You are on page 1of 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan Pasien


2.1.1 Definisi Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien merupakan layanan yang tidak mencederai dan merugikan pasien
ataupun sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem
tersebut meliputi penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan
keselamatan pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (IOM dalam
Cahyono, 2008; Depkes RI, 2008).
Patient safety merupakan masalah kesehatan global yang sangat serius. Dalam beberapa
tahun terakhir ini, negara-negara telah menyadari pentingnya patient safety. Pada tahun 2002,
negara-negara anggota WHO telah menyepakati resolusi World Health Assembly pada patient
safety. Banyak negara di dunia yang sedang berusaha membangun untuk meningkatkan kualitas
dan keamanan pelayanan. Pemerintah diberbagai negara juga menyadari pentingnya mendidik
profesional kesehatan dengan memberikan pemahaman terhadap prinsip-prinsip dan konsep-
konsep keselamatan pasien (WHO, 2011)
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keselamatan pasien adalah bentuk layanan
yang diberikan oleh suatu rumah sakit yang mengacu pada pencegahan insiden dan keamanan
tindakan, guna meningkatkan mutu pelayanan.

2.1.2 Sasaran Keselamatan Pasien


Sasaran keselamatan pasien menurut WHO (Permenkes RI, 2011) ada enam yang
meliputi:
1) Melakukan identifikasi pasien secara tepat
2) Meningkatkan komunikasi yang efektif
3) Meningkatkan keamanan penggunaan obat yang membutuhkan perhatian atau yang
perlu diwaspadai
4) Mengurangi risiko salah lokasi, salah pasien, dan prosedur tindakan operasi,
5) Mengurangi risiko infeksi nosocomial
6) Mengurangi risiko pasien cedera karena jatuh.

2.1.3 Macam Kejadian Keselamatan Pasien


Macam kejadian yang terkait dalam keselamatan pasien meliputi beberapa istilah
menurut Cahyono (2008) dan Permenkes RI (2011) yaitu:
a. Kejadian potensial cedera (KPC)
KPC atau reportable circumstances adalah suatu kondisi yang sangat berpotensi
untuk menimbulkan cedera, akan tetapi belum terjadi insiden.
b. Kejadian nyaris cidera (KNC)
KNC atau near miss didefinisikan sebagai kesalahan yang mungkin terjadi namun
tidak sampai mencederai pasien.
c. Kejadian tidak cedera (KTC)
KTC atau no harm incident adalah suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien akan
tetapi tidak timbul cedera.
d. Kejadian tidak diharapkan (KTD)
Kejadian tidak diharapkan atau adverse event dapat diartikan sebagai cedera atau
komplikasi yang tidak diinginkan, yang dapat mengakibatkan timbulnya kecacatan,
kematian, atau perawatan yang lebih lama yang disebabkan oleh manajemen medis
dan bukan karena penyakit yang diderita.
e. Kejadian sentinel
Kejadian sentinel didefinisikan sebagai suatu KTD yang mengakibatkan cedera
serius bahkan kematian terhadap pasien.

2.1.4 Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit


Mengacu pada sasaran keselamatan pasien, maka rumah sakit harus merancang proses
baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui
pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk
meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Adapun tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit antara lain;
(1) Membangun budaya keselamatan pasien,
(2) Pimpinan dan dukungan terhadap staf,
(3) Integrasi aktivitas manajemen risiko.
(4) Membangun sistem pelaporan,
(5) Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien dan publik,
(6) Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien, dan
(7) Implementasi solusi untuk mencegah kerugian (Cahyono, 2008).

2.2 Budaya Keselamatan Pasien


2.2.1 Definisi Budaya Keselamatan Pasien
Budaya keselamatan pasien merupakan kesadaran konstan dan potensi aktif oleh staf
sebuah organisasi dalam mengenali sesuatu yang tampak tidak beres. Staf dan organisasi yang
mampu mengakui kesalahan, belajar dari kesalahan, dan mau mengambil tindakan untuk
mengadakan perbaikan dikatakan sudah melaksanakan budaya keselamatan (NHS, 2013).
Budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai pola terpadu perilaku individu dan
organisasi berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai bersama yang terus berusaha untuk
meminimalkan tindakan yang dapat membahayakan pasien yang mungkin timbul dari proses
perawatan (Kizer, 1999 dalam Fleming, 2012). Organisasi dengan budaya keselamatan positif
memiliki karakteristik bahwa ada komunikasi yang dibentuk dengan rasa saling percaya tentang
pentingnya keselamatan, dan dengan keyakinan dalam tindakan pencegahan yang efektif, serta
membangun organisasi yang terbuka (open), adil (just), informatif dalam melaporkan kejadian
keselamatan pasien yang terjadi (reporting), dan belajar dari kejadian tersebut (learning)
(Madden, 2008; NSPA, 2004).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya keselamatan pasien
merupakan produk dari nilai-nilai, sikap, kompetensi individu dan kelompok yang terbuka, adil,
informatif dalam pelaporan insiden keselamatan pasien, serta belajar dari kejadian. Budaya
keselamatan pasien menentukan komitmen dan gaya dari suatu organisasi serta dapat diukur
dengan kuesioner.

