You are on page 1of 13

BAB IV

SHAPING A VISION

Dosen Pengampu :
Dr. Erna Widodo, MM

Disusun Oleh :
Sri Mulyani 1609037071
Thurpa Dupi Oktari 1609037067
Muqtadir Nafad 1609037081

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PENDIDIKAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
JAKARTA
2017

1
BAB IV
SHAPING A VISION

4.1 Definisi Shaping a Vision


Shaping adalah pembentukan perilaku baru atau perilaku yang belum
pernah dilakukan individu, dan sulit atau tidak mungkin untuk
memunculkan perilaku baru yang diinginkan tersebut, dengan cara memberi
pengukuh/penguat jika telah muncul perilaku-perilaku yang menyerupai atau
mendekati perilaku yang diinginkan, sehingga pada akhirnya memunculkan
perilaku yang sama sekali baru yang diinginkan.
Jadi Shaping itu adalah prosedur yang digunakan untuk membentuk
perilaku seorang individu. Karena perilaku memiliki tingkat kejadian, maka
tidak mungkin untuk meningkatkan frekuensi perilaku hanya dengan
menunggu sampai terjadi dan kemudian baru menguatkannya. Oleh karena
itu, untuk memperkuat perilaku harus memperkuat respon mulai dari nol
sampai ke frekuensi yang lebih besar.
Shaping didefinisikan sebagai perkembangan perilaku baru oleh
penguatan berturut-turut dari perilaku yang ingin dikuatkan sebelumnya.
Kadang-kadang perilaku baru terjadi ketika seorang individu menampakkan
beberapa perilaku awal, dan lingkungan (orang lain) memperkuat variasi-
variasi kecil dalam perilaku. Akhirnya bahwa perilaku awal dapat dibentuk
sehingga bentuk akhir tidak lagi menyerupai perilaku awal.
Kebanyakan orang tua menggunakan prosedur pembentukan dalam
mengajar anak-anak mereka untuk berbicara, misalnya saja ketika pertama
kali bayi mulai mengoceh, ia mengikuti bahasa asli orangtua walaupun
masih mereka-reka. Pada saat mulai mengoceh inilah orangtua memperkuat
perilaku misalnya dengan belaian, pelukan atau ciuman pada sang anak.

Ada dua cara untuk membentuk sebuah respon, yaitu:

1. Eksternal Shaping
Jika kita menghendaki seseorang melakukan sebuah respon
tertentu, misalnya menekan pengumpil untuk memperoleh makanan,

2
maka lingkungan dapat diatur sedemikian rupa sehingga respon ini
kemungkinan besar dilakukan. Dalam bahasa skinner, respon-respon
dalam conditional klasik dibentuk secara tidak begitu kaku, sedang
respon-respon instrumental dibentuk secara tidak begitu kaku tetapi
masih tetap berada dibawah penguasaan kondisi luar.

2. Internal Shaping
Internal shaping dapat terjadi dalam lingkungan yang sangat bebas
dan sangat tidak berstruktur. Diberi nama internal shaping karena
tekanan konstan terhadap tingkah laku datangnya dari dalam organisme,
bukan dari lingkungan fisik. Skinner (1951) bahwa proses internal
shaping dapat dilukiskan dengan cukup obyektif, tetapi pelaksanaannya
memerlukan kecerdasan, akal, dan keahlian yang besar dari orang yang
melakukan shaping.
Proses shaping akan sangat berjalan dengan sangat cepat dan
efektif bila reinforcement tepat bersamaan waktu dengan respon. Dalam
shaping ada tahapan-tahapan dalam menuju perilaku akhir, meskipun
belum sampai pada perilaku akhir yang diharapkan, apabila seseorang itu
telah berubah atau membentuk perilaku baru maka diberikan
reinforcement.

4.1.1 Aspek perilaku yang dapat dibentuk


Ada tiga aspek perilaku yang bisa dibentuk:
1. Topografi
Pembentukan bentuk respon tertentu atau tindakan spesifik.
Mencetak kata / mengikuti perkataan dan menulis kata yang sama
adalah respon yang sama yang dibuat dengan dua topografi yang
berbeda. Contohnya membentuk seorang anak untuk mengatakan
“mama” bukan “ma-ma”.

