Professional Documents
Culture Documents
FORDA PRESS
Bogor, 2016
HUTAN RAKYAT MANGLID
Status Riset dan Pengembangan
Editor:
Mohamad Siarudin
Aris Sudomo
Yonky Indrajaya
Triyono Puspitojati
Nina Mindawati
Penerbit:
FORDA PRESS
Bogor, 2016
HUTAN RAKYAT MANGLID:
Status Riset dan Pengembangan
Editor:
Mohamad Siarudin, Aris Sudomo, Yonky Indrajaya, Triyono Puspitojati,
dan Nina Mindawati
Penerbit:
FORDA PRESS (Anggota IKAPI No. 257/JB/2014)
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610 Jawa Barat
Telp/Fax. +62 251 7520093
ISBN 978-602-6961-14-3
ISBN 978-602-6961-14-3
Di Jawa Barat, pasokan bahan baku kayu sebagian besar dari hutan rakyat
yang dikelola petani secara tradisional dan belum intensif. Namun, hutan rakyat
umumnya memiliki produktivitas rendah karena bahan tanaman seadanya dan
belum dikelola memenuhi kaidah scientific based knowledge. Hal tersebut terjadi
karena keterbatasan kemampuan petani dalam membangun dan mengelola kebun
sesuai dengan teknologi yang direkomendasikan.
Salah satu jenis kayu yang banyak ditanam pada lahan hutan rakyat di Jawa
Barat adalah Manglid (Magnolia champaca). Jenis tersebut potensial sebagai back-up
species untuk peningkatan produktivitas hutan rakyat. Bahkan, berdasarkan
potensinya, jenis tersebut dijadikan ikon pengembangan hutan rakyat di Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat. Usaha hutan rakyat manglid terbukti memberikan keuntungan
ekonomi.
Buku ini merupakan salah satu hasil dari rangkaian kegiatan penelitian
manglid. Tujuan penelitian jenis kayu manglid adalah memberikan acuan ilmiah
dalam meningkatkan produktivitas kayu rakyat sehingga berkontribusi bagi keber-
lanjutan produksi kayu rakyat. Buku ini akan membahas tentang:
Kepada Tim Penulis, Editor, dan Mitra Bestari; kami mengucapkan terima
kasih atas peran sertanya sehingga terwujud buku Hutan Rakyat Manglid ini,
dengan harapan semoga bermanfaat bagi para pihak dan pembaca yang memerlu-
kannya.
PENDAHULUAN
Pendahuluan
Salah satu jenis tanaman yang potensial untuk dijadikan back-up spesies pada
hutan tanaman, khususnya hutan rakyat adalah manglid. Manglid (Magnolia
champaca) tergolong dalam famili Magnoliaceae. Jenis manglid dianggap mudah
pemasarannya dan relatif tahan terhadap hama dan penyakit sehingga potensial
memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Kualitas kayu manglid relatif lebih
bagus dibandingkan dengan kayu-kayu yang telah berkembang di masyarakat
(sengon, mahoni, dan jabon). Kayu manglid digunakan sebagai bahan kontruksi
ringan, kayu pertukangan, barang kerajinan, dan perabot rumah tangga/mebeler,
serta potensial sebagai bahan baku industri pulp dan kertas. Hutan rakyat manglid di
Tasikmalaya umur delapan tahun memiliki pertumbuhan batang lurus monopodial
dengan persentase tajuk aktif rata-rata 21,45%. Pertumbuhannya dapat mencapai
tinggi 12,96 m dan diameter 13,94 cm. Manglid umur 16 tahun mempunyai riap
tertinggi 13,25 m3/ha/tahun (Indrajaya, 2016; Sudomo, 2011).
Manglid merupakan jenis andalan setempat di Jawa Barat. Jenis ini menunjuk-
kan prospektif untuk dikembangkan di hutan rakyat. Oleh karena itu, landasan
IPTEK untuk pengembangannya sangat diperlukan. Landasan IPTEK merupakan
hal yang penting dalam pegelolaan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat. Hal ini
disebabkan peningkatan produktivitas fisik per satuan luas lahan hanya dapat ditem-
puh dengan temuan IPTEK. Hasil penelitian dapat menjadi alternatif pilihan bagi
masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat manglid.
jenis potensil yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Informasi tentang jenis manglid
dari berbagai aspek dapat menjadi referensi bagi para pengambil kebijakan sektor
kehutanan terutama di daerah, pengusaha hutan rakyat, dan akademisi.
Buku ini terdiri dari delapan bab yang dimulai dari Bab I sebagai penda-
huluan dan diakhiri Bab VIII yang merangkum keseluruhan uraian dalam masing-
masing bab. Sementara itu, Bab IIVII menguraikan hasil-hasil penelitian dan
kajian tentang seluruh aspek yang mendasari dipilihnya jenis manglid sebagai alter-
natif spesies untuk pengembangan hutan rakyat di Jawa Barat, termasuk teknik budi
daya dan kemanfaatannya. Penjelasan masing-masing bab terhadap topik bahasan
tentang manglid sebagaimana hal berikut ini.
Bab I adalah pendahuluan yang membahas hutan rakyat manglid di Jawa Barat
secara umum beserta sistematika penyampaian buku ini.
Bab III membahas aspek budi daya manglid dan pola interaksinya dengan
tanaman lain. Bab ini menyajikan informasi tentang (a) teknik perbanyakan
manglid (penanganan benih, perkecambahan, penyapihan, pemberian naungan,
dan stek pucuk), (b) jarak tanam, (c) pengendalian hama dan penyakit, dan (d)
pola interaksi manglid dengan beberapa jenis tanaman bawah. Informasi tersebut
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membudidayakan manglid
secara monokultur, campuran, dan agroforestry.
Bab VI membahas informasi dasar dan pengolahan kayu manglid. Bab ini menya-
jikan informasi tentang sifat fisik dan pemesinan kayu manglid, rendemen peng-
gergajian kayu manglid, dan pengawetan kayu manglid. Informasi tersebut dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan pemanfaatan kayu
manglid.
Bab VII membahas manfaat sosial ekonomi dan kelayakan finansial hutan rakyat
manglid, serta pemasaran kayu manglid. Bab ini menyajikan informasi tentang (a)
kontribusi pendapatan kayu manglid terhadap total pendapatan dari hutan rakyat,
(b) kelayakan finansial hutan rakyat manglid yang dikelola dalam bentuk
campuran dan agroforestry, dan (c) pemasaran kayu manglid. Informasi tersebut
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola hutan rakyat
manglid dan membantu petani memasarkan hasilnya sehingga berkontribusi
nyata terhadap pendapatan petani.
Bab VIII merupakan penutup buku ini yang menyampaikan rangkuman status
riset dari hasil-hasil penelitian manglid pada bab-bab sebelumnya. Selain itu,
bagian akhir bab ini juga menyampaikan pengembangan dan implikasi kebijakan
yang mungkin dirancang berdasarkan status riset hutan rakyat manglid.
Daftar Pustaka
Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. (2006). Data potensi hutan rakyat
di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Wardhana, S. (2005). Peta potensial aktual hasil hutan Indonesia sebagai penghara
industri kehutanan.
TAKSONOMI DAN
EKOLOGI MANGLID
Status Taksonomi dan Morfologi Manglid
ABSTRAK
Manglid merupakan salah satu kayu unggulan hutan rakyat di Jawa Barat bagian timur.
Penamaan manglid secara ilmiah masih simpang siur dan terkadang tertukar dengan jenis
lain sehingga diperlukan identifikasi jenis secara ilmiah dari beberapa jenis manglid yang
dikenal oleh masyarakat. Hasil identifikasi Herbarium Bogoriense LIPI menunjukkan bahwa
semua manglid yang dikenal oleh masyarakat memiliki nama latin Magnolia champaca (L.)
Baill. ex Pierre. dan terdapat satu variasi manglid yang teridentifikasi hingga tingkat varietas,
yaitu Magnolia champaca var. pubinervia (Blume) Figlar & Noot. Selain itu, terdapat variasi
morfologi manglid pada bagian daun, bunga, batang, dan tajuk.
I. Pendahuluan
Manglid telah dikenal di Jawa Barat khususnya bagian timur sebagai komo-
ditas kayu pertukangan asli atau lokal yang banyak dikembangkan di hutan rakyat.
Jenis manglid dikenal oleh masyarakat yang meliputi beberapa variasi morfologi.
Contohnya, masyarakat Sodonghilir, Tasikmalaya, mengenal beberapa jenis manglid
dengan sebutan manglid bodas, manglid bulu, dan manglid tanduk. Hal ini pun ber-
dampak pada kesimpangsiuran dalam memilih jenis variasi manglid yang berkualitas
untuk dibudidayakan. Selain itu, tataran penelitian juga memunculkan permasalahan
penamaan manglid yang kerap tertukar dengan jenis baros (Manglietia glauca) yang
saat ini sedang direvisi menjadi Magnolia blumei. Padahal, manglid dan baros
memiliki perbedaan secara morfologi sehingga tergolong spesies yang berbeda,
meskipun keduanya masih tergabung dalam genus yang sama, yaitu Magnolia.
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 04, Po Box 5 Ciamis 46201
Email: ajiwinara1@gmail.com
Penamaan jenis tumbuhan secara ilmiah yang merujuk pada nama daerah
terkadang cukup membingungkan karena ada beberapa kesamaan nama daerah
untuk jenis yang berbeda secara taksonomi. Oleh karena itu, untuk memastikan
penamaan manglid secara ilmiah, pengumpulan sampel herbarium manglid dilakukan
di Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya, yang selanjutnya dilakukan identifikasi jenis
oleh Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi (Puslit-
bang Biologi), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Bogor.
II. Metodologi
Alat yang digunakan antara lain gunting stek, perlengkapan pembuatan her-
barium, dan kamera. Sementara itu, bahan yang digunakan antara lain alkohol dan
sampel herbarium manglid yang meliputi daun, bunga, dan buah.
C. Metode Penelitian
A. Taksonomi Jenis
yang tidak terlalu wangi. Kayu manglid juga tidak mengeluarkan aroma bau jahe
sehingga jenis manglid tidak tergolong cempaka gunung (Sunda) atau Michelia
montana sinonim Magnolia montana.
B. Morfologi Jenis
Hasil eksplorasi manglid yang terdapat pada hutan rakyat ditemukan beberapa
variasi morfologi manglid, meskipun secara taksonomi masih tergolong satu jenis,
yaitu Magnolia champaca. Perbedaan yang nyata tampak pada variasi bentuk daun
dan pertumbuhan sehingga manglid oleh masyarakat dikenal menjadi lima variasi.
Meskipun demikian, variasi tersebut masih dalam jenis yang sama secara morfologis
sehingga hanya menunjukkan rentang bentuk morfologi.
a b c d
Gambar 1. Morfologi batang Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca
(b, c, dan d)
a b
Gambar 2. Bentuk tajuk Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca (b)
Bentuk tajuk manglid terdiri atas dua bentuk, yaitu membulat (Gambar 2a)
dan bulat mengerucut (Gambar 2b). Bentuk tajuk yang bulat mengerucut memiliki
batang yang berlentisel (kasar) (Gambar 1d), sedangkan manglid yang memiliki tajuk
membulat memiliki batang yang licin atau tidak berlentisel. Manglid dengan bentuk
tajuk bulat mengerucut memiliki cabang cenderung mudah lepas (self pruning),
sedangkan manglid dengan bentuk tajuk membulat memiliki cabang yang lebih kuat.
2. Daun
a b c
Gambar 3. Morfologi daun Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca
(b dan c)
3. Bunga
Bunga berwarna kuning terang hingga oranye tua; tepal 15 buah dengan
ukuran panjang 2045 mm; stamen 68 mm dengan jarak konektif hingga 1 mm,
berjumlah 30; panjang gynofor 3 mm dengan bulu padat. Bunga memiliki bau wangi
yang khas, namun tidak sewangi bunga cempaka. Pembungaan manglid biasanya
terjadi pada bulan Januari hingga April.
a b c
Gambar 4. Morfologi bunga Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca
(b dan c)
4. Buah
a b c
Gambar 5. Morfologi buah manglid: buah muda (a); buah matang (b); biji muda dan
matang (c)
IV. Kesimpulan
Daftar Pustaka
Azuma, H., Garca-Franco, J. G., Rico-Gray, V., & Thien, L. B. (2001). Molecular
phylogeny of the Magnoliaceae: the biogeography of tropical and temperate
disjunctions. American Journal of Botany, 88(12), 2275-2285.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Bogor, Indonesia: Badan
Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan
Kim, S., Park, C.-W., Kim, Y.-D., & Suh, Y. (2001). Phylogenetic relationships in
family Magnoliaceae inferred from ndhF sequences. American Journal of
Botany, 88(4), 717-728.
Sosef, M., Hong, L., & Prawirohatmodjo, S. (1998). PROSEA 5 (3) Timber trees:
lesser known species: Backhuys Publishers, Leiden.
Budiman Achmad 1
ABSTRAK
Manglid adalah jenis pohon yang banyak dikembangkan oleh petani hutan rakyat di Kabu-
paten Tasikmalaya, tetapi sarana pendukungnya masih lemah. Penelitian ini bertujuan
mengetahui perkembangan tegakan manglid dan potensi kelestarian hasilnya. Penelitian
dilakukan pada bulan MaretJuli 2011 di tiga desa, yaitu Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal,
dan Karyabakti, Kabupaten Tasikmalaya. Pengambilan data dilakukan dengan cara inven-
tarisasi terhadap 20 blok hutan rakyat sehingga total ada 60 blok hutan rakyat. Data dimensi
tegakan dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perkembangan tegakan manglid pada hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya cukup
besar ditandai dengan tingginya porsi manglid pada hampir semua hutan rakyat di semua
lokasi penelitian. Akan tetapi, perkembangan pohon manglid terancam tidak berkelanjutan
karena potensi keunggulan manglid terhambat karena terlalu tingginya kepadatan populasi
dan terlalu sempitnya rata-rata pemilikan hutan. Untuk meningkatkan peluang kelestarian
hutan berbasis manglid di Kabupaten Tasikmalaya, kepadatan tegakan perlu dikurangi,
terutama di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta. Sementara untuk Desa Sepatnunggal,
struktur tegakan manglid perlu diperbaiki dengan meningkatkan populasi tegakan muda.
I. Pendahuluan
Hutan rakyat dan kelestarian hasil adalah isu yang tidak bisa dipisahkan.
Pengembangan jenis tanaman pada hutan rakyat selalu dikaitkan dengan perkiraan
waktu panen atau daur, sedangkan pemilihan jenis tanaman tertentu selalu dihu-
bungkan dengan tujuan pengembangannya. Manglid adalah jenis pohon cepat tum-
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Pamalayan, Ciamis
Email: budah59@yahoo.com
buh (fast growing species) yang mempunyai postur batang relatif lurus, tetapi daurnya
lebih panjang dibandingkan dengan sengon. Pengembangan manglid pada hutan
rakyat di Kabupaten Tasikmalaya ditujukan sebagai tabungan jangka panjang dan
sekaligus untuk konservasi pada lahan-lahan miring.
Kontribusi pendapatan petani dari tegakan manglid tidak lebih baik dari
kontribusi pendapatan dari tegakan sengon. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Diniyati et al. (2011) menunjukkan bahwa sumbangan pendapatan yang cukup besar
dari manglid hanya berasal dari Desa Tanjungkerta, yaitu 56,71%. Sementara itu,
sumbangan pendapatan dari tegakan manglid di Desa Sepatnunggal dan Karyabakti
masih lebih rendah daripada tegakan sengon. Hal tersebut disebabkan oleh daur
ekonomi manglid yang rata-rata mencapai dua kali lebih lama dibandingkan dengan
daur ekonomi sengon.
II. Metodologi
Sampel penelitian terdiri dari dua saaran, yaitu petani dan informan kunci
sebagai subjek pelaku (responden), dan tegakan hutan rakyat sebagai objek aktivitas.
C. Analisis Data
Data yang telah diperoleh diolah dalam bentuk tabulasi atau gambar untuk
mengetahui kondisi petani, pemanfaatan lahan, dan hutan rakyat. Tujuan pengo-
lahan data adalah menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca
dan diinterpretasikan (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2000; Singarimbun
& Efendi, 1989). Potensi tegakan dihitung menggunakan rumus:
Vp = Lbds x h x f
Lbds = 0.25 D2
Yang mana:
Vp = volume pohon
Lbds = luas bidang dasar
h = tinggi pohon
f = faktor bentuk pohon (0,7)
= 3,1415
D = diameter setinggi dada
Data yang telah dikelompokkan dalam bentuk tabulasi dan gambar dianalisis
dengan teknik kualitatif (deskriptif). Teknik kualitatif yakni mengolah dan meng-
analisis data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematik, teratur, terstruktur,
dan mempunyai makna (Sarwono, 2006).
kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah, dan tanaman obat. Terdapat kecen-
derungan bahwa semakin tinggi tempat tumbuh, semakin berkurang jumlah jenis
pohon yang tumbuh. Berdasarkan jumlahnya, jenis pohon yang paling banyak
dijumpai pada hutan rakyat adalah di Desa Karyabakti, yaitu 53 jenis. Desa
Karyabakti mempunyai ketinggian tempat tumbuh 600 m dari permukaan laut (dpl).
Sementara itu, jenis pohon yang paling sedikit dijumpai pada hutan rakyat adalah di
Desa Tanjungkerta, yaitu 26 jenis. Desa ini berada pada ketinggian 900 m dpl.
Meskipun luas lahan yang dimiliki petani di Desa Karyabakti dan Tanjung-
kerta sangat sempit, yakni hanya 0,10 ha dan 0,11 ha, tetapi minat petani untuk
menanam pohon di kedua desa tersebut sangat tinggi. Hal ini dicerminkan oleh
tingginya populasi tanaman yang berturut-turut mencapai 1.962 pohon/ha di Desa
Karyabakti dan 1.729 pohon/ha di Desa Tanjungkerta. Hal ini kemungkinan
didorong oleh keinginan untuk mendapatkan hasil yang tinggi dari lahan yang
sempit tersebut sehingga petani berusaha menanami lahannya dengan sebanyak-
banyaknya pohon. Sikap petani seperti itu justru menyebabkan tingginya persaingan
untuk memperoleh ruang tumbuh dan hara tanah sehingga pertumbuhan pohon
semakin tertekan.
Kondisi yang lebih ideal ditunjukkan oleh petani di Desa Sepatnunggal yang
mengembangkan sebanyak 44 jenis pohon dengan kepadatan 520 pohon/ha. Rata-
rata luas pemilikan hutan di Desa Sepatnunggal adalah tiga kali lebih luas
dibandingkan dengan rata-rata luas pemilikan hutan di Desa Karyabakti dan
Tanjungkerta, tetapi kerapatannya justru sepertiga dari kerapatan tegakan di Desa
Salah satu faktor yang memengaruhi pengelolaan hutan adalah luas unit
usaha, yaitu harus memenuhi kriteria skala ekonomis. Oleh karena itu, perbedaan
luas pemilikan hutan memaksa petani untuk melakukan strategi pengelolaan yang
berbeda pula. Berdasarkan luas lahannya, petani hutan rakyat di Desa Sepatnunggal
lebih berpeluang mencapai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan petani di
Desa Karyabakti dan Tanjungkerta. Hal ini selain disebabkan rata-rata pemilikan
hutanya lebih luas, kemungkinan juga disebabkan petani di Desa Sepatnunggal tidak
terlalu menggantungkan kebutuhan hidupnya dari hutan saja karena mereka mem-
punyai sumber pendapatan lain yang lebih besar, seperti dari usaha dagang (sektor
jasa). Hal yang berbeda dialami oleh petani di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta
yang mana pendapatan dari sektor selain hutan relatif kecil sehingga hutan menjadi
tumpuan utama. Tingginya tingkat ketergantungan ditambah dengan kurangnya
informasi tentang pengelolaan hutan yang baik menyebabkan mereka berupaya
Berdasarkan data sebaran jenis pohon pada Gambar 2, terlihat bahwa tiga
jenis pohon yang dominan dikembangkan petani di Desa Sepatnunggal berturut-
turut adalah manglid, mahoni, dan sengon. Populasi manglid pada hutan rakyat di
Desa Sepatnunggal sangat mencolok, yakni lebih dari 40%; sedangkan mahoni
hanya 15% dan sengon kurang dari 10%. Petani di desa ini mulai memperbanyak
pohon manglid kemungkinan karena adanya isu banyaknya penyakit karat tumor
yang menyerang sengon. Kemungkinan lain karena petani di desa ini mengetahui
nilai dan prospek ekonomi manglid. Hal ini terlihat dari Tabel 1 dan Gambar 2.
Meskipun jenis yang dikembangkan cukup banyak, yaitu 44 jenis pohon; petani di
Desa Sepatnunggal sudah cerdas dengan memprioritaskan jenis pohon yang lebih
bernilai ekonomi.
Gambar 1. Sebaran populasi jenis pohon pada hutan rakyat di Desa Karyabakti
Gambar 2. Sebaran populasi jenis pohon pada hutan rakyat di Desa Sepatnunggal
Data sebaran jenis pohon pada Gambar 3 diperoleh informasi bahwa tiga jenis
pohon yang dominan dikembangkan oleh petani di Desa Tanjungkerta berturut-
turut adalah mahoni, manglid, dan sengon. Populasi manglid di Desa Tanjungkerta
berada pada urutan kedua setelah mahoni, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan
sengon. Perbedaan populasi dari ketiga jenis pohon tersebut di hutan rakyat Desa
Tanjungkerta tidak terlalu mencolok. Hal ini menggambarkan bahwa petani di desa
ini masih mengandalkan mahoni dan sengon sebagai hasil kayu utama dari hutan
rakyat karena kedua jenis pohon tersebut telah mempunyai pasar secara jelas. Kayu
mahoni dan sengon adalah bahan baku utama pembuatan papan palet (ukuran 8 x 10
x 130 cm) bagi industri besar yang ada di Tasikmalaya dan Banjar.
Gambar 3. Sebaran populasi jenis pohon pada hutan rakyat di Desa Tanjungkerta
Manglid termasuk dalam jenis pohon yang cepat tumbuh, meskipun pertum-
buhannya lebih lambat dibandingkan dengan pohon sengon. Hasil penelitian Li-
Hua et al. (2014) di Vietnam menyatakan bahwa ketinggian tempat tumbuh yang
paling sesuai untuk pohon manglid adalah 550 m dpl. Akan tetapi, menurut World
Agroforestry Center (2011), pertumbuhan mangid di Vietnam masih baik pada
tempat tumbuh dengan ketinggian 550700 m dpl. Sementara itu, ketinggian
tempat tumbuh paling baik bagi sengon adalah 800 m dpl. Berdasarkan ketinggian
tempat tumbuh pohon manglid di lokasi penelitian menunjukkan bahwa Desa
Karyabakti dan Desa Sepatnunggal mempunyai ketinggian yang masih sesuai untuk
perkembangan manglid. Sebaliknya, Desa Tanjungkerta dengan ketinggian 900 m
Kayu manglid lebih banyak dipergunakan untuk bahan mebel sehingga rata-
rata diameter minimal yang disyaratkan adalah 20 cm. Hal ini berbeda dengan
kegunaan kayu mahoni dan sengon yang lebih banyak digunakan untuk memasok
bahan baku industri kayu gergajian ukuran kecil seperti palet (ukuran 6 x 10 x 130
cm) pada industri pengolahan di Tasikmalaya dan Banjar.
manglid didominasi oleh pohon berukuran besar. Hal ini berbeda kondisinya
dengan manglid di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta yang menunjukkan struktur
tegakan dengan sebaran kelas diameter lebih normal (Gambar 4). Populasi anakan
manglid pada hutan rakyat di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta jumlahnya lebih
banyak dibandingkan dengan populasi anakan manglid di Desa Sepatnunggal.
Struktur tegakan seperti di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta mendorong
terciptanya kelestarian hasil, khususnya pada hutan rakyat berbasis manglid.
Gambar 4. Sebaran kelas diameter tegakan manglid di Desa Sepatnunggal, Karyabakti, dan
Tanjungkerta
Daur ekonomi tegakan manglid hampir dua kali lebih lama dibandingkan
tegakan sengon. Sementara itu, harga kayu manglid tidak terlalu berbeda dengan
harga kayu sengon. Berdasarkan perbandingan tersebut, pengembangan manglid
secara besar-besaran pada lahan sempit dari aspek kecepatan cash flow kurang
menguntungkan petani. Tegakan manglid lebih sesuai ditujukan untuk kepentingan
ekonomi jangka panjang (semacam tabungan), sekaligus untuk tujuan konservasi
tanah dan air. Pengembangan manglid di Kabupaten Tasikmalaya yang mayoritas
lahannya sempit masih mempunyai prospek yang baik jika ditumpangsarikan dengan
tanaman semusim sehingga pendapatan jangka pendek tetap diperoleh petani.
A. Kesimpulan
Dari aspek kelestarian hasil, manglid adalah jenis pohon yang sesuai
dikembangkan pada hutan rakyat melalui pola agroforestry agar diperoleh hasil yang
berkelanjutan, yaitu hasil jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Untuk lebih menjamin kelestarian hutan berbasis manglid, struktur tegakan manglid
di Desa Sepatnunggal perlu diperbaiki dengan menambah anakan. Selain itu, untuk
meningkatkan peluang kelestarian hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya,
pengaturan kerapatan menjadi penting dilakukan dengan cara menjarangi jenis-jenis
yang kurang bernilai ekonomi.
B. Saran
Mengingat lahan yang dimiliki petani relatif sempit (rata-rata 0,100,36 ha),
sebaiknya kerapatan tegakan dikurangi agar tersedia ruang tumbuh yang lebih luas
bagi pohon dan tanaman bawah yang menjadi sumber pendapatan jangka pendek.
Daftar Pustaka
Diniyati, D., Widyaningsih, T., Fauziyah, E., Mulyati, E., & Suyarno. (2011). Pola
agroforestry di hutan rakyat penghasil kayu pertukangan (manglid). Laporan
Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis: Balai
Penelitian Teknologi Agroforestry.
Li-Hua, L., Ri-ming, H., Rui-hong, N., & Zhong-guo, L. (2014). Responses of
Manglietia glauca growth to soil nutrients and climatic factors. Yingyong
Shengtai Xuebao, 25(4).
Singarimbun, M., & Efendi. (1989). Metode penelitian survei. Jakarta, Indonesia:
LP3ES.
World Agroforestry Center. (2011). Timber supply and demand and growth
potential of fast growing tree species in the northwest region of Vietnam.
AFLI Technical Report No. 6.
ABSTRAK
Manglid (Magnolia champaca) merupakan jenis potensial dan salah satu jenis unggulan untuk
hutan rakyat di Jawa Barat. Jenis ini sudah cukup dikenal dan banyak dibudidayakan
masyarakat, khususnya di wilayah Jawa Barat bagian timur (Priangan Timur). Terbatasnya
sumber benih untuk menghasilkan benih berkualitas unggul dan kurangnya informasi lahan
potensial merupakan beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya pengembangan jenis ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman manglid tersebar di sebagian besar wilayah
Priangan Timur, yaitu di Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Sumedang.
Karakteristik tegakan didominasi oleh hutan campuran yang berasosiasi dengan jenis
tanaman sengon, suren, tisuk, khaya, kaliandra, alpokat, dan kayu manis. Tegakan
didominasi tanaman muda berumur 110 tahun dengan kisaran tinggi 436 m dan diameter
372 cm. Jenis ini tumbuh pada jenis tanah latosol, andosol, campuran latosol & andosol,
aluvial, dan podsolik merah kuning pada ketinggian 4001.200 m dpl, curah hujan 1.500
3.500 mm/tahun, dan kelerengan 045%. Terdapat beberapa populasi/tegakan manglid yang
cukup potensial untuk dijadikan sumber benih yang berlokasi di Desa Wandasari,
Kecamatan Bojonggambir, Kab. Tasikmalaya; Desa Jaya Mekar, Kecamatan Cibugel,
Kabupaten Sumedang; dan Desa Lebak Baru, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Ciamis.
Kata kunci: hutan rakyat, manglid, sebaran populasi, Priangan Timur, sumber benih
1
Tulisan ini telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Silvikultur II Pembaruan Silvikultur untuk
Mendukung Pemulihan Fungsi Hutan menuju Ekonomi Hijau, di Yogyakarta, 28-29 Agustus 2014
2
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jalan Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Po. Box 5 Ciamis 46201
Email: gunawanbpkc@yahoo.com
I. Pendahuluan
Manglid (Magnolia champaca) merupakan salah satu jenis pohon potensial dan
telah ditetapkan sebagai salah satu tanaman unggulan hutan rakyat di Jawa Barat,
serta diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani (Rimpala, 2001). Jenis ini
memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, cukup dikenal, dan sudah banyak
dibudidayakan masyarakat, terutama di wilayah Jawa Barat bagian timur (Priangan
Timur). Manglid merupakan pohon cepat tumbuh yang tingginya dapat mencapai
40 m dan diameternya sebesar 150 cm (Hildebran, 1935 dalam Rimpala, 2001). Jenis
ini disukai oleh masyarakat karena kayunya mengkilat; strukturnya padat, halus, dan
ringan; dan mudah dikerjakan atau diolah untuk berbagai penggunaan. Dengan BJ
0,4, kelas kuat III dan kelas awet II; kayu manglid dapat digunakan sebagai bahan
pembuatan jembatan, perkakas rumah tangga (meja, kursi, lemari), hiasan kayu,
patung, ukiran, kayu lapis, dan pulp (Prosea, 1998 dalam Rimpala, 2001).
dapat digunakan sebagai dasar untuk pemilihan sumber benih yang tepat. Peng-
gunaan sumber benih yang tepat merupakan salah satu dasar yang sederhana dan
mudah dalam usaha perbaikan tanaman hutan (Nienstadt & Snyder, 1974).
Garaudal et al. (1997) menjelaskan bahwa peta sebaran digunakan untuk mengetahui
sebaran geografi dan ekologi, serta untuk mengetahui keragaman sifat menurun jenis
tanaman target, baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Dengan adanya peta
ini, pengambilan contoh biji atau bahan vegetatif tanaman terpilih diharapkan dapat
mewakili potensi faktor menurun yang ada dari seluruh populasi.
II. Metodologi
RBI tahun 2001 (1:250.000), peta land sistem Jawa tahun 2001 (1:250.000), dan peta
zonasi benih tanaman hutan Jawa dan Madura tahun 2001 (1:1.000.000).
Alat yang digunakan meliputi alat survey lapangan dan laboratorium, berupa
GPS (Global Positioning System), program Arc GIS, teropong, hagameter, altimeter,
pita ukur, tambang, alat tulis, dan lain-lain.
Gambar 1. Populasi tanaman manglid pola monokultur dan campuran di Kab. Tasikmalaya
Tabel 2. Kondisi agroklimat tempat tumbuh tegakan manglid di beberapa lokasi di wilayah
Priangan Timur
Gambar 2. Sebaran populasi tanaman manglid di wilayah Priangan Timur pada berbagai
kondisi curah hujan
suatu wilayah. Danu et al. (2009) menyatakan bahwa peta potensi lahan merupakan
gabungan dari kondisi lokasi populasi yang diamati. Penyusunan peta potensi lahan
dapat dilakukan secara lebih detil dengan pembedaan secara spesifik kriteria-kriteria
seperti jenis tanah, ketinggian, dan curah hujan ataupun dengan menambahkan
kriteria lainnya, seperti kelas lereng, kelembaban, dan lain-lain. Semakin detilnya
data dasar yang diperoleh, informasi yang ada pada peta akan semakin lengkap.
