You are on page 1of 18

Cut Nyak Dien

Biodata
Nama Lengkap : Cut Nyak Dhien
Tempat Lahir : Lampadang, Kesultanan Aceh
Tahun Lahir : 1848
Meninggal : 6 November 1908. Sumedang, Hindia Belanda
Agama : Islam

Kehidupan

Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 di Aceh Besar di wilayah VI Mukimm, ia terlahir dari kalangan keluarga
bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang, yang juga mempunyai keturunan
dari Datuk Makhudum Sati.

Datuk Makhudum Sati datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan
Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu
Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

Pada masa kecil Cut Nyak Dhien, Ia memperoleh pendidikan agama (yang dididik oleh orang tua ataupun
guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari
yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku
Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Namun pada tahun 1878 Teuku Ibrahim Lamnga suami
dari Cut Nyak Dhien tewas karena telah gugur dalam perang melawan Belanda di Gle Tarum pada tanggal 29
Juni 1878.

Meninggalnya Ibrahim Lamnga membuat duka yang mendalam bagi Cut Nyak Dhien. Tidak lama setelah
kematian Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien dipersunting oleh Teuku Umar pada tahun 1880.

Teuku Umar adalah salah satu tokoh yang melawan Belanda. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi
karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk
menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Cut Gambang.
Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda.

Perang Aceh

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar
melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada
tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan
"menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu
mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya
komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk
menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang
menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.

Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus
berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-
pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada
pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa
ia ingin menyerang basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi
Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan
Teuku Umar).

Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-
besaran untuk menangkap Teuku Umar dan Chut Nyak Dhien. Namun, gerilyawan kini dilengkapi
perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda dan pasukan musuh berada pada kekacauan
sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat
terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan
membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.

Teuku umar dan Chut Nyak Dhien terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan
Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas. Unit
"Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh.
Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan
semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van
der Heyden membubarkan unit "De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral
selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan
masih tetap ada pada penduduk Aceh.

Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk
memata-matai pasukan pemberontak Teuku Umar sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana
Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur
tertembak peluru.

Setelah kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien memimpin pasukan perlawanan melawan Belanda di daerah
pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus
bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di
medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua.

Masa Tua dan Kematian

Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di rumah sakit disana, sementara itu Cut
Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan
ibunya.

Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke
Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat
perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu
Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu
Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106
Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di
dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim
Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama
beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat
banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.

Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-
Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Pangeran Antasari

Pangeran Antasari adalah pahlawanan nasional yang berjuang untuk melawan penjajahan Belanda yang
terjadi di Indonesia khususnya pada daerah Banjar, Kalimantan Selatan. Ia lahir pada tahun 1797 di Banjar.
Ayahnya bernama Pangeran Masohut (Mas'ud). Ayahnya merupakan anak dari Pangeran Amir yang
merupakan anak dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Ibunya
bernama Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman.

Semasa muda Pangeran Antasari mempunyai nama, yaitu Gusti Inu Kartapati. Pangeran Antasari memiliki 3
putera dan 8 puteri. Ia memiliki saudara perempuan yang bernama Ratu Antasari yang menikah dengan
Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam, namun meninggal setelah melahirkan calon pewaris kesultanan
Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi.

Perlawanan terhadap Belanda

Penjajahan kolonial Belanda ketika menduduki wilayah Kalimantan, tepatnya di Banjar. Strategi yang mereka
jalankan dikenal dengan nama politik divide et impera yang berarti membagi, memecah belah dan
menguasai atau yang dikenal dengan istilah "politik adu domba". Hal tersebut bertujuan untuk menguasai
Kerajaan di Banjar.

Pada tahun 1859, Sultan Tamjid diangkat menjadi sultan kerajaan Banjar, padahal yang berhak naik tahta
adalah Pangeran Hidayat. Sultan Tamjid tidak disukai oleh rakyat sebab terlalu memihak kepada Belanda.
Belanda sengaja memberikan dukungannya pada Sultan Tamjid. Hal ini menunjukkan campur tangan
Belanda sudah sangat meresahkan, bahkan, dalam pengangkatan seorang sultan pun merekalah yang
menentukan.

