You are on page 1of 16

JURNAL PSIKOLOGI

VOLUME 38, NO. 1, JUNI 2011: 1 – 16

Keadilan Gender dan Hak-hak Reproduksi


di Pesantren
Maya Fitria 1
Avin Fadilla Helmi 2
Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada

Abstract

This study was intended to understand how the phenomenon of gender equity and
reproductive rights in pesantren using the theoretical framework of attitude. The research was
conducted in a qualitative approach through a case study method. Sources of data consisted of
10 interviewed subjects, 18 FGD subjects, and survey of 327 subjects. Subjects were varying
from pesantren’s supervisor, teacher, manager and doctor of pesantren’s Community Health
Center, and santri itself. Data was also obtained from the observation of the supervisors’
behaviors and the pesantren’s environment. Subjects tended to agree in distinguishing the
male and female gender role based on what’s happening, different from the religious teachings
they learned which tended to be gender fair. Regarding with women reproductive cases,
subjects tended to be gender biased based on the interpretation of religious texts although they
admitted that it was hard to be manifested in behavior, example: prefering monogamous
marriage,never beating women, and not promoting early marriage. Subjects agreed and
understood that women had different, and yet more complex anatomical processes and
functions, however their health service were just considered the same as men.
Keywords: gender equity, reproductive rights, pesantren, attitude

12
Salah satu isu penting mengenai but telah dideklarasikan di Kairo pada
ketidakadilan sosial yang berkembang di Deklarasi Universal HAM Islam atau Cairo
masyarakat saat ini adalah permasalahan Declaration of Human Right in Islam
kesetaraan gender. Permasalahan yang (CDHRI-1990) yang disusun para sarjana,
berhubungan dengan ketidakadilan sosial alim ulama dan pakar hukum Islam terke-
hampir selalu dapat dikaitkan dengan muka dari negara-negara anggota Organi-
permasalahan gender. Kesetaraan antara sasi Konferensi Islam (OKI) (Clark, 2004).
laki-laki dan perempuan menjadi topik Dikatakan oleh Fakih (2004), bahwa perbe-
yang selalu hangat dan harus terus dikaji, daan gender sesungguhnya tidaklah menja-
meskipun ide mengenai kesetaraan terse- di masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan gender (gender inequalities).
Namun demikian, pada kenyataannya per-
1 Korespondensi dengan penulis dapat dilaku- bedaan gender telah melahirkan berbagai
kan melalui: maya_fmh@yahoo. com
ketidakadilan, terutama bagi kaum perem-
2 Atau dengan menghubungi: avinpsi@yahoo.com
atau avinpsi@ugm.ac.id
puan.

1
FITRIA & HELMI

Perbedaan gender merupakan produk dalam rumah tangga (KDRT). KDRT yang
pemaknaan masyarakat pada kondisi sosial dilakukan seringkali terkait dengan isu
budaya tertentu mengenai sifat, status, reproduksi perempuan, tepatnya jaminan
posisi dan peran laki-laki dan perempuan pemenuhan hak-hak reproduksi perem-
terkait ciri-ciri biologisnya. Beall dan puan (Sciortino & Smyth, 1997; Hayati,
Stearnberg (1993) berpendapat bahwa 1999; Browner, 2000; Hakimi, Hayati,
kategorisasi tersebut harus disosialisasikan Marlinawati, Winkvist, & Ellsberg, 2001),
dan diterima oleh individu, sehingga nanti- antara lain hak menikmati hubungan sek-
nya akan melekat sebagai bagian dari sual, hak menolak hubungan seksual, serta
karakteristik kepribadiannya. Sesuai de- hak menentukan jumlah dan jarak anak.
ngan karakteristik yang melekat tersebut, Pemenuhan hak-hak reproduksi pe-
berbagai hal harus dikaitkan, semisal rempuan tidak dapat dipisahkan oleh
pekerjaan tertentu yang cocok untuk laki- bagaimana laki-laki dan perempuan dipo-
laki dan perempuan. Dengan demikian, sisikan. Relasi timpang dan tidak adil bagi
ada pembatasan dalam hal peran yang perempuan mempersulit tercapainya repro-
dinilai cocok bagi laki-laki dan perempuan. duksi yang sehat (Abdullah, 2001). Pada
Apabila hal ini benar-benar terjadi maka dasarnya setiap manusia dijamin hak hidup
secara kognitif akan terbentuk skema. dan kesejahteraan fisik, mental, serta
Skema (schema) adalah gambaran dalam sosialnya. Secara biologis, konstruksi dan
kognisi seseorang yang digunakan untuk fungsi anatomis tubuh antara laki-laki dan
proses kategorisasi, mengarahkan perha- perempuan memang beda. Oleh karenanya,
tian pada informasi yang relevan, menye- akan sangat logis apabila laki-laki dan
diakan sebuah kerangka untuk mengeva- perempuan membutuhkan perlakuan yang
luasi informasi, dan menyediakan kategori- berbeda pula dalam pemeliharaannya.
ketegori untuk menyimpan informasi Hanya saja, yang terjadi adalah penyama-
(Brigham, 1991). Dalam kaitannya dengan rataan perlakuan yang berujung pada
gender, Bem (dalam Cross dan Markus, pengabaian dan kebijakan yang meremeh-
1993) mengkonsepsikannya sebagai skema kan fungsi-fungsi reproduksi perempuan.
gender (gender schema). Fakta bahwa laki- Sebagai akibatnya, perempuan mengalami
laki dan perempuan berperilaku, menem- proses-proses reproduksi yang tidak sehat,
pati posisi, dan berperan berbeda memper- yang bahkan dapat berujung pada kema-
kuat skema gender tersebut. Pembedaan ini tian perempuan. Secara spesifik, data sta-
terus berlangsung hingga mengarah pada titik menunjukkan bahwa angka kematian
diskriminasi yang merugikan perempuan, ibu melahirkan di Indonesia masih cukup
ketidakadilan perlakuan berupa marginali- tinggi, yaitu mencapai 307 per 100.000 kela-
sasi, subordinasi, kekerasan, dan beban hiran (Kompas, Mei 2008). Angka yang
kerja berlebih (Fakih, 2004). dihimpun dari Survei Demografi dan
Pertimbangan penting yang menjadi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun
dasar penelitian ini adalah beberapa pene- 2003 menunjukkan sekitar 15 ribu ibu
litian yang menunjukkan bahwa relasi, meninggal karena melahirkan setiap tahun
peran, dan posisi laki-laki dan perempuan atau 1.279 setiap bulan, atau 172 setiap
yang cenderung tidak adil gender mem- pekan, atau 43 ibu setiap hari, atau dengan
buat perempuan rentan mendapatkan ke- kata lain hampir dua orang ibu meninggal
kerasan dari laki-laki, secara fisik maupun setiap jam. Ditegaskan oleh Dewi Fortuna
psikis, terutama dalam bentuk kekerasan Anwar (Kompas, Mei 2008), seorang

