You are on page 1of 27

1

A. Latar Belakang Masalah Penelitian


Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di kalangan
masyarakat, baik dalam cakupan yang sempit maupun luas dan sedikitnya
mengakibatkan luka bakar derajat dua. Penanganan luka bakar yang cepat
dan tepat, tidak akan menimbulkan dampak berbahaya bagi tubuh. Akan
tetapi, jika luka bakar tidak ditangani sesegera mungkin, maka akan
menyebabkan berbagai komplikasi yang berbentuk fisik, luka bakar juga
dapat menyebabkan distress emotional (trauma) dan psikologis yang berat
karena cacat akibat luka bakar dan bekas luka (scar). Luka bakar yang luas
memengaruhi metabolisme dan fungsi setiap sel tubuh, semua sistem dapat
terganggu, terutama sistem kardiovaskuler. Luka bakar dibedakan atas luka
bakar derajat pertama, derajat kedua, dan derajat ketiga. Pada derajat dua,
dibedakan atas derajat dua superfisial dan derajat dua dalam. Luka bakar
derajat satu hanya mengenai epidermis yang disertai eritema dan nyeri.
Luka bakar derajat kedua superfisial meluas ke epidermis dan sebagian
lapisan dermis yang disertai lepuh dan sangat nyeri. Luka bakar derajat
kedua dalam meluas ke seluruh dermis. Luka bakar derajat ketiga meluas ke
epidermis, dermis, dan jaringan subkutis, seringkali kapiler dan vena hangus
dan darah ke jaringan tersebut berkurang (Corwin, 2000).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2016,
secara global, trauma luka bakar termasuk kedalam peringkat ke 15
penyebab utama kematian pada anak-anak dan dewasa muda yang berusia
5-29 tahun. Menurut WHO (2016), angka mortalitas akibat trauma luka
bakar sekitar 265.000 jiwa pertahun. Lebih dari 95% trauma luka bakar yang
serius terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Asia
Tenggara merupakan wilayah penyumbang terbesar kasus luka bakar di
dunia dengan angka kematian tertinggi adalah perempuan dan anak-anak
dibawah usia 5 tahun serta orang tua yang berusia lebih dari 70 tahun. Di
Indonesia sendiri belum ada data statistik yang menunjukkan jumlah
insidensi luka bakar secara nasional, namun data yang diperoleh dari unit
luka bakar RSUD Kabupaten Buleleng menunjukkan jumlah kejadian luka
bakar sebanyak 143 kasus pada tahun 2013-2017 Presentase kejadian luka
2

bakar didominasi oleh luka bakar derajat dua (deep partial-thickness) yaitu
sebesar 75%, luka bakar derajat satu (superficial partial-thickness)
sebanyak 22%, dan sisanya sebanyak 3% adalah luka bakar derajat tiga
(full-thickness) (Rekam medis RSUD Kabupaten Buleleng 2013 s.d. 2017).
Kerusakan jaringan yang ditimbulkan oleh luka bakar akan diikuti oleh
proses penyembuhan yang relatif cukup lama. Proses penyembuhan luka
diawali dengan proses peradangan yaitu mekanisme pertahanan tubuh
akibat adanya respon jaringan terhadap pengaruh merusak yang bersifat
lokal atau yang masuk ke dalam tubuh. Fase proliferasi merupakan salah
satu tahap penting pada penyembuhan luka dan terjadi setelah fase
inflamasi. Fase ini akan cepat terjadi apabila tidak ada infeksi dan
kontaminasi pada fase inflamasi. Fase setelah proliferasi adalah adalah fase
remodeling. Komponen utama dalam proses penyembuhan luka dalah
kolagen disamping sel epitel (Nanda, dkk, 2017). Banyak faktor yang
memengaruhi proses penyembuhan luka bakar, yaitu: usia, stress, status
metabolik, nutrisi, dan oksigen (Guo dan DiPietro, 2010).
Penderita luka bakar memerlukan pengobatan langsung untuk
mengembalikan fungsi kulit normal. Salah satu terapi luka bakar saat ini
adalah dengan mengoleskan hidrogel sebagai obat topikal. Hidrogel efektif
digunakan untuk luka bakar, khususnya derajat dua. Kandungan dalam
hidrogel dapat memberikan efek pendingin dan kelembaban pada sat luka
fase proliferasi. Jaringan luka yang kehilangan protein akan digantikan oleh
gliserin (Erizal, 2008). Pengobatan tradisional menggunakan tanaman telah
berkembang diantara pengobatan modern saat ini karena besarnya potensi
kesembuhan dan beban keuangan yang lebih ringan. Salah satu tanaman
yang memiliki khasiat dalam mengobati luka bakar derajat dua adalah
ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels).
Flavonoid, saponin, dan tanin merupakan senyawa yang berperan dalam
proses penyembuhan luka. Saponin dapat membantu dalam proses
pembentukkan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan.
Flavonoid dapat meningkatkan pembentukkan kekuatan dari serat kolagen
yang diperlukan dalam penyembuhan luka karena memiliki sifat
3