Sebagai salah seorang keturunan raja Banjarmasin yang dibesarkan di luar istana, Pangeran Antasari merasa
prihatin dengan situasi tersebut. Walaupun ia keluarga Sultan Banjar, tapi tidak pernah hidup dalam
lingkungan istana. Karena dibesarkan di tengah-tengah rakyat biasa, Antasari menjadi dekat dengan rakyat,
mengenal perasaan dan mengetahui penderitaan mereka. Pada waktu itu, kekuasaan kolonial Belanda
sedang berusaha untuk melemahkan kerajaan Banjar.

Belanda mengadu domba golongan-golongan yang ada dalam istana, sehingga mereka terpecah-pecah dan
bermusuhan. Maka Antasari pun berinisiatif untuk mengusir penjajah dari Kerajaan Banjar tanpa kompromi.
Pangeran Antasari berusaha membela hak Pangeran Hidayat, lalu bersekutu dengan kepala-kepala daerah
Hulu Sungai, Martapura, Barito, Pleihari, Kahayan, Kapuas, dan lain-lain.

Mereka semuanya bertekad untuk mengangkat senjata mengusir Belanda dari kerajaan Banjar. Sikap anti-
Belanda pun muncul akibat pergantian kekuasaan di istana yang menimbulkan keresahan di antara rakyat.

Pada tanggal 25 April 1859, Perang Banjar terjadi saat Pangeran Antasari beserta dengan sekitar 6000
pasukan menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron. Berawal dari peperangan tersebut,
peperangan demi peperangan terjadi di seluruh wilayah Kerajaan Banjar yang dikomandoi oleh Pangeran
Antasari yang dibantu dengan para panglima dan pasukannya. Pangeran Antasari menyerang pos-pos
Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tabalong, Tanah Laut, dan sungai Barito sampai ke Puruk
Cahu.

Pertempuran yang terjadi antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda berlangsung terus
di berbagai medan. Pasukan Belanda yang mendapat bantuan dari Batavia dan juga menang dalam
persenjataan berhasil membuat mundur pasukan Khalifah Mukminin sehingga membuat pasukan Khalifah
memindahkan pusat benteng pertahannya di Muara Teweh.

Pangeran Antasari berhasil mengerahkan tenaga rakyat dan mengobarkan semangat mereka sehingga
Belanda menghadapi kesulitan. Karena hebatnya perlawanan, Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk
menyerah, namun beliau tetap pada pendiriannya. Ini dijelaskan pada surat yang ditulisnya yang ditujukan
untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijk di Banjarmasin tanggal 20 Juli 1861.

"....dengan tefas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami
berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)...."

Tidak hanya itu, Belanda kerap menawarkan hadiah kepada siapa saja yang bisa menangkan Pangeran
Antasari. Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:

Antasari dengan anak-anaknya, Demang Lehman Amin Oellah, Soero Patty dengan anak-anaknya, Kiai Djaya
Lalana, Goseti Kassan dengan anak-anaknya.

Menjadi Sultan Banjar

Pada 14 Maret 1862, Pangeran Antasari diangkat sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan
Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan
para kepala suku Dayak dan adipati penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas, dan ahayan, yaitu Tumenggung
Surapati/Tumengung Yang Pati Jaya Raja.

Pangeran Antasari juga merupakan pemimpin Suku Bakumpai, Kutai, Maanya, Murung, Ngaju, Pasir, Siang,
Sihong, dan beberapa suku yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito.

Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan
Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar
bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13
Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:

"Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah"

Seluruh rakyat Banjar; mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminini", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.

Meninggal Dunia

Dalam keadaan sangat terjepit, Pangeran Hidayat akhirnya menyerah kepada Belanda. Kepala-kepala daerah
lain pun banyak pula yang menyerah. Pangeran Antasari tetap melanjutkan perjuangan. Baginya, pantang
untuk berdamai dengan Belanda, apalagi menyerah. Ia terus melanjutkan perjuangannya dengan berperang
di kawasan Kalimantan Selatan dan Tengah. Pada Oktober 1862, suatu serangan besar-besaran telah
direncanakan.

