Professional Documents
Culture Documents
AGROEKOSISTEM TANAMAN
MAGISTER AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
A. Agroekosistem, Sistem Kehidupan (Life System) dan PHT
Ekosistem terdiri dari banyak sistem kehidupan (Price, 1975) yang saling
berhubungan langsung dan tidak langsung. Istilah sistem kehidupan pertama kali
dikemukakan oleh Clark et. Al. (1967). Menurut mereka sistem kehidupan adalah bagian dari
ekosistem yang menentukan eksistensi, kelimpahan dan evolusi populasi spesies tertentu.
Sistem kehidupan terdiri dari populasi subyek dan lingkungan efektifnya yang mencakup
seluruh agensia eksternal yang berpengaruh terhadap populasi itu.
Dalam agroekosistem terdapat sejumlah sistem kehidupan yang relatif masih besar,
meskipun pada umumnya kurang dari yang ada di ekosistem alamiah. Geier
(1966 dalam Luckman dan Metcalf, 1982) menyatakan bahwa dalam prakteknya PHT adalah
“memutuskan bagaimana sistem hidup hama harus dimodifikasi untuk menekan populasinya
sampai pada tingkat yang dapat ditoleransi (ambang ekonomi)”. Memodifikasi sistem
kehidupan hama berarti memodifikasi lingkungan efektif dari hama itu. Jadi, faktor-faktor
lingkungan hama yang benar-benar berpengaruh terhadap kehidupan dan perkembangan
populasi perlu diketahui lebih dahulu, dengan kata lain biologi dan ekologi hama harus
diketahui dengan baik. Masalahnya menjadi lebih kompleks karena faktor-faktorn efektif
hama yang berupa faktor biotik masing-masing mempunyai sistem kehidupan sendiri.
Lingkungan efektif suatu hama terutama adalah faktor makanan, faktor biotik dan faktor
fisik. Dengan demikian, memodifikasi sistem kehidupan hama itu adalah memanipulasi salah
satu, beberapa atau semua faktor tersebut.
Gambar 1.1. Distribusi spesies utama dalam grup taksonomi. Jumlah spesies serangga,
bakteri dan jamur kemungkinan akan sangat meningkat sebagai kelompok-kelompok yang
lebih dikenal. Data dari E. Wilson (1992).
b. Keperidian
Keperidian adalah kemampuan indiviidu betina untuk menghasilkan sejumlah telur.
Serangga hama yang mempunyai keperidian cukup tinggi biasanya diketahui dengan faktor
luar sebagai penghambat perkembangannya juga tinggi. Baik berupa makanannya, musuh
alami, faktor fisik: ataupun faktor kompetisi antara serangga hama itu sendiri dalam
memperoleh ruang tempat hidup, memperoleh makanan dan lain sebagainya. Pada serangga
hama tertentu meletakkan telur satu per satu dan dalam jumlah yang tidak begitu banyak,
namun mayoritas serangga hama akan meletakkan telur secara berkelompok dan begitu
menetas akan terjadi kompetisi diantara serangga sendiri. Kompetisi akan terjadi pada
individu-individu dalam suatu habitat untuk mendapatkan sumber kebidupan. Kompetisi
antar individu dapat terjadi dalam bentuk:
1) Kompetisi dalam hal makanan
Kompetisi dalam hal makanan biasanva terjadi karena populasi makanan saat itu
berkurang, sedangkan populasi serangga stabil atau bahkan meningkat. Akibatnya akan
bekerja faktor yang bersifat density dependent, yang berkaitan dengan suplai makanan
tersebut, terjadinya penurunan populasi serangga karena meningkatnya mortalitas. Kompetisi
diatas dapat dicontohkan pada serangga hama gudang:Tribolium sp., Sitophilus sp. yang
suplai makanannya terbatas seperti gudang-gudang dikosongkan sehingga makanan terbatas
dan serangga banyak mati. Bagi serangga yang kuat dalam kompetisi itu akan tetap hidup
karena serangga tersebut masih mendapat makanan.
2) Kompetisi dalam hal ruang gerak
Kompetisi itu terjadi pada serangga hama yang hidup dan berkembang pada ruang
gerak terbatas. Dapat dicontohkan serangga yang hidup pada lubang gerak. Bila dalam
sebuah lubang gerak dihuni oleh 2 ekor larva atau lebih, maka ruang gerak menjadi sempit.
Akibatnya serangga yang kuat akan bertahan dan yang lemah akan terdesak dan mati.