farmakologi sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan. Pernyataan


tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2013),
yang menyatakan bahwa senyawa tanin dan flavonoid berperan sebagai
antibakteri sedangkan saponin dapat memacu pembentukan kolagen.
Antiinflamasi yang terdapat pada ceremai dapat mengurangi proses
inflamasi pada luka bakar yang terus berjalan. Pratiwi, dkk., (2013)
melaporkan bahwa uji fitokimia ekstrak daun ceremai (Phyllanthus acidus
(L.) Skeels) mengandung senyawa flavonoid, tanin, dan saponin. Pendapat
ini juga didukung oleh hasil penelitian dari Afifah, dkk., (2013) bahwa
simplisia daun ceremai mengandung flavonoid, kuinon, polifenol, saponin,
dan terpenoid. Bagian dari ceremai yang digunakan dalam penelitian ini
adalah daunnya. Kategori daun yang digunakan adalah tidak terlalu muda
dan tidak terlalu tua serta posisi daun keempat atau kelima dari posisi pucuk.
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih
(Mus musculus) jantan galur Wistar. Banyak keunggulan yang dimiliki oleh
mencit sebagai hewan percobaan, yaitu memiliki kesamaan fisiologis
dengan manusia, siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per
kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam
penanganan. Pemilihan jenis kelamin jantan dikarenakan sistem imun pada
mencit jantan cenderung tidak dipengaruhi oleh hormon reproduksi.
Berdasarkan urain tersebut, perlu diteliti cepatnya proses penyembuhan
luka bakar pada mencit putih (Mus musculus) setelah diberikan ekstrak daun
ceremai. Kecepatan proses penyembuhan luka dapat digunakan sebagai
indikator yang membuktikan bahwa ekstrak daun ceremai efektif sebagai
obat luka bakar.
B. Identifikasi Masalah Penelitian
1. Luka bakar merupakan kerusakan pada jaringan akibat panas atau
radiasi, listrik, sentuhan atau kontak dengan bahan kimia serta sering
terjadi di kalangan masyarakat.
2. Tingkatan dan luas luka bakar memengaruhi metabolisme dan fungsi
setiap sel tubuh.
4

3. Komplikasi luka bakar dapat timbul apabila tidak mendapatkan


perawatan yang layak..
4. Daun ceremai memiliki kandungan senyawa flavonoid, tanin, dan
saponin serta sifat antiinflamasi sehingga dapat digunakan sebagai obat
luka bakar.
C. Pembatasan Masalah
1. Penelitian ini terbatas pada ekstrak yang digunakan, yaitu ekstrak daun
ceremai.
2. Penelitian ini terbatas pada pengamatan makroskopis luka bakar pada
mencit putih (Mus musculus) jantan galur Wistar.
3. Penelitian ini terbatas pada kesembuhan luka bakar pada mencit putih
(Mus musculus) jantan galur Wistar.
D. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas adapun beberapa rumusan
masalah yang dapat dikaji sebagai berikut:
1. Apakah pemberian ekstrak daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.)
Skeels) dapat mempercepat waktu penyembuhan luka bakar pada
mencit putih (Mus musculus) jantan?.
2. Pada konsentrasi berapakah ekstrak daun ceremai (Phyllanthus acidus
(L.) Skeels) yang paling efektif dalam mempercepat penyembuhan luka
bakar pada mencit (Mus musculus) jantan?.
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pemberian ekstrak daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.)
Skeels) dapat mempercepat waktu penyembuhan luka bakar pada
mencit putih (Mus musculus) jantan.
2. Mengetahui konsentrasi berapakah ekstrak daun ceremai (Phyllanthus
acidus (L.) Skeels) yang paling efektif dalam mempercepat
penyembuhan luka bakar pada mencit (Mus musculus) jantan.
F. Manfaat Hasil Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut.
5

Manfaat Teoritis
1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah dan
memperdalam wawasan mahasiswa mengenai proses penyembuhan
luka bakar yang diberikan ekstrak daun ceremai.
2. Dapat dijadikan acuan bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi
FMIPA Undiksha lain yang ingin mengembangkan penelitian ini
dengan menggunakan variabel bebas yang berbeda.

Manfaat Praktis
1. Bagi instansi tertentu penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam
melakukan penelitian selanjutnya.
2. Bagi masyarakat hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai contoh
implementasi penggunaan ekstrak daun ceremai untuk mempercepat
proses penyembuhan pada hewan peliharaan khususnya mamalia.

G. Kajian Teori
a. Ceremai (Phyllanthus acidus)
Ceremai berasal dari India dan merupakan salah satu tumbuhan yang
ada di Indonesia serta memiliki beberapa sebutan yang berbeda
diberbagai daerah, antara lain ceremoi (Aceh), cerme (batak), camin-
camin (Minangkabau), carmen (Bali), caramel (Makassar), ceremin
(Ternate), chermai (Malaysia), kamay (Filiphine), mayom (Thailand)
dan lain-lain (Hasan, dkk., 2016). Tumbuhan ceremai banyak tumbuh
liar di hutan-hutan, pekarangan, bahkan di pinggir jalan. Ceremai
termasuk dalam kategori pohon karena memiliki tinggi ± 10 m.
Morfologi dari tumbuhan ini meliputi batang tegak, silindris, berkayu,
bagian dalam solid, kulit tebal, mudah patah, kasar, percabangan
monopodial, dan berwarna coklat tua. Daun berupa daun majemuk,
lonjong, tersusun berseling, panjang 5-6 cm, lebar 2-3 cm, tepi rata,
ujung runcing, pangkal tumpul (obtusus), pertualangan menyirip
(pinnate), tidak memiliki daun penumpu, permukaan halus, tangkai
silindris, panjang ± 2 cm, dan berwarna hijau tua. Bila tangkai gugur
akan meninggalkan bekas yang nyata pada cabang. Perbungaan berupa
6

tandan yang panjang 1,5 cm hingga 12 cm, keluar di sepanjang cabang,


kelopak bentuk bintang, mahkota merah muda. Terdapat bunga betina
dan jantan dalam satu tandan. Buahnya buah batu, bentuknya bulat
pipih, berlekuk 6 cm hingga 8 cm, panjang 1,25 cm hingga 1,5 cm, lebar
1,75 cm hingga 2,5 cm, berwarna kuning muda, rasanya asam. Biji bulat
pipih berwarna coklat muda, berbiji 4 hingga 6. Akarnya berupa akar
tunggang dan berwarna coklat muda (Dalimartha, 2008).
Ceremai tidak memerlukan syarat khusus untuk tumbuh. Pohon ini
tumbuh di daerah tropik, subtropik, dan tumbuh subur pada tempat yang
lembab hingga ketinggian sekitar 1.000 mdpl. Menanam ceremai dapat
dilakukan dengan cara tempelan atau dengan bijinya, selain itu dapat
dengan cara dicangkok. Ceremai berbuah pada musim hujan. Pohon
ceremai mulai berbunga pada musim kemarau, sekitar bula Juli dan
Agustus. Buahnya masak sekitar bulan September sampai Oktober.
Adapun klasifikasi dari tanaman sereh menurut ITIS Report (2017)
adalah sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Division : Tracheophyta
Subdivision : Spermatophytina
Class : Monocotyledoneae (Tumbuhan berkeping satu)
Order : Malphigiales
Family : Phyllanthaceae
Genus : Phyllanthus
Spesies : Phyllanthus acidus (L.) Skeels
7

