Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
Ada 3 domain perilaku kepemimpinan yang mampu menjadi agen perubahan (change
agent) bagi perilaku anggota dalam suatu organisasi yakni pengarahan (direction), pengawasan
(supervision), serta koordinasi (coordination) (Gillies, 1994).
1) Pengarahan
Pengarahan mengacu pada penugasan, perintah, kebijakan, peraturan, standar, pendapat,
saran, dan pertanyaan untuk mengarahkan perilaku bawahan. Kebijakan, prosedur, standar, dan
tugas menjadi alat dalam memimpin orang lain untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan.
Perintah dalam pengarahan dapat berupa perintah lisan atau tertulis oleh atasan organisasi yang
membutuhkan untuk bawahan untuk bertindak atau menahan diri dari bertindak dengan cara
tertentu (Gillies, 1994)
2) Supervisi
Supervisi pelayanan keperawatan dikatakan sebagai kegiatan dinamis yang bertujuan
untuk meningkatkan motivasi dan kepuasan antara dua komponen yang terlibat yaitu supervisor
atau pimpinan, orang yang disupervisi sebagai mitra kerja dan pasien sebagai penerima jasa
pelayanan keperawatan (Arwani & Supriyatno, 2006). Supervisi merupakan perilaku
kepemimpinan yang berfungsi untuk memeriksa pekerjaan, mengevaluasi kinerja, memperbaiki
kinerja staf, memberi dukungan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja (Gillies, 1994;
Rowe & Haywood, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak dukungan yang
diberikan oleh pemimpin atau supervisor untuk keselamatan pasien akan meningkatkan
penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat, yakni meningkatkan frekuensi keterbukaan
dan pelaporan atas insiden keselamatan pasien. Persepsi yang baik tentang keselamatan pasien
juga dikatakan menjadi meningkat dan kemungkinan dapat menyebabkan meningkatnya
keterbukaan dan pelaporan insiden keselamatan pasien (Jardali et al, 2011).
3) Koordinasi
Koordinasi adalah kegiatan kepemimpinan yang mencakup semua kegiatan yang
memungkinkan staf untuk bekerja bersama secara harmonis. Koordinasi penting dilakukan untuk
keberhasilan suatu organisasi kesehatan. Umumnya koordinasi kegiatan staf terjadi selama
pertemuan kelompok kerja utama karena beberapa anggota mengkhususkan diri dalam tugas
terkait, seperti kegiatan menyempurnakan tujuan, identifikasi masalah, dan analisis data. Staf
yang lain mengkhususkan diri dalam kegiatan perawatan. Pemecahan masalah dalam kegiatan
koordinasi harus cukup panjang untuk memungkinkan diskusi lengkap dari topik masalah, dan
dalam kegiatan ini staf yang wajib hadir dibebaskan dari tugas perawatan pasien (Gillies, 1994).
1) Usia
Kemampuan dan keterampilan seseorang seringkali dihubungkan dengan usia, sehingga
semakin lama usia seseorang maka pemahaman terhadap masalah akan lebih dewasa dalam
bertindak, dan berpengaruh terhadap produktivitas dalam bekerja (Depkes RI, 2002 dalam
Hasmoko, 2008). Penelitan oleh Setiowati (2010) menyatakan usia perawat pelaksana
berhubungan positif dengan penerapan budaya keselamatan pasien. Hal tersebut didukung oleh
penelitian oleh Nurmalia (2012) yang menyatakan usia dewasa muda dianggap lebih mudah
menerima perubahan sehingga mempengaruhi dalam mempersepsikan budaya keselamatan
pasien.
2) Tingkat pendidikan perawat
Pendidikan merupakan suatu metode pengembangan organisasi dimana staf mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan untuk tujuan positif dan staf mendapat pengetahuan yang penting
untuk penampilan kinerjanya dalam hal kognitif, psikomotor, dan sikap. Pendidikan adalah
indikator yang menunjukkan kemampuan individu untuk menyelesaikan pekerjan yang menjadi
tanggung jawabnya (Hasibuan, 2008). Latar belakang pendidikan perawat berpengaruh terhadap
penerapan keselamatan pasien. Survey berdasarkan evidence based di New Zealand, Amerika
Serikat, dan Thailand menyebutkan ada kenaikan insidensi faktor penyebab kematian pasien di
RS pada tenaga perawat dengan latar belakang pendidikan campuran dan terdapat penurunan
pada ketenagaan yang sudah teregistrasi (Ridley, 2008).