2 JURNAL PSIKOLOGI
GENDER DAN HAK REPRODUKSI DI PESANTREN

peneliti LIPI, bahwa penyebab tingginya orang-orang di sekitarnya yaitu nyai,


angka kematian ibu ini tidak terlepas dari santri, dan masyarakat terkait wacana hak-
budaya patriarki yang masih kental, di hak reproduksi perempuan.
mana perempuan tidak memiliki kendali Penelitian ini rencananya dilaksanakan
penuh atas dirinya sendiri. Selain itu, di pesantren tempat peneliti tinggal. Pene-
kemiskinan, rendahnya pendidikan, ku- litian ini adalah sebuah self critic, usaha
rangnya akses terhadap informasi, ting- untuk mencermati lebih dalam permasa-
ginya peranan dukun dan terbatasnya lahan-permasalahan yang dalam diri dan
layanan medis modern juga turut andil lingkungan sekitarnya sehingga dapat
sebagai penyebab masalah. memberikan kontribusi pengembangan diri
Pada masyarakat yang religius, ternya- dan lingkungan ke arah yang lebih baik.
ta tuntutan dan kebutuhan atas reproduksi Penelitian ini dilaksanakan di Pondok
sehat yang didasarkan atas pemahaman Pesantren Krapyak Yogyakarta. Penelitian
relasi yang setara antara laki-laki dan ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih
perempuan justru dipandang secara diko- jauh mengenai keadilan gender dan hak-
tomik, dipisahkan bahkan dipertentangkan hak reproduksi perempuan di Pesantren
dengan ketaatan masyarakat terhadap aga- Krapyak ini. Rumusan permasalahan yang
manya (Soebahar & Usman, 1999). Seharus- diajukan dalam penelitian ini adalah bagai-
nya hal tersebut berjalan bersamaan dan manakah fenomena keadilan gender di
saling melengkapi karena pada dasarnya pesantren? Bagaimana pemenuhan hak-hak
ajaran agama mengajarkan kebaikan dan reproduksi perempuan di pesantren?
kebajikan, keadilan dan kesetaraan di
hadapan Tuhan. Bilamana agama dirasa
Metode
menghambat hubungan interaksi harmonis
antara sesama manusia, maka hal itu terkait Penelitian ini menggunakan pende-
penafsiran ajaran agama yang bias (Umar, katan kualitatif dengan rancangan studi
1999). Oleh sebab inilah maka wacana kasus. Penelitian dengan studi kasus meru-
mengenai hak-hak reproduksi perempuan pakan pengujian intensif dengan menggu-
atas dasar keadilan dan kesetaraan gender nakan berbagai sumber bukti yang bisa
masih sensitif dibicarakan dalam komuni- kualitatif, kuantitatif, atau kedua-duanya
tas religius, salah satunya pesantren. terhadap satu entitas yang terbatasi ruang
Penelitian-penelitian yang mengaitkan dan waktu. Penelitian ini menggunakan
gender, kesehatan reproduksi, dan pesan- studi kasus tunggal (the single instrumental
tren selama ini menyorot elemen sentral case study) yaitu mengenai keadilan gender
dalam pesantren, yaitu terutama kyai. dan hak-hak reproduksi di Pondok Pesan-
Penelitian Marhumah (2009) menghasilkan tren Krapyak Yogyakarta. Studi kasus
bahwa pesantren masih cenderung menso- semacam ini menekankan peneliti untuk
sialisasikan ketidakadilan gender dalam memfokuskan pada apa yang dapat dipe-
pengajaran dan pendidikannya, salah lajari secara khusus pada tema atau kasus
satunya karena kuatnya dominasi peran tertentu. Penekanannya adalah pemaksi-
tokoh sentral dalam pesantren yaitu kyai malan pemahaman tentang realitas yang
dan nyai dalam sosialisasi nilai dan ajaran dituju, dan tidak diarahkan untuk menda-
yang masih bias gender. Penelitian patkan generalisasi.
Soebahar dan Usman (1999) menyimpulkan Sumber data primer penelitian ini ada-
adanya pengaruh kyai terhadap pandangan lah stakeholder pembelajaran dan layanan

JURNAL PSIKOLOGI 3
FITRIA & HELMI

kesehatan di dalam pesantren yaitu Kyai ponden secara keseluruhan. Validitas hasil
dan Nyai: pengasuh utama dan pengasuh penelitian dengan menggunakan inter-
kompleks; guru dan santri tingkat madra- subjective validity.
sah Aliyah (setingkat SMA), Tsanawiyah
(setingkat SMP), dan Ma’had Aly (setingkat
Hasil
universitas); kepala bidang akademis di
madrasah; pengelola dan dokter di Balai
a. Keadilan gender
Kesehatan Masyarakat (BKM) milik pesan-
tren. Teknik pemilihan sumber data dalam 1) Aspek sikap
penelitian ini adalah purposive sampling Secara umum, keragaman sikap yang
yang berarti pencarian subjek informan ada pada para pengasuh dan guru juga
yang dapat memberikan penjelasan yang termanifestasi pada sikap para santri. Sikap
relevan dengan tujuan penelitian. Teknik beberapa guru dan pengasuh yang cende-
pengumpulan data yang digunakan adalah rung membedakan peran gender laki-laki
wawancara mendalam, observasi, Focus juga diadopsi sebagian besar santri. Sikap
Group Discussion (FGD), dan metode survei ini terutama berasal dari evaluasi atas
menggunakan kuesioner yang diberlaku- fakta-fakta yang terjadi di sekitar mereka
kan sebagai wawancara tertulis. Hasil tentang bagaimana perempuan dalam ber-
observasi, wawancara, FGD, dan kuesioner perilaku maupun diperlakukan selama ini.
diverifikasi dengan teknik triangulasi sum- Meskipun demikian, sikap yang dipegang
ber data dan metode pengumpulan data. tidak menjadi ekstrim karena mereka juga
Purposive sampling dilakukan dengan berpendapat adalah tugas dan kewajiban
mempertimbangkan ketercukupan dan laki-laki dan perempuan untuk menjadi
kejenuhan data. Jumlah pengasuh ada 17 setara dalam mengembangkan dan menye-
orang (7 laki-laki, 10 perempuan), yang imbangkan potensinya, antara lain rasiona-
diwawancara 4 orang (2 laki-laki, 2 perem- litas dan perasaannya. Pendapat ini berasal
puan). Jumlah dokter ada 3 orang, yang dari teks ajaran agama yang dipelajari di
diwawancara 2 orang. Guru yang diwa- pesantren.
wancarai adalah kepala sekolah dan ketua Dalam hal ini, terdapat dua sumber
bidang akademis. Jumlah santri ada 1280 sikap yang berbeda yaitu hasil internalisasi
(MA dan MTs kurang lebih 1000 dan ajaran agama yang cenderung adil gender
sisanya santri mahasiswa). Penggalian data berhadapan dengan hasil evaluasi terhadap
dilakukan dengan FGD pada 8 santri putri fakta-fakta di lingkungan yang terkons-
MA dan 10 santri santri putri MTs serta 327 truksi secara bias terhadap beberapa peran
santri pengisi kuesioner (MTs Putra 86, gender. Dua sumber sikap dengan subs-
MTs Putri 56, MA Putra 57, MA putri 72, tansi isi yang cenderung kontradiktif ini
Mahasiswa 27, Mahasiswi 29). akan melemahkan intensitas sikap sehingga
Proses analisis dan interpretasi data menghambat sikap untuk menjadi ekstrim
dalam penelitian ini meliputi proses dan kuat. Menurut Petty dan Krosnick
braketing, horizonalizing, meaning units (1995), sikap yang kuat akan berdampak
untuk mendapatkan deskripsi textural, pada munculnya perilaku. Hanya saja,
imaginative variation, untuk mendapatkan kemunculannya menjadi perilaku akan
deskripsi structural, dan memadukan des- sangat tergantung pada faktor-faktor me-
kripsi textural dan structural menjadi suatu diator sikap-perilaku yang lain.
makna yang universal dan mewakili res-