Gambar 1. Tumbuhan Ceremai


(Sumber: www.google.com)

b. Kandungan Ceremai
Daun, kulit batang, dan kayu ceremai mengandung saponin, tanin,
flavonoid dan polifenol. Senyawa tersebut dapat merusak permeabilitas
membran sel, koagulator protein, menghambat kerja enzim, dan
menghambat proses pencernaan protein (Pratiwi, dkk., 2013). Saponin
memiliki kemampuan sebagai pembersih sehingga efektif untuk
menyembuhkan luka terbuka, sedangkan tanin dapat digunakan sebagai
pencegahan terhadap infeksi luka karena mempunyai daya antiseptik
dan obat luka bakar. Flavonoid mempunyai aktivitas sebagai antiseptik.
Senyawa flavonoid juga memiliki antiinflamasi yang berfungsi sebagai
antiradang dan mampu mencegah kekauan dan nyeri (Anggraini, dkk.,
2011).

Gambar 2. Senyawa Flavonoid


(Sumber: www.google.com)

c. Mencit Putih (Mus musculus)


Mencit (Mus musculus) merupakan hewan mamalia hasil
8

domestikasi dari mencit liar yang paling umum digunakan sebagai


hewan percobaan pada laboratorium, yaitu sekitar 40%-80%. Banyak
keunggulan yang dimiliki oleh mencit sebagai hewan percobaan, yaitu
memiliki kesamaan fisiologis dengan manusia, siklus hidup yang relatif
pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi
dan mudah dalam penanganan (Moriwaki et al., 1994). Mencit
merupakan hewan poliestrus, yaitu hewan yang mengalami estrus lebih
dari dua kali dalam setahun. Seekor mencit betina akan mengalami
estrus setiap 4-5 hari sekali. Pada mencit betina memiliki lima pasang
kelenjar susu, yaitu tiga pasang di bagian dada dan dua pasang di bagian
inguinal. Mencit (Mus musculus) merupakan omnivora alami, sehat,
kuat, prolifik, kecil, dan jinak. Mencit laboratorium memiliki berat
badan yang bervariasi antara 18-20 g pada umur empat minggu. Mencit
memiliki rambut yang pendek halus dan berwarna putih serta ekor
berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang dari badan dan
kepalanya. Mencit sebagai hewan percobaan sangat praktis untuk
penelitian kuantitatif, karena sifatnya yang mudah berkembang biak,
selain itu mencit juga dapat digunakan sebagai hewan model untuk
mempelajari seleksi terhadap sifat-sifat kuantitatif. Hewan ini dapat
bertahan hidup tanpa makan dan minum dengan jangka waktu yang
cukup panjang serta merupakan hewan omnivora. Setiap 24 jam mencit
dewasa dapat menghasilkan feses sebanyak 80 butir (Fox, dkk., 2007).
Mencit memiliki sifat biologis yakni tidak dapat memuntahkan
makanan yang diberikan karena susuna anatomi esophagus yang
menyatu di abdomen. Berikut merupakan sifat biologis mencit.
9

Sifat Biologis Mencit

Sumber: Somala (2006)


Penggunaan mencit jantan pada penelitian ini dikarenakan sistem
imun pada mencit jantan cenderung tidak dipengaruhi oleh hormon
reproduksi. Hal ini juga didukung oleh pendapat dari Sugiyanto (1995)
yang menyatakan bahwa kadar hormon estrogen pada mencit jantan
relatif rendah dibandingkan mencit betina dan adanya stress akut dapat
menyebabkan penurunan kadar estrogen pada mencit betina yang
berefek imunostimulasi.
Adapun klasifikasi dari mencit putih menurut ITIS Report (2017)
adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mamalia
Order : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
10

Gambar 3. Mencit Putih


(Sumber: www.bat-rodents.eu)

d. Tingkatan Luka Bakar


Menurut Moenadjat (2016), luka bakar dapat digolongkan sebagai
luka bakar derajat pertama, derajat kedua, dan derajat ketiga.
1. Luka bakar derajat pertama terbatas di epidermis, terdapat eritema
dan nyeri, tetapi tidak segera timbul lepuh. Penyembuhan terjadi
secara spontan dalam 3-4 hari. Biasanya tidak timbul komplikasi.
2. Luka bakar derajat kedua superfisial meluas ke epidermis dan ke
dalam lapisan dermis. Luka bakar ini sangat nyeri dan menimbulkan
lepuh dalam beberapa menit. Biasanya sembuh tanpa meninggalkan
jaringan parut. Penyembuhan biasanya memerlukan waktu sebulan.
Komplikasi jarang terjadi, walaupun mungkin timbul infeksi
sekunder pada luka.
3. Luka bakar derajat kedua dalam meluas ke seluruh dermis. Folikel
rambut mungkin utuh dan akan tumbuh kembali. Luka bakar jenis
ini hanya sensitif parsial terhadap nyeri karena luasnya mendestruksi
saraf-saraf sensorik. Namun, daerah disekitarnya biasanya
mengalami luka bakar derajat kedua superfisial yang nyeri. Pada
luka bakar jenis ini penyembuhannya memerlukan waktu beberapa
minggu dan pembersihan (debridement) secara bedah untuk
membuang jaringan yang mati. Biasanya diperlukan tandur kulit.
Pada luka bakar ini selalu terjadi jaringan parut.
4. Luka bakar derajat ketiga meluas ke epidermis, dermis dan jaringan
subkutis. Memungkinkan kapiler dan vena hangus sehingga
menyebabkan aliran darah ke daerah tersebut berkurang. Saraf rusak
sehingga luka tidak terasa nyeri. Namun, daerah di sekitarnya
11

