You are on page 1of 16

LIFE SYSTEM DAN KOMPONEN

AGROEKOSISTEM TANAMAN

I Nyoman Tryadi Cahya Nugraha 1780911005

Betania Exaudi Sinaga 1780911004

MAGISTER AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
A. Agroekosistem, Sistem Kehidupan (Life System) dan PHT

Agroekosistem atau ekosistem pertanian merupakan satu bentuk ekosistem binaan


manusia yang perkembangannya ditujukan untuk memperoleh produk pertanian yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sifat-sifat agroekosistem 1). Agroekosistem
tidak memiliki kontinyuitas temporal (tidak stabil), sering mengalami perubahan iklim mikro
secara mendadak akibat tindakan manusia, seperti pencangkulan, penyiangan, pengairan dan
sebagainya. 2). Struktur agroekosistem didominasi oleh jenis tanaman tertentu, 3).
Agroekosistem pada umumnya tidak memiliki keragaman biotik dan genetik yang tinggi
sehingga kurang stabil, 4). Terdapat masukan berupa pupuk, pestisida dan air irigasi,
sehingga jaringan tanaman menjadi kaya akan unsur hara dan air. Akibat dari sifat-sifat
tersebut di atas, dalam agroekosistem sering terjadi letusan populasi organisme pengganggu
tumbuhan (OPT).

Ekosistem terdiri dari banyak sistem kehidupan (Price, 1975) yang saling
berhubungan langsung dan tidak langsung. Istilah sistem kehidupan pertama kali
dikemukakan oleh Clark et. Al. (1967). Menurut mereka sistem kehidupan adalah bagian dari
ekosistem yang menentukan eksistensi, kelimpahan dan evolusi populasi spesies tertentu.
Sistem kehidupan terdiri dari populasi subyek dan lingkungan efektifnya yang mencakup
seluruh agensia eksternal yang berpengaruh terhadap populasi itu.

Dalam agroekosistem terdapat sejumlah sistem kehidupan yang relatif masih besar,
meskipun pada umumnya kurang dari yang ada di ekosistem alamiah. Geier
(1966 dalam Luckman dan Metcalf, 1982) menyatakan bahwa dalam prakteknya PHT adalah
“memutuskan bagaimana sistem hidup hama harus dimodifikasi untuk menekan populasinya
sampai pada tingkat yang dapat ditoleransi (ambang ekonomi)”. Memodifikasi sistem
kehidupan hama berarti memodifikasi lingkungan efektif dari hama itu. Jadi, faktor-faktor
lingkungan hama yang benar-benar berpengaruh terhadap kehidupan dan perkembangan
populasi perlu diketahui lebih dahulu, dengan kata lain biologi dan ekologi hama harus
diketahui dengan baik. Masalahnya menjadi lebih kompleks karena faktor-faktorn efektif
hama yang berupa faktor biotik masing-masing mempunyai sistem kehidupan sendiri.
Lingkungan efektif suatu hama terutama adalah faktor makanan, faktor biotik dan faktor
fisik. Dengan demikian, memodifikasi sistem kehidupan hama itu adalah memanipulasi salah
satu, beberapa atau semua faktor tersebut.
Gambar 1.1. Distribusi spesies utama dalam grup taksonomi. Jumlah spesies serangga,
bakteri dan jamur kemungkinan akan sangat meningkat sebagai kelompok-kelompok yang
lebih dikenal. Data dari E. Wilson (1992).

Serangga adalah kolompok organisme dominan di bumi baik dari segi


keanekaragaman taksonomi dan fungsi ekologis (E. Wilson 1992) (Gambar. 1.1). Serangga
mewakili sebagian besar spesies di ekosistem darat dan air tawar, dan ekosistem laut dekat
pantai. Hal ini dikarenakan serangga memiliki kemapuaan yang sangat tinggi terkait dengan
adaptasi terhadap perubahan-perubahan ekosistem, bahkan mampu bersaing dengan manusia
terkiat sumber daya ekosistem atau menjadi vector penyakit bagi manusia dan hewan.
Serangga memainkan peran penting dalam fungsi ekosistem Mereka mewakili sumber
penting makanan, predator, parasit atau vektor penyakit bagi banyak organisme lain,
termasuk manusia, dan mereka memiliki kapasitas untuk mengubah tingkat dan arah dari
fluks/ aliran energi dan materi (misalnya, sebagai herbivora, penyerbuk, detritivores, dan
predator). Di sisi lain, upaya untuk mengendalikan serangga sering memiliki konsekuensi
yang tidak diinginkan dan / atau yang tidak diinginkan untuk kualitas dan layanan ekosistem
lingkungan. Jelas, pemahaman ekologi serangga sangat penting untuk manajemen yang
efektif dari layanan integritas dan ekosistem lingkungan.