3) Masa kerja
Masa kerja adalah jangka waktu yang dibutuhkan seseorang dalam bekerja sejak mulai
masuk dalam lapangan pekerjaan, semakin lama seseorang bekerja semakin terampil dan
berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya (Siagian, 2000 dalam Zakiyah, 2012). Masa
kerja akan memberikan pengalaman kerja yang lebih banyak pada seseorang. Pengalaman kerja
berhubungan dengan kinerja seseorang. Hasil penelitian oleh Setiowati (2012) menunjukkan ada
hubungan positif antara masa kerja dengan penerapan budaya keselamatan pasien.
a. Komponen normatif
Komponen normatif atau managerial adalah mempromosikan dan mematuhi kebijakan
dan prosedur, pengembangan standar, dan memberikan kontribusi ke unit klinis (Winstanley &
White, 2011). Komponen ini dapat diberikan apabila supervisor memiliki persepsi positif untuk
perawat pelaksana yang disupervisi. Komponen ini berfokus dalam mempertahankan kinerja
perawat pelaksana yang baik dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang kondusif,
membuat suatu perencanaan, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan yang dibutuhkan
untuk memberikan dukungan kerja yang lebih lanjut, menciptakan keselamatan pasien,
mempertahankan standar yang ada, dan memberikan kepercayaan kepada perawat pelaksana
sehingga hal tersebut dapat meningkatkan profesionalisme dan menciptakan kualitas pelayanan
yang bermutu (Lynch et al, 2008).
b. Komponen formatif
Komponen formatif juga disebut komponen edukatif. Komponen ini berfokus pada
pengembangan pengetahuan dan keterampilan perawat pelaksana sehingga memungkinkan
prawat pelaksana bekerja sesuai dengan standar yang berlaku sebagai aspek tanggung jawab
dalam melakukan praktek. Kondisi ini dapat dicapai melalui refleksi pada praktek yang sudah
dilakukan dengan mendukung dan menciptakan lingkungan yang kondusif. Hal ini merupakan
tanggung jawab bersama dari supervisor dan perawat pelaksana yang disupervisi. Adapun tugas
dari supervisor dalam komponen ini antara lain memberikan kritik konstruktif, memberikan
tantangan dalam praktek apabila diperlukan, memonitor kepatuhan perawat terhadap kode etik
dan standar yang berlaku, memberikan umpan balik yang jujur, secara teratur mengevaluasi
efektivitas kegiatan supervisi, serta mengidentifikasi pemecahan masalah yang diperlukan
(Lynch et al, 2008).
c. Komponen restoratif
Komponen ini disebut juga pastoral support, memungkinkan staf untuk mengerti dan
mengelola stres emosional dalam melaksanakan praktek keperawatan (Winstanley & White,
2011). Komponen restoratif berfokus dalam memberikan rasa aman bagi perawat pelaksana
untuk terbuka mengungkapkan perasaan dan permasalahan yang dihadapi, pengalaman dan
praktik dalam pembelajaran, mengatasi konflik, pemberian dukungan pada staf, proses interaksi,
serta meningkatkan kesadaan diri. Adapun tugas supervisor dalam hal ini adalah memberikan
dukungan atau motivasi, membantu perawat pelaksana untuk berinteraksi, memonitoring reaksi
atau respon terhadap materi yang dibawa oleh supervisor, meningkatkan pengalaman dan
pengembangan, dan meningkatkan kesadaran diri (Lynch et al, 2008).
c. Fungsi dukungan
Fungsi dukungan berguna untuk perawat dalam melaksanakan perannya. Dukungan dapat
diberikan oleh supervisor pada situasi tertentu, kejadian khusus atau masalah pribadi yang
mungkin berdampak pada pekerjaan dan kinerja perawat (Rowe & Haywood, 2007).
d. Fungsi negosiasi
Fungsi negosiasi adalah untuk meningkatkan efektifitas hubungan antara perawat
pelaksana, tim kesehatan lain, organisasi, dan lembaga lain yang bekerja di dalam lingkungan
yang sama. Untuk mencapai fungsi negosiasi dapat dilakukan melalui melakukan pengarahan
kepada perawat terhadap isu-isu kunci, sensitif terhadap keluhan-keluhan perawat, melakukan
pengarahan kepada perawat terhadap perubahan dan perkembangan yang mempengaruhi area
kerja mereka (Rowe & Haywood, 2007).