You are on page 1of 42

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Benigna Prostat Hyperplasia ( BPH ) merupakan suatu penyakit dimana terjadi

pembesaran dari kelenjar prostat akibat hyperplasia jinak dari sel-sel yang biasa

terjadi pada laki-laki berusia lanjut. Kelainan ini ditemukan pada usia 50 tahun keatas

dan frekuensinya makin bertambah sesuai dengan penambahan usia, sehingga pada

usia di atas 80 tahun sekitar 80% dari laki-laki yang menderita kelainan ini. Jika hal

ini sudah semakin parah maka hal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan

masalah ini yaitu dengan cara operasi pembedahan atau insisi

Klien post operasi akan merasakan nyeri saat klien sadar dari anestesinya.

Nyeri akibat insisi menyebabkan klien gelisah dan mungkin nyeri ini dapat

mempengaruhi tanda-tanda vital (Pristahayuningtyas: 2015). Nyeri hebat post operasi

terjadi selama satu sampai dua jam, sehingga klien harus segera mendapatkan

manajemen nyeri secepat mungkin karena jika tidak ditangani dengan baik dapat

berakibat negatif bagi kesehatan.

Menurut Artur C. Curton (1983) (dalam, Maryunani 2010) mengatakan bahwa

nyeri merupakan suatu mekanisme bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak,

dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri.

Nyeri biasanya terjadi pada 12 sampai 36 jam setelah pembedahan, dan menurun

pada hari ketiga (Kozier, 2004 dalam Fitri,dkk., 2012).

1
Adapun proses terjadinya nyeri menurut Lindamen & Athie dalam Hartanti

(2009), adalah dimulai ketika bagian tubuh terluka oleh tekanan, potongan, sayatan,

dingin atau kekurangan oksigen pada sel, maka bagian tubuh yang terluka akan

mengeluarkan berbagai macam substansi intraseluler dilepaskan ke ruang

ekstraseluler maka akan mengiritasi nosiseptor. Saraf ini akan merangsang dan

bergerak sepanjang serabut saraf atau neurotransmisi yang akan menghasilkan

substansi yang disebut dengan neurotransmitter seperti prostaglandin dan epineprin,

yang membawa pesan nyeri dari medula spinalis ditransmisikan ke otak dan

dipersepsikan sebagai nyeri. (Judha, dkk., 2012).

Menurut WHO pada tahun 2012, diperkirakan bilangan penderita Benigna

Prostat Hyperplasia ( BPH ) adalah sebanyak 30 juta,bilangan ini kebanyakan terjadi

pada pria usia 50 tahun ketas (Samidah & Romadhon, 2015). Di Indonesia,

berdasarkan data Globocan tahun 2012 menunjukan insidens kanker prostat

menempati urutan ke-3 kanker pada pria setelah kanker paru dan kanker kolorektum,

sedangkan angka kematian menempati urutan ke-4. Prevalensi kanker prostat di

Indonesia tahun 2013 adalah sebesar 0,2 % atau diperkirakan sebanyak 25.012

penderita.

Pada saat dilakukan studi pendahuluan pada responden A penderita BPH

derajat 2 dan responden B penderita BPH derajat 3 di RSUD Wahidin Sudiro

Husodo Kota Mojokerto didapatkan hasil sebagai berikut:

Responden mengalami Gangguan rasa nyaman nyeri ditandai dengan wajah

pasien menyeringai saat digunakan untuk bergerak , Nyeri seperti terbakar di luka

bekas operasi, Nyeri terasa pada dari daerah perineal dan organ vital, pada

Responden A skala nyeri dari 0-10 didapakan skala 5 atau nyeri sedang, dan pada

Responden B skala nyeri dari 0-10 didapakan skala 4 atau nyeri sedang Nyeri timbul

saat dipakai untuk bergerak, kondisi pasien tampak


lemah tidak berani bergerak terlalu sering, terpasang fiksasi kateter, klien menderita

penyakit BPH dikarenakan pola hidupnya yang kurang sehat, suka merokok dan

terlalu sering menahan kencing saat sedang diperjalanan, terlalu sering minum kopi

dan kurang minum air putih, kurang olahraga dan pernah mengalami penyakit

kencing batu.

Berdasakan latar belakang diatas , penulis ingin mengetahui dan memahami lebih

lanjut tentang “ Asuhan Keperawatan pada kasus Benigna Prostat Hyperplasia

dengan masalah Nyeri Post-op di RSUD Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto

1.2 Batasan Masalah

Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada Asuhan Keperawatan pada kasus

Benigna Prostat Hyperplasia dengan masalah Nyeri Post-op di RSUD Wahidin

Sudiro Husodo Kota Mojokerto.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada kasus Benigna Prostat Hyperplasia

dengan masalah Nyeri Post-op di RSUD Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Melaksanakan asuhan keperawatan pada kasus Benigna Prostat Hyperplasia (

BPH ) dengan masalah nyeri Post-op di RSUD Wahidin Sudiro Husodo Kota

Mojokerto

3
1.4.2 Tujuan Khusus

1. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien yang mengalami nyeri post

operasi BPH di RSUD Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto.