B. Faktor-Faktor Mempengaruhi Kehidupan Serangga


Secara umum terdapat tiga faktor yang mempengaruhi pertumbuhan serangga, yaitu
faktor internal, faktor external dan faktor makanan.
Faktor Internal
Kemampuan berkembang biak (reproductive potensial) akan menentukan tinggi
rendahnya, populasi hama. Apabila di telusuri lebih lanjut, kemampuan berkembang biak itu
bergantung kepada kecepatan berkembang biak (rate of multiplication) dan perbandingan sex
ratio serangga hama. Kemudian kecepatan berkembang biak ditentukan oleh keperidian
(fecundity) dan jangka waktu perkembangan.
a. Sex Ratio
Serangga hama pada umumnya berkembang biak melalui perkawinan walaupun ada
beberapa spesies tertentu yang menghasilkan keturunannya tanpa melalui pembuahan
telurnya yang disebut partenogenesis. Perbandingan serangga jantan dan serangga betina atau
lebih dikenal dengan sex ratio sangat penting dalam menentukan cepatnya pertumbuhan
populasi hama. Sebagian besar serangga mempunyai sex ratio 1:1 yang artinya kemungkinan
serangga jantan dan serangga betina yang bertemu kemudian melakukan kopulasi akan lebih
tinggi sehingga reproduksi serangga tersebut akan tinggi. Pada beberapa serangga hama
tertentu, perbandingan sex ratio tidaklah demikian, contoh pada serangga hama Xylosandrus
compactus sex rationya 1:9; pada serangga Hyphothenemus hampei sex rationya 1:59, artinya
serangga betina lebih banyak dari serangga jantan. Kemudian pada serangga hama Saissetia
nigra dan Saissetia coffeae, telur menetas menjadi serangga betina dan belum ditemukan
serangga jantan. Ada lagi yang menyatakan sex ratio itu sebagai sex faktor yaitu
perbandingan antara jumlah serangga betina dengan populasi serangga atau :

