You are on page 1of 21

TOILET TRAINING

Disusun Oleh :
Devia Febrianti 1610711051
Purwandari Nurfaizah 1610711059
Cintya Veronica 1610711069
Trisna Irawati Sianturi 1610711106
Nurfatma Silvia 1610711117

Program Studi S1 Keperawatan


Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan
Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jakarta
2017
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya.

Makalah yang berjudul Toilet Training ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Keperawatan Anak I.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah penulis menyampaiakan rasa hormat dan
ucapan terimakasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan bantuan dan
dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.

Jakarta , 25 Januari 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. 2

DAFTAR ISI............................................................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 4

A. Latar Belakang ............................................................................................. 4


B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
C. Tujuan .......................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 6
A. Pengertian dari toilet training....................................................................... 6
B. Dampak dari toilet training .......................................................................... 7
C. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Toilet Training pada Anak
Prasekolah .................................................................................................... 8
D. Tanda Kesiapan Anak Melakukan Toilet Training .................................... 12
E. Masalah yang mungkin timbul dalam pelatihan toilet training ................. 14
F. Pengaruh Modelling Media Video terhadap Peningkatan Kemampuan
Toilet Training da Anak Retardasi Mental Usia 5-7 Tahun ...................... 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................... 20
A. Simpulan .................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 21

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Toilet training adalah usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam
melakukan buang air besar dan buang air kecil (Hidayat,2006:62). Pada usia 4-6 tahun
anak sudah bisa mengenali keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil.
Toilet training merupakan salah satu tugas utama anak pada usia toddler. Anak usia
toddler harus mampu mengenai rasa untuk mengeluarkan dan menahan eliminasi serta
mampu mengkomunikasikan sensasi BAK dan BAB kepada orang tua (Alexandra,
2008;Klijin,2006).
Dampak dari kegagalan toilet training juga dapat menyebabkan anak menjadi
kurang mandiri, memiliki sikap egois, keras kepala, cenderung ceroboh dalam melakukan
kegiatan sehari-hari (Hidayat, 2008).
Pada tahapan usia 1–3 tahun atau yang disebut dengan usia toddler, kemampuan
sfingter uretra yang berfungsi untuk mengontrol rasa ingin defekasi dan rasa ingin
berkemih mulai berkembang, dengan bertambahnya usia, kedua sfingter tersebut semakin
mampu mengontrol rasa ingin berkemih dan rasa ingin defekasi.
Kesiapan anak dalam pelatihan toilet training harus diperhatikan juga, seperti
kesiapan fisik. Kesiapan fisik berarti anak secara fisik sudah kuat dan mampu melakukan
toilet training. Kesiapan fisik dapat ditunjukan jika:
1. Anak mampu duduk atau berdiri sehingga memudahkan anak untuk latihan buang air
besar dan air kecil.
2. Mengontrol spingter anal dan uretral akan dicapai pada anak usia 18 sampai 24 bulan.
3. Anak juga harus mengenali keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil
4. Mampu menyampaikan perasaan ini kepada orang tuanya.
5. Tidak buang air dalam waktu lebih dari 2jam
6. Anak sudah dapat menarik atau menurunkan celana
7. Anak sudah dapat mengikuti peraturan sederhana didalam kamar mandi. Seperti cuci
tangan sebelum keluar kamar mandi
8. Anak sudah dapat berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain
9. Anak sudah aware dengan kotoranya

4
Dalam penelitian (N. E. Faikoh, 2014) terbukti modelling media video dapat
menarik minat dan fokus responden untuk menonton video yang disajikan peneliti.
Responden terlihat senang, dan antusias dalam memperhatikan setiap adegan atau
ketrampilan toilet training yang diperagakan oleh model dalam video lalu kemudian
mempraktekan apa yang mereka lihat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari toilet training
2. Apa dampak dari toilet training
3. Apa faktor-faktor yang berhubungan dengan toilet training pada anak prasekolah
4. Apa tanda kesiapan anak melakukan toilet training
5. Apa masalah yang mungkin timbul dalam pelatihan toilet training
6. Bagaimana pengaruh modelling media video terhadap peningkatan kemampuan
toilet training dan anak retardasi mental usia 5-7 Tahun
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari toilet training
2. Untuk mengetahui dampak dari toilet training
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan toilet training pada
anak prasekolah
4. Untuk mengetahui tanda kesiapan anak melakukan toilet training
5. Untuk mengetahui masalah yang mungkin timbul dalam pelatihan toilet training
6. Untuk mengetahui pengaruh modelling media video terhadap peningkatan
kemampuan toilet training dan anak retardasi mental usia 5-7 Tahun

