Professional Documents
Culture Documents
I. Tujuan Percobaan
1. Melakukan sintesis aspirin dari asam salisilat dan anhidrida asetat dengan
katalis asam sulfat dengan metode esterifikasi.
2. Melakukan pemurnian aspirin hasil sintesis dengan metode rekristalisasi.
3. Melakukan identifikasi aspirin hasil sintesis dengan metode reaksi
pengkompleksan dengan FeCl3.
4. Melakukan uji kemurnian asam salisilat dan aspirin hasil sintesis dengan
metode titik leleh.
5. Melakukan analisis aspirin komersial dengan metode titrasi asam basa.
II. Prinsip Percobaan
1. Reaksi substitusi pembuatan ester dari gugus hidroksi dan gugus
karboksilat.
2. Pemurnian senyawa berdasarkan perbedaan kelarutan antara zat pengotor
dan zat yang akan dimurnikan.
3. Pembentukan senyawa kompleks berdasarkan terjadinya perubahan warna.
4. Perubahan wujud padat menjadi cair pada titik leleh karena adanya
pemanasan.
5. Analisis kunatitatif suatu senyawa berdasarkan reaksi penetralan.
III. Teori dasar
3.1. Aspirin
Reaksi Wittig dapat dilakukan terhadap aldehida dan keton, baik yang
berstruktur alifatik, alisiklik, dan aromatik (termasuk diaril keton), mengandung
ikatan rangkap dua atau tiga, mempunyai gugus fungsi seperti OH, OR, NR2,
nitro, haloaromatik, dan juga gugus gugus ester. Fosfonium ilida dapat
mengandung ikatan rangkap dua atau tiga, dan juga gugus gugus fungsional
tertentu. Ilida sederhana (R’ = hidrogen dan alkil) mempunyai sifat sangat reaktif,
sehingga dapat bereaksi dengan oksigen, air, alkohol, senyawa karbonil, dan ester,
sehingga untuk memperoleh hasil sesuai yang diinginkan maka reaksinya harus
dilakukan pada kondisi dimana zat-zat tersebut tidak ada (March, 1985).
c) Kondensasi aldol
Bila suatu aldehida diolah dengan basa seperti NaOH dalam air, ion enolat
yang terjadi dapat bereaksi pada gugus karbonil dari molekul aldehida yang lain.
Hasilnya ialah adisi suatu molekul aldehida kemolekul aldehida lain. Reaksi ini
disebut reaksi kondensasi aldol. Kata "aldol" yang diturunkan dari aldehida dan
alkohol memberikan produk itu yang merupakan suatu aldehida B-Hidroksi. Suatu
reaksi kondesasi adalah reaksi dimana dua molekul atau lebih bergabung menjadi
satu molekul yang lebih besar, dengan atau tanpa hilangnya suatu molekul kecil
(Fessenden, 1982).
2. Reaksi E2
Reaksi E2 (eliminasi bimolekular) ialah reaksi eliminasi alkil halida yang
paling berguna. Reaksi E2 alkil halida cenderung dominan bila digunakan basa
kuat, seperti –OH dan –OR, dan temperatur tinggi. Secara khas reaksi E2
dilaksanakan dengan memanaskan alkil halida dengan K+ dan OH-/ Na+ dan
OCH2CH3- dalam etanol (Holtzclaw, 1988).
Reaksi E2 berjalan tidak lewat suatu karbokation sebagai zat-antara,
melainkan berupareaksi serempak (concerted reaction) yakni terjadi pada satu
tahap, sama seperti reaksi SN2. Basa membentuk ikatan dengan hidrogen,
elektron-elektron C-H membentuk ikatan phi, brom bersama sepasang
elektronnya meninggalkan ikatan sigma C-Br (Holtzclaw, 1988).
Dalam reaksi E2, seperti dalam reaksi E1, alkil halida tersier bereaksi
paling cepat dan alkil halida primer paling lambat. (Bila diolah dengan suatu basa,
alkil halide primer biasanya begitu mudah bereaksi substitusi, sehingga sedikit
alkena terbentuk (Wahyudi, 2003).