2. Menetapkan diagnosa keperawatan pada klien yang mengalaminyeri post

operasi BPH di RSUD Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto.

3. Menyusun perencanaan keperawatan pada klien yangmengalaminyeri post

operasi BPH di RSUD Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto.

4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klienyangmengalaminyeri post

operasi BPH di RSUD Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSATAKA

Pada Bab Ini Menjelaskan Tentang Konsep Benigna Prostat Hyperplasia (BPH),

Konsep Dasar Nyeri, dan konsep asuhan keperawatan pada klien yang mengalami

Nyeri.

2.1 Konsep Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)

2.1.1 Definisi

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran non-kanker

(noncancerous) dari kelenjar prostat (prostate gland) yang dapat membatasi aliran

urine (kencing) dari kandung kemih (bladder) (Anugoro,2014 : 372)

BPH (Benigna Prostat Hyperplasi) adalah pembesaran progresif dari kelenjar

prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi jalan urine (urethra).

(Rendy M. Clevo,2012 : 116).

Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan

ini di alami oleh 50% yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia

80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urine

sehingga menimbulkan gangguan miksi. (Basuki B. Purnomo,2011 : 124).

2.1.2 Etiologi

Penyebab BPH dapat dikaitkan dengan keberadaan hormonal yaitu hormon

laki-laki (androgen yaitu testosteron).Diketahui bahwa hormon estrogen juga ikut

berperan sebagai penyebab BPH. Hal ini, di dasarkan pada fakta bahwa BPH

5
terjadi ketika seorang laki-laki kadar hormon estrogen meningkat dan kadar hormon

testosteron menurun, dan ketika jaringan prostat menjadi lebih sensitif terhadap

estrogen serta kurang responsif terhadap dihydrotestosterone (DHT), yang

merupakan testosteron eksogen. (Toto suharyanto & Abdul Madjid,2010 : 249)

2.1.3 Patofisiologi

Menurut (Toto Suharyanto & Abdul Madjid,2010 : 250) umumnya gangguan

ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan normal. Bagian paling dalam

prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran ini

mendesak jaringan prostat yang normal ke arah tepi dan juga menyempitkan uretra.

Pembesaran tersebut dapat menimbulkan dorongan sampai di bawah basis vasika

urinaria (Kandung Kemih) sehingga mengakibatkan kesulitan buang air kemih.

Kandung kemih mengatasi tahanan tersebut dengan berkontraksi lebih kuat.Namun

keadaan ini menyebabkan buang air kemih yang tidak efisien karena air kemih yang

di keluarkan hanya sedikit dan menimbulkan urin sisa yang tertinggal di dalam

kandung kemih.

2.1.4 Klasifikasi

Derajat Benigna Prostat Hyperplasia menurut ( Jitwiyono& Kristiyanasari,

2010) terbagi menjadi 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya.

1.) Derajat Satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1-2 cm, sisa

urine < 50 cc, pancaran lemah, nokturia, berat ± 20 gram

2.) Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nokturia bertambah berat,

panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat

6
lebih menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50-100 cc dan beratnya ±

40 gram

3.) Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tidak teraba,

sisa urine >100 cc, penonjolan prostat 3-4 cm, dan beratnya 40 gram

4.) Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit

ke ginjal seperti gagal ginjal, hydronephrosis.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi gejala-gejala BPH( Toto Suharyanto & Abdul Madjid (2013 :

250) dapat diklasifikasikan karena obstruksi dan iritasi. Gejala-gejala obstruksi

meliputi :

1. hesitancy

2. intermiten

3. pengeluaran urin yang tidak tuntas

4. aliran urin yang buruk

5. retensi urin.

1. sering berkemih di malam hari (nokturia)

2. urgency (dorongan ingin berkemih)

3. batu kandung kemih.

4. Disuria

7
2.1.6 Komplikasi

Menurut Luckman dalam buku wijaya dan putri (2016: 169) mengatakan bahwa

komplikasi bagi penderita gangguan prostat atau Benigna Prostat Hiperplesia bisa

saja terjadi, di antaranya hidronefrosis (peradangan pada salah satu atau kedua ginjal

akibat terkumpulnya urin di dalam ginjal), gagal ginjal, Pielonefritis (infeksi saluran

kemih atau ISK yang menyerang ginjal saluran kemih terdiri dari kandung kemih,

uretra, ginjal, dan ureter) dan hernia (gangguan kesehatan yang ditandai dengan

tonjolan organ karena pembukaan atau kelemahan dinding rongga tersebut) bila

gejala komplikasi muncul dapat dilakukan tindakan operasi TUR-P dan setelah

dilakukan tindakan operasi TUR-P ada beberapa komplikasi.

Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia

atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang

adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%) Karena

pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan

timbul kembali 8-10 tahun kemudian.

