You are on page 1of 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kulit sebagai bagian paling luar dari tubuh, mempunyai posisi yang strategis,

bagi semua makluk hidup. Diantaranya membatasi lingkungan luar dengan

kehidupan di dalam tubuh. Kulit mempunyai fungsi utama sebagai pelindung dan

pertahanan, tidak saja yang bersifat fisik mekanis, juga biologis karena komponen

sel di dalam kulit dapat mensintesis berbagai struktur biologi seperti sitokin,

melanin, growth factor yang semuanya bersifat protektif terhadap tubuh

(Kariosentono 2015).

Fungsi proteksi kulit salah satunya adalah pertahanan terhadap bahaya sinar

matahari. Rangsangan sinar matahari ini dapat diatasi dengan fungsi barrier kulit.

Proteksi terhadap sinar matahari selain oleh epidermis, dapat disebabkan pula oleh

melanin. Sinar matahari merupakan gelombang elektromagnetik yang memiliki

semua jenis sinar (Kariosentono 2015).

Perawatan kulit sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan, kebersihan dan

kecantikan kulit. Kulit yang dirawat secara teratur akan selalu tampak lebih cerah,

lebih sehat, dan akan terhindar dari keluhan-keluhan yang biasa dihadapi pada

kulit. Salah satu keluhan tersebut adalah hiperpigmentasi atau flek-flek hitam pada

kulit (Fajarini 2016).


Salah satu penyebab umum dari hiperpigmentasi adalah paparan sinar

matahari yang berlebih dan kerusakan kulit yang disebabkannya. Paparan sinar

matahari yang berlebihan akan meningkatkan jumlah melanin di kulit. Hal ini pada

akhirnya dapat mengakibatkan bintik-bintik gelap pada bagian kulit yang sering

terbuka yakni tangan dan wajah (Miriam, 2002:456; Fajarini, 2016).

Indonesia merupakan negara yang kaya tanaman yang berpotensi memiliki

khasiat sebagai obat. Akhir-akhir ini penggunaan tanaman sebagai obat semakin

dikembangkan. Keunggulan pengobatan ini terletak pada bahan dasarnya yang

alami sehingga efek sampingnya dapat ditekan seminimal mungkin. Salah satu

tanaman yang dapat berkhasiat sebagai obat adalah duku (Lansium domesticum

Corr) (Subandrate et al. 2016).

Tanaman duku (Lansium domesticum Corr) merupakan tanaman musiman

yang tumbuh di wilayah tropis terutama Asia Tenggara, seperti Filipina,

Malaysia, Thailand dan Indonesia. Pada saat musim berbuah, kulit buah duku

hanya menjadi limbah di lingkungan, padahal sebenarnya dapat ditingkatkan nilai

manfaatnya jika digali potensi bioaktivitasnya. Hasil penelitian membuktikan

bahwa selain buahnya yang dapat dimakan dan bergizi, duku dapat bermanfaat

dalam banyak hal di bidang kesehatan baik sebagai bahan obat maupun pestisida

(Salim et al. 2016).

Kualitas kandungan senyawa yang berpotensi sebagai bahan obat maupun

pestisida dapat dipengaruhi oleh perbedaan asal tanaman, bagian tubuh tanaman
yang diuji, kondisi daerah tanam dan jenis pelarut yang digunakan. Untuk

menjamin bahwa kualitas herbal sama pada setiap produksinya dan memenuhi

standar minimal maka harus ada penetapan standar. Produk herbal akan terjamin

mutu ekstraknya melalui mutu kadar senyawa identitas dan kadar senyawa yang

tidak dikehendaki akibat kondisi penanaman, waktu panen, proses pembuatan

simplisia dan proses ekstraksi dapat diketahui (Salim et al. 2016)

Salim, et al., (2016) membuktikan bahwa limbah dari kulit duku (Lansium

domesticum Corr) mengandung senyawa flavonoid yang dapat digunakan sebagai

antioksidan dengan diekstraksi menggunakan senyawa n-heksan. Pada penelitian

yang dilakukan oleh Redha, (2010) membuktikan bahwa flavonoid sebagai salah

satu kelompok senyawa fenolik yang banyak terdapat pada jaringan tanaman

dapat berperan sebagai antioksidan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wibowo,

(2014) membuktikan bahwa pemberian asam traneksamat lebih efektif daripada

dengan pemberian triple combination (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%,

fluosinolon asetonid 0,01%) pada proses anti aging kulit dengan konsetrasi asam

traneksamat sebanyak 0,05 mL – 4 mg/mL.

