel herbarium
lengkap berdasarkan pada perbedaan variasi morfologi manglid. Setiap tegakan
manglid dikumpulkan sampel herbariumnya sebanyak lima buah untuk kemudian
dilakukan pengeringan oven pada suhu 70C selama tiga hari. Identifikasi jenis
dilakukan oleh Herbarium Bogoriense Puslitbang Biologi LIPI, sedangkan pertelaan
morfologi manglid dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Agroforestry, Ciamis.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Taksonomi Jenis

Hasil identifikasi Herbarium Bogoriense Puslitbang Biologi LIPI menunjuk-


kan bahwa semua variasi morfologi tanaman yang dikenal oleh masyarakat dengan
nama manglid teridentifikasi secara taksonomi dengan nama jenis Magnolia
champaca (L.) Baill. Ex Pierre dan terdapat satu variasi manglid yang teridentifikasi
hingga tingkat varietas, yaitu Magnolia champaca var. pubinervia (Blume) Figlar &
Noot. Keduanya memiliki perbedaan morfologi daun dan batang sebagaimana
Gambar 1, 2, dan 3. Menurut Nooteboom (1988), jenis Magnolia champaca terdiri
atas dua varietas atau penamaan di bawah subspesies, yaitu Magnolia champaca var.
champaca dan Magnolia champaca var. pubinervia. Demikian pula dalam dokumentasi
herbarium beberapa komunitas herbarium internasional (www.theplantlist.org) dan
indeks nama tumbuhan internasional (www.ipni.org).

Jenis M. champaca var. champaca dikenal dengan nama perdagangan kayu


cempaka atau dalam bahasa daerah disebut campaka bodas (Sunda) atau kantil (Jawa).
Varietas ini memiliki kekhasan pada struktur kayu berupa kayu teras yang berwarna
lebih terang dan bunganya yang sangat wangi. Sementara itu, manglid dengan nama
latin M. champaca var. pubinervia memiliki struktur kayu teras lebih gelap dan bunga

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 13


A. Winara, A. Hani & L.A.G. Pieter

yang tidak terlalu wangi. Kayu manglid juga tidak mengeluarkan aroma bau jahe
sehingga jenis manglid tidak tergolong cempaka gunung (Sunda) atau Michelia
montana sinonim Magnolia montana.

Secara umum, jenis M. champaca tergolong genus Magnolia, famili Magnolia-


ceae, ordo Magnoliales, kelas Magnoliopsida, divisi Magnoliophyta, dan kerajaan
Plantae. Jenis tumbuhan yang tergolong famili Magnoliaceae terdapat 223 jenis dan
25 jenis di antaranya terdapat di Indonesia dengan status konservasi belum
terevaluasi (Rozak, 2012).

Beberapa genus yang termasuk famili Magnoliaceae telah mengalami peng-


gabungan, yaitu genus Michelia, Manglietia, Kmeria, Elmerrilia, Pachylarnax, dan
Magnolia menjadi genus Magnolia. Revisi ini didasarkan pada kedekatan secara
DNA di antara semua genus tersebut (Figlar & Nooteboom, 2004). Sebelum
mengalami revisi, jenis Magnolia champaca dikenal dengan nama jenis Michelia
champaca dan demikian pula dengan Michelia champaca var. pubinervia. Setelah
adanya penelitian mengenai sekuensi DNA jenis-jenis dalam famili Magnoliaceae
yang dilakukan oleh Kim et al. (2001) dan Azuma et al. (2001); nama latin spesies
manglid mengalami revisi dari Michelia champaca menjadi Magnolia champaca dan
nama varietas manglid menjadi Magnolia champaca var. pubinervia. Meskipun hasil
identifikasi morfologis dari beberapa sampel herbarium manglid teridentifikasi
sebagai M. champaca dan M. champaca var. pubinervia, penamaan manglid dapat
dilakukan hingga nama jenis, yaitu M. champaca dengan membedakan penamaan
kayu perdagangan dengan jenis cempaka.

B. Morfologi Jenis

Hasil eksplorasi manglid yang terdapat pada hutan rakyat ditemukan beberapa
variasi morfologi manglid, meskipun secara taksonomi masih tergolong satu jenis,
yaitu Magnolia champaca. Perbedaan yang nyata tampak pada variasi bentuk daun
dan pertumbuhan sehingga manglid oleh masyarakat dikenal menjadi lima variasi.
Meskipun demikian, variasi tersebut masih dalam jenis yang sama secara morfologis
sehingga hanya menunjukkan rentang bentuk morfologi.

14 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Status Takson omi dan Morfologi Manglid

1. Batang dan Tajuk

Habitus manglid tergolong pohon dengan tinggi mencapai 50 m dan diameter


180 cm. Batangnya silindris dengan permukaan licin hingga berlentisel, serta ter-
dapat bercak abu-abu dan coklat kemerahan (Gambar 1). Batang manglid yang
teridentifikasi hingga tingkat varietas (M. champaca var. pubinervia) tergolong licin
dan berbercak putih abu-abu (Gambar 1a), sedangkan batang manglid yang teriden-
tifikasi hingga tingkat jenis (M. champaca) tergolong licin berbercak coklat keme-
rahan dan berlentisel (Gambar 1b, 1c, dan 1d).

a b c d
Gambar 1. Morfologi batang Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca
(b, c, dan d)

a b

Gambar 2. Bentuk tajuk Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca (b)

Bentuk tajuk manglid terdiri atas dua bentuk, yaitu membulat (Gambar 2a)
dan bulat mengerucut (Gambar 2b). Bentuk tajuk yang bulat mengerucut memiliki
batang yang berlentisel (kasar) (Gambar 1d), sedangkan manglid yang memiliki tajuk
membulat memiliki batang yang licin atau tidak berlentisel. Manglid dengan bentuk

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 15


A. Winara, A. Hani & L.A.G. Pieter

tajuk bulat mengerucut memiliki cabang cenderung mudah lepas (self pruning),
sedangkan manglid dengan bentuk tajuk membulat memiliki cabang yang lebih kuat.

2. Daun

Secara morfologi, daun manglid berbentuk menjorong dengan tingkat men-


jorong bervariasi (Gambar 3). Ukuran daun 1030 x 410 cm; ujung pangkal daun
membaji dan ujung daun sering melancip pendek atau melonjong dengan ukuran 7
(1325) mm; duduk daun spiral. Stipul atau daun penumpu seluruhnya berbulu
padat. Warna daun hijau tua hingga hijau kekuningan dengan permukaan daun
bagian atas licin agak mengkilap hingga kusam agak kasar. Ranting dan tulang, serta
urat daun bagian bawah berbulu; tulang daun lebih menonjol dari urat daun; urat
daun berjumlah 1423 pasang. Tangkai daun dengan panjang luka bekas stipul
mencapai 0,30,7 kali dari panjang stipul dan panjang tangkai daun 14(3640) mm.

a b c
Gambar 3. Morfologi daun Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca
(b dan c)

3. Bunga

Bunga berwarna kuning terang hingga oranye tua; tepal 15 buah dengan
ukuran panjang 2045 mm; stamen 68 mm dengan jarak konektif hingga 1 mm,
berjumlah 30; panjang gynofor 3 mm dengan bulu padat. Bunga memiliki bau wangi
yang khas, namun tidak sewangi bunga cempaka. Pembungaan manglid biasanya
terjadi pada bulan Januari hingga April.

16 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Status Takson omi dan Morfologi Manglid

a b c
Gambar 4. Morfologi bunga Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca
(b dan c)

4. Buah

Buah manglid bertipe kapsul bertekstur kasar benjol-benjol dengan panjang 5


15 cm (Gambar 5). Buah tersusun dalam tandan yang terdiri atas 1015 karpel yang
akan merekah saat masak (Gambar 5b) dan di dalam karpel terdapat biji. Buah
muda berwarna hijau (Gambar 5a) dan buah matang berwarna merah (Gambar 5b
dan 5c). Biji manglid memiliki tekstur berdaging dan benih yang keras berwarna
hitam.

a b c

Gambar 5. Morfologi buah manglid: buah muda (a); buah matang (b); biji muda dan
matang (c)

IV. Kesimpulan

Secara taksonomi, jenis manglid tergolong spesies Magnolia champaca (L.)


Baill. ex Pierre. dengan tingkat varietas Magnolia champaca var. pubinervia (Blume)
Figlar & Noot. Terdapat beberapa variasi manglid di hutan rakyat yang memiliki
perbedaan pertelaan morfologi daun, warna bunga, batang, dan bentuk tajuk.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 17


A. Winara, A. Hani & L.A.G. Pieter

Daftar Pustaka

Azuma, H., Garca-Franco, J. G., Rico-Gray, V., & Thien, L. B. (2001). Molecular
phylogeny of the Magnoliaceae: the biogeography of tropical and temperate
disjunctions. American Journal of Botany, 88(12), 2275-2285.

Figlar, R. B., & Nooteboom, H. P. (2004). Notes on Magnoliaceae IV. Blumea-


Biodiversity, Evolution and Biogeography of Plants, 49(1), 87-100.

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Bogor, Indonesia: Badan
Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan

Kim, S., Park, C.-W., Kim, Y.-D., & Suh, Y. (2001). Phylogenetic relationships in
family Magnoliaceae inferred from ndhF sequences. American Journal of
Botany, 88(4), 717-728.

Nooteboom, H. P. (1988). Magnoliaceae. Flora Malesiana ser. I, vol 103. Leiden,


The Netherlands.

Rozak, A. H. (2012). Status taksonomi, distribusi dan kategori status konservasi


magnoliaceae di indonesia. Buletin Kebun Raya, 15(2), 81-92.

Sosef, M., Hong, L., & Prawirohatmodjo, S. (1998). PROSEA 5 (3) Timber trees:
lesser known species: Backhuys Publishers, Leiden.

18 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Perkembangan Tegakan Manglid (Magnolia champaca) pada
Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya

Budiman Achmad 1

ABSTRAK

Manglid adalah jenis pohon yang banyak dikembangkan oleh petani hutan rakyat di Kabu-
paten Tasikmalaya, tetapi sarana pendukungnya masih lemah. Penelitian ini bertujuan
mengetahui perkembangan tegakan manglid dan potensi kelestarian hasilnya. Penelitian
dilakukan pada bulan MaretJuli 2011 di tiga desa, yaitu Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal,
dan Karyabakti, Kabupaten Tasikmalaya. Pengambilan data dilakukan dengan cara inven-
tarisasi terhadap 20 blok hutan rakyat sehingga total ada 60 blok hutan rakyat. Data dimensi
tegakan dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perkembangan tegakan manglid pada hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya cukup
besar ditandai dengan tingginya porsi manglid pada hampir semua hutan rakyat di semua
lokasi penelitian. Akan tetapi, perkembangan pohon manglid terancam tidak berkelanjutan
karena potensi keunggulan manglid terhambat karena terlalu tingginya kepadatan populasi
dan terlalu sempitnya rata-rata pemilikan hutan. Untuk meningkatkan peluang kelestarian
hutan berbasis manglid di Kabupaten Tasikmalaya, kepadatan tegakan perlu dikurangi,
terutama di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta. Sementara untuk Desa Sepatnunggal,
struktur tegakan manglid perlu diperbaiki dengan meningkatkan populasi tegakan muda.

Kata kunci: hutan rakyat, kelestarian, manglid, Tasikmalaya.

I. Pendahuluan

Hutan rakyat dan kelestarian hasil adalah isu yang tidak bisa dipisahkan.
Pengembangan jenis tanaman pada hutan rakyat selalu dikaitkan dengan perkiraan
waktu panen atau daur, sedangkan pemilihan jenis tanaman tertentu selalu dihu-
bungkan dengan tujuan pengembangannya. Manglid adalah jenis pohon cepat tum-

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Pamalayan, Ciamis
Email: budah59@yahoo.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 19


B. Achmad

buh (fast growing species) yang mempunyai postur batang relatif lurus, tetapi daurnya
lebih panjang dibandingkan dengan sengon. Pengembangan manglid pada hutan
rakyat di Kabupaten Tasikmalaya ditujukan sebagai tabungan jangka panjang dan
sekaligus untuk konservasi pada lahan-lahan miring.

Rata-rata pemilikan hutan di Kabupaten Tasikmalaya tergolong sempit, yaitu


0,10,36 ha. Sempitnya lahan hutan tidak memungkinkan petani mengandalkan
pendapatan hanya dari hasil hutan saja, tetapi harus juga mempunyai sumber
pendapatan yang lain. Beberapa sumber pendapatan petani hutan di Kabupaten
Tasikmalaya, antara lain dari sektor jasa, sawah, hutan, kolam ikan, ternak dan
kiriman keluarga. Dari beberapa sumber pendapatan tersebut, pendapatan dari sek-
tor hutan rakyat bukan menjadi sumber utama, tetapi dari sektor jasa. Kondisi
tersebut mengisyaratkan bahwa pengelolaan hutan rakyat di Tasikmalaya butuh
pemilihan jenis yang sesuai dengan karakter sosial ekonomi petani dan biofisiknya.
Pengembangan jenis manglid pada hutan rakyat perlu dievaluasi kesesuaiannya
dengan karakter tersebut.

Kontribusi pendapatan petani dari tegakan manglid tidak lebih baik dari
kontribusi pendapatan dari tegakan sengon. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Diniyati et al. (2011) menunjukkan bahwa sumbangan pendapatan yang cukup besar
dari manglid hanya berasal dari Desa Tanjungkerta, yaitu 56,71%. Sementara itu,
sumbangan pendapatan dari tegakan manglid di Desa Sepatnunggal dan Karyabakti
masih lebih rendah daripada tegakan sengon. Hal tersebut disebabkan oleh daur
ekonomi manglid yang rata-rata mencapai dua kali lebih lama dibandingkan dengan
daur ekonomi sengon.

Berdasarkan penjelasan diatas, hal yang menarik untuk dikaji adalah


bagaimana perkembangan tegakan manglid di Kabupaten Tasikmalaya dan seberapa
besar potensi kelestariannya. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan mengetahui
perkembangan tegakan manglid pada hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya dalam
hubungannya dengan pemanfaatannya secara lestari.

20 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Perk emb an gan Tegak an M a n g l id (M a g n ol ia cha m pa ca)

II. Metodologi

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Tasikmalaya pada tiga desa terpilih yang


mewakili wilayah pembangunan Tasikmalaya, yaitu Desa Tanjungkerta, Sepatnung-
gal dan Karyabakti. Alasan pemilihan lokasi tersebut karena banyak dikembangkan
hutan rakyat dengan berbagai pola tanam, seperti monokultur, agroforestry, dan
polycultur. Selain itu, lokasi tersebut terdapat pula kelompok tani yang berhubungan
dengan hutan rakyat. Penelitian dilaksanakan pada bulan MaretJuli 2011.

B. Pengambilan Sampel Penelitian

Sampel penelitian terdiri dari dua saaran, yaitu petani dan informan kunci
sebagai subjek pelaku (responden), dan tegakan hutan rakyat sebagai objek aktivitas.

1. Petani dan Informan Kunci

Unit analisis yang dijadikan sebagai responden, yaitu:


- Petani hutan rakyat anggota kelompok tani. Pemilihan responden dilakukan
secara acak sederhana (simple random sampling) dengan jumlah responden
untuk setiap desa sebanyak 20 orang.
- Informan kunci yang mengetahui dan memahami tentang hutan rakyat di
setiap lokasi penelitian. Pemilihan informan kunci dilakukan secara sengaja
(purposive sampling) dengan teknik penilaian (judgment) (Sarwono, 2006).
Jumlah informan kunci untuk seluruh lokasi penelitian sebanyak 7 orang.

2. Tegakan Hutan Rakyat

- Pemilihan tegakan dilakukan secara stratified random sampling berdasarkan


luas kepemilikan lahan. Dari setiap responden, sebanyak satu blok hutan
dipilih berdasarkan kriteria luas lahan tersebut sehingga setiap desa diperoleh
20 objek hutan yang berlainan luasannya.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 21


B. Achmad

- Pelaksanaan sensus potensi tegakan, termasuk inventarisasi tanaman bawah.


Parameter yang diukur adalah tinggi dan diameter pohon, serta jumlah dan
jenis tanaman bawah.

C. Analisis Data

Data yang telah diperoleh diolah dalam bentuk tabulasi atau gambar untuk
mengetahui kondisi petani, pemanfaatan lahan, dan hutan rakyat. Tujuan pengo-
lahan data adalah menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca
dan diinterpretasikan (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2000; Singarimbun
& Efendi, 1989). Potensi tegakan dihitung menggunakan rumus:

Vp = Lbds x h x f

Lbds = 0.25 D2

Yang mana:
Vp = volume pohon
Lbds = luas bidang dasar
h = tinggi pohon
f = faktor bentuk pohon (0,7)
= 3,1415
D = diameter setinggi dada

Data yang telah dikelompokkan dalam bentuk tabulasi dan gambar dianalisis
dengan teknik kualitatif (deskriptif). Teknik kualitatif yakni mengolah dan meng-
analisis data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematik, teratur, terstruktur,
dan mempunyai makna (Sarwono, 2006).

III. Hasil dan Pembahasan

A. Potensi dan Kerapatan Tegakan Manglid

Berdasarkan hasil observasi lapangan di tiga lokasi penelitian diperoleh data


bahwa tanaman penyusun hutan rakyat dapat dikelompokkan menjadi tanaman

22 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Perk emb an gan Tegak an M a n g l id (M a g n ol ia cha m pa ca)

kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah, dan tanaman obat. Terdapat kecen-
derungan bahwa semakin tinggi tempat tumbuh, semakin berkurang jumlah jenis
pohon yang tumbuh. Berdasarkan jumlahnya, jenis pohon yang paling banyak
dijumpai pada hutan rakyat adalah di Desa Karyabakti, yaitu 53 jenis. Desa
Karyabakti mempunyai ketinggian tempat tumbuh 600 m dari permukaan laut (dpl).
Sementara itu, jenis pohon yang paling sedikit dijumpai pada hutan rakyat adalah di
Desa Tanjungkerta, yaitu 26 jenis. Desa ini berada pada ketinggian 900 m dpl.

Rata-rata petani di Kabupaten Tasikmalaya hanya memiliki hutan dengan


luas 0,100,36 ha. Padahal, Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997
tanggal 20 Januari 1997 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hutan rakyat
adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dan penutupan
tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis tanaman lainnya >50%, dan atau pada
tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman/ha.
Berdasarkan ketentuan tersebut, hanya hutan rakyat yang ada di Desa Sepatnunggal
saja yang memenuhi kriteria dan dapat disebut sebagai hutan rakyat.

Meskipun luas lahan yang dimiliki petani di Desa Karyabakti dan Tanjung-
kerta sangat sempit, yakni hanya 0,10 ha dan 0,11 ha, tetapi minat petani untuk
menanam pohon di kedua desa tersebut sangat tinggi. Hal ini dicerminkan oleh
tingginya populasi tanaman yang berturut-turut mencapai 1.962 pohon/ha di Desa
Karyabakti dan 1.729 pohon/ha di Desa Tanjungkerta. Hal ini kemungkinan
didorong oleh keinginan untuk mendapatkan hasil yang tinggi dari lahan yang
sempit tersebut sehingga petani berusaha menanami lahannya dengan sebanyak-
banyaknya pohon. Sikap petani seperti itu justru menyebabkan tingginya persaingan
untuk memperoleh ruang tumbuh dan hara tanah sehingga pertumbuhan pohon
semakin tertekan.

Kondisi yang lebih ideal ditunjukkan oleh petani di Desa Sepatnunggal yang
mengembangkan sebanyak 44 jenis pohon dengan kepadatan 520 pohon/ha. Rata-
rata luas pemilikan hutan di Desa Sepatnunggal adalah tiga kali lebih luas
dibandingkan dengan rata-rata luas pemilikan hutan di Desa Karyabakti dan
Tanjungkerta, tetapi kerapatannya justru sepertiga dari kerapatan tegakan di Desa

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 23


B. Achmad

Tanjungkerta dan Karyabakti. Kondisi yang berkebalikan tersebut memberikan


gambaran bahwa petani di Desa Sepatnunggal kemungkinan lebih banyak mem-
peroleh informasi tentang pengelolaan hutan yang baik dan benar. Hal ini juga
tercermin dari keputusan petani Desa Sepatnunggal yang lebih fokus pada perba-
nyakan jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti manglid mencapai
lebih dari setengah populasi tegakan, yaitu 292 pohon/ha untuk jenis manglid dari
total 520 pohon/ha untuk semua jenis, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Ringkasan banyaknya jenis dan kerapatan pohon

Tinggi tempat Pemilikan Jumlah Kerapatan semua


Lokasi penelitian
(m dpl) hutan (ha) jenis jenis (pohon/ha)
Desa Karyabakti 600 0,10 53 1.962
Desa Sepatnunggal 700 0,36 44 520

Desa Tanjungkerta 900 0,11 26 1.729

Sumber: diolah dari data primer 2011

Salah satu faktor yang memengaruhi pengelolaan hutan adalah luas unit
usaha, yaitu harus memenuhi kriteria skala ekonomis. Oleh karena itu, perbedaan
luas pemilikan hutan memaksa petani untuk melakukan strategi pengelolaan yang
berbeda pula. Berdasarkan luas lahannya, petani hutan rakyat di Desa Sepatnunggal
lebih berpeluang mencapai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan petani di
Desa Karyabakti dan Tanjungkerta. Hal ini selain disebabkan rata-rata pemilikan
hutanya lebih luas, kemungkinan juga disebabkan petani di Desa Sepatnunggal tidak
terlalu menggantungkan kebutuhan hidupnya dari hutan saja karena mereka mem-
punyai sumber pendapatan lain yang lebih besar, seperti dari usaha dagang (sektor
jasa). Hal yang berbeda dialami oleh petani di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta
yang mana pendapatan dari sektor selain hutan relatif kecil sehingga hutan menjadi
tumpuan utama. Tingginya tingkat ketergantungan ditambah dengan kurangnya
informasi tentang pengelolaan hutan yang baik menyebabkan mereka berupaya

24 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Perk emb an gan Tegak an M a n g l id (M a g n ol ia cha m pa ca)

mendapatkan penghasilan dari usaha hutan sebesar mungkin dengan menanam


sebanyak-banyaknya pohon.

Tabel 2. Ringkasan data potensi tegakan manglid di lokasi penelitian

Nilai rata-rata dari pohon Kerapatan


Total volume Prioritas
Lokasi penelitian Diameter Tinggi Volume tegakan
(m3/ha) ke
(cm) (m) (m3) (pohon/ha)
Desa Karyabakti 7,77 5,05 0,03 332 9,96 1

Desa Sepatnunggal 7,85 5,03 0,04 292 11,68 1


Desa Tanjungkerta 7,93 5,27 0,05 319 15,95 2

Sumber: diolah dari data primer 2011

B. Sebaran Jenis Pohon Penyusun Hutan Rakyat

Berdasarkan data sebaran jenis pohon seperti ditampilkan pada Gambar 1


terlihat bahwa tiga jenis pohon yang dominan dikembangkan petani di Desa
Karyabakti berturut-turut adalah manglid, sengon, dan mahoni. Besarnya populasi
manglid hampir seimbang dengan populasi sengon. Tinggi tempat tumbuh di Desa
Karyabakti sangat ideal bagi pertumbuhan hampir semua jenis pohon sehingga wajar
jika jenis tanaman yang dijumpai sangat banyak. Kesesuaian tempat tumbuh bagi
banyak jenis pohon tersebut disikapi oleh petani secara kurang bijaksana dengan
memperbanyak populasi pohon sehingga justru menghambat pertumbuhan diameter
pohon. Petani di Desa Karyabakti seharusnya melakukan penjarangan keras untuk
memberi kesempatan pada pohon agar bisa tumbuh lebih besar.

Berdasarkan data sebaran jenis pohon pada Gambar 2, terlihat bahwa tiga
jenis pohon yang dominan dikembangkan petani di Desa Sepatnunggal berturut-
turut adalah manglid, mahoni, dan sengon. Populasi manglid pada hutan rakyat di
Desa Sepatnunggal sangat mencolok, yakni lebih dari 40%; sedangkan mahoni
hanya 15% dan sengon kurang dari 10%. Petani di desa ini mulai memperbanyak
pohon manglid kemungkinan karena adanya isu banyaknya penyakit karat tumor
yang menyerang sengon. Kemungkinan lain karena petani di desa ini mengetahui

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 25


B. Achmad

nilai dan prospek ekonomi manglid. Hal ini terlihat dari Tabel 1 dan Gambar 2.
Meskipun jenis yang dikembangkan cukup banyak, yaitu 44 jenis pohon; petani di
Desa Sepatnunggal sudah cerdas dengan memprioritaskan jenis pohon yang lebih
bernilai ekonomi.

Gambar 1. Sebaran populasi jenis pohon pada hutan rakyat di Desa Karyabakti

Gambar 2. Sebaran populasi jenis pohon pada hutan rakyat di Desa Sepatnunggal

Data sebaran jenis pohon pada Gambar 3 diperoleh informasi bahwa tiga jenis
pohon yang dominan dikembangkan oleh petani di Desa Tanjungkerta berturut-

26 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Perk emb an gan Tegak an M a n g l id (M a g n ol ia cha m pa ca)

turut adalah mahoni, manglid, dan sengon. Populasi manglid di Desa Tanjungkerta
berada pada urutan kedua setelah mahoni, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan
sengon. Perbedaan populasi dari ketiga jenis pohon tersebut di hutan rakyat Desa
Tanjungkerta tidak terlalu mencolok. Hal ini menggambarkan bahwa petani di desa
ini masih mengandalkan mahoni dan sengon sebagai hasil kayu utama dari hutan
rakyat karena kedua jenis pohon tersebut telah mempunyai pasar secara jelas. Kayu
mahoni dan sengon adalah bahan baku utama pembuatan papan palet (ukuran 8 x 10
x 130 cm) bagi industri besar yang ada di Tasikmalaya dan Banjar.

Gambar 3. Sebaran populasi jenis pohon pada hutan rakyat di Desa Tanjungkerta

Manglid termasuk dalam jenis pohon yang cepat tumbuh, meskipun pertum-
buhannya lebih lambat dibandingkan dengan pohon sengon. Hasil penelitian Li-
Hua et al. (2014) di Vietnam menyatakan bahwa ketinggian tempat tumbuh yang
paling sesuai untuk pohon manglid adalah 550 m dpl. Akan tetapi, menurut World
Agroforestry Center (2011), pertumbuhan mangid di Vietnam masih baik pada
tempat tumbuh dengan ketinggian 550700 m dpl. Sementara itu, ketinggian
tempat tumbuh paling baik bagi sengon adalah 800 m dpl. Berdasarkan ketinggian
tempat tumbuh pohon manglid di lokasi penelitian menunjukkan bahwa Desa
Karyabakti dan Desa Sepatnunggal mempunyai ketinggian yang masih sesuai untuk
perkembangan manglid. Sebaliknya, Desa Tanjungkerta dengan ketinggian 900 m

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 27


B. Achmad

dpl kurang sesuai untuk perkembangan manglid sehingga keputusan petani


mengembangkan pohon manglid pada hutan rakyat di Tajungkerta berpotensi
menghadapi kendala pertumbuhan. Oleh karena itu, pemilihan manglid sebagai jenis
prioritas oleh petani di Desa Karyabakti dan Sepatnunggal dinilai tepat. Demikian
halnya dengan pemilihan manglid sebagai jenis prioritas kedua setelah mahoni oleh
petani di Desa Tanjungkerta juga masih bisa ditolerir.

Menurut World Agroforestry Center (2011), pertumbuhan manglid (Mang-


lietia glauca) pada tempat tumbuh yang rendah (<400 m dpl) kurang menunjukkan
performa yang baik. Tegakan manglid umur 1213 tahun hanya mempunyai riap
rata-rata tahunan (MAI) sebesar 89 m3/ha/tahun. Sementara itu, pertumbuhan
manglid umur 1530 tahun pada ketinggian tempat tumbuh 400700 m dpl
tergolong baik, yaitu mempunyai nilai MAI sebesar 1014 m3/ha/tahun. Pertum-
buhan awal pohon manglid dan penutupan tajuknya relatif lambat sehingga cocok
ditumpangsarikan dengan tanaman semusim, seperti jagung atau kapulaga.

Kayu manglid lebih banyak dipergunakan untuk bahan mebel sehingga rata-
rata diameter minimal yang disyaratkan adalah 20 cm. Hal ini berbeda dengan
kegunaan kayu mahoni dan sengon yang lebih banyak digunakan untuk memasok
bahan baku industri kayu gergajian ukuran kecil seperti palet (ukuran 6 x 10 x 130
cm) pada industri pengolahan di Tasikmalaya dan Banjar.

C. Potensi Kelestarian Hasil Tegakan Manglid

Rata-rata luas pemilikan hutan rakyat di lokasi penelitian adalah 0,100,36


ha. Untuk memperoleh hasil (pendapatan) yang berkelanjutan pada lahan yang
sempit dibutuhkan tanaman yang bisa cepat dipanen. Sementara itu, waktu panen
yang besarnya dua kali lebih lama dibandingkan dengan waktu panen sengon
menyebabkan pengembangan manglid kurang menarik sehingga minat petani
terhadap manglid terancam menurun.

Dominasi jenis manglid di Desa Sepatnunggal yang populasinya hampir


mencapai 50% ternyata tidak didukung oleh cadangan tanaman muda yang nantinya
akan mengisi kelas diameter yang lebih tinggi. Dengan kata lain, populasi tegakan

28 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Perk emb an gan Tegak an M a n g l id (M a g n ol ia cha m pa ca)

manglid didominasi oleh pohon berukuran besar. Hal ini berbeda kondisinya
dengan manglid di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta yang menunjukkan struktur
tegakan dengan sebaran kelas diameter lebih normal (Gambar 4). Populasi anakan
manglid pada hutan rakyat di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta jumlahnya lebih
banyak dibandingkan dengan populasi anakan manglid di Desa Sepatnunggal.
Struktur tegakan seperti di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta mendorong
terciptanya kelestarian hasil, khususnya pada hutan rakyat berbasis manglid.

Gambar 4. Sebaran kelas diameter tegakan manglid di Desa Sepatnunggal, Karyabakti, dan
Tanjungkerta

Daur ekonomi tegakan manglid hampir dua kali lebih lama dibandingkan
tegakan sengon. Sementara itu, harga kayu manglid tidak terlalu berbeda dengan
harga kayu sengon. Berdasarkan perbandingan tersebut, pengembangan manglid
secara besar-besaran pada lahan sempit dari aspek kecepatan cash flow kurang
menguntungkan petani. Tegakan manglid lebih sesuai ditujukan untuk kepentingan
ekonomi jangka panjang (semacam tabungan), sekaligus untuk tujuan konservasi
tanah dan air. Pengembangan manglid di Kabupaten Tasikmalaya yang mayoritas

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 29


B. Achmad

lahannya sempit masih mempunyai prospek yang baik jika ditumpangsarikan dengan
tanaman semusim sehingga pendapatan jangka pendek tetap diperoleh petani.

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Secara umum, perkembangan manglid pada hutan rakyat di Kabupaten


Tasikmalaya tergolong cukup besar. Hal ini terbukti dari dominasi jenis tersebut di
hampir semua hutan rakyat di wilayah tersebut. Seperti halnya sengon, manglid
termasuk jenis pohon cepat tumbuh (fast growing species), tetapi mempunyai masa
panen relatif lebih lama dibandingkan dengan pohon sengon.

Luas pemilikan hutan di Kabupaten Tasikmalaya yang rata-rata sempit


menjadi faktor pembatas dari pengembangan jenis manglid. Hal tersebut disebab-
kan pendapatan dari pohon manglid terlalu lama untuk menopang kebutuhan petani.
Selain itu, kerapatan tegakan manglid pada hutan rakyat di Desa Karyabakti dan
Tanjungkerta dinilai terlalu tinggi.

Dari aspek kelestarian hasil, manglid adalah jenis pohon yang sesuai
dikembangkan pada hutan rakyat melalui pola agroforestry agar diperoleh hasil yang
berkelanjutan, yaitu hasil jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Untuk lebih menjamin kelestarian hutan berbasis manglid, struktur tegakan manglid
di Desa Sepatnunggal perlu diperbaiki dengan menambah anakan. Selain itu, untuk
meningkatkan peluang kelestarian hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya,
pengaturan kerapatan menjadi penting dilakukan dengan cara menjarangi jenis-jenis
yang kurang bernilai ekonomi.

B. Saran

Mengingat lahan yang dimiliki petani relatif sempit (rata-rata 0,100,36 ha),
sebaiknya kerapatan tegakan dikurangi agar tersedia ruang tumbuh yang lebih luas
bagi pohon dan tanaman bawah yang menjadi sumber pendapatan jangka pendek.

30 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Perk emb an gan Tegak an M a n g l id (M a g n ol ia cha m pa ca)

Daftar Pustaka

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. (2000). Pedoman survei sosial ekonomi


kehutanan Indonesia. Jakarta, Indonesia: Pusat Sosial dan Ekonomi Kehutanan
dan Perkebunan, Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan. Departemen
Kehutanan dan Perkebunan.

Diniyati, D., Widyaningsih, T., Fauziyah, E., Mulyati, E., & Suyarno. (2011). Pola
agroforestry di hutan rakyat penghasil kayu pertukangan (manglid). Laporan
Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis: Balai
Penelitian Teknologi Agroforestry.

Li-Hua, L., Ri-ming, H., Rui-hong, N., & Zhong-guo, L. (2014). Responses of
Manglietia glauca growth to soil nutrients and climatic factors. Yingyong
Shengtai Xuebao, 25(4).

Sarwono, J. (2006). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif: Graha Ilmu,


Yogyakarta.

Singarimbun, M., & Efendi. (1989). Metode penelitian survei. Jakarta, Indonesia:
LP3ES.

World Agroforestry Center. (2011). Timber supply and demand and growth
potential of fast growing tree species in the northwest region of Vietnam.
AFLI Technical Report No. 6.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 31


Sebaran dan Karakteristik Hutan Rakyat Manglid, serta
Potensinya untuk Pengembangan Sumber Benih di Wilayah
Priangan Timur1

Asep Rohandi 2 & Gunawan2

ABSTRAK

Manglid (Magnolia champaca) merupakan jenis potensial dan salah satu jenis unggulan untuk
hutan rakyat di Jawa Barat. Jenis ini sudah cukup dikenal dan banyak dibudidayakan
masyarakat, khususnya di wilayah Jawa Barat bagian timur (Priangan Timur). Terbatasnya
sumber benih untuk menghasilkan benih berkualitas unggul dan kurangnya informasi lahan
potensial merupakan beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya pengembangan jenis ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman manglid tersebar di sebagian besar wilayah
Priangan Timur, yaitu di Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Sumedang.
Karakteristik tegakan didominasi oleh hutan campuran yang berasosiasi dengan jenis
tanaman sengon, suren, tisuk, khaya, kaliandra, alpokat, dan kayu manis. Tegakan
didominasi tanaman muda berumur 110 tahun dengan kisaran tinggi 436 m dan diameter
372 cm. Jenis ini tumbuh pada jenis tanah latosol, andosol, campuran latosol & andosol,
aluvial, dan podsolik merah kuning pada ketinggian 4001.200 m dpl, curah hujan 1.500
3.500 mm/tahun, dan kelerengan 045%. Terdapat beberapa populasi/tegakan manglid yang
cukup potensial untuk dijadikan sumber benih yang berlokasi di Desa Wandasari,
Kecamatan Bojonggambir, Kab. Tasikmalaya; Desa Jaya Mekar, Kecamatan Cibugel,
Kabupaten Sumedang; dan Desa Lebak Baru, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Ciamis.

Kata kunci: hutan rakyat, manglid, sebaran populasi, Priangan Timur, sumber benih

1
Tulisan ini telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Silvikultur II Pembaruan Silvikultur untuk
Mendukung Pemulihan Fungsi Hutan menuju Ekonomi Hijau, di Yogyakarta, 28-29 Agustus 2014
2
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jalan Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Po. Box 5 Ciamis 46201
Email: gunawanbpkc@yahoo.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 33


Sebar an dan K arak t eris t ik H ut an R ak y at M a n g l id

I. Pendahuluan

Manglid (Magnolia champaca) merupakan salah satu jenis pohon potensial dan
telah ditetapkan sebagai salah satu tanaman unggulan hutan rakyat di Jawa Barat,
serta diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani (Rimpala, 2001). Jenis ini
memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, cukup dikenal, dan sudah banyak
dibudidayakan masyarakat, terutama di wilayah Jawa Barat bagian timur (Priangan
Timur). Manglid merupakan pohon cepat tumbuh yang tingginya dapat mencapai
40 m dan diameternya sebesar 150 cm (Hildebran, 1935 dalam Rimpala, 2001). Jenis
ini disukai oleh masyarakat karena kayunya mengkilat; strukturnya padat, halus, dan
ringan; dan mudah dikerjakan atau diolah untuk berbagai penggunaan. Dengan BJ
0,4, kelas kuat III dan kelas awet II; kayu manglid dapat digunakan sebagai bahan
pembuatan jembatan, perkakas rumah tangga (meja, kursi, lemari), hiasan kayu,
patung, ukiran, kayu lapis, dan pulp (Prosea, 1998 dalam Rimpala, 2001).

Keberhasilan pengembangan jenis ini perlu didukung oleh beberapa faktor,


antara lain ketersediaan benih berkualitas unggul dalam jumlah yang cukup dan
berkesinambungan. Benih merupakan unsur strategis karena benih mengawali
pengembangan segenap fungsi hutan, dari hutan industri hingga hutan untuk
perlindungan tanah dan air, flora, fauna, dan sumber plasma nutfah lainnya, serta
untuk kesejahteraan masyarakat luas (Balai Teknologi Perbenihan, 1998).
Tersedianya benih bermutu genetik unggul tidak terlepas dari keberadaan sumber
benih yang telah menerapkan kaidah-kaidah pemuliaan pohon. Kondisi sumber
benih pada saat ini masih sangat terbatas, baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya. Selain itu, kondisi sumber benih yang ada masih memiliki mutu yang
rendah dengan potensi produksi yang rendah pula. Pemilihan sumber benih yang
tidak tepat serta mutu benih yang rendah dapat menyebabkan pertumbuhan
tanaman tidak optimal (Nurhasybi, 2008; Nurhasybi et al., 2000; Zobel & Talbert,
1984).

Salah satu kegiatan yang berperan sangat penting dalam memberdayakan


jenis-jenis pohon yang potensial adalah pemetaan sebaran populasi sumber beniha
(Danu et al., 2006; Kartiko, 2001; Zobel & Talbert, 1984). Peta sebaran populasi ini

34 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A. Rohandi & Gunawan

dapat digunakan sebagai dasar untuk pemilihan sumber benih yang tepat. Peng-
gunaan sumber benih yang tepat merupakan salah satu dasar yang sederhana dan
mudah dalam usaha perbaikan tanaman hutan (Nienstadt & Snyder, 1974).
Garaudal et al. (1997) menjelaskan bahwa peta sebaran digunakan untuk mengetahui
sebaran geografi dan ekologi, serta untuk mengetahui keragaman sifat menurun jenis
tanaman target, baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Dengan adanya peta
ini, pengambilan contoh biji atau bahan vegetatif tanaman terpilih diharapkan dapat
mewakili potensi faktor menurun yang ada dari seluruh populasi.

Selain tersedianya benih berkualitas baik, upaya meningkatkan produktivitas


hutan memerlukan lokasi tempat tumbuh yang sesuai untuk jenis-jenis yang akan
dikembangkan (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2001). Sumber benih yang
paling cocok untuk ditanam di suatu kondisi lingkungan mungkin akan tumbuh
berbeda di tempat lain. Pada kebanyakan pohon hutan, sumber benih berubah
peringkatnya jika diperbandingkan dengan kondisi lingkungan yang berbeda.
Wiradisastra (1996) menjelaskan bahwa setiap jenis memiliki perbedaan tingkat
kesesuaian terhadap lingkungan fisik sehingga dapat dipilah berdasarkan perbedaan
wilayah sebaran dengan ciri-ciri tertentu.

II. Metodologi

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga November 2010.


Kegiatan penelitian dilakukan di wilayah Priangan Timur, meliputi Kabupaten
Garut, Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, dan Kota Banjar.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi populasi tanaman manglid, Image Digital


DEM-SRTM Satelit 90 m tahun 2009, peta penunjukan tanah semidetil tahun 1974
(1:250.000), peta curah hujan liputan tahun 20012006 (1:250.000), peta digital

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 35


Sebar an dan K arak t eris t ik H ut an R ak y at M a n g l id

RBI tahun 2001 (1:250.000), peta land sistem Jawa tahun 2001 (1:250.000), dan peta
zonasi benih tanaman hutan Jawa dan Madura tahun 2001 (1:1.000.000).

Alat yang digunakan meliputi alat survey lapangan dan laboratorium, berupa
GPS (Global Positioning System), program Arc GIS, teropong, hagameter, altimeter,
pita ukur, tambang, alat tulis, dan lain-lain.

C. Teknik Pengumpulan Data

Kegiatan penelitian tahap pertama yang dilakukan meliputi koordinasi dengan


pihak/instansi terkait, serta orientasi dan identifikasi lapangan. Sementara itu, kese-
luruhan penelitian pengambilan data yang dilakukan meliputi:

1. Data dan informasi sebaran tegakan/populasi, produktivitas tegakan manglid,


serta informasi geografi dan kondisi ekologisnya.
2. Peta sebaran populasi jenis manglid untuk wilayah Priangan Timur
3. Peta potensi lahan jenis manglid sebagai informasi dasar untuk menentukan
lokasi pengembangan sumber benih dan hutan rakyat di wilayah Priangan Timur.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Sebaran Hutan Rakyat Manglid

Survey dan identifikasi yang dilakukan di wilayah Priangan Timur diperoleh


hasil yang menunjukkan bahwa populasi tanaman manglid paling banyak tersebar di
wilayah Tasikmalaya, meliputi daerah Taraju, Sodong, Salawu, Singaparna, Ciawi,
Cigalontang, Pagerageung, dan Cibalong. Populasi manglid di wilayah Ciamis dan
Garut tersebar di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten
Tasikmalaya. Di Kabupaten Sumedang, populasi manglid terpusat di beberapa
daerah; sedangkan di kota Banjar, sebaran populasi manglid tidak ditemukan.

Populasi tanaman manglid sebagian besar berada pada daerah perbukitan


dengan kelerengan yang cukup curam. Lokasi lainnya yang merupakan sebaran
populasi tanaman ini yaitu pada daerah-daerah kaki pegunungan dan pinggir sungai.

36 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A. Rohandi & Gunawan

Tanaman manglid yang ditemukan seluruhnya merupakan hasil penanaman


(tanaman masyarakat). Tanaman tersebut tumbuh menyebar pada lahan kosong,
hutan rakyat, pekarangan, pinggir sungai, kebun campur, pinggir jalan, ataupun
fasilitas umum lainnya. Kualitas tegakan cukup bervariasi untuk setiap lokasi, tetapi
sebagian besar kondisi tanaman cukup baik. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan
pemeliharaan yang dilakukan sudah cukup intensif, sedangkan kasus di beberapa
tempat menunjukkan kondisi tanaman yang kurang optimal karena kurangnya
tindakan pemeliharaan dan adanya serangan hama/penyakit. Secara kuantitatif,
produktivitas sebagian tegakan di setiap lokasi sulit dibandingkan karena informasi
mengenai umur tidak diketahui secara pasti, serta kondisi lingkungan dan perlakuan
yang berbeda. Begitu juga untuk sejarah pembungaan dan pembuahan tegakan di
setiap lokasi, informasinya sangat kurang karena pada saat kegiatan survey dilakukan
sudah melewati musim berbunga/berbuah dan hanya sebagian yang diketahui
berdasarkan keterangan pemilik lahan. Manglid pada hutan rakyat pada umumnya
ditanam dengan pola monokultur dan campuran (Gambar 1).

Gambar 1. Populasi tanaman manglid pola monokultur dan campuran di Kab. Tasikmalaya

Tanaman yang berasosiasi dengan tegakan manglid khususnya untuk tanaman


kehutanan adalah sengon (falcataria moluccana), mahoni (Swietenia macrophylla), jati
(Tectona grandis), suren (Toona sureni), tisuk (Hibiscus macrophylla), gmelina (Gmelina
arborea), ganitri (Elaeocarpus ganitrus), khaya (Khaya anthoteca), aren (Arenga pinata),
dan bambu. Sementara itu, jenis tanaman perkebunan yang banyak dijumpai adalah
teh, nangka, petai, dan jengkol (Tabel 1).

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 37


Sebar an dan K arak t eris t ik H ut an R ak y at M a n g l id

38 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A. Rohandi & Gunawan

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 39


Sebar an dan K arak t eris t ik H ut an R ak y at M a n g l id

B. Kondisi Ekologis Wilayah Sebaran dan Potensi Lahan

Berdasarkan hasil survey diperoleh informasi kondisi ekologi lokasi sebaran


populasi tanaman manglid untuk parameter ketinggian tempat, jenis tanah, curah
hujan, dan kelerengan. Kondisi tempat tumbuh tanaman manglid pada beberapa
lokasi selengkapnya tercantum padan Tabel 2.

Tabel 2. Kondisi agroklimat tempat tumbuh tegakan manglid di beberapa lokasi di wilayah
Priangan Timur

Ketinggian Curah hujan Kelerengan


No. Lokasi Jenis tanah
(m dpl) (mm/tahun) (%)
1. Tasikmalaya Latosol, latosol & andosol, 305894 2.0003.500 045
aluvial, podsolik merah
kuning
2. Sumedang Latosol & andosol, andosol 6661200 1.5002.500 1545
3. Garut Latosol, latosol & andosol 644785 2.5003.500 1525
4. Ciamis Latosol & andosol 229854 2.5003.500 1545

Tabel 2 menunjukkan bahwa tanaman manglid di wilayah Priangan Timur


hanya tersebar di empat lokasi (kabupaten), yaitu Kabupaten Tasikmalaya,
Sumedang, Garut, dan Ciamis. Sementara itu, tegakan/populasi manglid di Kota
Banjar tidak ditemukan. Hal tersebut disebabkan oleh faktor ketinggian tempat
wilayah Banjar yang hanya berada di bawah 200 m dpl. Populasi tanaman manglid
sebagian besar tersebar dan tumbuh pada lahan dengan jenis tanah latosol.
Sementara itu, bila dilihat dari ketinggian tempat, tanaman manglid di wilayah
Priangan Timur tumbuh pada ketinggian 400800 m dpl, curah hujan 2.5003.000
mm/tahun dengan kelerengan 1525% (Gambar 2).

40 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A. Rohandi & Gunawan

Gambar 2. Sebaran populasi tanaman manglid di wilayah Priangan Timur pada berbagai
kondisi curah hujan

Karakteristik ekologis tanaman manglid yang diperoleh dapat dijadikan dasar


untuk mengetahui potensi lahan dalam pengembangan hutan tanaman manglid di

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 41


Sebar an dan K arak t eris t ik H ut an R ak y at M a n g l id

suatu wilayah. Danu et al. (2009) menyatakan bahwa peta potensi lahan merupakan
gabungan dari kondisi lokasi populasi yang diamati. Penyusunan peta potensi lahan
dapat dilakukan secara lebih detil dengan pembedaan secara spesifik kriteria-kriteria
seperti jenis tanah, ketinggian, dan curah hujan ataupun dengan menambahkan
kriteria lainnya, seperti kelas lereng, kelembaban, dan lain-lain. Semakin detilnya
data dasar yang diperoleh, informasi yang ada pada peta akan semakin lengkap.

Peta potensi lahan dapat dijadikan pendekatan seperti dalam konsep zonasi
benih sebagai zona penggunaan benih. Prinsip pokok dari zona penggunaan benih
menurut Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2001) adalah sumber benih yang
berbeda seharusnya ditanam pada tempat yang berbeda yang disebabkan oleh adanya
interaksi genotipe dan lingkungan. Tanaman dengan kualitas genetik baik akan
menghasilkan fenotipe yang baik bila ditanam pada kondisi lingkungan yang sesuai.
Zona penggunaan benih dapat mencakup areal yang luas dan dapat terdiri dari
beberapa areal yang memiliki kondisi ekologis yang serupa. Pada zona ini,
pertumbuhan lebih kurang seragam dan benih dari sumber benih yang cocok dapat
digunakan di seluruh zona.

C. Ketersediaan dan Potensi Sumber Benih Manglid

Sumber benih manglid di wilayah Jawa dan Madura hanya terdapat di dua
lokasi di Kabupaten Tasikmalaya yang termasuk wilayah Priangan Timur (Tabel 3).
Keberadaan sumber benih tersebut sebanding dengan banyaknya populasi atau hutan
tanaman manglid di wilayah ini. Berdasarkan luas sumber benih dan luas hutan
tanaman manglid yang ada, sumber benih manglid masih sangat diperlukan. Selain
itu, kebutuhan benih manglid akan semakin meningkat seiring dengan semakin
besarnya minat masyarakat untuk membangun hutan rakyat jenis ini, terutama
setelah banyaknya serangan karat tumor pada tanaman sengon yang merupakan kayu
rakyat utama pada saat ini. Dengan demikian, benih manglid berkualitas untuk
meningkatkan produktivitas tanaman di lapangan sangat diperlukan.

42 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A. Rohandi & Gunawan

Tabel 3. Sumber benih bersertifikat jenis manglid (M. glauca) di Jawa Barat sampai tahun
2010

No. Lokasi Pengelola Luas (ha) Klasifikasi sumber benih


1. Tasikmalaya PT. Synergyndo 1.22 Tegakan benih teridentifikasi
Adimitra
2. Bandung CV. Calakan Bina 1.50 Tegakan benih teridentifikasi
Selatan Lingkungan
Jumlah 1.72
Sumber: BPTH (2010)

Sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan tanaman manglid,


keberadaan sumber benih mutlak diperlukan sebagai penghasil benih bermutu.
Nurhasybi et al. (2000) menjelaskan bahwa mutu benih sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan penanaman di lapangan. Kendala yang dihadapi saat ini adalah
pengadaan sumber benih masih terbatas, pertumbuhan tanaman belum optimal, riap
kayu rendah, bentuk batang tidak lurus, dan serangan hama/penyakit pada bibit di
persemaian dan tanaman di lapangan. Permasalahan tersebut disebabkan oleh
pemilihan jenis dan sumber benih yang tidak tepat, serta mutu benih yang rendah.
Barner & Ditlevsen (1995) menjelaskan bahwa produktivitas hutan tanaman
diyakini akan optimum seiring perbaikan kelas sumber benihnya. Perbaikan kelas
sumber benih berhubungan dengan kesesuaian ekologis antara sumber benih
terhadap tapak pertanaman, keunggulan fenotipe atau genotipe sumber benih,
metode dan intensitas seleksi dalam sumber benih, serta siklus pemuliaan.

Pada saat ini, penggunaan benih unggul oleh masyarakat khususnya untuk
hutan rakyat masih belum optimal. Selain itu, jenis tanaman yang digunakan petani
lebih bervariasi tergantung pada kondisi lahan, jenis cepat tumbuh, dan kayunya
disukai masyarakat setempat. Danu et al. (2004) menyatakan bahwa keragaman
tanaman yang digunakan untuk hutan rakyat sangat tinggi karena menggunakan
sistem penanaman campuran dan dari segi ekologi, hal ini sangat mendukung
perbaikan dan pelestarian lingkungan. Sentra sumber benih yang digunakan oleh

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 43


Sebar an dan K arak t eris t ik H ut an R ak y at M a n g l id

petani dapat diketahui dengan pendekatan sentra hutan rakyat dan jenis yang
menjadi andalan setempat, seperti untuk jenis manglid di wilayah Tasikmalaya.

Berdasarkan hasil survey ditemukan beberapa populasi/tegakan manglid yang


memiliki potensi untuk dijadikan sumber benih yang memenuhi syarat untuk
disertifikasi, yang mana pohon-pohon manglid tersebut berukuran besar dan sudah
digunakan oleh masyarakat setempat untuk pengadaan bibit. Tegakan manglid
tersebut sangat potensial untuk dinilai dan ditunjuk sebagai sumber benih dan
pohon plus (Tabel 4).

Tabel 4. Tegakan manglid pada beberapa lokasi yang cukup potensial untuk dikembangkan
menjadi sumber benih

Umur Jumlah Produktivitas tegakan


No. Lokasi
(tahun) pohon induk TT (m) TBC (m) D (cm)
1. Desa Wandasari, Kecamatan 15 104 1826 1420 1448
Bojonggambir, Kabupaten
Tasikmalaya
2. Desa Jaya Mekar, Kecamatan 15 62 916 312 1445
Cibugel, Kabupaten Sumedang

3. Desa Lebak Baru, Kecamatan 13 40 1722 1418 3044


Cikupa, Kabupaten Ciamis
Keterangan: TT = Tinggi total; TBC = Tinggi bebas cabang; D = Diameter pohon

Penilaian tegakan yang dilakukan lebih didasarkan pada pedoman penunjukan


sumber benih Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2001) yang menjelaskan
bahwa kriteria umum kelayakan sumber benih meliputi aksesibilitas, jumlah pohon,
kualitas (fenotipe) tegakan, pembungaan dan pembuahan, keamanan dan kesehatan.
Tegakan diterima sebagai calon sumber benih jika semua tolok ukur tersebut
terpenuhi.. Oleh karena itu, tegakan manglid di atas (Tabel 4) hanya dapat ditunjuk
sebagai sumber benih dengan kelas tegakan benih (teridentifikasi atau terseleksi)
karena asal usul benih yang digunakan tidak diketahui.

44 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A. Rohandi & Gunawan

Apabila dilihat dari berbagai pola pengelolaan lahan, pengembangan sumber


benih manglid di lahan masyarakat terutama dapat dilakukan pada hutan rakyat
murni, hutan campur, dan perkebunan (kebun teh). Sebaliknya, untuk tipe
pengelolaan lahan yang lain, pengembangan sumber benih sulit dilakukan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Pramono et al. (2008) bahwa untuk jenis mindi (Melia
azedarach), pengembangan sumber benih pada lahan persawahan atau tegalan yang
dikelola intensif kurang potensial karena perlakuan silvikultur berupa pruning keras
akan mengganggu produksi benih, sedangkan pada pekarangan kurang cocok karena
cenderung luas lahan dan jumlah pohonnya kecil.

Data potensi tegakan yang diperoleh sangat penting sebagai dasar dalam
pengembangan sumber. Peta sebaran populasi yang telah tersusun merupakan titik
awal dalam penyediaan benih berkualitas jenis manglid secara berkelanjutan.
Pemetaan sumber benih yang didasarkan pada zonasi ekologi akan memberikan
keuntungan, yaitu 1) menghasilkan benih yang memiliki keragaman genetik yang
luas sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan beradaptasi terhadap
lingkungan tempat tumbuh yang beragam, dan 2) menghasilkan benih yang
memiliki keragaman kualitas kayu dan produk lainnya sehingga dapat memberikan
peluang untuk pemanfaatan yang beragam (Danu et al., 2007). Selain itu, pem-
buatan dokumentasi benih akan mudah dengan mencantumkan kondisi tegakan,
data ekologi, asal benih/sejarah genetik benih, dan proses penanganan benihnya.
Benih hasil dari sumber benih ini merupakan materi perbanyakan tanaman yang
sangat berharga untuk pembangunan sumber benih, bank benih, dan penyelamatan
plasma nutfah atau konservasi genetik ex situ dengan hasil keragaman yang sama dan
sebaran populasi alaminya.

Manfaat lain dari kegiatan pemetaan sebaran sumber benih dan tegakan
potensial adalah untuk membantu program koservasi sumberdaya genetik di
wilayahnya (Garaudal et al., 1997). Peta sebaran digunakan untuk mengetahui
sebaran geografi dan ekologi, serta untuk mengetahui keragaman sifat menurun jenis
tanaman target, baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Dengan adanya peta
ini, pengambilan contoh biji atau bahan vegetatif tanaman terpilih diharapkan dapat

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 45


Sebar an dan K arak t eris t ik H ut an R ak y at M a n g l id

mewakili potensi faktor menurun yang ada di seluruh populasi. Peta ini diharapkan
akan membantu para pengguna dalam aplikasi kegiatan penanaman di lapangan.
Selain itu, pengembangan tanaman manglid khususnya di Priangan Timur perlu
didukung oleh berbagai pihak di antaranya Dinas Kehutanan. Kegiatan penyuluhan
tentang teknik budi daya beserta prospek pengembangan tanaman manglid perlu
terus dilakukan. Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Jawa-Madura berperan
penting dalam pengembangan sumber benih manglid sebagai penyedia benih
berkualitas untuk meningkatkan produktivitas tegakan di lapangan. Selain
pertimbangan aspek fisik, keberhasilan pengembangan manglid memerlukan
pertimbangan aspek lainnya, seperti aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.

IV. Kesimpulan

Tanaman manglid di wilayah Priangan Timur mempunyai karakteristik tipe


tegakan yang didominasi oleh hutan campuran berasosiasi dengan jenis sengon,
suren, tisuk, khaya, kaliandra, alpokat, dan kayu manis. Umur tegakan manglid
didominasi tegakan muda umur 110 tahun dengan tinggi 436 m dan diameter 3
72 cm. Tanaman manglid di wilayah Priangan Timur tersebar pada jenis tanah
latosol, andosol, latosol & andosol, aluvial dan podsolik merah kuning pada
ketinggian 4001.200 m dpl, curah hujan 1.5003.500 mm/tahun, dan kelerengan
045%. Terdapat beberapa populasi/tegakan manglid yang cukup potensial untuk
dijadikan sumber benih yang berlokasi di Desa Wandasari, Kecamatan
Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya; Desa Jaya Mekar, Kecamatan Cibugel,
Kabupaten Sumedang; dan Desa Lebak Baru, Kecamatan Cikupa, Kabupaten
Ciamis.

Daftar Pustaka

Balai Teknologi Perbenihan. (1998). Program nasional sistem perbenihan kehutanan.


Bogor, Indonesia: BTP (Balai Teknologi Perbenihan).

46 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A. Rohandi & Gunawan

Barner, H., & Ditlevsen, B. (1995). The strategies and procedures for an integrated
national tree seed programme for seed procurement, tree improvement and genetic
resources. Estrategias y procedimientos para un programa nacional integrado de
semillas forestales para el abastecimiento de semillas, el mejoramiento gentico y la
conservacin de recursos genticos forestales. Programas de abastecimiento de semillas
forestales: Danida Forest Seed Centre, Turrialba (Costa Rica). CATIE,
Turrialba (Costa Rica). Proyecto de Semillas Forestales.

Danu, Nursyahbi, & Yulianti. (2004). Potensi produksi benih di Jawa. Paper
presented at the Ekspose Terpadu Hasil-Hasil Penelitian Badan Litbang
Kehutanan, Yogyakarta 11-12 Oktober 2004, Yogyakarta.

Danu, Rohandi, A., Pramono, A., Abidin, Z., Suartana, M., & Royani, H. (2006).
Sebaran populasi tanaman hutan jenis rasamala (Altingia excelsa Noronhae)
untuk sumber benih di Jawa Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan.

Danu, Rohandi, A., Pramono, A., Abidin, Z., Suartana, M., & Royani, H. (2007).
Sebaran populasi tanaman hutan jenis mimba (Azadirachta indica) untuk
sumber benih di Jawa Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan.

Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. (2001). Zona benih tanaman hutan Jawa
dan Madura. Jakarta: Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial. Departemen Kehutanan.

Garaudal, L., Kjaer, E., T, A., & L., A. B. (1997). Perencanaan Program Nasional
untuk Konservasi Sumberdaya Genetik Hutan. Technical Note No. 48-
Desember 1997. Danida Forest Seed Centre, Krogerupvej 21 DK-3050
Humlaebaek. Denmark. .

Kartiko, H.P. (2001). Penyelamatan sumber daya perbenihan untuk pelestarian dan
peningkatan produktivitas tanaman hutan. Bulletin PUSBANGHUT, III(2),
183-190.

Nienstadt, H., & Snyder, E. B. (1974). Principles of genetic improvement of seed.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 47


Sebar an dan K arak t eris t ik H ut an R ak y at M a n g l id

Nurhasybi. (2008). Beberapa permasalahan pengembangan industri benih tanaman


hutan di Indonesia. Info benih, 12(1).

Nurhasybi, Pramono, A. A., Abidin, A. Z., Rohandi, A., & Mokodompit, S.


(2000). Peta perwilayahan 9 (sembilan) jenis tanaman hutan di Jawa. Balai
Teknologi Perbenihan. Bogor.

Pramono, A. A., Danu, Rohandi, A., Abidin, A. Z., Suartana, M., & Royani, H.
(2008). Sebaran populasi tanaman hutan jenis mindi (Melia azedarach) untuk
sumber benih di Jawa Laporan Hasil Penelitian: Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan. Bogor.

Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan


hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.

Wiradisastra, U.S. (1996). Delineasi agro-ecological zone. Bahan Kuliah Pelatihan


Apresiasi Metodologi Delineasi Agroekologi. Bogor, 8-17 Januari 1996. Kerjasama
Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian/
AMRP dengan Fakultas Pertanian-IPB. Bogor. .

Zobel, B., & Talbert, J. (1984). Applied forest tree improvement: John Wiley & Sons.

48 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


BAB III

BUDI DAYA MANGLID


Status Silvikultur Hutan Rakyat Manglid (Magnolia champaca)

Aris Sudomo1

ABSTRAK

Teknik silvikultur hutan rakyat manglid (Magnolia champaca) ditujukan sebagai acuan
Standard Operational Procedure (SOP) dalam pembangunan hutan rakyat manglid. Acuan ini
berisi tentang ringkasan hasil-hasil penelitian teknik silvikultur manglid yang meliputi (1)
teknik perbanyakan manglid, (2) teknik silvikultur manglid pada tiga jarak tanam, dan (3)
karakteristik pertumbuhan dan tempat tumbuh manglid. Silvikultur hutan rakyat manglid
dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, persemaian manglid untuk menghasilkan bibit
berkualitas dapat diperoleh dengan penaburan benih pada media abu sekam padi, penyapihan
dengan media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1), dan pengaturan intensitas
naungan (shading net) sebesar 40%. Peningkatan keberhasilan perbanyakan vegetatif stek
pucuk dapat dilakukan dengan teknik juvenilisasi dan penggunaan hormon Rootone-F.
Kedua, jarak tanam 2 m x 2 m memberikan hasil pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
dengan jarak tanam 2 m x 3 m dan 3 m x 3 m hingga umur 28 bulan. Optimalisasi
pertumbuhan dilakukan dengan pemangkasan dalam sistem agroforestry. Ketiga, manglid
sesuai ditanam pada ketinggian 3002.200 mdpl; kelas lereng 040%; tipe iklim AC; curah
hujan >1.000 mm/tahun; temperatur 15280C; tekstur tanah ringan, sedang, dan berat; serta
kesuburan tanah rendah hingga tinggi. Manglid yang telah tumbuh dapat toleran pada tanah
liat masam dengan kandungan C-organik rendah, serta N dan P sangat rendah. Sistem
silvikultur tebang habis permudaan terubusan potensial diaplikasikan dalam pembangunan
hutan rakyat manglid.

Kata kunci: Magnolia champaca, hutan rakyat, silvikultur

I. Pendahuluan

Pembangunan hutan rakyat menempati posisi yang strategis dalam upaya


mengatasi permasalahan ketimpangan antara supply dan demand bahan baku industri
kayu. Terdapatnya peluang usaha pembangunan hutan rakyat tersebut diharapkan

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 04, Po Box 5 Ciamis 46201

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 51


A. Sudomo

dapat menjadi alternatif untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat petani hutan rak-
yat. Ketersediaan alternatif pilihan dalam usaha pembangunan hutan rakyat ini perlu
didukung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengembangannya agar
tercapai produktivitas hutan yang berkelanjutan, berkualitas, dan berdampak positif
terhadap lingkungan.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk peningkatan produktivitas per
satuan luas lahan hutan rakyat adalah dengan penguasaan dan aplikasi scientific base
knowledge berupa hasil-hasil penelitian, khususnya teknik silvikultur. Hasil pene-
litian teknik silvikultur sebagai landasan ilmiah pembangunan hutan tanaman
diharapkan dapat saling melengkapi dengan experience base knowledge yang telah
dimiliki masyarakat petani hutan rakyat sehingga kombinasi teknologi yang diha-
silkan dapat menjadi alternatif pilihan dalam usaha optimalisasi produktivitas hutan
tanaman, khususnya hutan rakyat.

Komoditas jenis kayu hutan rakyat yang diusahakan masyarakat sangat bera-
gam dan terkadang bersifat lesser known species. Hal ini menyebabkan pengetahuan
tentang teknik silvikultur dari jenis tersebut relatif terbatas sehingga menjadi kendala
dalam pengembangannya. Sudah saatnya pembangunan hutan rakyat kembali pada
jenis-jenis andalan setempat yang sudah adapted di lahan-lahan masyarakat. Hal ini
dikarenakan jenis-jenis tersebut sudah terbukti dapat tumbuh dan mempunyai daya
tahan yang lebih baik terhadap serangan hama dan penyakit.

Karakteristik beberapa jenis tanaman berkayu, kondisi tapak, dan kondisi


lingkungan hutan rakyat relatif berbeda-beda. Hal ini menyebabkan teknik silvi-
kultur pada suatu jenis tertentu tidak dapat digeneralisasikan untuk diterapkan pada
semua jenis tanaman berkayu lainnya dalam pembangunan hutan rakyat. Oleh
karena itu, penguasaan teknik silvikultur diperlukan pada setiap jenis yang potensial
untuk pembangunan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat.

Teknik budi daya manglid (Magnolia champaca) sebagai salah satu komiditas
hutan rakyat masih terbatas, sementara laju pengurangan di habitatnya relatif cepat.
Manglid merupakan salah satu jenis andalan setempat Jawa Barat. Di Jawa Barat,
manglid dikembangkan melalui agroforestry pada progam social forestry dan dijadikan

52 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sil v ik ul t ur H ut an R ak y at M a n g l id ( Ma gn o l ia cha m pa ca )

komoditas unggulan untuk pengembangan hutan rakyat dalam rangka meningkat-


kan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rimpala, 2001). Faktor yang memenga-
ruhi keberhasilan pembangunan hutan tanaman adalah penggunaan bibit unggul
yang diperoleh dari hasil pemuliaan, kondisi lingkungan yang sesuai dengan persya-
ratan tumbuh tanaman, manipulasi lingkungan, serta pencegahan hama dan penya-
kit secara terpadu (Soekotjo & Naim, 2006). Oleh karena itu, penelitian tentang
teknik silvikultur dilakukan dalam rangka menyediakan alternatif pilihan teknologi
pembangunan hutan tanaman manglid.