biasanya memperlihatkan nyeri seperti pada luka bakar derajat


kedua. Luka bakar jenis ini mungkin memerlukan waktu berbulan-
bulan untuk sembuh dan diperlukan pembersihan secara bedah dan
penanduran. Luka bakar derajat ketiga membentuk jaringan parut
dan jaringan tampak seperti kulit yang keras.
e. Proses Penyembuhan Luka
1. Tahap Inflamasi
Fase Inflamasi terjadi pada hari 0-5. Pada awalnya darah
akan mengisi jaringan yang cedera dan terpaparnya darah terhadap
kolagen akan mengakibatkan terjadinya degranulasi trombosit dan
pengaktifan faktor Hageman. Hal ini kemudian memicu sistem
biologis lain seperti pengaktifan komplemen kinin, kaskade
pembekuan dan pembentukkan plasmin. Pembentukkan kinin dan
prostaglandin menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas dari pembuluh darah di daerah luka. Inilah yang
menyebabkan pembengkakkan dan nyeri pada awal terjadinya
luka. Sel yang kali pertama menuju ke tempat terjadinya luka
adalah poli morfo nuklear (PMN) diikuti dengan makrofag dan
limfosit T. Pada 24-48 jam jumlah dari sel PMN meningkat sangat
cepat dan berfungsi sebagai fagositosis mikroorganisme yang
masuk. PMN akan berumur pendek dan mengalami penurunan
jumlah dengan cepat jika tidak terjadi infeksi. Makrofag dan
limfosit T memiliki fungsi yang sama dengan sel PMN. Pada
makrofag akan melepaskan zat biologis, yang nantinya akan
mempermudah pembentukkan sel inflamasi tambahan. Selain zat
biologis, makrofag juga melepas faktor pertumbuhan dan substansi
lain yang mengawali dan mempercepat pembentukkan formasi
jaringan granulasi (Mercandetti, 2002).
2. Tahap Proliferasi
Fase proliferasi adalah fase yang dimulai pada hari ke 4-20
pasca luka bakar (Suriadi, 2004). Fase ini baru akan dimulai ketika
luka berhasil dibersihkan dari jaringan mati dan sisa material yang
12

tidak berguna. Proliferasi ditandai dengan pembentukkan jaringan


granulasi pada luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari
elemen seluler termasuk fibroblast dan sel inflamasi. Fibroblast
muncul pertama kali secara bermakna pada hari ketiga dan
mencapai puncak pada hari ketujuh.
Tahapan dari fase ini meliputi epitalisasi, fibroplasia,
kontraksi, dan angiogenesis. Pada tahap epitalisasi, terjadi
perubahan morfologi keratinosit pada tepi luka. Pada bagian kulit
yang terluka epidermal mulai menebal dan sel-sel basal marginal
melebar serta bermigrasi memenuhi defek luka. Satu kali sel
bermigrasi sel tersebut tidak akan berbelah hingga kontinuitas
epidermal diperbaiki. Sel-sel basal yang telah diperbaiki pada area
dekat luka terus membelah, dan sel-sel yang dihasilkan merata
serta bermigrasi ke seluruh matriks luka membentuk suatu
lembaran. Tahap fibroplasia, hasil proses penyembuhan luka pada
mamalia adalah pembentukkan jaringan parut. Morfologi jaringan
parut terbentuk akibat kurangnya susunan jaringan dibandingkan
susunan jaringan normal disekitarnya. Tak teraturnya deposisi
kolagen berperan dalam pembentukkan jaringann ini. Pada hari
ketiga pasca terjadinya luka mulai dihasilkan fibroblast dan
mensekresikan serat-serat kolagen. Tahap kontraksi, pada luka
terbuka, kulit disekitar luka mulai tertarik menutupi defek sebagai
proses kontraksi luka. Hal ini berkaitan dengan gerakan centripetal
kulit. Myofibroblast adalah sel yang bertanggung jawab pada
kontraksi luka. Myofibroblast merupakan sel mesenkim dengan
fungsi dan karakteristik struktur seperti fibroblast dan sel-sel otot
polos. Tahap angiogenesis, ditandai dengan migrasi sel endotel dan
pembentukkan kapiler darah. Sel-sel endotel bergabung menjadi
satu dan mengikat fibrin serta akan mensuport pembentukkan
pembuluh darah baru yang nantinya akan memberikan banyak
suplai darah pada luka dan juga faktor yang dibutuhkan untuk
penyembuhan luka.proses angiogenesis akan berhenti sesuai
13