2.2.2 Dimensi Budaya Keselamatan Pasien


James Reason dalam Reiling (2006) dan NPSA (2004) menyebutkan bahwa budaya
keselamatan pasien dapat dibagi menjadi beberapa dimensi seperti:
a. Budaya keterbukaan (open culture)
Budaya keterbukaan dalam suatu organisasi merupakan proses pertukaran informasi antar
perawat dan staf. Dimensi ini memiliki karakteristik bahwa perawat akan merasa nyaman
membahas insiden yang terkait dengan keselamatan pasien serta mengangkat isu-isu terkait
keselamatan pasien bersama dengan rekan kerjanya, juga supervisor atau pimpinan. Komunikasi
terbuka dapat diwujudkan dalam kegiatan supervisi dan dalam kegiatan tersebut perawat
melakukan komunikasi terbuka tentang risiko terjadinya insiden dalam konteks keselamatan
pasien, membagi dan bertanya informasi seputar isu-isu keselamatan pasien yang potensial
terjadi dalam setiap kegiatan keperawatan. Keterbukaan juga ditujukan kepada pasien. Pasien
diberikan penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang telah terjadi. Pasien diberikan
informasi tentang kondisi yang akan menyebabkan resiko terjadinya kesalahan. Perawat
memiliki motivasi untuk memberikan setiap informasi yang berhubungan dengan keselamatan
pasien.

b. Budaya pelaporan (reporting culture)


Budaya pelaporan merupakan bagian penting dalam rangka meningkatkan keselamatan
pasien. Perawat akan membuat pelaporan jika merasa aman. Aman yang dimaksud apabila
membuat laporan maka tidak akan mendapatkan hukuman. Perawat yang terlibat merasa bebas
untuk menceritakan atau terbuka terhadap kejadian yang terjadi. Perlakuan yang adil terhadap
perawat, tidak menyalahkan secara individu tetapi organisasi lebih fokus terhadap sistem yang
berjalan akan meningkatkan budaya pelaporan. Menciptakan program evaluasi atau sistem
pelaporan, adanya upaya dalam peningkatan laporan, serta adanya mekanisme reward yang jelas
terhadap pelaporan merupakan langkah nyata dalam membangun dimensi budaya ini.

c. Budaya keadilan (just culture)


Perawat saling memperlakukan secara adil antarperawat ketika terjadi insiden, tidak
berfokus untuk mencari kesalahan individu (blaming), tetapi lebih mempelajari secara sistem
yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Aspek dalam budaya keadilan yang perlu mendapat
perhatian adalah keseimbangan antara kondisi laten yang mempengaruhi dan dampak hukuman
yang akan diberikan kepada individu yang berbuat kesalahan. Perawat dan organisasi
bertanggung jawab terhadap tindakan yang diambil. Perawat akan membuat laporan kejadian jika
yakin bahwa laporan tersebut tidak akan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang terjadi.
Lingkungan terbuka dan adil akan membantu untuk membuat pelaporan yang dapat menjadi
pelajaran dalam keselamatan pasien. Budaya tidak menyalahkan perlu dikembangakan dalam
menumbuhkan budaya keselamatan pasien. Cara organisasi membangun budaya keadilan dengan
memberikan motivasi dan keterbukaannya terhadap perawat untuk memberikan informasi
kejadian yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Hal ini juga termasuk kerjasama antar
perawat sehingga mengurangi rasa takut untuk melaporkan kejadian berkaitan dengan
keselamatan pasien.

d. Budaya pembelajaran (learning culture)


Budaya pembelajaran memiliki pengertian bahwa sebuah organisasi memiliki sistem
umpan balik terhadap kejadian kesalahan atau insiden dan pelaporannya, serta pelatihan-
pelatihan untuk meningkatkan kualitas perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Setiap
lini di dalam organisasi, baik perawat maupun manajemen menggunakan insiden yang terjadi
sebagai proses belajar. Perawat dan manajemen berkomitmen untuk mempelajari insiden yang
terjadi, mengambil tindakan atas insiden untuk diterapkan guna mencegah terulangnya
kesalahan.

