You are on page 1of 36

PERCOBAAN 5

ESTERIFIKASI FENO SINTESIS ASPIRIN

I. Tujuan Percobaan
1. Melakukan sintesis aspirin dari asam salisilat dan anhidrida asetat dengan
katalis asam sulfat dengan metode esterifikasi.
2. Melakukan pemurnian aspirin hasil sintesis dengan metode rekristalisasi.
3. Melakukan identifikasi aspirin hasil sintesis dengan metode reaksi
pengkompleksan dengan FeCl3.
4. Melakukan uji kemurnian asam salisilat dan aspirin hasil sintesis dengan
metode titik leleh.
5. Melakukan analisis aspirin komersial dengan metode titrasi asam basa.
II. Prinsip Percobaan
1. Reaksi substitusi pembuatan ester dari gugus hidroksi dan gugus
karboksilat.
2. Pemurnian senyawa berdasarkan perbedaan kelarutan antara zat pengotor
dan zat yang akan dimurnikan.
3. Pembentukan senyawa kompleks berdasarkan terjadinya perubahan warna.
4. Perubahan wujud padat menjadi cair pada titik leleh karena adanya
pemanasan.
5. Analisis kunatitatif suatu senyawa berdasarkan reaksi penetralan.
III. Teori dasar
3.1. Aspirin

Gambar 3.1. struktur kimia asam aseril salisilat


Aspirin disebut juga asam asetil salisilat atau asetosal sejenis obat turunan
dari salisilat. Aspirin dapat dibuat dengan cara asetilasi senyawa fenol (dalam
bentuk asam salisilat) menggunakan anhidrida asetat dengan bantuan sedikit asam
sulfat pekat sebagai katalisator (Baysinger,2004).
Aspirin (asam asetil salisilat) bersifat analgesik yang efektif sebagai
penawar nyeri. Selain itu, aspirin juga merupakan zat anti-inflamasi untuk
mengurangi sakit pada cedera ringan seperti bengkak dan luka yang memerah.
Aspirin juga merupakan zat antipiretik yang berfungsi sebagai obat penurun
demam. Biasanya aspirin dijual dalam bentuk garam natriumnya, yaitu natrium
asetil salisilat. Aspirin juga memiliki sifat anti penggumpalan darah karena
menghambat pembentukan tromboksan (protein pengikat yang dihasilkan oleh
platelet). Oleh karena itu aspirin digunakan sebagai obat jangka panjang dalam
dosis rendah untuk mencegah penyumbatan pembuluh darah, stroke dan serangan
jantung. Tetapi efek anti penggumpalan ini dapat menyebabkan pendarahan
berlebihan terjadi, karena itu orang yang akan menjalani pembedahan atau
mempunyai masalah pendarahan tidak diperbolahkan mengonsumsi aspirin
(Baysinger,2004).
Aspirin adalah turunan dari asam salisilat. Aspirin berbentuk kristal
berwarna putih, bersifat asam lemah (pH 3,5) dengan titik lebur 136°C. Aspirin
mudah larut dalam cairan ammonium asetat, karbonat, sitrat atau hidroksida dari
logam alkali. Aspirin stabil dalam udara kering, tetapi terhidrolisis perlahan
menjadi asetat dan asam salisilat bila kontak dengan udara lembab. Dalam
campuran basa, proses hidrolisis ini terjadi secara cepat dan sempurna (Depkes
RI, 1979).
3.2. Reaksi sintesis senyawa organik
Berbagi macam senyawa organik, baik yang terdapat dialam manupun buatan,
dapat diubah menjadi suatu jenis menjadi jenis lain. Akibatnya suatu senyawa
dapat dibuat senyawa lain melalui satu atau beberapa tahap reaksi (Griffin, 1969).
3.2.1. Reaksi radikal bebas
Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul
tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul
atau sel lain. Dengan kata lain radikal bebas merupakan atom/gugus yang
memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas ini
merupakan spesies yang sangat reaktif sehingga umurnya pendek. Radikal bebas
dibentuk jika ikatan terbelah menjadi dua yang sama-sehingga setiap atom
mendapat satu dari dua elektron yang dipakai untuk berikatan (Griffin, 1969).
Reaksi ini terbagi menjadi 3 tahap, yaitu (Griffin, 1969):
1. Inisiasi
Inisiasi adalah tahap pembentukan-pembentukan awal radikal-radikal bebas.
Pada tahap ini dilakukan pemisahan (cleavage) homolitik molekul Cl2 dengan
bantuan panas dan UV menjadi 2 radial bebas klor. Hal ini menyebabkan jumlah
radial bebas meningkat pesat.
Cl2 → Cl• + Cl•
2. Propagasi
Propagasi adalah reaksi yang melibatkan radikal bebas yang mana jumlah
radikal bebas akan tetap sama. Setelah terbentuk, radikal bebas klor akan
menjalani sederetan reaksi. Tahap propagasi yang pertama adalah radikal bebas
klor yang merebut sebuah atom hidrogen dari dalam molekul metana,
menghasilkan radikal bebas metana radikal dan HCl.
Cl• + H:CH3 + 1 kkal/mol → H:Cl + •CH3
Radikal bebas metal juga sangat reaktif. Dalam tahap propagasi yang kedua,
radikal bebas metil merebut sebuah atom klor dari dalam molekul Cl2.
3. Terminasi
Terminasi adalah tahap untuk menghilangkan atau mengubah radikal bebas
menjadi radikal bebas stabil dan tidak reaktif. Terminasi akan berujung pada
turunnya jumlah radika bebas. Umumnya penurunan ini diakibatkan oleh adanya
penggabungan radikal bebas yang masih tersisa.
Cl• + •CH3 → CH3Cl
3.2.2. Reaksi adisi
Reaksi adisi adalah penambahan masing-masing satu gugus atau dua atom
kerbon yang mempunyai ikatan rangakap, sehingga menghilangkan ikatan phi
atau rangkanya. Nama reaksi bergantung pada gugus penyerang, mungkin
hidrogen, halogen (Cl2 dan Br2) hidrogen halida (HBr) dan air (Fessenden, 1994).
1. Adisi elektrofilik
Reaksi adisi elektrofilik terjadi apabila gugus yang pertama menyerang suatu
ikatan rangkap pereaksi elektrofil. Reaksi adisi elektrofilik ditemukan pada
senyawa C yang mengandung ikatan rangkap antara dua atom C seperti alkena
dan alkuna (Cotton et al, 1989):

etena asam klorida etilklorida


Pada senyawa alkena terdapat elektron π yang letaknya lebih jauh dari inti
dibanding elektron pada ikatan σ, sehingga lebih mudah diserang oleh suatu
elektrofil. Elektron phi adalah suatu nukleofil lemah. Mekanisme reaksi adisi adisi
elektrofilik yaitu adisi air terhadap alkena (pembuatan alkohol). Tahapan reaksi
yang terjadi yaitu elektrofil menyerang ikatan π yang berasal dari ikatan rangkap
alkena membentuk suatu karbokation, nukleofil menyerang karbokation (Cotton
et al, 1989).
2. Adisi nukleofilik
Reaksi adisi nukleofilik terjadi apabila gugus yang pertama kali menyerang suatu
ikatan rangkap merupakan pereaksi nukleofil. Reaksi adisi nukleofilik ditemukan
pada senyawa C yang mengandung ikatan rangkap antara dua atom C dengan
atom lain (Cotton et al, 1989).
a) Reaksi Grignard
Reaksi Grignard merupakan reaksi adisi nukleofil yang berupa anion. Pereaksi
Grignard adalah nukleofil karena ikatan karbon-magnesium sangat terpolarkan
dengan kerapatan elektron yang tinggi pada (Wilbraham, 1992).
 Pembuatan alkohol primer

Pereksi Grignard formaldehid Alkohol 1o


Sintesis alkohol yang dihasilkan dari formaldehida dan reagen Grignard.
Alkohol yang dihasilkan berjenis alkohol primer (Wilbraham, 1992).
 Pembuatan alkohol sekunder

Pereksi Grignard aldehid Alkohol 2o


Sintesis alkohol yang dihasilkan dari aldehida dan reagen Grignard. Alkohol
yang dihasilkan berjenis alkohol sekunde (Wilbraham, 1992).
 Pembuatan alkohol tersier

Pereksi Grignard keton Alkohol 3o


Sintesis alkohol yang dihasilkan dari keton dan reagen Grignard. Alkohol
yang dihasilkan berjenis alkohol tersier (Wilbraham, 1992).
b) Reaksi Wittig
Mekanisme reaksi Wittig melibatkan serangan nukleofilik gugus karbonil
oleh karbon negatif dari ilida (Fessenden, 1992).