Peta potensi lahan dapat dijadikan pendekatan seperti dalam konsep zonasi
benih sebagai zona penggunaan benih. Prinsip pokok dari zona penggunaan benih
menurut Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2001) adalah sumber benih yang
berbeda seharusnya ditanam pada tempat yang berbeda yang disebabkan oleh adanya
interaksi genotipe dan lingkungan. Tanaman dengan kualitas genetik baik akan
menghasilkan fenotipe yang baik bila ditanam pada kondisi lingkungan yang sesuai.
Zona penggunaan benih dapat mencakup areal yang luas dan dapat terdiri dari
beberapa areal yang memiliki kondisi ekologis yang serupa. Pada zona ini,
pertumbuhan lebih kurang seragam dan benih dari sumber benih yang cocok dapat
digunakan di seluruh zona.
Sumber benih manglid di wilayah Jawa dan Madura hanya terdapat di dua
lokasi di Kabupaten Tasikmalaya yang termasuk wilayah Priangan Timur (Tabel 3).
Keberadaan sumber benih tersebut sebanding dengan banyaknya populasi atau hutan
tanaman manglid di wilayah ini. Berdasarkan luas sumber benih dan luas hutan
tanaman manglid yang ada, sumber benih manglid masih sangat diperlukan. Selain
itu, kebutuhan benih manglid akan semakin meningkat seiring dengan semakin
besarnya minat masyarakat untuk membangun hutan rakyat jenis ini, terutama
setelah banyaknya serangan karat tumor pada tanaman sengon yang merupakan kayu
rakyat utama pada saat ini. Dengan demikian, benih manglid berkualitas untuk
meningkatkan produktivitas tanaman di lapangan sangat diperlukan.
Tabel 3. Sumber benih bersertifikat jenis manglid (M. glauca) di Jawa Barat sampai tahun
2010
Pada saat ini, penggunaan benih unggul oleh masyarakat khususnya untuk
hutan rakyat masih belum optimal. Selain itu, jenis tanaman yang digunakan petani
lebih bervariasi tergantung pada kondisi lahan, jenis cepat tumbuh, dan kayunya
disukai masyarakat setempat. Danu et al. (2004) menyatakan bahwa keragaman
tanaman yang digunakan untuk hutan rakyat sangat tinggi karena menggunakan
sistem penanaman campuran dan dari segi ekologi, hal ini sangat mendukung
perbaikan dan pelestarian lingkungan. Sentra sumber benih yang digunakan oleh
petani dapat diketahui dengan pendekatan sentra hutan rakyat dan jenis yang
menjadi andalan setempat, seperti untuk jenis manglid di wilayah Tasikmalaya.
Tabel 4. Tegakan manglid pada beberapa lokasi yang cukup potensial untuk dikembangkan
menjadi sumber benih
Data potensi tegakan yang diperoleh sangat penting sebagai dasar dalam
pengembangan sumber. Peta sebaran populasi yang telah tersusun merupakan titik
awal dalam penyediaan benih berkualitas jenis manglid secara berkelanjutan.
Pemetaan sumber benih yang didasarkan pada zonasi ekologi akan memberikan
keuntungan, yaitu 1) menghasilkan benih yang memiliki keragaman genetik yang
luas sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan beradaptasi terhadap
lingkungan tempat tumbuh yang beragam, dan 2) menghasilkan benih yang
memiliki keragaman kualitas kayu dan produk lainnya sehingga dapat memberikan
peluang untuk pemanfaatan yang beragam (Danu et al., 2007). Selain itu, pem-
buatan dokumentasi benih akan mudah dengan mencantumkan kondisi tegakan,
data ekologi, asal benih/sejarah genetik benih, dan proses penanganan benihnya.
Benih hasil dari sumber benih ini merupakan materi perbanyakan tanaman yang
sangat berharga untuk pembangunan sumber benih, bank benih, dan penyelamatan
plasma nutfah atau konservasi genetik ex situ dengan hasil keragaman yang sama dan
sebaran populasi alaminya.
Manfaat lain dari kegiatan pemetaan sebaran sumber benih dan tegakan
potensial adalah untuk membantu program koservasi sumberdaya genetik di
wilayahnya (Garaudal et al., 1997). Peta sebaran digunakan untuk mengetahui
sebaran geografi dan ekologi, serta untuk mengetahui keragaman sifat menurun jenis
tanaman target, baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Dengan adanya peta
ini, pengambilan contoh biji atau bahan vegetatif tanaman terpilih diharapkan dapat
mewakili potensi faktor menurun yang ada di seluruh populasi. Peta ini diharapkan
akan membantu para pengguna dalam aplikasi kegiatan penanaman di lapangan.
Selain itu, pengembangan tanaman manglid khususnya di Priangan Timur perlu
didukung oleh berbagai pihak di antaranya Dinas Kehutanan. Kegiatan penyuluhan
tentang teknik budi daya beserta prospek pengembangan tanaman manglid perlu
terus dilakukan. Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Jawa-Madura berperan
penting dalam pengembangan sumber benih manglid sebagai penyedia benih
berkualitas untuk meningkatkan produktivitas tegakan di lapangan. Selain
pertimbangan aspek fisik, keberhasilan pengembangan manglid memerlukan
pertimbangan aspek lainnya, seperti aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
IV. Kesimpulan
Daftar Pustaka
Barner, H., & Ditlevsen, B. (1995). The strategies and procedures for an integrated
national tree seed programme for seed procurement, tree improvement and genetic
resources. Estrategias y procedimientos para un programa nacional integrado de
semillas forestales para el abastecimiento de semillas, el mejoramiento gentico y la
conservacin de recursos genticos forestales. Programas de abastecimiento de semillas
forestales: Danida Forest Seed Centre, Turrialba (Costa Rica). CATIE,
Turrialba (Costa Rica). Proyecto de Semillas Forestales.
Danu, Nursyahbi, & Yulianti. (2004). Potensi produksi benih di Jawa. Paper
presented at the Ekspose Terpadu Hasil-Hasil Penelitian Badan Litbang
Kehutanan, Yogyakarta 11-12 Oktober 2004, Yogyakarta.
Danu, Rohandi, A., Pramono, A., Abidin, Z., Suartana, M., & Royani, H. (2006).
Sebaran populasi tanaman hutan jenis rasamala (Altingia excelsa Noronhae)
untuk sumber benih di Jawa Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan.
Danu, Rohandi, A., Pramono, A., Abidin, Z., Suartana, M., & Royani, H. (2007).
Sebaran populasi tanaman hutan jenis mimba (Azadirachta indica) untuk
sumber benih di Jawa Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan.
Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. (2001). Zona benih tanaman hutan Jawa
dan Madura. Jakarta: Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial. Departemen Kehutanan.
Garaudal, L., Kjaer, E., T, A., & L., A. B. (1997). Perencanaan Program Nasional
untuk Konservasi Sumberdaya Genetik Hutan. Technical Note No. 48-
Desember 1997. Danida Forest Seed Centre, Krogerupvej 21 DK-3050
Humlaebaek. Denmark. .
Kartiko, H.P. (2001). Penyelamatan sumber daya perbenihan untuk pelestarian dan
peningkatan produktivitas tanaman hutan. Bulletin PUSBANGHUT, III(2),
183-190.
Pramono, A. A., Danu, Rohandi, A., Abidin, A. Z., Suartana, M., & Royani, H.
(2008). Sebaran populasi tanaman hutan jenis mindi (Melia azedarach) untuk
sumber benih di Jawa Laporan Hasil Penelitian: Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan. Bogor.
Zobel, B., & Talbert, J. (1984). Applied forest tree improvement: John Wiley & Sons.
Aris Sudomo1
ABSTRAK
Teknik silvikultur hutan rakyat manglid (Magnolia champaca) ditujukan sebagai acuan
Standard Operational Procedure (SOP) dalam pembangunan hutan rakyat manglid. Acuan ini
berisi tentang ringkasan hasil-hasil penelitian teknik silvikultur manglid yang meliputi (1)
teknik perbanyakan manglid, (2) teknik silvikultur manglid pada tiga jarak tanam, dan (3)
karakteristik pertumbuhan dan tempat tumbuh manglid. Silvikultur hutan rakyat manglid
dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, persemaian manglid untuk menghasilkan bibit
berkualitas dapat diperoleh dengan penaburan benih pada media abu sekam padi, penyapihan
dengan media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1), dan pengaturan intensitas
naungan (shading net) sebesar 40%. Peningkatan keberhasilan perbanyakan vegetatif stek
pucuk dapat dilakukan dengan teknik juvenilisasi dan penggunaan hormon Rootone-F.
Kedua, jarak tanam 2 m x 2 m memberikan hasil pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
dengan jarak tanam 2 m x 3 m dan 3 m x 3 m hingga umur 28 bulan. Optimalisasi
pertumbuhan dilakukan dengan pemangkasan dalam sistem agroforestry. Ketiga, manglid
sesuai ditanam pada ketinggian 3002.200 mdpl; kelas lereng 040%; tipe iklim AC; curah
hujan >1.000 mm/tahun; temperatur 15280C; tekstur tanah ringan, sedang, dan berat; serta
kesuburan tanah rendah hingga tinggi. Manglid yang telah tumbuh dapat toleran pada tanah
liat masam dengan kandungan C-organik rendah, serta N dan P sangat rendah. Sistem
silvikultur tebang habis permudaan terubusan potensial diaplikasikan dalam pembangunan
hutan rakyat manglid.
I. Pendahuluan
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 04, Po Box 5 Ciamis 46201
dapat menjadi alternatif untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat petani hutan rak-
yat. Ketersediaan alternatif pilihan dalam usaha pembangunan hutan rakyat ini perlu
didukung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengembangannya agar
tercapai produktivitas hutan yang berkelanjutan, berkualitas, dan berdampak positif
terhadap lingkungan.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk peningkatan produktivitas per
satuan luas lahan hutan rakyat adalah dengan penguasaan dan aplikasi scientific base
knowledge berupa hasil-hasil penelitian, khususnya teknik silvikultur. Hasil pene-
litian teknik silvikultur sebagai landasan ilmiah pembangunan hutan tanaman
diharapkan dapat saling melengkapi dengan experience base knowledge yang telah
dimiliki masyarakat petani hutan rakyat sehingga kombinasi teknologi yang diha-
silkan dapat menjadi alternatif pilihan dalam usaha optimalisasi produktivitas hutan
tanaman, khususnya hutan rakyat.
Komoditas jenis kayu hutan rakyat yang diusahakan masyarakat sangat bera-
gam dan terkadang bersifat lesser known species. Hal ini menyebabkan pengetahuan
tentang teknik silvikultur dari jenis tersebut relatif terbatas sehingga menjadi kendala
dalam pengembangannya. Sudah saatnya pembangunan hutan rakyat kembali pada
jenis-jenis andalan setempat yang sudah adapted di lahan-lahan masyarakat. Hal ini
dikarenakan jenis-jenis tersebut sudah terbukti dapat tumbuh dan mempunyai daya
tahan yang lebih baik terhadap serangan hama dan penyakit.
Teknik budi daya manglid (Magnolia champaca) sebagai salah satu komiditas
hutan rakyat masih terbatas, sementara laju pengurangan di habitatnya relatif cepat.
Manglid merupakan salah satu jenis andalan setempat Jawa Barat. Di Jawa Barat,
manglid dikembangkan melalui agroforestry pada progam social forestry dan dijadikan
Jenis manglid (M. champaca) sangat disukai di Jawa Barat dan Bali karena
selain kayunya mengkilat; strukturnya padat, halus, ringan, dan kuat. Kayu manglid
dengan rerata berat kering 0,41 memiliki kelas awet II dan kelas kuat IIIIV yang
dapat digunakan untuk bahan baku pembuatan jembatan, perkakas rumah tangga
(meja, kursi, lemari), kayu konstruksi, bahan bangunan rumah, pelapis kayu dan
plywood (Diniyati et al., 2005; Djajapertjunda, 2003; PIKA, 1996).
II. Metodologi
A. Silvikultur Manglid
1. Penanganan Benih
Ekstraksi benih atau cara mengeluarkan benih dari buah manglid dilakukan
dengan menjemur buah yang telah masak agar menjadi pecah sehingga memudah-
kan pengeluaran benihnya. Benih yang telah keluar dari kulit buah masih diselimuti
daging buah sehingga perlu dibersihkan dengan cara menyimpan benih di dalam
tempayan, lalu menggosoknya dengan kain. Benih bersih dari daging buah kemu-
dian dicuci bersih dan dikeringanginkan. Rerata berat seribu butir biji manglid
adalah 55,46 gram (Sudomo & Dendang, 2008; Sudomo et al., 2010).
2. Perkecambahan Benih
3. Penyapihan
4. Pemberian Naungan
Pada umumnya, intensitas cahaya sinar matahari yang diperlukan oleh setiap
jenis tanaman berbeda-beda. Bahkan, ada satu jenis tanaman yang memerlukan
intensitas cahaya yang berbeda sepanjang periode hidupnya. Pada waktu masih
muda, cahaya dengan intensitas rendah diperlukan; tetapi, cahaya dengan intensitas
tinggi justeru mulai diperlukan menjelang sapihan (Soekotjo,1976 dalam Faridah,
1996).
a. Penyiapan Lahan
b. Penanaman
Pada jarak tanam lebih lebar, manglid akan cenderung memiliki banyak perca-
bangan, sedangkan jarak tanam rapat mempunyai pengaruh yang baik terhadap
kelurusan batang. Jarak tanam rapat menyebabkan cabang-cabang bawah mati dan
memacu pertumbuhan tinggi. Jarak tanam 2 m x 2 m menghasilkan pertumbuhan
diameter dan tinggi manglid yang signifikan lebih baik dibandingkan dengan jarak
tanam lainnya hingga umur 28 bulan (menghasilkan tinggi sekitar 3,07 m dan
diameter 4,67 cm) (Sudomo & Mindawati, 2011). Tegakan manglid di hutan rakyat
dengan jarak tanam 2 m x 2 m tanpa penjarangan hingga umur delapan tahun
menghasilkan batang lurus, pertumbuhan cabang kecil, diameter terhambat, dan
persentase tajuk aktif hanya sekitar 21,45% (Sudomo, 2011).
c. Pemeliharaan
bulan dengan jarak tanam 2 m x 2 m, yang mana tajuk telah bersentuhan tetapi
belum terjadi pruning alami, masih tetap diperlukan tindakan pemangkasan untuk
menghilangkan mata kayu. Pada kasus Acacia mangium, pemangkasan cabang
dilakukan sebelum tanaman berumur enam bulan dengan menyisakan tajuk aktif
sebanyak 60% (Sudomo et al., 2007).
Sistem silvikultur hutan rakyat dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
sistem tebang habis permudaan buatan, sistem tebang pilih permudaan alam, dan
sistem tebang habis permudaan terubusan. Aplikasi sistem silvikultur pada hutan
rakyat bisa berbeda-beda tergantung kondisi tegakan dan pola tanam. Pola tanam di
hutan rakyat ada yang monokultur, campuran, dan agroforestry. Pada hutan rakyat
campuran, petani biasanya menggunakan sistem silvikultur tebang pilih permudaan
alam. Petani memilih pohon yang telah layak ditebang dan membiarkan terjadi
permudaan alami dengan jenis yang regenerasi alamnya bagus. Berbeda halnya pada
hutan monokultur, petani biasanya menggunakan sistem silvikultur tebang habis
Manglid adalah pohon yang dapat tumbuh baik dengan persentase tajuk aktif
relatif kecil (21,45%) hingga umur delapan tahun sehingga sangat baik dalam
memberikan ruang tumbuh bagi tumbuhan bawah dalam pola tanam agroforestry.
Petani hutan rakyat di beberapa desa di Kecamatan Panumbangan, Kabupaten
Ciamis, telah mengombinasikan manglid dengan tanaman bawah, seperti jagung,
kapolaga, tales, dan jahe. Oleh karena itu, dukungan kebijakan diperlukan untuk
mengembangkan manglid sebagai ikon pengembangan hutan rakyat dengan sistem
agroforestry agar peningkatan kesejahteraan hutan rakyat tercapai.
merupakan salah satu jenis tanaman bawah yang potensial dikembangkan pada lahan
kering karena mempunyai nilai ekonomi tinggi.
a. Agroforestry manglid dan jagung hingga umur 610 bulan mempunyai pengaruh
yang positif terhadap pertumbuhan manglid. Pertumbuhan tinggi manglid
agroforestry lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan tinggi manglid mono-
kultur.
b. Agroforestry manglid dan jagung hingga umur manglid 610 bulan memberikan
pengaruh terhadap penurunan produktivitas jagung. Rerata produksi jagung
agroforestry sebesar 7.005,8 kg/ha (jagung pipil kering) atau lebih rendah diban-
dingkan dengan produksi jagung monokultur yang mencapai 8.213,5 kg/ha.
Meskipun demikian, pengusahaan agroforestry manglid dan jagung masih diang-
gap menguntungkan untuk diusahakan dengan pendapatan bersih tahunan setara
dengan Rp7.020.0007.560.000/ha/tahun.
c. Pengelolaan lahan dengan pola agroforestry manglid dan jagung perlu digalakkan
karena menguntungkan, yaitu meningkatkan produksi pangan dari hutan rakyat
dan menjaga kesuburan lahan.
d. Pengembangan jagung varietas hibrida lebih menguntungkan dibandingkan
dengan varietas lokal sehingga layak diterapkan dan direkomendasikan dalam
sistem agroforestry manglid dan jagung.
Struktur tanah pada lahan hutan rakyat pada umumnya adalah remah sedang
dan tanah yang memiliki kondisi ini umumnya agak bergumpalan. Struktur remah
ini merupakan keadaan agregat yang paling dikehendaki dalam pertanian. Pada
struktur ini, terdapat keseimbangan yang baik antara udara yang diperlukan untuk
pernapasan akar tanaman dan air tanah sebagai medium larutan unsur hara
(Kartasapoetra & Sutedjo, 2005).
Sifat kimia tanah pada hutan rakyat di Kampung Babakan Lame memiliki
kandungan C-organik pada seluruh horizon yang tergolong rendah, serta unsur N
dan P sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa manglid yang telah tumbuh
ternyata dapat toleran pada tanah dengan ketersediaan C-organik, N, dan P rendah.
Unsur K adalah satu-satunya unsur makro dalam tanah pada lokasi pertumbuhan
manglid yang termasuk kategori sedang hingga tinggi. Hal inilah yang menyebabkan
pertumbuhan akar tanaman manglid tampak tumbuh lebat menyebar di tanah.
Ketersediaan unsur K dengan kondisi lingkungan yang relatif lembab menyebabkan
manglid relatif dapat tumbuh dengan baik. Unsur K sangat penting untuk perkem-
bangan akar, pengaktifan enzim, proses fisiologis dan metabolisme tanaman, daya
tahan kekeringan, dan sebagainya (Tira & Murtiningsih, 2006).
kian, batang manglid menunjukkan pertumbuhan yang kokoh atau tidak mudah
roboh. Banyaknya akar serabut yang disokong dengan akar tunggang ternyata relatif
memberikan daya tahan pohon manglid dari terpaan angin. Hal ini terbukti dari
jarangnya pohon manglid yang roboh, walaupun dengan ketinggian lebih dari 10 m.
Bahkan, terdapat beberapa individu pohon manglid yang relatif terpisah jauh dengan
pohon lainnya dapat tumbuh kokoh menjulang tinggi dengan persentase tajuk aktif
kurang dari 21% (Sudomo, 2011).
Saat ini, pengetahuan teknik silvikultur manglid telah tersedia, mulai dari
pembibitan hingga penanaman. Hal ini dapat dijadikan dasar dalam pembuatan
SOP dalam pembangunan hutan tanaman. Standard Operational Procedure ini selan-
jutnya dapat menjadi acuan implementasi teknologi alternatif budi daya tanaman
hutan bagi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat. Teknik-teknik tersebut
dapat pula disinergikan dengan pengetahuan lokal masyarakat dalam mewujudkan
pengelolaan hutan lestari.
Konsep pengelolaan hutan rakyat manglid pada masa depan, selain dengan
silvikultur intensif, dapat pula dilengkapi dengan silvikultur agroforestry. Hal ini
disebabkan oleh belum berjalannya silvikultur intensif di masyarakat, sedangkan
praktik agroforestry telah berjalan di masyarakat. Aplikasi teknologi baru harus
menyesuaikan dengan praktik yang telah dilaksanakan oleh masyarakat. Sinergitas
antara pengetahuan lokal masyarakat dengan sceintific base knowledge dapat diapli-
kasikan dalam pembangunan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat manglid.
IV. Kesimpulan
net) sebesar 40%. Peningkatan keberhasilan stek pucuk dapat dilakukan dengan
teknik juvenilisasi dan bahan stek dioles hormon Rootone-F.
Daftar Pustaka
Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya. (2009). Data curah hujan tahun 2008 di
Kabupaten Tasikmalaya.
Faridah, E. (1996). Pengaruh intensitas cahaya, mikoriza dan serbuk arang pada
pertumbuhan alam Dryobalanops sp. Buletin Penelitian Kehutanan. Fakultas
Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta(29).
Haygreen, J. G., & Bowyer, J. L. (1996). Forest products and wood science: an
introduction.
Kartasapoetra, A. G., & Sutedjo, M. (2005). Teknologi konservasi tanah dan air: PT
Rineka Cipta, Jakarta.
Maclaren, P. (2002). Wood quality of radiata pine on farm sitesa review of the
issues. Forest Farm Forest Manage Coop. Report(80).
Mahfudz. (2006). Variasi pertumbuhan beberapa klon jati hasil stek pucuk pada dua
jarak tanam di Gunung Kidul. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 3(1).
Puspitodjati, T., Rohandi, A., Swestiani, D., Sudomo, A., Nadiharto, Y.,
Rahmawan, B., & Setiawan, I. (2009). Intensifikasi hutan rakyat untuk
peningkatan produksi pangan melalui pola agroforestry jenis manglid
(Manglieta glauca BI) dan jagung (Zea mays). Ciamis: Balai Penelitian
Kehutanan Ciamis.
Soekotjo, & Naim, M. (2006). SILIN: Menunju hutan yang prospektif , sehat, dan
lestari. In Y. Fakultas Kehutanan UGM (Ed.), Warta Kagama Edisi Perdana.
Sudomo, A., & Dendang, B. (2008). Budi daya manglid. Ciamis: Balai Penelitian
Kehutanan Ciamis.
Sudomo, A., & Mindawati, N. (2011). Pertumbuhan manglid pada tiga jarak tanam
dan tiga jenis pupuk di Tasikmalaya, Jawa Barat. Tekno Hutan Tanaman.
Sudomo, A., Permadi, P., & Rahman, E. (2007). Kajian kontrol silvikultur hutan
tanaman terhadap kualitas kayu pulp. Informasi Teknis. Vol.5 No.2. Balai
Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Yogyakarta.
Sudomo, A., Rahman, E., & Mindawati, N. (2010). Mutu bibit manglid pada tujuh
media sapih. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 7(5).
Sudomo, A., Rohandi, A., & Mindawati, N. (2013). Pengaruh zat pengatur tumbuh
Rootone-F pada stek pucuk manglid (Manglietia Glauca Bl.). Jurnal Penelitian
Hutan Tanaman, 10(2), 57-63.
Tira, L., & Murtiningsih. (2006). Karakteristik lahan bekas tambang batu kapur di
Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Info Hutan, III(3).
Aris Sudomo1
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh sistem agroforestry terhadap produktivitas
dan kualitas umbi suweg (Amorphophallus campanulatus BI) pada lahan hutan rakyat. Pene-
litian dilakukan pada lahan kering hutan rakyat di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Suka-
mantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Uji coba dimulai dengan penanaman suweg
di bawah tegakan hutan rakyat manglid (Magnolia champaca) umur 32 bulan. Rancangan
percobaan menggunakan split-plot design dengan main plot tiga intensitas pruning tegakan
manglid (0%, 50%, dan 75%) dan subplot tiga jarak tanam manglid (2 m x 2 m; 2 m x 3 m,
dan 3 m x 3 m), serta dengan pembanding tanaman suweg. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa interaksi intensitas pruning dengan jarak tanam pohon berpengaruh nyata terhadap
produksi suweg. Produksi berat basah dan berat kering umbi terbesar (2.097,6 gram dan
484,08 gram) didapatkan pada perlakuan intensitas pruning pohon manglid 75% berjarak
tanam 3 m x 3 m dengan intensitas cahaya 87,52% lebih baik dibandingkan dengan
monokultur suweg pada tempat terbuka yang hanya menghasilkan berat basah 834,25 gram
dan berat kering 204,88 gram. Nilai rerata kandungan protein umbi pada sistem agroforestry
(>2%) lebih besar dibandingkan dengan sistem monokultur suweg (1,9%). Sebaliknya, rerata
kandungan karbohidrat umbi pada agroforestry (<25%) lebih rendah dibandingkan dengan
monokultur suweg (26,04%).
I. Pendahuluan
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 04, Po Box 5 Ciamis 46201
Email: arisbpkc@yahoo.com
cahaya yang masuk ke bawah kanopi. Penelitian ini bertujuan mengetahui produk-
tivitas dan kualitas umbi suweg pada sistem agroforestry manglid dibandingkan
dengan sistem monokultur suweg.
II. Metodologi
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada lahan kering hutan rakyat yang secara administratif
termasuk dalam wilayah Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten
Ciamis, Provinsi Jawa Barat dengan koordinat S 07006550 dan E 108022900.
Lahan hutan rakyat tersebut berada pada ketinggian 894 m dpl, temperatur 20,4
310C, dan kelembaban 62,1389,75%. Curah hujan di Desa Tenggerraharja adalah
2.071 mm/tahun dan berdasarkan klasifikasi iklim Schmith Ferguson termasuk ke
dalam tipe C (agak basah) (BP3K, 2012). Penelitian dilakukan mulai bulan
November 2012 hingga Juni 2014.
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tegakan manglid umur 32
bulan dengan tiga macam jarak tanam, benih suweg lokal, insektisida, pupuk kan-
dang, pupuk kimia (NPK dan urea), dan lain-lain. Alat yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah oven, cangkul, sabit, tambang, drum, meteran, ember, kaliper,
timbangan, kamera, termohigrometer, GPS, luxmeter, alat tulis, dan lain-lain.
C. Prosedur Penelitian
dua dan empat bulan. Dosis pemupukan lanjutan menggunakan urea dan NPK (1:2)
sebanyak 70 gram/tanaman. Penyiangan dilakukan setiap tiga bulan sekali.
D. Rancangan Percobaan
F. Analisis Data
Data produksi kemudian dianalisis dengan analisis varians atau uji F. Kemu-
dian, apabila berbeda nyata, analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan dengan
taraf uji 95%. Data kandungan karbohidrat dan protein umbi dianalisis mengunakan
statistik sederhana dengan merata-ratakan hasil pada setiap perlakuan.
Hasil analisis varians menunjukkan bahwa pengaruh pruning dan jarak tanam
manglid, serta interaksi keduanya berbeda nyata terhadap produksi berat basah dan
berat kering umbi. Selanjutnya, uji lanjut Duncan dilakukan untuk mengetahui rerata
terbaik dengan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan Tbel 1, berat basah dan berat kering umbi suweg pada sistem
agroforestry berbeda nyata lebih baik pada kombinasi pruning 75% dengan jarak
tanam 3 m x 3m dan kombinasi pruning 0% dengan jarak tanam 3 m x 3 m diban-
dingkan dengan monokultur. Intensitas cahaya di bawah sistem agroforestry tersebut
adalah 87,52% dan 67,61%. Produksi umbi lebih baik pada sistem agroforestry diban-
dingkan dengan sistem monokultur. Pertumbuhan suweg yang memerlukan naungan
ringan terbantu oleh keberadaan tajuk tanaman manglid dalam mengurangi inten-
sitas cahaya matahari. Tanaman suweg tumbuh di bawah naungan atau di bawah
tegakan tanaman tahunan, seperti jati, kopi, dan ekaliptus (Richana, 2012).
tertentu, seberapa efisien tanaman memanfaatkan radiasi matahari, dan berapa lama
tanaman tersebut dapat mempertahankan pemanfaatan tersebut, yang secara efisien
menentukan berat kering hasil panen tanaman tersebut (Gardner et al., 2003).
Tabel 1. Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan pruning, jarak tanam, dan interaksinya
terhadap produktivitas suweg
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%; JT = jarak tanam
(a)
(b)
Gambar 1. Produksi suweg: berat basah umbi/tanaman (gram) (a) dan berat kering umbi/
tanaman (gram) (b)
sida dari udara dan air dari dalam tanah melalui proses fotosintesis dengan meman-
faatkan energi radiasi sinar matahari (Hodge & Osman, 1976). Kondisi kekurangan
cahaya berakibat terganggunya metabolisme sehingga menyebabkan menurunnya
laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Chowdury et al., 1994; Sopandie et al.,
2003). Berkurangnya intensitas cahaya menurunkan aktivitas PGA-kinase dan penu-
runan yang lebih kecil dijumpai pada genotipe padi gogo toleran naungan diban-
dingkan dengan genotipe peka. Pada intensitas cahaya rendah terjadi gangguan
translokasi sehingga gula total dan pati menurun pada seluruh bagian tanaman
(Soverda, 2002).
Kandungan protein umbi suweg pada sistem agroforestry manglid lebih tinggi
dibandingkan dengan sistem monokultur suweg. Dalam hal ini, nitrogen (N) berpe-
ran sebagai unsur utama pembentuk protein. Sharma (2006) dalam Akhila & Beevy
(2011) menyatakan bahwa profil protein pada sebagian besar jenis tanaman semusim
tergantung pada kondisi lingkungan dan kondisi penyimpanan. Naungan menyebab-
kan terjadinya akumulasi N pada organ-organ tanaman tertentu, salah satunya pada
biji. Norton et al., (1991) menyatakan bahwa naungan dapat menurunkan produksi
hijauan, tetapi dapat meningkatkan kandungan nitrogen tanaman. Youkhana & Idol
(2009) menyatakan bahwa mulsa hasil pruning juga dapat meningkatkan kandungan
C dan N tanah, serta menurunkan kepadatan tanah, terutama pada lapisan tanah
bagian atas (hingga 20 cm). Sistem agroforestry lebih menjaga kehilangan N tanah
akibat aliran permukaan dibandingkan dengan sistem monokultur. Penurunan kadar
nitrogen tanaman berpengaruh terhadap fotosintesis, baik melalui kandungan kloro-
fil maupun enzim fotosintetik, sehingga menurunkan fotosintat (pati) yang terben-
tuk, yang selanjutnya akan menurunkan pula bobot basah umbi dan bobot kering
umbi (Djukri & Purwoko, 2003). Amorphophallus termasuk tanaman yang tahan
kering, menyukai tempat teduh, dan tanah gembur (Richana, 2012).
(a)
(b)
Gambar 2. Persentase kanadungan protein (a) dan pati umbi (b) pada silvikultur agrofrestry
dan monokultur suweg
Lott et al. (2009) menyatakan bahwa manfaat utama dari naungan pohon
adalah untuk melindungi dari temperatur yang tinggi, terutama di daerah tropik.