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dari toilet training


Anak usia toddler merupakan masa keemasan yang dimana anak mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat. Pada masa ini dapat bermanfaat
secara optimal apabila orang tua mampu melakukan proses pengasuhan dan pendidikan
dengan cara yang optimal. Masa ini juga dapat membentuk dasardasar kepribadian anak
itu sendiri (Soetjiningsih, 1998 dalam Rahmawati, 2015).
Toilet training adalah usaha untuk meltih anak agar mampu mengontrol dalam
melakukan ang air besar dan buang air kecil (Hidayat,2006:62). pada usia 4-6 tahun anak
sudah bisa mengenali keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil. Keberhasilan
Toilet training salah satunya dipengaruhi oleh pola asuh orang tua.
Toilet training adalah merupakan salah satu tugas utama anak pada usia toddler.
Anak usia toddler harus mampu mengenai rasa untuk mengeluarkan dan menahan
eliminasi serta mampu mengkomunikasikan sensasi BAK dan BAB kepada orang tua
(Alexandra, 2008;Klijin,2006) toilet training secara umum dapat dilakukan pada setiap
anak yang sudah mulai memasuki fase kemandirian pada anak (Keen,2007;Wald,2009).
Fase ini biasanya pada anak usia 18-24 bulan. Dalam melakukan toilet training ,anak
membutuhkan persiapan fisik, psikologis maupun intelektualnya . dari persiapan tersebut
anak dapatmengontrol buang air besar dan buang air kecil secara mandiri.
Salah satu factor yang mendukung keberhasilan toilet training adalah pola asuh
orang tua dalam memberikan pelatihan toilet training. Pola asuh orang tua secara umum
diarahkan pada cara orang tua memperlakukan anak dalam berbagai hal, baik dalam
berkomunikasi, mendisiplikan, memonitoring, mendorong dan sebagainya
(Rahayu,2008:6). Menurut American Academik of Pediatries (APP,2004) sikap atau pola
asuh orang tua memberikan hukuman atau memarahi anak, akan sering menimbulkan
perasaan yang tidak nyaman pada anak dan bisa menyebabkan kegagalan toilrt training
dan menjadi lebih lama.

6
B. Dampak dari toilet training
Melalui toilet training anak akan belajar bagaimana mereka mengendalikan
keinginan untuk buang air besar yang selanjutnya akan menjadikan mereka terbiasa
menggunakan toilet (mencerminkan keteraturan) secara mandiri . Kedekatan interaksi
oang tua terhadap anak dalam toilet training ini akan memebuat anak merasa aman dan
percaya diri .
Dalam perkembangan anak usia 18-36 bulan harus dapat perhatian orang tua
adalah latihan BAB dan BAK. Pada tahapan usia 18-36 bulan kemampuan sfingter ani
untuk mengontrol rasa ingin defekasi mulai berkembang dan biasanya sejalan dengan
anak mampu berjalan, kedua sfingter tersebut semakin mampu mengontrol rasa ingin
BAB dan BAK . Mengatur kebiasaan BAB dan BAK yang baik dan teratur pada anak
merupakan kegiatan yang harus dilakukan orang tua sejak usia 18-36 bulan , karena
apabila hal tersebut terabaikan maka kemungkinan anak akan menjalankan kebiasaan
buruk yang selama ini dilakukan seperti mengompol dan ketergantungan dengan pempers
(Handayani)
Dampak dari kegagalan toilet training juga dapat menyebabkan anak menjadi
kurang mandiri, memiliki sikap egois, keras kepala, cenderung ceroboh dalam melakukan
kegiatan sehari-hari (Hidayat, 2008). Kegagalan toilet training juga dapat menyebabkan
anak mengalami enuresis atau mengompol (Aziz, 2006).
Dampak secara sosial dan kejiwaan yang ditimbulkan akibat kebiasaan
mengompol dapat menganggu kehidupan seorang anak. Pengaruh buruk secara psikologis
dan sosial yang menetap akibat mengompol akan mempengaruhi kualitas hidup anak
sebagai seorang manusia dewasa dan bila berkepanjangan akan berpengaruh buruk bagi
anak sebagai contoh anak menjadi tidak percaya diri, rendah diri, malu dan hubungan
sosial dengan teman-temannya juga terganggu.
Perilaku ibu dalam toilet training dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya
adalah faktor internal (usia, status kesehatan, riwayat perkembangan), faktor eksternal
yaitu sosial ekonomi, tingkat pendidikan, pengalaman, peran, tingkat pengetahuan,
perilaku (Hasinudin, 2012). Perilaku orang tua yang telah memperoleh informasi toilet
training akan mudah mengajarkan toilet training pada anaknya, sehingga anak dapat
melaksanakan toilet training dengan benar. Namun berbeda dengan perilaku orang tua

