You are on page 1of 29

ISSN 1693-7236

SPIRITUAL-EMOTIONAL WRITING THERAPY PADA SUBJEK YANG MENGALAMI


EPISODE DEPRESIF SEDANG DENGAN GEJALA SOMATIS

Yudi Kurniawan, Retno Kumolohadi Program Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi dan Ilmu
Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, Jl. Kaliurang 14,4 Besi, Sleman, Yogyakarta
kurniawan.yudika@gmail.com

Abstract This study aims to determine the effect of spiritual-emotional writing therapy toward person
with moderate depressive diagnosis. This study involved 20-year-old student with a moderate
depressive episode as a subject. Precipitating of her disorder is the events of pramarriage pregnancy in
2012. Data were collected by interview and observation method Quantitative scale. Depression scores
were measured using a scale of HDRS (Hamilton Depressive Rating Scale) and obtained a score of 20
(Depressive were heading severe). Intervention is provided by Spiritual Writing Therapy which is a
modification of the technique Cognitive Behavior. Islamic spiritual element attached in the form of
reflection of gratitude (adaptation emotional) of all the painful events experienced by the subject. Data
were analyzed by comparing the state of mind and behavior of the subject between the situation
before and after the intervention. The results showed that therapeutic writing attached with cognitive
behavioral approach is able to reconstruct the thinking and behavior of the subject, so as to be positive
in looking at ourselves and the world around

Keywords:gratitude, moderate depressive disorder, spiritual-emotional writing therapy,

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh terapi menulis spiritual-emosional terhadap
subjek yang mengalami gangguan depresif sedang. Subjek dalam kasus ini adalah mahasiswi berusia
20 tahun dengan diagnosis episode depresif sedang. Pencetus gangguan adalah peristiwa kehamilan di
luar nikah pada tahun 2012. Tujuan intervensi psikologi dalam kasus ini adalah menghilangkan
pikiran negatif pada subjek dan mengajarkan perilaku adaptif agar mampu berfungsi kembali di
kehidupan sosial. Data dikumpulkan dengan metode observasi wawancara dan skala kuantatif. Skor
depresi diukur dengan menggunakan skala HDRS (Hamilton Depressive Rating Scale) dan diperolah
skor 20 (Depresif sedang menuju berat). Intervensi yang diberikan adalah Spiritual Writing Therapy
yang merupakan modifikasi dari teknik Cognitive Behavior. Unsur spiritual Islam dilekatkan dalam
bentuk refleksi syukur (adaptasi emosi) terhadap seluruh peristiwa menyakitkan yang dialami oleh
subjek. Data hasil penelitian dianalisis dengan membandingkan kondisi pikiran dan perilaku subjek
antara situasi pra dan pasca intervensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi

HUMANITAS Vol. 12 No. 2 . 142-157

143

Pendahuluan Episode depresif adalah gangguan suasana perasaan (mood disorder) yang gejalanya
meliputi ranah emosional, motivasi, perilaku, fisik, dan kognitif. Pengalaman emosional individu
yang mengalami depresi biasanya terbatas pada emosi negatif yang sering dideskripsikan sebagai
kesedihan, hilangnya harapan, kesengsaraan, dan hilangnya kegembiraan (Davey, 2008). Sebagian
besar individu dengan gangguan depresi memiliki episode kesedihan dan perilaku menangis yang
terjadi secara berkala. Sebagian kecil individu dengan gangguan depresi yang dilaporkan pernah
merasakan emosi positif. Individu dengan gangguan depresi menunjukkan wajah minim ekspresi
positif dan kehilangan minat terhadap kesenangan/humor (Sloane, Strauss & Wisner, 2001; Davey,
2008). Depresi sangat berkaitan dengan emosi. Emosi merupakan kompleksitas perasaan yang
meliputi psikis, somatis, dan perilaku yang berhubungan dengan afek dan mood. Emosi merupakan
perasaan yang dihayati dalam kesadaran, sedangkan afek ditujukan untuk dorongan-dorongan yang
lebih mendalam, baik sadar maupun tidak disadari. Sementara mood merupakan subjektivitas emosi
yang dapat disampaikan oleh individu dan terobservasi oleh orang lain, misalnya perilaku marah
(Ismail & Siste, 2013). Individu dalam keadaan mood depresi memperlihatkan kehilangan energi dan
minat, perasaan bersalah yang besar, sulit

konsentrasi, perubahan perilaku makan yang signifikan, dan berpikiran untuk bunuh diri. Gejala lain
adalah perubahan aktivitas, kognitif, verbal, ritme tidur, dan ritme biologis yang lain. Gangguan ini
hampir selalu menghasilkan hendaya dalam hubungan interpersonal, sosial, dan fungsi pekerjaan
(Ismail & Siste, 2013). Gangguan depresi memiliki prevalensi penderita seumur hidup sebesar 15
persen. Penderita dengan jenis kelamin wanita mencapai 25 persen, dua kali lebih banyak daripada
laki-laki. Diduga karena adanya perbedaan hormonal, pengaruh melahirkan, perbedaan stressor
psikososial, serta model perilaku yang dipelajari tentang ketidakberdayaan. Rata-rata usia penderita
depresi adalah 40 tahun, dengan rentang dari usia 20 hingga 50 tahun. Gangguan depresi berat juga
dapat muncul pada masa anak dan lanjut usia. Gangguan depresi berat pada usia kurang dari 20 tahun
kemungkinan besar berhubungan dengan penggunaan alkohol (Ismail & Siste, 2013). Gangguan
depresi dapat dipicu oleh faktor biologis, psikososial/faktor lingkungan, seperti peristiwa yang
menimbulkan pengaruh emosi negatif mendalam. Pada individu yang mengalami episode depresi
untuk pertama kali (memiliki gejala depresi dan terjadi selama minimal 2 minggu), ada tendensi untuk
mengalami gangguan depresif berulang di masa yang akan datang. Ada korelasi yang kuat antara
penyakit medis kronis dan peningkatan prevalensi gangguan depresi. Orang-orang dengan riwayat
penyalahgunaan alkohol

menulis yang dilekatkan dengan pendekatan kognitif perilaku mampu merekonstruksi pikiran dan
perilaku subjek, sehingga mampu lebih positif dalam memandang diri dan dunia sekitarnyasa

Kata kunci: episode depresif sedang,kebersyukuran, terapi menulis spiritual-emosi

144Spiritual-Emotional Writing Therapy pada Subjek yang Mengalami Episode Depresif Sedang
dengan Gejala Somatis

dan atau obat-obatan juga rentan mengalami gangguan depresi. Sebanyak sembilah puluh tujuh
persen individu dengan gangguan depresi mengeluhkan adanya penurunan energi di tubuh yang
menyebabkan mereka kesulitan untuk menyelesaikan tugas dalam fungsinya di lingkungan keluarga,
pendidikan, dan/ atau pekerjaan. Sekitar delapan puluh persen individu dengan gangguan depresi
mengalami gangguan tidur, seperti terbangun pada tengah malam, dan kemudian mereka kembali
teringat dengan masalahnya. Sebagian besar pasien depresi juga mengalami penurunan nafsu makan
dan penurunan berat badan. Namun, beberapa pasien justru mengalami peningkatan berat badan
(Kaplan & Sadock, 1997). Dobsons dan Dozois (2008) menjelaskan bahwa depresi berat dapat
memunculkan gejala psikotik, terutama gejala waham dan halusinasi. Waham dan halusinasi yang
muncul umumnya terkait dengan dosa dan perasaan bersalah. Gejala ini akan bertambah berat bila
tidak ada dukungan dari orang-orang terdekat. Lebih dari dua pertiga pasien depresi di seluruh dunia
yang berpikiran untuk bunuh diri, dan sepuluh hingga lima belas persen dari jumlah tersebut benar-
benar menjalankan pemikirannya. Sebagian individu dengan gangguan depresi malah tidak menyadari
depresinya dan tidak mengeluhkan suatu gangguan suasana perasaan tertentu. Meski demikian,
mereka menunjukkan aktivitas penarikan diri dari keluarga, teman, dan aktivitas sosial yang
sebelumnya mereka sukai (Kaplan & Sadock, 1997). Berdasarkan hasil diagnose subjek mengalami
depresi. Keluhan yang dialami oleh subjek adalah perasaan mudah lelah, kepercayaan diri menurun,
merasa pesimis, dan ide bunuh diri. Subjek meyakini dirinya sebagai orang yang tidak berguna. Selain
itu, subjek juga sering merasakan pusing, jantung yang berdetak lebih cepat, dan keringat dingin saat
harus beraktivitas. Semua gejala tersebut sudah dirasakan selama lebih dari dua minggu. Depresi
pada subjek dipicu oleh kejaidan ketika mengalami kehamilan di luar nikah karena berhubungan
seksual dengan pacarnya. Subjek tertekan dan menggugurkan kandungannya. Setelah peristiwa
tersebut, subjek mulai sering merasakan emosi negatif dan tidak punya minat lagi untuk beraktivitas
seperti biasanya. Subjek memiliki pikiran negatif terhadap diri sendiri dan merasa dirinya punya
banyak dosa. Berdasarkan autoanamnesa, subjek menjelaskan bahwa saat masih kanak-kanak, subjek
selalu merasa tertekan saat ibunya berada di rumah. Ibu tidak mau menerima kesalahan sekecil apa
pun yang dilakukan oleh subjek. Jika subjek masih melakukan kesalahan, subjek akan mendapatkan
pukulan. Perlakuan yang berbeda dialami oleh kedua adik subjek. Kedua adiknya tidak pernah
mendapatkan kekerasan fisik. Ayah subjek tidak pernah melakukan kekerasan fisik padanya, namun
menurut subjek, ayahnya cenderung tidak peduli kepada keluarga. Melalui informasi dari neneknya,
subjek mengetahui bahwa dia bukanlah anak yang kelahirannya diharapkan. Ibu dan ayah subjek telah
melakukan hubungan seksual sejak pranikah. Akibatnya, mereka menikah karena terpaksa. Ibu subjek
tidak menerima kondisi tersebut sehingga benci terhadap kelahiran subjek. Sejak kecil subjek terpapar
dengan situasi kekerasan. Kondisi tersebut membuat subjek tidak mudah mempercayai lingkungan
sekitarnya. Ibu dan ayah subjek berprofesi sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Taiwan dan
Korea Selatan yang pergi secara bergantian. Saat ibu subjek pergi ke Taiwan, subjek mendapati
ayahnya selingkuh dengan wanita lain di rumah

145

mereka. Sebaliknya saat ayah subjek yang berangkat ke Korea Selatan, subjek mendapati ibunya
berselingkuh dengan pria lain. Salah satu cara yang lazim digunakan untuk mengurangi gejala depresi
adalah dengan teknik terapi kognitif-perilaku. Terapi kognitif-perilaku diarahkan kepada modifikasi
fungsi pikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan,
bertanya, berbuat, dan memutuskan sesuatu. Manusia memilik potensi untuk menyerap pemikiran
yang rasional dan irasional, dimana pemikiran yang irasional akan menyebabkan munculnya
gangguan emosi dan tingkah laku. Subjek diharapkan dapat mengubah perilaku negatifnya ke positif
dengan mengubah status pikiran dan perasaan. Salah satu intervensi yang dapat diberikan untuk
mengurani tingkat depresi adalah terapi menulis. Terapi menulis merupakan bagian dari teknik
kognitif- perilaku. Pennebaker (1997) menyatakan bahwa menulis pengalaman emosional atau
menulis peristiwa yang penuh tekanan (stressful events) telah menjadi kajian yang menarik banyak
peneliti. Beberapa penelitian laboratorium telah mempelajari kegunaan menulis atau berbicara
mengenai pengalaman emosional. Menghadapi atau berkonfrontasi dengan isu-isu pribadi secara
mendalam telah mendapat penemuan akan menghasilkan kesehatan fisik, kesejahteraan subjektif dan
tingkah laku adaptif tertentu. Paez dkk (1999; Pennebaker, 1997) mencatat bahwa menghadapi atau
berkonfrontasi dengan peristiwa-peristiwa penuh tekanan dan traumatis yang dilakukan dalam
prosedur menulis dilaporkan menghasilkan tingkat yang lebih tinggi dalam kesehatan fisik (misalnya,
lebih sedikit mengunjungi fasilitas kesehatan), fungsi fisiologis yang lebih tinggi (misal, reaksi
kekebalan tubuh yang lebih baik) dan kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi (misal, afek negatif
yang lebih rendah dan afek positif yang lebih tinggi). Pennebaker (1997) menyebutkan bahwa akibat
menulis mengenai topik tertentu, ternyata berhubungan dengan perbaikan peringkat mahasiswa pada
bulan setelah penelitian dilakukan dan mendapatkan pekerjaan baru yang lebih cepat pada tingkat
senior. Pennebaker dan Beall (dalam Baikie & Wilhelm, 2005; Qonitatin, dkk, 2011) menyatakan
bahwa menulis tentang pengalaman traumatis berhubungan dengan peningkatan efek psikologis yang
positif dan dalam jangka panjang menurunkan masalah-masalah kesehatan. Proses katarsis yang
diperoleh ketika menulis ekspresif pengalaman-pengalaman emosional pada seseorang yang
mengalami gangguan depresi akan dapat memberikan keuntungan bagi dirinya untuk menurunkan
simtom-simtom yang mengganggu dan meningkatkan kesejahteraan psikologis maupun fisik.
Keuntungan ini terutama dapat diperoleh bagi mereka yang memiliki gangguan depresi dalam tingkat
yang ringan. Ekspresif emosional merupakan ekspresi natural dari emosi yang sebenarnya
(Pennebaker, 1997). Penyingkapan emosi merupakan proses yang melibatkan perasaan alamiah atau
emosi yang sebenarnya dan mengubahnya menjadi bahasa oral atau tertulis (Smyth & Pennebaker,
dalam Graf, 2004; Qonitatin, dkk, 2011). Proses ini dipercaya untuk mengintegrasi proses kognitif
dan emosional, penyingkapan emosional memberikan kesempatan untuk meningkatkan insight, self-
reflection, dan organisasi perspektif seseorang terhadap masalah daripada hanya sekedar
mengeluarkan emosi. Penelitian-penelitian saat ini menyimpulkan bahwa keuntungan ekspresi

