You are on page 1of 8

Kesuburan VS Kemandulan

(Perspektif Psikologi Kesehatan, Budaya dan Agama)


M. Saifuddin Amri
150541100069
Prodi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya
Universitas Trunojoyo Madura
Syaifuddinamry.sa@gmail.com

Pendahuluan
Anak merupakan salah satu hal yang sangat diidam-idamkan kehadiranya
dalam sebuah keluarga. Kehadiran seorang anak merupakan simbol keberhasilan
(meneruskan keturunan) dalam keluarga sehingga mampu mempererat hubungan
dan keharmonisan dalam rumah, namun tidak semua keluarga (telah menikah dalam
jangka waktu lama) mampu memiliki keturunan hal ini terjadi karena salah satu dan
atau kedua pasangan suami istri ini mengalami invertilitas. Invertilitas merupakan
ketidak mampuan untuk mengandung sampai melahirkan bayi hidup setelah satu
tahun melakukan hubungan seksual yang teratur dan tidak menggunakan alat
kontrasepsi apapun/ setelah memutuskan untuk mempunyai anak (Saraswati, 2015).
Ketidak mampuan menghasilkan ketrurunan dalam sebuah rumah tangga
seringkali dititik beratkan sebagai kesalahan seorang istri yang tidak mampu
mengandung dan memberikan keturunan bagi keluarganya, budaya patriarki yang
berkembang dalam masyarakat (Indonesia) tentuya sangat menyudutkan kaum
perempuan. Hubungan antara laki-laki dan perumpuan bersifatt hierarkis, yaitu
laki-laki yaitu laki-laki berapa pada kedudukan yang dominan dan perempuan
subordinat (Demartoto, 2008).

Isi
Mendapatkan keturunan adalah sesuatu yang sangat diidam-idamkan oleh
setiap keluarga yang telah menikah dan mempersiapkan diri untuk memiliki anak.
Anak menjadi simbol keberhasilan, kehadiran anak menjadi sesuatu yang sangat
berharga seperti halnya seperti yang termaktub didalam Al-Qur’an lebih tepatnya
dalam surat Al-Kahfi : 46, yang berbunyi :