Tanaman umbi-umbian pada umumnya mempunyai kemampuan hidup yang baik
IV. Kesimpulan
Daftar Pustaka
Akhila, H., & Beevy, S. S. (2011). Morphological and seed protein characterization
of the cultivated and the wild taxa of Sesamum L.(Pedaliaceae). Plant
Systematics and Evolution, 293(1-4), 65-70.
Djukri, & Purwoko, B. S. (2003). Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi
tanaman talas(Colocasia esculenta (L.) Schott). Ilmu Pertanian, 10(2), 17-25.
Gardner, F. P., Pearce, R. B., & Mitchell, R. L. (2003). Physiology of crop plants.
Physiology of crop plants.
Lott, J., Ong, C., & Black, C. (2009). Understorey microclimate and crop
performance in a Grevillea robusta-based agroforestry system in semi-arid
Kenya. Agricultural and Forest Meteorology, 149(6), 1140-1151.
Muthuri, C., Ong, C., Black, C., Ngumi, V., & Mati, B. (2005). Tree and crop
productivity in Grevillea, Alnus and Paulownia-based agroforestry systems
in semi-arid Kenya. Forest ecology and management, 212(1), 23-39.
Norton, B., Wilson, J., Shelton, H., & Hill, K. (1991). The effect of shade on
forage quality. Forages for plantations crops.(Eds. M. Shelton and W. Str).
ACIAR Proceedings(32), 83.
Ong, C., & Kho, R. (2015). A framework for quantifying the various effects of tree-
crop interactions. Treecrop interactions, 2nd edition: agroforestry in a changing
climate. CAB International, Wallingford, 1-23.
Richana, N., & Sunarti, T. C. (2004). Karakterisasi sifat fisiko kimia tepung umbi
dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubi kelapa dan gembili. Jurnal
pascapanen, 1(1), 29-37.
Sabarnurdin, M. S., Suryanto, P., & Aryono, W. (2004). Dinamika tegakan mahoni
(Swietenia macrophylla King) dalam sistem pertanaman lorong (Alley
cropping). Ilmu Pertanian, 11(1), 63-73.
Youkhana, A., & Idol, T. (2009). Tree pruning mulch increases soil C and N in a
shaded coffee agroecosystem in Hawaii. Soil biology and Biochemistry, 41(12),
2527-2534.
ABSTRAK
Upaya peningkatan produktivitas manglid tidak terlepas dari berbagai masalah, salah satunya
adalah serangan hama dan penyakit. Kemampuan mengenali jenis hama dan penyakit sangat
penting agar upaya pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan secara
efektif dan efisien. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui jenis hama dan penyakit
manglid, serta pengendaliannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa
jenis hama manglid, yaitu hama perusak daun kumbang Sastra sp. dan Sorolopha camarotis,
serta hama pengisap kutu putih Hammamelistes sp. dan Urostylis sp. Jenis penyakit manglid
yang ditemukan antara lain penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar, serta bercak
daun. Pengendalian yang sesuai untuk hama pengisap Hammamelistes sp. dan Urostylis sp.
adalah dengan penggunaan insektisida yang spesifik berbahan aktif Bacillus thuringiensis.
Untuk jenis hama perusak daun Sastra sp. dan Sorolopha camarotis, pengendalian yang sesuai
adalah dengan menggunakan musuh alaminya dan jika diperlukan, insektisida dapat
digunakan. Pengendalian penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar dapat dilakukan
melalui pemberian agen antagonis jenis Trichoderma spp. pada media semai atau pada
tanaman di tingkat lapangan.
I. Pendahuluan
Manglid saat ini menjadi salah satu kayu lokal unggulan yang banyak dikem-
bangkan oleh pegiat hutan rakyat, khususnya di Jawa Barat bagian timur (Priangan
Timur). Pengembangan silvikultur manglid dilakukan melalui berbagai macam pola
tanam; baik monokultur, heterokultur maupun agroforestry. Kejadian serangan hama
dan penyakit menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan oleh para
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis, Jawa Barat
Email: endah_ah@yahoo.com
pegiat hutan manglid sehingga kerugian secara ekonomi akibat hama dan penyakit
dapat dihindari.
II. Metodologi
A. Lokasi Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tanaman manglid,
mikoriza, serta insektisida hayati dan kimia. Alat yang digunakan berupa kantong
plastik, alat tulis, jaring serangga, sprayer, roll meter, kamera, kain kasa, pinset, kuas,
killing bottle, cawan petri, dan botol kecil.
C. Metode Pelaksanaan
3,514 mm, serta memiliki kaki memanjang dan kepala kecil. Urostylide tersebar di
Asia bagian selatan dan timur, serta mencapai utara ke timur Palearctic dan arah
barat daya ke Papua New Guinea. Urostylidae terdiri dari dua subfamili dan sekitar
enam genus dengan lebih dari 80 spesies yang telah dikenal (Ren & Lin, 2003).
Stadium serangga yang menjadi hama merupakan stadium nimfa dan dewasa.
Serangga ini memakan getah tanaman. Stadium dewasa dari Urostylis sp. berwarna
coklat, sedangkan stadium nimfanya berwarna kuning kehijauan (Gambar 1). Gejala
serangan hama ini adalah rontoknya bagian pucuk tanaman dan tangkai pucuk
berwarna coklat. Bahkan, serangan yang parah menyebabkan tanaman kering dan
mati. Menurut Hosain & Nizam (2004), jenis Urostylis punctigera dilaporkan
menyerang Michelia campaca L. yang menyebabkan kerusakan cukup berarti pada
pola monokultur.
a b c
Gambar 1. Urostylis sp. pada stadium dewasa (a) dan stadium nimfa (b), serta gejala
serangannya (c)
masuk ke dalam jaringan daun. Larva pun hidup berkembang dan makan di dalam
gulungan daun (Gambar 2). Rusaknya daun tersebut dapat menyebabkan terham-
batnya pertumbuhan manglid.
a b
Kutu putih mengisap cairan tanaman tumbuhan inang. Kutu berada di batang
pohon, cabang, ranting, hingga ke pucuk. Kutu menyerang manglid mulai dari umur
satu tahun hingga umur tegakan akhir daur. Kerusakan pada tanaman manglid
terjadi jika populasi kutu tinggi. Kerusakan yang terjadi pada manglid yang berumur
muda, antara lain daun berwarna kuning, rontok, dan kering. Pada pohon besar,
dampak kerusakan kutu terlihat pada warna tajuk menjadi hijau kusam dan tipis
karena daun yang rontok. Penampakan yang berbeda jika dibandingkan dengan po-
hon besar yang sehat, yaitu tajuknya lebat dan berwarna hijau pekat. Serangan ini
terjadi pada musim kemarau.
Gambar 4. Sastra sp
2. Pengendalian Hama
Untuk mengendalikan suatu hama, ekologi dari hama tersebut harus dipelajari
terlebih dahulu, selanjutnya ekologi populasi, kemudian baru diciptakan atau
direncanakan suatu teknik pengendaliannya. Konsep pengendalian hama pada saat
ini adalah membiarkan hama dalam populasi yang berada di bawah ambang
kerusakan ekonomi.
a. Hama r (r Pests)
b. Hama K (K Pests)
Spektrum ini memiliki ciri menghasilkan telur yang yang lebih rendah dan
generasi yang lebih panjang. Kemampuan migrasinya pun rendah dan ditemukan
pada suatu habitat dengan periode waktu yang lama. Teknik pengendalian yang
sesuai untuk spektrum hama ini adalah pengendalian dengan teknik budi daya dan
pengendalian secara genetik.
Berdasarkan paparan di atas, jenis hama pengisap Urostylis sp dan hama kutu
putih Hammamelistes sp termasuk ke dalam kategori hama r sehingga pengendalian
yang sesuai untuk jenis hama tersebut adalah dengan penggunaan insektisida yang
spesifik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan insektisida berbahan
Jenis hama perusak daun, yaitu hama penggulung daun Sorolopha camarotis
dan hama kumbang Sastra sp., termasuk jenis hama menengah (intermediate pests).
Pengendalian yang sesuai untuk jenis hama tersebut adalah dengan menggunakan
musuh alami (secara biologis) dan jika diperlukan dapat menggunakan insektisida.
Berdasarkan pengamatan, musuh alami Sorolopha camarotis yang ditemukan, antara
lain semut (Polyrhachis spp.), tawon (Polytes sp.), dan laba-laba; sedangkan musuh
alami Sastra sp. yang ditemukan adalah laba-laba (Suhaendah, 2014). Oleh karena
itu, upaya konservasi musuh alami diperlukan agar musuh alami tersebut dapat
berperan secara optimal dalam mengendalikan hama. Menurut Aminatun (2009),
terdapat beberapa cara konservasi musuh alami, antara lain:
Pada skala persemaian, bibit manglid dapat terserang penyakit busuk pangkal
batang (Gambar 5a), sedangkan tegakan manglid di masyarakat dapat terserang
penyakit busuk akar (Gambar 5b). Jenis patogen yang menyebabkan penyakit busuk
pangkal batang dan busuk akar belum diketahui secara pasti. Secara umum, penyakit
busuk pangkal batang dan penyakit akar biasanya disebabkan oleh patogen tular
tanah yang besifat parasit fakultatif , yaitu dapat bertahan hidup sebagai saprofit di
dalam tanah dan menjadi parasit apabila menginfeksi tanaman inang yang masih
hidup (Anggraeni & Lelana, 2011). Penyakit akar banyak menyerang hutan
tanaman yang biasanya disebabkan oleh daya adaptasi tanaman yang rendah
terhadap lingkungan baru atau tertular oleh tanaman lainnya. Adapun beberapa
patogen yang menyebabkan penyakit akar, seperti busuk akar merah pada akasia dan
sengon oleh fungi Ganoderma pseudoferreum, busuk akar putih pada akasia oleh fungi
Rigidoporus microporus, dan penyakit busuk akar pada eukaliptus oleh fungi
Phytophtora dan Botryodiplodia (Widyastuti et al., 2005).
a b c
Gambar 5. Gejala penyakit pada manglid: busuk pangkal batang (a), busuk akar (b), dan
bercak daun (c)
Selain penyakit akar, tegakan manglid dapat terserang suatu gejala penyakit
lain yaitu bercak daun (Gambar 5c) dengan kejadian penyakit masih tergolong
ringan dan tidak menyebabkan kematian pohon. Meskipun tidak menyebabkan
kematian, penyakit bercak daun banyak menyebabkan tanaman manglid menjadi
kerdil karena terhambatnya proses fotosintesis pada daun. Adapun patogen penye-
bab penyakit ini belum diketahui hingga saat ini. Pada genus yang sama, yaitu
Magnolia elegans , dilaporkan terserang oleh penyakit bercak daun yang disebabkan
oleh fungi Colletotricum sp. (Irawan et al., 2015).
Pengendalian penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar dapat dilakukan
melalui pemberian agen antagonis jenis Trichoderma spp. pada media semai atau
pada tanaman di tingkat lapangan. Pemberian Trichoderma spp. untuk mencegah
patogen tular tanah yang biasa menyebabkan penyakit akar dan busuk pangkal
batang. Hal ini mengacu pada beberapa hasil penelitian Berlian et al. (2013) dan
Sunarwati & Yoza (2010) yang menyatakan bahwa Tricoderma spp. efektif untuk
mengendalikan beberapa patogen tular tanah, seperti penyakit busuk pangkal akar
pada durian dengan mekanisme antagonis berupa parasitisme dan lisis dinding sel.
Selain itu, pemupukan dengan menggunakan pupuk biologis dari fungi miko-
riza arbuskula dapat pula dilakukan untuk membantu ketahanan inang terhadap
serangan penyakit. Fungi mikoriza dapat membantu tanaman dalam penyediaan
unsur hara dan air, terutama ketika terjadi cekaman air dan hara makro yang terjerap
pada tanah.
IV. Kesimpulan
Daftar Pustaka
Anggraeni, I. (2012). Penyakit karat tumor pada sengon dan hama cabuk lilin pada
pinus: Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor, Badan Litbang
Kehutanan
Anggraeni, I., Intari, S. E., & Darwiati, W. (2006). Hama dan penyakit hutan
tanaman. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Anggraeni, I., & Lelana, N. (2011). Diagnosis penyakit tanaman hutan: Pusat
Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan.
Berlian, I., Setyawan, B., & Hadi, H. (2013). Mekanisme antagonisme Trichoderma
spp. terhadap beberapa patogen tular tanah. Warta Perkaretan, 32(2), 74-82.
Borror, D., A, T. C., & Johnson, N. (1996). Pengenalan pelajaran serangga: Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Irawan, A., Anggraeni, I., & Christita, M. (2015). Identifikasi penyebab penyakit
bercak daun pada bibit cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H. Keng) dan
teknik pengendaliannya. Jurnal Wasian, 2(2), 87-94.
Kalshoven, L. G. E., & Van der Laan, P. (1981). Pests of crops in Indonesia. Pests of
crops in Indonesia.(Revised).
Ren, S.-Z., & Lin, C.-S. (2003). Revision of the Urostylidae of Taiwan, with
descriptions of three new species and one new record (Hemiptera-
Heteroptera: Urostylidae). Formosan Entomol, 23, 129-143.
Sunarwati, D., & Yoza, R. (2010). Kemampuan Trichoderma dan Penicillium dalam
menghambat pertumbuhan cendawan penyebab penyakit busuk akar durian. Paper
presented at the Seminar Nasional Program dan Strategi Pengembangan
Buah Nusantara, Solok.
Widyastuti, S., Sumardi, & Harjono. (2005). Patologi hutan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Yunasfi. (2007). Permasalahan hama, penyakit, dan gulma dalam pembangunan hutan
tanaman industri dan usaha pengendaliannya. Medan: Dep. Kehutanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
MANAJEMEN OPTIMAL
TEGAKAN MANGLID
Daur Optimal Hutan Rakyat Manglid di Kecamatan Kawalu,
Tasikmalaya, Jawa Barat
Yonky Indrajaya 1
ABSTRAK
Penentuan daur tebang dari suatu hutan tanaman termasuk hutan rakyat merupakan langkah
penting dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari pengusahaan
hutan tanaman. Penelitian ini bertujuan menganalisis daur optimal hutan rakyat manglid di
Kecamatan Kawalu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah memaksimalkan keuntungan yang dapat diperoleh dari kayu
manglid pada semua daur. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran pertumbuhan
tegakan manglid dan wawancara dengan petani manglid. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa daur optimal biologis tegakan manglid adalah 16,5 tahun dan daur Faustmann tegakan
manglid adalah 13,5 tahun. Peningkatan harga kayu, tingkat suku bunga, dan tingkat pro-
duktivitas akan memperpendek daur Faustmann, sedangkan peningkatan biaya pembangunan
hutan akan memperpanjang daur Faustmann.
Kata kunci: manglid, hutan rakyat, daur optimal, daur Faustmann, keuntungan
I. Pendahuluan
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis 46201
Email: yonky_indrajaya@yahoo.com
Tulisan ini bertujuan menganalisis daur optimal tegakan manglid yang dibudi-
dayakan oleh masyarakat di Kecamatan Kawalu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi
Jawa Barat. Daur optimal biologis dan finansial akan dibahas dalam tulisan ini untuk
memberikan gambaran perbedaan keduanya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan kepada pengelola hutan tanaman manglid agar mendapatkan
keuntungan yang maksimal.
.
II. Metodologi
82 hari (Puspitodjati et al., 2009). Kondisi tempat tumbuh di lokasi penelitian relatif
cocok untuk manglid berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Chat (2002).
(1)
Untuk mengetahui volume tegakan manglid pada kelas umur >10 tahun,
pemodelan hubungan dibuat antara umur A (dalam bulan) dengan diameter D (cm)
dan tinggi H (meter) (Siarudin et al., 2014), yaitu:
(2)
(3)
(4)
Mengingat tingkat kerapatan yang cukup tinggi pada saat penanaman, pen-
jarangan dengan intensitas yang bervariasi perlu dilakukan. Intensitas penjarangan
yang dianjurkan untuk tegakan manglid yang diperuntukkan sebagai kayu
pertukangan nilainya hingga sebesar 50% pada tahun ke-5, ke-9, dan ke-15 (Chat,
2002). Dalam penelitian ini, pengurangan jumlah pohon per hektare diasumsikan
sebanyak 5,1% dari jumlah pohon pada tahun sebelumnya dan mengikuti rata-rata
tingkat kematian pohon manglid dari umur 04 tahun di lokasi penelitian. Pohon
yang dijarangi termasuk pohon yang mati dan tertekan. Kayu hasil penjarangan
diasumsikan tidak dijual sehingga tidak diperhitungkan sebagai pendapatan dalam
perhitungan keuntungan.
1. Daur Biologis
2. Daur Finansial
(5)
(6)
Dalam rumus di atas, nilai p adalah harga kayu neto biaya penebangan per m3,
C adalah biaya pembangunan hutan tanaman manglid, dan i merupakan suku bunga
riil. Kondisi untuk daur optimal Faustmann adalah ketika keuntungan marginal dari
menunda penebangan setara dengan biaya kesempatan yang disebabkan oleh
penundaan tersebut, yaitu:
(7)
(8)
A. Daur Biologis
Keterangan: Dbh = diameter setinggi dada, MAI = riap rata-rata tahunan, CAI = riap tahun
berjalan
B. Daur Finansial
C. Analisis Sensitivitas
Gambar 3. Daur Faustmaan tanaman manglid pada beberapa tingkat harga kayu
Parameter eksogen lain yang kemungkinan dapat berubah adalah tingkat suku
bunga riil yang disebabkan oleh perubahan kondisi makro ekonomi yang berakibat
pada berubahnya tingkat inflasi. Tingkat suku bunga yang digunakan dalam analisis
sensitivitas ini adalah 1% dan 7%. Daur Faustmann pada beberapa tingkat suku
bunga disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Daur Faustmann tanaman manglid pada beberapa tingkat suku bunga
Gambar 4 menunjukkan bahwa pada tingkat suku bunga 1%, daur Faustmann
sama dengan daur biologisnya, yaitu 16,5 tahun. Sementara itu, pada tingkat suku
bunga 7%, daur Faustmann menjadi 11,5 tahun. Selain harga kayu dan tingkat suku
bunga riil, parameter eksogen yang mungkin berubah adalah biaya pembangunan
hutan. Daur Faustmann pada beberapa biaya pembangunan hutan dapat disajikan
dalam Gambar 5. Dalam analisis sensitivitas ini, perhitungan diujicobakan pula bila
biaya pembangunan hutan manglid naik menjadi Rp2 juta dan Rp35 juta. Gambar 5
menunjukkan bahwa peningkatan biaya pembangunan hutan dapat menyebabkan
daur Faustmann menjadi lebih panjang.
Gambar 5. Daur Faustmann tanaman manglid pada beberapa biaya pembangunan hutan
Gambar 6. Daur Faustmann tanaman manglid pada beberapa tingkat penurunan produksi
A. Kesimpulan
Daur optimal biologis tegakan manglid adalah 16,5 tahun dan daur
Faustmann tegakan manglid adalah 13,5 tahun. Peningkatan harga kayu, tingkat
suku bunga, dan tingkat produktivitas akan memperpendek daur Faustmann.
Sebaliknya, peningkatan biaya pembangunan hutan akan memperpanjang daur
Faustmann.
B. Saran
Daftar Pustaka
Amacher, G.S., Ollikainen, M., Koskela, E., 2009. Economics of forest resources.
MIT Press, Cambridge, Mass.
Bettinger, P., Boston, K., Siry, J.P., Grebner, D.L., 2009. Forest management and
planning. Academic Press, Burlington USA.
Chang, S.J., 2001. One formula, myriad conclusions, 150 years of practicing the
faustmann formula in central Europe and the USA. Forest policy and
economics 2.
Chat, N.B., 2002. Manglietia glauca B1 (M. conifera Dandy). In: Sam, D.D., Nghia,
N.H. (Eds.), Use of Indigenous Tree Species in Reforestation in Vietnam.
Agricultural Publishing House - Foarest Science Institute of Vietnam, Hanoi
Vietnam.
Darusman, D., Hardjanto, 2006. Tinjauan ekonomi hutan rakyat. In, Prosiding
seminar hasil penelitian hasil hutan. Badan Litbang Kehutanan.
Indrajaya, Y., Siarudin, M., 2013. Daur finansial hutan rakyat jabon di Kecamatan
Pekenjeng, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman
10, 201-211.
Krisnawati, H., Kallio, M., Kanninen, M., 2011a. Anthocephalus cadamba Miq.:
Ekologi, Silvikultur, Produktivitas. CIFOR, Bogor.
Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M., Kanninen, M., 2011b. Paraserianthes falcataria
(L.) Nielsen. Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR, Bogor
Indonesia.
Olschewski, R., Benitez, P.C., 2010. Optimizing joint production of timber and
carbon sequestration of afforestation projects. J Forest Econ 16, 1-10.
Perman, R., Ma, Y., McGilvray, J., Common, M., 2003. Natural resource and
environmental economics. Third Edition. Pearson Education Limited,
England.
Puspitodjati, T., Rohandi, A., Swestiani, D., Sudomo, A., Nadiharto, Y.,
Rahmawan, B., Setiawan, I., 2009. Intensifikasi hutan rakyat untuk
peningkatan produksi pangan melalui pola agroforestry jenis manglid
(Manglieta glauca BI) dan jagung (Zea mays). In. Balai Penelitian Kehutanan
Ciamis, Ciamis.
Samuelson, P.A., 1976. Economics of Forestry in an Evolving Society. Econ Inq 14,
466-492.
Siarudin, M., Indrajaya, Y., Handayani, W., Badrunasar, A., Nurochmah, Y., 2014.
Laporan Hasil Penelitian "Pemanfaatan Lahan Agroforestry untuk
Mendukung Mekanisme REDD+". In. Balai Penelitian Teknologi
Agroforestry, Ciamis.
Tassone, V.C., Wesseler, J., Nesci, F.S., 2004. Diverging incentives for afforestation
from carbon sequestration: an economic analysis of the EU afforestation
program in the south of Italy. Forest policy and economics 6, 567-578.
van Kooten, G.C., Binkley, C.S., Delcourt, G., 1995. Effect of Carbon Taxes and
Subsidies on Optimal Forest Rotation Age and Supply of Carbon Services.
American Journal of Agricultural Economics 77, 365-374.
World Bank, 2013. World Bank Indicator. In: Bank, W. (Ed.), 1960-2012.
Yuniati, D., 2011. Analisis finansial dan ekonomi pembangunan hutan tanaman
Dipterokarpa dengan teknik SILIN (Studi kasus PT Sari Bumi Kusuma,
Kalimantan Barat). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 8, 239-249.
Harga Total
Komponen biaya Satuan Jumlah
(Rp) (Rupiah)
I. Biaya Bahan
a. Bibit Buah 1.000 2.500 2.500.000
b. Pupuk organik Kilogram 200 12.500 2.500.000
Yonky Indrajaya 1
ABSTRAK
Salah satu jenis tanaman pohon yang banyak ditanaman di lahan masyarakat di Jawa Barat,
khususnya di wilayah Priangan Timur adalah jenis manglid (Magnolia champaca). Penentuan
rotasi tebang hutan rakyat pada umumnya dilakukan menggunakan rotasi tebang butuh atau
ditebang pada saat masyarakat membutuhkan dana untuk keperluan tertentu. Penentuan
daur finansial Faustmann dapat memberikan keuntungan yang maksimal apabila hanya
memperhitungkan penjualan kayu sebagai satu-satunya sumber pendapatan. Selain dapat
menghasilkan kayu, hutan tanaman juga dapat menyerap karbon dari atmosfer. Tulisan ini
bertujuan mengetahui pengaruh tambahan pendapatan dari penjualan jasa lingkungan karbon
apabila hutan tanaman manglid dibangun dengan tujuan penyerapan karbon (contohnya
proyek aforestasi). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tambahan pendapatan jasa
lingkungan karbon akan memperpanjang rotasi tebang tegakan manglid. Semakin tinggi
harga karbon, semakin panjang rotasi tebang tegakan manglid.
I. Pendahuluan
Salah satu jenis pohon yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Jawa
Barat, khususnya di wilayah Tasikmalaya adalah jenis manglid (Magnolia champaca).
Jenis ini cepat tumbuh, kayunya mengkilat, strukturnya padat, halus, ringan, dan
mudah dikerjakan (Puspitodjati et al., 2009). Pada umumnya, penentuan waktu
tebang tegakan hutan rakyat, termasuk manglid, dilakukan pada saat masyarakat
sedang membutuhkan dana yang cukup besar (Darusman & Hardjanto, 2006),
misalnya untuk membayar sekolah anak, keperluan pernikahan anak, atau untuk
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis 46201
Email: yonky_indrajaya@yahoo.com
keperluan pembangunan rumah sendiri. Dari perspektif ekonomi, daur yang hanya
mempertimbangkan waktu kebutuhan sebagai faktor penentu belum tentu memberi-
kan keuntungan yang maksimal kepada petani.
Selain dapat memproduksi kayu, hutan tanaman juga berperan dalam penye-
rapan karbon dari atmosfer selama pertumbuhannya sehingga berpotensi untuk
digunakan sebagai kegiatan mitigasi perubahan iklim (Solomon, 2007). Penanaman
pohon hutan pada lahan hutan yang kosong dapat memberikan kontribusi yang
signifikan dalam penyerapan karbon di udara. Beberapa penelitian telah banyak dila-
kukan di Eropa dan Amerika terkait dengan penjualan jasa lingkungan karbon
dalam hutan tanaman (Foley & Galik, 2009; Galinato & Uchida, 2011; Huang &
Kronrad, 2006; Olschewski & Benitez, 2010; Susaeta et al., 2014; Tassone et al.,
2004; van Kooten et al., 1995). Hasilnya adalah penambahan pendapatan dari jasa
lingkungan karbon akan memperpanjang daur optimalnya. Penelitian tentang
pengaruh jasa lingkungan karbon tegakan manglid dengan cara memperpanjang daur
dari daur optimalnya dengan metode Verified Carbon Standard (VCS) telah dilakukan
oleh Indrajaya & Sudomo (2015). Penelitian tersebut menggunakan asumsi bahwa
tegakan manglid telah ada dan dikelola dengan manajemen tertentu. Tambahan pen-
dapatan dari penjualan jasa lingkungan karbon dilakukan dengan cara memperpan-
jang daur tebangan yang tergantung dari harga karbon. Dengan demikian, perhi-
tungan baseline karbon tersimpan adalah jumlah karbon tersimpan pada daur optimal
bila hanya mempertimbangkan kayu sebagai sumber pendapatannya.
II. Metodologi
A. Lokasi
(NPV) dengan memperhitungkan seluruh biaya dan pendapatan dari seluruh daur
sehingga keuntungan yang diperoleh maksimal. Pendekatan ini menotasikan p
sebagai harga kayu neto biaya penebangan per m3, K sebagai biaya pembangunan
hutan tanaman manglid, S sebagai stok kayu berdiri, dan r sebagai suku bunga riil.
Dengan demikian, perhitungan NPV pada rotasi tak terhingga dapat dituliskan
sebagai berikut:
(1)
Apabila harga karbon per ton CO2 eq. dinotasikan sebagai dan jumlah
karbon tersimpan dalam biomassa hutan sebagai C, perhitungan NPV karbon pada
rotasi tak terhingga dapat dituliskan sebagai berikut:
(2)
(3)
patan dari kayu dalam satu daur. Sebaliknya, baseline yang digunakan dalam peneli-
tian ini adalah jumlah karbon tersimpan dalam biomassa pada tanah kosong yang
diasumsikan sebesar nol.
(4)
Dalam rumus tersebut, nilai p merupakan berat jenis manglid, yaitu 0,45
(Zanne et al., 2009). Proporsi karbon tersimpan dalam biomassa adalah sebesar 0,47
(IPCC, 2006). Selanjutnya, jumlah CO2 eq. yang merupakan unit karbon yang
diperjualbelikan diperoleh dengan cara mengalikan nilai karbon tersimpan dalam
biomassa dengan bilangan 44/12, yaitu rasio berat molekul CO2 terhadap unsur C.
Umur (tahun ke-) NPV kayu (Rp) Umur (tahun ke-) NPV kayu (Rp)
0 - 13 211.515.477
1 (466.728.284) 14 211.859.381
2 (164.640.727) 15 210.669.169
3 (39.354.719) 16 208.224.349
4 35.648.170 17 204.759.085
5 86.908.814 18 200.470.778
6 123.987.712 19 195.526.555
7 151.433.909 20 190.068.309
8 171.825.764 21 184.216.697
9 186.808.499 22 178.074.364
10 197.522.461 23 171.728.586
11 204.805.794 24 165.253.461
12 209.300.939 25 158.711.749
Sumber: Indrajaya & Sudomo (2015)
yang lebih tinggi dari baseline inilah yang disebut dengan istilah Verified Carbon Unit
(VCU). Dengan demikian, pembayaran jasa lingkungan karbon pada proyek
aforestasi manglid melalui penjualan VCU dapat dimulai ketika jumlah rerata karbon
tersimpan dalam biomassa proyek pada tahun t lebih tinggi dari baseline. Pada kasus
proyek aforestasi dengan hutan manglid, VCU pertama dapat dijual pada tahun ke-1,
yaitu sebanyak empat VCU.
Tabel 3. Karbon tersimpan dalam biomassa tegakan hutan manglid dan kredit karbon yang
dapat diperoleh
Pembayaran karbon dihentikan ketika jumlah total karbon yang dapat dikre-
ditkan telah tercapai. Misalnya, jumlah total karbon yang dikreditkan sebesar 234
ton CO2/ha pada tahun ke-10. Dengan demikian, ketika jumlah karbon yang dapat
dikreditkan tercapai pada tahun ke-10, pembayaran pun dihentikan.
Harga karbon sangat bervariasi dalam pasar karbon sukarela, yaitu antara
USD1 hingga lebih dari USD100 per ton CO2 eq. (Peters-Stanley et al., 2012).
Harga karbon yang digunakan dalam penelitian ini sebesar USD530/ton CO2 eq.
Nilai tukar rupiah diasumsikan USD1=Rp10.461 (nilai tukar rupiah terhadap dolar
pada tahun 2013) (World Bank, 2013). Berdasarkan persamaan (2), besaran NPV
karbon hutan tanaman manglid pada beberapa harga karbon dapat disajikan dalam
Tabel 4.
Tabel 4. NPV karbon pada tingkat harga karbon USD5, 10, 20, dan 30/ton CO2 eq. (dalam
Rp/ha)
Tabel 5. NPV produksi bersama kayu dan karbon pada tingkat harga karbon USD5, 10, 20,
dan 30 /ton CO2 eq. (dalam Rp/ha)
Tabel 5 menunjukkan bahwa pada tingkat harga karbon USD5 dan USD10
per ton CO2 eq., daur optimal masih sama dengan jika hanya mempertimbangkan
kayu sebagai pendapatan, yaitu 14 tahun. Hasil ini sama dengan hasil penelitian
serupa dengan proyek karbon sukarela VCS dengan cara memperpanjang daur, atau
dengan baseline jumlah karbon rata-rata (Indrajaya & Sudomo, 2015). Hasil ini juga
sejalan dengan hasil penelitian Diaz-Balteiro & Rodriguez (2006) di Spanyol yang
mana pada tingkat harga karbon yang relatif rendah, daur optimal relatif sama
dengan daur Faustmann. Sementara itu, pada tingkat harga karbon USD20/ton CO2
eq., daur optimal menjadi lebih panjang satu tahun, yaitu menjadi 15 tahun. Pada
tingkat harga karbon USD30/ton CO2 eq., daur menjadi lebih panjang dua tahun,
yaitu 16 tahun. Hal ini juga sama dengan penelitian Indrajaya & Sudomo (2015)
yang mana pada tingkat harga karbon USD30/ton CO2 eq., daur optimal tegakan
manglid menjadi 16 tahun.