Reaksi Wittig dapat dilakukan terhadap aldehida dan keton, baik yang
berstruktur alifatik, alisiklik, dan aromatik (termasuk diaril keton), mengandung
ikatan rangkap dua atau tiga, mempunyai gugus fungsi seperti OH, OR, NR2,
nitro, haloaromatik, dan juga gugus gugus ester. Fosfonium ilida dapat
mengandung ikatan rangkap dua atau tiga, dan juga gugus gugus fungsional
tertentu. Ilida sederhana (R’ = hidrogen dan alkil) mempunyai sifat sangat reaktif,
sehingga dapat bereaksi dengan oksigen, air, alkohol, senyawa karbonil, dan ester,
sehingga untuk memperoleh hasil sesuai yang diinginkan maka reaksinya harus
dilakukan pada kondisi dimana zat-zat tersebut tidak ada (March, 1985).
c) Kondensasi aldol
Bila suatu aldehida diolah dengan basa seperti NaOH dalam air, ion enolat
yang terjadi dapat bereaksi pada gugus karbonil dari molekul aldehida yang lain.
Hasilnya ialah adisi suatu molekul aldehida kemolekul aldehida lain. Reaksi ini
disebut reaksi kondensasi aldol. Kata "aldol" yang diturunkan dari aldehida dan
alkohol memberikan produk itu yang merupakan suatu aldehida B-Hidroksi. Suatu
reaksi kondesasi adalah reaksi dimana dua molekul atau lebih bergabung menjadi
satu molekul yang lebih besar, dengan atau tanpa hilangnya suatu molekul kecil
(Fessenden, 1982).

Kondensasi aldol dari asetildehida terjadi menurut mekanisme tiga langkah


sebagai berkut (Hart, 2003):
1. Basa mengambil Hidrogen alfa membentuk anion enolat.
2. Anion enolat mengadisi karbon karbonil pada molekul asetildehida lain,
membentuk ikatan-ikatan karbon yang baru. Basa biasa mengkonversi
sebagian kecil senyawa karbonil menjadi anion enolat sehingga masih
banyak molekul aldehida yang berada dalam bentuk tak menganion yang
diperlukan untuk langkah ini.
3. Ion Hidroksida yang terbentuk pada langkah kedua menerima proton dari
pelarut, sehingga meregenerasi ion hidroksida yang diperlukan untuk
langkah pertama.
3.2.3. Reaksi eliminasi
Kebalikan dari reaksi adisi disebut reaksi eleminasi, yaitu penarikan dua
gugus masing-masing dua atom karbon yang berdekatan, sehingga membentuk
ikatan rangkap (Fessenden, 1994).
1. Reaksi E1
Reaksi E1 adalah reaksi eliminasi dimana suatu karbokation (suatu zat
antara yang tak stabil dan berenergi tinggi, yang dengan segera bereaksi lebih
lanjut) dapat memberikan sebuah proton kepada suatu basa dan menghasilkan
sebuah alkena. Pada reaksi SN1, salah satu cara karbokation mencapai produk
yang stabil ialah dengan bereaksi dengan sebuah nukleofil (Holtzclaw, 1988).
Karbokation adalah suatu zat antara yang tak stabil dan berenergi tinggi.
Karbokation memberikan kepada basa sebuah proton dalam reaksi eliminasi,
dalam hal ini reaksi E1 menjadi sebuah alkena (Holtzclaw, 1988).

2. Reaksi E2
Reaksi E2 (eliminasi bimolekular) ialah reaksi eliminasi alkil halida yang
paling berguna. Reaksi E2 alkil halida cenderung dominan bila digunakan basa
kuat, seperti –OH dan –OR, dan temperatur tinggi. Secara khas reaksi E2
dilaksanakan dengan memanaskan alkil halida dengan K+ dan OH-/ Na+ dan
OCH2CH3- dalam etanol (Holtzclaw, 1988).
Reaksi E2 berjalan tidak lewat suatu karbokation sebagai zat-antara,
melainkan berupareaksi serempak (concerted reaction) yakni terjadi pada satu
tahap, sama seperti reaksi SN2. Basa membentuk ikatan dengan hidrogen,
elektron-elektron C-H membentuk ikatan phi, brom bersama sepasang
elektronnya meninggalkan ikatan sigma C-Br (Holtzclaw, 1988).

Dalam reaksi E2, seperti dalam reaksi E1, alkil halida tersier bereaksi
paling cepat dan alkil halida primer paling lambat. (Bila diolah dengan suatu basa,
alkil halide primer biasanya begitu mudah bereaksi substitusi, sehingga sedikit
alkena terbentuk (Wahyudi, 2003).
3.2.4. Reaksi substitusi
Reaksi substitusi adalah reaksi penggantian atom atau gugus atom oleh
atom atau gugus atom lain. Jadi dalam reaksi substutisu suatu atom atau gugus
atom yang terdapat dalam rantai utama akan meninggalkan rantai utama tersebut
dan tempatnya yang kosong akan diganti oleh atom atau gugus atom yang lain
(Murry, 2008).
1. Substitusi nukleofilik
Reaksi substitusi nukleofilik terjadi apabila gugus yang mengganti
merupakan pereaksi nukleofil (Murry, 2008).
a) SN1

Reaksi melalui 2 tahap, bereaksi dengan nukleofil lemah/basa lewis


kecuali H2O, ROH, bereaksi baik dengan alkil, tersier > sekunder (lambat), halida
anilik dan benzyl halida, pelarut polar (Murry, 2008).
b) SN2

Reaksi berlangsung 1 tahap, bereaksi dengan nukleofil kuat/basa Lewis


kecuali -OH, -OR, -CN, bereaksi baik dengan alkil halida primer dan sekunder,
halida anilik dan benzil halida, pelarut non polar (Murry, 2008).
2. Substitusi elektrofilik
Reaksi substitusi nukleofilik terjadi apabila gugus yang mengganti
merupakan pereaksi elektrofil (Morrison, 1992).
a) Halogenasi

Reaksi benzena dengan brom (Br2) atau klor (Cl2) dengan katalisator besi
(III) halida akan menghasilkan halobenzena. Dalam reaksi halogenasi benzena
adalah timbulnya elektrofil (Fessenden, 2010).
b) Sulfonasi

Reaksi benzena dengan asap berasap (campuran H2SO4 pekat dengan gas SO3
jenuh) menghasilkan asam benzenasulfonat. Elektrofil dalam reaksi sulfonasi
dapat berupa SO3 itu sendiri atau dalam bentuk proton HSO3+ (Morrison, 1992).
c) Nitrasi

Benzena direaksikan dengan asam nitrat pekat, dengan asam sulfat pekat
sebagai katalisator, akan terbentuk nitrobenzena. Asam nitrat diberi proton oleh
asam sulfat pekat. Kemudian melepaskan air untuk membentuk suatu ion
nitronium (NO2+) yang elektrofil. Reaksi benzena dengan ion nitronium dan
memberikan sebuah proton pada HSO4- (Morrison, 1992).
d) Alkilasi

Apabila benzena direaksikan dengan suatu haloalkana (RX) dengan


katalisator suatu asam Lewis (dalam reaksi ini AlX3), benzena diubah menjadi
alkilbenzena. Reaksi ini disebut reaksi alkilasi Friedel-Crafts, istilah alkilasi
berarti substitusi oleh suatu gugus alkil (Morrison, 1992).
Serangan oleh karbokation elektrofil (atau haloalkana terpolarisasi) pada
cincin benzena menyebabkan hilangnya sebuah proton dan menghasilkan
alkilbenzena. Haloalkana primer yang terpolarisasi dapat mengadakan perubahan
susuan serupa untuk menghasilkan karbokation sekunder atau tersier Reaksi
penataan ulang ialah perubahan posisi gugus dalam molekul sehingga
menghasilkan senyawa dengan struktur berbeda (Fessenden, 1994).
e) Asilasi Friedel Crafts

Friedel dan Crafts juga membuat reaksi semacam reaksi alkilasi Reaksi
tersebut dinamakan reaksi asilasi Friedel-Crafts, karena tersubstitusi ke dalam
cincin benzenanya adalah gugus asil bukan alkil. Reaksi asilasi tidak berlangsung
dengan cara karbokation dan tidak ada perubahan susunan. Dengan
menggabungkan reaksi asilasi dengan suatu reaksi yang mereduksi gugus karbonil
(C=O) menjadi CH3 (Ho, 1997).
3.2.5. Reaksi hidrolisis
1. Hidrolisis ester
Reaksi hidrolisis ester dalam suasana asam menghasilkan asam karboksilat
dan alkohol, namun bila reaksi hidrolisis dilangsungkan dalam suasana basa
diperoleh garam karboksilat dan alkohol. Hidrolisis ester dengan basa disebut
reaksi penyabunan (saponifikasi) (Achmad, 1995).