Pasukan telah disiapkan, akan tetapi wabah penyakit cacar menyerang dan melemahkan pasukan ini beserta
Antasari juga terkena wabah tersebut. Pangeran Antasari meninggal dunia pada tanggal 11 Oktober 1862 di
Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang. Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama
Muhammad Seman.

Penghargaan atas Dedikasinya

Pada tanggal 27 Maret 1968, Pangeran Antasari dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan
Kemerdekaan oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No.06/TK/1969 di Jakarta.

Gambar: Uang Rp. 2.000,-

Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan, yaitu Bumi
Antasari. Bank Indonesia (BI) mencetak uang kertas nominal Rp 2.000, dengan mengabadikan nama dan
gambar Pangeran Antasari pada uang kertas tersebut.
Ir. Soekarno

Ir Soekarno adalah Presiden pertama Republik Indonesia. Ia mempunyai peranan yang sangat besar dalam
proses kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan melewati perjuangan
hingga akhirnya dapat merdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia juga dikenal sebagai bapak
Proklamator Kemerdekaan Indonesia.

Biografi Ir Soekarno

Soekarno lahir di Blitar, Jawa Timur, Indonesia pada tanggal 6 Juni 1901. Beliau merupakan anak dari
pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo (ayah) dan Ida Ayu Nyoman Rai (ibu). Ibunya merupakan keturunan
bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan ayahnya sendiri beragama Islam.

Soekarno mempunyai nama asli Kusno saat lahir, namun karena sering mengalami sakit, saat ia berusia lima
tahun namanya diubah menjadi Sukarno oleh orangtuanya. Beliau merupakan anak ke-dua dari dua
bersaudara. yang pertama kakaknya bernama Sukarmini.

Soekarno pertama kali bersekolah di Tulung Agung hingga akhirnya pindah ke Mojokerto, karena mengikuti
orangtuanya yang pada saat itu ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, Soekarno bersekolah di Erste
Inlandse School. Namun pada bulan Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS)
untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS).

Pada tahun 1915, Seokarno telah lulus dari ELS dan berhasil melanjutkan pendidikannya ke HBS di Surabaya,
Jawa Timur. Ia diterima di HBS karena bantuan seorang teman ayahnya yang bernama H.O.S Tjokroaminoto.
Saat di Surabaya, ia tinggal di pondokan kediaman Tjokroaminoto yang telah memberinya tempat tinggal.

Di Surabaya, Soekarno bertemu denan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin oleh
Tjokroaminoto pada saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Hj.Agus Salim, dan Abdul Muis.

Soekarno aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo sebuah organisasi kepemudaan yang
didirikan oleh Satiman Wirjosandjojo di Gedung STOVIA pada tanggal 7 Maret 1915. Pada saat didirikan,
ketuanya adalah Dr. Satiman Wirjosandjojo, dengan wakil ketua Wongsonegoro, sekretaris Sutomo dan
anggotanya Muslich, Mosodo dan Abdul Rahman.

Setelah lulus dari HBS Soerabaja bulan Juli 1921, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te
Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921. Ia dinyatakan
lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia
diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya.
Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam. Di sana
ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu
merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang merupakan hasil inspirasi
dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Pada tanggal 4 Juli 1927, beliau mendirikan PNI (Partai
Nasional Indonesia), dengan tujuan Indonesia Merdeka. Aktivitasnya di PNI menyebabkannya ditangkap
Belanda pada tanggal 29 Desember 1929 di Yogyakarta dan besoknya dipindahkan ke Bandung, untuk
dijebloskan ke Penjara Banceuy. Pada tahun 1930 ia dipindahkan ke Sukamiskin dan pada tahun itu ia
memunculkan pledoinya yang fenomenal Indonesia Menggugat (pledoi), hingga dibebaskan kembali pada
tanggal 31 Desember 1931.

Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan
dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Pulau Flores. Pada tahun
1938 hingga tahun 1942 ia diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Beliau baru kembali bebas pada masa
penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Penjajahan Jepang

Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945) pemerintahan Jepang memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia
seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga
yang mereka buat untuk menarik hati dari penduduk Indonesia.