7
yang belum mendapat informasi tentangtoilet training mereka akan bingung dan salah
dalam mengajarkan ke anaknya.
C. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Toilet Training pada Anak Prasekolah
Toilet training merupakan salah satu tugas dari perkembangan anak pada usia
toddler (Hockenbery, Wilson, & Wong, 2012). Pada tahapan usia 1–3 tahun atau yang
disebut dengan usia toddler, kemampuan sfingter uretra yang berfungsi untuk mengontrol
rasa ingin defekasi dan rasa ingin berkemih mulai berkembang, dengan bertambahnya
usia, kedua sfingter tersebut semakin mampu mengontrol rasa ingin berkemih dan rasa
ingin defekasi. Walaupun demikian, satu anak ke anak yang lainnya mempunyai
kemampuan yang berbeda dalam pencapaian kemampuan tersebut. Hal tersebut
bergantung kepada beberapa faktor yaitu baik faktor fisik maupun faktor psikologis.
Kemampuan anak untuk buang air besar (BAB) biasanya lebih awal sebelum kemampuan
buang air kecil (BAK) karena keteraturan yang lebih besar, sensasi yang lebih kuat untuk
BAB daripada BAK, dan sensasi BAB lebih mudah dirasakan anak (Hockenbery, Wilson,
& Wong, 2012).
Latihan BAB atau BAK pada anak sangat membutuhkan persiapan bagi ibu, yaitu
baik secara fisik, psikologis, maupun intelektual. Melalui persiapan-persiapan tersebut,
anak diharapkan dapat mengontrol kemampuan BAB atau BAK secara mandiri.
Suksesnya toilet training tergantung pada kesiapan yang ada pada diri anak dan keluarga
terutama ibu, seperti kesiapan fisik yaitu kemampuan anak sudah kuat dan mampu.
Demikian juga dengan kesiapan psikologis yaitu setiap anak membutuhkan suasana yang
nyaman dan aman agar anak mampu mengontrol dan konsentrasi dalam merangsang
untuk BAB atau BAK. Persiapan intelektual juga dapat membantu anak dalam proses
BAB atau BAK. Kesiapan tersebut akan menjadikan diri anak selalu mempunyai
kemandirian dalam mengontrol khususnya dalam hal BAB atau BAK (Hidayat, 2005).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Onen, Aksoy, Tasar dan Bilge (2012) dapat
disimpulkan bahwa inisiasi toilet training diantaranya dapat dipengaruhi oleh tingkat
ekonomi keluarga, ukuran keluarga, status tempat tinggal antara kota dan desa. Terdapat
banyak faktor yang berperan aktif pada anak dalam melakukan toilet training yaitu
tingkat pendidikan ibu, sosial dan budaya, struktur tingkat pendapatan keluarga, usia
anak, metode yang digunakan, tempat, jenis toilet, pengetahuan, psikologis anak, status,

8
dan gender. Toilet training perlu dilakukan oleh anak selama anak berada dalam periode
optimal yaitu untuk menghindari efek jangka panjang seperti inkontinensia dan infeksi
saluran kemih (ISK) (Wu, 2013).
Dampak yang paling umum terjadi dalam kegagalan toilet training diantaranya
adalah adanya perlakuan atau aturan yang ketat dari orangtua kepada anaknya dapat
mengganggu kepribadian anak dan cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir, seperti
orangtua sering memarahi anak pada saat BAB atau BAK atau bahkan melarang BAB
atau BAK saat bepergian. Selain itu, apabila orangtua juga santai dalam memberikan
aturan dalam toilet training, maka anak dapat mengalami kepribadian ekspresif, seperti
anak menjadi lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara, emosional, dan
seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Hidayat, 2005). Selain itu, apabila
dilakukan toilet training pada anak dengan usia yang tidak tepat dapat menimbulkan
beberapa masalah yang dialami anak yaitu seperti sembelit, menolak toileting, disfungsi
berkemih, infeksi saluran kemih, dan enuresis (Hooman, Safaii, Valavi, & Amini-
Alavijeh, 2013).
Hasil studi retrospektif kasus kontrol yang dilakukan oleh Kiddoo (2012)
menunjukkan bahwa anak-anak yang selalu diberi hukuman oleh ibunya pada saat
melakukan kesalahan dalam toilet training anak dapat mengalami gejala inkontinensia
atau ISK. Sedangkan pada anak yang mendapatkan motivasi dari ibunya pada saat
melakukan toilet training anak dapat mengalami genjala inkontinensia dan ISK yang
lebih rendah. Bentuk hukuman pada saat toilet training juga menimbulkan bahaya karena
anak akan belajar perilaku agresif dalam mengatasi rasa marah (Rudolf, 2006).
Sementara itu, anak-anak yang selalu diberikan reinforcement positif oleh ibunya maka
anak akan semakin termotivasi untuk melakukan toilet training.
Kesiapan pada anak untuk melakukan toileting training, pengetahuan orangtua
mengenai toileting training, dan pelaksanaan toileting yang baik dan benar pada anak,
merupakan suatu domain penting yang perlu orangtua ketahui. Domain tersebut dapat
meningkatkan kemampuan toileting training pada anak usia toddler (Kusumaningrum,
Natosba, & Julia, 2011). Perubahan perilaku anak bergantung kepada kualitas rangsangan
yang berkomunikasi dengan lingkungan. Keberhasilan perubahan perilaku yang terjadi
pada anak sangat ditentukan oleh kualitas dari sumber stimulus. Untuk membentuk jenis