3) Kompetisi dalam hal tempat berlindung
Kompetisi ini sering dijumpai pada serangga-serangga yang berukuran kecil yang
umumnya lemah, tidak tahan sinar matahari langsung, kelembaban yang rendah, hujan lebat
dan angin kencang. Jika tempat berlindung terbatas maka sebagian populasinya akan
tertimpa keadaan ekstrim di atas. Akibatnya populasi menurun. Pengaruh lain akibat
kompetisi ini adalah menurunnya populasi musuh alami karena berkurangnya inang ataupun
mangsa.
c. Siklus Hidup
Pada sebagian serangga hama jangka waktu perkembangan dari telur sampai dewasa
berlangsung pendek, tetapi pada serangga lain perkembangannya berlangsung lama. Serangga
yang mengalami metamorfosa holometabola perkembangan serangga dimulai dari telur-larva-
pupa/kepompong-dewasa. Pada serangga yang mengalami metamorfasa hemimetabola atau
paurometabola perkembangannya dimulai dari telur-nimfa-dewasa. Kualitas makanan akan
berpengaruh kepada pertumbuhan serangga seperti dicontohkan pada serangga Dasynus
piperis yang diberi makanan (buah lada) dari varietas Natar mempunyai bobot tubuh yang
lebih besar daripada serangga yang diberi makanan dari varietas Cunuk dan Petaling. Hal itu
berkaitan dengan perbedaan karbohidrat, protein maupun pipereni pada tiga varietas tersebut.
Demikian pula pengaruh makanan terhadap serangga hama diantaranya tercermin dari siklus
hidup serangga itu. Pada umumnya serangga yang kebutuhan nutrisinya terpenuhi dan
berimbang, siklus hidupnya akan lebih cepat bila dibandingkan dengan serangga hama yang
kebutuhan nutrisinya tidak cukup. Berbagai spesies serangga masing-masing mempunyai
berbagai spesies serangga jangka perkembangan bagian serangga yang berbeda-beda pula.
Ada serangga yang siklus hidupnya beberapa hari, atau hidup lebih dari satu bulan. Pada
Coccus viridis, begitu telur diletakkan maka 11 jam kemudian telur menetas menjadi nimfa.
Berdasarkan perubahan-perubahan tersebut, serangga dapat dibedakan dalam empat
golongan, yaitu terdiri dari:
1. Tanpa Metamorfosis (Ametabola). Golongan serangga ini sejak menetas (instar pertama)
bentuknya sudah menyerupai serangga dewasa (tidak bermetamorfosis), hanya ukurannya
saja yang bertambah besar. Serangga muda dan serangga dewasa hidup dalam habitat
dengan jenis makanan yang sama. Contoh serangga yang tidak metamorfosis, antara lain
ordo Thysanura (kutu buku atau rengget atau ngenget) dan ordo Collembola,
misalnya Ekor Gunting.
b. Faktor Biotik
Komponen terpenting dari faktor biotik adalah parasitoid, predator, dan entomopatogen.
1) Parasitoid
Parasitoid berukuran kecil dan mempunyai waktu perkembangan lebih pendek dari
inangnya dengan cara menumpang hidup pada atau di dalam tubuh serangga hama. Dalam
tubuh host/inang tersebut, parasitoid mengisap cairan tubuh atau memakan jaringan bagian
dalam tubuh inang. Parasitoid yang hidup di dalam tubuh inang disebut endoparasitoid dan
yang menempel di luar tubuh inang disebut ectoparasitoid. Parasitoid umumnya mempunyai
inang yang lebih spesifik, sehingga dalam keadaan tertentu parasitoid lebih efektif
mengendalikan hama. Kelemahan dari parasitoid itu karena adanya parasitoid tertentu yang
dapat terkena parasit lagi oleh parasitoid lain. Kejadian seperti diatas disebut hiperparasitisme
dan parasitoid lain tersebut disebut parasit sekunder. Bila parasit sekunder ini terkena parasit
lagi disebut parasit tersier. Parasit sekunder dan parasit tersier disebut sebagai hyperparasit.
2) Predator
Predator yaitu binatang atau serangga yang memangsa binatang atau serangga lain.