Beberapa organisasi bentukan Jepang antara lain : Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan
PPKI, tokoh-tokoh penting seperti Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, dan lain-
lain aktif dalam organisasi tersebut. Dan tokoh-tokoh nasional bekerja sama dengan pemerintah
pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Namun tidak semua tokoh-tokoh nasional
yang setuju bekerja sama dengan Jepang, bahkan ada gerakan bawah tanah dan gerakan pemberontakan
lainnya karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.

Soekarno aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila,
UUD 1945, dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi
Kemerdekaan.

Gambar: Ruang sidang BPUPKI

Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,
Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia
Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI,
Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Peristiwa Rengasdengklok

Terjadinya perbedaan antara golongan tua dengan golongan muda pada saat itu. Perbedaan tersebut
mengenai hal kemerdekaan, ke-dua golongan tersebut sama-sama menginginkan kemerdekaan, namun
golongan tua ingin proklamasi melalui PPKI, sedangkan golongan muda tidak ingin proklamasi melalui PPKI
karena organisasi tersebut merupakan bentukan Jepang. Selain itu, hal tersebut dilakukan agar Soekarno
dan Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para golongan pemuda khawatir apabila kemerdekaan yang
sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia, menjadi seolah-olah merupakan pemberian
dari Jepang.

Gambar: Rengasdengklok

Akhirnya pada tanggal 16 Juli 1945, peristiwa penculikan yang dilakukan oleh sejumlah pemuda antara lain
Soekarni, Wikana, dan Chaerul Saleh dari perkumpulan "Menteng 31" terhadap Soekarno dan Hatta yang
dibawa ke Rengasdengklok, untuk didesak agar segera mempercepat proklamasi kemerdekaan Indonesia
karena kekalahan Jepang pada saat itu dengan pasukan Amerika. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh
menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang
adalah Soekarno menetapkan momen tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal
17 Agustus 1945.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno bersama Moh. Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik
Indonesia yang salah satunya disebarkan melalui media Radio untuk rakyat di seluruh Indonesia.

Menjadi Presiden Republik Indonesia Dan Akhir Jabatan

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi
presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP. Ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pada
periode 1945-1966.

Pada saat menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena
menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam
tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah.

Pada tahun 1960 terjadi pergolakan politik yang hebat di Indonesia, penyebab utamanya adalah adanya
pemberontakan besar oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dikenal dengan sebutan G30-S/PKI dimana
dari peristiwa ini kemudian membuat pemerintahan Presiden Soekarno dan juga orde lama berakhir ditandai
dengan adanya "Supersemar" atau Surat Perintah Sebelas Maret di tahun 1966 yang ditandatangani oleh
Soekarno. Surat tersebut berisi perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang
perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden. Surat tersebut lalu
digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI
dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang.
MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar
menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang
Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila presiden berhalangan.

Pada tanggal 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana
Merdeka. Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto menjadi kepala pemerintahan
Indonesia. Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno,
mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden Republik IndonesiaI
hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.

Istri dari Soekarno

Kami membaca beberapa referensi ada 2 pendapat yang berbeda mengenai istri dari Soekarno, ada yang
menyebutkan mempunyai 3 istri dan ada yang menyebutkan beliau memiliki 9 istri. Kami lebih memilih 9
orang istri, karena kami membaca dari situs wikipedia yang kami anggap dapat dipercaya akan
kebenarannya. Jika ada kesalahan kami mohon maaf sebesar-besarnya kepada Anda.

1. Oetari (1921-1923)
2. Inggit Garnasih (1923-1943)
3. Fatmawati (1943-1956)
4. Hartini (1952-1970)
5. Kartini Manoppo (1959-1968)
6. Ratna Sari Dewi (1962-1970)
7. Haryati (1963-1966)
8. Yurike Sanger (1964-1968)
9. Heldy Djafar (1966-1969)

Akhir Hayat Soekarno

Soekarno telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria
tahun 1961 dan 1964. Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar
ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.

Soekarno masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di
RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi. Sebelum
dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono
yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan.