3.2.4. Reaksi substitusi
Reaksi substitusi adalah reaksi penggantian atom atau gugus atom oleh
atom atau gugus atom lain. Jadi dalam reaksi substutisu suatu atom atau gugus
atom yang terdapat dalam rantai utama akan meninggalkan rantai utama tersebut
dan tempatnya yang kosong akan diganti oleh atom atau gugus atom yang lain
(Murry, 2008).
1. Substitusi nukleofilik
Reaksi substitusi nukleofilik terjadi apabila gugus yang mengganti
merupakan pereaksi nukleofil (Murry, 2008).
a) SN1
Reaksi benzena dengan brom (Br2) atau klor (Cl2) dengan katalisator besi
(III) halida akan menghasilkan halobenzena. Dalam reaksi halogenasi benzena
adalah timbulnya elektrofil (Fessenden, 2010).
b) Sulfonasi
Reaksi benzena dengan asap berasap (campuran H2SO4 pekat dengan gas SO3
jenuh) menghasilkan asam benzenasulfonat. Elektrofil dalam reaksi sulfonasi
dapat berupa SO3 itu sendiri atau dalam bentuk proton HSO3+ (Morrison, 1992).
c) Nitrasi
Benzena direaksikan dengan asam nitrat pekat, dengan asam sulfat pekat
sebagai katalisator, akan terbentuk nitrobenzena. Asam nitrat diberi proton oleh
asam sulfat pekat. Kemudian melepaskan air untuk membentuk suatu ion
nitronium (NO2+) yang elektrofil. Reaksi benzena dengan ion nitronium dan
memberikan sebuah proton pada HSO4- (Morrison, 1992).
d) Alkilasi
Friedel dan Crafts juga membuat reaksi semacam reaksi alkilasi Reaksi
tersebut dinamakan reaksi asilasi Friedel-Crafts, karena tersubstitusi ke dalam
cincin benzenanya adalah gugus asil bukan alkil. Reaksi asilasi tidak berlangsung
dengan cara karbokation dan tidak ada perubahan susunan. Dengan
menggabungkan reaksi asilasi dengan suatu reaksi yang mereduksi gugus karbonil
(C=O) menjadi CH3 (Ho, 1997).
3.2.5. Reaksi hidrolisis
1. Hidrolisis ester
Reaksi hidrolisis ester dalam suasana asam menghasilkan asam karboksilat
dan alkohol, namun bila reaksi hidrolisis dilangsungkan dalam suasana basa
diperoleh garam karboksilat dan alkohol. Hidrolisis ester dengan basa disebut
reaksi penyabunan (saponifikasi) (Achmad, 1995).
H+/OH-
2. Hidrolisis amida
Ester juga bereaksi dengan amina membentuk amida. Reaksi dengan
amina mengubah satu senyawa menjadi dua senyawa yang disebut aminolisis.
Aminolisis dari ester membutuhkan hanya satu ekuivalen amina, tidak seperti
aminolisis dari suatu asil halida atau asam anhidrida, yang membutuhkan dua
ekuivalen (Achmad, 1995).
2. Reaksi reduksi
Reaksi reduksi adalah suatu reaksi yang melibatkan pelepasan oksigen (O2)
untuk menghasilkan suatu zat yang baru. Dalam reaksi reduksi terjadi pelepasan
atau pengurangan oksigen, penangkapan atau penambahan hidrogen, terjadi
penambahan atom hidrogen (Lee, 1994).
3.3. Reaksi esterifikasi
Reaksi esterifikasi adalah suatu reaksi antara asam karboksilat dan alkohol
membentuk ester. Turunan asam karboksilat membentuk ester asam karboksilat.
Ester asam karboksilat ialah suatu senyawa yang mengandung gugus -CO2 R
dengan R dapat berupa alkil maupun aril. Esterifikasi dikatalisis asam dan bersifat
dapat balik (Fessenden, 1990).