Predator biasanya berukuran lebih besar dari parasit dan perkembangannya lebih lama
inangnya. Predator tidak spesifik terhadap pemilihan mangsa. Oleh karena itu predator adalah
serangga atau hewan lain yang memakan serangga hama secara langsung. Untuk
perkembangan larva menjadi dewasa dibutuhkan banyak mangsa. Predator yang
monophagous (mempunyai satu inang) menggunakan serangga hama sebagai makanan
utamanya. Predator seperti ini biasanya efektif tetapi mempunyai kelemahan, yaitu apabila
populasi hama yang rnenjadi hama mangsanya berkurang, biasanya predator tidak dapat
bertahan hidup lama. Pada umumnya predator tidak bersifat monophagous, contoh: kumbang
famili Coccinellidae, belalang sembah dan lain sebagainya.
3) Entomopatogen
Entomopatogen dapat menimbulkan penyakit, meliputi cendawan, bakteri, virus,
nematoda atau hewan mikro lainnya yang dapat mempengaruhi kehidupan serangga hama.
Entomopatogen sudah mulai dikembangkan sebagai pestisida alami untuk mengendalikan
serangga hama. Sebagai contoh Bacillus thuringiensis sudah diformulasikan dengan berbagai
merek dagang. Bakteri ini akan menginfeksi larva sehingga tidak mau makan dan akhirnya
larva mati. Demikian pula dengan cendawan sudah dikembangkan untuk mengendalikan
serangga hama, seperti Metarhizium anisopliae yang digunakan untuk mengendalikan larva
Oryctes rhinoceros. Entomopatogen lain seperti virus Nuclear Po1yhidrosis Virus (NPV)
yang mempunyai prospek cukup baik untuk mengendalikan larva Lepidoptera, seperti ulat
grayak.
c. Faktor Makanan
Faktor makanan sangat penting bagi kehidupan serangga hama. Keberadaan faktor
makanan akan dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, curah hujan dan tindakan manusia. Pada
musim hujan, orang banyak menanam lahannya dengan berbagai tanaman. Apabila semua
faktor lain sangat mendukung perkembangan serangga maka pertambahan populasi serangga
akan sejalan dengan makin bertambahnya makanan. Keadaan sebaliknya akan menurunkan
populasi serangga hama. Hubungan faktor makanan dengan populasi serangga itu disebut
hubungan bertautan padat atau density independent. Oleh karena itu faktor makanan dapat
digunakan untuk menekan populasi serangga hama, baik dalam bentuk tidak memahami
lahan pertanian dengan tanaman yang merupakan makanan serangga hama, bisa juga
menanami lahan pertanian dengan tanaman yang tidak disukai serangga hama tertentu atau
dengan tanaman resistens. Misal makin luasnya tanaman kelapa akan meningkatkan, populasi
Artona sp. Walaupun demikian Artona lebih menyukai daun tua dan bukan daun muda yang
baru terbuka ataupun daun yang belum terbuka kurang disukai. Walang sangit hanya
menghisap butir padi dalam keadaan matang susu. Jelaslah tersedianya kualitas makanan
dalam jumlah yang memadai akan meningkatkan populasi hama dengan cepat.
Serangga
Jumlah Individu
Tinggi
Lingkungan
Optimal Populasi
Populasi
Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk
hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan
interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni
suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Adapun sifat-sifat khas yang dimiliki oleh suatu
populasi adalah kerapatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas),
sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran
(dispersi). Dalam studi populasi, lazimnya peneliti menentukan sendiri secara arbitrer
kriteria yang membatasi populasi yang akan ditelitinya. Sebagai contoh seorang peneliti dapat
secara arbitrer menentukan: populasi Eurema blanda L pada persemaian Paraseriathes
falcataria di Saradan, populasi banteng (Bos sondaicus} di Baluran, populasi rayap kayu
kering (Cryptotermes cynocephalus Light) di gedung-gedung Kampus Universitas Pakuan,
Bogor dan seterusnya.
Dari segi populasi, ekologi dapat didefinisikan sebagai hubungan antara kerapatan biomas
populasi dengan lingkungan, interaksi antar (inter) populasi dan dalam (intra) populasi, serta
efek populasi terhadap lingkungan.
Tingkatan organisasi
Seperti telah dikemukakan terdahulu populasi adalah sekelompok individu dari suatu
spesies pada suatu tempat yang terbatas dan tertentu (limited and defined) dan pada waktu
tertentu sedangkan lingkungan merupakan variabel fisik dan hayati yang mempengaruhi
populasi, termasuk interaksi antara individu dalam populasi dan antar individu spesies-
spesies yang berbeda.
