You are on page 1of 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Pengetahuan
a. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan yang dimiliki manusia adakalanya bersumber dari
pengalaman dan adakalanya dari pikiran. pengetahuan yang bersumber
dari pengalaman meliputi semua hal yang dialami baik oleh panca indra,
intuisi, ataupun kata hati. Adapun yang bersumber dari pikiran adalah
pengetahuan yang diperoleh melalui proses penalaran. Pengetahuan yang
bersumber dari pengalaman sering kali dicerna melalui pikiran. proses
pencernaan itu ada yang bersifat sederhana seperti mencerna informasi
yang bersifat verbal, atau yang lebih kompleks seperti memecahkan
masalah atau melakukan strategi kognitif. Dapat pula dikatakan bahwa
pikiran merupakan muara bagi sumber-sumber pengetahuan (Ali,2007)
Pengetahuan dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu pengetahuan
prosedural (procedural knowledge), pengetahuan deklaratif (declarative
knowledge), dan pengetahuan tacit (tacit knowledge). Pengetahuan
prosedural lebih menekankan pada bagaimana melakukan sesuatu.
Pengetahuan deklaratif menjawab pertanyaan apakah sesuatu bernilai
salah atau benar. Sedangkan pengetahuan tacit merupakan pengetahuan
yang tidak dapat diungkapkan dengan bahasa (Kusrini, 2006)
b. Tingkatan Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan yang dicakup di dalam
kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini
adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari

6
7

seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.


Oleh sebab itu, “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan
yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahun
tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil
(sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau
penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya
dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di
dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya
satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat
bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan
sebagainya.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-
8

formulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun, dapat


merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan
sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah
ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-
penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya : dapat
membandingkan antara anak-anak yang cukup gizi dengan anak
yang kekurangan gizi-gizi, dapat menanggapi terjadinya wabah diare
di suatu tempat, dapat menafsirkan sebab-sebab ibu-ibu tidak mau
ikut KB dan sebagainya (Notoadmodjo, 2005).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur
dari subjek penelitian atau responden (Notoadmodjo, 2005).
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Budiman (2013) dalam Astuti S, 2013, menjelaskan mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pengetahuan adalah
sebagai berikut :
1. Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah
menerima informasi sehingga banyak pula pengetahuan yang
dimiliki.
2. Informasi/media massa
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun
nonformal dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga
menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Adanya
informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif
baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.
3. Sosial, budaya, dan ekonomi
9

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan seseorang tanpa melalui


penalaran sehingga bertambah pengetahuannya walaupun tidak
melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan
tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu
sehingga status sosial ekonomi ini akan memengaruhi pengetahuan
seseorang.
4. Lingkungan
Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya
pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun
tidak, yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
5. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara
untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang
kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah
yang dihadapi masa lalu.
6. Usia
Usia memengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya
tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya
semakin membaik.
2. Sikap
a. Pengertian
Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka
pemikiran. Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli
psikologi seperti Louis Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood.
Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.
Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau
memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak
memihak (unfavorable) pada objek tersebut (Azwar, 2007).
10

Kedua, kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave,


Bogardus, LaPierre, Mead dan Gordon Allport. Menurut kelompok
pemikiran ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi
terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud
merupakan kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara
tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang
menghendaki adanya respon (Azwar, 2007).
Ketiga, kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi
pada skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap
merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling
berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap
suatu objek. Jadi berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
sikap adalah kecenderungan individu untuk memahami, merasakan,
bereaksi dan berperilaku terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari
interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif (Azwar,2007).
b. Tingkatan-tingkatan Sikap
Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat
berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut :
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima
stimulus yang diberikan (objek). Misalnya, sikap seseorang terhadap
periksa hamil (antenatal care), dapat diketahui atau diukur dari
kehadiran si ibu untuk mendengarkan penyuluhan tentang antenatal
care di lingkungannya.
2. Menanggapi (responding)
Menanggapi di sini diartikan memberikan jawaban atau
tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. Misalnya,
seorang ibu yang mengikuti penyuluhan antenatal care tersebut
ditanya atau diminta menanggapi oleh peyuluh, kemudian ia
menjawab dan menanggapinya.
11

3. Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai
yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya
dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau
menganjurkan orang lain merespons. Contoh poin 1 di atas, ibu itu
mendiskusikan antenatal care dengan suaminya, atau bahkan
mengajak tetangganya untuk mendengarkan penyuluhan antenatal
care.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab
terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah
mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus
berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan
atau adanya risiko lain. Contoh tersebut di atas, ibu yang sudah mau
mengikuti peyuluhan antenatal care, ia harus berani untuk
mengorbankan waktunya, atau mungkin kehilangan penghasilannya,
atau diomeli oleh mertuanya karena meninggalkan rumah dan
sebagainya (Notoatmodjo S, 2005).
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
Azwar (2013) dalam Astuti S, 2013, menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap adalah :
1. Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial.
Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap, untuk
dapat mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek
psikologis.
2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara
komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang
12

yang kita anggap penting, akan banyak mempengaruhi pembentukan


sikap kita terhadap sesuatu.
3. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Tanpa kita sadari,
kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap
berbagai masalah.
4. Media massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa
seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai
pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang.
Pesan-pesan sugestif yang dibawa informasi tersebut, apabila cukup
kuat, akan memberi dasar efektif dalam menilai sesuatu hal sehingga
terbentuklah arah sikap tertentu.
5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu sistem
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan
keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri
individu, pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara
sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
6. Pengaruh faktor emosional
Tidak semua bentuk sikap yang ditentukan oleh situasi
lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu
bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang
berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan
bentuk mekanisme pertahanan ego.
13

3. Tindakan
a. Pengertian
Tindakan adalah mekanisme dari suatu pengamatan yang muncul
dari persepsi sehingga ada respon untuk mewujudkan suatu
tindakan.Tindakan mempunyai beberapa tingkatan yaitu :
a. Persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek
yang akan dilakukan.
b. Respon terpimpin yaitu melakukan segala sesuatu sesuai dengan
urutan yang benar.
c. Mekanisme yaitu melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis
d. Adaptasi yaitu suatu praktek atau tindakan yang yang sudah
berkembang dan dilakukan dengan baik (Notoatmodjo, 2007).
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi Tindakan
Faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu :
1. Faktor-faktor predisposisi (disposing factors)
Faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi
terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap,
keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi
perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin
adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku
kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, rumah sakit, tempat
pembuangan air, tempat pembuangan sampah, tempat olah raga,
makanan bergizi, uang dan sebagainya.
3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya
perilaku. Kadang-kadang, meskipun seseorang tahu dan mampu
berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya (Notoatmodjo S, 2005).
14

4. HIV/AIDS
a. Pengertian HIV
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang
menyerang system kekebalan tubuh manusia dan kemudian
menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah
putih yang bertugas mencegah infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk
Limfosit yang disebut ‘sel T-4’ atau ‘sel T-penolong’ (T-helper) atau
disebut juga ‘sel CD-4 (Harti et al., 2014).
HIV adalah retrovirus, anggota genus lentivirus. Karakteristik
morfologi HIV yang unik adalah nukleoiberbentuk silinder yang matur.
Nukleoid yang berbentuk batang yang merupakan tanda diagnostik
terlihat dengan penggunaan mikroskop elektron didalam partikel
ekstraseluler (Jawetz et al., 2008).
b. Pengertian AIDS
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupaka suatu
penyakit relatif baru yang terdapat yang ditandai dengan adanya kelainan
yang kompleks dari sistem pertahanan seluler tubuh dan menyebabkan
korban menjadi sangat peka terhadap mikroorganisme oportunistik
(Jawetz et al., 2008).
Penyakit AIDS adalah sekumpulan gejala atau infeksi yang timbul
karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus
HIV (Human Immunodeficiency Virus). HIV dapat memperlemah
kekebalan tubuh manusia (Kalalo, 2012).
c. Epidemiologi
Data epidemic AIDS Global (UNAIDS 2012) bahwa terdapat 34 juta
orang dengan HIV di seluruh dunia. Sebanyak 50% diantaranya
perempuan dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun. Di Asia
Tenggara terdapat kurang lebih 4 juta orang dengan HIV. Menurut
laporan Perkembangan HIV/ AIDS Searo 2011 sekitar 1,3 juta orang
(37%) perempuan terinfeksi HIV (Fatimah & Hilmiyah, 2014).
15