Senyawa flavonoid berpotensi sebagai pencerah kulit karena dapat

menghambat aktivitas enzim tirosinase dengan mengkhelat logam tembaga (Cu)

yang merupakan active site enzim tirosinase akibat adanya gugus hidroksil pada

cincin A dan B pada flavonoid (gugus OH pada C6 – C8 dan C4) (Chang 2009).

Posisi gugus hidroksil dan jumlah gugus OH pada cincin benzena, maka semakin
kuat dalam menghambat aktivitas enzim tirosinase, sedangkan adanya gugus

metil konjugat pada cincin benzen dapat menurunkan aktivitas penghambatan

(Kim et al., 2006).

Asam traneksamat dapat menurunkan derajat pigmentasi dari melasma,

namun dari studi in-vitro diketahui plasminogen banyak terdapat di bagian basal

epidermis, dan keratinosit banyak mengandung plasminogen activator (PA)

khususnya PA tipe urokinase. PA ini berguna untuk diferensiasi, pertumbuhan,

migrasi dan juga tentunya untuk pigementasi keratinosit, dan blokade dari efek ini

mungkin merupakan mekanisme kerja tranexamic acid dalam menurunkan

hiperpigementasi (Maeda, 2007; Wibowo, 2014).

Telah dilakukan penelitian mengenai formulasi sediaan pencerah kulit dari

kulit bauh duku (Lansium domesticum Corr), namun kombinasinya dengan asam

traneksamat belum pernah dilakukan dalam sediaan krim sebagai pencerah kulit.

Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan formulasi sediaan krim

pencerah kulit dengan kombinasi ekstrak limbah kulit duku (Lansium domesticum

Corr) dengan variasi konsentrasi asam traneksamat yang akan diujikan secara in

vitro dengan menggunakan spektrofotometri UV-Visibel sehingga formula krim

yang dihasilkan memiliki nilai perlindungan sebagai pencerah kulit yang lebih

baik.
1.2 Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Kulit merupakan bagian tubuh paling luar dan paling banyak terpapar oleh

sinar UV A dan UV B yang berpotensi menimbulkan berbagai penyakit.

2. Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang dapat dijadikan

sebagai antioksidan.

3. Limbah kulit duku (Lansium domesticum Corr) mengandung terpenoid,

fenolik, dan flavonoid dengan diekstraksi menggunakan n-heksan.

4. Menentukan formula sediaan krim pencerah kulit dari kombinasi ekstrak

limbah kulit duku (Lansium domesticum Corr) dengan variasi konsentrasi

asam traneksamat.

1.3 Batasan Masalah

Mengingat banyaknya perkembangan pembahasan mengenai sediaan

pencerah kulit, maka pada pembahasan kali ini akan dibatasi untuk lebih

mengefektifkan dan mengefisienkan waktu penelitian. Peneliti membatasinya

yakni dengan melakukan skrining fitokimia ekstrak limbah kulit duku (Lansium

domesticum Corr), menentukan evaluasi sediaan krim pencerah kulit, serta

menentuka stabilitas sediaan krim pencerah kulit yang akan dibuat.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah

penelitian ini adalah bagaimana pengaruh kombinasi ekstrak limbah kulit duku

(Lansium domesticum Corr ) dengan variasi konsentrasi asam traneksamat


terhadap hasil evaluasi sediaan krim pencerah, stabilitas sediaan krim pencerah,

serta penghambatan terhadap enzim tirosinase ?