ِ ‫اَ ْلماَلَُو ْالبنُوَن‬


‫َزينةُالجيَوَةَِالدُّنّيا‬
“harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia (Qs-Al-kahfi : 46)”
Anak dan harta adalah perhiasa kehidupan dunia ini. Dengan dumilikinya
kedua unsur ini akan adanya kesenangan, kehormatan, dan hiburan apabila pada
diriya ada harta dan anak sekaligus. Apabila hanya harta kekayaan saja yang
dimiliki, maka rasa bangga dan hiburannya kurang. Begitupun jika dia hanya
mendapatkan anak, sedang kekayaan harta tidak ada, maka kebanggaan dan hiburan
yang diperolehnya juga sebagian saja. Akan tetapi, jika dibandingkan harta dan
anak, maka anak lebih besar memberikan kebanggaan dan hiburan dari pada harta
(azizah. 2016). Memiliki anak seakan menjadi sebuah kebanggaan yang tidak dapat
dinilai dengan materi sehingga menjelang kehadiranya akan diupayakan
semaksimal mungkin untuk memnuhi kebutuhanya secara maksimal baik dari
keperluan gizi saat dalam kandungan maupun keperluan-keperluan yang
dibutuhkan saat sang buahhati membuka mata untuk pertamakalinya.
Tentunya kebahagiaan yang tak terhingga akan tercurah dari keluarga
terutama dari sosok seorang ibu yang telah mengandung dan merawat janin sejak
berada di dalam kandungan selama 40 minggu (280 hari) dan tidak lebih dari 43
munggu ( 300 hari) (Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil dan Menyusui,
2006). Lahirnya seorang anak menjadi salah satu harapan terbesar dalam keluarga
baik untuk menjadi penghibur, menjadi sosok yang nantinya akan merawat kedua
orang tua dikala usia lalnjut dan menjadi salah satu invertasi jariyahh yang akan
terus mengalir disaat kedua orang tua meninggal.
Situasi yang berbeda akan kebahagiaan dalam berumah tangga saat
pasangan tidak mampu menghasilkan ketururnan meski telah melakukan hubungan
seks tanpa alat kontrasepsi dan mempersiapkan diri untuk memperoleh keturunan
adalah ketidakharmonisan dalam keluarga, dan tidak jarang kondisi ini berakhir
dengan poligami bahkan perceraian secara statistik belum ditemukan data yang
mengemukakan besarnya kejadian poligami dan perceraian karena alasan tidak
punya anak. namun studi yang dilakukan Rahmani dan akbar (1999: 66-78)
menujukkan keterkaitan perceraian dengan faktor ketidakadaan anak dalam
keluarga (Pranata, 2009).
Selain poligami dan perceraia tentunya masih ada konsekuensi lain yang
akan dihadapi karena ketidak hadiran seorang anak, yang tentunya akan berdampak
pada pasangan tersbeut namun secara tidak disadari sistem patriarki mendoktirin
kaum perempuan sebagai sosok yang harus bertanggung jawab penuh atas tidak
hadirna seoarang anak. bias gender yang kuat ini mengakibatkan stigmatisasi,
perceraian, penyiksaan, penolakan, dan penghilangan status sosial serta harga diri
(Yebei dalam Pratama, 2009). Bias gender yang ada pada laki-laki dan permpuan
seringkali menjadi doktrin bagai perempuan sehingga seakan-akan segala sesuatu
yang berhubungan dengan infertilitas disebabkan oleh perempuan, padahal tidak
dapat dipungkiri masalah infertilitas tidak hanya terjadi/ dipengaruhi dari faktor-
faktor (masalah-masalah) yang ada pada diri perempuan saja melainkan juga dapat
disebabkan oleh ketidaksubutran/kemandulan pria.
Terdapat beberapa bias dalam psikologi perempuan dalam Nurhayati (2012)
dapat dikemukakan antaralain sebagai berikut :
Pertama, psikologis perempuan dipandang dependen, berwatak mengasuh,
dan merawat. Pandangan tersebut mengandung bias karena sulit dibuktikan
kebenarannya, sebab dalam realitas kehidupan cukup banyak laki-laki yang
berwatak pengasuh, dan cukup banyak perempuan yang mandiri, tidak seperti yang
dicitrakan secara baku dan kaku (Eagly, 1978).
Kedua, psikologis perempuan selalu mengalah, menyetujui, menyesuaikan
diri, dan menyenangkan orang lain. Perilaku kasar, asertif, suka berkelahi, dan
agresif, termasuk agresif secara verbal dipandang sebagai citra laki-laki yang
dikonstruksi, dibenarkan, dan disosialisasikan secara turun temurun antar generasi
dalam struktur budaya sehingga mengilhami perilaku laki-laki. Menurut Whiting &
Edwards (1988) perempuan dipandang sebagai makhluk lemah dan laki-laki
dipandang agresif, karena diharapkan dan dikonstruksi oleh masyarakat seperti itu.
Ketiga, psikologis perempuan itu emosional dan mudah menangis.
Berdasarkan studi observasi terhadap perempuan dan laki-laki, ditemukan bahwa
anak laki-laki lebih sering menangis ketika masih bayi dan sedang belajar berjalan
dengan tertatih daripada anak perempuan, tetapi perempuan dewasa dan tua lebih
sering menangis daripada laki-laki yang seusianya (Nicholson, 1993 Ditemukan
pula ada perbedaan dalam ketajaman berempati antara perempuan dan laki-laki.
Namun perbedaan ketajaman empati itu dimaknai karena ada perbedaan motivasi,
bukan karena perbedaan kemampuan berempati antara perempuan dan laki-laki
(Maslow, 1974).
Keempat, psikologis perempuan yang penakut dan sensitif. Berdasarkan
penelitian, anak perempuan dan laki-laki prasekolah samasama berjiwa petualang
dan berani. Namun semakin besar, anak perempuan sering ditakut-takuti dan
dibenarkan untuk takut, sementara laki-laki dicemooh saat mengakui dan
menunjukkan rasa takut. Demikian pula saat dewasa, laki-laki cenderung tabu
mengaku takut dan cemas menghadapi sesuatu, padahal obat penenang dan minum
banyak dikonsumsi kaum laki-laki sebagai pelampiasan dari kecemasannya.
Berdasarkan penelitian, bayi perempuan lebih mudah menangis ketika bayi lain
menangis. Perempuan lebih baik dalam menginterpretasikan emosi yang
ditampilkan seseorang di foto dan lebih baik dalam mengekspresikan emosi,