Jenis manglid (M. champaca) sangat disukai di Jawa Barat dan Bali karena
selain kayunya mengkilat; strukturnya padat, halus, ringan, dan kuat. Kayu manglid
dengan rerata berat kering 0,41 memiliki kelas awet II dan kelas kuat IIIIV yang
dapat digunakan untuk bahan baku pembuatan jembatan, perkakas rumah tangga
(meja, kursi, lemari), kayu konstruksi, bahan bangunan rumah, pelapis kayu dan
plywood (Diniyati et al., 2005; Djajapertjunda, 2003; PIKA, 1996).

Berdasarkan pengamatan di beberapa desa di Kecamatan Salawu, Kawalu,


Taraju, dan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya; serta beberapa desa di Kecamatan
Panumbangan, Kabupaten Ciamis, jenis manglid banyak dikembangkan di hutan
rakyat. Jenis ini terbukti dapat tumbuh baik di lahan-lahan milik masyarakat dengan
batang lurus, monopodial pada awal pertumbuhan dan silindris tanpa banir, cepat
tumbuh, mempunyai nilai estetika tinggi, dan kegunaannya banyak (Djajapertjunda,
2003). Teknik-teknik silvikultur hasil penelitian ini dapat menjadi awal dalam
pengembangan hutan tanaman manglid, baik dengan sistem monokultur, campuran
maupun agroforestry. Teknik silvikultur ini diharapkan dapat dijadikan SOP dalam
pengembangan manglid di hutan rakyat.

II. Metodologi

Tulisan ini merupakan sintesis hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan


sebelumnya. Penelitian tentang silvikultur hutan rakyat manglid telah dilakukan di
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry sejak tahun 2008. Makalah tentang aspek-

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 53


A. Sudomo

aspek silvikultur manglid, mulai dari perkecambahan hingga pemanenan, telah


banyak dipublikasikan. Oleh karena itu, serpihan-serpihan hasil-hasil penelitian
tersebut menjadi penting untuk disintesis menjadi kesatuan yang utuh yang mudah
dipahami oleh pengguna. Penyusunan status riset aspek silvikultur ini menggunakan
pendekatan systematic review yang mencakup teknik kuantitatif dan teknik kualitatif.
Hasil sintesis berupa ringkasan hasil-hasil penelitian teknik silvikultur manglid,
meliputi (1) teknik perbanyakan manglid (penanganan benih, teknik perkecam-
bahan, teknik penyapihan, teknik pemberian naungan dan teknik stek pucuk); (2)
teknik silvikultur manglid hasil plot penelitian pada tiga jarak tanam; (3) interaksi
agroforestry manglid+jagung; dan (4) karakteristik pertumbuhan dan tempat tumbuh
manglid di hutan rakyat.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Silvikultur Manglid

1. Penanganan Benih

Pengadaan benih manglid bisa menjadi permasalahan dalam pembangunan


hutan tanaman. Hal ini disebabkan oleh (1) benih manglid merupakan jenis rekal-
sitran sehingga mudah mengalami penurunan kadar air dan daya berkecambah, dan
(2) masa berbuah manglid di Kabupaten Tasikmalaya hanya pada musim hujan seki-
tar bulan NovemberFebruari (Sudomo & Dendang, 2008). Benih manglid mempu-
nyai viabilitas rendah, yaitu daya simpan atau ketahanan biji manglid rendah (tidak
tahan disimpan lama) karena hanya berkisar antara 25 minggu, yang mana biji akan
sulit untuk tumbuh setelah lewat waktu tersebut.

Ekstraksi benih atau cara mengeluarkan benih dari buah manglid dilakukan
dengan menjemur buah yang telah masak agar menjadi pecah sehingga memudah-
kan pengeluaran benihnya. Benih yang telah keluar dari kulit buah masih diselimuti
daging buah sehingga perlu dibersihkan dengan cara menyimpan benih di dalam
tempayan, lalu menggosoknya dengan kain. Benih bersih dari daging buah kemu-

54 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sil v ik ul t ur H ut an R ak y at M a n g l id ( Ma gn o l ia cha m pa ca )

dian dicuci bersih dan dikeringanginkan. Rerata berat seribu butir biji manglid
adalah 55,46 gram (Sudomo & Dendang, 2008; Sudomo et al., 2010).

2. Perkecambahan Benih

Keberhasilan pembibitan manglid salah satunya ditentukan oleh keberhasilan


dalam proses perkecambahan benih. Benih manglid harus segera dikecambahkan
agar daya kecambahnya tinggi. Media perkecambahan untuk benih manglid yang
menghasilkan persentase perkecambahan mulai dari yang tertinggi adalah abu sekam
padi (51,33%), kemudian diikuti serbuk gergaji (46,67%), pasir (42,33%), tanah
(39,67%), dan cocopeat (33,33%). Persentase perkecambahan dapat ditingkatkan
dengan cara menabur benih sesegera mungkin setelah pengunduhan benih dari
pohon (Sudomo, 2009).

3. Penyapihan

Dalam proses penyapihan, penggunaan media tumbuh semai harus berkualitas


tinggi. Media semai tanah (top soil) umumnya mempunyai tingkat kesuburan yang
baik, namun perlu dicampur dengan bahan organik untuk menghasilkan bibit
berkualitas. Ketersediaan berbagai limbah bahan organik, seperti serbuk gergaji,
serbuk sabut kelapa, sekam padi, dan kotoran hewan di sekitar lingkungan petani
hutan rakyat sangat potensial digunakan sebagai media sapih dalam pembuatan bibit
tanaman hutan.

Hasil ujicoba penggunaan berbagai media untuk penyapihan kecambah


manglid menunjukkan bahwa media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa
(1:1:1) lebih baik dibandingkan dengan media tanah+pupuk kandang (3:1),
tanah+pupuk kandang+sekam padi (1:1:1), tanah+pupuk kandang+serbuk gergaji
(1:1:1), tanah+pupuk kandang+pasir (1:1:1), dan tanah+pupuk kandang+abu sekam
padi (1:1:1). Media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1) menghasilkan
indeks mutu bibit 0,132. Penggunaan media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut
kelapa (1:1:1) dapat menghasilkan bibit manglid berkualitas (Sudomo et al., 2010).

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 55


A. Sudomo

4. Pemberian Naungan

Pada umumnya, intensitas cahaya sinar matahari yang diperlukan oleh setiap
jenis tanaman berbeda-beda. Bahkan, ada satu jenis tanaman yang memerlukan
intensitas cahaya yang berbeda sepanjang periode hidupnya. Pada waktu masih
muda, cahaya dengan intensitas rendah diperlukan; tetapi, cahaya dengan intensitas
tinggi justeru mulai diperlukan menjelang sapihan (Soekotjo,1976 dalam Faridah,
1996).

Intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi,


sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan mengganggu jalannya fotosintesis
sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, intensitas cahaya
optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman baik dan dapat menghasilkan
bibit berkualitas. Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan dengan pemberian
naungan (shading) sehingga dapat melindungi semai dari cahaya atau sinar matahari
dan suhu yang berlebihan. Pada jenis intoleran, naungan yang terlalu rapat akan
menyebabkan etiolasi dan serangan penyakit, sedangkan naungan yang kurang akan
mengurangi perlindungan bibit dari sinar matahari langsung, curah hujan yang
tinggi, angin, dan fluktuasi suhu yang ekstrem (Smith, 1986).

Tanaman manglid yang diberikan naungan 40% memberikan hasil pertum-


buhan yang berbeda nyata terbaik dibandingkan dengan intensitas naungan lainnya
(0%, 65%, dan 75%) dengan diameter (0,367 cm) dan tinggi (18,55 cm). Naungan
40% menghasilkan berat kering batang dan daun yang tertinggi (1,819 gram),
namun tidak berbeda nyata dengan naungan 65% dan 75%. Naungan tidak membe-
rikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan jumlah daun, panjang akar,
berat kering akar, dan indeks mutu bibit. Penggunaan naungan 40% pada saat
penyapihan dapat menghasilkan pertumbuhan bibit Magnolia champaca dengan baik
(Sudomo, 2009).

5. Perbanyakan Vegetatif dengan Stek Pucuk

Perbanyakan vegetatif jenis manglid sangat membantu dalam kegiatan penye-


diaan bibit karena benih manglid termasuk dalam kelompok rekalsitran (lama

56 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sil v ik ul t ur H ut an R ak y at M a n g l id ( Ma gn o l ia cha m pa ca )

penyimpanan terbatas). Dengan demikian, kegiatan penanaman tidak akan selalu


tergantung terhadap musim buah yang senantiasa berubah. Selain itu, pembiakan
vegetatif sangat diperlukan karena bibit hasil pengembangan secara vegetatif meru-
pakan duplikat induknya sehingga mempunyai struktur genetik yang sama (Na'iem,
2000).

Perbanyakan vegetatif melalaui stek pucuk manglid dengan pemberian


Rootone-F dalam dosis 100 ppm menghasilkan jumlah tunas tertinggi dibandingkan
dengan dosis lain. Hasil tersebut dapat mencapai 2,25 tunas, panjang akar tertinggi
sebesar 8,85 cm (meningkat 34,46% dibandingkan dengan perlakuan tanpa hormon
Rootone-F), dan jumlah akar terbanyak 6,75 buah (meningkat 40,74% dibandingkan
tanpa hormon Rootone-F). Pemberian Rootone-F metode oles menghasilkan
persentase hidup stek pucuk lebih tinggi dibandingkan dengan larutan Rootone-F
dengan dosis 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, dan 500 ppm. Selain itu, persentase
keberhasilan stek pucuk dapat ditingkatkan melalui teknik juvenilisasi dan
penyempurnaan teknik sterilisasi (Sudomo et al., 2013).

6. Teknik Silvikultur Manglid

Perlakuan silvikultur mencakup semua tindakan yang diterapkan dalam


pengelolaan tegakan hutan atau dapat didefinisikan sebagai metode perlakuan
terhadap tegakan dan tempat tumbuh yang pelaksanaannya mengacu pada pera-
watan selama rotasi (Smith, 1986). Tindakan yang dilakukan antara lain penyiapan
lahan, pengaturan jarak tanam, pemupukan, singling, pemangkasan, dan penjarangan
(Haygreen & Bowyer, 1996). Perlakuan silvikultur dapat diklasifikasikan menjadi
empat kelompok, yaitu perlakuan nutrisi/hara (termasuk pemupukan), pengaturan
jumlah tanaman (awal tanam dan penjarangan), teknik penanaman, dan pemang-
kasan tajuk (Zobel, 1992).

a. Penyiapan Lahan

Komponen penyiapan lahan meliputi pembersihan lahan dan pengolahan


tanah untuk menyediakan lingkungan kondusif bagi pertumbuhan tanaman yang
akan ditanam. Tujuan dari pembersihan lahan adalah menghilangkan tanaman

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 57


A. Sudomo

nonkomersial dan gulma-gulma pengganggu pertumbuhan tanaman. Pengolahan


tanah dilakukan secara minimal sebatas pada lubang tanam. Hal ini bertujuan
menjaga serasah tetap pada lahan dan menghindari kerusakan tanah. Pada lahan
hutan rakyat, tanaman/gulma yang telah tumbuh liar sering dijumpai sehingga perlu
pembersihan yang lebih intensif. Meskipun demikian, pemindahan biomassa dari
lahan akan mengurangi kesuburan tanah sehingga sisa tanaman hasil pembabatan
tetap diletakkan pada lahan tersebut. Daun-daun hasil pembersihan lahan diharap-
kan dapat terdekomposisi dan selanjutnya menjadi pupuk penambah hara bagi lahan
tersebut.

b. Penanaman

Aspek penting dalam penanaman adalah pengaturan jarak tanam, ukuran


lubang tanam, dan pemberian pupuk dasar. Pada dasarnya, upaya memberikan ruang
tumbuh optimal pada tanaman muda sangatlah penting karena kondisi pertum-
buhan awal tanaman akan menentukan perkembangan selanjutnya dari pohon
tersebut (Daniel et al., 1979). Pertumbuhan tinggi dapat dipengaruhi oleh penetapan
jarak tanam di lapangan, yang mana jarak tanam yang rapat akan memberikan
respons yang nyata terhadap parameter pertambahan tinggi. Apabila jarak tanam
rapat, tanaman akan berusaha untuk mendapatkan jumlah sinar matahari yang
melimpah untuk pertumbuhannya sehingga mendorong kompetisi untuk mencapai
ketinggian tertentu dalam mendapatkan sinar matahari (Mahfudz, 2006).

Pada jarak tanam lebih lebar, manglid akan cenderung memiliki banyak perca-
bangan, sedangkan jarak tanam rapat mempunyai pengaruh yang baik terhadap
kelurusan batang. Jarak tanam rapat menyebabkan cabang-cabang bawah mati dan
memacu pertumbuhan tinggi. Jarak tanam 2 m x 2 m menghasilkan pertumbuhan
diameter dan tinggi manglid yang signifikan lebih baik dibandingkan dengan jarak
tanam lainnya hingga umur 28 bulan (menghasilkan tinggi sekitar 3,07 m dan
diameter 4,67 cm) (Sudomo & Mindawati, 2011). Tegakan manglid di hutan rakyat
dengan jarak tanam 2 m x 2 m tanpa penjarangan hingga umur delapan tahun
menghasilkan batang lurus, pertumbuhan cabang kecil, diameter terhambat, dan
persentase tajuk aktif hanya sekitar 21,45% (Sudomo, 2011).

58 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sil v ik ul t ur H ut an R ak y at M a n g l id ( Ma gn o l ia cha m pa ca )

Pembuatan lubang tanam dengan dimensi ukuran panjang x lebar x dalam


adalah 30 cm x 30 cm x 30 cm. Pemupukan dilakukan jika lahan atau media tidak
mampu memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tanaman. Tujuan pemberian pupuk
adalah merangsang pertumbuhan dengan menambah ketersediaan hara sehingga
meningkatkan perkembangan tajuk dan memperbesar permukaan untuk fotosintesis
(Haygreen & Bowyer, 1996). Pemberian pupuk dasar pada tanaman manglid dapat
berupa pupuk kandang lebih dari 2 kg/lubang tanaman yang diberikan 12 minggu
sebelum tanaman/anakan manglid ditanam (Sudomo & Mindawati, 2011).

c. Pemeliharaan

Tujuan kegiatan pemeliharaan adalah meningkatkan pertumbuhan tanaman


melalui perbaikan lingkungan tempat tumbuh. Kegiatan pemeliharaan dapat dilaku-
kan melalui pembersihan gulma, pembalikan tanah (penggemburan tanah), pemu-
pukan lanjutan, pemangkasan cabang, dan penjarangan. Hasil penelitian menunjuk-
kan bahwa pemberian pupuk organik (pupuk kandang) dan anorganik (urea, TSP,
KCL) terhadap tanaman tumpang sari jagung berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan tanaman manglid pada pola tanam agroforestry manglid dan jagung
(Puspitodjati et al., 2009). Pertumbuhan dapat dioptimalkan melalui pemupukan
lanjutan setelah pupuk dasar diberikan setelah anakan berumur satu bulan di
lapangan sehingga kanopi segera menutup. Hal ini akan terbawa hingga akhir daur
(68 tahun) (Hardiyanto, 2005).

Pemangkasan cabang merupakan penghilangan tajuk aktif dan dilakukan


untuk menghasilkan batang lurus yang tinggi dengan sedikit cabang dan terbebas
dari mata kayu. Meskipun demikian, intensitas tajuk aktif yang dipangkas harus
pada titik optimal sehingga tidak mengganggu fotosintesis. Titik optimal adalah
menyisakan jumlah tajuk efektif dan efisien untuk fotosintesis sehingga tidak
terdapat beban tajuk berlebih yang mengurangi pertumbuhan. Pemangkasan manglid
sebaiknya dilakukan pada saat manglid masih relatif muda sehingga pengerjaannya
mudah dan murah. Optimalisasi pemangkasan dapat dilakukan untuk meningkatkan
produktivitas dan kualitas kayu manglid. Selain itu, pohon yang memiliki cabang
besar cenderung menjadi bengkok (Maclaren, 2002). Tanaman manglid berumur 28

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 59


A. Sudomo

bulan dengan jarak tanam 2 m x 2 m, yang mana tajuk telah bersentuhan tetapi
belum terjadi pruning alami, masih tetap diperlukan tindakan pemangkasan untuk
menghilangkan mata kayu. Pada kasus Acacia mangium, pemangkasan cabang
dilakukan sebelum tanaman berumur enam bulan dengan menyisakan tajuk aktif
sebanyak 60% (Sudomo et al., 2007).

Penjarangan merupakan kegiatan penebangan terhadap pohon-pohon yang


jelek. Tanaman manglid pada jarak tanam rapat perlu dilakukan penjarangan agar
memberikan ruang pertumbuhan; sedangkan pada jarak tanam lebar, penjarangan
dilakukan sesuai kebutuhan agar pertumbuhannya optimal.

d. Pertumbuhan Manglid di Lapangan Hingga Umur 28 Bulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dorongan pertumbuhan tinggi manglid


yang ditanam pada jarak tanam rapat diikuti oleh pertumbuhan diameter sehingga
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan jarak tanam yang lebih
lebar hingga umur 28 bulan. Jarak tanam 2 m x 2 m memberikan pertumbuhan
tinggi dan diameter signifikan lebih baik dibandingkan dengan jarak tanam 3 m x 2
m dan 3 m x 3 m. Jarak tanam 2 m x 2 m menghasilkan pertumbuhan tinggi 3,068
m dan diameter 4,673 cm pada umur 28 bulan (Sudomo et al., 2010). Dengan jarak
tanam 2 m x 2 m, pemangkasan dan penjarangan perlu dilakukan seiring dengan
meningkatnya umur tegakan agar pertumbuhan dapat optimal.

7. Sistem Silvikultur Hutan Rakyat Manglid

Sistem silvikultur hutan rakyat dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
sistem tebang habis permudaan buatan, sistem tebang pilih permudaan alam, dan
sistem tebang habis permudaan terubusan. Aplikasi sistem silvikultur pada hutan
rakyat bisa berbeda-beda tergantung kondisi tegakan dan pola tanam. Pola tanam di
hutan rakyat ada yang monokultur, campuran, dan agroforestry. Pada hutan rakyat
campuran, petani biasanya menggunakan sistem silvikultur tebang pilih permudaan
alam. Petani memilih pohon yang telah layak ditebang dan membiarkan terjadi
permudaan alami dengan jenis yang regenerasi alamnya bagus. Berbeda halnya pada
hutan monokultur, petani biasanya menggunakan sistem silvikultur tebang habis

60 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sil v ik ul t ur H ut an R ak y at M a n g l id ( Ma gn o l ia cha m pa ca )

permudaan buatan. Keuntungan dari permudaan buatan adalah kemungkinan untuk


mengatur kerapatan, jarak tanam, komposisi jenis, dan penggunaan bibit unggul
secara lebih tepat dibandingkan dengan metode permudaan lain (Hadiwinoto,
1999).

Manglid mempunyai kemampuan membentuk terubusan yang banyak sehing-


ga permudaan manglid dalam pembangunan hutan rakyat potensial dilakukan
dengan sistem silvikultur tebang habis permudaan terubusan. Berdasarkan penga-
matan manglid di hutan rakyat Desa Sindang Barang, Kecamatan Panumbangan,
Kabupaten Ciamis; terdapat petani yang menggunakan sistem silvikultur tebang
habis permudaan terubusan. Terubusan yang terbentuk pada setiap tonggak pohon
bekas tebangan dapat mencapai 2, 3, atau lebih batang baru. Petani hutan rakyat
tidak melakukan seleksi ataupun singling terhadap batang-batang baru tersebut. Hal
yang disarankan adalah menyeleksi dan memilih satu batang baru hasil terubusan
yang tumbuh baik dan lurus sehingga potensial menghasilkan pertumbuhan yang
lebih cepat dan menghasilkan kualitas kayu yang lebih baik.

8. Agroforestry Berbasis Manglid

Manglid adalah pohon yang dapat tumbuh baik dengan persentase tajuk aktif
relatif kecil (21,45%) hingga umur delapan tahun sehingga sangat baik dalam
memberikan ruang tumbuh bagi tumbuhan bawah dalam pola tanam agroforestry.
Petani hutan rakyat di beberapa desa di Kecamatan Panumbangan, Kabupaten
Ciamis, telah mengombinasikan manglid dengan tanaman bawah, seperti jagung,
kapolaga, tales, dan jahe. Oleh karena itu, dukungan kebijakan diperlukan untuk
mengembangkan manglid sebagai ikon pengembangan hutan rakyat dengan sistem
agroforestry agar peningkatan kesejahteraan hutan rakyat tercapai.

Agroforestry potensial diimplementasikan di daerah-daerah yang padat pen-


duduknya sebagai suatu pola tanam untuk mengembalikan fungsi ekologi dan
ekonomi dari lahan-lahan terdegradasi. Seiring dengan bertambahnya jumlah pen-
duduk, luas lahan terdegradasai dan kebutuhan pangan pun semakin meningkat
sehingga agroforestry berbasis tanaman pangan menjadi pilihan strategis. Jagung

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 61


A. Sudomo

merupakan salah satu jenis tanaman bawah yang potensial dikembangkan pada lahan
kering karena mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Dalam rangka pengembangan hutan rakyat manglid dengan pola agroforestry,


penelitian tentang teknik agroforestry manglid dan jagung telah dilakukan. Hasil-
hasil penelitian tersebut disajikan sebagai berikut (Puspitodjati et al., 2009):

a. Agroforestry manglid dan jagung hingga umur 610 bulan mempunyai pengaruh
yang positif terhadap pertumbuhan manglid. Pertumbuhan tinggi manglid
agroforestry lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan tinggi manglid mono-
kultur.
b. Agroforestry manglid dan jagung hingga umur manglid 610 bulan memberikan
pengaruh terhadap penurunan produktivitas jagung. Rerata produksi jagung
agroforestry sebesar 7.005,8 kg/ha (jagung pipil kering) atau lebih rendah diban-
dingkan dengan produksi jagung monokultur yang mencapai 8.213,5 kg/ha.
Meskipun demikian, pengusahaan agroforestry manglid dan jagung masih diang-
gap menguntungkan untuk diusahakan dengan pendapatan bersih tahunan setara
dengan Rp7.020.0007.560.000/ha/tahun.
c. Pengelolaan lahan dengan pola agroforestry manglid dan jagung perlu digalakkan
karena menguntungkan, yaitu meningkatkan produksi pangan dari hutan rakyat
dan menjaga kesuburan lahan.
d. Pengembangan jagung varietas hibrida lebih menguntungkan dibandingkan
dengan varietas lokal sehingga layak diterapkan dan direkomendasikan dalam
sistem agroforestry manglid dan jagung.

B. Karakteristik Tempat Tumbuh Manglid di Hutan Rakyat

Manglid dapat tumbuh dengan baik di Kampung Babakan Lame, Desa


Cikubang, Kecamatan Taraju, Kabupaten Tasikmalaya. Di lokasi ini, tekstur tanah
tipe liat berat karena kandungan liatnya lebih dari 60%. Tanah liat sangat lekat dan
jika kering akan menjadi sangat keras. Semakin halus liat tanah, semakin besar air
yang dapat diikat oleh tanah. Pada usaha tani lahan kering, kelembaban hendaknya

62 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sil v ik ul t ur H ut an R ak y at M a n g l id ( Ma gn o l ia cha m pa ca )

dipertahankan agar tanah tetap kondusif untuk pertumbuhan tanaman. Dengan


demikian, pertumbuhan tanaman dengan baik dapat terjamin (Kartasapoetra &
Sutedjo, 2005). Manglid tumbuh baik pada hutan campuran yang lembab konstan,
yaitu pada tanah yang subur dan sering dijumpai di daerah pegunungan dengan
ketinggian 3002.200 m dpl (Djajapertjunda, 2003). Hutan rakyat manglid di
Kampung Babakan Lame tersebut berada pada ketinggian 585 m dpl. Faktor
kelembaban dan temperatur relatif penting karena berpengaruh terhadap tanah
sebagai media tumbuh manglid. Apabila kelembaban kurang, tanah liat akan sangat
keras dan menghambat pertumbuhan tanaman manglid. Namun, kenyataan pada
lokasi tersebut menunjukkan pertumbuhan manglid yang relatif baik. Hal ini
menunjukkan bahwa tanah liat dapat menghasilkan pertumbuhan manglid yang
bagus jika didukung lingkungan yang relatif lembab.

Struktur tanah pada lahan hutan rakyat pada umumnya adalah remah sedang
dan tanah yang memiliki kondisi ini umumnya agak bergumpalan. Struktur remah
ini merupakan keadaan agregat yang paling dikehendaki dalam pertanian. Pada
struktur ini, terdapat keseimbangan yang baik antara udara yang diperlukan untuk
pernapasan akar tanaman dan air tanah sebagai medium larutan unsur hara
(Kartasapoetra & Sutedjo, 2005).

Sifat kimia tanah pada hutan rakyat di Kampung Babakan Lame memiliki
kandungan C-organik pada seluruh horizon yang tergolong rendah, serta unsur N
dan P sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa manglid yang telah tumbuh
ternyata dapat toleran pada tanah dengan ketersediaan C-organik, N, dan P rendah.
Unsur K adalah satu-satunya unsur makro dalam tanah pada lokasi pertumbuhan
manglid yang termasuk kategori sedang hingga tinggi. Hal inilah yang menyebabkan
pertumbuhan akar tanaman manglid tampak tumbuh lebat menyebar di tanah.
Ketersediaan unsur K dengan kondisi lingkungan yang relatif lembab menyebabkan
manglid relatif dapat tumbuh dengan baik. Unsur K sangat penting untuk perkem-
bangan akar, pengaktifan enzim, proses fisiologis dan metabolisme tanaman, daya
tahan kekeringan, dan sebagainya (Tira & Murtiningsih, 2006).

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 63


A. Sudomo

Lokasi hutan rakyat manglid di Kampung Babakan Lame, Desa Cikubang,


Kecamatan Taraju berdekatan dengan Kecamatan Salawu yang mempunyai tujuh
bulan basah dan lima bulan kering dengan curah hujan 2.945,5 mm pada tahun 2008
(Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, 2009). Berdasarkan data kesesuaian
tempat tumbuh, manglid dapat tumbuh dengan kesesuaian I pada ketinggian 300
2.200 m dpl, kelas lereng 040%, tipe iklim AC, curah hujan >1.000 mm/tahun,
jumlah bulan kering 26 bulan, temperatur 15280C, tekstur tanah ringan hingga
sedang dan berat, pH tanah 4,56,5 (asam, sedang, dan netral), tebal solum dalam
hingga sangat dalam (101150 cm), drainase tanah baik, kesuburan tanah rendah
tinggi, salinitas <4, kedalaman sulfidik >150 cm (Dirjen Bina Pengembangan Hutan
Tanaman, 2007; Djajapertjunda, 2003).

Hasil pengamatan terhadap tegakan manglid yang ditanam dengan jarak


tanam 2 m x 2 m menunjukkan bahwa pada umur delapan tahun, manglid dapat
mencapai tinggi 12,96 m dan batang bebas cabang 10,09 m sehingga rerata
pertumbuhan tingginya sebesar 1,62 m/tahun. Meskipun demikian, jarak tanam
yang relatif rapat (2 m x 2 m) dan tanpa penjarangan hanya mendorong pertum-
buhan tinggi, sedangkan pertumbuhan diameter relatif kecil 13,94 cm sehingga
diperlukan penjarangan (Sudomo, 2011; Sudomo & Mindawati, 2011).

Petani hutan rakyat di Kampung Babakan Lame tidak melakukan


penjarangan terhadap tegakan manglid. Hal ini disebabkan petani beranggapan akan
merasa rugi jika mengurangi jumlah pohon per satuan hektare. Meskipun demikian,
mereka melakukan pruning sangat intensif sehingga menyisakan persentase tajuk
aktif yang relatif sedikit (rerata 21,45%), bahkan bisa lebih rendah lagi pada bebe-
rapa pohon manglid (Sudomo, 2011). Tindakan pruning yang dilakukan oleh petani
bertujuan agar pertumbuhan manglid semakin tinggi dengan batang bebas cabang
tinggi, tetap lurus, dan sedikit mata kayu.

Pertumbuhan akar manglid kebanyakan bersifat menyebar secara horizontal


dan dangkal. Tipe perakaran manglid dan kandungan bahan organik pada top soil
yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan horizon di bawahnya menye-
babkan pertumbuhan akar relatif dangkal dari permukaan tanah. Meskipun demi-

64 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sil v ik ul t ur H ut an R ak y at M a n g l id ( Ma gn o l ia cha m pa ca )

kian, batang manglid menunjukkan pertumbuhan yang kokoh atau tidak mudah
roboh. Banyaknya akar serabut yang disokong dengan akar tunggang ternyata relatif
memberikan daya tahan pohon manglid dari terpaan angin. Hal ini terbukti dari
jarangnya pohon manglid yang roboh, walaupun dengan ketinggian lebih dari 10 m.
Bahkan, terdapat beberapa individu pohon manglid yang relatif terpisah jauh dengan
pohon lainnya dapat tumbuh kokoh menjulang tinggi dengan persentase tajuk aktif
kurang dari 21% (Sudomo, 2011).

C. Kontribusi dan Prospektif Silvikultur Hutan Rakyat Manglid Terhadap


Pembangunan Kehutanan

Program-program kehutanan saat ini lebih mengedepankan masyarakat agar


mandiri sebagai subjek dalam pengelolaan hutan lestari. Selain itu, kegiatan reha-
bilitasi hutan dan lahan kritis terus dilaksanakan melalui pembangunan hutan rakyat,
hutan desa, dan lain-lain. Salah satu jenis tanaman kehutanan yang dapat dikem-
bangkan dengan pola tersebut adalah manglid.

Berdasarkan karakteristik pertumbuhannya, manglid mempunyai prospek yang


baik untuk dikembangkan di hutan rakyat sebagai alternatif pilihan atau tambahan
jenis-jenis potensial lainnya. Sebagai jenis andalan setempat, manglid relatif telah
adapted, disukai masyarakat, dan bernilai pasar. Dibandingkan dengan jenis exotic
lainnya yang rentan terhadap serangan hama dan penyakit, manglid relatif lebih
tahan dari serangan tersebut atau intensitas serangannya lebih rendah sehingga dapat
dijadikan sebagai jenis alternatif atau pengganti yang potensial dalam pembangunan
hutan tanaman, khususnya hutan rakyat.

Saat ini, pengetahuan teknik silvikultur manglid telah tersedia, mulai dari
pembibitan hingga penanaman. Hal ini dapat dijadikan dasar dalam pembuatan
SOP dalam pembangunan hutan tanaman. Standard Operational Procedure ini selan-
jutnya dapat menjadi acuan implementasi teknologi alternatif budi daya tanaman
hutan bagi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat. Teknik-teknik tersebut
dapat pula disinergikan dengan pengetahuan lokal masyarakat dalam mewujudkan
pengelolaan hutan lestari.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 65


A. Sudomo

Menurut Naiem & Sabarnurdin (2002), untuk memperoleh kelestarian pro-


duktivitas suatu pertanaman dalam jangka panjang akan sangat bergantung pada
persiapan lahan, pengendalian vegetasi liar, cara tanam yang tepat, penggunaan
pupuk, dan pemilihan materi genetik tanaman. Terkait dengan hal tersebut,
beberapa elemen silvikultur intensif berikut menjadi penting untuk diperhatikan agar
kelestarian produksi tetap terjaga (Davidson, 1996 dalam Naiem & Sabarnurdin,
2002), yaitu 1) pemilihan spesies, provenan, famili dan pohon elite; 2) kualitas semai
yang baik; 3) persiapan lahan dan pengendalian gulma; 4) penggunaan pupuk; 5)
jarak tanam; 6) pengelolaan yang tepat; dan 7) dana yang tersedia.

Silvikultur intensif belum sepenuhnya berjalan di masyarakat, terutama dalam


pembangunan hutan rakyat. Faktor-faktor internal yang menjadi kendala belum
berjalannya silvikultur intensif tersebut, antara lain keterbatasan modal, kegiatan
hutan rakyat masih dianggap sekedar usaha sampingan, pengelolaan masih bersifat
subsisten, keterbatasan luasan lahan, serta minimnya pengetahuan dan penyuluhan
silvikutur intensif. Selain penyebab faktor internal, faktor eksternal pun turut
memengaruhi pelaksanaan silvikutur intensif di masyarakat, yaitu belum tersedianya
bibit unggul dan SOP yang menyeluruh dalam pengelolaan hutan rakyat.

Konsep pengelolaan hutan rakyat manglid pada masa depan, selain dengan
silvikultur intensif, dapat pula dilengkapi dengan silvikultur agroforestry. Hal ini
disebabkan oleh belum berjalannya silvikultur intensif di masyarakat, sedangkan
praktik agroforestry telah berjalan di masyarakat. Aplikasi teknologi baru harus
menyesuaikan dengan praktik yang telah dilaksanakan oleh masyarakat. Sinergitas
antara pengetahuan lokal masyarakat dengan sceintific base knowledge dapat diapli-
kasikan dalam pembangunan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat manglid.

IV. Kesimpulan

Persemaian manglid untuk menghasilkan bibit berkualitas dapat diperoleh


dengan penaburan benih pada media abu sekam padi, penyapihan dengan media
tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1), dan intensitas naungan (shading

66 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sil v ik ul t ur H ut an R ak y at M a n g l id ( Ma gn o l ia cha m pa ca )

net) sebesar 40%. Peningkatan keberhasilan stek pucuk dapat dilakukan dengan
teknik juvenilisasi dan bahan stek dioles hormon Rootone-F.

Jarak tanam 2 m x 2 m dapat digunakan dalam mengembangkan hutan


tanaman manglid pada awal tanam. Peningkatan pertumbuhan awal manglid
dilakukan dengan pemberian pupuk kandang >2 kg/tanaman sebagai pupuk dasar.
Optimalisasi pertumbuhan dilakukan dengan pemangkasan dan penjarangan untuk
mendapatkan batang berkualitas dan memberikan ruang tumbuh tanaman bawah
dalam pola tanam agroforestry.

Manglid sesuai ditanam pada ketinggian 3002.200 m dpl, kelas lereng 0


40%, tipe iklim A C, curah hujan >1.000 mm/tahun, temperatur 15 280C, tekstur
tanah ringan hingga sedang dan berat, dan kesuburan tanah rendahtinggi. Manglid
yang telah tumbuh dapat toleran pada tanah liat masam dengan kandungan C-
organik rendah, serta unsur N dan P sangat rendah.

Manglid potensial sebagai tanaman pokok dalam pola tanam agroforestry


untuk pembangunan hutan rakyat. Optimalisasi produktivitas lahan hutan rakyat
dapat dilakukan dengan agroforestry manglid dan jagung.

Sistem silvikultur tebang habis permudaan terubusan potensial diaplikasikan


dalam pembangunan hutan rakyat manglid. Pemilihan dan pemeliharaan terhadap
terubusan yang tumbuh dapat dilakukan untuk menghasilkan batang berkualitas.

Daftar Pustaka

Daniel, T. W., Helms, J. A., & Baker, F. S. (1979). Principles of silviculture:


McGraw-Hill Book Company.

Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya. (2009). Data curah hujan tahun 2008 di
Kabupaten Tasikmalaya.

Diniyati, D., Suyarno, Kuswantoro, D. P., Badrunasar, A., Fauziyah, E.,


Sulistyawati, T., & Mulyati, E. (2005). Teknik perbanyakan tanaman manglid
dengan biji. Loka Litbang Hutan Monsoon Ciamis.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 67


A. Sudomo

Dirjen Bina Pengembangan Hutan Tanaman. (2007). Laporan akhir penyusunan


sistem informasi spasial kesesuaian jenis hutan tanaman. In H. B. Santoso, S.
Bustomi, Hendromono & Subardja (Eds.): Kementerian Kehutanan.

Djajapertjunda. (2003). Mengembangkan hutan milik di Jawa. Sumedang: Alqaprint.


Jatinangor.

Faridah, E. (1996). Pengaruh intensitas cahaya, mikoriza dan serbuk arang pada
pertumbuhan alam Dryobalanops sp. Buletin Penelitian Kehutanan. Fakultas
Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta(29).

Hadiwinoto, S. (1999). Bahan ajar kuliah silvikultur hutan tanaman. Fakultas


Kehutanan UGM Yogyakarta.

Hardiyanto, E. (2005). Beberapa isu silvikultur dalam pengembangan hutan tanaman.


Paper presented at the Makalah Seminar Peningkatan Produktivitas Hutan.
Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Haygreen, J. G., & Bowyer, J. L. (1996). Forest products and wood science: an
introduction.

Kartasapoetra, A. G., & Sutedjo, M. (2005). Teknologi konservasi tanah dan air: PT
Rineka Cipta, Jakarta.

Maclaren, P. (2002). Wood quality of radiata pine on farm sitesa review of the
issues. Forest Farm Forest Manage Coop. Report(80).

Mahfudz. (2006). Variasi pertumbuhan beberapa klon jati hasil stek pucuk pada dua
jarak tanam di Gunung Kidul. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 3(1).

Na'iem, M. (2000). Prospek perhutanan klon jati di Indonesia. Prosiding Seminar


Nasional Status Silvikultur di Indonesia Saat ini. Wanagama I, 1-2 Desember
2000. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Naiem, M., & Sabarnurdin, M. S. (2002). Agroforestry dalam pengelolaan intensif


sumber daya lahan. Paper presented at the Seminar Nasional. PT Perhutani
(Persero) Agrokompleks UGM SEANAFE (PAFI).

68 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sil v ik ul t ur H ut an R ak y at M a n g l id ( Ma gn o l ia cha m pa ca )

PIKA. (1996). Mengenal sifat-sifat kayu Indonesia dan penggunaannya: Penerbit


Kanisius, Yogyakarta.

Puspitodjati, T., Rohandi, A., Swestiani, D., Sudomo, A., Nadiharto, Y.,
Rahmawan, B., & Setiawan, I. (2009). Intensifikasi hutan rakyat untuk
peningkatan produksi pangan melalui pola agroforestry jenis manglid
(Manglieta glauca BI) dan jagung (Zea mays). Ciamis: Balai Penelitian
Kehutanan Ciamis.

Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan


hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.

Smith, D. (1986). The practice of silviculture: John Wiley and Sons.

Soekotjo, & Naim, M. (2006). SILIN: Menunju hutan yang prospektif , sehat, dan
lestari. In Y. Fakultas Kehutanan UGM (Ed.), Warta Kagama Edisi Perdana.

Sudomo, A. (2009). Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan mutu bibit


manglid (Manglieta glauca BI.). Tekno Hutan Tanaman, 2(2), 59-66.

Sudomo, A. (2011). Karakteristik pertumbuhan dan tempat tumbuh manglid di hutan


rakyat Babakan Lame, Desa Cikubang, Kecamatan Taraju, Kabupaten
Tasikmalaya. Paper presented at the Workshop Puslitbang Peningkatan
Produktivitas Hutan Tanaman, Bogor.

Sudomo, A., & Dendang, B. (2008). Budi daya manglid. Ciamis: Balai Penelitian
Kehutanan Ciamis.

Sudomo, A., & Mindawati, N. (2011). Pertumbuhan manglid pada tiga jarak tanam
dan tiga jenis pupuk di Tasikmalaya, Jawa Barat. Tekno Hutan Tanaman.

Sudomo, A., Permadi, P., & Rahman, E. (2007). Kajian kontrol silvikultur hutan
tanaman terhadap kualitas kayu pulp. Informasi Teknis. Vol.5 No.2. Balai
Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Yogyakarta.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 69


A. Sudomo

Sudomo, A., Rahman, E., & Mindawati, N. (2010). Mutu bibit manglid pada tujuh
media sapih. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 7(5).

Sudomo, A., Rohandi, A., & Mindawati, N. (2013). Pengaruh zat pengatur tumbuh
Rootone-F pada stek pucuk manglid (Manglietia Glauca Bl.). Jurnal Penelitian
Hutan Tanaman, 10(2), 57-63.

Tira, L., & Murtiningsih. (2006). Karakteristik lahan bekas tambang batu kapur di
Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Info Hutan, III(3).

Zobel, B. (1992). Silvicultural effects on wood properties. IPEF International, 2, 31-


38.

70 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Produktivitas dan Kualitas Umbi Suweg (Amorphophallus
campanulatus BI) pada Sistem Agroforestry Manglid

Aris Sudomo1

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh sistem agroforestry terhadap produktivitas
dan kualitas umbi suweg (Amorphophallus campanulatus BI) pada lahan hutan rakyat. Pene-
litian dilakukan pada lahan kering hutan rakyat di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Suka-
mantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Uji coba dimulai dengan penanaman suweg
di bawah tegakan hutan rakyat manglid (Magnolia champaca) umur 32 bulan. Rancangan
percobaan menggunakan split-plot design dengan main plot tiga intensitas pruning tegakan
manglid (0%, 50%, dan 75%) dan subplot tiga jarak tanam manglid (2 m x 2 m; 2 m x 3 m,
dan 3 m x 3 m), serta dengan pembanding tanaman suweg. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa interaksi intensitas pruning dengan jarak tanam pohon berpengaruh nyata terhadap
produksi suweg. Produksi berat basah dan berat kering umbi terbesar (2.097,6 gram dan
484,08 gram) didapatkan pada perlakuan intensitas pruning pohon manglid 75% berjarak
tanam 3 m x 3 m dengan intensitas cahaya 87,52% lebih baik dibandingkan dengan
monokultur suweg pada tempat terbuka yang hanya menghasilkan berat basah 834,25 gram
dan berat kering 204,88 gram. Nilai rerata kandungan protein umbi pada sistem agroforestry
(>2%) lebih besar dibandingkan dengan sistem monokultur suweg (1,9%). Sebaliknya, rerata
kandungan karbohidrat umbi pada agroforestry (<25%) lebih rendah dibandingkan dengan
monokultur suweg (26,04%).

Kata kunci: suweg, Amorphophallus campanulatus BI, hutan rakyat, agroforestry

I. Pendahuluan

Sistem agroforestry dinilai potensial untuk memperbaiki kebutuhan bahan


pangan masyarakat dengan meningkatkan ketersediaan pangan, diversifikasi produk,

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 04, Po Box 5 Ciamis 46201
Email: arisbpkc@yahoo.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 71


A. Sudomo

dan menjamin ketersediaan bahan pangan secara berkesinambungan. Menurut


Suhardi (2011), potensi pengembangan jenis tanaman pangan di bawah tegakan
hutan rakyat di Jawa berasal dari jenis umbi-umbian, antara lain suweg, ubi kayu,
garut, talas, kimpul, dan ubi jalar. Selain dapat dikonsumsi langsung sebagai bahan
pangan, suweg juga dapat ditingkatkan sebagai bahan baku industri keripik, kue, dan
lain-lain. Tepung suweg dapat dimanfaatkan dalam pembuatan cookies sehingga
dapat mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu sebagai bahan baku pem-
buatan cookies. Keunggulan umbi suweg adalah kandungan serat pangan dan protein
yang cukup tinggi, yaitu berturut-turut sebesar 13,71% dan 7,20% dengan kan-
dungan lemak yang rendah sebesar 0,28%, serta nilai Indeks Glisemik yang cukup
rendah sehingga baik untuk kesehatan (Faridah, 2005). Tanaman suweg dapat
ditanam di bawah pohon atau pada intensitas cahaya matahari rendah (Handono,
2013; Richana & Sunarti, 2004).

Agroforestry telah diaplikasikan masyarakat berdasarkan eksperience base


knowledge sehingga potensial adapted di masyarakat. Agroforestry dengan scientific base
knowledge bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan lahan melalui kombinasi
tanaman kehutanan dan tanaman pertanian. Sinergitas antarkomponen tanaman
dapat dilakukan dengan tindakan silvikultur sehingga terdapat kondisi berbagi sum-
ber daya (air, unsur hara, dan sinar matahari) dan tidak kompetitif antarkomponen,
bahkan saling menguntungkan. Menurut Sabarnurdin et al. (2004), dasar penguat
dari Sistem Berbagi Sumber daya (SBS) dalam agroforestry adalah dinamika ruang
yang didasarkan pada kuantifikasi perkembangan tajuk ke arah bidang olah. Huxley
(1999) menyatakan bahwa tindakan pengaturan cahaya dalam sistem agroforestry
dapat dilakukan dengan cara 1) menghilangkan cabang mati dan terkena penyakit
untuk tujuan meningkatkan kualitas kayu; 2) memanipulasi ukuran dan bentuk tajuk
untuk memelihara produktivitas biomassa, serta menjaga kompetisi dengan tanaman
bawah; dan 3) melakukan pruning atau penjarangan untuk menjaga produksi buah,
daun, cabang [untuk kayu bakar], dan sebagainya. Pengaturan jarak tanam dan
pruning dalam praktik agroforestry menjadi faktor penting karena jarak tanam pohon
yang lebih lebar akan menambah luas bidang olah untuk tanaman bawah. Selain
untuk pemeliharaan pohon, pruning diperlukan untuk meningkatkan intensitas

72 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Pro duk t iv it as dan K ual it as Umb i Suw eg

cahaya yang masuk ke bawah kanopi. Penelitian ini bertujuan mengetahui produk-
tivitas dan kualitas umbi suweg pada sistem agroforestry manglid dibandingkan
dengan sistem monokultur suweg.

II. Metodologi

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada lahan kering hutan rakyat yang secara administratif
termasuk dalam wilayah Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten
Ciamis, Provinsi Jawa Barat dengan koordinat S 07006550 dan E 108022900.
Lahan hutan rakyat tersebut berada pada ketinggian 894 m dpl, temperatur 20,4
310C, dan kelembaban 62,1389,75%. Curah hujan di Desa Tenggerraharja adalah
2.071 mm/tahun dan berdasarkan klasifikasi iklim Schmith Ferguson termasuk ke
dalam tipe C (agak basah) (BP3K, 2012). Penelitian dilakukan mulai bulan
November 2012 hingga Juni 2014.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tegakan manglid umur 32
bulan dengan tiga macam jarak tanam, benih suweg lokal, insektisida, pupuk kan-
dang, pupuk kimia (NPK dan urea), dan lain-lain. Alat yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah oven, cangkul, sabit, tambang, drum, meteran, ember, kaliper,
timbangan, kamera, termohigrometer, GPS, luxmeter, alat tulis, dan lain-lain.

C. Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan sistem agroforestry melalui kegiatan yang dimulai


dari penyiapan lahan dengan pembabatan alang-alang dan mencangkul tanah
sedalam 1030 cm. Jarak tanam suweg adalah 120 cm x 80 cm. Pembuatan lubang
tanam dengan ukuran 40 cm x 40 cm sedalam 2030 cm. Pupuk dasar pada saat
penanaman suweg adalah pupuk kotoran ayam sebanyak 800 gram/lubang.
Penyiangan dan pemupukan lanjutan dilakukan bersamaan setelah suweg berumur

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 73


A. Sudomo

dua dan empat bulan. Dosis pemupukan lanjutan menggunakan urea dan NPK (1:2)
sebanyak 70 gram/tanaman. Penyiangan dilakukan setiap tiga bulan sekali.

D. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Split-Plot Design dengan main


plot adalah tiga intensitas pruning, yaitu P0 (0%), P1 (50%), dan P2 (75%); serta
subplot adalah tiga jarak tanam, yaitu S1 (2 m x 2 m), S2 (2 m x 3 m), dan S3 (3 m x
3 m). Masing-masing perlakuan tersebut ditanami suweg. Plot terdiri dari border
dan sampel yang diukur pada tanaman Magnolia champaca adalah 7 x 7 tanaman
sehingga plot bersih yang diukur adalah 5 x 5 tanaman manglid. Total tanaman
Magnolia champaca adalah 49 x 3 intensitas pruning x 3 jarak tanam = 441 tanaman.
Sebagai control atau pembanding, penanaman monokultur suweg dilakukan pada
luasan 10 m x 10 m.

E. Pengamatan Kondisi Lapangan

Pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada setiap unit percobaan masing-


masing sembilan titik, yaitu tiga titik di bawah pohon, tiga titik di antara pohon, dan
tiga titik di tengah-tengah diagonal pohon. Sebagai pembanding, pengukuran
intensitas cahaya dilakukan pada tempat terbuka. Pengukuran suhu dan kelembaban
dilakukan setiap pagi, siang, dan sore hari selama dua bulan. Data curah hujan
selama 10 tahun didapatkan dari data sekunder Badan Penyuluhan Pertanian,
Peternakan, dan Kehutanan di Unit Pelaksana Teknik Daerah (UPTD) Kecamatan
Sukamantri, Kabupaten Ciamis.

F. Analisis Data

Pengukuran produktivitas tanaman dilakukan dengan penimbangan berat


basah dan berat kering umbi. Analisis kandungan kimia karbohidrat dan protein
umbi dilakukan di laboratorium dengan mengambil sampel umbi hasil panen pada
setiap unit percobaan.

74 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Pro duk t iv it as dan K ual it as Umb i Suw eg

Data produksi kemudian dianalisis dengan analisis varians atau uji F. Kemu-
dian, apabila berbeda nyata, analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan dengan
taraf uji 95%. Data kandungan karbohidrat dan protein umbi dianalisis mengunakan
statistik sederhana dengan merata-ratakan hasil pada setiap perlakuan.

III. Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa pengaruh pruning dan jarak tanam
manglid, serta interaksi keduanya berbeda nyata terhadap produksi berat basah dan
berat kering umbi. Selanjutnya, uji lanjut Duncan dilakukan untuk mengetahui rerata
terbaik dengan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Berdasarkan Tbel 1, berat basah dan berat kering umbi suweg pada sistem
agroforestry berbeda nyata lebih baik pada kombinasi pruning 75% dengan jarak
tanam 3 m x 3m dan kombinasi pruning 0% dengan jarak tanam 3 m x 3 m diban-
dingkan dengan monokultur. Intensitas cahaya di bawah sistem agroforestry tersebut
adalah 87,52% dan 67,61%. Produksi umbi lebih baik pada sistem agroforestry diban-
dingkan dengan sistem monokultur. Pertumbuhan suweg yang memerlukan naungan
ringan terbantu oleh keberadaan tajuk tanaman manglid dalam mengurangi inten-
sitas cahaya matahari. Tanaman suweg tumbuh di bawah naungan atau di bawah
tegakan tanaman tahunan, seperti jati, kopi, dan ekaliptus (Richana, 2012).

Hasil panen terbaik dihasilkan pada sistem agroforestry dengan intensitas


pruning tegakan manglid sebesar 75% dan jarak tanam 3 m x 3 m (intensitas cahaya
87,52%). Hal ini disebabkan oleh intensitas sinar matahari yang lebih rendah di
bawah tegakan manglid sehingga penguapan berkurang. Pada tempat terbuka, inten-
sitas sinar matahari terlalu tinggi sehingga menyebabkan penguapan lebih tinggi.
Tanaman suweg pada intensitas cahaya yang optimal akan lebih efektif berfoto-
sintesis untuk menghasilkan biomassa tanaman. Penangkapan cahaya, air, dan
nutrisi tergantung jumlah, areal permukaan, distribusi, dan keefektifan dari elemen
individual dalam kanopi atau sistem perakaran dari spesies atau kombinasinya (Ong
& Kho, 2015). Hasil panen merupakan hasil penimbunan berat kering dalam waktu

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 75


A. Sudomo

tertentu, seberapa efisien tanaman memanfaatkan radiasi matahari, dan berapa lama
tanaman tersebut dapat mempertahankan pemanfaatan tersebut, yang secara efisien
menentukan berat kering hasil panen tanaman tersebut (Gardner et al., 2003).

Tabel 1. Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan pruning, jarak tanam, dan interaksinya
terhadap produktivitas suweg

Intensitas Berat basah umbi Standar Berat kering umbi Standar


No. Perlakuan
cahaya (%) (gram/tanaman) Deviasi (gram/tanaman) Deviasi

1. Monokultur suweg 100 834,3 bcd 392,6 204,9 bcd 97,9


2. Intensitas pruning 24 619,1 cde 366,6 141,2 de 76,0
0% x JT 2 x 2 m
3. Intensitas pruning 28 540,0 de 199,1 126,3 de 39,8
0% x JT 2 x 3 m
4. Intensitas pruning 35 1.094,0 b 528,0 254,6 b 129,6
0% x JT 3 x 3 m
5. Intensitas pruning 46 273,8 e 89,0 66,3 e 20,9
50% x JT 2 x 2 m
6. Intensitas pruning 62 676,8 cd 383,5 150,0 cde 87,1
50% x JT 2 x 3 m
7. Intensitas pruning 66 623,7 cde 317,0 171,7 bcd 81,3
50% x JT 3 x 3 m
8. Intensitas pruning 17 541,8 de 354,2 133,9 de 102,2
75% x JT 2 x 2 m
9. Intensitas pruning 68 949,5 bc 449,6 241,0 bc 108,0
75% x JT 2 x 3 m
10. Intensitas pruning 88 2.097,6 a 776,9 484,1 a 206,2
75% x JT 3 x 3 m

Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%; JT = jarak tanam

76 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Pro duk t iv it as dan K ual it as Umb i Suw eg

(a)

(b)
Gambar 1. Produksi suweg: berat basah umbi/tanaman (gram) (a) dan berat kering umbi/
tanaman (gram) (b)

Hasil analisis laboratorium terhadap kandungan pati umbi suweg menunjuk-


kan bahwa sistem agroforestry menghasilkan umbi dengan kandungan pati lebih
rendah, tetapi lebih tinggi untuk kandungan proteinnya (Gambar 2). Hal ini dise-
babkan oleh intensitas sinar matahari di tempat terbuka (monokultur suweg) lebih
tinggi sehingga hasil fotosintesis berupa karbohidrat lebih tinggi. Pati merupakan
bahan organik polisakarida pertama yang diproduksi dari reaksi antara karbondiok-

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 77


A. Sudomo

sida dari udara dan air dari dalam tanah melalui proses fotosintesis dengan meman-
faatkan energi radiasi sinar matahari (Hodge & Osman, 1976). Kondisi kekurangan
cahaya berakibat terganggunya metabolisme sehingga menyebabkan menurunnya
laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Chowdury et al., 1994; Sopandie et al.,
2003). Berkurangnya intensitas cahaya menurunkan aktivitas PGA-kinase dan penu-
runan yang lebih kecil dijumpai pada genotipe padi gogo toleran naungan diban-
dingkan dengan genotipe peka. Pada intensitas cahaya rendah terjadi gangguan
translokasi sehingga gula total dan pati menurun pada seluruh bagian tanaman
(Soverda, 2002).

Kandungan protein umbi suweg pada sistem agroforestry manglid lebih tinggi
dibandingkan dengan sistem monokultur suweg. Dalam hal ini, nitrogen (N) berpe-
ran sebagai unsur utama pembentuk protein. Sharma (2006) dalam Akhila & Beevy
(2011) menyatakan bahwa profil protein pada sebagian besar jenis tanaman semusim
tergantung pada kondisi lingkungan dan kondisi penyimpanan. Naungan menyebab-
kan terjadinya akumulasi N pada organ-organ tanaman tertentu, salah satunya pada
biji. Norton et al., (1991) menyatakan bahwa naungan dapat menurunkan produksi
hijauan, tetapi dapat meningkatkan kandungan nitrogen tanaman. Youkhana & Idol
(2009) menyatakan bahwa mulsa hasil pruning juga dapat meningkatkan kandungan
C dan N tanah, serta menurunkan kepadatan tanah, terutama pada lapisan tanah
bagian atas (hingga 20 cm). Sistem agroforestry lebih menjaga kehilangan N tanah
akibat aliran permukaan dibandingkan dengan sistem monokultur. Penurunan kadar
nitrogen tanaman berpengaruh terhadap fotosintesis, baik melalui kandungan kloro-
fil maupun enzim fotosintetik, sehingga menurunkan fotosintat (pati) yang terben-
tuk, yang selanjutnya akan menurunkan pula bobot basah umbi dan bobot kering
umbi (Djukri & Purwoko, 2003). Amorphophallus termasuk tanaman yang tahan
kering, menyukai tempat teduh, dan tanah gembur (Richana, 2012).

78 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Pro duk t iv it as dan K ual it as Umb i Suw eg

(a)

(b)
Gambar 2. Persentase kanadungan protein (a) dan pati umbi (b) pada silvikultur agrofrestry
dan monokultur suweg

Lott et al. (2009) menyatakan bahwa manfaat utama dari naungan pohon
adalah untuk melindungi dari temperatur yang tinggi, terutama di daerah tropik.
Tanaman umbi-umbian pada umumnya mempunyai kemampuan hidup yang baik

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 79


A. Sudomo

ketika ditanam di bawah naungan. Keberadaan manglid dalam sistem agroforestry


akan mengurangi sumber daya sinar matahari, unsur hara, dan air. Meskipun demi-
kian, tanaman suweg dengan pemeliharaan lebih intensif akan tercukupi unsur hara
dan cahaya sehingga pertumbuhannya tetap optimal. Naungan optimal yang diperlu-
kan suweg adalah 5060% (Jansen et al., 1996 dalam Richana, 2012). Peningkatan
produktivitas lahan dapat dilakukan jika menggunakan kombinasi antara pohon
dengan tanaman jenis C3 (Muthuri et al., 2005). Suweg merupakan tanaman C3
sehingga mempunyai adaptasi yang baik terhadap naungan. Hal yang sama ditun-
jukkan dari penelitian salah satu jenis umbi, yaitu kimpul (Xanthosoma sagittifolium
(L.) Schott) yang menghasilkan pertumbuhan tinggi terbaik dengan jumlah klorofil
daun tanaman kimpul pada naungan 75%. Respons yang berbeda ditunjukkan oleh
tanaman kedelai yang ternaungi. Sopandie & Trikoesoemaningtyas (2015) melapor-
kan bahwa hasil kedelai menurun rata-rata 3060% pada kondisi cekaman naungan
Naungan sebesar 50% mengakibatkan umur panen lebih cepat, batang lebih tinggi,
jumlah polong isi lebih sedikit, ukuran biji lebih kecil, dan bobot biji menjadi lebih
rendah dibandingkan dengan lingkungan yang tanpa naungan (Susanto & Sundari,
2011).

IV. Kesimpulan

Sistem agroforestry mampu meningkatkan produksi suweg, berat basah, berat


kering umbi, dan kandungan protein umbi melalui perlakuan pruning intensitas 75%
dengan jarak tanam manglid 3 m x 3 m. Oleh karena itu, penanaman suweg dalam
skala usaha akan lebih produktif hasilnya jika ditanam dengan sistem agroforestry.

Daftar Pustaka

Akhila, H., & Beevy, S. S. (2011). Morphological and seed protein characterization
of the cultivated and the wild taxa of Sesamum L.(Pedaliaceae). Plant
Systematics and Evolution, 293(1-4), 65-70.

80 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Pro duk t iv it as dan K ual it as Umb i Suw eg

Djukri, & Purwoko, B. S. (2003). Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi
tanaman talas(Colocasia esculenta (L.) Schott). Ilmu Pertanian, 10(2), 17-25.

Faridah, D. (2005). Sifat fisiko-kimia tepung suweg (Amorphophallus campanulatus


B1.). J. Teknol. dan Industri Pangan, 16(3), 254-259.

Gardner, F. P., Pearce, R. B., & Mitchell, R. L. (2003). Physiology of crop plants.
Physiology of crop plants.

Handono, A. (2013). Pemanfaatan tepung umbi suweg (Amorphophallus C) sebagai


substitusi tepung terigu dalam pembuatan cookies dengan penambahan kuning
telur (Skripsi), Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur,
Surabaya.

Hodge, J., & Osman, E. (1976). Carbohydrates. In D. R. Fennema & M. Dekker


(Eds.), Food Chemistry. New York, Basel: Inc. New York dan Basel.

Huxley, P. (1999). Tropical agroforestry: Blackwell Science.

Lott, J., Ong, C., & Black, C. (2009). Understorey microclimate and crop
performance in a Grevillea robusta-based agroforestry system in semi-arid
Kenya. Agricultural and Forest Meteorology, 149(6), 1140-1151.

Muthuri, C., Ong, C., Black, C., Ngumi, V., & Mati, B. (2005). Tree and crop
productivity in Grevillea, Alnus and Paulownia-based agroforestry systems
in semi-arid Kenya. Forest ecology and management, 212(1), 23-39.

Norton, B., Wilson, J., Shelton, H., & Hill, K. (1991). The effect of shade on
forage quality. Forages for plantations crops.(Eds. M. Shelton and W. Str).
ACIAR Proceedings(32), 83.

Ong, C., & Kho, R. (2015). A framework for quantifying the various effects of tree-
crop interactions. Treecrop interactions, 2nd edition: agroforestry in a changing
climate. CAB International, Wallingford, 1-23.

Richana, N. (2012). Araceae & Dioscorea Manfaat Umbi-umbian Indonesia.


Nuansa. Bandung, 95.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 81


A. Sudomo

Richana, N., & Sunarti, T. C. (2004). Karakterisasi sifat fisiko kimia tepung umbi
dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubi kelapa dan gembili. Jurnal
pascapanen, 1(1), 29-37.

Sabarnurdin, M. S., Suryanto, P., & Aryono, W. (2004). Dinamika tegakan mahoni
(Swietenia macrophylla King) dalam sistem pertanaman lorong (Alley
cropping). Ilmu Pertanian, 11(1), 63-73.

Sopandie, D., Chozin MA, Sastrosumarjo S, Juhaeti T, & Sahardi. (2003).


Toleransi terhadap naungan pada padi gogo. Hayati, 10, 71-75.

Sopandie, D., & Trikoesoemaningtyas, T. (2015). Pengembangan tanaman sela di


bawah tegakan tanaman tahunan. Buletin Iptek Tanaman Pangan, 6(2).

Soverda, N. (2002). Karakteristik fisiologi fotosintetik dan pewarisan sifat toleran


naungan pada padi gogo. (Disertasi), Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suhardi. (2011). Mandiri pangan sejahterakan masyarakat: KAGAMA.

Susanto, G. W. A., & Sundari, T. (2011). Perubahan karakter agronomi aksesi


plasma nutfah kedelai di lingkungan ternaungi. J. Agron. Indonesia, 39(1), 1-
6.

Youkhana, A., & Idol, T. (2009). Tree pruning mulch increases soil C and N in a
shaded coffee agroecosystem in Hawaii. Soil biology and Biochemistry, 41(12),
2527-2534.

82 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Hama dan Penyakit Manglid

Endah Suhaendah1 & Aji Winara 1

ABSTRAK

Upaya peningkatan produktivitas manglid tidak terlepas dari berbagai masalah, salah satunya
adalah serangan hama dan penyakit. Kemampuan mengenali jenis hama dan penyakit sangat
penting agar upaya pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan secara
efektif dan efisien. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui jenis hama dan penyakit
manglid, serta pengendaliannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa
jenis hama manglid, yaitu hama perusak daun kumbang Sastra sp. dan Sorolopha camarotis,
serta hama pengisap kutu putih Hammamelistes sp. dan Urostylis sp. Jenis penyakit manglid
yang ditemukan antara lain penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar, serta bercak
daun. Pengendalian yang sesuai untuk hama pengisap Hammamelistes sp. dan Urostylis sp.
adalah dengan penggunaan insektisida yang spesifik berbahan aktif Bacillus thuringiensis.
Untuk jenis hama perusak daun Sastra sp. dan Sorolopha camarotis, pengendalian yang sesuai
adalah dengan menggunakan musuh alaminya dan jika diperlukan, insektisida dapat
digunakan. Pengendalian penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar dapat dilakukan
melalui pemberian agen antagonis jenis Trichoderma spp. pada media semai atau pada
tanaman di tingkat lapangan.

Kata kunci: hama, insektisida, manglid, pengendalian, penyakit

I. Pendahuluan

Manglid saat ini menjadi salah satu kayu lokal unggulan yang banyak dikem-
bangkan oleh pegiat hutan rakyat, khususnya di Jawa Barat bagian timur (Priangan
Timur). Pengembangan silvikultur manglid dilakukan melalui berbagai macam pola
tanam; baik monokultur, heterokultur maupun agroforestry. Kejadian serangan hama
dan penyakit menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan oleh para

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis, Jawa Barat
Email: endah_ah@yahoo.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 83


E. Suhaendah & A. Winara

pegiat hutan manglid sehingga kerugian secara ekonomi akibat hama dan penyakit
dapat dihindari.

Pengetahuan tentang jenis hama dan penyakit, serta upaya pengendaliannya


belum banyak dikaji dan dilaporkan secara umum. Hal ini tidak berarti manglid be-
bas dari serangan hama dan penyakit. Seperti jenis tanaman hutan lainnya, manglid
merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang tidak luput dari serangan hama dan
penyakit. Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh hama dan penyakit dapat
mengakibatkan kematian, kerusakan sebagian dari pohon, penurunan pertumbuhan
pohon, serta kerusakan biji dan buah (Gillott, 2005; Sumardi & Widyastuti, 2007).

Serangga merupakan kelompok hama paling berat yang menyebabkan keru-


sakan hutan (Anggraeni et al.,, 2006; Sumardi & Widyastuti, 2007). Terjadinya
ledakan hama disebabkan karena ekosistem yang disederhanakan. Hal ini menye-
babkan terjadinya kelimpahan makanan yang kondusif bagi perkembangan hama.
Perkembangan hama dipengaruhi oleh komposisi tanaman, umur, atau tempat
tumbuh, seperti ketinggian, intensitas cahaya, dan struktur tanah (Wainhouse,
2005).

Kemampuan untuk mengantisipasi ledakan hama melalui informasi kejadian


hama dan deteksi ledakan pada stadium awal perkembangan hama dapat dengan
signifikan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengendalian hama. Beberapa
metode pengendalian hama sudah tersedia, antara lain pengendalian mekanis,
biologis, dan kimiawi. Setiap metode memiliki keunggulan dan kekurangan
sehingga harus diseimbangkan antara keunggulan dan kekurangan tersebut melalui
kombinasi metode yang paling sesuai (Gillott, 2005; Wainhouse, 2005).

Tanaman dikatakan sehat atau normal jika dapat melaksanakan fungsi-fungsi


fisiologisnya sesuai dengan genetik terbaik yang dimilikinya. Apabila tanaman
diganggu oleh patogen (penyebab penyakit) atau oleh keadaan lingkungan tertentu
sehingga fungsi fisiologis tanaman terganggu yang menyebabkan terjadinya penyim-
pangan dari keadaan normal, tanaman akan menjadi sakit (Agrios, 1996). Perkem-
bangan penyakit tanaman dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu adanya patogen,

84 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


H ama dan Pen y ak it M a n g l id

kerentanan tanaman, dan kondisi lingkungan yang mendukung (Anggraeni &


Lelana, 2011).