VCS, jumlah karbon yang dapat dikreditkan adalah selisih antara rerata karbon
tersimpan dalam biomassa proyek dengan rerata karbon tersimpan dalam biomassa
baseline. Apabila jumlah karbon yang dapat dikreditkan merupakan selisih antara
jumlah karbon tersimpan dalam biomassa dalam proyek pada tahun ke-t dengan
baseline (kolom 4 dalam Tabel 3), jumlah karbon yang dapat dikreditkan menjadi
jauh lebih banyak. Oleh karenanya, melalui metode perhitungan tersebut, daur
optimal produksi bersama kayu dan karbon menjadi lebih panjang dibandingkan
dengan metode VCS. Beberapa penelitian yang menggunakan pendekatan ini telah
dilakukan, antara lain oleh Galinato & Uchida (2011) di Filipina dan Tanzania,
Olschewski & Benitez (2010) di Spanyol, dan Tassone et al. (2004) di Italia. Selain
itu, penelitian serupa juga telah dilakukan di Indonesia seperti yang dilakukan oleh
Indrajaya dan Siarudin (2014) pada jenis jabon di Garut, Jawa Barat.
IV. Kesimpulan
Daftar Pustaka
Amacher, G. S., Ollikainen, M., & Koskela, E. (2009). Economics of forest resources.
Cambridge, Mass.: MIT Press.
Chave, J., Andalo, C., Brown, S., Cairns, M., Chambers, J., Eamus, D., . . . Kira, T.
(2005). Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance
in tropical forests. Oecologia, 145(1), 87-99.
Darusman, D., & Hardjanto. (2006). Tinjauan ekonomi hutan rakyat. Paper
presented at the Prosiding seminar hasil penelitian hasil hutan.
Foley, T. G., & Galik, C. S. (2009). Extending rotation age for carbon
sequestration: a cross-protocol comparison of North American forest offsets.
Forest ecology and management, 259(2), 201-209.
Galinato, G. I., & Uchida, S. (2011). The effect of temporary certified emission
reductions on forest rotations and carbon supply. Canadian Journal of
Agricultural Economics/Revue canadienne d'agroeconomie, 59(1), 145-164.
Huang, C.-H., & Kronrad, G. D. (2006). The effect of carbon revenues on the
rotation and profitability of loblolly pine plantations in East Texas. Southern
Journal of Applied Forestry, 30(1), 21-29.
Indrajaya, Y., & Siarudin, M. (2014). Optimasi produksi kayu dan karbon pada
tegakan jabon (Neolamarckia cadamba Miq.) di Kecamatan Pakenjeng, Garut,
Jawa Barat. Jurnal Penelitian Agroforestry, 2(2).
Indrajaya, Y., & Sudomo, A. (2015). Pengaruh tambahan pendapatan jasa lingkungan
karbon terhadap daur optimal tegakan manglid di Jawa Barat. Paper presented at
the AFOCO Workshop "Pengembangan mata pencaharian alternatif untuk
masyarakat lokal dalam upaya menghadapi dampak perubahan iklim", Bogor.
IPCC. (2006). IPCC Guideline 2006 Guidelines for national green house gas
inventories: IPCC.
Krisnawati, H., Kallio, M., & Kanninen, M. (2011a). Anthocephalus cadamba Miq.:
Ekologi, silvikultur, produktivitas. Bogor: CIFOR.
Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M., & Kanninen, M. (2011b). Paraserianthes
falcataria (L.) Nielsen. Ekologi, silvikultur dan produktivitas. Bogor Indonesia:
CIFOR.
Olschewski, R., & Benitez, P. C. (2010). Optimizing joint production of timber and
carbon sequestration of afforestation projects. Journal of Forest Economics,
16(1), 1-10. doi: DOI 10.1016/j.jfe.2009.03.002
Peters-Stanley, M., Hamilton, K., Marcello, T., Orejas, R., Thiel, A., & Yin, D.
(2012). Developing dimension: state of the voluntary carbon markets 2012.
Ecosystem marketplace & Bloomberg new energy finance.
Puspitodjati, T., Rohandi, A., Swestiani, D., Sudomo, A., Nadiharto, Y.,
Rahmawan, B., & Setiawan, I. (2009). Intensifikasi hutan rakyat untuk
peningkatan produksi pangan melalui pola agroforestry jenis manglid
(Manglieta glauca BI) dan jagung (Zea mays). Ciamis: Balai Penelitian
Kehutanan Ciamis.
Solomon, S. (2007). Climate change 2007-the physical science basis: Working group I
contribution to the fourth assessment report of the IPCC (Vol. 4): Cambridge
University Press.
Susaeta, A., Chang, S. J., Carter, D. R., & Lal, P. (2014). Economics of carbon
sequestration under fluctuating economic environment, forest management
and technological changes: An application to forest stands in the southern
United States. Journal of Forest Economics, 20(1), 47-64.
Tassone, V. C., Wesseler, J., & Nesci, F. S. (2004). Diverging incentives for
afforestation from carbon sequestration: an economic analysis of the EU
afforestation program in the south of Italy. Forest policy and economics, 6(6),
567-578. doi: Doi 10.1016/S1389-9341(03)00006-6
van Kooten, G. C., Binkley, C. S., & Delcourt, G. (1995). Effect of carbon taxes
and subsidies on optimal forest rotation age and supply of carbon services.
American Journal of Agricultural Economics, 77(2), 365-374. doi:
10.2307/1243546
Zanne, A. E., Lopez-Gonzalez, G., Coomes, D. A., Ilic, J., Jansen , S., L., S.L.,
M., R.B., ... , Chave, J. (2009). Global wood density database. Dryad.
Identifier: http://hdl.handle.net/10255/dryad.235.
KAJIAN LINGKUNGAN
TEGAKAN MANGLID
Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat Pola
Agroforestry Manglid (Magnolia champaca) di Tasikmalaya, Jawa
Barat
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengkaji struktur tegakan dan mengukur cadangan karbon hutan
rakyat pola agroforestry berbasis manglid (Manglieta champaca). Pengukuran dilakukan pada
18 plot yang mewakili pola agroforestry sederhana manglid (ASM) dan agroforestry kompleks
manglid (AKM) pada hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pengukuran
cadangan karbon dan struktur tegakan mangacu pada metode Rapid Carbon Stock Appraisal
(RaCSA) dengan beberapa analisis tambahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
agroforestry manglid secara rata-rata memiliki komposisi yang seimbang antara basal area
manglid dan pohon asosiasi. Namun demikian, dominasi jenis manglid tampak bervariasi
yang ditunjukkan nilai rasio luas bidang dasar (BA) pohon manglid terhadap BA total yang
relatif tinggi sebesar 0,75 pada tegakan ASM dan hanya 0,42 pada tegakan AKM. Tegakan
agroforestry manglid didominasi oleh kelas diameter 510 cm dan terjadi penurunan jumlah
manglid pada kelas diameter yang lebih tinggi. Pola ASM memiliki sebaran jumlah manglid
yang relatif seragam antarkelas diameter dibandingkan dengan pola AKM. Nilai rerata
karbon tersimpan pada tegakan agroforestry manglid di lokasi penelitian sebesar 145 ton/ha,
yang terdiri dari 44 ton/ha karbon di atas permukaan tanah dan 101 ton/ha karbon di bawah
permukaan tanah. Tegakan AKM memiliki cadangan karbon total di atas permukaan tanah
lebih tinggi, namun memiliki cadangan karbon di bawah permukaan yang lebih rendah
dibanding tegakan ASM.
Kata kunci: agroforestry sederhana, agroforestry kompleks, manglid, struktur tegakan, karbon
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis Jawa Barat
Email: msiarudin@yahoo.com
I. Pendahuluan
Sistem penggunaan lahan dengan pola agroforestry pada hutan rakyat, selain
memiliki berbagai manfaat ekonomi langsung untuk masyarakat, juga memiliki
manfaat jasa lingkungan seperti penyerapan karbon. Sistem agroforestry telah
dikembangkan, baik di negara berkembang maupun di negara maju, untuk
mengurangi laju emisi karbon (Nair et al., 2009).
simpan pada tegakan hutan rakyat pola agroforestry berbasis tanaman manglid masih
sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan mengetahui struktur tegakan dan mengukur
cadangan karbon pada hutan rakyat pola agroforestry berbasis manglid di Kabupaten
Tasikmalaya. Secara khusus, tulisan ini juga membahas perbedaan struktur tegakan
dan karbon tersimpan antara pola agroforestry kompleks dan agroforestry sederhana
berdasarkan kriteria Hairiah et al. (2006). Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi informasi dasar untuk pengembangan agroforestry manglid di hutan rakyat
dalam mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
II. Metodologi
Pengukuran biomasa pohon dilakukan pada plot utama untuk pohon dengan
diameter setinggi dada (diameter at breast height/DBH) 530 cm. Apabila di dalam
plot terdapat pohon dengan DBH >30 cm, lebar plot utama diperluas menjadi 20 m
x 100 m untuk mengukur pohon-pohon dengan DBH tersebut. Setiap pohon dalam
plot pengukuran dicatat jenisnya dan diukur DBH. Identifikasi jenis dilakukan
dengan melibatkan pengenal jenis dari penduduk lokal. Jenis pohon dari famili
Arecaceae (palma) diukur pula tinggi pohonnya karena dipersyaratkan dalam
persamaan allometrik perhitungan biomassa. Biomassa di atas permukaan tanah per
pohon dihitung dengan persamaan allometrik umum (Chave et al., 2005):
Data berat jenis kayu yang digunakan dalam perhitungan persamaan (1)
adalah berat jenis kayu masing-masing jenis pohon yang teridentifikasi dengan
merujuk pada data berat jenis Global Wood Density Database dari Zanne et al. (2009)
atau Seng (1990). Kandungan karbon diasumsikan sebesar 0,47 dari berat
biomassanya (IPCC, 2006). Kandungan karbon akar diperhitungkan sebagai 20%
dari kandungan karbon di atas tanah (IPCC, 2006).
Gambar 1. Plot pengukuran cadangan karbon dan struktur tegakan agroforestry manglid
Struktur tegakan manglid ditentukan melalui analisis tambahan dari data dasar
pengukuran pada plot utama dan subplot. Beberapa parameter yang dianalisis adalah
luas bidang dasar (basal area/BA) pohon manglid dan pohon asosiasinya, sebaran
pohon berdasarkan kelas diameter, serta keragaman jenis pohon dan tumbuhan
bawah.
1. Basal Area
Dalam penelitian ini, berbagai tingkat kerapatan dan keragaman jenis pohon
yang ditanam diklasifikasikan ke dalam agroforestry kompleks dan agroforestry seder-
hana menurut jumlah jenis pohon yang ditanam dan luas bidang dasar (BA) dari
pohon utama (Hairiah et al., 2006). Tabel 1 menunjukkan bahwa, BA pohon
manglid dan pohon asosiasi secara total relatif seimbang, nilai rerata masing-masing
adalah 10,04 m2/ha dan 10,09 m2/ha. Namun demikian, nilai BA manglid pola
agroforestry sederhana hampir tiga kali lipat lebih besar dari pada BA jenis pohon
lainnya, yaitu masing-masing 9,29 m2/ha dan 3,61 m2/ha. Sebaliknya, BA manglid
pola agroforestry kompleks lebih kecil, yaitu hanya 10,09 m2/ha, sedangkan pohon
asosiasi mencapai 16,57 m2/ha.
Tabel 1. Kerapatan tegakan dan keragaman jenis pada hutan rakyat pola agroforestry
manglid
Keterangan: * Ukuran plot = 5 m x 40 m; ** menurut kriteria Hairiah et al. (2006); AF-S = agroforestry
sederhana; AF-K = agroforestry kompleks; BA = luas bidang dasar; angka dalam kurung menunjukkan
nilai simpangan baku
penelitian di DAS Konto, Kabupaten Malang, Jawa Timur yang dilaporkan oleh
Kurniawan et al. (2010), yang mana BA pada agroforestry kopi kompleks sebesar 28,4
m2/ha dan agroforestry kopi sederhana sebesar 12,1 m2/ha. Tingginya BA pada pola
agroforestry kompleks manglid ini disebabkan jumlah kerapatan tegakan yang lebih
banyak, yaitu rerata sebesar 1.622 pohon/ha, sedangkan pada agroforestry sederhana
hanya 872 pohon/ha.
1000,00
900,00
800,00
Jumlah pohon (pohon/ha)
700,00
600,00
500,00
400,00
300,00
200,00
100,00
0,00
dbh 5-10 cm dbh 10-20 cm dbh 20-30 cm dbh 30 cm up
AF kompleks 872,22 533,33 222,22 19,44
AF sederhana 227,78 461,11 83,33 4,44
rata-rata 550,00 497,22 152,78 11,94
Secara umum, hal yang dapat diketahui bahwa pola agroforestry kompleks
memiliki jumlah pohon yang lebih tinggi daripada pola agroforestry sederhana,
termasuk pada semua kelas diameter. Hal ini konsisten dengan perhitungan nilai
basal area total yang mana pola agroforestry kompleks lebih tinggi daripada pola
agroforestry sederhana (Tabel 1).
Keragaman jenis pohon pada pola agroforestry kompleks lebih tinggi, yaitu
rerata delapan jenis pohon dalam satu plot pengamatan; sedangkan pada pola
agrofrestry sederhana hanya 3 jenis pohon. Secara total, jenis-jenis pohon tersebut
terdiri dari pohon penghasil kayu-kayuan sebesar 54%, pohon penghasil buah-
buahan 32%, dan pohon penghasil bukan kayu sebesar 14%. Jenis pohon penghasil
kayu yang dominan di lokasi penelitian selain manglid antara lain mahoni (Swietenia
mahagony), sengon (Paraserianthes falcataria), suren (Toona sureni), afrika (Maesopsis
eminii), tisuk (Hibiscus macrophyllus), dan gmelina (Gmelina arborea) (Tabel 2).
Sementara itu, jenis penghasil buah-buahan antara lain manggis (Garcinia
mangostana), kelapa (Cocos nucifera), durian (Durio zibethinus), limus (Mangifera
foetida), nangka (Artocarpus heterophyllus), mangga (mangifera indica), sirsak (Annona
muricata), rambutan (Nephelium lappacium), petai (Parkia spesiosa), dan jengkol
(Archidendron pauciflorum). Penghasil hasil hutan bukan kayu antara lain cengkeh
(Syzigium aromaticum), aren (Arenga pinnata), dan pinang (Pinanga patula).
Pohon/ Pohon/
No. Jenis pohon No. Jenis pohon
ha ha
1. Manglid (Manglietia champaca.) 594 19. Durian (Durio zibethinus) 6
2. Mahoni (Swietenia sp.) 144 20. Kiacret (Spathodea campanulata) 6
3. Sengon (Paraserianthes falcataria) 103 21. Mangga (Mangifera indica) 6
4. Suren (Toona sureni) 69 22. Petai (Parkia speciosa) 6
5. Manggis (Garcinia mangostana) 53 23. Sirsak (Annona muricata) 6
6. Afrika (Maesopsis eminii) 42 24. Alpukat (Persea americana) 3
7. Kelapa (Cocos nucifera) 22 25. Angsana (Pterocarpus indicus) 3
Pohon/ Pohon/
No. Jenis pohon No. Jenis pohon
ha ha
8. Cengkeh (Syzigium aromaticum) 17 26. Gmelina (Gmelina arborea) 3
9. Rambutan (Nephelium lappaceum) 17 27. Jambu batu (Psidium guajava) 3
10. Tisuk (Hibiscus macrophyllus) 17 28. Kipare (Glochidion macrocarpum) 3
11. Bencoy (Baccaurea racemosa) 14 29. Kisamping (Evodia latifolia) 3
12. Huru (Actinodaphne procera) 14 30. Kokosan (Lansium aqueum) 3
13. Aren (Arenga pinnata) 11 31. Mara (Macaranga tanarius) 3
14. Jengkol (Archidendron pauciflorum) 11 32. Mareme (Glochidion arborescens) 3
15. Jambu air (Syzigium aquea) 8 33. Melinjo (Gnetum gnemon) 3
16. Limus (Mangifera foetida) 8 34. Pinang (Pinanga patula) 3
17. Nangka (Artocarpus heterphyllus) 8 35. Pongporang (Oroxylum indicum) 3
18. Duku (Lansium domesticum) 6 36. Puspa (Schima wallichii) 3
Tabel 3. Ketersediaan jenis tanaman bawah pada tegakan pola agroforestry manglid
area mencapai 41,6 m2/ha dan terdapat 14 jenis pohon yang menjadi komponen
penyusunnya (Tabel 1). Sementara itu, Plot 13 memperlihatkan bahwa karbon di
atas permukaan tanah memiliki nilai terkecil yang merupakan tegakan agroforestry
manglid sederhana berumur muda dengan basal area hanya 8,76 m2/ha.
(a) (b)
Gambar 3. Persentase komponen penyusun karbon tersimpan di atas permukaan tanah (a);
dan karbon tersimpan di bawah permukaan tanah (b)
Tingginya karbon tersimpan pada tegakan dengan basal area pohon tertinggi
disebabkan sebagian besar komponen karbon tersimpan tersebut berasal dari pohon.
Gambar 3 menunjukkan bahwa karbon pohon menyumbang karbon total di atas
permukaan tanah sebesar 42,34 ton/ha (95,84%), disusul bagian nekromassa tidak
berkayu sebesar 1,15 ton/ha (2,60%), biomassa tumbuhan bawah sebesar 0,64 ton/ha
(1,46%), dan nekromassa berkayu sebesar 0,05 ton/ha (0,11%). Nilai tersebut
sebanding dengan laporan Kurniawan et al. (2010) di DAS Kalikonto Hulu,
Kabuaten Malang, yang mana persentase karbon dari pohon, nekromassa dan
tumbuhan bawah masing-masing sebesar 93,11%, 5,31%, dan 1,54%.
penelitian ini sebanding dengan laporan Nair et al. (2009), yang mana C tanah pada
kedalaman 045 cm pada agroforestry Psedotsuga sp. dan Trifolilum sp. di Amerika
sebesar 95,89 ton/ha; demikian juga dengan karbon tanah pada kedalaman 040 cm
pada agroforestry kopi ternaungi sebesar 92,27 ton/ha. Penelitian ini juga sesuai
dengan laporan Roshetko et al. (2002) yang menunjukkan bahwa karbon yang ter-
simpan di dalam tanah relatif lebih besar dibandingkan dengan yang tersimpan di
dalam biomassa tumbuhan.
A. Kesimpulan
agroforestry manglid didominasi oleh kelas diameter 510 cm dan terjadi penurunan
jumlah manglid pada kelas diameter yang lebih tinggi. Pola agroforestry sederhana
memiliki sebaran jumlah manglid yang relatif seragam antarkelas diameter
dibandingkan dengan pola agroforestry kompleks.
Rerata karbon tersimpan pada hutan rakyat pola agroforestry berbasis manglid
di lokasi penelitian ini sebesar 145 ton/ha, terdiri dari 44 ton/ha karbon di atas
permukaan tanah dan 101 ton/ha karbon di bawah permukaan tanah. Pola
agroforestry kompleks memiliki cadangan karbon total di atas permukaan tanah lebih
tinggi, namun memiliki cadangan karbon di bawah permukaan yang lebih rendah
dibandingkan dengan pola agroforestry sederhana.
B. Saran
Daftar Pustaka
Antoko, B. S. (2011). Nilai insentif karbon hutan rakyat kemenyan berbasis voluntary
carbon market di Kabupaten Tapanuli Utara. (Master), Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Chave, J., Andalo, C., Brown, S., Cairns, M., Chambers, J., Eamus, D., ..., & Kira,
T. (2005). Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and
balance in tropical forests. Oecologia, 145(1), 87-99.
Hairiah, K., Ekadinata, A., Sari, R. R., & Rahayu, S. (2011). Pengukuran cadangan
karbon dari tingkat lahan ke bentang lahan. World Agroforestry CentreICRAF,
South East Asia Regional Office, Bogor, Indonesia.
Hairiah, K., Rahayu, S., & Berlian, I. (2006). Layanan lingkungan agroforestri
berbasis kopi: cadangan karbon dalam biomasa pohon dan bahan organik
tanah (studi kasus dari Sumberjaya, Lampung Barat). AGRIVITA, 28(3), 298-
309.
IPCC. (2006). IPCC Guideline 2006 Guidelines for national green house gas
inventories: IPCC.
Kurniawan, S., Prayogo, C., Widianto, M., Lestari, N. D., Aini, F. K., & Hairiah,
K. (2010). Estimasi karbon tersimpan di lahan-lahan pertanian di DAS Konto,
Jawa Timur. RACSA (Rapid Carbon Stock Appraisal). Working paper 120.
World Agroforestry Center (ICRAF). Bogor.
Lal, R. (2005). Forest soils and carbon sequestration. Forest ecology and management,
220(1), 242-258.
Mulyana, S., & Diniyati, D. (2013). Potensi wilayah sebaran kayu manglid
(Manglietia glauca Bl.) pada hutan rakyat pola agroforestry di Kabupaten
Tasikmalaya dan Ciamis. Paper presented at the Seminar Nasional
Agroforestry, Malang.
Mutuo, P. K., Cadisch, G., Albrecht, A., Palm, C., & Verchot, L. (2005). Potential
of agroforestry for carbon sequestration and mitigation of greenhouse gas
emissions from soils in the tropics. Nutrient cycling in Agroecosystems, 71(1),
43-54.
Nair, P. K. R., Kumar, B. M., & Nair, V. D. (2009). Agroforestry as a strategy for
carbon sequestration. Journal of plant nutrition and soil science, 172(1), 10-23.
Rohandi, A., Swestiani, D., Gunawan, Nadiharto, Y., Rahwaman, B., & Setiawan,
I. (2010). Identifikasi sebaran populasi dan potensi lahan jenis manglid untuk
pengembangan sumber benih dan hutan rakyat di wilayah Priangan Timur
Laporan Hasil Penelitian RISTEK.
Roshetko, J. M., Delaney, M., Hairiah, K., & Purnomosidhi, P. (2002). Carbon
stocks in Indonesian homegarden systems: Can smallholder systems be
targeted for increased carbon storage? American Journal of Alternative
Agriculture, 17(03), 138-148.
Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for
practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).
Timu Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan. (2010). Cadangan karbon pada
berbagai tipe hutan dan jenis tanaman di Indonesia. Bogor: Puslitbang Hutan
dan Konservasi Alam, Badan Litbang Kehutanan.
Wardah, B., Toknok, B., & Zulkahidah. (2011). Carbon Stock of Agroforestry
Systems at Adjacent Buffer Zone of Lore Lindu National Park, Central
Sulawesi. Journal of Tropical Soils, 16(2), 123-128.
Yuwono, S., Hilmanto, R., & Qurniati, R. (2012). Estimasi total penyerapan karbon
tersimpan pada sistem agroforestry di Desa Sumber Agung untuk mendukung RAN
GRK. Paper presented at the Seminar Agroforestry III.
Zanne, A. E., Lopez-Gonzalez, G., Coomes, D. A., Ilic, J., Jansen , S., L., S.L.,
M., R.B., ..., & Chave, J. (2009). Global wood density database. Dryad.
Identifier: http://hdl.handle.net/10255/dryad.235.
Wuri Handayani 1
ABSTRAK
Sistem agroforestry yang mencerminkan struktur tajuk berlapis dapat diterapkan untuk mem-
pertahankan fungsi hidrologi DAS, seperti memperbaiki kualitas air. Sistem agroforestry
merupakan sistem yang tak jarang bersifat kompleks. Perbedaan jenis dan umur tanaman,
teknik pengelolaan, tujuan pengembangan (komersil, tradisionil, atau konservasi), serta iklim
dan topografi akan dapat menghasilkan interaksi dan dampak yang berbeda. Oleh karena itu,
peran agroforestry menjadi bersifat spesifik. Penelitian ini bertujuan mengkaji kondisi hidro-
logi yang dipengaruhi oleh tegakan manglid dan jenis-jenis tanaman bawah yang diuji-
cobakan di bawah tegakan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi terhadap
paramater hidrologi melalui instrumen yang telah ditempatkan di lapangan. Hasil penelitian
menunjukkan intersepsi tajuk tegakan manglid umur 34 tahun termasuk tinggi, yaitu
dengan pemangkasan 75% sebesar 31% dan tanpa pemangkasan sebesar 29%. Infiltrasi pada
agroforestry manglid dan monokultur termasuk ke dalam kriteria sangat cepat. Penerapan
pemangkasan 75% menyebabkan aliran permukaan dan erosi meningkat dibandingkan tanpa
pemangkasan. Pola agroforestry manglid+ganyong menghasilkan aliran permukaan dan erosi
lebih rendah daripada monokultur. Sebaliknya, pola agroforestry manglid+suweg dan manglid+
talas menghasilkan erosi dan aliran permukaan lebih besar daripada pola monokultur.
I. Pendahuluan
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis, Jawa Barat
Email: ninikiank@gmail.com
penelitian menunjukkan bahwa hutan mampu mengurangi potensi banjir dan men-
jadi pengendali (regulator) puncak banjir pada Daerah Aliran Sungai (DAS),
mengatur pasokan air (hasil air), memelihara kualitas air, serta mengendalikan erosi
dan longsor (Hardwinarto, 2009; Kayo et al., 2009; Mulyana et al., 2009;
Murdiyarso & Kurnianto, 2009; Sukresno, 2009). Kondisi hutan yang memiliki
peran pengaturan tata air yang baik adalah hutan dengan tajuk berlapis (Gintings,
2006; Supangat et al., 2008). Oleh karena itu, sistem agroforestry yang mencermin-
kan struktur tajuk berlapis dapat diterapkan untuk mempertahankan fungsi hidrologi
DAS, seperti memperbaiki kualitas air (Noorwidjk et al., 2004; Supangat et al.,
2008).
Sistem stratifikasi tajuk menyerupai hutan dari segi pengaturan air akan ber-
dampak terhadap peningkatan infiltrasi tanah, pengendalian aliran permukaan dan
erosi, pengurangan penguapan tanaman bawah, pengurangan banjir dan melalui
intersepsi pohon (Gintings, 2006; Mahendra, 2009; Noorwidjk et al., 2004; Octavia,
2010; Pramono & Wahyuningrum, 2009). Sebagian besar air hujan yang jatuh pada
lahan bervegetasi akan tertahan pada daun-daun atau tajuk tanaman (intersepsi) dan
menguap kembali ke atmosfer selama dan beberapa saat setelah hujan (Purwanto &
Ruitjer, 2004). Sisa air hujan yang lolos dari cegatan tajuk (air lolos tajuk/through
fall) dan air yang melalui dahan atau batang (aliran batang/stem flow) bersama-sama
akan mencapai tanah atau lantai tegakan sebagai hujan efektif (net presipitation).
Sebaliknya, intersepsi merupakan bagian dari air hujan yang tidak pernah mencapai
permukaan tanah dan tidak berkontribusi terhadap limpasan permukaan, tetapi
bersama-sama dengan transpirasi lebih berperan sebagai komponen dari evapo-
transpirasi (Onozawa et al., 2009; Xiao & McPherson, 2011). Oleh karena itu,
intersepsi merupakan informasi yang penting terkait dengan upaya mengurangi
aliran permukaan, sedangkan air lolos tajuk dan aliran batang berperan dalam pem-
berian kelembaban tanah, pengisian air tanah, atau penghasil aliran permukaan.
Pada lahan agroforestry, aliran permukaan akan tertahan oleh tanaman bawah
dan memberi kesempatan dalam pengisian air tanah melalui infiltrasi. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah hutan, laju infiltrasi pada agroforestry
atau kebun campuran lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa penggunaan lahan
lainnya (Agustina et al., 2012; Sofyan, 2006). Sistem agroforestry juga dapat dikate-
gorikan sebagai penerapan konservasi tanah dengan metode vegetatif yang memberi-
kan hasil lebih efektif dalam mengendalikan erosi (Pramono & Wahyuningrum,
2009). Potensi agroforestry terletak pada kemampuannya dalam menyediakan dan
memelihara penutup lahan. Selama musim hujan, serasah dapat mengurangi erosi
pada tingkat tertentu, meskipun tanpa tambahan tindakan konservasi tanah. Namun
demikian, besarnya aliran permukaan dan erosi juga sangat tergantung pada pertum-
buhan tanaman semusim sebagai penutup lahan. Utami et al. (2004) menambahkan
bahwa dengan sistem agroforestry yang terdiri dari beberapa jenis pohon dan tanam-
an bawah, penebangan serentak dapat dihindari. Selain itu, serasah yang berlimpah
dan lebih kaya dihasilkan pula yang selanjutnya akan terdekomposisi sebagai sumber
bahan organik dan unsur hara tanah.
Agroforestry juga dapat dikatakan sebagai bagian dari kegiatan yang mendu-
kung rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan pengayaan tanaman. Menurut
Undang-undang Kehutanan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999, rehabilitasi
hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan mening-
katkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya
dalam mendukung sistem kehidupan tetap terjaga. Agroforestry yang mempraktikkan
kegiatan penanaman vegetasi dan membentuk strata tajuk merupakan bagian dari
penyelenggaraan konservasi tanah dan air melalui metode vegetatif dan mendukung
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air secara
tidak langsung.
dan dampak yang berbeda. Oleh karena itu, peran agroforestry menjadi bersifat
spesifik. Pada DAS Citanduy yang termasuk DAS prioritas, banyak dijumpai hutan
rakyat yang di antaranya menggunakan sistem agroforestry, seperti dengan jenis
tanaman kayu manglid yang cukup dominan dan tanaman pangan sebagai tanaman
bawahnya. Lalu, bagaimanakah kondisi hidrologi (intersepsi, aliran permukaan,
erosi, dan infiltrasi) yang dipengaruhi oleh sistem agroforestry berbasis manglid pada
jarak tanam, umur, dan perlakuan pemangkasan tertentu, serta dengan jenis-jenis
tanaman pangan yang ditanam di wilayah tersebut? Penelitian ini bertujuan
mengkaji kondisi hidrologi yang dipengaruhi oleh tegakan manglid dan jenis-jenis
tanaman bawah yang diujicobakan di bawah tegakan.
II. Metodologi
Bahan yang digunkan dalam kegiatan penelitian adalah plot hutan rakyat
manglid dengan sistem agroforestry dengan tanaman pangan ganyong, suweg, dan
talas. Tegakan manglid ditanam sejak awal tahun 2010 dengan jarak tanam 2 m x 2
m dan belum dilakukan penjarangan. Alat yang digunakan antara lain karet talang,
penampung air, selang, lem, kertas saring, botol sampel. Peralatan lainnya adalah
plot erosi, penakar curah hujan, double ring infiltrometer, dan timbangan analitik.