2. Jumlah
Pembentukan perilaku yang dilakukan dengan peningkatan
jumlah. Contoh; seorang anak yang belajar berjalan, pada mulanya

3
dia hanya bisa berjalan beberapa langkah saja, namun lama kelamaan
karena diperkuat akhirnya anak dapat berjalan dengan mulus tanpa
tertatih.

3. Intensitas kekuatan suatu respon


Pembentukan perilaku yang dilakukan dengan peningkatan
intensitas/keseringan. Contohnya, seorang anak yang kurang
diperhatikan orangtuanya, lalu ia rajin membersihkan rumah dan
sang anak mendapatkan perhatian orangtuanya, akhirnya anak
tersebut akan lebih sering mengulangi perbuatannya agar terus
mendapatkan perhatian orangtuanya.

4.1.2 Prosedur Shaping


Prosedur untuk melaksanakan shaping yaitu:
1. Menentukan perilaku akhir yang diinginkan
Langkah pertama dalam shaping adalah mengidentifikasikan
dengan jelas perilaku akhir yang diinginkan, yang sering disebut
sebagai perilaku terminal (tujuan akhir). Dalam kasus anak yang
mencoba berjalan tadi, perilaku terakhir yang diinginkan adalah
berjalan tanpa bantuan, misalnya dari ruang TV sampai ruang
makan. Dengan definisi yang spesifik seperti ini, ada sedikit
kemungkinan bahwa orang yang berbeda akan mengembangkan
harapan yang berbeda mengenai kinerja sang anak. Jika orang yang
berbeda bekerja dengan individu yang mengharapkan hal yang
berbeda, maka kemajuan cenderung terbelakang. Akhir perilaku
yang diinginkan harus dinyatakan sedemikian rupa sehingga semua
karakteristik dari perilaku (topografi, jumlah maupun intensitas)
diidentifikasi.
2. Pemilihan pemulaian tingkah laku (memilih perilaku)
Karena terminal perilaku yang diinginkan tidak terjadi pada
awalnya perlu memperkuat beberapa perilaku yang mendekati itu,
dan mengidentifikasi titik awal. Tujuan program awal ini adalah

4
untuk membentuk perilaku, dengan memperkuat titik awal ke final
yang diinginkan meskipun titik awal mungkin sama sekali berbeda
dengan perilaku terminal.

3. Pemilihan langkah-langkah pembentukan (langkah memilih Shaping)


Tahap ini membantu kita untuk mendekati akhir perilaku yang
diinginkan. Contoh; anggaplah akhir perilaku yang diharapkan dalam
program membentuk seorang anak berkata “papa”, telah ditetapkan
bahwa anak berkata “Paa” dan respon ini diatur sebagai perilaku
awal. Kita andaikan bahwa kita memutuskan untuk pergi dari
perilaku awal “Paa” melalui langkah-langkah beriku “Paa-Paa”, “Pa-
Pa”, dan “Papa”.
Untuk memulai, penguatan diberikan pada sejumlah
kesempatan untuk memancarkan perilaku awal (“Paa”). Ketika
perilaku ini terjadi pelatih bergerak ke langkah berikutnya dan
memperkuat langkah demi langkah sampai anak akhirnya berkata
“papa”.
Memang tidak ada seperangkat pedoman untuk
mengidentifikasi ukuran langkah yang ideal, namun dalam usaha
untuk menentukan langkah-langkah perilaku awal ke terminal
perilaku, pelatih sudah bisa membayangkan langkah-langkah yang
akan dilalui.

4. Bergerak untuk memperbaiki


Ada beberapa aturan praktis untuk memperkuat respon akhir
yang diinginkan:
a. Jangan bergerak terlalu cepat ke langkah berikutnya. Masuk ke
langkah selanjutnya dapat dilakukan apabila langkah
sebelumnya telah mapan.
b. Lanjutkan dalam langkah-langkah cukup kecil. Jika tidak,
langkah sebelumnya akan hilang. Namun, jangan membuat
langkah-langkah kecil yang tidak perlu.