146

emosi tidak dibatasi pada ekspresi emosi yang vokal, kesehatan fisik dan psikologis dapat diperoleh
melalui penulisan ekspresif tentang pengalaman hidup yang signifikan. Graf (2004; Qonitatin, dkk,
2011) menemukan bahwa hasil bahwa subjek pada kelompok written emotional disclosure
memperlihatkan penurunan yang signifikan pada simtom-simtom kecemasan dan depresi; sebaik
peningkatan fungsi kehidupan dan kepuasan yang lebih baik dengan tritmen ketika dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Menulis merupakan suatu bentuk ekspresi katarsis dan self-help yang telah
dipraktekkan selama bertahun- tahun. Menurut Riordan, Benjamin Rush menemukan bahwa proses
menulis dapat menurunkan tegangan pada pasiennya dan memberikan informasi yang lebih banyak
tentang masalah mereka. Adanya penyingkapan emosi yang dialami pada menulis pengalaman
emosional dianggap sebagai faktor yang menghasilkan efek teraupetik. Menulis hal-hal yang tidak
sampai melibatkan unsur emosi di dalamnya, seperti membuat deskripsi mengenai kegiatan sehari-
hari atau deskripsi suatu tempat misalnya, tidak menghasilkan efek yang sama. Mekanisme proses
terapeutik menulis pengalaman emosional sebenarnya sama dengan mekanisme terapi-terapi yang lain
(Qonitatin, dkk, 2011). Mekanisme proses terapeutiknya berpusat pada penyingkapan (disclosure)
pengalaman-pengalaman emosional. Pengakuan dan penyingkapan diri merupakan proses dasar yang
muncul dalam psikoterapi, dan secara alamiah muncul dalam interaksi sosial yang dianggap
membawa manfaat secara psikologis dan bahkan mungkin secara fisik dan psikoterapi membutuhkan
dalam derajat tertentu penyingkapan diri. (Pennebaker, 1997). Terapi tersebut adalah bersifat direktif
atau evokatif, orientasi insight atau behavioral, pasien dan terapis harus bekerja bersama untuk
mendapatkan suatu cerita yang koheren yang menjelaskan masalah dan secara langsung maupun tidak
untuk menghasilkan suatu penyembuhan. Penyingkapan masalah pribadi mungkin memiliki nilai
terapeutik yang menakjubkan dalam dan pada dirinya sendiri. Salah satu bagian dari terapi ekspresif
adalah terapi menulis yang digunakan sebagai media menyembuhan dan peningkatan kesehatan
mental (Malchiodi, 2007; Fikri, 2012). Secara umum tujuan dari terapi menulis diantaranya: (1)
Meningkatkan pemahaman bagi diri sendiri maupun orang lain dalam bentuk tulisan dan literatur lain;
(2) Meningkatkan kreatifitas, ekspresi diri dan harga diri; (3) Memperkuat kemampuan komunikasi
dan interpersonal; (4) Mengekspresikan emosi yang berlebihan (katarsis) dan menurunkan
ketegangan, dan (5) Meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi masalah dan beradaptasi
(Davis, 1990; Fikri, 2012). Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa menulis pengalaman
emosional mempunyai manfaat yang besar sebagai alat terapeutik dalam beberapa permasalahan
klinis. Penelitian yang dilakukan oleh O’Connor, dkk, 2003 dan Fikri, 2012 membuktikan bahwa
terapi menulis mampu meningkatkan perawatan diri bagi individu yang mengalami kesedihan
mendalam karena menulis digunakan sebagai media untuk membuka diri sehingga individu tersebut
lebih mampu untuk melakukan rawat diri dengan lebih baik. Penelitian tentang terapi menulis yang
dilakukan oleh Baikie dan Wilhelm (2006), Fikri, 2012) membuktikan bahwa terapi menulis dinilai
baik dan bermanfaat oleh para peserta karena mampu mengurangi kecemasan dan perbaikan suasana
hati.

147

Prinsip dasar terapi menulis spiritual emosional sama dengan terapi menulis pengalaman
ekspresif/emosional. Subjek diminta untuk menyampaikan bagaimana perasaanya melalui tulisan dan
kemudian merefleksikannya. Terapi menulis spiritual emosional melibatkan refleksi pengalaman di
masa lalu, masa kini, dan masa depan. Sepanjang rentang tersebut, subjek akan diminta untuk
menuliskan apa saja hal menyenangkan yang telah ia dapatkan dan apa saja hal traumatis yang terjadi
pada dirinya. Sisi spiritual digali dengan cara merefleksikan hubungan antara pengalaman emosional
dan keyakinan subjek terhadap Tuhan yang mengatur segala kehidupannya. Penanganan kasus
depresi yang dialami oleh subjek ini menggunakan terapi kognitif perilaku (Cognitivr Behavioral
Therapy). Meta analisis dan studi literatur mengungkapkan bahwa penggunaan Terapi kognitif-
perilaku sebanding dengan dampak penggunaan obat-obatan medis dalam mereduksi gejala depresi.
Terapi kognitif- perilaku juga efektif digunakan pada subjek dengan episode depresi dan depresi
berulang. Pada subjek dengan gangguan depresi tidak khas (atypical depression), efektivitas Terapi
kognitif-perilaku sebanding dengan fungsi monoamine oxydase inhibitor (MAOI). MAOI adalah
senyawa kimia yang menghambat aktivitas enzim monoamine oksidase dan lama digunakan sebagai
obat antidepressan (O’Hea. et.al, 2008). Adanya pemikiran rasional dan irasional yang berkaitan erat
menjadikan manusia menjadi tidak sempurna sehingga muncul terapi kognitif-perilaku. Pada intinya
terapi kognitif-perilaku berusaha menolong individu agar dapat menerima dirinya sebagai makhluk
yang akan selalu berbuat kesalahan tetapi pada saat yang bersamaan juga tumbuh sebagai orang yang
bisa belajar hidup damai dengan diri sendiri.

Terapi kognitif-perilaku secara eksplisit menekankan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
berpikir dan bertindak secara simultan. Dalam terapi kognitif-perilaku, kognitif subjek dimodifikasi
dengan dua cara: secara langsung melalui intervensi kognisi dan secara tidak langsung melalui
intervensi perilaku yang tampak. Proses mengubah perilaku kita dengan maksud mengubah apa yang
kita pikirkan adalah strategi yang efektif untuk menghemat waktu dalam proses mengubah sikap.
Meichenbaum (Spiegler & Guevremont, 2010) menyatakan pendekatan Cognitive Behavior Therapy
merupakan pendekatan terapeutik yang memodifikasi pikiran, asumsi, dan sikap yang ada pada
individu. Terapi kognitif perilaku pada dasarnya meyakini bahwa pemikiran manusia terbentuk
melalui proses rangkaian stimulus, kognitif, dan resposn, saling berkait dan membentuk semacam
jaringan dalam otak manusia. Proses kognitif akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan
bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak. Teknik self-instructional training, yang digunakan
untuk melatih individu agar secara efektif dalam beradaptasi dan menyelesaikan masalah dalam
situasi sulit. Menurut Spiegler & Guevremont, (2010) teknik terapi kognitif perilaku terbagi atas
intervensi kognitif dan intervensi perilaku yang tampak. Teknik-teknik yang digunakan adalah
penangkapan pemikiran (thought catching) yang mempunyai dasar bahwa hubungan antara pikiran,
perasaan, dan perilaku dapat ditunjukkan dengan merekam dan memunculkan pikiran, perekaman dan
pemunculan pikiran sudah dengan sendirinya ikut membantu memecahkan ikatan antara pikiran
dengan perasaan dengan membuat pikiran menjadi nampak kurang realistik. Perekaman dan
pemunculan pikiran, maka terapis dan subjek

148
memperoleh data untuk memformulasikan hipotesis yang akan dimanfaatkan untuk testing realitas.
Tujuan dari penangkapan pikiran adalah untuk menghilangkan pikiran maladaptif sebagai penyebab
kecemasan yang dialami subjek. Penangkapan pikiran dilakukan dengan cara menjelaskan pada
subjek mengenai adanya keterkaitan erat antara pikiran, perasaan, dan perilaku. Subjek diminta untuk
menangkap pikiran salah yang menguatkan perasaan cemasnya dan menyebabkan reaksi yang tidak
diharapkan. Hal ini dilakukan guna meningkatkan kesadaran pada subjek terhadap pikirannya yang
salah. Teknik yang dugunakan adalah testing realita. Tujuan dari teknik ini adalah mencari bukti –
bukti yang mendukung atau menggugurkan asumsi dari pikiran maladaptif subjek. Testing realitas
dilakukan dengan cara mengidentifikasi pikiran atau pernyataan yang dibuat oleh subjek, bersifat
negatif, atau berhubungan dengan perasaan yang mengganggu. Teknik testing realita menuntut subjek
untuk bercerita mengenai keyakinannya secara perlahan dengan mencari bukti – bukti yang
mendukung atau menggugurkan pernyataan subjek yang tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya. Teknik yang digunakan dalam pendekatan ini adalah generating alternative
Interpretations, yaitu teknik intervensi kognitif yang merestruktur cara berpikir dengan kalimat negatif
menjadi kalimat yang lebih positif/adaptif. Terapis pada awalnya membuat Generating Alternative
Interpretations pada kasus kecemasan atau depresi dan kemudian subjek mengulang sendiri teknik
tersebut. Teknik lainnya yaitu activity schedule. Activity schedule adalah rencana/catatan tertulis
terkait aktivitas harian yang harus dilakukan oleh subjek. Teknik ini sangat berguna pada subjek yang

memiliki kecemasan dan depresi. Subjek dan terapis secara bersama-sama merancang aktivitas harian
subjek dalam rentang waktu tertentu (misalnya selama dua pekan). Rencana aktivitas tersebut
menyediakan ruang bagi subjek untuk melakukan sesuatu yang produktif. Pada subjek dengan kasus
depresi, seringkali terjadi hambatan besar bahkan untuk sekadar melakukan aktivitas sederhana
sekalipun. Rencana aktivitas ini menjadi struktur yang membantu subjek untuk aktif terlibat dan
beraktivitas sepanjang hari. Teknik lain dalam terapi menulis yaitu mastery and pleasure rating. Pada
subjek depresi, yang dibutuhkan tidak hanya sekadar aktivitas, namun juga perasaan kompeten dan
mampu terhadap apa yang mereka lakukan. The Mastery and Pleasure Technique menyediakan ruang
bagi subjek untuk merasakan bahwa dirinya mampu dan bisa menikmati aktivitas tersebut dalam
bentuk rating. Subjek memberikan rating 0-5 pada aktivitas yang mereka lakukan. Rating 0 untuk
menggambarkan ketidakmampuan/tidak menikmati aktivitas dan ratig 5 menggambarkan sangat
mampu/ sangat menikmati aktivitas.

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan dengan desain A-B follow up (Barlow dan
Hersen, 1984; Rosdaniar, 2012). Desain A-B merupakan desain dasar dari penelitian eksperimen
tunggal (Sunanto, 2005; Rosdaniar, 2012). Prosedur utama yang ditempuh dalam desain A-B-follow
up meliputi pengukuran kondisi target pada fase baseline dan kemudian diberikan intervensi. Selama
fase intervensi, kondisi subjek secara berkelanjutan dilakukan pengukuran dan follow up (Lovaas,
2003; Sunanto, 2005; Rosdaniar, 2012).