dengan kebutuhan akan pembuluh darah baru. Pembuluh darah


baru yang tidak dibutuhkan akan hilang dengan sendirinya
(Richard, 2004).
3. Tahap Maturasi
Pada fase maturasi atau remodeling yaitu banyak terdapat
komponen matrik. Komponen hyaluronic acid, proteoglycan, dan
kolagen yang berdeposit selama perbaikan untuk memudahkan
perekatan pada migrasi seluler dan menyokong jaringan. Serabut-
serabut kolagen meningkat secara bertahap dan bertambah tebal
kemudian disokong oleh proteinase untuk perbaikan sepanjang
garis luka. Fibroblast merupakan penghasil utama kolagen yang
merupakan unsur utama pada matrik. Fibroblast menghasilkan
molekul prekolagen interseluler yang disebut tropocolagen pada
batas membran ribosom, membungkus procolagen kedalam vesikel
sekretorik di apparatus golgi, dan kemudian mengeluarkannya
menembus sel kedalam ruang ekstraseluler dimana kolagen yang
dihasilkan merupakan matrik yang paling dibutuhkan pada fase
remodeling (Mercandetti, 2002).
H. Hasil Penelitian yang Relevan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya yang dinilai relevan dengan penelitian inidapat diuraikan
kajiannya sebagai berikut.
1. Sumoza, dkk, (2014), melaporkan bahwa perbedaan konsentrasi gambir
memberikan pengaruh yang nyata (P <0,05) terhadap penyembuhan
luka bakar pada mencit putih jantan. Persentase penyembuhan luka
bakar (94,783%) dan diameter luka bakar (9,436 mm) yang efektif pada
penelitian (hari kedelapan) didapatkan pada konsentrasi 0,50%.
2. Burhanudin (2014) melaporkan bahwa gel ekstrak etanol daun ceremai
(Phyllantus acidus L.) terbukti dapat memberikan efek penyembuhan
luka bakar pada kelinci putih jantan. Pada gel ekstrak daun ceremai,
konsentrasi 15% b/b menunjukkan efek penyembuhan luka sebanding
dengan bioplacenton dengan nilai signifikansi (0,101 > 0,05).
14

3. Negara, dkk, (2014), melaporkan bahwa rata-rata peningkatan


ketebalan granulasi pada kelompok yang mendapat perlakuan ekstrak
daun sirih (Piper betle L.) 15 % sebesar 2,41µm, 30 % sebesar 2,47 µm,
dan 45 % sebesar 2,84 µm. Pada kelompok kontrol dengan normal
saline 0,9 %, rata-rata ketebalan granulasi sebesar 1,1 µm. Pemberian
ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) berpengaruh terhadap
peningkatan ketebalan jaringan granulasi pada perawatan luka bakar
derajat dua tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Wistar dengan
nilai signifikansi sebesar 0,04 (p <0,05).
4. Fitri (2015) melaporkan bahwa pemberian krim ekstrak batang dan
daun suruhan (Peperomia pellucida L.H.B.K) berpengaruh dalam
proses penyembuhan luka bakar derajat IIb pada tikus putih (Rattus
norvegicus).Terdapat perbedaan signifikan proses penyembuhan luka
bakar antara kontrol negatif dengan kelompok perlakuan krim ekstrak
batang dan daun suruhan begitu pula kontrol negatif dengan kontrol
positif. Kelompok perlakuan krim ekstrak batang dan daun suruhan
memiliki proses penyembuhan luka bakar yang lebih baik dan lebih
cepat dibandingkan kelompok kontrol negatif.
5. Balqis, dkk, (2014), melaporkan bahwa pada hari ke-21 pada P1
(akuabides) dan P3 (vaselin) masih ada infiltrasi sel radang, epitelisasi,
dan serabut kolagen tipis, pada P2 (daun kedondong + akuabides) lapisan
epidermis kulit sudah terbentuk, terdapat pembuluh darah baru dan serabut
kolagen terlihat lebih rapat, pada P4 (gerusan daun kedondong + vaselin) lebih
banyak terdapat pembuluh darah baru, lapisan epidermis terbentuk sempurna
dan serabut kolagen menyebar dengan rapat. Berdasarkan hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa gerusan daun kedondong dan vaselin kelompok P4)
mempercepat proses penyembuhan luka bakar pada tikus putih dibandingkan
perlakuan lainnya.

I. Kerangka Berpikir
Luka bakar merupakan suatu cedera serius yang mengakibatkan
kulit menjadi lepuh. Penanganan luka bakar yang tidak tepat dapat
mengakibatkan komplikasi yang berbentuk fisik, trauma, dan gangguan
15

psikologis. Penderita luka bakar memerlukan pengobatan langsung untuk


mengembalikan fungsi kulit normal. Terapi luka bakar yang berkembang
saat ini memerlukan biaya yang cukup banyak sehingga masyarakat
menengah ke bawah enggan untuk melakukan pengobatan. Salah alternatif
dalam menangani masalah ini adalah dengan pengobatan tradisional.
Pengobatan tradisional menggunakan tanaman telah berkembang diantara
pengobatan modern saat ini karena besarnya potensi kesembuhan dan beban
keuangan yang lebih ringan.
Ceremai merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki khasiat
dalam mengobati luka bakar. Bagian dari tumbuhan yang digunakan adalah
daunnya dikarenakan mengandung senyawa metabolit sekunder berupa
flavonoid, tanin, dan saponin. Proses pengolahan dari daun ceremai dalam
penelitian ini menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 96%
dan menguapkan etanol dengan rotatory evaporator. Konsentrasi yang
dibuat akan dilarutkan dengan aquades. Penggunaan ekstrak ceremai akan
diterapkan ke hewan coba yaitu mencit yang sudah teraklimatisasi dan
dibuatkan luka bakar pada bagian punggung. Diharapkan nantinya ekstrak
daun ceremai dapat mempercepat proses penyembuhan luka bakar.
Berdasarkan kerangka berpikir tersebut dapat dibuat bagan kerangka
berpikir sebagai berikut.
16

Gambar 4. Bagan Kerangka Berpikir


Keterangan:
: Diteliti
: tidak diteliti
J. Hipotesis Penelitian
Ekstrak daun ceremai dapat mempercepat proses penyembuhan luka
bakar pada mencit jantan galur Wistar.