5
c. Jika kehilangan suatu perilaku karena anda bergeerak terlalu
cepat atau terlalu besar mengambil langkah, kembali ke
langkah awal dimana anda dapat mengambil perilaku lagi.
d. Item a dan b memberutahukan untuk tidak berjalan terlalu
cepat, dan butir c menyatakan bagaimana untuk mengoreksi
efek buruk berjalan terlalu cepat. Hal ini juga penting, agar
perkembangannya tidak terlambat. Jika salah satu langkah
diterapkan begitu lama maka akan menjadi sangat kuat,
kemugkinan untuk mencapai terminal akan kecil.

Pedoman ini mungkin tidak begitu membantu. Di satu sisi,


disarankan untuk tidak bergerak terlalu cepat dari satu pendekatan ke
pendekatan lain. Di sisi lain, disarankan untuk tidak bergerak terlalu
lambat. Jika kita bisa menyertai pedoman ini dengan rumus
matematika untuk menghitung ukuran yang tepat langkah-langkah
ynang harus diambil dalam setiap situasi dan persis berapa banyak
bala bantuan harus diberikan pada setiap langkah, pedoman akan
jauh lebih berguna. Shaping memerlukan banyak latihan dan
keterampilan jika harus dilakukan dengan efektivitas maksimum.

4.1.3 Perilaku untuk pembentukan umum


1. Memilih perilaku akhir, pilihlah perilaku yang spesifik (seperti
bekerja dengan tenang selama 10 menit di meja) dan bukan yang
umum (seperti perilaku yang baik di kertas). Jika memungkinkan
pilihlah perilaku yang akan terjadi dengan Reinforcer alami.
2. Pilihlah Reinforcer yang alami
3. Rencana awal. Membuat daftar perilaku yang dianggap berhasil yang
mendekati perilaku yang diinginkan untukperilaku paling awal,
pilihlah perilaku yang mirip dengan yang sudah dilakauakan dengan
subjek yang bersangkutan.
4. Penerapan rencana. Katakan pada siswa sebelum menerapkan
program mengenai program yang bersangkutan. Mulailah

6
memberikan Reinforcer begitu dengan yang dijalankan. Jangan
menuju ke langkah berikutnya sebelum siswa berhasil melakukan
tugas dengan sempurna. Berikan Reinforcer secukupnya jangan
berlebihan atau terlalu pelit. Jika anak mogok, dengan kemungkinan
tugas yang terlalu berat atau langkah yang terlalu cepat, atau
Reinforcer tidak efektif.

4.2 Dasar Teori


4.2.1 Pengertian Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Menurut data Education Development Index (EDI) yang
diterbitkan UNESCO pada 2007, peringkat Indonesia mengalami
penurunan dari peringkat 58 menjadi peringkat 62 dari antara 130
negara. Skor EDI Indonesia adalah 0,935 yang lebih rendah daripada
Malaysia (0,945) dan Brunei Darusalam (0,965). Hal ini mendorong para
penanggungjawab dan pelaku pendidikan di Indonesia untuk berupaya
mendesain berbagai program dan kebijakan dalam rangka peningkatan
kualitas pendidikan ke arah yang lebih baik. (Anonim; 2010)
Salah satu kebijakan pemerintah pusat dalam rangka peningkatan
kualitas pendidikan di Indonesia adalah penyelenggaraan Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) [Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003
pasal 50 ayat (3) dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 pasal 61
ayat (1)]. Kebijakan SBI diharapkan dapat menjadi faktor pendorong
bagi Pemerintah Pusat dan Daerah (Propinsi dan Kabupaten) guna
meningkatkan kualitas sekolah-sekolah di Indonesia.
Di Indonesia, sekolah bertaraf internasional diawali dengan
didirikannya sekolah-sekolah yang disiapkan khusus untuk menampung
siswa-siwa asing, yang orangtuanya bekerja sebagai diplomat asing
ataupun bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional seperti Jakarta
Internasional School (JIS), yang didirikan tahun 1951. Sejak itu, mulai
bermunculan berbagai sekolah bertaraf/berstandar internasional di
Indonesia, baik yang didirikan oleh kantor-kantor Kedutaan Besar asing