1.5 Tujuan Penelitian

Dengan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui

pengaruh kombinasi ekstrak limbah kulit duku (Lansium domesticum Corr )

dengan variasi konsentrasi asam traneksamat terhadap hasil evaluasi sediaan krim

pencerah, stabilitas sediaan krim pencerah, serta penghambatan terhadap enzim

tirosinase.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi penulis memberikan keterampilan dalam membuat formula sediaan krim

pencerah kulit yang telah teruji efektivitasnya.

2. Memberikan pengetahuan bagi penulis maupun pembaca untuk menambah

wawasan mengenai bidang teknologi dan formulasi sediaan krim pencerah

kulit yang berasal dari bahan alam yaitu limbah kulit duku (Lansium

domesticum Corr) yang diekstraksi dan dikombinasikan dengan variasi

konsentrasi asam traneksamat.

3. Pemanfaat limbah kulit buah duku (Lansium domesticum Corr) terhadap

bidang teknologi dan formulasi.


1.7 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2018 sampai bulan juni 2018

bertempat di Laboratorium Formulasi, Farmakognosi, dan Farmakologi Sekolah

Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas Husada Tasikmalaya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Duku

2.1.1 Deskripsi Tanaman Duku

Pohon duku merupakan tumbuhan khas wilayah tropis. Duku juga dikenal

sebagai duku, kokosan, langsat (Indonesia); duku, langsak, (Burmese); (Langsat,

duku (English); Filipino lanzone, lanzon, lansones, lansone buahan (Filipino);

langseh, langsep, lansa (Malaysa); duku, longkong, langsa (Thailand); dan bтn-bon

(Vietnam). Tumbuhan ini memiliki penyebaran yang cukup luas di wilayah Asia

(Lim, 2012). Adanya variasi pada morfologi dari pohon, daun dan buah duku ini

menyebabkan terjadinya penamaan yang berbeda-beda di beberapa negara serta

beberapa ahli juga menempatkan status taksonomi tumbuhan ini ke dalam jenis yang

berbeda (Hanum, 2013). Gambaran tanaman duku adalah sebagai berikut :

Gambar 2.1 Tanaman Duku (BPOM 2008).


2.1.2 Klasifikasi Tanaman Duku

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Mangnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Famili : Meliaceae
Genus : Lansium
Spesies : Lansium domesticum Corr (BPOM 2008).

2.2 Ekstraksi
2.2.1 Pengetian Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif

dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hamper semua pelarut diuapkan dan massa atau sebuk yang

tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (FI ed.

IV, 1995). Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campuranya dengan

menggunakan pelarut. Jadi, ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara

ekstraksi tanaman obat dengan ukuran partikel tertentu dan menggunakan medium

pengekstraksi (menstruum) yang tertentu pula (Agoes, 2009).

Ekstraksi dapat dilakukan menurut berbagai cara. Ekstrak yang diperoleh

sesudah pemisahan cairan dari residu tanaman obat dinamakan “micella”. Micella ini
dapat diubah menjadi bentuk obat siap pakai, seperti ekstrak cair dan tinktura atau

sebagai produk atau bahan antara yang selanjutnya dapat diperoses menjadi ekstrak

kering (Agoes, 2009).

2.2.2 Ekstraksi Tanaman Obat

Ekstraksi tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika

suatu/sejumlah bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman obat.

Biasanya mengisolasi dengan menggunakan pelarut untuk mengekstraksi bahan

tanaman. Perlakuan ini umumnya dikatakan sebagai ekstraksi padat – cair, yang

berlangsung dalam 2 proses secara parallel pelepasan (release) bahan yang

diekstraksi melalui proses dari sel (tanaman) yang telah dirusak, dan pelepasan bahan

yang diekstraksi melalui proses difusi (Agoes, 2009).

2.2.3 Pelarut Ekstraksi

Bermacam pelarut dapat digunakan, akan tetapi pelarut toksik harus dihindari.