A. Intersepsi
Hasil pengukuran intersepsi pada bulan Mei 2013 hingga Desember 2014
menunjukkan nilai intersepsi tegakan manglid dengan pemangkasan lebih rendah 2%
daripada nilai intersepsi tegakan tanpa pemangkasan (Gambar 1). Nilai intersepsi
pada tegakan dengan pemangkasan sebesar 27% (1.266,1 mm) dan pada tegakan
tanpa pemangkasan sebesar 29% (1.368,7 mm). Pemangkasan menyebabkan penu-
runan tebal dan luas permukaan tajuk sehingga air hujan yang terintersepsi pada
permukaan tajuk juga semakin berkurang. Sebaliknya, pemangkasan meningkatkan
air lolos tajuk dan aliran batang, masing-masing 1% dan 1,4%. Air lolos tajuk pada
tegakan dengan pemangkasan diperoleh nilai sebesar 70% (3.294,9 mm) dan tanpa
pemangkasan sebesar 69% (3.257,1 mm). Sementara itu, aliran batang pada tegakan
dengan pemangkasan diperoleh nilai sebesar 3,5% (163,6 mm) dan tanpa pemang-
kasan sebesar 2,1% (97,2 mm). Pemangkasan menghasilkan peningkatan ruang
antartajuk yang memudahkan air hujan untuk lolos melalui ruang antartajuk.
Menurut Asdak et al., (1998), bertambahnya diameter batang akan meningkatkan
jumlah aliran batang. Hal ini terbukti pula pada hasil penelitian karena pemang-
kasan telah meningkatkan rata-rata tinggi dan diameter batang sehingga aliran
batang menjadi lebih tinggi pada tegakan dengan pemangkasan daripada tanpa
pemangkasan. Pemangkasan intensitas 75% menghasilkan tegakan dengan rata-rata
tinggi sebesar 4,4 m dan diameter 57 cm, sedangkan pada tegakan tanpa pemang-
kasan diperoleh rata-rata tinggi sebesar 3,5 m dan diameter 51 cm.
Nilai intersepsi, air lolos tajuk, dan aliran batang tanaman manglid pada umur
empat tahun lebih rendah dibandingkan dengan umur tiga tahun, baik pada tegakan
pemangkasan 75% maupun tanpa pemangkasan. Pada tahun 2013, curah hujan lebih
tinggi daripada tahun 2014 sehingga hal ini juga dapat memengaruhi besaran inter-
sepsi, air lolos tajuk, dan aliran batang pada tanaman manglid. Pada tegakan manglid
dengan pemangkasan pada umur tiga tahun (14 bulan pengamatan), intersepsi yang
dihasilkan sebesar 37% (1.898,5 mm), air lolos tajuk sebesar 59% (3.059,6 mm), dan
aliran batang 4,5% (234,3 mm). Setelah mencapai umur empat tahun (12 bulan
pengamatan), intersepsi menurun menjadi 23% (659,1 mm), air lolos tajuk mening-
kat menjadi 73% (2.132,9 mm), dan aliran batang menjadi 4,1% (119,6 mm).
Sementara itu, tegakan manglid tanpa pemangkasan pada umur tiga tahun (tujuh
bulan pengamatan) menghasilkan nilai intersepsi sebesar 37% (666,3 mm), air lolos
tajuk 61% (1.111,3 mm), dan aliran batang 2% (35,4 mm). Kemudian, pada umur
empat tahun (12 bulan pengamatan), intersepsi menurun menjadi 24% (702,4 mm),
air lolos tajuk meningkat 74% (2.145,8 mm), dan aliran batang menjadi 2,1% (61,8
mm).
Air lolos tajuk P75% Air lolos tajuk P0% Intersepsi P75% Intersepsi P0%
600 250
200
400 150
mm
mm
200 100
50
0 0
Okt
Okt
April
Jan
Okt
Okt
April
Jan
Nov
Nov
Nov
Nov
Des
Des
Juli
Des
Des
Feb
Agt
Juli
Mei
Mei
Feb
Agt
Mei
Mei
Mrt
Mrt
Juni
Juni
Juni
Juni
Sep
Sep
Sep
Sep
Aliran batang P75% Aliran batang P0% Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan
40 4,000
30 3,000
mm
20
mm
2,000
10
0 1,000
0
Okt
Okt
April
Jan
Nov
Nov
Des
Des
Juli
Feb
Agt
Mei
Mei
Mrt
Juni
Juni
Sep
Sep
Gambar 1. Air lolos tajuk, aliran batang dan intersepsi pada tegakan manglid dengan
pemangkasan (P75) dan tanpa pemangkasan (P0)
B. Infiltrasi
Hasil pengukuran infiltrasi, baik pada plot tegakan manglid dengan pemang-
kasan 75% maupun tanpa pemangkasan, termasuk kriteria sangat cepat (>25
cm/jam) (Tabel 2). Pada plot tegakan manglid dengan pemangkasan, nilai infiltrasi
awal (fo) dan infiltrasi konstan (fc) terendah terdapat pada pola monokultur, diikuti
agroforestry manglid+ganyong dan terakhir agroforestry manglid+suweg (Tabel 2 dan
Gambar 2). Infiltrasi pada pola agroforestry manglid+ganyong memiliki rentang nilai
yang sangat lebar. Sementara itu, pada plot tegakan tanpa pemangkasan, nilai
infiltrasi awal (fo) dan infiltrasi konstan (fc) terendah terdapat pada pola agroforestry
manglid+suweg, diikuti monokultur manglid dan agroforestry manglid+ganyong.
Infiltrasi (cm/jam)
Ulang-
Pola tanam Plot manglid dengan pemangkasan 75% Plot manglid tanpa pemangkasan
an
fc fo Persamaan fc fo Persamaan
Manglid+ganyong 1 90 132 90 + (132-90).e-4,634 t 102 153 102 + (153-102).e-7,287 t
2 15 30 15 + (30-15).e-4,666 t 60 81 60 + (81-60).e-4,708 t
Manglid+suweg 1 72 126 72 + (126-72).e -5,382 t
45 69 45 + (69-450).e-3,850 t
2 90 120 90 + (120-90).e-2,911 t 21 45 21 + (45-21).e-2,616 t
Monokultur 1 19,5 33 19,5 + (33-19,5).e-3,476 t 78 117 78 + (117-78).e-2,63 t
Manglid 2 7,2 150 7,2 + (15-7,2).e-3,527 t 45 75 45 + (75-45).e-3,422 t
Infiltrasi (cm/jam)
100.0 100.0
80.0 80.0
60.0 60.0
40.0 40.0
20.0 20.0
0.0 0.0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Menit ke- Menit ke-
Infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa sifat fisik tanah, seperti kandungan bahan
organik, porositas tanah, berat isi tanah, dan tekstur. Pada beberapa kasus, perakaran
tanaman pohon dapat memengaruhi infiltrasi karena pembentukan lubang-lubang
tanah oleh akar, baik yang sudah mati maupun yang masih tumbuh. Sementara itu,
sifat-sifat fisik tanah dapat dipengaruhi melalui vegetasi tanaman dalam jangka
waktu yang lama. Dengan demikian, pengaruh tanaman terhadap infiltrasi pada
dasarnya bersifat tidak langsung. Melalui perlakuan vegetasi yang dapat memper-
baiki sifat tanah, kapasitas infiltrasi pun diharapkan dapat ditingkatkan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pola tanam tidak menghasilkan perbedaan infiltrasi
yang jelas; namun demikian, sifat tanah yang ada mampu menghasilkan kemampuan
infiltrasi yang tergolong cepat (Gambar 2).
Penurunan nilai intersepsi dan peningkatan air lolos tajuk ataupun aliran
batang akibat pemangkasan akan berimplikasi pada peningkatan aliran permukaan
(run-off) dan erosi di bawah tegakan, terutama pada curah hujan tinggi. Penanaman
di bawah tegakan dapat membantu menahan limpasan air hujan pada permukaan
tanah sehingga memperbesar kesempatan air hujan untuk terserap terlebih dulu ke
dalam tanah melalui proses infiltrasi. Kemampuan tanaman bawah tegakan dalam
menahan dan mengurangi laju aliran permukaan tergantung pada jenis dan karak-
teristik tanaman.
Tabel 3. Aliran permukaan di bawah tegakan agroforestry dan monokultur manglid tahun
2012-2013
manglid+ganyong yang diikuti plot monokultur, sedangkan nilai tertinggi pada plot
agroforestry manglid+suweg (Tabel 3 dan Gambar 3). Pada tegakan manglid dengan
pemangkasan (14 bulan pengamatan), aliran permukaan pada plot agroforestry
manglid+ganyong sebesar 142,11 mm, plot monokultur manglid sebesar 147,89 mm,
dan plot agroforestry manglid+suweg sebesar 345,98 mm. Sementara itu, pada tegakan
manglid tanpa pemangkasan (tujuh bulan pengamatan), aliran permukaan pada plot
agroforestry manglid+ganyong sebesar 20,36 mm, plot monokultur manglid sebesar
21,59 mm, dan plot agroforestry manglid+suweg sebesar 23,47 mm. Hal ini menun-
jukkan bahwa agroforestry manglid+ganyong dapat menurunkan aliran permukaan
lebih baik daripada monokultur. Sebaliknya, agroforestry manglid+suweg menghasil-
kan aliran permukaan lebih besar daripada monokultur. Perlakuan pemangkasan
menyebabkan aliran permukaan meningkat dibandingkan tanpa pemangkasan
(Gambar 3).
Pemangkasan 75%
Aliran permukaan (mm)
300.0 70.0
60.0 Tanpa pemangkasan
250.0
50.0
200.0
142.1 147.9 40.0 27.6
150.0 27.3 27.0
30.0 20.6
100.0 16.7
20.0
50.0 20.4 23.5 21.6 10.0
0.0 0.0
Manglid+ganyong Manglid+suweg Monokultur manglid Manglid+talas Manglid+suweg Monokultur manglid
rapat sehingga air hujan akan jatuh langsung ke tanah dan berpeluang meningkatkan
aliran permukaan. Pada plot agroforestry manglid+suweg, terdapat kegiatan pengo-
lahan tanah pada masa tanam atau masa pemeliharaan suweg. Hal ini akan mengha-
silkan sejumlah besar pelepasan partikel tanah permukaan yang hanyut oleh aliran
permukaan selama hujan sehingga erosi (accelarated erosion) pun meningkat. Di sisi
lain, pengolahan tanah juga dapat meningkatkan pemadatan tanah, terutama pada
jenis tanah liat, sehingga menyebabkan penurunan daya atau kapasitas tanah menye-
rap air dan meningkatkan aliran permukaan. Pada pola monokultur, pengolahan
tanah jarang dilakukan; bahkan, gulma rumput dan serasah daun pun lebih sering
dibiarkan daripada dilakukan penyiangan. Rumput dan serasah ini memiliki kemam-
puan untuk mengurangi energi kinetik hujan memecah agregat tanah dan menahan
energi mekanik air hujan di atas permukaan tanah sehingga akan menurunkan aliran
permukaan dan erosi.
Tabel 4. Aliran permukaan di bawah tegakan agroforestry dan monokultur manglid tahun
2014
Keterangan: *) Jumlah hujan dan aliran permukaan yang dicantumkan tidak termasuk empat hari
kejadian hujan yang tidak tercatat
Tabel 5. Erosi di bawah tegakan agroforestry dan monokultur manglid tahun 20122013
Erosi (ton/ha)
Hujan
Tahun dan bulan Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan
(mm)
Ganyong Suweg Monokultur Ganyong Suweg Monokultur
Tahun 2012-2013
12.00 10.99 Tahun 2014
0.45
0.38
10.00 0.40
Aliran permukaan (mm)
Pemangkasan 75%
Aliran permukaan (mm)
0.35
8.00 0.30 Tanpa pemangkasan
5.70 0.25
6.00
0.20
4.00 0.15
2.54 0.08
0.10 0.07 0.05
2.00 0.03
0.07 0.24 0.10 0.05 0.03
0.00 0.00
Manglid+ganyong Manglid+suweg Monokultur manglid Manglid+talas Manglid+suweg Monokultur manglid
Gambar 4. Perbandingan jumlah erosi di bawah tegakan manglid dengan pola agroforestry
dan monokultur
Seperti halnya pada aliran permukaan, hasil pengamatan pada periode 2014 di
bawah tegakan manglid dengan pemangkasan ataupun tanpa pemangkasan menun-
jukkan bahwa jumlah erosi terendah dihasilkan dari plot monokultur manglid.
Jumlah erosi ini juga lebih rendah dibandingkan dengan plot agroforestry manglid+
talas dan plot agroforestry manglid+suweg (Tabel 6 dan Gambar 4). Perlakuan
pemangkasan juga menyebabkan erosi yang terjadi di bawah tegakan meningkat.
Tabel 6. Erosi di bawah tegakan agroforestry dan monokultur manglid tahun 2014
Erosi (ton/ha)
Hujan
Bulan Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan
(mm)
Talas Suweg Monokultur Talas Suweg Monokultur
Januari 449,05 0,0270 0,0718 0,0037 0,0306 0,0093 0,0042
Febuari 346,00 0,0068 0,0707 0,0029 0,0063 0,0029 0,0020
Maret 408,50 0,0032 0,0993 0,0096 0,0107 0,0045 0,0022
April 498,00 0,0176 0,0863 0,0273 0,0064 0,0043 0,0090
Mei 114,50 0,0011 0,0193 0,0014 0,0067 0,0028 0,0019
Juni 101,50 0,0015 0,0022 0,0007 0,0015 0,0005 0,0040
Juli 98,50 0,0006 0,0056 0,0008 0,0019 0,0026 0,0023
September 34,00 0,0001 0,0002 0,0003 0,0002 0,0004 0,0004
Oktober 21,00 0,0000 0,0002 0,0004 0,0003 0,0002 0,0003
November 336,00 0,0019 0,0082 0,0038 0,0073 0,0030 0,0022
Desember 396,50 0,0083 0,0201 0,0034 0,0036 0,0024 0,0015
Jumlah 2.803,6 0,0681 0,3840 0,0542 0,0755 0,0329 0,0301
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
Agustina, D., Setyowati, D. L., & Sugiyanto. (2012). Analisis kapasitas infiltrasi
pada beberapa penggunaan lahan di Kelurahan Sekaran, Kecamatan
Gunungpati, Kota Semarang. Geo Image, 1(1).
Asdak, C., Jarvis, P., Van Gardingen, P., & Fraser, A. (1998). Rainfall interception
loss in unlogged and logged forest areas of Central Kalimantan, Indonesia.
Journal of hydrology, 206(3), 237-244.
Gintings, N. (2006). hutan, tata air dan kelestarian DAS citatih. . Paper presented at
the Seminar Peran Serta Para Pihak dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan
Daerah Aliran Sungai Citatih-Cimandiri., Bogor.
Hardwinarto, S. (2009). Sumbangan hutan terhadap hasil air. Paper presented at the
Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung
DAS, Bogor.
Kayo, S. D. M., Ilyas, M. A., Setiadi, D., & Satriana, E. (2009). Hutan sebagai
pengendali (regulator) puncak banjir pada daerah aliran sungai. Paper presented
at the Workshop Peran Hutan Dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS, Surakarta.
Mulyana, N., Kusmana, C., Abdulah, K., & Prasetio, L. B. (2009). Hubungan luas
tutupan hutan terhadap potensi banjir dan koefisien limpasan di beberapa DAS di
Indonesia. Paper presented at the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan
dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS, Bogor.
Murdiyarso, D., & Kurnianto, S. (2009). Peranan vegetasi hutan dalam mengatur
pasokan air. Paper presented at the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan
dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS, Surakarta.
Noorwidjk, M. v., Agus, F., Suprayogo, D., Hairiah, K., Pasya, G., B.Verbist, &
Farida. (2004). Peranan agroforestri dalam mempertahankan fungsi hidrologi
daerah aliran sungai. AGRIVITA, 26(1).
Octavia, D. (2010). Peran sistem agroforestry dalam pengelolaan daerah aliran sungai
dan implikasinya dalam mitigasi perubahan iklim. Paper presented at the
Ekspose Hasil Litbang, Surakarta.
Onozawa, Y., Chiwa, M., Komatsu, H., & Otsuki, K. (2009). Rainfall interception
in a moso bamboo (Phyllostachys pubescens) forest. Journal of Forest Research,
14(2), 111-116.
Pramono, I. B., & Wahyuningrum, N. (2009). Model pengendalian run-off dan erosi
dengan metode vegetatif (Studi Kasus Sub DAS Dungwot). Paper presented at
the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS, Surakarta.
Purwanto, E., & Ruitjer, J. (2004). Hubungan antara hutan dan fungsi DAS.
Dampak Hidrologi Hutan, Agroforestri dan Pertanian Lahan Kering sebagai
Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan. Prosiding
Lokakarya di Padang, Singkarak, Sumatera Barat, Indonesia. World Agroforestry
Center.
Sukresno. (2009). Peran hutan dalam pengendalian tanah longsor. Paper presented at
the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS, Surakarta.
Supangat, A. B., Junaedi, A., Kosasih, Nasrun, & Frianto, D. (2008). Kajian Tata
Air Hutan Acacia mangium dan Eucalyptus pellita. Laporan Hasil Penelitian.
Balai Penelitian Kehutanan Kuok. Kuok.
Utami, S. R., Widianto, & Suprayogo, D. (2004). Apakah penghutanan kembali dapat
memulihkan fungsi hidrologis hutan alam? . Paper presented at the Kongres
Nasional V Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia dan Seminar
Nasional Degradasi Hutan dan Lahan, Yogyakarta.
Zinke, P. J. (1967). Forest interception studies in the United States: Forest Hydrology.
Oxford, UK: Pergamon Press.
Edy Junaidi 1
ABSTRAK
Perubahan tutupan lahan pada suatu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) memengaruhi
fungsi hidrologinya. Perkembangan penanaman tanaman manglid pada hutan rakyat di Jawa
Barat akan memengaruhi perubahan kondisi lingkungan, terutama kondisi hidrologi tempat
tumbuhnya. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh keberadaan tutupan lahan dominan
manglid terhadap hasil air yang disumbangkan ke aliran sungai dan membandingkan respons
hidrologi dengan tipe penggunaan lahan lainnya. Analisis respons hidrologi menggunakan
model hidrologi Soil and Water Assessment Toll (SWAT). Keberadaan tutupan lahan kebun
campuran manglid berkontribusi positif terhadap tata air DAS. Peningkatan hujan dan debit
berkorelasi negatif terhadap aliran permukaan dan berkorelasi positif terhadap sumbangan
yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar. Keberadaan tutupan lahan kebun campuran
manglid mempunyai tren yang sama terhadap kompenan sumbangan aliran sungai dengan
tutupan lahan hutan, kebun campuran, dan semak belukar.
I. Pendahuluan
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4, Ciamis, Jawa Barat 46201
Email: ejunad75@gmail.com
hubungan masukan hujan dan keluaran limpasan DAS. Sebagai suatu sistem, terda-
pat berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain di dalam DAS. Kom-
ponen tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu 1) komponen biofisik
yang bersifat alami dan menunjukkan karakteristik yang dimiliki setiap DAS; dan 2)
komponen nonbiofisik yang menunjukkan manusia dengan berbagai ragam per-
soalan, latar belakang budaya, sosial ekonomi, sikap politik, kelembagaan, dan
tatanannya.
Keberadaan tutupan lahan pada suatu DAS merupakan salah satu komponen
biofisik yang penting. Perubahan tutupan lahan pada suatu sistem DAS akan
memengaruhi fungsi hidrologi DAS. Penelitian tentang dampak perubahan tutupan
lahan terhadap respons hidrologi telah banyak dilakukan (Andrassian, 2004;
Bruijnzeel, 2004). Pola agroforestry (wanatani) merupakan salah satu bentuk tutupan
lahan yang mulai berkembang dan diterapkan pada lahan masyarakat. Pola ini
merupakan alternatif bentuk tutupan lahan yang terdiri dari campuran tanaman
keras (pepohonan atau semak) dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak
dalam satu bidang lahan. Komposisi tanaman yang beragam pada agroforestry ini
menyebabkan agroforestry memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada
tutupan hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, dan lahan kosong.
Berdasarkan fakta tersebut, para ahli berpendapat bahwa strata tegakan yang menye-
rupai pola hutan pada pola agroforestry menguntungkan secara lingkungan. Hasil
kajian Junaidi (2013) menunjukkan bahwa pola agroforestry memiliki kemampuan
mempertahankan fungsi hidrologi DAS yang menyerupai hutan.
II. Metodologi
A. Lokasi Penelitian
Citanduy Hulu berada pada kisaran curah hujan >2.000 mm/tahun dan termasuk
dalam kriteria tinggi. Sementara itu, luas wilayah DAS yang berada pada kisaran
curah hujan <2.000 mm/tahun hanya sekitar 12% dari luas DAS, tepatnya di sekitar
hilir DAS Citanduy Hulu (Junaidi & Maryani, 2013).
B. Metode Penelitian
Pendugaan tata air dilkukan dengan menggunakan model Soil and Water
Assessment Toll (SWAT). Proses pendugaan tata air yang disimulasikan oleh model
SWAT, meliputi infiltrasi, aliran bagian permukaan, aliran lateral, evaporasi,
transpirasi, pergerakan air tanah, dan routing perjalanan aliran (Menking et al.,
2003). Model SWAT merupakan model matematik berbasis fisik yang dirancang
sebagai model hidrologi spasial terdistribusi yang terintegrasi dengan Geographical
Information System (GIS) dan Digital Elevation Model (DEM) dengan tampilan
antarmuka pengguna secara grafis (GUI). Model ini berdasarkan hydrologic respons
units (HRUs) yang dibentuk dari kombinasi tata guna lahan, jenis tanah, dan
topografi (Olivera et al., 2006; Omani et al., 2007). Evaluasi operasionalisasinya
berbasis pada skala waktu harian dan mampu mensimulasi dan menduga dampak
kegiatan-kegiatan praktik pengelolaan lahan jangka panjang (Arnold et al., 2010;
Douglas-Mankin et al., 2010).
1. Persiapan Model
Terdapat tiga jenis data yang digunakan dalam model SWAT pada penelitian
ini, yaitu data spasial iklim dan hidrologi (Tabel 1). Data iklim dan spasial
digunakan sebagai input model, sedangkan data hidrologi digunakan untuk proses
kalibrasi dan validasi model.
Tabel 1. Data spasial, iklim, dan hidrologi yang terdapat di DAS Citanduy Hulu
model yaitu Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE), perbandingan rerata debit prediksi dan
rerata debit observasi, serta koefisien determinasi.
C. Analisis Data
Hasil model untuk analisis berupa output HRUs yang merupakan luaran model
untuk data input tahun 2010. Data dikompilasi dalam bentuk grafik dan tabel yang
dianalisis secara deskriptif.
Hingga tahun 2009, kondisi tutupan lahan pada DAS Citanduy Hulu dido-
minasi oleh sawah (29% luas DAS) dan kebun campuran (26%). Sementara itu, luas
lahan hutan (meliputi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas)
yang terdapat pada DAS Citanduy Hulu sekitar 20,73% (Tabel 2). Sebaran tutupan
lahan dapat dilihat pada Gambar 2.
Tabel 2. Kondisi tutupan lahan existing DAS Citanduy Hulu tahun 2009
Hasil perhitungan untuk koefisien Nash-Sutcliffe (ENS) adalah 0,76 dan hasil
perhitungan untuk nilai Dv adalah -14,96%. Sementara itu, berdasarkan grafik XY
scatter, hubungan antara debit bulanan prediksi (nilai X), dan debit bulanan observasi
(nilai Y), diperoleh nilai R2 adalah 0,79.
C. Kondisi Hidrologi
Secara umum, kondisi hidrologi DAS Citanduy Hulu memiliki nilai rerata
tahunan evapotranspirasi sebesar 66,1 mm (23%), aliran permukaan sebesar 121,6
mm (43%), aliran bawah permukaan sebesar 83,3 mm (29%), dan aliran dasar sebe-
sar 50,0 mm (18%) dengan total curah hujan bervariasi antara 2794,53429,2 mm.
Gambar 3. Tren perubahan masimg-masing komponen hasil air di DAS Citanduy Hulu
Hasil analisis pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa semakin besar debit dan
tinggi curah hujan yang jatuh, aliran bawah permukaan dan aliran dasar yang
dihasilkan akan semakin besar. Sebaliknya, semakin besar debit yang dihasilkan dan
curah hujan yang jatuh, aliran permukaan yang dihasilkan semakin kecil.
2. Kontribusi Tutupan lahan Kebun Campuran Manglid terhadap Tata Air DAS
Citanduy Hulu
tutupan lahan areal penggunaan lain (sawah, pemukiman, pertanian lahan kering,
dan semak belukar).
Gambar 5. Debit bulanan tutupan lahan KC manglid dibandingkan dengan debit bulanan
beberapa tutupan lahan hutan terhadap sumbangan debit sungai
Gambar 6. Debit bulanan tutupan lahan KC manglid dibandingkan dengan debit bulanan
beberapa tutupan lahan kebun campuran terhadap sumbangan debit sungai
Gambar 7. Debit bulanan tutupan lahan KC manglid dibandingkan dengan debit bulanan
beberapa tipe tutupan lahan terhadap sumbangan debit sungai
Secara umum, kondisi neraca air tutupan lahan KC manglid terhadap sum-
bangan aliran DAS Citanduy Hulu memiliki nilai rerata tahunan evapotranspirasi
sebesar 19%, aliran permukaan sebesar 42%, aliran bawah permukaan sebesar 3,5%,
dan aliran dasar sebesar 28,8% dengan total curah 2934,9 mm.
Gambar 9. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air pada tutupan lahan kebun
campuran manglid dibandingkan dengan tutupan lahan hutan
Gambar 10. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air pada tutupan lahan kebun
campuran manglid dibandingkan dengan tutupan lahan tipe lain
Gambar 11. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air pada tutupan lahan kebun
campuran manglid dibandingkan dengan tutupan lahan kebun campuran tipe lain
IV. Kesimpulan
Daftar Pustaka
Arnold, J., Allen, P., Volk, M., Williams, J., & Bosch, D. (2010). Assessment of
different representations of spatial variability on SWAT model performance.
Transactions of the ASABE, 53(5), 1433-1443.
Douglas-Mankin, K., Srinivasan, R., & Arnold, J. (2010). Soil and Water
Assessment Tool (SWAT) model: Current developments and applications.
Transactions of the ASABE, 53(5), 1423-1431.
Junaidi, E. (2013). Peranan penerapan agroforestry terhadap hasil air daerah aliran
sungai (DAS) Cisadane. Jurnal Penelitian Agroforestry, 1(1), 41-53.
Junaidi, E., & Maryani, R. (2013). Pengaruh Dinamika Spasial Sosial Ekonomi
pada suatu Lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS) terhadap Keberadaan
Lanskap Hutan (Studi Kasus pada DAS Citanduy Hulu dan DAS Ciseel,
Jawa Barat). Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 10(2), 122-239.
Kobold, M., Suelj, K., Polajnar, J., & Poganik, N. (2008). Calibration techniques
used for HBV hydrological model in Savinja catchment. Paper presented at the
XXIVth CONFERENCE OF THE DANUBIAN COUNTRIES.
Menking, K., Syed, K., Anderson, R., Shafike, N., & Arnold, J. (2003). Model
estimates of runoff in the closed, semiarid Estancia basin, central New
Mexico, USA. Hydrological sciences journal, 48(6), 953-970.
Olivera, F., Valenzuela, M., Srinivasan, R., Choi, J., Cho, H., Koka, S., & Agrawal,
A. (2006). ARCGISSWAT: A geodata model and GIS interface for
SWAT1. JAWRA Journal of the American Water Resources Association, 42(2),
295-309.
Omani, N., Tajrishy, M., & Abrishamchi, A. (2007). Modeling of a river basin using
SWAT model and GIS. Paper presented at the 2nd International Conference
on Managing Rivers in the 21st Century: Solutions Towards Sustainable
River Basins. Riverside Kuching, Sarawak, Malaysia.
Puspitojati, T., Junaidi, E., Sanudin, Ruhimat, I. S., Kuswantoro, D. P., Indrajaya,
Y., & Widiyanto, A. (2012). Kajian lanskap agroforestry pada DAS prioritas.
Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis.
Santhi, C., Arnold, J. G., Williams, J. R., Dugas, W. A., Srinivasan, R., & Hauck,
L. M. (2001). validation of the swat model on a large RWER basin with
point and nonpoint sources1: Wiley Online Library.
PENGOLAHAN HASIL
KAYU MANGLID
Sifat Fisik dan Pemesinan Kayu Manglid
ABSTRAK
Sifat fisik dan pemesinan kayu merupakan informasi yang penting sebagai dasar pemanfaatan
kayu. Penelitian ini bertujuan mengetahui sifat fisik dan pemesinan kayu manglid. Sampel
kayu diambil dari hutan rakyat di Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa
Barat. Pembuatan contoh uji dan pengujian sifat fisik mengacu pada British Standard (BS)
Nomor 373, sedangkan sifat pemesinan mengacu pada prosedur ASTM D1666-64. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kayu manglid memiliki kadar air segar rerata 168,77%, kadar
air kering udara 14,63%, berat jenis pada volume segar 0,35, berat jenis pada volume kering
udara 0,36, dan berat jenis pada volume kering tanur 0,38. Berdasarkan sifat perubahan
dimensinya, kayu manglid memiliki nilai penyusutan pada arah longitudinal 1,51%, penyu-
sutan arah radial 4,08%, penyusutan arah tangensial 5,84%, serta rasio penyusutan tangensial
dan radial 1,54. Kadar air segar kayu manglid pada arah aksial memiliki pola sebaran mening-
kat dari arah pangkal ke tengah batang, kemudian menurun pada bagian ujung. Sementara,
pola sebaran kadar air segarnya pada arah radial menurun secara konsisten dari arah dekat
empulur ke arah kulit. Berat jenis kayu manglid pada arah aksial memiliki pola sebaran
menurun dari bagian pangkal ke tengah, kemudian meningkat pada bagian ujung batang.
Pola sebaran berat jenis pada arah radial meningkat secara konsisten dari bagian dekat
empulur ke arah kulit batang. Sifat fisik kayu manglid pada arah aksial dan radial bervariasi
untuk kadar air segar dan berat jenis, sedangkan kadar air kering udara dan perubahan
dimensinya relatif seragam. Kayu manglid memiliki mutu pemesinan yang sangat baik (kelas
mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta memiliki mutu pemesinan baik
(kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran, dan pembubutan.
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis, Jawa Barat
Email: msiarudin@yahoo.com
I. Pendahuluan
Meskipun manglid sudah menjadi salah satu komoditas andalan di Jawa Barat
bagian timur, sesungguhnya jenis ini belum dikenal sebagai jenis komersial secara
luas. Sosef et al. (1998) mengelompokkan manglid ke dalam jenis kurang dikenal
(lesser known timber) yang mana informasi mengenai sifat-sifat dasar kayunya masih
sangat terbatas. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan mengetahui sifat fisik dan
sifat pemesinan kayu manglid yang berasal dari hutan rakyat di Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
dasar untuk pengembangan pemanfaatan kayu manglid sesuai dengan karakteristik
fisik dan pemesinannya.
II. Metodologi
A. Lokasi Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga batang pohon manglid
yang berumur 1015 tahun. Ketiga sampel pohon tersebut memiliki rerata tinggi
total 28 m, diameter setinggi dada 37,7 cm, tinggi bebas cabang 12,9 m, dan
diameter pada ketinggain bebas cadang 28 cm. Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini, antara lain gergaji rantai (chain saw), gergaji circle, timbangan analitik,
oven, sigmad, dan unit peralatan pengujian sifat pemesinan kayu.