(Anugoro 2008:377)

8
2.1.7 Pathway Benigna Prostat Hyperplasia
Sel prostata
umur Proliferasi
Faktor Usia Growth Factor
panjang abnorma sel stem

Estrogen & Sel Stroma Produksi sel


Testosteron tidak pertumbuhan Sel yang mati stroma &
seimbang berpacu kurang epitel berlebih

Hyperplasia prostat

Penyempitan lumen TURP


posterior Iritasi mukosa sal.
Kencing /
Kesulitan berkemih diskontinuitas
jaringan Rangsangan saraf
diameter kecil
Peningkatan tekanan intra
vesika
Gate control terbuka
Perdarahan
Gangguan Rasa
Retensi urine
Nyaman Nyeri Saraf aferen

Gagal Ginjal
Cortex cerebri

Refluks
vesiko ureter Nyeri akut

9
2.1.8 Penatalaksanaan Medis

Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan

kondisi pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi darurat karena ia tidak dapat

berkemih maka kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin

digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik.Kadang suatu insisi dibuat

ke dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang adekuat.

Jenis pengobatan pada BPH antara lain:

a. Observasi (watchfull waiting)

Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan.Nasehat yang diberikan

adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,

menghindari obat-obat dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak

diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan

dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur

b. Terapi medikamentosa

1. Penghambat adrenergik a (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada

otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan

menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air

seni dan gejala-gejala berkurang.

2. Penghambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT

sehingga prostat yang membesar akan mengecil.

10
c. Terapi bedah

Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi

bedah yaitu :

1) Retensi urin berulang

2) Hematuri

3) Tanda penurunan fungsi ginjal

4) Infeksi saluran kemih berulang

5) Tanda obstruksi berat seperti hidrokel

6) Ada batu saluran kemih.

1) Prostatektomi

Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup.Instrumen bedah

dan optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang

kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil

dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang

menimbulakan disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard

karena pengangkatan jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat

menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam kandung

kemih dan bukan melalui uretra.

a. Prostatektomi Supra pubis.

Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi

abdomen.Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan

kelenjar prostat diangkat dari atas.

11
b. Prostatektomi Perineal.

Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara

ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk

biopsi terbuka. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera

rectal dapat mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah

kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta bidang

operatif terbatas.

c. Prostatektomi retropubik.

Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu

antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.

Keuntungannya adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan

spingter kandung kemih lebih sedikit.

Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk membuang jaringan

prostat yang mengalami hiperplasi. Komplikasi yang mungkin terjadi

pasca prostatektomi mencakup perdarahan, infeksi, retensi oleh karena

pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan disfungsi seksual.Kebanyakan

prostatektomi tidak menyebabkan impotensi, meskipun pada prostatektomi

perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf

pudendal.Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat dilakukan

kembali dalam 6 sampai 8 minggu karena saat itu fossa prostatik telah

sembuh.Setelah ejakulasi maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung

kemih dan diekskresikan bersama

12
uin.Perubahan anatomis pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi

retrogard.

1. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).

Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan

instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan

kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi

kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran

kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH.

Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka

komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.

2. TURP ( TransUretral Resection Prostat )

TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra

menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop

dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat

pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini

memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan

invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.

TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai

efek merugikan terhadap potensi kesembuhan.Operasi ini dilakukan pada

prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan

reseksi.Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan

13
cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan

terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika (Anonim,FK

UI,2015).

Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang

dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah

dari kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24

jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam

sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan

pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.

TURP masih merupakan standar emas.Indikasi TURP ialah gejala-gejala

dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien

cukup sehat untuk menjalani operasi.Komplikasi TURP jangka pendek adalah

perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah.

Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi

retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati

penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun

kemudian.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

A. .Pemeriksaan rektum : yaitu melakukan palpasi pada prostat melalui rektum

dan rectal tuocher, untuk mengetahui pembesaran prostat.

B. Urinalisis: untuk mendeteksi adanya protein atau darah dalam kemih, berat

jenis dan osmolalitas, serta pemeriksaan mikroskopik air kemih.

14
C. Pemeriksaan laboratorium (darah)

Yaitu untuk mengetahui adanya peningkatan kadar prostatespecific antigen

(PSA)

D. Cystoscopy untuk melihat gambaran pembesaran prostat dan perubahan

dinding kandung kemih

E. Transrectal ultrasonography

Dilakukan untuk mengetahui pembesaran dan adanya hidronefrosis

F. Intravenous pyelography (IVP): untuk mengetahui struktur kaliks, pelvis, dan

ureter. Struktur ini mengalami distorsi bentuk apabila terdapat kista, lesi, dan

obstruksi.