K. Metode Penelitian
1) Rancangan Penelitian
Desain penelitian menggunakan The Randomized Post Test Only
Control Group Design. Kelompok dibagi menjadi lima yaitu kelompok
I (kelompok eksperimen dengan pemberian ekstrak daun ceremai 1%),
kelompok II (kelompok eksperimen dengan pemberian ekstrak daun
ceremai 3%), kelompok III (kelompok eksperimen dengan pemberian
ekstrak daun ceremai 5%), kelompok IV (kelompok eksperimen dengan
pemberian ekstrak daun ceremai 7%), kelompok V (kelompok kontrol).
Adapun bagan desain penelitiannya adalah sebagai berikut.
17

Gambar 5. Bagan Desain Penelitian


Keterangan:

P : Populasi
S : Sampel
Rs : Random sampling
Ra : Random alokasi
K : Kontrol
T1 : Perlakuan 1 dengan konsentrasi 1%
T2 : Perlakuan 2 dengan konsentrasi 3%
T3 : Perlakuan 3 dengan konsentrasi 5%
T4 : Perlakuan 4 dengan konsentrasi 7%
O1- : Observasi
O5

2) Subjek Penelitian/ Populasi dan Sampel


a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah mencit putih (Mus
musculus) jantan galur Wistar.
b. Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit
(Mus musculus ) jantan galur Wistar. Besar sampel yang digunakan
pada penelitian ini adalah mengacu pada rumus Federer (1963)
sebagai berikut.
18

Keterangan:
t : jumlah kelompok perlakuan
n : jumlah sampel tiap kelompok perlakuan

Berdasarakan hasil perhitungan, diperlukan sampel


sebanyak 25 sampel pada setiap kelompok. Memperhitungkan risiko
drop out maka jumlah sampel yang digunakan ditambah 10%,
sehingga menjadi 6 ekor mencit (Mus musculus) pada setiap
kelompok. Sehingga jumlah sampel yang digunakan dalam
penelitian adalah 30 ekor mencit (Mus musculus) jantan galur
Wistar, berumur 4-8 minggu dengan berat tubuh antara 25-30 gram.

3) Variabel dan Definisi Operasional Variabel Penelitian


Dalam penelitian ini hanya terdapat tiga variabel yaitu variabel
bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol.
1. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemberian
ekstrak daun ceremai dengan variasi konsentrasi (1%, 3%, 5%, dan
7%) pada luka bakar mencit putih (Mus musculus) jantan galur
Wistar.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat yang diamati dalam penelitian ini adalah
proses penyembuhan luka bakar mencit putih (Mus musculus) jantan
galur Wistar.
3. Variabel Kontrol
Variabel kontrol dalam penelitian ini yaitu umur mencit,
berat tubuh mencit, jenis kelamin mencit, makanan mencit (Mus
musculus), keadaan peralatan dan ketelitian alat yang digunakan
untuk menganalisis data.
19

Gambar 6. Hubungan antar Variabel

Definisi Operasional Variabel


1. Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati dan hewani dengan
pelarut yang sesuai. Ekstrak yang dimaksud dalam penelitian ini
yaitu ekstrak daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) dengan
variasi konsentrasi 1%, 3%, 5%, dan 7%.
2. Penyembuhan merupakan proses regenerasi sel-sel tubuh yang telah
rusak yang disebabkan oleh berbagai faktor. Dalam penelitian ini
penyembuhan yang dimaksud adalah penyembuhan luka bakar pada
mencit jantan galur Wistar yang diukur dengan metode Morton dan
persentase kesembuhan luka.
3. Luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan atau kehilangan
jaringan tubuh akibat adanya kontak dengan sumber yang memiliki
suhu sangat tinggi (misalnya api, air panas, bahan kimia, listrik dan
radiasi).

4) Metode dan Instrumen Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dengan cara percobaan di laboratoium.
Adapun prosedur penelitiannya sebagai berikut.
20

1) Tahap Persiapan
a. Membuat Ekstrak Daun Ceremai
Adapun tahapan pembuatan ekstrak daun ceremai yang
mengacu pada penelitian Oktiarni, dkk., (2012) adalah sebagai
berikut:
1) Membersihkan daun ceremai yang masih segar dengan air
mengalir sebanyak 2 kali lalu meniriskan pada nampan
yang beralaskan koran.
2) Menimbang dan menyortir daun ceremai sebanyak 1
kilogram.
3) Mengeringkan daun di tempat yang teduh tanpa terkena
sinar matahari langsung sampai daun tersebut benar-benar
kering. Ketika kering menggiling halus daun ceremai
dengan blender hingga menjadi serbuk.
4) Melarutkan 300 gram serbuk daun ceremai ke dalam etanol
sebanyak 1500 ml, dan di maserasi selama 5 hari. Hasil
maserasi disaring dengan kertas saring.
5) Filtrat yang di dapatkan, dipekatkan dengan menggunakan
rotatory evaporator dengan suhu 650C hingga didapatkan
ekstrak daun ceremai. Pembuatan ekstrak dengan
konsentrasi berbeda dapat dilakukan dengan cara
melarutkan ekstrak daun ceremai dalam labu ukur 50 ml
dan ditambahkan aquades sampai tanda batas.
b) Membuat Luka Bakar pada Mencit Putih Jantan
Adapun tahapan dalam pembuatan luka bakar pada mencit
menurut Handayani, dkk., (2017) adalah sebagai berikut.
1) Memodifikasi solder dengan menempelkan lempeng
stainless berukuran 1 × 1 cm berbentuk lingkaran
2) Menganestesi mencit menggunakan ketamin dengan dosis
0,02 mL per 20 gram bobot badan pada bagian otot
intramuscular (Vastus lateralis)
21