Pelarut yang akan digunakan dapat dilihat pada farmakope. Pelarut yang terdapat di

farmakope tersebut dapat digunakan berdasarkan pertimbangan suhu didih agar

mudah diuapkan/dihilangkan. Untuk menemukan suhu didih/penguapan dapat

dilakukan dalam keadaan vakum (Agoes, 2009).


2.2.4 Maserasi

Maserasi adalah salah satu jenis metoda ekstraksi dengan sistem tanpa

pemanasan atau dikenal dengan istilah ekstraksi dingin, jadi pada metoda ini pelarut

dan sampel tidak mengalami pemanasan sama sekali. Prinsip maserasi adalah

pengikatan/pelarutan zat aktif berdasarkan sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like

dissolved like),penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk

simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama tiga hari pada temperatur kamar,

terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel.

Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel

dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan

diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah ( proses difusi ). Peristiwa

tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel

dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian

cairan penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya

dipekatkan (Supriyatna et al. 2015).

2.3 Kulit
2.3.1 Deskripsi Kulit

Kulit merupakan bagian tubuh yang paling utama yang perlu diperhatikan

dalam tata kecantikan kulit. Pemahaman tentang anatomi dan fisiologi kulit akan

membantu mempermudah perawatan kulit untuk mendapatkan kulit wajah yang

segar, lembab, halus, lentur dan bersih. Kulit merupakan organ tubuh paling besar
yang melapisi seluruh bagian tubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada

di dalamnya. Luas kulit pada manusia rata-rata + 2 meter persegi dengan berat 10 kg

jika ditimbang dengan lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak atau beratnya sekitar 16

% dari berat badan seseorang. Kulit memiliki fungsi melindungi bagian tubuh dari

berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi

melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara

terus menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah mati), respirasi

dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat serta pembentukan pigmen

melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultra violet matahari (Kalangi,

2010).

2.3.2 Struktur Kulit

Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis

merupakan jaringan epitel yang berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa

jaringan ikat agak padat yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat

selapis jaringan ikat longgar yaitu hipo-dermis, yang pada beberapa tempat terutama

terdiri dari jaringan lemak (Kalangi, 2010).

2.3.3 Melanosit

Melanosit meliputi 7-10% sel epidermis, merupakan sel kecil dengan cabang

dendritik panjang tipis dan berakhir pada keratinosit di stratum basal dan spinosum.

Terletak di antara sel pada stratum basal, folikel rambut dan sedikit dalam dermis.
Dengan pewarnaan rutin sulit dikenali. Dengan reagen DOPA (3,4-dihidroksi-

fenilalanin), melanosit akan terlihat hitam. Pembentukan melanin terjadi dalam

melanosom, salah satu organel sel melanosit yang mengandung asam amino (Kalangi,

2010).

2.3.4 Sistem Pigmentasi Kulit

Sistem pigmentasi manusia terdiri dari 2 (dua) tipe sel, yaitu melanosit dan

keratinosit beserta komponen selular yang berinteraksi membentuk hasil akhir yaitu

pigmen melanin. Melanosit yaitu suatu sel eksokrin, yang berada di lapisan basal

epidermis dan matriks bulbus rambut. Setiap melanosit lapisan basal dihubungkan

melalui dendrit-dendrit melanosit dengan 36 keratinosit yang berada pada lapisan

malphigi epidermis, ini yang disebut dengan unit melanin lapisan epidermal.

Melanosit memproduksi tirosinase dan melanosom. Di dalam melanosit di produksi

dua subtipe melanin, eumelanin dan feomelanin. Tirosinase berperan dalam

pembentukan dua subtipe melanin tersebut (Jimbow, 2001; Wibowo, 2014).