2.1.10 Discharge Planning

1. Berhenti merokok

2. Biasakan hidup bersih

3. Makan makanan yang banyak mengandung vitamin dan hindari minuman

beralkohol

4. Berolah raga secara rutin dan berusaha untuk mengelola stress

5. Menilai dan mengajarkan pasien untuk melaporkan tanda-tanda hematuria &

infeksi

6. Jelaskan komplikasi yang mungkin BPH dan untuk melaporkan hal ini

sekaligus

7. Anjurkan pasien untuk menghindari obat-obatan yang menggangu berkemih

seperti obat OTC yang mengandung simpatomimetik seperti

fenilpropanolamin dingin

15
8. Mendorong untuk selalu check up

2.2 Konsep Nyeri

2.2.1 Definisi Nyeri

Nyeri suatu kondisi yang lebih dari pada sensasi tunggal yang disebabkan

oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan individual. Selain itu nyeri juga

bersifat tidak menyenangkan, sesuatu kekuatan yang mendominasi, dan bersifat tidak

berkesudahan. Stimulus nyeri dapat bersifat fisik dan/atau mental, dan kerusakan

dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego seseorang. Nyeri tidak dapat

diukur secara objektif, seperti menggunakan sinar-X atau pemeriksaan darah.

Walaupun tipe nyeri tertentu menimbulkan gejala yang dapat diprediksi, sering kali

perawat mengkaji nyeri dari kata-kata, prilaku ataupun respons yang diberikan oleh

klien.hanya klien yang tahu apakah terdapat nyeri dan seperti apa nyeri tersebut.

Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa telah terjadi kerusakan jaringan,

yang harus menjadi pertimbangan utama saat mengkaji nyeri. International

Association for Study of Pain (IASP), mendefinisikan nyeri merupakan pengalaman

sensoris subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat.

2.2.2 Proses Terjadinya Nyeri Dan Manifestasi Fisiologis Nyeri

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik emosi dan prilaku, Nyeri mengarah

pada ketidakmampuan. Seiring dengan peningkatan usia harapan hidup, lebih banyak

orang mengalami penyakit kronik degan nyeri yang merupakan gejala umum

16
Proses Terjadinya Nyeri

a) Reseptor nyeri

Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang

ditemukan hampir pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem

Saraf Pusat (SSP) melalui dua sistem Serabut. Sistem pertama terdiri dari serabut

Aδ bermielin halus bergaris tengah 2-5 µm, dengan kecepatan hantaran 6-30

m/detik. Sistem kedua terdiri dari serabut C tak bermielin dengan diameter 0.4-1.2

µm, dengan kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik.Serabut Aδ berperan dalam

menghantarkan “ Nyeri cepat” dan menghasilkan persepsi nyeri yang jelas, tajam

dan terlokalisasi, sedangkan serabut C menghantarkan “ nyeri Lambat” dan

menghasilkan persepsi samar-samar, rasa pegal dan perasaan tidak enak.Pusat

nyeri terletak di talamus, kedua jenis serabut nyeri berakhir pada neuron traktus

spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas melalui traktus ini ke

nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari talamus. Dari sini impuls

diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak.

b) Transduksi

Merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri (noxious stimuli) dirubah

menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf.

Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas)atau kimia (substansi

nyeri). Terjadi perubahan patofisiologis karena mediator-mediator nyeri

mempengaruhi juga nosiseptor diluar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri

meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi perifer yaitu menurunnya

17
nilai ambang rangsang nosiseptor karena pengaruh mediator-mediator tersebut di

atas dan penurunan pH jaringan. Akibatnya nyeri dapat timbul karena rangsang

yang sebelumnya tidak menimbul kan nyeri misal nya rabaan. Sensitisasi perifer

ini mengakibatkan pula terjadinya sensitisasi sentral yaitu hipereksitabilitas

neuron pada spinalis, terpengaruhnya neuron simpatis dan perubahan intraseluler

yang menyebabkan nyeri dirasakan lebih lama. Rangsangan nyeri diubah .

c) Transmisi

Merupakan proses penyampaian impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer

melewati kornu dorsalis, dari spinalis menuju korteks serebri. Transmisi

sepanjang akson berlangsung karena proses polarisasi, sedangkan dari neuron

presinaps ke pasca sinap melewati neuro transmiter.

d) Modulasi

Adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat meningkatkan

atau mengurangi penerusan impuls nyeri.Hambatan terjadi melalui sistem

analgesia endogen yang melibatkan bermacam-macam neurotansmiter antara lain

endorphin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di spinalis. Impuls ini

bermula dari area periaquaductuagrey (PAG) dan menghambat transmisi impuls

pre maupun pasca sinaps di tingkat spinalis. Modulasi nyeri dapat timbul di

nosiseptor perifer medula spinalis atau supraspinalis.

e) Persepsi

Persepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang impuls

18
nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil interaksi sistem saraf sensoris,

informasi kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional (hipokampus dan

amigdala). Persepsi menentukan berat ringannya nyeri yang dirasakan

Transduksi

STIMULUS sumber nyeri

( indikator fisiologis nyeri )


Neurotransmitter
kerusakan jaringan

Stimulasi nosiseptor
Serabut A- delta
Serabut C

Substansi P
Transmisi
Medulla spinalis

Jalur NS Jalur PS

Persepsi

Batang otak hipotalamus,


Thalamus talamus

System limbic ( komponen afektif )