4 JURNAL PSIKOLOGI
GENDER DAN HAK REPRODUKSI DI PESANTREN

2) Aspek Perilaku dan Kebijakan penerimaan masyarakat sekitar, masyara-


Kesempatan dan akses pendidikan kat pesantren, kebijakan nasional, disertai
yang tersedia secara umum relatif sama persepsi terhadap keridlaan Allah SWT
untuk santri laki-laki dan perempuan. Hal terhadap usaha-usaha pendidikan dan pe-
ini terutama terlihat dari capaian prestasi ngajaran yang dilakukan pesantren. Selain
akademis mereka dan optimisme akan persepsi terhadap evaluasi lingkungan
harapan masa depan mereka terkait aktua- sosial, pengalaman diri sebagai lembaga
lisasi diri dalam prestasi, motivasi untuk pendidikan dan pengajaran agama sudah
melanjutkan ke tingkat pendidikan yang terasah sejak pesantren ini didirikan.
lebih tinggi atau lebih memilih bekerja Pengalaman menyejajarkan laki-laki dan
daripada langsung menikah setelah lulus perempuan dalam kurikulum dan penga-
kuliah. Hanya saja, beberapa fasilitas jaran di madrasah sudah berlangsung ham-
kurang bisa diakses secara optimal oleh pir tiga puluh tahun oleh para pendahulu
santri putri karena kebijakan yang berbeda, pesantren. Hal ini menambah keyakinan
yaitu masalah keluar malam dan akses akan kemampuan diri dan keyakinan bah-
internet yang lebih terbuka bagi santri laki- wa yang dilakukan adalah meneruskan
laki. Uniknya, pemberlakuan kesetaraan sebuah tradisi baik yang telah lama diusa-
perlakuan gender pada beberapa akses hakan pesantren.
fasilitas justru malah membuatnya tidak Sejalannya sikap, persepsi terhadap
berfungsi secara optimal. Salah satu con- evaluasi lingkungan, dan persepsi terhadap
tohnya adalah perpustakaan. Perpustakaan kemampuan diri dalam memberikan akses
yang dijadikan satu antara laki-laki dan dan kesempatan yang sama bagi laki-laki
perempuan justru membuat santri perem- dan perempuan dalam pendidikan me-
puan merasa tidak leluasa dan nyaman. nguatkan sikap yang kemudian termani-
Beberapa fasilitas, seperti perpustakaan festasi menjadi sebuah perilaku. Ketika
misalnya, sebaiknya dibedakan antara laki- sebuah sikap telah muncul sebagai perilaku
laki dan perempuan, atau lebih didekatkan dari sebagian besar orang, tuntutan untuk
ke asrama sehingga dapat diakses disela- membuatnya lebih terjamin secara sistem
sela istirahat mereka karena aktivitas di juga menguat. Dalam sebuah organisasi,
madrasah yang sudah cukup padat. jaminan secara sistemik tersebut termani-
Sikap terhadap akses dan kesempatan festasi dalam sebuah kebijakan. Gambaran
pendidikan menguat karena memiliki bebe- dinamika sikap menjadi perilaku dan
rapa sumber sikap yang berbeda namun kebijakan terkait akses dan kesempatan
cenderung sama, yaitu bersumber dari pendidikan dapat dilihat pada gambar 1.
internalisasi nilai ajaran agama, evaluasi
b. Hak-hak reproduksi
terhadap budaya dan kebiasaan masya-
rakat sekitar, serta pengalaman langsung. 1) Aspek kultural
Hal ini tentu saja berdampak pada Semua subjek menyepakati bahwa
kekuatan bahkan keekstriman sebuah hak-hak reproduksi perempuan perlu
sikap. dijamin pemenuhannya. Penggambaran
Persepsi terhadap evaluasi lingkungan aspek kultural hak-hak reproduksi dengan
sosial terhadap akses dan kesempatan pen- penggalian pendapat mengenai pemilihan
didikan juga terkesan sama. Persepsi terse- pasangan hidup dapat disimpulkan bahwa
but cenderung positif dan sesuai dengan sebagian besar merasa bahwa hak ijbar (hak
sikap yang terbentuk yaitu berasal dari orang tua/bapak untuk menikahkan anak

JURNAL PSIKOLOGI 5
FITRIA & HELMI

Interpretasi teks agama yang adil gender


Sikap yang adil gender terhadap
akses dan kesempatan
Pengalaman pribadi

Persepsi mengenai penerimaan masyarakat


umum: masyarakat menghargai pendidikan
Intensi berperilaku yang adil
gender: memilih sikap perlu
Persepsi mengenai penerimaan masyarakat
Persepsi lingkungan materiil dan memberikan akses dan
pesantren: kebijakan pendidikan yang adil gender
nonmateriil terhadap perilaku kesempatan sama dalam
di pesantren telah berlangsung lama
(bias/adil) gender lingkungan pendidikan
dipersepsi menerima sikap yang
Persepsi mengenai norma hukum di Indonesia adil gender terhadap akses dan
mengusulkan pendidikan (laki-laki dan kesempatan pendidikan
perempuan)= mendukung kebijakan nasional
Perilaku adil gender:
Persepsi mengenai penerimaan/keridlaan Allah memberikan akses dan
SWT kesempatan pendidikan
yang sama

Pengalaman diri: kebijakan pendidikan yang adil


gender di pesantren lama diusahakan
Persepsi diri bahwa ada Kebijakan adil gender:
kemampuan untuk sistem, aturan, silabus,
Pengalaman significant person (sekaligus berperan referensi, dan guru sama
sebagai dukungan sosial): pendiri pesantren, menyelenggarakan pendidikan
yang adil gender untuk santri laki-laki dan
pengasuh, dan guru mendukung sekaligus perempuan
berpendidikan tinggi