9
respon atau perilaku perlu diciptakan suatu kondisi yang disebut dengan operant
conditioning, yaitu dengan menggunakan urutan-urutan komponen penguat. Komponen -
komponen penguat tersebut adalah seperti pemberian hadiah atau penghargaan apabila
melakukan suatu hal dengan benar (Maulana, 2009).
Keberhasilan toilet training ini tidak terlepas dari peran serta orangtua dalam
menerapkan toilet training dalam sehari-hari. Pentingnya orangtua memberikan
reinforcement ketika anak menunjukkan kemajuan dalam toilet training sesuai dengan
pernyataan Ginanjar (2008) dalam penelitian Frima (2013) tentang manfaat dari
reinforcement positif bahwa dengan adanya reinforcement positif maka anak yang
berhasil akan termotivasi untuk melakukan hal yang sama di hari berikutnya sehingga
tanpa sadar akan menjadikannya sebagai suatu perilaku yang bersifat lebih menetap. Pada
beberapa budaya, termasuk Amerika Utara, keberhasilan melakukan toilet training pada
anak dianggap sebagai langkah besar dalam pengembangan diri dalam hal kemandirian
anak (Lang, 2008).
Keberhasilan intervensi toilet training pada anak akan berpengaruh secara fisik
dan psikologis. Toilet training merupakan tugas perkembangan anak. Proses dan potensi
hambatan juga dapat menjadi sumber utama dari stres. Pemahaman tentang kemampuan
yang diperlukan untuk keberhasilan toilet training dan pendekatan yang baik kepada anak
dapat membantu mengurangi stres dan dapat membantu orangtua dalam mengetahui apa
yang harus dilakukan oleh orangtua. Penelitian yang dilakukan Mota dan Barros (2008)
mengatakan bahwa apabila toilet training dilakukan lebih awal sebelum waktu yang
dianjurkan maka dapat menyebabkan stres pada anak selama periode ini dan dapat
memperpanjang proses toilet training. Anak-anak yang belum pernah dilatih dengan
benar tentang toilet training dapat mengakibatkan enuresis, ISK, disfungsi berkemih,
sembelit, encopresis dan penolakan untuk pergi ke toilet lebih sering. Toilet training
merupakan salah satu tugas perkembangan anak dan salah satu tantangan bagi orangtua
dan anak-anak. Salah satunya tujuan dari toilet training adalah melatih anak untuk
menjadi mandiri. Semua anak-anak akan berhasil bila akhirnya dapat mengontrol
keinginan untuk berkemih atau BAB, tetapi kesulitan yang dialami, penyebab konflik
dalam keluarga harus menjadi perhatian utama bagi orangtua (Mota, 2008).