Lobus parietal dari korteks serebri ( komponen serebri)

Lobus frontal ( komponen perilaku)

Bagian lain dari korteks serebri ( komponen kognitif )

Modulasi

Opioid endogen yang diproduksi oleh CNS dan medulla spinalis

19
Ket :

Proses fisiologi nosisepsi


Arah impuls nyeri
Penghambat impuls nyeri
Urdin et al 2014

Manifestasi fisiologi nyeri

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik , emosi , dan perilaku . cara yang baik

untuk memahami pengalaman nyeri , akan membantu menjelaskan tiga komponen

fisiologis berikut, yakni : resepsi dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan

impuls melalui serabut saraf saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medulla spinalis

dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam masa

berwarna abu-abu di medulla spinalis.terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan

sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau

ditransmisi tanpa ahambatan ke kortek serebral, maka otak menginterpretasi kualitas

nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta

asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri (Potter & Perry , 2009).

1). Berdasarkan sumbernya

a) Cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan.

Biasanya bersifat burning (seperti terbakar) ex: terkena ujung pisau atau

gunting

b) Deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari ligament, pemb.

Darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar & lebih lama daripada cutaneus ex:

sprain sendi

20
c) Visceral (pada organ dalam), stimulasi reseptor nyeri dlm rongga abdomen,

cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan

jaringan

2). Berdasarkan lokalisasi/letak

a) Radiating pain

Nyeri menyebar dr sumber nyeri ke jaringan di dekatnya (ex: cardiac pain) b)

Referred pain

Nyeri dirasakan pd bagian tubuh ttt yg diperkirakan berasal dari jaringan

penyebab

c) Intractable pain

Nyeri yg sangat susah dihilangkan (ex: nyeri kanker maligna)

d) Phantom pain

Sensasi nyeri dirasakan pd bag. Tubuh yg hilang

e) Berdasarkan penyebab:

- Fisik

- Psycogenic

f) Menurut Serangannya

- Nyeri akut

- Nyeri kronik

2.2.3 Skala Nyeri

1). Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih

obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)

21
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi

yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini

diranking dari “ tidak terasa nyeri” sampai “ nyeri yang tidak tertahankan” .

Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih

intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan.. Alat VDS ini memungkinkan klien

memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.

2). Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan

sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri

dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji

intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan

skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm

3). Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS

adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan

pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan

penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan

pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat

mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata

atau satu angka (Potter, 2009)

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

22
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat

mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,

dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat

mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi

nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul.

2.2.4 Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri menurut Perry and Potter (2005):

1. Skala intensitas nyeri deskriptif sederhana

2. Skala intensitas nyeri numeric 0-10

3. Skala analog visual (VAS)

23
Keterangan:

0 : tidak nyeri

1-3 (nyeri ringan) : hilang tanpa pengobatan, tidak menganggu

aktivitas sehari-hari

4-6 (nyeri sedang) : Nyeri yang menyebar ke perut bagian bawah,

menganggu aktivitas sehari-hari, membutuhkan

obat untuk mengurangi nyerinya

7-9 (nyeri berat) : Nyeri disertai pusing, sakit kepala berat, muntah,

diare, sangat mengganggu aktifitas sehari-hari

10 (nyeri tidak tertahankan) : Menangis, meringis, gelisah,

menghindari percakapan dan kontak

sosial, sesak nafas, immobilisasi,

menggigit bibir, penurunan kesadaran

4. Skala Face’ s

24
2.2.5 Respon Nyeri

Ada beberapa respon yang dialami penderita setelah merasakan sakitnya nyeri:

Respon fisiologis terhadap nyeri

1.) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)Dilatasi saluran

bronkhial dan peningkatan respirasi rate

a) Peningkatan heart rate

b) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

c) Peningkatan nilai gula darah

d) Diaphoresis

e) Peningkatan kekuatan otot

f) Dilatasi pupil

g) Penurunan motilitas GI

2.) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan HR dan BP

d) Nafas cepat dan irregular

e) Nausea dan vomitus

f) Kelelahan dan keletihan

3.) Respon tingkah laku terhadap nyeri

a) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

b) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

c) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

25
d) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan

gerakan jari & tangan

e) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,

Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd

aktivitas menghilangkan nyeri) selama beberapa menit atau menjadi

kronis.

2.2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri

Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi

pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan

faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini sangat

penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang baik.

a) Usia

Menurut Potter & Perry (2009) usia adalah variabel penting yang

mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan

perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat

mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri.

Anak-anak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang

dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum

mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai kesulitan mendeskripsikan

secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat.