b. Keperidian
Keperidian adalah kemampuan indiviidu betina untuk menghasilkan sejumlah telur.
Serangga hama yang mempunyai keperidian cukup tinggi biasanya diketahui dengan faktor
luar sebagai penghambat perkembangannya juga tinggi. Baik berupa makanannya, musuh
alami, faktor fisik: ataupun faktor kompetisi antara serangga hama itu sendiri dalam
memperoleh ruang tempat hidup, memperoleh makanan dan lain sebagainya. Pada serangga
hama tertentu meletakkan telur satu per satu dan dalam jumlah yang tidak begitu banyak,
namun mayoritas serangga hama akan meletakkan telur secara berkelompok dan begitu
menetas akan terjadi kompetisi diantara serangga sendiri. Kompetisi akan terjadi pada
individu-individu dalam suatu habitat untuk mendapatkan sumber kebidupan. Kompetisi
antar individu dapat terjadi dalam bentuk:
1) Kompetisi dalam hal makanan
Kompetisi dalam hal makanan biasanva terjadi karena populasi makanan saat itu
berkurang, sedangkan populasi serangga stabil atau bahkan meningkat. Akibatnya akan
bekerja faktor yang bersifat density dependent, yang berkaitan dengan suplai makanan
tersebut, terjadinya penurunan populasi serangga karena meningkatnya mortalitas. Kompetisi
diatas dapat dicontohkan pada serangga hama gudang:Tribolium sp., Sitophilus sp. yang
suplai makanannya terbatas seperti gudang-gudang dikosongkan sehingga makanan terbatas
dan serangga banyak mati. Bagi serangga yang kuat dalam kompetisi itu akan tetap hidup
karena serangga tersebut masih mendapat makanan.
2) Kompetisi dalam hal ruang gerak
Kompetisi itu terjadi pada serangga hama yang hidup dan berkembang pada ruang
gerak terbatas. Dapat dicontohkan serangga yang hidup pada lubang gerak. Bila dalam
sebuah lubang gerak dihuni oleh 2 ekor larva atau lebih, maka ruang gerak menjadi sempit.
Akibatnya serangga yang kuat akan bertahan dan yang lemah akan terdesak dan mati.
3) Kompetisi dalam hal tempat berlindung
Kompetisi ini sering dijumpai pada serangga-serangga yang berukuran kecil yang
umumnya lemah, tidak tahan sinar matahari langsung, kelembaban yang rendah, hujan lebat
dan angin kencang. Jika tempat berlindung terbatas maka sebagian populasinya akan
tertimpa keadaan ekstrim di atas. Akibatnya populasi menurun. Pengaruh lain akibat
kompetisi ini adalah menurunnya populasi musuh alami karena berkurangnya inang ataupun
mangsa.
c. Siklus Hidup
Pada sebagian serangga hama jangka waktu perkembangan dari telur sampai dewasa
berlangsung pendek, tetapi pada serangga lain perkembangannya berlangsung lama. Serangga
yang mengalami metamorfosa holometabola perkembangan serangga dimulai dari telur-larva-
pupa/kepompong-dewasa. Pada serangga yang mengalami metamorfasa hemimetabola atau
paurometabola perkembangannya dimulai dari telur-nimfa-dewasa. Kualitas makanan akan
berpengaruh kepada pertumbuhan serangga seperti dicontohkan pada serangga Dasynus
piperis yang diberi makanan (buah lada) dari varietas Natar mempunyai bobot tubuh yang
lebih besar daripada serangga yang diberi makanan dari varietas Cunuk dan Petaling. Hal itu
berkaitan dengan perbedaan karbohidrat, protein maupun pipereni pada tiga varietas tersebut.
Demikian pula pengaruh makanan terhadap serangga hama diantaranya tercermin dari siklus
hidup serangga itu. Pada umumnya serangga yang kebutuhan nutrisinya terpenuhi dan
berimbang, siklus hidupnya akan lebih cepat bila dibandingkan dengan serangga hama yang
kebutuhan nutrisinya tidak cukup. Berbagai spesies serangga masing-masing mempunyai
berbagai spesies serangga jangka perkembangan bagian serangga yang berbeda-beda pula.
Ada serangga yang siklus hidupnya beberapa hari, atau hidup lebih dari satu bulan. Pada
Coccus viridis, begitu telur diletakkan maka 11 jam kemudian telur menetas menjadi nimfa.
Berdasarkan perubahan-perubahan tersebut, serangga dapat dibedakan dalam empat
golongan, yaitu terdiri dari:
1. Tanpa Metamorfosis (Ametabola). Golongan serangga ini sejak menetas (instar pertama)
bentuknya sudah menyerupai serangga dewasa (tidak bermetamorfosis), hanya ukurannya
saja yang bertambah besar. Serangga muda dan serangga dewasa hidup dalam habitat
dengan jenis makanan yang sama. Contoh serangga yang tidak metamorfosis, antara lain
ordo Thysanura (kutu buku atau rengget atau ngenget) dan ordo Collembola,
misalnya Ekor Gunting.

2. Metamorfosis Bertingkat (Paurometabola). Serangga yang tergolong paurometabola


mengalami perubahan secara bertahap. Setiap pergantian kulit (ecdysis), ukuran tubuhnya
bertambah besar. Bakal sayap tumbuh secara bertahap, makin lama makin besar, dan
akhirnya menyerupai sayap serangga dewasa. Serangga muda disebut "nimfa" (nymph),
dan serangga dewasa disebut "imago". Baik nimfa maupun imago hidup dalam habitat
yang sama, dengan jenis makanan yang sama pula. Contoh serangga yang mengalami
metamorfosis bertingkat, antara lain ordo Orthoptera (belalang, anjing
tanah, jangkrik,kecoak, dan lain-lain), ordo Thyasanoptera (thrips), ordo Homoptera (kutu
daun, wereng, dan lain-lain), dan ordo Hemiptera (kepik, walang sangit, dan lain-lain)
3. Metamorfosis Tidak Lengkap (Hemimetabola). Nimfa serangga golongan ini mengalami
beberapa modifikasi, seperti adanya insang trachea, tungkai untuk merangkak dan
menggali, tubuh harus dapat berenang, alat mulut harus dapat mengambil makanan di
dalam air, dan lain-lain. Habitat nimfa berbeda dengan habitat imago. Nimfa tergolong
serangga akuatik (hidup di dalam air), sedangkan imagonya adalah serangga aerial.
Contoh serangga golongan hemimetabola adalah ordo Odonata (capung).