Ester diturunkan dari asam karboksilat. Sebuah asam karboksilat
mengandung gugus -COOH, dan pada sebuah ester hidrogen di gugus ini
digantikan oleh sebuah gugus hidrokarbon dari beberapa jenis. Disini kita hanya
akan melihat kasus-kasus dimana hidrogen pada gugus -COOH digantikan oleh
sebuah gugus alkil, meskipun tidak jauh beda jika diganti dengan sebuah gugus
aril (yang berdasarkan pada sebuah cincin benzen) (Borer, 2000).
Reaksi pembentukan aspirin adalah :
NAspirin = 0,0218 N
c) Massa aspirin
Bobot aspirin(1&2) = 0,3210 gram
Bobotrata-rata = 0,32 gram
Bobot aspirin(3&4) = 0,3183 gram
NAspirin = 0,0218 N
Mr = 180
gr 1000 gr 1000
Maka N = Mr x ↔ 0,0218 N = 180 x 50 mL
V
0,218 N x 180
gr = 20 𝑚𝐿
gr = 0,1962 gram
d) Rendemen aspirin
bobot akhir
%Rendemen aspirin (hasil sintesis) = x 100%
bobot awal
0,1962 𝑔
= x 100%
0,32 𝑔
= 0,6131 x 100%
= 61,31 %
bobot akhir
%Rendemen aspirin (teoritis) = x 100%
bobot awal
0,2 𝑔
= 0,32 𝑔 x 100%
= 0,625 x 100%
= 62,5 %
VII. Pembahasan
7.1. Pembuatan aspirin
Pada percobaan kali bertujuan untuk mesintesis aspirin melalui metode
esterifikasi. Pembuatan aspirin dilakukan dengan cara melarutkan 1,4013 gram
asam salisilat dalam 4 mL anhidrida asetat. Penggunaan asam salisilat ini karena
dalam pembuatan aspirin, asam salisilat bereaksi dengan anhidrida asetat
mengubah gugus hidroksil fenolik (-OH) dari asam salisilat menjadi ester asetil
(OCOCH3) dari anhidrida asetat. Digunakan asam asetat anhidrida karena asam
asetat lebih reaktif dibandingkan asam asetat, kelebihreaktifan anhidrida asam
asetat ini disebabkan oleh struktur anhidrida asam asetat telah kehilangan 1 atom
hidrogen sehingga atom karbon tempat hidrogen melekat menjadi lebih
elektropositif. Selain itu anhidrida asetat tidak mengandung air dan lebih mudah
menyerap air, sehingga air yang dapat menghidrolisis aspirin menjadi asam
salisilat dan asam asetat dapat dihindari. Kemudian ditambahkan asam sulfat
pekat sebanyak 5 tetes. Penambahan H2SO4 pekat berfungsi sebagai katalis dan
zat penghidrasi. Asam sulfat menghidrasi asam asetat hasil samping dari
pembuatan aspirin yang mengakibatkan asam asetat kehilangan air dan terjadi
reaksi pembentukan asam asetat anhidrida. Anhidrida asetat akan kembali
bereaksi dengan asam salisilat membentuk aspirin dan asam asetat. Hal ini terjadi
berulang-ulang dan reaksi akan berhenti setelah asam salisilat habis bereaksi
dengan asam sulfat pekat.