sehingga mereka sendiri dapat diinterpretasikan oleh orang lain dengan mudah.
Temuan ini menunjukkan, perempuan lebih peka terhadap emosinya sendiri
maupun emosi orang lain.
Kelima, psikologis perempuan yang lemah dan tidak berprestasi. Minimnya
jumlah perempuan yang ahli di bidang sains, politik, dan ekonomi dipandang citra
perempuan yang lemah disebabkan ketidakmampuannya dalam mengejar prestasi
seperti yang dicapai laki-laki. Padahal menurut Maccoby & Jacklin (1974),
perempuan tidak berprestasi disebabkan ada rasa ketakutan akan sukses (fear of
succes), bukan tidak mampu berprestasi. Pendapat tersebut diperkuat oleh studi
Maslow pada tahun 1942 yang menemukan, perempuan yang memiliki keyakinan
kuat bahwa dirinya berharga, cenderung memiliki sifat mandiri, asertif, dan sukses.
Menurutnya, setiap individu, perempuan maupun laki-laki berusaha memenuhi
kebutuhannya secara hirarkhis, dan kebutuhan manusia yang paling tinggi adalah
mampu mengaktualisasikan dirinya.
Keenam, psikologis perempuan yang mudah terpengaruh dan mudah
dibujuk untuk mengubah keyakinannya. Menurut Maccoby & Jacklin (1974),
dalam situasi yang tidak ada kontak dengan pembujuk sekalipun, perempuan lebih
bersedia menyesuaikan diri daripada lakilaki berdasarkan pertimbangan
konsekuensi yang diasumsikannya. Hal ini menunjukkan ada perbedaan
konformitas antara perempuan dan laki-laki, namun perbedaan tersebut sangat tipis,
bahkan perbedaan konformitas perempuan tersebut dipandang positif karena
mempertimbangkan konsekuensi yang akan timbul di kemudian hari yang
umumnya tidak dipikirkan oleh laki-laki secara detail (Becker, 1986; Eagly, 1978).
Ketujuh, psikologis perempuan lebih sensitif terhadap perilaku non verbal.
Berdasarkan observasi, perempuan memiliki kemampuan dalam mengekspresikan
dan memahami pesan-pesan non verbal. Perempuan lebih mampu memahami
perangai wajah atau gerak orang lain dan lebih mampu mengekspresikan pesan-
pesan nonverbal secara tepat, khususnya ekspresi wajah, seperti tatapan mata,
senyuman, tarikan garis alis, tarikan bibir, kerutan kening, maupun pandangan yang
kosong, bersahabat, gembira, sedih, kaget, benci, atau marah kepada orang lain.
Menurut Hall & Hallberstadt (1986), perempuan lebih banyak tersenyum dan
melakukan tatapan mata dibanding lakilaki.
Kedelapan, psikologis perempuan lebih ekspresif. Perempuan sering
dicitrakan berperilaku cenderung ekspresif, sedangkan laki-laki berperilaku
instrumental dikaitkan dengan interrelasi di lingkungan sosial. Perempuan lebih
lekat dan mampu melakukan relasi interpersonal daripada laki-laki. Perilaku
instrumental maupun ekspersif samasama menuntut keterampilan dan diharapkan
ada pada setiap individu. Oleh karena itu, menjadi ekspresif tidak berarti hanya
didorong oleh emosi dan tidak kompeten, demikianpun berperilaku instrumental
tidak berarti hanya didorong oleh ratio dan lebih kompeten.(Hyde & Lynn, 1986).
Kesembilan, psikologis perempuan itu pasif dalam masalah seks dan hanya
menjadi objek seks laki-laki. Laki-laki dicitrakan secara stereotip dalam masalah
seksual adalah lebih dominan, lebih aktif, memiliki dorongan lebih besar, mudah
tergugah, lebih agresif, dan selalu memulai aktivitas seksual lebih dahulu.
Perempuan lebih submisif, pasif, menunggu, lebih lama tergugah, malu-malu,
kurang berminat, sulit tergugah secara fisik.
Budaya meberikan pandangan dan doktrin terhadap kemandulan sehinggan
memunculkan persepsi yang dimanifestasikan dalam perilaku sehingga
memunculkasn kesenjangan pada keluarga yang tidak memiliki keturunan terutama
pada pihak permpuan.
Mehami kesuburan dan kemandulan dari berbagai perspektif tentu sangat
penting, hal ini bertujuan untuk mencegah ketimpangan dalam rumah tangga dan
tidak cenderung menyalahakan salah satu belah pihak, yang dalam doktrin budaya
kaum perempuanlah yang menjadi korban atas bias yang ada.
Memahami kesuburan dan kemandulan dari perpektif agama adalah dengan
berlandakan dengan AL-Qur’an dan sunnah Rasullah SAW (hadits), dari segi tafsir
Al-Qur’an dalam memandang bahwa mendapatkan ketrununan adalah tujuan utama
sebuah pernikahan. Sehingga menikahi wanita yang sangat subur menjadi sangat
urgen, karena dengan hadirnya anak, akan tercapai beberapa tujuan berikut :
pertama orang tua dapat mewarisakan kebaikan dan ilmu, seperti yang terucap pada
do’a Nabi Zakariya yang termuat dalam suryat maryam (19): 4-6. Kedua,
mengharap syafaat jika sang anak meninggal dimasa kecil, mendahului orang
tuanya (dalam Rohmawati 2009) .
Apabila seorang laki-laki mandul maka ia tidak akan mempunyai keturunan
padahal anak adalah bagian utama dari perkawinan. Dengan anak atau keturunan,
maka dunia akan lebih berwarna begitu pula dengan wanita mandul maka ia tidak
akan dapat memberikan keturunan bagi suaminya. Sehingga apabila salah satu
pasangan mandul, maka perceraian dapat dijadikan solusi akhir, sebab diantara
tujuan yang didorong untuk melakukan perkawinan adalah abak atau keturunan.
Sehingga disinilah hikmah adanya perceraian untuk mereka yang mandul, baik bagi
laki-laki atau wanita (dalam Syamsidar, 2016).
Penyelidikan Ali Akbar (dalam Rohmawati, 2009) menjelaskan bahwa
akhir-akhir ini sebagian besar kemandulan malah disebabkan oleh laki-laki. Hal ini
dapat diartikan bahwa kemandulan tidak hanya diderita oleh kaum hawa tapi juga
bisa terjadi oleh kaum laki-laki. Masdar F. Mas’’udi dalam bukunya Islam dan Hak-
Hak Reproduksi perempuan menyebutkan, salah satu hak reproduksi yang dimiliki
oleh seorang wanita adalah hak memiliki keturunan.
Seperti firman Allah SWT dalam QS Al-kahfi/18:46 yang berbunyi :