Kejadian penyakit dapat merugikan secara ekonomi jika terjadi ledakan


penyakit hingga tingkat epidemik. Ledakan penyakit dapat terjadi jika didukung
oleh patogen yang virulen, lingkungan yang mendukung pathogen, dan tanaman
inang yang lemah.

Pengendalian penyakit tanaman dapat dilakukan agar kejadian penyakit tidak


merugikan secara ekonomi atau berpotensi dapat menyebar luas. Metode pengen-
dalian penyakit tanaman bervariasi tergantung dari jenis patogen, jenis inang, dan
interaksi keduanya. Berbagai cara pengendalian dapat dikelompokkan ke dalam
pengendalian dengan peraturan perundang-undangan, kultur teknis, hayati, fisik,
dan kimiawi yang tergantung pada sifat agensia yang digunakan (Agrios, 1996).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi jenis-jenis


hama dan penyakit yang menyerang manglid, serta mencari cara pengendaliannya
yang efektif dan efisien. Informasi ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam
program pembangunan hutan manglid, baik di hutan tanaman maupun di hutan
rakyat.

II. Metodologi

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Sodonghilir, Pagerageung, dan


Bojonggambir yang semuanya masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tasikmalaya,
Provinsi Jawa Barat. Pelaksanaan penelitian dari tahun 2012 hingga 2015.

B. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tanaman manglid,
mikoriza, serta insektisida hayati dan kimia. Alat yang digunakan berupa kantong

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 85


E. Suhaendah & A. Winara

plastik, alat tulis, jaring serangga, sprayer, roll meter, kamera, kain kasa, pinset, kuas,
killing bottle, cawan petri, dan botol kecil.

C. Metode Pelaksanaan

1. Identifikasi Jenis Hama

Pada seiap lokasi pengamatan dibuat plot-plot pengamatan dengan pengam-


bilan sampel sebesar 10% dari luas pengamatan. Plot pengamatan berukuran 20 m x
20 m. Pada setiap petak, pengamatan menggunakan jaring serangga. Serangga-
serangga yang berhasil ditangkap dimasukkan ke dalam killing bottle yang selanjutnya
dilakukan pemilahan koleksi dan identifikasi.

2. Identifikasi Jenis Penyakit

Identifikasi jenis penyakit dilakukan secara morfologis melalui isolasi patogen


dan postulat Kohc, atau melalui identifikasi gejala penyakit bagi penyakit yang telah
dikenal sebelumnya. Identifikasi penyakit mengacu pada Agrios (2004).

3. Teknik Pengendalian Hama dan Penyakit

Metode yang digunakan adalah metode eksperimen. Kajian dilakukan untuk


menguji beberapa jenis pestisida yang efektif mengandalikan hama dan penyakit
manglid.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Hama pada Manglid

1. Jenis-Jenis Hama Manglid

a. Hama Pengisap (Urostylis sp.)


Hama ini merupakan hama kepik yang mengisap tanaman manglid. Hama ini
diklasifikasikan dalam ordo Hemiptera, famili Urostylidae, dan genus Urostylis.
Famili Urostylidae biasanya berbentuk memanjang dengan ukuran panjang sekitar

86 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


H ama dan Pen y ak it M a n g l id

3,514 mm, serta memiliki kaki memanjang dan kepala kecil. Urostylide tersebar di
Asia bagian selatan dan timur, serta mencapai utara ke timur Palearctic dan arah
barat daya ke Papua New Guinea. Urostylidae terdiri dari dua subfamili dan sekitar
enam genus dengan lebih dari 80 spesies yang telah dikenal (Ren & Lin, 2003).
Stadium serangga yang menjadi hama merupakan stadium nimfa dan dewasa.
Serangga ini memakan getah tanaman. Stadium dewasa dari Urostylis sp. berwarna
coklat, sedangkan stadium nimfanya berwarna kuning kehijauan (Gambar 1). Gejala
serangan hama ini adalah rontoknya bagian pucuk tanaman dan tangkai pucuk
berwarna coklat. Bahkan, serangan yang parah menyebabkan tanaman kering dan
mati. Menurut Hosain & Nizam (2004), jenis Urostylis punctigera dilaporkan
menyerang Michelia campaca L. yang menyebabkan kerusakan cukup berarti pada
pola monokultur.

a b c

Gambar 1. Urostylis sp. pada stadium dewasa (a) dan stadium nimfa (b), serta gejala
serangannya (c)

b. Hama Penggulung Daun


Hama penggulung daun merupakan jenis serangga hama dari ordo Lepidop-
tera, famili Tortricidae, genus Sorolopha, dan spesies Sorolopha camarotis. Famili
Tortricidae adalah salah satu famili yang terbesar dari Microlepidoptera dengan
sekitar 1.200 jenis dan terbanyak anggotanya adalah ngengat. Kelompok ini
mengandung sejumlah hama yang penting (Borror & Johnson, 1996). Sorolopha
camarotis pernah dilaporkan menyerang Michelia campaca (Diakonoff, 1973).
Stadium serangga yang menyerang tanaman manglid adalah stadium larva. Imago
meletakkan telur pada permukaan daun, kemudian larva instar awal menggerek

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 87


E. Suhaendah & A. Winara

masuk ke dalam jaringan daun. Larva pun hidup berkembang dan makan di dalam
gulungan daun (Gambar 2). Rusaknya daun tersebut dapat menyebabkan terham-
batnya pertumbuhan manglid.

a b

Gambar 2. Sorolopha camarotis. A. larva, b. imago.

c. Hama Penghisap batang (Hamamelistes sp.)


Hama penghisap batang atau hama kutu putih termasuk ke dalam ordo
Hemiptera, famili Aphididae, dan genus Hamamelistes. Ciri khas hama ini adalah
tubuhnya ditutupi malam atau lapisan lilin berwarna putih yang berfungsi sebagai
pelindung (Borror et al., 1996; Kalshoven & Van der Laan, 1981) (Gambar 3).
Tubuh kutu lunak berwarna cokelat kemerah-merahan dan berukuran kecil (1
mm). Kutu putih bersifat partenogenesis sehingga dapat menghasilkan keturunan
yang banyak dalam waktu singkat. Hal ini menyebabkan populasi hama dalam satu
pohon manglid sangat banyak sehingga pohon menjadi merana, bahkan mati.

Kutu putih mengisap cairan tanaman tumbuhan inang. Kutu berada di batang
pohon, cabang, ranting, hingga ke pucuk. Kutu menyerang manglid mulai dari umur
satu tahun hingga umur tegakan akhir daur. Kerusakan pada tanaman manglid
terjadi jika populasi kutu tinggi. Kerusakan yang terjadi pada manglid yang berumur
muda, antara lain daun berwarna kuning, rontok, dan kering. Pada pohon besar,
dampak kerusakan kutu terlihat pada warna tajuk menjadi hijau kusam dan tipis
karena daun yang rontok. Penampakan yang berbeda jika dibandingkan dengan po-

88 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


H ama dan Pen y ak it M a n g l id

hon besar yang sehat, yaitu tajuknya lebat dan berwarna hijau pekat. Serangan ini
terjadi pada musim kemarau.

Penyebaran dan fluktuasi populasi kutu putih dipengaruhi oleh adanya


penghalang berupa bentang alam (jurang/bukit), ada atau tidaknya vegetasi lain, dan
musim. Tegakan manglid yang memiliki penghalang bentang alam dan vegetasi lain
yang tinggi cenderung lebih lambat terserang dibandingkan dengan tegakan manglid
pada bentang alam terbuka dan sedikit atau tidak memiliki vegetasi lain. Serangan
kutu putih meningkat pada musim kemarau. Namun demikian, kutu putih masih
terdapat pada tegakan manglid pada musim hujan, meskipun populasinya terbatas.
Pada serangan berat, tanaman menjadi merana, kemudian mati.

Gambar 3. Kutu putih Hamamelistes sp.

d. Hama Kumbang (Sastra sp.)


Hama kumbang yang menyerang manglid termasuk ke dalam ordo Coleop-
tera, famili Chrysomelidae, subfamili Galerucinae, genus Sastra, dan spesies Sastra
sp. Hama ini merupakan hama pemakan daun. Hama berukuran 2 cm dan berwar-
na hijau kekuningan. Ciri khas hama ini adalah meninggalkan bekas gigitan berupa
lubang-lubang di daun seperti jala (Gambar 4).

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 89


E. Suhaendah & A. Winara

Gambar 4. Sastra sp

Hama kumbang Sastra sp termasuk ke dalam golongan hama minor atau


hama yang relatif kurang penting karena kerusakan yang diakibatkan oleh hama
tersebut masih dapat ditoleransi, baik oleh tanaman maupun petani (Untung, 2006).
Hal yang perlu diperhatikan untuk hama ini adalah monitoring perkembangan hama
karena cara pengelolaan ekosistem tertentu dapat memungkinkan hama minor
berubah status menjadi hama utama.

2. Pengendalian Hama

Untuk mengendalikan suatu hama, ekologi dari hama tersebut harus dipelajari
terlebih dahulu, selanjutnya ekologi populasi, kemudian baru diciptakan atau
direncanakan suatu teknik pengendaliannya. Konsep pengendalian hama pada saat
ini adalah membiarkan hama dalam populasi yang berada di bawah ambang
kerusakan ekonomi.

Maksud dari pengendalian hama adalah memperbaiki kuantitas dan kualitas


hasil produksi tanaman yang diusahakan. Sementara itu, tujuan dari pengendalian
hama adalah mencegah terjadinya kerugian ekonomi dan menaikkan nilai produksi
dari tanaman yang diusahakan. Usaha pengendalian dilakukan apabila biaya yang
dikeluarkan lebih kecil daripada kerugian yang terjadi akibat serangan hama
(Anggraeni, 2012). Untuk mencapai tujuan pengendalian hama, kegiatan pengen-
dalian terintegrasi atau terpadu harus dilakukan (Yunasfi, 2007).

90 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


H ama dan Pen y ak it M a n g l id

Menurut Gillott (2005), berdasarkan pada strategi ekologi hama, pemilihan


pengendalian hama tergantung dari posisi hama pada spektrum. Spektrum hama
tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu:

a. Hama r (r Pests)

Hama pada spektrum ini memiliki potensi rata-rata peningkatan populasi


yang disebabkan oleh tingginya kemampuan menghasilkan telur dan generasi yang
pendek. Pektrum ini juga memiliki kemampuan migrasi yang luas, mencari sumber
makanan baru, dan preferensi makanan yang lebih luas. Pengendalian dengan
insektisida yang spesifik dapat mengendalikannya dengan waktu singkat. Kelompok
yang termasuk hama r adalah belalang, aphid, lalat, dan lalat rumah.

b. Hama K (K Pests)

Spektrum ini memiliki ciri menghasilkan telur yang yang lebih rendah dan
generasi yang lebih panjang. Kemampuan migrasinya pun rendah dan ditemukan
pada suatu habitat dengan periode waktu yang lama. Teknik pengendalian yang
sesuai untuk spektrum hama ini adalah pengendalian dengan teknik budi daya dan
pengendalian secara genetik.

c. Hama Menengah (Intermediate Pests)

Sebagian besar hama termasuk ke dalam golongan spektrum hama menengah,


seperti hama perusak daun dan perusak akar. Hama memiliki potensi reproduksi
yang relatif tinggi. Hama ini memiliki musuh alami yang relatif banyak sehingga
teknik pengendalian yang sesuai untuk spektrum hama ini adalah pengendalian
secara biologis dengan menggunakan musuh alami dan bisa ditambah dengan
pengendalian menggunakan insektisida jika dianggap penting.

Berdasarkan paparan di atas, jenis hama pengisap Urostylis sp dan hama kutu
putih Hammamelistes sp termasuk ke dalam kategori hama r sehingga pengendalian
yang sesuai untuk jenis hama tersebut adalah dengan penggunaan insektisida yang
spesifik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan insektisida berbahan

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 91


E. Suhaendah & A. Winara

aktif Bacillus thuringiensis dengan dosis 5 ml/liter cukup efektif mengendalikan


Urostylis sp. dan Hammamelistes sp.

Jenis hama perusak daun, yaitu hama penggulung daun Sorolopha camarotis
dan hama kumbang Sastra sp., termasuk jenis hama menengah (intermediate pests).
Pengendalian yang sesuai untuk jenis hama tersebut adalah dengan menggunakan
musuh alami (secara biologis) dan jika diperlukan dapat menggunakan insektisida.
Berdasarkan pengamatan, musuh alami Sorolopha camarotis yang ditemukan, antara
lain semut (Polyrhachis spp.), tawon (Polytes sp.), dan laba-laba; sedangkan musuh
alami Sastra sp. yang ditemukan adalah laba-laba (Suhaendah, 2014). Oleh karena
itu, upaya konservasi musuh alami diperlukan agar musuh alami tersebut dapat
berperan secara optimal dalam mengendalikan hama. Menurut Aminatun (2009),
terdapat beberapa cara konservasi musuh alami, antara lain:

1) Pengurangan frekuensi pestisida.


2) Penggunaan pestisida yang yang ramah lingkungan.
3) Penanaman bunga sebagai sumber nektar.
4) Penyemprotan air gula atau protein untuk menarik musuh alami.
5) Perilaku tidak merusak sarang lebah.
6) Penanaman tanaman alternatif sebagai tempat bagi serangga (nonhama) mangsa.
7) Budi daya dengan pola tumpang sari atau tumpang gilir.
8) Penggunaan tanaman penutup tanah sebagai tempat berlindung musuh alami.

B. Penyakit pada Manglid

1. Jenis-Jenis Penyakit Manglid

a. Penyakit Busuk Pangkal Batang dan Busuk Akar

Pada skala persemaian, bibit manglid dapat terserang penyakit busuk pangkal
batang (Gambar 5a), sedangkan tegakan manglid di masyarakat dapat terserang
penyakit busuk akar (Gambar 5b). Jenis patogen yang menyebabkan penyakit busuk
pangkal batang dan busuk akar belum diketahui secara pasti. Secara umum, penyakit

92 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


H ama dan Pen y ak it M a n g l id

busuk pangkal batang dan penyakit akar biasanya disebabkan oleh patogen tular
tanah yang besifat parasit fakultatif , yaitu dapat bertahan hidup sebagai saprofit di
dalam tanah dan menjadi parasit apabila menginfeksi tanaman inang yang masih
hidup (Anggraeni & Lelana, 2011). Penyakit akar banyak menyerang hutan
tanaman yang biasanya disebabkan oleh daya adaptasi tanaman yang rendah
terhadap lingkungan baru atau tertular oleh tanaman lainnya. Adapun beberapa
patogen yang menyebabkan penyakit akar, seperti busuk akar merah pada akasia dan
sengon oleh fungi Ganoderma pseudoferreum, busuk akar putih pada akasia oleh fungi
Rigidoporus microporus, dan penyakit busuk akar pada eukaliptus oleh fungi
Phytophtora dan Botryodiplodia (Widyastuti et al., 2005).

a b c

Gambar 5. Gejala penyakit pada manglid: busuk pangkal batang (a), busuk akar (b), dan
bercak daun (c)

b. Penyakit Bercak Daun

Selain penyakit akar, tegakan manglid dapat terserang suatu gejala penyakit
lain yaitu bercak daun (Gambar 5c) dengan kejadian penyakit masih tergolong
ringan dan tidak menyebabkan kematian pohon. Meskipun tidak menyebabkan
kematian, penyakit bercak daun banyak menyebabkan tanaman manglid menjadi
kerdil karena terhambatnya proses fotosintesis pada daun. Adapun patogen penye-
bab penyakit ini belum diketahui hingga saat ini. Pada genus yang sama, yaitu
Magnolia elegans , dilaporkan terserang oleh penyakit bercak daun yang disebabkan
oleh fungi Colletotricum sp. (Irawan et al., 2015).

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 93


E. Suhaendah & A. Winara

2. Pengendalian Penyakit Manglid

Pengendalian penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar dapat dilakukan
melalui pemberian agen antagonis jenis Trichoderma spp. pada media semai atau
pada tanaman di tingkat lapangan. Pemberian Trichoderma spp. untuk mencegah
patogen tular tanah yang biasa menyebabkan penyakit akar dan busuk pangkal
batang. Hal ini mengacu pada beberapa hasil penelitian Berlian et al. (2013) dan
Sunarwati & Yoza (2010) yang menyatakan bahwa Tricoderma spp. efektif untuk
mengendalikan beberapa patogen tular tanah, seperti penyakit busuk pangkal akar
pada durian dengan mekanisme antagonis berupa parasitisme dan lisis dinding sel.

Selain itu, pemupukan dengan menggunakan pupuk biologis dari fungi miko-
riza arbuskula dapat pula dilakukan untuk membantu ketahanan inang terhadap
serangan penyakit. Fungi mikoriza dapat membantu tanaman dalam penyediaan
unsur hara dan air, terutama ketika terjadi cekaman air dan hara makro yang terjerap
pada tanah.

IV. Kesimpulan

Pembangunan hutan manglid memiliki potensi gangguan berupa kejadian


serangan hama dan penyakit, baik pada tingkat persemaian maupun tegakan.
Terdapat beberapa hama yang tergolong berpotensi merugikan secara ekonomi
karena dapat menyebabkan kematian tegakan, yaitu hama pengisap Hamamelistes sp.
dan Urostylis sp. Upaya pengendalian hama tersebut dapat dilakukan secara kuratif
dengan penyemprotan insektisida biologis jenis Bacillus thuringiensis. Sementara itu,
serangan penyakit yang berpotensi merugikan adalah busuk akar pada tegakan
hingga menyebabkan kematian. Adapun upaya pengendaliannya dapat meng-
gunakan agen antagonis Tricoderma spp.

94 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


H ama dan Pen y ak it M a n g l id

Daftar Pustaka

Agrios, G. N. (1996). Ilmu penyakit tumbuhan. Gajah Mada Universitas Press,


Yogyakarta.

Aminatun, T. (2009). Teknik konservasi musuh alami untuk pengendalian hayati.


UNY, Mei, 61-69.

Anggraeni, I. (2012). Penyakit karat tumor pada sengon dan hama cabuk lilin pada
pinus: Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor, Badan Litbang
Kehutanan

Anggraeni, I., Intari, S. E., & Darwiati, W. (2006). Hama dan penyakit hutan
tanaman. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Anggraeni, I., & Lelana, N. (2011). Diagnosis penyakit tanaman hutan: Pusat
Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan.

Berlian, I., Setyawan, B., & Hadi, H. (2013). Mekanisme antagonisme Trichoderma
spp. terhadap beberapa patogen tular tanah. Warta Perkaretan, 32(2), 74-82.

Borror, D., A, T. C., & Johnson, N. (1996). Pengenalan pelajaran serangga: Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

Diakonoff, A. (1973). The South Asiatic Olethreutini:(Lepidoptera Tortricidae) (Vol.


1): Brill Archive.

Gillott, C. (2005). Entomology: Springer Science & Business Media.

Hosain, M. K., & Nizam, M. Z. U. (2004). Michelia champaca L Species


Description Part III. In B. Institute of Forestry and Environmental Sience
(Ed.).

Irawan, A., Anggraeni, I., & Christita, M. (2015). Identifikasi penyebab penyakit
bercak daun pada bibit cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H. Keng) dan
teknik pengendaliannya. Jurnal Wasian, 2(2), 87-94.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 95


E. Suhaendah & A. Winara

Kalshoven, L. G. E., & Van der Laan, P. (1981). Pests of crops in Indonesia. Pests of
crops in Indonesia.(Revised).

Ren, S.-Z., & Lin, C.-S. (2003). Revision of the Urostylidae of Taiwan, with
descriptions of three new species and one new record (Hemiptera-
Heteroptera: Urostylidae). Formosan Entomol, 23, 129-143.

Suhaendah, E. (2014). Musuh alami hama pada agroforestry mnaglid (Manglieta


glauca Bl.). Paper presented at the Seminar Nasional Agroforestry V, Ambon.

Sumardi, & Widyastuti, S. (2007). Dasar-dasar perlindungan hutan: Gadjah Mada


University Press. Yogyakarta.

Sunarwati, D., & Yoza, R. (2010). Kemampuan Trichoderma dan Penicillium dalam
menghambat pertumbuhan cendawan penyebab penyakit busuk akar durian. Paper
presented at the Seminar Nasional Program dan Strategi Pengembangan
Buah Nusantara, Solok.

Untung, K. (2006). Pengantar pengendalian hama terpadu. Universitas Gadjah Mada


Press. Yogyakarta.

Wainhouse, D. (2005). Ecological methods in forest pest management: Oxford


University Press on Demand.

Widyastuti, S., Sumardi, & Harjono. (2005). Patologi hutan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Yunasfi. (2007). Permasalahan hama, penyakit, dan gulma dalam pembangunan hutan
tanaman industri dan usaha pengendaliannya. Medan: Dep. Kehutanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

96 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


BAB IV

MANAJEMEN OPTIMAL
TEGAKAN MANGLID
Daur Optimal Hutan Rakyat Manglid di Kecamatan Kawalu,
Tasikmalaya, Jawa Barat

Yonky Indrajaya 1

ABSTRAK

Penentuan daur tebang dari suatu hutan tanaman termasuk hutan rakyat merupakan langkah
penting dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari pengusahaan
hutan tanaman. Penelitian ini bertujuan menganalisis daur optimal hutan rakyat manglid di
Kecamatan Kawalu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah memaksimalkan keuntungan yang dapat diperoleh dari kayu
manglid pada semua daur. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran pertumbuhan
tegakan manglid dan wawancara dengan petani manglid. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa daur optimal biologis tegakan manglid adalah 16,5 tahun dan daur Faustmann tegakan
manglid adalah 13,5 tahun. Peningkatan harga kayu, tingkat suku bunga, dan tingkat pro-
duktivitas akan memperpendek daur Faustmann, sedangkan peningkatan biaya pembangunan
hutan akan memperpanjang daur Faustmann.

Kata kunci: manglid, hutan rakyat, daur optimal, daur Faustmann, keuntungan

I. Pendahuluan

Jenis manglid (Magnolica champaca) banyak dikembangkan oleh masyakarat di


Tasikmalaya karena pohon ini cepat tumbuh, kayunya mengkilat, strukturnya padat,
halus, ringan, dan mudah dikerjakan (Puspitodjati et al., 2009). Keputusan waktu
memanen merupakan keputusan penting bagi pengusaha atau petani hutan manglid
untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sementara itu, Darusman &
Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa penentuan waktu tebang umumnya didasar-
kan pada kebutuhan petani (daur butuh) yang belum tentu memberikan keuntungan
maksimal.

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis 46201
Email: yonky_indrajaya@yahoo.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 99


Y. Indrajaya

Rimbawan pada umumnya menggunakan metode kulminasi maksimum atau


daur biologis dalam menentukan daur optimal suatu tegakan hutan tanaman, yaitu
waktu di mana riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment/MAI) sama dengan
riap tahun berjalan (Current Annual Increment/CAI) (Amacher et al., 2009; Bettinger
et al., 2009). Namun, penentuan daur optimal ini pun belum tentu memberikan
keuntungan yang maksimal bagi petani. Penentuan daur finansial Faustmann meru-
pakan metode yang paling tepat dalam menentukan daur optimal suatu tegakan
hutan dalam konteks teori kapital (Samuelson, 1976). Beberapa penelitian tentang
penentuan daur beberapa jenis tegakan telah dilakukan menggunakan metode
Faustmann, di antaranya di Amerika (van Kooten et al., 1995; Chang, 2001), Eropa
(Tassone et al., 2004; Olschewski & Benitez, 2010), dan Indonesia (Indrajaya, 2013;
Indrajaya & Siarudin, 2013).

Tulisan ini bertujuan menganalisis daur optimal tegakan manglid yang dibudi-
dayakan oleh masyarakat di Kecamatan Kawalu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi
Jawa Barat. Daur optimal biologis dan finansial akan dibahas dalam tulisan ini untuk
memberikan gambaran perbedaan keduanya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan kepada pengelola hutan tanaman manglid agar mendapatkan
keuntungan yang maksimal.
.

II. Metodologi

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Kawalu merupakan kecamatan yang terletak di wilayah Kota


Tasikmalaya yang memiliki luas sekitar 42,77 km2 dan terdiri dari 10 kelurahan.
Penggunaan lahan di Kecamatan Kawalu sebagian besar merupakan lahan pertanian,
yaitu sawah seluas 1.247 ha dan kebun campuran seluas 1.050 ha (terdiri dari 42 ha
pekarangan, 663 ha tegalan, dan 345 ha hutan rakyat). Di lahan kebun campuran
inilah para petani umumnya menanam jenis kayu-kayuan yang salah satu jenisnya
adalah manglid. Rerata temperatur di lokasi penelitian adalah 2034o C dengan
rerata curah hujan tahunan sebesar 2.072 mm dan rerata jumlah hari hujan sebanyak

100 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Hu t an Rak ya t M an g lid

82 hari (Puspitodjati et al., 2009). Kondisi tempat tumbuh di lokasi penelitian relatif
cocok untuk manglid berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Chat (2002).

B. Pengumpulan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan meliputi (1) data pertumbuhan tegakan manglid,


yaitu tinggi dan diameter, serta populasi pohon manglid dalam satu hektare; dan (2)
data ekonomi, yaitu total biaya dan pendapatan (seperti biaya pembangunan hutan
tanaman manglid, biaya pemanenan, dan harga kayu), serta data tingkat suku bunga
riil dalam 10 tahun terakhir. Pengukuran tinggi dan diameter pohon manglid dila-
kukan sejak tahun 2010 hingga 2014 pada tiga petak ukur yang masing-masing
berukuran 625 m2. Untuk menambah data pertumbuhan, pengukuran juga dilakukan
di luar plot penelitian, yaitu di lahan masyarakat dengan umur berbeda (delapan
tahun dan 10 tahun). Estimasi volume pohon diperoleh dengan persamaan:

(1)

Dalam persamaan di atas, nilai V adalah volume pohon (m3), D adalah


diameter pohon (m), H adalah tinggi total pohon (m), dan f adalah faktor angka
bentuk pohon (tidak memiliki satuan). Mengingat belum adanya studi tentang
faktor angka bentuk pohon manglid, faktor angka bentuk yang digunakan dalam
penelitian ini adalah faktor angka bentuk pohon jabon, yaitu 0,47 (Krisnawati et al.,
2011a). Hal ini karena secara fisiologis pohon manglid mirip dengan pohon jabon.

Untuk mengetahui volume tegakan manglid pada kelas umur >10 tahun,
pemodelan hubungan dibuat antara umur A (dalam bulan) dengan diameter D (cm)
dan tinggi H (meter) (Siarudin et al., 2014), yaitu:

(2)

(3)

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 101


Y. Indrajaya

Untuk mengestimasi jumlah pohon per hektare, perhitungan menggunakan


data kematian pohon dan intensitas penjarangan yang dilakukan di plot penelitian.
Estimasi jumlah pohon per hektare setelah dikurangi dengan tingkat kematian yang
terjadi diperoleh dengan persamaan:

(4)

Mengingat tingkat kerapatan yang cukup tinggi pada saat penanaman, pen-
jarangan dengan intensitas yang bervariasi perlu dilakukan. Intensitas penjarangan
yang dianjurkan untuk tegakan manglid yang diperuntukkan sebagai kayu
pertukangan nilainya hingga sebesar 50% pada tahun ke-5, ke-9, dan ke-15 (Chat,
2002). Dalam penelitian ini, pengurangan jumlah pohon per hektare diasumsikan
sebanyak 5,1% dari jumlah pohon pada tahun sebelumnya dan mengikuti rata-rata
tingkat kematian pohon manglid dari umur 04 tahun di lokasi penelitian. Pohon
yang dijarangi termasuk pohon yang mati dan tertekan. Kayu hasil penjarangan
diasumsikan tidak dijual sehingga tidak diperhitungkan sebagai pendapatan dalam
perhitungan keuntungan.

Data ekonomi (seperti biaya pembangunan hutan, biaya pemanenan, dan


harga kayu) dan teknik pengelolaan hutan rakyat manglid (seperti jarak tanam)
diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap petani. Tingkat suku bunga riil
diperoleh dari data sekunder yang diperoleh dari Bank Dunia.

C. Penentuan Daur Optimal Tegakan Manglid

1. Daur Biologis

Daur biologis merupakan daur yang digunakan untuk memperoleh hasil


produksi kayu yang maksimal (Bettinger et al., 2009). Daur ini dihitung berdasarkan
riap volume rerata tahunan (MAI) sama dengan riap volume tahun berjalan (CAI)
= [S merupakan stok kayu pada waktu T]. Daur biologis banyak
digunakan oleh para rimbawan dengan argumentasi bahwa pohon secara alami akan
mencapai puncak pertumbuhannya, kemudian akan tua dan mati.

102 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Hu t an Rak ya t M an g lid

2. Daur Finansial

Penentuan daur finansial atau daur Faustmann dilakukan dengan mengguna-


kan pendekatan Net Present Value (NPV) dari tegakan manglid dalam rotasi tak
terhingga (Amacher et al., 2009). Apabila memperhitungkan seluruh biaya dan
pendapatan dari seluruh rotasi, keuntungan yang diperoleh dapat maksimal.
Persamaan NPV untuk rotasi tak terhingga atau daur Faustmann adalah sebagai
berikut:

(5)

(6)

Dalam rumus di atas, nilai p adalah harga kayu neto biaya penebangan per m3,
C adalah biaya pembangunan hutan tanaman manglid, dan i merupakan suku bunga
riil. Kondisi untuk daur optimal Faustmann adalah ketika keuntungan marginal dari
menunda penebangan setara dengan biaya kesempatan yang disebabkan oleh
penundaan tersebut, yaitu:

(7)

Terminologi menunjukkan jumlah nilai dari lahan dan stok


kayu pada waktu pemanenan. Apabila diganti dengan terminologi dari
sisi kanan persamaan (5) dan menata kembali persamaan (7), persamaan (8) pun
akan diperoleh. Persamaan (8) ini digunakan untuk memberikan ilustrasi secara
grafis, sebagai berikut:

(8)

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui perubahan faktor-faktor


eksogen (seperti suku bunga riil, harga kayu, dan produksi) terhadap daur optimal
finansial Faustmann.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 103


Y. Indrajaya

III. Hasil dan Pembahasan

A. Daur Biologis

Berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan (1), (2), dan (3) maka


dapat dibuat model pertumbuhan volume tegakan manglid. Jarak tanam awal
tegakan manglid adalah 2 m x 2 m sehingga jumlah pohon pada saat penanaman
sebanyak 2.500 pohon/ha. Hasil dari estimasi pertumbuhan volume per hektare
tegakan manglid dapat disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Estimasi volume per hektare tegakan manglid

Umur Dbh Tinggi Populasi Volume CAI MAI


(tahun) (cm) total (m) (pohon/ha) (m /ha)
3
(m /ha)
3
(m3/ha)
0 - - 2.500 - - -
1 2,60 1,58 2.373 0,93 0,93 0,93
2 4,42 3,96 2.252 6,44 5,51 3,22
3 6,04 5,36 2.137 15,41 8,97 5,14
4 7,53 6,35 2.028 26,96 11,55 6,74
5 8,93 7,12 1.924 40,41 13,45 8,08
6 10,28 7,75 1.826 55,22 14,81 9,20
7 11,57 8,28 1.733 70,95 15,73 10,14
8 12,82 8,74 1.645 87,26 16,30 10,91
9 14,03 9,15 1.561 103,84 16,58 11,54
10 15,21 9,51 1.481 120,45 16,61 12,04
11 16,37 9,84 1.406 136,90 16,45 12,45
12 17,50 10,14 1.334 153,02 16,12 12,75
13 18,61 10,42 1.266 168,68 15,66 12,98
14 19,70 10,67 1.201 183,77 15,10 13,13
15 20,77 10,91 1.140 198,22 14,44 13,21
16 21,83 11,13 1.082 211,95 13,73 13,25
17 22,87 11,34 1.027 224,91 12,96 13,23
18 23,90 11,54 974 237,08 12,16 13,17
19 24,91 11,72 925 248,42 11,34 13,07
20 25,91 11,90 878 258,92 10,50 12,95

104 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Hu t an Rak ya t M an g lid

Umur Dbh Tinggi Populasi Volume CAI MAI


(tahun) (cm) total (m) (pohon/ha) (m /ha)
3
(m /ha)
3
(m3/ha)
21 26,90 12,07 833 268,58 9,66 12,79
22 27,88 12,23 790 277,40 8,82 12,61
23 28,85 12,38 750 285,38 7,99 12,41
24 29,80 12,53 712 292,55 7,17 12,19
25 30,75 12,67 675 298,91 6,36 11,96

Keterangan: Dbh = diameter setinggi dada, MAI = riap rata-rata tahunan, CAI = riap tahun
berjalan

Berdasarkan Tabel 1, pertumbuhan tegakan manglid di lokasi penelitian relatif


lambat dengan riap rerata tahunan (MAI) tertinggi sebesar 13,25 m3/tahun pada
tahun ke-16. Padahal, jenis hutan rakyat lain seperti jabon dapat mencapai nilai
MAI hingga 30 m3 pada tahun ke-3 (Indrajaya & Siarudin, 2013) atau sengon yang
dapat mencapai nilai MAI hingga 20 m3 pada tahun ke-9 (Krisnawati et al., 2011b).
Daur biologis tegakan manglid di lokasi penelitian adalah 16,5 tahun, yaitu ketika
nilai rerata riap volume tahunan (MAI) sama dengan riap volume tahun berjalan
(CAI), seperti disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Daur biologis optimal tegakan manglid

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 105


Y. Indrajaya

Mengingat pertumbuhan manglid relatif lebih lambat dibandingkan dengan


jenis hutan rakyat yang lain (sengon dan jabon), daur biologisnya pun menjadi relatif
lebih panjang. Daur biologis optimal tegakan sengon sekitar 57 tahun pada kualitas
tempat tumbuh (bonita) IIIV (Indrajaya, 2013). Sementara itu, daur biologis
optimal tegakan jabon adalah lima tahun (Indrajaya & Siarudin, 2013).

B. Daur Finansial

Daur finansial ditentukan menggunakan pendekatan daur Faustmann dengan


beberapa asumsi, yaitu (1) pemanenan tegakan manglid dilakukan secara tebang
habis; (2) permudaan dilakukan pada tahun yang sama dengan penebangan melalui
bibit; (3) tingkat harga, suku bunga riil, dan pertumbuhan pohon telah diketahui
dan tetap (Indrajaya & Siarudin, 2013). Berdasarkan wawancara dengan responden,
harga kayu manglid adalah Rp1 juta/m3 dengan biaya pemanenan Rp50 ribu/m3.
Dengan demikian, estimasi biaya pembangunan hutan tanaman manglid sebesar
Rp18,8 juta/ha seperti dijelaskan dalam Lampiran 1. Suku bunga riil yang
digunakan dalam perhitungan sebesar 4% yang merupakan rerata suku bunga riil
selama 10 tahun terakhir (World Bank, 2013). Berdasarkan perhitungan meng-
gunakan persamaan (8), daur finansial optimal tegakan manglid adalah 13,5 tahun
(Gambar 2).

Gambar 2. Daur optimal finansial tegakan manglid

106 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Hu t an Rak ya t M an g lid

Gambar 2 menunjukkan bahwa pada tahun ke-13,5, petani akan memperoleh


hasil yang maksimal apabila menebang tegakan manglid-nya dibandingkan dengan
menebang pada tahun ke-16,5 (daur biologisnya). Pertumbuhan yang relatif lambat
pada tegakan manglid ini menyebabkan daur optimal finansial lebih pendek diban-
dingkan dengan daur biologisnya. Hal ini serupa dengan jenis-jenis hutan tanaman
yang relatif lambat pertumbuhannya seperti Douglas fir di Amerika (Perman et al.,
2003). Namun, kondisi ini berbeda dengan jenis hutan rakyat yang lain yang dikem-
bangkan di Indonesia, seperti sengon atau jabon, yang mana pertumbuhannya relatif
cepat sehingga daur finansialnya sama dengan daur biologisnya (Indrajaya, 2013;
Indrajaya & Siarudin, 2013).

C. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk menguji seberapa sensitif hasil dari


perhitungan daur Faustmann dipengaruhi oleh parameter-parameter yang digunakan
sebagai input. Parameter input ini merupakan parameter eksogen, yaitu parameter
yang tidak dipengaruhi oleh parameter di dalam model optimasi. Salah satu para-
meter ini adalah harga kayu. Harga kayu manglid yang digunakan dalam analisis
sensitivitas ini adalah Rp500 ribu dan Rp1,5 juta.

Gambar 3. Daur Faustmaan tanaman manglid pada beberapa tingkat harga kayu

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 107


Y. Indrajaya

Gambar 3 menunjukkan bahwa peningkatan harga kayu manglid akan mem-


perpendek daur Faustmann. Sebaliknya, penurunan harga akan memperpanjang daur
Faustmann. Harga kayu yang semakin tinggi akan menyebabkan nilai sekarang men-
jadi lebih tinggi dan kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan dari daur
berikutnya akan menjadi lebih tinggi sehingga keputusan untuk mempercepat pema-
nenan kayu menjadi pilihan yang tepat.

Parameter eksogen lain yang kemungkinan dapat berubah adalah tingkat suku
bunga riil yang disebabkan oleh perubahan kondisi makro ekonomi yang berakibat
pada berubahnya tingkat inflasi. Tingkat suku bunga yang digunakan dalam analisis
sensitivitas ini adalah 1% dan 7%. Daur Faustmann pada beberapa tingkat suku
bunga disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Daur Faustmann tanaman manglid pada beberapa tingkat suku bunga

Gambar 4 menunjukkan bahwa pada tingkat suku bunga 1%, daur Faustmann
sama dengan daur biologisnya, yaitu 16,5 tahun. Sementara itu, pada tingkat suku
bunga 7%, daur Faustmann menjadi 11,5 tahun. Selain harga kayu dan tingkat suku
bunga riil, parameter eksogen yang mungkin berubah adalah biaya pembangunan
hutan. Daur Faustmann pada beberapa biaya pembangunan hutan dapat disajikan
dalam Gambar 5. Dalam analisis sensitivitas ini, perhitungan diujicobakan pula bila

108 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Hu t an Rak ya t M an g lid

biaya pembangunan hutan manglid naik menjadi Rp2 juta dan Rp35 juta. Gambar 5
menunjukkan bahwa peningkatan biaya pembangunan hutan dapat menyebabkan
daur Faustmann menjadi lebih panjang.

Gambar 5. Daur Faustmann tanaman manglid pada beberapa biaya pembangunan hutan

Selain itu, penanaman hutan tanaman manglid umumnya dilakukan secara


monokultur sehingga tegakan manglid relatif rentan terhadap serangan hama dan
penyakit. Analisis sensitivitas terhadap penurunan produksi kayu telah pula dilaku-
kan di hutan alam (Yuniati, 2011). Apabila diasumsikan penurunan produksi sebesar
25% dan 50%, nilai NPV pun akan berkurang. Daur Faustmann pada beberapa
penurunan produksi kayu manglid disajikan dalam Gambar 6.

Gambar 6 menunjukkan bahwa penurunan produksi kayu manglid sebesar


25% dan 50% akan memperpendek daur Faustman berturut-turut menjadi 10,5 dan
6,5 tahun. Semakin tinggi tingkat penurunan produksi kayu, keputusan untuk
mempercepat waktu pemanenan dapat meningkatkan keuntungan yang diperoleh.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 109


Y. Indrajaya

Gambar 6. Daur Faustmann tanaman manglid pada beberapa tingkat penurunan produksi

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Daur optimal biologis tegakan manglid adalah 16,5 tahun dan daur
Faustmann tegakan manglid adalah 13,5 tahun. Peningkatan harga kayu, tingkat
suku bunga, dan tingkat produktivitas akan memperpendek daur Faustmann.
Sebaliknya, peningkatan biaya pembangunan hutan akan memperpanjang daur
Faustmann.

B. Saran

Petani manglid sebaiknya menggunakan daur Faustmann agar dapat mem-


peroleh keuntungan yang maksimal. Daur biologis ataupun daur butuh tidak
memberikan keuntungan yang maksimal karena tidak mempertimbangkan faktor
ekonomi dalam penentuan daurnya. Penelitian manajemen optimal hutan manglid
yang dilakukan menggunakan pola agroforestry menarik untuk dilakukan mengingat
banyak pula pengusahaan manglid menggunakan pola ini.

110 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Hu t an Rak ya t M an g lid

Daftar Pustaka

Amacher, G.S., Ollikainen, M., Koskela, E., 2009. Economics of forest resources.
MIT Press, Cambridge, Mass.

Bettinger, P., Boston, K., Siry, J.P., Grebner, D.L., 2009. Forest management and
planning. Academic Press, Burlington USA.

Chang, S.J., 2001. One formula, myriad conclusions, 150 years of practicing the
faustmann formula in central Europe and the USA. Forest policy and
economics 2.

Chat, N.B., 2002. Manglietia glauca B1 (M. conifera Dandy). In: Sam, D.D., Nghia,
N.H. (Eds.), Use of Indigenous Tree Species in Reforestation in Vietnam.
Agricultural Publishing House - Foarest Science Institute of Vietnam, Hanoi
Vietnam.

Darusman, D., Hardjanto, 2006. Tinjauan ekonomi hutan rakyat. In, Prosiding
seminar hasil penelitian hasil hutan. Badan Litbang Kehutanan.

Indrajaya, Y., 2013. Penentuan daur optimal hutan tanaman sengon/Paraserianthes


falcataria (L.) Nielsen dengan metode Faustmann. Jurnal Penelitian
Agroforestry 1, 31-40.

Indrajaya, Y., Siarudin, M., 2013. Daur finansial hutan rakyat jabon di Kecamatan
Pekenjeng, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman
10, 201-211.

Krisnawati, H., Kallio, M., Kanninen, M., 2011a. Anthocephalus cadamba Miq.:
Ekologi, Silvikultur, Produktivitas. CIFOR, Bogor.

Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M., Kanninen, M., 2011b. Paraserianthes falcataria
(L.) Nielsen. Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR, Bogor
Indonesia.

Olschewski, R., Benitez, P.C., 2010. Optimizing joint production of timber and
carbon sequestration of afforestation projects. J Forest Econ 16, 1-10.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 111


Y. Indrajaya

Perman, R., Ma, Y., McGilvray, J., Common, M., 2003. Natural resource and
environmental economics. Third Edition. Pearson Education Limited,
England.

Puspitodjati, T., Rohandi, A., Swestiani, D., Sudomo, A., Nadiharto, Y.,
Rahmawan, B., Setiawan, I., 2009. Intensifikasi hutan rakyat untuk
peningkatan produksi pangan melalui pola agroforestry jenis manglid
(Manglieta glauca BI) dan jagung (Zea mays). In. Balai Penelitian Kehutanan
Ciamis, Ciamis.

Samuelson, P.A., 1976. Economics of Forestry in an Evolving Society. Econ Inq 14,
466-492.

Siarudin, M., Indrajaya, Y., Handayani, W., Badrunasar, A., Nurochmah, Y., 2014.
Laporan Hasil Penelitian "Pemanfaatan Lahan Agroforestry untuk
Mendukung Mekanisme REDD+". In. Balai Penelitian Teknologi
Agroforestry, Ciamis.

Tassone, V.C., Wesseler, J., Nesci, F.S., 2004. Diverging incentives for afforestation
from carbon sequestration: an economic analysis of the EU afforestation
program in the south of Italy. Forest policy and economics 6, 567-578.

van Kooten, G.C., Binkley, C.S., Delcourt, G., 1995. Effect of Carbon Taxes and
Subsidies on Optimal Forest Rotation Age and Supply of Carbon Services.
American Journal of Agricultural Economics 77, 365-374.

World Bank, 2013. World Bank Indicator. In: Bank, W. (Ed.), 1960-2012.

Yuniati, D., 2011. Analisis finansial dan ekonomi pembangunan hutan tanaman
Dipterokarpa dengan teknik SILIN (Studi kasus PT Sari Bumi Kusuma,
Kalimantan Barat). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 8, 239-249.

112 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Hu t an Rak ya t M an g lid

Lampiran 1. Estimasi biaya pembangunan hutan tanaman manglid per hektare

Harga Total
Komponen biaya Satuan Jumlah
(Rp) (Rupiah)
I. Biaya Bahan
a. Bibit Buah 1.000 2.500 2.500.000
b. Pupuk organik Kilogram 200 12.500 2.500.000

II. Biaya Operasional


a. Persiapan lahan HOK 30.000 250 7.500.000
b. Pemupukan HOK 30.000 60 1.800.000
c. Penanaman HOK 30.000 60 1.800.000
d. Penyiangan HOK 30.000 60 1.800.000
e. Pengangkutan bahan (bibit, HOK 30.000 30 900.000
pupuk, ajir)
Total Biaya 18.800.000

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 113


Pengaruh Jasa Lingkungan Karbon Terhadap Daur Optimal
Tegakan Manglid dalam Proyek Aforestasi

Yonky Indrajaya 1

ABSTRAK

Salah satu jenis tanaman pohon yang banyak ditanaman di lahan masyarakat di Jawa Barat,
khususnya di wilayah Priangan Timur adalah jenis manglid (Magnolia champaca). Penentuan
rotasi tebang hutan rakyat pada umumnya dilakukan menggunakan rotasi tebang butuh atau
ditebang pada saat masyarakat membutuhkan dana untuk keperluan tertentu. Penentuan
daur finansial Faustmann dapat memberikan keuntungan yang maksimal apabila hanya
memperhitungkan penjualan kayu sebagai satu-satunya sumber pendapatan. Selain dapat
menghasilkan kayu, hutan tanaman juga dapat menyerap karbon dari atmosfer. Tulisan ini
bertujuan mengetahui pengaruh tambahan pendapatan dari penjualan jasa lingkungan karbon
apabila hutan tanaman manglid dibangun dengan tujuan penyerapan karbon (contohnya
proyek aforestasi). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tambahan pendapatan jasa
lingkungan karbon akan memperpanjang rotasi tebang tegakan manglid. Semakin tinggi
harga karbon, semakin panjang rotasi tebang tegakan manglid.

Kata kunci: manglid, daur optimal, aforestasi, jasa lingkungan, karbon

I. Pendahuluan

Salah satu jenis pohon yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Jawa
Barat, khususnya di wilayah Tasikmalaya adalah jenis manglid (Magnolia champaca).
Jenis ini cepat tumbuh, kayunya mengkilat, strukturnya padat, halus, ringan, dan
mudah dikerjakan (Puspitodjati et al., 2009). Pada umumnya, penentuan waktu
tebang tegakan hutan rakyat, termasuk manglid, dilakukan pada saat masyarakat
sedang membutuhkan dana yang cukup besar (Darusman & Hardjanto, 2006),
misalnya untuk membayar sekolah anak, keperluan pernikahan anak, atau untuk

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis 46201
Email: yonky_indrajaya@yahoo.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 115


Y. Indrajaya

keperluan pembangunan rumah sendiri. Dari perspektif ekonomi, daur yang hanya
mempertimbangkan waktu kebutuhan sebagai faktor penentu belum tentu memberi-
kan keuntungan yang maksimal kepada petani.

Waktu tebangan umumnya ditentukan berdasarkan metode daur biologis


(Amacher et al., 2009), yaitu waktu panen adalah ketika riap rerata tahunan (Mean
Annual Increment/MAI) sama dengan riap tahun berjalan (Current Annual Increment/
CAI). Daur tebangan ini sebenarnya belum memberikan keuntungan yang maksimal
bila hanya mempertimbangkan kayu sebagai satu-satunya sumber pendapatan.
Samuelson (1976) dalam reviewnya tentang aspek ekonomi kehutanan menyatakan
bahwa teori Faustmann merupakan teori ekonomi kehutanan yang paling tepat
dalam analisis memaksimalkan keuntungan dari suatu tegakan hutan tanaman.
Daur ini memperhitungkan semua pendapatan yang diperoleh dan biaya yang
dikeluarkan dalam pengelolaan hutan tanaman, yaitu tidak hanya pada satu daur,
namun hingga daur tak terhingga.

Selain dapat memproduksi kayu, hutan tanaman juga berperan dalam penye-
rapan karbon dari atmosfer selama pertumbuhannya sehingga berpotensi untuk
digunakan sebagai kegiatan mitigasi perubahan iklim (Solomon, 2007). Penanaman
pohon hutan pada lahan hutan yang kosong dapat memberikan kontribusi yang
signifikan dalam penyerapan karbon di udara. Beberapa penelitian telah banyak dila-
kukan di Eropa dan Amerika terkait dengan penjualan jasa lingkungan karbon
dalam hutan tanaman (Foley & Galik, 2009; Galinato & Uchida, 2011; Huang &
Kronrad, 2006; Olschewski & Benitez, 2010; Susaeta et al., 2014; Tassone et al.,
2004; van Kooten et al., 1995). Hasilnya adalah penambahan pendapatan dari jasa
lingkungan karbon akan memperpanjang daur optimalnya. Penelitian tentang
pengaruh jasa lingkungan karbon tegakan manglid dengan cara memperpanjang daur
dari daur optimalnya dengan metode Verified Carbon Standard (VCS) telah dilakukan
oleh Indrajaya & Sudomo (2015). Penelitian tersebut menggunakan asumsi bahwa
tegakan manglid telah ada dan dikelola dengan manajemen tertentu. Tambahan pen-
dapatan dari penjualan jasa lingkungan karbon dilakukan dengan cara memperpan-
jang daur tebangan yang tergantung dari harga karbon. Dengan demikian, perhi-

116 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Te g ak an Ma ng lid d alam Pr oy ek A fo r e st asi

tungan baseline karbon tersimpan adalah jumlah karbon tersimpan pada daur optimal
bila hanya mempertimbangkan kayu sebagai sumber pendapatannya.

Tulisan ini bertujuan menganalisis pengaruh tambahan pendapatan yang


dapat diperoleh dari penjualan jasa lingkungan karbon terhadap daur optimal hutan
tanaman manglid yang ditanam pada lahan kosong atau melalui proyek aforestasi.
Berbeda dengan penelitian Indrajaya & Sudomo (2015), tulisan ini membahas hutan
tanaman manglid yang ditanam dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari
penjualan jasa lingkungan karbon yang dimulai dari penanaman. Oleh karena itu,
baseline yang digunakan dalam penelitian ini adalah nol.

II. Metodologi

A. Lokasi

Penelitian dilakukan di Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.


Pada wilayah ini, curah hujan rerata tahunan sebesar 2.072 mm dan jumlah hari
hujan rerata sebanyak 82 hari dengan temperatur rerata sebesar 2034oC
(Puspitodjati et al., 2009). Lokasi penelitian ini cocok sebagai tempat tumbuh
manglid berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Chat (2002).

B. Pengumpulan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data pertumbuhan


tegakan manglid (seperti perubahan dimensi pohon manglid dan populasinya) dan
data ekonomi tegakan manglid, yaitu data biaya dan pendapatan yang terkait dengan
pengelolaan hutan tanaman manglid (seperti biaya pembangunan hutan tanaman
manglid, biaya pemanenan, harga kayu, dan tingkat suku bunga riil).

Metode memaksimalkan keuntungan dengan penentuan waktu tebang (daur)


optimal Faustmann digunakan untuk mengetahui pengaruh tambahan pendapatan
jasa lingkungan karbon terhadap daur optimal tegakan manglid dalam proyek
aforestasi. Pendekatan model Faustmann merupakan perhitungan Net Present Value

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 117


Y. Indrajaya

(NPV) dengan memperhitungkan seluruh biaya dan pendapatan dari seluruh daur
sehingga keuntungan yang diperoleh maksimal. Pendekatan ini menotasikan p
sebagai harga kayu neto biaya penebangan per m3, K sebagai biaya pembangunan
hutan tanaman manglid, S sebagai stok kayu berdiri, dan r sebagai suku bunga riil.
Dengan demikian, perhitungan NPV pada rotasi tak terhingga dapat dituliskan
sebagai berikut:

(1)

Apabila harga karbon per ton CO2 eq. dinotasikan sebagai dan jumlah
karbon tersimpan dalam biomassa hutan sebagai C, perhitungan NPV karbon pada
rotasi tak terhingga dapat dituliskan sebagai berikut:

(2)

Selanjutnya, persamaan dalam memaksimalkan keuntungan dari kayu dan


karbon dapat dituliskan sebagai berikut:

(3)

Pembayaran jasa lingkungan karbon dimulai ketika > , yaitu ketika


karbon tersimpan dalam biomassa proyek lebih tinggi daripada rerata karbon tersim-
pan dalam biomassa baseline. Pembayaran karbon dihentikan ketika ,
yaitu pada saat akumulasi karbon tersimpan dalam biomassa yang dikreditkan sama
dengan rerata karbon tersimpan dalam biomassa dalam satu daur dalam proyek. Hal
ini sedikit berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Indrajaya & Sudomo
(2015), yang mana baseline yang digunakan pada penelitian mereka adalah jumlah
rerata karbon tersimpan dalam biomassa dengan hanya memperhitungkan penda-

118 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Te g ak an Ma ng lid d alam Pr oy ek A fo r e st asi

patan dari kayu dalam satu daur. Sebaliknya, baseline yang digunakan dalam peneli-
tian ini adalah jumlah karbon tersimpan dalam biomassa pada tanah kosong yang
diasumsikan sebesar nol.

Perhitungan berat biomassa tegakan manglid di atas permukaan tanah dilaku-


kan dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Chave et al. (2005),
yaitu:

(4)

Dalam rumus tersebut, nilai p merupakan berat jenis manglid, yaitu 0,45
(Zanne et al., 2009). Proporsi karbon tersimpan dalam biomassa adalah sebesar 0,47
(IPCC, 2006). Selanjutnya, jumlah CO2 eq. yang merupakan unit karbon yang
diperjualbelikan diperoleh dengan cara mengalikan nilai karbon tersimpan dalam
biomassa dengan bilangan 44/12, yaitu rasio berat molekul CO2 terhadap unsur C.

III. Hasil dan Pembahasan

Pertumbuhan manglid relatif lebih lambat dibandingkan dengan jenis-jenis


hutan rakyat yang banyak dikembangkan di masyarakat, seperti jabon (Krisnawati et
al., 2011a) dan sengon (Krisnawati et al., 2011b).

Tabel 1. Estimasi volume per hektare tegakan manglid

Umur Dbh Tinggi Populasi Volume CAI MAI


(tahun) (cm) total (m) (pohon/ha) (m /ha)
3
(m /ha)
3
(m3/ha)
0 - - 2.500 - - -
1 2,60 1,58 2.373 0,93 0,93 0,93
2 4,42 3,96 2.252 6,44 5,51 3,22
3 6,04 5,36 2.137 15,41 8,97 5,14
4 7,53 6,35 2.028 26,96 11,55 6,74
5 8,93 7,12 1.924 40,41 13,45 8,08
6 10,28 7,75 1.826 55,22 14,81 9,20
7 11,57 8,28 1.733 70,95 15,73 10,14

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 119


Y. Indrajaya

Umur Dbh Tinggi Populasi Volume CAI MAI


(tahun) (cm) total (m) (pohon/ha) (m /ha)
3
(m /ha)
3
(m3/ha)
8 12,82 8,74 1.645 87,26 16,30 10,91
9 14,03 9,15 1.561 103,84 16,58 11,54
10 15,21 9,51 1.481 120,45 16,61 12,04
11 16,37 9,84 1.406 136,90 16,45 12,45
12 17,50 10,14 1.334 153,02 16,12 12,75
13 18,61 10,42 1.266 168,68 15,66 12,98
14 19,70 10,67 1.201 183,77 15,10 13,13
15 20,77 10,91 1.140 198,22 14,44 13,21
16 21,83 11,13 1.082 211,95 13,73 13,25
17 22,87 11,34 1.027 224,91 12,96 13,23
18 23,90 11,54 974 237,08 12,16 13,17
19 24,91 11,72 925 248,42 11,34 13,07
20 25,91 11,90 878 258,92 10,50 12,95
21 26,90 12,07 833 268,58 9,66 12,79
22 27,88 12,23 790 277,40 8,82 12,61
23 28,85 12,38 750 285,38 7,99 12,41
24 29,80 12,53 712 292,55 7,17 12,19
25 30,75 12,67 675 298,91 6,36 11,96
Sumber: Indrajaya & Sudomo (2015)

Hutan tanaman manglid dibangun dengan biaya sebesar Rp18,8 juta/ha,


sedangkan harga jual kayu manglid sebesar Rp1 juta/m3 dengan biaya pemanenan
Rp50 ribu/m3 (Indrajaya & Sudomo, 2015). Suku bunga riil rerata tahun 2003
2013 sebesar 4% (World Bank, 2013). Dengan demikian, NPV dengan hanya
mempertimbangkan kayu sebagai sumber pendapatan berdasarkan perhitungan
menggunakan persamaan (1) dapat disajikan dalam Tabel 2.

120 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Te g ak an Ma ng lid d alam Pr oy ek A fo r e st asi

Tabel 2. NPV rotasi tak terhingga hutan tanaman manglid

Umur (tahun ke-) NPV kayu (Rp) Umur (tahun ke-) NPV kayu (Rp)

0 - 13 211.515.477
1 (466.728.284) 14 211.859.381
2 (164.640.727) 15 210.669.169
3 (39.354.719) 16 208.224.349
4 35.648.170 17 204.759.085
5 86.908.814 18 200.470.778
6 123.987.712 19 195.526.555
7 151.433.909 20 190.068.309
8 171.825.764 21 184.216.697
9 186.808.499 22 178.074.364
10 197.522.461 23 171.728.586
11 204.805.794 24 165.253.461
12 209.300.939 25 158.711.749
Sumber: Indrajaya & Sudomo (2015)

Apabila pengusahaan hutan manglid hanya mempertimbangkan kayu sebagai


sumber pendapatan, NPV tertinggi sebesar Rp211.859.381 dapat diperoleh pada
daur 14 tahun (Tabel 2). Seementara itu, daur Faustmann sedikit lebih pendek
dibandingkan dengan daur biologisnya, yaitu 16 tahun (Indrajaya, 2016). Estimasi
jumlah karbon tersimpan dalam biomassa tegakan manglid berdasarkan persamaan
(4) disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah karbon tersimpan dalam biomassa


tegakan manglid terus meningkat dari mulai penanaman hingga umur 25 tahun.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Indrajaya & Sudomo (2015), yaitu
memperpanjang daur selama 1 tahun dari daur Faustmann (menjadi 15 tahun),
jumlah karbon rata-rata tersimpan dalam biomassa hutan manglid akan bertambah
sebanyak 19 ton CO2 eq./ha. Mengingat baseline dalam penelitian ini adalah tanah
kosong yang karbon tersimpannya diasumsikan sebesar nol, perhitungan
additionality dimulai pada tahun ke-1, yaitu sebesar 4 ton CO2/ha. Jumlah karbon

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 121


Y. Indrajaya

yang lebih tinggi dari baseline inilah yang disebut dengan istilah Verified Carbon Unit
(VCU). Dengan demikian, pembayaran jasa lingkungan karbon pada proyek
aforestasi manglid melalui penjualan VCU dapat dimulai ketika jumlah rerata karbon
tersimpan dalam biomassa proyek pada tahun t lebih tinggi dari baseline. Pada kasus
proyek aforestasi dengan hutan manglid, VCU pertama dapat dijual pada tahun ke-1,
yaitu sebanyak empat VCU.

Tabel 3. Karbon tersimpan dalam biomassa tegakan hutan manglid dan kredit karbon yang
dapat diperoleh

Nilai Perubahan karbon


Umur
Karbon rerata CO2 per Karbon Additio- tersimpan karena Unit karbon
(tahun
tersimpan CO2 hektare dikreditkan nality pertumbuhan terverifikasi
ke)
(CO2 eq.) dalam baseline (CO2/ha) (CO2/ha) tegakan manglid
daur (CO2/ha)
1 2 3 4=2-3 5=1-3 6 7
1 4 4 0 4 4 4 4
2 14 9 0 14 10 10 10
3 29 16 0 29 15 15 15
4 50 24 0 50 20 20 20
5 74 34 0 74 24 24 24
6 102 45 0 102 28 28 28
7 132 58 0 132 30 30 30
8 165 71 0 165 33 33 33
9 199 85 0 199 34 34 34
10 234 100 0 234 35 35 35
11 269 116 0 269 36 36 36
12 305 131 0 305 36 36 36
13 340 147 0 340 35 35 35
14 375 164 0 375 35 35 35
15 410 180 0 410 34 34 34
16 443 196 0 443 33 33 33
17 475 213 0 475 32 32 32
18 505 229 0 505 31 31 31
19 534 245 0 534 29 29 29
20 562 261 0 562 28 28 28

122 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Te g ak an Ma ng lid d alam Pr oy ek A fo r e st asi

Nilai Perubahan karbon


Umur
Karbon rerata CO2 per Karbon Additio- tersimpan karena Unit karbon
(tahun
tersimpan CO2 hektare dikreditkan nality pertumbuhan terverifikasi
ke)
(CO2 eq.) dalam baseline (CO2/ha) (CO2/ha) tegakan manglid
daur (CO2/ha)
21 588 277 0 588 26 26 26
22 612 292 0 612 24 24 24
23 634 307 0 634 22 22 22
24 655 321 0 655 21 21 21
25 674 335 0 674 19 19 19

Pembayaran karbon dihentikan ketika jumlah total karbon yang dapat dikre-
ditkan telah tercapai. Misalnya, jumlah total karbon yang dikreditkan sebesar 234
ton CO2/ha pada tahun ke-10. Dengan demikian, ketika jumlah karbon yang dapat
dikreditkan tercapai pada tahun ke-10, pembayaran pun dihentikan.

Harga karbon sangat bervariasi dalam pasar karbon sukarela, yaitu antara
USD1 hingga lebih dari USD100 per ton CO2 eq. (Peters-Stanley et al., 2012).
Harga karbon yang digunakan dalam penelitian ini sebesar USD530/ton CO2 eq.
Nilai tukar rupiah diasumsikan USD1=Rp10.461 (nilai tukar rupiah terhadap dolar
pada tahun 2013) (World Bank, 2013). Berdasarkan persamaan (2), besaran NPV
karbon hutan tanaman manglid pada beberapa harga karbon dapat disajikan dalam
Tabel 4.

Tabel 4. NPV karbon pada tingkat harga karbon USD5, 10, 20, dan 30/ton CO2 eq. (dalam
Rp/ha)

Umur NPV karbon (Rp/ha) pada tingkat harga:


(tahun ke) pc =USD5 pc =USD10 pc =USD20 pc =USD30
1 4.913.372 9.826.743 19.653.486 29.480.229
2 8.865.176 17.730.353 35.460.705 53.191.058
3 12.514.610 25.029.220 50.058.440 75.087.660
4 15.829.211 31.658.422 63.316.844 94.975.266
5 18.804.113 37.608.225 75.216.450 112.824.676
6 21.448.651 42.897.303 85.794.605 128.691.908

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 123


Y. Indrajaya

Umur NPV karbon (Rp/ha) pada tingkat harga:


(tahun ke) pc =USD5 pc =USD10 pc =USD20 pc =USD30
7 23.779.471 47.558.942 95.117.883 142.676.825
8 25.816.849 51.633.698 103.267.397 154.901.095
9 27.582.627 55.165.254 110.330.508 165.495.763
10 29.098.991 58.197.983 116.395.966 174.593.949
11 30.387.748 60.775.495 121.550.991 182.326.486
12 31.469.884 62.939.769 125.879.537 188.819.306
13 32.365.319 64.730.638 129.461.276 194.191.914
14 33.092.763 66.185.525 132.371.051 198.556.576
15 33.669.657 67.339.314 134.678.629 202.017.943
16 34.112.164 68.224.328 136.448.656 204.672.983
17 34.435.184 68.870.368 137.740.736 206.611.104
18 34.652.401 69.304.801 138.609.603 207.914.404
19 34.776.333 69.552.667 139.105.333 208.658.000
20 34.818.400 69.636.801 139.273.601 208.910.402
21 34.788.986 69.577.972 139.155.945 208.733.917
22 34.697.509 69.395.018 138.790.035 208.185.053
23 34.552.488 69.104.976 138.209.953 207.314.929
24 34.361.612 68.723.225 137.446.449 206.169.674
25 34.131.801 68.263.603 136.527.205 204.790.808

Tegakan manglid telah dapat menyerap karbon dibandingkan dengan baseline


(nilai awal nol) pada tahun ke-1 sehingga VCU dapat diterbitkan dan NPV karbon
pada proyek aforestasi manglid mulai positif pada tahun ke-1. Hal ini sedikit berbeda
dengan penelitian Indrajaya & Sudomo (2015) yang mana NPV karbon mulai positif
pada tahun ke-8 karena baseline dalam penelitian mereka lebih tinggi dari penelitian
ini. Semakin panjang daur, semakin tinggi NPV karbonnya karena semakin banyak
karbon yang diserap oleh hutan manglid dan dapat dijual sebagai VCU. Besaran NPV
juga semakin tinggi dengan semakin tingginya harga karbon. Besaran NPV produksi
bersama kayu dan karbon dapat disajikan dalam Tabel 5.

124 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Te g ak an Ma ng lid d alam Pr oy ek A fo r e st asi

Tabel 5. NPV produksi bersama kayu dan karbon pada tingkat harga karbon USD5, 10, 20,
dan 30 /ton CO2 eq. (dalam Rp/ha)

Umur NPV total


(tahun ke) USD5 USD10 USD20 USD30
14 244.952.144 278.044.907 344.230.432 410.415.958
15 244.338.826 278.008.484 345.347.798 412.687.113
16 242.336.512 276.448.676 344.673.004 412.897.332
17 239.194.269 273.629.453 342.499.821 411.370.189
18 235.123.179 269.775.579 339.080.381 408.385.182
19 230.302.888 265.079.222 334.631.888 404.184.555
20 224.886.709 259.705.110 329.341.911 398.978.711
21 219.005.683 253.794.669 323.372.642 392.950.614
22 212.771.873 247.469.382 316.864.399 386.259.417
23 206.281.074 240.833.562 309.938.538 379.043.515
24 199.615.073 233.976.686 302.699.910 371.423.135
25 192.843.550 226.975.352 295.238.954 363.502.557

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada tingkat harga karbon USD5 dan USD10
per ton CO2 eq., daur optimal masih sama dengan jika hanya mempertimbangkan
kayu sebagai pendapatan, yaitu 14 tahun. Hasil ini sama dengan hasil penelitian
serupa dengan proyek karbon sukarela VCS dengan cara memperpanjang daur, atau
dengan baseline jumlah karbon rata-rata (Indrajaya & Sudomo, 2015). Hasil ini juga
sejalan dengan hasil penelitian Diaz-Balteiro & Rodriguez (2006) di Spanyol yang
mana pada tingkat harga karbon yang relatif rendah, daur optimal relatif sama
dengan daur Faustmann. Sementara itu, pada tingkat harga karbon USD20/ton CO2
eq., daur optimal menjadi lebih panjang satu tahun, yaitu menjadi 15 tahun. Pada
tingkat harga karbon USD30/ton CO2 eq., daur menjadi lebih panjang dua tahun,
yaitu 16 tahun. Hal ini juga sama dengan penelitian Indrajaya & Sudomo (2015)
yang mana pada tingkat harga karbon USD30/ton CO2 eq., daur optimal tegakan
manglid menjadi 16 tahun.