O O
C-OH C-OH
O O H+- HSO4-
O O
OH + CH3-C-O-C-CH3
H2O O-C-CH3 + CH3-C-OH
Asam anhidrida asetat asam asetil salisilat asam
salisilat (aspirin) asetat
Setelah itu labu erlenmeyer yang berisi campuran antara asam salisilat dan
anhidrida asam asetat dengan asam sulfat dimasukkan kedalam penangas air untuk
mempercepat tercapainya energi aktivasi sehingga kelarutan asam salisilat
meningkat dan pembentukan aspirin menjadi lebih cepat. Setelah itu labu
erlenmeyer dikeluarkan dari penangas dan ditambahkan 2 mL aquades yang
bertujuan untuk melarutkan asam salisilat sebagai bahan baku pembentukan
aspirin karena adanya ikatan hidrogen yang terbentuk antara gugus -OH dengan
air, sekaligus menghentikan reaksi karena air akan menghidrolisis anhidrida asam
asetat menjadi 2 molekul asam asetat. Ditambahkan lagi air dingin 50 mL dan
campuran didinginkan didalam gelas kimia berisi es. Pendinginan dalam dengan
es ini bertujuan untuk mempercepat pembentukan kristal karena ketika suhu
rendah, kelarutan aspirin akan menurun sehingga bergerak melambat dan pada
akhirnya terkumpul membentuk endapan melalui proses nukleasi dan
pertumbuhan partikel. Proses nukleasi dan pertumbuhan partikel terjadi ketika
anhidrida asetat menyerang H+Anhidrida asam asetat mengalami resonansi
anhidrida asam asetat menyerang gugus fenol dari asam salisilat H+ terlepas dari –
OH dan berikatan dengan atom O pada anhidrida asam asetat anhidrida asam
asetat terputus menjadi asam asetat dan asam asetilsalisilat (aspirin) H+ akan lepas
dari aspirin.
Kemudian untuk memisahkan kristal aspirin yang terbentuk dengan
dengan campuran yang lain, maka campuran tersebut disaring
menggunakan corong Buchner. Rendemen kristal yang diperoleh dari proses
kristalisasi adalah sebesar 92,39%. Kristal aspirin yang diperoleh belum benar-
benar murni. Oleh karena itu kristal aspirin dilakukan rekristalisasi yang bertujuan
untuk memperoleh kristal yang lebih murni. Rekristalisasi dilakukan dengan cara
melarutkan kristal dengan 5 mL etanol dan 20 ml aquades lalu dipanaskan sampai
semua kristal larut sempurna. Penambahan etanol berfungsi sebagai pelarut karena
aspirin larut dalam etanol. Ketika kristal aspirin hasil kristalisasi larut dengan
mudah dalam etanol, maka kristal aspirin akan terpisah dengan air dan diperoleh
kristal yang lebih murni dengan jumlah zat pengotor yang diminimalisir.
Kemudian labu erlenmeyer didinginkan dalam gelas kimia berisi es sampai
larutan membentuk kristal. Setelah kristal terbentuk lalu disaring dengan corong
Buchner. Dari percobaan ini didapat rendemen sebesar 94,63%, hasil yang
diperoleh tidak murni. Hal ini disebabkan karena kurangnya penambahan H2SO4
sehingga tidak cukup untuk memprotonasi anhidrida asetat sehingga belum
semua asam salisilat terbentuk menjadi asam asetil salisilat maka dari itu kristal
asam astil salisilat atau aspirin yang terbentuk sedikit.
7.2. Uji reaksi pengkompleksan dengan FeCl3
Uji ini digunakan untuk menguji kemurnian kristal aspirin hasil sintesis.
Sebelum ditambahkan FeCl3, terlebih dahulu ditambahkan aquades yang
bertujuan untuk melarutkan sampel. Namun sampel tidak larut ke dalam aquades,
hal ini karena asam salisilat dan aspirin kurang larut dalam volume air yang kecil.
Setelah itu ditambahkan FeCl3 kedalam campuran untuk diuji.
Asam salisilat membentuk kompleks berwarna ungu dengan penambahan
FeCl3. Karena asam salisilat mengandung gugus fenol sehingga terjadi reaksi
substitusi antara ion H+ dari gugus fenol dengan ion Fe3+ dari FeCl3 membentuk
kompleks FeO yang berikatan pada cincin benzen yang dapat mengubah warna
larutan dari tidak berwarna menjadi warna ungu.