C. Prosedur Kerja
Sampel pohon manglid diambil bagian batang bebas cabang pada tiga kedu-
dukan aksial (pangkal, tengah dan ujung). Bagian-bagian tersebut dipotong secara
melintang berbentuk piringan setebal 3 cm untuk bahan contoh uji kerapatan dan
kadar air, dan piringan setebal 5 cm untuk bahan contoh uji perubahan dimensi
kayu. Pada setiap piringan diambil tiga bagian arah radial, yaitu dekat hati, tengah,
dan dekat kulit. Gambar skema pengambilan sampel kayu manglid disajikan pada
Gambar 1.
Parameter sifat fisika kayu yang diukur dalam penelitian ini adalah kerapatan
kayu, kadar air segar, kadar air kering udara, dan perubahan dimensi kayu. Peru-
bahan dimensi kayu terdiri atas penyusutan tangensial, penyusutan radial, penyu-
sutan longitudinal, serta rasio penyusutan tangensial dan radial (T/R). Standar
pembuatan ukuran dan pengujian contoh uji dalam penelitian ini menggunakan
British Standard (BS) Nomor 373 (Anonim, 1957).
A. Sifat Fisik
Karakteristik sifat fisik kayu manglid secara umum tidak berbeda dengan jenis
tanaman cepat tumbuh lainnya (Tabel 1). Hasil pengukuran di laboratorium menun-
jukkan bahwa kadar air segar rerata kayu manglid adalah 168,77% atau dengan kata
lain, berat air dalam kayu manglid sesaat setelah penebangan lebih besar daripada
berat kayunya sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haygreen & Bowyer (1996)
bahwa berat air dalam kayu segar umumnya sama atau lebih besar daripada berat
bahan kayu kering. Besarnya nilai kadar air segar tersebut merupakan informasi
penting karena berkaitan langsung dengan berat kayu gelondong sehingga dapat
dijadikan pertimbangan dalam merancang pemanenan dan pengangkutan dolok
manglid.
Rentang kadar air segar kayu manglid terendah dan tertinggi tersebut cukup
besar. Pohon manglid memiliki kisaran kadar air segar sekitar 62,65273,77%. Jika
diperhatikan, kadar air terendah didapat pada contoh uji bagian ujung dekat kulit,
sedangkan kadar air segar tertinggi pada contoh uji bagian tengah dekat hati. Hal ini
berbeda dengan pendapat Haygreen & Bowyer (1996) bahwa kadar air pada bagian
dekat kulit pada umumnya lebih besar daripada bagian tengah. Variasi kandungan
air segar pada manglid diduga berkaitan dengan variasi kerapatan kayunya (Gambar
1 dan Gambar 2).
Kadar air kering udara rerata adalah 14,63% dengan kisaran 13,5717,03%.
Dengan demikian, terjadi penurunan sebesar 154,14% kadar air sejak penebangan
hingga mencapai kadar air seimbang. Sementara itu, berat jenis kering udara rerata
adalah 0,36 dengan kisaran 0,300,45. Nilai berat jenis tersebut sedikit lebih rendah
daripada berat jenis manglid menurut Seng (1990), yaitu rerata 0,41 dengan kisaran
0,320,58.
Penyusutan total pada arah longitudinal rerata 1,51% dengan kisaran 0,22
3,40%. Penyusutan pada arah radial rerata 4,08% dengan kisaran 2,389,29%,
sedangkan penyusutan tangensial rerata 5,84% dengan kisaran 1,829,43%. Rasio
T/R rerata 1,54 dengan kisaran 0,562,91.
B. Variasi Sifat Fisik Kayu Manglid pada Arah Aksial dan Radial
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kadar air segar dan berat jenis
berbeda sangat nyata (taraf kepercayaan 99%) pada arah aksial ataupun radial,
sedangkan nilai penyusutan dan rasio T/R kadar air kering udara relatif seragam.
Sementara itu, interaksi arah aksial dan arah radial tidak menunjukkan perbedaan
sifat-sifat fisik yang nyata. Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil (BNT) (Tabel
2), nilai kadar air segar pada arah aksial berbeda nyata antara bagian ujung batang
dengan bagian pangkal dan tengah, sedangkan bagian pangkal dan tengah relatif
seragam. Sementara itu; pada arah radial, perbedaan nyata kadar air segar terjadi
antara semua bagian, baik dekat kulit, tengah, maupun dekat hati.
Tabel 2. Hasil uji BNT kadar air segar kayu manglid pada arah aksial dan radial
Tabel 3. Hasil uji BNT berat jenis kayu manglid pada arah aksial dan radial
BJ segar BJ KU BJ KT
Arah
Rerata BNT0,05 Rerata BNT0,05 Rerata BNT0,05
Tengah 0,3200 A 0,3356 A 0,3500 A
Aksial Pangkal 0,3511 B 0,3700 B 0,3889 B
Ujung 0,3722 B 0,3867 B 0,4089 B
Hati 0,3289 A 0,3422 A 0,3567 A
Radial Tengah 0,3444 AB 0,3578 A 0,3756 A
Kulit 0,3700 B 0,3922 B 0,4156 B
Keterangan: BJ segar=berat jenis pada volume segar; BJ KU=berat jenis pada volume kering udara; BJ
KT=berat jenis pada volume kering tanur; BNT=beda nyata terkecil; angka dalam kolom pada masing-
masing arah yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%
Hasil uji BNT pada Tabel 3 menunjukkan bahwa berat jenis manglid pada
arah aksial berbeda antara bagian tengah dengan bagian pangkal dan ujung,
sedangkan bagian pangkal dengan ujung relatif seragam. Sementara itu; pada bagian
radial, berat jenis manglid pada bagian dekat kulit berbeda nyata dengan bagian
dekat hati dan tengah.
250 300
250
200
150
150
231.72
190.59
175.96
100
184.52
147.67
100
90.07
50 50
- -
P
P T
Ta UU
H
P T
Tr US
Arah Aksial (Axial ) Arah Radial (Radial)
Keterangan: P=pangkal; Ta=tengah arah aksial; U=ujung; H=dekat hati; Tr=tengah arah radial; S=dekat kulit
Gambar 1. Variasi kadar air segar kayu manglid pada arah aksial dan radial
0.40 0.42
Berat Jenis (Specific gravity)
Berat Jenis (Specific gravity)
0.38 0.40
0.38
0.36
0.36
0.38
0.39
0.34
0.37
0.34
0.36
0.34
0.34
0.32
0.32
0.30 0.30
PP T
Ta UU H
P T
Tr US
Arah Aksial (Axial) Arah Radial (Radial)
Keterangan: P=pangkal; Ta=tengah arah aksial; U=ujung; H=dekat hati; Tr=tengah arah radial; S=dekat kulit
Gambar 2. Variasi berat jenis kayu manglid pada arah aksial dan radial
Kadar air segar kayu manglid yang tertinggi pada arah aksial adalah pada
bagian tengah, kemudian lebih rendah berturut-turut pada bagian pangkal dan
ujung. Meskipun demikian; sebagaimana hasil uji lanjut pada Tabel 2, bagian
pangkal dan tengah relatif seragam. Kadar air segar kayu manglid pada arah radial
terdapat kecenderungan menurun secara teratur dari arah empulur/hati ke arah
kulit/sisi. Kadar air segar pada bagian dekat hati mencapai 231,72%, sedangkan pada
bagan tengah dan dekat kulit berturut-turut 184,52% dan 90,07% (Gambar 1).
Gambar 2 memperlihatkan pola sebaran berat jenis kayu manglid pada arah
aksial, yaitu bagian tengah memiliki berat jenis paling rendah dibandingkan dengan
bagian pangkal dan ujung; sedangkan berdasarkan uji BNT (Tabel 3), berat jenis
bagian pangkal dan ujung relatif seragam. Tingginya berat jenis pada bagian pangkal
sesuai dengan pernyataan Haygreen & Bowyer (1996) bahwa kebanyakan kayu bulat
pada bagian pangkal memiliki berat jenis yang lebih tinggi daripada bagian batang di
atasnya. Sementara itu, tingginya berat jenis pada bagian ujung yang ditemukan
pada penelitian ini belum dapat dipastikan penyebabnya. Salah satu kemungkinan-
nya adalah banyaknya bekas percabangan yang ada di sekitar tajuk yang sudah
mengalami kerontokan alami. Bekas-bekas cabang ini diduga banyak mengandung
lignin yang menambah berat jenis kayunya. Namun demikian, penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk memastikan fenomena ini.
Sebaran berat jenis kayu manglid pada arah radial memiliki kecenderungn
meningkat dari arah hati ke arah kulit (Gambar 2). Berat jenis kayu manglid rerata
pada bagian dekat hati hanya 0,34, sedangkan pada bagian tengah dan bagian dekat
kulit berturut-turut 0,36 dan 0,39. Rendahnya berat jenis pada bagian dekat hati
dapat dijelaskan dengan adanya fenomena kayu juvenil. Haygreen & Bowyer (1996)
dan Panshin & Zeeuw (1980) mengemukakan bahwa sebagian besar sel-sel kayu
berdinding tipis sehingga akan menghasilkan kerapatan yang rendah.
Nilai kadar air segar dan berat jenis kayu manglid memiliki pola sebaran yang
saling berlawanan, baik pada arah aksial maupun radial (Gambar 1 dan Gambar 2).
Kecenderungan yang berlawanan antara kadar air segar dan berat jenis ini diduga
berkaitan dengan sifat porositas kayu yang mana pori-pori yang besar pada bagian
kayu dengan kerapatan rendah menyebabkan air bebas yang tinggi. Menurut
Panshin & de Zeew (1980), air dalam kayu terletak di dalam dinding sel sebagai air
terikat dan air di dalam rongga sel sebagai air bebas. Rendahnya berat jenis pada
bagian dekat hati memungkinkan banyaknya air bebas pada rongga sel.
C. Sifat Pemesinan
Tabel 4 memperlihatkan bahwa cacat serat berbulu pada kayu manglid yang
berasal dari dolok diameter. Berdasarkan persentase cacat yang terukur, kayu
manglid dari dolok manglid diameter kecil memiliki sifat pemesinan baik hingga
sangat baik, atau kelas mutu I hingga II. Manglid memiliki sifat penyerutan dan
pengampelasan yang sangat baik atau kelas mutu I. Hal ini menunjukkan bahwa
dolok manglid diameter kecil ini cocok untuk produk yang memerlukan tampilan
permukaan yang indah, seperti mebel dan kerajinan. Sementara itu, sifat
pembentukan yang baik memungkinkan dolok manglid diameter kecil untuk diman-
faatkan sebagai bahan baku produk kayu bentukan (moulding) dengan lebar papan
terbatas, seperti profil dan papan sambung. Papan manglid dapat dijadikan papan
sambung dengan sistem finger joint dan tongue & groove yang memerlukan sifat
pembentukan yang baik.
A. Kesimpulan
Kayu manglid memiliki kadar air segar rerata 168,77%, kadar air kering udara
14,63%, berat jenis pada volume segar 0,35, berat jenis pada volume kering udara
0,36, dan berat jenis pada volume kering tanur 0,38. Berdasarkan sifat perubahan
dimensinya, kayu manglid memiliki nilai penyusutan pada arah longitudinal 1,51%,
penyusutan arah radial 4,08%, penyusutan arah tangensial 5,84%, serta rasio
penyusutan tangensial dan radial 1,54. Kadar air segar kayu manglid pada arah aksial
memiliki pola sebaran meningkat dari arah pangkal ke tengah batang, kemudian
menurun pada bagian ujung. Sementara itu, pola sebaran kadar air segar pada arah
radial menurun secara konsisten dari arah dekat empulur ke arah kulit.
Berat jenis kayu manglid pada arah aksial memiliki pola sebaran menurun dari
bagian pangkal ke tengah, kemudian meningkat pada bagian ujung batang. Pola
sebaran berat jenis pada arah radial meningkat secara konsisten dari bagian dekat
empulur ke arah kulit batang. Sifat fisik kayu manglid pada arah aksial dan radial
bervariasi untuk kadar air segar dan berat jenis, sedangkan kadar air kering udara dan
perubahan dimensinya relatif seragam. Kayu manglid memiliki mutu pemesinan
yang sangat baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta
memiliki mutu pemesinan baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran,
dan pembubutan.
B. Saran
Daftar Pustaka
Anonim. (2007). Manglid (Manglieta glauca Bl.) Lembar Informasi Teknis Jenis-Jenis
Pohon untuk Hutan Rakyat: Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.
Asdar, M. (2010). Sifat pemesinan kayu surian (Toona sinensis (Adr. Juss.) MJ
Roemer) dan kepayang (Pangium edule Reinw.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan,
28(1), 18-28.
Haygreen, J. G., & Bowyer, J. L. (1996). Forest products and wood science: an
introduction.
Rahman, O., & Malik, J. (2008). Penggergajian dan pengerjaan kayu, pilar industri
perkayuan Indonesia: Puslitbang Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan.
Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for
practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).
Sosef, M., Hong, L., & Prawirohatmodjo, S. (1998). Plant Resources of South-East
Asia 5): (3) Timber trees: Lesser known timbers (Vol. 5): Backhuys.
M. Siarudin1
ABSTRAK
Manglid (Magnolia champaca) merupakan jenis yang banyak dikembangkan di hutan rakyat
Jawa Barat, namun informasi mengenai pengolahan pascapanen jenis ini masih terbatas.
Penelitian ini bertujuan mengukur karakteristik dolok dan hasil penggergajian kayu manglid.
Bahan yang digunakan adalah 34 dolok manglid yang berasal dari hutan rakyat di Desa
Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dengan rentang diameter 19,2540,5 cm.
Karakteristik bentuk dolok yang diamati adalah kebundaran, keruncingan, dan keleng-
kungan. Pola penggergajian yang diterapkan adalah dengan pola satu sisi dan pola semi-
perempatan (17 dolok untuk masing-masing pola penggergajian). Hasil penelitian menun-
jukkan bahwa dolok manglid dengan rerata diameter 29 cm memiliki nilai kebundaran
92,18%, keruncingan 1,06 cm/m, dan kelengkungan 6,72%. Hasil penggergajian kayu
manglid menunjukkan nilai rendemen, efisiensi menggergaji, produktivitas, dan rerata lebar
papan pada pola satu sisi berturut-turut 62,69%, 47,82%, 0,93 m3/jam, dan 17,75 cm;
sedangkan nilai pada pola semiperempatan berturut-turut 63,50%, 41,25%, 0,53 m3/jam, dan
7,94 cm. Hasil uji-t menunjukkan bahwa pola penggergajian satu sisi dan pola penggergajian
semiperempatan menghasilkan rendemen yang relatif seragam, namun berbeda sangat nyata
pada efisiensi menggergaji, produktivitas, dan lebar papan yang dihasilkan. Pola pengger-
gajian satu sisi menghasilkan efisiensi dan produktivitas yang lebih tinggi, serta papan yang
lebih lebar dibandingkan denga pola semiperempatan.
Kata kunci: pola penggergajian, pola satu sisi, pola semiperempatan, dolok, manglid
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis Jawa Barat
Email: msiarudin@yahoo.com
I. Pendahuluan
Manglid (Magnolia champaca) merupakan salah satu jenis pohon yang saat ini
banyak dikembangkan pada hutan rakyat di Jawa Barat. Jenis ini relatif cepat tum-
buh dan dapat mencapai tinggi maksimum 40 m, serta batang bebas cabang 25 m
dengan garis tengah mencapai 150 cm (Rimpala, 2001). Manglid umumnya berba-
tang lurus dan silindris tanpa banir, serta lingkaran tahunnya tampak jelas. Manglid
tumbuh baik pada ketinggian 900 m dpl hingga 1.700 m dpl dalam hutan campuran
yang lembab, yaitu pada tanah yang subur dan selalu lembab. Berdasarkan beberapa
laporan eksplorasi, tanaman manglid tersebar pada ketinggian 1.0002.200 m dpl.
Saat ini, manglid dikembangkan melalui agroforestry pada progam social forestry dan
dijadikan komoditas unggulan untuk pengembangan hutan rakyat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rimpala, 2001). Menurut
Djam'an (2006), manglid di Jawa Barat sudah banyak dibudidayakan dengan masa
penebangan setiap 35 tahun dan memberikan hasil 12,1 m/ha.
Jenis manglid sangat disukai di Jawa Barat dan Bali karena selain kayunya
mengkilat; strukturnya pun padat, halus, ringan, dan kuat. Kayu gubalnya tipis dan
berwarna putih; kayu teras yang masih segar berwarna cokelat dengan sedikit warna
hijau yang tampak jelas, setelah kering angin warnanya bervariasi antara cokelat
muda dan kuning kecokelatan tanpa kirai (Anonim, 2007). Kekuatan kayunya
digolongkan dalam kelas IIIIV dan keawetannya termasuk kelas II (Seng, 1990).
Adapun keuntungan dari kayu manglid tersebut karena ringan (berat jenis 0,41)
sehingga mudah dikerjakan dan sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan,
perkakas rumah, barang-barang hiasan, patung, dan ukiran (Sosef et al., 1998).
Kegunaan kayu Manglid selama ini sebagai perkakas rumah tangga (meja, kursi,
lemari), bangunan rumah, bangunan jembatan, pelapis kayu, dan plywood. Untuk
tujuan kegunaan tersebut, hampir semua dolok manglid digergaji menjadi kayu
gergajian.
Proses penggergajian pada dasarnya terdapat dua macam/pola, yaitu pola satu
sisi (life sawing) dan pola semiperempatan (semi-quarter sawing). Pola satu sisi ditan-
dai oleh irisan gergaji menyinggung lingkaran tahun setiap kali mengiris kayu,
sedangkan pola perempatan tegak lurus atau hampir tegak lurus. Pada kayu yang
memiliki lingkaran tahun yang tampak jelas, pola perempatan menampilkan
orientasi seratan yang indah (fancy) pada permukaan kayu (Rachman & Balfas,
1989).
II. Metodologi
Peralatan yang digunakan adalah mesin gergaji ban (band saw), alat ukur
waktu (stop watch), meteran, dan lain-lain. Spesifikasi mesin gergaji yang digunakan
adalah merk Dong Fang model MJ-339 H dengan diameter pulley 36. Sementara
itu, spesifikasi bilah gergaji yang digunakan adalah sebagai berikut:
- Lebar bilah : 70 mm
- Tebal bilah : 1,4 mm
- Jarak gigi gergaji : 32 mm
- Tinggi gigi gergaji : 7,5 mm
- Tebal titik baja : 2,6 mm
B. Prosedur Kerja
a b
Gambar 1. Pola penggergajian: pola satu sisi (a) dan pola semiperempatan (b)
Waktu efektif diukur pada saat proses pembelahan dan perataan sisi/ujung,
yaitu setiap kali saat bilah gergaji menempel kayu hingga saat bilah lepas dari kayu.
Waktu total diukur pada setiap dolok, yaitu mulai saat dolok berada di atas meja
penggergajian hingga pembelahan dan perataan pingir/ujung selesai dilakukan.
Papan gergajian yang dihasilkan diukur lebar, panjang, tebal (seragam 3 cm),
kemudian ditentukan volumenya.
C. Pengolahan Data
Data hasil pengukuran diolah mejadi beberapa variabel dengan rumus sebagai
berikut:
1. Volume Dolok
V dolok = 1 / 4..D 2 P
Keterangan: V dolok=volume dolok (m3); D=diameter dolok; =3,14; P=panjang dolok (m)
Rumus kebundaran:
d1 d3
K1 = 100 atau K 2 = 100 (dipilih nilai terkecil)
d2 d4
Keterangan: K1=kebundaran bontos pangkal (%); K2=kebundaran bontos ujung (%); d1=diameter
bontos pangkal terpendek (cm); d2=diameter bontos pangkal tegak lurus d1 (cm); d3=diameter bontos
ujung terpendek (cm); d4 =diameter bontos ujung tegak lurus d3 (cm)
Rumus kelengkungan:
y
L= 100
D
Keterangan: L=kelengkungan (%); y=jarak penyimpangan lengkung log (cm); D=rata-rata diameter
dolok (cm)=(d1+d2+d3+d4)/4
3. Rendemen
V papan
R= 100
V dolok
Keterangan: R=rendemen (%); V papan=volume papan (m3); V dolok=volume dolok (m3)
4. Efisiensi Menggergaji
We
E= 100
Wtotal
Keterangan: E=efisiensi menggergaji (%); We =waktu efektif (jam); Wtotal=waktu total (jam)
5. Produktivitas
V papan
P=
W total
Keterangan: P=produktivitas (m3/jam); V papan=volume papan (m3); W total=waktu total (jam)
Jumlah papan pada setiap kelas lebar papan dihitung persentasenya, kemudian
dibandingkan dengan total papan yang dihasilkan masing-masing pola pengger-
gajian. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif.
Data-data yang telah diolah dianalisis dengan uji-t dua sampel independen
(Independent-Samples t-Test) untuk mengetahui perbedaan antara kedua pola
penggergajian. Sampel dolok yang digunakan untuk kedua pola pernggergajian
diasumsikan memiliki keragaman yang seimbang atau homogen sehingga dilakukan
uji Levene terlebih dahulu untuk keseimbangan keragaman (Levenes Test for Equality
of Variances). Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan software SPSS 13.
Dimensi dan angka bentuk dolok merupakan salah satu faktor yang menentu-
kan rendemen penggergajian. Tabel 1 menunjukkan rerata diameter dolok manglid
sebesar 29,26 cm dengan volume rerata 0,14 m3/dolok, kelengkungan 6,72%,
keruncingan 1,06 cm/m, dan kebundaran 92,18%.
Nilai kelengkungan dolok manglid memiliki kisaran yang cukup tinggi, yaitu
1,3423,93% (rerata 6,72%). Namun demikian, nilai kelengkungan dolok manglid
umumnya relatif rendah <10% dan hanya ada dua dolok dengan nilai kelengkungan
>20% karena kondisi spesifik pada individu pohon sampel yang diambil.
Tabel 1. Dimensi dolok dan angka bentuk dolok kayu manglid penggergajian pola satu sisi
Nilai keruncingan dolok manglid berkisar 03,25 cm/m. Dolok dengan nilai
keruncingan rendah (bahkan berbentuk silindris atau keruncingan 0 cm/m) pada
umumnya didapat pada batang bagian bawah atau sekitar pangkal, sedangkan bagian
ujung relatif lebih runcing. Nilai kebundaran rerata 92,18% menunjukkan bahwa
dolok manglid cukup bundar mendekati 100%. Meskipun terdapat satu batang
dengan kebundaran <70%, hampir seluruh dolok yang ada memiliki kebundaran
>80%, bahkan beberapa di antaranya mencapai 100%.
B. Rendemen
Rendemen (%)
Pola penggergajian
Minimum Maksimum Rerata
Penggergajian satu sisi 49,60 73,11 62,69
Penggergajian semiperempatan 51,71 71,33 63,46
Perhitungan volume dolok total sejumlah 2,46 m3 pada pola satu sisi mengha-
silkan volume papan sebanyak 1,57 m3, sedangkan pola semiperempatan menghasil-
kan volume papan sebanyak 1,46 m3 dari total dolok 2,29 m3. Volume papan rerata
per dolok pada kedua pola penggergajian tersebut sama, yaitu 0,09 m3/dolok.
C. Efisiensi Menggergaji
Tabel 3 menunjukkan bahwa efisiensi menggergaji pada pola satu sisi lebih
besar daripada pola semiperempatan dan berbeda sangat nyata secara statistik. Pada
pola penggergajian satu sisi, waktu total rerata proses pembelahan adalah 6,15
menit/dolok dengan waktu efektif gergaji membelah sebesar 47,82% atau 2,88
menit. Sementara itu, pada pola semiperempatan, dari total waktu rata-rata 9,67
menit per dolok hanya 4,02 menit waktu efektifnya atau 41,25%. Rendahnya
efisiensi pada pola semiperempatan disebabkan pola ini membutuhkan penempatan
dolok yang relatif lebih rumit dibandingkan dengan pola satu sisi pada saat proses
pembelahan.
Waktu efektif dan waktu total pada pola semiperempatan tampak lebih tinggi
dibandingkan dengan pola satu sisi. Hal ini menunjukkan bahwa selain penempatan
log untuk pembelahan pada pola semiperempatan lebih rumit, pola ini juga
membutuhkan lebih banyak lintasan pembelahan (Gambar 1). Hal ini dapat
dijelaskan bahwa meskipun rendemen kedua pola tersebut relatif seragam, pola
semiperempatan membutuhkan waktu yang lebih besar sehingga efesiensinya lebih
rendah dari pola satu sisi. Sebagaiman dikemukakan Rahman & Malik (2008), pola
semiperempatan memerlukan waktu lebih banyak selama produksi untuk mendapat-
kan irisan dengan posisi radial yang lebih tepat, namun papan yang dihasilkan lebih
stabil dan penampilan yang lebih cantik.
D. Produktivitas
Tabel 4 menunjukkan bahwa produktivitas pola satu sisi lebih tinggi diban-
dingkan dengan pola semiperempatan dan berbeda sangat nyata secara statistik.
Produktivitas pola semiperempatan hanya 0,53 m3/jam, sedangkan pola satu sisi
mencapai 0,92 m3/jam atau 0,39 m3/jam lebih tinggi daripada pola semiperempatan.
Produktivitas penggergajian manglid yang cukup tinggi pada pola satu sisi serupa
dengan hasil penelitian Rachman & Balfas (1993) dalam Sutigno et al. (2000) pada
jenis mangium (Acacia mangium Willd) yang menunjukkan bahwa rerata produk-
tivitas penggergajian pada jenis tersebut dapat mencapai 0,906 m3/jam.
Produktivitas (m3/jam)
Pola penggergajian
Minimum Maksimum Rerata
Penggergajian satu sisi 0,62 1,23 0,92
Penggergajian semi perempatan 0,46 0,68 0,53
60
52
50
persentase (%)
40
30 29
27
24
20
17 15 15 15
10
4
0 1
0 0 0 0 0
3-5 6-10 11-15 16-20 21-25 26-30 31-35 >35
lebar papan (cm)
Pada Gambar 2 dapat diamati bahwa sebaran lebar papan pada pola pengge-
rgajian satu sisi tertinggi pada lebar 1620 cm (27%) dan tidak terdapat lebar papan
<6 cm. Pada pola ini, terdapat papan pada kelas lebar 2125 dan 2630 cm sebanyak
masing-masing 15% dari total papan. Sementara itu, sebaran lebar papan pola
semiperempatan tertinggi pada lebar 610 cm dengan jumlah mencapai 160 papan
atau 52% dan tidak terdapat papan dengan lebar >20 cm. Jumlah lebar papan dengan
lebar 35 cm pada pola ini bahkan cukup tinggi, yaitu mencapai 89 papan atau 29%,
sedangkan pada pola satu sisi tidak didapat lebar papan pada kelas ini. Dengan kata
lain, pola satu sisi memiliki kecenderungan menghasilkan papan yang lebih lebar
dibandingkan dengan pola semiperempatan. Hal ini seperti hasil penelitian
(Rahman, 1991) pada jenis sengon (Paraserianthes falcataria) bahwa pola satu sisi
menghasilkan papan lebih lebar, yaitu 61% papan dengan lebar 1517,5 cm, sedang-
kan pola semiperempatan menghasilkan 42% papan dengan lebar 1012,5 cm.
Papan yang dihasilkan dari pola satu sisi berjumlah 149 papan, sedangkan
pola semiperempatan menghasilkan 310 papan atau 108% lebih banyak dari jumlah
papan pada pola satu sisi. Perbedaan jumlah yang cukup menyolok tersebut mem-
perlihatkan kecenderungan lebar yang berbeda sangat nyata, mengingat rendemen
kedua pola penggergajian tersebut relatif seragam secara statistik.
IV. Kesimpulan
Daftar Pustaka
Anonim. (2007). Manglid (Manglieta glauca Bl.) Lembar Informasi Teknis Jenis-Jenis
Pohon untuk Hutan Rakyat: Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.
Djam'an D.F. (2006). Mengenal manglid baros (Manglietia glauca Bl.). Manfaat dan
permasalahannya. from http://www.dephut.go.id/INFORMASI/MKI/06VI/
06VIMengenal%20manglid.htm:
Rachman, O., & Balfas, J. (1989). Pengaruh peracunan triklopir dan pola
penggergajian terhadap sifat penggergajian kayu rasamala (Altingia excelsa
Noronha). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, 6(5), 292-298.
Rahman, O., & Malik, J. (2008). Penggergajian dan pengerjaan kayu, pilar industri
perkayuan Indonesia: Puslitbang Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan.
Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for
practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).
Sosef, M., Hong, L., & Prawirohatmodjo, S. (1998). Plant Resources of South-East
Asia 5): (3) Timber trees: Lesser known timbers (Vol. 5): Backhuys.
Sutigno, P., Haryanto, Y., & Rahayu, T. (2000). Sari hasil penelitian mangium dan
tusam Puslitbang Hasil Hutan. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan, Badan Litbang
Kehutanan.
ABSTRAK
Kayu manglid (Magnolia champaca) dikenal masyarakat Jawa Barat sebagai bahan baku kayu
untuk bangunan. Salah satu kendala yang sering dijumpai dalam pemanfaatan jenis ini adalah
rentan terhadap serangan jamur dan rayap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi dan lama perendaman dingin terhadap penetrasi bahan pengawet
tembaga-khrom-boron (cuprum-chrome-boron/CCB) pada kayu manglid. Kegiatan penelitian
dilaksanakan pada bulan NovemberDesember 2008. Sampel kayu berasal dari pohon di
hutan rakyat Desa Sodonghilir, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasimalaya, Jawa Barat.
Percobaan disusun secara faktorial dengan tiga perlakuan lama perendaman (1 hari, 3 hari,
dan 7 hari) dan tiga perlakuan konsentrasi bahan pengawet (konsentrasi 10%, 15%, dan 20%)
dengan masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan konsentrasi larutan bahan pengawet dan lama perendaman berpengaruh nyata
terhadap penetrasi bahan pengawet pada kayu manglid dengan kecenderungan peningkatan
penetrasi seiring dengan meningkatnya konsentrasi larutan pengawet dan lama perendaman.
Berdasarkan persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kebutuhan pembangunan
perumahan dan gedung, pengawetan kayu manglid dengan bahan pengawet CCB yang disa-
rankan adalah dengan konsentrasi 15% dan lama perendaman tujuh hari atau konsentrasi
20% dengan lama perendaman tiga hari.
I. Pendahuluan
Manglid merupakan salah satu bahan baku kayu untuk bangunan yang dikem-
bangkan di hutan rakyat. Jenis ini dikembangkan di Jawa Barat melalui pola
agroforestry pada progam social forestry dan dijadikan komoditas unggulan dalam
pengembangan hutan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis, Jawa Barat
Email: endah_ah@yahoo.com
sekitar hutan (Rimpala, 2001). Kayu manglid di Jawa Barat dan Bali sangat disukai
karena sifat kayunya mengkilat dengan strukturnya yang padat, halus, ringan, dan
kuat. Keuntungan dari kayu manglid adalah ringan dengan berat jenis (BJ) 0,41
sehingga mudah dikerjakan dan sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan,
perkakas rumah, barang-barang hiasan, patung, dan ukiran dan peruntukan ini
banyak ditemukan di daerah Bali (Djam'an, 2006). Selain itu, kayu manglid terma-
suk ke dalam kelas kuat IIIIV dan kelas awet II (Seng, 1990). Namun demikian,
kendala yang sering dijumpai dalam pemanfaatan jenis ini adalah rentan terhadap
serangan jamur dan rayap, serta kayu yang mudah retak dan kurang stabil.
