You are on page 1of 13

TAWADHU

Indah Yanti Tri Wahyu Utami (1723143079)


Rifqiatu Risma (1723143147)
Tbi 3C
Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan

Islamic State Of Tulungagung (IAIN Tulungagung)

tindahyanti@yahoo.com
rifqirisma1@gmail.com

Abstract

In this era of globalization, many people who like to speak rude


and even violent behavior toward others. In fact we have seen a lot
anek little ones who speak and act rude to an older person,
perhaps this is because they imitate the adults around them that
normally do such a thing. For that, supposedly everyone should
cultivate tawadhu properties. Tawadhu is the nature of humble and
gentle force. And this is not going to boost the culprit be
commendable, but when coupled as expect face of god almighty.
We can embed tawadhu properties in several ways, namely, to
know allah swt, know yourself, know the shortcomings,
contemplating god's favor. We all have to have these properties
because of the nature of virtue tawadhu have very important for
us. Not only that nature has tawadhu also avail one of which is
one of the roads that take us to heaven. That's why everyone
should have an attitude of tawadhu. And we should inculcate this
tawadhu nature since childhood. And these properties should be
owned by every muslim in the world. Because muslims should not
have overbearing nature and grandeur even gods will "throw" the
people who have these properties to hell no matter who.
Keywords: Allah SWT, Globalization, Hell, Muslim, and Tawadhu.

1
A. INTRODUCTION
Sejak empat belas abad yang silam, al-Qur’an telah
menginformasikan bahwa ajaran Islam yang di bawa oleh Nabi
Muhammad saw. adalah sebagai rahmat bagi semesta alam (lihat al-
Qur’an surat al-An’am ayat: 107). Sayyid Qutb, Ibn Jarir al-Thabary dan
Ahmad Mustafa al-Maraghy, sebagai mufassir berpendapat bahwa maksud
rahmat ini adalah dapat di terima oleh seluruh umat manusia, apakah
mereka dari kalangan mukmin maupun mereka yang bukan mukmin.
Dalam arti lain bahwa, rahmatan li al-‘alamin bisa bermakna bahwa
ajaran Islam sejak diturunkannya telah memiliki karakteristik sebagai
ajaran yang abadi, sempurna dan universal. Kebanyakan kalangan muslim
percaya bahwa salah satu aspek penting untuk mengetahui keuniversalan
ajaran Islam tersebut adalah adanya dorongan untuk senantiasa mencari
ilmu pengetahuan dimana saja dan kapan saja umat Islam berada. Dengan
adanya dorongan dari ayat-ayat al-Qur’an maupun dalam al-Hadits yang
menganjurkan umat Islam agar mencari ilmu pengetahuan inilah yang
menyebabkan lahirnya beberapa disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam,
dimana salah satu di antaranya adalah lahirnya ilmu tasawuf yang akan
dibahas dalam isi makalah ini. Ilmu tasawuf sesungguhnya ialah salah satu
cabang dari ilmu-ilmu Islam yang utama, selain ilmu Tauhid
(Ushuluddin)dan ilmu Fiqih. Yang mana dalam ilmu Tauhid bertugas
membahas tentang soal-soal I’tiqad (kepercayaan) seperti I’tiqad
(kepercayaan) mengenai hal Ketuhanan, kerasulan, hari ahir, ketentuan
qadla’ dan qadar Allah dan sebagainya. Kemudian dalam ilmu Fiqih
adalah lebih membahas tentang hal-hal ibadah yang bersifat dhahir (lahir),
seperti soal shalat, puasa, zakat, ibadah haji dan sebagainya. Sedangkan
dalam ilmu Tasawuf lebih membahas soal-soal yang bertalian dengan
akhlak, budi pekerti, amalan ibadah yang bertalian dengan masalah bathin
(hati), seperti: cara-cara ihlash,khusu’, taubat, tawadhu’, sabar, redhla
(kerelaan), tawakkal dan yang lainnya.