Sedangkan aspirin komersial dan aspirin hasil sinsesis ketika ditambah
FeCl3 berwarna kuning kecoklatan. Hal ini menunjukan aspirin komersial
mengandung tidak mengandung asam salisilat, warna coklat yang terjadi karena
struktur aspirin tidak memiliki gugus OH dari fenol.
7.3. Uji titik leleh asam salisilat dan aspirin
Menentukan titik leleh suatu kristal merupakan cara yang di gunakan
untuk menguji kemurnian suatu senyawa. Kristal aspirin diuji kemurniannya
dengan trayek titik leleh menggunakan melting block. Suatu zat padat memiliki
molekul-molekul dalam bentuk kisi yang teratur dan diikat oleh gaya-gaya
gravitasi dan elekrostatik. Ketika zat padas mengalami proses pemanasan maka
energi kinetik dari molekul-molekul zat padat akan meningkat. Hal ini yang
menyebabkan molekul-molekul bergetar sehingga pada suhu tertentu ikatan-
ikatan molekul tersebut akan lepas, maka terjadilah proses meleleh pada zat padat.
Semakin dekat trayek titik leleh yang diperoleh dengan literatur artinya
kristal yang diperoleh akan semakin murni. Hasil yang diperoleh dari praktikum,
titik leleh asam salisilat adalah 157°C. Berdasarkan literatur, titik leleh asam
salisilat adalah 157oC-159oC (Farmakope, 1995). Hal ini dikatakan murni karena
trayek hasil percobaan tidak jauh dengan trayek dalam literatur.
Sedangkan untuk aspirin diperoleh titik lelehnya adalah 135°C.
Berdasarkan literatur, titik leleh asam salisilat adalah 136oC (Farmakope, 1995).
Berarti hasil sintesis aspirin yang diperoleh tidaklah murni. Hal ini bisa terjadi
karena kesalahan dalam membaca skala termometer dan masih adanya zat
pengotor pada kristal akibat sehingga titik leleh menjadi lebih rendah. Zat
pengotor berupa kristal asam salisilat dapat menyebabkan ikatan-ikatan pada
struktur aspirin melemah sehingga mudah diputus. Hal ini menyebabkan titik
leleh lebih rendah. Selain itu karena kesalahan praktikan dalam membaca
termometer saat mengamati kapan kristal pertama kali meleleh dan meleleh
seluruhnya dan pada saat pengisian pipa kapiler pada melting block. Kristal yang
diperlukan untuk mengisi pipa kapiler adalah sekitar 0,5 cm tinggi pipa kapiler
tersebut. Jadi kristal yang terlalu banyak dan terlalu sedikit membuat perbedaan
titik leleh tersebut.
7.4. Analisis kandungan aspirin dalam tablet komersial
Analisis dengan metode ttrasi asam basa ini digunakan untuk mengetahui
kadar aspirin dalam suatu tablet aspirin. Sebelum dilakukan titrasi tablet
dihancurkan dan ditambahkan etanol yang berfungsi untuk melarutkan aspirin
yang terkandung didalam tablet (kelarutan aspirin dalam etanol lebih baik dari
pada kelarutan aspirin dalam air). Buret yang akan diisi dengan pentiter (NaOH)
dibilas terlebih dahulu dengan NaOH juga untuk menghindari tidak ada
kontaminasi dari senyawa lain sehingga kadar yang didapat akan lebih akurat.
Titrasi ini merupakan titrasi asam basa dengan peniternya adalah NaOH 0,1 M
karena senyawa yang akan dianalisis aspirin yang bersifat asam dan indikatornya
adalah fenolftalein. Fenolftalein tidak dapat larut dalam air tapi dapat larut dalam
etanol, sehingga penambahan fenolftalein di lakukan setelah melarutkan asam
salisilat dengan etanol dan sebelum penambahan air. Proses titrasi dilakukan
hingga tercapai titik akhir titrasi yang ditandai dengan perubahan warna pada
indikator menjadi warna merah muda. Titik akhir titrasi ini terjadi ketika jumlah
mol NaOH melebihi jumlah mol aspirin. Karena fenolftalein bekerja pada suasana
basa yaitu pada rentang pH 8,3-10 (Brady, 1999) sehingga ketika jumlah basa
(NaOH) dalam larutan berlebih terjadilah perubahan warna menjadi merah muda.