H+/OH-

2. Hidrolisis amida
Ester juga bereaksi dengan amina membentuk amida. Reaksi dengan
amina mengubah satu senyawa menjadi dua senyawa yang disebut aminolisis.
Aminolisis dari ester membutuhkan hanya satu ekuivalen amina, tidak seperti
aminolisis dari suatu asil halida atau asam anhidrida, yang membutuhkan dua
ekuivalen (Achmad, 1995).

3.2.6. Reaksi redoks


Reaksi redoks dalam reaksi organik dapat dilihat dari bilangan oksidasi
atom karbon yang mengalami perubahan, bila bilangan itu naik disebut oksidasi
dan turun disebut reduksi (Fessenden, 1994).
1. Reaksi oksidasi
Reaksi oksidasi adalah suatu reaksi yang melibatkan penangkapan oksigen
(O2) untuk menghasilkan suatu zat yang baru. Dalam reaksi oksidasi terjadi
penangkapan atau penambahan oksigen, pada reaksi oksidasi terjadi penambahan
atom oksigen. Pelepasan atau pengurangan hidrogen, pada reaksi oksidasi terjadi
pengurangan atom hidrogen (Lee, 1994).

2. Reaksi reduksi
Reaksi reduksi adalah suatu reaksi yang melibatkan pelepasan oksigen (O2)
untuk menghasilkan suatu zat yang baru. Dalam reaksi reduksi terjadi pelepasan
atau pengurangan oksigen, penangkapan atau penambahan hidrogen, terjadi
penambahan atom hidrogen (Lee, 1994).
3.3. Reaksi esterifikasi
Reaksi esterifikasi adalah suatu reaksi antara asam karboksilat dan alkohol
membentuk ester. Turunan asam karboksilat membentuk ester asam karboksilat.
Ester asam karboksilat ialah suatu senyawa yang mengandung gugus -CO2 R
dengan R dapat berupa alkil maupun aril. Esterifikasi dikatalisis asam dan bersifat
dapat balik (Fessenden, 1990).
Ester diturunkan dari asam karboksilat. Sebuah asam karboksilat
mengandung gugus -COOH, dan pada sebuah ester hidrogen di gugus ini
digantikan oleh sebuah gugus hidrokarbon dari beberapa jenis. Disini kita hanya
akan melihat kasus-kasus dimana hidrogen pada gugus -COOH digantikan oleh
sebuah gugus alkil, meskipun tidak jauh beda jika diganti dengan sebuah gugus
aril (yang berdasarkan pada sebuah cincin benzen) (Borer, 2000).
Reaksi pembentukan aspirin adalah :