4. Metamorfosis Sempurna atau Lengkap (Holometabola). Serangga muda yang mengalami


perkembangan holometabola disebut "larva". Bentuk larva amat berbeda dengan
imago. Jenis makanan, perilaku, dan habitatnya pun biasanya berbeda dengan imago.
Sebelum menjadi imago, larva akan berkepompong terlebih dahulu. Perubahan bentuk
luar dan dalam terjadi dalam tingkat pupa (kepompong). Sayap berkembang secara
internal. Contoh serangga yang mengalami perkembangan holometabola, antara lain
ordo Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, dan Hymenoptera.
Faktor Eksternal
Merupakan faktor yang berhubungan dengan lingkungan tempat hidup serangga.
Terdapat tiga faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan hama, yaitu faktor abiotik,
biotik, dan makanan.
a. Faktor Abiotik
1) Suhu/Temperatur
Setiap spesies serangga mempunyai jangkauan suhu masing-masing dimana ia dapat
hidup, dan pada umumnya jangkauan suhu yang efektif adalah suhu minimum. Serangga
memiliki kisaran suhu tertentu untuk kehidupannya. Diluar kisaran suhu tersebut serangga
dapat mengalami kematian. Efek ini terlihat pada proses fisiologis serangga, dimana pada
suhu tertentu aktivitas serangga tinggi dan akan berkurang (menurun) pada suhu yang lain
(Ross, et al., 1982; Krebs, 1985). Umumnya kisaran suhu yang efektif adalah 15ºC (suhu
minimum), 25ºC suhu optimum dan 45ºC (suhu maksimum). Pada suhu yang optimum
kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan akan besar dan kematian (mortalitas)
sebelum batas umur akan sedikit (Natawigena, 1990).
2) Kelembaban Udara
Kelembaban udara mempengaruhi kehidupan serangga langsung atau tidak langsung.
Serangga yang hidup di lingkungan yang kering mempunyai cara tersendiri untuk
mengenfisienkan penggunaan air seperti menyerap kembali air yang terdapat pada feces yang
akan dibuang dan menggunakan kembali air metabolik tersebut, contohnya serangga rayap.
Oleh karena itu kelembaban harus dilihat sebagai keadaan lingkungan dan kelembaban
sebagai bahan yang dibutuhkan organisme untuk melangsungkan proses fisiologis dalam
tubuh. Sebagai unsur lingkungan, kelembaban sangat menonjol sebagai faktor modifikasi
suhu lewat reduksi evapotranspirasi. Selanjutnya tidak ada organisme yang dapat hidup tanpa
air karena sebagian besar jaringan tubuh dan kesempurnaan seluruh proses vital dalam tubuh
akan membutuhkan air. Serangga akan selalu mengkonsumsi air dari lingkungannya dan
sebaliknya secara terus menerus akan melepaskan air tubuhnya melalui proses penguapan dan
ekskresi. Dalam hal ini kebutuhan air bagi serangga sangat dipengaruhi oleh lingkungan
hidupnya terutama kelembaban udara.
Beberapa penelitian mengenai beberapa ketahanan serangga terhadap kekeringan
menunjukkan korelasi yang tinggi dengan keadaan lembab tempat hidupnya. Secara umum
kelembaban udara dapat mempengaruhi pembiakan, pertumbuhan, perkembangan dan
keaktifan serangga baik langsung maupun tidak langsung. Kemampuan serangga bertahan
terhadap keadaan kelembaban udara sekitarnya sangat berbeda menurut jenisnya. Dalam hal
ini kisaran toleransi terhadap kelembaban udara berubah untuk setiap spesies maupun stadia
perkembangannya, tetapi kisaran toleransi ini tidak jelas seperti pada suhu. Bagi serangga
pada umumnya kisaran toleransi terhadap kelembaban udara yang optimum terletak didalam
titik maksimum 73-100 persen. Cuaca yang lembab merangsang pertumbuhan populasi,
sedang cuaca yang sangat kering atau keadaan yang banyak hujan menghambat pertumbuhan
tersebut. Kebanyakan air, seperti banjir dan hujan lebat merupakan bahaya bagi kehidupan
beberapa jenis serangga, termasuk juga berbagai jenis kupu-kupu yang sedang beterbangan,
serta dapat menghanyutkan larva yang baru menetas.
3) Cahaya, Warna, dan Bau
Cahaya adalah faktor ekologi yang besar pengaruhnya bagi serangga, diantaranya
lamanya hidup, cara bertelur, dan berubahnya arah terbang. Banyak jenis serangga yang
memilki reaksi positif terhadap cahaya dan tertarik oleh sesuatu warna, misalnya oleh warna
kuning atau hijau. Beberapa jenis serangga diantaranya mempunyai ketertarikan tersendiri
terhadap suatu warna dan bau, misalnya terhadap warna-warna bunga. Akan tetapi ada juga
yang tidak menyukai bau tertentu (Natawigena, 1990).
Sumber cahaya dan panas yang utama di alam adalah radiasi surya. Radiasi dalam hal
ini radiasi langsung yang bersumber dari surya dan radiasi baur yang berasal dari atmosfir
secara keseluruhan. Untuk menjelaskan sifat radiasi di bedakan antara panjang gelombang
cahaya dan intensitas cahaya atau radiasi. Pengaruh cahaya terhadap perilaku serangga
berbeda antara serangga yang aktif siang hari dengan yang aktif pada malam hari. Pada siang
hari keaktifan serangga dirangsang oleh keadaan intensitas maupun panjang gelombang
cahaya di sekitarnya. Sebaliknya ada serangga pada keadaan cahaya tertentu justru
menghambat keaktifannya. Pada umumnya radiasi yang berpengaruh terhadap serangga
adalah radiasi infra merah, dalam hal ini berpengaruh untuk memanaskan tubuh serangga.
4) Angin
Angin dapat berpengaruh secara langsung terhadap kelembaban dan proses
penguapan badan serangga dan juga berperan besar dalam penyebaran suatu serangga dari
tempat yang satu ke tempat lainnya. Baik memiliki ukuran sayap besar maupun yang kecil,
dapat membawa beberapa ratus meter di udara bahkan ribuan kilometer (Natawigena, 1990).
Angin mempengaruhi mobilitas serangga. Serangga kecil mobilitasnya dipengaruhi oleh
angin, artinya serangga yang demikian dapat terbawa sejauh mungkin oleh gerakan angin.