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pengendalian


Lingkungan Kementerian Kesehatan RI menyatakan Kasus HIV-AIDS
di Indonesia mengalami peningkatan. Secara kumulatif jumlah pengidap
HIV dari bulan Januari 1987 hingga Maret 2012 mencapai 82.870 kasus
HIV dan 30.430 kasus AIDS (Handayani et al., 2013)
Saat ini diperkirakan ada 30-50 juta orang pengidap HIV yang belum
menunjukkan gejala apapun, tetapi potensial sebagai sumber penularan.
Jumlah kasus HIV/AIDS semakin tahun semakin bertambah. Jumlah
kasus HIV/AIDS di dunia pada akhir tahun 2011 sebanyak 34 juta.
Jumlah kasus di Asia Tenggara pada akhir tahun 2011 sebanyak 4 juta
kasus. Di Indonesia secara kumulatif kasus HIV/AIDS mulai 1 April
1987 hingga 31 Desember 2012, jumlah HIV sebanyak 98,390, jumlah
AIDS sebanyak 42,887 (Rokhmah, 2014).
d. Etiologi
Agen etiologis, HIV adalah retrovirus yang dapat menyebabkan
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), yaitu kondisi tahap akhir
di mana system imun tubuh gagal, sehingga menyebabkan infeksi
oportunistik yang mengancam jiwa (Tampi et al., 2013).
Etiologi AIDS secara virologik termasuk golongan retrovirus, yaitu
famili retroviridae, yang anggota-anggotanya dapat ditemukan pada
semua kelas vertebrata termasuk manusia. Virus AIDS yang termasuk
golongan virus RNA, mula-mula dimasukkan dalam subfamilia
Oncovirinae, tetapi kemudian dikoreksi oleh Gonda dan kawan-kawan,
menjadii termasuk dalam subfamili Lentivirinae (Jawetz et al., 2008).
e. Patogenesis
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.
Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif (Djoerban & Djauzi, 2009).
16

Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut
Simian Imunodefiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi CD4+ dan
monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cells
ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada
kelenjar getah bening dalam 5 hari selama inokulasi. Sel individu
dikelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi
dengan hibridisasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi.
Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang
mengekspresikan SIV dikelenjar getah bening berhubungan dengan
puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di
jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan
sementara dengan pembentukan respons imun spesifik. Koinsiden
dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8.
Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit
CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi
HIV berada pada keadaan ‘steady-state’ beberapa bulan setelah infeksi.
Kondisi ini bertahan relatif stabil selama beberapa tahun, namun
lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi
HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh
penjamu, adalah heterogeneitas kapasitas replikatif virus dan
heterogeneitas intrinsik penjamu (Djoerban & Djauzi, 2009).
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi,
namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus
telah menurun sampai ke level ‘steady state’. Walaupun antibodi ini
umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus,
namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar
dari netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplop-
nya, termasuk kemampuan mengubah situs glikosilasi-nya, akibatnya
konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantarai
antibodi tidak dapat terjadi (Djoerban & Djauzi, 2009).
17

f. Cara Penularan
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak
langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran
darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air
mani, cairan vagina, cairan presemmal, dan air susu ibu. Penularan dapat
terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi
darah, jarum suntikyang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama
kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan
cairan-cairan tubuh tersebut (Sudikno et al., 2011).
g. Gejala dan Tanda Klinis
Gejala dan tanda klinis yang dapat diduga infeksi HIV, adalah
sebagai berikut :
Tabel 1. Gejala mayor dan minor pada pasien HIV/AIDS
Gejala Karakteristik