2.3.5 Gangguan Pigmentasi

Warna kulit manusia ditentukan oleh berbagai faktor, yang terpenting adalah

jumlah pigmen melanin kulit, peredaran darah, tebal tipisnya lapisan tanduk dan

adanya zat-zat warna lain yang bukan melanin yaitu darah dan kalogen. Dalam

keadaan normal, melanin dihasilkan secara teratur oleh sel melanosit. Melanin, selain

memberi warna pada kulit, juga berfungsi melindungi kulit dari terpaan sinar
matahari yang dapat merusak struktur kulit, dan kulit menjadi gelap. Melanin sangat

berguna melindungi kulit terhadap penyinaran sinar ultra violet. Pembentukan

pigmen melanin dirangsang oleh sinar ultra violet (Hendria, 2010).

2.4 Antioksidan
2.4.1 Pengertian Antioksidan

Senyawa fitokimia merupakan zat alami yang terdapat dalam tanaman yang

memberikan cita rasa, aroma dan warna yang khas pada tanaman tersebut. Beberapa

khasiat senyawa fitokimia tersebut berfungsi sebagai antioksidan, meningkatkan

sistem kekebalan, mengatur tekanan darah, menurunkan kolesterol, serta mengatur

kadar gula darah (Sayuti, 2015).

Secara kimia senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron ( elektron

donor). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang dapat

menangkal atau meredam dampak negatif oksidan. Antioksidan bekerja dengan cara

mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga

aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat di hambat (Winarti, 2010; Sayuti, 2015).

Antioksidan dibutuhkan tubuh untuk melindungi tubuh dari serangan radikal bebas.

Antioksidan adalah suatu senyawa atau komponen kimia yang dalam kadar atau

jumlah tertentu mampu menghambat atau memperlambat kerusakan akibat proses

oksidasi (Sayuti, 2015).


2.4.2 Flavonoid sebagai Antioksidan

Flavonoid adalah substansi yang berasal dari tumbuh – tumbuhan (herbal).

Flavonoid merupakan antioksidan yang potensial. Flavonoid terdapat pada buah–

buahan, sayuran, dan anggur merah (Soeharto 2004).

Senyawa flavonoid berpotensi sebagai antioksidan pada kulit karena dapat

menghambat aktivitas enzim tirosinase dengan mengkhelat logam tembaga (Cu) yang

merupakan active site enzim tirosinase akibat adanya gugus hidroksil pada cincin A

dan B pada flavonoid (gugus OH pada C6 – C8 dan C4) (Chang 2009). Posisi gugus

hidroksil dan jumlah gugus OH pada cincin benzena, menyebabkan semakin kuatnya

dalam menghambat aktivitas enzim tirosinase, sedangkan adanya gugus metil

konjugat pada cincin benzen dapat menurunkan aktivitas penghambatan (Kim et al.

2006).

2.5 Asam Traneksamat


2.5.1 Pengertian Asam Traneksamat

Asam traneksamat (trans-4-amino methyl cyclohexane carboxylic acid) adalah

analoglisin yang telah terbukti untuk mencegah hiperpigmentasi akibat UV. Asam

traneksamat mengurangi aktivitas tirosinase melanosit dengan mencegah pengikatan

plasminogen kekeratinosit, yang menghasilkan pengurangan prostaglandin dan asam

arakidonat, yang merupakan mediator inflamasi yang terlibat dalam melanogenesis

(Wibowo, 2014).
2.5.2 Kegunaan Asam Traneksamat

Kegunaan dari asam traneksamat adalah untuk mencegah, menghentikan

ataupun menghentikan pendarahan masif. Biasanya zat ini diberikan pada prosedur

pembedahan, epistaksis atau mimisan, pendarahan berat saat menstruasi atau

angioedema herediter (masalah sistem kekebalan tubuh). Secara sederhana, asam

traneksamat berfungsi untuk mencegah, mengurangi, bahkan menghentikan

pendarahan yang tak diinginkan (Wibowo, 2014).