26
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji

respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah

patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2010).

b) Jenis kelamin

laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara signifikan

mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan bahwa jenis kelamin

merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-

laki harus berani dan tidak boleh menangis dimana seorang wanita dapat

menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang dilakukan Burn, dkk. (1989)

dikutip dari Potter & Perry, 2009 mempelajari kebutuhan narkotik post operative

pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria.

c) Budaya

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi

nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh

kebudaayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri

Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari

budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup

menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan, seperti menangis atau meringis

yang berlebihan. Pasien dengan latar belakang budaya yang lain bisa berekspresi

secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang

27
mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku berbeda

dari satu pasien ke pasien lain.

Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami mengapa

nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu untuk

menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan harapan dan nilai

budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan

mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih

akurat dalam mengkaji nyeri dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga

efektif dalam menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer&Bare, 2008).

d) Ansietas

Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan

nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak

memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga

tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif

menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau

berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri.

Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan

secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif

untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri

ketimbangm ansietas (Potter & Perry, 2009).

28
e) Pengalaman masa lalu dengan nyeri

Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang

dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang

akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri,

akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi lebih

parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mengetahui

ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat.

Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri

selama rentang kehidupannya.

f) Efek plasebo

Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau

tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar benar

bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan efek positif.

Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan keefektifan

medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak petunjuk yang

diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif intervensi tersebut

nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan dapat

meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding dengan

pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek

apapun. Hubungan pasien – perawat yang positif dapat juga menjadi peran yang

amat penting dalam meningkatkan efek plasebo (Potter & Perry, 2009).

29
g) Keluarga dan Support Sosial

Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah

kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri

sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi.

Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri

semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting

untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 2009).

h) Pola koping

Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit

adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus klien kehilangan

kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Klien

sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun

psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri.

Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan

bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien dan

menurunkan nyeri klien. Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik.

Seorang klien mungkin tergantung pada support emosional dari anak-anak,

keluarga atau teman. Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan

kesendirian. Kepercayaan pada agama dapat memberi

30
kenyamanan untuk berdo’ a, memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi

ketidaknyamanan yang datang (Potter & Perry, 2009).

2.2.6 Kriteria Nyeri

Menurut (Diagnosa Keperawatan NANDA,2015) kriteria nyeri sebagai

data berikut :

1) Mayor :

Komunikasi (verbal atau penggunaan kode) tentang nyeri yang

dideskripsikan.

2) Minor :

a) Perilaku yang sangat hati-hati, perlindungan.

b) Memusatkan diri.

c) Mempersempit fokus (perubahan persepsi waktu, gangguan proses

berpikir).

d) Perilaku distraksi (mengerang, menangis, mondar-mandir, mencari

orang lagi, gelisah).

e) Raut wajah kesakitan (mata kuyu, terlihat lelah, meringis)

f) Perubahan tonus otot (tidak bergairah sampai kaku)

g)Respons-respons autonom (diaforesis, perubahan tekanan darah dan

nadi), dilatasi pupil, perubahan frekwensi napas.

31
2.2.7 Konsep Asuhan Keperawatan Nyeri Akut pada Post Operasi BPH

1) Pengkajian

1. Data Subyektif a.

Biodata Pasien

Usia Klien , pekerjaan , alamat , pendidikan terakhir, b.

Keluhan utama

Keluhan yang paling dirasakan klien yaitu nyeri akut. Nyeri timbul

saat digunakan untuk bergerak, badan terasa lemas

c. Riwayat penyakit saat ini P :

Luka post operasi

Q: Nyeri panas seperti terbakar

R: Pada area bekas operasi dan di perineal dalam

S: Dari skala 0-10 didapatkan skala 5 atau nyeri sedang

T: Saat digunakan utuk bergerak

d. Riwayat masa lalu

Dikarenakan pola hidup yang kurang sehat dan pernah mengalami

penyakit kencing batu diakibatkan sering menahan kencing saat di

perjalanan

e. Riwayat penyakit keluarga

Keluarga memiliki riwayat penyakit kencing batu

32
f. Gaya hidup

Kebiasaan klien kurang minum air putih, terlalu sering mengkonsumsi

kopi, sering menahan kencing, kurang olahraga

2. Data Obyektif

Data yang didapatkan dari hasil anamnese klien

Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum :

Tekanan Darah : Normal atau meningkat

Nadi : terdapat perbedaan frekuensi nadi tergantung tingkat nyeri

Pernafasan : data mayor ( harus ada ) yaitu perubahan frekuensi atau

pola nafas,

data minor ( mungkin ada ) yaitu ortopnea , takipnea, dan

pernafasan berhati-hati

b. Pemeriksaan fisik

1. B1 ( Breathing ) : klien bernafas dengan spontan tanpa alat bantu

nafas, pola nafas cepat tergantung rasa nyeri yang sedang terjadi

dengan upaya untuk melokalisir nyeri

2. B2 ( Blood ) : pada kondisi yang berat , mungkin bisa terjadi

kehilangan banyak darah pada saat operasi berlangsung, atau mungkin

berdampak pada faktor psikolgis yang menyebabkan perubahan pada

tekanan darah klien

3. B3 ( Brain ) : tidak ada gangguan pada tingkat kesadaran, disfungsi

serebral, seperti perubahan pola pikir dan disorientasi,

33
klien sering merasakan adanya kram otot kaki apabila terlalu lama

diam

4. B4 ( Bladder ) : perubahan warna urine dan peningkatan volume urine

dikarenakan penggunaan cairan drainase untuk mengeluarkan kotoran

dalam saluran kemih agar tidak terjadi obstruksi akibat darah yang

membeku di ureter

5. B5 ( Bowel ) : terjadi penurunan nafsu makan akibat nyeri yang

ditimbulkan sehingga klien hanya berfokus pada rasa nyeri dan tidak

mau makan terlalu banyak.