10
Hasil analisis menunjukkan nilai p value sebesar 0.012 yang artinya terdapat
hubungan antara pengetahuan ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia
prasekolah di Poliklinik Anak Rumah Sakit TK. II Dustira Cimahi. Menurut Nursalam
(2003) dalam Frima (2013) pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
maka akan semakin mudah menerima informasi. Hal ini akan berdampak terhadap
pengetahuan yang dimiliki oleh orang tersebut, pendidikan yang telah ditempuh
seseorang di bangku sekolah secara formil akan memberikan informasi baik itu tentang
bidang keilmuan ataupun hal lain secara umum. Suksesnya toilet training tergantung pada
kesiapan pada diri anak dan keluarga. Oleh karena itu, sangat berkaitan sekali antara
keberhasilan toilet training dengan pengetahuan orangtua sebab tingkat pengetahuan
orangtua yang kurang merupakan faktor yang dapat memengaruhi kegagalan toilet
training (Rirismawati 2010).
Keadaan lingkungan dapat memengaruhi kondisi kesehatan manusia dan banyak
aspek kesejahteraan manusia juga dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Banyak
penyakit dapat dimulai, didukung, ditopang atau pun dirangsang oleh faktor lingkungan
(Mulia, 2005 dalam Herimanto, 2012). Lingkungan memiliki hubungan erat dengan
manusia. Lingkungan memengaruhi sikap dan perilaku manusia, demikian pula
kehidupan manusia memengaruhi lingkungan tempat hidupnya (Setiadi, 2005 dalam
Herimanto 2012).
Menurut penelitian Widayatun (1999 dalam Ningsih (2015) menyatakan bahwa
keadaan lingkungan merupakan salah satu faktor ekstrinsik yang ikut andil dalam
menentukan ada tidaknya atau besar kecilnya motivasi seseorang. Motivasi yang baik
untuk melakukan stimulasi toilet training, maka dapat memengaruhi keberhasilan dari
toilet training. Stimulasi ini dapat dilakukan oleh orang luar, anggota keluarga, atau orang
dewasa lain di sekitar anak. Stimulasi merupakan perangsangan dan latihan-latihan
terhadap kepandaian anak yang datangnya dari lingkungan di luar anak. Orangtua
hendaknya menyadari akan pentingnya dalam memberikan stimulasi bagi perkembangan
anak (Nursalam, 2005 dalam Frima, 2013).
Toilet training yang dilakukan di rumah diperlukan lingkungan yang aman,
nyaman, dan yang memiliki estetika (Hoffnung dkk, 2010 dalam Fernandez, 2014).
Perasaan negatif yang melekat pada toilet training dapat menyebabkan anak menjadi

11
sembelit, mengompol, dan memperpanjang waktu toilet training (Srinivasan &
Middleton, 2009, Sun & Rugolotto, 2004 dalam Millei & Gallagher, 2012). Selain itu,
lingkungan fisik juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial dan budaya
mengenai rutinitas kebiasaan ke toilet.
D. Tanda Kesiapan Anak Melakukan Toilet Training
Toilet training pada anak adalah usaha untuk melatih anak agar mampu
mengontrol dalam melakukan buang air besar dan air kecil. (Hidayat, 2006:62). Salah
satu faktor yang mendukung keberhasilan toilet training adalah pola asuh orang tua dalam
memberikan pelatihan toilet training. Pola asuh orang tua secara umum diarahkan pada
cara orang tua memperlakukan anak dalam berbagai hal, baik dalam berkomunikasi,
mendisiplinkan, memonitoring, mendorong dan sebagainya (Rahayu, 2008:6). Menurut
American Academik Of Pediatries (AAP, 2004) sikap atau pola asuh orang tua yang
memberikan hukuman atau memarahi anak, akan sering menimbulkan perasaan yang
tidak nyaman pada anak dan bisa menyebabkan kegagalan toilet training dan menjadi
lebih lama.
Kesiapan anak dalam pelatihan toilet training harus diperhatikan juga, seperti
kesiapan fisik. Kesiapan fisik berarti anak secara fisik sudah kuat dan mampu melakukan
toilet training. Kesiapan fisik dapat ditunjukan jika:
10. Anak mampu duduk atau berdiri sehingga memudahkan anak untuk latihan buang air
besar dan air kecil.
11. Mengontrol spingter anal dan uretral akan dicapai pada anak usia 18 sampai 24 bulan.
12. Anak juga harus mengenali keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil
13. Mampu menyampaikan perasaan ini kepada orang tuanya.
14. Tidak buang air dalam waktu lebih dari 2jam
15. Anak sudah dapat menarik atau menurunkan celana
16. Anak sudah dapat mengikuti peraturan sederhana didalam kamar mandi. Seperti cuci
tangan sebelum keluar kamar mandi
17. Anak sudah dapat berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain
18. Anak sudah aware dengan kotoranya