2.5.3 Mekanisme Asam Traneksamat

Secara umum mekanisme asam traneksamat yaitu menurunkan derajat

pigementasi dari melasma, namun dari studi in-vitro diketahui plasminogen banyak

terdapat di bagian basal epidermis, dan keratinosit banyak mengandung plasminogen

activator (PA) khususnya PA tipe urokinase. PA ini berguna untuk diferensiasi,

pertumbuhan, migrasi dan juga tentunya untuk pigementasi keratinosit, dan blokade

dari efek ini mungkin merupakan mekanisme kerja tranexamic acid dalam

menurunkan hiperpigementasi (Maeda, 2007; Wibowo, 2014).

2.6 Krim
2.6.1 Pengertian Krim

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan

obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara

tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai


konsistensi relative cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak

dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri

dari emulsi minyak dalam air atau disperse mikrokristal asam-asam lemak atau

alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan

untuk pengguaan kosmetika dan esetika. Krim dapat digunakan untuk pemberian obat

melalui vaginal (FI ed. IV, 1995).

2.6.2 Stabilitas Krim

Stabilitas krim akan rusak jika sistem campurannya terganggu oleh perubahan

suhu dan komposisi, misalnya adanya penambahan salah satu fase secara berlebihan.

Pengenceran yang cocok adalah dengan teknik aseptis. Krim yang sudah diencerkan

harus digunakan dalam waktu satu bulan (Syamsuni 2004).

2.6.3 Bahan Pengemulsi dan Pengawet Sediaan Krim

Bahan pengemulsi krim harus disesuaikan dengan jenis dan sifat krim yang

dikehendaki. Sebagai bahan pengemulsi krim, dapat digunakan emulgid, lemak bulu

domba, setasium, setil alkohol, stearilalkohol, golongan sorbitan, polisorbat, PEG,

dan sabun (Syamsuni 2004). Bahan pengawet yang sering digunakan umumnya

adalah metilparaben (nipagin) 0,12 – 0,18% dan propilparaben (nipasol) 0,02 – 0,05%

(Syamsuni 2004).
2.7 Monografi Bahan

1. Asam Traneksamat

Asam traneksamat memiliki serbuk kristal berwarna putih. Larut baik dalam

air dan dalam asam asetat glasial, disimpan ditempat yang sejuk. Digunakan sebagai

zat aktif (Wibowo 2014).

2.Tokoferol Asetat

Tokoferol asetat praktis tidak berbau dan tidak berasa. Tidak larut dalam air;

sukar larut dalam larutan alkali; larut dalam etanol; dalam eter dalam aseton dan

dalam minyak nabati, sangat mudah larut dalam kloroform, simpan dalam wadah

tertutup rapat terlindung dari cahaya (Departemen Kesehatan 1995).

3. Poligliseril-3-Metilglukosa distearat

Poligliseril-3-Metilglukosa distearat merupakan emulsifier nabati, dan

terkadang sebagai emolien pada sediaan kosmetik dan produk kecantikan.

Poligliseril-3-Metilglukosa distearat merupakan ester gliseril, di mana bahan terdiri

dari lemak dan minyak yang dapat diubah (cair maupun padat) tergantung suhu yang

digunakan. Ester ini merupakan kombinasi asam stearat (potential irritant) dengan

produk kondensasi metilglukosa dan 3-poligliserin. Poligliseril-3-Metilglukosa juga

digunakan sebagai bahan pencerah kulit karena kemampuannya untuk memberikan

perlawanan ketika ada air dan bertindak sebagai surfaktan berbasis lipid (Bowmann et

al., 2005).
4. Setil Alkohol

Setil alkohol bebas larut dalam etanol (95%) dan eter, kelarutan meningkat

dengan meningkatnya suhu; praktis tidak larut dalam air. Setil alkohol stabil dengan

adanya asam, alkali, cahaya, dan udara, inkompatibilitas dengan oksidator kuat. Dan

disimpan pada tempat yang sejuk dan tertutup rapat (Rowe, Sheskey, and Quinn

2009).