Artinya : Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-
amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi tuhanmu
serta lebih baik untuk menjadi harapan
Namun jika tujuan pernikahan itu terhalang oleh masalah reproduksi
(kemandulan) maka hal teresebut tidak dapat dijadikan alasan untuk memutuskan
hubungan pernikahan. Alangkah menderitanya jike seseorang karena faktor kodrati
tidak mungkin punya anak harus dianggap tidak berhak menikah sementara
kemampuanya untuk berhak bukan kehendak dia sendiri. Dalam islam tidak
seorangpun boleh dituntut memikul beban yang ada diluar kemampuanya (dalam
Rohmawati, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Azizah Nur.2016. Problem Psokologis Istri yang Belum Dikaruniai Keturunan. Skripsi.
Institut Agama Islam Negeri Purwokerto. Purwokerto. Diakses pada : 27 April.
Pukul: 16.40 WIB.
http://repository.iainpurwokerto.ac.id/144/2/Cover_Bab%20I_Bab%20V_Daft
ar%20Pustaka.pdf

Demartoto Argyo. 2008. Dampak Infertilitas Terhadap Perkawinan. Skripsi. Universitas


Sebelas Maret Surakarta. Surakarta. Diakses pada : 27 April 2018. Pukul :
18.35. http://argyo.staff.uns.ac.id/files/2010/08/infertilitas-dalam-prespektif-
gender.pdf

Nurhayati Eti. 2012. Psikologi Perempuan dalam Berbagai Perspektif. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta

Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil dan Menyusui. 2006. Direkotrat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jendral Bina Kesehatan dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

Pratama Setia. 2009. Infertilitas di Kalangan Laki-laki Madura; Studi Tentang


Permasalahan Sosial dan Konsekuensi Infertilitas. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan. Vol. 12 No. 4. Surabaya. Diakses pada 27 April. Pukul : 16.13
https://media.neliti.com/media/publications/21291-ID-infertilitas-di-kalangan-
laki-laki-madura-studi-tentang-permasalahan-sosial-dan.pdf

Saraswati Andini. 2015. Infertility. Artikel review. Universitas Lampung. Vol. 4 No. 5.
Lampung. Diakses pada : 27 April 2018. Pukul : 18.12 WIB.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/download/601/60
5

Syamsidar. 2016. Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Perseraian Akibat
Suami Impoten (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klas II Sungguminasa) .
Skripsi. Uin Alauddin Makassar. Makasar. Diakses pada : 27 April 2018 Pukul
: 18.57 WIB.
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/21517/1/DENI%20
RAMADHANI-FSH.pdf

You might also like