Sintetis aspirin termasuk reaksi esterifikasi. Asam salisilat dicampur


dengan anhidrin asetat, menyebabkan reaksi kimia yang mengubah grup alkanol
asam salisilat menjadi grup asetil (R-OH→R-OCOCH3). Proses ini menghasilkan
aspirin dan asam asetat, yang merupakan produk sampingan. Sejumlah kecil
asam sulfat umumnya digunakan sebagai katalis. Asam sulfat berfungsi sebagai
donor proton sehingga ikatan rangkap pada anhidrida asetat lebih mudah terbuka
lalu bergabung dengan asam salisilat yang kehilangan hidrogennya.Setelah proses
pengikatan selesai, ion SO42- kembali mengikat proton H+ yang berlebih
(Ganiswara, 1995).
3.4. Kristalisasi
Suatu zat yang tampil sebagai zat padat, tetapi tidak mempunyai struktur
kristal yang berkembang disebut amorf (tanpa bentuk). Tak seperti zat padat
kristal, zat amorf tidak mempunyai titik-titik leleh tertentu yang tepat. Sebaliknya
zat amorf melunak secara bertahap bila dipanasi dan meleleh dalam suatu jangka
temperatur. Kristal adalah benda padat yang mempunyai permukaan-permukaan
datar. Karena banyak zat padat seperti garam, kuarsa, dan salju ada dalam bentuk-
bentuk yang jelas simetris, telah lama para ilmuwan menduga bahwa atom, ion
ataupun molekul zat padat ini juga tersusun secara simetris (Keenan, 1991).
Kristalisasi merupakan metode pemisahan untuk memperoleh zat padat
yang terlarut dalam suatu larutan. Dasar metode ini adalah kelarutan bahan dalam
suatu pelarut dan perbedaan titik beku. Kristalisasi ada dua cara yaitu kristalisasi
penguapan dan kristalisasi pendinginan .Pemisahan bahan padat berbentuk kristal
dari suatu larutan atau suatu lelehan. Disamping untuk pemisahan bahan padat
dari larutan, kristalisasi juga sering digunakan untuk memurnikan bahan padat
yang sudah berbentuk kristal. Proses pemurnian ini disebut kristalisasi ulang atau
rekristalisasi (Arsyad,2001).
Pemisahan dengan teknik kristalisasi didasari atas pelepasan pelarut dari
zat terlarutnya dalam sebuah campuran homogeen atau larutan, sehingga
terbentuk kristal dari zat terlarutnya. Proses ini adalah salah satu teknik pemisahan
padat-cair yang sangat penting dalam industri, karena dapat menghasilkan
kemurnian produk hingga 100% (Oxtoby, 2001).
Mekanisme pembentukan kristal meliputi 2 proses diantaranya adalah
(Ebel, 1992):
1. Pembentukan Inti
Inti kristal adalah partikel-partikel kecil bahkan sangat kecil yang dapat
terbentuk secara cara memperkecil kristal-kristal yang ada dalam alat kristalisasi
atau dengan menambahkan benih kristal ke dalam larutan lewat jenuh.
2. Pertumbuhan Kristal
Pertumbuhan kristal merupakan gabungan dari dua proses yaitu
transportasi molekul-molekul atau (ion-ion dari bahan yang akan di
kristalisasikan) dalam larutan kepermukaan kristal dengan cara difusi. Proses ini
berlangsung semakin cepat jika derajat lewat jenuh dalam larutan semakin besar.
Penempatan molekul-molekul atau ion-ion pada kisi kristal. Semakin luas total
permukaan kristal, semakin banyak bahan yang di tempatkan pada kisi kristal
persatuan waktu.
Ukuran kristal yang terbentuk selama pengendapan, tergantung pada dua
faktor penting yaitu laju pembentukan inti (nukleasi) dan laju pertumbuhan
kristal. Jika laju pembentukan inti tinggi, banyak sekali kristal akan terbentuk,
tetapi tak satupun dari ini akan tumbuh menjadi terlalu besar, jadi terbentuk
endapan yang terdiri dari partikel-partikel kecil. Laju pembentukan inti tergantung
pada derajat lewat jenuh dari larutan. Makin tinggi derajat lewat jenuh, makin
besarlah kemungkinan untuk membentuk inti baru, jadi makin besarlah laju
pembentukan inti. Laju pertumbuhan kristal merupakan faktor lain yang
mempengaruhi ukuran kristal yang terbentuk selama pengendapan berlangsung.
Jika laju ini tinggi, kristal-kristal yang besar akan terbentuk yang dipengaruhi oleh
derajat lewat jenuh (Svehla, 1979).
Kristal dapat terbentuk karena suatu larutan dalam keadaan atau kondisi
lewat jenuh (supersaturasi). Kondisi tersebut terjadinya karena pelarut sudah tidak
mampu melarutkan zat terlarutnya, atau jumlah zat terlarut sudah melebihi
kapasitas pelarut. Sehingga kita dapat memaksa agar kristal dapat terbentuk
dengan cara mengurangi jumlah pelarutnya, sehingga kondisi lewat jenuh dapat
dicapai (Oxtoby, 2001).
Proses pengurangan pelarut dapat dilakukan dengan empat cara yaitu,
penguapan, pendinginan, penambahan senyawa lain dan reaksi kimia
(Sastrohamidjojo, 2009):
1. Pendinginan
Larutan yang akan dikristalkan didinginkan sampai terbentuk kristal pada
larutan tersebut. Metode ini digunakan untuk zat yang kelarutan mengecil bila
suhu diturunkan. Pendinginan dilakukan 2x yaitu pendinginan larutan panas
sebelum penyaringan dan pendinginan sesudah penguapan.
2. Penguapan pelarut
Larutan yang dikristalkan merupakan senyawa campuran antara solven
dan solut. Setelah dipanaskan maka solven menguap dan yang tertinggal hanya
kristal. Metode ini digunakan bila penurunan suhu tidak begitu mempengaruhi
kelarutan zat pada pelarutnya. Penguapan bertujuan untuk menghilangkan atau
meminimalizir solvent atau zat pelarut sisa yang terdapat pada filtrat.
3. Evaporasi adiabatis
Metode ini digunakan dalam ruang vakum, larutan dipanaskan,
dimasukkan dalam tempat vakumyang mana tekanan total lebih rendah dari
tekanan uap solvennya. Pada suhu saat larutan dimasukkan ke ruang vakum
solven akan menguap dengan cepat dan penguaapan itu akan menyebabkan
pendinginan secara adiabatis.
4. Salting out
Prinsipnya adalah menambah suatu zat untuk mengurangi zat yang akan
dikristalkan. Pengeluaran garam dari larutan dengan zat baru ke dalam larutan
bertujuan menurunkan daya larut solven terhadap suhu pada pengatur
tersebut.Peningkatan harga k, jika kedalam suatu larutan ditambah dengan zat
elektrolit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kristal (Donald, 1980):
a. Laju pembentukan inti
Laju pembentukan inti dinyatakan dengan jumlah inti yang terbentuk
dalamsatuan waktu. Jika laju pembentukan inti tinggi, maka banyak sekali kristal
yang terbentuk, tetapi tak satupun akan tumbuh menjadi besar, jadi yang terbentuk
berupa partikel-partikel koloid.
b. Laju pertumbuhan kristal
Merupakan faktor lain yang mempengaruhi ukuran kristal yang terbentuk
selama pengendapan berlangsung. Jika laju tinggi kristal yang besar akan
terbentuk, laju pertumbuhan kristal juga dipengaruhi derajat lewat jenuh.(Donald,
1980).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pembentukan kristal (Handojo,
1995):
1. Derajat lewat jenuh.
2. Jumlah inti yang ada, atau luas permukaan total dari kristal yang ada.
3. Pergerakan antara larutan dan kristal.
4. Viskositas larutan.
5. Jenis serta banyaknya pengotor.
Pengaruh penurunan suhu pada proses terjadinya kristal (Austin,1986):
a. Bila penurunan suhu berjalan dengan cepat maka kecepatan tumbuh
inti kristal lebih cepat daripada kecepatan pertumbuhan kristal sehingga kristal
yang diperoleh kecil, rapuh, dan banyak.
b. Bila penurunan suhu dilakukan secara perlahan, maka kecepatan
pertumbuhan kristal lebih cepat daripada kecepatan pertumbuhan inti kristal
sehingga kristal yang dibebaskan besar-besar, liat, dan elastis.
3.5. Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan suatu pembentukan kristal kembali
dari larutan atau leburan dari material yang ada. Rekristalisasi adalah proses lanjut
dari kristalisasi. Apabila kristalisasi dalam hal ini hasil kristalisasi memuaskan
rekristalisasi hanya bekerja apabila digunakan pada pelarut pada suhu kamar,
namun dapat lebih larut pada suhu yang lebih tinggi. Hal ini bertujuan supaya zat
tidak murni dapat menerobos kertas saringdan yang tertinggal hanyalah kristal
murni (Fessenden, 1989).
Rekristalisasi adalah pemurnian suatu zat padat dari campuran atau
pengotornyadengan cara mengkristalkan kembali zat tersebut setelah dilarutkan
dalam pelarut yangcocok. Prinsip rekristalisasi adalah perbedaan kelarutan antara
zat yang akan dimurnikandengan kelarutan zat pencampur atau pencemarnya.
Larutan yang terjadi dipisahkan satusama lain, kemudian larutan zat yang
diinginkan dikristalkan dengan cara menjenuhkannya.Proses kristalisasi adalah
kebalikan dari proses pelarutan. Mula-mula molekul zatterlarut membentuk
agrerat dengan molekul pelarut, lalu terjadi kisi-kisi di antara molekulzat terlarut
yang terus tumbuh membentuk kristal yang lebih besar di antara
molekul pelarutnya, sambil melepaskan sejumlah energi (Fieser, 1979)
Ada lima tahap dalam melakukan rekristalisasi zat-zat, yaitu (Fessenden,
1983):
1. Melarutkan zat pada pelarut.
2. Melakukan filtrasi gravity.
3. Mengambil kristal zat terlarut.
4. Mengumpulkan kristal dengan filtrasi vakum.
5. Mengeringkan kristal.
Pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses rekristalisasi adalah
pelarut cair, karena tidakmahal, tidak reaktif dan setelah melarutkan zat padat
organik bila dilakukan penguapan akan lebih mudah memperolehnya kembali.
Kriteria pelarut yang baik:
a. Tidak bereaksi dengan zat padat yang akan di rekristalisasi.
b. Zat padatnya harus mempunyai kelarutan terbatas (sebagian) atau relatif
tak larut dalam pelarut,pada suhu kamar atau suhu kristalisasi.
c. Zat padatnya mempunyai kelarutan yang tinggi (larut baik) dalam suhu
didih pelarutnya.
d. Titik didih pelarut tidak melebihi titik leleh zat padat yang akan
direkristalisasi.
e. Zat pengotor yang tak diinginkan harus sangat larut dalam pelarut pada
suhu kamar atau tidak larut dalam pelarut panas.
f. Pelarut harus cukup volatile (mudah menguap) sehingga mudah untuk
dihilangkan setelah zat padatyang diinginkan telah terkristalisasi (Wilcox
& Wilcox, 1995).
3.6. Titik leleh
Titik leleh suatu zat adalah temperatur pada fase padat dan cair ada dalam
kesetimbangan. Jika kesetimbangan semacam ini diganggu dengan menambahkan
atau menarik energy panas, sistem akan berubah bentuk lebih banyak zat cair atau
lebih banyak zat padat. Namun temperature akan tetap pada titik leleh selama fase
itu masih ada perubahan dari cair menjadi padat disebut pembekuan dan proses