2.2.3 Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana


Penerapan budaya keselamatan bermanifestasi sebagai iklim keselamatan dan merupakan
sebuah potret dari budaya keselamatan yang berlaku dalam individu dan kelompok, serta dapat
diukur dengan kuesioner (Agnew et al, 2013). Organisasi yang menerapkan budaya keselamatan
pasien berarti anggota dalam organisasi tersebut harus membangun organisasi yang terbuka
(open), adil (just), informatif dalam melaporkan kejadian yang terjadi (reporting), dan belajar
dari kejadian tersebut (learning).
Penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana adalah tindakan yang
dilakukan oleh perawat pelaksana yang mencerminkan dimensi budaya keselamatan pasien yaitu
keterbukaan dan melaporkan ketika terjadi insiden keselamatan pasien, keadilan antar perawat
ketika terjadi insiden keselamatan pasien, serta pembelajaran terhadap suatu kesalahan atau
insiden keselamatan pasien (KBBI, 2013; NPSA, 2004; Reiling, 2006).
Menerapkan budaya keselamatan pasien yang baik adalah ketika perawat secara aktif dan
konstan menyadari potensial terjadinya kesalahan dan dapat mengidentifikasi serta mengenali
kejadian yang telah terjadi, belajar dari kesalahan dan mengambil tindakan untuk memperbaiki
kesalahan tersebut (NPSA, 2004). Penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana
disimpulkan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh perawat pelaksana yang mencerminkan
keterbukaan, pelaporan, keadilan, dan pembelajaran terhadap insiden keselamatan pasien yang
dapat diukur dengan kuesioner.

2.2.4 Manfaat Penerapan Budaya Keselamatan Pasien


Manfaat utama dalam penerapan budaya keselamatan pasien adalah organisasi menyadari
apa yang salah dan pembelajaran terhadap kesalahan tersebut (Reason, 2000 dalam Cahyono,
2008). Fleming (2006) juga mengatakan bahwa fokus keseluruhan terhadap penerapan budaya
keselamatan pasien dengan melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam organisasi akan
lebih membangun budaya keselamatan pasien dibandingkan apabila hanya fokus terhadap
programnya saja.
Adapun manfaat dalam penerapan budaya keselamatan pasien secara rinci antara lain
(NPSA, 2004):
a. Membuat organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika
kesalahan terjadi.
b. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang terjadi akan
berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang kembali dan keparahan dari insiden
keselamatan pasien.
c. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error dan melaporkan
jika ada kesalahan.
d. Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu karena kesalahan yang telah
diperbuat.
e. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami insiden, pada
umumnya akan mengalami perpanjangan hari perawatan dan pengobatan yang diberikan lebih
dari pengobatan yang seharusnya diterima pasien.
f. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi.
g. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien.

2.2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh


Perawat Pelaksana
a. Manajemen dan kepemimpinan (leadership)
Transformasi atau perubahan penerapan budaya dari budaya yang negatif menuju budaya
yang positif memerlukan pengkajian manajemen dan pengarahan kepemimpinan. Ketika
kepemimpinan dan manajemen berkomitmen untuk budaya keselamatan pasien, seluruh anggota
organisasi akan mengikuti dan dengan demikian dapat menemukan akar penyebab masalah dan
menjadikan haltersebut sebagai suatu proses dalam organisasi (Marquis & Huston 2010).
Dalam suatu proses transformasi nilai (proses internalisasi nilai keselamatan pasien menjadi
bagian dari budaya organiasai) pemimpin mulai mengajak perawat untuk melihat, percaya,
bergerak dan menyelesaikan perubahan sehingga organisasi menemukan nilai-nilai kolektif dan
memakai nilai-nilai tersebut sebagai perekat, menjadi tuntunan dalam membentuk kebiasaan dan
perilaku setiap individu dan kelompok (Cahyono, 2008). Hal tersebut didikung oleh penelitian
yang mengatakan ada hubungan yang positif antara kepemimpinan efektif oleh kepala ruang
dengan penerapa budaya keselamatan pasien (Setiowati, 2010).

Ada 3 domain perilaku kepemimpinan yang mampu menjadi agen perubahan (change
agent) bagi perilaku anggota dalam suatu organisasi yakni pengarahan (direction), pengawasan
(supervision), serta koordinasi (coordination) (Gillies, 1994).

1) Pengarahan
Pengarahan mengacu pada penugasan, perintah, kebijakan, peraturan, standar, pendapat,
saran, dan pertanyaan untuk mengarahkan perilaku bawahan. Kebijakan, prosedur, standar, dan
tugas menjadi alat dalam memimpin orang lain untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan.
Perintah dalam pengarahan dapat berupa perintah lisan atau tertulis oleh atasan organisasi yang
membutuhkan untuk bawahan untuk bertindak atau menahan diri dari bertindak dengan cara
tertentu (Gillies, 1994)
2) Supervisi
Supervisi pelayanan keperawatan dikatakan sebagai kegiatan dinamis yang bertujuan
untuk meningkatkan motivasi dan kepuasan antara dua komponen yang terlibat yaitu supervisor
atau pimpinan, orang yang disupervisi sebagai mitra kerja dan pasien sebagai penerima jasa
pelayanan keperawatan (Arwani & Supriyatno, 2006). Supervisi merupakan perilaku
kepemimpinan yang berfungsi untuk memeriksa pekerjaan, mengevaluasi kinerja, memperbaiki
kinerja staf, memberi dukungan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja (Gillies, 1994;
Rowe & Haywood, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak dukungan yang
diberikan oleh pemimpin atau supervisor untuk keselamatan pasien akan meningkatkan
penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat, yakni meningkatkan frekuensi keterbukaan
dan pelaporan atas insiden keselamatan pasien. Persepsi yang baik tentang keselamatan pasien
juga dikatakan menjadi meningkat dan kemungkinan dapat menyebabkan meningkatnya
keterbukaan dan pelaporan insiden keselamatan pasien (Jardali et al, 2011).