b. Faktor Biotik
Komponen terpenting dari faktor biotik adalah parasitoid, predator, dan entomopatogen.
1) Parasitoid
Parasitoid berukuran kecil dan mempunyai waktu perkembangan lebih pendek dari
inangnya dengan cara menumpang hidup pada atau di dalam tubuh serangga hama. Dalam
tubuh host/inang tersebut, parasitoid mengisap cairan tubuh atau memakan jaringan bagian
dalam tubuh inang. Parasitoid yang hidup di dalam tubuh inang disebut endoparasitoid dan
yang menempel di luar tubuh inang disebut ectoparasitoid. Parasitoid umumnya mempunyai
inang yang lebih spesifik, sehingga dalam keadaan tertentu parasitoid lebih efektif
mengendalikan hama. Kelemahan dari parasitoid itu karena adanya parasitoid tertentu yang
dapat terkena parasit lagi oleh parasitoid lain. Kejadian seperti diatas disebut hiperparasitisme
dan parasitoid lain tersebut disebut parasit sekunder. Bila parasit sekunder ini terkena parasit
lagi disebut parasit tersier. Parasit sekunder dan parasit tersier disebut sebagai hyperparasit.
2) Predator
Predator yaitu binatang atau serangga yang memangsa binatang atau serangga lain.
Predator biasanya berukuran lebih besar dari parasit dan perkembangannya lebih lama
inangnya. Predator tidak spesifik terhadap pemilihan mangsa. Oleh karena itu predator adalah
serangga atau hewan lain yang memakan serangga hama secara langsung. Untuk
perkembangan larva menjadi dewasa dibutuhkan banyak mangsa. Predator yang
monophagous (mempunyai satu inang) menggunakan serangga hama sebagai makanan
utamanya. Predator seperti ini biasanya efektif tetapi mempunyai kelemahan, yaitu apabila
populasi hama yang rnenjadi hama mangsanya berkurang, biasanya predator tidak dapat
bertahan hidup lama. Pada umumnya predator tidak bersifat monophagous, contoh: kumbang
famili Coccinellidae, belalang sembah dan lain sebagainya.
3) Entomopatogen
Entomopatogen dapat menimbulkan penyakit, meliputi cendawan, bakteri, virus,
nematoda atau hewan mikro lainnya yang dapat mempengaruhi kehidupan serangga hama.
Entomopatogen sudah mulai dikembangkan sebagai pestisida alami untuk mengendalikan
serangga hama. Sebagai contoh Bacillus thuringiensis sudah diformulasikan dengan berbagai
merek dagang. Bakteri ini akan menginfeksi larva sehingga tidak mau makan dan akhirnya
larva mati. Demikian pula dengan cendawan sudah dikembangkan untuk mengendalikan
serangga hama, seperti Metarhizium anisopliae yang digunakan untuk mengendalikan larva
Oryctes rhinoceros. Entomopatogen lain seperti virus Nuclear Po1yhidrosis Virus (NPV)
yang mempunyai prospek cukup baik untuk mengendalikan larva Lepidoptera, seperti ulat
grayak.
c. Faktor Makanan
Faktor makanan sangat penting bagi kehidupan serangga hama. Keberadaan faktor
makanan akan dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, curah hujan dan tindakan manusia. Pada
musim hujan, orang banyak menanam lahannya dengan berbagai tanaman. Apabila semua
faktor lain sangat mendukung perkembangan serangga maka pertambahan populasi serangga
akan sejalan dengan makin bertambahnya makanan. Keadaan sebaliknya akan menurunkan
populasi serangga hama. Hubungan faktor makanan dengan populasi serangga itu disebut
hubungan bertautan padat atau density independent. Oleh karena itu faktor makanan dapat
digunakan untuk menekan populasi serangga hama, baik dalam bentuk tidak memahami
lahan pertanian dengan tanaman yang merupakan makanan serangga hama, bisa juga
menanami lahan pertanian dengan tanaman yang tidak disukai serangga hama tertentu atau
dengan tanaman resistens. Misal makin luasnya tanaman kelapa akan meningkatkan, populasi
Artona sp. Walaupun demikian Artona lebih menyukai daun tua dan bukan daun muda yang
baru terbuka ataupun daun yang belum terbuka kurang disukai. Walang sangit hanya
menghisap butir padi dalam keadaan matang susu. Jelaslah tersedianya kualitas makanan
dalam jumlah yang memadai akan meningkatkan populasi hama dengan cepat.