Mayor  Berat bdan menurun lebih dari 10% dalam 1


bulan
 Diare kroniks yang berlangsung lebih dari 1
bulan
 Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
 Penurunan kesadaran dan gangguan
neurologis
 Ensefalopati HIV
Minor  Betuk menetap lebih dari 1 bulan
 Dermatitis generalisata
 Herpes zoster multigsegmental berulang
 Kandidiasis orofaringeal
 Herpes simplek kronik progresif
 Limfadenopati generalisata
 Infeksi jamur berulang pada alat kelamin
wanita
 Retinitis oleh virus sitomegalo
(Nasronudin, 2014).
h. Pemeriksaan
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah
seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karena pada infeksi HIV
18

gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah bertahun-tahun lamanya


(Djoerban & Djauzi, 2009).
Pemeriksaan HIV dengan metode Imunokromatografi Rapid Test
mempunyai kelebihan yaitu waktu pemeriksaan cepat (hanya berkisar 15
– 30 menit), mudah dilakukan, tidak menggunakan alat khusus dan
cukup sensitif. antigen yang dipakai adalah antigen sintetik bukan
berasal dari antigen HIV. Test ini digunakan sebagai screening test
terhadap HIV (Harti et al., 2014).
Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif,
pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk
memastikan adanya infeksi oleh HIV, yang paling sering dipakai saat ini
adalah tehnik Western Blot (WB) (Djoerban & Djauzi, 2009).
Tes serologi standar terdiri atas EIA dan diikuti konfirmasi WB.
Melalui WB dapat ditentukan antibodi terhadap komponen protein HIV
yang meliputi inti (p17, p24, p55), polymerase (p31, p51, p66), dan
selubung (envelope) HIV (gp41, gp120, gp160). Bila memungkinkan
pemeriksaan WB selalu dilakukan karena tes penapisan melalui EIA
terdapat potensi false positive 2%. Interpretasi WB meliputi:
 Negatif : tidak ada bentukan pita
 Positif : reaktif terhadap gp120/160 dan gp41 atau p24
 Indeterminate : terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi criteria
hasil positif
(Nasronudin, 2014).
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan
panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan
strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi
singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau
dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes
dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan
selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi
(>99%) (Kemenkes, 2011).
19

Strategi I hanya dilakukan satu kali pemeriksaan. Bila hasil


pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan
bila hasil pemeriksaan non reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV
(Djoerban & Djauzi, 2009).
Strategi II menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada
pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan
pertama hasilnya non-reaktif, maka dilaporkan hasil tesnya negatif. Bila
hasil pemeriksaan kedua juga positif, maka disimpulkan sebagai
terinfeksi HIV. Namun jika pemeriksaan yang kedua adalah non reaktif,
maka pemeriksaan harus diulang dengan ke-2 metode. Bila hasil tetap
tidak sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate (Djoerban & Djauzi,
2009).
Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan
pertama, kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa
pasien tersebut memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak
sama, misalnya hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non reaktif
atau pertamma reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini
disebut sebagai equivocal atau indeterminate bila pasien yang diperiksa
memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau beresiko tinggi tertular
HIV. Sedangkan bila hasil seperti yang disebutkan sebelumnya terjadi
pada orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko
tertular HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non reaktif
(Djoerban & Djauzi, 2009).
Makna hasil pemeriksaan antibodi non reaktif atau negatif antara
lain: memang tidak terinfeksi HIV, berada dalam masa jendela atau
individu yang baru saja terinfeksi dengan kadar antibodi yang belum
meningkat, stadium AIDS sangat lanjut sehingga respon imun tubuh
sangat lemah atau tidak mampu memberikan respons terhadap
pembentukan antibody (Nasronudin, 2014).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu
hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila
20

tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil


”negatif”, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat
perilaku yang berisiko (Kemenkes, 2011).
i. Pengobatan
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis,
yaitu: a). Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV), b). Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit
infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur,
tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker
serviks, c). Pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai
gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan. Dengan pegnobatan yang lengkap tersebut, angka
kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang (Djoerban & Djauzi, 2009).
Saat ini telah dikembangkan obat antiretroviral (ARV) untuk
melawan HIV yang terus-menerus menggerogoti kekebalan tubuh orang
dengan HIVAIDS (ODHA). Terapi ARV mengubah HIV-AIDS dari
penyakit “mematikan” menjadi penyakit “kronis”. Penyakit kronis tidak
dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan seperti diabetes, hipertensi,
dan asma. ARV efektif menekan replikasi HIV di dalam tubuh ODHA,
karena ARV langsung melawan HIV sehingga memperpanjang umur
ODHA. ARV bekerja melawan infeksi dengan cara memperlambat
reproduksi HIV dalam tubuh melalui pengurangan viraemia, (jumlah
HIV dalam darah) dan meningkatkan jumlah sel CD4+, (sel darah putih
yang penting bagi sistem kekebalan tubuh) (KPAN, 2010).
Tersedia empat golongan agen antiretroviral: penghambat reverse
transciptase nukleosida/nukleotida (NRTI), penghambat reverse
transcriptase nonnukleosida (NNRTI), penghambat protease (PI), dan
penghambat fusi. Seiring munculnya agen-agen baru, beberapa agen
21

yang lama tidak lagi digunakan, entah karena profil keamanannya yang
tidak optimal atau potensi antivirus yang lemah (Safrin, 2010).
NRTI bekerja melalui inhibisi kompetitif reverse transcriptase HIV-1
dan juga dapat bergabung dengan rantai DNA virus yang sedang
bertumbuh untuk menyebabkan terminasinya. Setiap NRTI
membutuhkan aktivasi intrasitoplasmik melalui fosforilasi oleh enzim
sel untuk menjadi bentuk trifosfatnya. Kebanyakan aktif terhadap HIV-2
serta HIV-1. Agen yang dianjurkan dari golongan NRTI adalah
zidovudine dan lamivudine (Safrin, 2010).
NNRTI berikatan langsung dengan reverse transcriptase HIV-1 dan
menyebabkan blokade DNA polimerase yang bergantung-RNA dan –
DNA. Tempat ikatan NNRTI berada dekat dengan tempat ikatan NRTI,
tetapi tetap berbeda. Tidak seperti agen NRTI, NNRTI tidak
berkompetisi dengan nukleosida trifosfat atau membutuhkan fosforilasi
agar menjadi aktif. Agen yang dianjurkan dari golongan NNRTI adalah
nevirapine (Safrin, 2010).
Pada tahap akhir siklus pertumbuhan HIV, produk gen Gag dan Gag-
Pol ditranslasi menjadi poliprotein, yang selanjutnya menjadi partikel
imatur yang menonjol (budding). Protease bertannggung jawab
membelah molekul prekursor ini untuk menghasilkan protein struktural
akhir inti virion yang matang. Dengan mencegah pembelahan poliprotein
Gag-Pol, penghambat protease (PI) menghasilkan virus imatur yang
tidak menular. Sayangnya, perubahan genotipik tertentu yang
menghasilkan resistensi fenotipik cukup sering dijumpai pada
penggunaan agen-agen ini sehingga monoterapi menjadi kotraindikasi.
Agen yang dianjurkan dari penghambat protease adalah nelfinavir dan
saquinafir-S (Safrin, 2010).
j. Prognosis
Infeksi HIV pada umumnya berjalan progresif akibat belum
ditemukannya cara yang efektif untuk menanggulanginya, maka pada
22