149

A –B - Follow Up

Keterangan: A=baseline, B=intervensi/treatment

Pelaksanaan penelitian terdiri atas fase baseline (A), fase intervensi (B) dan fase follow up (tindak
lanjut). Rancangan penelitian A-B dengan follow up bertujuan untuk mengevaluasi apakah perubahan
perilaku yang terjadi bersifat menetap atau hanya sementara (Barlow dan Hersen, 1984; Rosdaniar,
2012). Hasil baseline, intervensi dan follow up kemudian dibandingkan, untuk mengetahui efek
pemberian intervensi berupa terapi menulis spiritual emosional. Intervensi dilakukan dalam tiga sesi.
Sesi satu, berupa materi thought catching yang menuntut subjek untuk mengenali pikiran negative
yang dimiliki. Sesi kedua berupa materi testing realita,dalam tahap ini subjek diminta untuk
menuliskan bukti-bukti pekiran negative yang dimiliki dan tahap ke tiga, berupa materi pemberian
afirmasi dan konteks spiritual.

Tabel. 1 Tahapan Intervensi No Sesi Materi 1 Pertama Thought catching, subjek diarahkan untuk
mengenali pikiran-pikiran negatif yang selama ini muncul. Di akhir sesi, subjek diminta untuk
menuliskan pengalaman dan perasaan yang dirasakan setelah sesi tersebut. 2 Kedua Testing realita,
subjek diberikan lembar kerja untuk menuliskan apakah benar-benar ada bukti atas pikiran negatif
yang dia rasakan. Di akhir sesi, subjek kembali diminta untuk menuliskan pengalaman dan perasaan
yang dirasakan setelah sesi tersebut berakhir. 3 Ketiga Pemberian afirmasi dan konteks spiritual
terhadap materi tulisan subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah seorang wanita lajang berusia 22 tahun yang mengalami
mengalami trauma akibat kekerasan fisik dan seksual. Subjek adalah seorang mahasiswi perguruan
tinggi di Yogyakarta. Skor depresi diukur dengan menggunakan Hamilton Depressive Rating Scale
(HDRS). Pemilihan subjek berdasarkan kriteria keunikan kasus yang dialaminya. Subjek pernah
mengalami kekerasan fisik oleh ibunya dan pernah mengalami kekerasan seksual saat remaja. Subjek
dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sampel sesuai
dengan yang dikehendaki untuk kasus unik dan sulit mengambil sampel serta membutuhkan
investigasi mendalam. Subjek yang dipilih adalah orang-orang yang memiliki informasi khusus
mengenai kasus yang diteliti (Newman, 2003). Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan
dengan pendekatan single case method. Riset ini menggunakan 1 orang subjek yaitu wanita yang
mengalami trauma akibat kekerasan fisik dan seksual. Menurut Kazdin (2010), singel case method
adalah desain penelitian untuk mengetahui efek dari sebuah terapi dengan beberapa subjek dalam satu
kelompok atau subjek tunggal. Selain subjek penelitian sebagai sumber data utama, peneliti juga
berusaha mencari informan sebagai sumber data sekunder. Informan adalah orang yang mengetahui
atau perneh berhubungan dengan subjek dan mengetahui tentang permasalahan yang ingin diteliti.
Informan harus bersifat netral atau tidak memiliki kepentingan pribadi untuk menjelek-jelekkan orang
lain, dan memilikiinformasi luas terkait masalah yang diteliti (Bungin, 2002; Rosdaniar, 2012). Data
dikumpulkan dengan metode self-report, observasi, dan wawancara. Data hasil penelitian dianalisis
dengan membandingkan,kondisi pikiran dan

150

perilaku subjek antara situasi pra dan pasca intervensi.

Hasil dan Pembahasan Berdasarkan pengukuran dengan Hamilton Depressive Rating Scale, subjek

memperoleh skor 31 dan masuk kategori sedang menuju berat. Berdasarkan acuan diagnosis PPDGJ,
subjek termasuk kategori depresi sedang dengan gejala somatis, yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Pedoman Diagnosis Episode Depresif

Pedoman Diagnostik Kategori Kasus

Keterangan Terpenuhi Ya Tidak

Afek depresif Klien kerap sedih, murung, dan bersuara lirih √ Kehilangan minat dan kegembiraan
Tidak signifikan, subjek masih sering berkumpul dengan teman-teman dekatnya √ Berkurangnya
energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit
saja) dan menurunnya aktivitas Mudah lelah saat beraktivitas √ Gejala lainnya Konsentrasi dan
perhatian berkurang Selalu gelisah, susah fokus, dan selalu merasa bersalah. Klien susah fokus saat
kuliah. √ Harga diri dan kepercayaan diri berkurang Merasa sangat kecewa terhadap diri sendiri dan
mantan pacarnya. Klien menjadi peragu dan sangat sulit mempercayai orang lain. Tidak berani
memulai hubungan interpersonal baru. √ Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna Klien
merasa berdosa terhadap diri sendiri dan orang tua, karena pengalaman masa lalunya yang pernah
menggugurkan kandungan √

Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

Ia merasa tidak yakin akan mendapatkan pasangan hidup, tidak yakin akan sukses √

Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

Pernah memiliki ide bunuh diri dengan cara melompat dari atas jembatan √

Tidur terganggu Tidak ada perubahan √ Nafsu makan berkurang Tidak ada perubahan dalam pola
makan √ Lamanya seluruh episode berlangsung minimum dua minggu. Klien mengalami sejak
pertengahan November tahun 2013 (Intervensi dilakukan Maret 2014) √

151

Pedoman Diagnostik Kategori Kasus

Keterangan Terpenuhi Ya Tidak

Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah tangga

Hambatan dalam kuliah dan interaksi sosial yang lebih luas √

Gejala somatis - Jantung berdetak lebih cepat - Pusing - Keringat dingin saat beraktivitas √ √

Subjek mengalami 2 dari 3 gejala utama, 5 gejala lainnya, dan ditambah gejala somatis. Berdasarkan
acuan PPDGJ, subjek mengalami episode depresif sedang dengan gejala somatis.

Tabel 3 Baseline Pikiran Minggu II Maret 2014 Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu

Pesimis terhadap masa depan

ÖÖÖÖÖÖÖ

Pikiran bersalah dan dipersalahkan oleh lingkungan

ÖÖÖÖÖÖ

Pikiran bunuh diri Ö Keyakinan bahwa diri tidak berguna Ö Ö Ö Ö Ö Ö Ö

Berdasarkhasil assessment di dapatkan baseline pikiran pada subjek yaitu adanya pikiran pesimis
terhadap masa depan, rasa bersala dan dipersalahkan oleh lingkungan, pikiran untuk bunuh diri dan
keyakinan diri tidak berguna dalam minggu kedua. Berdasarkan baseline perilaku, subjek juga
mengalami gejala jantung berdebar-debar, berkeringat dingin dan pusing tanpa sebab fisioligis.

Tabel 3 Baseline Perilaku Minggu II Maret 2014 Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu
Jantung berdebar kencang saat bangun tidur

ÖÖÖÖÖÖÖ

Berkeringat dingin tanpa sebab fisiologis

ÖÖÖ

Pusing tanpa sebab fisiologis

ÖÖÖÖ

152

Sesi I Berdasarkan hasil asesmen psikodiagnotik pada sesi sebelumnya, subjek cenderung menekan
emosi dan pikiran yang muncul. Pada sesi ini, subjek datang dengan dengan tujuan menghilangkan
pikiran dan perasaan negatif yang dirasakan terhadap dirinya sendiri. Pada awal sesi, intervensi
dilakukan dengan memberikan pertanyaan mengenai skala Stimulus Unit Discomfort (SUD) yang
dirasakan oleh subjek saat berkonflik dengan ibunya. Subjek menjawab pada skala 8 (dari skala 0-10,
0 tidak menganggu sama sekali, 10 sangat menganggu). Psikoedukasi diberikan mengenai kaitan
antara pikiran, perasaan, dan perilaku pada subjek. Pada bagian ini terjadi diskusi antara terapis dan
subjek mengenai pikiran yang dimiliki oleh subjek. Setelah diskusi intervensi dilanjutkan pada tahap
thought catching. Pada bagian ini, subjek, dengan bantuan terapis diminta untuk menelusuri pikiran-
pikiran negatif yang selama ini dia rasakan. Terdapat sekitar 6 pikiran dan perasaan negatif yang
dimiliki oleh subjek. Terapis meminta 1 pikiran dan perasaan negatif yang paling menganggu untuk
diselesaikan sebagai prioritas. Pikiran yang paling menganggu tersebut adalah pikiran merasa
diperhatikan dan diolok-olok saat lewat di hadapan orang banyak. Peneliti masuk pada tahap testing
realita, di mana subjek diminta untuk menelesuri situasi yang membuatnya berpikir negatif dan
pikiran otomatis yang muncul dalam situasi tersebut. Subjek akhirnya bisa melihat bahwa tidak ada
bukti- bukti yang menguatkan pikiran otomatis negatifnya tersebut. Pada bagian akhir, terapis
memberikan teknik stabilisasi point of power yang berguna untuk memberikan penguatan dan energi
positif pada subjek. Setelah semua tahap pada sesi 1 selesai, subjek mengatakan SUDnya pada level 5.
Terapis memberikan penugasan homework berupa lembar thought catching pada subjek, agar subjek
dapat mengidentifikasi pikiran dan emosi negatif yang muncul, untuk dibahas pada sesi berikutnya.
Tabel 4 Thought Catching PIKIRAN NEGATIF PERASAAN SITUASI Meyakini dirinya tidak
berguna, tidak ada orang yang menyayangi dirinya Sedih, marah, kecewa Ibu memarahi subjek Sesi II
Sesi kedua dibuka dengan identifikasi SUD subjek yang berada pada level 5. Pada pertemuan ini,
subjek diberikan penjelasan mengenai teknik cognitive rehearsal yang berguna untuk mengaktivasi
pengalaman positif saat melakukan kegiatan, terutama saat melakukan kegiatan seorang diri. Subjek
ternyata masih merasakan beberapa pikiran negatif, sehingga terapis kembali melakukan proses
thought catching dan testing realita. Pada tahap akhir, terapis memberikan teknik stabilisasi safe place
untuk menciptakan dan memberikan keyakinan pada subjek bahwa ada tempat aman yang bisa kapan
pun dia kunjungi. Pada sesi ini, SUD subjek turun pada level 3. Terapis meminta subjek untuk
menuliskan semua pikiran dan perasaannya dalam format tabel khusus, yang akan dijabarkan di akhir
sesi. Sesi III Pada sesi ketiga, ternyata masih ada pikiran-pikiran negatif yang muncul pada subjek,
sehingga terapis meminta subjek untuk menyampaikan terlebih dahulu apa yang sedang dia rasakan.
Subjek juga belum mengerjakan tugas cognitive rehearsal¸karena subjek belum sempat

153
beraktivitas sendiri. Pada waktu satu pekan belakangan, subjek merasa terancam dan terganggu
dengan seseorang yang ingin tahu tentang dirinya. Oleh karena itu, subjek tidak berani beraktivitas
sendirian. Terapis membantu subjek untuk mengenali potensi positif dirinya dan meminta subjek
untuk melakukan hal tersebut dengan tujuan membangkitkan energi positif yang dia miliki. Pada akhir
sesi, subjek diberikan homework cognitive rehearsal.

Sesi IV Subjek datang ke sesi 4 dengan SUD

pada level 4. Subjek sudah melakukan homework cognitive rehearsal dan merasakan ada kesenangan
saat melakukan aktivitas seorang diri. Namn subjek masih mengakui bahwa ada banyak perasaan dan
pikiran yang dia pendam. Seringkali perasaan dan pikiran tersebut menganggu aktivitasnya. Pada sesi
ini, terapis menanyakan kesiapan pada subjek apabila dilakukan sesi tambahan sebagai proses
proyeksi perasaan dan pikirannya. Subjek menyatakan bersedia.