kebalikannya disebut pelelehan atau peleburan. Titik leleh suatu padatan sama
dengan titik beku suatu cairan (Chang, 2004).
Dalam menentukan titik leleh suatu zat, adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi cepat atau lambatnya zat tersebut meleleh adalah (Fieser, 1979):
1. Ukuran kristaL
Ukuran kristal sangat berpengaruh dalam menentukan titik leleh suatu zat.
Apabila semakin besar ukuran partikel yang digunakan maka pelelehan sulit.
2. Banyaknya sampel
Banyaknya sampel suatu zat juga dapat mempengaruhi cepat lambatnya
proses pelelehan. Hal ini dikarenakan, apabila semakin sedikit sampel yang
digunkaan maka semakin cepat proses pelelehannya, begitu pula sebaliknya jika
semakin banyak sampel yang digunakan maka semakin lama proses pelelehannya.
3. Pengemasan Dalam Kapiler.
Pemanasan dalam suatu pemanas harus menggunakan baraapi atau panas
yang bertahan. Adanya senyawa lain yang dapat mempengaruhi titik leleh.
3.7. Reaksi pembentukan kompleks
Reaksi pembentukan kompleks adalah reaksi yang lazim digunakan dalam
analisis kualitatif anorganik, yaitu suatu ion atau molekul kompleks yang terdiri
dari satu atom pusat dan sejumlah ligan yang terikat erat dengan atom pusat
tersebut. Dari reaksi komplekss inilah akan didapatkan suatu senyawa komplekss.
Senyawa kompleks adalah senyawa yang terdiri atas atom pusat dan ligan sebagai
gugus pengeliling dengan tanpa ion penetral, sehingga membentuk suatu ikatan
koordinasi dengan atom donor dari ligan yang bersangkutan, oleh sebab itu
senyawa kompleks sering disebut sebagai senyawa koordinasi (Kristian H,2012).
Senyawa koordinasi adalah senyawa yang mengandung satu atau lebih ion
kompleks dengan sejumlah kecil molekul atau ion di seputar atom atau ion logam
pusat. Ion/atom pusat merupakan ion/atom bagian dari senyawa koordinasi yang
berada di pusat (bagian tengah) sebagai penerima pasangan elektron sehingga
dapat di sebut sebagai asam Lewis, umumnya berupa logam (terutama logam-
logam transisi). Sedangkan ligan atau gugus pelindung merupakan atom/ion
bagian dari senyawa koordinasi yang berada di bagian luar sebagai pemberi
pasangan elektron sehingga dapat disebut sebagai basa Lewis (Chang, 2004).
Dalam ilmu kimia, kompleks atau senyawa koordinasi merujuk pada
molekul atau entitas yang terbentuk dari penggabungan ligan dan ion
logam. Pembentukan senyawa komplekss memerlukan dua jenis spesi:
1. Ion atau molekul yang sekurang-kurangnya mempunyai satu pasang elektron
bebas yang memadai untuk membentuk ikatan kovalen koordinasi.
2. Ion logam atau atom yang mempunyai daya tarik memadai terhadap elektron
untuk membentuk ikatan kovalen koordinasi dengan gugus yang diikatnya
(Vogel, 1985).
Salah satu fenomena paling umum yang muncul bila ion komplekss
terbentuk adalah perubahan warna larutan. Hampir semua senyawa-senyawa
kompleks mempunyai warna-warna tertentu, karena zat ini menyerap sinar di
daerah tampak atau visible region. Sebab lebih lanjut ialah karena energi sinar di
daerah tampak cocok untuk promosi elektron yang ada di orbital d, dari energi
rendah ke energi tinggi. Besarnya energi untuk promosi, yaitu Δ tergantung dari
ion pusatnya dan tergantung dari jenis ligan. Karena itu, senyawa komplekss
mempunyai warna berbeda-beda (Petrucci, 1989).
Bila zat menyerap warna atau panjang gelombang tertentu dari sinar
tampak, zat tersebut akan meneruskan warna komplemennya, yang nampak pada
mata kita sebagai warna. Bila zat menyerap semua warna dari sinar tampak, zat
tersebut berwarna hitam. Sebaliknya bila zat sama sekali tidak menyerap warna
dari sinar tampak, zat tersebut berwarna putih (Solomon, 2001).
3.8. Titrasi
Titrasi adalah salah satu metode kimia analisis kuantitatif yang dapat
digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu larutan tertentu dengan cara
mereaksikan sejumlah volume larutan tersebut terhadap jumlah volume larutan
lain yang konsentrasinya sudah diketahui secara tepat (Brady, 1988).
Jenis-jenis titrasi diantaranya sebagai berikut:
1. Titrasi Asam Basa
Titrasi Asam Basa biasanya digunakan untuk mengetahui jumlah (misal
molaritas) dari asam atau basa yang diketahui melalui reaksi asam basa. Analit
(sampel) adalah larutan dengan molaritas yang belum diketahui, sedangkan reagen
(titer) adalah larutan dengan molaritas yang diketahui yang akan bereaksi dengan
analit. Titrasi asam basa berdasarkan reaksi penetralan. Kadar larutan asam
ditentukan dengan menggunakan larutan basa dan sebaliknya. Titrasi asam basa
ada 2 jenis diantaranya sebagai berikut (Brady, 1988):
a) Asidimetri yaitu, penentuan konsentrasi larutan basa dengan menggunakan
larutan baku asam.
b) Alkalimetri yaitu, penentuan konsentrasi larutan asam dengan
menggunakan larutan baku basa.
2. Titrasi Kompleksometri
Titrasi kompleksometri merupakan jenis titrasi dengan reaksi kompleksasi
atau pembentukan ion kompleks. Biasanya digunakan untuk menganalisa kadar
logam pada larutan sampel yang dapat membentuk kompleks dengan larutan
standar yang biasanya merupakan ligan. Indikator yang digunakan biasanya akan
bereaksi dengan kelebihan titran (sama-sama membentuk ion kompleks) dan
menunjukkan perubahan warna. Pada titrasi jenis ini ada banyak hal yang harus
ditimbang dan diperhatikan mengingat pembentukan ion kompleks adalah spesifik
pada kondisi tertentu. Misalnya pada pH tertentu sehingga larutan sampel harus
didapar dengan buffer pH tertentu pula (Brady, 1988).
3. Titrasi Redoks (Reduksi-Oksidasi)
Titrasi redoks sesuai namanya merupakan jenis titrasi dengan reaksi
reduksi-oksidasi. Secara umum ada tiga macam reaksi redoks diantaranya
(Petrucci, 1987):
a) Titrasi iodometri
Merupakan titrasi redoks dengan menggunakan I2 dan merupakan jenis
reaksi tidak langsung. Karena I2 yang akan bereaksi harus dibuat terlebih dahulu
dengan reaksi redoks sebelumnya.
b) Titrasi iodimetri
Merupakan titrasi redoks dengan I2 juga. Bedanya dengan iodometri, I2
yang digunakan langsung dalam wujud I2 sehingga disebut juga reaksi langsung.
c) Titrasi permanganometri
Merupakan reaksi titrasi dengan memanfaatkan ion Mn2+. Indikator yang
digunakan biasanya amilum yang dapat membentuk kompleks dengan I2 yaitu
iodo-amilum berwarna biru. Selain itu bisa juga menggunakan auto indikator.
Dimana kelebihan larutan standar yang menetes pada larutan hasil reaksi utama
yang telah stoikiometris akan menunjukkan gejala tertentu seperti perubahan
warna yang menandai titrasi harus dihentikan.
4. Titrasi Argentometri
Titrasi argentometri adalah jenis titrasi yang digunakan khusus untuk
reaksi pengendapan. Prinsip umumnya adalah mengenai kelarutan dan tetapan
hasil kali kelarutan dari reagen-reagen yang bereaksi. Secara umum, metode titrasi
argentometri ada tiga macam (Underwood, 2001):
a) Metode Mohr
Pada metode ini tidak ada indikator yang digunakan. Sehingga untuk
menandai titik akhir titrasi adalah tingkat kekeruhan dari larutan sampel. Ketika
larutan standar telah mengalami reaksi stoikiometris dengan larutan sampel, maka
ml larutan standar berikutnya yang menetes pada larutan sampel akan
menghasilkan endapan karena larutan hasil reaksi titrasi telah jenuh. Namun,
dapat juga digunakan indikator yang dapat bereaksi dengan kelebihan larutan
standar dan membentuk endapan dengan warna yang berbeda dari endapan reaksi
utama.
b) Metode Volhard
Metode ini menggunakan indikator yang akan bereaksi dengan kelebihan
larutan standar membentuk ion kompleks dengan warna tertentu.
c) Metode Fajans
Metode ini menggunakan indikator adsorpsi. Endapan yang terbentuk dari
reaksi utama dapat menyerap indikator adsorpsi pada permukaannya sehingga
endapan tersebut terlihat berwarna.
IV. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah batang pengaduk, corong
Buchner, corong penyaring, gelas kimia, klem, labu erlenmeyer, melting block,
penangas air, pemanas bunsen, pipet tetes, tabung kapiler, tabung reaksi,
termometer, statif.
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah aquades, anhidrida
asetat, asam asetil salisilat (aspirin), asam salisilat, etanol, larutan FeCl3 10%,
larutan H2SO4 85%, laruran NaOH, indikator fenolftalein, kertas perkamen, kertas
saring.
V. Prosedur
5.1. Pembuatan aspirin
Wadah berisi air dipanaskan diatas penangas air. Sekitar 1,4 gram asam
salisilat ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 mL. lalu 4 mL
anhidrida asetat ditambahkan ke dalam labu erlenmeyer dengan cara sedemikian
rupa sehingga dapat membilas serbuk asam salisilat yang menempel di dinding
labu erlenmeyer. Dengan hati-hati 5 tetes larutan H2SO4 85% ditambahkan ke
dalam labu erlenmeyer dan diaduk dengan batang pengaduk. Pengerjaan ini
dilakukan di lemari asam.
Labu erlenmeyer yang berisi campuran dipanaskan dalam penangas air
yang airnya telah dipanaskan selama 5 menit. Setelah 5 menit labu erlenmeyer
diangkat dari dari penangas air dan segera ditambahkan 2 mL aquades. Setelah 2
atau 3 menit, ditambahkan lagi 20 mL aquades dan labu berisi campuran tersebut
dibiarkan mengalami kristalisasi. Kristal harus dipastikan terbentuk sebelum
melanjutkan ke tahap selanjutnya. Kemudian ditambahkan 50 mL aquades dingin
dan labu didinginkan dalam wadah penangas berisi es sehingga proses
pembentukan kristal sempurna. Kristal yang diperoleh disaring dengan
menggunakan corong Buchner yang telah dilapisi kertas saring. Lalu kristal dicuci
dengan sedikit air dingin.
Setelah itu dilakukan rekristalisasi untuk mendapat kristal yang lebih
murni, dengan cra melarutkan kristal yang sudah terbentuk dalam 5 mL etanol dan
ditambahkan 20 mL aquades. Larutan dipanaskan sampai semua kristal teoat larut,
kemudian didinginkan dalam wadah penangas berisi es sampai terbentuk kristal.
Kristal yang terbentuk disaring dengan menggunakan corong Buchner. Kristal
yang terbentuk dikeringkan di udara dan dihitung rendemen hasil kristal aspirin
yang diperoleh. Lalu hasil yang diperoleh dibandingkan dengan berat teoritis
(berdasarkan perhitungan stoikiometrik, sesuai persamaan reaksi di bawah ini.