Penambahan tambatan karbon dalam biomassa tegakan manglid dengan cara


memperpanjang daur sangat tergantung pada tingkat harga karbon. Dalam skema

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 125


Y. Indrajaya

VCS, jumlah karbon yang dapat dikreditkan adalah selisih antara rerata karbon
tersimpan dalam biomassa proyek dengan rerata karbon tersimpan dalam biomassa
baseline. Apabila jumlah karbon yang dapat dikreditkan merupakan selisih antara
jumlah karbon tersimpan dalam biomassa dalam proyek pada tahun ke-t dengan
baseline (kolom 4 dalam Tabel 3), jumlah karbon yang dapat dikreditkan menjadi
jauh lebih banyak. Oleh karenanya, melalui metode perhitungan tersebut, daur
optimal produksi bersama kayu dan karbon menjadi lebih panjang dibandingkan
dengan metode VCS. Beberapa penelitian yang menggunakan pendekatan ini telah
dilakukan, antara lain oleh Galinato & Uchida (2011) di Filipina dan Tanzania,
Olschewski & Benitez (2010) di Spanyol, dan Tassone et al. (2004) di Italia. Selain
itu, penelitian serupa juga telah dilakukan di Indonesia seperti yang dilakukan oleh
Indrajaya dan Siarudin (2014) pada jenis jabon di Garut, Jawa Barat.

IV. Kesimpulan

Tambahan jasa lingkungan karbon dapat memperpanjang daur optimal


manglid. Daur optimal hutan tanaman manglid pada proyek aforestasi pada tingkat
harga karbon USD5, 10, 20, dan 30/ton CO2 eq. berturut-turut adalah 14, 14, 15,
dan 16 tahun. Selain itu, perhitungan jumlah karbon metode VCS memiliki jumlah
karbon yang dapat dikreditkan relatif lebih rendah dibandingkan dengan metode
aktual perbedaan jumlah karbon tersimpan pada waktu t dengan baseline.

Daftar Pustaka

Amacher, G. S., Ollikainen, M., & Koskela, E. (2009). Economics of forest resources.
Cambridge, Mass.: MIT Press.

Chat, N. B. (2002). Manglietia glauca Bl (M. conifera Dandy). In D. D. Sam & N.


H. Nghia (Eds.), Use of indigenous tree species in reforestation in Vietnam.
Hanoi, Vietnam: Agricultural Publishing House-Forest Science Institute of
Vietnam.

126 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Te g ak an Ma ng lid d alam Pr oy ek A fo r e st asi

Chave, J., Andalo, C., Brown, S., Cairns, M., Chambers, J., Eamus, D., . . . Kira, T.
(2005). Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance
in tropical forests. Oecologia, 145(1), 87-99.

Darusman, D., & Hardjanto. (2006). Tinjauan ekonomi hutan rakyat. Paper
presented at the Prosiding seminar hasil penelitian hasil hutan.

Diaz-Balteiro, L., & Rodriguez, L. C. (2006). Optimal rotations on Eucalyptus


plantations including carbon sequestrationa comparison of results in Brazil
and Spain. Forest ecology and management, 229(1), 247-258.

Foley, T. G., & Galik, C. S. (2009). Extending rotation age for carbon
sequestration: a cross-protocol comparison of North American forest offsets.
Forest ecology and management, 259(2), 201-209.

Galinato, G. I., & Uchida, S. (2011). The effect of temporary certified emission
reductions on forest rotations and carbon supply. Canadian Journal of
Agricultural Economics/Revue canadienne d'agroeconomie, 59(1), 145-164.

Huang, C.-H., & Kronrad, G. D. (2006). The effect of carbon revenues on the
rotation and profitability of loblolly pine plantations in East Texas. Southern
Journal of Applied Forestry, 30(1), 21-29.

Indrajaya, Y. (2016). Daur optimal hutan rakyat manglid di Kecamatan Kawalu,


Tasikmalaya, Jawa Barat.

Indrajaya, Y., & Siarudin, M. (2014). Optimasi produksi kayu dan karbon pada
tegakan jabon (Neolamarckia cadamba Miq.) di Kecamatan Pakenjeng, Garut,
Jawa Barat. Jurnal Penelitian Agroforestry, 2(2).

Indrajaya, Y., & Sudomo, A. (2015). Pengaruh tambahan pendapatan jasa lingkungan
karbon terhadap daur optimal tegakan manglid di Jawa Barat. Paper presented at
the AFOCO Workshop "Pengembangan mata pencaharian alternatif untuk
masyarakat lokal dalam upaya menghadapi dampak perubahan iklim", Bogor.

IPCC. (2006). IPCC Guideline 2006 Guidelines for national green house gas
inventories: IPCC.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 127


Y. Indrajaya

Krisnawati, H., Kallio, M., & Kanninen, M. (2011a). Anthocephalus cadamba Miq.:
Ekologi, silvikultur, produktivitas. Bogor: CIFOR.

Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M., & Kanninen, M. (2011b). Paraserianthes
falcataria (L.) Nielsen. Ekologi, silvikultur dan produktivitas. Bogor Indonesia:
CIFOR.

Olschewski, R., & Benitez, P. C. (2010). Optimizing joint production of timber and
carbon sequestration of afforestation projects. Journal of Forest Economics,
16(1), 1-10. doi: DOI 10.1016/j.jfe.2009.03.002

Peters-Stanley, M., Hamilton, K., Marcello, T., Orejas, R., Thiel, A., & Yin, D.
(2012). Developing dimension: state of the voluntary carbon markets 2012.
Ecosystem marketplace & Bloomberg new energy finance.

Puspitodjati, T., Rohandi, A., Swestiani, D., Sudomo, A., Nadiharto, Y.,
Rahmawan, B., & Setiawan, I. (2009). Intensifikasi hutan rakyat untuk
peningkatan produksi pangan melalui pola agroforestry jenis manglid
(Manglieta glauca BI) dan jagung (Zea mays). Ciamis: Balai Penelitian
Kehutanan Ciamis.

Samuelson, P. A. (1976). Economics of forestry in an evolving society. Economic


Inquiry, 14(4), 466-492.

Solomon, S. (2007). Climate change 2007-the physical science basis: Working group I
contribution to the fourth assessment report of the IPCC (Vol. 4): Cambridge
University Press.

Susaeta, A., Chang, S. J., Carter, D. R., & Lal, P. (2014). Economics of carbon
sequestration under fluctuating economic environment, forest management
and technological changes: An application to forest stands in the southern
United States. Journal of Forest Economics, 20(1), 47-64.

Tassone, V. C., Wesseler, J., & Nesci, F. S. (2004). Diverging incentives for
afforestation from carbon sequestration: an economic analysis of the EU

128 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


D aur Op tima l Te g ak an Ma ng lid d alam Pr oy ek A fo r e st asi

afforestation program in the south of Italy. Forest policy and economics, 6(6),
567-578. doi: Doi 10.1016/S1389-9341(03)00006-6

van Kooten, G. C., Binkley, C. S., & Delcourt, G. (1995). Effect of carbon taxes
and subsidies on optimal forest rotation age and supply of carbon services.
American Journal of Agricultural Economics, 77(2), 365-374. doi:
10.2307/1243546

World Bank. (2013). World Bank Indicator.

Zanne, A. E., Lopez-Gonzalez, G., Coomes, D. A., Ilic, J., Jansen , S., L., S.L.,
M., R.B., ... , Chave, J. (2009). Global wood density database. Dryad.
Identifier: http://hdl.handle.net/10255/dryad.235.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 129


BAB V

KAJIAN LINGKUNGAN
TEGAKAN MANGLID
Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat Pola
Agroforestry Manglid (Magnolia champaca) di Tasikmalaya, Jawa
Barat

M. Siarudin1 & Yonky Indrajaya1

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengkaji struktur tegakan dan mengukur cadangan karbon hutan
rakyat pola agroforestry berbasis manglid (Manglieta champaca). Pengukuran dilakukan pada
18 plot yang mewakili pola agroforestry sederhana manglid (ASM) dan agroforestry kompleks
manglid (AKM) pada hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pengukuran
cadangan karbon dan struktur tegakan mangacu pada metode Rapid Carbon Stock Appraisal
(RaCSA) dengan beberapa analisis tambahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
agroforestry manglid secara rata-rata memiliki komposisi yang seimbang antara basal area
manglid dan pohon asosiasi. Namun demikian, dominasi jenis manglid tampak bervariasi
yang ditunjukkan nilai rasio luas bidang dasar (BA) pohon manglid terhadap BA total yang
relatif tinggi sebesar 0,75 pada tegakan ASM dan hanya 0,42 pada tegakan AKM. Tegakan
agroforestry manglid didominasi oleh kelas diameter 510 cm dan terjadi penurunan jumlah
manglid pada kelas diameter yang lebih tinggi. Pola ASM memiliki sebaran jumlah manglid
yang relatif seragam antarkelas diameter dibandingkan dengan pola AKM. Nilai rerata
karbon tersimpan pada tegakan agroforestry manglid di lokasi penelitian sebesar 145 ton/ha,
yang terdiri dari 44 ton/ha karbon di atas permukaan tanah dan 101 ton/ha karbon di bawah
permukaan tanah. Tegakan AKM memiliki cadangan karbon total di atas permukaan tanah
lebih tinggi, namun memiliki cadangan karbon di bawah permukaan yang lebih rendah
dibanding tegakan ASM.

Kata kunci: agroforestry sederhana, agroforestry kompleks, manglid, struktur tegakan, karbon

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis Jawa Barat
Email: msiarudin@yahoo.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 133


M. Siarudin & Y. Indrajaya

I. Pendahuluan

Kabupaten Tasikmalaya dan sekitarnya merupakan salah satu sentra pengem-


bangan jenis pohon manglid (Magnolia champaca). Jenis ini banyak dikembangkan di
hutan rakyat dengan pola agroforestry, baik dalam pola agroforestry sederhana yang
ditanam secara teratur dengan kombinasi tanaman bawah maupun dalam bentuk
agroforestry kompleks yang terdiri dari berbagai pohon asosiasi. Tegakan manglid di
hutan rakyat Tasikmalaya tersebar pada daerah dengan ketinggian 305894 m di
atas permukaan laut (dpl) dengan kelerengan 045% (Rohandi et al., 2010) dengan
jumlah tanaman diperkirakan 130.000150.000 batang (Mulyana & Diniyati, 2013).
Potensi lahan untuk tanaman manglid di seluruh wilayah Priangan Timur mencapai
560.000 ha dengan kriteria sesuai dan sangat sesuai (Rohandi et al., 2010).

Sistem penggunaan lahan dengan pola agroforestry pada hutan rakyat, selain
memiliki berbagai manfaat ekonomi langsung untuk masyarakat, juga memiliki
manfaat jasa lingkungan seperti penyerapan karbon. Sistem agroforestry telah
dikembangkan, baik di negara berkembang maupun di negara maju, untuk
mengurangi laju emisi karbon (Nair et al., 2009).

Beberapa penelitian tentang karbon tersimpan pada lahan masyarakat di


Indonesia telah dilakukan dengan hasil yang bervariasi. Penelitian di Lampung
menunjukkan bahwa total karbon tersimpan di pekarangan pada semua pool karbon
berkisar antara 56174 ton/ha dengan rerata sebesar 107 ton/ha (Roshetko et al.,
2002). Hasil penelitian lainnya menunjukkan rata-rata dan kisaran karbon di atas
permukaan tanah bervariasi, seperti agroforestry kebun campuran di Bekasi sebesar
62 ton/ha (Adinugroho et al., 2012); agroforestry kemenyan di Kabupaten Tapanuli
Utara sebesar 5166 ton/ha (Antoko, 2011); agroforestry di Langkat sebesar 5763
ton/ha; dan agroforestry kebun campuran di Lampung dengan besaran rerata 43
ton/ha (Yuwono et al., 2012).

Besarnya karbon tersimpan dalam biomassa tergantung pada sistem


agroforestry yang diterapkan, serta struktur dan fungsi yang ada dalam pola ini
(Albrecht & Kandji, 2003). Informasi mengenai struktur tegakan dan karbon ter-

134 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


S tru ktu r Teg a kan d an C ad an g an Kar b on Hu tan Rak yat

simpan pada tegakan hutan rakyat pola agroforestry berbasis tanaman manglid masih
sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan mengetahui struktur tegakan dan mengukur
cadangan karbon pada hutan rakyat pola agroforestry berbasis manglid di Kabupaten
Tasikmalaya. Secara khusus, tulisan ini juga membahas perbedaan struktur tegakan
dan karbon tersimpan antara pola agroforestry kompleks dan agroforestry sederhana
berdasarkan kriteria Hairiah et al. (2006). Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi informasi dasar untuk pengembangan agroforestry manglid di hutan rakyat
dalam mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

II. Metodologi

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Pengamatan dan pengukuran tegakan agroforestry manglid dilakukan di Kabu-


paten Tasikmalaya, tepatnya di Desa Cikalong dan Sodonghilir (Kecamatan
Sodonghilir), Desa Sukarasa (Kecamatan Salawu), serta Desa Pedang Kamulyan dan
Girimukti (Kecamatan Bojonggambir). Pemilihan lokasi didasarkan pada hasil
penelitian sebelumnya oleh Rohandi et al. (2010) bahwa daerah ini merupakan
beberapa sentra manglid di Kabupaten Tasikmalaya.

Analisis biomasa dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Teknologi


Agroforestry, Ciamis; sedangkan analisis tanah dilakukan di laboratorium Ilmu
Tanah, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Penelitian dilakukan pada
bulan MaretDesember 2013.

B. Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Pengukuran struktur tegakan dan cadangan karbon pada penelitian ini


menggunakan prosedur Rapid Carbon Stock Appraisal (RaCSA) (Hairiah et al., 2011).
Pengukuran biomassa dilakukan pada lima pool, yaitu biomassa pohon, biomassa
tanaman bawah, nekromassa berkayu, nekromasa tidak berkayu (serasah), dan bahan
organik tanah. Plot pengukuran terdiri dari plot utama berukuran 5 m x 40 m dan
enam subplot berukuran 50 cm x 50 cm dalam setiap plot utama (Gambar 1).

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 135


M. Siarudin & Y. Indrajaya

Sejumlah 18 plot pengukuran dilakukan di lokasi penelitian yang mewakili tegakan


agroforestry manglid sederhana (sembilan plot) dan tegakan agroforestry manglid
kompleks (sembilan plot). Kriteria agroforestry sederhana dan kompleks mengacu
kepada Hairiah et al. (2006).

Pengukuran biomasa pohon dilakukan pada plot utama untuk pohon dengan
diameter setinggi dada (diameter at breast height/DBH) 530 cm. Apabila di dalam
plot terdapat pohon dengan DBH >30 cm, lebar plot utama diperluas menjadi 20 m
x 100 m untuk mengukur pohon-pohon dengan DBH tersebut. Setiap pohon dalam
plot pengukuran dicatat jenisnya dan diukur DBH. Identifikasi jenis dilakukan
dengan melibatkan pengenal jenis dari penduduk lokal. Jenis pohon dari famili
Arecaceae (palma) diukur pula tinggi pohonnya karena dipersyaratkan dalam
persamaan allometrik perhitungan biomassa. Biomassa di atas permukaan tanah per
pohon dihitung dengan persamaan allometrik umum (Chave et al., 2005):

AGB = exp( 1.499 + 2.148 ln( D ) + 0.207(ln( D )) 2 0.028(ln( D ))3 (1)

Keterangan: = kerapatan kayu atau berat jenis kayu; D = DBH

Data berat jenis kayu yang digunakan dalam perhitungan persamaan (1)
adalah berat jenis kayu masing-masing jenis pohon yang teridentifikasi dengan
merujuk pada data berat jenis Global Wood Density Database dari Zanne et al. (2009)
atau Seng (1990). Kandungan karbon diasumsikan sebesar 0,47 dari berat
biomassanya (IPCC, 2006). Kandungan karbon akar diperhitungkan sebagai 20%
dari kandungan karbon di atas tanah (IPCC, 2006).

Pengukuran nekromasa berkayu dilakukan pada plot yang sama dengan


pengukuran pohon. Nekromasa berkayu dapat berupa pohon yang mati berdiri,
tunggul pohon bekas tebangan/pohon roboh, atau batang pohon mati yang rebah.
Pengukuran nekromassa dengan diameter 530 cm dilakukan pada plot 5 m x 20 m,
sedangkan nekromasa berdiameter >30 cm diukur pada plot 20 m x 100 m. Setiap
nekromasa yang ditemukan diukur volumenya (dengan mengukur diameter dan
tinggi atau panjang batang) dan diukur tingkat kelapukannya. Sampel sejumlah 300
gram diambil untuk diukur berat keringnya di laboratorium.

136 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


S tru ktu r Teg a kan d an C ad an g an Kar b on Hu tan Rak yat

Gambar 1. Plot pengukuran cadangan karbon dan struktur tegakan agroforestry manglid

Pengukuran biomassa tumbuhan bawah dan neromasa tidak berkayu (serasah)


dilakukan pada subplot 50 cm x 50 cm. Tumbuhan bawah dan nekromasa tidak
berkayu yang diambil dari subplot ditimbang sebagai berat basah, kemudian diukur
berat keringnya di laboratorium.

Sampel tanah untuk pengukuran kandungan C-organik tanah dilakukan pada


subplot yang sama dengan pengukuran biomassa tumbuhan bawah dan nekromasa.
Jenis sampel tanah yang diambil adalah sampel tanah terganggu untuk mengukur
kandungan C-organik tanah dan sampel tanah tidak terganggu untuk mengukur
berat isi (BI) tanah. Pengambilan sampel tanah terganggu dan tidak terganggu
dilakukan pada tiga kedalaman, yaitu kedalaman 010 cm, 1020 cm, dan 2030
cm. Analisis kandungan C-organik menggunakan metode spektrofotometri,
sedangkan pengukuran berat isi tanah menggunakan metode parafin.

Struktur tegakan manglid ditentukan melalui analisis tambahan dari data dasar
pengukuran pada plot utama dan subplot. Beberapa parameter yang dianalisis adalah
luas bidang dasar (basal area/BA) pohon manglid dan pohon asosiasinya, sebaran

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 137


M. Siarudin & Y. Indrajaya

pohon berdasarkan kelas diameter, serta keragaman jenis pohon dan tumbuhan
bawah.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Struktur Tegakan Hutan Rakyat Agroforestry Berbasis Manglid

1. Basal Area

Hutan rakyat dengan pola agroforestry berbasis manglid terdapat dalam


berbagai tingkat kerapatan dan keragaman jenis pohon. Sebagian petani menanam
manglid dan berbagai jenis pohon lainnya dalam satu struktur yang kompleks,
termasuk tanaman musiman di bawah tegakan untuk memanfaatkan ruang kosong
di antara pohon-pohon. Umumnya, pola yang demikian terjadi pada petani yang
tidak memiliki waktu banyak untuk melakukan pemeliharaan hutannya secara
intensif. Sebagian petani menanam manglid secara khusus dengan jarak tanam yang
teratur dan memberikan ruang yang cukup untuk tanaman bawah/musiman yang
juga dikelola secara intensif. Pohon-pohon asosiasi selain manglid tidak banyak,
bahkan, dalam satu hamparan tertentu hanya ditanam pohon manglid dan tanaman
bawah saja.

Dalam penelitian ini, berbagai tingkat kerapatan dan keragaman jenis pohon
yang ditanam diklasifikasikan ke dalam agroforestry kompleks dan agroforestry seder-
hana menurut jumlah jenis pohon yang ditanam dan luas bidang dasar (BA) dari
pohon utama (Hairiah et al., 2006). Tabel 1 menunjukkan bahwa, BA pohon
manglid dan pohon asosiasi secara total relatif seimbang, nilai rerata masing-masing
adalah 10,04 m2/ha dan 10,09 m2/ha. Namun demikian, nilai BA manglid pola
agroforestry sederhana hampir tiga kali lipat lebih besar dari pada BA jenis pohon
lainnya, yaitu masing-masing 9,29 m2/ha dan 3,61 m2/ha. Sebaliknya, BA manglid
pola agroforestry kompleks lebih kecil, yaitu hanya 10,09 m2/ha, sedangkan pohon
asosiasi mencapai 16,57 m2/ha.

138 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


S tru ktu r Teg a kan d an C ad an g an Kar b on Hu tan Rak yat

Tabel 1. Kerapatan tegakan dan keragaman jenis pada hutan rakyat pola agroforestry
manglid

BA Rasio BA Jumlah Jumlah Kerapatan


Nomor BA BA Jenis
pohon manglid & jenis pohon/ pohon
plot manglid total agroforestry**
asosiasi BA total pohon plot* (pohon/ha)
1 7,93 4,33 12,26 0,65 5 16 800 AF-K
2 7,17 23,87 31,04 0,23 8 34 1700 AF-K
3 12,11 18,49 30,60 0,40 7 32 1600 AF-K
4 18,17 23,43 41,60 0,44 14 37 1850 AF-K
5 12,72 10,37 23,09 0,55 6 45 2250 AF-K
6 11,69 13,65 25,34 0,46 5 24 1200 AF-K
7 9,49 11,53 21,02 0,45 12 32 1600 AF-K
8 11,80 19,54 31,35 0,38 14 36 1800 AF-K
9 6,08 23,89 29,97 0,20 8 36 1800 AF-K
10 9,44 - 9,44 1,00 1 11 550 AF-S
11 13,92 1,24 15,16 0,92 4 16 800 AF-S
12 6,69 6,42 13,11 0,51 4 31 1550 AF-S
13 8,45 0,31 8,76 0,96 2 14 700 AF-S
14 8,31 10,10 18,40 0,45 4 13 650 AF-S
15 9,95 4,59 14,55 0,68 4 21 1050 AF-S
16 4,37 5,26 9,63 0,45 3 14 700 AF-S
17 10,17 - 10,17 1,00 1 10 500 AF-S
18 12,30 4,59 16,89 0,73 3 27 1350 AF-S
10,80 16,57 27,36 0,42 8,67 32,44 1622
AF-K
(3,66) (6,97) (8,22) (0,14) (3,77) (8,28) (413,91)
9,29 3,61 12,90 0,75 3,00 17,44 872
AF S
(2,84) (3,49) (3,56) (0,23) (1,41) (7,33) (366,67)
10,04 10,09 20,13 0,58 5,83 24,94 1247
Rerata
(3,27) (8,54) (9,65) (0,25) (4,02) (10,82) (541,10)

Keterangan: * Ukuran plot = 5 m x 40 m; ** menurut kriteria Hairiah et al. (2006); AF-S = agroforestry
sederhana; AF-K = agroforestry kompleks; BA = luas bidang dasar; angka dalam kurung menunjukkan
nilai simpangan baku

Perbandingan BA total seluruh pohon menunjukkan bahwa pola agroforestry


kompleks lebih tinggi dibandingkan dengan BA pada agroforestry sederhana, yaitu
masing-masing 27,36 m2/ha dan 12,90 m2/ha. Nilai BA ini relatif sama dengan hasil

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 139


M. Siarudin & Y. Indrajaya

penelitian di DAS Konto, Kabupaten Malang, Jawa Timur yang dilaporkan oleh
Kurniawan et al. (2010), yang mana BA pada agroforestry kopi kompleks sebesar 28,4
m2/ha dan agroforestry kopi sederhana sebesar 12,1 m2/ha. Tingginya BA pada pola
agroforestry kompleks manglid ini disebabkan jumlah kerapatan tegakan yang lebih
banyak, yaitu rerata sebesar 1.622 pohon/ha, sedangkan pada agroforestry sederhana
hanya 872 pohon/ha.

2. Sebaran Pohon Berdasarkan Diameter

Gambar 2 menunjukkan bahwa rerata sebaran pohon terbanyak pada kelas


diameter 510 cm dan menurun pada kelas diameter yang lebih besar. Pola yang
sama terjadi pada sebaran jumlah pohon pola agroforestry kompleks yang mana
jumlah pohon didominasi oleh kelas diameter kecil (510 cm), kemudian jumlah
pohon menurun pada kelas diameter yang lebih tinggi. Berbeda dengan pola
agroforestry sederhana, jumlah pohon pada kelas diameter 1020 tampak cukup
mendominasi, disusul kelas diameter 510 cm, kelas diameter 2030 cm, dan sangat
sedikit (4 pohon/ha) pada kelas diameter >30 cm.

1000,00
900,00
800,00
Jumlah pohon (pohon/ha)

700,00
600,00
500,00
400,00
300,00
200,00
100,00
0,00
dbh 5-10 cm dbh 10-20 cm dbh 20-30 cm dbh 30 cm up
AF kompleks 872,22 533,33 222,22 19,44
AF sederhana 227,78 461,11 83,33 4,44
rata-rata 550,00 497,22 152,78 11,94

Gambar 2. Sebaran pohon berdasarkan kelas diameter

140 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


S tru ktu r Teg a kan d an C ad an g an Kar b on Hu tan Rak yat

Secara umum, hal yang dapat diketahui bahwa pola agroforestry kompleks
memiliki jumlah pohon yang lebih tinggi daripada pola agroforestry sederhana,
termasuk pada semua kelas diameter. Hal ini konsisten dengan perhitungan nilai
basal area total yang mana pola agroforestry kompleks lebih tinggi daripada pola
agroforestry sederhana (Tabel 1).

3. Keragaman Jenis Pohon dan Tanaman Bawah

Keragaman jenis pohon pada pola agroforestry kompleks lebih tinggi, yaitu
rerata delapan jenis pohon dalam satu plot pengamatan; sedangkan pada pola
agrofrestry sederhana hanya 3 jenis pohon. Secara total, jenis-jenis pohon tersebut
terdiri dari pohon penghasil kayu-kayuan sebesar 54%, pohon penghasil buah-
buahan 32%, dan pohon penghasil bukan kayu sebesar 14%. Jenis pohon penghasil
kayu yang dominan di lokasi penelitian selain manglid antara lain mahoni (Swietenia
mahagony), sengon (Paraserianthes falcataria), suren (Toona sureni), afrika (Maesopsis
eminii), tisuk (Hibiscus macrophyllus), dan gmelina (Gmelina arborea) (Tabel 2).
Sementara itu, jenis penghasil buah-buahan antara lain manggis (Garcinia
mangostana), kelapa (Cocos nucifera), durian (Durio zibethinus), limus (Mangifera
foetida), nangka (Artocarpus heterophyllus), mangga (mangifera indica), sirsak (Annona
muricata), rambutan (Nephelium lappacium), petai (Parkia spesiosa), dan jengkol
(Archidendron pauciflorum). Penghasil hasil hutan bukan kayu antara lain cengkeh
(Syzigium aromaticum), aren (Arenga pinnata), dan pinang (Pinanga patula).

Tabel 2. Kerapatan pohon setiap jenis pada tegakan agroforestry manglid

Pohon/ Pohon/
No. Jenis pohon No. Jenis pohon
ha ha
1. Manglid (Manglietia champaca.) 594 19. Durian (Durio zibethinus) 6
2. Mahoni (Swietenia sp.) 144 20. Kiacret (Spathodea campanulata) 6
3. Sengon (Paraserianthes falcataria) 103 21. Mangga (Mangifera indica) 6
4. Suren (Toona sureni) 69 22. Petai (Parkia speciosa) 6
5. Manggis (Garcinia mangostana) 53 23. Sirsak (Annona muricata) 6
6. Afrika (Maesopsis eminii) 42 24. Alpukat (Persea americana) 3
7. Kelapa (Cocos nucifera) 22 25. Angsana (Pterocarpus indicus) 3

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 141


M. Siarudin & Y. Indrajaya

Pohon/ Pohon/
No. Jenis pohon No. Jenis pohon
ha ha
8. Cengkeh (Syzigium aromaticum) 17 26. Gmelina (Gmelina arborea) 3
9. Rambutan (Nephelium lappaceum) 17 27. Jambu batu (Psidium guajava) 3
10. Tisuk (Hibiscus macrophyllus) 17 28. Kipare (Glochidion macrocarpum) 3
11. Bencoy (Baccaurea racemosa) 14 29. Kisamping (Evodia latifolia) 3
12. Huru (Actinodaphne procera) 14 30. Kokosan (Lansium aqueum) 3
13. Aren (Arenga pinnata) 11 31. Mara (Macaranga tanarius) 3
14. Jengkol (Archidendron pauciflorum) 11 32. Mareme (Glochidion arborescens) 3
15. Jambu air (Syzigium aquea) 8 33. Melinjo (Gnetum gnemon) 3
16. Limus (Mangifera foetida) 8 34. Pinang (Pinanga patula) 3
17. Nangka (Artocarpus heterphyllus) 8 35. Pongporang (Oroxylum indicum) 3
18. Duku (Lansium domesticum) 6 36. Puspa (Schima wallichii) 3

Tabel 3. Ketersediaan jenis tanaman bawah pada tegakan pola agroforestry manglid

No. Jenis tanaman bawah Ketersediaan pada plot pengamatan (%)


1. Teh (Camelia sinensis) 72,2
2. Kapol (Elettaria cardamomun) 61,1
3. Pisang (Musa sp.) 22,2
4. Singkong (Manihot esculenta) 16,7
5. Nanas (Ananas comocus) 16,7
6. Talas (Colocasia esculenta) 11,1
7. Salak (Salacca zalacca) 11,1
8. Kunyit-kunyitan (Curcuma spp.) 5,6
9. Rumput gajah (Pennisetum purpureum) 5,6

Tanaman bawah yang banyak dibudidayakan masyarakat adalah teh (Camelia


sinensis) dan kapolaga (Elettaria cardamomun) (Tabel 3). Tanaman teh terdapat pada
sekitar 70% lokasi pengamatan, terutama terkonsentrasi di daerah Kecamatan
Bojonggambir. Sementara itu, tanaman kapolaga terdapat pada sekitar 60% lokasi,
terutama di daerah Kecamatan Sodonghilir dan Salawu. Berdasarkan hasil
wawancara dengan masyarakat, jenis kapolaga banyak dipilih karena tahan naungan,
mudah penanaman dan pemeliharaannya, serta harga buah kapol relatif stabil.
Sementara di Kecamatan Bojonggambir, daerah ini merupakan daerah kebun teh
yang sudah ada sejak zaman Belanda, baik pada lahan yang dikelola oleh PT

142 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


S tru ktu r Teg a kan d an C ad an g an Kar b on Hu tan Rak yat

Perkebunan Nusantara maupun pada lahan-lahan milik masyarakat. Mengingat


tanaman teh memerlukan intensitas cahaya tinggi, pohon manglid hanya ditanam
pada pinggiran ataupun di tengah lahan dengan kerapatan rendah, yaitu <700
pohon/ha. Sebagian masyarakat menganggap harga teh sudah tidak prospektif
sehingga mereka menanam manglid dengan kerapatan hingga 1.800 pohon/ha dan
membiarkan tanaman teh tidak produktif.

B. Cadangan Karbon pada Hutan Rakyat Pola Agroforestry Manglid

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa karbon tersimpan pada hutan rakyat


pola agroforestry berbasis manglid di lokasi penelitian berada pada kisaran 98200
ton/ha atau rerata sebesar 145 ton/ha (terdiri dari 44 ton/ha karbon di atas
permukaan tanah dan 101 ton/ha karbon di bawah permukaan tanah). Nilai kisaran
cadangan karbon pada penelitian ini lebih tinggi dari agroforestry kopi di DAS
Konto yang dilaporkan Kurniawan et al. (2010) dengan kisaran karbon total 99111
ton/ha (Tabel 4).

Tabel 4. Karbon tersimpan pada agroforestry manglid

AGC (ton/ha) BGC (ton/ha)


Total
Plot Total Total
Pohon TB NB NTB AP ATB COT AGC+ BGC
AGC BGC
1 22,8 0,4 0,0 0,5 23,6 4,6 0,1 69,3 73,9 97,6
2 59,8 0,5 0,4 1,1 61,8 12,0 0,1 40,2 52,3 114,0
3 88,0 0,3 0,0 0,6 89,0 17,6 0,1 51,3 69,0 158,0
4 106,2 0,4 0,0 1,4 108,0 21,2 0,1 65,4 86,7 194,7
5 40,3 0,5 0,0 2,0 42,8 8,1 0,1 75,9 84,0 126,8
6 63,4 0,1 0,0 2,0 65,5 12,7 0,0 91,7 104,4 169,9
7 42,4 0,1 0,5 1,1 44,1 8,5 0,0 77,4 85,9 130,1
8 75,6 0,2 0,0 0,7 76,5 15,1 0,0 75,9 91,0 167,5
9 25,2 0,2 0,0 0,6 26,0 5,0 0,0 67,4 72,5 98,5
10 17,7 0,5 0,0 1,8 20,1 3,5 0,1 116,6 120,2 140,3
11 32,2 0,7 0,0 0,7 33,7 6,4 0,1 114,2 120,7 154,4
12 25,3 0,3 0,0 0,7 26,3 5,1 0,1 125,9 131,0 157,3
13 14,8 0,2 0,0 1,6 16,7 3,0 0,0 117,1 120,1 136,8

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 143


M. Siarudin & Y. Indrajaya

AGC (ton/ha) BGC (ton/ha)


Total
Plot Total Total
Pohon TB NB NTB AP ATB COT AGC+ BGC
AGC BGC
14 56,6 6,0 0,0 1,2 63,8 11,3 1,2 124,2 136,7 200,6
15 28,1 0,4 0,0 0,8 29,3 5,6 0,1 113,7 119,4 148,7
16 16,5 0,2 0,0 1,8 18,5 3,3 0,0 144,6 148,0 166,5
17 20,1 0,1 0,0 1,0 21,2 4,0 0,0 91,9 95,9 117,1
18 27,2 0,4 0,0 0,9 28,5 5,4 0,1 96,4 101,9 130,4
58,2 0,3 0,1 1,1 59,7 11,6 0,1 68,3 80,0 139,7
AF-K
(28,4) (0,1) (0,2) (0,6) (28,4) (5,7) (0,0) (15,1) (15,0) (34,3)
26,5 1,0 0 1,2 28,7 5,3 0,2 116,1 121,5 150,2
AF-S
(12,7) (1,9) (0,5) (14,3) (2,5) (0,4) (15,7) (16,1) (24,1)
42,3 0,6 0,0 1,1 44,2 8,5 0,1 92,2 100,8 144,9
Rerata
(26,9) (1,4) (0,1) (0,5) (27,1) (5,4) (0,3) (28,8) (26,2) (29,3)

Keterangan: AGC=C-organik di atas permukaan tanah; BGC=C-organik di bawah permukaan tanah;


TB=tumbuhan/tanaman bawah; NB=nekromasa berkayu; NTB=nekromasa tidak berkayu; AP=akar
pohon; ATB=akar tumbuhan/tanaman bawah; COT=C-organik tanah 0-30 cm; AF-S=agroforestry
sederhana; AF-K=agroforestry kompleks; angka dalam kurung menunjukkan nilai simpangan baku.

Besaran cadangan karbon bervariasi antarlokasi, yang mana karbon di atas


permukaan tanah rata-rata adalah sebesar 17108 ton/ha (rerata 44 ton/ha). Hasil
penelitian ini lebih tinggi dari kisaran karbon tersimpan dalam biomassa di Jawa
Barat, yaitu 280 ton/ha (Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan, 2010).
Beberapa hasil penelitian lainnya juga menunjukkan rerata dan kisaran karbon di
atas permukaan tanah yang berbeda, seperti agroforestry kebun campuran di Bekasi
sebesar 62 ton/ha (Adinugroho et al., 2012); agroforestry kemenyan di Kabupaten
Tapanuli Utara sebesar 5166 ton/ha (Antoko, 2011); dan agroforestry di Langkat
sebesar 5763 ton/ha. Sementara itu, hasil penelitian pada agroforestry kebun
campuran di Lampung oleh Yuwono et al. (2012)menunjukkan nilai yang hampir
sama, yaitu rerata 43 ton/ha.

Tabel 4 memperlihatkan bahwa karbon di atas permukaan tanah terbesar


terdapat pada Plot 4 yang berlokasi di Desa Cikalong Kecamatan Sodonghilir.
Lokasi ini mewakili salah satu agroforestry kompleks yang cukup padat dengan basal

144 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


S tru ktu r Teg a kan d an C ad an g an Kar b on Hu tan Rak yat

area mencapai 41,6 m2/ha dan terdapat 14 jenis pohon yang menjadi komponen
penyusunnya (Tabel 1). Sementara itu, Plot 13 memperlihatkan bahwa karbon di
atas permukaan tanah memiliki nilai terkecil yang merupakan tegakan agroforestry
manglid sederhana berumur muda dengan basal area hanya 8,76 m2/ha.

(a) (b)

Gambar 3. Persentase komponen penyusun karbon tersimpan di atas permukaan tanah (a);
dan karbon tersimpan di bawah permukaan tanah (b)

Tingginya karbon tersimpan pada tegakan dengan basal area pohon tertinggi
disebabkan sebagian besar komponen karbon tersimpan tersebut berasal dari pohon.
Gambar 3 menunjukkan bahwa karbon pohon menyumbang karbon total di atas
permukaan tanah sebesar 42,34 ton/ha (95,84%), disusul bagian nekromassa tidak
berkayu sebesar 1,15 ton/ha (2,60%), biomassa tumbuhan bawah sebesar 0,64 ton/ha
(1,46%), dan nekromassa berkayu sebesar 0,05 ton/ha (0,11%). Nilai tersebut
sebanding dengan laporan Kurniawan et al. (2010) di DAS Kalikonto Hulu,
Kabuaten Malang, yang mana persentase karbon dari pohon, nekromassa dan
tumbuhan bawah masing-masing sebesar 93,11%, 5,31%, dan 1,54%.

Karbon tersimpan di bawah permukaan tanah juga tampak bervariasi berkisar


antara 52,4148 ton/ha dengan rerata 100,8 ton/ha (Tabel 4). Sebagian besar karbon
tersimpan tersebut berada dalam bentuk C-organik tanah pada kedalaman 030 cm,
yaitu sebesar 92,2 ton/ha (91,47%), disusul akar pohon sebesar 8,5 ton/ha (8,40%),
dan akar tumbuhan bawah sebesar 0,1 ton/ha (0,13%). Kisaran karbon tanah pada

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 145


M. Siarudin & Y. Indrajaya

penelitian ini sebanding dengan laporan Nair et al. (2009), yang mana C tanah pada
kedalaman 045 cm pada agroforestry Psedotsuga sp. dan Trifolilum sp. di Amerika
sebesar 95,89 ton/ha; demikian juga dengan karbon tanah pada kedalaman 040 cm
pada agroforestry kopi ternaungi sebesar 92,27 ton/ha. Penelitian ini juga sesuai
dengan laporan Roshetko et al. (2002) yang menunjukkan bahwa karbon yang ter-
simpan di dalam tanah relatif lebih besar dibandingkan dengan yang tersimpan di
dalam biomassa tumbuhan.

Berdasarkan perbandingan antara kedua pola agroforestry, pola agroforestry


kompleks diketahui memiliki cadangan karbon total di atas permukaan tanah lebih
tinggi, yaitu sebesar 23,6108 ton/ha (rerata 59,7 ton/ha); sedangkan pola
agroforestry sederhana hanya sebesar 16,763,9 ton/ha (rerata 28,7 ton/ha). Nilai
karbon tersimpan di atas tanah pada agroforestry manglid ini lebih rendah daripada
hasil penelitian di Sulawesi Tengah oleh Wardah et al., (2011) yang mana karbon di
atas permukaan tanah pada agroforestry kompleks berkisar antara 98,46110,93
ton/ha dan agroforestry sederhana berkisar antara 42,4283,55 ton/ha. Namun
demikian, nilai karbon tersimpan di atas tanah pada agroforestry manglid ini lebih
tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kurniawan et al. (2010), yang mana
karbon di atas permukaan tanah pada agroforestry multistrata sebesar 43,35 ton/ha
dan agroforestry sederhana sebesar 24,7 ton/ha.

Tingginya cadangan karbon pada pola agroforestry kompleks disebabkan


jumlah individu pohon yang lebih banyak, yaitu rerata sebesar 1.622 pohon/ha,
sedangkan pola agroforestry sederhana hanya 872 pohon/ha. Jumlah individu pohon
yang lebih sedikit pada agroforestry sederhana merupakan bagian dari pengaturan
untuk memberikan ruang lebih bagi tanaman bawah. Hal ini terlihat dari jumlah
cadangan karbon tumbuhan bawah pada agroforestry sederhana yang lebih tinggi,
yaitu 1 ton/ha, sedangkan pola agroforestry kompleks hanya sebesar 0,29 ton/ha.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, tumbuhan bawah pada pola agroforestry
sederhana tampak lebih terpelihara secara intensif, sedangkan tumbuhan bawah pada
agroforestry kompleks lebih sering hanya menempati ruang lantai hutan yang tersisa
serta bercampur dengan rumput liar.

146 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


S tru ktu r Teg a kan d an C ad an g an Kar b on Hu tan Rak yat

Nekromassa tidak berkayu pada agroforestry kompleks ataupun sederhana


relatif seimbang, yaitu masing-masing 1,12 ton/ha dan 1,18 ton/ha. Sementara itu,
nekromassa berkayu jarang sekali ditemukan, kecuali dalam bentuk tunggul pohon
dan batang rebah pada beberapa lokasi di lahan agroforestry kompleks.Sebagian besar
tunggul pohon mengalami terubusan kembali sehingga tidak dikategorikan sebagai
nekromassa berkayu. Nekromassa berkayu berupa ranting pohon (diameter >5 cm)
yang jatuh atau pohon mati berdiri jarang ditemukan karena diduga dimanfaatkan
oleh masyarakat sebagai kayu bakar sehingga tidak tertinggal di lahan hutan.

Cadangan karbon di bawah permukaan tanah pada sistem agroforestry


sederhana lebih tinggi, yaitu sebesar 121,5 ton/ha; sedangkan pada agroforestry
kompleks hanya sebesar 80 ton/ha. Tingginya nilai cadangan karbon di bawah
permukaan tanah pada agroforestry sederhana ini disebabkan tingginya nilai C-
organik tanah pada sistem ini (116,1 ton/ha). Hal ini diduga bahwa nilai C-organik
tanah yang tinggi pada sistem agroforestry sederhana disebabkan adanya pengolahan
lahan yang lebih intensif, terutama berkaitan dengan lebih terbukanya ruang untuk
budi daya tanaman bawah. Terdapatnya budi daya tanaman bawah menyebabkan
petani aktif menyiapkan lahan dan memupuk tanamannya. Menurut Mutuo et al.
(2005), manajemen lahan yang baik pada sistem agroforestry dapat berkontribusi
pada mitigasi emisi CO2 dari tanah. Sementara itu, menurut Lal (2005), kegiatan di
antara beberapa pengelolaan lahan yang dapat memperbaiki cadangan karbon tanah
adalah persiapan lahan dan pemupukan.

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Agroforestry manglid dikembangkan masyarakat secara umum karena memiliki


komposisi yang seimbang antara basal area manglid dan pohon asosiasi. Namun
demikian, dominasi jenis manglid tampak bervariasi yang ditunjukan nilai rasio basal
area manglid terhadap basal area total yang relatif tinggi sebesar 0,75 pada pola
agroforestry sederhana dan hanya 0,42 pada pola agroforestry kompleks. Tegakan

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 147


M. Siarudin & Y. Indrajaya

agroforestry manglid didominasi oleh kelas diameter 510 cm dan terjadi penurunan
jumlah manglid pada kelas diameter yang lebih tinggi. Pola agroforestry sederhana
memiliki sebaran jumlah manglid yang relatif seragam antarkelas diameter
dibandingkan dengan pola agroforestry kompleks.

Rerata karbon tersimpan pada hutan rakyat pola agroforestry berbasis manglid
di lokasi penelitian ini sebesar 145 ton/ha, terdiri dari 44 ton/ha karbon di atas
permukaan tanah dan 101 ton/ha karbon di bawah permukaan tanah. Pola
agroforestry kompleks memiliki cadangan karbon total di atas permukaan tanah lebih
tinggi, namun memiliki cadangan karbon di bawah permukaan yang lebih rendah
dibandingkan dengan pola agroforestry sederhana.

B. Saran

Informasi karbon tersimpan dalam beberapa tipe agroforestry manglid dapat


menjadi salah satu referensi dalam menentukan arah pembangunan Kabupaten
Tasikmalaya menuju pembangunan yang berorientasi ekonomi dan rendah emisi.
Penelitian lebih lanjut tentang analisis ekonomi berbagai pola agroforestry berbasis
manglid perlu dilakukan.Selain itu, kajian lebih mendalam tentang keanekaragaman
jenis juga dapat dilakukan untuk melengkapi informasi hasil penelitian ini.

Daftar Pustaka

Adinugroho, W. C., Indrawan, A., & Supriyanto, H. S. A. (2012). Kontribusi Sistem


Agroforestri Terhadap Cadangan Karbon di Hulu DAS Kali Bekasi. (Master),
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Albrecht, A., & Kandji, S. T. (2003). Carbon sequestration in tropical agroforestry


systems. Agriculture, ecosystems & environment, 99(1), 15-27.

Antoko, B. S. (2011). Nilai insentif karbon hutan rakyat kemenyan berbasis voluntary
carbon market di Kabupaten Tapanuli Utara. (Master), Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.

148 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


S tru ktu r Teg a kan d an C ad an g an Kar b on Hu tan Rak yat

Chave, J., Andalo, C., Brown, S., Cairns, M., Chambers, J., Eamus, D., ..., & Kira,
T. (2005). Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and
balance in tropical forests. Oecologia, 145(1), 87-99.

Hairiah, K., Ekadinata, A., Sari, R. R., & Rahayu, S. (2011). Pengukuran cadangan
karbon dari tingkat lahan ke bentang lahan. World Agroforestry CentreICRAF,
South East Asia Regional Office, Bogor, Indonesia.

Hairiah, K., Rahayu, S., & Berlian, I. (2006). Layanan lingkungan agroforestri
berbasis kopi: cadangan karbon dalam biomasa pohon dan bahan organik
tanah (studi kasus dari Sumberjaya, Lampung Barat). AGRIVITA, 28(3), 298-
309.

IPCC. (2006). IPCC Guideline 2006 Guidelines for national green house gas
inventories: IPCC.

Kurniawan, S., Prayogo, C., Widianto, M., Lestari, N. D., Aini, F. K., & Hairiah,
K. (2010). Estimasi karbon tersimpan di lahan-lahan pertanian di DAS Konto,
Jawa Timur. RACSA (Rapid Carbon Stock Appraisal). Working paper 120.
World Agroforestry Center (ICRAF). Bogor.

Lal, R. (2005). Forest soils and carbon sequestration. Forest ecology and management,
220(1), 242-258.

Mulyana, S., & Diniyati, D. (2013). Potensi wilayah sebaran kayu manglid
(Manglietia glauca Bl.) pada hutan rakyat pola agroforestry di Kabupaten
Tasikmalaya dan Ciamis. Paper presented at the Seminar Nasional
Agroforestry, Malang.

Mutuo, P. K., Cadisch, G., Albrecht, A., Palm, C., & Verchot, L. (2005). Potential
of agroforestry for carbon sequestration and mitigation of greenhouse gas
emissions from soils in the tropics. Nutrient cycling in Agroecosystems, 71(1),
43-54.

Nair, P. K. R., Kumar, B. M., & Nair, V. D. (2009). Agroforestry as a strategy for
carbon sequestration. Journal of plant nutrition and soil science, 172(1), 10-23.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 149


M. Siarudin & Y. Indrajaya

Rohandi, A., Swestiani, D., Gunawan, Nadiharto, Y., Rahwaman, B., & Setiawan,
I. (2010). Identifikasi sebaran populasi dan potensi lahan jenis manglid untuk
pengembangan sumber benih dan hutan rakyat di wilayah Priangan Timur
Laporan Hasil Penelitian RISTEK.

Roshetko, J. M., Delaney, M., Hairiah, K., & Purnomosidhi, P. (2002). Carbon
stocks in Indonesian homegarden systems: Can smallholder systems be
targeted for increased carbon storage? American Journal of Alternative
Agriculture, 17(03), 138-148.

Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for
practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).

Timu Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan. (2010). Cadangan karbon pada
berbagai tipe hutan dan jenis tanaman di Indonesia. Bogor: Puslitbang Hutan
dan Konservasi Alam, Badan Litbang Kehutanan.

Wardah, B., Toknok, B., & Zulkahidah. (2011). Carbon Stock of Agroforestry
Systems at Adjacent Buffer Zone of Lore Lindu National Park, Central
Sulawesi. Journal of Tropical Soils, 16(2), 123-128.

Yuwono, S., Hilmanto, R., & Qurniati, R. (2012). Estimasi total penyerapan karbon
tersimpan pada sistem agroforestry di Desa Sumber Agung untuk mendukung RAN
GRK. Paper presented at the Seminar Agroforestry III.

Zanne, A. E., Lopez-Gonzalez, G., Coomes, D. A., Ilic, J., Jansen , S., L., S.L.,
M., R.B., ..., & Chave, J. (2009). Global wood density database. Dryad.
Identifier: http://hdl.handle.net/10255/dryad.235.

150 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestry Manglid
di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten
Ciamis

Wuri Handayani 1

ABSTRAK

Sistem agroforestry yang mencerminkan struktur tajuk berlapis dapat diterapkan untuk mem-
pertahankan fungsi hidrologi DAS, seperti memperbaiki kualitas air. Sistem agroforestry
merupakan sistem yang tak jarang bersifat kompleks. Perbedaan jenis dan umur tanaman,
teknik pengelolaan, tujuan pengembangan (komersil, tradisionil, atau konservasi), serta iklim
dan topografi akan dapat menghasilkan interaksi dan dampak yang berbeda. Oleh karena itu,
peran agroforestry menjadi bersifat spesifik. Penelitian ini bertujuan mengkaji kondisi hidro-
logi yang dipengaruhi oleh tegakan manglid dan jenis-jenis tanaman bawah yang diuji-
cobakan di bawah tegakan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi terhadap
paramater hidrologi melalui instrumen yang telah ditempatkan di lapangan. Hasil penelitian
menunjukkan intersepsi tajuk tegakan manglid umur 34 tahun termasuk tinggi, yaitu
dengan pemangkasan 75% sebesar 31% dan tanpa pemangkasan sebesar 29%. Infiltrasi pada
agroforestry manglid dan monokultur termasuk ke dalam kriteria sangat cepat. Penerapan
pemangkasan 75% menyebabkan aliran permukaan dan erosi meningkat dibandingkan tanpa
pemangkasan. Pola agroforestry manglid+ganyong menghasilkan aliran permukaan dan erosi
lebih rendah daripada monokultur. Sebaliknya, pola agroforestry manglid+suweg dan manglid+
talas menghasilkan erosi dan aliran permukaan lebih besar daripada pola monokultur.

Kata kunci: manglid, agroforestry, monokultur, intersepsi, aliran permukaan, erosi

I. Pendahuluan

Berkurangnya luas tutupan hutan dengan segala penyebabnya telah mengaki-


batkan penurunan peran hutan sebagai pengatur tata air. Padahal, beberapa hasil

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis, Jawa Barat
Email: ninikiank@gmail.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 151


W. Handayani

penelitian menunjukkan bahwa hutan mampu mengurangi potensi banjir dan men-
jadi pengendali (regulator) puncak banjir pada Daerah Aliran Sungai (DAS),
mengatur pasokan air (hasil air), memelihara kualitas air, serta mengendalikan erosi
dan longsor (Hardwinarto, 2009; Kayo et al., 2009; Mulyana et al., 2009;
Murdiyarso & Kurnianto, 2009; Sukresno, 2009). Kondisi hutan yang memiliki
peran pengaturan tata air yang baik adalah hutan dengan tajuk berlapis (Gintings,
2006; Supangat et al., 2008). Oleh karena itu, sistem agroforestry yang mencermin-
kan struktur tajuk berlapis dapat diterapkan untuk mempertahankan fungsi hidrologi
DAS, seperti memperbaiki kualitas air (Noorwidjk et al., 2004; Supangat et al.,
2008).

Sistem stratifikasi tajuk menyerupai hutan dari segi pengaturan air akan ber-
dampak terhadap peningkatan infiltrasi tanah, pengendalian aliran permukaan dan
erosi, pengurangan penguapan tanaman bawah, pengurangan banjir dan melalui
intersepsi pohon (Gintings, 2006; Mahendra, 2009; Noorwidjk et al., 2004; Octavia,
2010; Pramono & Wahyuningrum, 2009). Sebagian besar air hujan yang jatuh pada
lahan bervegetasi akan tertahan pada daun-daun atau tajuk tanaman (intersepsi) dan
menguap kembali ke atmosfer selama dan beberapa saat setelah hujan (Purwanto &
Ruitjer, 2004). Sisa air hujan yang lolos dari cegatan tajuk (air lolos tajuk/through
fall) dan air yang melalui dahan atau batang (aliran batang/stem flow) bersama-sama
akan mencapai tanah atau lantai tegakan sebagai hujan efektif (net presipitation).
Sebaliknya, intersepsi merupakan bagian dari air hujan yang tidak pernah mencapai
permukaan tanah dan tidak berkontribusi terhadap limpasan permukaan, tetapi
bersama-sama dengan transpirasi lebih berperan sebagai komponen dari evapo-
transpirasi (Onozawa et al., 2009; Xiao & McPherson, 2011). Oleh karena itu,
intersepsi merupakan informasi yang penting terkait dengan upaya mengurangi
aliran permukaan, sedangkan air lolos tajuk dan aliran batang berperan dalam pem-
berian kelembaban tanah, pengisian air tanah, atau penghasil aliran permukaan.

Pada lahan agroforestry, aliran permukaan akan tertahan oleh tanaman bawah
dan memberi kesempatan dalam pengisian air tanah melalui infiltrasi. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah hutan, laju infiltrasi pada agroforestry

152 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Hid r ol ogi Hu ta n Ra kya t Ag rof o res try Man g lid

atau kebun campuran lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa penggunaan lahan
lainnya (Agustina et al., 2012; Sofyan, 2006). Sistem agroforestry juga dapat dikate-
gorikan sebagai penerapan konservasi tanah dengan metode vegetatif yang memberi-
kan hasil lebih efektif dalam mengendalikan erosi (Pramono & Wahyuningrum,
2009). Potensi agroforestry terletak pada kemampuannya dalam menyediakan dan
memelihara penutup lahan. Selama musim hujan, serasah dapat mengurangi erosi
pada tingkat tertentu, meskipun tanpa tambahan tindakan konservasi tanah. Namun
demikian, besarnya aliran permukaan dan erosi juga sangat tergantung pada pertum-
buhan tanaman semusim sebagai penutup lahan. Utami et al. (2004) menambahkan
bahwa dengan sistem agroforestry yang terdiri dari beberapa jenis pohon dan tanam-
an bawah, penebangan serentak dapat dihindari. Selain itu, serasah yang berlimpah
dan lebih kaya dihasilkan pula yang selanjutnya akan terdekomposisi sebagai sumber
bahan organik dan unsur hara tanah.

Agroforestry juga dapat dikatakan sebagai bagian dari kegiatan yang mendu-
kung rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan pengayaan tanaman. Menurut
Undang-undang Kehutanan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999, rehabilitasi
hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan mening-
katkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya
dalam mendukung sistem kehidupan tetap terjaga. Agroforestry yang mempraktikkan
kegiatan penanaman vegetasi dan membentuk strata tajuk merupakan bagian dari
penyelenggaraan konservasi tanah dan air melalui metode vegetatif dan mendukung
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air secara
tidak langsung.

Beberapa keuntungan sistem agroforestry telah diuraikan di atas. Namun,


sistem agroforestry merupakan sistem yang tak jarang bersifat kompleks sehingga
muncul pertanyaan: akankah selalu dihasilkan keuntungan-keuntungan seperti yang
diuraikan tersebut? Perbedaan jenis dan umur tanaman, teknik pengelolaan lahan
(jarak tanam, penjarangan, intensitas pemangkasan, intensitas pemupukan, perla-
kuan serasah, sistem pemanenan), tujuan pengembangan (komersil, tradisionil, atau
untuk konservasi), serta iklim dan topografi tentunya akan menghasilkan interaksi

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 153


W. Handayani

dan dampak yang berbeda. Oleh karena itu, peran agroforestry menjadi bersifat
spesifik. Pada DAS Citanduy yang termasuk DAS prioritas, banyak dijumpai hutan
rakyat yang di antaranya menggunakan sistem agroforestry, seperti dengan jenis
tanaman kayu manglid yang cukup dominan dan tanaman pangan sebagai tanaman
bawahnya. Lalu, bagaimanakah kondisi hidrologi (intersepsi, aliran permukaan,
erosi, dan infiltrasi) yang dipengaruhi oleh sistem agroforestry berbasis manglid pada
jarak tanam, umur, dan perlakuan pemangkasan tertentu, serta dengan jenis-jenis
tanaman pangan yang ditanam di wilayah tersebut? Penelitian ini bertujuan
mengkaji kondisi hidrologi yang dipengaruhi oleh tegakan manglid dan jenis-jenis
tanaman bawah yang diujicobakan di bawah tegakan.

II. Metodologi

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri,


Kabupaten Ciamis. Secara geografis, lokasi penelitian berada pada titik koordinat
7o3,9LS dan 108o13,8 BT, atau tepat pada hulu DAS Citanduy Hulu dengan
ketinggian 894 m dpl. Jenis tanah lokasi penelitian adalah latosol. Curah hujan
rerata tahunan (10 tahun) sebesar 2.359 mm dan termasuk tipe C (agak basah)
menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson. Penelitian dilakukan sejak akhir
tahun 2012 hingga 2014.

B. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunkan dalam kegiatan penelitian adalah plot hutan rakyat
manglid dengan sistem agroforestry dengan tanaman pangan ganyong, suweg, dan
talas. Tegakan manglid ditanam sejak awal tahun 2010 dengan jarak tanam 2 m x 2
m dan belum dilakukan penjarangan. Alat yang digunakan antara lain karet talang,
penampung air, selang, lem, kertas saring, botol sampel. Peralatan lainnya adalah
plot erosi, penakar curah hujan, double ring infiltrometer, dan timbangan analitik.

154 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Hid r ol ogi Hu ta n Ra kya t Ag rof o res try Man g lid

C. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi terhadap paramater


hidrologi melalui instrumen yang telah ditempatkan di lapangan. Plot erosi diba-
ngun di tengah populasi manglid yang terbagi menjadi dua hamparan (blok), yaitu
manglid tanpa perlakuan pemangkasan dan dengan pemangkasan 75%. Pada setiap
blok, petak perlakuan dibuat untuk membandingkan 1) monokultur manglid, 2)
manglid+ganyong, 3) manglid+suweg yang masing-masing dilakukan dengan dua kali
ulangan (20122013). Pada tahun 2014, pengamatan dilanjutkan dengan mengganti
tanaman ganyong yang telah mencapai masa panen dengan tanaman talas. Jumlah
pohon sampel untuk pengamatan intersepsi, aliran batang, dan air lolos tajuk seba-
nyak sembilan pohon pada tegakan manglid tanpa pemangkasan dan sembilan pohon
pada tegakan manglid dengan pemangkasan 75%. Pengukuran infiltrasi tanah dila-
kukan di dalam setiap plot pada kondisi musim kemarau.

Pengolahan data dilakukan dengan mengkuantifikasi data hasil pengukuran


ke dalam persamaan-persamaan yang umum dan pendekatan neraca air. Selanjutnya,
nilai parameter hidrologi yang telah diperoleh dianalisis deskriptif dan disajikan
dalam bentuk tabel dan grafik.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Intersepsi

Pengamatan intersepsi pada tegakan manglid dengan perlakuan pemangkasan


75% telah dimulai sejak Oktober 2012, sedangkan perlakuan tanpa pemangkasan
baru dilakukan pada bulan Mei 2013 (Tabel 1). Pemangkasan diberikan untuk
tujuan meningkatkan pertumbuhan vegetasi pohon. Pemangkasan menyebabkan
perubahan struktur vegetasi, seperti lebar tajuk, tebal tajuk, dan kerapatan cabang.
Menurut Zinke (1967), air lolos tajuk dipengaruhi oleh tebalnya tajuk, jenis-jenis
pohon yang membentuk tegakan, bentuk daun dan tata letak daun pada cabang,
serta suhu dan kecepatan angin pada saat itu. Jadi, pemangkasan juga akan berdam-
pak terhadap intersepsi air hujan oleh tajuk.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 155


W. Handayani

156 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Hid r ol ogi Hu ta n Ra kya t Ag rof o res try Man g lid

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 157


W. Handayani

Hasil pengukuran intersepsi pada bulan Mei 2013 hingga Desember 2014
menunjukkan nilai intersepsi tegakan manglid dengan pemangkasan lebih rendah 2%
daripada nilai intersepsi tegakan tanpa pemangkasan (Gambar 1). Nilai intersepsi
pada tegakan dengan pemangkasan sebesar 27% (1.266,1 mm) dan pada tegakan
tanpa pemangkasan sebesar 29% (1.368,7 mm). Pemangkasan menyebabkan penu-
runan tebal dan luas permukaan tajuk sehingga air hujan yang terintersepsi pada
permukaan tajuk juga semakin berkurang. Sebaliknya, pemangkasan meningkatkan
air lolos tajuk dan aliran batang, masing-masing 1% dan 1,4%. Air lolos tajuk pada
tegakan dengan pemangkasan diperoleh nilai sebesar 70% (3.294,9 mm) dan tanpa
pemangkasan sebesar 69% (3.257,1 mm). Sementara itu, aliran batang pada tegakan
dengan pemangkasan diperoleh nilai sebesar 3,5% (163,6 mm) dan tanpa pemang-
kasan sebesar 2,1% (97,2 mm). Pemangkasan menghasilkan peningkatan ruang
antartajuk yang memudahkan air hujan untuk lolos melalui ruang antartajuk.
Menurut Asdak et al., (1998), bertambahnya diameter batang akan meningkatkan
jumlah aliran batang. Hal ini terbukti pula pada hasil penelitian karena pemang-
kasan telah meningkatkan rata-rata tinggi dan diameter batang sehingga aliran
batang menjadi lebih tinggi pada tegakan dengan pemangkasan daripada tanpa
pemangkasan. Pemangkasan intensitas 75% menghasilkan tegakan dengan rata-rata
tinggi sebesar 4,4 m dan diameter 57 cm, sedangkan pada tegakan tanpa pemang-
kasan diperoleh rata-rata tinggi sebesar 3,5 m dan diameter 51 cm.

Nilai intersepsi, air lolos tajuk, dan aliran batang tanaman manglid pada umur
empat tahun lebih rendah dibandingkan dengan umur tiga tahun, baik pada tegakan
pemangkasan 75% maupun tanpa pemangkasan. Pada tahun 2013, curah hujan lebih
tinggi daripada tahun 2014 sehingga hal ini juga dapat memengaruhi besaran inter-
sepsi, air lolos tajuk, dan aliran batang pada tanaman manglid. Pada tegakan manglid
dengan pemangkasan pada umur tiga tahun (14 bulan pengamatan), intersepsi yang
dihasilkan sebesar 37% (1.898,5 mm), air lolos tajuk sebesar 59% (3.059,6 mm), dan
aliran batang 4,5% (234,3 mm). Setelah mencapai umur empat tahun (12 bulan
pengamatan), intersepsi menurun menjadi 23% (659,1 mm), air lolos tajuk mening-
kat menjadi 73% (2.132,9 mm), dan aliran batang menjadi 4,1% (119,6 mm).
Sementara itu, tegakan manglid tanpa pemangkasan pada umur tiga tahun (tujuh

158 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Hid r ol ogi Hu ta n Ra kya t Ag rof o res try Man g lid

bulan pengamatan) menghasilkan nilai intersepsi sebesar 37% (666,3 mm), air lolos
tajuk 61% (1.111,3 mm), dan aliran batang 2% (35,4 mm). Kemudian, pada umur
empat tahun (12 bulan pengamatan), intersepsi menurun menjadi 24% (702,4 mm),
air lolos tajuk meningkat 74% (2.145,8 mm), dan aliran batang menjadi 2,1% (61,8
mm).

Air lolos tajuk P75% Air lolos tajuk P0% Intersepsi P75% Intersepsi P0%

600 250
200
400 150
mm

mm
200 100
50
0 0
Okt

Okt
April
Jan

Okt

Okt
April
Jan
Nov

Nov

Nov

Nov
Des

Des
Juli

Des

Des
Feb
Agt

Juli
Mei

Mei

Feb
Agt
Mei

Mei
Mrt

Mrt
Juni

Juni

Juni

Juni
Sep

Sep

Sep

Sep
Aliran batang P75% Aliran batang P0% Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan

40 4,000
30 3,000
mm

20
mm

2,000
10
0 1,000

0
Okt

Okt
April
Jan
Nov

Nov
Des

Des
Juli
Feb
Agt
Mei

Mei
Mrt
Juni

Juni
Sep

Sep

Air lolos tajuk Aliran batang Intersepsi

Gambar 1. Air lolos tajuk, aliran batang dan intersepsi pada tegakan manglid dengan
pemangkasan (P75) dan tanpa pemangkasan (P0)

Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, beberapa nilai intersepsi hutan


atau beberapa jenis vegetasi dapat diketahui, antara lain hutan klimaks sebesar 25
35% (Soejoko et al., 1998); pinus 15,7%, puspa 13,7%, dan agathis 14,7% (Rusdiana
et al., 2002); jati umur dua tahun 38,1% dan umur tiga tahun 40,3%, jati tumpang
sari 32,5% (Hendrayanto et al., 2002); dan A. loranthifolia Sal. 41,75% (Heryansyah,
2008). Pada penelitian ini, jenis manglid umur 34 tahun dengan pemangkasan 75%
menghasilkan nilai intersepsi sebesar 31% dan pada tegakan tanpa pemangkasan
sebesar 29% (Tabel 1). Dengan demikian, nilai intersepsi tegakan manglid mende-
kati hutan klimaks seperti yang dikemukakan Soejoko et al. (1998) atau beberapa
jenis pohon hutan lainnya.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 159


W. Handayani

B. Infiltrasi

Pengukuran infltrasi dengan menggunakan double ring infiltrometer merupa-


kan pengukuran sesaat untuk memperoleh persamaan infiltrasi yang dapat
digunakan untuk memprediksi besarnya air hujan yang terserap ke dalam tanah
selama durasi hujan telah diketahui. Kemampuan tanah menginfiltrasi air hujan
dapat memengaruhi jumlah air hujan yang melimpas di atas permukaan tanah (aliran
permukaan). Namun, kemampuan tanah menginfiltrasi air hujan akan berkurang
secara bertahap setelah tanah berangsur-angsur menjadi jenuh.