Tabel 5 Isi tulisan Subjek Tanggal Pokok Tulisan Aspek Emosional Aspek Spiritual 10 April 2014
Entah apa yang aku pikirkan, aku tak pernah merasa tenang dan nyaman, seperti ada perasaan berdosa
terhadap apa yang pernah aku lakukan. Hari-hariku terasa melelahkan. Apakah Tuhan masih sayang
padaku? Aku butuh petunjuk dariNya. Aku takut Tuhan melupakanku, karena aku juga sering
melupakan Tuhan. Tidak nyaman Lelah - Rasa berdosa - Mengharap petunjuk dari Tuhan 15 April
2014 Banyak tugas kuliah yang harus aku selesaikan, sayangnya aku merasa terlalu lelah untuk
melakukannya. Aku sepertinya juga harus bekerja untuk mendapatkan uang jajan. Ibu tidak pernah
lagi memberiku uang. Kepalaku rasanya pusing sekali, jantungku juga sering berdebar kencang. Apa
yang harus aku lakukan. Mungkin lebih baik aku diam sejenak, berdoa, dan sholat. Rasa lelah
Khawatir Pasrah Meminta pada Tuhan 20 April 2014 Setelah beberapa proses terapi, aku merasa lebih
baik. Aku mulai mendekatkan diri lagi kepada Tuhan, semoga Tuhan mau memaafkan semua dosaku
dulu. Perasaan lebih baik, positif Mendekatkan diri kepada Tuhan

154

Tanggal Pokok Tulisan Aspek Emosional Aspek Spiritual 25 April 2014 Awalnya terasa cukup sulit
untuk memulai ini semua, berubah ke arah yang lebih positif. Seperti berjuang melewati masa kritis
karena takut apa yang keluar dari mulutku akan ditertawakan. Tapi semua ini akhirnya menjadi lebih
baik ketika aku terus bisa mengungkapkan perasaan negatif, tanpa dicap bersalah. Alhamdulillah...
Semuanya atas kuasa Tuhan juga. Aku ingin berbagi perasaan bahagia ini bersama teman-teman.
Setidaknya, dengan mengingat Tuhan, aku tidak lagi merasa sedih dan terlupakan. Emosi positif
Bersyukur Berbagi kebahagaiaan 30 April 2014 Mungkin saat ini aku sedang bahagia. Lebih bisa
merasakan energi positif mengalir di dalam diriku. Aku senang sekali atas semua perasaan ini. Aku
sekarang bisa menikmati lagi semua kegiatan yang dulu pernah aku lakukan. Mungkin dulu Tuhan
pernah marah dengan sikapku, namun aku yakin, kalau aku mau berubah, Tuhan pasti akan
memaafkan semua kesalahanku. Bahagia Syukur, Niat bertaubat

Tabel 6 Kondisi Pikiran Pasca Intervensi Minggu IV April 2014 Senin Selasa Rabu Kamis Jumat
Sabtu Minggu

Pesimis terhadap masa depan

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Pikiran bersalah dan dipersalahkan oleh lingkungan

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Pikiran bunuh diri Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Keyakinan bahwa diri tidak berguna Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tidak ada

155

Tabel 6 dan 7 menunjukkan ada perubahan kondisi pikiran dan perilaku subjek dibandingkan dengan
situasi sebelum intervensi. Sebelum intervensi, subjek kerap mengalami distorsi pikiran yang
membuatnya tidak nyaman dengan diri sendiri. Subjek masih meneruskan aktivitas menulis hingga
setelah proses intervensi berakhir. Menurut subjek, tulisan-tulisan yang dibuatnya sangat membantu
untuk memetakan pikiran negatif yang kerap muncul dan mengganggu keyakinan subjek terhadap
masa depannya. Berdasarkan hasil asesmen, tampak bahwa pola kepribadian subjek saat ini (usia
dewasa) dipengaruhi oleh pembiasaan dari lingkungan dan faktor genetis keluarga. Sejak kecil, ibu
mendidik subjek dengan memberikan hukuman fisik dan minim afeksi. Sementara ayah tidak terlalu
memperhatikan perkembangan subjek. Kekerasan fisik dan verbal yang diterima subjek dari ibunya
menimbulkan trauma psikologis dan kebiasaan memendam perasaan. Subjek tidak terbiasa untuk
mengungkapkan emosinya kepada orang lain, karena subjek belajar bahwa pengungkapan emosi akan
membuat orang lain tidak menyukainya. Subjek juga tidak mendapatkan kepercayaan dan rasa aman
dari figur lekat terdekatnya (ibu). Subjek menjadikan ibu sebagai sosok yang ditakuti karena kerap
memberikan hukuman fisik dan verbal. Saat

dewasa, subjek juga menyimpan kemarahan dengan figur ibu karena akumulasi perlakuan ibu yang
tidak menyenangkan terhadap subjek. Ketiadaan rasa aman sejak kecil membuat subjek mudah curiga
dan tidak mudah percaya dengan orang lain. Subjek menilai orang lain yang mendekatinya hanya
akan mengambil keuntungan dari dirinya. Hasil intervensi menunjukkan bahwa pendekatan kognitif-
perilaku dengan teknik menulis spiritual-emosional efektif menghilangkan episode depresif sedang
yang dialami oleh subjek. Hasil pengukuran dengan menggunakan skala HDRS pasca intervensi
menunjukkan angka 9, yang artinya subjek berada pada level normal. Hal ini sejalan dengan
penelitian Smyth (2008; Fikri, 2012) tentang terapi menulis membuktikan bahwa terapi menulis
mampu memperbaiki suasana hati dan pertumbuhan yang positif pasca trauma bagi para PTSD,
meskipun efek terapinya tidak mampu menurunkan tingkat keparahan gejala PTSD. Pennebaker
(1997) juga menjelaskan bahwa menulis mengenai pengalaman emosional, peristiwa traumatis dan
kejadian menekan yang menyebabkan stres atau situasi stressful akan berpengaruh terhadap kesehatan
mental seseorang, kemampuan untuk mengelola dan menurunkan stres, mendapatkan insight atau
pemahaman, mengurangi keluhan-keluhan fisik, meningkatkan sistem kekebalan tubuh

Tabel 7 Kondisi Perasaan/Perilaku Pasca Intervensi Minggu IV April 2014 Senin Selasa Rabu Kamis
Jumat Sabtu Minggu

Jantung berdebar kencang saat bangun tidur

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Berkeringat dingin tanpa sebab fisiologis

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Pusing tanpa sebab fisiologis

Tidak ada Ada Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
156

bahkan meningkatkan prestasi akademik dan kinerja pekerjaan. Intervensi pada kasus ini
menambahkan unsur emosional-spiritual dalam setiap tulisan yang dibuat oleh subjek. Unsur spiritual
dilekatkan sebagai motivasi kepada subjek bahwa semua masalah yang dihadapi manusia bisa
diserahkan kepada Tuhan. Adz-Zakiey (2007) menyatakan bahwa motivasi spiritual muncul sebagai
manisfestasi fitrah manusia untuk memenuhi kebutuhan ruhaninya. Kebutuhan ruhani antara lain
berupa keridhaan, kecintaan, dan harapan yang dipanjatkan kepada Tuhan. Inilah motivasi yang ingin
peneliti berikan kepada subjek. Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan terapi menulis
pengalaman emosional diantaranya penelitian Susilowati (Fikri, 2012) menggunakan terapi menulis
pengalaman emosional untuk menurunkan depresi pada mahasiswa tahun pertama. Penelitian ini
menunjukkan bahwa terapi menulis pengalaman emosional merupakan sarana bantu diri yang terbukti
efektif menurunkan depresi pada mahasiswa tahun pertama. Hasil penelitian ini juga terbukti pada
kasus subjek yang mengalami depresi. Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Siswanto (Fikri,
2012) yang menggunakan terapi menulis pengalaman emosional untuk menurunkan simptomsimptom
depresi pada mahasiswa. Hasilnya adalah terapi menulis pengalaman emosional merupakan
mekanisme proses teraupetik yang berpusat pada proses penyingkapan diri. Kaloeti (2007; Fikri 2012)
juga melakukan penelitian menggunakan terapi menulis pengalaman emosional untuk mengelola stres
pada penyalahguna NAPZA, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa menulis pengalaman emosional
dapat menurunkan tingkat distres karena membantu individu untuk belajar membuka diri, bersentuhan
dengan diri pribadi dan mengenal emosinya dengan lebih baik. Tulisan, dalam konteks penelitian ini,
menjadi mediator antara pikiran internal subjek dan kondisi nyata dunia yang dihadapinya. Melalui
tulisan subjek mampu melihat lebih jernih bagaimana bentuk situasi yang selama ini dia hadapi.
Tulisan menjadi semacam bingkai pikiran yang menyatukan pikiran dan perasaan subjek yang selama
ini terdisintegrasi. Hal ini sesuai dengan konsep terapi kognitif- perilaku yang merekonstruksi cara
berpikir individu dan membiasakan perilaku baru yang lebih adaptif. Setelah pikiran berhasil
direkonstuksi, subjek memiliki pemahaman baru bahwa dia kembali menjadi manusia baru yang lebih
bahagia dan Tuhan senantiasa mengampuni dosa hambaNya yang bertaubat. Simpulan Kesimpulan
yang diperoleh dari penelitian ini adalah terapi menulis yang dilekatkan dengan pendekatan kognitif
perilaku mampu merekonstruksi pikiran dan perilaku subjek, sehingga mampu lebih positif dalam
memandang diri dan dunia sekitarnya. Aktivitas menulis dapat menjadi media rekonstruksi pikiran
dan perasaan, sehingga subjek mampu melihat masalah yang dihadapinya dengan lebih jernih. Unsur
emosional-spiritual memberikan dampak signifikan karena subjek mampu melihat bahwa Tuhan
selalu ada dan tidak pernah meninggalkannya. Unsur emosional- spiritual memiliki dampak positif
pada kasus depresi karena mampu memberikan harapan, sesuatu yang hilang dalam diri individu yang
mengalami depresi. Saran dalam penelitian ini ditujukan kepada subjek dan peneliti berikutnya.
Subjek dalam kasus ini perlu meneruskan perilaku adaptif seperti

157

menulis dan merefleksikan pengalamannya dalam media tertentu. Saran kedua adalah penelitian ini
menggunakan subjek kasus tunggal. Oleh karena itu, peneliti berikutnya diharapkan dapat
menggunakan teknik ini pada kasus serupa dalam jumlah responden yang lebih banyak.

Daftar Pustaka Adz-Dzakiey, H. B. (2007). Psikologi Kenabian: Menghidupkan Potensi dan


Kepribadian Kenabian dalam Diri. Yogyakarta: Beranda Publishing. Davey, G. (2008).
Psychopathology: Research, Assessment, and Treatment in Clinical Psychology. United Kingdom:
Blackwell Publishing Dobson, S., & Dozois, J.A. (2008). Risk Factors in Depression. Amsterdam:
Sacademic Press Publication. Fikri, H. T. (2012). Pengaruh Menulis Pengalaman Emosional dalam
Terapi Ekspresif terhadap Emosi Marah pada Remaja. Jurnal Humanitas vol IX no 2 Agustus 2012.
Ismail, I. R., & Siste, K. (2013). “Gangguan Depresi”. Dalam Sylvia D. Elvira dan Gitayanti
Hadikusumo (para editor). 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. 2013. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kaplan, H. I & Sadock, B. (1997). Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Ed. Ketujuh Jilid I (penerjemah Widjaja Kusuma). New York:
New York University Medical Center. Kazdin, A. E. (2010). Research Design in Clinical: 4thEdition.
Boston: A

Pearson Education Company. Newman, W. L. (2003). Social Research Methods: Qualitative and
Quantitative Approach (5th Edition). Boston: Pearson Education. O’Hea, E. (2008). The Use of
Cognitive Behavioral Therapy in The Treatment of Depression for Individual with Congestive Heart
Failure. Journal of Springer Science ed 14 pg 13-20. Pennebaker, J. W. (1997). Writing About
Emotional Experiences as A Therapeutic Process. Journal of Psychological Science Vol 8 no 3 1997.
Qonitatin, N., Widyawati, S., & Asih, G. Y. (2011). Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif
sebagai Intervensi Depresi Ringan pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi Undip vol 9 no 1 April 2011.
Rosdaniar. (2012). Efektivitas Terapi Pemaafan dengan Dzikir sebagai Alternatif Terapi untuk
Menurunkan Tingkat Distres Pada Istri sebagai Korban Perselingkuhan Antara Suami dan Ibu
Kandungnya: Sebuah Studi Kasus. Tesis dari Magister Psikologi Profesi Universitas Islam Indonesia
(tidak diterbitkan). Santrock, J. W. (2002). Perkembangan Masa Hidup. Terjemahan dari Life Span
Development, alih Bahasa Juda Damanik dan Achmad Chusairi, jilid I edisi kelima Jakarta: Erlangga.
Spiegler, M. D & Guevremont, D.C. (2010). Contemporary Behavior Therapy Fifth Edition. USA:
Cengage Learning.
PENGARUH PSIKOTERAPI SPIRITUAL TERHADAP PENINGKATAN HITUNG SEL T-CD4+
PADA PENDERITA HIV/AIDS SPIRITUAL PSYCHOTHERAPY EFFECT TO INCREASE
CD4+ COUNT IN HIV /AIDS PATIENTS.