2
B. RESEARCH METODE
Metode yang kami gunakan untuk makalah ini adalah metode deskriptif
perspektif. Metode ini digunakan untuk meneliti sekelompok orang dan anak-
anak yang ada didaerah yang ada di Malang. Dimana di daerah yang ada di
malang ini banyak anak-anak yang bersifat kasar dan juga berkata-kata kasar
ke orang yang lebih tua. Dan menurut pengamatan kami anak-anak yang ada
disana itu mencontoh orang tua mereka yang juga sering menggunakan bahasa
dan perilaku yang kasar. Dan kami juga berharap melalui metode ini kami
akan menemukan pemecahan masalah dari masalah ini

C. CASE
Orang tua yang dalam beribadah tidak secara rutin dilaksanakan atau
orang tua dalam melaksanakan ibadah semaunya sendiri, orang tua
melaksanakan ibadah sholat tidak tepat waktu, orang tua menganggap sholat
adalah kegiatan yang tidak harus dilaksanakan, orang tua tidak melaksanakan
ibadah puasa dan orang tua kurang menghargai perbedaan keyakinan, selain
itu anak sulit diarahkan, diajak sholat jamaah di sekolah, berbicara kotor,
ramai di kelas dan mengganggu ketenangan teman dan lain sebagainya. Hasil
penelitian pada variabel keteladanan orang tua dapat dilihat bahwa kategori
baik sebanyak 23 responden dengan prosentase 54,7% yang terletak pada
interval 37-38 dan kategori sangat baik, sebanyak 16 responden dengan
prosentase 38,1% yang terletak pada interval 35–6 pada kategori baik dan 3
responden terletak pada interval 33-34 pada kategori kurang. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa sikap keteladanan dalam kategori baik.

D. DISCUSSION

Yang dimaksud tawadhu ialah merendahkan diri dan berlaku lemah


lembut. Dan ini tidak akan mendongkrak pelakunya menjadi terpuji
melainkan bila dibarengi karena mengharap wajah Allah azza wa jalla.
( Abu Umamah Arif Hidayatullah: 5)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Kalau sekiranya ada
orang bersikap tawadhu agar Allah Shubhanahu wa ta’alla mengangkat

3
derajatnya dimata orang, maka ini belum dikatakan telah merengkuh sifat
tawadhu, karena maksud utama perilakunya itu didasari agar mulia dimata
orang, dan sikap seperti itu menghapus tawadhu yang sebenarnya".( Abu
Umamah Arif Hidayatullah : 4-5)
Rendah hati dalam wacana Islam sering juga dikatakn dengan
tawadhu’. Tawadhu’ termasuk salah satu sifat terpuji yang harus dimilki
oleh seorang muslim. Tawadhu’ secara bahasa dapat dimaknai dengan
‘merendahkan hati’. Artinya sengaja memposisikan diri lebih rendah dari
posisi se-benarnya. Pada dasarnya tawadhu’ hanya ditujukan kepada Allah
Yang Maha Agung. Yakni merasa lemah dan tidak berdaya dibanding
dengan kekuasaan Allah S.W.T. apalah kuasa manusia sampai berani
mengharap surganya Allah? apakah Allah rela memberikan surga kepada
seorang hamba, jika hamba tersebut merasa tidak memerlukan surga? Oleh
karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa tujuan tawadhu sebenarnya
adalah mengharapkan surga (ridha-Nya) Allah S.W.T dan menghindarkan
diri dari api neraka (thoma’an li jannatihi ta’ala wa rahban min narihi
ta’ala).(Bulletin Nahdatul Ulama : 1)
Meskipun tawadhu’ ditujukan kepada Allah S.W.T sebagai bukti
adanya hubungan fertikal, tetepi harus dibuktikan dalam praktek
keseharian ketika bermuamalah dengan seksama yang mengandaikan
hubungan horizontal. Sebagaimana di terangkan dalam surat al-Furqan
ayat 63.( Bulletin Nahdatul Ulama : 1)
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah)
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengand-ung) keselamatan.
Artinya bahwa diantara tanda-tanda orang yang memiliki sifat
tawadhu’ selalu berjalan dengan menundukkan kepala. Seolah-olah tidak
pernah melihat langit. Berjalan dengan santai tanpa membusungkan dada.
Meskipun ia memiliki kuasa sebagai gubernur, jendral ataupun ulama
misalnya. Hal ini berbeda dengan orang-orang yang sombong yang ber-
jalan dengan mendongak ke atas tidak pernah melihat bumi. Bahkan ketika