5.2. Uji aspirin


5.2.1. Uji reaksi pengkompleksan dengan FeCl3
3 buah reaksi disiapkan dan diberi label masing-masing: asam salisilat,
“my aspirin” yaitu hasil sintesis aspirin yang dilakukan, dan komersial aspirin.
Sejumlah sampel ditempatkan dalam masing-masing tabung reaksi sesuai label.
Ke dalam tiap tabung ditambahkan 20 tetes aquades dan 10 tetes larutan FeCl3
10%. Perubahan yang terjadi pada tiap larutan diamati dan dicatat. Warna ungu
menunjukan adanya asam salisilat.
5.2.2. Penentuan titik leleh asam salisilat dan aspirin hasil sintesis
2 tabung kapiler disiapkan, satu tabung kapiler diisi dengan sampel asam
salisilat sedangkan satu tabung yang lain diisi dengan sampel aspirin hasil sintesis.
Salah satu abung kapiler dipasang pada melting block, kemudian alat melting
block dipanaskan secara perlahan di atas pemanas bunsen dan jangan lupa
termometer dipasang pada alat melting block. Perubahan suhu awal ketika padatan
kristal dalam tabung kapiler meleleh diamati dan dicatat. Perubahan suhu pada
saat semua padatan telah berubah seluruhnya menjadi cair juga dicatat. Kedua
suhu ini merupakan trayek titik leleh zat padat yang diukur. Pengerjaan ini
diulangi pada tabung kapiler yang lain, tapi alat melting block harus dibiarkan
dingin kembali (suhu kamar). Titik leleh aspirin menurut literatur adalah 136oC.
Hasil pengukuran titik leleh sampel aspirin dibandingkan dengan data ini.
Semakin kecil trayek titik leleh, maka sampel semakin murni. Semakin dekat hasil
pengukuran titik leleh sampel dengan literatur, menunjukan bahwa semakin baik
dan teliti kerja praktikan.
5.2.3. Analisis kandungan aspirin komersial
Dua tablet aspirin ditempatkan dalam labu erlemeyer, hancurkan tablet
aspirin dnegan btaang pengaduk (atau kedua tablet dihancurka terlebih dahulu
dengan lumpang alu, baru dimasukan ke dalam labu erlenmeyer). Serbuk tablet
aspirin dilarutkan dalam 10 mL etanol. Setelah seluruhnya larut, ditambahkan 3
tetes fenolftalein dan aquades secukupnya sehingga volume total larutan menjadi
50 mL.
Labu erlenmeyer berisi larutan aspirin dititrasi dengan larutan baku NaOH
0,1 M sampai tercapai titik akhir titrasi, yaitu ketika tejasi perubahan warna
indikator dalam larutan. Volume NaOH yang digunakan dicatat dan massa aspirin
per tablet dihitung. Menurut peraturan FDA, kekuatan tablet aspirin ditentukan
oleh minimal 5 grains asam asetilsalisilat (1 grain = 0.0648 gram). Aspirin (asam
asetilsalisilat, Ch9H7O4, bereaksi dengan NaOH dengan perbandingan mol 1:1,
sehingga jumlah mol NaOH yang digunakan dalam titrasi sama dengan jumlah
mol aspirin dalam tablet.
VI. Data pengamatan
6.1. Pembuatan aspirin
a) Rendemen kristalisasi
Bobot awal = 1,4013 gram
Bobot akhir = 1,2948 gram
boboth akhir
% Rendemen = x 100%
bobot awal
1,2948 𝑔
= x 100%
1,4013 𝑔

= 0,9239x 100% = 92,39%


b) Rendemen rekristalisasi
Bobot awal = 1,4013 gram
Bobot akhir = 1,3261 gram
bobot akhir
% Rendemen = x 100%
bobot awal
1,3261 𝑔
= x 100%
1,4013 𝑔

= 0,9463 x 100% = 94,63%


6.2. Uji aspirin
6.2.1. Uji reaksi pengkompleksan dengan FeCl3

Tabung 1 Tabung 2 Tabung 3


(asam salisilat) (my aspirin) (komersial aspirin)
warna ungu warna coklat warna coklat tua

6.2.2. Penentuan titik leleh asam salisilat dan aspirin


a) Titik leleh asam salisilat
Suhu mulai meleleh = 154oC
Suhu meleleh sempurna = 157oC
b) Titik leleh aspirin hasi sintesis (kristalisasi)
Suhu mulai meleleh = 129oC
Suhu meleleh sempurna = 132oC
c) Titik leleh aspirin hasi sintesis (rekristalisasi)
Suhu mulai meleleh = 132oC
Suhu meleleh sempurna = 135oC
6.2.3. Analisis kamdungan aspirin dalam tablet komersial
a) Massa NaOH
NNaOH = 0,1 N
Vad.aqudes = 50 mL
Mr = 40
Massa NaOH (gram)?
gr 1000 gr 1000
N = Mr x ↔ 0,1= 40 x 50 mL
V
0,1 N x 40
gr = 20 𝑚𝐿

gr = 0,4 gram  Hasil penimbangan = 0,4131gram


b) Titrasi
Titrasi ke Volume NaOH Volume rata-rata
Titrasi 1 11 mL
10,9 mL
Titrasi 2 10,8 mL
NNaOH = 0,1 N
Vrata-rata = 10,9 mL
VAspirin = 50 mL
Maka  VNaOH x NNaOH = VAspirin x NAspirin
10,9 mL x 0,1N = 50 mL x NAspirin
10,9 mL x 0,1 N
NAspirin = 50 𝑚𝐿

NAspirin = 0,0218 N
c) Massa aspirin
Bobot aspirin(1&2) = 0,3210 gram
Bobotrata-rata = 0,32 gram
Bobot aspirin(3&4) = 0,3183 gram
NAspirin = 0,0218 N
Mr = 180
gr 1000 gr 1000
Maka  N = Mr x ↔ 0,0218 N = 180 x 50 mL
V
0,218 N x 180
gr = 20 𝑚𝐿

gr = 0,1962 gram
d) Rendemen aspirin
bobot akhir
%Rendemen aspirin (hasil sintesis) = x 100%
bobot awal
0,1962 𝑔
= x 100%
0,32 𝑔