Penghargaan

Soekarno mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari 26 universitas di dalam dan luar negeri. Perguruan
tinggi dalam negeri yang memberikan gelar kehormatan kepada Soekarno antara lain Universitas Gajah
Mada (19 September 1951), Institut Teknologi Bandung (13 September 1962), Universitas Indonesia (2
Februari 1963), Universitas Hasanuddin (25 April 1963), Institut Agama Islam Negeri Jakarta (2 Desember
1963), Universitas Padjadjaran (23 Desember 1964), dan Universitas Muhammadiyah (1 Agustus 1965).

Mendapatkan penghargaan bintang kelas satu The Order of the Supreme Companions of OR Tambo dari
Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki. Soekarno mendapatkan penghargaan tersebut karena telah
mengembangkan solidaritas internasional demi melawan penindasan oleh negara maju serta telah menjadi
inspirasi bagi rakyat Afrika Selatan dalam melawan penjajahan dan membebaskan diri dari apartheid.
Raden Ajeng Kartini

Biografi R.A. Kartini atau Raden Ayu Kartini adalah salah satu sosok wanita yang menjadi pelopor untuk
kebangkitan wanita pribumi, salah satu dari pahlawan Indonesia yang wajib untuk dijadikan inspirasi hidup
bagi warga Indonesia khususnya bagi para kaum wanita. Perjuangan beliau untuk memperjuangkan
emansipasi wanita di Indonesia patut diancungi jempol.

Raden Ayu Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Kota Jepara. R.A adalah sebuah gelar yang diberikan
kepada keluarga bangsawan karena beliau merupakan anak dari kalangan keluarga bangsawan, maka ia
berhak mendapatkan gelar R.A atau bisa disebut dengan Raden Ajeng.

Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro
IV, yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai Bupati Jepara yang diangkat saat berusia 25 tahun dan
dikenal sebagai salah satu bupati pertama yang memberikan pendidikan barat kepada anak-anaknya.

R.M. Adipati Ario Sosroningrat juga pernah menjabat sebagai bupati Jepara setelah Kartini dilahirkan. Dari
ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Tidak hanya itu, ayahnya dikatakan masih
memiliki garis keturunan dari Kerajaan Majapahit hal ini diperkuat dengan pernyataan 'Pada abad ke-18
Pangeran Dangirin menjadi bupati di Surabaya sehingga nenek moyang R.M. Adipati Ario Sosroningrat
mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja (informasi ini perlu diteliti lebih lanjut).

Berbeda dengan ayahnya, ibu dari Kartini bukan keturunan dari bangsawan melainkan hanya rakyat biasa.
Nama beliau adalah M.A. Ngasirah merupakan anak dari Kyai Haji Madirono dengan Nyai Haji Siti Aminah,
seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Raden Ayu Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari semua saudara
kandungnya, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakaknya yang bernama Sosrokartono, seorang yang
pintar dalam bidang sastra atau bahasa.

Pada pernikahan pertama, R.M. Adipati Ario Sosroningrat menjabat sebagai Wedana di Mayong. Peraturan
kolonial pada saat itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan, maka M.A. Ngasirah
yang bukan dari keturunan bangsawan harus rela karena R.M. Adipati Ario Sosroningrat yang merupakan
seorang bangsawan menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung dari
seorang Raja Madura yang bernama R.A.A. Tjitrowikromo. Setelah pernikahan tersebut ayah Kartini diangkat
menjadi Bupati di Jepara. M.A. Ngasirah menjadi istri pertama dan R.A. Woerjan menjadi istri utama.
Gambar: Kartini dan Saudaranya

R.A Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sekolah ini ia belajar Bahasa Belanda, namun
hanya sampai usia 12 tahun karena budaya pada masa itu, anak perempuan harus tinggal dirumah untuk
'dipingit' dapat diartikan sebagai dikurung/berkurung di dalam rumah.

Belajar dapat dimana saja dan kapanpun selagi kita memiliki kemauan dan kesempatan, itulah yang
dilakukan Kartini. Ia bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar dan menulis surat kepada
teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda salah satunya bernama Rosa Abendanon.

Munculnya Pemikiran Mengenai Emansipasi Wanita

Kebiasaan Kartini yang menulis surat kepada teman-teman korespondensi dan juga ditambah dengan sering
membaca buku, koran, maupun majalah Eropa, Kartini menjadi tertarik pada kemajuan pola berpikir
perempuan Eropa. Akhirnya timbul keinginan untuk memajukan wanita pribumi karena pada masa itu
dengan budaya yang bersifat menekan perempuan, ia melihat bahwa wanita pribumi berada pada status
sosial yang rendah.