3) Koordinasi
Koordinasi adalah kegiatan kepemimpinan yang mencakup semua kegiatan yang
memungkinkan staf untuk bekerja bersama secara harmonis. Koordinasi penting dilakukan untuk
keberhasilan suatu organisasi kesehatan. Umumnya koordinasi kegiatan staf terjadi selama
pertemuan kelompok kerja utama karena beberapa anggota mengkhususkan diri dalam tugas
terkait, seperti kegiatan menyempurnakan tujuan, identifikasi masalah, dan analisis data. Staf
yang lain mengkhususkan diri dalam kegiatan perawatan. Pemecahan masalah dalam kegiatan
koordinasi harus cukup panjang untuk memungkinkan diskusi lengkap dari topik masalah, dan
dalam kegiatan ini staf yang wajib hadir dibebaskan dari tugas perawatan pasien (Gillies, 1994).

b. Faktor kepegawaian (staffing)


Kepegawaian merupakan komponen utama dari faktor yang mengakibatkan perawat mau
menerapkan budaya keselamatan pasien. Memiliki tenaga kerja yang kuat, mampu, dan
termotivasi adalah salah satu tantangan terbesar dalam rumah sakit. Tenaga medis di rumah sakit
sering mengalami stress dan sulit tidur akibat panjangnya jam kerja yang mungkin menyebabkan
penyimpangan dalam kinerja sehingga mengarah pada penurunan kualitas dan kinerja perawat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat yang termotivasi akan meningkatkan persepsi
perawat mengenai keselamatan pasien dan keamanan bekerja, sehingga akan melaporkan secara
terbuka insiden keselamatan pasien yang terjadi (Jardali et al, 2011).

c. Lingkungan fisik dan akreditasi rumah sakit


Lingkungan fisik rumah sakit yaitu ukuran rumah sakit dan status akreditasi rumah sakit
juga merupakan faktor yang mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien. Rumah sakit
kecil mencetak frekuensi pelaporan insiden keselamatan pasien lebih tinggi disbanding RS besar,
serta memiliki persepsi yang tinggi mengenai keselamatan pasien. Rumah sakit besar biasanya
selalu menerima menghadapi tantangan yang datang terutama untuk mengerjakan pekerjaan yang
lebih berkualitas, akibat birokrasi yang ada. Sebaliknya rumah sakit kecil memiliki budaya yang
lebih homogen di mana anggotanya lebih mungkin dan mudah untuk membagi nilai-nilai yang
sama terutama mengenai keselamatan pasien. Rumah sakit yang terakreditasi dikatakan memiliki
anggota dengan persepsi dan frekuensi pelaporan insiden keselamatan pasien lebih tinggi
dibandingkan rumah sakit non-akreditasi (Jardali et al, 2011).

d. Karakteristik perawat pelaksana


Kinerja atau performance dalam suatu organisasi kesehatan tergantung pada pengetahuan,
keterampilan, dan motivasi pekerja kesehatan itu sendiri (Negussie, 2010). Karakteristik perawat
merupakan ciri-ciri individu yang melekat pada dirinya yang memengaruhi performance.

1) Usia
Kemampuan dan keterampilan seseorang seringkali dihubungkan dengan usia, sehingga
semakin lama usia seseorang maka pemahaman terhadap masalah akan lebih dewasa dalam
bertindak, dan berpengaruh terhadap produktivitas dalam bekerja (Depkes RI, 2002 dalam
Hasmoko, 2008). Penelitan oleh Setiowati (2010) menyatakan usia perawat pelaksana
berhubungan positif dengan penerapan budaya keselamatan pasien. Hal tersebut didukung oleh
penelitian oleh Nurmalia (2012) yang menyatakan usia dewasa muda dianggap lebih mudah
menerima perubahan sehingga mempengaruhi dalam mempersepsikan budaya keselamatan
pasien.
2) Tingkat pendidikan perawat
Pendidikan merupakan suatu metode pengembangan organisasi dimana staf mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan untuk tujuan positif dan staf mendapat pengetahuan yang penting
untuk penampilan kinerjanya dalam hal kognitif, psikomotor, dan sikap. Pendidikan adalah
indikator yang menunjukkan kemampuan individu untuk menyelesaikan pekerjan yang menjadi
tanggung jawabnya (Hasibuan, 2008). Latar belakang pendidikan perawat berpengaruh terhadap
penerapan keselamatan pasien. Survey berdasarkan evidence based di New Zealand, Amerika
Serikat, dan Thailand menyebutkan ada kenaikan insidensi faktor penyebab kematian pasien di
RS pada tenaga perawat dengan latar belakang pendidikan campuran dan terdapat penurunan
pada ketenagaan yang sudah teregistrasi (Ridley, 2008).