Hasil pengukuran infiltrasi, baik pada plot tegakan manglid dengan pemang-
kasan 75% maupun tanpa pemangkasan, termasuk kriteria sangat cepat (>25
cm/jam) (Tabel 2). Pada plot tegakan manglid dengan pemangkasan, nilai infiltrasi
awal (fo) dan infiltrasi konstan (fc) terendah terdapat pada pola monokultur, diikuti
agroforestry manglid+ganyong dan terakhir agroforestry manglid+suweg (Tabel 2 dan
Gambar 2). Infiltrasi pada pola agroforestry manglid+ganyong memiliki rentang nilai
yang sangat lebar. Sementara itu, pada plot tegakan tanpa pemangkasan, nilai
infiltrasi awal (fo) dan infiltrasi konstan (fc) terendah terdapat pada pola agroforestry
manglid+suweg, diikuti monokultur manglid dan agroforestry manglid+ganyong.

Tabel 2. Nilai parameter infiltrasi hasil pengukuran pada plot penelitian

Infiltrasi (cm/jam)
Ulang-
Pola tanam Plot manglid dengan pemangkasan 75% Plot manglid tanpa pemangkasan
an
fc fo Persamaan fc fo Persamaan
Manglid+ganyong 1 90 132 90 + (132-90).e-4,634 t 102 153 102 + (153-102).e-7,287 t
2 15 30 15 + (30-15).e-4,666 t 60 81 60 + (81-60).e-4,708 t
Manglid+suweg 1 72 126 72 + (126-72).e -5,382 t
45 69 45 + (69-450).e-3,850 t
2 90 120 90 + (120-90).e-2,911 t 21 45 21 + (45-21).e-2,616 t
Monokultur 1 19,5 33 19,5 + (33-19,5).e-3,476 t 78 117 78 + (117-78).e-2,63 t
Manglid 2 7,2 150 7,2 + (15-7,2).e-3,527 t 45 75 45 + (75-45).e-3,422 t

Keterangan: fc=infiltrasi konstan, fo=infiltrasi awal, t=waktu

160 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Hid r ol ogi Hu ta n Ra kya t Ag rof o res try Man g lid

Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan


120.0 120.0
Infiltrasi (cm/jam)

Infiltrasi (cm/jam)
100.0 100.0
80.0 80.0
60.0 60.0
40.0 40.0
20.0 20.0
0.0 0.0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Menit ke- Menit ke-

Manglid+Ganyong Manglid+Suweg Manglid Monokultur Manglid+Ganyong Manglid+Suweg Manglid Monokultur

Gambar 2. Grafik rerata infiltrasi pada pola agroforestry manglid+ganyong, agroforestry


manglid+suweg, dan monokultur manglid

Infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa sifat fisik tanah, seperti kandungan bahan
organik, porositas tanah, berat isi tanah, dan tekstur. Pada beberapa kasus, perakaran
tanaman pohon dapat memengaruhi infiltrasi karena pembentukan lubang-lubang
tanah oleh akar, baik yang sudah mati maupun yang masih tumbuh. Sementara itu,
sifat-sifat fisik tanah dapat dipengaruhi melalui vegetasi tanaman dalam jangka
waktu yang lama. Dengan demikian, pengaruh tanaman terhadap infiltrasi pada
dasarnya bersifat tidak langsung. Melalui perlakuan vegetasi yang dapat memper-
baiki sifat tanah, kapasitas infiltrasi pun diharapkan dapat ditingkatkan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pola tanam tidak menghasilkan perbedaan infiltrasi
yang jelas; namun demikian, sifat tanah yang ada mampu menghasilkan kemampuan
infiltrasi yang tergolong cepat (Gambar 2).

C. Aliran Permukaan dan Erosi

Penurunan nilai intersepsi dan peningkatan air lolos tajuk ataupun aliran
batang akibat pemangkasan akan berimplikasi pada peningkatan aliran permukaan
(run-off) dan erosi di bawah tegakan, terutama pada curah hujan tinggi. Penanaman
di bawah tegakan dapat membantu menahan limpasan air hujan pada permukaan
tanah sehingga memperbesar kesempatan air hujan untuk terserap terlebih dulu ke
dalam tanah melalui proses infiltrasi. Kemampuan tanaman bawah tegakan dalam
menahan dan mengurangi laju aliran permukaan tergantung pada jenis dan karak-
teristik tanaman.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 161


W. Handayani

Pengamatan aliran permukaan dan erosi di bawah tegakan manglid dibagi


menjadi dua periode. Periode tahun 2013 dilakukan pengamatan aliran permukaan
dan erosi yang dihasilkan dari pola monokultur dan agroforestry dengan jenis tanam-
an bawah ganyong dan suweg. Periode tahun 2014 dilakukan pengamatan aliran
permukaan dan erosi yang dihasilkan dari pola monokultur dan agroforestry dengan
jenis tanaman bawah talas dan suweg.

Tabel 3. Aliran permukaan di bawah tegakan agroforestry dan monokultur manglid tahun
2012-2013

Aliran permukaan (mm)


Hujan
Tahun dan bulan Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan
(mm)
Ganyong Suweg Monokultur Ganyong Suweg Monokultur

2012 Oktober 136,2 3,18 3,77 3,56


November 409,8 10,39 8,84 9,68
Desember 838,9 19,82 20,84 23,70
2013 Januari 600,0 16,88 19,21 11,37
Februari 299,1 9,75 12,59 9,07
Maret 521,9 14,02 26,03 11,20
April 573,6 39,61 139,37 55,46
Mei 300,5 4,76 36,94 6,90 4,68 7,10 5,04
Juni 244,0 13,39 41,86 13,55 5,77 9,25 8,28
Agustus 10,0 0,02 0,04 0,01 0,11 0,07 0,06
September 133,0 1,40 0,70 0,15 1,20 1,35 1,11
Oktober 125,0 0,78 0,97 0,37 0,54 0,52 0,50
November 393,0 2,15 2,72 1,04 3,33 2,55 2,18
Desember 607,5 5,97 32,10 1,81 4,72 2,63 4,41
MeiDesember
1.813,0 28,47 115,33 23,84 20,36 23,47 21,59
2013
Oktober 2012
5.192,4 142,11 345,98 147,89
Desember 2013

Berdasarkan perbandingan aliran permukaan periode tahun 2013 pada pola


agroforestry dan monokultur manglid (baik tanpa pemangkasan maupun dengan
pemangkasan 75%), aliran permukaan terendah terdapat pada plot agroforestry

162 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Hid r ol ogi Hu ta n Ra kya t Ag rof o res try Man g lid

manglid+ganyong yang diikuti plot monokultur, sedangkan nilai tertinggi pada plot
agroforestry manglid+suweg (Tabel 3 dan Gambar 3). Pada tegakan manglid dengan
pemangkasan (14 bulan pengamatan), aliran permukaan pada plot agroforestry
manglid+ganyong sebesar 142,11 mm, plot monokultur manglid sebesar 147,89 mm,
dan plot agroforestry manglid+suweg sebesar 345,98 mm. Sementara itu, pada tegakan
manglid tanpa pemangkasan (tujuh bulan pengamatan), aliran permukaan pada plot
agroforestry manglid+ganyong sebesar 20,36 mm, plot monokultur manglid sebesar
21,59 mm, dan plot agroforestry manglid+suweg sebesar 23,47 mm. Hal ini menun-
jukkan bahwa agroforestry manglid+ganyong dapat menurunkan aliran permukaan
lebih baik daripada monokultur. Sebaliknya, agroforestry manglid+suweg menghasil-
kan aliran permukaan lebih besar daripada monokultur. Perlakuan pemangkasan
menyebabkan aliran permukaan meningkat dibandingkan tanpa pemangkasan
(Gambar 3).

Tahun 2012-2013 Tahun 2014


400.0 90.0
346.0 78.5
350.0 80.0
Aliran permukaan (mm)

Pemangkasan 75%
Aliran permukaan (mm)

300.0 70.0
60.0 Tanpa pemangkasan
250.0
50.0
200.0
142.1 147.9 40.0 27.6
150.0 27.3 27.0
30.0 20.6
100.0 16.7
20.0
50.0 20.4 23.5 21.6 10.0
0.0 0.0
Manglid+ganyong Manglid+suweg Monokultur manglid Manglid+talas Manglid+suweg Monokultur manglid

Gambar 3. Perbandingan aliran permukaan di bawah tegakan manglid dengan pola


agroforestry dan monokultur

Karakteristik tanaman ganyong memiliki rumpun yang lebat sehingga menye-


babkan air hujan tertahan oleh tajuk (intersepsi) dan mengurangi kesempatan air
hujan menjadi aliran permukaan. Selain itu, kondisi ini juga dapat melindungi tanah
dari tumbukan hujan sehingga dapat menurunkan erosi. Di sisi lain, pemanenan
ganyong dapat menyebabkan peningkatan aliran permukaan dan erosi karena lantai
tegakan menjadi terbuka, terutama pada tegakan dengan pemangkasan. Pada
agroforestry manglid+suweg ataupun monokultur, penutupan oleh tajuk relatif kurang

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 163


W. Handayani

rapat sehingga air hujan akan jatuh langsung ke tanah dan berpeluang meningkatkan
aliran permukaan. Pada plot agroforestry manglid+suweg, terdapat kegiatan pengo-
lahan tanah pada masa tanam atau masa pemeliharaan suweg. Hal ini akan mengha-
silkan sejumlah besar pelepasan partikel tanah permukaan yang hanyut oleh aliran
permukaan selama hujan sehingga erosi (accelarated erosion) pun meningkat. Di sisi
lain, pengolahan tanah juga dapat meningkatkan pemadatan tanah, terutama pada
jenis tanah liat, sehingga menyebabkan penurunan daya atau kapasitas tanah menye-
rap air dan meningkatkan aliran permukaan. Pada pola monokultur, pengolahan
tanah jarang dilakukan; bahkan, gulma rumput dan serasah daun pun lebih sering
dibiarkan daripada dilakukan penyiangan. Rumput dan serasah ini memiliki kemam-
puan untuk mengurangi energi kinetik hujan memecah agregat tanah dan menahan
energi mekanik air hujan di atas permukaan tanah sehingga akan menurunkan aliran
permukaan dan erosi.

Hasil pengamatan periode tahun 2014 pada tegakan dengan pemangkasan


(Tabel 4 dan Gambar 3) menunjukkan bahwa aliran permukaan terendah terdapat
pada plot monokultur (20,64 mm) yang diikuti oleh plot agroforestry manglid+talas
(27,62 mm), sedangkan nilai tertinggi pada plot agroforestry manglid+suweg (78,49
mm). Pada tegakan tanpa pemangkasan, aliran permukaan terendah juga dihasilkan
oleh plot monokultur (16,72 mm), tetapi aliran permukaan tertinggi dihasilkan oleh
plot agroforestry manglid+talas (27,26 mm). Sementara, plot agroforestry manglid+
suweg (27,0 mm) menduduki peringkat kedua. Pemangkasan juga menyebabkan
aliran permukaan di bawah tegakan manglid lebih tinggi daripada di bawah tegakan
tanpa pemangkasan.

164 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Hid r ol ogi Hu ta n Ra kya t Ag rof o res try Man g lid

Tabel 4. Aliran permukaan di bawah tegakan agroforestry dan monokultur manglid tahun
2014

Aliran permukaan (mm)


Hujan
Bulan Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan
(mm)
Talas Suweg Monokultur Talas Suweg Monokultur
Januari 449,05 9,01 22,44 2,56 6,32 4,66 2,72
Febuari 346,00 3,84 11,82 2,31 3,88 2,21 1,67
Maret 408,50 5,39 23,37 2,99 4,34 1,74 2,81
April *) 498,00 3,76 13,82 7,71 5,00 1,80 3,49
Mei 114,50 0,75 1,52 1,13 1,04 0,89 0,78
Juni 101,50 0,57 0,40 0,43 0,72 0,52 0,51
Juli 98,50 0,35 0,51 0,32 0,58 0,71 0,77
September 34,00 0,06 0,04 0,04 0,07 0,18 0,21
Oktober 21,00 0,03 0,02 0,03 0,14 0,14 0,11
November 336,00 1,33 1,80 1,03 2,59 1,80 1,85
Desember 396,50 2,52 2,76 2,09 2,58 12,37 1,81
Jumlah 2.803,6 27,62 78,49 20,64 27,26 27,00 16,72

Keterangan: *) Jumlah hujan dan aliran permukaan yang dicantumkan tidak termasuk empat hari
kejadian hujan yang tidak tercatat

Proses erosi dimulai dari terlepasnya agregat tanah menjadi partikel-partikel


tanah lepas yang disebabkan oleh adanya tumbukan hujan atau pengolahan tanah.
Partikel-partikel tersebut lalu terbawa aliran permukaan. Oleh karena itu, besaran
erosi kerap kali mengikuti besaran aliran permukaan. Pengamatan periode tahun
2013 di bawah tegakan manglid dengan pemangkasan ataupun tanpa pemangkasan
menunjukkan bahwa jumlah erosi yang dihasilkan dari plot agroforestry manglid+
ganyong adalah yang paling rendah dibandingkan dengan plot monokultur manglid
dan plot agroforestry manglid+suweg (Tabel 5 dan Gambar 4). Pada tegakan manglid
dengan pemangkasan, plot agroforestry manglid+ganyong menghasilkan erosi sebesar
2,54 ton/ha, monokultur manglid sebesar 5,7 ton/ha, dan agroforestry manglid+suweg
mencapai 10,99 ton/ha. Pada tegakan manglid tanpa pemangkasan, plot agroforestry
manglid+ganyong menghasilkan erosi sebesar 0,07 ton/ha, monokultur manglid
sebesar 0,10 ton/ha, dan agroforestry manglid+suweg sebesar 0,24 ton/ha.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 165


W. Handayani

Tabel 5. Erosi di bawah tegakan agroforestry dan monokultur manglid tahun 20122013

Erosi (ton/ha)
Hujan
Tahun dan bulan Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan
(mm)
Ganyong Suweg Monokultur Ganyong Suweg Monokultur

2012 Oktober 136,2 0,01553 0,01548 0,09767


November 409,8 0,19082 0,18834 0,40309
Desember 838,9 1,14748 5,80515 2,54472
2013 Januari 600,0 0,50312 0,76193 0,46484
Februari 299,1 0,14180 0,39219 0,17211
Maret 521,9 0,12192 0,59794 0,19452
April 573,6 0,31868 2,75772 1,70531
Mei 300,5 0,01732 0,14142 0,02165 0,01317 0,03553 0,02025
Juni 244,0 0,06329 0,24655 0,08533 0,02982 0,17765 0,05678
Agustus 10,0 0,00007 0,00008 0,00003 0,00050 0,00022 0,00034
September 133,0 0,00466 0,00193 0,00075 0,00270 0,00297 0,00268
Oktober 125,0 0,00269 0,00113 0,00032 0,00214 0,00163 0,00255
November 393,0 0,00785 0,00902 0,00289 0,01184 0,01234 0,00969
Desember 607,5 0,00957 0,06605 0,00265 0,01218 0,00732 0,00984
MeiDesember
1.813,0 0,10545 0,46619 0,11363 0,07235 0,23765 0,10212
2013
Oktober 2012
5.192,4 2,54480 10,98495 5,69588
Desember 2013

Tahun 2012-2013
12.00 10.99 Tahun 2014
0.45
0.38
10.00 0.40
Aliran permukaan (mm)

Pemangkasan 75%
Aliran permukaan (mm)

0.35
8.00 0.30 Tanpa pemangkasan
5.70 0.25
6.00
0.20
4.00 0.15
2.54 0.08
0.10 0.07 0.05
2.00 0.03
0.07 0.24 0.10 0.05 0.03
0.00 0.00
Manglid+ganyong Manglid+suweg Monokultur manglid Manglid+talas Manglid+suweg Monokultur manglid

Gambar 4. Perbandingan jumlah erosi di bawah tegakan manglid dengan pola agroforestry
dan monokultur

166 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Hid r ol ogi Hu ta n Ra kya t Ag rof o res try Man g lid

Seperti halnya pada aliran permukaan, hasil pengamatan pada periode 2014 di
bawah tegakan manglid dengan pemangkasan ataupun tanpa pemangkasan menun-
jukkan bahwa jumlah erosi terendah dihasilkan dari plot monokultur manglid.
Jumlah erosi ini juga lebih rendah dibandingkan dengan plot agroforestry manglid+
talas dan plot agroforestry manglid+suweg (Tabel 6 dan Gambar 4). Perlakuan
pemangkasan juga menyebabkan erosi yang terjadi di bawah tegakan meningkat.

Tabel 6. Erosi di bawah tegakan agroforestry dan monokultur manglid tahun 2014

Erosi (ton/ha)
Hujan
Bulan Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan
(mm)
Talas Suweg Monokultur Talas Suweg Monokultur
Januari 449,05 0,0270 0,0718 0,0037 0,0306 0,0093 0,0042
Febuari 346,00 0,0068 0,0707 0,0029 0,0063 0,0029 0,0020
Maret 408,50 0,0032 0,0993 0,0096 0,0107 0,0045 0,0022
April 498,00 0,0176 0,0863 0,0273 0,0064 0,0043 0,0090
Mei 114,50 0,0011 0,0193 0,0014 0,0067 0,0028 0,0019
Juni 101,50 0,0015 0,0022 0,0007 0,0015 0,0005 0,0040
Juli 98,50 0,0006 0,0056 0,0008 0,0019 0,0026 0,0023
September 34,00 0,0001 0,0002 0,0003 0,0002 0,0004 0,0004
Oktober 21,00 0,0000 0,0002 0,0004 0,0003 0,0002 0,0003
November 336,00 0,0019 0,0082 0,0038 0,0073 0,0030 0,0022
Desember 396,50 0,0083 0,0201 0,0034 0,0036 0,0024 0,0015
Jumlah 2.803,6 0,0681 0,3840 0,0542 0,0755 0,0329 0,0301

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Pemangkasan mengurangi intersepsi air hujan oleh tajuk, tetapi sebaliknya


meningkatkan air lolos tajuk (through fall). Pengaruh pemangkasan terhadap penam-
bahan tinggi dan diameter batang pohon menyebabkan aliran batang (stem flow)
yang dihasilkan juga lebih besar dibandingkan tanpa perlakuan pemangkasan. Nilai
intersepsi tegakan manglid umur 34 tahun termasuk tinggi, baik pada tegakan

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 167


W. Handayani

manglid yang diberi perlakuan pemangkasan (31%) maupun tanpa pemangkasan


(29%).

Kapasitas infiltrasi pada pola agroforestry dan monokultur manglid termasuk


sangat cepat sehingga penanaman tanaman bawah tidak berpengaruh banyak
terhadap perbaikan sifat tanah yang terkait dengan infiltrasi.

Penerapan pemangkasan 75% menyebabkan aliran permukaan dan erosi di


bawah tegakan meningkat. Pola agroforestry manglid+ganyong menghasilkan aliran
permukaan dan erosi lebih rendah daripada monokultur manglid. Sementara itu,
pola agroforestry manglid+suweg dan manglid+talas menghasilkan aliran permukaan
dan erosi yang lebih besar daripada monokultur manglid. Pola monokultur manglid
memiliki pengolahan lahan minimal yang mana rumput dan serasah menutup rapat
permukaan tanah sehingga dapat menekan aliran permukaan dan erosi lebih baik.

B. Saran

Agroforestry manglid+ganyong dapat diterapkan sebagai model konservasi


tanah dan air yang bersifat adaptif. Hal ini karena selain memelihara lingkungan,
pola ini juga mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat petani selama
menanti hasil kayu. Aplikasi pemangkasan perlu dilakukan secara hati-hati, misalnya
dengan menyertakan tindakan konservasi tanah dan air untuk mengantisipasi
terjadinya peningkatan air lolos tajuk yang berimplikasi pada peningkatan aliran
permukaan dan erosi. Ditinjau dari nilai intersepsi manglid, tanaman ini bermanfaat
diterapkan pada daerah-daerah yang memiliki curah hujan tinggi sehingga dapat
mengurangi banjir tanpa memengaruhi secara signifikan cadangan air tanah.

Daftar Pustaka

Agustina, D., Setyowati, D. L., & Sugiyanto. (2012). Analisis kapasitas infiltrasi
pada beberapa penggunaan lahan di Kelurahan Sekaran, Kecamatan
Gunungpati, Kota Semarang. Geo Image, 1(1).

168 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Hid r ol ogi Hu ta n Ra kya t Ag rof o res try Man g lid

Asdak, C., Jarvis, P., Van Gardingen, P., & Fraser, A. (1998). Rainfall interception
loss in unlogged and logged forest areas of Central Kalimantan, Indonesia.
Journal of hydrology, 206(3), 237-244.

Gintings, N. (2006). hutan, tata air dan kelestarian DAS citatih. . Paper presented at
the Seminar Peran Serta Para Pihak dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan
Daerah Aliran Sungai Citatih-Cimandiri., Bogor.

Hardwinarto, S. (2009). Sumbangan hutan terhadap hasil air. Paper presented at the
Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung
DAS, Bogor.

Kayo, S. D. M., Ilyas, M. A., Setiadi, D., & Satriana, E. (2009). Hutan sebagai
pengendali (regulator) puncak banjir pada daerah aliran sungai. Paper presented
at the Workshop Peran Hutan Dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS, Surakarta.

Mahendra, F. (2009). Sistem agroforestri dan aplikasinya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Mulyana, N., Kusmana, C., Abdulah, K., & Prasetio, L. B. (2009). Hubungan luas
tutupan hutan terhadap potensi banjir dan koefisien limpasan di beberapa DAS di
Indonesia. Paper presented at the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan
dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS, Bogor.

Murdiyarso, D., & Kurnianto, S. (2009). Peranan vegetasi hutan dalam mengatur
pasokan air. Paper presented at the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan
dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS, Surakarta.

Noorwidjk, M. v., Agus, F., Suprayogo, D., Hairiah, K., Pasya, G., B.Verbist, &
Farida. (2004). Peranan agroforestri dalam mempertahankan fungsi hidrologi
daerah aliran sungai. AGRIVITA, 26(1).

Octavia, D. (2010). Peran sistem agroforestry dalam pengelolaan daerah aliran sungai
dan implikasinya dalam mitigasi perubahan iklim. Paper presented at the
Ekspose Hasil Litbang, Surakarta.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 169


W. Handayani

Onozawa, Y., Chiwa, M., Komatsu, H., & Otsuki, K. (2009). Rainfall interception
in a moso bamboo (Phyllostachys pubescens) forest. Journal of Forest Research,
14(2), 111-116.

Pramono, I. B., & Wahyuningrum, N. (2009). Model pengendalian run-off dan erosi
dengan metode vegetatif (Studi Kasus Sub DAS Dungwot). Paper presented at
the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS, Surakarta.

Purwanto, E., & Ruitjer, J. (2004). Hubungan antara hutan dan fungsi DAS.
Dampak Hidrologi Hutan, Agroforestri dan Pertanian Lahan Kering sebagai
Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan. Prosiding
Lokakarya di Padang, Singkarak, Sumatera Barat, Indonesia. World Agroforestry
Center.

Sofyan, M. (2006). Pengaruh berbagai penggunaan lahan terhadap laju infiltrasi


tanah.

Sukresno. (2009). Peran hutan dalam pengendalian tanah longsor. Paper presented at
the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS, Surakarta.

Supangat, A. B., Junaedi, A., Kosasih, Nasrun, & Frianto, D. (2008). Kajian Tata
Air Hutan Acacia mangium dan Eucalyptus pellita. Laporan Hasil Penelitian.
Balai Penelitian Kehutanan Kuok. Kuok.

Utami, S. R., Widianto, & Suprayogo, D. (2004). Apakah penghutanan kembali dapat
memulihkan fungsi hidrologis hutan alam? . Paper presented at the Kongres
Nasional V Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia dan Seminar
Nasional Degradasi Hutan dan Lahan, Yogyakarta.

Xiao, Q., & McPherson, E. G. (2011). Rainfall interception of three trees in


Oakland, California. Urban Ecosystems, 14(4), 755-769.

Zinke, P. J. (1967). Forest interception studies in the United States: Forest Hydrology.
Oxford, UK: Pergamon Press.

170 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

Edy Junaidi 1

ABSTRAK

Perubahan tutupan lahan pada suatu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) memengaruhi
fungsi hidrologinya. Perkembangan penanaman tanaman manglid pada hutan rakyat di Jawa
Barat akan memengaruhi perubahan kondisi lingkungan, terutama kondisi hidrologi tempat
tumbuhnya. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh keberadaan tutupan lahan dominan
manglid terhadap hasil air yang disumbangkan ke aliran sungai dan membandingkan respons
hidrologi dengan tipe penggunaan lahan lainnya. Analisis respons hidrologi menggunakan
model hidrologi Soil and Water Assessment Toll (SWAT). Keberadaan tutupan lahan kebun
campuran manglid berkontribusi positif terhadap tata air DAS. Peningkatan hujan dan debit
berkorelasi negatif terhadap aliran permukaan dan berkorelasi positif terhadap sumbangan
yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar. Keberadaan tutupan lahan kebun campuran
manglid mempunyai tren yang sama terhadap kompenan sumbangan aliran sungai dengan
tutupan lahan hutan, kebun campuran, dan semak belukar.

Kata kunci: tata air, kebun campuran manglid

I. Pendahuluan

Dalam pendekatan hidrologis, Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan


wilayah yang dibatasi punggung bukit (pemisahan topografi) di mana air hujan yang
jatuh pada daerah tersebut akan ditampung dan kelebihannya dialirkan melalui
sungai kecil ke sungai utama. Menurut Pawitan (2004), DAS sebagai satuan hidro-
logi lahan memiliki tiga fungsi dasar, yaitu 1) mengumpulkan curah hujan, 2)
menyimpan air hujan yang terkumpul dalam sistem-sistem simpanan air DAS, dan
3) mengalirkan air sebagai limpasan. Ketiga fungsi hidrologi DAS tersebut berinter-
aksi dalam suatu sistem DAS yang merupakan sistem simpanan massa air, serta

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4, Ciamis, Jawa Barat 46201
Email: ejunad75@gmail.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 171


E. Junaidi

hubungan masukan hujan dan keluaran limpasan DAS. Sebagai suatu sistem, terda-
pat berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain di dalam DAS. Kom-
ponen tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu 1) komponen biofisik
yang bersifat alami dan menunjukkan karakteristik yang dimiliki setiap DAS; dan 2)
komponen nonbiofisik yang menunjukkan manusia dengan berbagai ragam per-
soalan, latar belakang budaya, sosial ekonomi, sikap politik, kelembagaan, dan
tatanannya.

Keberadaan tutupan lahan pada suatu DAS merupakan salah satu komponen
biofisik yang penting. Perubahan tutupan lahan pada suatu sistem DAS akan
memengaruhi fungsi hidrologi DAS. Penelitian tentang dampak perubahan tutupan
lahan terhadap respons hidrologi telah banyak dilakukan (Andrassian, 2004;
Bruijnzeel, 2004). Pola agroforestry (wanatani) merupakan salah satu bentuk tutupan
lahan yang mulai berkembang dan diterapkan pada lahan masyarakat. Pola ini
merupakan alternatif bentuk tutupan lahan yang terdiri dari campuran tanaman
keras (pepohonan atau semak) dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak
dalam satu bidang lahan. Komposisi tanaman yang beragam pada agroforestry ini
menyebabkan agroforestry memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada
tutupan hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, dan lahan kosong.
Berdasarkan fakta tersebut, para ahli berpendapat bahwa strata tegakan yang menye-
rupai pola hutan pada pola agroforestry menguntungkan secara lingkungan. Hasil
kajian Junaidi (2013) menunjukkan bahwa pola agroforestry memiliki kemampuan
mempertahankan fungsi hidrologi DAS yang menyerupai hutan.

Tanaman manglid merupakan salah satu tanaman kayu pertukangan yang


banyak ditanam pada lahan hutan rakyat di Jawa Barat. Pada umumnya, jenis ini
ditanam pada tutupan lahan kebun campuran bersama dengan tanaman kayu lainnya
dan tanaman semusim (pola agroforestry). Keberadaan tanaman ini semakin berkem-
bang yang secara langsung akan memengaruhi perubahan kondisi lingkungan,
terutama kondisi hidrologi tempat tumbuhnya. Penelitian ini bertujuan mengkaji
pengaruh keberadaan tutupan lahan dominan manglid terhadap hasil air yang disum-

172 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

bangkan ke aliran sungai dan membandingkan respons hidrologinya dengan tipe


penggunaan lahan lainnya.

II. Metodologi

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di DAS Citanduy Hulu yang merupakan salah satu


sub-DAS pada DAS Citanduy, Jawa Barat. Daerah Aliran Sungai Citanduy Hulu
terletak pada hulu DAS Citanduy yang secara Geografi terletak pada 7o77o17 LS
dan 108o4108o24 BT (Gambar 1). Luas DAS Citanduy Hulu sekitar 72.409,5 ha.
Panjang rerata sungai utama sekitar 7,4 km dengan gradien 1,02% (agak rendah)
(Puspitojati et al., 2012).

Gambar 1. Loaksi Penelitian

Iklim DAS Citanduy Hulu termasuk Golongan II (daerah agak basah)


berdasarkan klasifikasi iklim Mohr (1993) dan tipe hujan golongan C (agak basah)
berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Fergusson (1951). Sebagian besar wilayah DAS

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 173


E. Junaidi

Citanduy Hulu berada pada kisaran curah hujan >2.000 mm/tahun dan termasuk
dalam kriteria tinggi. Sementara itu, luas wilayah DAS yang berada pada kisaran
curah hujan <2.000 mm/tahun hanya sekitar 12% dari luas DAS, tepatnya di sekitar
hilir DAS Citanduy Hulu (Junaidi & Maryani, 2013).

B. Metode Penelitian

Pendugaan tata air dilkukan dengan menggunakan model Soil and Water
Assessment Toll (SWAT). Proses pendugaan tata air yang disimulasikan oleh model
SWAT, meliputi infiltrasi, aliran bagian permukaan, aliran lateral, evaporasi,
transpirasi, pergerakan air tanah, dan routing perjalanan aliran (Menking et al.,
2003). Model SWAT merupakan model matematik berbasis fisik yang dirancang
sebagai model hidrologi spasial terdistribusi yang terintegrasi dengan Geographical
Information System (GIS) dan Digital Elevation Model (DEM) dengan tampilan
antarmuka pengguna secara grafis (GUI). Model ini berdasarkan hydrologic respons
units (HRUs) yang dibentuk dari kombinasi tata guna lahan, jenis tanah, dan
topografi (Olivera et al., 2006; Omani et al., 2007). Evaluasi operasionalisasinya
berbasis pada skala waktu harian dan mampu mensimulasi dan menduga dampak
kegiatan-kegiatan praktik pengelolaan lahan jangka panjang (Arnold et al., 2010;
Douglas-Mankin et al., 2010).

Kegiatan pelaksanaan penelitian menggunakan model SWAT meliputi


beberapa tahapan, yaitu:

1. Persiapan Model

Terdapat tiga jenis data yang digunakan dalam model SWAT pada penelitian
ini, yaitu data spasial iklim dan hidrologi (Tabel 1). Data iklim dan spasial
digunakan sebagai input model, sedangkan data hidrologi digunakan untuk proses
kalibrasi dan validasi model.

174 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

Tabel 1. Data spasial, iklim, dan hidrologi yang terdapat di DAS Citanduy Hulu

No. Tipe data Sumber data Keterangan


1. Peta Jaringan Sungai Bakosurtanal Peta Rupa Bumi Indonesia
(skala 1:50.000)
2. DEM US Geoological Survey Shuttle Radar Topography Mission
(SRTM) untuk Z_59_14.tiff
dengan resolusi spasial 90 x 90 m
3. Peta landuse (skala BP DAS Cimanuk- Klasifikasi citra Landsat TM
1:250.000) Citanduy tahun 2009
4. Peta jenis tanah BP DAS Cimanuk-
(skala 1:250.000) Citanduy
5. Data curah hujan Balai Pengelolaan Sembilan stasiun penakar curah
harian Sumber Daya Air hujan tahun 2009 dan 2010
Citanduy, Balai Besar
Wilayah Sungai Citanduy
6. Data temperatur Balai Besar Wilayah Empat stasiun temperatur tahun
harian Sungai Citanduy 2009 dan 2010
7. Data iklim Balai Besar Wilayah Dua stasiun klimatologi selama
Sungai Citanduy lima tahun (20052009) (data
curah hujan, temperatur,
kecepatan angin, dan intensitas
penyinaran)
8. Data debit sungai Balai Besar Wilayah SPAS Sindangrasa pengamatan
Sungai Citanduy tahun 2009

2. Kalibrasi dan Validasi Model

Kalibrasi model dilakukan untuk menduga nilai parameter-parameter dalam


model sehingga hasil simulasi debit oleh model mendekati nilai debit yang
sebenarnya (Kobold et al., 2008). Terdapat 24 parameter yang harus dikalibrasi
dalam SWAT. Sementara itu, validasi bertujuan mengevaluasi kemampuan model
dalam mendekati kondisi DAS yang sebenarnya. Kriteria yang digunakan validasi

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 175


E. Junaidi

model yaitu Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE), perbandingan rerata debit prediksi dan
rerata debit observasi, serta koefisien determinasi.

C. Analisis Data

Hasil model untuk analisis berupa output HRUs yang merupakan luaran model
untuk data input tahun 2010. Data dikompilasi dalam bentuk grafik dan tabel yang
dianalisis secara deskriptif.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Tutupan Lahan DAS Citanduy Hulu

Hingga tahun 2009, kondisi tutupan lahan pada DAS Citanduy Hulu dido-
minasi oleh sawah (29% luas DAS) dan kebun campuran (26%). Sementara itu, luas
lahan hutan (meliputi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas)
yang terdapat pada DAS Citanduy Hulu sekitar 20,73% (Tabel 2). Sebaran tutupan
lahan dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 2. Kondisi tutupan lahan existing DAS Citanduy Hulu tahun 2009

No. Tutupan lahan Luas (ha) Persentase (%)


1. Semak belukar 553,80 0,76
2. Hutan poduksi 887,90 1,23
3. Hutan produksi terbatas 4.974,30 6,87
4. Hutan lindung 9.146,70 12,63
5. Pemukiman 7.730,30 10,68
7. Kebun Campuran dominan Sengon 4.734,51 6,54
8. Keun Campuran Pengelolaan baik 11,41 0,02
9. Kebun Campuran Pengelolaan sedang 1.950,58 2,69
10. Kebun Campuran Pengelolaan buruk 9.800,50 13,53
11. Kebun Campuran dominan Manglid 2.046,30 2,83
12. Sawah 20.676,10 28,55
13. Tambak 12,70 0,02

176 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

No. Tutupan lahan Luas (ha) Persentase (%)


14. Tubuh air 420,50 0,58
15. Pertanian lahan kering 9.462,50 13,07
16. Rawa 1,30 0,00
Total 72.409.40

Gambar 2. Tutupan lahan DAS Citanduy Hulu tahun 2009

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 177


E. Junaidi

Hasil survei menunjukkan bahwa tutupan lahan kebun campuran diklasifi-


kasikan menjadi lima macam, yaitu kebun campuran dominan sengon, kebun
campuran dominan manglid, kebun campuran pengelolaan manajemen baik, kebun
campuran pengelolaan manajemen sedang, dan kebun campuran pengelolan mana-
jemen buruk. Untuk kebun campuran pengelolan manajemen, kriteria meliputi
komposisi penanaman, komposisi tegakan, dan pengunaan teknik konservasi. Pada
tutupan lahan di DAS Citanduy Hulu, kebun campuran didominasi oleh tutupan
lahan kebun campuran pengelolaan buruk (13,5%). Hal ini ditandai oleh komposisi
penanaman yang tidak jelas jarak tanamnya, komposisi tegakan dengan jenis
tanaman yang beragam, dan teknik konservasi tanah yang kurang diperhatikan.
Sementara itu, kebun campuran dominan tanaman sengon dan tanaman manglid
mempunyai luasan 6,5% dan 2,8% dari luas DAS.

B. Kalibrasi dan Validasi Model Hidrologi

Kalibrasi bertujuan untuk menentukan nilai sekelompok parameter sehingga


hasil simulasi debit model mendekati nilai debit sebenarnya. Sementara itu, validasi
dilakukan untuk mengevaluasi kemampuan model dalam mendekati kondisi DAS
sebenarnya. Evaluasi kemampuan model menggunakan kriteria statistik. Metode
statistik yang digunakan adalah persentase perbedaan dari nilai observasi (DVi) dan
koefisien Nash-Sutcliffe (ENS). Santhi et al. (2001) menunjukkan hasil simulasi
dikriteriakan baik jika rerata debit hasil simulasi berada pada kisaran -15% hingga
+15% dari rerata debit hasil observasi, nilai ENS 0,5, dan R2 0,6. Data yang
digunakan untuk proses kalibrasi dan validasi model ini adalah data debit dari
Sungai Sindangrasa. Proses kalibrasi menggunakan data bulan JanuariJuni 2009,
sedangkan proses validasi model menggunakan data bulan JuliDesember 2009.

Hasil perhitungan untuk koefisien Nash-Sutcliffe (ENS) adalah 0,76 dan hasil
perhitungan untuk nilai Dv adalah -14,96%. Sementara itu, berdasarkan grafik XY
scatter, hubungan antara debit bulanan prediksi (nilai X), dan debit bulanan observasi
(nilai Y), diperoleh nilai R2 adalah 0,79.

178 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

C. Kondisi Hidrologi

1. Kondisi Tata Air DAS Citanduy Hulu

Secara umum, kondisi hidrologi DAS Citanduy Hulu memiliki nilai rerata
tahunan evapotranspirasi sebesar 66,1 mm (23%), aliran permukaan sebesar 121,6
mm (43%), aliran bawah permukaan sebesar 83,3 mm (29%), dan aliran dasar sebe-
sar 50,0 mm (18%) dengan total curah hujan bervariasi antara 2794,53429,2 mm.

Hasil simulasi memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan debit


sungai dan kecenderungan naik pada evapotranspirasi (Gambar 3). Berdasarkan
tutupan lahan kondisi existing, kondisi ini memperlihatkan adanya tren kenaikan
hasil air yang berasal dari sumbangan aliran bawah permukaan dan aliran dasar.
Sementara itu, sumbangan hasil air yang berasal dari aliran permukaan memper-
lihatkan tren penurunan.

Gambar 3. Tren perubahan masimg-masing komponen hasil air di DAS Citanduy Hulu

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 179


E. Junaidi

Hasil analisis pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa semakin besar debit dan
tinggi curah hujan yang jatuh, aliran bawah permukaan dan aliran dasar yang
dihasilkan akan semakin besar. Sebaliknya, semakin besar debit yang dihasilkan dan
curah hujan yang jatuh, aliran permukaan yang dihasilkan semakin kecil.

Gambar 4. Tren perubahan masing-masing aliran terhadap perubahan debit di DAS


Citanduy Hulu

2. Kontribusi Tutupan lahan Kebun Campuran Manglid terhadap Tata Air DAS
Citanduy Hulu

Dampak sumbangan debit tutupan lahan kebun campuran dominan manglid


(KC Manglid) terhadap sungai dibandingkan dengan tipe tutupan lahan dikelom-
pokkan menjadi tiga kelompok, yaitu 1) perbandingan sumbangan debit tutupan
lahan KC manglid dengan beberapa tutupan lahan hutan, 2) perbandingan sum-
bangan debit tutupan lahan KC manglid dengan tutupan lahan kebun campuran
yang lain, dan 3) perbandingan sumbangan debit tutupan lahan KC manglid dengan

180 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

tutupan lahan areal penggunaan lain (sawah, pemukiman, pertanian lahan kering,
dan semak belukar).

Gambar 5. Debit bulanan tutupan lahan KC manglid dibandingkan dengan debit bulanan
beberapa tutupan lahan hutan terhadap sumbangan debit sungai

Gambar 5 memperlihatkan sumbangan debit beberapa tutupan lahan hutan


dibandingkan dengan tutupan lahan KC manglid terhadap debit sungai. Hasil ana-
lisis menunjukkan tutupan lahan hutan produksi (HP) memberikan hasil sumbangan
debit bulanan terbesar pada Sungai Citanduy dibandingkan dengan tutupan lahan
KC manglid dan tutupan lahan hutan yang lain (hutan produksi terbatas [HP
Terbatas], hutan lindung, dan hutan konservasi). Secara umum, tren sumbangan
debit pada KC manglid mempunyai kemiripan dengan HP Terbatas.

Hasil analisis menunjukkan sumbangan debit terhadap debit sungai. Untuk


perbandingan tutupan lahan KC manglid dengan tutupan lahan kebun campuran
yang lain, tutupan lahan kebun campuran dominan sengon (KC sengon) menyum-
bangkan debit terbesar dibandingkan KC manglid dan kebun campuran tipe yang

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 181


E. Junaidi

lain. Pada Gambar 6 menunjukkan tutupan lahan KC manglid memberikan sum-


bangan debit terbesar kedua terhadap debit sungai dibandingkan dengan tipe
tutupan lahan kebun campuran yang lain

Gambar 6. Debit bulanan tutupan lahan KC manglid dibandingkan dengan debit bulanan
beberapa tutupan lahan kebun campuran terhadap sumbangan debit sungai

Gambar 7. Debit bulanan tutupan lahan KC manglid dibandingkan dengan debit bulanan
beberapa tipe tutupan lahan terhadap sumbangan debit sungai

182 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

Berdasarkan Gambar 7, tutupan lahan KC manglid memberikan sumbangan


debit yang paling kecil terhadap debit sungai dibandingkan dengan tutupan lahan
tipe lain (sawah, pertanian lahan kering, dan pemukiman). Sumbangan debit
bulanan terbesar terhadap debit sungai berasal dari tutupan lahan sawah, pertanian
lahan kering, pemukiman, dan KC manglid). Sementara itu, tutupan lahan semak
belukar berkontribusi terhadap debit sungai yang paling sedikit.

Pengaruh tutupan lahan KC manglid terhadap kondisi hidrologi DAS


Citanduy dapat dilihat pada Gambar 8. Tutupan lahan KC manglid memperlihatkan
bahwa semakin besar debit dan tinggi curah hujan yang jatuh, aliran bawah
permukaan dan aliran dasar yang dihasilkan akan lebih besar. Sebaliknya, semakin
besar debit yang dihasilkan dan curah hujan yang jatuh, aliran permukaan yang
dihasilkan semakin kecil. Pengaruh tutupan lahan KC manglid memberikan hasil
yang positif terhadap debit sungai karena sumbangan debit pada tutupan lahan KC
manglid yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar lebih berkorelasi positif
terhadap kenaikan debit dan hujan. Namun, apabila dibandingkan dengan aliran
permukaan, kenaikan curah hujan dan debit berkorelasi negatif.

Gambar 8. Tren perubahan masing-masing aliran terhadap perubahan debit di DAS


Citanduy Hulu

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 183


E. Junaidi

Secara umum, Gambar 8 menunjukkan bahwa tutupan HP, sawah, dan KC


sengon berkontribusi positif terhadap debit sungai. Apabila dilihat dari trennya,
kenaikan debit sungai oleh hujan berkolerasi negatif terhadap aliran permukaan,
tetapi berkorelasi positif terhadap aliran lateral dan dasar. Tutupan lahan KC sengon
dan sawah perlu diwaspadai karena memberikan kontribusi aliran permukaan
semakin besar pada debit sungai dengan semakin tingginya debit. Selain itu,
sumbangan debit sungai yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar berkorelasi
positif terhadap kenaikan hujan dan debit, namun kenaikan lebih rendah diban-
dingkan dengan tipe penggunaan lain.

3. Komponen Hasil Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

Secara umum, kondisi neraca air tutupan lahan KC manglid terhadap sum-
bangan aliran DAS Citanduy Hulu memiliki nilai rerata tahunan evapotranspirasi
sebesar 19%, aliran permukaan sebesar 42%, aliran bawah permukaan sebesar 3,5%,
dan aliran dasar sebesar 28,8% dengan total curah 2934,9 mm.

Hasil simulasi memperlihatkan bahwa tutupan lahan KC manglid menun-


jukkan adanya tren stabil untuk hasil air yang berasal dari sumbangan aliran bawah
permukaan, aliran dasar dan aliran permukaan yang mana tidak terjadi kenaikan atau
penurunan (Gambar 9, 10, dan 11).

Berdasarkan Gambar 9, tren perubahan masing-masing komponen hasil air


oleh keberadaan KC manglid [dibandingkan dengan beberapa penggunaan lahan
hutan] memberikan sumbangan lebih besar yang berasal dari aliran permukaan,
tetapi sumbangan lebih kecil yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar terhadap
aliran sungai. Keberadaan tutupan lahan hutan lindung ternyata menunjukkan tren
penurunan sumbangan yang signifikan berasal dari aliran permukaan, tetapi sum-
bangan yang berasal dari aliran lateral dan dasar menunjukkan tren yang meningkat.

184 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

Gambar 9. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air pada tutupan lahan kebun
campuran manglid dibandingkan dengan tutupan lahan hutan

Perbandingan komponen penyumbang aliran sungai untuk tutupan lahan KC


manglid terhadap tutupan lahan kebun campuran lainnya dapat dilihat pada Gambar
10. Secara umum, keberadaan tutupan KC manglid menunjukkan tren sumbangan
yang berasal dari aliran permukaan aliran lateral dan aliran dasar tidak jauh berbeda
dengan tutupan lahan kebun campuran yang lain (KC sengon, KC pengelolaan baik,
KC pengelolaan sedang, dan KC pengelolaan jelek). Namun, semakin baik mana-
jemen pengelolaan kebun campuran [dilihat dari komposisi penanaman, komposisi
tegakan, dan penggunaan teknik konservasi tanah] akan menurunkan sumbangan
aliran sungai yang berasal dari aliran permukaan, tetapi meningkatkan sumbangan
yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 185


E. Junaidi

Gambar 10. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air pada tutupan lahan kebun
campuran manglid dibandingkan dengan tutupan lahan tipe lain

Tren perbandingan sumbangan masing-masing komponen untuk tutupan


lahan KC manglid dibandingkan dengan tutpan lahan lain (pertanian, pemukiman,
sawah, dan semak belukar) dapat dilihat pada Gambar 11. Tren sumbangan terha-
dap aliran sungai untuk KC manglid dan semak belukar hampir sama. Tutupan
lahan KC manglid memberikan tren sumbangan aliran sungai yang lebih rendah ber-
asal dari aliran permukaan, tetapi tren sumbangan aliran sungai yang lebih tinggi
berasal dari aliran lateral dan aliran dasar dibandingkan dengan tipe tutupan lahan
sawah, pemukiman, dan pertanian. Selain itu, hasil analisis menunjukkan tutupan
lahan pertanian menghasilkan tren sumbangan berasal dari aliran permukaan lebih
tinggi dan tren sumbangan berasal dari aliran lateral dan aliran dasar lebih rendah
dibandingkan dengan tutupan lahan yang lain.

186 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

Gambar 11. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air pada tutupan lahan kebun
campuran manglid dibandingkan dengan tutupan lahan kebun campuran tipe lain

IV. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa keberadaan tutupan lahan KC


manglid berkontribusi positif terhadap tata air DAS Citanduy. Peningkatan hujan
dan debit berkorelasi negatif terhadap aliran permukaan yang disumbangkan oleh
tutupan lahan KC manglid dan berkorelasi positif terhadap sumbangan yang berasal
dari aliran lateral dan aliran dasar. Keberadaan tutupan lahan KC manglid mem-
punyai tren yang sama terhadap kompenan sumbangan aliran sungai dengan tutupan
lahan hutan, kebun campuran, dan semak belukar.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 187


E. Junaidi

Daftar Pustaka

Andrassian, V. (2004). Waters and forests: from historical controversy to scientific


debate. Journal of hydrology, 291(1), 1-27.

Arnold, J., Allen, P., Volk, M., Williams, J., & Bosch, D. (2010). Assessment of
different representations of spatial variability on SWAT model performance.
Transactions of the ASABE, 53(5), 1433-1443.

Bruijnzeel, L. A. (2004). Hydrological functions of tropical forests: not seeing the


soil for the trees? Agriculture, ecosystems & environment, 104(1), 185-228.

Douglas-Mankin, K., Srinivasan, R., & Arnold, J. (2010). Soil and Water
Assessment Tool (SWAT) model: Current developments and applications.
Transactions of the ASABE, 53(5), 1423-1431.

Junaidi, E. (2013). Peranan penerapan agroforestry terhadap hasil air daerah aliran
sungai (DAS) Cisadane. Jurnal Penelitian Agroforestry, 1(1), 41-53.

Junaidi, E., & Maryani, R. (2013). Pengaruh Dinamika Spasial Sosial Ekonomi
pada suatu Lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS) terhadap Keberadaan
Lanskap Hutan (Studi Kasus pada DAS Citanduy Hulu dan DAS Ciseel,
Jawa Barat). Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 10(2), 122-239.

Kobold, M., Suelj, K., Polajnar, J., & Poganik, N. (2008). Calibration techniques
used for HBV hydrological model in Savinja catchment. Paper presented at the
XXIVth CONFERENCE OF THE DANUBIAN COUNTRIES.

Menking, K., Syed, K., Anderson, R., Shafike, N., & Arnold, J. (2003). Model
estimates of runoff in the closed, semiarid Estancia basin, central New
Mexico, USA. Hydrological sciences journal, 48(6), 953-970.

Olivera, F., Valenzuela, M., Srinivasan, R., Choi, J., Cho, H., Koka, S., & Agrawal,
A. (2006). ARCGISSWAT: A geodata model and GIS interface for
SWAT1. JAWRA Journal of the American Water Resources Association, 42(2),
295-309.

188 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

Omani, N., Tajrishy, M., & Abrishamchi, A. (2007). Modeling of a river basin using
SWAT model and GIS. Paper presented at the 2nd International Conference
on Managing Rivers in the 21st Century: Solutions Towards Sustainable
River Basins. Riverside Kuching, Sarawak, Malaysia.

Puspitojati, T., Junaidi, E., Sanudin, Ruhimat, I. S., Kuswantoro, D. P., Indrajaya,
Y., & Widiyanto, A. (2012). Kajian lanskap agroforestry pada DAS prioritas.
Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis.

Santhi, C., Arnold, J. G., Williams, J. R., Dugas, W. A., Srinivasan, R., & Hauck,
L. M. (2001). validation of the swat model on a large RWER basin with
point and nonpoint sources1: Wiley Online Library.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 189


BAB VI

PENGOLAHAN HASIL
KAYU MANGLID
Sifat Fisik dan Pemesinan Kayu Manglid

M. Siarudin1 & Ary Widiyanto1

ABSTRAK

Sifat fisik dan pemesinan kayu merupakan informasi yang penting sebagai dasar pemanfaatan
kayu. Penelitian ini bertujuan mengetahui sifat fisik dan pemesinan kayu manglid. Sampel
kayu diambil dari hutan rakyat di Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa
Barat. Pembuatan contoh uji dan pengujian sifat fisik mengacu pada British Standard (BS)
Nomor 373, sedangkan sifat pemesinan mengacu pada prosedur ASTM D1666-64. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kayu manglid memiliki kadar air segar rerata 168,77%, kadar
air kering udara 14,63%, berat jenis pada volume segar 0,35, berat jenis pada volume kering
udara 0,36, dan berat jenis pada volume kering tanur 0,38. Berdasarkan sifat perubahan
dimensinya, kayu manglid memiliki nilai penyusutan pada arah longitudinal 1,51%, penyu-
sutan arah radial 4,08%, penyusutan arah tangensial 5,84%, serta rasio penyusutan tangensial
dan radial 1,54. Kadar air segar kayu manglid pada arah aksial memiliki pola sebaran mening-
kat dari arah pangkal ke tengah batang, kemudian menurun pada bagian ujung. Sementara,
pola sebaran kadar air segarnya pada arah radial menurun secara konsisten dari arah dekat
empulur ke arah kulit. Berat jenis kayu manglid pada arah aksial memiliki pola sebaran
menurun dari bagian pangkal ke tengah, kemudian meningkat pada bagian ujung batang.
Pola sebaran berat jenis pada arah radial meningkat secara konsisten dari bagian dekat
empulur ke arah kulit batang. Sifat fisik kayu manglid pada arah aksial dan radial bervariasi
untuk kadar air segar dan berat jenis, sedangkan kadar air kering udara dan perubahan
dimensinya relatif seragam. Kayu manglid memiliki mutu pemesinan yang sangat baik (kelas
mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta memiliki mutu pemesinan baik
(kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran, dan pembubutan.

Kata kunci: sifat fisik, sifat pemesinan, aksial, radial, manglid

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis, Jawa Barat
Email: msiarudin@yahoo.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 193


M. Siarudin & A. Widiyanto

I. Pendahuluan

Jenis manglid termasuk jenis yang banyak dibudidayakan pada lahan-lahan


milik petani di daerah Jawa Barat. Jenis ini sangat disukai di Jawa Barat dan Bali
karena kayunya mengkilat dan strukturnya padat, halus, ringan, dan kuat. Kayu
gubalnya tipis dan berwarna putih, kayu teras yang masih segar berwarna cokelat
dengan sedikit warna hijau yang tampak jelas; setelah kering angin warna bervariasi
antara cokelat muda hingga kuning kecokelatan tanpa kirai (Anonim, 2007).
Kekuatan kayunya digolongkan dalam kelas IIIIV dan keawetannya termasuk kelas
II (Seng, 1990). Adapun keuntungan dari kayu manglid tersebut karena ringan
(berat jenis 0,41) sehingga mudah dikerjakan dan sering dijadikan bahan baku
pembuatan jembatan, perkakas rumah, barang-barang hiasan, serta patung dan
ukiran yang banyak ditemukan di daerah Bali (Sosef et al., 1998). Kegunaan kayu
Manglid selama ini sebagai perkakas rumah tangga (meja, kursi, lemari), bangunan
rumah, bangunan jembatan, pelapis kayu, dan plywood, serta diharapkan dapat
dijadikan bahan baku pulp. Di Jawa Barat, Manglid dikembangkan melalui
agroforestry pada progam social forestry dan dijadikan komoditas unggulan dalam
pengembangan hutan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekitar hutan (Rimpala, 2001).

Meskipun manglid sudah menjadi salah satu komoditas andalan di Jawa Barat
bagian timur, sesungguhnya jenis ini belum dikenal sebagai jenis komersial secara
luas. Sosef et al. (1998) mengelompokkan manglid ke dalam jenis kurang dikenal
(lesser known timber) yang mana informasi mengenai sifat-sifat dasar kayunya masih
sangat terbatas. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan mengetahui sifat fisik dan
sifat pemesinan kayu manglid yang berasal dari hutan rakyat di Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
dasar untuk pengembangan pemanfaatan kayu manglid sesuai dengan karakteristik
fisik dan pemesinannya.

194 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sif at F i sik d a n Pem e sin an K ayu Ma ng lid

II. Metodologi

A. Lokasi Penelitian

Sampel pohon manglid diambil dari hutan rakyat di Desa Sodonghilir,


Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pembuatan sampel uji
dan pengujian sifat fisik dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Teknologi
Agroforestry, Ciamis. Sementara itu, pembuatan sampel uji dan pengujian sifat
pemesinan dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan, Bogor.

B. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga batang pohon manglid
yang berumur 1015 tahun. Ketiga sampel pohon tersebut memiliki rerata tinggi
total 28 m, diameter setinggi dada 37,7 cm, tinggi bebas cabang 12,9 m, dan
diameter pada ketinggain bebas cadang 28 cm. Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini, antara lain gergaji rantai (chain saw), gergaji circle, timbangan analitik,
oven, sigmad, dan unit peralatan pengujian sifat pemesinan kayu.

C. Prosedur Kerja

Sampel pohon manglid diambil bagian batang bebas cabang pada tiga kedu-
dukan aksial (pangkal, tengah dan ujung). Bagian-bagian tersebut dipotong secara
melintang berbentuk piringan setebal 3 cm untuk bahan contoh uji kerapatan dan
kadar air, dan piringan setebal 5 cm untuk bahan contoh uji perubahan dimensi
kayu. Pada setiap piringan diambil tiga bagian arah radial, yaitu dekat hati, tengah,
dan dekat kulit. Gambar skema pengambilan sampel kayu manglid disajikan pada
Gambar 1.

Parameter sifat fisika kayu yang diukur dalam penelitian ini adalah kerapatan
kayu, kadar air segar, kadar air kering udara, dan perubahan dimensi kayu. Peru-
bahan dimensi kayu terdiri atas penyusutan tangensial, penyusutan radial, penyu-
sutan longitudinal, serta rasio penyusutan tangensial dan radial (T/R). Standar

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 195


M. Siarudin & A. Widiyanto

pembuatan ukuran dan pengujian contoh uji dalam penelitian ini menggunakan
British Standard (BS) Nomor 373 (Anonim, 1957).

Uji pemesinan dilakukan dengan menggunakan papan manglid berukuran 125


cm x 12 cm x 2 cm sejumlah 15 lembar. Kondisi papan yang digunakan sebagai
contoh uji tersebut dalam keadaan kering udara dan dipilih yang bebas cacat, baik
cacat alami, cacat fisik, maupun cacat biologis. Parameter sifat pemesinan yang diuji
adalah penyerutan (planing), pembentukan (moulding), pemboran (boring), dan
pembubutan (turning). Metode pengujian mengikuti prosedur ASTM D1666-64
yang dimodifikasi menurut Abdurachman & Karnasudirdja (1982). Sementara itu,
klasifikasi kelas mutu sifat pemesinan mengacu kepada Rahman & Malik (2008).

III. Hasil dan Pembahasan

A. Sifat Fisik

Karakteristik sifat fisik kayu manglid secara umum tidak berbeda dengan jenis
tanaman cepat tumbuh lainnya (Tabel 1). Hasil pengukuran di laboratorium menun-
jukkan bahwa kadar air segar rerata kayu manglid adalah 168,77% atau dengan kata
lain, berat air dalam kayu manglid sesaat setelah penebangan lebih besar daripada
berat kayunya sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haygreen & Bowyer (1996)
bahwa berat air dalam kayu segar umumnya sama atau lebih besar daripada berat
bahan kayu kering. Besarnya nilai kadar air segar tersebut merupakan informasi
penting karena berkaitan langsung dengan berat kayu gelondong sehingga dapat
dijadikan pertimbangan dalam merancang pemanenan dan pengangkutan dolok
manglid.

Rentang kadar air segar kayu manglid terendah dan tertinggi tersebut cukup
besar. Pohon manglid memiliki kisaran kadar air segar sekitar 62,65273,77%. Jika
diperhatikan, kadar air terendah didapat pada contoh uji bagian ujung dekat kulit,
sedangkan kadar air segar tertinggi pada contoh uji bagian tengah dekat hati. Hal ini
berbeda dengan pendapat Haygreen & Bowyer (1996) bahwa kadar air pada bagian
dekat kulit pada umumnya lebih besar daripada bagian tengah. Variasi kandungan

196 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sif at F i sik d a n Pem e sin an K ayu Ma ng lid

air segar pada manglid diduga berkaitan dengan variasi kerapatan kayunya (Gambar
1 dan Gambar 2).

Tabel 1. Karakteristik sifat fisik kayu manglid

Sifat fisik Nilai rerata Nilai kisaran


Kadar air segar (%) 168,77 62,65273,77
Kadar air kering udara (%) 14,63 13,5717,03
BJ segar 0,35 0,290,42
BJ KU 0,36 0,300,45
BJ KT 0,38 0,300,47
Penyusutan longitudinal (%) 1,51 0,223,40
Penyusutan radial (%) 4,08 2,389,29
Penyusutan tangensial (%) 5,84 1,829,43
T/R (%) 1,54 0,562,91
Keterangan: BJ segar=berat jenis pada volume segar; BJ KU=berat jenis pada volume kering udara; BJ
KT=berat jenis pada volume kering tanur; T/R=rasio penyusutan tangensial dengan radial

Kadar air kering udara rerata adalah 14,63% dengan kisaran 13,5717,03%.
Dengan demikian, terjadi penurunan sebesar 154,14% kadar air sejak penebangan
hingga mencapai kadar air seimbang. Sementara itu, berat jenis kering udara rerata
adalah 0,36 dengan kisaran 0,300,45. Nilai berat jenis tersebut sedikit lebih rendah
daripada berat jenis manglid menurut Seng (1990), yaitu rerata 0,41 dengan kisaran
0,320,58.

Penyusutan total pada arah longitudinal rerata 1,51% dengan kisaran 0,22
3,40%. Penyusutan pada arah radial rerata 4,08% dengan kisaran 2,389,29%,
sedangkan penyusutan tangensial rerata 5,84% dengan kisaran 1,829,43%. Rasio
T/R rerata 1,54 dengan kisaran 0,562,91.

B. Variasi Sifat Fisik Kayu Manglid pada Arah Aksial dan Radial

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kadar air segar dan berat jenis
berbeda sangat nyata (taraf kepercayaan 99%) pada arah aksial ataupun radial,

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 197


M. Siarudin & A. Widiyanto

sedangkan nilai penyusutan dan rasio T/R kadar air kering udara relatif seragam.
Sementara itu, interaksi arah aksial dan arah radial tidak menunjukkan perbedaan
sifat-sifat fisik yang nyata. Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil (BNT) (Tabel
2), nilai kadar air segar pada arah aksial berbeda nyata antara bagian ujung batang
dengan bagian pangkal dan tengah, sedangkan bagian pangkal dan tengah relatif
seragam. Sementara itu; pada arah radial, perbedaan nyata kadar air segar terjadi
antara semua bagian, baik dekat kulit, tengah, maupun dekat hati.

Tabel 2. Hasil uji BNT kadar air segar kayu manglid pada arah aksial dan radial

Arah Rerata (%) BNT0,05


Ujung 139,7589 A
Aksial Pangkal 175,9644 B
Tengah 190,5844 B
Ujung 90,0733 A
Radial Pangkal 184,5144 B
Tengah 231,7200 C
Keterangan: BNT=beda nyata terkecil; angka dalam kolom pada masing-masing arah yang diikuti oleh
huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%

Tabel 3. Hasil uji BNT berat jenis kayu manglid pada arah aksial dan radial

BJ segar BJ KU BJ KT
Arah
Rerata BNT0,05 Rerata BNT0,05 Rerata BNT0,05
Tengah 0,3200 A 0,3356 A 0,3500 A
Aksial Pangkal 0,3511 B 0,3700 B 0,3889 B
Ujung 0,3722 B 0,3867 B 0,4089 B
Hati 0,3289 A 0,3422 A 0,3567 A
Radial Tengah 0,3444 AB 0,3578 A 0,3756 A
Kulit 0,3700 B 0,3922 B 0,4156 B
Keterangan: BJ segar=berat jenis pada volume segar; BJ KU=berat jenis pada volume kering udara; BJ
KT=berat jenis pada volume kering tanur; BNT=beda nyata terkecil; angka dalam kolom pada masing-
masing arah yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%

198 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sif at F i sik d a n Pem e sin an K ayu Ma ng lid

Hasil uji BNT pada Tabel 3 menunjukkan bahwa berat jenis manglid pada
arah aksial berbeda antara bagian tengah dengan bagian pangkal dan ujung,
sedangkan bagian pangkal dengan ujung relatif seragam. Sementara itu; pada bagian
radial, berat jenis manglid pada bagian dekat kulit berbeda nyata dengan bagian
dekat hati dan tengah.

250 300

250
200

(Fresh moisture content)


(Fresh moisture content)

Kadar Air Segar (%)


200
Kadar Air Segar (%)

150
150

231.72
190.59
175.96

100

184.52
147.67

100

90.07
50 50

- -
P
P T
Ta UU
H
P T
Tr US
Arah Aksial (Axial ) Arah Radial (Radial)

Keterangan: P=pangkal; Ta=tengah arah aksial; U=ujung; H=dekat hati; Tr=tengah arah radial; S=dekat kulit

Gambar 1. Variasi kadar air segar kayu manglid pada arah aksial dan radial

0.40 0.42
Berat Jenis (Specific gravity)
Berat Jenis (Specific gravity)

0.38 0.40

0.38
0.36
0.36
0.38

0.39

0.34
0.37

0.34
0.36
0.34

0.34

0.32
0.32

0.30 0.30
PP T
Ta UU H
P T
Tr US
Arah Aksial (Axial) Arah Radial (Radial)

Keterangan: P=pangkal; Ta=tengah arah aksial; U=ujung; H=dekat hati; Tr=tengah arah radial; S=dekat kulit

Gambar 2. Variasi berat jenis kayu manglid pada arah aksial dan radial

Kadar air segar kayu manglid yang tertinggi pada arah aksial adalah pada
bagian tengah, kemudian lebih rendah berturut-turut pada bagian pangkal dan
ujung. Meskipun demikian; sebagaimana hasil uji lanjut pada Tabel 2, bagian

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 199


M. Siarudin & A. Widiyanto

pangkal dan tengah relatif seragam. Kadar air segar kayu manglid pada arah radial
terdapat kecenderungan menurun secara teratur dari arah empulur/hati ke arah
kulit/sisi. Kadar air segar pada bagian dekat hati mencapai 231,72%, sedangkan pada
bagan tengah dan dekat kulit berturut-turut 184,52% dan 90,07% (Gambar 1).

Gambar 2 memperlihatkan pola sebaran berat jenis kayu manglid pada arah
aksial, yaitu bagian tengah memiliki berat jenis paling rendah dibandingkan dengan
bagian pangkal dan ujung; sedangkan berdasarkan uji BNT (Tabel 3), berat jenis
bagian pangkal dan ujung relatif seragam. Tingginya berat jenis pada bagian pangkal
sesuai dengan pernyataan Haygreen & Bowyer (1996) bahwa kebanyakan kayu bulat
pada bagian pangkal memiliki berat jenis yang lebih tinggi daripada bagian batang di
atasnya. Sementara itu, tingginya berat jenis pada bagian ujung yang ditemukan
pada penelitian ini belum dapat dipastikan penyebabnya. Salah satu kemungkinan-
nya adalah banyaknya bekas percabangan yang ada di sekitar tajuk yang sudah
mengalami kerontokan alami. Bekas-bekas cabang ini diduga banyak mengandung
lignin yang menambah berat jenis kayunya. Namun demikian, penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk memastikan fenomena ini.