Gambar 1. Hubungan Sikap-Perilaku: Akses dan Kesempatan Pendidikan di Pesantren

perempuannya) masih diperlukan. Hanya penelitian ini relatif terbuka dan mudah
saja, semua sepakat bahwa perempuan dalam hal akses media maupun interaksi
layak dan harus dimintai pendapat dan sosial secara langsung, dan melalui dunia
pertimbangan. Begitu pula dalam hal perni- maya. Wacana dari luar pesantren, dari
kahan dini, mayoritas sependapat bahwa lingkungan masyarakat sekitar maupun
pernikahan dini bukan hal yang bijak lingkungan masyarakat yang lebih luas
untuk dilakukan mengingat hak dan harap- misalnya, tentu akan lebih mudah masuk
an pencapaian cita-cita pendidikan anak. dan mewarnai pemikiran, sikap, tindakan,
Setiap komunitas tidak mungkin bahkan kebijakan di dalam pesantren.
menafikan keharusan interaksi sosialnya Dengan kondisi seperti ini, masyarakat
dengan komunitas yang lain. Komunitas pesantren akan mempertimbangkan kondi-
terjadi karena ikatan sosial antar individu si dan tuntutan masyarakat sekarang dalam
di dalam masyarakat. Kehidupan personal interpretasi dan amalan ajaran agama.
seseorang tidak dapat terpisah dari keter- Sebagaimana penolakan terhadap praktik
hubungan dan ketergantungan dengan pernikahan dini dan penerapan yang lebih
orang lain, begitu pula komunitas. Komu- bijak terhadap hak ijbar seorang bapak ter-
nitas satu akan terhubung dengan komu- hadap anak perempuan. Telah ada kesa-
nitas yang lain dan membentuk masyara- daran bahwa perilaku reproduksi yang
kat. Pesantren sebagaimana yang dipahami beresiko salah satunya adalah karena perni-
oleh masyarakat awam adalah komunitas kahan dini dan pernikahan yang dipaksa-
yang cenderung tradisional dan tertutup. kan. Kesadaran semacam ini mengurangi
Pesantren Krapyak yang menjadi objek resiko timbulnya berbagai masalah kese-

6 JURNAL PSIKOLOGI
GENDER DAN HAK REPRODUKSI DI PESANTREN

hatan, sosial, dan ekonomi yang dapat puan pada tahap perkembangan selanjut-
terjadi akibat semakin awalnya perilaku nya yang lebih kompleks dan menyakitkan
seksual seseorang (Kaplan, Erickson, & secara fisik. Sayangnya, proses-proses
Reyes, 2002). reproduksi yang memang secara kodrati
hanya dapat dialami tubuh perempuan
2) Aspek sosial seringkali dianggap sebagai hal yang wajar
Kurang terpenuhinya kebutuhan akan dan lumrah dialami oleh semua perem-
informasi yang tepat mengenai organ puan. Sikap semacam ini memang bukan
reproduksi akan mengakibatkan pencarian merupakan sikap mayoritas yang diambil
informasi secara kurang bertanggung ja- oleh orang-orang di pesantren. Sudah ada
wab. Pemberian informasi mengenai kese- usaha-usaha dari pesantren dalam membe-
hatan reproduksi sudah dilakukan secara rikan pengetahuan mengenai reproduksi
rutin oleh pesantren melalui seminar mau- dalam pengajaran di madrasah maupun
pun pengajian, namun hal tersebut dirasa pengajian kitab. Hanya saja, usaha-usaha
masih kurang memadai dalam mencukupi tersebut dirasa masih kurang intensif dan
kebutuhan informasi reproduksi santri. terutama sekali masih dalam tataran du-
Santri putri memiliki kesempatan yang kungan secara kognitif. Kebutuhan akan
lebih intens dalam mendapatkan pengeta- dukungan moral emosional dan juga pela-
huan reproduksi dibandingkan santri yanan medis nampaknya masih perlu un-
putra. Keberadaan dokter perempuan yang tuk dipenuhi. Gambaran hubungan sikap
memang dimaksudkan untuk melayani dengan perilaku terkait dengan pelayanan
para santri putri dalam mengatasi keluhan kesehatan reproduksi santri di pesantren
reproduksi ternyata juga belum dapat dapat dilihat pada gambar 2 bawah ini.
memberi manfaat secara optimal. Sikap dukungan yang kuat terhadap
Pengetahuan adalah unsur pertama layanan kesehatan reproduksi untuk santri
yang dipersiapkan dalam mengurangi ke- sebagai perwujudan dari jaminan atas hak-
cemasan dan kekhawatiran seorang perem- hak reproduksi santri disokong pula oleh
puan dalam menghadapi proses-proses persepsi akan adanya evaluasi yang cen-
reproduksinya. Menurut Burns, Lovich, derung positif terkait dukungan lingkung-
Maxwell, dan Shapiro, (1999) jika anak an materiil dan immateriil di sekitar masya-
perempuan praremaja telah diberitahu rakat pesantren mengenai pentingnya
tentang menstruasi sebelum ia benar-benar layanan kesehatan reproduksi. Hanya saja,
mengalaminya, mungkin dirinya akan kebijakan dalam layanan di klinik pesan-
gembira ketika saat itu tiba, karena dengan tren masih nampak merepresentasikan
demikian ia tahu benar bahwa dirinya pandangan bahwa kebutuhan akan kese-
tengah dalam proses menapak masa awal hatan organ tubuh perempuan sama saja
ke arah kedewasaan. Mereka yang tidak dengan yang dibutuhkan laki-laki. Menu-
pernah mendapat keterangan apa-apa ten- rut De La Rey dan Kottler (1999), kebijakan
tang menstruasi bisa ketakutan ketika yang gender blind dapat dikatakan sama saja
melihat darah mulai keluar dari vagina. dengan kebijakan pengabaian dan sebuah
Hal ini ditambah pula dengan ketidaknya- kelalaian (omission). Gender blind approach
manan-ketidaknyamanan yang terjadi seca- atau sebuah pendekatan yang tidak mem-
ra fisik pada saat menstruasi, sebelum, dan perhatikan keadilan gender di dalamnya
sesudahnya. Kemungkinan yang sama ter- bukanlah sebuah pendekatan sama sekali
jadi pada proses-proses reproduksi perem- (Grown, Gupta, & Pande, 2005).

JURNAL PSIKOLOGI 7
FITRIA & HELMI

Interpretasi teks agama adil gender perempuan


perlu mendapatkan hak-hak reproduksi berupa Sikap terhadap hak-hak
layanan kesehatan reproduksi reproduksi: santri perempuan
perlu mendapatkan layanan
kespro
Pengalaman: layanan kespro santri belum optimal

Persepsi mengenai penerimaan masyarakat umum:


kespro perlu untuk santri
Persepsi lingkungan materiil
Ada intensi/niat
dan nonmateriil terhadap
Persepsi mengenai penerimaan masyarakat memberikan layanan
perilaku :lingkungan materiil
pesantren: santri perlu layanan kespro dan nonmateriil sangat kespro
menerima perlunya layanan
Persepsi mengenai penerimaan/keridlaan Allah kespro santri di pesantren
SWT menjaga keseha tan=hifdzun nafs (menjaga
diri) = wajib dilakukan

Persepsi mengenai Layanan kesehatan


Pengalaman diri: layanan kespro sebatas kemampuan diri: layanan reproduksi belum
menyediakan dokter perempuan dan seminar kespro yang komprehensif dan optimal
setahun sekali untuk santri aliyah putra putri serta aspiratif untuk santri belum
pengajian romadlon untuk santri aliyah putri saja pernah dilakukan

Gambar 2. Hubungan Sikap-Perilaku: Pelayanan Kesehatan Reproduksi untuk Santri di