3) Masa kerja
Masa kerja adalah jangka waktu yang dibutuhkan seseorang dalam bekerja sejak mulai
masuk dalam lapangan pekerjaan, semakin lama seseorang bekerja semakin terampil dan
berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya (Siagian, 2000 dalam Zakiyah, 2012). Masa
kerja akan memberikan pengalaman kerja yang lebih banyak pada seseorang. Pengalaman kerja
berhubungan dengan kinerja seseorang. Hasil penelitian oleh Setiowati (2012) menunjukkan ada
hubungan positif antara masa kerja dengan penerapan budaya keselamatan pasien.

2.2.6 Mengukur Penerapan Budaya Keselamatan Pasien


Salah satu alat untuk mengukur penerapan budaya keselamatan pasien adalah dengan
instrument kuesioner The Hospital Survey of Patient Safety Culture (HSOPSC) yang
dikembangkan oleh Agency for Health Care Research and Quality (AHRQ). Agency for Health
Care Research and Quality merupakan suatu komite untuk kualitas kesehatan di Amerika yang
memimpin lembaga Federal untuk peneltian tentang kualitas kesehatan, biaya, outcome, dan
keselamatan pasien. AHRQ mendanai 100 penelitian untuk mengidentifikasi instrumen yang
dijadikan alat untuk menilai budaya keselamatan pasien (Fleming, 2006).
Pada dasarnya empat dimensi budaya keselamatan pasien yakni budaya keterbukaan,
pelaporan, keadilan, dan budaya pembelajaran digunakan dalam menilai budaya keselamatan
pasien dalam suatu organisasi kesehatan. The Hospital Survey of Patient Safety Culture yang
dikembangkan oleh AHRQ menggunakan komponen-komponen sebagai indikator masing-
masing dimensi budaya keselamatan pasien. Indikator dimensi budaya keterbukaan antara lain
(1) komunikasi terbuka, (2) kerjasama dalam unit, (3) kerjasama antar unit, (4) persepsi
keselamatan pasien. Indikator dimensi budaya keadilan adalah (1) umpan balik (feedback) dan
komunikasi, (2) staffing, (3) respon tidak menghukum. Indikator dimensi budaya pelaporan
mengandung komponen (1) pelaporan kejadian, (2) hand over sedangkan indikator dari dimensi
budaya pembelajaran mengandung komponen (1) pembelajaran oleh perawat, (2) ekspektasi
manajer, dan (3) dukungan manajemen (Fleming, 2006).

2.3 Supervisi Pelayanan Keperawatan


2.3.1 Definisi Supervisi Pelayanan Keperawatan
Berbicara mengenai supervisi keperawatan tidak akan lepas dari supervisor, penerima
supervisi (supervisee) dan komponen dari supervisi tersebut (Halpern & McKimm, 2006).
Supervisi pelayanan keperawatan diartikan sebagai penyediaan pemantauan (monitoring),
bimbingan, dan umpan balik (feedback) tentang masalah-masalah pribadi, profesional, dan
perkembangan pendidikan dalam konteks perawatan yang aman bagi pasien (Kilminster, 2000
dalam Kennedy et al, 2007).
Supervisi pelayanan keperawatan adalah kolaborasi yang sifatnya formal antara dua atau
lebih yang difokuskan pada dukungan untuk staf yang disupervisi dalam rangka meningkatkan
kesadaran diri dan perkembangan profesionalisme (Lynch et al, 2008). Supervisi pelayanan
keperawatan dikatakan sebagai kegiatan dinamis yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi
dan kepuasan antara dua komponen yang terlibat yaitu supervisor atau pimpinan, orang yang
disupervisi sebagai mitra kerja dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan keperawatan (Arwani
& Supriyatno, 2006). Supervisi pelayanan keperawatan merupakan interaksi dan komunikasi
professional antara supervisor keperawatan dan perawat pelaksana yakni dalam interaksi
komunikasi tersebut perawat pelaksana menerima bimbingan, dukungan, bantuan, dan dipercaya,
sehingga perawat pelaksana dapat memberikan asuhan yang aman kepada pasien (Halpern &
McKimm 2006; Suyanto, 2008).
Supervisi pelayanan keperawatan sesuai dengan beberapa pengertian diatas dapat
disimpulkan interaksi dan komunikasi professional yakni perawat yang disupervisi mendapatkan
pembinaan, bimbingan, dukungan, dan umpan balik oleh supervisor sehingga dapat memberikan
asuhan keperawatan dengan baik, terampil, aman, dan tepat secara menyeluruh kepada pasien
sehingga meningkatkan mutu asuhan keperawatan.