7
maupun oleh lembaga-lembaga swasta (domestik dan asing) yang
bergerak di bidang pendidikan.(Anonim; 2010)
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Nasional
mendefinikan SBI sebagai satuan pendidikan yang diselenggarakan
dengan menggunakan Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya
dengan standar salah satu Negara anggota OECD dan atau negara maju
lainnya (X), yang dirumuskan :
SNP + X
Organisation for Economic Co-Operation and Development yang
selanjutnya disingkat OECD adalah organisasi internasional yang
tujuannya membantu pemerintahan negara anggotanya untuk
menghadapi tantangan globalisasi ekonomi. Sedangkan negara maju
lainnya adalah negara yang tidak termasuk dalam keanggotaan OECD
tetapi memiliki keunggulan dalam bidang pendidikan tertentu. (Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2009
Tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional Pada Jenjang
Pendidikan Dasar Dan Menengah).
Walapun berbagai peraturan terkait SBI telah diterbitkan, namun
belum ada panduan operasional yang jelas untuk mencapai standar
tersebut. Dibangunnya faktor ’X’ oleh masing-masing SBI yang ada di
Indonesia mengakibatkan sistem dan model yang dianut oleh masing-
masing sekolah jadi berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya,
yang akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan dan lulusan yang
tidak seragam.
Saat ini di seluruh Indonesia sudah terdapat puluhan bahkan
ratusan sekolah bertaraf internasional dengan menggunakan sistem yang
berbeda-beda. Kurang lebih ada 3 (tiga) sistem yang paling banyak
digunakan oleh sekolah-sekolah bertaraf internasional di Indonesia yaitu
Internasional Baccalaureate (IB), Cambridge, dan Australian
Curriculum. (Anonim; 2010).
4.2.2 Badan Hukum Program Sekolah Bertaraf Internasional

8
a. UU No. 20/2003 (Sistem Pendidikan Nasional) pasal 50 ayat 3,
yakni: “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang
bertaraf internasional”.
b. UU No. 32/2004 (Pemerintahan Daerah).
c. PP No.19/2005 (Standar Nasional Pendidikan).
d. PP No 38/2007 (Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota).
e. PP No. 48/2008 (Pendanaan Pendidikan).
f. PP No. 17/2010 (Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan).
g. Permendiknas No. 63/2009 (Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan).
h. Permendiknas No. 78/2009 (Penyelenggaraan SBI pada Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah)
(Dikjend Man.Pend. Dasar dan Menengah Kemendiknas: 2009)

4.2.3 Latar belakang Program Sekolah Bertaraf Internasional


a. Pada tahun 90-an, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh suatu
yayasan dengan menggunakan identitas internasional tetapi tidak
jelas kualitas dan standarnya.
b. Banyak orang tua yang mampu secara ekonomi memilih
menyekolahkan anaknya ke Luar Negeri.
c. Perlunya membangun sekolah berkualitas sebagai pusat unggulan
(center of excellence) pendidikan.
d. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia perlu pengakuan secara
internasional terhadap kualitas proses, dan hasil pendidikannya.
(Dikjend Man.Pend. Dasar dan Menengah Kemendiknas : 2009)

4.2.4 Tujuan Sekolah Bertaraf Internasional


Tujuan penyelenggaraan SBI berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2009 Tentang

9
Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional Pada Jenjang
Pendidikan
Dasar Dan Menengah adalah untuk menghasilkan lulusan yang
memiliki:
a. Kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan dan diperkaya dengan
standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara
anggota OECD ataun negara maju lainnya.
b. Daya saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan
menampilkan keunggulan lokal ditingkat internasional.
c. Kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional yang
dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan
bentuk penghargaan internasional lainnya.
d. Kemampuan bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan
sekolah menengah kejuruan.
e. Kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (skor TOEFL Test
> 7,5) dalam skala internet based test bagi SMA, skor TOEIC 450
bagi SMK), dan/atau bahasa asing lainnya.
f. Kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga
kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif
ekonomi, sosio-kultural, dan lingkungan hidup.
g. Kemampuan menggunakan dan mengembangkan teknologi
komunikasi dan informasi secara professional.
(Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 78
Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional
Pada Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah pasal 2)