Pesantren

Aspek sosial dari hak-hak reproduksi pengasuh, mayoritas santri lebih condong
yang lainnya adalah terkait dengan kewe- pada pendapat bahwa suami dan istri yang
nangan pengambilan keputusan dalam bertanggung jawab atas proses reproduksi
menjalani tugas reproduksi. Jawaban sub- perempuan, misal terkait keputusan penga-
jek guru dan pengasuh yang diwawancara turan kehamilan.
terbagi atas dua macam jawaban. Jawaban Terkait masalah pengasuhan, meski-
guru aliyah, guru mahasiswa, dan penga- pun semua subjek menjawab bahwa penga-
suh putra relatif sama yaitu bahwa kepu- suhan anak adalah tugas bersama suami
tusan itu berdasarkan pertimbangan bersa- dan istri, namun pada kenyataannya tugas
ma suami dan istri. Agak berbeda dengan tersebut lebih banyak dibebankan pada istri
jawaban tersebut, 2 (dua) subjek pengasuh meskipun sama-sama bekerja. Beban ganda
putri dan seorang pengasuh putra menan- perempuan sepertinya masih dirasakan
daskan bahwa keputusan terutama berada oleh perempuan para istri di pesantren.
di tangan istri karena istri yang jauh lebih Sejalan dengan hal tersebut, mayoritas
tahu kondisi fisik dan psikologisnya. Bila santri juga memiliki pandangan yang sama
istri merasa sudah siap secara fisik dan bahwa pengasuhan anak merupakan kewa-
psikis, proses reproduksi bisa dijalani. jiban suami dan istri. Mayoritas santri putra
Ditambahkan oleh subjek pengasuh putri, pun menyatakan siap ikut membantu pe-
bahkan dalam ajaran agama untuk menyu- kerjaan rumah tangga dan mengasuh anak
sui pun adalah pilihan si ibu, bukan kewa- bila istri juga bekerja.
jiban meskipun itu sangat disarankan.
Pandangan seseorang memang belum
Berdasar hasil kuesioner, sesuai de- tentu dapat terekspresikan dalam bentuk
ngan pendapat sebagian besar guru dan perilaku apalagi bila hal tersebut masih

8 JURNAL PSIKOLOGI
GENDER DAN HAK REPRODUKSI DI PESANTREN

sebagai praktik yang belum dilakukan oleh an berumahtangga. Begitu pula dengan
mayoritas orang di sekitarnya salah satu- pemaknaan hadits yang memperbolehkan
nya terkait masalah kerja-kerja takberbayar pemukulan istri yang melakukan nusyuz.
(unpaid work) berupa kerja-kerja domestik Subjek tersebut memaparkan bahwa itu
dan pengasuhan anak. Survey yang dila- memang diperbolehkan dalam agama asal
kukan oleh Social Cultural Survey pada di organ tubuh yang tidak membahayakan
tahun 2000 di Belanda menghasilkan bah- dan itu adalah upaya terakhir. Subjek-
wa meskipun semakin banyak orang yang subjek lain cenderung menafikan unsur
percaya bahwa laki-laki dan perempuan pemukulan tersebut dan lebih menegaskan
seharusnya bersama-sama bekerja dalam bahwa komunikasi yang baik adalah pilih-
sektor demostik berupa kerja-kerja takber- an utama. Para istri di jaman sekarang
bayar dalam kerumahtanggaan dan penga- sudah lebih maju dalam pemikiran, perga-
suhan, namun realitasnya belum sama ulan, dan ekonomi sehingga mereka sudah
dengan opini tersebut (Duindam & Spruijt, terbiasa untuk hidup egaliter salah satunya
2002). Sejalan dan menguatkan hal ini, terbiasa mendiskusikan permasalahan apa
Chodorow (2002) berpendapat bahwa saja sehingga pemukulan bukanlah sebuah
menjadi ibu dan keibuan (mothering), secara pilihan. Lagi pula, suami harus berfikir dua
psikodinamika merupakan proses sekali- kali bila melakukan pemukulan terhadap
gus siklus identifikasi ganda dari seorang istri karena sekarang hal tersebut dapat
perempuan yaitu sebagai ibu sekaligus masuk dalam pasal Kekerasan Dalam
sebagai anak. Sepakat dengan hal ini, Rumah Tangga (KDRT). Ditambahkan oleh
menurut Duindam & Spruijt (2002), masa- salah seorang pengasuh putra bahwa
lah ini bisa dikurangi bila telah muncul menurutnya belum pernah ada kyai atau
generasi yang tumbuh dan diasuh oleh orang yang paham agama melakukan pe-
orang tua secara bersama dan setara. mukulan terhadap istrinya. Yang biasanya
melakukan pemukulan adalah justru
3) Aspek seksual orang-orang yang tidak terlalu paham
Aspek seksual hak-hak reproduksi ini agama.
untuk menggali informasi mengenai pen- Definisi menurut subjek santri cukup
dapat subjek di pesantren terkait hak-hak menarik. Subjek perempuan yang justru
untuk memperoleh kenyamanan, kesela- lebih banyak yang mendefinisikan nusyuz
matan, dan terhindar dari kekerasan yang sebagai pembangkangan istri terhadap
mengacam organ seksual seseorang dalam suami. Di sisi lain, 60% santri laki-laki jus-
melakukan hubungan seks. Seluruh subjek tru lebih memilih definisi nusyuz sebagai
yang diwawancarai memberikan jawaban bukan hanya pembangkangan istri namun
yang serupa terkait dengan bahwa suami suami terhadap pasangannya terkait hak
maupun istri harus sama-sama menikmati dan kewajiban masing-masing dalam ikat-
hubungan seksual. Terkait dengan konsep an pernikahan. Sikap santri mahasiswa
nusyuz dalam agama, satu orang subjek berbeda dengan santri aliyah dalam menyi-
yaitu pengasuh putra menjawab bahwa da- kapi teks agama yang terkait laknat terha-
lam definisi agama nusyuz adalah pem- dap istri bila menolak berhubungan badan
bangkangan istri terhadap suami. Subjek- dengan suaminya. Sikap santri aliyah lebih
subjek yang lain relatif berbeda jawaban- menyetujui hadits itu namun dengan syarat
nya dengan mengatakan bahwa nusyuz alasan yang logis seperti sakit. Sikap maha-
adalah pembangkangan suami atau istri siswa cenderung lebih seimbang antara
dalam hak dan kewajiban dalam kehidup-