2.3.2 Komponen Supervisi Pelayanan Keperawatan


Komponen dalam supervisi pelayanan keperawatan yaitu:

a. Komponen normatif
Komponen normatif atau managerial adalah mempromosikan dan mematuhi kebijakan
dan prosedur, pengembangan standar, dan memberikan kontribusi ke unit klinis (Winstanley &
White, 2011). Komponen ini dapat diberikan apabila supervisor memiliki persepsi positif untuk
perawat pelaksana yang disupervisi. Komponen ini berfokus dalam mempertahankan kinerja
perawat pelaksana yang baik dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang kondusif,
membuat suatu perencanaan, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan yang dibutuhkan
untuk memberikan dukungan kerja yang lebih lanjut, menciptakan keselamatan pasien,
mempertahankan standar yang ada, dan memberikan kepercayaan kepada perawat pelaksana
sehingga hal tersebut dapat meningkatkan profesionalisme dan menciptakan kualitas pelayanan
yang bermutu (Lynch et al, 2008).

b. Komponen formatif
Komponen formatif juga disebut komponen edukatif. Komponen ini berfokus pada
pengembangan pengetahuan dan keterampilan perawat pelaksana sehingga memungkinkan
prawat pelaksana bekerja sesuai dengan standar yang berlaku sebagai aspek tanggung jawab
dalam melakukan praktek. Kondisi ini dapat dicapai melalui refleksi pada praktek yang sudah
dilakukan dengan mendukung dan menciptakan lingkungan yang kondusif. Hal ini merupakan
tanggung jawab bersama dari supervisor dan perawat pelaksana yang disupervisi. Adapun tugas
dari supervisor dalam komponen ini antara lain memberikan kritik konstruktif, memberikan
tantangan dalam praktek apabila diperlukan, memonitor kepatuhan perawat terhadap kode etik
dan standar yang berlaku, memberikan umpan balik yang jujur, secara teratur mengevaluasi
efektivitas kegiatan supervisi, serta mengidentifikasi pemecahan masalah yang diperlukan
(Lynch et al, 2008).
c. Komponen restoratif
Komponen ini disebut juga pastoral support, memungkinkan staf untuk mengerti dan
mengelola stres emosional dalam melaksanakan praktek keperawatan (Winstanley & White,
2011). Komponen restoratif berfokus dalam memberikan rasa aman bagi perawat pelaksana
untuk terbuka mengungkapkan perasaan dan permasalahan yang dihadapi, pengalaman dan
praktik dalam pembelajaran, mengatasi konflik, pemberian dukungan pada staf, proses interaksi,
serta meningkatkan kesadaan diri. Adapun tugas supervisor dalam hal ini adalah memberikan
dukungan atau motivasi, membantu perawat pelaksana untuk berinteraksi, memonitoring reaksi
atau respon terhadap materi yang dibawa oleh supervisor, meningkatkan pengalaman dan
pengembangan, dan meningkatkan kesadaran diri (Lynch et al, 2008).

2.3.3 Supervisor Keperawatan


Menurut Suyanto (2008) supervisi keperawatan dilaksanakan oleh personil atau bagian
yang bertanggung jawab antara lain:
a. Kepala ruangan
Kepala ruangan bertanggung jawab untuk melakukan supervisi pelayanan keperawatan
yang diberikan pada pasien diruang perawatan yang dipimpinnya.
b. Pengawas keperawatan
Ruang perawatan dan unit pelayanan yang berada di bawah unit pelaksana fungsional
mempunyai pengawas keperawatan yang bertanggung jawab mengawasi jalannya pelayanan
keperawatan.
c. Kepala bidang keperawatan
Sebagai top manajer dalam keperawatan, kepala bidang keperawatan bertanggung jawab
untuk melakukan supervisi melalui para pengawas keperawatan. Kepala bidang keperawatan
memiliki tanggung jawab dalam mengusahakan seoptimal mungkin kondisi kerja yang aman dan
nyaman, efektif, dan efisien.
Pada intinya, tugas dari supervisor keperawatan yang terdiri atas kepala ruangan,
pengawas keperawatan dan kepala bidang keperawatan adalah mengorientasikan, melatih, dan
memberikan pengarahan kepada perawat pelaksana dalam pelaksanaan tugas. Tujuan
memberikan pelayanan bimbingan dalam memberikan asuhan keperawatan dan juga hal terkait
keselamatan pasien agar perawat yang disupervisi menyadari, mengerti terhadap peran dan
fungsi sebagai pelaksana asuhan keperawatan yang aman.

2.3.4 Kompetensi Supervisor dalam Supervisi Pelayanan Keperawatan


Kegiatan supervisi merupakan kegiatan dengan fokus peningkatan mutu dan kualitas
pelayanan kesehatan sebagai tujuan utama. Agar tidak menyimpang dari tujuan, maka ada
beberapa kompetensi yang harus dimiliki seorang supervisor (Arwani & Supriyatno, 2006)
diantaranya:
a. Kemampuan memberikan pengarahan dan petunjuk
Kompetensi pertama yang harus dikuasai supervisor adalah kemampuan memberikan
pengarahan dan petunjuk yang jelas mengenai tugas dan tanggung jawab sehingga dapat
dimengerti oleh perawat pelaksana.

b. Kemampuan memberikan saran dan bantuan


Kompetensi kedua adalah bahwa supervisor harus mampu memberikan saran, nasihat,
dan bantuan yang benar-benar dibutuhkan oleh perawat pelaksana. Supervisor harus mampu
melakukan pendekatan asertif terhadap seluruh perawat pelaksana.