Sistem kehidupan atau sistem hayati (life system) adalah suatu satuan ekologi yang
merupakan bagian dari ekosistem yang menentukan eksistensi, kelimpahan dan evolusi dari
populasi tertentu. Dari segi ini, ekosistem dapat dianggap sebagai himpunan sistem-sistem
kehidupan yang saling mengunci (interlocking life system).
Hama merupakan salah satu faktor pembatas produksi pertanian. Serangan hama
dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi pertanian, bahkan pada tingkat serangan
yang berat dapat membuat tanaman tidak menghasilkan sama sekali (puso). Kerusakan akibat
serangan hama dan penyakit di sentra-sentra produksi padi di seluruh Indonesia sejak awal
tahun hingga musim kemarau awal Agustus 2008 mencapai 293.831 hektar. Lahan sawah
yang puso mencapai 1.447 hektar atau 0,01 persen dari total areal persawahan 12,5 juta
hektar atau sekitar 1-2 persen dari angka rata-rata produktivitas nasional 5,1 ton per hektar
(Tamburian 2008). Walaupun tingkat kerusakan tersebut tidak sebesar ketika terjadi wabah
serangan wereng coklat pada tahun 1980-an, apabila dihitung dengan uang kerugian yang
diderita bisa mencapai milyaran rupiah.
Pada konsep pertanian modern yang intensif, pengendalian hama banyak ditumpukan
pada penggunaan pestisida. Total nilai penggunaan pestisida di Indonesia mencapai Rp 5
triliun per tahun (Tempointeraktif 2008). Namun demikian, pestisida juga mempunyai
dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme non-target. Dengan makin meningkatnya
kesadaran tentang arti pentingnya kelestarian lingkungan dan pertanian berkelanjutan, maka
perlu dikembangkan pengelolaan agroekosistem yang akan memberikan produktivitas lahan
yang tinggi dan menekan serangan hama. Salah satu cara pengendalian hama yang ramah
lingkungan adalah dengan pengendalian hayati melalui konservasi musuh alami. Konsep ini
memprioritaskan peran musuh alami untuk mengendalikan hama, sehingga teknik
pengelolaan agroekosistem yang dilakukan diharapkan dapat mendorong berfungsinya musuh
alami. Pengendalian hama dilakukan tidak dengan menambahkan input saprodi baru tetapi
melalui perbaikanperbaikan praktek budidaya yang sudah dilakukan, sehingga terdapat
kondisi lingkungan yang menguntungkan bagi musuh alami hama untuk berperan optimal.
Tujuan dari sistem tumpangsari selain untuk meningkatkan produktivitas lahan juga
dapat bermanfaat mengurangi penemuan dan kolonisasi hama pada tanaman, selain itu juga
bermanfaat dapat meningkatkan jumlah dan aktivitas musuh alami. Adanya tanam ganda
dapat mengurangi populasi spesies herbivora sampai 56 % (Andow 1990). Menurut Seehan
(1986) sistem tumpangsari ini lebih bermanfaat bagi spesies musuh alami yang bersifat
generalis daripada yang spesiaiis karena dengan adanya diversifikasi tanaman menyebabkan
jumlah spesies herbivora meningkat dan musuh alami generalis yang menyerang lebih dari
satu spesies herbivora akan lebih tersedia inangnya. Penelitian menunjukkan bahwa
kemelimpahan, diversitas dan tingkat parasitasi parasitoid generalis lebih tinggi pada
pertanaman polikultur dibanding pada pertanaman monokultur (Mennaled dkk 1999).
Sistem tumpangsari akan meningkatkan keragaman tanaman dalam agroekosistem
yang pada gilirannya juga akan mempengaruhi keanekaragaman serangga hama dan musuh
alami yang hidup di habitat tersebut. Populasi serangga hama dapat ditekan
perkembangannya karena pengelompokan tanaman membuat hama sulit berpindah tempat.
Dilain pihak pengelompokan tanaman dan peningkatan diversitas tanaman juga akan
membuat musuh alami mengalami kesulitan untuk menemukan inangnya. Pengujian
pengaruh tumpangsari kedelai dengan terung menunjukkan penurunan persentase polong
kedelai terserang hama, karena tanaman terung dapat memancing hama perusak polong
kedelai seperti Nezara vihdula. Hal itu ditandai dengan banyaknya hama perusak polong yang
hidup pada tanaman terung (BPTP Sumbar 2005). Penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat
parasitasi telur Spodoptera litura dan H. armigera lebih tinggi pada kobis yang ditanam
monokultur dibanding kobis yang ditanam tumpangsari dengan tomat (Brotodjojo 2007).