4
mereka disapa dan dikomentari, mereka hanya menjawab ‘salama’, yang
artinya keselamatan atas kita semua, diantara kita tidak ada yang lebih
baik, aku juga tidak lebih baik dari kamu begitu juga sebaliknya.
Begitu spesialnya sifat tawadhu, sehingga Allah mengistimewakan
mereka yang memiliki sifat tawadhu’ dengan menyebut ‘ibadurrahman’
hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang. Hal ini sejalan dengan janji
Allah seba-gaimana disampaikan kepada Rasulullah saw dalam haditsnya.
Allah akan mengangkat derajat mereka yang memiliki sifat
tawadhu’, dan akan membenamkan mereka yang bersifat sombong.
Lalu apakah sebenarnya pentingnya tawadhu’? selain
mengharapkan derajat dari Allah S.W.T, tawadhu juga menghindarkan diri
kita dari sifat yang paling dibenci Allah Yang Maha Kuasa yaitu sombong.
Karena kesombongan akan menimpa mereka yang tidak memiliki
ketawadhuan. Padahal sejatinya kesombongan itu hanya pantas dimiliki-
Nya. Oleh karena itu Allah sangat membenci orang yang sombong. Hal ini
terbersit dari hadits qudsi yang disampaikan oleh Rasulullah saw.( Bulletin
Nahdatul Ulama : 2-3)
Sifat sombong itu selendang-Ku, keagungan adalah busana-Ku.
Barang siapa yang merebut salah satu dari-Ku, akan Ku lempar ia ke
neraka. Dan Aku tidak peduli.
Artinya, kesombongan dan keagungan itu hanya khusus milik
Allah. Allah sungguh tidak terima bila ada hamba yang memilki sifat
keduanya. Begitu tersinggungnya Allah hingga Ia akan melempar siapapun
yang ‘menggunakan’ kedua sifat itu, ke Neraka tanpa peduli. Tanpa peduli
apakah dia seorang sufi, seorang wali, seorang nabi, seorang preiden atau
juga seorang raja.
Oleh karena itu guna mempermudah diri melatih menuju
ketawadhuan kepada Allah hendaknya seorang hamba harus mengakui dan
memiliki beberapa perasaan. Pertama, merasa hina (dzlil) dan meyakini
bahwa yang mulia adalah Allah. seorang hamba harus segera sadar bahwa
ia seo-rang yang hina. Ia hanyalah berasal dari setetes air mani, yang

5
jikalau Allah S.W.T menghendaki bisa saja mani itu tumpah dan menjadi
konsumsi semut dan lalat.
Kedua, merasa faqir selalu membutuhkan dan Allahlah yang Maha
Kaya Raya. Sekarang para hartawan dan miliyuner akan merasa bangga
atas kejayaan dan mengandalkan segala macam harta yang dimilikinya
padahal kata Allah: (Bulletin Nahdatul Ulama : 2-3)
Sesungguhnya semua harta itu adalah hartaKu, orang-orang faqir
itu keluargaKu, dan para harta-wan adalah wakilku. Barang siapa yang
berlaku pelit terhadap keluargaKu. Aku akan menyiksanya tanpa peduli.
Ketiga, merasa bahwa dirinya adalah orang yang bodoh dan Allah
yang Yang Maha Mengetahui. Seringkali para hamba yang dianugerahi
ilmu oleh Allah S.W.T. melupakan bahwasannya ilmu itu hanya sekedar
titipan Allah S.W.T yang dapat diam-bil kapanpun. Lihatlah ketika seorag
professor, doctor, cendekia tetapi terkena struk apa yang dapat ia lakukan?
Keempat, merasa lemah dan hanya Allah Yang Maha Kuat. Sebagai
pelajaran betapa banyak legenda tentang kejayaan para raja yang berkuasa
begitu hebatnya, tetapi sekarang hanya tinggal dalam kenangan dan
catatan sejarah saja. Bu-kankah kekuatan negara adidaya di dunia juga
selalu silih berganti?( Bulletin Nahdatul Ulama : 2-3)
Adapun gambaran praktek tawadhu kepada sesama dalam
kehidupan sehari sangatlah bagus berpegang pada pesan Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani kepada muridnya bahwa
‫اذا لقيت أحدا من الناس رأيت الفضل له عليك وتقول عسى أن‬
‫ فإن كان صغيرا قلت هذا لم‬,‫يكون عند ا خيرا منى وأرفع درجة‬
‫ وإن كان كبيرا‬,‫يعص ا وأنا قد عصيته فل شك إنه خير منى‬
‫ وإن كان عالما قلت هذا أعطي مالم أبلغ‬,‫قلت هذا قد عبد ا قبلى‬
‫ وإن كان جاهل‬,‫ونال مالم أنال وعلم ما جهلت وهو يعمل بعلمه‬
‫هذا أعصى ا بالجهل وأنا عصيته بالعلم ول أدرى بما يحتمل لى‬
‫ول يحتمل له‬
Jikalau kamu berjumpa dengan seseorang maka hendaklah engkau
melihat keunggulannya di-banding denganmu. Dan katkanlah (dalam hati)
bahwa “orang itu lebih baik dari pada aku di mata Allah S.W.T”. Maka