c. Kemampuan memberikan motivasi


Seorang supervisor harus mampu memberikan motivasi untuk meningkatkan semangat
kerja perawat pelaksana.

d. Kemampuan memberikan latihan dan bimbingan


Kompetensi yang harus dimiliki supervisor adalah harus mampu memberikan latihan dan
bimbingan yang diperlukan oleh perawat pelaksana. Seorang supervisor harus mampu sebagai
contoh bagi perawat pelaksana dalam memberikan bimbingan yang tepat, mampu
mengidentifikasi kesalahan yang terjadi dalam kegiatan keperawatan agar perbaikan yang
dilakukan juga tepat.
e. Kemampuan dalam melakukan penilaian objektif
Terlaksananya penilaian yang objektif dapat terjadi bila supervisor mampu menjaga
hubungan profesional dan membedakan hubungan pribadi saat bekerja, serta mampu membuat
standar penilaian untuk menilai kinerja tersebut.

2.3.5 Fungsi Supervisi Pelayanan Keperawatan


Fungsi supervisi pelayanan keperawatan menurut Rowe & Haywood (2007) ada empat
yaitu fungsi manajemen, pembelajaran dan pengembangan, dukungan, dan negosiasi. Keempat
fungsi tersebut saling bergantung satu sama lain dan salah satu fungsi tidak dapat dilakukan
secara efektif tanpa fungsi yang lain.

a. Fungsi manajemen (pengelolaan)


Fungsi manajemen dalam supervisi pelayanan keperawatan adalah pengembangan
sumber daya manusia melalui pemberian motivasi, mengatasi konflik, pendelegasian,
komunikasi, dan memfasilitasi kerjasama staf dengan manajer atau kolega. Penilaian kinerja,
pengawasan mutu, pengawasan hukum dan etika juga merupakan fungsi manajemen supervisi
pelayanan keperawatan (Marquis & Huston 2010; Swansburg, 2000).

b. Fungsi pembelajaran dan pengembangan


Fungsi ini adalah untuk membantu perawat merefleksikan kinerja mereka,
mengidentifikasi kebutuhan belajar dan pengembangan, serta mengembangkan rencana atau
mengidentifikasi peluang untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

c. Fungsi dukungan
Fungsi dukungan berguna untuk perawat dalam melaksanakan perannya. Dukungan dapat
diberikan oleh supervisor pada situasi tertentu, kejadian khusus atau masalah pribadi yang
mungkin berdampak pada pekerjaan dan kinerja perawat (Rowe & Haywood, 2007).
d. Fungsi negosiasi
Fungsi negosiasi adalah untuk meningkatkan efektifitas hubungan antara perawat
pelaksana, tim kesehatan lain, organisasi, dan lembaga lain yang bekerja di dalam lingkungan
yang sama. Untuk mencapai fungsi negosiasi dapat dilakukan melalui melakukan pengarahan
kepada perawat terhadap isu-isu kunci, sensitif terhadap keluhan-keluhan perawat, melakukan
pengarahan kepada perawat terhadap perubahan dan perkembangan yang mempengaruhi area
kerja mereka (Rowe & Haywood, 2007).

2.3.6 Evaluasi Supervisi Pelayanan Keperawatan


Supervisi pelayanan keperawatan dapat dievaluasi menggunakan instrumen kuesioner
untuk mengevaluasi proses supervisi menurut persepsi perawat yang disupervisi. Winstanley &
White menjelaskan salah satu kuesioner yang dapat digunakan adalah The Manchester Clinical
Supervision Scale. Kuesioner ini merupakan satu-satunya instrumen penelitian yang telah
divalidasi secara internasional.
Bentuk-bentuk pernyataan yang ada dalam dalam instrumen disusun berdasarkan data
kualitatif melalui wawancara yang berasal dari sebuah penelitian di Inggris dan Scotlandia. Hasil
wawancara tersebut disusun menjadi sebuah instrument oleh Profesor White, Butterworth, dan
Bishop. Manchester Clinical Supervision Scale terdiri atas tiga komponen yang merupakan
pengembangan dari model Protocor yaitu normatif (mempertahankan kinerja dan meningkatkan
profesionalisme), formatif (meningkatkan pengetahuan dan keterampilan), dan restoratif
(memberikan dukungan) (Winstanley & White, 2011).