12
Metode juga mempengaruhi dalam keberhasilan toilet training karena setiap anak
berbeda satu sama lain. Apabila metode orang tua yang di terapkan tepat dalam
mengajarkan toilet training maka tingkat keberhasilan toilet training juga akan tinggi.
Banyak metode atau teknik untuk pelatihan toilet training seperti teknik boneka,
teknik lisan, dan teknik modeling. Semua metode ini diharapkan dapat mendukung
pelatihan toileting anak.
1. Tahapan Toilet Training
Mengajarkan toilet training pada anak memerlukan beberapa tahapan seperti
membiasakan menggunakan toilet pada anak untuk buang air, dengan membiasakan
anak masuk ke dalam toilet anak akan lebih cepat adaptasi. Anak juga perlu dilatih
untuk duduk di toilet meskipun dengan pakaian lengkap dan dijelaskan kepada anak
kegunaan toilet. Lakukan rutin kepada anak ketika anak terlihat ingin buang air. Anak
dibiarkan duduk di toilet pada waktu-waktu tertentu setiap hari terutama 20 menit
setelah bangun tidur dan seusai makan, ini bertujuan agar anak dibiasakan dengan
jadwal buang airnya. Anak sesekali enkopresis (mengompol) dalam masa toilet
training itu merupakan hal yang normal. Anak apabila berhasil melakukan toilet
training maka orangtua dapat memberikan pujian dan jangan menyalahkan apabila
anak belum bisa melakukan dengan baik. Ada beberapa tahapan dalam toilet training
(6 Trik Toilet Training, 2013, p. 2).
2. Memperhatikan kebiasaan anak
Orangtua pasti bisa mengenali kapan anak merasa ingin buang air kecil. Bila
sudah terlihat tanda-tanda anak ingin buang air, ajak anak ke toilet. Meskipun dia
belum akan pipis, tapi kamar mandi akan mengingatkan anak serta memberi sugesti
untuk buang air kecil.
3. Mulai biasakan tidak menggunakan popok
Coba memakaikan celana kain pada anak. Jika anak memiliki baju kesayangan,
hal ini akan membuatnya merasa lebih sayang untuk tidak mengotorinya. Jika anak
terlanjur mengompol di celana, jangan pernah memarahinya, tapi ajaklah ke toilet
untuk membersihkannya, agar ia bisa mengerti bahwa kotoran harus segera
dibersihkan dan dibuang ke toilet.
4. Menggunakan Potty (Tempat Buang Air)

13
Anak dilatihlah dengan menggunakan alat pipis atau potty yang bentuknya
menyerupai kloset di kamar mandi, tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Hal itu dapat
membantu anak dalam melakukan toilet training.
5. Usahakan tetap santai dan tidak emosi
Jangan terlalu menekan anak agar lulus toilet trainingsecepatnya. Jika anak
melakukan kesalahan, jangan pernah memarahinya, karena sebagai orangtua harus
bisa mengerti dan memahami anak daripada memberikan perintah-perintah.
6. Menciptakan kebiasaan
Buatlah kebiasaan-kebiasaan untuknya, misalnya saat anak baru bangun tidur, ajaklah
anak untuk pergi ke toilet dulu. Hal ini akan menjadi rutinitas baru baginya.
7. Memberi pujian
Berikanlah pujian ketika anak berhasil melakukannya, karena hal tersebut akan
membuatnya merasa senang dan semakin termotivasi.
E. Masalah yang mungkin timbul dalam pelatihan toilet training (Thomson, 2003)
1. Kebiasaan mengompol berkesinam-bungan (anak yang mempunyai kebiasaan
mengompol sejak lahir dan diteruskan hingga mereka menjadi berusia dewasa.
2. Kebiasaan membuang air besar (BAB) sembarangan.
3. Rasa takut akan siraman air toilet adalah biasa, namun dapat mengganggu latihan
memakai toilet
4. Bagi beberapa anak rasa takut akan toilet membuatnya menahan trauma buang air
besar
5. Anak yang sudah dilatih dapat mengalami kemunduran dan mulai buang air lagi
ditempat yang tidak seharusnya.
6. Anak bisa tertarik dengan fesesnya sendiri(anak tidak rela apabila fesesnya di siram).
Baginya prestasi buang air besar adalah prestasi menakjubkan dan anak sangat
bangga bisa melakukannya.
7. Ada tahap ketika anak merasa tertarik dengan bagaimana anak yang jenis kelaminnya
berbeda buang air kecil.
8. Pendidikan ibu akan mempengaruhi kesiapan toilet training pada anaknya akan
mengalami kesulitan karena ibu masih awam terhadap konsep toilet training. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Warner&Kelly (2006) bahwa semakin tinggi

14
pendidikan ibu akan mempengaruhi kesiapan toilet training, karena dengan
pendidikan yang tinggi ibu semakin mudah paham mengenai konsep toilet training
pada anak.
9. Pekerjaan ibu juga dapat mempengaruhi kesiapan toilet training pada anak. Ibu
dengan pekerjaan swasta memiliki waktu yang yang sempit dan seringkali
disibukkan oleh pekerjaan sehingga membuat ibu jarang memberikan stimulasi
pada anaknya, khususnya pemberian stimulasi dalam penerapan toilet training.
Sehingga anak yang minim mendapatkan stimulasi dari orang tua dapat
mengakibatkan anak tersebut memiliki kesiapan toilet training yang kurang bila
dibandingkan dengan anak yang sering diberikan stimulasi.
10. Usia ibu juga mempengaruhi kesiapan toilet training pada anak. Ibu yang
berusia dewasa muda masih belum memiliki pengalaman yang cukup mengenai
perawatan anak khususnya dalam penerapan toilet training. Kenyataannya ibu
dengan usia dewasa muda ini masih memiliki ketergantungan yang lebih
terhadap orang tuanya, bila dibandingkan dengan ibu yang berusia dewasa tua.
Terbukti ibu dengan usia dewasa muda masih dominan mempercayakan orang
tuanya dalam segala hal yang berhubungan pengasuhan dan perawatan anaknya.
11. Jenis kelamin anak merupakan salah satu faktor yang juga dapat mempengaruhi
kesiapan toilet training pada anak.