M. Faisal Idrus,1 Jayalangkara T, 1 Syamsu, 2 Ilham,3

1Department of Psychiatry, Medical Faculty of Hasanuddin University 2Departement of Internal


Medicine, Medical Faculty of Hasanuddin University 3Departement of Physiology, Medical Faculty
of Hasanuddin University

Alamat Korespondensi : M. Faisal Idrus Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas


Hasanuddin Makassar, HP : 081524966494 Email : faisalidrus@yahoo.com

Abstrak

HIV/AIDS adalah penyakit infeksi virus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh ditandai
dengan penurunan hitung sel CD4+. Penurunan hitung sel T-CD4 ini disebabkan oleh karena proses
penghancuran sel limfosit T oleh human immunodificiencies virus Sedangkan psikoterapi spiritual
adalah bentuk pengobatan kejiwaan yang memberikan ketenteraman, kedamaian, dan kebahagiaan
jiwa. Ketenangan jiwa diharapkan akan membangkitkan respons imunitas tubuh individu. Penelitian
bertujuan untuk mengetahui pengaruh psikoterapi spiritual terhadap hitung sel T-CD4. Ini adalah
penelitian quasi experimental pretest-post-test control group design dengan jumlah sampel 40 orang
penderita HIV/AIDS yang dipilih secara purposive sampling. Penelitian ini dilaksanakan di Pokja
HIV/AIDS dan bangsal rawat inap RS BLU. Dr. Wahidin Sudirohusodo. Makassar. Sampel dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu 10 orang kelompok rawat inap yang mendapat psikoterapi spiritual
secara intensif, 10 orang dari Lapas Bolangi yang mendapat psikoterapi spiritual yang kurang intensif
dan 20 orang kelompok kontrol yang tidak mendapat psikoterapi spiritual. Analisa statistik dengan
menggunakan uji Wilcoxon test. Hasil analisis CD4+ serum berbeda secara bermakna (p < 0,05)
antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Setelah perlakuan pada kelompok rawat inap
hitung sel T-CD4 serum meningkat dari 15 menjadi 160, tetapi kelompok lainnya (kelompok bolangi
dari 446,50 menjadi 365,50 dan kelompok kontrol dari 424,5 menjadi 201,0) mengalami penurunan,
terutama pada kelompok kontrol (tabel 2 dan 3). Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 10 orang
kelompok rawat inap, semuanya mengalami peningkatan kadar CD4+ serum, sedangkan pada
kelompok Bolangi hanya 3 orang (30%) diantara 10 orang kelompok kontrol, dari 20 orang hanya 1
orang (5%) mengalami peningkatan kadar CD4+ serum, 19 orang (95%) lainnya mengalami
penurunan. Kata kunci : Psikoterapi spiritual – relaksasi – hitung sel T- CD4

ABSTRACT

HIV / AIDS is a viral infection that causes decrease of immunity system characterized by decrease
CD4+ T lymphocyte counts. Low CD4 T-cell counts are considered due to destruction of lymphocytes
T by human immunodeficiency virus. The spiritual psychotherapy is a form of psychiatric treatment
that provides peace, and happiness of the soul. Peace of mind is expected to generate individual
immune response. Objective to determine the effect of spiritual psychotherapy to CD4 T-cell count.
This is a quasi experimental study pretest- posttest control group design of 40 sample with HIV /
AIDS who were selected by purposive sampling. This research was conducted in the HIV / AIDS
Working Group and hospital inpatient BLU. Dr. Wahidin Sudirohusodo. Makassar. The samples were
divided into two groups, the treatment group of 10 inpatient who received intensive spiritual
psychotherapy, 10 sample from Lapas Bolangi and 20 control group who did not receive supportive
psychotherapy. Statistical analysis using the Wilcoxon test. The results of the analysis of CD4 +
serum between the treatment and control groups was significantly different (p <0.05). After treatment,
the CD4 T-cell count in the inpatient group increased serum from 15 to 160, but in the other groups
(group bolangi from 446.50 to 365.50 and the control group from 424.5 to 201.0) was decreased,
especially in the control group (Tables 2 and 3). Table 4 shows that of the 10 inpatient samples
group, all had increased levels of CD4 + serum, whereas in the group Bolangi only 3 samples (30%)
among the 10 sample of the control group , of 20 sample only 1 person (5%) had increase of CD4 +
serum , and 19 sample (95%) had decrease Keywords: Spiritual Psychotherapy – relaxation - CD4
count

INTRODUCTION HIV / AIDS is now a priority public health problem in the world and gets a very
serious attention. Disease caused by HIV (Human Immunodeficiency Virus) causes decreased level
of immunity. (Adler MW, 1996; Irwin M., (2001). Decreased immunity level will facilitate the entry
of other germs into the body whether pathogenic or non-pathogenic. These other infections is known
as. "Opportunistic - infection ". Virus is transmitted through infected body fluids, especially blood and
semen. (Barlett JG, 2007). Standardized tests assessing prognosis of AIDS progression was
determined by measuring the increase in viral load or" viral load "and a decrease in CD4 cell count.
Disadvantaged areas with limited examination of CD4 + cell count can be replaced by a count of total
lymphocytes or total lymphocyte count (TLC) (Barlett JG, 2007; Irwin, 2001). At the end of 2010, it
is estimated that there are about 34 million people living with HIV, 30.8 million are adults, 3.4 million
are children. New infections in adults are 2.7 million, 390,000 are children and 1.8 million deaths
from AIDS. (Http://www.avert.org/worldstats.htm. UNAIDS (2010). Statistics data of the HIV /
AIDS cases in Indonesia were reported cumulatively from April 1, 1987 s / d December 31, 2011 are
derived from Direktorat Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan RI (2003). Cumulative cases of
HIV was 76,879 people and AIDS was 29 879 people and the number who died (mortality rate) was
5430 people . Sulawesi Selatan number of HIV / AIDS was ranked 8th of 33 provinces in Indonesia,
that is 2448 HIV cases and 874 AIDS cases. (Direktorat Jenderal PP & PL RI Departemen Kesehatan
RI February 29, 2012). One of the interventions that needed to be considered to cope with the rate of
progression of the disease is through religious activities (meditation, devotions and prayer) that
triggers the relaxation response and helps the body to relax and to calm the mind (Ayad A, (2008).
Relaxation response, spearheaded by Herbert Benson. Dr. Benson explained as a response to the
body's relaxation response, which produces physiological changes, while individuals involved in
mental activity repeatedly and consciously ignore negative thoughts intrude. Dr. Benson has shown
scientific evidence of the physiological changes that occur during the relaxation response, such as a
decrease in heart rate, blood lactate and rapid decline associated with low levels of anxiety and lower
blood pressure in people with hypertension. Relaxation response gives individuals the ability to
control the activity of physiological, self-control and peace (Pasiak T, 2012. Benson H, 2000).

According Hawari, D (2005) psikoreligius therapy or psikospiritual will raise the confidence (self-
confident) and a sense of optimism. Two of these (self-confidence and a sense of optimism) is
important for the healing of a disease in addition to drug therapy and other medical treatment (Hawari,
D., 2002). From the results of research in this area that was done by Snyderman (1996), produced a
conclusion, states that "medical therapy alone without prayer and dhikir is incomplete; otherwise
prayer and dhikr without medical therapy is not effective". Similarly opinions of Christy (1998) which
states that "prayer and remembrance as well as a drug (prayer as medicine)" (Hawari, D. 2010).
Woods (1999) from the University of Miami found that HIV-positive patients who were actively
running religious services showed that the number of CD4 + and percentage CD4 + (T-helper inducer
cells) was increase, which means that the function of the immune system were running well. Ironson
(2000) conducted a study on the influence of religion / spirituality in the immune system of HIV /
AIDS concluded that religion plays an important role in extending the age of a person suffering from
HIV / AIDS. (D Hawari, 2002). Harold G. Koenig on the first study of 87 patients with depressive
state who were -religious recover faster than those without religion (Koenig, HG, et al, 1992). In the
second study of 1700 elderly showed immunity factor of the pious people who were significantly
better (Koenig, HG 1996) .. This issue is an interesting thing for me. So I decide to pay attention and
to see whether the spiritual psychotherapy by religion activity (dzikir, praying, meditation, etc) can
affect the increasing of health recovering in patients with HIV/AIDS. This study is aimed to
determine the effect of spiritual psychotherapy for CD4 + cell count

MATERIALS AND METHODS Location and design This study was conducted at the hospital of Dr.
Wahidin Sudirohusodo with quasi experimental design with pretest-posttest control group design to
examine the influence of spiritual psychotherapy to CD4 + T-cells Population and Sample. The study
population was HIV inpatient and outpatient in the working group of HIV / AIDS (Infection Center)
at BLU RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo and in Lapas Narkoba Bolangi. Samples were patients with
HIV (+) as evidenced by the results of a reactive rapid test methadone treatment clinic and inpatients
in RS.Dr. Wahidin Sudirohusodo and Drug

Bolangi prison. Sampling was done by purposive sampling, ie sampling conducted on the basis that
the subject can provide sufficient information to answer the research question (Sastroasmoro &
Ismael, 2002). Data Collection and Analysis Data from subjects were collected from outpatient status
in the clinic and inpatient HIV / AIDS patients who were treated dibangsal and of Prison Drug
Bolangi. to assess the patient's level of immunity by the measurement of CD4 T-cell count. The
statistical analysis used in this study is the analysis of the Wilcoxon test for small sample amounts.
Presentation of the results in tables and described descriptively linearly with the percentage.

RESULTS. The study collected 40 people with HIV who meet the criteria of the sample. Group
consisted of 10 inpatients, 10 people were treated at Bolangi and 20 ambulatory care (control). The
distribution of age groups, gender, education, occupation and marital status in all three groups can be
seen in table 1.Table 1 shows that all three groups can be considered homogeneous by gender, age
group, education level, occupation, marital status (p> 0.05). After treatment, in the inpatient
group, the CD4 T-cell serum count was increased from 15 to 160, but in the other groups (group
bolangi from 446.50 to 365.50 and the control group from 424.5 to 201.0) was decreased, especially
in the controls (Tables 2 and 3). Table 4 shows that of the 10 sample group hospitalization, all had
increased levels of CD4 + serum, whereas in the group Bolangi only 3 sample (30%) among the 10
sample and in the control group of 20 sample only 1 person (5%) had elevated levels of CD4 + serum
, 19 sample CD4’s (95%) was declined. Graphic 1 shows the changes in CD4 T-cell count in the
group received spiritual psychotherapy (inpatient group) and the group that did not receive spiritual
psychotherapy (Bolangi group and the control group) after three months. In the group receiving
intensive treatment (inpatient) , the number of CD4 T-cells increased. Whereas the other two groups
had decreased CD4 T-cell count, especially in the control group.
DISCUSSION In the last two decades a number of studies have demonstrated the success of spiritual
care. The study comes from a wide number of areas and is associated with religious and

spiritual practices. (Fenwick P, (2003) Most studies on spiritual care is associated with meditation.
(Mohandas E. 2008. Newberg AB, Iversen J., 2003). Meditation will evoke the relaxation response
which will work through psychoneuroimmunology. Psychoneuroimmunology is a science system that
connects medical psycho (emotions, thoughts), neuro (reflexes, neuroendocrine), Immunology
(cellular immune system and humoral immune system)
(http://www.drpaulose.com/spirituality/psycho-neuro-immunology- pni. (Madeline M., Lorentz RN,
2006. Pasiak T, 2012). The relationship between these three systems is aime to maintain body
homeostasis. This relationship through the two subsystems, namely, hypothalamic-pituitary-adrenal
(HPA axis) and the autonomic nervous system (SSO). ( Pasiak T, 2012. Madeline M., Lorentz RN,
2006) The results of this study indicate that the group who received spiritual psychotherapy adjuvant
had increased CD4 T-cell count, especially those with CD4 T-cell count was initially low, while at the
group did not getting the adjuvant spiritual psychotherapy had decreased CD4 T-cell count despite of
the high initial CD4 T-cell count . This suggests that the increased levels of CD4 in spiritual
psychotherapy adjuvant group is believed to be the effects of adjuvant spiritual psychotherapy.
According Pasiak (2012) psychotherapy works to increase the development of cognition, emotion,
and behavior skills. Psychotherapy is also enhance the development of neurons and neuronal networks
integration. Changes that occur at the brain is in line with the changes in glucose metabolism,
neurotransmitter concentrations and blood flow, which in turn will boost the immune system (CD4 +).
Behavior spiritual (meditation, prayer and dhikr). freeing our minds from the superstitions, doubts and
thoughts that lead to sin, and filled with love, affection, and reflect on God's creation gives us a
feeling of tranquility and peace. (Ayad A, 2008). This spiritual healing mechanism psychotherapy
through two pathways, namely the hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA axis) and the autonomic
nervous system (SSO). (Pasiak T, 2012. Madeline M., RN Lorentz, 2006). HPA axis is the stress
management system which aims to maintain a homeostatic state of the body through the control of the
hormone cortisol, HPA axis and cytokines that affect each other. (Pasiak T, 2012) The results are
consistent with the results of research carried out by "Natural Pharmacist" to 40 first-stage cancer
patients. They were divided into two groups, then they are asked to implement the religious teachings,
especially prayers and prayer. Six days in a week for ten weeks. The patients undergoing therapy and
treatment for six months. And the

changes are clearly visible in the group of patients who were devout prayer. The researchers believe
that sample are obedient worship such as prayer and prayer less likely to develop the disease, either
mental illness or physical diseases. They also have greater strength to bear the pain and endure the
pain. They also have a stronger and more stable soul that they can avoid the stress, anxiety, and
despair. Not only that, they also have a healthier body and if they get pain, the recovery process goes
faster. (Elzaky J, 2011) This is also in line with what was reported by the Magazine "Psychosomatic
Medicine" , conducted a study involving two groups of respondents, namely 78 patients were black
and 77 white men, whose ages varied between 25 and 45 years. The two groups were separated in the
study because African Americans tend to be more religious and more obedient to run prayer groups
and prayer than whites. The patients were then asked to carry out the commands of religion more
obedient and reverent, especially prayer and prayer. The results showed that a lot of prayer and prayer
they do can reduce high blood pressure, especially in black patients. Disease that affects the white
patients did not experience any significant change because they are more lazy followers pray and
prayer. (Elzaky J, 2011) Snyder states that "medical therapy alone without prayer and dhikr is
incomplete; otherwise prayer and dhikr without medical therapy is not effective". (Hawari D, 2002).
While Einsein stated that "Science without religion is blind, while science without religion is lame (D
Hawari, 2002). In a hadith the Prophet said:" "Every disease is curable. If proper medication is given,
by Allah's disease cured ". (Narrated by Ahmad and Hakim Bukhari Saheeh Muslim). So in treating a
patient , we should not just focus on medical therapy alone, but we should also pay attention to the
spiritual aspect of the patient.

CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS This study gives us an understanding of the linkages


between health and religion / spiritual . From this study can be concluded that spiritual psychotherapy
can influence the increasing of the CD4 cell count through HPA axis activity and Autonomic
Nervous System (SSO). This spiritual power is the power that is not limited because it comes from
God the Creator that can be used to help the healing process. Therefore, in providing treatment to
patients, we need to pay attention to the spiritual aspects of the patient to help achieve a cure

REFERENCES. Ayad A, (2008). Meditation and Dhikr-Allah. Healing Body & Soul. International
Islamic Publishig House. Riyadh Saudi Arabia. 409-418. Adler MW, (1996). Perkembangan
Epidemiologi, dalam Petunjuk Penting AIDS, edisi ketiga. Alih Bahasa : Ken Ariata Tengadi. EGC,
Jakarta,.hlm 1-4 Bartlett JG, Gallant JE, (2007). Medical Management of HIV Infection. John
Hopkins University Medicine: Johns Hopkins Medicine Health Publishing Business Group,
Baltimore. Benson H, Proctor W, (2000). “Keimanan Yang Menyembuhkan dasar-dasar respon
relaksasi” Alih bahasa : dr. Nurhasan. Penyunting : Ary Nilandari. Cetakan 1. Penerbit Kaifa..
Bandung. Januari. hal. 34.

Christy M, (1998). “Prayer as Medicine”. Forbes. 136-137.

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Departemen


Kesehatan RI (2003). Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA,
Departemen Kesehatan RI., Jakarta, Elzaky J, (2011). "Fushul fi Thibb al-Rasul (Buku Induk
Mukjizat Kesehatan Ibadah)", Alih Bahasa : Dedi Slamet Riyadi MA, Cet 1. Penerbit Zaman, Jakarta

Fenwick P, (2003). The Neuroscience of Spirituality. www.rcpsych.ac.uk/.../...

Hawari D, (2002). Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Gaya Baru, Jakarta. Hawari D, (2005).
Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Cetakan ke-2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Hawari D, (2010). Panduan Psikoterapi Agama (Islam). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta Ironson G, Stuetzle R, Fletcher M A, et all (2006). An Increase in Religiousness / Spirituality
Occurs After HIV Diagnosis and Predicts Slower Disease Progression over 4 Years in People with
HIV, Gen Intern Med, 21(S5): S62–S68 Irwin M, (2001). Low Cd4+ T Lymphocyte counts
http://www.virusmyth.com/aids/hiv/milowcd4. Kaplan HI, Sadock BJ, (2000). Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS), Pocket Handbook of Clinical Psychiatry , 6 th ed, William & Wilkins,
Baltimore USA, , p297 – 303 Koenig HG, Cohen HJ, Bazer DG, et al, (1992). Religious coping and
depression in elderly hospitalized medically ill men, American Journal of Psychiatry, 149: 1693-1700

9
Koenig HG, (1996). Depressive disorder in hospitalised medically ill elders, Funded by National
Institutes of Mental Health, grant # MH01138. Madeline M, Lorentz RN, (2006). Stress and
Psychoneuroimmunology. Alternative Journal of Nursing. Issue 11.p1-11 Mohandas E. (2008).
Neurobiology of Spirituaity. Mental Health, Spirituality, Mind Volume : 6 page : 63-80 Newberg
A.B, Iversen J, (2003). The neural basis of the complex mental task of meditation: neurotransmitter
and neurochemical considerations, Med Hypotheses , 61 : 2, p 282- 291.

Pasiak T, (2012). Pikiran Yang Mengubah Otak. Tuhan Dalam Otak Manusia Mewujudkan Kesehatan
Spiritual Berdasarkan Neurosains. Cetakan 1. Mizan Media Utama, Bandung. hal 51-76.

Sastroasmoro S, Ismael S, 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Sagung Seto, Jakarta

Sayyid AB, 2008. Terapi Spiritual dan Psikologi. Kekuatan Ruhiyah (The Spiritual Power). Alih
Bahasa : Sibawea Lc. Ziyad Visi Media. Surakarta. 12- 32 Snyderman, 1996. Religious Approach in
the Medical Treatment. Faculty of Medicine. Duke University. Woods TE, Antoni MH, Ironson GH,
Kling DW., (1999). Religiosity is associated with affective immune status in symptomatic HIV-
infected gay men. Journal of Psychosomatic Research.;46(2):165–176.

10

LAMPIRAN

Tabel 1. The Three Groups Demography

Charateristic

Group

In patient (n=10)

Bolangi (n=10)

control (n=10)

Age (year) 20 – 29 4 6 10 p=0,469 30 – 30 5 4 10 40 – 49 1 0 0 Gender Male 7 10 15 p=0,179 Female


3 0 5 School SD 0 0 2 p=0,201 SMP 4 0 3 SMA 6 8 11 D3 0 0 1 S1 0 2 3 Job No 4 6 15 p=0,172 Yes
6 4 5 Marital status Not yet 5 5 6 p=0,589 Marriage 4 5 13 Widow 0 0 1 Widower 1 0 0

Tabel 2. Difference CD4 serum before perlakuan three groups

11

Variable

Group Kruskal Wallis Test

In patient (n=10)

Bolangi (n=10)

Control (n=20)

CD4 before 87,10 (148,14)a 531,30 (286,82)b 438,80 (325,41)b p=0,001 CD4 after 253,70 (250,91)
484,70 (341,40) 275,30 (234,98) p=0,120
Tabel 3. The changes of CD4 after spiritual psychotherapy on three groups

Variable

roup g

Before

After

Changes

Min-Maks Median Min-Maks Median Median

CD4+ In Patient 2 – 399 15,0 7 – 720 160,0 73,0 Bolangi 198 -1033 446,50 229 -1280 365,50 - 66,5
Control 6 – 1240 424,5 3 – 751 201,0 -126,0

Tabel 4. The difference of CD4 on three groups

Changes P value Increase Decrease/stabil

CD4 Count

In patient 10 0 p=0,000 Bolangi 3 7 Control 1 19

12

Graphic 1. The Amount of CD4+ count Before and after the therapy.
Terapi Spiritual Islami Suatu Model Penaggulangan Gangguan Depresi (Ahmad Razak dkk)

141

TERAPI SPIRITUAL ISLAMI SUATUMODEL PENANGGULANGAN GANGGUAN DEPRESI

Oleh: Ahmad Razak, Mustafa Kamal Mokhtar, Wan Sharazad Wan Sulaiman Universiti Kebangsaan
Malaysia ahmadrazak@yahoo.com

Abstract;

Salah satu dampak yang ditimbulkan dalam realitas kehidupan manusia masa kini adalah munculnya
berbagai gangguan psikologis seperti depresi.Gangguan depresi ini terjadi akibat adanya suatu
kesedihan yang sangat mendalam. Perasaan tersebut muncul karena kecewa mengalami situasi yang
sama sekali tak terduga dan tak diharapkan terjadi dalam hidupnya. Depresi dapat terjadi pada setiap
manusia tanpa mengenal batas usia, status, ras, etnis, atau strata sosial. Terapi spiritual Islami adalah
suatu pengobatan atau penyembuhan gangguan psikologis yang dilakuan secara sistematis dengan
berdasarkan kepada konsep al-qur’an dan assunnah. Terapi spiritual islami mengacu kepada konsep
pensucian jiwa (Tazkiyatunnufus), 3 tahap pensucian jiwa, yaitu:takhali (tahap pensucian diri), tahalli
(tahap pengembangan diri), dan tajali (tahap penemuan diri). Terapi spiritual Islami terbukti efektif
memberikan pengaruh terhadap penanggulangan depresi maupun gangguan psikologis lainnya. terapi
spiritual sangat berpengaruh untuk membangun rasa penerimaan diri (self acceptance) sehingga klien
tidak merasa depresi lagi dan menyesali nasibnya. Bahkan sebaliknya klien akan mampu
mengekspresikan perasaannya kepada kehidupan dan kesehatan mental yang lebih baik. Pendekatan
spiritual berperan penting dalam mengekspresikan perasaan dan memberikan kenyamanan bagi klien.
Penerimaan keadaan sakit klien akan mendorong individu tersebut akan lebih dekat dengan Tuhan dan
menerima penyakitnya sebagai cobaan dari Tuhan. Pada terapi spiritual islami, qalbu dan akal pikiran
sebagai sasaran terapi dalam menangani berbagai penyakit psikologis. Terapi spiritual islami bersifat
fleksibel, prefentif, kreatif, dan rehabilitasi.

Kata Kunci: Depresi, Terapi Spiritual

One impact of the reality of human life today is the emergence of a variety of psychological disorders
such as depression. Depression is the result of a deep sadness. The feeling of disappointment
experienced a situation arises that is completely unexpected and expected to happen in his life.
Depression can happen to every human being without knowing the limits of age, status, race,
ethnicity, or social strata. Islamic spiritual therapy is a treatment or cure of psychological disturbance
that was done systematically with the process based on the Qur'an and Assunnah. Islamic spiritual
therapy refers to the concept of purification of the soul (Tazkiyatunnufus), 3-stage purification of the
soul, namely: takhali (self purification stage), tahalli (self-development stage), and the manifestation
(the

Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 14, No. 1, Juni 2013 : 141 - 151

142

stage of self-discovery). Islamic spiritual therapies proven effective in giving effect to the prevention
of depression and other psychological disorders. very influential spiritual therapy to build a sense of
self-acceptance (self-acceptance) so that the client does not feel depressed anymore and bemoan his
fate. Even otherwise the client will be able to express his feelings to the life and better mental health.
Spiritual approach plays an important role in expressing feelings and provide comfort for the client.
Acceptance sickness will encourage the individual client will be closer to God and accept the disease
as a trial from God. In the Islamic spiritual therapy, hearts and minds as a therapeutic target in dealing
with various diseases are fleksible. Islamic spiritual psikology therapy, preventive, creative, and
rehabilitation.