3) Mencukur rambut pada bagian punggung mencit


menggunakan silet
4) Menempelkan solder panas ke bagian punggung mencit
selama 2 detik sampai bagian dermis.
2) Tahap Pelaksanaan
Ekstrak daun ceremai yang telah dibuat selanjutnya
diberikan kepada hewan coba mencit putih (Mus musculus) jantan
galur wistar yang berumur 4-8 minggu dengan berat 25-30 gram
dengan cara dioleskan di bagian luka.
3) Tahap Observasi
a. Pengamatan Luka Bakar Selama 14 Hari
Pengamatan proses peneymbuhan luka bakar dilakukan
sehari setelah hewan uji diberi perlakuan, pengamatan
dilakukan selama 14 hari berturut-turut dengan mengamati
secara makroskopik perkembangan penyembuhan luka pada
punggung mencit dan pengukuran luas luka dengan jangka
sorong berskala 0,01 cm.
 Pengukuran Luas Luka Bakar
Menurut Persada, dkk., (2009), diameter luka bakar
rata-rata dapat dihitung dengan menggunakan metode
Morton yakni sebagai berikut.

dx (1)

dx (4) dx (2)

dx (3)
Gambar 7. Bagan Teknik Pengukuran Luka Bakar
22

Diameter yang diperoleh dihitung reratanya dengan rumus


sebagai berikut.

Keterangan:
𝑑𝑥 : diameter luka hari ke 𝑥
 Persentase Penyembuhan Luka Bakar
Perhitungan persentase penyembuhan luka bakar
dilakukan dengan rumus sebagai berikut.

Keterangan:
L1 = Luas luka bakar hari pertama
Ln = Luas luka bakar hari ke-n

Instrumen Pengumpulan Data


1. Alat
No Nama Alat Spesifikasi Fungsi
1 Solder Deko 93 (Korea), Membuat luka
tegangan 220 Volt bakar pada mencit
s.d. 240 Volt.
2 Jangka sorong Camlab Ltd Mengukur
(Inggris), ketelitian diameter luka
0,1 mm. bakar pada mencit
selama proses
penelitian.
3 Neraca elektrik AE ADAM tipe CGK Mengukur berat
4 (Jerman), ketelitian tubuh mencit
0 s.d. 4000 gram selama proses
penelitian
4 Thermo- Corona (Korea) Mengukur suhu
Hygrometer dan kelembaban
ruang penelitian.
23

5 Jarum Suntik One Med Menginjeksikan


(Indonesia), ketamin pada
kapasitas 1 ml. mencit sebelum
pemberian luka.
6 Pisau Cukur Gillette Goal (Cina) Mencukur rambut
mencit pada
bagian punggung.
7 Blender Philips HR-2116 Menghancurkan
(Amerika) daun ceremai
hingga menjadi
serbuk.
8 Labu ukur IWAKI (Indonesi), Tempat menaruh
50 ml ekstrak daun
ceremai.
9 Rotatory Eyela, N-1110S-WD Menguapkan
evavorator etanol yang
terdapat pada
ekstrak.
10 Shaker BOECO Orbital Mengaduk ekstrak
Shaker PSU 15i daun ceremai
selama proses
maserasi.

2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels), kertas
saring, koran, mencit putih (Mus musculus) jantan galur Wistar,
etanol 96% (pelarut), Ketamin, aquades, dan alkohol 70%.

5) Metode dan Teknik Analisis Data


Adapun metode analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
24

1. Uji Normalitas
Uji Normalitas data adalah uji prasyarat yang harus
dilakukan sebelum data dianalisis berdasarkan model-model
penelitian yang diajukan. Uji normalistas data digunakan untuk
menguji data benar-benar berdistribusi normal sehingga uji hipotesis
dapat dilakukan. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan
statistik Kolmogorov-Smirnov Test. Apabila angka signifikasi > 0,05
maka data berdistribusi normal, sedangkan jika angka signifikasi ≤
0,05 maka data tidak berdistribusi normal.
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk memperlihatkan bahwa
dua atau lebih kelompok data sampel berasal dari populasi yang
memiliki variansi yang sama. Uji homogenitas dilakukan dengan
statistik Levene. Kriteria pengujian data memiliki varian yang sama
(homogen) yaitu jika angka signifikansi yang diperoleh > 0,05.
Sementara jika angka signifikansi yang diperoleh < 0,05, maka data
tersebut tidak homogen.
3. Uji Hipotesis
Apabila data berdistribusi normal teknik analisis data yang
digunakan adalah Anova One Way dengan taraf signifikansi = 0,05.
Penggunaan uji Anova One Way dikarenakan dalam pengumpulan
data diperoleh > 2 kelompok data. Pada pengujian Anova One Way
dalam uji hipotesis berlaku apabila taraf signifikansinya < 0,05 maka
hipotesis alternatif (H1) diterima dan hipotesis nol (H0) ditolak.
Demikian sebaliknya, bila angka signifikansi > 0,05 maka hipotesis
alternatif (H1) ditolak dan hipotesis nol (H0) diterima.
4. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT)
Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dilakukan untuk mengetahui
perlakuan yang memiliki perbedaan yang bermakna. Uji BNT
dilakukan dengan menggunakan Post Hoc Test.
25

L. Jadwal Waktu Penelitian


Desember 2017
Sen Sel Rab Kam Jum Sab Min

1 2 3

4 5 6 7 8 9 10

11 12 13 14 15 16 17

18 19 20 21 22 23 24

25 26 27 28 29 30 31

Keterangan:
 Warna Kuning : Proses aklimatisasi mencit dan pembuatan ekstrak
daun ceremai
 Warna biru : Kegiatan uji pendahuluan

M. Daftar Rujukan
Afifah, B.S., Wahyuningsih, S., Sukandar, E.Y., Riyanti, S., dan Vikasari,
S.N., 2013, Parameter Mutu Standar Simplisia Daun Ceremai
(Phyllanthus acidus (L.) Skeels) Asal Purwakarta - Jawa Barat.
Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia ke-44:
Penggalian, Pelestarian, Pemanfaatan, dan Pengembangan
Tumbuhan Obat Indonesia untuk Peningkatan Kesehatan
Masyarakat, 14-16 Maret 2013. STIFI Bhakti Pertiwi Palembang, hal.
667-673.
Anggraini, T., Tai, A., Yoshino, T. and Itani, T., 2011. Antioxidative
activity and catechin content of four kinds of Uncaria gambir extracts
from West Sumatra, Indonesia. African Journal of Biochemistry
Research, 5(1), pp.33-38.
Arnyana, I. B. P. 2007. Buku Ajar Dasar-Dasar Metodologi Penelitian.
Denpasar: Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
26