C. Lingkungan Optimal Terhadap Populasi Serangga

Serangga

Jumlah Individu
Tinggi

Lingkungan
Optimal Populasi

Lingkungan Biotik, Natality,


Abiotik, Sumber Mortalitas dan
Makanan Penyebaran

Bagan 1.1. Hubungan serangga dengan lingkungan optimalnya terhadap populasi.

Populasi

Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk
hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan
interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni
suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Adapun sifat-sifat khas yang dimiliki oleh suatu
populasi adalah kerapatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas),
sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran
(dispersi). Dalam studi populasi, lazimnya peneliti menentukan sendiri secara arbitrer
kriteria yang membatasi populasi yang akan ditelitinya. Sebagai contoh seorang peneliti dapat
secara arbitrer menentukan: populasi Eurema blanda L pada persemaian Paraseriathes
falcataria di Saradan, populasi banteng (Bos sondaicus} di Baluran, populasi rayap kayu
kering (Cryptotermes cynocephalus Light) di gedung-gedung Kampus Universitas Pakuan,
Bogor dan seterusnya.

Dari segi populasi, ekologi dapat didefinisikan sebagai hubungan antara kerapatan biomas
populasi dengan lingkungan, interaksi antar (inter) populasi dan dalam (intra) populasi, serta
efek populasi terhadap lingkungan.

Tingkatan organisasi
Seperti telah dikemukakan terdahulu populasi adalah sekelompok individu dari suatu
spesies pada suatu tempat yang terbatas dan tertentu (limited and defined) dan pada waktu
tertentu sedangkan lingkungan merupakan variabel fisik dan hayati yang mempengaruhi
populasi, termasuk interaksi antara individu dalam populasi dan antar individu spesies-
spesies yang berbeda.

Dem (deme) adalah populasi setempat (local population) yang merupakan


sekelompok individu di mana setiap pasangan (jantan dan betina) dalam kelompok itu
memiliki peluang yang sama untuk kawin (memiliki satu gene pool). Spesies adalah
himpunan populasi-populasi yang memiliki gene pool yang sama. Tingkatan organisasi yang
lebih tinggi adalah komunitas sebagai populasi dari berbagai spesies yang hidup pada satu
wilayah tertentu, sedangkan ekosistem adalah komunitas bersama-sama dengan lingkungan
fisiknya. Ekosistem-ekosistem regional seperti daerah padang rumput, hutan hujan tropik dan
hutan gugur daun adalah bioma (biome).