Sebaran berat jenis kayu manglid pada arah radial memiliki kecenderungn
meningkat dari arah hati ke arah kulit (Gambar 2). Berat jenis kayu manglid rerata
pada bagian dekat hati hanya 0,34, sedangkan pada bagian tengah dan bagian dekat
kulit berturut-turut 0,36 dan 0,39. Rendahnya berat jenis pada bagian dekat hati
dapat dijelaskan dengan adanya fenomena kayu juvenil. Haygreen & Bowyer (1996)
dan Panshin & Zeeuw (1980) mengemukakan bahwa sebagian besar sel-sel kayu
berdinding tipis sehingga akan menghasilkan kerapatan yang rendah.

Nilai kadar air segar dan berat jenis kayu manglid memiliki pola sebaran yang
saling berlawanan, baik pada arah aksial maupun radial (Gambar 1 dan Gambar 2).
Kecenderungan yang berlawanan antara kadar air segar dan berat jenis ini diduga
berkaitan dengan sifat porositas kayu yang mana pori-pori yang besar pada bagian
kayu dengan kerapatan rendah menyebabkan air bebas yang tinggi. Menurut
Panshin & de Zeew (1980), air dalam kayu terletak di dalam dinding sel sebagai air

200 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sif at F i sik d a n Pem e sin an K ayu Ma ng lid

terikat dan air di dalam rongga sel sebagai air bebas. Rendahnya berat jenis pada
bagian dekat hati memungkinkan banyaknya air bebas pada rongga sel.

C. Sifat Pemesinan

Tabel 4 memperlihatkan bahwa cacat serat berbulu pada kayu manglid yang
berasal dari dolok diameter. Berdasarkan persentase cacat yang terukur, kayu
manglid dari dolok manglid diameter kecil memiliki sifat pemesinan baik hingga
sangat baik, atau kelas mutu I hingga II. Manglid memiliki sifat penyerutan dan
pengampelasan yang sangat baik atau kelas mutu I. Hal ini menunjukkan bahwa
dolok manglid diameter kecil ini cocok untuk produk yang memerlukan tampilan
permukaan yang indah, seperti mebel dan kerajinan. Sementara itu, sifat
pembentukan yang baik memungkinkan dolok manglid diameter kecil untuk diman-
faatkan sebagai bahan baku produk kayu bentukan (moulding) dengan lebar papan
terbatas, seperti profil dan papan sambung. Papan manglid dapat dijadikan papan
sambung dengan sistem finger joint dan tongue & groove yang memerlukan sifat
pembentukan yang baik.

Tabel 4. Sifat pemesinan kayu manglid diameter kecil


Sifat pemesinan (%)
Jenis cacat
Penyerutan Pembentukan Pengampelasan Pemboran Pembubutan
Serat berbulu 11 23,33 7,33 11 25
Serat patah 0 - - - 14
Serat terangkat 0 0 - - -
Tanda serpih 7 0 - - -
Bekas garukan - - 6,33 - -
Penghancuran - - - 27 -
Kelicinan - - - 0 -
Penyobekan - - - 0 -
Kekasaran - - - - 0
Total cacat (%) 18 23,33 13,66 38 39
Bebas cacat (%) 82 76,67 86,34 62 61
Kelas mutu I II I II II
Mutu pemesinan Sangat baik Baik Sangat baik Baik Baik

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 201


M. Siarudin & A. Widiyanto

Sifat pemboran yang baik memungkinkan aplikasi pemboran papan manglid,


seperti penyambungan dengan pasak atau dowel. Sementara itu, sifat pembubutan
yang baik memungkinkan pemanfaatan manglid untuk pembuatan kerajinan dengan
aplikasi pembubutan.

Meskipun demikian, Tabel 5 memperlihatkan pula bahwa cacat terbanyak (39


buah) atau bebas cacat terkecil (61%) terdapat pada proses pembubutan. Hal ini
terjadi dengan ditemukannya banyak serat berbulu dan serat tegak yang dimung-
kinkan terjadi akibat proses penggergajian yang tidak sejajar arah serat. Davis (1962)
dalam Asdar (2010) mengemukakan cara mencegah dan mengatasi permasalahan
cacat kayu yang terjadi selama proses pemesinan dengan penggunaan pisau yang
tajam, kadar air di bawah 12%, dan grinding bevel 3040. Cacat serat patah dapat
dicegah dengan menambah jumlah keratan per inci (knife cuts per inch) dan untuk
menghilangkannya diperlukan pengampelasan yang lebih banyak dibandingkan
untuk menghilangkan serat terangkat dan serat berbulu. Untuk menghindari tanda
garukan selama proses pengampelasan, jenis ampelas yang digunakan harus
disesuaikan dengan tekstur kayu. Semakin halus teksturnya, semakin halus pula
ampelas yang harus digunakan. Menurut Szymani (1989) dalam Asdar (2010), serat
patah pada kayu yang seratnya bergelombang atau berpadu dapat diatasi dengan
mengurangi sudut kerat pisau menjadi 15 atau bahkan 10.

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Kayu manglid memiliki kadar air segar rerata 168,77%, kadar air kering udara
14,63%, berat jenis pada volume segar 0,35, berat jenis pada volume kering udara
0,36, dan berat jenis pada volume kering tanur 0,38. Berdasarkan sifat perubahan
dimensinya, kayu manglid memiliki nilai penyusutan pada arah longitudinal 1,51%,
penyusutan arah radial 4,08%, penyusutan arah tangensial 5,84%, serta rasio
penyusutan tangensial dan radial 1,54. Kadar air segar kayu manglid pada arah aksial
memiliki pola sebaran meningkat dari arah pangkal ke tengah batang, kemudian

202 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Sif at F i sik d a n Pem e sin an K ayu Ma ng lid

menurun pada bagian ujung. Sementara itu, pola sebaran kadar air segar pada arah
radial menurun secara konsisten dari arah dekat empulur ke arah kulit.

Berat jenis kayu manglid pada arah aksial memiliki pola sebaran menurun dari
bagian pangkal ke tengah, kemudian meningkat pada bagian ujung batang. Pola
sebaran berat jenis pada arah radial meningkat secara konsisten dari bagian dekat
empulur ke arah kulit batang. Sifat fisik kayu manglid pada arah aksial dan radial
bervariasi untuk kadar air segar dan berat jenis, sedangkan kadar air kering udara dan
perubahan dimensinya relatif seragam. Kayu manglid memiliki mutu pemesinan
yang sangat baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta
memiliki mutu pemesinan baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran,
dan pembubutan.

B. Saran

1. Berdasarkan sifat fisik dan pemesinannya, kayu manglid dapat dimanfaatkan


sebagai produk yang memerlukan tampilan halus dan konstruksi ringan, seperti
mebel dan produk kerajinan.
2. Perlakuan pengeringan diperlukan untuk mempercepat kayu mencapai kadar air
yang diinginkan, dengan memperhatikan cacat pengeringan yang timbul
(melengkung, memuntir, membusur, dan lain-lain).

Daftar Pustaka

Abdurachman, A. J., & Karnasudirdja, S. (1982). Sifat permesinan kayu-kayu


Indonesia Laporan No 160. Bogor: Balai Penelitian Hasil Hutan.

Anonim. (1957). Standard methods of testing small clear specimens of timber. In L.


N. British Standard House (Ed.), British Standar Institution. Decorporated by
Royal Charter. .

Anonim. (2007). Manglid (Manglieta glauca Bl.) Lembar Informasi Teknis Jenis-Jenis
Pohon untuk Hutan Rakyat: Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 203


M. Siarudin & A. Widiyanto

Asdar, M. (2010). Sifat pemesinan kayu surian (Toona sinensis (Adr. Juss.) MJ
Roemer) dan kepayang (Pangium edule Reinw.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan,
28(1), 18-28.

Haygreen, J. G., & Bowyer, J. L. (1996). Forest products and wood science: an
introduction.

Panshin, A. J., & Zeeuw, C. d. (1980). Textbook of wood technology: McGraw-Hill


Book Co.

Rahman, O., & Malik, J. (2008). Penggergajian dan pengerjaan kayu, pilar industri
perkayuan Indonesia: Puslitbang Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan.

Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan


hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.

Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for
practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).

Sosef, M., Hong, L., & Prawirohatmodjo, S. (1998). Plant Resources of South-East
Asia 5): (3) Timber trees: Lesser known timbers (Vol. 5): Backhuys.

204 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergajian Kayu Manglid
(Magnolia champaca)

M. Siarudin1

ABSTRAK

Manglid (Magnolia champaca) merupakan jenis yang banyak dikembangkan di hutan rakyat
Jawa Barat, namun informasi mengenai pengolahan pascapanen jenis ini masih terbatas.
Penelitian ini bertujuan mengukur karakteristik dolok dan hasil penggergajian kayu manglid.
Bahan yang digunakan adalah 34 dolok manglid yang berasal dari hutan rakyat di Desa
Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dengan rentang diameter 19,2540,5 cm.
Karakteristik bentuk dolok yang diamati adalah kebundaran, keruncingan, dan keleng-
kungan. Pola penggergajian yang diterapkan adalah dengan pola satu sisi dan pola semi-
perempatan (17 dolok untuk masing-masing pola penggergajian). Hasil penelitian menun-
jukkan bahwa dolok manglid dengan rerata diameter 29 cm memiliki nilai kebundaran
92,18%, keruncingan 1,06 cm/m, dan kelengkungan 6,72%. Hasil penggergajian kayu
manglid menunjukkan nilai rendemen, efisiensi menggergaji, produktivitas, dan rerata lebar
papan pada pola satu sisi berturut-turut 62,69%, 47,82%, 0,93 m3/jam, dan 17,75 cm;
sedangkan nilai pada pola semiperempatan berturut-turut 63,50%, 41,25%, 0,53 m3/jam, dan
7,94 cm. Hasil uji-t menunjukkan bahwa pola penggergajian satu sisi dan pola penggergajian
semiperempatan menghasilkan rendemen yang relatif seragam, namun berbeda sangat nyata
pada efisiensi menggergaji, produktivitas, dan lebar papan yang dihasilkan. Pola pengger-
gajian satu sisi menghasilkan efisiensi dan produktivitas yang lebih tinggi, serta papan yang
lebih lebar dibandingkan denga pola semiperempatan.

Kata kunci: pola penggergajian, pola satu sisi, pola semiperempatan, dolok, manglid

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis Jawa Barat
Email: msiarudin@yahoo.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 205


M. Siarudin

I. Pendahuluan

Manglid (Magnolia champaca) merupakan salah satu jenis pohon yang saat ini
banyak dikembangkan pada hutan rakyat di Jawa Barat. Jenis ini relatif cepat tum-
buh dan dapat mencapai tinggi maksimum 40 m, serta batang bebas cabang 25 m
dengan garis tengah mencapai 150 cm (Rimpala, 2001). Manglid umumnya berba-
tang lurus dan silindris tanpa banir, serta lingkaran tahunnya tampak jelas. Manglid
tumbuh baik pada ketinggian 900 m dpl hingga 1.700 m dpl dalam hutan campuran
yang lembab, yaitu pada tanah yang subur dan selalu lembab. Berdasarkan beberapa
laporan eksplorasi, tanaman manglid tersebar pada ketinggian 1.0002.200 m dpl.
Saat ini, manglid dikembangkan melalui agroforestry pada progam social forestry dan
dijadikan komoditas unggulan untuk pengembangan hutan rakyat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rimpala, 2001). Menurut
Djam'an (2006), manglid di Jawa Barat sudah banyak dibudidayakan dengan masa
penebangan setiap 35 tahun dan memberikan hasil 12,1 m/ha.

Jenis manglid sangat disukai di Jawa Barat dan Bali karena selain kayunya
mengkilat; strukturnya pun padat, halus, ringan, dan kuat. Kayu gubalnya tipis dan
berwarna putih; kayu teras yang masih segar berwarna cokelat dengan sedikit warna
hijau yang tampak jelas, setelah kering angin warnanya bervariasi antara cokelat
muda dan kuning kecokelatan tanpa kirai (Anonim, 2007). Kekuatan kayunya
digolongkan dalam kelas IIIIV dan keawetannya termasuk kelas II (Seng, 1990).
Adapun keuntungan dari kayu manglid tersebut karena ringan (berat jenis 0,41)
sehingga mudah dikerjakan dan sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan,
perkakas rumah, barang-barang hiasan, patung, dan ukiran (Sosef et al., 1998).
Kegunaan kayu Manglid selama ini sebagai perkakas rumah tangga (meja, kursi,
lemari), bangunan rumah, bangunan jembatan, pelapis kayu, dan plywood. Untuk
tujuan kegunaan tersebut, hampir semua dolok manglid digergaji menjadi kayu
gergajian.

Proses penggergajian pada dasarnya terdapat dua macam/pola, yaitu pola satu
sisi (life sawing) dan pola semiperempatan (semi-quarter sawing). Pola satu sisi ditan-
dai oleh irisan gergaji menyinggung lingkaran tahun setiap kali mengiris kayu,

206 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergajian Kayu Manglid

sedangkan pola perempatan tegak lurus atau hampir tegak lurus. Pada kayu yang
memiliki lingkaran tahun yang tampak jelas, pola perempatan menampilkan
orientasi seratan yang indah (fancy) pada permukaan kayu (Rachman & Balfas,
1989).

Pemanfaatan manglid untuk memenuhi kebutuhan kayu perlu didukung hasil-


hasil penelitian sehingga dapat lebih optimal. Penelitian ini bertujuan mengetahui
karakteristik penggergajian manglid pada pola penggergajian satu sisi dan pola semi-
perempatan.

II. Metodologi

A. Bahan dan Peralatan

Penelitian dilakukan pada industri penggergajian kayu rakyat di Desa Karang-


kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 34 dolok kayu manglid yang diperoleh dari
hutan rakyat di Desa Sodonghilir, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya,
Jawa Barat. Diameter dolok bervariasi dari 19,25 cm hingga 40,5 cm dengan
panjang 2 m.

Peralatan yang digunakan adalah mesin gergaji ban (band saw), alat ukur
waktu (stop watch), meteran, dan lain-lain. Spesifikasi mesin gergaji yang digunakan
adalah merk Dong Fang model MJ-339 H dengan diameter pulley 36. Sementara
itu, spesifikasi bilah gergaji yang digunakan adalah sebagai berikut:

- Lebar bilah : 70 mm
- Tebal bilah : 1,4 mm
- Jarak gigi gergaji : 32 mm
- Tinggi gigi gergaji : 7,5 mm
- Tebal titik baja : 2,6 mm

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 207


M. Siarudin

B. Prosedur Kerja

Dolok manglid dikelompokkan ke dalam dua kelompok dengan mempertim-


bangkan keragaman diameter pada masing-masing kelompok. Kelompok pertama
sejumlah 17 dolok dibelah dengan pola satu sisi, sedangkan kelompok kedua dengan
jumlah yang sama dibelah dengan pola semiperempatan (Gambar 1). Proses
pembelahan, perataan sisi, dan pemotongan ujung hingga diperoleh papan persegi
dengan ketebalan seragam (3 cm) untuk kedua kelompok dolok dilakukan dengan
menggunakan mesin gergaji pita dan operator yang sama. Pengamatan dan
pengukuran dilakukan sebelum, selama, dan sesudah proses pembelahan dolok.

a b
Gambar 1. Pola penggergajian: pola satu sisi (a) dan pola semiperempatan (b)

Pengamatan dan pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Pengukuran dimensi dolok

Dimensi dolok diukur sebelum proses pembelahan dilakukan. Parameter-


parameter yang diukur adalah diameter pangkal dan diameter ujung, panjang dolok,
keruncingan, kebundaran, dan kesilindrisan.

2. Pengukuran Waktu Efektif dan Waktu Total

Waktu efektif diukur pada saat proses pembelahan dan perataan sisi/ujung,
yaitu setiap kali saat bilah gergaji menempel kayu hingga saat bilah lepas dari kayu.
Waktu total diukur pada setiap dolok, yaitu mulai saat dolok berada di atas meja
penggergajian hingga pembelahan dan perataan pingir/ujung selesai dilakukan.

208 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergajian Kayu Manglid

3. Pengukuran Dimensi Papan

Papan gergajian yang dihasilkan diukur lebar, panjang, tebal (seragam 3 cm),
kemudian ditentukan volumenya.

4. Pengamatan Distribusi Lebar Papan

Pengamatan distribusi lebar papan dilakukan dengan mengelompokkan lebar


papan ke dalam beberapa kelas lebar, yaitu 35 cm, 610 cm, 1115 cm, 1620 cm,
2125 cm, 2630 cm, 3135 cm, dan >35 cm. Masing-masing kelas lebar papan
tersebut dihitung jumlah papannya.

C. Pengolahan Data

Data hasil pengukuran diolah mejadi beberapa variabel dengan rumus sebagai
berikut:

1. Volume Dolok
V dolok = 1 / 4..D 2 P
Keterangan: V dolok=volume dolok (m3); D=diameter dolok; =3,14; P=panjang dolok (m)

2. Angka Bentuk Dolok

Rumus kebundaran:

d1 d3
K1 = 100 atau K 2 = 100 (dipilih nilai terkecil)
d2 d4
Keterangan: K1=kebundaran bontos pangkal (%); K2=kebundaran bontos ujung (%); d1=diameter
bontos pangkal terpendek (cm); d2=diameter bontos pangkal tegak lurus d1 (cm); d3=diameter bontos
ujung terpendek (cm); d4 =diameter bontos ujung tegak lurus d3 (cm)

Rumus keruncingan (taper):


dp du
T=
P
Keterangan: T=keruncingan (cm/m); dp=diameter bontos pangkal (cm)=(d1+d2)/2; du=diameter
bontos ujung (cm)=(d3+d4)/2; P=panjang dolok (m)

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 209


M. Siarudin

Rumus kelengkungan:
y
L= 100
D

Keterangan: L=kelengkungan (%); y=jarak penyimpangan lengkung log (cm); D=rata-rata diameter
dolok (cm)=(d1+d2+d3+d4)/4

3. Rendemen
V papan
R= 100
V dolok
Keterangan: R=rendemen (%); V papan=volume papan (m3); V dolok=volume dolok (m3)

4. Efisiensi Menggergaji
We
E= 100
Wtotal
Keterangan: E=efisiensi menggergaji (%); We =waktu efektif (jam); Wtotal=waktu total (jam)

5. Produktivitas
V papan
P=
W total
Keterangan: P=produktivitas (m3/jam); V papan=volume papan (m3); W total=waktu total (jam)

6. Distribusi Lebar Papan

Jumlah papan pada setiap kelas lebar papan dihitung persentasenya, kemudian
dibandingkan dengan total papan yang dihasilkan masing-masing pola pengger-
gajian. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif.

Data-data yang telah diolah dianalisis dengan uji-t dua sampel independen
(Independent-Samples t-Test) untuk mengetahui perbedaan antara kedua pola
penggergajian. Sampel dolok yang digunakan untuk kedua pola pernggergajian
diasumsikan memiliki keragaman yang seimbang atau homogen sehingga dilakukan
uji Levene terlebih dahulu untuk keseimbangan keragaman (Levenes Test for Equality
of Variances). Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan software SPSS 13.

210 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergajian Kayu Manglid

III. Hasil dan Pembahasan

A. Dimensi, Angka Bentuk, dan Rendemen

Dimensi dan angka bentuk dolok merupakan salah satu faktor yang menentu-
kan rendemen penggergajian. Tabel 1 menunjukkan rerata diameter dolok manglid
sebesar 29,26 cm dengan volume rerata 0,14 m3/dolok, kelengkungan 6,72%,
keruncingan 1,06 cm/m, dan kebundaran 92,18%.

Nilai kelengkungan dolok manglid memiliki kisaran yang cukup tinggi, yaitu
1,3423,93% (rerata 6,72%). Namun demikian, nilai kelengkungan dolok manglid
umumnya relatif rendah <10% dan hanya ada dua dolok dengan nilai kelengkungan
>20% karena kondisi spesifik pada individu pohon sampel yang diambil.

Tabel 1. Dimensi dolok dan angka bentuk dolok kayu manglid penggergajian pola satu sisi

Penggergajian pola satu sisi


No. Parameter Satuan
Rerata Kisaran
1. Diameter batang cm 29,26 19,2540,50
2. Volume dolok m3 0,14 0,060,27
3. Kebundaran % 92,18 62,07100,00
4. Keruncingan cm/m 1,06 0,003,25
5. Kelengkungan % 6,72 1,3423,93

Nilai keruncingan dolok manglid berkisar 03,25 cm/m. Dolok dengan nilai
keruncingan rendah (bahkan berbentuk silindris atau keruncingan 0 cm/m) pada
umumnya didapat pada batang bagian bawah atau sekitar pangkal, sedangkan bagian
ujung relatif lebih runcing. Nilai kebundaran rerata 92,18% menunjukkan bahwa
dolok manglid cukup bundar mendekati 100%. Meskipun terdapat satu batang
dengan kebundaran <70%, hampir seluruh dolok yang ada memiliki kebundaran
>80%, bahkan beberapa di antaranya mencapai 100%.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 211


M. Siarudin

B. Rendemen

Tabel 2 menunjukkan bahwa rendemen pada pola penggergajian satu sisi


menghasilkan rendemen berkisar antara 49,6073,11 % dengan rerata 62,69%.
Rendemen pada pola penggergajian semiperempatan berkisar antara 51,7171,33%
dengan rerata 63,50% dan berbeda nyata secara statistik. Hal ini serupa dengan hasil
penelitian Rahman & Balfas (1989) yang menyimpulkan bahwa rendemen peng-
gergajian pada rasamala (Altingia excelsa Noronha) relatif tinggi, yaitu sekitar 62%.

Tabel 2. Rendemen dua pola penggergajian

Rendemen (%)
Pola penggergajian
Minimum Maksimum Rerata
Penggergajian satu sisi 49,60 73,11 62,69
Penggergajian semiperempatan 51,71 71,33 63,46

Perhitungan volume dolok total sejumlah 2,46 m3 pada pola satu sisi mengha-
silkan volume papan sebanyak 1,57 m3, sedangkan pola semiperempatan menghasil-
kan volume papan sebanyak 1,46 m3 dari total dolok 2,29 m3. Volume papan rerata
per dolok pada kedua pola penggergajian tersebut sama, yaitu 0,09 m3/dolok.

C. Efisiensi Menggergaji

Tabel 3 menunjukkan bahwa efisiensi menggergaji pada pola satu sisi lebih
besar daripada pola semiperempatan dan berbeda sangat nyata secara statistik. Pada
pola penggergajian satu sisi, waktu total rerata proses pembelahan adalah 6,15
menit/dolok dengan waktu efektif gergaji membelah sebesar 47,82% atau 2,88
menit. Sementara itu, pada pola semiperempatan, dari total waktu rata-rata 9,67
menit per dolok hanya 4,02 menit waktu efektifnya atau 41,25%. Rendahnya
efisiensi pada pola semiperempatan disebabkan pola ini membutuhkan penempatan
dolok yang relatif lebih rumit dibandingkan dengan pola satu sisi pada saat proses
pembelahan.

212 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergajian Kayu Manglid

Tabel 3. Efisiensi menggergaji pada dua pola penggergajian

Nilai rerata per dolok


Pola penggergajian
We (menit) Wtotal (menit) E (%)
Penggergajian satu sisi 2,88 6,15 47,82
Penggergajian semiperempatan 4,02 9,67 41,25
Keterangan: We=waktu efektif; W total=waktu total; E=efisiensi menggergaji

Waktu efektif dan waktu total pada pola semiperempatan tampak lebih tinggi
dibandingkan dengan pola satu sisi. Hal ini menunjukkan bahwa selain penempatan
log untuk pembelahan pada pola semiperempatan lebih rumit, pola ini juga
membutuhkan lebih banyak lintasan pembelahan (Gambar 1). Hal ini dapat
dijelaskan bahwa meskipun rendemen kedua pola tersebut relatif seragam, pola
semiperempatan membutuhkan waktu yang lebih besar sehingga efesiensinya lebih
rendah dari pola satu sisi. Sebagaiman dikemukakan Rahman & Malik (2008), pola
semiperempatan memerlukan waktu lebih banyak selama produksi untuk mendapat-
kan irisan dengan posisi radial yang lebih tepat, namun papan yang dihasilkan lebih
stabil dan penampilan yang lebih cantik.

D. Produktivitas

Tabel 4 menunjukkan bahwa produktivitas pola satu sisi lebih tinggi diban-
dingkan dengan pola semiperempatan dan berbeda sangat nyata secara statistik.
Produktivitas pola semiperempatan hanya 0,53 m3/jam, sedangkan pola satu sisi
mencapai 0,92 m3/jam atau 0,39 m3/jam lebih tinggi daripada pola semiperempatan.
Produktivitas penggergajian manglid yang cukup tinggi pada pola satu sisi serupa
dengan hasil penelitian Rachman & Balfas (1993) dalam Sutigno et al. (2000) pada
jenis mangium (Acacia mangium Willd) yang menunjukkan bahwa rerata produk-
tivitas penggergajian pada jenis tersebut dapat mencapai 0,906 m3/jam.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 213


M. Siarudin

Tabel 4. Produktivitas pada dua pola penggergajian

Produktivitas (m3/jam)
Pola penggergajian
Minimum Maksimum Rerata
Penggergajian satu sisi 0,62 1,23 0,92
Penggergajian semi perempatan 0,46 0,68 0,53

E. Distribusi Lebar Papan

Hasil pengukuran lebar papan menunjukkan bahwa pola penggergajian satu


sisi menghasilkan papan dengan kisaran lebar 633,5 cm atau rerata 17,75 cm. Pola
penggergajian semiperempatan menghasilkan papan dengan kisaran lebar 322 cm
atau rerata 7,94 cm. Dengan demikian, hasil ini dapat diketahui bahwa pola
penggergajian satu sisi menghasilkan papan yang lebih lebar daripada pola semi-
perempatan dan berbeda sangat nyata secara statistik.

60

52
50
persentase (%)

40

30 29
27
24
20
17 15 15 15
10
4
0 1
0 0 0 0 0
3-5 6-10 11-15 16-20 21-25 26-30 31-35 >35
lebar papan (cm)

pola satu sisi pola semi perempatan

Gambar 2. Distribusi lebar papan pada dua pola penggergajian

Pada Gambar 2 dapat diamati bahwa sebaran lebar papan pada pola pengge-
rgajian satu sisi tertinggi pada lebar 1620 cm (27%) dan tidak terdapat lebar papan
<6 cm. Pada pola ini, terdapat papan pada kelas lebar 2125 dan 2630 cm sebanyak
masing-masing 15% dari total papan. Sementara itu, sebaran lebar papan pola
semiperempatan tertinggi pada lebar 610 cm dengan jumlah mencapai 160 papan
atau 52% dan tidak terdapat papan dengan lebar >20 cm. Jumlah lebar papan dengan

214 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergajian Kayu Manglid

lebar 35 cm pada pola ini bahkan cukup tinggi, yaitu mencapai 89 papan atau 29%,
sedangkan pada pola satu sisi tidak didapat lebar papan pada kelas ini. Dengan kata
lain, pola satu sisi memiliki kecenderungan menghasilkan papan yang lebih lebar
dibandingkan dengan pola semiperempatan. Hal ini seperti hasil penelitian
(Rahman, 1991) pada jenis sengon (Paraserianthes falcataria) bahwa pola satu sisi
menghasilkan papan lebih lebar, yaitu 61% papan dengan lebar 1517,5 cm, sedang-
kan pola semiperempatan menghasilkan 42% papan dengan lebar 1012,5 cm.

Papan yang dihasilkan dari pola satu sisi berjumlah 149 papan, sedangkan
pola semiperempatan menghasilkan 310 papan atau 108% lebih banyak dari jumlah
papan pada pola satu sisi. Perbedaan jumlah yang cukup menyolok tersebut mem-
perlihatkan kecenderungan lebar yang berbeda sangat nyata, mengingat rendemen
kedua pola penggergajian tersebut relatif seragam secara statistik.

IV. Kesimpulan

Dolok manglid dengan diameter rerata 29 cm memiliki nilai kebundaran


92,18%, keruncingan 1,06 cm/m, dan kelengkungan 6,72%. Nilai rendemen, efisien-
si menggergaji, produktivitas, dan rerata lebar papan pada pola penggergajian satu
sisi berturut-turut 62,69%, 47,82%, 0,93 m3/jam, 1,18 liter/m3, dan 17,75 cm;
sedangkan pada pola penggergajian semiperempatan berturut-turut 63,50%, 41,25%,
0,53 m3/jam. 1,72 liter/m3, dan 7,94 cm. Pola penggergajian satu sisi dan pola
penggergajian semiperempatan menghasilkan rendemen yang relatif seragam,
namun berbeda sangat nyata pada efisiensi menggergaji, produktivitas, dan lebar
papan yang dihasilkan. Pola penggergajian satu sisi menghasilkan efisiensi dan
produktivitas yang lebih tinggi, serta papan yang lebih lebar dibandingkan dengan
pola semiperempatan.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 215


M. Siarudin

Daftar Pustaka

Anonim. (2007). Manglid (Manglieta glauca Bl.) Lembar Informasi Teknis Jenis-Jenis
Pohon untuk Hutan Rakyat: Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.

Djam'an D.F. (2006). Mengenal manglid baros (Manglietia glauca Bl.). Manfaat dan
permasalahannya. from http://www.dephut.go.id/INFORMASI/MKI/06VI/
06VIMengenal%20manglid.htm:

Rachman, O., & Balfas, J. (1989). Pengaruh peracunan triklopir dan pola
penggergajian terhadap sifat penggergajian kayu rasamala (Altingia excelsa
Noronha). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, 6(5), 292-298.

Rahman, O. (1991). Pengaruh pengerasan mata gergaji dan pola penggergajian


terhadap karakteristik penggergajian kayu sengon (Paraseianthes falcataria).
Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 9(4), 163-169.

Rahman, O., & Malik, J. (2008). Penggergajian dan pengerjaan kayu, pilar industri
perkayuan Indonesia: Puslitbang Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan.

Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan


hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.

Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for
practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).

Sosef, M., Hong, L., & Prawirohatmodjo, S. (1998). Plant Resources of South-East
Asia 5): (3) Timber trees: Lesser known timbers (Vol. 5): Backhuys.

Sutigno, P., Haryanto, Y., & Rahayu, T. (2000). Sari hasil penelitian mangium dan
tusam Puslitbang Hasil Hutan. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan, Badan Litbang
Kehutanan.

216 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Pengawetan Kayu Manglid

Endah Suhaendah 1 & M. Siarudin1

ABSTRAK

Kayu manglid (Magnolia champaca) dikenal masyarakat Jawa Barat sebagai bahan baku kayu
untuk bangunan. Salah satu kendala yang sering dijumpai dalam pemanfaatan jenis ini adalah
rentan terhadap serangan jamur dan rayap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi dan lama perendaman dingin terhadap penetrasi bahan pengawet
tembaga-khrom-boron (cuprum-chrome-boron/CCB) pada kayu manglid. Kegiatan penelitian
dilaksanakan pada bulan NovemberDesember 2008. Sampel kayu berasal dari pohon di
hutan rakyat Desa Sodonghilir, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasimalaya, Jawa Barat.
Percobaan disusun secara faktorial dengan tiga perlakuan lama perendaman (1 hari, 3 hari,
dan 7 hari) dan tiga perlakuan konsentrasi bahan pengawet (konsentrasi 10%, 15%, dan 20%)
dengan masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan konsentrasi larutan bahan pengawet dan lama perendaman berpengaruh nyata
terhadap penetrasi bahan pengawet pada kayu manglid dengan kecenderungan peningkatan
penetrasi seiring dengan meningkatnya konsentrasi larutan pengawet dan lama perendaman.
Berdasarkan persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kebutuhan pembangunan
perumahan dan gedung, pengawetan kayu manglid dengan bahan pengawet CCB yang disa-
rankan adalah dengan konsentrasi 15% dan lama perendaman tujuh hari atau konsentrasi
20% dengan lama perendaman tiga hari.

Kata kunci: pengawet CCB, manglid, pengawetan, rendaman dingin, SNI

I. Pendahuluan

Manglid merupakan salah satu bahan baku kayu untuk bangunan yang dikem-
bangkan di hutan rakyat. Jenis ini dikembangkan di Jawa Barat melalui pola
agroforestry pada progam social forestry dan dijadikan komoditas unggulan dalam
pengembangan hutan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis, Jawa Barat
Email: endah_ah@yahoo.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 217


E. Suhaendah & M. Siarudin

sekitar hutan (Rimpala, 2001). Kayu manglid di Jawa Barat dan Bali sangat disukai
karena sifat kayunya mengkilat dengan strukturnya yang padat, halus, ringan, dan
kuat. Keuntungan dari kayu manglid adalah ringan dengan berat jenis (BJ) 0,41
sehingga mudah dikerjakan dan sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan,
perkakas rumah, barang-barang hiasan, patung, dan ukiran dan peruntukan ini
banyak ditemukan di daerah Bali (Djam'an, 2006). Selain itu, kayu manglid terma-
suk ke dalam kelas kuat IIIIV dan kelas awet II (Seng, 1990). Namun demikian,
kendala yang sering dijumpai dalam pemanfaatan jenis ini adalah rentan terhadap
serangan jamur dan rayap, serta kayu yang mudah retak dan kurang stabil.

Upaya pencegahan kerusakan kayu sangat penting dalam rangka peningkatan


mutu dan masa pakai (service life). Salah satu langkah strategis yang dapat diterapkan
adalah memperpanjang umur pakai atau mempertahankan umur komponen kayu
melalui penerapan teknologi pengawetan kayu yang sesuai dengan standar teknis
yang berlaku. Pengawetan kayu sudah sejak lama mendapat perhatian dari peme-
rintah. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai peraturan, namun kesadaran masya-
rakat untuk memakai kayu awetan masih rendah (Batubara, 2006). Teknik
pengawetan yang ada saat ini dianggap masih kurang efektif dan hanya bisa
membuat kayu awet selama lima tahun. Padahal, pengawetan kayu dapat menghasil-
kan penghematan, paling tidak sebesar 50% dari total konsumsi kayu saat ini.
Apabila kayu bisa lebih awet hingga 15 tahun, jumlah kayu yang digunakan dapat
dihemat hampir 7 juta m3/tahun yang nilainya setara dengan hutan seluas 140.000
ha (Antaranews, 2016). Berdasarkan hal tersebut, teknik pengawetan yang efektif,
efisien, dan sesuai dengan ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berlaku
sangat diperlukan.

Pengawetan merupakan proses memasukkan bahan kimia beracun atau bahan


pengawet ke dalam kayu untuk meningkatkan kelas awet suatu jenis kayu (Batubara,
2006). Jenis kayu yang diawetkan adalah kayu dengan keawetan alami rendah, yaitu
kayu kelas III, IV, dan V, serta kayu gubal dari kelas awet I dan II (Seng, 1990).
Manglid merupakan jenis kayu dengan kelas awet II, namun bagian gubal dari kayu
manglid tetap diperlukan pengawetan.

218 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Pe ng aw e ta n K ayu M an gli d

Metode pengawetan kayu bermacam-macam, mulai dari yang sederhana


hingga pengawetan vakum-tekan. Namun, metode vakum-tekan masih dianggap
mahal dan kurang praktis untuk mengawetkan kayu bagi keperluan perumahan
rakyat. Metode rendaman dingin merupakan salah satu proses pengawetan seder-
hana untuk mengawetkan kayu kering dan setengah kering yang umum digunakan
sebagai bahan konstruksi rumah dan gedung (SNI, 1999). Pada metode ini, kayu
direndam dalam bak pengawetan dan dibiarkan terendam hingga nilai retensi yang
dikehendaki tercapai (Barly, 2009).

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh konsentarsi larutan dan lama


perendaman dingin terhadap penetrasi bahan pengawet tembaga-khrom-boron
(cuprum-chrome-boron/CCB) pada kayu manglid. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengawetan kayu manglid untuk
perumahan dan gedung yang memenuhi standar pengawetan berdasarkan kriteria
SNI.

II. Metodologi

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu manglid (Magnolia
champaca), bahan pengawet kayu impralit CCB, pereaksi uji tembaga dengan khrom
Azurol S. Peralatan yang digunakan antara lain bak perendam, gelas ukur untuk
menetapkan konsentrasi larutan bahan pengawet, dan gergaji untuk pengambilan
contoh kayu yang diawetkan.

Sampel kayu manglid diambil dari hutan rakyat di Desa Sodonghilir, Keca-
matan Sodonghilir, Kabupaten Tasimalaya, Jawa Barat. Pemotongan contoh uji dan
perlakuan pengawetan dilaksanakan di Bengkel Kerja dan Laboratorium Balai
Penelitian Teknologi Agroforestry.

Metode pengawetan yang dilakukan adalah metode perendaman dingin


menggunakan CCB dengan perlakuan lama perendaman dan konsentrasi larutan.
Lama perendaman meliputi tiga perlakuan, yaitu 1 hari, 3 hari, dan 7 hari; sedang-
kan konsentrasi bahan pengawet meliputi tiga perlakuan yaitu, konsentrasi 10%,

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 219


E. Suhaendah & M. Siarudin

15%, dan 20%. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 27
kombinasi perlakuan (sembilan perlakuan dan tiga ulangan).

Ukuran contoh uji adalah 15 cm x 2,5 cm x 30 cm. Penembusan bahan


pengawet diukur dengan memotong melintang contoh uji pada bagian tengahnya
dan dibiarkan selama dua minggu dalam suhu kamar. Kedalaman penetrasi bahan
pengawet impralit CCB dapat diamati dengan menyemprotkan atau melaburkan
pereaksi uji tembaga dengan khrom Azurol S (terdiri dari 0,5 gram konsentrat chrom
azurol, 5 gram natrium acetat, dan 80 ml air) pada penampang melintang contoh uji
hasil pemotongan. Adanya unsur tembaga ditunjukkan oleh warna biru, sedangkan
bagian yang tidak mengandung tembaga berwarna jingga. Uji penetrasi boron terdiri
dari a) 2 gram ekstrak kurkuma dalam 100 ml alkohol dan b) 20 ml asam klorida
pekat, 80 ml alkohol dan dijenuhkan dengan asam salisilat (13 gram per 100 ml).

Data dianalisis dengan uji beda nyata untuk melihat pengaruh konsentrasi dan
lama perendaman terhadap penetrasi bahan pengawet dengan menggunakan klasifi-
kasi tersarang (Steel & Torrie, 1960). Variabel-variabel perlakuan yang berpengaruh
nyata dilakukan uji lanjut dengan prosedur Tukey.

III. Hasil dan Pembahasan

Nilai penetrasi rerata pada perlakuan konsentrasi bahan pengawet CCB dan
lama perendaman, serta sidik ragamnya disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Uji
lanjut terhadap nilai penetrasi yang signifikan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan penetrasi


bahan pengawet dengan peningkatan konsentrasi larutan ataupun lama perendaman.
Penetrasi bahan pengawet pada perendaman tujuh hari mencapai rerata 5,89 mm,
sedangkan rendaman satu hari dan tiga hari berturut-turut hanya 3,03 mm dan 4,61
mm. Sementara itu, perlakuan konsentrasi bahan pengawet CCB 20% menghasilkan
rerata penetrasi tertinggi sebesar 5,69 mm, sedangkan perlakuan konsentaasi 15%
dan 10% menghasilkan rerata penetrasi yang sama, yaitu sebesar 3,92 mm. Selanjut-
nya, hasil analisis keragaman pada Tabel 2 diketahui bahwa perlakuan kon-sentrasi

220 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Pe ng aw e ta n K ayu M an gli d

bahan pengawet dan lama perendaman berpengaruh sangat nyata (taraf kepercayaan
99%) terhadap penetrasi bahan pengawet CCB pada kayu manglid.

Tabel 1. Nilai rata-rata penetrasi bahan pengawet CCB pada kayu manglid

Konsentrasi Penetrasi bahan pengawet (mm) sesuai lama perendaman


Rerata
larutan CCB 1 hari 3 hari 7 hari
10% 2,92 4,42 4,42 3,92
15% 2,50 4,17 5,08 3,92
20% 3,67 5,25 8,17 5,69
Rerata 3,03 4,61 5,89

Tabel 2. Sidik ragam pengaruh konsentrasi bahan pengawet dan lama perendaman terha-
dap penetrasi bahan pengawet pada kayu manglid

Derajat Jumlah Kuadrat F


Sumber keragaman Nilai-p
bebas kuadrat tengah hitung
Konsentrasi 2 18,963 9,481 10,089 0,001**
Lama perendaman 2 36,977 18,488 19,672 0,000**
Konsentrasi dan 4 9,079 2,270 2,415 0,087tn
lama perendaman
Galat percobaan 18 16,917 0,940
Keterangan: **=berpengaruh sangat nyata; tn=tidak berpengaruh nyata

Tabel 3. Uji lanjut Tukey perlakuan pengawetan CCB pada manglid

Subset
Perlakuan
1 2 3
Konsentrasi 10% 3,92
Konsentrasi 15% 3,92
Konsentrasi 2 % 5,69
Rendam 1 hari 3,03
Rendam 3 hari 4,61
Rendam 7 hari 5,89

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 221


E. Suhaendah & M. Siarudin

Hasil uji lanjut pada Tabel 3 menunjukkan bahwa konsentrasi bahan penga-
wet 10% dan 15% menghasilkan penetrasi yang tidak berbeda nyata, sedangkan
konsentrasi 20% berbeda nyata dibandingkan dengan kedua kosentrasi lainnya. Hal
ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan penetrasi di bawah 5 mm cukup
menggunakan konsentrasi bahan pengawet 10%, sedangkan untuk mencapai pening-
katan penetrasi lebih tinggi diperlukan peningkatan konsentrasi menjadi 20%. Hasil
ini diharapkan akan berdampak pada kekuatan kayu manglid dalam menangkal
serangan jamur karena keberadaan senyawa CCB. Senyawa tembaga dalam bahan
pengawet berguna untuk mencegah serangan jamur mikro perusak selulosa yang
disebabkan oleh jamur pelunak. Senyawa boron dimaksudkan untuk mencegah
serangan serangga dan jamur yang toleran terhadap tembaga, sedangkan senyawa
khrom dimaksudkan untuk mengikat tembaga dan boron di dalam kayu (fiksasi)
(Abdurrahim, 2000)

Perlakuan lama perendaman masing-masing saling menghasilkan penetrasi


bahan pengawet yang berbeda nyata dengan kecenderungan peningkatan penetrasi
dengan meningkatnya lama perendaman. Adanya kecenderungan meningkatnya
penetrasi dengan peningkatan lama perendaman sesuai dengan pernyataan
Abdurrahim (2006) bahwa lama perendaman berkaitan dengan kesempatan kayu
berhubungan dengan larutan bahan pengawet. Sebelum saluran dalam kayu berupa
noktah tertutup seluruhnya oleh bahan pengawet yang berfiksasi akibat bahan
pengawet kontak dengan lignin, larutan bahan pengawet dapat masuk terus ke
dalam kayu karena sifat higroskopisitas kayu.

Persyaratan penetrasi bahan pengawet menurut SNI untuk perumahan dan


gedung adalah minimal 5 mm, baik penggunaan di bawah atap maupun di luar atap
(SNI, 1999). Berdasarkan kriteria tersebut, pengawetan kayu manglid menggunakan
larutan CCB yang disarankan adalah dengan konsentrasi 15% dengan lama
perendaman 7 hari, atau konsentrasi 20% dengan lama perendaman 3 hari.

222 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Pe ng aw e ta n K ayu M an gli d

IV. Kesimpulan

Manglid termasuk ke dalam jenis kayu dengan kelas awet II. Namun demi-
kian, bagian gubal dari kayu ini tetap harus diawetkan agar masa pakainya menjadi
lebih lama. Salah satu cara pengawetan yang efektif dan efisien untuk kayu manglid
adalah metode rendaman dingin dengan bahan pengawet tembaga-khrom-boron
(CCB). Konsentrasi CCB 20% dengan lama rendaman tiga hari atau konsentrasi
CCB 15% dengan lama rendaman tujuh hari menunjukkan nilai penestrasi yang
sesuai dengan persyaratan SNI.

Daftar Pustaka

Abdurrahim, S. (2000). Manfaat pengawetan kayu perumahan dan gedung. Paper


presented at the Diskusi Peningkatan Kualitas Kayu, Bogor.

Abdurrahim, S. (2006). Bagan pengawetan tiga jenis kayu dengan bahan pengawet
CCB secara rendaman panas dingin dan sel penuh. Paper presented at the
Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, Bogor.

Antaranews. (2016). Teknologi pengawetan kayu mampu hemat konsumsi kayu 7


juta m3 tiap tahun. Retrieved 12 April 2016, http://www.antaranews.com/
berita/73022/teknologi-pengawetan-kayu-mampu-hemat-konsumsi-kayu-7-
juta-m3-tiap-tahun

Barly. (2009). Standarisasi pengawetan kayu dan bambu serta produknya. Paper
presented at the PPI Standarisasi, Jakarta.

Batubara, R. (2006). Teknologi pengawetan kayu perumahan dan gedung dalam


upaya pelestarian hutan. In F. P. Dep. Kehutanan, Universitas Sumatera
Utara (Ed.). Medan: Dep. Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara.

Djam'an D.F. (2006). Mengenal manglid baros (Manglietia glauca Bl.). Manfaat dan
permasalahannya. from http://www.dephut.go.id/INFORMASI/MKI/06VI/
06VIMengenal%20manglid.htm:

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 223


E. Suhaendah & M. Siarudin

Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan


hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.

Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for
practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).

SNI. (1999). Pengawetan kayu untuk perumahan dan gedung (Vol. Standar
Nasional Indonesia (SNI) 03-5010.1-1999). Jakarta: Badan Standarisasi
Nasional (BSN).

Steel, R. G., & Torrie, J. H. (1960). Principles and procedures of statistics.


Principles and procedures of statistics.

224 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


BAB VII

SOSIAL EKONOMI DAN


PEMASARAN MANGLID
Kontribusi Pendapatan dari Kayu Manglid pada Usaha Hutan
Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya

Dian Diniyati1

ABSTRAK

Tanaman kayu dominan yang dikembangkan oleh petani di hutan rakyat adalah manglid dan
sengon. Sayangnya, kayu manglid tidak sepopuler sengon. Padahal, kayu manglid dapat
memberikan kontribusi pendapatan bagi masyarakat petani. Tujuan penelitian ini memper-
oleh informasi tentang kontribusi pendapatan dari kayu manglid sehingga dapat menjadi
bahan kebijakan dalam pengembangan kayu manglid. Penelitian dilaksanakan pada bulan
MaretJuli 2011 pada tiga desa di Kabupaten Tasikmalaya dengan responden sebanyak 49
orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara terstruktur.
Data ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Pola tanaman hutan rakyat yang dilakukan
petani yaitu agroforestry. Terdapat enam pola tanam di Desa Sepatnunggal, lima pola tanam
di Desa Karyabakti, dan empat pola tanam di Desa Tanjungkerta. Kontribusi pendapatan
kayu manglid terhadap total pendapatan usaha hutan rakyat paling besar di Desa Tanjung-
kerta (56,71%), sedangkan kontribusi di Desa Sepatnunggal (32,69%) dan Karyabakti
(21,52%) menempati urutan ke dua setelah budi daya sengon. Petani berpendapat bahwa satu
kali tanam manglid setara dengan dua kali tanam sengon. Peran pemerintah diperlukan un-
tuk meningkatkan diversifikasi jenis kayu rakyat, salah satunya meningkatkan pamor kayu
manglid, yaitu dengan cara memberikan insentif, seperti pemberian bibit kualitas prima dan
penyediaan sarana pasar dan informasi yang menyeluruh tentang tanaman manglid.

Kata kunci: hutan rakyat, agroforestry, manglid, sengon, kontribusi pendapatan

I. Pendahuluan

Kayu manglid merupakan salah satu kayu yang tergolong pada kelompok
pertumbuhan cepat (fast growing species), yaitu jenis ini bisa dipanen pada umur <10

1
Balai Penelitian Teknologi Angoroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4, Ciamis, Jawa Barat 46201
Email: dian_diniyati@yahoo.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 227


D. Diniyati

tahun dengan kualitas kayu termasuk pada kelas awet II dan kelas kuat IIIIV.
Penggunaan kayu manglid antara lain sebagai bahan bangunan, kayu lapis, mebel,
lantai, papan dinding, rangka pintu dan jendela, alat olah raga dan musik, patung
ukiran dan kerajinan tangan, finir mewah, alat gambar, pensil, dan moulding
(Khaiwani, 2012). Walaupun manfaat dari kayu manglid ini cukup bervariasi dan
banyak, keberadaan kayu manglid di hutan rakyat masih kalah populer dengan kayu
sengon sebagaimana pernyataan Diniyati et al. (2011) bahwa petani lebih senang
menanam kayu sengon dibandingkan dengan kayu manglid. Hal ini dikarenakan
penerimaan pendapatan dari kayu sengon lebih cepat dibandingkan dengan kayu
manglid, yaitu satu kali menanam manglid setara dengan dua kali memanen sengon.

Namun demikian, banyak petani yang membudidayakan tanaman kayu


manglid, salah satunya adalah petani di Kabupaten Tasikmalaya. Menurut Mulyana
& Diniyati (2013), Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu sentra kayu mang-
lid di Jawa Barat yang tersebar pada 12 wilayah kecamatan (30,77%). Wilayah-
wilayah yang menjadi sentra kayu manglid tersebut berada pada kondisi fisik yang
hampir sama, yaitu topografinya berbukit atau berupa pegunungan dengan kemi-
ringan 2060%, temperatur sekitar 1825 0C, dan ketinggian rerata >350 m dpl.

Kayu manglid kurang populer di kalangan petani karena faktor penerimaan


dari kayu manglid kurang cepat. Padahal, kayu ini memiliki manfaat yang banyak.
Oleh karena itu, tulisan ini mencoba memberikan informasi tentang kontribusi
pendapatan dari kayu manglid sehingga dapat digunakan sebagai bahan kebijakan
dalam pengembangan kayu manglid.

II. Metodologi

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Tasikmalaya pada tiga desa dan keca-


matan terpilih yang mewakili wilayah pembangunan Tasikmalaya. Ketiga lokasi
penelitian tersebut adalah Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung (termasuk
wilayah pengembangan Tasikmalaya bagian utara); Desa Sepatnunggal, Kecamatan

228 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K on tribu si Pe nd ap a tan d ari K ayu Ma ng lid

Sodonghilir (termasuk wilayah pengembangan Tasikmalaya bagian Tengah); dan


Desa Karyabakti, Kecamatan Parungponteng (wilayah pengembangan Tasikmalaya
bagian selatan). Penelitian dilaksanakan pada bulan MaretJuli 2011.

B. Pengambilan Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah petani yang memiliki hutan rakyat yang ditanami
dengan tanaman manglid secara tumpang sari atau agroforestry. Pemilihan responden
dilakukan secara sengaja (purposive sampling), yaitu petani hutan rakyat yang
menanam kayu manglid dengan luasan 0,25 ha. Jumlah responden berturut-turut
sebanyak 20 orang (Desa Tanjungkerta), 9 orang (Desa Sepatnunggal), dan 20 orang
(Desa Karyabakti) sehingga total responden sebanyak 49 orang.

C. Analisis Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data pokok (primer) yang
langsung diperoleh dari responden, yaitu pendapatan yang diterima petani dari
hutan rakyat setiap tahunnya. Data diperoleh dengan cara pengamatan dan wawan-
cara menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Pendapatan
yang dimaksud adalah hasil penjualan produk hutan rakyat setiap tahun yang
diterima oleh petani.

Pendapatan hutan merupakan gabungan dari pendapatan berbagai hasil


produk tanaman, seperti tanaman kayu, kebun, pangan, dan obat-obatan. Perhi-
tungan ini sebagaimana yang digunakan oleh Diniyati & Achmad (2016), yaitu:

Yang mana: P hr = pendapatan total dari hutan rakyat (Rp/tahun)


P ky = pendapatan dari kayu
P tp = pendapatan tanaman perkebunan
P bb = pendapatan dari buah-buahan
P to = pendapatan tanaman obat-obatan

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 229


D. Diniyati

Pendapatan dari kayu merupakan penjumlahan dari berbagai jenis tanaman


kayu yang di tanam oleh petani, seperti rumus berikut ini:

Yang mana: P ky = pendapatan dari kayu


P ky1, 2, 3 n = pendapatan dari berbagai jenis kayu

Kontribusi pendapatan kayu manglid terhadap pendapatan total hutan rakyat


dihitung dengan rumus:

Yang mana: K ky = kontribusi pendapatan kayu manglid (%)


P ky m = pendapatan kayu manglid (Rp/tahun)
P hr = pendapatan total hutan rakyat (Rp/tahun)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Hutan Rakyat di Lokasi Penelitian

Perkembangan hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya didorong oleh kondisi


topografi yang memiliki karakter berbeda, yaitu mulai dari datar hingga berombak
sebanyak 50%, berombak hingga bergelombang sebanyak 40%, dan bergelombang
hingga berbukit sebanyak 10%. Ketinggian rerata lokasi adalah 700 m dpl. Tem-
peratur di wilayah ini berkisar antara 18oC pada malam hari dan 27oC pada siang
hari dengan kelembaban udara 6080% (Enda, 2011; Hadiatulloh, 2010). Kondisi
yang demikian tersebut memungkinkan jenis tanaman yang cocok dikembangkan
adalah tanaman tahunan dan salah satunya adalah tanaman kayu. Tanaman kayu
yang banyak dikembangkan oleh petani adalah jenis mahoni, jati, sengon, afrika,
pinus, rimba campuran, dan bambu. Hal ini didukung pula dengan potensi pereko-

230 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K on tribu si Pe nd ap a tan d ari K ayu Ma ng lid

nomian penduduk Kabupaten Tasikmalaya yang mana penduduknya paling banyak


bekerja pada sektor pertanian dan kehutanan (BPS, 2010a).

Kondisi topografi lahan di lokasi penelitian sangat cocok untuk pengem-


bangan hutan rakyat. Lahan bagi pengembangan hutan rakyat tersedia cukup luas,
yaitu 311 ha di Desa Karyabakti, 103 ha di Desa Tanjungkerta, dan 1.914 ha di
Desa Sepatnunggal (BPS, 2010b, 2010c).

Hutan rakyat yang dikembangkan oleh petani di lokasi penelitian dilakukan


dengan pola agroforestry. Berdasarkan hasil pengamatan, berbagai bentuk pola
agroforestry ditemukan di lapangan, sebagaimana terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Bentuk pola tanaman hutan rakyat

No. Pola tanam Tanjungkerta Sepatnunggal Karyabakti


1. Tanaman kayu + tanaman buah
2. Tanaman kayu + tanaman buah +
tanaman perkebunan
3. Tanaman kayu + tanaman buah +
tanaman perkebunan + tanaman obat
4. Tanaman kayu + tanaman perkebunan
+ tanaman buah + tanaman obat +
tanaman pangan
5. Tanaman kayu + tanaman buah +
tanaman obat
6. Tanaman kayu + tanaman buah +
tanaman pangan
Sumber: hasil pengolahan data primer 2015

Pola tanam hutan rakyat yang paling banyak macamnya dilakukan oleh petani
di Desa Sepatnunggal (enam pola tanam) dan yang paling sedikit dilakukan oleh
petani di Desa Tanjungkerta (tiga pola tanam). Banyaknya pola tanam yang dilaku-
kan oleh petani di Desa Sepatnunggal ini karena lahan yang diperuntukkan bagi
usaha hutan rakyat sangat luas, yaitu 1.914 ha.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 231


D. Diniyati

B. Kontribusi Pendapatan Kayu Manglid terhadap Total Pendapatan Petani

Hutan rakyat yang ada di lokasi penelitian tidak hanya ditanami dengan
tanaman kehutanan, melainkan juga tanaman buah, perkebunan, pangan, dan obat-
obatan. Setiap jenis tanaman tersebut memberikan kontribusi pendapatan yang
berlainan, seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai rerata pendapatan dari usaha hutan rakyat bagi petani responden

Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti


Kelompok
No. Pendapatan Pendapatan Pendapatan
tanaman (%) (%) (%)
(Rp) (Rp) (Rp)
1. Tanaman kayu 4.161.354 77,05 7.886.667 61,58 1.386.125 36,06
2. Tanaman buah 272.000 5,04 231.222 18,20 561.900 14,62
3. Tanaman 188.250 3,49 3.046.889 15,67 704.500 18,33
perkebunan
4. Tanaman obat 183.500 3,40 1.548.000 2,91 1.151.650 29,96
5. Tanaman pangan 595.625 11,03 624.444 1,65 39.500 1,03
Total 5.400.729 100,00 13.337.222 100,00 3.843.675 100,00

Sumber: hasil pengeolahan data primer 2011

Berdasarkan data dan informasi yang ada pada Tabel 2 diketahui bahwa
pendapatan dari hasil penjualan kayu memberikan kontribusi yang paling besar,
yaitu 77,05% (Desa Tanjungkerta), 61,58% (Desa Sepatnunggal), dan 36,06% (Desa
Karyabakti). Besarnya kontribusi dari tanaman kayu ini menunjukkan bahwa
tanaman kayu sudah menjadi pendapatan rutin bagi rumah tangga petani. Hal ini
dikarenakan jumlah tanaman kayu yang ada di lokasi penelitian sangat bervariasi
(Diniyati & Fauziyah, 2012) sehingga memudahkan petani untuk melakukan
penebangan setiap tahun. Tanaman kayu di lokasi penelitian dijadikan sebagai
penerimaan rutin dan tidak hanya dijadikan sebagai tanaman tabungan.

Besarnya kontribusi pendapatan dari tanaman kayu merupakan penjumlahan


dari berbagai jenis tanaman kayu yang telah ditebang pada waktu yang bersamaan.
Kontribusi pendapatan dari berbagai tanaman kayu untuk setiap lokasi seperti
diperlihatkan pada Tabel 3.

232 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K on tribu si Pe nd ap a tan d ari K ayu Ma ng lid

Tabel 3. Kontribusi pendapatan tanaman kayu (%)

Kontribusi pendapatan setiap tanaman kayu (%)


No. Jenis tanaman
Desa Sepatnunggal Desa Tanjungkerta Desa Karyabakti
1. Sengon 61,47 24,75 57,86
2. Mahoni 4,86 17,64 20,03
3. Manglid 32,69 56,71 21,52
4. Tisuk 0,35 0 0
5. Bambu 0,63 0 0,05
6. Suren 0,00 0,90 0,54
Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber: hasil pengolahan data primer 2011

Kontribusi tanaman kayu di setiap lokasi penelitian berasal dari berbagai jenis
kayu. Jenis tanaman kayu yang telah memberikan pendapatan kepada petani hampir
sama untuk semua lokasi penelitian, tetapi yang membedakan adalah jumlahnya.
Pendapatan dari kayu di Desa Sepatnunggal berasal dari lima jenis kayu (sengon,
mahoni, manglid, tisuk, dan bambu), di Desa Tanjungkerta berasal dari empat jenis
kayu (sengon, mahoni, manglid, dan suren), dan di Desa Karyabakti berasal dari lima
jenis kayu (sengon, mahoni, manglid, bambu, dan suren).

Kayu manglid di seluruh lokasi penelitian telah memberikan kontribusi penda-


patan, tetapi besaran kontribusinya beragam. Kontribusi pendapatan kayu manglid
yang paling besar di Desa Tanjungkerta, yaitu sebesar 56,71% dan paling kecil kon-
tribusinya terjadi di Desa Karyabakti, yaitu sebesar 21,52%. Besar atau kecilnya
kontribusi ini disebabkan jumlah kayu manglid yang ditanam berlainan dan waktu
penebangan yang dilakukan petani tidak sama. Rerata jumlah tanaman manglid un-
tuk luasan 0,25 ha di Desa Sepatnunggal sebanyak 38 pohon, Desa Tanjungkerta
sebanyak 35 pohon, dan Desa Karyabakti sebanyak 27 pohon. Semakin banyak
jumlah pohon manglid yang ditanam oleh petani, semakin tinggi pendapatan yang
diperoleh. Demikian pula sebaliknya. Jumlah pohon manglid di Desa Karyabakti
paling sedikit dibandingkan dengan dua desa lainnya sehingga hal ini berdampak
terhadap kontribusi pendapatan yang juga paling rendah dibandingkan dengan desa
lainnya.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 233


D. Diniyati

Tinggi atau rendahnya kontribusi pendapatan dari kayu manglid ini dipenga-
ruhi pula oleh umur panen. Semakin tua kayu manglid maka nilainya akan semakin
mahal. Sayangnya, para petani sangat jarang sekali memanen kayu manglid pada
umur tebang. Petani biasanya sudah memanen kayu manglid pada saat masih muda
karena mereka memerlukan modal nafkah. Menurut Saraswati & Dharmawan
(2015), modal nafkah adalah aset yang digunakan oleh rumah tangga untuk melaku-
kan aktivitas nafkahnya. Salah satu modal nafkah adalah modal alam yang dimiliki
oleh petani yang mana salah satunya adalah jumlah kepemilikan kayu.

Kontribusi kayu manglid di Desa Sepatnunggal dan Desa Karyabakti menem-


pati urutan ke dua yang mana kontribusi tertingginya berasal dari kayu sengon.
Besarnya kontribusi kayu sengon disebabkan jumlah tanaman kayu sengon lebih
banyak dibandingkan dengan tanaman kayu manglid.

Jenis tanaman kayu sengon dan manglid di lokasi penelitian mengalami


persaingan dalam pengembangannya. Terdapat kecenderungan bahwa petani lebih
memilih menanam sengon dibandingkan dengan menanam manglid. Hal ini ditun-
jukkan oleh sikap petani terhadap pengembangan kayu manglid, yaitu petani umum-
nya tidak menanam lagi kayu manglid setelah panen, melainkan jenis ini diganti
dengan tanaman kayu sengon. Kondisi ini terjadi salah satunya disebabkan karena
faktor ekonomi, yaitu masa panen sengon lebih cepat dibandingkan dengan masa
panen manglid sehingga penerimaan pendapatan sengon lebih cepat. Selain itu,
harga sengon hampir sama dengan harga kayu manglid.

Alasan petani menanam manglid dan sengon karena budi daya kedua jenis
tanaman kayu ini mudah dilakukan dan kayunya dapat digunakan sebagai material
bahan bangunan. Namun, terdapat ada kecederungan bahwa tanaman kayu manglid
lebih diutamakan sebagai tabungan, sedangkan tanaman kayu sengon cenderung
untuk kebutuhan harian sehingga petani lebih menyukai mengembangkan tanaman
sengon karena dapat dengan cepat memperoleh hasilnya. Alasan petani menanam
kayu manglid dan sengon disajikan dalam Tabel 4, sedangkan besaran kontribusi
kayu manglid terhadap total pendapatan petani disajikan pada Tabel 5.

234 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K on tribu si Pe nd ap a tan d ari K ayu Ma ng lid

Tabel 4. Alasan petani menanam kayu manglid dan sengon

Alasan petani menanam jenis tanaman Pemilih sengon Pemilih manglid


No.
kayu Jumlah (orang) % Jumlah (orang) %
1. Cepat menghasilkan uang 32 53,33 2 3,33
2. Harga jual kayu mahal 0 0,00 9 15,00
3. Tabungan 0 0,00 6 10,00
4. Budidaya 13 21,67 14 23,33
5. Ikutan orang lain 2 3,33 10 16,67
6. Manfaat tanaman (material bangunan) 7 11,67 10 16,67
7. Konservasi 3 5,00 5 8,33
8. Tidak berpendapat 1 1,67 0 0,00
9. Banyak penyakit 2 3,33 0 0,00
10. Tidak berpenyakit 0 0,00 4 6,67
Total 60 100,00 60 100,00

Sumber: hasil pengeolahan data primer 2011

Tabel 5. Kontribusi kayu manglid terhadap total pendapatan petani

Sumber Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti


No.
pendapatan Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) %
1. Jasa 7.865.250 30,67 14.110.000 37,35 5.738.800 38,72
2. Sawah 4.955.876 19,32 5.634.600 14,92 1.550.150 10,46
3. Hutan Rakyat 5.400.729 21,06 13.337.222 35,31 3.843.675 25,93
Kayu sengon 1.029.896 4,02 4.847.778 12,83 801.958 5,41

Kayu Mahoni 733.958 2,86 383.333 1,01 277.667 1,87


Kayu manglid 2.360.000 9,20 2.577.778 6,82 298.250 2,01
Kayu Suren 37.500 0,15 0 0 7.500 0,05
Kayu tisuk 0 0 27.778 0,07 0 0
Bambu 0 0 5.000 0,13 750 0,01
Nonkayu 1.239.375 4,83 5.450.556 14,43 2.457.550 16,58
4. Kolam ikan 236.550 0,92 132.700 0,35 45.000 0,30
5. Ternak 287.083 1,12 327.000 0,87 389.500 2,63
6. Keluarga 6.902.850 26,91 4.231.600 11,20 3.253.750 21,95
Total 25.648.338 100,00 37.773.122 100,00 14.820.875 100,00

Sumber: hasil pengeolahan data primer 2011

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 235


D. Diniyati

Kontribusi kayu manglid terhadap total pendapatan keluarga petani untuk


masing-masing lokasi penelitian sebesar 9,20% (DesaTanjungkerta), 6,82% (Desa
Sepatnunggal), dan 2,01% (Desa Karyabakti). Apabila dilihat dari kontribusi terha-
dap total pendapatan keluarga petani, ternyata kontribusinya masih kecil. Kecilnya
kontribusi kayu manglid disebabkan kontribusi hasil hutan rakyat secara keseluruhan
terhadap total pendapatan keluarga juga masih kecil, yaitu masing-masing sebesar
21,06% (Desa Tanjungkerta), 35,31% (Desa Sepatnunggal), dan 25,93% (Desa
Karyabakti). Hasil ini realtif sama dengan hasil penelitian dari Irawanti et al. (2012)
yang menyatakan bahwa kontribusi pendapatan hasil kayu paling tinggi di wilayah
Pati (Jawa Tengah) sebesar 67% terjadi di Desa Payak (Kecamatan Cluwak), 29% di
Desa Giling (Kecamatan Gunungwungkal0, dan 13% di Desa Gunungsari (Keca-
matan Tlogowungu).