Keywords: Depression, Spiritual Therapy

PENDAHULUAN Di era kekinian, dinamika peradaban ummat manusia terus berputar dan
mengalami perubahan dalam khasanah kehidupan bio-psiko-sosial- dan spiritualnya. Perubahan-
perubahan itu terjadi sebagai konsekuensi modernisasi, industrialisasi, kemajuan sains dan teknologi,
serta gerakan globalisasi. Pola kehidupan manusia cenderung ke arah pola hedonisme, individualisme,
dan permissivisme yang sarat dengan kompetisi, rasionalitas, efektivitas dan efisiensi dalam berbagai
sektor kehidupan yang mengarah kepada kepentingan material.Memang perubahan-perubahan ini
memberikan dampak positif seperti kemudahan fasilitas transfortasi, komunikasi, dan informasi tetapi
juga menimbulkan ekses negatif yang berdampak deskruktif terhadap keseimbangan bio-psiko-sosial
dan spiritual manusia. Fenomena ini bahkan diungkapkan lebih jauh oleh Hawari seorang psikiater
muslim bahwa modernisasi telah membawa perubahan-perubahan psikososial yang ditandai dengan
perubahan-perubahan nilai-nilai kehidupan seperti :Pola hidup sederhana dan produktif menjadi pola
hidup mewah dan konsumtif; Struktur keluarga yang semula extendend family cenderung kearah
nuclear family sampai kepada single parent family; bahkan ada kecenderungan masyarakat moderen
bercorak sekuler dan serba boleh (Permissive society); ambisi karir dan materi yang tidak terkendali
sehingga dapat mengganggu hubungan interpersonal baik dalam keluarga maupun masyarakat. 1.
Salah satu dampak yang ditimbulkan dalam realitas kehidupan manusia masa kini adalah munculnya
berbagai gangguan psikologis seperti depresi.Gangguan depresi ini terjadi akibat adanya suatu
kesedihan yang sangat mendalam. Perasaan tersebut muncul karena kecewa mengalami situasi yang
sama sekali tak terduga dan tak diharapkan terjadi dalam hidupnya.Hal ini tidak hanya terjadi pada
kalangan masyarakat miskin tetapi juga banyak terjadi pada masyarakat pekerja professional karena
mereka menjadi tidak berdaya di atas kemampuannya sendiri.Akibatnya banyak terjadi criminal
seperti pembunuhan ataupun bunuh diri.Berdasarkan survey kesehatan mental rumah tangga
(SKMRT) yang dilakukan oleh

Terapi Spiritual Islami Suatu Model Penaggulangan Gangguan Depresi (Ahmad Razak dkk)

143

jaringan Epidemiologi Psikiatri Indonesia, menemukan ada sekitar 185 dari 1000 penduduk
menunjukkan gejala gangguan depresi. Artinya bahwa dalam setiap rumah tangga di Indonesia
setidaknya terdapat satu orang mengalami gejala depresi2. Para psikiater, dokter, dan psikolog telah
melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi gangguan depresi, seperti:psikoterapi Psikiatrik,
psikofarmaka, terapi somatik, terapi relaksasi, dan terapi perilaku namun mereka juga mengakui
bahwa diharapkan ada bentuk terapi yang lebih maksimal dapat menanggulangi depresi.Para psikolog
sendiri telah meretas sebuah jalan kemungkinan-kemungkinan diterimanya studi terhadap “realitas
yang terobsesi yaitu kekuatan spiritual agama yang bekerja mempengaruhi perilaku-perilaku manusia.
Sebut saja salah satu diantaranya Carl Rogers perintis Client Centered Therapymengungkapkan
bahwa mungkin akanada segelintir orang yang memilih dan berani menyelidiki kemungkinan adanya
sebuah realitas yang syah dan kuat menurut hukum (lawfull reality) yang tak tertangkap oleh kelima
indra kita sebagai realitas dimana masa lalu, masa kini, dan masa depan telah bercampur baur,
dimana jarak bukan lagi halangan dan waktu telah menghilang…. Itulah kiranya tantangan yang
paling mengesankan yang tertuju pada psikologi3. Seiring dengan semakin banyaknya timbul
berbagai kecemasan, stress, keterasingan, kekerasan, egoisme, dan depresi4 sementara semangat
hidup manusia harus tetap berjalan terus, kini masyarakat mulai menggandrungi model-model terapi
berlatar belakang spiritual.Dinegara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti
Indonesia dan Malaysia telah berbunculan terapi-terapi berbau spiritual Islami sebagai sebuah harapan
baru dalam membangun kembali mental dan jiwa ummat manusia yang telah rapuh. Islam sebagai
agama yang universal memang telah mengajarkan kepada ummat manusia agar menjaga diri dan
keluarganya dari ancaman yang membahayakan keselamatannya

Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman jagalah diri dan keluargamu dari bahaya api neraka
(Q.S:66: 6).

PEMBAHASAN Depresi Depresi merupakan suatu penyakit universal yang telah muncul sejak
lama.Di zaman Hippocrates penyakit ini disebut melancholy5. Depresi dapat terjadi pada setiap
manusia tanpa mengenal batas usia, status, ras, etnis, atau strata social. Gangguan depresi bagi setiap
manusia sangat tergantung pada kekuatan mental dan peristiwa krisis yang dihadapinya. Gangguan
emosional ini sering terjadi akibat adanya suatu kesedihan yang sangat mendalam. Perasaan tersebut
muncul karena kecewa mengalami situasi yang sama sekali tak terduga dan tak diharapkan terjadi
dalam hidupnya.

Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 14, No. 1, Juni 2013 : 141 - 151

144

Menurut Burns depresi adalah suatu gangguan yang selalu merupakan akibat pemikiran yang
terdistorsi. 6 Depresi menurut Angold 7 secara khusus dioperasionalkan dalam tiga bentuk. Pertama,
depressed mood, dibatasi oleh satu atau sekelompok gejala yang menyangkut dysphoric affect atau
kesedihan yang sangat. Kedua, depressive symptom, menyangkut gejala-gejala yang secara empiris
diperlihatkan kembali. Ketiga, depressive disorders, diperlihatkan dengan diagnosis kategoris seperti
yang dinyatakan dalam DSM IV dan termasuk dalam mood disorder8. Mood disorder adalah suatu
keadaan perasaan di mana perubahan-perubahan perasaan yang dirasakan jauh lebih menyakitkan dan
mengganggu dibandingkan berbagai perasaan yang wajar dimiliki. Depresi merupakan suatu
gangguan psikologis yang sifatnya universal, dapat terjadi pada siapa pun dan dapat dikatakan bahwa
hampir setiap orang pada masa hidupnya pernah menderita depresi pada tingkat tertentu.Dalam
mengekspresikan keadaan depresi antara individu yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda
caranya.9 Kemudian Maramis memandang depresi sebagai suatu keadaan dengan komponen
psikologik seperti rasa sedih, susah, rasa tak berguna, gagal, kehilangan, tak ada harapan, putus asa,
penyesalan yang patologis, dan komponen somatik seperti tak ada nafsu makan, tekanan darah dan
denyut nadi rendah.10 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa depresi merupakan suatu keadaan
yang berhubungan dengan suasana hati yang dapat diindikasikan dalam semua aspek perilaku baik itu
afeksi, kognisi, maupun konasi. Banyak pendapat yang mengemukakan penyebab terjadinya depresi
namun dapat dikategorikan atas dua factor, yaitu factor dari luar individu (eksternal) dan factor dari
dalam diri individu (internal).Faktor dari luar individu (eksternal) berupa keadaan yang berhubungan
dengan masalah sosial atau sering dikatakan sebagai paradigma psikososial.Sedangkan factor dari
dalam individu (internal) berupa keadaan fisiologis dari tubuh seseorang yang sering disebut sebagai
paradigma biologis.Hal tersebut terjadi karena adanya gangguan hormonal dan neurotransmitter di
otak. Beberapa tinjauan teoretis gangguan depresi: Teori psikoanalisa. Teori ini memandang bahwa
gangguan abnormal disebabkan oleh faktor-faktor intrapsikhis seperti konflik tak sadar, represi,
mekanisme dedefensif yang mengganggu penyesuaian individu. Psikoanalisa beranggapan bahwa
esensi pribadi seseorang bukan terletak pada apa yang ia tampilkan secara sadar (counsiousness),
melainkan apa yang tersembunyi pada alam bawa sadarnya (uncounsiouness). Teori ini beranggapan
bahwa depresi terjadi akibat dari kehilangan obyek yang dikasihi pada masa kanak-kanak. Jadi sangat
terkait dengan peristiwa masa lalunya11 Teori behavioristik. Teori ini berpandangan bahwa perilaku
manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya. Perubahan perilaku
sangat dipengaruhi oleh paradigm stimulus respons (S-R).Lingkungan yang dimaksud di sini adalah
lingkungan objektif dan afektif manusia.12

Terapi Spiritual Islami Suatu Model Penaggulangan Gangguan Depresi (Ahmad Razak dkk)

145

Teori Kognitif. Teori ini beranggapan bahwa depresi dapat terjadi oleh karena adanya situasi pikiran
negative, pessimistic, perasaan bersalah dan mengecilkan dirinya sendiri. Akibatnya individu akan
kehilangan motivasi dan gairah hidup. Ia merasa bahwa hidupnya tidak berharga dan tidak bermakna
lagi.13 Teori Sosiokultural. Teori ini beranggapan bahwa gangguan mental dan emosi disebabkan
oleh keadaan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosialnya seakan-akan memaksa individu untuk
berbuat di luar batas kemampuannya demi untuk memperoleh tuntutan lingkungannya. Jika tidak
berhasil maka akan memperoleh pencitraan negative dan terisolasi dari komunitasnya dan pada
akhirnya jiwa menjadi terganggu (Slamet & Markam, 2003).

Terapi Spiritual Islami Terapi spiritual Islami adalah suatu pengobatan atau penyembuhan gangguan
psikologis yang dilakuan secara sistematis dengan berdasarkan kepada konsep al-qur’an dan assunnah
14.Terapi spiritual Islami memandang bahwa keimanan dan kedekatan kepada Allah adalah
merupakan kekuatan yang sangat berarti bagi upaya perbaikan pemulihan diri dari gangguan depresi
ataupun problem-problem kejiwaan lainnya, dan menyempurnakan kualitas hidup manusia.Pada
dasarnya terapi spiritual islami tidak hanya sekedar menyembuhkan gangguan- gangguan psikologis
tetapi yang lebih substansial adalah bagaimana membangun sebuah kesadaran diri (self awareness)
agar manusia bisa memahami hakikat dirinya.Karena pada dasarnya mereka yang terlibat dalam
psikoterapi tidak hanya sekedar menginginkan kesembuhan tetapi mereka juga bertujuan untuk
mencari makna hidupnya, dan mengaktualisasi diri15. Dua sasaran yang dianggap penting pada terapi
spiritual islami, yaitu kalbu (qalbiyah) dan akal (aqliyah) manusia.Kedua hal tersebut merupakan hal
yang sangat urgen dan menentukan kondisi kejiwaan manusia. Bahkan cara kerja dalam diri manusia
baik secara psikologis maupun fisiologis saling terkait erat satu sama lain. Imam Al-Ghazali
menyebutkan bahwa dalam diri manusia qalbu bertindak sebagai raja dan akal sebagai perdana
menteri yang akan menginterpretasi dan melaksanakan apa yang menjadi keinginan sang raja.
Munculnya konflik, stres, depresi dan ketidak bahagiaan adalah karena adanya keresahan, kegelisahan
dan ketidak tenangan dalam hati. Bila hati sedang sakit maka tindak dan perilaku manusia akan
menyimpang (abnormal) atau mental menjadi tidak sehat karena hati merupakan pangkal dari segala
perbuatan 16. Dalam konteks ini sejalan dengan hadis Nabi Muhammad saw yang berbunyi:

Artinya: Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, apabila daging itu baik
maka seluruh tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak, ketahuilah
bahwa ia itu adalah qalbu.

Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 14, No. 1, Juni 2013 : 141 - 151

146
Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan pada gambar di bawah ini:

Gambar: Struktur diri manusia

Gambar tersebut di atas menunjukkan bahwa qalbu adalah sentral penentu baik buruknya diri (self)
manusia.Pada area qalbu terdapat empat lapisan.Lapisan pertama adalah shadar, yaitu suatu tempat
dimana terjadinya tarik-menarik antara kutub kebaikan dan kutub kefasikan. Allah berfirman dalam
AL-Qur’an QS.91: A.8 yang berbunyi:

Terjemahnya: Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan.

Lapisan kedua adalah qalbu, yaitu tempat memancarnya cahaya imaniah.Lapisan ketiga adalah fuad,
yaitu wilaya qalbu yang lebih dalam tempat dimana terpancarnya cahaya makrifah. Sedangkan lapisan
yang paling dalam adalah lubb, yaitu merupakan pusat kekuatan spiritual manusia karena di sinilah
tersimpan kekuatan ilahiyah (spiritual power). Apabila kutub kebaikan lebih kuat pada lapisan
pertama (shadar) maka praktis qalbu (cahaya imaniah) dan fuad (cahaya makrifah) semakin
bersinar.Ini mengndikasikan bahwa qalbu manusia sehat (Qalbun salim).Qalbu yang sehat
menyebabkan cara berpikir (akal) manusia menjadi baik pula dan secara otomatis perilakunya
menjadi terarah dan terkontrol dengan baik.. Tetapi apabila kutub keburukan yang lebih kuat pada
lapisan shadar maka praktis qalbu (cahaya imaniah) dan fuad (cahaya makrifah) kian redup bahkan
bila sudah sampai pada tingkat yang kronis, maka qalbu (cahaya imaniah) dan fuad (cahaya makrifah)
menjadi padam.Bila terjadi kondisi seperti ini maka qalbumanusia menjadi sakit (qalbun maridh) dan
yang lebih menkkhawatirkan jika qalbu manusia menjadi mati (qalbun mayyit).Qalbu yang sakit
mengakibatkan cara berikirnyapun menjadi tidak sehat dan secara otomatis pula perilakunyapun
menjadi tidak sehat.