Sistem kehidupan atau sistem hayati (life system) adalah suatu satuan ekologi yang
merupakan bagian dari ekosistem yang menentukan eksistensi, kelimpahan dan evolusi dari
populasi tertentu. Dari segi ini, ekosistem dapat dianggap sebagai himpunan sistem-sistem
kehidupan yang saling mengunci (interlocking life system).

D. Pengaruh Pengelolaan Agroekosistem Terhadap Populasi Hama dan Musuh


Alaminya

Hama merupakan salah satu faktor pembatas produksi pertanian. Serangan hama
dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi pertanian, bahkan pada tingkat serangan
yang berat dapat membuat tanaman tidak menghasilkan sama sekali (puso). Kerusakan akibat
serangan hama dan penyakit di sentra-sentra produksi padi di seluruh Indonesia sejak awal
tahun hingga musim kemarau awal Agustus 2008 mencapai 293.831 hektar. Lahan sawah
yang puso mencapai 1.447 hektar atau 0,01 persen dari total areal persawahan 12,5 juta
hektar atau sekitar 1-2 persen dari angka rata-rata produktivitas nasional 5,1 ton per hektar
(Tamburian 2008). Walaupun tingkat kerusakan tersebut tidak sebesar ketika terjadi wabah
serangan wereng coklat pada tahun 1980-an, apabila dihitung dengan uang kerugian yang
diderita bisa mencapai milyaran rupiah.

Pada konsep pertanian modern yang intensif, pengendalian hama banyak ditumpukan
pada penggunaan pestisida. Total nilai penggunaan pestisida di Indonesia mencapai Rp 5
triliun per tahun (Tempointeraktif 2008). Namun demikian, pestisida juga mempunyai
dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme non-target. Dengan makin meningkatnya
kesadaran tentang arti pentingnya kelestarian lingkungan dan pertanian berkelanjutan, maka
perlu dikembangkan pengelolaan agroekosistem yang akan memberikan produktivitas lahan
yang tinggi dan menekan serangan hama. Salah satu cara pengendalian hama yang ramah
lingkungan adalah dengan pengendalian hayati melalui konservasi musuh alami. Konsep ini
memprioritaskan peran musuh alami untuk mengendalikan hama, sehingga teknik
pengelolaan agroekosistem yang dilakukan diharapkan dapat mendorong berfungsinya musuh
alami. Pengendalian hama dilakukan tidak dengan menambahkan input saprodi baru tetapi
melalui perbaikanperbaikan praktek budidaya yang sudah dilakukan, sehingga terdapat
kondisi lingkungan yang menguntungkan bagi musuh alami hama untuk berperan optimal.

Peningkatan kompleksitas agroekosistem pada sistem tumpangsari seringkali dapat


mengurangi populasi hama (Altieri dan Letourneau 1984). Ada dua hipotesis yang
dikemukakan oleh Root (1973) tentang perbedaan populasi herbivora pada lahan monokultur
dan polikultur. Hipotesis pertama memperkirakan bahwa herbivora monofagus dan
oligofagus akan lebih mudah menemukan tanaman inangnya dan meningkat populasinya
pada lahan monokultur. tempat tanaman inangnya terkonsentrasi, sedang herbivore polifagus
akan cenderung meninggalkan tempat tersebut dan menyebar ke vegetasi sekitarnya.
Hipotesis kedua memperkirakan bahwa populasi musuh alami akan lebih tinggi pada lahan
polikultur karena ketersediaan mangsa alternatif, sumber nektar dan kondisi mikrohabitat
yang sesuai, sebagai konsekuensinya maka populasi herbivora akan lebih rendah dibanding
lahan monokultur.