II. Metodologi
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu manglid (Magnolia
champaca), bahan pengawet kayu impralit CCB, pereaksi uji tembaga dengan khrom
Azurol S. Peralatan yang digunakan antara lain bak perendam, gelas ukur untuk
menetapkan konsentrasi larutan bahan pengawet, dan gergaji untuk pengambilan
contoh kayu yang diawetkan.
Sampel kayu manglid diambil dari hutan rakyat di Desa Sodonghilir, Keca-
matan Sodonghilir, Kabupaten Tasimalaya, Jawa Barat. Pemotongan contoh uji dan
perlakuan pengawetan dilaksanakan di Bengkel Kerja dan Laboratorium Balai
Penelitian Teknologi Agroforestry.
15%, dan 20%. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 27
kombinasi perlakuan (sembilan perlakuan dan tiga ulangan).
Data dianalisis dengan uji beda nyata untuk melihat pengaruh konsentrasi dan
lama perendaman terhadap penetrasi bahan pengawet dengan menggunakan klasifi-
kasi tersarang (Steel & Torrie, 1960). Variabel-variabel perlakuan yang berpengaruh
nyata dilakukan uji lanjut dengan prosedur Tukey.
Nilai penetrasi rerata pada perlakuan konsentrasi bahan pengawet CCB dan
lama perendaman, serta sidik ragamnya disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Uji
lanjut terhadap nilai penetrasi yang signifikan disajikan pada Tabel 3.
bahan pengawet dan lama perendaman berpengaruh sangat nyata (taraf kepercayaan
99%) terhadap penetrasi bahan pengawet CCB pada kayu manglid.
Tabel 1. Nilai rata-rata penetrasi bahan pengawet CCB pada kayu manglid
Tabel 2. Sidik ragam pengaruh konsentrasi bahan pengawet dan lama perendaman terha-
dap penetrasi bahan pengawet pada kayu manglid
Subset
Perlakuan
1 2 3
Konsentrasi 10% 3,92
Konsentrasi 15% 3,92
Konsentrasi 2 % 5,69
Rendam 1 hari 3,03
Rendam 3 hari 4,61
Rendam 7 hari 5,89
Hasil uji lanjut pada Tabel 3 menunjukkan bahwa konsentrasi bahan penga-
wet 10% dan 15% menghasilkan penetrasi yang tidak berbeda nyata, sedangkan
konsentrasi 20% berbeda nyata dibandingkan dengan kedua kosentrasi lainnya. Hal
ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan penetrasi di bawah 5 mm cukup
menggunakan konsentrasi bahan pengawet 10%, sedangkan untuk mencapai pening-
katan penetrasi lebih tinggi diperlukan peningkatan konsentrasi menjadi 20%. Hasil
ini diharapkan akan berdampak pada kekuatan kayu manglid dalam menangkal
serangan jamur karena keberadaan senyawa CCB. Senyawa tembaga dalam bahan
pengawet berguna untuk mencegah serangan jamur mikro perusak selulosa yang
disebabkan oleh jamur pelunak. Senyawa boron dimaksudkan untuk mencegah
serangan serangga dan jamur yang toleran terhadap tembaga, sedangkan senyawa
khrom dimaksudkan untuk mengikat tembaga dan boron di dalam kayu (fiksasi)
(Abdurrahim, 2000)
IV. Kesimpulan
Manglid termasuk ke dalam jenis kayu dengan kelas awet II. Namun demi-
kian, bagian gubal dari kayu ini tetap harus diawetkan agar masa pakainya menjadi
lebih lama. Salah satu cara pengawetan yang efektif dan efisien untuk kayu manglid
adalah metode rendaman dingin dengan bahan pengawet tembaga-khrom-boron
(CCB). Konsentrasi CCB 20% dengan lama rendaman tiga hari atau konsentrasi
CCB 15% dengan lama rendaman tujuh hari menunjukkan nilai penestrasi yang
sesuai dengan persyaratan SNI.
Daftar Pustaka
Abdurrahim, S. (2006). Bagan pengawetan tiga jenis kayu dengan bahan pengawet
CCB secara rendaman panas dingin dan sel penuh. Paper presented at the
Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, Bogor.
Barly. (2009). Standarisasi pengawetan kayu dan bambu serta produknya. Paper
presented at the PPI Standarisasi, Jakarta.
Djam'an D.F. (2006). Mengenal manglid baros (Manglietia glauca Bl.). Manfaat dan
permasalahannya. from http://www.dephut.go.id/INFORMASI/MKI/06VI/
06VIMengenal%20manglid.htm:
Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for
practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).
SNI. (1999). Pengawetan kayu untuk perumahan dan gedung (Vol. Standar
Nasional Indonesia (SNI) 03-5010.1-1999). Jakarta: Badan Standarisasi
Nasional (BSN).
Dian Diniyati1
ABSTRAK
Tanaman kayu dominan yang dikembangkan oleh petani di hutan rakyat adalah manglid dan
sengon. Sayangnya, kayu manglid tidak sepopuler sengon. Padahal, kayu manglid dapat
memberikan kontribusi pendapatan bagi masyarakat petani. Tujuan penelitian ini memper-
oleh informasi tentang kontribusi pendapatan dari kayu manglid sehingga dapat menjadi
bahan kebijakan dalam pengembangan kayu manglid. Penelitian dilaksanakan pada bulan
MaretJuli 2011 pada tiga desa di Kabupaten Tasikmalaya dengan responden sebanyak 49
orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara terstruktur.
Data ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Pola tanaman hutan rakyat yang dilakukan
petani yaitu agroforestry. Terdapat enam pola tanam di Desa Sepatnunggal, lima pola tanam
di Desa Karyabakti, dan empat pola tanam di Desa Tanjungkerta. Kontribusi pendapatan
kayu manglid terhadap total pendapatan usaha hutan rakyat paling besar di Desa Tanjung-
kerta (56,71%), sedangkan kontribusi di Desa Sepatnunggal (32,69%) dan Karyabakti
(21,52%) menempati urutan ke dua setelah budi daya sengon. Petani berpendapat bahwa satu
kali tanam manglid setara dengan dua kali tanam sengon. Peran pemerintah diperlukan un-
tuk meningkatkan diversifikasi jenis kayu rakyat, salah satunya meningkatkan pamor kayu
manglid, yaitu dengan cara memberikan insentif, seperti pemberian bibit kualitas prima dan
penyediaan sarana pasar dan informasi yang menyeluruh tentang tanaman manglid.
I. Pendahuluan
Kayu manglid merupakan salah satu kayu yang tergolong pada kelompok
pertumbuhan cepat (fast growing species), yaitu jenis ini bisa dipanen pada umur <10
1
Balai Penelitian Teknologi Angoroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4, Ciamis, Jawa Barat 46201
Email: dian_diniyati@yahoo.com
tahun dengan kualitas kayu termasuk pada kelas awet II dan kelas kuat IIIIV.
Penggunaan kayu manglid antara lain sebagai bahan bangunan, kayu lapis, mebel,
lantai, papan dinding, rangka pintu dan jendela, alat olah raga dan musik, patung
ukiran dan kerajinan tangan, finir mewah, alat gambar, pensil, dan moulding
(Khaiwani, 2012). Walaupun manfaat dari kayu manglid ini cukup bervariasi dan
banyak, keberadaan kayu manglid di hutan rakyat masih kalah populer dengan kayu
sengon sebagaimana pernyataan Diniyati et al. (2011) bahwa petani lebih senang
menanam kayu sengon dibandingkan dengan kayu manglid. Hal ini dikarenakan
penerimaan pendapatan dari kayu sengon lebih cepat dibandingkan dengan kayu
manglid, yaitu satu kali menanam manglid setara dengan dua kali memanen sengon.
II. Metodologi
Sampel penelitian adalah petani yang memiliki hutan rakyat yang ditanami
dengan tanaman manglid secara tumpang sari atau agroforestry. Pemilihan responden
dilakukan secara sengaja (purposive sampling), yaitu petani hutan rakyat yang
menanam kayu manglid dengan luasan 0,25 ha. Jumlah responden berturut-turut
sebanyak 20 orang (Desa Tanjungkerta), 9 orang (Desa Sepatnunggal), dan 20 orang
(Desa Karyabakti) sehingga total responden sebanyak 49 orang.
C. Analisis Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data pokok (primer) yang
langsung diperoleh dari responden, yaitu pendapatan yang diterima petani dari
hutan rakyat setiap tahunnya. Data diperoleh dengan cara pengamatan dan wawan-
cara menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Pendapatan
yang dimaksud adalah hasil penjualan produk hutan rakyat setiap tahun yang
diterima oleh petani.
Pola tanam hutan rakyat yang paling banyak macamnya dilakukan oleh petani
di Desa Sepatnunggal (enam pola tanam) dan yang paling sedikit dilakukan oleh
petani di Desa Tanjungkerta (tiga pola tanam). Banyaknya pola tanam yang dilaku-
kan oleh petani di Desa Sepatnunggal ini karena lahan yang diperuntukkan bagi
usaha hutan rakyat sangat luas, yaitu 1.914 ha.
Hutan rakyat yang ada di lokasi penelitian tidak hanya ditanami dengan
tanaman kehutanan, melainkan juga tanaman buah, perkebunan, pangan, dan obat-
obatan. Setiap jenis tanaman tersebut memberikan kontribusi pendapatan yang
berlainan, seperti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai rerata pendapatan dari usaha hutan rakyat bagi petani responden
Berdasarkan data dan informasi yang ada pada Tabel 2 diketahui bahwa
pendapatan dari hasil penjualan kayu memberikan kontribusi yang paling besar,
yaitu 77,05% (Desa Tanjungkerta), 61,58% (Desa Sepatnunggal), dan 36,06% (Desa
Karyabakti). Besarnya kontribusi dari tanaman kayu ini menunjukkan bahwa
tanaman kayu sudah menjadi pendapatan rutin bagi rumah tangga petani. Hal ini
dikarenakan jumlah tanaman kayu yang ada di lokasi penelitian sangat bervariasi
(Diniyati & Fauziyah, 2012) sehingga memudahkan petani untuk melakukan
penebangan setiap tahun. Tanaman kayu di lokasi penelitian dijadikan sebagai
penerimaan rutin dan tidak hanya dijadikan sebagai tanaman tabungan.
Kontribusi tanaman kayu di setiap lokasi penelitian berasal dari berbagai jenis
kayu. Jenis tanaman kayu yang telah memberikan pendapatan kepada petani hampir
sama untuk semua lokasi penelitian, tetapi yang membedakan adalah jumlahnya.
Pendapatan dari kayu di Desa Sepatnunggal berasal dari lima jenis kayu (sengon,
mahoni, manglid, tisuk, dan bambu), di Desa Tanjungkerta berasal dari empat jenis
kayu (sengon, mahoni, manglid, dan suren), dan di Desa Karyabakti berasal dari lima
jenis kayu (sengon, mahoni, manglid, bambu, dan suren).
Tinggi atau rendahnya kontribusi pendapatan dari kayu manglid ini dipenga-
ruhi pula oleh umur panen. Semakin tua kayu manglid maka nilainya akan semakin
mahal. Sayangnya, para petani sangat jarang sekali memanen kayu manglid pada
umur tebang. Petani biasanya sudah memanen kayu manglid pada saat masih muda
karena mereka memerlukan modal nafkah. Menurut Saraswati & Dharmawan
(2015), modal nafkah adalah aset yang digunakan oleh rumah tangga untuk melaku-
kan aktivitas nafkahnya. Salah satu modal nafkah adalah modal alam yang dimiliki
oleh petani yang mana salah satunya adalah jumlah kepemilikan kayu.
Alasan petani menanam manglid dan sengon karena budi daya kedua jenis
tanaman kayu ini mudah dilakukan dan kayunya dapat digunakan sebagai material
bahan bangunan. Namun, terdapat ada kecederungan bahwa tanaman kayu manglid
lebih diutamakan sebagai tabungan, sedangkan tanaman kayu sengon cenderung
untuk kebutuhan harian sehingga petani lebih menyukai mengembangkan tanaman
sengon karena dapat dengan cepat memperoleh hasilnya. Alasan petani menanam
kayu manglid dan sengon disajikan dalam Tabel 4, sedangkan besaran kontribusi
kayu manglid terhadap total pendapatan petani disajikan pada Tabel 5.
A. Kesimpulan
Kayu manglid merupakan jenis tanaman dominan kedua setelah sengon yang
ada di hutan rakyat. Kontribusi kedua jenis kayu tersebut terhadap total pendapatan
hutan rakyat paling besar dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Pada tempat
tertentu, kontribusi pendapatan dari kayu sengon lebih tinggi dibandingkan dengan
pendapatan dari kayu manglid. Kontribusi kayu manglid terhadap total pendapatan
hutan rakyat sebesar 56,71% (Desa Tanjungkerta), 21,52% (Desa Karyabakti), dan
32,69% (Desa Sepatnunggal); sedangkan kontribusi untuk total pendapatan keluarga
petani masih kecil, yaitu sebesar 9,20% (DesaTanjungkerta), 6,82% (Desa Sepat-
nunggal), dan 2,01% (Desa Karyabakti).
B. Saran
pamor kayu manglid ini, antara lain dengan cara memberikan insentif bagi petani,
seperti pengadaan bibit kualitas prima, penyediaan sarana pasar, dan penyebaran
informasi yang menyeluruh tentang tanaman manglid.
Daftar Pustaka
BPS. (2010b) Profil Desa Karyabakti. Daftar isian potensi desa dan tingkat
perkembangan desa Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi
Jawa Barat.
BPS. (2010c) Profil Desa Tanjungkerta. Daftar isian potensi desa dan tingkat
perkembangan desa Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi
Jawa Barat.
Diniyati, D., & Achmad, B. (2016). Kontribusi Pendapatan Hasil Hutan Bukan
Kayu pada Usaha Hutan Rakyat Pola Agroforestri di Kabupaten Tasikmalaya.
Jurnal Ilmu Kehutanan, 9(1), 23-31.
Diniyati, D., Widyaningsih, T., Fauziyah, E., Mulyati, E., & Suyarno. (2011). Pola
agroforestry di hutan rakyat penghasil kayu pertukangan (manglid). Laporan
Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis: Balai
Penelitian Teknologi Agroforestry.
Irawanti, S., Suka, A. P., & Ekawati, S. (2012). Peranan kayu dan hasil bukan kayu
dari hutan rakyat pada pemilikan lahan sempit: Kasus Kabupaten Pati. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 9(3).
Mulyana, S., & Diniyati, D. (2013). Potensi wilayah sebaran kayu manglid
(Manglietia glauca Bl.) pada hutan rakyat pola agroforestry di Kabupaten
Tasikmalaya dan Ciamis. Paper presented at the Seminar Nasional
Agroforestry, Malang.
ABSTRAK
Analisis finansial pembangunan hutan rakyat manglid dengan berbagai pola tanam perlu
dilakukan untuk mengetahui kelayakan investasi usaha sebagai bentuk agribisnis yang handal
sehingga menjadi bisnis dan investasi yang menguntungkan, berkesinambungan, dan dapat
menjadi penggerak ekonomi daerah. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran
informasi kelayakan finansial usaha hutan rakyat kayu jenis manglid yang memberikan
dampak positif dan meningkatkan kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan masyarakat.
Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan MaretJuli 2011 di Kabupaten Tasikmalaya, yaitu
di Desa Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung), Desa Sepatnunggal (Kecamatan Sodong-
hilir), dan Desa Karyabakti (Kecamatan Parungponteng). Data dikumpulkan melalui
wawancara terhadap 49 orang responden dengan pemilikan lahan luas hutan rakyat sekitar
0,010,25 ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata luas lahan untuk usaha hutan
rakyat di Desa Tanjungkerta dan Karyabakti <0,25 ha, sedangkan kepemilikan lahan di Desa
Sepatnunggal sekitar 0,250,5 ha. Keuntungan pengusahaan hutan rakyat di Desa
Tanjungkerta sebesar Rp770.717 dengan nilai perbandingan pendapatan terhadap biaya
sebesar 1,31; Desa Sepatnunggal sebesar Rp4.275.748 dengan nilai perbandingan
pendapatan terhadap biaya sebesar 1,65; dan di desa Karyabakti sebesar Rp2.556.662 dengan
nilai perbandingan pendapatan terhadap biaya sebesar 2,88.
I. Pendahuluan
Kepemilikan lahan petani dimanfaatkan untuk beragam fungsi. Hal ini seba-
gaimana dinyatakan oleh Diniyati (2009) dan Fauziyah (2009) bahwa kepemilikan
1
Balai Penelitian Teknologi Angoroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4, Ciamis, Jawa Barat 46201
Email: dian_diniyati@yahoo.com
lahan oleh petani memiliki beberapa karakteristik, yaitu luasannya sangat beragam;
perolehannya dari warisan, membeli, atau garapan; letaknya tidak dalam satu ham-
paran; dan pemanfaatannya bermacam-macam, antara lain untuk perumahan, sawah,
hutan rakyat, kebun, dan kolam. Biasanya, lahan petani yang berfungsi sebagai
hutan rakyat merupakan lahan yang tidak bisa difungsikan untuk kegiatan usaha lain
dan luasannya sempit atau terbagi menjadi beberapa bagian yang lebih sempit.
Kayu manglid sangat disukai karena sifat kayunya mengkilat dengan struk-
turnya yang padat, halus, ringan, dan kuat. Kekuatan kayunya digolongkan ke dalam
kelas III dan keawetannya masuk ke dalam kelas II sehingga jenis kayu tersebut
sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan, perkakas rumah, dan barang
kerajinan. Keuntungan dari kayu manglid yang ringan dengan berat jenis (BJ) 0,41
adalah mudah dikerjakan. Pengeringan kayu membutuhkan waktu empat bulan
dengan cara kering angin, dan dengan ketebalan papan 40 mm mencapai 320580
kg/m dan kadar air 15% (Djam'an, 2006).
II. Metodologi
Unit analisis yang dijadikan responden pada penelitian adalah petani hutan
rakyat anggota kelompok tani. Responden diperlukan untuk mengetahui kondisi
petani pemilik dan kondisi hutan rakyat di lokasi penelitian. Pemilihan responden
dilakukan secara sengaja berdasarkan luas kepemilikan lahan hutan rakyat dan faktor
pola usaha tani yang dilakukannya. Petani yang dijadikan responden adalah petani
yang memiliki hutan rakyat dengan luas <0,25 ha. Total responden sebanyak 49
orang. Pengambilan data fisik tanaman dilakukan dengan cara sensus potensi
tegakan hutan rakyat, yang mana dilakukan inventarisasi tegakan dan tanaman
bawah. Inventarisasi tegakan tersebut dilakukan dengan mengukur tinggi dan
diameter pohon, serta menghitung jumlah dan jenis tanaman bawah.
Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei. Data primer yang dikumpulkan
dari responden adalah data ekonomi usaha hutan rakyat manglid, meliputi biaya dan
manfaat pengusahaan hutan tanaman selama daur yang ditetapkan, curahan tenaga
kerja, penggunaan barang modal, dan data-data ekonomi lainnya yang terkait.
Sementara itu, data sekunder yang dikumpulkan meliputi data dari desa, perusahaan,
dan instansi pemerintah. Data sekunder dikumpulkan untuk menjadi pedoman awal
dalam penelitian sekaligus melengkapi informasi agar diperoleh data dan informasi
yang cukup untuk mendukung penelitian.
Data yang telah diperoleh, selanjutnya dianalisis dan dibahas untuk menda-
patkan informasi tentang nilai finansial dari hutan rakyat manglid berdasarkan data
biaya dan manfaat yang telah didapat sesuai dengan daur pengusahaan dengan
menggunakan kriteria investasi, yaitu nilai-nilai Net Present Value (NPV), Benefit/
Cost Ratio (B/CR), dan Internal Rate of Return (IRR). Daur manglid yang digunakan
adalah 15 tahun. Suku bunga investasi yang diacu sebesar 14,95% menurut Bank
Umum berdasarkan rerata suku bunga pada tahun 20022009. Harga yang dipakai
adalah harga yang diterima oleh petani (harga pasar). Pendapatan adalah seluruh
hasil yang diterima oleh petani dari usaha hutan rakyat manglid yang dimilikinya.
t =n
Bt C t
NPV =
t =1 (1 + i ) t (1)
Keterangan: Bt merupakan manfaat kotor pada tahun ke-t; Ct merupakan biaya kotor pada
tahun ke-t; n merupakan umur ekonomis usaha; dan i merupakan discount rate yang berlaku.
PVBenefit
BCR =
PVCost (2)
NPV1
IRR = (i2 i1 ) ( ) + i1
NPV1 NPV2 (3)
Tanaman buah yang diperhitungkan dalam analisis finansial adalah petai dan
jengkol yang terdapat di semua lokasi penelitian, sedangkan durian dan mangga
diabaikan karena seringkali bibitnya berasal dari pemberian pemerintah dan hasilnya
untuk konsumsi keluarga atau tidak dijual. Tanaman perkebunan juga diabaikan
dalam perhitungan analisis finansial karena jarang ditanam oleh semua responden.
Bulan
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
talas, singkong
kapulaga
Gambar 1. Transek horizontal pola tanaman pangan dan obat pada hutan rakyat di Desa
Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan Karyabakti
Tisuk Tisuk
Manglid
Gmelina
Afrika
Mahoni
Biaya usaha hutan rakyat yaitu seluruh biaya input yang dikeluarkan untuk
pengelolaan lahan usaha hutan rakyat sejak awal pengelolaan hingga panen. Biaya
tersebut meliputi biaya tetap, seperti pajak atau sewa lahan dan biaya peralatan usaha
tani (Andayani, 2009). Selain itu, terdapat biaya tidak tetap, yaitu biaya yang
dikeluarkan untuk melakukan proses produksi secara langsung, seperti biaya tenaga
kerja dan biaya sarana produksi pengusahaan komoditas tanaman pada periode
tertentu. Uraian di bawah ini akan menyajikan biaya yang dikeluarkan selama jangka
analisis 15 tahun, baik biaya tetap maupun biaya tidak tetap.
Besarnya biaya pajak lahan merupakan biaya tetap yang harus dibayarkan
petani setiap tahunnya yang berbeda menurut luas pemilikan lahan dengan rentang
Rp2.00015.000/tahun untuk lahan di Desa Tanjungkerta, Rp3.00010.000/tahun
untuk lahan di Desa Sepatnunggal, dan Rp5.00015.000/tahun untuk lahan di Desa
Karyabakti. Biaya pajak lahan yang dikeluarkan oleh responden per tahun tertera
pada Tabel 2.
Tabel 3. Biaya peralatan usaha tani pada hutan rakyat di lokasi penelitian
a. Biaya tenaga kerja; untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat, petani biasa
menggunakan tenaga kerja sendiri dan keluarga. Apabila lahan yang dimiliki
sangat luas, petani biasanya memburuhkan. Biaya yang dikeluarkan untuk mem-
bayar buruh tani di Desa Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung) sebesar
Rp25.000/orang/hari (tenaga kerja pria) dan Rp20.000/orang/hari (tenaga kerja
wanita), sedangkan upah tenaga buruh di Desa Sepatnunggal (Kecamatan
Sodonghilir) dan Desa Karyabakti (Kecamatan Parungponteng) sebesar
Rp20.000/orang/hari (tenaga kerja pria) dan Rp15.000/orang/hari (tenaga kerja
wanita). Jam kerja satu hari, yaitu mulai pukul 07.0013.00 WIB dan disebut
dengan istilah sabedug.
b. Biaya bibit tanaman; petani biasa memperoleh bibit tanaman dengan cara
membeli dari pedagang bibit keliling, memperoleh bantuan dari pemerintah,
menyemai sendiri, ataupun meminta ke keluarga atau tetangga. Daftar harga
bibit tanaman di lokasi penelitian tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Daftar harga bibit dan daur rata-rata pengusahaan tanaman hutan rakyat
Harga (Rp/batang)
No. Jenis tanaman Daur rerata (tahun)
dan asal bibit
1. Sengon 500 5
2. Mahoni 600 15
3. Manglid 1.000 10
4. Gmelina 1.000 12
5. Tisuk 600 7
6. Afrika 500 15
7. Jengkol Pemberian Panen setiap tahun, mulai
menghasilkan di tahun ke-11
8. Petai Pemberian Panen setiap tahun, mulai
menghasilkan di tahun ke-11
9. Talas Pemberian 1 tahun
10. Singkong Pemberian 1 tahun
11. Kapulaga 1.000 Panen 40 hari sekali mulai umur 1,5
tahun hingga 2 tahun
Sumber: hasil analisis data primer 2011
c. Biaya ajir; pembuatan ajir dilakukan dengan bahan dari bambu. Mayoritas res-
ponden menyatakan tidak menggunakan ajir ketika melakukan penanaman.
Tanaman yang menggunakan ajir pada umumnya adalah tanaman kehutanan
dan perkebunan, seperti afrika, gmelina, mahoni, manglid, sengon, dan tisuk
dengan biaya satu hari tenaga kerja pria untuk pembuatan ajir. Bambu biasanya
diperoleh dengan menebang di kebun sendiri atau membeli seharga Rp5.000/
batang.
d. Biaya pupuk; petani biasanya menggunakan pupuk kandang, urea, NPK, KCL,
dan poska. Pemupukan secara umum dilakukan tiga kali, yaitu sekali sebelum
penanaman dan dua kali setelah penanaman. Pemupukan secara intensif dilaku-
kan petani untuk tanaman kapulaga, sedangkan tanaman kehutanan dan buah
hanya dipupuk di awal pengusahaan (hingga umur 23 tahun). Pemupukan
selanjutnya didapat dari pupuk tanaman kapulaga.
e. Biaya obat hama dan penyakit tanaman; mayoritas petani menyatakan tidak
melakukan penyemprotan hama dan penyakit tanaman. Penyemprotan dilaku-
kan jika memang ada hama atau penyakit saja, yaitu menggunakan decis atau
round up.
pakan hasil riil yang diperoleh petani secara rutin dan dijual secara komersial. Per-
hitungan pendapatan hutan rakyat di setiap lokasi penelitian sebagaimana Tabel 6.
A. Kesimpulan
Pengusahaan hutan rakyat pola agroforestry dengan luas lahan <0,25 ha mem-
berikan hasil yang beragam. nilai NPV tertinggi terdapat pada pengusahaan hutan
rakyat di Desa Karyabakti (Kecamatan Parungponteng) sebesar Rp47.106.848,65
dengan nilai B/CR 2,88, dan nilai IRR 33,49%. Sebaliknya, pengusahaan hutan
rakyat di Desa Sepatnunggal (Kecamatan Sodonghilir) diperoleh nilai NPV sebesar
Rp(1.686.509,37) dengan nilai B/CR 0,94 dan nilai IRR -1,19%. Sementara itu,
pengusahaan hutan rakyat di Desa Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung)
diperoleh nilai NPV sebesar Rp120.705,54 dengan nilai B/CR 1,00 dan nilai IRR
0,10%. Oleh karena itu, pemilihan jenis tanaman sangat diperlukan apabila akan
mengembangkan usaha hutan rakyat pada luasan <0,25 ha. Hal ini karena pemilihan
jenis tanaman ini sangat menentukan kelayakan usaha hutan rakyat.
B. Saran
Daftar Pustaka
Achmad, B., Diniyati, D., Widyaningsih, T., Fauziyah, E., Mulyati, E., & Suyarno.
(2011). Pengelolaan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. Analisis
ekonomi dan finansial pembangunan hutan tanaman penghasil kayu
pertukangan Laporan Hasil Penelitian. Ciamis: Balai Penelitian Teknologi
Agroforestry.
Clive, G., Simanjuntak, P., Sabur, L. K., Maspaitella, P., & Varley, R. (2007).
Pengantar evaluasi proyek. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Diniyati, D., Achmad, B., & Santoso, H. (2013). Analisis finansial agroforestry
sengon di Kabupaten Ciamis (Studi kasus di Desa Ciomas Kecamatan
Panjalu). Jurnal Penelitian Agroforestry, 1(1), 13-30.
Djam'an D.F. (2006). Mengenal manglid baros (Manglietia glauca Bl.). Manfaat dan
permasalahannya. from http://www.dephut.go.id/INFORMASI/MKI/06VI/
06VIMengenal%20manglid.htm:
Fauziyah, E. (2009). Analisis skim kredit dan modal sosial dalam pengembangan usaha
hutan rakyat. (Master), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
ABSTRAK
Agroforestry dapat berperan penting, baik dalam produksi kayu maupun ketahanan pangan.
Salah satu bentuk agroforestry yang kini prospektif untuk dikembangkan adalah dengan
tanaman bawah palawija pada tahap awal dan dengan umbi-umbian pada agroforestry tingkat
lanjut. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengusahaan agroforestry manglid secara
finansial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembangunan plot agroforestry
bersama petani dan mencatat semua biaya yang diperlukan, serta hasil yang diperoleh dari
tanaman semusim selama pembangunan awal agroforestry manglid. Kriteria penilaian
kelayakan usaha yang digunakan adalah NPV, IRR, dan B/CR. Hasil yang diperoleh dari
penelitian ini adalah 1) pengusahaan agroforestry manglid-palawija-umbi layak diusahakan
secara finansial dengan nilai NPV sebesar Rp22.420.000, nilai IRR 6%, dan nilai B/CR 1,2;
2) tanaman bawah tegakan tidak memberikan kontribusi positif terhadap NPV; 3) penurunan
produksi kayu manglid hingga 30% akan menyebabkan pengusahaan agroforestry manglid
menjadi tidak layak secara financial; dan 4) pada tingkat suku bunga 8%, agroforestry manglid
menjadi tidak layak secara finansial
I. Pendahuluan
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis, Jawa Barat 46201,
Email: yonky_indrajaya@yahoo.com
tanaman semusim memiliki produktivitas yang lebih tinggi dan lebih baik bagi
lingkungan (Jose & Gordon, 2008).
II. Metodologi
Uji coba pola agroforestry yang diterapkan adalah tegakan manglid dengan
beberapa tanaman bawah, yaitu jagung, kacang tanah, ganyong, dan suweg yang
dilakukan secara intensif. Data seluruh input produksi (meliputi bahan tanaman,
pupuk, peralatan, dan tenaga kerja) dan output produksi (meliputi kayu manglid dan
tanaman bawah yang dipanen) diperoleh dengan perhitungan langsung sejak
pembangunan plot hingga pemanenan tanaman bawah (umur pohon manglid 052
bulan). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini diasumsikan sebagai peralatan
habis pakai sehingga tidak dihitung biaya penyusutannya.
Kriteria IRR merupakan discount rate yang mana nilai NPV sama dengan nol.
Nilai IRR menunjukkan nilai aktual pengembalian investasi suatu proyek.
