Professional Documents
Culture Documents
Not all office space is equal, which is why a class system exists to
categorize the age, amenities, aesthetics and general infrastructure of
buildings. These classes are used to determine the spaces price,
thoughmany experts argue that the classifications are subjective.
Class A
The highest-quality space on the market is considered Class A. These
spaces are generally newly constructed, and have been outfitted with
top-of-the-line fixtures, amenities and systems.
Class A buildings are usually aesthetically pleasing, as they reside in
high-visibility locations, such as a metropolitans central business
district. These spaces are normally maintained by reputable property
management companies that keep them looking impeccable.
Class A rates are typically higher than the citys average rent, and
tenant concessions are rare. This is because premier Class A space is
competitively sought-after by some of the most well-known and largest
firms in the country. These spaces are popular among banking, real
estate and law firms.
Class B
A Class B property is your average office space. These buildings dont
usually contain the same high-quality fixtures, architecture and
lobbies as Class A space, but they are generally nice buildings with
fully functional facilities.
Ads
www.google.co.id
Dapatkan Dukungan Resmi dari Google Mulai Hari Ini dan Dapatkan Rp450rb
Class C
These are the poorest quality structures on the market. They tend to
be located in the least desirable office districts, and are usually in
need of major repairs and renovations. This is likely due to the
buildings age, as Class C properties are more than 20 years old.
Some Class C properties remain occupied, commanding lower rental
rates and attracting tenants with smaller operations who cannot
afford nicer spaces or who do not need to reside in a central hub.
Other Class C buildings are sold as rehabilitation or redevelopment
opportunities.
Kelebihan
Pertama, tingkat permintaan tinggi di kawasan CBD (central business district),
dimana banyak terjadi aktivitas yang berhubungan dengan FIRE ( finance and
banking, insurance, dan real estate). Selama perekonomian tumbuh, maka angka
permintaan ruang kantor akan tetap signifikan.
Kedua, capital gain perkantoran lebih tinggi dari tanah kosong dan rumah sewa,
yakni sekitar 7% 12%. Besaran capital gaintergantung pada lokasi dan kualitas
gedung perkantoran.
Kekurangan
Pertama, perkantoran sangat terpengaruh kondisi ekonomi nasional. Pada saat
krisis finansial global akhir tahun 2008, banyak perusahaan yang merugi.
Sebagian hanya mengalami penurunan pendapatan, tetapi sebagian lagi
bangkrut. Perusahaan yang bangkrut, tentu akan berhenti menyewa, sementara
perusahaan yang mengalami penurunan volume penjualan, mungkin hanya akan
berpindah dari kantor yang bagus ke kantor yang kualitasnya lebih rendah.
Kedua, investasi perkantoran kurang diminati investor, karena saat kosong tidak
dapat digunakan sendiri oleh pemiliknya. Ini berbeda dengan investasi rumah
atau apartemen, dimana pemiliknya bisa menempati saat rumah atau apartemen
tersebut tidak sedang disewa.
Sumber : rumah.com
Keunggulan
Pertama, permintaan terhadap suplai ruko dan rukan tergolong tinggi, terutama
di kawasan bisnis, perdagangan, dan entertainment. Di kawasan-kawasan seperti
ini, ruko dan rukan bisa menjadi pendukung ekonomi atau bahkan dapat menjadi
motor utama penggerak roda ekonomi di daerah tersebut.
Kedua, jangka waktu penyewaan menengah, yakni antara 2-3 tahun, lebih
panjang dari jangka waktu rumah sewa. Pasalnya, penyewa ruko atau rukan
harus memperhitungkan keuntungan yang didapatnya dengan menyewa di lokasi
tersebut.
Adakalanya, si penyewa ruko baru mendapat titik impas (break even point) di
tahun kedua. Dengan menyewa ruko tersebut tiga tahun, maka di tahun ke tiga,
dia akan menikmati laba dari bisnisnya di ruko tersebut.
Kelemahan
Pertama, ruko dan rukan sensitif terhadap krisis ekonomi karena merupakan
tempat berdagang. Jika kondisi ekonomi memburuk, maka bisa jadi sebagian
pedagangyang menyewa ruko atau rukanakan menghentikan aktivitas
perdagangannya.
Hal ini tentu berbeda bisnis dengan rumah sewa yang merupakan kebutuhan
primer. Kendati terjadi krisis, rumah tetap dibutuhkan.
Kedua, prospek bisnis ruko dan rukan sangat bergantung pada lokasi.
Seyogianya ruko atau rukan dibangun di pinggir jalan yang ramai atau di kawasan
yang strategis, sehingga kemungkinan besar ramai pengunjung. Pasalnya, ruko
adalah produk properti yang sangat tergantung pada keramaian atau crowd di
depannya.