6
apabila (kamu berjumpa) den-gan anak kecil, hendaklah berkata (dalam
hati) dia ini belum terlalu banyak maksyiyat (karena umurnya lebih muda)
dan otomatis dia lebih baik dari pada aku. Dan apabila (kamu berjumpa)
dengan orang tua, hendaklah berkata orang ini telah lama beribadah
kepada Allah sebelum aku (karena umurnya lebih tua, maka dia lebih baik
dia dari pada aku). Apabila (kamu berjumpa) dengan seorang yang ‘alim,
hendaklah berkata (dalam hati) dia telah diberi sesuatu (pengetahuan) yang
aku belum memilikinya dan dia telah memperoleh sesuatu yang aku belum
peroleh dan dia juga telah mengerti apa yang aku tidak mengerti. Dia
beamal dengan ilmunya (pastilah lebih diterima amalnya dari padaku).
Apabila (kamu berjumpa) dengan seorang yang bodoh, hendaklah berkata
dia maksyiat karena kebodohannya, sedangkan aku melakukan maksy-iat
dengan ilmuku. Sungguh aku tidak tahu apakah aku lebih baik dari pada
dia?
A. Melatih Sifat Tawadhu’
1. Mengenal Allah
Dengan mengenal Allah beserta sifat-sifatnya, maka akan muncul
kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang sangat lemah dan kecil.
Begitu kuasa, kaya, dan besamya Allah. Oleh karena itu tidaklah pantas
bagi manusia untuk menyombongkan diri. Dalam firman Allah yang
artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun, clan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan Kati, agar kamu bersyukur. (QS. An Nahl: 78)
2. Mengenal diri
Dilihat dari asal usulnya. manusia berasal dari setetes air mani yang
hina. Kemudian manusia lahir ke dunia tanpa daya dan tidak mengetahui
apapun. Oleh karena itu manusia tidak berhak sombong. Sudah
seharusnyalah manusia bersikap tawaddu', sebab ia lemah dan tidak
banyak mempunyai pengetahuan.
3. Mengenal kekurangan diri
Seseorang dapat terjebak pada kesombongan bila ia tidak menyadari
kekurangan yang ada pada dirinya. Botch jadi seseorang mengira bahwa
dirinya telah banyak melakukan kebaikan. padahal ia justru melakukan
kerusakan dan aniaya. Oleh karena itu setiap muslim hams selalu

7
melakukan introspeksi diri sebelum melakukan, saat melakukan, dan
sesudah melakukan sesuatu. Hal itu dilakukan setiap muslim agar sadar
akan kekurangan dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawaddu'
dan tidak sombong kepada orang lain.
4. Merenungkan nikmat Allah
Pada hakikatnya, seluruh nikmat yang dianugerahkan Allah kepada
hamba--Nya adalah ujian untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan
siapa yang kufur. Namun banyak di antara manusia yang tidak
menyadari hal tersebut, sehingga mereka membanggakan dan
menyombongkan nikmat yang Allah berikan kepadanya. Semua manusia
pada hakekatnya diciptakan sama. la berasal dari bahan yang sama dan
keturunan yang satu. yaitu Adam dan Hawa. Tidak ada kelebihan antara
satu dengan yang lainnya dihadapan Allah SW I' kecuali derajat
ketakwaannya. Memang benar di dunia ini manusia terbagi alam dua
golongan sifat yang saling berlawanan: ada yang kaya ada pula yang
miskin, ada yang pintar ada pula yang bodoh, ada yang normal ada pula
yang cacat. ada yang tinggi ada pula yang pendek. Hal ini tidak bisa
dipungkiri, karena memang merupakan ketentuan Allah (sunnatullah).
Sikap tawadclu'-lah yang berfungsi untuk menyamakan dua golongan
sifat itu pada satu derajat dan satu kedudukan, sehingga tidak ada lagi
yang merasa lebih tinggi ataupun lebih rendah ketimbang lainnya.