6. B6 ( Bone ) : terdapat kekakuan pada pinggang dan ekstremitas

bawah, serta nyeri pada luka insisi dikarenakan pasien tidak berani

menggerakkan bagian tubuh bawah karena terasa nyeri

2) Diagnosa Keperawatan

Nyeri Akut berhubungan dengan agen injuri fisik ( spasme kandung kemih )

3) Perencanaan

Intervensi merupakan rencana asuhan keperawatan yang dapat terwujud dari

kerjasama antara perawat dan dokter untuk melakukan asuhan keperawatan

kolaboratif yang komprehensif

Diagnosa : Nyeri Akut berhubungan dengan agen injuri fisik ( spasme

kandung kemih )

Kriteria Hasil : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam nyeri

akut pasien berkurang

34
Kriteria Hasil Menurut NANDA NIC-NOC 2015 :

1. Mampu Mengontrol Nyeri

2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan

managemen nyeri

3. Mampu mengenali nyeri ( skala, intensitas, frekuensi, dan tanda

nyeri )

4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

Intervensi

Menurut NANDA NIC-NOC 2015 :

a. Lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.

b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.

c. Gunakan Teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman

nyeri pasien

d. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,

pencahayaan dan kebisingan.

e. Kurangi faktor presipitasi nyeri.

f. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi non farmakologi dan

interpersonal).

g. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.

h. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

i. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri.

j. Tingkatkan istirahat.

35
k. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil.

4) Implementasi

Menurut Koizer (2010, p.429) implementasi adalah fase ketika perawat

mengimplementasikan intervensi keperawatan. Dari perencanaan nyeri akut

berhubungan dengan post operasi BPH yaitu NIC : pain management penulis

melakukan implementasi sebagai berikut:

a. Melakukan pengkajian nyeri dengan skala nyari dengan hasil PQRST

(Provokatif, Quality, Region, Scale, Timing).

b. Mengobservasi reaksi nonverbal dan ketidaknyamanan.

c. Membantu keluarga untuk mendukung proses penyembuhan klien.

d. Mengontrol lingkungan agar pasien merasa aman, nyaman dan tenang.

e. Mengajarkan relaksasi dan terapi non farmakologi tarik nafas dalam dan terapi

musik untuk mengurangi rasa nyeri serta memberikan terapi farmakologi

sesuai terapi dokter.

f. Memberikan kesempatan klien untuk istirahat dan tidur.

g. Mengobservasi kembali nyeri yang dirasakan klien setelah dilakukan tindakan

keperawatan.

36
5) Evaluasi

Menurut Wilkinson dan Ahern (2012, p.533), kriteria evaluasi nyeri akut

berhubungan dengan post operasi BPH adalah sebagai berikut:

a. Memperlihatkan pengendalian nyeri yang dibuktikan oleh indikator sebagai

berikut : (skala 1 : tidak pernah), (skala 2 : jarang), (skala 3 : kadang-kadang),

(skala 4 : sering), (skala 5 : selalu).

b. Menunjukkan tingkat nyeri yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut :

(sebutkan 1-10 : tidak sakit, sedikit sakit, agak mengganggu, mengganggu

aktivitas, sangat mengganggu, tak terhankan): ekspresi wajah saat nyeri,

gelisah atau ketegangan otot, durasi episode nyeri, merintih, dan menangis).

37
BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab ini membahas tentang pendekatan yang digunakan dalam

menyelenggarakan studi kasus , pada bab ini akan disajikan (1) Desain penelitian

, (2) Batasan Istilah , (3) Partisipan , (4) Lokasi penelitian dan waktu penelitian,

(5) Pengumpulan data , (6) Uji keabsahan data , dan (7) Analisa Data.

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rancangan penelitian yang bertujuan agar

penelitian dapat dilakukan secara efektif dan efisien (setiadi, 2013).

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Penelitian

studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah keperawatan dengan

batasan terperinci , memiliki pengambilan data yang mendalam dan menyertakan

berbagai sumber informasi . Penelitian studi kasus dibatasi oleh waktu dan tempat ,

serta kasus yang dipelajari berupa peristiwa , aktivitas atau individu (Tri,dkk,2015)

Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan pada

pasien post-op BPH di RSUD Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto.