NPV1
IRR=i + ( i 2 i1) (3)
NPV1 NPV2
Keterangan: MAI=riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment); CAI= riap tahun berjalan (Current
Annual Increment)
Pada tahun ke-16, total volume tegakan manglid diperkirakan sebanyak >200
m3/ha. Harga jual kayu manglid adalah Rp1 juta/m3. Tabel 2 menunjukkan estimasi
volume tegakan manglid hingga umur 16 tahun. Daur biologis tegakan manglid
berdasarkan Tabel 1 adalah 16 tahun, yaitu keadaan di mana nilai CAI sama
dengan MAI. Oleh karena itu, analisis finansial agroforestry manglid dilakukan
hingga umur 16 tahun.
Pada agroforestry awal tanaman manglid, naungan relatif belum terbentuk atau
kondisi lapangan masih terbuka. Penanaman kacang tanah pada plot manglid dilaku-
kan bersamaan dengan penanaman manglid dengan jarak tanam 0,2 m x 0,3 m.
Persiapan lahan pada penanaman kacang tanah meliputi pembersihan dan pengo-
lahan tanah. Hal ini dilakukan dengan pembersihan lahan dan mencangkul tanah
sedalam 40 cm dan membalikkan tanah. Pengolahan tanah tersebut memerlukan
tenaga kerja sebanyak 325 HOK/ha. Setelah pengolahan tanah, penyebaran pupuk
kandang dilakukan sebanyak 5.848 kg/ha. Tenaga kerja yang diperlukan untuk
pengangkutan ke lokasi penanaman dan penyebaran pupuk kandang agar merata
sekitar 19 HOK/ha. Penanaman kacang tanah dimulai dengan pembuatan bedengan
di antara tanaman manglid dengan diselingi saluran drainase sedalam 2530 cm
dengan lebar 20 cm. Benih kacang tanah yang digunakan berasal dari varietas lokal
yang ditanam dengan cara ditugal sedalam 23 cm dengan jarak 20 cm sebanyak 2
buah/lubang tanam. Pada penanaman kacang tanah, tenaga kerja yang diperlukan
sebanyak 122 HOK/ha.
Pemupukan lanjutan dilakukan dua kali, yaitu pada 15 hari dan 35 hari setelah
tanam. Pemupukan campuran urea dan NPK (4:3) pada saat kacang tanah berumur
15 hari dengan dosis 10 gram/tanaman dan berjarak 2 cm dari kacang tanah.
Penyiangan dilakukan pada saat pemupukan anorganik atau tanaman kacang tanah
berumur 15 hari, kemudian dilanjutkan pada umur 35 hari setelah tanam.
Penyiangan dan pemupukan dilakukan dua kali dan masing-masing membutuhkan
tenaga kerja sebanyak 99 HOK/ha.
Tabel 3. Estimasi biaya pengelolaan kacang tanah dengan jarak tanam 0,2 x 0,3 m
Jenis tanaman pertanian yang ditanam pada daur kedua atau saat manglid
berumur enam bulan adalah jagung. Bibit jagung hibrida Bisi-2 yang ditanam adalah
sebanyak 15 kg/ha dengan harga bibit adalah Rp51.000/kg. Pupuk dasar yang
diberikan pada tanaman jagung adalah pupuk organik (kandang) dan pupuk lanjutan
nonorganik (urea dan NPK). Penyiapan lahan dilakukan dengan pembersihan lahan
dan mencangkul tanah sedalam 3040 cm dan membalikkannya. Tenaga kerja untuk
kegiatan penyaiapan lahan ini sebanyak 325 HOK/ha. Penyebaran pupuk kandang
secara merata ke areal penanaman sebanyak 5 ton/ha. Tenaga kerja untuk
pengangkutan ke lokasi penanaman dan penyebaran pupuk merata ke areal
penanaman sebanyak 19 HOK/ha. Penanaman jagung dilakukan dengan jarak
tanam 0,3 m x 0,8 m dan membentuk lubang tanam dengan tugal. Setiap lubang
tanam diberi dua butir jagung dan kemudian menimbunnya dengan tanah. Kegiatan
penanaman ini memerlukan tenaga kerja sebanyak 122 HOK/ha.
Tabel 4. Estimasi biaya pengelolaan jagung dengan jarak tanam 0,3 x 0,8 m
Dengan input produksi seperti disajikan dalam Tabel 4, hasil produksi jagung
di bawah tegakan manglid di lokasi penelitian sebesar 7.006 kg/ha. Harga jagung
pipilan kering adalah Rp2.150/kg sehingga total pendapatan yang diperoleh dari
penanaman jagung sebesar Rp15.062.470. Oleh karena itu, kegiatan penanaman
jagung ini mengalami defisit sebesar Rp(12.242.491) [tanda kurung berarti minus]
atau pengusahaan jagung di lokasi penelitian dengan input produksi yang ada
mengalami kerugian. Hal ini berbeda dengan temuan Hadi (2009) di Jambi yang
menanam jagung Bisi-2 di bawah tegakan kelapa yang mendapatkan hasil positif
dari jagung sebesar Rp1.042.250/ha/musim.
Tabel 5. Estimasi biaya pengelolaan ganyong dengan jarak tanam 1,2 x 0,8 m
Tabel 6. Estimasi biaya pengelolaan suweg dengan jarak tanam 1,2 x 0,8 m
Tahun ke-
Uraian input-output Satuan
1 2 3 4 515 16
I. Input
1. Bahan tanam
- Bibit manglid batang 2.500
- Bibit kacang tanah kg 100
- Bibit jagung kg 15
- Bibit ganyong kg 5.200
- Bibit suweg kg 5.200
2. Pupuk dan obat-obatan
- Kandang kg/ha 24.196 8.334
- Urea kg/ha 952 486
- NPK kg/ha 833 972
- Herbisida botol/ha 10 10
3. Tenaga kerja (manglid)
- Persiapan lahan HOK 250
- Pemupukan HOK 60
- Penanaman HOK 60
- Penyiangan HOK 60
- Pengangkutan bahan HOK 30
4. Tenaga kerja (tanaman bawah tegakan)
- Pembersiahan lahan dan pengolahan tanah HOK 650 650 324
- Pemberian pupuk kandang HOK 38 38 162
- Penanaman HOK 244 244 162
- Penyiangan 1 dan pemupukan lanjutan 1 HOK 198 198 136
- Penyiangan 2 dan pemupukan lanjutan 2 HOK 198 198 136
- Pemanenan HOK 162 162 116
II. Output
1. Tanaman bawah tegakan
- Kacang tanah kg 1.410 1.410
- Jagung kg 7.006 7.006
- Ganyong kg 6.667
- Suweg kg 4.565
2. Kayu manglid m3 211.95
Pengaruh perubahan tingkat suku bunga terhadap hasil yang diperoleh dari
agroforestry manglid disajikan dalam Tabel 8. Pada tingkat suku bunga 2%, yang
mana lebih rendah dari suku bunga yang digunakan dalam penelitian ini (4%), nilai
NPV menjadi lebih tinggi yaitu sebesar Rp52.624.000. Sementara itu, pada tingkat
suku bunga 8%, pengusahaan agroforestry manglid menjadi tidak layak secara finan-
sial yang ditunjukkan oleh nilai NPV sebesar Rp(13.634.000) [tanda kurung berarti
minus].
Tabel 11. Analisis sensitivitas agroforestry manglid pada perubahan tingkat suku bunga
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
Atangana, A., Khasa, D., Chang, S., & Degrande, A. (2014). Tropical Agroforestry:
Springer.
Ginoga, K. L., Wulan, Y., & Djaenudin, D. (2005). Karbon dan peranannya dalam
kelayakan usaha hutan tanaman jati (Tectona Grandis) di KPH Saradan, Jawa
Timur. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi, 2, 183-202.
Indrajaya, Y., & Sudomo, A. (2013). Analisis finansial agroforestry sengon dan
kapulaga di Desa Payungagung, Kecamatan Panumbangan, Ciamis. Jurnal
Agroforestry.
Jose, S., & Gordon, A. M. (2008). Ecological knowledge and agroforestry design: an
introduction. In S. Jose & A. M. Gordon (Eds.), Toward agroforestry design:
An ecological approach. Springer.
Siregar, U. J., Rachmi, A., Massijaya, M. Y., Ishibashi, N., & Ando, K. (2007).
Economic analysis of sengon (Paraserianthes falcataria) community forest
plantation, a fast growing species in East Java, Indonesia. Forest policy and
economics, 9, 822-829.
Soleh Mulyana 1
ABSTRAK
Pemasaran merupakan kegiatan akhir sebagai penentu keberhasilan dalam suatu usaha,
begitu pula terhadap budi daya kayu. Para petani dalam memasarkan kayu manglid masih
berupa pohon berdiri di kebunnya. Kajian ini bertujuan mengetahui pola saluran pemasaran
berikut margin pemasaran yang terjadi di Kabupaten Tasikamalaya yang merupakan salah
satu wilayah sentra kayu manglid di Priangan Timur. Metode snowball dan wawancara digu-
nakan untuk mengetahui pola saluran pemasaran, sedangkan parameter Setyaningsih. (2008)
digunakan untuk mengetahui margin pemasaran. Hasil kajian dijumpai delapan pola saluran
pemasaran kayu manglid sampai ke konsumen, yaitu enam pola untuk wilayah Kabupaten
Tasikmalaya dan dua pola saluran pemasaran untuk memenuhi konsumen ke wilayah
Bandung. Margin pemasaran tertinggi sebesar 58,90% dan terkecil sebesar 4,76%; margin
keuntungan tertinggi sebesar 33,33% dan terkecil sebesar 2,38%; efisiensi pemasaran pada
saluran I sebesar 16,79%, sedangkan Farmer Share tertinggi sebesar 69,93%.
I. Pendahuluan
1
Balai PenelitianTeknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis, Jawa Barat 46201
Email: solehmulyana@yahoo.co.id
Jawa). Hasil penelitian Rohandi et al. (2010) menunjukkan bahwa kayu manglid di
Priangan Timur tersebar pada jenis tanah lotosol, andosol, alluvial, dan podsolik
merah kuning pada ketinggian 4001.200 m dpl, curah hujan 1.5003.500
mm/tahun, dan kelerengan 045%. Kayu manglid dikembangkan dan dijadikan
komoditas unggulan melalui agroforestry pada progam pengembangan hutan rakyat
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rimpala,
2001).
Informasi pasar dan berfungsinya pasar dengan baik sangat diperlukan untuk
mengarahkan produk guna memenuhi peluang pasar dan menambah pendapatan
para petani. Sebagaimana ditegaskan Achmad et al. (2009), apabila pemasaran dapat
dilakukan secara langsung oleh pemilik komoditas kepada pengguna, efisiensi
pemasaran yang optimal bisa dicapai sehingga pendapatan produsen akan
meningkat. Sementara itu, Kotler (2002) menyatakan bahwa saluran distribusi dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
II. Metodologi
B. Penentuan Responden
1. Para petani terpilih secara sengaja (provosive sampling) sebagai pengelola hutan
rakyat pola agroforestry komoditas kayu manglid.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari hasil wawancara bersama petani dan lembaga pemasaran dengan
menggunakan daftar pertanyaan atau kuisioner. Sementara itu, data sekunder
diperoleh dari berbagai sumber, antara lain laporan dari instansi terkait ataupun hasil
kegiatan penelitian sebelumnya sebagai referensi.
D. Analisis Data
Mj = Pj Pf atau Mj = B +
Berdasarkan data sekunder diperoleh produksi kayu bulat (log) selama tiga
tahun (20102012) (Dishutbun Kabupaten Tasikmalaya, 2013) sebagaimana disaji-
kan pada Gambar 1. Grafik pada Gambar 1 menunjukan bahwa keadaan produksi
kayu albasia menempati posisi tertinggi, sedangkan kayu manglid berada pada urutan
kedua dari yang terkecil sebelum pinus. Mengingat perbandingan daur ekonomis
manglid dengan albasia 1:3 (15 tahun:5 tahun), para petani cenderung membudi-
dayakan albasia. Hal ini mengakibatkan tempat tumbuh kayu manglid secara alami
ataupun budi daya terdegradasi oleh jenis albasia.
1. Produsen (petani): peranannya sebagai pemilik dan pengelola hutan rakyat yang
menghasilkan produk komoditas kayu manglid.
4. Industri barang jadi: merupakan pemilik modal dan pembeli bahan baku (sawn
timber) dari industri pergajian. Bermodalkan peralatan dan keahliannya, pelaku
ini dapat merubah bentuk kayu menjadi barang siap pakai (seperti pintu panel
dan mebel) yang kemudian dijual kembali ke konsumen akhir atau toko mebel.
5. Los kayu (toko material): merupakan pemilik modal dan tempat berjualan, yaitu
sebagai pembeli kayu gergajian untuk dijual kembali ke konsumen akhir, baik
dalam jumlah yang besar maupun secara eceran. Peranananya sangat membantu
bagi konsumen yang memerlukan kayu gergajian dalam jumlah sedikit.
6. Pedagang kayu gergajian: merupakan pemilik modal dan sebagai pembeli kayu
gergajian dari industri penggergajian untuk dijual kembali ke lembaga pemasaran
berikutnya (los kayu atau industri barang jadi), terutama lintas kota, kabupaten,
atau provinsi. Peranannya sangat membantu industri penggergajian dalam
memasarkan dan memasok los kayu (toko material) dan industri barang jadi yang
berada di pusat perkotaan.
Hasil penelusuran data dan wawancara yang dibuat dalam bentuk pola saluran
pemasaran (alur tata niaga) produk kayu manglid sebagaimana disajikan pada
Gambar 2. Gambar ini menunjukan bahwa terdapat delapan pola saluran pema-
saran kayu manglid yang melibatkan beberapa tingkatan lembaga pemasaran. Pola
saluran pemasaran yang terjadi untuk sampai ke konsumen di Kabupaten
Tasikmalaya terdapat enam pola saluran pemasaran, sedangkan dua pola saluran
pemasaran tambahan untuk memenuhi konsumen di wilayah Bandung.
Akhir
7,8
7
Los Kayu
7 /Toko
Pedagang Material
Kayu
Ke Bandung Gergajian
8 Industri
Barang 8
Jadi
Gambar 2. Bagan saluran pemasaran kayu manglid mulai dari Kabupaten Tasikmalaya sampai ke
Bandung.
D. Pemasaran
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, harga kayu manglid ketika
masih berdiri di kebun dan harga kayu gelondongan (log) di pinggir jalan disajikan
pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa adanya kisaran harga dikarenakan
harga masih berubah tetapi tetap di kisaran tersebut. Perubahan harga tergantung
pada keadaaan topografi dan jauh dekatnya transportasi ke industri penggergajian
ataupun konsumen.
Tabel 1. Kisaran harga kayu manglid sesuai kelas diameter di kebun dan log di pinggir jalan
2. Biaya Pemasaran
Hasil olah data biaya yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran
disajikan pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Biaya pemasaran setiap lembaga pemasaran komoditas kayu manglid Wilayah
Kabupaten Tasikmalaya dan sekitarnya.
- 1 m3 log 1.000.000
- Penebang+transportasi/m 3
50.000 - -
- Administrasi 15.000 - -
- KayuBakar - - 10.000
- Gesek 175.000 - -
- Bahbir - - 20.000
- Kayu gergajian 70%x1 m3xRp2 juta - - 1.400.000
Jumlah 240.000 1.000.000 1.430.000 86,71
Tabel 3. Biaya pemasaran setiap lembaga pemasaran kayu manglid ke wilayah Bandung
Tabel 4. Hasil analisis margin pemasaran kayu manglid pada saluran pemasaran I-III
Saluran I Saluran II Saluran III
Uraian kegiatan
Rp/m3 % Rp/m3 % Rp/m3 %
Produsen (Petani)
- Produksi 157.724 11,03 157.724 10,73 157.724 3,50
- Harga jual 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22
Keuntungan 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72
Margin pemasaran 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72
Industri penggergajian
- Beli kayu 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22
- Administrasi 15.000 1,05 15.000 1,02 15.000 0,33
- Penebangan+transportasi 50.000 3,50 50.000 3,40 50.000 1,11
- Penggergajian/gesek 175.000 12,24 175.000 11,90 175.000 3,89
Total Biaya 1.240.000 86,71 1.240.000 84,35 1.240.000 27,56
Harga jual
- Kayu bakar 10.000 0,70 10.000 0,68 10.000 0,22
- Bahbir 20.000 1,40 20.000 1,36 20.000 0,44
- Kayu gergajian (rendemen 1.400.000 97,90 1.400.000 95,24 1.400.000 31,11
70% dari 1 m3)
Jumlah 1.430.000 100 1.430.000 97,28 1.430.000 31,78
Keuntungan 190.000 13,29 190.000 12,93 190.000 4,22
Margin pemasaran 430.000 30,07 430.000 29,25 430.000 9,56
Los kayu (toko material)
- Beli kayu gergajian 1.400.000 95,24
(rendemen 70% dari 1 m ) 3
Tabel 5. Hasil analisis margin pemasaran kayu manglid pada setiap saluran IV-VI
Tabel 6. Hasil analisis margin pemasaran kayu manglid pada saluran pemasaran VII & VIII
Pola saluran pemasaran I; yang mana margin produsen (petani) sebesar 58,90%,
sedangkan industri penggergajian 30,07% dari nilai harga jual Rp1.430.000.
Keadaan ini dikarenakan bahan baku diperoleh secara langsung dari petani,
kemudian diproses menjadi kayu gergajian dan pemasaraannya langsung ke
konsumen akhir.
Pola saluran pemasaran II; komoditas kayu gergajian harus melewati dua lembaga
pemasaran sebelum ke konsumen akhir. Margin tertinggi masih pada produsen
sebesar 57,30%, sedangkan terendah pada los kayu (toko material) sebesar 4,76%
pada Saluran V dari nilai harga jual ke konsumen akhir Rp1.470.000.
Pola saluran pemasaran III; kayu manglid mengalami proses produksi yang kedua
untuk dijadikan produk baru. Margin pemasaran tertinggi diperoleh industri
Pola saluran pemasaran IV; yang mana konsumen akhir secara langsung menda-
patkan layu gergajian dari industri penggergajian. Margin pemasaran tertinggi
diperoleh produsen sebesar 58,90%, sedangkan industri penggergajian
memperoleh 30,07% dari nilai harga jual ke konsumen akhir Rp1.430.000/m3.
Biaya produksi yang ditanggung oleh industri penggergajin lebih besar yaitu
88,46% dibandingkan dengan saluran I sebesar 86,71% dengan selisih 1,75%.
Besarnya biaya produksi dikarenakan adanya biaya komisi yang harus diberikan
kepada imforman sebesar 1,75%.
Tabel 7. Margin keuntungan lembaga pemasaran kayu manglid setiap saluran pemasaran
Nilai (Rp/m3)
Persentase
Saluran Pemasaran Produksi, administrasi, Keterangan
Penjualan Keuntungan (%)
& tata niaga
Saluran Pemasaran I
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 58,90
Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 13,29
Saluran Pemasaran II
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 57,30
Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 12,93
Los kayu (pengecer) 1.410.000 1.470.000 60.000 2,38
Saluran Pemasaran VI
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 18,72
Penyiar komisi 2,5% - 25.000 25.000 0,56
Industri penggergajian 1.265.000 1.430.000 165.000 3,67
Industri barang jadi 3.000.000 4.500.000 1.500.000 33,33
Nilai (Rp/m3)
Persentase
Saluran Pemasaran Produksi, administrasi, Keterangan
Penjualan Keuntungan (%)
& tata niaga
farmer share pada setiap saluran pemasaran untuk komoditas kayu manglid disajikan
pada Tabel 8.
Tabel 8. Bagian petani (farmer share) komoditas kayu manglid setiap saluran pamasaran
Tabel 8 menunjukkan bahwa harga produk di tingkat petani pada semua pola
saluran pemasaran tetap. Besaran persentase farmer share tergantung pada jumlah
lembaga pemasaran yang terlibat dan bentuk produk olahan akhir. Persentase farmer
share tertinggi terdapat pada saluran I dan IV sebesar 69,93% yang mana industri
penggergajian menjual produk olahan langsung ke konsumen. Sementara itu,
persentase terkecil terdapat pada saluran VIII sebesar 20,83% karena bahan baku
dari petani mengalami dua kali proses pengolahan sebelum sampai ke konsumen.
Tabel 9. Perbandingan efisiensi pemasaran pada setiap saluran pemasaran komoditas kayu
manglid
Saluran Pemasaran
Uraian
I II III IV V VI VII VIII
Total margin pemasaran (%) 93,41 91,31 97,17 88,97 91,31 97,17 93,92 97,35
Total biaya pemasaran (%) 16,79 18,70 40,88 18,54 20,40 41,44 22,31 49,25
Total keuntungan (%) 72,19 72,61 56,27 70,44 70,90 55,72 70,18 48,10
Farmer share (%) 69,93 68,03 22,22 69,93 68,03 22,22 47,62 20,83
IV. Kesimpulan
Terdapat delapan pola saluran pemasaran dalam proses produk kayu manglid
sampai ke konsumen akhir. Lembaga pemasaran yang memiliki peranan sangat
penting adalah 1) industri penggergajian yang dapat merubah bentuk dasar dari kayu
gelondongan (log) menjadi kayu gergajian (sawn timber) sehingga dapat digunakan
secara langsung atau sebagai bahan baku industri lainnya, dan 2) industri barang jadi
yang dapat merubah kayu gergajian menjadi barang siap pakai (pintu panel, mebel,
kerajinan, dan lain-lain).
Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran komo-
ditas kayu manglid adalah sebagai berikut, petani sebesar 15,17%, industri pengger-
gajian sebesar 86,7188,71%, los kayu sebesar 93,3397,62%, dan industri barang
jadi sebesar 66,6779,69% dari nilai harga jual. Margin pemasaran (marketing
margin) komoditas kayu manglid tertinggi diperoleh produsen sebesar 58,90% yang
terdapat pada pola saluran pemasaran I dan IV, sedangkan terkecil diperoleh los
kayu (toko material) sebesar 4,76% pada pola saluran pemasaran II dan V. Margin
keuntungan tertinggi diperoleh lembaga pemasaran industri barang jadi sebesar
33,33% pada pola saluran pemasaran III dan VI, sedangkan terkecil diperoleh los
kayu (toko material) sebesar 2,38% pada pola saluran pemasaran II dan V. Efisiensi
saluran pemasaran komoditas kayu manglid yang lebih efisien dari delapan saluran
adalah pada saluran I dengan total biaya pemasaran terkecil 16,79% dan farmer share
terbesar 69,93%.
Daftar Pustaka
Achmad, B., Mulyana, S., & Kuswantoro, D. P. (2006). Kajian implementasi tata
usaha dan tata niaga kayu rakyat di Kabupaten Garut. Paper presented at the
Seminar Hasil Penelitian Puslitbang Sosekjak, Bogor.
Achmad, B., Mulyana, S., Puspitojati, T., Darsono, & Sutrisna, N. (2009). Kajian
pemanfaatan dan pemasaran hasil hutan rakyat Laporan Hasil Penelitian.
Ciamis: Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Bogor, Indonesia: Badan
Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan
Rohandi, A., Swestiani, D., Gunawan, Nadiharto, Y., Rahwaman, B., & Setiawan,
I. (2010). Identifikasi sebaran populasi dan potensi lahan jenis manglid untuk
pengembangan sumber benih dan hutan rakyat di wilayah Priangan Timur
Laporan Hasil Penelitian RISTEK.
PENUTUP
Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan
I. Pendahuluan
Keberadaan jenis manglid pada hutan rakyat di wilayah Priangan Timur men-
jadi awal untuk pengembangannya dari skala tradisional menjadi agribisnis yang
profesional. Masyarakat telah mengenal, menanam, memasarkan, dan memanfaat-
kan jenis ini secara tradisional. Hasil-hasil penelitian pada buku ini menjadi satu
tahapan untuk mendukung perbaikan pengelolaan hutan rakyat manglid menuju
arah yang lebih profesional berbasis informasi ilmiah.
Bab terakhir pada buku ini merupakan rangkuman hasil-hasil penelitian yang
diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya. Berdasarkan status riset tersebut, ulasan
ini disusun terkait peluang pengembangan hutan rakyat manglid dan implikasi
kebijakannya. Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat bermanfaat bagi petani/
praktisi kehutanan khususnya hutan rakyat skala kecil dan menengah, peneliti/
akademisi, dan pengambil kebijakan.
Jenis manglid telah menjadi bagian dalam kehidupan sosial ekonomi dan
budaya para petani di Jawa Barat bagian timur. Namun demikian, penamaan jenis
berdasarkan nama lokal seringkali rancu dan tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan
dalam kajian-kajian yang bersifat ilmiah. Contohnya masyarakat di Tasikmalaya,
mereka mengenal beberapa sebutan untuk manglid, seperti manglid bodas, manglid
bulu, dan manglid tanduk. Masyarakat juga mengenal nama baros dan cempaka yang
secara morfologis memiliki kemiripan dengan manglid. Sebutan yang berbeda-beda
ini dapat menimbulkan kesimpangsiuran yang perlu diperjelas melalui identifikasi
secara ilmiah. Winara et al. menyebutkan bahwa jenis manglid yang dikenal oleh
masyarakat memiliki nama latin Magnolia champaca (L.) Baill. ex Pierre. Selain itu,
terdapat satu variasi manglid yang teridentifikasi hingga tingkat varietas, yaitu
Magnolia champaca var. pubinervia (Blume) Figlar & Noot. Hasil pengamatan juga
Achmad juga membahas keterbatasan lahan milik petani yang menjadi faktor
pembatas perkembangan jenis manglid. Masyarakat cenderung menanam manglid
terlalu rapat sehingga pertumbuhan individu pohon menjadi lebih rendah. Achmad
pun menggarisbawahi peluang pola tanam agroforestry jenis manglid ini yang
dikombinasikan dengan tanaman bawah untuk diversifikasi pendapatan petani.
Teknik budi daya manglid umumnya dilakukan oleh petani secara tradisional
berdasarkan pengalamannya. Oleh karena itu, input teknologi pada aspek budi daya
ini merupakan salah satu faktor yang penting untuk mendukung peningkatan
produktivitas hutan rakyat manglid. Sudomo menguraikan beberapa hasil
penelitiannya, mulai dari persemaian, penanaman di lapangan, hingga pemanenan.
Menurut Sudomo, bibit berkualitas di persemaian dapat diperoleh melalui beberapa
tahapan, yaitu penaburan benih pada media abu sekam padi, penyapihan dengan
Jenis manglid juga dapat dikembangkan sebagai tanaman pokok dalam pola
tanam agroforestry. Bahkan, Sudomo membahas bahwa agroforestry manglid+jagung
menghasilkan pertumbuhan tinggi manglid yang lebih baik. Sementara itu, sistem
sistem silvikultur agroforestry manglid+suweg dilaporkan mampu meningkatkan
persentase kandungan protein umbi.
Daur optimal pemanenan manglid dapat berubah jika ada komponen peng-
hasilan lainnya selain kayu manglid. Indrajaya menganalisis pengaruh adanya
penghasilan tambahan yang diperoleh dari jasa lingkungan perdagangan karbon
terhadap daur optimal manglid. Menurut Indrajaya, tambahan pendapatan jasa
lingkungan karbon akan memperpanjang daur tebangan tegakan manglid. Daur
optimal hutan tanaman manglid apabila hanya mempertimbangkan kayu sebagai
satu-satunya pendapatan adalah 14 tahun, pada tingkat harga karbon sebesar USD5,
10, 20, dan 30/ton CO2 eq., daur optimal produksi bersama kayu dan karbon dengan
metode VCS pada proyek aforestasi berturut-turut 14, 14, 15, dan 16 tahun. Selain
itu, harga karbon juga akan memengaruhi daur, yang mana semakin tinggi harga
karbon menyebabkan semakin panjang daur tebang tegakan manglid.
Kayu manglid memiliki karakteristik dolok yang relatif lurus, silindris, dan
bundar sehingga memudahkan dalam proses pengerjaan kayunya, terutama di
penggergajian. Menurut Siarudin, dolok manglid memiliki nilai kebundaran 92,18%,
keruncingan 1,06 cm/m, dan kelengkungan 6,72%. Uji coba pola penggergajian
menunjukkan bahwa pola penggergajian satu sisi dan pola penggergajian semi-
perempatan menghasilkan rendemen yang relatif seragam (6263%), namun berbeda
sangat nyata pada efisiensi menggergaji, produktivitas, dan lebar papan yang
dihasilkan. Pola penggergajian satu sisi menghasilkan efisiensi dan produktivitas
yang lebih tinggi dengan papan yang lebih lebar dibandingkan dengan pola semi-
perempatan. Berdasarkan hal ini, penggergajian pola satu sisi cukup disarankan
untuk tujuan menghasilkan papan lebar, sedangkan pola penggergajian semi-
Aspek ekonomi merupakan salah satu aspek yang penting dalam pengem-
bangan kayu manglid. Dalam konteks hutan rakyat, kontribusi pendapatan dari kayu
manglid terhadap total pendapatan dari hutan rakyat dibahas oleh Diniyati untuk
kasus di Tasikmalaya. Dalam penelitiannya, Diniyati menemukan bahwa kontribusi
pendapatan kayu manglid di Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan Karyabakti
berturut-turut sebesar 56,7%, 32,7%, dan 21,5%. Pada penelitian Diniyati &
Widyaningsih di lokasi yang sama, nilai NPV dari pengusahaan hutan rakyat
manglid dengan luasan <0,25 ha di Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan
Karyabakti berturut-turut sebesar Rp770.717, Rp4.275.748, dan Rp2.556.662
dengan nilai B/CR berturut-turut sebesar 1,31; 1,65; dan 2,88. Sementara itu,
Indrajaya & Sudomo dalam penelitiannya di Ciamis dan Tasikmalaya menemukan
bahwa nilai NPV pola agroforestry manglid-palawija-umbi sebesar Rp22.420.000
dengan nilai IRR sebesar 6% dan nilai B/CR sebesar 1,2. Hasil penelitian dalam
bagian ekonomi manglid menunjukkan bahwa jenis ini masih layak secara finansial
pada pola hutan rakyat dengan luasan kecil ataupun dengan pola agroforestry.
Pada bagian hilir pengelolaan kayu manglid, aspek pemasaran telah dibahas
oleh Mulyana. Penelitian Mulyana menunjukkan bahwa terdapat delapan saluran
pemasaran kayu manglid yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, yaitu enam saluran
untuk konsumsi di dalam Kabupaten Tasikmalaya dan dua saluran untuk peme-
nuhan kebutuhan di wilayah Bandung. Margin pemasaran petani tertinggi sebesar
58,9%, yaitu pada saluran pertama yang mana petani menjual kayu manglid kepada
industri penggergajian yang selanjutnya menjualnya ke konsumen akhir. Margin
pemasaran terkecil sebesar 4,76% diperoleh oleh los kayu pada saluran ke-5. Bagian
petani tertinggi adalah 69% yang diperoleh ketika petani menjual kayu manglid
langsung kepada penggergajian yang hasilnya langsung dipasarkan kepada konsumen
akhir.
Berdasarkan hasil status riset ini, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam pengembangan hutan rakyat manglid dan implikasi kebijakannya, antara lain:
3. Penggunaan kayu manglid perlu dilakukan secara tepat sesuai dengan karak-
teristik sifat dasarnya, yaitu untuk penggunaan kontruksi ringan dan pem-
buatan mebel. Selain itu, pengguna kayu perlu didorong untuk meningkatkan
kualitas kayu melalui perlakuan pengeringan dan pengawetan sehingga