2.4 Hubungan Supervisi Pelayanan Keperawatan dengan Penerapan Budaya


Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana
Individu yang menerapkan budaya keselamatan pasien berarti membangun perilaku yang
terbuka, adil, informatif dalam melaporkan insiden terkait keselamatan pasien, dan mau belajar
atas insiden tersebut (NPSA, 2006). Penerapan budaya negatif menuju penerapan budaya
keselamatan mengindikasikan terjadi perubahan dalam sistem suatu organisasi maupun perilaku
dari anggota organisasi. Dalam organisasi, perubahan menuju penerapan budaya keselamatan
tersebut akan bisa terjadi bila faktor kepemimpinan berperan didalamnya. Kepemimpinan yang
efektif akan dapat mempengaruhi bawahannya dalam pencapaian suatu tujuan organisasi
(Cahyono, 2008). Salah satu perilaku kepemimpinan yang bisa menjadi agen perubahan adalah
supervisi (Gillies, 1994).
Supervisi pelayanan keperawatan sesuai adalah interaksi dan komunikasi professional
yakni perawat yang disupervisi mendapatkan pembinaan, bimbingan, dukungan, dan umpan
balik oleh supervisor sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan dengan baik, terampil,
aman, dan tepat secara menyeluruh kepada pasien sehingga meningkatkan mutu asuhan
keperawatan (Halpern & McKimm 2006; Suyanto, 2008). Supervisi pelayanan keperawatan
dapat meningkatkan kesadaran perawat atas dirinya dan lingkungan kerja termasuk kesadaran
terhadap cara berpikir, membuat keputusan, dan prestasi kerja. Kegiatan supervisi yang
mendukung perawat pelaksana dan memberikan kesempatan untuk berkembang dan
merefleksikan kemampuannya berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan dan keselamatan
pasien (Tony et al, 2007).
Supervisi pelayanan keperawatan mampu memberi manfaat kepada perawat pelaksana
dalam meningkatkan perasaan didukung, mengurangi isolasi profesional, menurunkan tingkat
kelelahan kerja dan emosional, meningkatkan kepuasan kerja dan moral, serta mengembangkan
praktek professional dan dukungan dalam praktek (Driscoll, 2007). Hyrkas (2000) membuktikan
supervisi pelayanan keperawatan dapat meningkatkan hubungan perawat yang disupervisi
dengan supervisor serta dalam hubungan antar perawat yang lain. Hubungan antara para perawat
yang disupervisi dengan tim supervisor dikarakteristikan sebagai peningkatan evaluasi diri,
keberanian, keterbukaan, menolong dan saling memahami antar anggota tim. Selama kegiatan
kegiatan pengawasan tim atau supervisi klinis, keberanian perawat untuk meneliti masalah-
masalah yang ada dalam tim menjadi meningkat, termasuk keterbukaan membahas isu atau
topik-topik yang sensitif yang ada dalam pekerjaan dan pasien. Dengan demikian, karakteristik
keterbukaan dalam melaporkan isu-isu terkait pekerjaan, termasuk masalah pasien, tercermin
dalam hubungan antarperawat dalam kegiatan supervisi pelayanan keperawatan.
Halpern & McKimm (2006) yang menyebutkan bahwa supervisi adalah tempat di mana
isu-isu atau dilema seputar masalah pasien dapat dibicarakan dan ditangani. Melalui supervisi
pelayanan keperawatan, disebutkan pula perawat yang disupervisi menemukan batas-batas dari
diri sendiri dan rekan-rekan mereka, serta belajar untuk memberikan kesempatan berpendapat
dan beropini terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam pekerjaan mereka. Secara tidak
langsung, hal tersebut dapat dikatakan sebagai berperilaku adil terhadap rekan kerja (Hyrkas,
2000). Hasil penelitian juga menyebutkan perawat yang disupervisi melaporkan bahwa
hubungan antar anggota tim menjadi lebih dekat, yang pada akhirnya meningkatkan kolaborasi,
semangat tim, perasaan kebersamaan, dan juga peningkatan keaktifan mereka dalam
mendiskusikan masalah-masalah yang terkait dalam peningkatan kualitas pekerjaan (Jones, 2003
dalam Tony et al, 2007).
Perawat yang disupervisi juga melaporkan secara jelas peningkatan dalam
memperaktekkan diskusi masalah-masalah yang terjadi dalam kegiatan keperawatan mereka.
Hubungan antara anggota tim tumbuh lebih matang, semangat kelompok dan solidaritas serta
keterampilan pemecahan konflik menjadi semakin berkembang akibat kegiatan supervisi tersebut
(Hyrkas, 2000).
Kegiatan supervisi juga mampu meningkatkan kebutuhan akan belajar. Hasil penelitian
membuktikan setelah disupervisi responden sangat bersedia untuk berpartisipasi dalam
pendidikan pelayanan baik di dalam maupun di luar organisasi mereka. Masalah keselamatan
dalam bekerja adalah topik penting yang dibahas. Perawat yang telah menerima pendidikan
tentang pelayanan keperawatan terkait isu-isu keselamatan menjadi semakin meningkatkan
perasaan mereka, meningkatkan prinsip keselamatan dalam setiap kegiatan yang mereka
laksanakan. Supervisi dapat meningkatan kualitas melalui peningkatan perhatian terhadap
kapasitas kerja. Kualitas yang dimaksud antara lain meningkatkan fleksibilitas dalam bekerja,
memperjelas gambaran pekerjaan, dan peningkatan efisiensi kerja, serta sebagai refleksi kerja
untuk mengubah rutinitas yang kurang baik. Peningkatan kualitas tersebut pada akhirya akan
memperkuat aturan manajemen dan memudahkan mengatur kegiatan asuhan kepada pasien
(Hyrkas, 2000).

You might also like