F. Pengaruh Modelling Media Video terhadap Peningkatan Kemampuan Toilet Training da


Anak Retardasi Mental Usia 5-7 Tahun
Anak-anak dengan retardasi mental membutuhkan perhatian yang sangat besar,
karena selain mereka memiliki fungsi intelektual dibawah normal, mereka juga tidak bisa
mandiri. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti di SLB N
Semarang pada salah satu seorang terapis pada tanggal 20 Desember 2013, didapatkan
data bahwa sebagian besar anak retardasi mental belum dapat melakukan toilet training
secara mandiri, disamping itu guru dan terapis juga hanya mengajarkan para siswa hanya
sebatas pemahaman tentang cara toilet training yang benar atau dengan kata lain
menggunakan tekhnik lisan. Hasil observasi terhadap 3 siswa usia 5-7 tahun, pada
tanggal 7 Januari 2013, menunjukkan 2 dari 3 siswa, masih harus dilakukan

15
pendampingan dan masih harus dibantu oleh orangtuanya dalam melakukan toilet
training.
Toilet Training pada anak merupakan cara untuk melatih anak agar mampu
mengontrol buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2008). Toilet training
diharapkan dapat melatih anak untuk mampu BAK dan BAB di tempat yang telah
ditentukan. Selain itu, toilet training juga mengajarkan anak dapat membersihkan kotoran
sendiri dan memakai kembali celananya (Mufattahah, 2008).
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Keen dan Crusscelly (2007)
dalam toilet training for children with autism : the effect of video modelling menunjukkan
bahwa model video dapat meningkatkan pencapaian BAK siang hari dikalangan anak-
anak dengan autisme. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ammelda tahun 2004 dengan
judul "Pengaruh modelling media video dan gambar terhadap peningkatan kemampuan
toilet training pada anak usia toddler" didapatkan rata-rata tingkat kemampuan toilet
training sebelum pemberian intervensi sebesar 9.47 dan sesudah diberikan intervensi
pada kelompok eksperimen didapatkan rata-rata tingkat kemampuan toilet training
sebesar 11.93.
Berdasarkan fenomena di SLB N Semarang tentang masih banyaknya kasus anak
dengan retardasi mental yang belum dapat mandiri dalam toilet training dan melihat
keefektifan modelling media video dalam melatih toilet training pada anak terbukti
dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan untuk anak dengan usia toddler maupun
dengan anak autisme, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
Pengaruh modelling media video terhadap peningkatan kemampuan toilet training pada
anak dengan retardasi mental di SLB N Semarang.
HASIL PENELITIAN
1. Jenis kelamin
Berdasarkan data yang telah didapat di SLB N Semarang, karakteristik responden
berdasarkan jenis kelamin disajikan pada tabel 5.1

16
Tabel 5.1Distribusi frekuensi karakteristik jenis kelamin responden
penelitian di SLB N Semarang (n=30)

Jenis Kelamin Jumlah Presentase %

Laki-laki 14 46,7
Perempuan 16 53,3

Berdasarkan tabel 5.1 di atas menunjukkan bahwa karakteristik jenis kelamin


responden sebagian besar adalah perempuan yaitu berjumlah 16 anak (53.3 %).
2. Penilaian kemampuan toilet training Sebelum dilakukan Intervensi modelling
media video
Gambaran skor kemampuan toilet training sebelum dilakukan intervensi
modelling media video didapatkan nilai minimum 0, maximum 6, mean 3.50 dan
standar deviasi 1.253. Hasil pengkategorian terhadap kemampuan toilet training
anak retardasi mental di SLB N Semarang sebelum diberikan intervensi modelling
media video diperoleh sebagai berikut :

Tabel 5.2
Distribusi frekuensi kemampuan toilet training anak retardasi mental sebelum
dilakukan intervensi pemberian modelling mediavideo pada bulan April 2014
(n=30)
Penilaian Frekuensi Presentase

Mampu 15 50%

Tidak mampu 15 50%

Berdasarkan tabel 5.2 di atas didapatkan hasil bahwa sebagian besar jumlah
responden mampu melakukan toilet training sebelum dilakukan intervensi pemberian
modelling media video adalah berjumlah 15 anak ( 50 %).
3. Penilaian kemampuan toilet training Setelah dilakukan Intervensi modelling
media video