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Kayu manglid merupakan jenis tanaman dominan kedua setelah sengon yang
ada di hutan rakyat. Kontribusi kedua jenis kayu tersebut terhadap total pendapatan
hutan rakyat paling besar dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Pada tempat
tertentu, kontribusi pendapatan dari kayu sengon lebih tinggi dibandingkan dengan
pendapatan dari kayu manglid. Kontribusi kayu manglid terhadap total pendapatan
hutan rakyat sebesar 56,71% (Desa Tanjungkerta), 21,52% (Desa Karyabakti), dan
32,69% (Desa Sepatnunggal); sedangkan kontribusi untuk total pendapatan keluarga
petani masih kecil, yaitu sebesar 9,20% (DesaTanjungkerta), 6,82% (Desa Sepat-
nunggal), dan 2,01% (Desa Karyabakti).

B. Saran

Berdasarkan hasil kajian nilai pendapatan persatuan waktu, ternyata posisi


kayu manglid masih berada jauh dari tanaman sengon. Untuk meningkatkan diver-
sifikasi jenis kayu rakyat, peran dari pemerintah harus ada agar dapat meningkatkan

236 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K on tribu si Pe nd ap a tan d ari K ayu Ma ng lid

pamor kayu manglid ini, antara lain dengan cara memberikan insentif bagi petani,
seperti pengadaan bibit kualitas prima, penyediaan sarana pasar, dan penyebaran
informasi yang menyeluruh tentang tanaman manglid.

Daftar Pustaka

BPS. (2010a). Kabupaten Tasikmalaya dalam angka: BPS Kabupaten Tasikmalaya.

BPS. (2010b) Profil Desa Karyabakti. Daftar isian potensi desa dan tingkat
perkembangan desa Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi
Jawa Barat.

BPS. (2010c) Profil Desa Tanjungkerta. Daftar isian potensi desa dan tingkat
perkembangan desa Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi
Jawa Barat.

Diniyati, D., & Achmad, B. (2016). Kontribusi Pendapatan Hasil Hutan Bukan
Kayu pada Usaha Hutan Rakyat Pola Agroforestri di Kabupaten Tasikmalaya.
Jurnal Ilmu Kehutanan, 9(1), 23-31.

Diniyati, D., Widyaningsih, T., Fauziyah, E., Mulyati, E., & Suyarno. (2011). Pola
agroforestry di hutan rakyat penghasil kayu pertukangan (manglid). Laporan
Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis: Balai
Penelitian Teknologi Agroforestry.

Enda. (2011). Rencana kerja penyuluh kehutanan dan perkebunan Kecamatan


Pagerageung tahun 2011: Pemda Kabupaten Tasikmalaya.

Hadiatulloh, Y. (2010). Programa penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan:


Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan
Sodonghilir.

Irawanti, S., Suka, A. P., & Ekawati, S. (2012). Peranan kayu dan hasil bukan kayu
dari hutan rakyat pada pemilikan lahan sempit: Kasus Kabupaten Pati. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 9(3).

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 237


D. Diniyati

Mulyana, S., & Diniyati, D. (2013). Potensi wilayah sebaran kayu manglid
(Manglietia glauca Bl.) pada hutan rakyat pola agroforestry di Kabupaten
Tasikmalaya dan Ciamis. Paper presented at the Seminar Nasional
Agroforestry, Malang.

Saraswati, Y., & Dharmawan, A. H. (2015). Resiliensi nafkah rumahtangga petani


hutan rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri. Sodality:: Jurnal Sosiologi
Pedesaan, 2(1).

238 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid pada
Pemilikan Lahan Sempit di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat

Dian Diniyati1 & Tri Sulistyati Widyaningsih1

ABSTRAK

Analisis finansial pembangunan hutan rakyat manglid dengan berbagai pola tanam perlu
dilakukan untuk mengetahui kelayakan investasi usaha sebagai bentuk agribisnis yang handal
sehingga menjadi bisnis dan investasi yang menguntungkan, berkesinambungan, dan dapat
menjadi penggerak ekonomi daerah. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran
informasi kelayakan finansial usaha hutan rakyat kayu jenis manglid yang memberikan
dampak positif dan meningkatkan kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan masyarakat.
Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan MaretJuli 2011 di Kabupaten Tasikmalaya, yaitu
di Desa Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung), Desa Sepatnunggal (Kecamatan Sodong-
hilir), dan Desa Karyabakti (Kecamatan Parungponteng). Data dikumpulkan melalui
wawancara terhadap 49 orang responden dengan pemilikan lahan luas hutan rakyat sekitar
0,010,25 ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata luas lahan untuk usaha hutan
rakyat di Desa Tanjungkerta dan Karyabakti <0,25 ha, sedangkan kepemilikan lahan di Desa
Sepatnunggal sekitar 0,250,5 ha. Keuntungan pengusahaan hutan rakyat di Desa
Tanjungkerta sebesar Rp770.717 dengan nilai perbandingan pendapatan terhadap biaya
sebesar 1,31; Desa Sepatnunggal sebesar Rp4.275.748 dengan nilai perbandingan
pendapatan terhadap biaya sebesar 1,65; dan di desa Karyabakti sebesar Rp2.556.662 dengan
nilai perbandingan pendapatan terhadap biaya sebesar 2,88.

Kata kunci: hutan rakyat, analisis finansial, agroforestry, pendapatan

I. Pendahuluan

Kepemilikan lahan petani dimanfaatkan untuk beragam fungsi. Hal ini seba-
gaimana dinyatakan oleh Diniyati (2009) dan Fauziyah (2009) bahwa kepemilikan

1
Balai Penelitian Teknologi Angoroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4, Ciamis, Jawa Barat 46201
Email: dian_diniyati@yahoo.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 239


D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

lahan oleh petani memiliki beberapa karakteristik, yaitu luasannya sangat beragam;
perolehannya dari warisan, membeli, atau garapan; letaknya tidak dalam satu ham-
paran; dan pemanfaatannya bermacam-macam, antara lain untuk perumahan, sawah,
hutan rakyat, kebun, dan kolam. Biasanya, lahan petani yang berfungsi sebagai
hutan rakyat merupakan lahan yang tidak bisa difungsikan untuk kegiatan usaha lain
dan luasannya sempit atau terbagi menjadi beberapa bagian yang lebih sempit.

Walaupun sempit, petani umumnya mengusahakan hutan rakyat dengan pola


agroforestry, yaitu pencampuran antara tanaman hutan dengan tanaman jenis lainnya.
Hal ini dilakukan agar pemanfaatan lahan lebih optimal, baik secara ekonomi
maupun ekologi. Dengan pola tanam agroforestry, petani dapat memperoleh hasil
secara harian, mingguan, bulanan, musiman, dan tahunan (Achmad et al., 2011).

Kabupaten Tasikmalaya memiliki topografi berkisar antara 25800 m dpl


(BPS, 2011). Luas wilayah Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2009 adalah 271.525
ha dan penggunaan lahannya dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu 1) lahan
pertanian (lahan sawah dan lahan bukan sawah), dan 2) lahan bukan pertanian
(hutan negara, rumah/bangunan, dan lainnya). Berdasarkan data dari BPS (2011),
penggunaan lahan untuk kegiatan nonsawah lebih luas dibandingkan untuk sawah.
Hal ini berarti bahwa wilayah Tasikmalaya lebih berkembang usaha lahan kering
(lahan bukan sawah) dan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan hutan rakyat
ternyata paling luas dibandingkan dengan lahan sawah dan lahan negara. Tanaman
kayu yang ada di hutan rakyat berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perke-
bunan Kabupaten Tasikmalaya adalah sengon, mahoni, maesopsis, manglid, gmelina,
dan jati. Namun, tanaman kayu dominan yang banyak ditemukan pada hutan rakyat
milik petani di Kabupaten Tasikmalaya adalah jenis manglid (Magnolia champaca).

Kayu manglid sangat disukai karena sifat kayunya mengkilat dengan struk-
turnya yang padat, halus, ringan, dan kuat. Kekuatan kayunya digolongkan ke dalam
kelas III dan keawetannya masuk ke dalam kelas II sehingga jenis kayu tersebut
sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan, perkakas rumah, dan barang
kerajinan. Keuntungan dari kayu manglid yang ringan dengan berat jenis (BJ) 0,41
adalah mudah dikerjakan. Pengeringan kayu membutuhkan waktu empat bulan

240 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid

dengan cara kering angin, dan dengan ketebalan papan 40 mm mencapai 320580
kg/m dan kadar air 15% (Djam'an, 2006).

Walaupun pengembangan tanaman kehutanan ini sangat mendukung kondisi


topografi wilayah Kabupaten Tasikmalaya, ternyata dalam pelaksanaannya masih
banyak kendala. Petani menanam bibit tanaman kehutanan belum sesuai dengan
yang dianjurkan pemerintah, antara lain pelaksanaan pengendalian hama dan
penyakit belum dilakukan dengan baik, pemberian pupuk yang tidak sesuai dengan
kebutuhan, perluasan dan peremajaan tanaman kehutanan belum dilakukan, dan
tingkat pendidikan penduduk yang tergabung dalam kelompok tani yang masih
rendah. Hal ini dapat berimbas terhadap kondisi penyerapan inovasi dan kurangnya
wawasan petani dalam berorganisasi di bidang kehutanan (Enda, 2011).

Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini bertujuan memberikan gambaran


informasi kelayakan finansial hutan rakyat kayu pertukangan jenis manglid sehingga
memberikan dampak positif dan meningkatkan kontribusi hutan rakyat terhadap
pendapatan masyarakat. Informasi ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan
bagi penggiat usaha hutan rakyat manglid.

II. Metodologi

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sebanyak tiga


desa dalam tiga kecamatan dipilih sebagai lokasi penelitian yang mewakili wilayah
pembangunan Tasikmalaya, yaitu Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung
(termasuk wilayah pengembangan Tasikmalaya bagian utara); Desa Sepatnunggal,
Kecamatan Sodonghilir (termasuk wilayah pengembangan Tasikmalaya bagian
Tengah), dan Desa Karyabakti, Kecamatan Parungponteng (wilayah pengembangan
Tasikmalaya bagian selatan). Di ketiga wilayah ini banyak terdapat lahan hutan
rakyat yang diusahakan dengan berbagai pola tanam, seperti monokultur, polikultur,
dan agroforestry, serta terdapat kelompok tani yang berhubungan dengan hutan rak-
yat. Penelitian dilaksanakan pada bulan MaretJuli 2011.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 241


D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

B. Teknik Pengambilan Sampel Penelitian

Unit analisis yang dijadikan responden pada penelitian adalah petani hutan
rakyat anggota kelompok tani. Responden diperlukan untuk mengetahui kondisi
petani pemilik dan kondisi hutan rakyat di lokasi penelitian. Pemilihan responden
dilakukan secara sengaja berdasarkan luas kepemilikan lahan hutan rakyat dan faktor
pola usaha tani yang dilakukannya. Petani yang dijadikan responden adalah petani
yang memiliki hutan rakyat dengan luas <0,25 ha. Total responden sebanyak 49
orang. Pengambilan data fisik tanaman dilakukan dengan cara sensus potensi
tegakan hutan rakyat, yang mana dilakukan inventarisasi tegakan dan tanaman
bawah. Inventarisasi tegakan tersebut dilakukan dengan mengukur tinggi dan
diameter pohon, serta menghitung jumlah dan jenis tanaman bawah.

C. Jenis, Pengumpulan, dan Analisis Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei. Data primer yang dikumpulkan
dari responden adalah data ekonomi usaha hutan rakyat manglid, meliputi biaya dan
manfaat pengusahaan hutan tanaman selama daur yang ditetapkan, curahan tenaga
kerja, penggunaan barang modal, dan data-data ekonomi lainnya yang terkait.
Sementara itu, data sekunder yang dikumpulkan meliputi data dari desa, perusahaan,
dan instansi pemerintah. Data sekunder dikumpulkan untuk menjadi pedoman awal
dalam penelitian sekaligus melengkapi informasi agar diperoleh data dan informasi
yang cukup untuk mendukung penelitian.

Data yang telah diperoleh, selanjutnya dianalisis dan dibahas untuk menda-
patkan informasi tentang nilai finansial dari hutan rakyat manglid berdasarkan data
biaya dan manfaat yang telah didapat sesuai dengan daur pengusahaan dengan
menggunakan kriteria investasi, yaitu nilai-nilai Net Present Value (NPV), Benefit/
Cost Ratio (B/CR), dan Internal Rate of Return (IRR). Daur manglid yang digunakan
adalah 15 tahun. Suku bunga investasi yang diacu sebesar 14,95% menurut Bank
Umum berdasarkan rerata suku bunga pada tahun 20022009. Harga yang dipakai

242 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid

adalah harga yang diterima oleh petani (harga pasar). Pendapatan adalah seluruh
hasil yang diterima oleh petani dari usaha hutan rakyat manglid yang dimilikinya.

Adapun rumus-rumus yang dipakai dalam analisis finansial tersebut adalah


sebagai berikut (Clive et al., 2007):

t =n
Bt C t
NPV =
t =1 (1 + i ) t (1)
Keterangan: Bt merupakan manfaat kotor pada tahun ke-t; Ct merupakan biaya kotor pada
tahun ke-t; n merupakan umur ekonomis usaha; dan i merupakan discount rate yang berlaku.

PVBenefit
BCR =
PVCost (2)

NPV1
IRR = (i2 i1 ) ( ) + i1
NPV1 NPV2 (3)

III. Hasil dan Pembahasan

A. Profil Pola Usaha Tani Hutan Rakyat

Hutan rakyat yang dimiliki petani di Desa Tanjungkerta (Kecamatan


Pagerageung), Desa Sepatnunggal (Kecamatan Sodonghilir), dan Desa Karyabakti
(Kecamatan Parungponteng) memiliki profil seperti diperlihatkan pada Tabel 1.
Hasil pengukuran dan pengamatan di lapangan diketahui jenis-jenis tanaman
dominan penyusun hutan rakyat di ketiga lokasi penelitian, yaitu:

1. Tanaman kehutanan: afrika, gmelina, mahoni, manglid, sengon, tisuk


2. Tanaman perkebunan: aren, cengkeh, kelapa, kopi, melinjo, teh
3. Tanaman buah: durian, jambu biji, jengkol, kweni, mangga, manggis, nangka,
petai, pisang, rambutan, sirsak
4. Tanaman pangan: singkong, talas
5. Tanaman obat: kapulaga

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 243


D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

Tabel 1. Profil hutan rakyat di lokasi penelitian

Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti


No. Uraian
Strata III Strata III Strata III
1. Jumlah petani (orang) 20 9 20
2. Luas lahan rerata (ha) 0,11 0,17 0,08
3. Jenis tanaman
4. Tanaman kehutanan Afrika (9), mahoni Afrika (2), gmelina Afrika (4), mahoni
(jenis dan jumlah pohon) (38), manglid (32), (5), mahoni (28), (13), manglid (27),
dan sengon (22) manglid (118), sengon (26), dan
sengon (29), dan tisuk (7)
tisuk (12)
5. Tanaman perkebunan Cengkeh (3), melinjo Cengkeh (3) Aren (1)
(jenis dan jumlah pohon) (1), kelapa (1),)
6. Tanaman buah (jenis durian (1), jengkol Durian (1), jengkol Durian (1), jengkol
dan jumlah pohon) (1), nangka (2), petai (2), mangga (7), (2), mangga (1),
(2), Mangga (1), petai (5) manggis (2), nangka
rambutan (2), (2), petai (2), pisang
alpukat (1), pisang (2), rambutan (1),
(4), dan kweni (1) dan sirsak (1)
7. Tanaman pangan (jenis) Talas, singkong - -
8. Tanaman obat (jenis) - Kapulaga Kapulaga

Sumber: hasil analisis data primer 2011

Perhitungan analisis finansial dilakukan terhadap tanaman yang dominan


ditanam oleh masyarakat. Transek horizontal pola tanam tanaman pangan dan obat-
obatan tertera pada Gambar 1, sedangkan transek horizontal pola tanam untuk
tanaman kehutanan atau tanaman kayu tertera pada Gambar 2.

Tanaman buah yang diperhitungkan dalam analisis finansial adalah petai dan
jengkol yang terdapat di semua lokasi penelitian, sedangkan durian dan mangga
diabaikan karena seringkali bibitnya berasal dari pemberian pemerintah dan hasilnya
untuk konsumsi keluarga atau tidak dijual. Tanaman perkebunan juga diabaikan
dalam perhitungan analisis finansial karena jarang ditanam oleh semua responden.

244 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid

Bulan
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3

talas, singkong

kapulaga

Gambar 1. Transek horizontal pola tanaman pangan dan obat pada hutan rakyat di Desa
Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan Karyabakti

TAHUN TAHUN TAHUN


0 5 10 15
Sengon Sengon Sengon

Tisuk Tisuk

Manglid

Gmelina

Afrika

Mahoni

Gambar 2. Transek horisontal pola tanaman kehutanan/kayu-kayuan pada hutan rakyat di


Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan Karyabakti

B. Analisis Biaya Hutan Rakyat

Biaya usaha hutan rakyat yaitu seluruh biaya input yang dikeluarkan untuk
pengelolaan lahan usaha hutan rakyat sejak awal pengelolaan hingga panen. Biaya
tersebut meliputi biaya tetap, seperti pajak atau sewa lahan dan biaya peralatan usaha
tani (Andayani, 2009). Selain itu, terdapat biaya tidak tetap, yaitu biaya yang
dikeluarkan untuk melakukan proses produksi secara langsung, seperti biaya tenaga
kerja dan biaya sarana produksi pengusahaan komoditas tanaman pada periode
tertentu. Uraian di bawah ini akan menyajikan biaya yang dikeluarkan selama jangka
analisis 15 tahun, baik biaya tetap maupun biaya tidak tetap.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 245


D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

1. Biaya Pajak Lahan Usaha

Besarnya biaya pajak lahan merupakan biaya tetap yang harus dibayarkan
petani setiap tahunnya yang berbeda menurut luas pemilikan lahan dengan rentang
Rp2.00015.000/tahun untuk lahan di Desa Tanjungkerta, Rp3.00010.000/tahun
untuk lahan di Desa Sepatnunggal, dan Rp5.00015.000/tahun untuk lahan di Desa
Karyabakti. Biaya pajak lahan yang dikeluarkan oleh responden per tahun tertera
pada Tabel 2.

Tabel 2. Biaya pajak lahan pada hutan rakyat di lokasi penelitian

Uraian Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti


Total pajak (Rp/tahun) 127.500,00 60.000,00 136.000,00
Rata-rata (Rp/tahun) 6.375,00 6.666,67 6.800,00
Sumber: Hasil analisis data primer 2011

2. Biaya Peralatan Usaha Tani

Biaya peralatan termasuk biaya tetap pengusahaan hutan rakyat. Dalam


melakukan usaha tani, petani menggunakan berbagai peralatan usaha tani, antara
lain cangkul, garpu tanah, linggis, parang, golok, kored, balincong, congkrang/parang
panjang, sprayer, gergaji, kapak, sabit, embrat, sepatu, dan topi yang diperoleh
dengan cara membeli. Biaya peralatan usaha tani hutan rakyat yang dikeluarkan oleh
responden setiap tahun di setiap lokasi tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Biaya peralatan usaha tani pada hutan rakyat di lokasi penelitian

Uraian Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti


Total biaya (Rp tahun) 1.381.481,77 985.600,63 1.544.646,35
Rata-rata (Rp/tahun) 69.074,04 109.511,18 77.232,32
Sumber: hasil analisis data primer 2012

246 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid

Seluruh responden tidak mengalokasikan anggaran untuk biaya pemeliharaan


peralatan usaha tani setiap tahunnya. Apabila peralatan tersebut rusak, petani akan
membeli peralatan yang baru, memperbaikinya, atau meminjam ke tetangga.

3. Biaya Pengusahaan Tanaman

Biaya pengusahaan tanaman, meliputi biaya tenaga kerja sejak pembersihan


lahan, pembuatan lubang tanam, pemupukan sebelum penanaman, pembuatan ajir
dan pemasangan ajir, penanaman, pemupukan pertama dan kedua setelah pena-
naman, pembersihan rumput pertama dan kedua, pemberantasan hama penyakit
tumbuhan pertama dan kedua, penyulaman, penjarangan, pemangkasan, hingga
pemanenan. Selain itu, terdapat pula biaya sarana produksi yang meliputi biaya
pengadaan bibit tanaman, bahan ajir, pupuk, dan obat pemberantas hama/penyakit
tanaman. Biaya-biaya tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Biaya tenaga kerja; untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat, petani biasa
menggunakan tenaga kerja sendiri dan keluarga. Apabila lahan yang dimiliki
sangat luas, petani biasanya memburuhkan. Biaya yang dikeluarkan untuk mem-
bayar buruh tani di Desa Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung) sebesar
Rp25.000/orang/hari (tenaga kerja pria) dan Rp20.000/orang/hari (tenaga kerja
wanita), sedangkan upah tenaga buruh di Desa Sepatnunggal (Kecamatan
Sodonghilir) dan Desa Karyabakti (Kecamatan Parungponteng) sebesar
Rp20.000/orang/hari (tenaga kerja pria) dan Rp15.000/orang/hari (tenaga kerja
wanita). Jam kerja satu hari, yaitu mulai pukul 07.0013.00 WIB dan disebut
dengan istilah sabedug.

b. Biaya bibit tanaman; petani biasa memperoleh bibit tanaman dengan cara
membeli dari pedagang bibit keliling, memperoleh bantuan dari pemerintah,
menyemai sendiri, ataupun meminta ke keluarga atau tetangga. Daftar harga
bibit tanaman di lokasi penelitian tertera pada Tabel 4.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 247


D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

Tabel 4. Daftar harga bibit dan daur rata-rata pengusahaan tanaman hutan rakyat

Harga (Rp/batang)
No. Jenis tanaman Daur rerata (tahun)
dan asal bibit
1. Sengon 500 5
2. Mahoni 600 15
3. Manglid 1.000 10
4. Gmelina 1.000 12
5. Tisuk 600 7
6. Afrika 500 15
7. Jengkol Pemberian Panen setiap tahun, mulai
menghasilkan di tahun ke-11
8. Petai Pemberian Panen setiap tahun, mulai
menghasilkan di tahun ke-11
9. Talas Pemberian 1 tahun
10. Singkong Pemberian 1 tahun
11. Kapulaga 1.000 Panen 40 hari sekali mulai umur 1,5
tahun hingga 2 tahun
Sumber: hasil analisis data primer 2011

c. Biaya ajir; pembuatan ajir dilakukan dengan bahan dari bambu. Mayoritas res-
ponden menyatakan tidak menggunakan ajir ketika melakukan penanaman.
Tanaman yang menggunakan ajir pada umumnya adalah tanaman kehutanan
dan perkebunan, seperti afrika, gmelina, mahoni, manglid, sengon, dan tisuk
dengan biaya satu hari tenaga kerja pria untuk pembuatan ajir. Bambu biasanya
diperoleh dengan menebang di kebun sendiri atau membeli seharga Rp5.000/
batang.

d. Biaya pupuk; petani biasanya menggunakan pupuk kandang, urea, NPK, KCL,
dan poska. Pemupukan secara umum dilakukan tiga kali, yaitu sekali sebelum
penanaman dan dua kali setelah penanaman. Pemupukan secara intensif dilaku-
kan petani untuk tanaman kapulaga, sedangkan tanaman kehutanan dan buah
hanya dipupuk di awal pengusahaan (hingga umur 23 tahun). Pemupukan
selanjutnya didapat dari pupuk tanaman kapulaga.

248 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid

e. Biaya obat hama dan penyakit tanaman; mayoritas petani menyatakan tidak
melakukan penyemprotan hama dan penyakit tanaman. Penyemprotan dilaku-
kan jika memang ada hama atau penyakit saja, yaitu menggunakan decis atau
round up.

Rekapitulasi biaya pengusahaan tanaman yang dikeluarkan oleh petani


disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Biaya tidak tetap pengusahaan hutan rakyat (Rp)

Nilai pendapatan (Rp)


Tahun
Kegiatan Desa Desa Desa
ke
Tanjungkerta Sepatnunggal Karyabakti
1. Biaya tetap
a. Pajak/sewa lahan 1-15 127.500,00 60.000,00 136.000,00
b. Alat 1.381.480,77 985.600,63 1.544.646,35
c. Pemeliharaan alat 0,00 0,00 0,00
2. Biaya tidak tetap/ variabel 1.508.980,77 1.045.600,63 1.680.646,35
a. Biaya tenaga kerja
- Pengolahan lahan sebelum 1 2.941.250,00 1.520.000,00 2.297.500,00
penanaman
- Pembuatan lubang tanam 1 1.296.250,00 782.000,00 725.000,00
dan pemupukan sebelum
penanaman
- Penanaman 1 850.000,00 827.000,00 700.000,00
- Pemupukan 1 setelah 1 570.000,00 225.000,00 1.955.000,00
penanaman
- Pemupukan 2 setelah 2 115.000,00 120.000,00 30.000,00
penanaman
- Pemupukan 3 setelah 3 25.000,00 0,00 30.000,00
penanaman
- Pembersihan rumput 1 1 1.900.000,00 6.585.000,00 1.365.000,00
- Pembersihan rumput 2 2 1.575.000,00 3.240.000,00 920.000,00
- Pembersihan rumput 3 3 810.000,00 1.140.000,00 435.000,00
- Pembersihan rumput 4 4 545.000,00 360.000,00 245.000,00
- Pembersihan rumput 5 5 40.000,00 360.000,00 205.000,00

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 249


D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

Nilai pendapatan (Rp)


Tahun
Kegiatan Desa Desa Desa
ke
Tanjungkerta Sepatnunggal Karyabakti
- Pemberantasan HPT 1 1 165.000,00 37.000,00 115.000,00
- Pemberantasan HPT 2 2 0,00 12.000,00 45.000,00
- Pemberantasan HPT 3 3 0,00 0,00 30.000,00
- Pemberantasan HPT 4 4 0,00 0,00 30.000,00
- Penjarangan 3 125.000,00 0,00 90.000,00
- Pemangkasan 3 388.750,00 279.000,00 80.000,00
- Pemanenan 5, 7, 12, 0,00 0,00 0,00
15
Jumlah tahun 1 7.722.500,00 9.976.000,00 7.157.500,00
Jumlah tahun 2 1.690.000,00 3.372.000,00 995.000,00
Jumlah tahun 3 1.223.750,00 1.419.000,00 575.000,00
Jumlah tahun 4 545.000,00 360.000,00 275.000,00
Jumlah tahun 5 40.000,00 360.000,00 205.000,00
b. Biaya sarana produksi
- Bibit 1 551.000,00 1.833.500,00 1.655.333,33
- Ajir 1 337.500,00 75.000,00 141.100,00
- Pupuk sebelum penanaman 1 1.823.750,00 295.000,00 634.500,00
- Pupuk 1 setelah penanaman 1 1.628.000,00 228.000,00 1.107.500,00
- Pupuk 2 setelah penanaman 2 117.500,00 28.000,00 5.000,00
- Pupuk 3 setelah penanaman 3 45.000,00 0,00 30.000,00
- Obat HPT 1 1 142.000,00 70.000,00 320.000,00
- Obat HPT 2 2 0,00 30.000,00 60.000,00
- Obat HPT 3 0,00 0,00 40.000,00
- Obat HPT 4 0,00 0,00 40.000,00
Jumlah tahun 1 4.482.250,00 2.501.500,00 3.858.433,33
Jumlah tahun 2 117.500,00 58.000,00 65.000,00
Jumlah tahun 3 45.000,00 0,00 70.000,00
Jumlah tahun 4 0,00 0,00 40.000,00

Sumber: hasil analisis data primer 2011

C. Analisis Pendapatan Hutan Rakyat

Analisis pendapatan hutan rakyat dilakukan terhadap semua jenis tanaman


yang dominan diusahakan oleh petani di lahan hutan rakyatnya. Pendapatan meru-

250 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid

pakan hasil riil yang diperoleh petani secara rutin dan dijual secara komersial. Per-
hitungan pendapatan hutan rakyat di setiap lokasi penelitian sebagaimana Tabel 6.

Tabel 6. Rekapitulasi pendapatan hutan rakyat di lokasi penelitian

Sumber pendapatan Tahun Nilai pendapatan (Rp)


No.
hutan rakyat ke Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti
1. Sengon 5, 10, 15 7.500.000,00 14.280.000,00 9.480.833,00
2. Tisuk 7 0,00 250.000,00 0,00
3. Manglid 10 2.879.500,00 11.350.000,00 2.491.667,00
4. Gmelina 12 0,00 0,00 0,00
5. Mahoni 15 8.600.000,00 2.800.000,00 2.203.333,00
6. Afrika 15 0,00 0,00 0,00
7. Tanaman perkebunan 1115 250.000,00 6.930.000,00 5.190.000,00
8. Tanaman buah 1115 2.410.000,00 190.000,00 6.603.000,00
9. Tanaman pangan 24 895.000,00 0,00 60.000,00
10. Tanaman obat 315 1.870.000,00 734.000,00 12.540.000,00

Sumber: hasil analisis data primer 2011

D. Perhitungan Analisis Finansial

Perhitungan analisis finansial dalam pengusahaan hutan rakyat di lokasi pene-


litian menggunakan parameter analisis keuntungan berdasarkan nilai nominal dan
analisis kelayakan finansial berdasarkan nilai manfaat bersih (Net Present Value/
NPV), rasio biaya (Benefit Cost Ratio/BCR), dan nilai discount rate yang membuat
NPV 0 (Internal Rate of Return/IRR). Untuk melakukan analisis finansial, kajian ini
menggunakan tingkat suku bunga investasi menurut Bank Umum berdasarkan rerata
suku bunga pada tahun 20022009, yaitu 14,95%. Rekapitulasi hasil analisis
kelayakan finansial terdapat pada Tabel 7.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 251


D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

Tabel 7. Prospek finansial pengusahaan hutan rakyat per daur

Komponen nilai Besar nilai finansial (Rp/daur)


No.
finansial hutan rakyat Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti
1. Biaya 53.539.211,55 51.777.009,52 51.691.561,87
2. Pendapatan 100.190.000,00 102.382.000,00 255.302.500,00
3. Keuntungan 46.650.788,45 50.604.990,48 203.610.938,10
4. NPV 120.705,54 (1.686.509,37) 47.106.848,65
5. B/CR 1,00 0,94 2,88
6. IRR 0,10% -1,19% 33,49%

Tabel 7 memperlihatkan bahwa pengusahaan hutan rakyat di Desa Tanjung-


kerta dapat dikatakan impas, yaitu nilai NPV-nya positif, nilai B/CR-nya sama
dengan 1, dan nilai i <r. Pengusahaan hutan rakyat di Desa Sepatnunggal dianggap
tidak layak dengan nilai NPV negatif, nilai B/CR <1, dan nilai i <r. Sementara itu,
pengusahaan hutan rakyat di Desa Karyabakti mampu memberikan hasil finansial
yang cukup baik. Hal tersebut terlihat dari hasil nilai NPV >0, nilai B/CR >1, dan
nilai IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku (i >r) sebagai syarat suatu usaha
dinyatakan memberikan hasil yang menguntungkan. Demikian juga dengan hasil
penelitian Diniyati et al. (2013) yang menyatakan bahwa usaha hutan rakyat pola
agroforestry di Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Ciamis, yang dilakukan pada
luasan <0,25 ha tidak layak secara finansial. Menurut Jariyah & Wahyuningrum
(2008) dari beberapa jenis tanaman hutan rakyat yang diusahakan pada luasan <0,25
ha memberikan nilai kelayakan yang tertinggi adalah albasia, yaitu untuk lokasi di
Jawa Barat dan Jawa Timur memberikan kisaran nilai B/CR sekitar 2,7313,46, nilai
IRR 1338% dan nilai NPV Rp7.996.35165.420.565/ha, sedangkan tanaman jati
lebih banyak menunjukkan nilai tidak layak. Widyaningsih & Achmad (2012) juga
menyatakan bahwa nilai finansial dari hutan rakyat mahoni dan albasia pada luasan
<0,5 ha pada tingkat suku bunga 18% menghasilkan nilai yang layak. Beberapa hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa usaha hutan rakyat yang dilakukan pada
lahan sempit (<0,25 ha) dan menggunakan tanaman kehutanan dominan yang
berdaur menengah dan panjang akan memberikan hasil tidak layak. Hal ini

252 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid

berkaitan dengan tingkat penerimaan petani. Apabila tanamannya berdaur mene-


ngah dan panjang, petani akan lama mendapatkan hasil dari kayunya. Sebaliknya,
penggunaan tanaman yang berdaur pendek akan memberikan hasil pendapatan yang
lebih cepat.

Terdapatnya nilai NPV yang lebih besar di Desa Karyabakti dibandingkan


dengan dua desa lainnya disebabkan oleh rendahnya biaya yang dikeluarkan respon-
den untuk pengelolaan hutan rakyat di desa ini. Hampir semua responden di Desa
Karyabakti mengerjakan sendiri hutan rakyatnya; berbeda halnya dengan di Desa
Sepatnunggal yang kebanyakan mengelola hutan rakyat dengan cara diburuhkan
sehingga menyebabkan tingginya biaya yang dikeluarkan untuk pengusahaan hutan
rakyat. Selain itu, responden di Desa Karyabakti menggunakan pupuk kandang dari
hasil ternaknya untuk memupuk pohon di hutan rakyatnya sehingga tidak perlu
membeli pupuk dari toko yang harus mengeluarkan modal.

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Pengusahaan hutan rakyat pola agroforestry dengan luas lahan <0,25 ha mem-
berikan hasil yang beragam. nilai NPV tertinggi terdapat pada pengusahaan hutan
rakyat di Desa Karyabakti (Kecamatan Parungponteng) sebesar Rp47.106.848,65
dengan nilai B/CR 2,88, dan nilai IRR 33,49%. Sebaliknya, pengusahaan hutan
rakyat di Desa Sepatnunggal (Kecamatan Sodonghilir) diperoleh nilai NPV sebesar
Rp(1.686.509,37) dengan nilai B/CR 0,94 dan nilai IRR -1,19%. Sementara itu,
pengusahaan hutan rakyat di Desa Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung)
diperoleh nilai NPV sebesar Rp120.705,54 dengan nilai B/CR 1,00 dan nilai IRR
0,10%. Oleh karena itu, pemilihan jenis tanaman sangat diperlukan apabila akan
mengembangkan usaha hutan rakyat pada luasan <0,25 ha. Hal ini karena pemilihan
jenis tanaman ini sangat menentukan kelayakan usaha hutan rakyat.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 253


D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

B. Saran

Berdasarkan hasil perhitungan finansial, terdapat nilai NPV yang negatif


sehingga perlu peningkatan pada aspek manajemen hutan rakyat seperti pemeliha-
raan tanaman agar dapat lebih meningkatkan produktivitas dan hasil panen. Selain
itu, pengayaan tanaman perlu dilakukan melalui pemanfaatan lahan bawah tegakan,
terutama bagi petani yang sama sekali belum menerapkannya.

Daftar Pustaka

Achmad, B., Diniyati, D., Widyaningsih, T., Fauziyah, E., Mulyati, E., & Suyarno.
(2011). Pengelolaan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. Analisis
ekonomi dan finansial pembangunan hutan tanaman penghasil kayu
pertukangan Laporan Hasil Penelitian. Ciamis: Balai Penelitian Teknologi
Agroforestry.

Andayani, W. (2009). Konsep ekonomi kehutanan dan implementasinya dalam


pengembangan hutan tanaman [Press release]

BPS. (2011). Kabupaten Tasikmalaya dalam angka: BPS Kabupaten Tasikmalaya.

Clive, G., Simanjuntak, P., Sabur, L. K., Maspaitella, P., & Varley, R. (2007).
Pengantar evaluasi proyek. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Diniyati, D. (2009). Bentuk insentif pengembangan hutan rakyat di wilayah ekosistem


Gunung Sawal, Ciamis. (Master), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Diniyati, D., Achmad, B., & Santoso, H. (2013). Analisis finansial agroforestry
sengon di Kabupaten Ciamis (Studi kasus di Desa Ciomas Kecamatan
Panjalu). Jurnal Penelitian Agroforestry, 1(1), 13-30.

Djam'an D.F. (2006). Mengenal manglid baros (Manglietia glauca Bl.). Manfaat dan
permasalahannya. from http://www.dephut.go.id/INFORMASI/MKI/06VI/
06VIMengenal%20manglid.htm:

254 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid

Enda. (2011). Rencana kerja penyuluh kehutanan dan perkebunan Kecamatan


Pagerageung tahun 2011: Pemda Kabupaten Tasikmalaya.

Fauziyah, E. (2009). Analisis skim kredit dan modal sosial dalam pengembangan usaha
hutan rakyat. (Master), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Jariyah, N. A., & Wahyuningrum, N. (2008). Karakteristik hutan rakyat di Jawa.


Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 5(1).

Widyaningsih, T. S., & Achmad, B. (2012). Analisis finansial usahatani hutan


rakyat pola wanafarma di Majenang, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman, 9(2), 105-120.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 255


Analisis Finansial Agroforestry Manglid dan Empat Jenis
Tanaman Bawah di Priangan Timur

Yonky Indrajaya 1 & Aris Sudomo1

ABSTRAK

Agroforestry dapat berperan penting, baik dalam produksi kayu maupun ketahanan pangan.
Salah satu bentuk agroforestry yang kini prospektif untuk dikembangkan adalah dengan
tanaman bawah palawija pada tahap awal dan dengan umbi-umbian pada agroforestry tingkat
lanjut. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengusahaan agroforestry manglid secara
finansial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembangunan plot agroforestry
bersama petani dan mencatat semua biaya yang diperlukan, serta hasil yang diperoleh dari
tanaman semusim selama pembangunan awal agroforestry manglid. Kriteria penilaian
kelayakan usaha yang digunakan adalah NPV, IRR, dan B/CR. Hasil yang diperoleh dari
penelitian ini adalah 1) pengusahaan agroforestry manglid-palawija-umbi layak diusahakan
secara finansial dengan nilai NPV sebesar Rp22.420.000, nilai IRR 6%, dan nilai B/CR 1,2;
2) tanaman bawah tegakan tidak memberikan kontribusi positif terhadap NPV; 3) penurunan
produksi kayu manglid hingga 30% akan menyebabkan pengusahaan agroforestry manglid
menjadi tidak layak secara financial; dan 4) pada tingkat suku bunga 8%, agroforestry manglid
menjadi tidak layak secara finansial

Kata kunci: analisis finansial, agroforestry, manglid, tanaman bawah

I. Pendahuluan

Agroforestry dapat berperan penting, baik dalam produksi kayu maupun


ketahanan pangan (Atangana et al., 2014). Penentuan pola agroforestry sangat
tergantung pada kepentingan ekonomi dan lingkungan. Pola agroforestry akan
menjadi menarik untuk diusahakan oleh petani dibandingkan dengan pola
monokultur karena agroforestry dengan interaksi yang terjadi antara pohon dan

1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis, Jawa Barat 46201,
Email: yonky_indrajaya@yahoo.com

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 257


Y. Indrajaya & A. Sudomo

tanaman semusim memiliki produktivitas yang lebih tinggi dan lebih baik bagi
lingkungan (Jose & Gordon, 2008).

Di Indonesia, sistem agroforestry telah berkembang cukup pesat dengan


berbagai istilah lokal (Cahyono & Indrajaya, 2011). Salah satu bentuk agroforestry
yang diusahakan di Jawa Barat adalah agroforestry manglid. Manglid (Magnolia
champaca) merupakan salah satu jenis yang telah terbukti tumbuh baik di hutan
rakyat wilayah Priangan Timur, Provinsi Jawa Barat (Puspitojati et al., 2013). Kayu
manglid potensial digunakan untuk bahan bangunan, furnitur, dan kerajinan. Nilai
kegunaan dan permintaan pasar yang tinggi menyebabkan masyarakat menanam
manglid di lahan hutan rakyat. Jenis tanaman bawah yang umumnya ditanam di
bawah tegakan manglid antara lain kacang tanah, jagung, suweg, ganyong, cabe, dan
kapulaga.

Masyarakat mengaplikasikan agroforestry berdasarkan pengetahuan berbasis


pengalaman (Cahyono & Indrajaya, 2011). Tujuan masyarakat mengaplikasikan
agroforestry adalah sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten) dan sebagai
kegiatan sampingan untuk tabungan. Hal ini berimplikasi pada input teknologi yang
rendah atau ala kadarnya. Input produksi yang ala kadarnya tentu akan berpengaruh
terhadap hasil yang diperoleh. Oleh karena itu, analisis usaha agroforestry menjadi
penting dilakukan untuk menentukan kelayakan usaha agroforestry.

Analisis finansial terhadap berbagai komoditas pertanian ataupun komoditas


kehutanan berdasarkan budi daya yang terdapat di masyarakat telah banyak
dilakukan (Indrajaya & Sudomo, 2013; Kusumedi & Jariyah, 2010; Siregar et al.,
2007). Indrajaya & Sudomo (2013) dan Kusumedi & Jariyah (2010) dalam
penelitiannya pada agroforestry sengon-kapulaga menyatakan bahwa agroforestry
sengon-kapulaga layak diusahakan secara finansial dengan proporsi pendapatan yang
lebih tinggi berasal dari komoditas kayu. Sementara itu, analisis finansial agroforestry
kayu pertukangan dengan tanaman pangan belum banyak diteliti; padahal, praktik
ini telah banyak dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
menganalisis agroforestry manglid dan empat jenis tanaman pangan secara finansial.

258 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A n ali si s Fina n si al Ag rofo re s try M ang lid

II. Metodologi

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada areal hutan rakyat yang secara administratif


termasuk dalam wilayah Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis dan Kecamatan
Kawalu, Kota Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat dengan koordinat S 07006550
dan E 108022900. Lahan hutan rakyat tersebut tergolong lahan kering dengan
ketinggian 894 m dpl, temperatur udara 20,431oC , kelembaban 62,1389,75%,
dan curah hujan mencapai 2.071 mm/tahun. Berdasarkan kriteria Schmidth &
Ferguson, tipe curah hujan di lokasi penelitian termasuk tipe C (agak basah) (Balai
Penyuluhan Pertanian, 2012).

Gambar 1. Lokasi penelitian

B. Pengumpulan dan Analisis Data

Uji coba pola agroforestry yang diterapkan adalah tegakan manglid dengan
beberapa tanaman bawah, yaitu jagung, kacang tanah, ganyong, dan suweg yang
dilakukan secara intensif. Data seluruh input produksi (meliputi bahan tanaman,

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 259


Y. Indrajaya & A. Sudomo

pupuk, peralatan, dan tenaga kerja) dan output produksi (meliputi kayu manglid dan
tanaman bawah yang dipanen) diperoleh dengan perhitungan langsung sejak
pembangunan plot hingga pemanenan tanaman bawah (umur pohon manglid 052
bulan). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini diasumsikan sebagai peralatan
habis pakai sehingga tidak dihitung biaya penyusutannya.

Analisis kelayakan finansial agroforestry manglid dengan beberapa tanaman


bawah dilihat dengan menggunakan kriteria Net Present Value (NPV), Benefit/Cost
Ratio (B/CR), dan Internal Rate of Return (IRR) (Thompson & George, 2009).
Penelitian tentang analisis finansial usaha kehutanan telah banyak dilakukan untuk
menentukan kelayakan usaha kehutanan dengan kriteria investasi NPV, B/CR, dan
IRR (Ginoga et al., 2005; Kusumedi & Jariyah, 2010; Yuniati, 2011). Kriteria NPV
merupakan jumlah profit (total penerimaan Bt dikurangi dengan total pengeluaran
Ct ) yang terdiskon dengan faktor diskonto (1 + i )t dalam kurun waktu tertentu (t),
pada tingkat suku bunga i, seperti disajikan dalam persamaan berikut:
T
Bt Ct
NPV = (1)
t =0 (1 + i )t

Kriteria B/CR merupakan perbandingan dari total penerimaan terdiskon


selama kurun waktu proyek dibagi dengan total pengeluaran terdiskon selama kurun
waktu proyek. Nilai B/CR akan memberikan gambaran estimasi pengembalian
dalam rupiah dari investasi yang ditanamkan.
T
Bt
(1 + i)
t =0
t
BCR= T
(2)
Ct

t = 0 (1 + i )
t

Kriteria IRR merupakan discount rate yang mana nilai NPV sama dengan nol.
Nilai IRR menunjukkan nilai aktual pengembalian investasi suatu proyek.

NPV1
IRR=i + ( i 2 i1) (3)
NPV1 NPV2

260 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A n ali si s Fina n si al Ag rofo re s try M ang lid

Analisis finansial dilakukan selama daur manglid optimal 16 tahun (Indrajaya,


2014) dengan penanaman tanaman bawah hingga tanaman manglid berumur 52
bulan pada tingkat suku bunga riil sebesar 4% (World Bank, 2013). Analisis
sensitivitas dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada perhitungan
aliran kas akibat perubahan yang terjadi pada parameter kunci dari perhitungan.
Parameter penelitian yang diperkirakan berpotensi untuk mengalami perubahan
adalah penurunan produksi (baik manglid maupun tanaman bawah tegakannya) dan
perubahan tingkat suku bunga.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Estimasi Biaya Agroforestry Manglid

1. Estimasi Biaya Manglid

Tanaman manglid ditanam dengan jarak tanam 2 m x 2 m. Bibit manglid


diperoleh dengan cara pembelian dengan harga Rp1.000/batang. Sebelum dilakukan
penanaman, pembersihan lahan memerlukan tenaga kerja sebanyak 250 hari orang
kerja (HOK), dengan nilai 1 HOK sebesar Rp30.000. Waktu kerja 1 HOK
terhitung mulai pukul 8.00 (pagi) dan berakhir pada pukul 12.00 (siang). Sebelum
dilakukan penanaman, pemupukan dasar dilakukan menggunakan pupuk kandang
dengan dosis 5 kg/lubang tanam dan kebutuhan tenaga kerja sebanyak 60 HOK.
Harga pupuk kandang adalah Rp200/kg. Kegiatan penanaman dilakukan dua
minggu sejak pemberian pupuk dasar/pupuk kandang dengan tenaga kerja sebanyak
60 HOK. Pemeliharaan tanaman manglid dilakukan dengan cara penyiangan seluruh
lahan dengan tenaga kerja sebanyak 60 HOK. Estimasi biaya penanaman manglid
disajikan dalam Tabel 1.

Estimasi volume tegakan manglid dilakukan dengan menggunakan persamaan


estimasi volume yang dibuat juga di lokasi penelitian yang sama (Indrajaya, 2014)
sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 261


Y. Indrajaya & A. Sudomo

Tabel 1. Estimasi biaya penanaman tegakan manglid

Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)


1. Biaya bahan
a. Bibit buah 1.000 2.500 2.500.000
b. Pupuk organik kilogram 200 12.500 2.500.000
2. Biaya operasional
a. Persiapan lahan HOK 30.000 250 7.500.000
b. Pemupukan HOK 30.000 60 1.800.000
c. Penanaman HOK 30.000 60 1.800.000
d. Penyiangan HOK 30.000 60 1.800.000
e. Pengangkutan bahan HOK 30.000 30 900.000
Total biaya 18.800.000

Tabel 2. Estimasi volume per hektare tegakan manglid

Umur Diameter Tinggi Populasi Volume CAI MAI


(tahun) (cm) (m) (pohon/ha) (m3/ha) (m3/ha) (m3/ha)
0 - - 2.500 - - -
1 2,60 1,58 2.373 0,93 0,93 0,93
2 4,42 3,96 2.252 6,44 5,51 3,22
3 6,04 5,36 2.137 15,41 8,97 5,14
4 7,53 6,35 2.028 26,96 11,55 6,74
5 8,93 7,12 1.924 40,41 13,45 8,08
6 10,28 7,75 1.826 55,22 14,81 9,20
7 11,57 8,28 1.733 70,95 15,73 10,14
8 12,82 8,74 1.645 87,26 16,30 10,91
9 14,03 9,15 1.561 103,84 16,58 11,54
10 15,21 9,51 1.481 120,45 16,61 12,04
11 16,37 9,84 1.406 136,90 16,45 12,45
12 17,50 10,14 1.334 153,02 16,12 12,75
13 18,61 10,42 1.266 168,68 15,66 12,98
14 19,70 10,67 1.201 183,77 15,10 13,13
15 20,77 10,91 1.140 198,22 14,44 13,21
16 21,83 11,13 1.082 211,95 13,73 13,25

Keterangan: MAI=riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment); CAI= riap tahun berjalan (Current
Annual Increment)

262 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A n ali si s Fina n si al Ag rofo re s try M ang lid

Pada tahun ke-16, total volume tegakan manglid diperkirakan sebanyak >200
m3/ha. Harga jual kayu manglid adalah Rp1 juta/m3. Tabel 2 menunjukkan estimasi
volume tegakan manglid hingga umur 16 tahun. Daur biologis tegakan manglid
berdasarkan Tabel 1 adalah 16 tahun, yaitu keadaan di mana nilai CAI sama
dengan MAI. Oleh karena itu, analisis finansial agroforestry manglid dilakukan
hingga umur 16 tahun.

2. Estimasi Biaya Kacang Tanah

Pada agroforestry awal tanaman manglid, naungan relatif belum terbentuk atau
kondisi lapangan masih terbuka. Penanaman kacang tanah pada plot manglid dilaku-
kan bersamaan dengan penanaman manglid dengan jarak tanam 0,2 m x 0,3 m.
Persiapan lahan pada penanaman kacang tanah meliputi pembersihan dan pengo-
lahan tanah. Hal ini dilakukan dengan pembersihan lahan dan mencangkul tanah
sedalam 40 cm dan membalikkan tanah. Pengolahan tanah tersebut memerlukan
tenaga kerja sebanyak 325 HOK/ha. Setelah pengolahan tanah, penyebaran pupuk
kandang dilakukan sebanyak 5.848 kg/ha. Tenaga kerja yang diperlukan untuk
pengangkutan ke lokasi penanaman dan penyebaran pupuk kandang agar merata
sekitar 19 HOK/ha. Penanaman kacang tanah dimulai dengan pembuatan bedengan
di antara tanaman manglid dengan diselingi saluran drainase sedalam 2530 cm
dengan lebar 20 cm. Benih kacang tanah yang digunakan berasal dari varietas lokal
yang ditanam dengan cara ditugal sedalam 23 cm dengan jarak 20 cm sebanyak 2
buah/lubang tanam. Pada penanaman kacang tanah, tenaga kerja yang diperlukan
sebanyak 122 HOK/ha.

Pemupukan lanjutan dilakukan dua kali, yaitu pada 15 hari dan 35 hari setelah
tanam. Pemupukan campuran urea dan NPK (4:3) pada saat kacang tanah berumur
15 hari dengan dosis 10 gram/tanaman dan berjarak 2 cm dari kacang tanah.
Penyiangan dilakukan pada saat pemupukan anorganik atau tanaman kacang tanah
berumur 15 hari, kemudian dilanjutkan pada umur 35 hari setelah tanam.
Penyiangan dan pemupukan dilakukan dua kali dan masing-masing membutuhkan
tenaga kerja sebanyak 99 HOK/ha.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 263


Y. Indrajaya & A. Sudomo

Tabel 3. Estimasi biaya pengelolaan kacang tanah dengan jarak tanam 0,2 x 0,3 m

Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)


1. Biaya bahan
a. Bibit kg 13.000 100 1.300.000
b. Pupuk kandang kg 233 5.848 1.364.522
c. Pupuk urea kg 3.000 476 1.428.571
d. Pupuk NPK kg 3.000 357 1.071.429
e. Curacron Botol 58.000 5 282.651
2. Biaya tenaga kerja
a. Pembersihan dan pengolahan HOK 30.000 325 9.746.589
lahan
b. Pemberian pupuk kandang HOK 30.000 19 584.795
c. Penanaman HOK 30.000 122 3.654.971
d. Penyiangan ke-1 dan HOK 30.000 99 2.984.893
pemupukan lanjutan 1
e. Penyiangan ke-2 dan HOK 30.000 99 2.984.893
pemupukan lanjutan 2
f. Pemanenan HOK 30.000 81 2.436.647
Total biaya 27.839.961

3. Estimasi Biaya Jagung

Jenis tanaman pertanian yang ditanam pada daur kedua atau saat manglid
berumur enam bulan adalah jagung. Bibit jagung hibrida Bisi-2 yang ditanam adalah
sebanyak 15 kg/ha dengan harga bibit adalah Rp51.000/kg. Pupuk dasar yang
diberikan pada tanaman jagung adalah pupuk organik (kandang) dan pupuk lanjutan
nonorganik (urea dan NPK). Penyiapan lahan dilakukan dengan pembersihan lahan
dan mencangkul tanah sedalam 3040 cm dan membalikkannya. Tenaga kerja untuk
kegiatan penyaiapan lahan ini sebanyak 325 HOK/ha. Penyebaran pupuk kandang
secara merata ke areal penanaman sebanyak 5 ton/ha. Tenaga kerja untuk
pengangkutan ke lokasi penanaman dan penyebaran pupuk merata ke areal
penanaman sebanyak 19 HOK/ha. Penanaman jagung dilakukan dengan jarak
tanam 0,3 m x 0,8 m dan membentuk lubang tanam dengan tugal. Setiap lubang

264 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A n ali si s Fina n si al Ag rofo re s try M ang lid

tanam diberi dua butir jagung dan kemudian menimbunnya dengan tanah. Kegiatan
penanaman ini memerlukan tenaga kerja sebanyak 122 HOK/ha.

Kegiatan pemeliharaan meliputi penyiangan, pemupukan, dan pengguludan


pada barisan jagung. Penyiangan dan penimbunan jagung dilakukan pada saat
pemupukan anorganik umur 15 hari dan dilanjutkan pada umur 35 hari setelah
tanam. Penyiangan dan pengguludan dilakukan dengan mencangkul tanah di sela-
sela barisan jagung. Rumput atau gulma dan tanah hasil penyiangan ditimbunkan
atau diurugkan pada pupuk. Satu kali proses pemeliharaan, yaitu penyiangan,
pengguludan, dan pemupukan lanjutan ini dalam satu paket diperlukan tenaga kerja
sebanyak 99 HOK/ha. Rincian kegiatan dan biaya budi daya jagung pada agroforestry
manglid di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Estimasi biaya pengelolaan jagung dengan jarak tanam 0,3 x 0,8 m

Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)


1. Biaya bahan
a. Bibit kg 51.000 15 765.000
b. Pupuk kandang kg 233 5.848 1.364.522
c. Pupuk urea kg 3.000 476 1.428.571
d. Pupuk NPK kg 3.000 357 1.071.429
e. Curacron Botol 58.000 5 282.651
2. Biaya tenaga kerja
a. Pembersihan dan pengolahan HOK 30.000 325 9.746.589
lahan
b. Pemberian pupuk kandang HOK 30.000 19 584.795
c. Penanaman HOK 30.000 122 3.654.971
d. Penyiangan ke-1 dan HOK 30.000 99 2.984.893
pemupukan lanjutan 1
e. Penyiangan ke-2 dan HOK 30.000 99 2.984.893
pemupukan lanjutan 2
f. Pemanenan HOK 30.000 81 2.436.647
Total biaya 27.304.961

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 265


Y. Indrajaya & A. Sudomo

Dengan input produksi seperti disajikan dalam Tabel 4, hasil produksi jagung
di bawah tegakan manglid di lokasi penelitian sebesar 7.006 kg/ha. Harga jagung
pipilan kering adalah Rp2.150/kg sehingga total pendapatan yang diperoleh dari
penanaman jagung sebesar Rp15.062.470. Oleh karena itu, kegiatan penanaman
jagung ini mengalami defisit sebesar Rp(12.242.491) [tanda kurung berarti minus]
atau pengusahaan jagung di lokasi penelitian dengan input produksi yang ada
mengalami kerugian. Hal ini berbeda dengan temuan Hadi (2009) di Jambi yang
menanam jagung Bisi-2 di bawah tegakan kelapa yang mendapatkan hasil positif
dari jagung sebesar Rp1.042.250/ha/musim.

4. Estimasi Biaya Ganyong

Penanaman ganyong dilakukan pada saat manglid berumur 32 bulan dan


dipanen pada saat manglid berumur 40 bulan (durasi 8 bulan). Penyiapan lahan
dengan pembabatan alang-alang dan mencangkul tanah sedalam 3040 cm. Jarak
tanam untuk penanaman ganyong masing-masing adalah 120 cm x 80 cm. Kegiatan
penyiapan lahan meliputi pembersihan lahan dan pengolahan tanah memerlukan
tenaga kerja sebanyak 162 HOK/ha. Pembuatan lubang tanam dengan ukuran 40
cm x 40 cm sedalam 2030 cm. Penanaman ganyong dilakukan dengan menaruh
mata tunas di bagian atas dan menimbunnya dengan tanah. Tenaga kerja untuk
kegiatan penanaman ganyong sebanyak 81 HOK/ha. Pupuk dasar pada saat
penanaman ganyong adalah pupuk kotoran ayam sebanyak 4.167 kg/ha atau dengan
dosis 800 gram/lubang. Tenaga kerja untuk pemberian pupuk kandang sebanyak 81
HOK/ha. Penyiangan dan pemupukan lanjutan dilakukan bersamaan setelah
ganyong berumur dua dan empat bulan. Dosis pemupukan menggunakan urea dan
NPK (1:2) sebanyak 70 gram/tanaman. Kegiatan penyiangan, pemupukan lanjutan,
dan pengguludan memerlukan tenaga kerja sebanyak 68 HOK/ha.

266 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A n ali si s Fina n si al Ag rofo re s try M ang lid

Tabel 5. Estimasi biaya pengelolaan ganyong dengan jarak tanam 1,2 x 0,8 m

Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)


1. Biaya bahan
a. Bibit Buah/pc 350 5.200 1.820.000
b. Pupuk kandang kg 233 4.167 972.222
c. Pupuk urea kg 3.000 243 729.167
d. Pupuk NPK kg 3.000 486 1.458.333
e. Curacron Botol 58.000 5 282.651
2. Biaya tenaga kerja
a. Pembersihan dan pengolahan HOK 30.000 162 4.873.294
lahan
b. Pemberian pupuk kandang HOK 30.000 81 2.436.647
c. Penanaman HOK 30.000 81 2.436.647
d. Penyiangan ke-1 dan HOK 30.000 68 2.046.784
pemupukan lanjutan 1
e. Penyiangan ke-2 dan HOK 30.000 68 2.046.784
pemupukan lanjutan 2
f. Pemanenan HOK 30.000 58 1.754.386
Total biaya 20.856.915

5. Estimasi Biaya Suweg

Penyiapan lahan untuk penanaman suweg adalah mencangkul tanah sedalam


3040 cm dan membalikkan tanah hasil cangkulan. Jarak tanam yang digunakan
penanaman suweg adalah 1,2 m x 0,8 m. Pembuatan lubang tanam dengan ukuran
40 cm x 40 cm sedalam 2030 cm. Tenaga kerja untuk kegiatan penyiapan lahan
dan penanaman masing-masing diperlukan sebanyak 162 HOK/ha dan 81
HOK/ha. Pemberian pupuk dasar berupa pupuk kandang sebanyak 800
gram/lubang tanam. Kegiatan pemberian pupuk kandang per lubang tanam ini
memerlukan tenaga kerja sebanyak 81 HOK/ha. Pemeliharaan meliputi penyiangan,
pengguludan, dan pemupukan lanjutan dilakukan pada saat tanaman berumur dua
bulan dan empat bulan setelah tanam. Satu kali kegiatan pemeliharaan memerlukan
tenaga kerja sebanyak 68 HOK/ha.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 267


Y. Indrajaya & A. Sudomo

Tabel 6. Estimasi biaya pengelolaan suweg dengan jarak tanam 1,2 x 0,8 m

Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)


1. Biaya bahan
a. Bibit Buah/pc 350 5.200 1.820.000
b. Pupuk kandang kg 233 4.167 972.222
c. Pupuk urea kg 3.000 243 729.167
d. Pupuk NPK kg 3.000 486 1.458.333
e. Curacron Botol 58.000 5 282.651
2. Biaya tenaga kerja
a. Pembersihan dan pengolahan HOK 30.000 162 4.873.294
lahan
b. Pemberian pupuk kandang HOK 30.000 81 2.436.647
c. Penanaman HOK 30.000 81 2.436.647
d. Penyiangan ke-1 dan HOK 30.000 68 2.046.784
pemupukan lanjutan 1
e. Penyiangan ke-2 dan HOK 30.000 68 2.046.784
pemupukan lanjutan 2
f. Pemanenan HOK 30.000 58 1.754.386
Total biaya 20.856.915

B. Analisis Finansial Agroforestry Manglid

Berdasarkan estimasi biaya pada bagian sebelumnya, analisis tentang biaya


yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh selama 16 tahun pengusahaan agroforestry
manglid dapat disajikan dalam Tabel 7. Harga setiap satuan biaya dan pendapatan
disajikan dalam Tabel 8. Selanjutnya, aliran kas selama daur (16 tahun) disajikan
dalam Tabel 9.

268 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A n ali si s Fina n si al Ag rofo re s try M ang lid

Tabel 7. Input-output pengelolaan agroforestry manglid dengan beberapa tanaman bawah


selama 16 tahun

Tahun ke-
Uraian input-output Satuan
1 2 3 4 515 16
I. Input
1. Bahan tanam
- Bibit manglid batang 2.500
- Bibit kacang tanah kg 100
- Bibit jagung kg 15
- Bibit ganyong kg 5.200
- Bibit suweg kg 5.200
2. Pupuk dan obat-obatan
- Kandang kg/ha 24.196 8.334
- Urea kg/ha 952 486
- NPK kg/ha 833 972
- Herbisida botol/ha 10 10
3. Tenaga kerja (manglid)
- Persiapan lahan HOK 250
- Pemupukan HOK 60
- Penanaman HOK 60
- Penyiangan HOK 60
- Pengangkutan bahan HOK 30
4. Tenaga kerja (tanaman bawah tegakan)
- Pembersiahan lahan dan pengolahan tanah HOK 650 650 324
- Pemberian pupuk kandang HOK 38 38 162
- Penanaman HOK 244 244 162
- Penyiangan 1 dan pemupukan lanjutan 1 HOK 198 198 136
- Penyiangan 2 dan pemupukan lanjutan 2 HOK 198 198 136
- Pemanenan HOK 162 162 116
II. Output
1. Tanaman bawah tegakan
- Kacang tanah kg 1.410 1.410
- Jagung kg 7.006 7.006
- Ganyong kg 6.667
- Suweg kg 4.565
2. Kayu manglid m3 211.95

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 269


Y. Indrajaya & A. Sudomo

Tabel 8. Parameter yang digunakan dalam perhitungan analisis finansial

Uraian input-output Satuan Harga (Rp)


I. Input
1. Bahan tanam
- Bibit manglid batang 1.000
- Bibit kacang tanah kg 13.000
- Bibit jagung kg 51.000
- Bibit ganyong kg 350
- Bibit suweg kg 350
2. Pupuk dan obat-obatan
- Kandang kg/ha 233
- Urea kg/ha 3.000
- NPK kg/ha 3.000
- Herbisida botol/ha 58.000
3. Tenaga kerja (manglid)
- Persiapan lahan HOK 30.000
- Pemupukan HOK 30.000
- Penanaman HOK 30.000
- Penyiangan HOK 30.000
- Pengangkutan bahan HOK 30.000
4. Tenaga kerja (tanaman bawah tegakan)
- Pembersiahan lahan dan pengolahan tanah HOK 30.000
- Pemberian pupuk kandang HOK 30.000
- Penanaman HOK 30.000
- Penyiangan 1 dan pemupukan lanjutan 1 HOK 30.000
- Penyiangan 2 dan pemupukan lanjutan 2 HOK 30.000
- Pemanenan HOK 30.000
II. Output
1. Tanaman bawah tegakan
- Kacang tanah kg 8.000
- Jagung kg 3.000
- Ganyong kg 2.000
- Suweg kg 2.000
2. Kayu manglid m 3
800.000

270 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A n ali si s Fina n si al Ag rofo re s try M ang lid

Tabel 9. Aliran kas pengusahaan agroforestry manglid daur 16 tahun (x 1.000)


Tahun ke-
Uraian input-output
1 2 3 4 515 16
I. Input
1. Bahan tanam
- Bibit manglid 2.500
- Bibit kacang tanah 1.300
- Bibit jagung 765
- Bibit ganyong 1.820
- Bibit suweg 1.820
2. Pupuk dan obat-obatan
- Kandang 5.638 1.942
- Urea 2.856 1.458
- NPK 2.499 2.916
- Herbisida 580 580
3. Tenaga kerja (manglid)
- Persiapan lahan 7.500
- Pemupukan 1.800
- Penanaman 1.800
- Penyiangan 1.800
- Pengangkutan bahan 900
4. Tenaga kerja (tanaman bawah tegakan)
- Pembersiahan lahan dan pengolahan tanah 19.500 19.500 9.720
- Pemberian pupuk kandang 1.140 1.140 4.860
- Penanaman 7.320 7.320 4.860
- Penyiangan 1 dan pemupukan lanjutan 1 5.940 5.940 4.080
- Penyiangan 2 dan pemupukan lanjutan 2 5.940 5.940 4.080
- Pemanenan 4.860 4.860 3.480
Total pengeluaran 74.638 44.700 41.616
II. Output
1. Tanaman bawah tegakan
- Kacang tanah 11.280 11.280
- Jagung 21.017 21.017
- Ganyong 13.333
- Suweg 9.130
2. Kayu manglid 169.560
Total penerimaan 32.297 32.297 22.463 169.560
Profit 42.340 12.403 19.153 169.560

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 271


Y. Indrajaya & A. Sudomo

Berdasarkan Tabel 9, nilai NPV agroforestry manglid-kacang tanah, jagung,


ganyong dan suweg adalah Rp22.420.000 dengan nilai IRR 6% dan nilai B/CR 1,2.
Hasil dari perhitungan menunjukkan bahwa semua kriteria investasi telah terpenuhi
yang berarti pengusahaan agroforestry manglid layak secara finansial. Namun
demikian, tanaman bawah tegakan yang dimaksudkan menjadi tambahan penda-
patan petani dalam pola agroforestry justru berkontribusi negatif terhadap NPV.
Pengusahaan tanaman bawah tegakan dengan input produksi yang cukup tinggi
tidak diikuti dengan hasil yang tinggi. Dengan demikian, pengusahaan tanaman
bawah tegakan kacang tanah, jagung, ganyong, dan suweg merugi.