Tujuan dari sistem tumpangsari selain untuk meningkatkan produktivitas lahan juga
dapat bermanfaat mengurangi penemuan dan kolonisasi hama pada tanaman, selain itu juga
bermanfaat dapat meningkatkan jumlah dan aktivitas musuh alami. Adanya tanam ganda
dapat mengurangi populasi spesies herbivora sampai 56 % (Andow 1990). Menurut Seehan
(1986) sistem tumpangsari ini lebih bermanfaat bagi spesies musuh alami yang bersifat
generalis daripada yang spesiaiis karena dengan adanya diversifikasi tanaman menyebabkan
jumlah spesies herbivora meningkat dan musuh alami generalis yang menyerang lebih dari
satu spesies herbivora akan lebih tersedia inangnya. Penelitian menunjukkan bahwa
kemelimpahan, diversitas dan tingkat parasitasi parasitoid generalis lebih tinggi pada
pertanaman polikultur dibanding pada pertanaman monokultur (Mennaled dkk 1999).
Sistem tumpangsari akan meningkatkan keragaman tanaman dalam agroekosistem
yang pada gilirannya juga akan mempengaruhi keanekaragaman serangga hama dan musuh
alami yang hidup di habitat tersebut. Populasi serangga hama dapat ditekan
perkembangannya karena pengelompokan tanaman membuat hama sulit berpindah tempat.
Dilain pihak pengelompokan tanaman dan peningkatan diversitas tanaman juga akan
membuat musuh alami mengalami kesulitan untuk menemukan inangnya. Pengujian
pengaruh tumpangsari kedelai dengan terung menunjukkan penurunan persentase polong
kedelai terserang hama, karena tanaman terung dapat memancing hama perusak polong
kedelai seperti Nezara vihdula. Hal itu ditandai dengan banyaknya hama perusak polong yang
hidup pada tanaman terung (BPTP Sumbar 2005). Penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat
parasitasi telur Spodoptera litura dan H. armigera lebih tinggi pada kobis yang ditanam
monokultur dibanding kobis yang ditanam tumpangsari dengan tomat (Brotodjojo 2007).

Pemupukan dan pengelolaan air merupakan komponen pokok dalam peningkatan


produksi pertanian. Pengaruh pemupukan dan pengelolaan air terhadap populasi hama dan
musuh alaminya lebih bersifat tidak langsung. Pemupukan dan pengairan akan
mempengaruhi kualitas dan fisiologis tanaman yang pada gilirannya juga akan
mempengaruhi perkembangan serangga herbivora dan musuh alaminya (Letourneau dan
Altieri 1999). Kandungan nutrisi tanah akan mempengaruhi ukuran dan arsitektur tanaman
yang merupakan arena pencarian inang herbivora bagi musuh alami. Tanaman yang tumbuh
lebat karena pemupukan N dapat menurunkan tingkat parasitasi Pieris spp. oleh Cotesia
glomerata (Sato dan Ohsaki 1987). Pengairan selain mempengaruhi pertumbuhan tanaman
juga mempengaruhi kelembaban dan suhu di sekitar tanaman yang juga akan berpengaruh
terhadap perkembangan hama dan musuh alaminya. Pengairan dan jarak tanam yang rapat
pada kapas meningkatkan populasi hama Geocoris pallens dan Orius tristicolor (Leigh dkk
1974). Parasitoid Cotesia medica akan hidup paling lama pada kelembaban 55%, dan
menurun lama hidupnya pada kelembaban di atas atau di bawahnya (Allen& Smith 1958).
Perbedaan karakteristik fisik tanaman juga menyebabkan perbedaan efektivitas parasitoid
dalam mengendalikan hama. Tingkat parasitisasi telur Pieris rapae (Linnaeus), Plutella
xylostella (Linnaeus) dan Trichoplusia ni ((Hubner) oleh T. pretiosum dan T. evanescens
Westwood umumnya lebih tinggi pada tanaman yang memiliki struktur sederhana dari pada
tanaman dengan struktur lebih komplek (Gingras dkk, 2003). Struktur permukaan daun juga
dapat mempengaruhi tingkat parasitisasi. Lapisan lilin dan adanya trikom pada permukaan
daun mempersulit parasitoid berjalan pada daun sehingga akan mengurangi efisiensi
parasitoid dalam menemukan inangnya (Eigenbrode 2004; Olson dan Andow 2006). Oleh
karena itu dalam pemilihan varietas tanaman juga harus mempertimbangkan dampaknya
terhadap musuh alami hama.

Keberhasilan musuh alami dalam mengendalikan populasi hama dipengaruhi oleh


interaksi tritrofik antara tanaman, hama dan musuh alami itu sendiri. Tingkat parasitisasi
Trichogramma pretiosum Riley pada telur Helicoverpa spp. sangat bervariasi pada berbagai
jenis tanaman (Puterka dkk 1985). Hal tersebut menunjukkan bahwa parasitoid lebih tertarik
pada hama atau tanaman tertentu, atau dapat berkembang lebih baik pada inang tertentu (van
Dijken dkk 1986, Wackers dkk 1987, Roriz dkk 2005). Pemahaman asosiasi komplek antara
tanaman, hama dan musuh alami diperlukan agar dapat meningkatkan peran musuh alami
dalam pengelolaan hama untuk mendukung konsep pertanian yang berkelanjutan.

You might also like