17
Gambaran skor kemampuan toilet training sebelum dilakukan intervensi
modelling media video didapatkan nilai minimum 0, maximun 7, mean 5.07, standar
deviasi 1.530. Hasil pengkategorian terhadap kemampuan toilet training anak
retardasi mental di SLB N Semarang setelah diberikan intervensi modelling media
video diperoleh sebagai berikut :
Tabel 5.3
Distribusi frekuensi kemampuan toilet training anak retardasi mental setelah
dilakukan intervensi pemberian modelling media video
12. pada bulan April 2014 (n=30)
Penilaian Frekuensi Presentase

Mampu 26 86,6%
Tidak mampu 4 13,4%

Berdasarkan tabel 5.3 di atas didapatkan hasil bahwa sebagian besar jumlah
responden mampu melakukan toilet training setelah dilakukan intervensi pemberian
modellingmedia video adalah berjumlah 26 anak (86.6 %). Artinya, terdapat
peningkatan kemampuan anak retardasi mental dalam melakukan toilet training
setelah diberikan intervensi berupa modelling media video.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti setelah memberikan intervensi
berupa modelling media video selama tiga hari berturut turut terhadap kemampuan
anak retardasi mental didapatkan nilai minimum 0, maximun 7, mean 5.07, standar
deviasi 1.530. Kemampuan toilet training terdapat peningkatan hasil yaitu dari yang
semula 15 responden (50%) meningkat menjadi sebanyak 26 responden (86.6%).
Artinya memiliki selisih peningkatan sebesar 36.6%. Anak mulai mampu melihatkan
perkembangannya dalam bertoilet training setelah mereka menonton video kemudian
mempraktekannya, walaupun sepenuhnya belum ada yang dapat melakukan toilet
training secara mandiri, mereka harus tetap di antar oeh gurunya.
Dalam penelitian ini terbukti modelling media video dapat menarik minat dan
fokus responden untuk menonton video yang disajikan peneliti. Responden terlihat
senang, dan antusias dalam memperhatikan setiap adegan atau ketrampilan toilet
training yang diperagakan oleh model dalam video lalu kemudian mempraktekan apa
yang mereka lihat. Bahkan tidak jarang diantara mereka yang meminta memutar
18
video secara berulang hingga mereka mengingat dan dapat memahami bagaimana
cara bertoilet training. Kemampuan bertoilet training responden dalam penelitian ini
juga meningkat setelah diberikan intervensi modelling media video. Anak retradasi
mental lebih mudah dan tertarik diajarkan toilet training dengan menggunakan video
daripada diajarkan dengan cara lisan.

19
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Toilet training adalah usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam
melakukan buang air besar dan buang air kecil (Hidayat,2006:62). Pada tahapan usia 1–3
tahun atau yang disebut dengan usia toddler, kemampuan sfingter uretra yang berfungsi
untuk mengontrol rasa ingin defekasi dan rasa ingin berkemih mulai berkembang, dengan
bertambahnya usia, kedua sfingter tersebut semakin mampu mengontrol rasa ingin
berkemih dan rasa ingin defekasi.
Maka dari itu toilet training perlu diterapkan kepada anak-anak toodler yang
berkembang secara normal maupun abnormal (kelainan). Dengan moddeling video dapat
menambah mudah cara pengenalan toilet training kepada anak.

20
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal : Pengaruh Penyuluhan Tentang Stimulasi Toilet Training Terhadap Perilaku dalam
Toilet Training pada Ibu yang Mempunyai Anak Toddler didusun Pundung Nogotirto Gamping
Sleman (Universtas Aisyiyah Yogyakarta)
Jurnal : Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Keberhasilan Toilet Training pada Usia 4-6
tahun di Tk Puspasari 1 Sidimoyo Godean Sleman D.I.Yogyakarta Tahun 2011
Jurnal : Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Toilet Training Toddler Terhadap Terilaku
Tbu di Tendidikan Anak Usia Dini Islam Karakter (paudik) Nurul-Quran Kecamatan Darul
Imarah Kebupaten Aceh Besar hal 15.
Nurul Kamariyah, Mutmilah Tukhusnah. Journal of Health Sciences, 2013 - journal.unusa.ac.id
Soetjiningsih. 2007.Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
Wong, DL. 2009. Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC
Jurnal : Pengaruh Modelling Media Video Terhadap Peningkatan Kemampuan Toilet Training
Pada Anak Retardasi Mental Usia 5-7 Tahun Di SLB N Semarang ( E. Faikoh, 2014)

21

You might also like