Proses titrasi dilakukan duplo agar mendapatkan hasil yang presisi.
Dalam percobaan ini kadar aspirin dalam tablet aspirin komersial
diperoleh sebesar 0,1962 gram dengan remdemen sebesar 61,31 %. Sedangkan
secara teoritis kadar aspirin dalam tablet 100 mg 0,32 gram dengan rendemen
sebesar 62,5%. Hasil yang diperoleh kurang dari kadar teoritis, ketidaksesuaian
ini disebabkan tablet yang telah digerus, pada saat titrasi pembacaan skala buret
kurang teliti. Kandungan aspirin dalam tablet komersial secara teoritis tidak 100%
karena komposisi tablet tidak hanya zat aktif melainkan ada juga zat tambahan
seperti pengisi, pengikat, dan pemecah.
VIII. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Aspirin dapat disintesis dari asam salisilat dan anhidrida asetat dengan
katalis asam melalui metode esterifikasi.
2. Aspirin hasil sintesis dapat dimurnikan melalui metode rekristalisasi
dengan hasil rendemen sebanyak %, sehingga hasil yang diperoleh tidak
murni karena kurang dari 100%
3. Aspirin hasil sintesis dapat diidentifikasi melalui reaksi pengkompleksan
FeCl3 dengan perubahan warna menjadi coklat.
4. Kemurnian aspirin hasil sintesis dapat diidentidikasi melalui uji titik leleh
dengan hasil titik leleh 135oC, sehingga hasil yang diperoleh memdekati
titik leleh aspirin menurut Farmakope Indonesia III yaitu 136oC.
5. Aspirin komersial dapat dianalisis melalui tirasi asam basa dengan kadar
sebesar %, sehingga hasil yang diperoleh mendekati kadar aspirin teoritis
yaitu 62,2%.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, (1995), Kimia Organik, Erlangga, Jakarta.
Arsyad, M. Natsir, (2001), Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah, Gramedia,
Jakarta.
Baysinger, Grace et all, (2004), Handbook Of Chemistry And Physics, CRC press,
New Jersey.
Brady, James, (1999), Kimia Universitas Asas Dan Struktur, Binarupa Aksara,
jakarta.
Borer L,L, and Barr, E, (2000), Experiments With Aspirin, Engelwood Cliffs, New
Jersey,
Chang, Raymond, (2004), Kimia Dasar dan konsep Inti Edisi4, Erlangga, Jakarta.
Fieser, Louis, (1979), Organic Experiment, O.C. Heath and company, Toronto.
Hart, dkk, (2003), Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat Edisi Kesebelas,
Erlangga, Jakarta.
Ho, T,S, (1977), Hard And Soft Acid And Base In Organic Chemistry, Academic
press, New York.
Holtzclaw, H,F, dan Robinson, W,R, (1988), Collage Chemistry With Qualitative
Analysis Eight Edition, Dc Heath and Company, USA.
Lee, D,J, (1994), Consice In Organic Chemistry 4th Edition, Chapman and Hall,
London
Morrison, R,T, dan Boyd, R,N, (1992), Organic Chemistry, Prentice Hal inc, New
york.
Murry, J, (2008), Organic Chemistry 7th Edition. Graphic World inc, New york.
Petrucci, H, Ralph, (1987), Kimia Dasar Prinsip Dan Terapan Modern, Erlangga,
Jakarta.
Solomon, Graham T,W, dan Craig, Fryhle, (2001), Organic Chemistry, John
Willey & Sons inc, New York.
Svehla, (1979), Buku Ajar Vogel: Analisis Anorganik Kuantitatif Makro dan
Semimikro, PT Kalman Media Pusaka, Jakarta.