umumnya penyakit berjalan progresif hingga prognosisnya pada


umumnya buruk (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2010).
k. Pencegahan
Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses diterapkan di
beberapa negara dan amat dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia,
WHO, untuk dilaksanakan secara sekaligus, yaitu a). Pendidikan
kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda; b). Program
penyuluhan sebaya; c). Program kerjasama dengan media cetak dan
elektronik; d). Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna
narkotika, termasuk program pengadaan jarum suntik steril; e). Program
pendidikan agama; f). Program layanan pengobatan infeksi menular
seksual (IMS); g). Program promosi kondom di lokalisasi dan panti pijat;
h). Pelatihan keterampilan hidup; i). Program pengadaan tempat-tempat
untuk tes HIV dan konseling; j). Dukungan untuk anak jalanan dan
pengentasan prostitusi anak; k). Integrasi program pencegahan dengan
program pengobatan, perawatan dan dukungan untuk odha; dan (l).
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian
obat ARV (Djoerban & Djauzi, 2009).
23

B. Kerangka Teori

Pendidikan Pengalaman

Informasi Pengaruh
orang Luar

Usia Pengetahuan Sikap Lembaga


Pendidikan

Lingkungan Tindakan
Media Massa

Pengalaman
Budaya

Sosial, budaya, Emosional


ekonomi

Faktor Faktor Faktor


Predisposisi Pendukung Pendorong
Keterangan :

: Fasilitas
Kepercayaaan
Kesehatan Keluarga Teman Petugas
Kesehatan
Sebaya

Keterangan :
: Variabel diteliti
: Variabel tidak diteliti

Gambar 1. Kerangka Teori (Ali, 2007; Astuti, 2013; Azwar, 2007; Kusrini,
2006; Notoadmodjo S, 2005; Notoadmodjo S, 2007).
24

C. Kerangka Konsep

Pengetahuan Tindakan
Pencegahan
Sikap HIV/AIDS

Gambar 2. Kerangka Konsep

D. Landasan Teori
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo S, 2005).
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang
system kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV
menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas mencegah
infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk Limfosit yang disebut ‘sel T-4’ atau ‘sel
T-penolong’ (T-helper) atau disebut juga ‘sel CD-4 (Harti et al., 2014).
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) mengungkapkan bahwa kasus HIV dan
AIDS sampai dengan bulan Agusrus 2010 dari semua kelompok umur sejumlah
21.770 orang, termasuk remaja (KPA, 2010).
HIV dapat ditemukan dalam darah, produk darah, semen, saliva, air mata,
otak, dan kelenjar limfe. Virus AIDS dalam bahan tersebut dapat bertahan hidup
sampai tujuh hari pada suhu kamar (Jawetz et al., 2008).
Survei siswa Sekolah Menengah Atas di enam kota selama kurun waktu 2007-
2009 menunjukkan rendahnya angka penggunaan kondom secara konsisten (di
bawah 20 persen), meskipun lebih dari setengah responden dapat mengidentifikasi
kondom sebagai alat untuk mencegah infeksi HIV. Pada tahun 2011, di antara
siswa Sekolah Menengah Atas yang mengaku telah melakukan hubungan seksual,
25

49 persen menyatakan bahwa mereka tidak menggunakan kondom saat


melakukan hubungan seksual terakhir mereka (Unicef, 2012).

E. Hipotesis
1. Ada hubungan antara tingkat Pengetahuan siswa SMA Negeri 5 Palu dengan
tindakan pencegahan HIV/ AIDS.
2. Ada hubungan antara sikap siswa SMA Negeri 5 Palu dengan tindakan
pencegahan HIV/AIDS.
3. Tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan siswa SMA Negeri 5
Palu dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS.
4. Tidak terdapat hubungan antara sikap siswa SMA Negeri 5 Palu dengan
tindakan pencegahan HIV/AIDS.

You might also like