Balqis, U., Masyitha, D., & Febrina, F. 2014. Healing Process Of Burns
Using Ambarella Leaf (Spondias dulcis F.) and Vaselin in Rats
(Rattus norvegicus). Jurnal Medika Veterinaria, 8 (1).
Burhanudin, F.N., 2014. Uji Efektifitas Formulasi Gel Ekstrak Daun Cermai
(Phyllanthus acidus L.) Terhadap Lama Kesembuhan Luka Bakar
Pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) Jantan. Skripsi, Sarjana
Farmasi, Sekolah Tinggi Ilmu kesehatan Ngudi Waluyo, Semarang.
Corwin, Elizabeth J.2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta: Niaga
Swadaya.
Erizal, 2008. Pengaruh Pembalut Hidrogel Kopolimer Polivinilpirrolidon
(PVP)-κ -Karaginan Hasil Iradiasi dan Waktu Penyembuhan Pada
Reduksi Diameter Luka Bakar Tikus Putih Wistar. Indo Journal
Chem. 8(2). 271-278.
Fitri, N. 2015. Penggunaan Krim Ekstrak Batang Dan Daun Suruhan
(Peperomia pellucida L.H.B.K) Dalam Proses Penyembuhan Luka
Bakar Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). BIOPENDIX. 1(2):193-
203.
Fox, James G., Stephen W. Barthold, Muriel T. Davisson, Christian E.
Newcomer, Fred W. Quimby, dan Abigal L. Smith. 2007. The Mouse
In Biomedical Research, 2nd Edition. United States of America:
Elsevier.
Guo, S. Dan DiPietro, L.A., 2010. “Factors Affecting Wound Healing”. J
Dent Res 89(3), pp.219-229
Handayani, F., Sundu, R. and Karapa, H.N., 2017. Uji Aktivitas Ekstrak
Etanol Biji Pinang (Areca catechu L.) Terhadap Penyembuhan Luka
Bakar Pada Kulit Punggung Mencit Putih Jantan (Mus musculus).
Jurnal Ilmiah Manuntung, 2(2), pp.154-160.
Hasan, S., Ulfa, A. and Maryam, M., 2016. Pemanfaatan Sari Buah Ceremai
(Phyllanthus acidus) Sebagai Alternatif Koagulan Lateks. Jurnal
Teknik Kimia, 21(1).
Hidayat, T. S. N. (2013). Peran Topikal Ekstrak Gel Aloe Vera Pada
Penyembuhan Luka Bakar Derajat dalam Pada Tikus (Doctoral
Dissertation, Universitas Airlangga).
Mercandetti, M, dan Choen, A. 2002. A Wound Healing, Healing and
Repair. Dalam http:/www.eMedecine.com.Inc. (Diakses pada tanggal
1 Januari 2018 pukul 15.00 wita).
Moenadjat, Y. 2016. Luka Bakar Pediatrik. Jakarta: Sagung Seto.
Moriwaki, K, T. Shiroishi, H. Yonekawa. 1994. Genetic in Wild Mice. Its
Aplication to Biomedical Research. Tokyo: Japan Scientific Sosieties
Press. Karger
27

Nanda, Y., Salim, M.N. and Iskandar, C.D., 2017. Histopatologi Kulit
Mencit (Mus musculus) Fase Remodeling Pada Penyembuhan Luka
Sayat dengan Salep Getah Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn). Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Veteriner, 1(4), pp.780-787.
Negara, R. F. K., Ratnawati, R. and SLI, D.D., 2016. Pengaruh Perawatan
Luka Bakar Derajat II Menggunakan Ekstrak Etanol Daun Sirih (Piper
betle Linn.) Terhadap Peningkatan Ketebalan Jaringan Granulasi pada
Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Wistar. Majalah
Kesehatan FKUB, 1(2), pp.86-94.
Oktiarni, D., Manaf, S. and Suripno, S., 2012. Pengujian Ekstrak Daun
Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) Terhadap Penyembuhan Luka
Bakar Pada Mencit (Mus musculus). GRADIEN, 8(1), pp.752-755.
Persada, A.N., Windarti, I. and Fiana, D.N., 2009. The Second Degree
Burns Healing Rate Comparison between Topical Mashed Binahong
(Anredera cordifolia (Ten.) Steenis and Hydrogel on White
Rats. Lampung: Universitas Lampung.
Pratiwi, Y., Haryono, T. and Rahayu, Y.S., 2013. Efektivitas Ekstrak Daun
Ceremai (Phyllanthus acidus) Terhadap Mortalitas Larva Aedes
Aegypti. J LenteraBio, 2(3), pp.197-201.
Richard, B. 2004. Fibrocytes: Circulating Fibroblast That Mediate Tissue
Repair. Dalam http:/www.etrs.com. Diakses pada tanggal 1 Januari
2018 pukul 16.10 wita).
Somala, L. 2006 “Sifat Reproduksi Mencit (Mus musculus) Betina yang
Mendapatkan Pakan Tambahan Kemangi (Ocium basilicum) Kering”.
(Skripsi, Fakultas Peternakan IPB).
Sumosa, N.S. and Rahayu, R., 2014. Pengaruh Gambir (Uncaria gambir R.)
Terhadap Penyembuhan Luka Bakar Pada Mencit Putih (Mus
musculus L.) Jantan. Jurnal Biologi Unand, 3(4).
Suriadi. 2004. Perawatan Luka. Cetakan ke I. Jakarta: CV Sagung Seto.

You might also like