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel eksogen


dalam model terhadap hasil analisis. Variabel yang diuji dalam analisis sensitivitas
adalah jika produksi kayu manglid ataupun tumbuhan bawahnya turun 15% dan
30%. Selain itu, pengaruh tingkat suku bunga terhadap hasil agroforestry manglid
juga diuji. Hasil dari analisis sensitivitas penurunan produksi agroforestry manglid
disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10. Analisis sensitivitas AF manglid pada beberapa penurunan produksi

Jenis tanaman Penurunan produksi Kriteria investasi Nilai


Kacang tanah 0,15 NPV 19.289
IRR 6%
B/CR 1,13
0,30 NPV 16.158
IRR 5%
B/CR 7,44
Jagung 0,15 NPV 16.186
IRR 6%
B/CR 1,11
0,30 NPV 10.752
IRR 5%
B/CR 1,07
Ganyong 0,15 NPV 21.249
IRR 6%
B/CR 1,11

272 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A n ali si s Fina n si al Ag rofo re s try M ang lid

Jenis tanaman Penurunan produksi Kriteria investasi Nilai


0,30 NPV 19.001
IRR 6%
B/CR 1,13
Suweg 0,15 NPV 21.249
IRR 6%
B/CR 1,14
0,30 NPV 20,079
IRR 6%
B/CR 1,14
Manglid 0,15 NPV 8.841
IRR 5%
B/CR 1,14
0,30 NPV (4.739)
IRR 3%
B/CR 1,34

Keterangan: Nilai NPV x 1.000

Penurunan produksi tumbuhan bawah tegakan (kacang tanah, jagung,


ganyong, dan suweg) hingga 30% tidak menyebabkan pengusahaan agroforestry
manglid menjadi tidak layak karena kontribusi pendapatan yang cukup besar dari
kayu manglid. Secara umum, tumbuhan bawah tegakan kayu manglid merugi atau
berkontribusi negatif terhadap NPV sehingga penurunan produksi hanya akan
menambah kerugian agroforestry manglid. Penurunan produksi kayu manglid sebesar
30% akan menyebabkan nilai NPV yang negatif dan nilai IRR yang lebih rendah dari
suku bunga yang digunakan dalam perhitungan. Oleh karena itu, penurunan
produksi kayu manglid sebanyak 30% akan menyebabkan pengusahaan agroforestry
manglid menjadi tidak layak secara finansial.

Pengaruh perubahan tingkat suku bunga terhadap hasil yang diperoleh dari
agroforestry manglid disajikan dalam Tabel 8. Pada tingkat suku bunga 2%, yang
mana lebih rendah dari suku bunga yang digunakan dalam penelitian ini (4%), nilai
NPV menjadi lebih tinggi yaitu sebesar Rp52.624.000. Sementara itu, pada tingkat
suku bunga 8%, pengusahaan agroforestry manglid menjadi tidak layak secara finan-

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 273


Y. Indrajaya & A. Sudomo

sial yang ditunjukkan oleh nilai NPV sebesar Rp(13.634.000) [tanda kurung berarti
minus].

Tabel 11. Analisis sensitivitas agroforestry manglid pada perubahan tingkat suku bunga

Tingkat suku bunga


Kriteria
2% 6% 8%
NPV (x Rp1.000/ha) 52.624 1.219 (13.634)
IRR 6,14% 6,14% 6,14%
B/CR 1,34 1,01 0,90

Keterangan: tanda kurung berarti minus

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu


1) pola agroforestry manglid secara finansial layak diusahakan dengan nilai NPV
Rp22.420.000, nilai IRR 6%, dan nilai B/CR 1,2 ; (2) penanaman tumbuhan bawah
tegakan kacang tanah, jagung, ganyong, dan suweg tidak memberikan kontribusi
positif terhadap nilai NPV; 3) penurunan produksi kayu manglid hingga 30% akan
menyebabkan pola agroforestry manglid menjadi tidak layak secara finansial; dan 4)
pada tingkat suku bunga 8%, agroforestry manglid menjadi tidak layak secara
finansial.

B. Saran

Pengusahaan agroforestry manglid dan beberapa tanaman bawah pada pene-


litian ini menunjukkan adanya peran tanaman bawah yang kurang memberikan
kontribusi positif terhadap nilai NPV. Hal ini karena produksi tanaman bawah yang
tidak berkontribusi positif terhadap nilai NPV. Oleh karena itu, pemeliharaan yang
lebih intensif terhadap tanaman bawah tegakan dengan input produksi yang lebih
efisien dapat berpotensi untuk meningkatkan nilai NPV agroforestry manglid.

274 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


A n ali si s Fina n si al Ag rofo re s try M ang lid

Daftar Pustaka

Atangana, A., Khasa, D., Chang, S., & Degrande, A. (2014). Tropical Agroforestry:
Springer.

Balai Penyuluhan Pertanian, P. d. K. (2012). Kecamatan Sukamantri.

Cahyono, S. A., & Indrajaya, Y. (2011). Agroforestri tradisional Indonesia berbasis


kearifan lokal: Masa depan yang terancam. Paper presented at the Seminar
nasional hari lingkungan hidup, UNSOED Purwokerto.

Ginoga, K. L., Wulan, Y., & Djaenudin, D. (2005). Karbon dan peranannya dalam
kelayakan usaha hutan tanaman jati (Tectona Grandis) di KPH Saradan, Jawa
Timur. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi, 2, 183-202.

Hadi, R. (2009). Teknik optimalisasi pemanfaatan lahan di antara tanaman kelapa


di daerah pasang surut Jambi. Buleting Teknik Pertanian, 14(1).

Indrajaya, Y. (2014). Daur optimal hutan rakyat manglid di Kecamatan Kawalu,


Tasikmalaya, Jawa Barat.

Indrajaya, Y., & Sudomo, A. (2013). Analisis finansial agroforestry sengon dan
kapulaga di Desa Payungagung, Kecamatan Panumbangan, Ciamis. Jurnal
Agroforestry.

Jose, S., & Gordon, A. M. (2008). Ecological knowledge and agroforestry design: an
introduction. In S. Jose & A. M. Gordon (Eds.), Toward agroforestry design:
An ecological approach. Springer.

Kusumedi, P., & Jariyah, N. A. (2010). Analisis finansial pengelolaan agroforestry


dengan pola sengon kapulaga di Desa Tirip, Kecamatan Wadaslintang,
Kabupaten Wonosobo. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 7(2),
93-100.

Puspitojati, T., Sudomo, A., & Rohandi, A. (2013). Peningkatan produktivitas


lahan melalui pola agroforestry kayu pertukangan dengan tanaman pangan.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 275


Y. Indrajaya & A. Sudomo

Siregar, U. J., Rachmi, A., Massijaya, M. Y., Ishibashi, N., & Ando, K. (2007).
Economic analysis of sengon (Paraserianthes falcataria) community forest
plantation, a fast growing species in East Java, Indonesia. Forest policy and
economics, 9, 822-829.

Thompson, D., & George, B. (2009). Financial and economic evaluation of


agroforestry. In I. Nuberg, B. George & R. Reid (Eds.), Agroforestry for
natural resource management. Collingwood Australia: CSIRO Publishing.

World Bank. (2013). World Bank Indicator.

Yuniati, D. (2011). Analisis finansial dan ekonomi pembangunan hutan tanaman


Dipterokarpa dengan teknik SILIN (Studi kasus PT Sari Bumi Kusuma,
Kalimantan Barat). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 8(4), 239-249.

276 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Kajian Pemasaran Kayu Manglid (Magnolia champaca)
di Kabupaten Tasikmalaya

Soleh Mulyana 1

ABSTRAK

Pemasaran merupakan kegiatan akhir sebagai penentu keberhasilan dalam suatu usaha,
begitu pula terhadap budi daya kayu. Para petani dalam memasarkan kayu manglid masih
berupa pohon berdiri di kebunnya. Kajian ini bertujuan mengetahui pola saluran pemasaran
berikut margin pemasaran yang terjadi di Kabupaten Tasikamalaya yang merupakan salah
satu wilayah sentra kayu manglid di Priangan Timur. Metode snowball dan wawancara digu-
nakan untuk mengetahui pola saluran pemasaran, sedangkan parameter Setyaningsih. (2008)
digunakan untuk mengetahui margin pemasaran. Hasil kajian dijumpai delapan pola saluran
pemasaran kayu manglid sampai ke konsumen, yaitu enam pola untuk wilayah Kabupaten
Tasikmalaya dan dua pola saluran pemasaran untuk memenuhi konsumen ke wilayah
Bandung. Margin pemasaran tertinggi sebesar 58,90% dan terkecil sebesar 4,76%; margin
keuntungan tertinggi sebesar 33,33% dan terkecil sebesar 2,38%; efisiensi pemasaran pada
saluran I sebesar 16,79%, sedangkan Farmer Share tertinggi sebesar 69,93%.

Kata kunci: kayu manglid, pola saluran pemasaran, margin pemasaran

I. Pendahuluan

Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu daerah yang dikenal sebagai


sentra penghasil komoditas kayu manglid yang tumbuh secara alami. Heyne (1987)
menyatakan bahwa manglid merupakan salah satu jenis kayu khas Pulau Jawa dan
paling banyak ditemukan di daerah Jawa Barat. Wilayah JawaTengah tidak umum
dijumpai pohon manglid, bahkan jarang sekali dijumpai pohon jenis ini di Jawa
Timur. Pada beberapa daerah, kayu manglid terkenal dengan beberapa nama, antara
lain jatuh, madang limpaung (Sumatra); baros, manglid, cempaka bulus (Sunda atau

1
Balai PenelitianTeknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis, Jawa Barat 46201
Email: solehmulyana@yahoo.co.id

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 277


S. Mulyana

Jawa). Hasil penelitian Rohandi et al. (2010) menunjukkan bahwa kayu manglid di
Priangan Timur tersebar pada jenis tanah lotosol, andosol, alluvial, dan podsolik
merah kuning pada ketinggian 4001.200 m dpl, curah hujan 1.5003.500
mm/tahun, dan kelerengan 045%. Kayu manglid dikembangkan dan dijadikan
komoditas unggulan melalui agroforestry pada progam pengembangan hutan rakyat
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rimpala,
2001).

Pemasaran sangat memegang peranan penting dalam kegiatan usaha, begitu


pula pada pengelolaan hutan rakyat pola agroforestry. Proses pemasaran merupakan
kegiatan menyelaraskan antara kepentingan petani (produsen) dengan keinginan
konsumen. Selama proses kegiatan pemasaran dari produsen ke konsumen,
terbentuk suatu rantai tata niaga. Setyaningsih dalam Sundawati (2008) menyebut-
kan terdapatnya suatu alur pemasaran, yaitu suatu jalur atau hubungan yang dilewati
oleh arus barang-barang, aktivitas, dan informasi dari produsen ke konsumen
dengan melibatkan komponen yang membentuk suatu rantai pemasaran, yaitu
produk, pelaku, aktivitas, dan input. Banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat
akan memperpanjang alur pemasaran sehingga berpengaruh terhadap posisi tawar di
tingkat petani (produsen) atau besarnya harga yang harus ditanggung konsumen.

Menurut Achmad et al. (2006), pemasaran komoditas hasil hutan rakyat


masih menghadapi beberapa permasalahan, antara lain 1) produk dihasilkan oleh
petani dalam unit-unit kecil; 2) produksi tergantung pada musim dan kebutuhan
sosial ekonomi produsen; 3) produk yang dihasilkan tidak dapat dijual secara
langsung atau sulit dilakukan penjualan langsung ke konsumen akhir; 4) produk
bersifat ruah atau memakan tempat (bulky); 5) untuk jenis-jenis tertentu produk
hanya bisa dijual di suatu tempat tertentu.

Informasi pasar dan berfungsinya pasar dengan baik sangat diperlukan untuk
mengarahkan produk guna memenuhi peluang pasar dan menambah pendapatan
para petani. Sebagaimana ditegaskan Achmad et al. (2009), apabila pemasaran dapat
dilakukan secara langsung oleh pemilik komoditas kepada pengguna, efisiensi
pemasaran yang optimal bisa dicapai sehingga pendapatan produsen akan

278 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K aji an P ema sa r an Ka yu Ma ng lid

meningkat. Sementara itu, Kotler (2002) menyatakan bahwa saluran distribusi dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Saluran distribusi langsung, yaitu saluran distribusi di mana penyaluran produk


dari produsen langsung ke tangan konsumen tanpa melalui perantara atau
penyalur.

2. Saluran distribusi tidak langsung, yaitu perusahaan dalam mendistribusikan


produknya menggunakan penyalur agen perantara dan juga pengecer sebelum
sampai ke tangan konsumen.

Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, serta desakan kebutuhan para


petani menjadi kendala dalam memenuhi bentuk produk sebagaimana permintaan
konsumen. Keadaan ini menjadikan pemasaran komoditas kayu manglid masih
berupa pohon berdiri di kebunnya. Hal inilah yang menjadi peluang usaha dengan
munculnya berbagai tingkatan lembaga pemasaran. Tujuan kajian ini adalah
mengetahui tingkatan lembaga pemasaran, pola saluran pemasaran, dan margin
pemasaran terhadap produk komoditas kayu manglid yang terjadi di Kabupaten
Tasikmalaya.

II. Metodologi

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Kabupaten Tasikmalaya terpilih sebagai lokasi penelitian karena sebagai salah


satu sentra kayu manglid dan pemasok di wilayah Priangan Timur. Kegiatan kajian
dilakukan dimulai pada bulan April 2013.

B. Penentuan Responden

1. Para petani terpilih secara sengaja (provosive sampling) sebagai pengelola hutan
rakyat pola agroforestry komoditas kayu manglid.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 279


S. Mulyana

2. Lembaga pemasaran berdasarkan penelusuran (snawball sampling) mulai dari


tingkat dusun, kecamatan, hingga kabupaten yang terlibat dalam pemasaran
komoditas kayu manglid berdasarkan informasi awal dari para petani.

C. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari hasil wawancara bersama petani dan lembaga pemasaran dengan
menggunakan daftar pertanyaan atau kuisioner. Sementara itu, data sekunder
diperoleh dari berbagai sumber, antara lain laporan dari instansi terkait ataupun hasil
kegiatan penelitian sebelumnya sebagai referensi.

D. Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk mengetahui


karakteristik para petani, lembaga pemasaran, dan pola saluran pemasaran. Semen-
tara, margin pemasaran dianalisis menggunakan parameter margin pemasaran,
margin keuntungan, dan tingkat efisiensi pemasarannya (Setyaningsih, 2008)
dengan uraian sebagai berikut:

Margin pemasaran (marketing margin) untuk setiap lembaga pemasaran diperoleh


dengan menggunakan rumus:

Mj = Pj Pf atau Mj = B +

Keterangan: Mj = margin pemasaran pada tingkat lembaga pemasaran ke-j


Pj = harga di tingkat lembaga pemasaran ke-j
Pf = harga di tingkat lembaga pemasaran ke-f (sebelum lembaga
pemasaran ke-j)
B = biaya pemasaran
= keuntungan lembaga pemasaran

280 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K aji an P ema sa r an Ka yu Ma ng lid

Margin keuntungan (profit margin) diperoleh dengan menggunakan rumus:

Keterangan: Ski, Sbi = bagian keuntungan yang diterima lembaga pemasaran


Sp = besarnya kontribusi harga yang diterima produsen
bi = biaya tata niaga ke-i
ki = keuntungan ke-i
Pr = harga ditingkat konsumen (user)
Pf = harga ditingkat produsen (farm)

Tingkat efisiensi pemasaran menggunakan rumus:

III. Hasil dan Pembahasan

A. Produksi Kayu Manglid

Berdasarkan data sekunder diperoleh produksi kayu bulat (log) selama tiga
tahun (20102012) (Dishutbun Kabupaten Tasikmalaya, 2013) sebagaimana disaji-
kan pada Gambar 1. Grafik pada Gambar 1 menunjukan bahwa keadaan produksi
kayu albasia menempati posisi tertinggi, sedangkan kayu manglid berada pada urutan
kedua dari yang terkecil sebelum pinus. Mengingat perbandingan daur ekonomis
manglid dengan albasia 1:3 (15 tahun:5 tahun), para petani cenderung membudi-
dayakan albasia. Hal ini mengakibatkan tempat tumbuh kayu manglid secara alami
ataupun budi daya terdegradasi oleh jenis albasia.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 281


S. Mulyana

Sumber: hasil pengolahan data tahun 2013

Gambar 1. Grafik produksi log kayu manglid (m3) tahun 20102012

B. Karakteristik Lembaga Pemasaran

Petani (produsen) secara umum memasarkan kayu masih dalam keadaan


pohon berdiri di kebunnya, sedangkan permintaan konsumen sudah berupa sawn
timber atau barang jadi siap pakai. Keadaan ini membuat peluang usaha munculnya
berbagai tingkatan lembaga pemasaran. Berdasarkan data, informasi awal, dan hasil
penelusuran terhadap lembaga pemasaran yang terlibat dalam komoditas kayu
manglid, ternyata dijumpai berbagai lembaga pemasaran, antara lain penyiar
(informan), bandar pengepul, industri penggergajian, pedagang kayu gergajian
antarkota, industri barang jadi, dan toko material/los kayu (pengecer) dengan
berbagai kegiatan dan peranan yang dilakukannya, yaitu:

1. Produsen (petani): peranannya sebagai pemilik dan pengelola hutan rakyat yang
menghasilkan produk komoditas kayu manglid.

2. Penyiar (imforman): peranannya sebagai pencari dan pemberi informasi tentang


lokasi, harga, kondisi fisik, dan dimensi setiap jenis pohon (diameter, volume,
dan keadaan lapangan). Informasi ini kemudian disampaikan kepada lembaga
pemasaran lain atau yang telah memiliki kerja sama dengannya dengan harapan
akan mendapatkan komisi dari pembeli.

282 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K aji an P ema sa r an Ka yu Ma ng lid

3. Industri penggergajian: merupakan pemilik modal dan peralatan mesin pengger-


gajian yang berperan sebagai pembeli kayu berupa pohon/log secara langsung dari
patani atau melaui lembaga penyiar (informan), ataupun dari pedagang penge-
pul. Peranannya adalah merubah bahan baku log menjadi kayu gergajian (sawn
timber), kemudian dijual kembali secara langsung ke konsumen akhir, yaitu ke
lembaga pemasaran berikutnya (pedagang kayu gergajian antarkota, los kayu/toko
material, dan industri barang jadi).

4. Industri barang jadi: merupakan pemilik modal dan pembeli bahan baku (sawn
timber) dari industri pergajian. Bermodalkan peralatan dan keahliannya, pelaku
ini dapat merubah bentuk kayu menjadi barang siap pakai (seperti pintu panel
dan mebel) yang kemudian dijual kembali ke konsumen akhir atau toko mebel.

5. Los kayu (toko material): merupakan pemilik modal dan tempat berjualan, yaitu
sebagai pembeli kayu gergajian untuk dijual kembali ke konsumen akhir, baik
dalam jumlah yang besar maupun secara eceran. Peranananya sangat membantu
bagi konsumen yang memerlukan kayu gergajian dalam jumlah sedikit.

6. Pedagang kayu gergajian: merupakan pemilik modal dan sebagai pembeli kayu
gergajian dari industri penggergajian untuk dijual kembali ke lembaga pemasaran
berikutnya (los kayu atau industri barang jadi), terutama lintas kota, kabupaten,
atau provinsi. Peranannya sangat membantu industri penggergajian dalam
memasarkan dan memasok los kayu (toko material) dan industri barang jadi yang
berada di pusat perkotaan.

C. Pola Saluran Pemasaran

Hasil penelusuran data dan wawancara yang dibuat dalam bentuk pola saluran
pemasaran (alur tata niaga) produk kayu manglid sebagaimana disajikan pada
Gambar 2. Gambar ini menunjukan bahwa terdapat delapan pola saluran pema-
saran kayu manglid yang melibatkan beberapa tingkatan lembaga pemasaran. Pola
saluran pemasaran yang terjadi untuk sampai ke konsumen di Kabupaten
Tasikmalaya terdapat enam pola saluran pemasaran, sedangkan dua pola saluran
pemasaran tambahan untuk memenuhi konsumen di wilayah Bandung.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 283


S. Mulyana

Kabupaten Tasik dan Ciamis


P Los Kayu 2,5
2,4 /Toko
E Material
1,2,3
T Industri 1,4
A Gergajian
Penyiar 4,5,6
N (informan) Industri
I 3,6 Barang
3,6
Jadi
Konsumen

Akhir
7,8
7
Los Kayu
7 /Toko
Pedagang Material
Kayu
Ke Bandung Gergajian
8 Industri
Barang 8
Jadi

Sumber: hasil penelusuran terhadap lembaga pemasaran 2013

Gambar 2. Bagan saluran pemasaran kayu manglid mulai dari Kabupaten Tasikmalaya sampai ke
Bandung.

D. Pemasaran

1. Harga Kayu Manglid

Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, harga kayu manglid ketika
masih berdiri di kebun dan harga kayu gelondongan (log) di pinggir jalan disajikan
pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa adanya kisaran harga dikarenakan
harga masih berubah tetapi tetap di kisaran tersebut. Perubahan harga tergantung
pada keadaaan topografi dan jauh dekatnya transportasi ke industri penggergajian
ataupun konsumen.

284 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K aji an P ema sa r an Ka yu Ma ng lid

Tabel 1. Kisaran harga kayu manglid sesuai kelas diameter di kebun dan log di pinggir jalan

Kelas diameter Tinggi Panjang


Harga Harga
bebas cabang bebas kayu
No. pohon masih berdiri gelondongan (log) di
batang cabang gelondongan
di kebun (Rp/m )3
pinggir jalan (Rp/m3)
( cm) (m) (m)
1. 1015 150.000250.000 1,31,6 300.000450.000
2. 1619 250.000300.000 1, 32,0 500.000600.000
3. 2025 4 400.000500.000 2,03,0 700.000900.000
4. 2630 600.000900.000 2,03,0 1.000.0002.000.000
5. 31-up 1.000.000- 1.500.000 2,03,0 1.000.0002.000.000

Sumber: hasil pengolahan data 2013

2. Biaya Pemasaran

Hasil olah data biaya yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran
disajikan pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Biaya pemasaran setiap lembaga pemasaran komoditas kayu manglid Wilayah
Kabupaten Tasikmalaya dan sekitarnya.

Biaya pemasaran dan Nilai jual (Rp/m3)


Produksi &
Lembaga pemasaran Pembelian Nilai jual Persentase (%)
administrasi
a b c (a+b)/cx100%
Produsen (Petani)
- Produksi 157.724 - 1.000.000
Jumlah 157.724 1.000.000 15,77
Industri penggergajian 1 m log
3

- 1 m3 log 1.000.000
- Penebang+transportasi/m 3
50.000 - -
- Administrasi 15.000 - -
- KayuBakar - - 10.000
- Gesek 175.000 - -
- Bahbir - - 20.000
- Kayu gergajian 70%x1 m3xRp2 juta - - 1.400.000
Jumlah 240.000 1.000.000 1.430.000 86,71

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 285


S. Mulyana

Biaya pemasaran dan Nilai jual (Rp/m3)


Produksi &
Lembaga pemasaran Pembelian Nilai jual Persentase (%)
administrasi
a b c (a+b)/cx100%
Los Kayu (toko material)
- Kayu gergajian (0,7 m3xRp2 juta/m3) 1.400.000
- Administrasi 10.000 - -
- Transportasi 25.000
- Kayu gergajian 70%x1 m xRp2,1 juta
3
1.470.000
Jumlah 35.000 1.400.000 1.470.000 97,62
Industri barang jadi
- Kayu gergajian (0,7 m3xRp2 juta/m3) 1.400.000
- Pembuatan 6 buah pintu panel
@Rp250.000 1.500.000 - -
- Transportasi 100.000 - -
- Pintu panel jadi 6 buah @Rp750.000 - - 4.500.000
Jumlah 1.600.000 1.400.000 4.500.000 66,67
Industri penggergajian via penyiar
- 1 m3 log 1.000.000
- Komisi 2,5% penyiar (imforman) 25.000
- Penebang+transportasi 50.000 - -
- Administrasi 15.000 - -
- Kayu bakar - - 10.000
- Gesek 175.000 - -
- Bahbir - - 20.000
- Kayu gergajian 70%x1 m3xRp2 juta - - 1.400.000
Jumlah 240.000 1.025.000 1.430.000 88,46

Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan besarnya biaya-biaya yang dikeluarkan


setiap lembaga pemasaran kayu manglid per m3. Biaya terkecil terdapat pada
produsen sebesar 15,17%; sedangkan lembaga pemasaran 60%, industri
penggergjian sekitar 86,7188,71%, los kayu sekitar 93,3397,62%, dan industri
barang jadi sekitar 66,6779,69% dari nilai harga jual di setiap lembaga pemasaran.

286 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K aji an P ema sa r an Ka yu Ma ng lid

Tabel 3. Biaya pemasaran setiap lembaga pemasaran kayu manglid ke wilayah Bandung

Biaya pemasaran dan Nilai jual (Rp/m3)


Produksi &
Lembaga pemasaran Pembelian Nilai jual Persentase (%)
administrasi
a b c (a+b)/cx100%
Pedagang kayu gergajian antarkota
- Kayu gergajian (0,7 m3) 1.400.000
- Transportasi ke Bandung 150.000 - -
- Administrasi 25.000 - -
- Timbangan, pungutan, dll (8 m3/
truk) Rp150.000 18.750 - -
- Bongkar muat 30.000 - -
- Jual 0,7 m 3
- - 1.925.000
Jumlah 223.750 1.400.000 1.925.000 84,35
Los Kayu (toko material) - 1.925.000 -
- Administrasi 10.000
- Transportasi 25.000
- Jual 0,7 m 3
- 2.100.000
Jumlah 35.000 1.925.000 2.100.000 93,33
Industri barang jadi - 1.925.000 -
- Pembuatan 6 buah pintu panel
@Rp300.000 1.800.000 - -
- Transportasi 100.000 - -
- Pintu panel jadi 6 buah @Rp800.000 - - 4.800.000
Jumlah 1.900.000 1.925.000 4.800.000 79,69

Sumber: hasil pengolahan data 2013

3. Analisis Margin Pemasaran (Marketing Margin)

Margin pemasaran pada setiap pola saluran pemasaran dipengaruhi oleh


banyaknya lembaga pemasaran atau panjang pendek alur tata niaganya. Hasil
pengolahan data margin pemasaran disajikan pada Tabel 4, 5, dan 6.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 287


S. Mulyana

Tabel 4. Hasil analisis margin pemasaran kayu manglid pada saluran pemasaran I-III
Saluran I Saluran II Saluran III
Uraian kegiatan
Rp/m3 % Rp/m3 % Rp/m3 %
Produsen (Petani)
- Produksi 157.724 11,03 157.724 10,73 157.724 3,50
- Harga jual 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22
Keuntungan 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72
Margin pemasaran 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72
Industri penggergajian
- Beli kayu 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22
- Administrasi 15.000 1,05 15.000 1,02 15.000 0,33
- Penebangan+transportasi 50.000 3,50 50.000 3,40 50.000 1,11
- Penggergajian/gesek 175.000 12,24 175.000 11,90 175.000 3,89
Total Biaya 1.240.000 86,71 1.240.000 84,35 1.240.000 27,56
Harga jual
- Kayu bakar 10.000 0,70 10.000 0,68 10.000 0,22
- Bahbir 20.000 1,40 20.000 1,36 20.000 0,44
- Kayu gergajian (rendemen 1.400.000 97,90 1.400.000 95,24 1.400.000 31,11
70% dari 1 m3)
Jumlah 1.430.000 100 1.430.000 97,28 1.430.000 31,78
Keuntungan 190.000 13,29 190.000 12,93 190.000 4,22
Margin pemasaran 430.000 30,07 430.000 29,25 430.000 9,56
Los kayu (toko material)
- Beli kayu gergajian 1.400.000 95,24
(rendemen 70% dari 1 m ) 3

- Administrasi 10.000 0,68


- Transportasi 25.000 1,70
Total Biaya 1.435.000 97,62
- Harga jual 1.470.000 100,00
Keuntungan 35.000 2,38
Margin pemasaran 70.000 4,76
Industri barang jadi
- Beli kayu gergajian 1.400.000 31,11
(rendemen 70% dari 1 m ) 3

- Biaya produksi pintu 1.500.000 33,33


6xRp250.000
- Transportasi 100.000 2,22
Total Biaya 3.000.000 66,67
- Harga jual 6xRp750.000 4.500.000 100,00
Keuntungan 1.500.000 33,33
Margin pemasaran 3.100.000 68,89
Sumber: hasil pengolahan data 2013

288 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K aji an P ema sa r an Ka yu Ma ng lid

Tabel 5. Hasil analisis margin pemasaran kayu manglid pada setiap saluran IV-VI

Saluran IV Saluran V Saluran VI


Uraian kegiatan
Rp/m 3
% Rp/m 3
% Rp/m3 %
Produsen (Petani)
- Produksi 157.724 11,03 157.724 10,73 157.724 3,50
- Harga jual 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22
Keuntungan 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72
Margin pemasaran 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72
Industri penggergajian
- Beli kayu 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22
- Komisi 2,5% penyiar 25.000 1,75 25.000 1,70 25.000 0,56
- Administrasi 15.000 1,05 15.000 1,02 15.000 0,33
- Penebangan+transportasi 50.000 3,50 50.000 3,40 50.000 1,11
- Penggergajian/gesek 175.000 12,24 175.000 11,90 175.000 3,89
Total Biaya 1.265.000 88,46 1.265.000 86,05 1.265.000 28,11
Harga Jual
- Kayu bakar 10.000 0,70 10.000 0,68 10.000 0,22
- Bahbir 20.000 1,40 20.000 1,36 20.000 0,44
- Kayu gergajian (rendemen 1.400.000 97,90 1.400.000 95,24 1.400.000 31,11
70% dari 1 m3)
Jumlah 1.430.000 100 1.430.000 97,28 1.430.000 31,78
Keuntungan 165.000 11,54 165.000 11,22 165.000 3,67
Margin pemasaran 430.000 30,07 430.000 29,25 430.000 9,56
Los kayu (pengecer)
- Beli kayu gergajian 1.400.000 95,24
(rendemen 70% dari 1 m ) 3

- Administrasi 10.000 0,68


- Transportasi 25.000 1,70
Total Biaya 1.435.000 97,62
- Harga jual 1.470.000 100
Keuntungan 35.000 2,38
Margin pemasaran 70.000 4,76
Industri barang jadi
- Beli kayu gergajian 1.400.000 31,11
(rendemen 70% dari 1 m3)
- Biaya produksi pintu 1.500.000 33,33
6xRp250.000
- Transportasi 100.000 2,22
Total Biaya 3.000.000 66,67
- Harga jual 6xRp750.000 4.500.000 100
Keuntungan 1.500.000 33,33
Margin pemasaran 3.100.000 68,89

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 289


S. Mulyana

Tabel 6. Hasil analisis margin pemasaran kayu manglid pada saluran pemasaran VII & VIII

Saluran VII Saluran VIII


Uraian kegiatan
Rp/m 3
% Rp/m3 %
Produsen (Petani)
- Produksi 157.724 7,51 157.724 3,29
- Harga jual 1.000.000 47,62 1.000.000 20,83
Keuntungan 842.276 40,11 842.276 17,55
Margin pemasaran 842.276 40,11 842.276 17,55
Industri penggergajian
- Beli kayu 1.000.000 47,62 1.000.000 20,83
- Administrasi 15.000 0,71 15.000 0,31
- Penebangan+transportasi 50.000 2,38 50.000 1,04
- Penggergajian/gesek 175.000 8,33 175.000 3,65
Total Biaya 1.240.000 59,05 1.240.000 25,83
Harga Jual
- Kayu bakar 10.000 0,48 10.000 0,21
- Bahbir 20.000 0,95 20.000 0,42
- Kayu gergajian (rendemen 70% dari 1 m ) 3
1.400.000 66,67 1.400.000 29,17
Jumlah 1.430.000 68,10 1.430.000 29,79
Keuntungan 190.000 9,05 190.000 3,96
Margin pemasaran 430.000 20,48 430.000 8,96
Pedagang kayu gergajian antarkota
- Beli kayu gergajian (0,7 m3) 1.400.000 66,67 1.400.000 29,17
- Administrasi 25.000 1,19 25.000 0,52
- Transportasi 150.000 7,14 150.000 3,13
- Timbangan, pungutan, dll (8 m /truk)
3

Rp150.000 18.750 0,89 18.750 0,39


- Bongkar muat 30.000 1,43 30.000 0,63
Total Biaya 1.623.750 77,32 1.623.750 33,83
- Harga jual Rp2.750.000/m3 (0,7 m3) 1.925.000 91,67 1.925.000 40,10
Keuntungan 301.250 14,35 01.250 6,28
Margin pemasaran 525.000 25,00 525.000 10,94

290 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K aji an P ema sa r an Ka yu Ma ng lid

Saluran VII Saluran VIII


Uraian kegiatan
Rp/m 3
% Rp/m3 %
Los kayu (Pengecer)
- Beli kayu gergajian (0,7 m3) 1.925.000 91,67
- Administrasi 10.000 0,48
- Transportasi 25.000 1,19
Total Biaya 1.960.000 93,33
- Harga jual Rp3 juta/m (0,7 m )
3 3
2.100.000 100
Keuntungan 140.000 6,67
Margin pemasaran 175.000 8,33
Industri barang jadi
- Beli kayu gergajian (0,7 m3) 1.925.000 40,10
- Biaya produksi pintu 6xRp300.000 1.800.000 37,50
- Transportasi 100.000 2,08
Total Biaya 3.825.000 79,69
- Harga jual 6xRp800.000 4.800.000 100,00
Keuntungan 975.000 20,31
Margin pemasaran 2.875.000 59,90

Tabel 4, 5, dan 6 menunjukkan margin pemasaran pada setiap pola saluran


pemasaran kayu manglid yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya sampai ke wilayah
Bandung, sebagi berikut:

Pola saluran pemasaran I; yang mana margin produsen (petani) sebesar 58,90%,
sedangkan industri penggergajian 30,07% dari nilai harga jual Rp1.430.000.
Keadaan ini dikarenakan bahan baku diperoleh secara langsung dari petani,
kemudian diproses menjadi kayu gergajian dan pemasaraannya langsung ke
konsumen akhir.

Pola saluran pemasaran II; komoditas kayu gergajian harus melewati dua lembaga
pemasaran sebelum ke konsumen akhir. Margin tertinggi masih pada produsen
sebesar 57,30%, sedangkan terendah pada los kayu (toko material) sebesar 4,76%
pada Saluran V dari nilai harga jual ke konsumen akhir Rp1.470.000.

Pola saluran pemasaran III; kayu manglid mengalami proses produksi yang kedua
untuk dijadikan produk baru. Margin pemasaran tertinggi diperoleh industri

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 291


S. Mulyana

barang jadi sebesar 68,89%, sedangkan terkecil diperoleh industri penggergajian


9,56% dari nilai harga jual Rp4.500.000 /m3 setelah berubah bentuk menjadi
enam buah pintu panel.

Pola saluran pemasaran IV; yang mana konsumen akhir secara langsung menda-
patkan layu gergajian dari industri penggergajian. Margin pemasaran tertinggi
diperoleh produsen sebesar 58,90%, sedangkan industri penggergajian
memperoleh 30,07% dari nilai harga jual ke konsumen akhir Rp1.430.000/m3.
Biaya produksi yang ditanggung oleh industri penggergajin lebih besar yaitu
88,46% dibandingkan dengan saluran I sebesar 86,71% dengan selisih 1,75%.
Besarnya biaya produksi dikarenakan adanya biaya komisi yang harus diberikan
kepada imforman sebesar 1,75%.

Pola saluran pemasaran ke V; margin pemasaran tertinggi diperoleh produsen


sebesar 57,30%, sedangkan terkecil diterima los kayu (toko material) sebesar
4,76% dari nilai harga jual Rp1.470.000/m3.

Pola saluran pemasaran ke VI; margin pemasaran tertinggi diperoleh industri


barang jadi sebesar 68,89%, sedangkan terkecil diperoleh industri penggergajian
9,56% dari nilai harga jual sebesar Rp4.500.000/m3 setelah berubah bentuk
menjadi enam buah pintu panel.

Pola saluran pemasaran ke VII; margin pemasaran tertinggi diperoleh produsen


sebesar 40,11%, kemudian pedagang kayu gergajian antarkota sebesar 25%,
sedangkan terkecil diperoleh los kayu (toko material) sebesar 8,33% dari nilai
harga jual Rp2.100.000/m3.

Pola saluran pemasaran ke VIII; margin pemasaran tertinggi terdapat pada


lemabaga industri barang jadi sebesar 59,90%, sedangkan yang terkecil pada
lembaga industri penggergajian 8,96% dari nilai harga jual Rp4.800.000/m3
setelah berubah bentuk menjadi enam buah pintu panel.

292 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K aji an P ema sa r an Ka yu Ma ng lid

4. Analisis Margin Keuntungan (Profit Margin)

Margin keuntungan lembaga pemasaran pada setiap saluran pemasaran komo-


ditas kayu manglid disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Margin keuntungan lembaga pemasaran kayu manglid setiap saluran pemasaran

Nilai (Rp/m3)
Persentase
Saluran Pemasaran Produksi, administrasi, Keterangan
Penjualan Keuntungan (%)
& tata niaga

Saluran Pemasaran I
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 58,90
Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 13,29

Saluran Pemasaran II
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 57,30
Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 12,93
Los kayu (pengecer) 1.410.000 1.470.000 60.000 2,38

Saluran Pemasaran III


Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 18,72
Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 4,22
Pemasaran di
Industri barang jadi 3.000.000 4.500.000 1.500.000 33,33
Kabupaten
Saluran Pemasaran IV Tasikmalaya
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 58,90 dan
Penyiar komisi 2,5% - 25.000 25.000 1,75 Kabupaten
Industri penggergajian 1.265.000 1.430.000 165.000 11,54 Ciamis
Saluran Pemasaran V
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 57,30
Penyiar komisi 2,5% - 25.000 25.000 1,70
Industri penggergajian 1.265.000 1.430.000 165.000 11,22
Loas kayu (pengecer) 1.435.000 1.470.000 35.000 2,38

Saluran Pemasaran VI
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 18,72
Penyiar komisi 2,5% - 25.000 25.000 0,56
Industri penggergajian 1.265.000 1.430.000 165.000 3,67
Industri barang jadi 3.000.000 4.500.000 1.500.000 33,33

Saluran Pemasaran VII


Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 40,11 Pemasaran
Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 9,05 ke
Pedagang kayu gergajian 1.623.750 1.925.000 301.250 14,35 Bandung
Los kayu (pengecer) 1.960.000 2.100.000 140.000 6,67

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 293


S. Mulyana

Nilai (Rp/m3)
Persentase
Saluran Pemasaran Produksi, administrasi, Keterangan
Penjualan Keuntungan (%)
& tata niaga

Saluran Pemasaran VIII


Produsen (Petani) 157.724 1.000.000 842.276 17,55
Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 3,96
Pedagang kayu gergajian 1.623.750 1.925.000 301.250 6,28
Industri barang jadi (1 m3) 3.825.000 4.800.000 975.000 20,31

Sumber: hasil pengolahan data tahun 2013

Tabel 7 menunjukkan bahwa produsen mendapat keuntungan dari hasil pen-


jualan komoditas kayu manglid sebesar Rp842.276/m3 dan ini terjadi pada semua
saluran pemasaran. Keadaan ini terjadi karena produsen memasarkan komoditas
kayu manglid dalam kondisi masih berupa pohon berdiri. Persentase keuntungan
produsen sangat bervariasi, yaitu sebesar 17,5558,90%. Hal ini disebabkan adanya
perubahan bentuk pada lembaga pemasaran tertentu sehingga nilai jual ke konsumen
menjadi tinggi. Persentase keuntungan terkecil bagi produsen di bawah 20%
terdapat pada saluran pemasaran III dan VI (18,72%), serta VIII (17,5%); sedangkan
persentase terbesar terdapat pada saluran pemasaran I dan IV (58,90%), II dan V
(57,30%), serta saluran VII (40,11%). Lembaga pemasaran yang mendapatkan keun-
tungan tertinggi adalah industri barang jadi sebesar Rp1.500.000 (33,33%) yang
terdapat pada saluran pemasaran III dan VI di wilayah Kabupaten Tasikmalaya dan
Kabupaten Ciamis. Sementara itu, keuntungan Rp975.000 (20,31%) terdapat pada
saluran pemasaran VIII untuk pemasaran ke Bandung. Keuntungn terkecil diperoleh
lembaga pemasaran los kayu (toko material) sebesar Rp35.000 (2,38%) yang terdapat
pada saluran II dan V di wilayah Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis.

5. Bagian Petani (Farmer Share)

Bagian petani adalah indikator perbandingan harga yang harus dibayarkan


konsumen dengan harga yang diterima produsen (petani). Semakin tinggi margin
pemasaran maka semakin rendah bagian produsen (petani) karena analisis farmer
share memiliki hubungan negatif dengan margin pemasaran. Besaran persentase

294 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K aji an P ema sa r an Ka yu Ma ng lid

farmer share pada setiap saluran pemasaran untuk komoditas kayu manglid disajikan
pada Tabel 8.

Tabel 8. Bagian petani (farmer share) komoditas kayu manglid setiap saluran pamasaran

Harga di tingkat Harga di tingkat


Saluran Pemasaran Persentae (%)
produsen (Petani) (Rp) konsumen (Rp)
Saluran Pemasaran I 1.000.000 1.430.000 69,93
Saluran Pemasaran II 1.000.000 1.470.000 68,03
Saluran Pemasaran III 1.000.000 4.500.000 22,22
Saluran Pemasaran IV 1.000.000 1.430.000 69,93
Saluran Pemasaran V 1.000.000 1.470.000 68,03
Saluran Pemasaran VI 1.000.000 4.500.000 22,22
Saluran Pemasaran VII 1.000.000 2.100.000 47,62
Saluran Pemasaran VIII 1.000.000 4.800.000 20,83

Sumber: hasil pengolahan data tahun 2013

Tabel 8 menunjukkan bahwa harga produk di tingkat petani pada semua pola
saluran pemasaran tetap. Besaran persentase farmer share tergantung pada jumlah
lembaga pemasaran yang terlibat dan bentuk produk olahan akhir. Persentase farmer
share tertinggi terdapat pada saluran I dan IV sebesar 69,93% yang mana industri
penggergajian menjual produk olahan langsung ke konsumen. Sementara itu,
persentase terkecil terdapat pada saluran VIII sebesar 20,83% karena bahan baku
dari petani mengalami dua kali proses pengolahan sebelum sampai ke konsumen.

6. Analisis Efisiensi Pemasaran (Mark-up on Selling)

Berdasarkan hasil analisis margin pemasaran, total keuntungan pada setiap


pola saluran pemasaran, total biaya pemasaran, dan farmer share; efisien pemasaran
dapat dilihat sebagaimana disajikan pada Tabel 9.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 295


S. Mulyana

Tabel 9. Perbandingan efisiensi pemasaran pada setiap saluran pemasaran komoditas kayu
manglid

Saluran Pemasaran
Uraian
I II III IV V VI VII VIII
Total margin pemasaran (%) 93,41 91,31 97,17 88,97 91,31 97,17 93,92 97,35
Total biaya pemasaran (%) 16,79 18,70 40,88 18,54 20,40 41,44 22,31 49,25
Total keuntungan (%) 72,19 72,61 56,27 70,44 70,90 55,72 70,18 48,10
Farmer share (%) 69,93 68,03 22,22 69,93 68,03 22,22 47,62 20,83

Sumber: hasil pengolahan data tahun 2013

Tabel 9 menunjukkan bahwa total biaya pemasaran terkecil sebesar 16,79%


dengan farmer share tertinggi 69,93% dan biaya pemasaran terkecil terdapat pada
saluran I yang mana industri penggergajian secara langsung menjual ke konsumen.
Sementara itu, farmer share terendah sebesar 20,83% dengan total biaya pemasaran
49,25% terdapat pada saluran VIII dikarenakan komoditas kayu manglid lintas kota/
kabupaten membutuhkan biaya pemasaran cukup tinggi. Dengan demikian, pola
saluran pemasaran I ternyata lebih efisien dari kedelapan saluran pola pemasaran
komoditas kayu manglid.

IV. Kesimpulan

Keterbatasan tingkat pengetahuan, kemampuan, dan kebutuhan para petani


(produsen) menyebabkan pemasaran komoditas kayu manglid masih berupa pohon
berdiri di kebunnya. Keadaan ini memberikan peluang usaha dengan munculnya
berbagai tingkat lembaga pemasaran.

Terdapat delapan pola saluran pemasaran dalam proses produk kayu manglid
sampai ke konsumen akhir. Lembaga pemasaran yang memiliki peranan sangat
penting adalah 1) industri penggergajian yang dapat merubah bentuk dasar dari kayu
gelondongan (log) menjadi kayu gergajian (sawn timber) sehingga dapat digunakan
secara langsung atau sebagai bahan baku industri lainnya, dan 2) industri barang jadi

296 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


K aji an P ema sa r an Ka yu Ma ng lid

yang dapat merubah kayu gergajian menjadi barang siap pakai (pintu panel, mebel,
kerajinan, dan lain-lain).
Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran komo-
ditas kayu manglid adalah sebagai berikut, petani sebesar 15,17%, industri pengger-
gajian sebesar 86,7188,71%, los kayu sebesar 93,3397,62%, dan industri barang
jadi sebesar 66,6779,69% dari nilai harga jual. Margin pemasaran (marketing
margin) komoditas kayu manglid tertinggi diperoleh produsen sebesar 58,90% yang
terdapat pada pola saluran pemasaran I dan IV, sedangkan terkecil diperoleh los
kayu (toko material) sebesar 4,76% pada pola saluran pemasaran II dan V. Margin
keuntungan tertinggi diperoleh lembaga pemasaran industri barang jadi sebesar
33,33% pada pola saluran pemasaran III dan VI, sedangkan terkecil diperoleh los
kayu (toko material) sebesar 2,38% pada pola saluran pemasaran II dan V. Efisiensi
saluran pemasaran komoditas kayu manglid yang lebih efisien dari delapan saluran
adalah pada saluran I dengan total biaya pemasaran terkecil 16,79% dan farmer share
terbesar 69,93%.

Daftar Pustaka

Achmad, B., Mulyana, S., & Kuswantoro, D. P. (2006). Kajian implementasi tata
usaha dan tata niaga kayu rakyat di Kabupaten Garut. Paper presented at the
Seminar Hasil Penelitian Puslitbang Sosekjak, Bogor.

Achmad, B., Mulyana, S., Puspitojati, T., Darsono, & Sutrisna, N. (2009). Kajian
pemanfaatan dan pemasaran hasil hutan rakyat Laporan Hasil Penelitian.
Ciamis: Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Bogor, Indonesia: Badan
Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan

Kotler, P. (2002). Manajemen pemasaran: Milenium Prenhalindo.

Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan


hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 297


S. Mulyana

Rohandi, A., Swestiani, D., Gunawan, Nadiharto, Y., Rahwaman, B., & Setiawan,
I. (2010). Identifikasi sebaran populasi dan potensi lahan jenis manglid untuk
pengembangan sumber benih dan hutan rakyat di wilayah Priangan Timur
Laporan Hasil Penelitian RISTEK.

Setyaningsih, L. (2008). Analisis rantai pemasaran produk agroforestry. Bogor: World


Agroforestry Center (ICRAF).

Sundawati, L. (2008). Pengembangan dan kelestarian agroforestry: Pemasaran produk-


produk agroforestry: World Agroforestry Center (ICRAF).

298 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


BAB VIII

PENUTUP
Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan

I. Pendahuluan

Keberadaan jenis manglid pada hutan rakyat di wilayah Priangan Timur men-
jadi awal untuk pengembangannya dari skala tradisional menjadi agribisnis yang
profesional. Masyarakat telah mengenal, menanam, memasarkan, dan memanfaat-
kan jenis ini secara tradisional. Hasil-hasil penelitian pada buku ini menjadi satu
tahapan untuk mendukung perbaikan pengelolaan hutan rakyat manglid menuju
arah yang lebih profesional berbasis informasi ilmiah.

Bab terakhir pada buku ini merupakan rangkuman hasil-hasil penelitian yang
diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya. Berdasarkan status riset tersebut, ulasan
ini disusun terkait peluang pengembangan hutan rakyat manglid dan implikasi
kebijakannya. Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat bermanfaat bagi petani/
praktisi kehutanan khususnya hutan rakyat skala kecil dan menengah, peneliti/
akademisi, dan pengambil kebijakan.

II. Hutan Rakyat Manglid: Status Riset

Jenis manglid telah menjadi bagian dalam kehidupan sosial ekonomi dan
budaya para petani di Jawa Barat bagian timur. Namun demikian, penamaan jenis
berdasarkan nama lokal seringkali rancu dan tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan
dalam kajian-kajian yang bersifat ilmiah. Contohnya masyarakat di Tasikmalaya,
mereka mengenal beberapa sebutan untuk manglid, seperti manglid bodas, manglid
bulu, dan manglid tanduk. Masyarakat juga mengenal nama baros dan cempaka yang
secara morfologis memiliki kemiripan dengan manglid. Sebutan yang berbeda-beda
ini dapat menimbulkan kesimpangsiuran yang perlu diperjelas melalui identifikasi
secara ilmiah. Winara et al. menyebutkan bahwa jenis manglid yang dikenal oleh
masyarakat memiliki nama latin Magnolia champaca (L.) Baill. ex Pierre. Selain itu,
terdapat satu variasi manglid yang teridentifikasi hingga tingkat varietas, yaitu
Magnolia champaca var. pubinervia (Blume) Figlar & Noot. Hasil pengamatan juga

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 301


menunjukkan adanya variasi morfologi manglid pada bagian daun, bunga, batang,
dan tajuk.

Hutan rakyat manglid di wilayah Priangan Timur telah berkembang dengan


baik. Achmad menggambarkan dominasi jenis manglid ini di berbagai wilayah di
Kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan hasil penelitian Rohandi & Gunawan,
tanaman manglid di wilayah Priangan Timur tersebar pada jenis tanah latosol,
andosol, latosol & andosol, alluvial, dan podsolik merah kuning pada ketinggian
4001.200 m dpl dengan curah hujan 1.5003.500 mm/tahun dan kelerengan 0
45%.

Sebagaimana umumnya karakteristik hutan rakyat, tanaman manglid


seringkali ditanam masyarakat bersama jenis-jenis lainnya. Hal ini dibahas oleh
Rohandi & Gunawan bahwa tanaman manglid di wilayah Priangan Timur
mempunyai karakteristik tipe tegakan yang didominasi hutan campuran berasosiasi
dengan jenis sengon, suren, tisuk, khaya, kaliandra, alpokat, dan kayu manis. Umur
tegakan didominasi tegakan muda umur 110 tahun, tinggi sekitar 436 m, dan
diameter 372 cm. Sementara itu, hasil penelitian Achmad di beberapa wilayah di
Kabupaten Tasikmalaya menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat manglid sekitar
1016 m3/ha.

Achmad juga membahas keterbatasan lahan milik petani yang menjadi faktor
pembatas perkembangan jenis manglid. Masyarakat cenderung menanam manglid
terlalu rapat sehingga pertumbuhan individu pohon menjadi lebih rendah. Achmad
pun menggarisbawahi peluang pola tanam agroforestry jenis manglid ini yang
dikombinasikan dengan tanaman bawah untuk diversifikasi pendapatan petani.

Teknik budi daya manglid umumnya dilakukan oleh petani secara tradisional
berdasarkan pengalamannya. Oleh karena itu, input teknologi pada aspek budi daya
ini merupakan salah satu faktor yang penting untuk mendukung peningkatan
produktivitas hutan rakyat manglid. Sudomo menguraikan beberapa hasil
penelitiannya, mulai dari persemaian, penanaman di lapangan, hingga pemanenan.
Menurut Sudomo, bibit berkualitas di persemaian dapat diperoleh melalui beberapa
tahapan, yaitu penaburan benih pada media abu sekam padi, penyapihan dengan

302 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Penutup [Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan]

media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1), dan perlakuan intensitas


naungan sebesar 40%. Sementara itu, peningkatan keberhasilan stek pucuk dapat
dilakukan dengan teknik juvenilisasi dan bahan stek dioles hormon Rootone-F.

Pengaturan ruang tumbuh melalui penentuan jarak tanam 2 m x 2 m menurut


Sudomo memberikan hasil pertumbuhan manglid. Pemeliharaan tanaman manglid
berupa pemangkasan perlu dilakukan untuk mendapatkan batang berkualitas dan
memberi ruang tumbuh tanaman bawah dalam pola tanam agroforestry. Sistem
silvikultur tebang habis permudaan terubusan potensial diaplikasikan dalam
pembangunan hutan rakyat manglid. Pemilihan dan pemeliharaan terhadap
terubusan yang tumbuh dapat dilakukan untuk menghasilkan batang berkualitas.

Jenis manglid juga dapat dikembangkan sebagai tanaman pokok dalam pola
tanam agroforestry. Bahkan, Sudomo membahas bahwa agroforestry manglid+jagung
menghasilkan pertumbuhan tinggi manglid yang lebih baik. Sementara itu, sistem
sistem silvikultur agroforestry manglid+suweg dilaporkan mampu meningkatkan
persentase kandungan protein umbi.

Pembangunan hutan manglid tidak terlepas dari adanya potensi gangguan


serangan hama dan penyakit. Suhaendah & Winara membahas beberapa hama yang
tergolong berpotensi merugikan secara ekonomi karena dapat menyebabkan kema-
tian tegakan, yaitu hama penghisap Hamamelistes sp. dan Urostylis sp. Kedua jenis
hama ini dapat dikendalikan secara kuratif dengan penyemprotan insektisida bio-
logis jenis Bacillus thuringiensis. Sementara itu, serangan penyakit yang berpotensi
merugikan hingga menyebabkan kematian adalah busuk akar pada tegakan. Pengen-
dalian busuk akar ini dapat dilakukan dengan menggunakan agen antagonis
Tricoderma spp.

Penentuan waktu penebangan manglid merupakan salah satu pertimbangan


yang penting untuk menghasilkan produksi yang optimal. Indrajaya mengulas
bahwa berdasarkan daur biologis, tegakan manglid akan optimal dipanen pada umur
16,5 tahun. Namun demikian, hasil analisis dengan pendekatan Faustmann (daur
ekonomi) menunjukkan bahwa keuntungan akan diperoleh secara optimal dengan
menebang manglid pada umur 13,5 tahun. Pertumbuhan yang relatif lambat pada

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 303


tegakan manglid ini diduga yang menjadi penyebab daur optimal finansial lebih
pendek dibandingkan dengan daur biologisnya. Hal ini berbeda dengan jenis-jenis
lain yang sering ada di hutan rakyat seperti sengon atau jabon, yang mana pertum-
buhannya relatif cepat sehingga daur finansialnya sama dengan daur biologisnya.

Daur optimal pemanenan manglid dapat berubah jika ada komponen peng-
hasilan lainnya selain kayu manglid. Indrajaya menganalisis pengaruh adanya
penghasilan tambahan yang diperoleh dari jasa lingkungan perdagangan karbon
terhadap daur optimal manglid. Menurut Indrajaya, tambahan pendapatan jasa
lingkungan karbon akan memperpanjang daur tebangan tegakan manglid. Daur
optimal hutan tanaman manglid apabila hanya mempertimbangkan kayu sebagai
satu-satunya pendapatan adalah 14 tahun, pada tingkat harga karbon sebesar USD5,
10, 20, dan 30/ton CO2 eq., daur optimal produksi bersama kayu dan karbon dengan
metode VCS pada proyek aforestasi berturut-turut 14, 14, 15, dan 16 tahun. Selain
itu, harga karbon juga akan memengaruhi daur, yang mana semakin tinggi harga
karbon menyebabkan semakin panjang daur tebang tegakan manglid.

Tegakan manglid selain memberikan manfaat secara ekonomi, tanaman ini


juga dapat berperan dalam menyerap karbon dioksida di udara dan mengatur tata
air. Siarudin & Indrajaya membahas pola agroforestry manglid di Tasikmalaya dan
menemukan bahwa jumlah karbon tersimpan dalam biomassa di atas dan di bawah
permukaan tanah pada agroforestry manglid berturut-turut sebesar 44 ton/ha dan 101
ton/ha. Sementara itu, hasil penelitian aspek hidrologi yang diuraikan Handayani
diketahui bahwa pola agroforestry manglid+ganyong menghasilkan aliran permukaan
dan erosi lebih rendah daripada monokultur; sebaliknya, pola agroforestry manglid
+suweg dan manglid+talas menghasilkan erosi dan aliran permukaan lebih besar
daripada pola monokultur. Rendahnya erosi dan aliran permukaan pola agrofrestry
manglid+suweg diduga disebabkan tingkat pengolahan lahan yang rendah. Kondisi
ini akan menghasilkan rumput dan serasah yang dapat menutup rapat permukaan
tanah sehingga dapat menekan proses erosi dan aliran permukaan. Pada skala
lansekap, Junaidi dalam penelitiannya di DAS Citanduy Hulu menemukan bahwa
tutupan lahan manglid berkontribusi positif terhadap tata air DAS dibandingkan

304 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Penutup [Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan]

dengan tutupan lahan lainnya (pemukiman, pertanian, dan sawah). Sumbangan


aliran sungai yang berasal dari tutupan lahan manglid sebagian besar berasal dari
aliran lateral dan aliran dasar dibandingkan dengan sumbangan yang berasal dari
aliran permukaan.

Penanganan pascapanen merupakan salah satu tahapan penting dalam penge-


lolaan hutan rakyat manglid untuk mencapai produktivitas yang optimal. Siarudin &
Widiyanto mengawali pembahasan pada bagian ini dengan menyampaikan
informasi dasar sifat fisik dan pemesinan kayu manglid. Menurut Siarudin &
Widiyanto, sifat-sifat tersebut antara lain kadar air segar kayu manglid 168,7% dan
berat jenis kering tanur 0,38, nilai penyusutan pada arah longitudinal 1,51%,
penyusutan arah radial 4,08%, penyusutan arah tangensial 5,84%, serta rasio penyu-
sutan tangensial dan radial 1,54. Sifat fisik kayu manglid pada arah aksial dan radial
bervariasi untuk kadar air segar dan berat jenis, sedangkan kadar air kering udara dan
perubahan dimensinya relatif seragam. Kayu manglid memiliki mutu pemesinan
yang sangat baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta
memiliki mutu pemesinan baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran,
dan pembubutan. Berdasarkan sifat fisik dan pemesinan tersebut, kayu manglid
cukup sesuai untuk dimanfaatkan sebagai produk yang memerlukan tampilan halus
dan konstruksi ringan, seperti mebel dan produk kerajinan.

Kayu manglid memiliki karakteristik dolok yang relatif lurus, silindris, dan
bundar sehingga memudahkan dalam proses pengerjaan kayunya, terutama di
penggergajian. Menurut Siarudin, dolok manglid memiliki nilai kebundaran 92,18%,
keruncingan 1,06 cm/m, dan kelengkungan 6,72%. Uji coba pola penggergajian
menunjukkan bahwa pola penggergajian satu sisi dan pola penggergajian semi-
perempatan menghasilkan rendemen yang relatif seragam (6263%), namun berbeda
sangat nyata pada efisiensi menggergaji, produktivitas, dan lebar papan yang
dihasilkan. Pola penggergajian satu sisi menghasilkan efisiensi dan produktivitas
yang lebih tinggi dengan papan yang lebih lebar dibandingkan dengan pola semi-
perempatan. Berdasarkan hal ini, penggergajian pola satu sisi cukup disarankan
untuk tujuan menghasilkan papan lebar, sedangkan pola penggergajian semi-

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 305


perempatan dapat menjadi alternatif untuk menghasilkan papan dengan tampilan
serat yang lebih indah (fancy).

Walaupun beberapa ahli telah mengelompokkan kayu manglid ke dalam kelas


awet II, serangan agen perusak kayu (terutama rayap) merupakan salah satu
tantangan dalam penggunaan kayu manglid. Upaya pencegahan kerusakan kayu
melalui perlakuan pengawetan sangat penting dalam rangka peningkatan mutu dan
masa pakai. Suhaendah & Siarudin menyampaikan hasil penelitiannya bahwa
perlakuan konsentrasi larutan bahan pengawet dan lama perendaman berpengaruh
nyata terhadap penetrasi bahan pengawet pada kayu manglid, yaitu terdapatnya
kecenderungan peningkatan penetrasi dengan meningkatnya konsentrasi larutan
pengawet dan lama perendaman. Berdasarkan persyaratan SNI untuk perumahan
dan gedung, pengawetan kayu manglid dengan bahan pengawet CCB yang
disarankan adalah dengan konsentrasi 15% dan lama perendaman tujuh hari, atau
konsentrasi 20% dengan lama perendaman tiga hari.

Aspek ekonomi merupakan salah satu aspek yang penting dalam pengem-
bangan kayu manglid. Dalam konteks hutan rakyat, kontribusi pendapatan dari kayu
manglid terhadap total pendapatan dari hutan rakyat dibahas oleh Diniyati untuk
kasus di Tasikmalaya. Dalam penelitiannya, Diniyati menemukan bahwa kontribusi
pendapatan kayu manglid di Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan Karyabakti
berturut-turut sebesar 56,7%, 32,7%, dan 21,5%. Pada penelitian Diniyati &
Widyaningsih di lokasi yang sama, nilai NPV dari pengusahaan hutan rakyat
manglid dengan luasan <0,25 ha di Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan
Karyabakti berturut-turut sebesar Rp770.717, Rp4.275.748, dan Rp2.556.662
dengan nilai B/CR berturut-turut sebesar 1,31; 1,65; dan 2,88. Sementara itu,
Indrajaya & Sudomo dalam penelitiannya di Ciamis dan Tasikmalaya menemukan
bahwa nilai NPV pola agroforestry manglid-palawija-umbi sebesar Rp22.420.000
dengan nilai IRR sebesar 6% dan nilai B/CR sebesar 1,2. Hasil penelitian dalam
bagian ekonomi manglid menunjukkan bahwa jenis ini masih layak secara finansial
pada pola hutan rakyat dengan luasan kecil ataupun dengan pola agroforestry.

306 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Penutup [Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan]

Pada bagian hilir pengelolaan kayu manglid, aspek pemasaran telah dibahas
oleh Mulyana. Penelitian Mulyana menunjukkan bahwa terdapat delapan saluran
pemasaran kayu manglid yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, yaitu enam saluran
untuk konsumsi di dalam Kabupaten Tasikmalaya dan dua saluran untuk peme-
nuhan kebutuhan di wilayah Bandung. Margin pemasaran petani tertinggi sebesar
58,9%, yaitu pada saluran pertama yang mana petani menjual kayu manglid kepada
industri penggergajian yang selanjutnya menjualnya ke konsumen akhir. Margin
pemasaran terkecil sebesar 4,76% diperoleh oleh los kayu pada saluran ke-5. Bagian
petani tertinggi adalah 69% yang diperoleh ketika petani menjual kayu manglid
langsung kepada penggergajian yang hasilnya langsung dipasarkan kepada konsumen
akhir.

III. Pengembangan dan Implikasi Kebijakan

Berdasarkan hasil status riset ini, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam pengembangan hutan rakyat manglid dan implikasi kebijakannya, antara lain:

1. Kejelasan taksonomi jenis manglid diperlukan agar kajian-kajian ilmiah yang


berkaitan dengannya dapat mendukung pengembangan jenis ini secara lebih
intensif.

2. Data dan informasi potensi dan sebaran manglid memudahkan pembuatan


dokumentasi benih yang mencantumkan kondisi tegakan, data ekologi, asal
benih/sejarah genetik benih, dan proses penanganan benihnya. Melalui hasil
eksplorasi manglid ini, pemerintah dapat memfasilitasi pembangunan sumber
benih, bank benih, dan penyelamatan plasma nutfah atau konservasi genetik ex
situ dengan keragaman yang sama dan sebaran populasi alaminya.

3. Penggunaan kayu manglid perlu dilakukan secara tepat sesuai dengan karak-
teristik sifat dasarnya, yaitu untuk penggunaan kontruksi ringan dan pem-
buatan mebel. Selain itu, pengguna kayu perlu didorong untuk meningkatkan
kualitas kayu melalui perlakuan pengeringan dan pengawetan sehingga

H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 307


hasilnya diharapkan dapat mengantisipasi risiko cacat kayu dan meningkatkan
masa pakai kayu.

4. Pemerintah perlu memfasilitasi peningkatan kapasitas petani dalam hal teknik


budi daya, pengolahan dan peningkatan nilai tambah produk kayu manglid,
pengolahan limbah tebangan dan limbah pengolahan kayu manglid, serta
penguatan kelembagaan pemasaran.

5. Jenis manglid dapat dikembangkan dalam pola agroforestry dikombinasikan


dengan berbagai jenis tanaman bawah yang sesuai dan bernilai ekonomi tinggi.
Hal ini dimaksudkan agar petani dapat mengatur jarak tanam manglid lebih
lebar sehingga mengurangi persaingan nutrisi dan cahaya antarpohon, selain
memberi ruang untuk penanaman tanaman bawah. Keberadaan tanaman
bawah juga diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan jangka pen-
dek dan menengah bagi petani. Selanjutnya, adanya penghasilan tambahan
tersebut diharapkan dapat memberikan keleluasaan bagi petani untuk menung-
gu manglid dapat dipanen pada waktu yang optimal secara ekonomi.

6. Mengingat manglid tumbuh pada dataran tinggi (4001.200 m dpl) dengan


curah hujan tinggi (1.5003.500 mm/tahun), pemilihan tanaman bawah yang
sesuai dibudidayakan bersama dengan manglid dengan pola agroforestry adalah
tanaman dataran tinggi yang basah. Secara umum, terdapat tiga kelompok
tanaman bawah yang disarankan untuk dikembangkan bersama dengan
manglid. Pertama; tanaman semusim kacang-kacangan dan serealia, seperti
kedelai, kacang tanah, kacang hijau, padi, jagung, dan sorgum. Tanaman
bawah ini sesuai dibudidayakan pada saat permudaan hutan. Kedua; tanaman
umbi-umbian dan obat-obatan, seperti talas, iles-iles, kencur, kunyit, jahe, dan
kapulaga. Tanaman bawah tersebut diketahui tahan naungan sehingga dapat
dibudidayakan sepanjang daur hutan rakyat manglid. Ketiga; tanaman perdu
tahan naungan, seperti kopi robusta dan kopi arabika. Tanaman ini dapat
dibudidayakan sepanjang daur hutan rakyat manglid.

308 | H u t a n R a k y a t M a n g l i d ; Status Riset dan Pengembangan


Diterbitkan untuk:
BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI AGROFORESTRY
BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN INOVASI
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

You might also like