Kartini juga banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief, ia juga menerima Leestrommel (paket
majalah langganan). Ia beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-
suratnya tampak bahwa Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian.

Perhatiannya tidak hanya fokus pada emansipasi wanita, namun juga dalam masalah sosial umum. Ia
menginginkan agar wanita memperoleh persamaan hukum dan kebebasan sebagai bagian dari gerakan yang
lebih luas. Ia suka membaca buku, beberapa buku yang ia baca, yaitu Max Havelaar, Surat-Surat Cinta karya
Multatuli, dan De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus.

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang
kondisi wanita pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut
budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan bagi kaum wanita.

Raden Ayu Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling, Zelf-onderricht, Zelf-
vertrouwen, Zelf-werkzaamheid, dan Solidariteit. Semua itu atas dasar Ketuhanan, Kebijaksanaan dan
Keindahan, ditambah dengan peri kemanusiaandan Nasionalisme (cinta tanah air).

R.A Kartini memiliki keinginan untuk dapat melihat wanita pribumi mendapatkan persamaan hak dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti persamaan hak wanita dengan laki-laki, kebebasan dalam
menuntut ilmu, maupun dalam mengekang kebebasan wanita.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita
menjadi wanita Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah
menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke
sana tertutup.
Raden Ayu Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga
pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-citanya. Sang ayah dalam surat juga
diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi
guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun
untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya.
Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginannya tersebut. Akhirnya Kartini
membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-
sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi setelah
dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Pada tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi mungkin
hanya akan menjadi mimpi yang tidak dapat diwudujkan. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon,
Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. Padahal saat itu pihak departemen
pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Gambar: Sekolah Kartini

R.A Kartini menikah dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada tanggal 12 November 1903,
yang merupakan seorang bangsawan dan juga menjabat sebagai Bupati di Rembang yang telah mempunyai
tiga orang istri. Suaminya mengerti apa yang diinginkan oleh Kartini, akhirnya Kartini diberi kebebasan dan
didukung untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten
Rembang dan sekarang bangunan tersebut digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Meninggal Dunia

Pernikahannya dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo memiliki satu orang anak yang bernama Soesalit
Djojoahiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904. Berselang beberapa hari setelah melahirkan
tepatnya pada tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Bulu,
Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihan yang dilakukan oleh Kartini, kemudian banyak sekolah wanita yang berdiri seperti di kota
di Indonesia seperti Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, daerah lainnya, maupun sekolah
wanita yang didirikan oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912. Nama sekolah tersebut adalah Sekolah
Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Penjelasan Politik Etis adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang
tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi.

Pengumpulan Surat yang Pernah Ditulis oleh Kartini

Setelah kematian Kartini, seseorang yang bernama J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-
surat yang pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-teman korespondensi yang berada di Eropa. J.H.
Abendanon yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia
Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang memiliki arti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya".
Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan
terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Gambar: Buku Habis Gelap Terbitlah Terang

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah
Terang: Boeah Pikiran. Pada tahun 1938 keluar buku yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn
Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan
oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa
Jawa dan Sunda.

Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin menerjemahkan Door
Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972.
Pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun
terbit. Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-Surat Kartini, Renungan
Tentang dan Untuk Bangsanya.

Buku yang terbit melalui pengumpulan surat kartini :

1. Habis Gelap Terbitlah Terang


2. Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
3. Letters from Kartini, An Indonesian Feminist
4. Panggil Aku Kartini Saja
5. Kartini Surat-Surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
6. Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar

Surat-surat yang ditulis oleh Kartini menarik perhatian masyarakat Belanda dan pemikiran yang dituangkan
dalam surat tersebut mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap wanita pribumi. Tidak hanya itu
surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional, antara lain W.R. Soepratman
yang berhasil menciptakan sebuah lagi yang berjudul Ibu Kita Kartini. Lagu ibu kita Kartini menggambarkan
inti perjuangan wanita untuk merdeka. Kini kemerdekaan kaum wanita diwujudkan dalam konsep
emansipasi wanita.