Hindari membeli ruko atau rukan di lokasi yang sepi dan tidak strategis, karena
kemungkinan besar akan sepi pengunjungdan tentu sepi penyewa. Dalam bisnis
properti, hal ini disebut ruko atau rukan spekulatif.
Sumber : rumah.com
Hal inilah yang dilakukan oleh sebuah keluarga di Singapura yang membangun
Armadillo House. Rumah bergaya minimalis rancangan Formwerkz Architects ini
sengaja didesain untuk menghadirkan suasana damai di tengah keramaian lalu
lintas kota.
Rumah dua setengah lantai ini terletak di jalan raya yang ramai. Sejak awal
membangun rumah ini, si pemilik dan arsitek memang terganggu dengan
kebisingan jalan raya di dekat rumah, belum lagi masalah polusi dan privacy.
Membangun tembok besar memang dengan
mudah dapat memecahkan masalah tersebut,
tetapi rumah akan gelap, karena tidak
mendapat sinar matahari. Sang desainer
akhirnya menemukan pemecahannya setelah
terinspirasi bentuk armadillosejenis
trenggiling yang memiliki sisik seperti perisai
yang bertumpuk-tumpuk.
Uraian lain juga dipertegas dalam riset Collier International. Sejak tahun
2010, pasokan kantor di luar CBD secara konsisten mampu mensuplai di atas
100.000m2 pertahun, ungkap Ferry Salanto, Associate Director
Research Collier International Indonesia.
Melihat pertumbuhan itu, Ferry memprediksi, tahun 2015 ini penambahan
ruang kantor diharapkan bertumbuh sebanyak 334.206m2.
Dari data risetnya mengatakan, pada kuartal pertama 2015, hampir 43% dari
pasokan di atas telah beroperasi. Tercatat, Jakarta Selatan menjadi daerah
yang paling aktif, kontribusi kawasan ini sebanyak 9 dari 12 kantor yang
diproyeksikan dibangun pada 2015.
WE Online, Jakarta - Hasil riset Jones Lang LaSalle menyebutkan sektor perkantoran di Jakarta
mengalami perlambatan pada kuartal pertama 2015, baik dari segi pasokan maupun penyerapan, salah
satu penyebabnya adalah depresiasi rupiah terhadap dolar AS.
"Tingkat hunian perkantoran di area bisnis (Central Business District) tetap stabil di kisaran 94 persen,
penurunan terjadi di tingkat permintaan sebesar 4.400 m2 yang disebabkan oleh efesiensi, relokasi dan
penggabungan antara efisiensi dan relokasi," kata Direktur Konsultasi Strategi JLL di Jakarta, Rabu
(15/4/2015).
Dia mengatakan akibat depresiasi rupiah, maka perkantoran grade A dan premium yang transaksinya
kebanyakan menggunakan dolar AS menjadi mahal, maka terjadi relokasi para penyewa ke beberapa
gedung perkantoran di kawasan yang lebih murah, maupun menuju ke gedung perkantoran di luar
kawasan pusat bisnis.
Secara keseluruhan permintaan selama kuartal pertama ini menujukkan penyerapan negatif yang lebih
tinggi dibanding triwulan sebelumnya. Sebaliknya, yang terjadi di pasar perkantoran di luar kawasan
perkantoran, penyerapan ruang perkantoran selama triwulan I adalah 45.000 m2 untuk gedung
perkantoran grade B dan C di Jakarta Selatan.
"Tingkat hunian gedung perkantoran di luar kawasan pusat bisnis adalah 88 persen atau mengalami
penurunan sebesar dua persen. Ini diakibatkan adanya pasokan baru sekitar 100.000 m2 di TB
Simatupang Sementara itu harga sewa di pasar perkantoran di kawasan pusat bisnis tidak mengalami
perubahan yang signifikan, kecuali pada gedung grade B dan C yang mengalami kenaikan sekitar empat
hingga enam persen, dibandingkan triwulan sebelumnya.
Menurut dia, para pengembang menjelang awal 2015, menunjukkan adanya tendensi untuk mestabilkan
harga sewa dan menaikkan harga layanan akibat pengaruh kenaikan tarif listrik, kenaikan BBM dan upah
minimum regional Terlepas dari kondisi perekonomian dalam negeri yang diwarnai dengan melemahnya
rupiah terhadap dolar Amerika dan sentimen bisnis yang sedang menurun, aktifitas pasar porperti di
Indonesia masih menunjukkan presepsi yang positif. (Ant)
wartaekonomi.co.id