JURNAL PSIKOLOGI 9
FITRIA & HELMI

setuju tapi disertai alasan logis dengan karena ada kendala hubungan biologis atau
pendapat bahwa suami maupun istri sama- karena untuk perlindungan janda dan anak
sama mendapat laknak malaikat bila meno- yatim. Saat pengasuh putri ditanya apakah
lak berhubungan seksual dengan pasang- mereka mau dipoligami, mereka menegas-
annya tanpa alasan yang logis. Begitu pula, kan bahwa tidak akan mau dipoligami dan
terkait teks al Qur’an terkait konsekuensi memilih cerai misalnya. Salah satu dari
nusyuz yang bila ditafsirkan secara leterlijk pengasuh juga menegaskan bahwa jalan
berarti memukul, mayoritas santri terutama menuju surga buat suami istri tidak harus
santri aliyah dan mahasiswi sepakat de- dengan cara yang menyakitkan satu pihak
ngan penafsiran tersebut. Sebagian di anta- seperti poligami. Sebagian besar pendapat
ranya tidak setuju, terutama justru santri santri juga tidak menyetujui praktik poliga-
mahasiswa, karena pemukulan mengan- mi karena dianggap tidak memungkinkan
dung unsur kekerasan. bersikap adil secara materi maupun pera-
Mencoba berada di tengah antara saan serta lebih banyak madlorot (bahaya/
penafsiran ajaran yang ada dengan situasi kesengsaraan) dari pada kemanfaatan
dan kondisi sosial kemasyarakatan yang untuk anak dan istri. Yang agak mencolok
ada sepertinya menjadi jalan yang juga seperempat santri putra aliyah memilih
harus dipilih oleh santri sebagaimana para pernyataan poligami dianjurkan menurut
guru dan pengasuhnya. Kurang lebih sete- ajaran Islam karena merupakan sunnah
ngah dari santri berpendapat bahwa ber- Nabi dan separuh lebih memilih lebih baik
diskusi dan menggauli istri dengan baik melakukan poligami daripada dosa karena
adalah sesuatu yang harus diutamakan selingkuh hingga zina meskipun hanya
namun seorang istri tetap harus mematuhi minim sekali yang memilih pendapat bah-
apapun perintah suami. Hanya saja, mayo- wa poligami diperbolehkan untuk menya-
ritas dari mereka juga menyatakan tidak lurkan hasrat dan kemampuan biologis
akan pernah memukul istri kalau sudah laki-laki yang melebihi perempuan.
menikah nanti. Menurut Petty dan Krosnick (1995)
Isu terakhir yang dikedepankan terkait salah satu yang menjadi kekuatan sikap
aspek seksual hak-hak reproduksi adalah adalah faktor importance yaitu seberapa
terkait masalah poligami. Subjek pengasuh jauh individu benar-benar peduli dan seca-
putri menolak poligami dengan alasan ra pribadi dipengaruhi oleh sikap tersebut.
bahwa poligami sekarang sudah melenceng Terkait dengan masalah pemukulan dan
dari Alqur’an dan sunah Nabi karena lebih poligami, semua subjek pengasuh putri
menekankan pada unsur biologis. Dalam tidak hanya memanifestasikan pendapat-
Alqur’an maupun yang dicontohkan Nabi nya secara kognitif tapi juga ada penegasan
adalah bahwa pilihan poligami adalah atas secara rasa dan kemungkinan perilaku
dasar perlindungan terhadap janda dan yang akan diambil. Biasanya, dalam kaitan
anak yatim. Salah seorang pengasuh putra hukum agama, unsur rasa agak diabaikan
menyatakan setuju dengan poligami karena atau paling tidak mendamaikannya dengan
pada dasarnya lelaki memiliki potensi bersikap yang tidak terlalu ekstrim meno-
biologis yang memungkinkan untuk mela- lak atau menerima sebagaimana yang
kukan poligami dan ada legalitas dari aga- pensikapan yang dipilih oleh para subjek
ma. Hanya saja, beliau menekankan bahwa laki-laki dan sebagian besar subjek santri.
untuk poligami harus ada alasan yang Kenyataan bahwa hal tersebut tercantum
dibenarkan oleh syara’ atau agama, yaitu dalam teks Al Qur’an dan juga sesuatu

10 JURNAL PSIKOLOGI
GENDER DAN HAK REPRODUKSI DI PESANTREN

yang pernah dilakukan oleh Nabi Muham- an unsur pengetahuan, serta bagaimana
mad saw ikut menguatkan pilihan sikap sikap termanifestasi menjadi perilaku.
tersebut. Di sisi lain, praktik poligami dito-
lak oleh para pengasuh putri dengan peno- 1. Adaptasi norma dalam pesantren
lakan pasti.
Di dalam pesantren ini adaptasi norma
Terkait dengan faktor importance (mak- terbentuk dalam beberapa proses, yaitu
na), ada tiga komponen utama yang terkan- pertama melalui pembelajaran langsung di
dung di dalamnya, yaitu self interest (sejauh kelas madrasah, kelas pengajian (di asra-
mana sikap mempengaruhi kehidupan atau ma), dan perkuliahan di luar untuk santri
tujuan individu), identifikasi sosial (sejauh mahasiswa. Yang kedua, pembelajaran
mana sikap mempengaruhi kelompok secara tidak langsung dan formal yaitu
kepada siapa individu mengidentifikasikan melalui pengontrolan perilaku sehari-hari
diri), dan relevansi nilai (sejauh mana sikap di asrama, di madrasah, maupun di luar
berhubungan dengan nilai-nilai pribadi). lingkungan pesantren dengan mengguna-
Melalui ketiga hal itulah makna sikap kan pedoman tata tertib yang berlaku.
berakar (Petty & Krosnick, 1995). Sikap Pengasuh dan guru yang lulusan pesantren
terhadap poligami memiliki unsur self saja akan berbeda dibandingkan dengan
interest dan relevansi nilai yang cukup ting- yang juga lulusan perguruan tinggi dan
gi terutama untuk perempuan. Identifikasi memiliki pergaulan luas di luar pesantren
sosial terkait masalah poligami di pesan- dalam mewarnai pembelajaran di pesan-
tren ini juga tetap sejalan dengan unsur tren.
yang lain. Hal ini terjadi karena meskipun
pendiri pertama pesantren ini beristri 4 2. Sikap yang terbentuk dari sosialisasi
(empat) namun keturunan beliau (sekarang norma
sudah sampai canggah atau generasi keem-
Para pengasuh yang juga sekaligus
pat) tidak ada yang melakukan praktik
pengajar di pesantren ini adalah orang-
poligami. Hal ini semakin diteguhkan oleh
orang yang sejak kecil hidup di lingkungan
pengasuh utama generasi pertama yang
yang sama yaitu pesantren karena mereka
secara tegas pernah melarang santri untuk
semua adalah anak keturunan pendiri
poligami dan juga menyutujui putrinya
pesantren. Norma yang didapatkan melalui
bercerai karena dipoligami suaminya. Di
pengasuhan dari kecil sekaligus pembe-
sisi lain, poligami dan pemukulan terhadap
lajaran di pesantren akan mengakar kuat
istri juga semakin tidak mendapat tempat
dalam skema kognitif. Sebagaimana dike-
di masyarakat luas. Konstruksi sosial yang
mukakan, skema kognitif digunakan seba-
menolak kedua hal tersebut semakin lama
gai bahan memproses dan mengevaluasi
semakin menguat. Hal ini semakin mele-
segala informasi sosial dari dunia luar.
mahkan proses sikap menjadi sebuah
Unsur evaluatif dalam pemrosesan infor-
perilaku. Hal ini dapat dijelaskan pada
masi itulah sikap. Sikap yang terbentuk
gambar 3 di bawah.
melalui proses yang lama dan dalam ber-
Dinamika hubungan antara sikap dan bagai media disertai keberadaan seseorang
perilaku di dalam pesantren lebih lanjut yang lebih banyak dalam situasi dan
dijelaskan terkait bagaimana adaptasi nor- lingkungan yang sama akan menguatkan
ma berlangsung di pesantren, sikap yang sikap (Petty dan Krosnick, 1995).
terbentuk dari sosialisasi norma, kematang-

JURNAL PSIKOLOGI 11
FITRIA & HELMI

Interpretasi teks agama yangg bias gender: poligami


dibolehkan, ada dalam teks agama: Nabi berpoligami

Interpretasi teks agama yang adil gender: dalam Poligami boleh dengan
poligami tidak mungkin berlaku adil dan lebih banyak syarat tertentu: adil,
madlorot untuk anak dan istri daripada manfaat darurat.