Perdebatan Mengenai Kebenaran Surat dari Kartini

Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena
memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda,
dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian
besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak
keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.

Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu
menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus
dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-
pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan
Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika dan lain-lain.

Penghargaan

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei
1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir
Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai
Hari Kartini.

Lagu Ibu Kita Kartini karya W.R. Sopratman juga ditetapkan sebagai lagu Nasional. Namanya juga diabadikan
sebagai nama jalan kota yang ada di Belanda.

 Utrecht : dengan nama Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat


 Venlo : dengan nama Jalan R.A. Kartinistraat
 Amsterdam : dengan nama Jalan Raden Adjeng Kartini
 Haarlem : dengan nama Jalan Kartini
Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara adalah seorang tokoh pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman
penjajahan Belanda. Ia merupakan pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang
memberikan kesempatan bagi para pribumi yang pada saat itu tidak memperoleh hak pendidikan agar bisa
memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda pada saat itu. Tanggal
kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga Pakualaman, putra dari GPH Soerjaningrat, dan cucu dari
Pakualam III dan dibesarkan di lingkungan keluarga kraton Yogyakarta.

Ki Hajar Dewantara bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) pada saat itu merupakan sekolah dasar
pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Setelah lulus dari ELS, kemudian beliau bersekolah di STOVIA
(Sekolah Dokter Bumiputera) sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial
Hindia Belanda, saat ini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Namun ia tidak dapat tamat di
sekolah tersebut karena sakit.

Ki Hajar Dewantara bekerja sebagai penulis dan wartawan diberbagai surat kabar, antara lain, Sediotomo,
Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Tulisan-tulisannya
komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

Ki Hajar Dewantara aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908,
ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
(terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara. Kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.

Ki Hajar Dewantara juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi
kaum Indonesia yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest
Douwes Dekker. Kemudian Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, beliau diajak juga.

Ketika pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari pribumi, untuk perayaan
kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi dari kalangan nasionalis, termasuk Ki
Hajar Dewantara. Kemudian ia menulis Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga (Een voor Allen
maar Ook Allen voor Een).

Tulisan Ki Hajar Dewantara yang paling terkenal adalah Seandainya Aku Seorang Belanda (Als ik een
Nederlander was), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker, 13 Juli 1913. Kutipan
tulisan tersebut antara lain sebagai berikut:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri
yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi
juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk
menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo
teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung
perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi
suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".

Gambar: Tiga Serangkai

Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau
Bangka (atas permintaan sendiri). Namun, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan
akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda pada tahun 1913. Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga
Serangkai".

Dalam pengasingan di Belanda, Ki Hajar Dewantara aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia,
Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum
pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan
yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya.

Mendirikan Perguruan Taman Siswa

Pada tahun 1919, Ki Hajar Dewantara kembali ke Indonesia dan bergabung dalam sekolah binaan dari
saudaranya. Menjadi guru di sekolah tersebut membuatnya mempunyai pengalaman mengajar yang
kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang akan dia dirikan.

Gambar: Taman Siswa

Pada tahun 1922 saat berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, Raden Mas Soewardi Soeryaningrat
mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, namanya menjadi Ki Hadjar
Dewantara semenjak saat itu ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Dalam
ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 1972 namanya dieja menjadi Ki Hajar Dewantara.

Pada tanggal 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan sebuah sekolah Perguruan Nasional Taman Siswa
(National Onderwijs Institut Taman Siswa). Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan
kepada pribumi agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh
kemerdekaan. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi
Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Namun kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu
kemudian dicabut.

Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun
karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi
teladan), menjadi slogan Kementrian Pendidikan Nasional.

Meninggal Dunia

Ki Hajar Dewantara meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta. Dimakamkan di Taman Wijaya
Brata, makam untuk keluarga Taman Siswa.

Penghargaan

Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran
Indonesia disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Pada tahun 1957
ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia,
Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan, ia dinyatakan sebagai Bapak
Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya 2 Mei dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

You might also like