Terapi Spiritual Islami Suatu Model Penaggulangan Gangguan Depresi (Ahmad Razak dkk)

147

Metode Penerapan Terapi Spiritual Islami

Terapi spiritual islami mengacu kepada konsep pensucian jiwa (Tazkiyatunnufus) Imam Al-Ghazali.
Beliau membagi 3 tahap pensucian jiwa, yaitu:takhali (tahap pensucian diri), tahalli (tahap
pengembangan diri), dan tajali (tahap penemuan diri) 17. Pertama, Takhalli (pensucian diri). Tahap ini
bertujuanuntuk membersihkan diri dari sifat- sifat buruk, negative thinking, dan segala kebiasaan-
kebiasaan buruk yang dilakukan manusia. Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk mensucikan diri,
seperti: Mandi taubat, shalat taubat, dan memperbanyak istighfar kepada Allah Swt. Kedua, Tahalli
(pengembangan diri). Pada tahap ini manusia dilatih untuk mengembangkan potensi-potensi positif
yang ada dalam dirinya dengan membangun nilai-nilai kebaikan dan kebermaknaan dalam hidupnya.
Ketiga, Tajalli (penemuan diri). Pada tahap ini manusia telah mengenali dirinya. Ada 4 masalah
pokok yang kenali pada tahap ini, yaitu: siapa diri manusia; darimana manusia berasal; untuk apa
manusia ada dan kemana setelah manusia tiada. Keempat hal tersebut terintegrasi dalam satu kata
kunci, yaitu terbangunnya paradigma Ilahiyah dalam diri manusia. Adapun terapi spiritual islami
bersifat: pleksibel, yaitu dapat dilakukan kapan saja baik secara individual maupun secara kelompok;
preventif, yaitu: dapat dilakukan bagi setiap orang yang tidak menderita penyakit psikologis; kuratif,
yaitu dilakukan dalam rangka pengobatan atau penyembuhan bagi orang yang mengalami penyakit
psikologis; rehabilitasi, yaitu tahap pemulihan bagi setiap orang yang baru pulih dari penyakitnya.

Pengaruh Terapi Spiritual Islami Terhadap Penanggulangan Depresi


Terapi spiritual Islami terbukti efektif memberikan pengaruh terhadap penanggulangan depresi
maupun gangguan psikologis lainnya. Beberapa hasil penelitian telah memberikan pembuktian
mengenai hal tersebut. Ahmad mengemukakan bahwa terdapat tingkat kemampuan manajemen qalbu
terhadap penurunan tingkat depresi pada penderita DM.18 Mansyur juga telah melakukan penelitian
eksperimen-kualitatif menunjukkan bahwa terdapat penurunan tingkat stress setelah mengikuti terapi
dzikir. 19 Kedua hasil penelitian diatas mendukung pandangan James (Carnegie, 1980) bahwa terapi
yag terbaik bagi keresahan adalah keimanan kepada Tuhan. Keimanan kepada Tuhan merupakan
kekuatan yang tidak boleh tidak harus dipenuhi untuk menopang seseorang dalam hidup ini”. Lebih
lanjut ia berkata :“Antara Tuhan dengan kita ada hubungan yang tidak terputus. Apabila kita
menundukkan diri di bawah pengarahan-Nya, maka semua cita-cita dan harapan kita akan tercapai.
Sementara itu David B. Larson dan Mr. Constance P. B, juga menyebutkan bahwa ditemukan bukti
bahwa faktor keimanan memiliki pengaruh yang luas dan kuat terhadap kesehatan. Dalam tesisnya,
the Faith Factor: Annotated Bioliography of Chemical Research on Spiritual Subject, mereka
menemukan bahwa faktor spiritual terlibat dalam peningkatan kemungkinan tambahnya usia harapan
hidup, penurunan pemakaian alkohol, rokok dan obat penurunan kecemasan, depresi dan kemarahan,
penurunan tekanan darah, dan perbaikan

Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 14, No. 1, Juni 2013 : 141 - 151

148

kualitas hidup bagi pasien kanker serta penyakit jantung.20 Sementara itu hasil penelitian Hook et.al
menyebutkan bahwa terapi spiritual dan Religius efektif mengatasi persoalan- persoalan gangguan
mental seperti kecemasa, schizophrenia, dan depresi. 21 Hasil kajian Ibrahim menyebutkan secara
spesifik bahwa jika seorang muslim berdoa, shalat, puasa ataupun berdzikir dapat menimbulkan
respon relaksasi dalam dirinya. Sehingga kepercayaan kepada Tuhan dapat memberikan kontribusi
yang signifikan untuk kesehatan diri manusia.22

Terdapat delapan modalitas rehabilitasi spiritual dan tradisional yang telah diteliti, yaitu Raden
Surahman, Dar al-Syifa’, Hj. Salleh, Jabat Sufi Privat, Spiritual Kristianiti, Malaysian Association for
the Study of Traditional Asian Medicine (MASTAM), Persatuan Pengasih Malaysia, dan Pondok
Inabah Surya Laya. 23 Ini didukung oleh pernyataan Hawari (2002), bahwa berbagai penelitian
tentang hubungan antara komitmen beragama dan kesehatan menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna diantara kelompok yang menjalankan ibadah keagamaan dan kesehatan.24 Uraian hasil
penelitian di atas memberikan implikasi bahwa terapi spiritual sangat berpengaruh untuk membangun
rasa penerimaan diri (self acceptance) sehingga klien tidak merasa depresi lagi dan menyesali
nasibnya. Bahkan sebaliknya klien akan mampu mengekspresikan perasaannya kepada kehidupan dan
kesehatan mental yang lebih baik .25Pendekatan spiritual berperan penting dalam mengekspresikan
perasaan dan memberikan kenyamanan bagi klien. Penerimaan keadaan sakit klien akan mendorong
individu tersebut akan lebih dekat dengan Tuhan dan menerima penyakitnya sebagai cobaan dari
Tuhan.

SIMPULAN Depresi adalah merupakan salah satu penyakit psikologis yang kini banyak menimpa
tirani masyarakat modern.Fenomena penyakit gila, bunuh diri, kriminalitas pembunuhan dalam
lingkungan social merupakan realitas yang tak terbantahkan.Penyakit psikologis seperti ini dapat
menimpa kepada manusia yang memiliki kerapuhan mental (lemah iman). Terapi spiritual Islami
menjadi solusi alternative dalam menangani gangguan depresi dan

berbagai ganggua penyakit psikologia lainnya.Hal ini mengacu kepada berbagai hasil
penelitian dan teori para ahli dibidangnya.

Pada terapi spiritual islami, qalbu dan akal pikiran sebagai sasaran terapi dalam menangani berbagai
penyakit psikologis.Terapi spiritual islami bersifat pleksibel, prefentif, kiratif, dan rehabilitasi.

Terapi Spiritual Islami Suatu Model Penaggulangan Gangguan Depresi (Ahmad Razak dkk)

149

Endnote 1 Hawari, Dimensi Religi Dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2001 2 Etty, Ketika Jiwa Penat.
Artikel.http://wartamikael.Org. Diakses tanggal 25 Juni 2005 3 Bergin, Psychhoteraphy and Religious
Values. Journal Of Consulting and Clinical Psychology, Vol. 48. No. 1, 1980. h. 95-105 4 Djumhana,
Dimensi Spiritual Dalam Teori Psikologi Kontemporer. Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. V, 1994. h. 14-21
5 Kusumanto, dkk Depresi (Beberapa Pandangan Teori dan Implikasi Praktek di Bidang Kesehatan
Jiwa). Jakarta: Yayasan Dharma Graha,1981 6 Burns Terapi Kognitif. Alih Bahasa oleh Santoso.
Jakarta : Erlangga, 1988 7 Ciccheti & Toth, The Development of Depression in Children and
Adolescent. American Psychologist. 53 (2) : 221 – 241, 1991 8 Halgin & Whitbourne, Abnomal
Psychology. USA : Allyn & Bacon, 1994 9 Setyonegoro, Komorbiditas pada Usia Pertengahan.
Simposium Komorbiditas. Jakarta,1981 10 Maramis, Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga
University Press,1992 11 Slamet & Markam, Psikologi Klinis. Jakarta: Universitas Indonesia Press,
2003. 12 Soekamto, Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka,
1997 13 Soekamto, Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka, 1997
14 Taufiq, Panduan Lengkap & Praktis Psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani, 2006 15 Strupp et.al
Psychotheraphy for Better or Worse: The Problem of NegativeEffects. New York: Aroson, 1977 16
Taufiq, Panduan Lengkap & Praktis Psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani, 2006. 17 Hawwa,
Mensucikan Jiwa (Intisari Ihya ‘Ulumuddin). Alih Bahasa Annur Rafiq Saleh Tahmid. Jakarta:
Rabbani Press, 2003 18 Ahmad , Tingkat Depresi Pada Penderita Diabetes Mellitus Ditinjau dari
Kemampuan Manajemen Qalbu. Skripsi. (Tidak Diterbitkan).Yogyakarta: Universitas 45, 2006 19
Mansyur, Pengaruh Dzikir Terhadap Penanggulangan Stres: Suatu Bentuk Psikoterapi Islami. Tesis.
(Tidak Diterbitkan).Makassar: Universitas Muslim Indonesia, 2008 20 (lihat Musbikin, Rahasia
Shalat Bagi Penyembuhan Fisik dan Psikis. Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2003) 21 Hook et.al,
Empirically Supported Religious and Spiritual Therapies. Journal of Clinical Psychology, Vol. 66(1),
h. 46—72, 2010 22 Ibrahim, Spiritual medicine in the history of Islamic medicine. Jishim, 2: 45-49,
2003 23 Fadzli Adamet al., Spiritual and traditional rehabilitation modality of drug addiction in
Malaysia. International Journal of Humanities and Social Science 1 (14): 175-181, 2011 24 Hawari,
Dimensi Religi Dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta, 2002 25 (Kubler & Ross, 1996).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an

Ahmad. Tingkat Depresi Pada Penderita Diabetes Mellitus Ditinjau dari Kemampuan Manajemen
Qalbu. Skripsi. (Tidak Diterbitkan).Yogyakarta: Universitas 45, 2006

Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 14, No. 1, Juni 2013 : 141 - 151

150
Bergin,E.A. Psychhoteraphy and Religious Values. Journal Of Consulting and Clinical Psychology,
Vol. 48. No. 1, 1980. h. 95-105.

Bukhari, t.th. Shahy Bukhary. Semarang: Toha Putra.

Burns, D.D. Terapi Kognitif. Alih Bahasa oleh Santoso. Jakarta : Erlangga, 1988

Carnegie, D. Menuju Hidup Sukses dan Bergairah. Jakarta : Penerbit Gunung Jati, 1980

Ciccheti, D. & Toth, S.L. The Development of Depression in Children and Adolescent. American
Psychologist. 53 (2) : 221 – 241, 1990 Djumhana, H. Dimensi Spiritual Dalam Teori Psikologi
Kontemporer. Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. V, 1994. h. 14-21, 1994

Etty, M. Ketika Jiwa Penat. Artikel.http://wartamikael.Org. Diakses tanggal 25 Juni 2005.

Fadzli Adam.,Wan Ibrahim Wan Ahmad., &Sudirman Abdul Fatah. Spiritual and traditional
rehabilitation modality of drug addiction in Malaysia. International Journal of Humanities and Social
Science 1 (14): 175-181, 2011

Halgin, R.P. & Whiteboure, S.K. Abnomal Psychology. USA : Allyn & Bacon, 1994

Hawari. D. Dimensi Religi Dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta, 2001 Hawwa, S. Mensucikan Jiwa (Intisari Ihya ‘Ulumuddin). Alih
Bahasa Annur Rafiq Saleh Tahmid. Jakarta: Rabbani Press, 2003

Ibrahim, B. Syed. Spiritual medicine in the history of Islamic medicine. Jishim, 2: 45-49, 2003

Joshua N. Hook, N.H., Worthington Jr ,L.E., Devis E.D., Jengis,J.D & Gartner, L. Empirically
Supported Religious and Spiritual Therapies. Journal of Clinical Psychology, Vol. 66(1), h. 46—72,
2010

Kusumanto, R., Iskandar, Y., Salan, R & Musadik, K. Depresi (Beberapa Pandangan Teori dan
Implikasi Praktek di Bidang Kesehatan Jiwa). Jakarta: Yayasan Dharma Graha, 1981

Mansyur. Pengaruh Dzikir Terhadap Penanggulangan Stres: Suatu Bentuk Psikoterapi Islami. Tesis.
(Tidak Diterbitkan).Makassar: Universitas Muslim Indonesia, 2008

Maramis, W.F. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press, 1992

Terapi Spiritual Islami Suatu Model Penaggulangan Gangguan Depresi (Ahmad Razak dkk)

151

Musbikin, I. Rahasia Shalat Bagi Penyembuhan Fisik dan Psikis. Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2003

Setyonegoro, K. Komorbiditas pada Usia Pertengahan. Simposium Komorbiditas. Jakarta, 1981

Slamet & Markam, S. Psikologi Klinis. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2003

Soekamto & Winataputra, S.U. Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: Universitas
Terbuka, 1997

Strupp, H.H., Hadley, S.W & Gomes-Schwartz, B. Psychotheraphy for Better or Worse: The Problem
of NegativeEffects. New York: Aroson, 1977
Taufiq, I.M. Panduan Lengkap & Praktis Psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani, 2006

You might also like