Pengalaman pribadi: kakek buyut yang berpoligami,


secara pribadi belum pernah menjadi korban poligami

Persepsi mengenai penerimaan masyarakat umum:


masyarakat sekitar tidak ada yang berpoligami
Persepsi lingkungan
Persepsi mengenai penerimaan masyarakat pesantren materiil dan non materiil Intensi
tidak ada yang berpoligami meskipun pendiri awal terhadap perilaku: melakukan
melakukannya. Salah seorang kyai utama (ayah lingkungan dipersepsi poligami rendah
pengasuh senior) melarang santri poligami kurang mendukung
seseorang untuk poligami

Persepsi mengenai penerimaan/keridlaan Allah SWT:


memungkinkan dilakukan, tapi takut tidak sesuai yang
diperintahkan, yaitu menolong janda & yatim serta adil

Perilaku poligami
Pengalaman diri: pernah melakukan/tidak: belum ada Persepsi mengenai tidak dapat muncul
pengasuh senior-junior dan guru yang berpoligami kemampuan diri untuk
melakukan tindakan yang
bias/adil gender: tidak yakin
Pengalaman significant person (sekaligus berperan mampu melakukan
sebagai dukungan sosial): pengasuh senior putri poligami
bercerai dua kali karena dipoligami

Gambar 3. Hubungan Sikap-Perilaku: Poligami di Pesantren

Sebagaimana didapatkan dalam peng- sung harus mempertimbangkan tradisi,


galian data, pesantren ini juga menganut kebiasaan, dan norma yang berkembang di
konsep terbuka. Sesuai konsep pendiri, masyarakat sekitar. Interaksi sosial yang
pesantren ini dikonsep menjadi pesantren telah lama terjalin harmonis ini akan
yang terbuka. Tidak ada gerbang yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan
melingkupinya. Pesantren seperti ini pula sesuatu. Penerimaan masyarakat akan men-
yang merupakan model pesantren-pesan- jadi salah satu acuan dalam memilih sikap
tren tua yang ada di Indonesia dan tindakan. Bila tidak, pesantren akan
(Dirdjosanjoto, 1999). Hubungan dengan terisolasi dari masyarakat sekitar maupun
masyarakat yang terjalin memberikan kon- yang lebih luas. Bila hal itu terjadi, tujuan
sekuensi bahwa segala hal yang ada di dakwah yang menjadi tugas utama pesan-
dalam pembelajaran di pesantren dapat tren terancam gagal atau minimal sulit
dikontrol langsung oleh masyarakat. Pem- dilakukan.
belajaran di pesantren secara tidak lang-

12 JURNAL PSIKOLOGI
GENDER DAN HAK REPRODUKSI DI PESANTREN

3. Unsur pengetahuan yang belum matang maupun negatif. Hal ini disebut attitudes
ambivalence. Ambivalensi sikap ini muncul
Beberapa guru dan pengasuh cende-
ketika seseorang dihadapkan pada dua
rung mendiskreditkan wacana mengenai
pilihan sikap yang sama kuat (Baron dan
gender. Dalam beberapa hal, gender selama
Byrne, 1998). Sikap yang paling memung-
ini diasosiasikan dengan pendobrakan tra-
kinkan untuk dimunculkan dalam situasi
disi dan kemapanan, anti laki-laki, merusak
dan lingkungan tertentu itulah yang akan
tatanan, dan juga diasosiasikan dengan
muncul dalam bentuk perilaku. Misalnya,
beberapa aktivis gender yang cenderung
pendapat pengasuh dan guru mengenai
‘galak’ dalam melakukan sosialisasikan
pemukulan istri karena nusyuz. Interpre-
gender. Menurut penelitian Peltola, Milkie,
tasi yang ada di dalam kitab klasik adalah
dan Presser (2004), beberapa kelompok
sebagaimana yang nampak secara makna
orang yang sebenarnya sepakat dengan
denotatif yaitu memukul (wadlribuuhunna).
wacana dan gerakan adil gender pun
Di sisi lain, ada interpretasi lain yang
menolak disebut sebagai feminis karena
cenderung menonjolkan pergaulan yang
stigma feminis yang cenderung negatif.
arif, pendekatan musyawarah, dan menon-
Konsep-konsep keadilan gender yang
jolkan unsur kasih sayang. Juga, peneri-
dirumuskan sejalan dengan teks-teks uta-
maan masyarakat umum dan perundang-
ma agama Islam yaitu al Qur’an dan Hadits
undangan yang semakin tidak favorable
belum dipahami betul oleh orang-orang
terhadap tindakan pemukulan terhadap
pesantren karena belum mau menyempat-
istri. Hal ini kemudian menyebabkan tidak
kan diri membaca dan mempelajari penaf-
munculnya sikap tersebut dalam perilaku.
siran-penafsiran yang lebih adil gender. Di
Begitu pula dalam penyikapan terhadap
sisi lain, sikap dan perilaku yang tidak bias
pernikahan dini dan poligami.
gender lebih berkembang dalam masya-
rakat. Dari sanalah muncul kehati-hatian
dalam bersikap dan berperilaku sehingga Kesimpulan
tidak menjadi ekstrim karena menjaga
keharmonisan lingkungan sekitar juga Berdasarkan hasil penelitian keadilan
merupakan sikap dan perilaku orang gender dan kesehatan reproduksi di pesan-
pesantren. tren ini dapat disimpulkan bahwa:

Pengetahuan yang benar dan utuh 1. Sikap beberapa guru dan pengasuh
mengenai objek sikap akan merupakan yang cenderung membedakan peran
kekuatan sikap akan membuatnya relevan gender laki-laki juga menjadi pendapat
dengan perilaku yang dimunculkan (Petty sebagian besar santri. Sikap ini teruta-
dan Krosnick, 1995). Unsur pengetahuan ma berasal dari evaluasi atas fakta-fakta
yang belum matang terkait dengan masa- yang terjadi di sekitar mereka tentang
lah reproduksi juga tercermin pada santri. bagaimana perempuan dalam berperi-
Kekhawatiran, ketidakterbukaan, dan rasa laku maupun diperlakukan selama ini.
malu yang masih juga muncul bila harus Meskipun begitu, sikap yang dipegang
mengkomunikasikan permasalahan repro- tidak menjadi ekstrim/menguat karena
duksi masih dialami para santri. teks ajaran agama yang dipelajari justru
adil gender. Hal ini tercermin salah
4. Perilaku yang muncul satunya dalam kesempatan dan akses
pendidikan yang relatif sama untuk
Evaluasi seseorang seringkali tercam- santri laki-laki dan perempuan.
pur dan terdiri dari dua reaksi baik positif