4.2.5 Proses menuju Sekolah Bertaraf Internasional


a. Sekolah harus menenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang
meliputi:
 Standar isi;
 Standar proses;
 Standar kompetensi lulusan;

10
 Standar pendidik dan tenaga kependidikan;
 Standar sarana dan prasarana;
 Standar pengelolaan;
 Standar pembiayaan; dan
 Standar penilaian pendidikan
b. Sekolah yang memenuhi standar minimal SNP diberikan
pendampingan, pembimbingan, penguatan, dalam bentuk Rintisan
SBI (RSBI)
(Dikjend Man.Pend. Dasar dan Menengah Kemendiknas: 2009)

4.2.6 Kriteria Sekolah Bertaraf Internasional

No. Parameter Persyaratan


1. Standar Nasional Harus Sudah Terpenuhi
Pendidikan (SNP)
2. Guru Min S2/S3: 10% (SD), 20% (SMP), 30% (SMA/K)
3. Kepala Sekolah Min S2 dan mampu berbahasa asing secara aktif
4. Akreditasi A (95)
5. Sarana Prasarana Berbasis TIK
6. Kurikulum KTSP diperkaya dengan kurikulum dari negara
maju, penerapan SKS pada
SMA/SMK
7. Pembelajaran Berbasis TIK, dan bilingual (mulai kelas 4 SD),
sister school dengan sekolah dari negara anggota
OECD atau negara maju lainnya
8. Manajemen Berbasis TIK; ISO 9001 dan ISO 14000
9. Evaluasi Menerapkan model UN dan diperkaya dengan
sistem ujian internasional (Negara
Maju dan atau negara lain yang memiliki
keunggulan tertentu)
10. Lulusan Memiliki daya saing internasional dalam
melanjutkan pendidikan dan bekerja (SMK)
11. Kultur Sekolah Terjaminnya Pendidikan Karakter, Bebas Bullying,
Demokratis, Partisipatif

11
12. Pembiayaan APBN, APBD dan boleh memungut biaya dari
masyarakat atas dasar RAPBS
yang akuntabel
(Dikjend Man.Pend. Dasar dan Menengah Kemendiknas: 2009

4.3 Desain Shaping Change dan Leading Change


4.3.1 Shaping a Vision

VISION
Sekolah berbasis Sekolah berbasis Bentuk ideal
internasional internasional kondisi sekolah di
mempunyai cita- berkomitmen masa depan adalah
cita untuk untuk mewujudkan sekolah memiliki
menciptakan kualitas sekolah mutu dan program
sebuah lingkungan yang memadai, yang sangat baik,
sekolah maupun berteknologi sarana dan
kondisi sekolah canggih dan prasarana baik segi
yang memiliki meningkatkan bentuk bangunan
mutu, program, mutu keluaran. sekolah, gedung,
SEKOLAH sarana, dan ruang kelas, taman,
BERBASIS prasarana yang ruang praktek dan
INTERNATIONAL bertaraf library memadai
internasional, serta dan berteknologi
mampu berdaya tinggi, system
saing nasional pembelajaraan
baik internasional, yang rapih dan
dan memiliki tertata, kualitas
lulusan yang siswa yang selalu
memiliki kualitas siap disaingkan
terbaik. secara
international.

12
4.3.2 D
e SPESIFIKASI SEKOLAH
s CREATIVE ATRACTIVE POSITIVE
a SMART LEADER SMART EXCELLENT
i OUTPUT
n INTELLIGENT BETTER INNOVATION
SEKOLAH OUTPUT VISION AND

L BERBASIS MISSION
INTERNASIONAL GOOD TEACHER BETTER GRADE
e
LEARNING
a
SYSTEM
d
HIGH GOOD ACHIEVEMENT
i
TECHNOLOGY FACILITIES
n
BE NUMBER ONE MOTIVATION UNIQUE
g
Change

Referensi:
Martin, Gery., Pear, Joseph, 1992, Behavior Modification, Prentice-hall
International Editions.
http://bsnp-indonesia.org/id/?page_id=105/
http://sambasalim.com/pendidikan/kualitas-proses-pembelajaran.html

13

You might also like