= 0,6131 x 100%
= 61,31 %
bobot akhir
%Rendemen aspirin (teoritis) = x 100%
bobot awal
0,2 𝑔
= 0,32 𝑔 x 100%

= 0,625 x 100%
= 62,5 %
VII. Pembahasan
7.1. Pembuatan aspirin
Pada percobaan kali bertujuan untuk mesintesis aspirin melalui metode
esterifikasi. Pembuatan aspirin dilakukan dengan cara melarutkan 1,4013 gram
asam salisilat dalam 4 mL anhidrida asetat. Penggunaan asam salisilat ini karena
dalam pembuatan aspirin, asam salisilat bereaksi dengan anhidrida asetat
mengubah gugus hidroksil fenolik (-OH) dari asam salisilat menjadi ester asetil
(OCOCH3) dari anhidrida asetat. Digunakan asam asetat anhidrida karena asam
asetat lebih reaktif dibandingkan asam asetat, kelebihreaktifan anhidrida asam
asetat ini disebabkan oleh struktur anhidrida asam asetat telah kehilangan 1 atom
hidrogen sehingga atom karbon tempat hidrogen melekat menjadi lebih
elektropositif. Selain itu anhidrida asetat tidak mengandung air dan lebih mudah
menyerap air, sehingga air yang dapat menghidrolisis aspirin menjadi asam
salisilat dan asam asetat dapat dihindari. Kemudian ditambahkan asam sulfat
pekat sebanyak 5 tetes. Penambahan H2SO4 pekat berfungsi sebagai katalis dan
zat penghidrasi. Asam sulfat menghidrasi asam asetat hasil samping dari
pembuatan aspirin yang mengakibatkan asam asetat kehilangan air dan terjadi
reaksi pembentukan asam asetat anhidrida. Anhidrida asetat akan kembali
bereaksi dengan asam salisilat membentuk aspirin dan asam asetat. Hal ini terjadi
berulang-ulang dan reaksi akan berhenti setelah asam salisilat habis bereaksi
dengan asam sulfat pekat.
O O
C-OH C-OH
O O H+- HSO4-
O O
OH + CH3-C-O-C-CH3
H2O O-C-CH3 + CH3-C-OH
Asam anhidrida asetat asam asetil salisilat asam
salisilat (aspirin) asetat

Gambar 7.1. mekanisme reaksi pembuatan aspirin

Setelah itu labu erlenmeyer yang berisi campuran antara asam salisilat dan
anhidrida asam asetat dengan asam sulfat dimasukkan kedalam penangas air untuk
mempercepat tercapainya energi aktivasi sehingga kelarutan asam salisilat
meningkat dan pembentukan aspirin menjadi lebih cepat. Setelah itu labu
erlenmeyer dikeluarkan dari penangas dan ditambahkan 2 mL aquades yang
bertujuan untuk melarutkan asam salisilat sebagai bahan baku pembentukan
aspirin karena adanya ikatan hidrogen yang terbentuk antara gugus -OH dengan
air, sekaligus menghentikan reaksi karena air akan menghidrolisis anhidrida asam
asetat menjadi 2 molekul asam asetat. Ditambahkan lagi air dingin 50 mL dan
campuran didinginkan didalam gelas kimia berisi es. Pendinginan dalam dengan
es ini bertujuan untuk mempercepat pembentukan kristal karena ketika suhu
rendah, kelarutan aspirin akan menurun sehingga bergerak melambat dan pada
akhirnya terkumpul membentuk endapan melalui proses nukleasi dan
pertumbuhan partikel. Proses nukleasi dan pertumbuhan partikel terjadi ketika
anhidrida asetat menyerang H+Anhidrida asam asetat mengalami resonansi
anhidrida asam asetat menyerang gugus fenol dari asam salisilat H+ terlepas dari –
OH dan berikatan dengan atom O pada anhidrida asam asetat anhidrida asam
asetat terputus menjadi asam asetat dan asam asetilsalisilat (aspirin) H+ akan lepas
dari aspirin.
Kemudian untuk memisahkan kristal aspirin yang terbentuk dengan
dengan campuran yang lain, maka campuran tersebut disaring
menggunakan corong Buchner. Rendemen kristal yang diperoleh dari proses
kristalisasi adalah sebesar 92,39%. Kristal aspirin yang diperoleh belum benar-
benar murni. Oleh karena itu kristal aspirin dilakukan rekristalisasi yang bertujuan
untuk memperoleh kristal yang lebih murni. Rekristalisasi dilakukan dengan cara
melarutkan kristal dengan 5 mL etanol dan 20 ml aquades lalu dipanaskan sampai
semua kristal larut sempurna. Penambahan etanol berfungsi sebagai pelarut karena
aspirin larut dalam etanol. Ketika kristal aspirin hasil kristalisasi larut dengan
mudah dalam etanol, maka kristal aspirin akan terpisah dengan air dan diperoleh
kristal yang lebih murni dengan jumlah zat pengotor yang diminimalisir.
Kemudian labu erlenmeyer didinginkan dalam gelas kimia berisi es sampai
larutan membentuk kristal. Setelah kristal terbentuk lalu disaring dengan corong
Buchner. Dari percobaan ini didapat rendemen sebesar 94,63%, hasil yang
diperoleh tidak murni. Hal ini disebabkan karena kurangnya penambahan H2SO4
sehingga tidak cukup untuk memprotonasi anhidrida asetat sehingga belum
semua asam salisilat terbentuk menjadi asam asetil salisilat maka dari itu kristal
asam astil salisilat atau aspirin yang terbentuk sedikit.
7.2. Uji reaksi pengkompleksan dengan FeCl3
Uji ini digunakan untuk menguji kemurnian kristal aspirin hasil sintesis.
Sebelum ditambahkan FeCl3, terlebih dahulu ditambahkan aquades yang
bertujuan untuk melarutkan sampel. Namun sampel tidak larut ke dalam aquades,
hal ini karena asam salisilat dan aspirin kurang larut dalam volume air yang kecil.
Setelah itu ditambahkan FeCl3 kedalam campuran untuk diuji.
Asam salisilat membentuk kompleks berwarna ungu dengan penambahan
FeCl3. Karena asam salisilat mengandung gugus fenol sehingga terjadi reaksi
substitusi antara ion H+ dari gugus fenol dengan ion Fe3+ dari FeCl3 membentuk
kompleks FeO yang berikatan pada cincin benzen yang dapat mengubah warna
larutan dari tidak berwarna menjadi warna ungu.
Sedangkan aspirin komersial dan aspirin hasil sinsesis ketika ditambah
FeCl3 berwarna kuning kecoklatan. Hal ini menunjukan aspirin komersial
mengandung tidak mengandung asam salisilat, warna coklat yang terjadi karena
struktur aspirin tidak memiliki gugus OH dari fenol.
7.3. Uji titik leleh asam salisilat dan aspirin
Menentukan titik leleh suatu kristal merupakan cara yang di gunakan
untuk menguji kemurnian suatu senyawa. Kristal aspirin diuji kemurniannya
dengan trayek titik leleh menggunakan melting block. Suatu zat padat memiliki
molekul-molekul dalam bentuk kisi yang teratur dan diikat oleh gaya-gaya
gravitasi dan elekrostatik. Ketika zat padas mengalami proses pemanasan maka
energi kinetik dari molekul-molekul zat padat akan meningkat. Hal ini yang
menyebabkan molekul-molekul bergetar sehingga pada suhu tertentu ikatan-
ikatan molekul tersebut akan lepas, maka terjadilah proses meleleh pada zat padat.
Semakin dekat trayek titik leleh yang diperoleh dengan literatur artinya
kristal yang diperoleh akan semakin murni. Hasil yang diperoleh dari praktikum,
titik leleh asam salisilat adalah 157°C. Berdasarkan literatur, titik leleh asam
salisilat adalah 157oC-159oC (Farmakope, 1995). Hal ini dikatakan murni karena
trayek hasil percobaan tidak jauh dengan trayek dalam literatur.
Sedangkan untuk aspirin diperoleh titik lelehnya adalah 135°C.
Berdasarkan literatur, titik leleh asam salisilat adalah 136oC (Farmakope, 1995).
Berarti hasil sintesis aspirin yang diperoleh tidaklah murni. Hal ini bisa terjadi
karena kesalahan dalam membaca skala termometer dan masih adanya zat
pengotor pada kristal akibat sehingga titik leleh menjadi lebih rendah. Zat
pengotor berupa kristal asam salisilat dapat menyebabkan ikatan-ikatan pada
struktur aspirin melemah sehingga mudah diputus. Hal ini menyebabkan titik
leleh lebih rendah. Selain itu karena kesalahan praktikan dalam membaca
termometer saat mengamati kapan kristal pertama kali meleleh dan meleleh
seluruhnya dan pada saat pengisian pipa kapiler pada melting block. Kristal yang
diperlukan untuk mengisi pipa kapiler adalah sekitar 0,5 cm tinggi pipa kapiler
tersebut. Jadi kristal yang terlalu banyak dan terlalu sedikit membuat perbedaan
titik leleh tersebut.
7.4. Analisis kandungan aspirin dalam tablet komersial
Analisis dengan metode ttrasi asam basa ini digunakan untuk mengetahui
kadar aspirin dalam suatu tablet aspirin. Sebelum dilakukan titrasi tablet
dihancurkan dan ditambahkan etanol yang berfungsi untuk melarutkan aspirin
yang terkandung didalam tablet (kelarutan aspirin dalam etanol lebih baik dari
pada kelarutan aspirin dalam air). Buret yang akan diisi dengan pentiter (NaOH)
dibilas terlebih dahulu dengan NaOH juga untuk menghindari tidak ada
kontaminasi dari senyawa lain sehingga kadar yang didapat akan lebih akurat.
Titrasi ini merupakan titrasi asam basa dengan peniternya adalah NaOH 0,1 M
karena senyawa yang akan dianalisis aspirin yang bersifat asam dan indikatornya
adalah fenolftalein. Fenolftalein tidak dapat larut dalam air tapi dapat larut dalam
etanol, sehingga penambahan fenolftalein di lakukan setelah melarutkan asam
salisilat dengan etanol dan sebelum penambahan air. Proses titrasi dilakukan
hingga tercapai titik akhir titrasi yang ditandai dengan perubahan warna pada
indikator menjadi warna merah muda. Titik akhir titrasi ini terjadi ketika jumlah
mol NaOH melebihi jumlah mol aspirin. Karena fenolftalein bekerja pada suasana
basa yaitu pada rentang pH 8,3-10 (Brady, 1999) sehingga ketika jumlah basa
(NaOH) dalam larutan berlebih terjadilah perubahan warna menjadi merah muda.
Proses titrasi dilakukan duplo agar mendapatkan hasil yang presisi.
Dalam percobaan ini kadar aspirin dalam tablet aspirin komersial
diperoleh sebesar 0,1962 gram dengan remdemen sebesar 61,31 %. Sedangkan
secara teoritis kadar aspirin dalam tablet 100 mg 0,32 gram dengan rendemen
sebesar 62,5%. Hasil yang diperoleh kurang dari kadar teoritis, ketidaksesuaian
ini disebabkan tablet yang telah digerus, pada saat titrasi pembacaan skala buret
kurang teliti. Kandungan aspirin dalam tablet komersial secara teoritis tidak 100%
karena komposisi tablet tidak hanya zat aktif melainkan ada juga zat tambahan
seperti pengisi, pengikat, dan pemecah.
VIII. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Aspirin dapat disintesis dari asam salisilat dan anhidrida asetat dengan
katalis asam melalui metode esterifikasi.
2. Aspirin hasil sintesis dapat dimurnikan melalui metode rekristalisasi
dengan hasil rendemen sebanyak %, sehingga hasil yang diperoleh tidak
murni karena kurang dari 100%
3. Aspirin hasil sintesis dapat diidentifikasi melalui reaksi pengkompleksan
FeCl3 dengan perubahan warna menjadi coklat.
4. Kemurnian aspirin hasil sintesis dapat diidentidikasi melalui uji titik leleh
dengan hasil titik leleh 135oC, sehingga hasil yang diperoleh memdekati
titik leleh aspirin menurut Farmakope Indonesia III yaitu 136oC.
5. Aspirin komersial dapat dianalisis melalui tirasi asam basa dengan kadar
sebesar %, sehingga hasil yang diperoleh mendekati kadar aspirin teoritis
yaitu 62,2%.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, (1995), Kimia Organik, Erlangga, Jakarta.