C. Contoh Ketawadhu’an Nabi Muhammad SAW


1. Anas ra jika bertemu dengan anak-anak kecil maka selalu
mengucapkan salam pada mereka, ketika ditanya mengapa ia lakukan hal
tersebut ia menjawab: Aku melihat kekasihku Nabi SAW senantiasa berbuat
demikian. (HR Bukhari, Fathul Bari’-6247).
2. Dari Anas ra berkata: Nabi SAW memiliki seekor unta yang diberi
nama al-’adhba` yang tidak terkalahkan larinya, maka datang seorang
‘a’rabiy dengan untanya dan mampu mengalahkan, maka hati kaum
muslimin terpukul menyaksikan hal tersebut sampai hal itu diketahui oleh
nabi SAW, maka beliau bersabda: Menjadi haq Allah jika ada sesuatu yang
meninggikan diri di dunia pasti akan direndahkan-Nya. HR Bukhari (Fathul
Bari’-2872).
8
3. Abu Said al-Khudarii ra pernah berkata: Jadilah kalian seperti Nabi
SAW, beliau SAW menjahit bajunya yang sobek, memberi makan sendiri
untanya, memperbaiki rumahnya, memerah susu kambingnya, membuat
sandalnya, makan bersama-sama dengan pembantu pembantunya, memberi
mereka pakaian, membeli sendiri keperluannya di pasar dan memikulnya
sendiri ke rumahnya, beliau menemui orang kaya maupun miskin, orang
tua maupun anak-anak, mengucapkan salam lebih dulu pada siapa yang
berpapasan baik tua maupun anak, kulit hitam, merah, maupun putih, orang
merdeka maupun hamba sahaya sepanjang termasuk orang yang suka
shalat.
4. As-suhrawardi berkata : “Aktualisasi sikap tawadhu’ Rasulloh
antara lain, beliau mau memenuhi undangan orang tanpa pandang bulu,
apakah ia berstatus orang merdeka atau budak, dan berkenan menerima
hadiah, meskipun hanya seteguk susu atau sepotong paha kelinci, lalu
memakannya dan membalas hadiah tersebut. ( Dr. Muhammad Fauqi Hajjaj :
330)
Dan beliau SAW adalah orang yang sangat rendah hati, lembut
perangainya, dermawan luar biasa, indah perilakunya, selalu berseri-seri
wajahnya, murah senyum pada siapa saja, sangat tawadhu’ tapi tidak
menghinakan diri, dermawan tapi tidak berlebih-lebihan, mudah iba hatinya,
sangat penyayang pada semua muslimin. Beliau SAW datang sendiri
menjenguk orang sakit, menghadiri penguburan, berkunjung baik
mengendarai keledai maupun berjalan kaki, mengabulkan undangan dari para
hamba sahaya siapapun dan dimanapun. Bahkan ketika kekuasaannya SAW
telah meliputi jazirah Arabia yang besar datang seorang ‘A’rabiy menghadap
beliau SAW dengan gemetar seluruh tubuhnya, maka beliau SAW yang mulia
segera menghampiri orang tersebut dan berkata: Tenanglah, tenanglah, saya
ini bukan Raja, saya hanyalah anak seorang wanita Quraisy yang biasa makan
daging kering. (HR Ibnu Majah-3312 dari abu Mas’ud al-Badariiy).Berbicara
lebih jauh tentang tawadhu’, sebenarnya tawadhu’ sangat diperlukan bagi
siapa saja yang ingin menjaga amal shaleh atau amal kebaikannya, agar tetap
tulus ikhlas, murni dari tujuan selain Allah. Karena memang tidak mudah
menjaga keikhlasan amal shaleh atau amal kebaikan kita agar tetap murni,