3.2 Batasan Istilah

Untuk mengindari kesalahan dalam memahami judul penelitian ,maka peneliti

sangat perlu memberikan batasan istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai

berikut :

1). Asuhan keperawatan : suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik

keperawatan , yang diberikan kepada pasien pada berbagai tatanan pelayanan

38
kesehatan dengan menggunakan proses keperawatan , berpedoman pada standart

asuhan keperawatan , dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab

keperawatan (Suprapto & Wahid,2013)

2). Klien : orang yang mengalami nyeri pada post-op Benigna Prostat Hyperplasia

( BPH )

3.3 Partisipan

Partisipan merupakan sejumlah orang yang turut berperan serta dalam suatu

kegiatan , ke ikut sertaan dan peran serta dari awal sampai akhir (Latipun,2010).

Partisipan pada studi kasus ini dipilih menggunakan metode purposive . Metode

purposive adalah metode pemilihan partisipan dalam suatu studi kasus dengan

menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukkan dalam studi kasus ,

dimana partisipan yang diambil dapat memberikan informasi yang berharga bagi

studi kasus (Saryono,2013).

Subyek yang digunakan adalah pasien dengan kriteria elektif masalah keperawatan

pada pasien post-op Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) hari ke 1 di RSUD Wahidin

Sudiro Husodo Mojokerto dengan perawatan 3 x 24 jam.

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Studi kasus individu (di RSUD Wahidin Sudiro Husodo) pada bulan

februari-mei 2018

3.5 Pengumpulan Data

Pada bab ini dijelaskan metode pengumpulan data yang digunakan.

39
1). Pengkajian : wawancara ( hasil anamnesis berisi tentang identitas klien , keluhan

utama , riwayat penyakit sekarang-dahulu-keluarga dll) Sumber data dari klien ,

keluarga , perawat dan lainnya.

2). Observasi dan pemeriksaan fisik ( dengan pendekatan IPPA : inspeksi , palpasi ,

perkusi , auskultasi ) pada sistem tubuh klien ( data fokus sesuai dengan tema

atau topik yang diambil )

3). Studi dokumentasi dan angket (hasil dari pemeriksaan diagnostic dan data lain

yang relevan

3.6 Keabsahan data

Uji keabsahan data dimaksudkan untuk menguji kualitas data informasi yang

diperoleh sehingga menghasilkan data dengan validasi tinggi . Disamping integritas

peneliti ( karena peneliti menjadi intrsument utama) , uji keabsahan data dilakukan

dengan :

1). Memperpanjang waktu pengamatan / tindakan , dan

2). Sumber informasi tambahan menggunakan triangulasi dari tiga sumber data

utama yaitu klien, perawat dan klien yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti.

3.7 Analisa Data

Analisa data dilakukan sejak peneliti di lapangan , sewaktu pengumpulan data

sampai dengan semua data terkumpul . Analisis data dilakukan dengan cara

mengemukakan fakta , selanjutnya membandingkan dengan teori yang ada dan

selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan . Teknik analisis digunakan dengan

cara menarasikan jawaban – jawaban dari penelitian yang diperoleh dari

40
hasil interpretasi wawancara mendalam yangdilakukan untuk menjawab rumusan

masalah penelitian. Teknik analisis digunakan dengan cara observasi oleh peneliti

dan studi dokumentasi yang menghasilkan data untuk selanjutnya di interpretasikan

oleh peneliti dibandingkan teori yang ada sebagai bahan untuk memberikan

rekomendasi dalam intervensi tersebut . Urutan dalam analisis adalah

1.) Pengumpulan

Data dikumpulkan dari hasil WOD

( wawancara ,observasi, dokumentasi ).Hasil ditulis dalam bentuk transkrip .

Data yang dikumpulkan terkait dengan data pengkajian , diagnosis, perencanaan,

pelaksanaan, evaluasi.

2.) Mereduksi data

Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan

dijadikan satu dalam bentuk transkip dan dikelompokkan menjadi data subyektif

dan obyektif , dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostic kemudian

dibandingkan nilai normal.

3.) Penyajian data

Penyajian data dapat dilakukan dengan table, gambar, bagan maupun teks

naratif. Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan identitas dari

klien . dari data yang disajikan , kemudian data dibahas dan dibandingkan

dengan hasil penelitian terdahulu dan secara teritis dengan perilaku kesehatan.

41
4.) Simpulan Penarikan simpulan dilakukan dengan metode induksi . dicantumkan

etika yang mendasari penyusunan studi kasus

3.8 Etika Penelitian

a) Informed consent ( persetujuan menjadi klien)

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan

(Hidayat,2008)

b) Anonimity (tanpa nama)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan

jaminan atau penggunaan subjek penelitiandengan cara tidak memberikan

atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang

akan disajikan (Hidayat,2008).

c) Confidentiality ( kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah lainnya. Semua

informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaanya oleh peneliti ,

hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset .

kerahasiaan informasi yang diberikan responden dijamin oleh peneliti. Hanya

data tertentu saja (yang dibutuhkan) akan dicantumkan sebagai hasil

penelitian (Hidayat,2008).

42

You might also like