Arsyad, M. Natsir, (2001), Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah, Gramedia,
Jakarta.

Austin, Gorge, (1984), Shereve’s Chemical Process Industries, Mc Graw Hill,


New York.

Baysinger, Grace et all, (2004), Handbook Of Chemistry And Physics, CRC press,
New Jersey.

Brady, James, (1999), Kimia Universitas Asas Dan Struktur, Binarupa Aksara,
jakarta.

Borer L,L, and Barr, E, (2000), Experiments With Aspirin, Engelwood Cliffs, New
Jersey,

Chang, Raymond, (2004), Kimia Dasar dan konsep Inti Edisi4, Erlangga, Jakarta.

Cotton, F, Albert, dan Wilkinson, Geoffrey, (1989). Kimia Anorganik Dasar, UI


press, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (1979), Farmakope Indonesia Edisi


III, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.

Donald, M, dan Skoog, D,A, (1980), Principles Of Instrumental Analysis Second


Edition, Saunders college, USA.

Ebel, S, (1992), Obat Sintetik Edisi V, ITB press, Bandung.

Fieser, Louis, (1979), Organic Experiment, O.C. Heath and company, Toronto.

Ganiswara, S, (1995), Farmakologi Dan Terapi, Gaya Baru, Jakarta.

Griffin, J,R, Rodger, W, (1969), Modern Organic Chemistry, Mc Graw-Hill inc,


New York.

Handojo, L, (1995), Teknologi Kimia, Pradnya Paramita, Jakarta.

Hart, dkk, (2003), Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat Edisi Kesebelas,
Erlangga, Jakarta.

Ho, T,S, (1977), Hard And Soft Acid And Base In Organic Chemistry, Academic
press, New York.
Holtzclaw, H,F, dan Robinson, W,R, (1988), Collage Chemistry With Qualitative
Analysis Eight Edition, Dc Heath and Company, USA.

Keenan, Charles W.,dkk., (1992), Kimia Untuk Universitas Jilid 2, Erlangga.


Jakarta.

Lee, D,J, (1994), Consice In Organic Chemistry 4th Edition, Chapman and Hall,
London

March, J, (1985), Advanced Organic Chemistry : Reactions, Mechanisms, And


Structure, Mc Graw-Hill, New York.

Morrison, R,T, dan Boyd, R,N, (1992), Organic Chemistry, Prentice Hal inc, New
york.

Murry, J, (2008), Organic Chemistry 7th Edition. Graphic World inc, New york.

Oxtoby, David W, (2001), Kimia Modern, Erlangga, Jakarta.

Petrucci, H, Ralph, (1987), Kimia Dasar Prinsip Dan Terapan Modern, Erlangga,
Jakarta.

Ralp J, Fessenden, Joan S, Fessenden, (1990), Kimia Organik 3rd Edition,


Erlangga, Jakarta.

Riswiyanto, (2009), Kimia organik, Erlangga, Jakarta.

Riswiyanto, (2009), Kimia organik, Erlangga, Jakarta.

Sastrohamidjojo, (2009), Sintesis Senyawa Organik, Erlangga, Jakarta.

Solomon, Graham T,W, dan Craig, Fryhle, (2001), Organic Chemistry, John
Willey & Sons inc, New York.

Svehla, (1979), Buku Ajar Vogel: Analisis Anorganik Kuantitatif Makro dan
Semimikro, PT Kalman Media Pusaka, Jakarta.

Underwood, A,L, dan Day R, A, (2001), Analisis Kimia Kualitatif, Edisi


Keenam, Erlangga, Jakarta.

Wahyudi, dkk, (2003), Kimia Organik II. UM press, Malang.

Wilbraham, Anthony, C, (1992), Kimia Organik Dan Hayati, ITB, Bandung.


Wilcox Jr., C. F., and Wilcox, M. F., (1995), Experimental Organic Chemistry, a
small scale approach second edition, Prentice Hall Englewood Cliffts,
New Jersey.

You might also like