9
bersih dari tujuan selain Allah. Sungguh sulit menjaga agar segala amal shaleh
dan amal kebaikan yang kita lakukan tetap bersih dari tujuan selain
mengharapkan ridha-Nya. Karena sangat banyak godaan yang datang, yang
selalu berusaha mengotori amal kebaikan kita. Apalagi disaat pujian dan
ketenaran mulai datang menghampiri kita, maka terasa semakin sulit bagi kita
untuk tetap bisa menjaga kemurnian amal shaleh kita, tanpa terbesit adanya
rasa bangga dihati kita. Disinilah sangat diperlukan tawadhu’ dengan
menyadari sepenuhnya, bahwa sesungguhnya segala amal shaleh, amal
kebaikan yang mampu kita lakukan, semua itu adalah karena pertolongan dan
atas ijin Allah SW. Tawadhu’ juga mutlak dimiliki bagi para pendakwah yang
sedang berjuang meninggikan Kalimatullah di muka bumi ini, maka sifat
tawadhu mutlak diperlukan untuk kesuksesan misi dakwahnya. Karena bila
tidak, maka disaat seorang pendakwah mendapatkan pujian, mendapatkan
banyak jemaah, dikagumi orang dan ketenaran mulai menghampirinya, tanpa
ketawadhu’an, maka seorang pendakwah pun tidak akan luput dari berbangga
diri atas keberhasilannya
B. Keutamaan Tawadhu’
Pertama: Sebab mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada
seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan
juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah
melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588). Yang
dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di
akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan
dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia.
Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya
karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16:
142) Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu
wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan,
memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang
wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan
10
dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang
kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya,
‫بوببررا بتبوالتبدتتي بولبمم يبمجبعملتني بجبَباررا بشقتريا‬
“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang
sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut.
Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.

Kedua: Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.


Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak
menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
‫ضععوا بحبَتى لب يبمفبخبر أببحدد بعبلى أببحدد بولب يبمبتغى أببحدد بعبلى أببحدد‬
‫ى أبمن تببوا ب‬
َ‫اب أبموبحى إتلب ب‬
َ‫بوإتبَن ب‬
“Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’.
Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui
batas pada
D. Faidah sikap rendah diri:
1. Salah satu jalan yang akan mengantarkan pada surga.
2. Allah Shubhanhu wa ta’alla akan mengangkat kedudukan orang
yang rendah diri dihati manusia. Dikenang kebaikannya oleh orang lain
serta diangkat derajatnya diakhirat.
3. Bahwa sikap tawadhu terpuji itu ditujukan pada orang-orang
beriman, adapun pengumpul dunia serta orang yang sesat maka bersikap
rendah diri terhadap mereka akan menjadikan kehinaan.
4. Sifat tawadhu sebagai bukti akan keindahan akhlak serta
pergaulannya.
5. Bahwa sifat tawadhu merupakan sifatnya para Nabi dan Rasul.

E. RESULT
1. Pengertian tawadhu
Yang dimaksud tawadhu ialah merendahkan diri dan berlaku lemah
lembut. Dan ini tidak akan mendongkrak pelakunya menjadi terpuji
melainkan bila dibarengi karena mengharap wajah Allah azza wa jalla.
2. Melatih Sifat Tawadhu’ dengan cara mengenal Allah, mengenal
diri, mengenal kekurangan diri, merenungkan nikmat Allah.
11
3. Contoh Ketawadhu’an Nabi Muhammad SAW
4. Keutamaan Sifat Tawadhu’ : Sebab mendapatkan kemuliaan di
dunia dan akhirat, Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah
manusia.
5. Faidah sikap rendah diri: Salah satu jalan yang akan mengantarkan
pada surge, Allah Shubhanhu wa ta’alla akan mengangkat kedudukan
orang yang rendah diri dihati manusia. Dikenang kebaikannya oleh
orang lain serta diangkat derajatnya diakhirat, Bahwa sikap tawadhu
terpuji itu ditujukan pada orang-orang beriman, adapun pengumpul
dunia serta orang yang sesat maka bersikap rendah diri terhadap mereka
akan menjadikan kehinaan, Sifat tawadhu sebagai bukti akan keindahan
akhlak serta pergaulannya, Bahwa sifat tawadhu merupakan sifatnya
para Nabi dan Rasul.

REFERENCE

Abu Umamah Arif Hidayatullah. Sifat Tawadhu' Rasulullah shalallahu’alaihi


wasalla. Islamhouse.com.

Al-Hayy, Al-Farmawi. Dr. Abd. 1994. Metode Tafsir Maudhuiy. Jakarta Utara: PT.
Raja Grafindo Persada.

12
Buletin nahdatul ulama, edisi 118

Hajjaj, Muhammad Fauqi.2011. Tasawuf Islam & Akhlak.Jakarta:Amzah

Shaleh, Q. K.H, dkk. 2000. Asbaabun Nuzuul. Bandung: CV. Penerbit


Diponegoro.

13

You might also like