JURNAL PSIKOLOGI 13
FITRIA & HELMI

2. Terkait masalah reproduksi perem- Saran


puan, sikap mayoritas subjek yang
kurang adil terhadap perempuan justru 1. Bagi pesantren. Wacana keadilan gen-
berdasar interpretasi teks agama, misal- der dan hak-hak reproduksi sesung-
nya terkait poligami, pemukulan terha- guhnya sangat sesuai dan sama sekali
dap perempuan yang membangkang, tidak bertolak belakang dengan Islam.
dan pernikahan dini. Hanya saja, sikap Prinsip kesetaraan, keadilan, pergaulan
mereka pun tidak kuat apalagi terma- yang ma’ruf, kasih sayang, dan menge-
nifestasi dalam perilaku karena tidak depankan musyawarah yang kesemua-
sejalan dengan konstruksi sosial yang nya menjadi prinsip dasar al Qur’an
ada. yang seharusnya dikedepankan dalam
membangun peradaban manusia.
3. Mayoritas sikap subjek setuju bahwa
perlu ada layanan kesehatan reproduksi 2. Bagi aktivis gender. Kritik yang terlalu
khusus terutama untuk santri perem- radikal terkait dengan pedoman ting-
puan karena secara biologis berbeda, kah laki, tradisi pembelajaran, dan refe-
lebih kompleks fungsi dan proses yang rensi yang khas pesantren justru mele-
dialaminya. Hanya saja, dalam kenyata- mahkan gerakan yang semula bertujuan
annya justru menggambarkan perla- menawarkan wacana lain yang lebih
kuan atas layanan kesehatan laki-laki adil gender karena pesantren sangat
dan perempuan yang sama, tidak dibe- kuat dalam penjagaan dan penghormat-
dakan. an tradisi. Pemakaian sumber yang
sama yaitu teks agama lebih dapat dite-
Dinamika hubungan sikap-perilaku
rima dan lebih mudah menggoyahkan
tersebut peneliti simpulkan dalam gambar
sikap yang telah mapan. Pesantren sela-
4 berikut.
lu mengusahakan untuk menjaga inte-
raksi sosial yang harmonis dengan

Interpretasi teks agama yang adil gender Sikap terhadap keadilan


gender dan hak-hak
Pengalaman pribadi reproduksi (bias/adil)

Persepsi mengenai penerimaan masyarakat

Persepsi lingkungan materiil


Persepsi penerimaan masyarakat pesantren
dan non materiil terhadap Intensi
perilaku (bias/adil) gender berperilaku Perilaku
Persepsi mengenai norma hukum yang dan (menjamin/tidak Bias/adil Bias/adil
berlaku di Indonesia menjamin) hak-hak gender gender
reproduksi
Persepsi mengenai penerimaan/keridlaan
Allah SWT

Pengalaman diri: pernah melakukan/tidak Persepsi mengenai Kebijakan


kemampuan diri untuk Bias/adil
Pengalaman significant person (sekaligus melakukan tindakan yang gender
berperan sebagai dukungan sosial) bias/adil gender

Gambar 4. Dinamika Hubungan Sikap-Perilaku-Kebijakan di Pesantren

14 JURNAL PSIKOLOGI
GENDER DAN HAK REPRODUKSI DI PESANTREN

masyarakat. Konstruksi sosial yang adil R.J. (eds.). The Psychology of Gender.
gender perlu diperkuat agar melemah- New York: Guilford Press.
kan sikap yang bias. De La Rey, C. & Kottler, A. (1999). Societal
3. Bagi keilmuan psikologi sosial dan transformation: gender, feminism and
psikologi gender. Dalam penelitian psychology in south africa. Feminism
sosial pada masyarakat yang religius, and Psychology, 9 (2), 119-126
perlu pengetahuan mengenai ragam Dirdjosanjoto, P. (1999). Memelihara umat:
interpretasi teks karena hal itulah yang kiai pesantren – kiai langgar di jawa.
sebenarnya nyata dalam peta kognisi Yogyakarta: LKIS.
manusia. Selain itu, perlu pendekatan
Duindam, V. & Spruijt, E. (2002). The repro-
indigenous psychology untuk mengetahui
duction of fathering. Feminism and
ragam makna dalam berbagai aspek
Psychology, 12 (1), 28-32.
kehidupan dalam pesantren.
Fakih, M. (2004). Analisis gender dan trans-
formasi sosial. Yogyakarta: Pustaka
Kepustakaan Pelajar.
Abdullah, I. (2001). Seks, gender, dan repro- Grown, C., Gupta, G.R., & Pande, R. (2005).
duksi kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang Taking action to improve women's
Press. health through gender equality and
Baron, R.A. & Byrne, D.E. (1998). Social women's empowerment. The Lancet, 365
psychology: understanding human interac- (9458), 541-544.
tion. Boston, M.A.: Allyn & Bacon. Hakimi, M.. Hayati, E.N., Marlinawati,
Beall, A.E. & Sternberg, R.J. (1993.). The V.U., Winkvist, A., & Ellsberg, M.C.
Psychology of gender. New York: (2001). Membisu demi harmoni. “keke-
Guilford Press. rasan terhadap istri dan kesehatan perem-
puan di jawa tengah, indonesia. Yogya-
Brigham, J.C. (1991). Social psychology.
karta: LPKGM-FK UGM.
Second Edition. New York: Harper
Collins Publisher Inc. Hayati, E.N. (1999). Kekerasan terhadap
istri: studi kasus di rifka annisa
Browner, C.H. (2000). Situating women's
women’s crisis center yogyakarta.
reproductive activities. Journal of Ame-
Laporan Penelitian (tidak diterbitkan).
rican Anthropologist, 102 (4). 773-789.
Yogyakarta: Kerjasama Puslitkes Atma-
Burns, A. A., Lovich, R., Maxwell, J., & jaya Jakarta dengan Rifka Annisa
Shapiro, K. (1999). Bila perempuan tidak Women’s Crisis Center Yogyakarta
ada dokter. Yogyakarta: Insist Press.
Kaplan, C.P., Erickson, P.I., & Reyes, M.J.
Chodorow, N. (2002). The cycle completed: (2002). Acculturation, gender role
mothers and children. Feminism and orientation, and reproductive risk-
Psychology, 12 (1), 11-17 taking behavior among latina adoles-
Clark, J. (2004). Slow progress to repro- cent family planning clients. Journal of
ductive rights. Canadian Medical Asso- Adolescent Research, 17 (2), 103-121.
ciation. Journal, 171 (8), 841-842. Marhumah. (2009). Gender dalam ling-
Cross, S.E. & Markus, H.R.. (1993). Gender kungan sosial pesantren: studi tentang
in thought, belief, and ction: a cognitive peran kiai dan nyai dalam sosialisasi
approach. In Beall, A.E. & Sternberg, gender di Pesantren Al munawwir dan

JURNAL PSIKOLOGI 15
FITRIA & HELMI

Pesantren Ali Maksum Krapyak Yogya- rasan domestik di Jawa. Jurnal Perem-
karta. Disertasi. Tidak Diterbitkan. puan, 03, 30-34.
Peltola, P., Milkie, M.A., & Presser, S. Soebahar, A.H. & Usman, H. (1999). Hak
(2004). The “feminist” mystique, femi- reproduksi perempuan dalam pandangan
nist identity in three generation of kiai. Yogyakarta: Pusat Penelitian
women. Gender & Society, 18 (1), 122- Kependudukan UGM.
144. Umar, N. (1999). Argumen kesetaraan jender:
Petty, R.E. & Krosnick, J.A. (1995). Attitude perspektif alqur’an. Jakarta: Paramadina.
strength: antecedents and consequences. Publikasi Media:
Hillsdale: NJ: Erlbaum. Kompas, 15 Mei 2008.
Sciortino, R. & Smith, I. (1997). Keme-
nangan harmoni pengingkaran keke-

16 JURNAL PSIKOLOGI

You might also like