5 .Neopentil Glikol Diheptanoat

Neopetil glikol diheptanoat merupakan ester yang ringan dan kering yang

biasanya digunakan untuk sediaan pencerah kulit, pelembab, losio wajah, foundation

dan anti-perspirant. Neopentil glikol diheptanoat ideal digunakan sebagai pelarut

bagi senyawa organic peredam UV memiliki pemerian berupa larutan yang tidak

berminyak, cepat menyebar dan tidak memiliki bau atau warna (Material Safety Data

Sheet LexFell 7®).

6 .Capric Trigliserida

Capric Trigliserida digunakan sebagai emulsifying agent, pelarut, dana agen

terapi. Memiliki pemerian kurang berwarna hingga agak kekuningan, cairan

berminyak yang praktis tidak berbau dan tidak berasa. Mengeras pada 00C. Memiliki

keunggulan daripada trigliserida rantai panjang, yaitu memiliki daya sebar, daya

penetrasi, emolien, dan kompatibilitas yang baik serta stabilitas yang baik terhadap

oksidasi. Kelarutan pada 200C larut dalam aseton, benzen, karbon tetraklorida,
kloroform, diklorometan, etanol (95%), eter, etil asetat, petroleum eter, toluene dan

xilen ((Rowe et al. 2009).

7 .Fenoksietanol

Fenoksietanol memiliki cairan agak kental yang tidak berwarna, bau yang

lemah, dan rasa terbakar (Rowe et al. 2009). Kelarutan Agak sukar larut dalam air,

larut dalam aseton, alkohol, dan gliserol; agak sukar larut dalam minyak zaitun dan

minyak kacang tanah (Martindale 36th, 2009) Dalam bahan bakunya stabil dan harus

disimpan dalam wadah tertutup baik dalam tempat sejuk serta kering (Rowe et al.

2009).

8 .Gliserin

Gliserin merupakan cairan bening, tidak berwarna, tidak berbau, kental,

higroskopik; serta memiliki rasa manis, kira-kira 0,6 kali lebih manis seperti sukrosa.

Gliserin dapat juga bercampur dengan air, etanol 95% P, tidak larut dalam kloroform

P, eter P, minyak lemak, dan minyak atsiri (Rowe et al. 2009).

9 .Propilenglikol

Sifat fisik propilen glikol adalah cairan jernih, tidak berwarna, kental, tidak

berbau dan memiliki rasa manis. Propilen glikol bersifat higroskopis sehingga harus

disimpan dalam wadah tertutup rapat, ditempat dingin dan kering serta terlindung dari

cahaya. Propilenglikol mengalami inkompatibilitas dengan agen pengoksidasi seperti

kalium permanganat. Sifat fisik propilen glikol adalah cairan jernih, tidak berwarna,
kental, tidak berbau dan memiliki rasa manis. Propilen glikol bersifat higroskopis

sehingga harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, ditempat dingin dan kering

serta terlindung dari cahaya (Rowe et al. 2009).

10. Tween 80

Tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan berminyak, memiliki

aroma yang khas, dan berasa pahit dan memiliki pH 6 - 8. Larut dalam air dan etanol,

tidak larut dalam minyak mineral. Kegunaan Tween 80 sebagai zat pembasah,

emulgator, dan peningkat kelarutan (Rowe et al. 2009).

11 .Akrilat

Akrilat digunakan untuk formulasi sediaan emulsi skin care yang memiliki Ph

6,3-7,3 yang bisa digunakan sebagai bahan multifungsi memodifikasi reologi,

penstabil emulsi. Akrilat menunjukan kelembaban kulit yang khas, mudah digunakan

dan efisien (Material Safety Data Sheet November™ EC-1).

12. Dinatrium EDTA

Dinatrium EDTA merupakan Serbuk hablur putih, hampir tidak larut dalam

kloroform dan eter; sedikit larut dalam etanol (95 %); larut (1:11) dengan air, yang

memiliki: pH = 4.3 – 4.7 untuk 1 % b/v larutan dalam air bebas karbon dioksida.

Penggunaan : Dalam formulasi farmasetikal dinatrium EDTA digunakan sebagai

bahan pengkelat terutama pada konsentrasi antara 0,005 – 0,1 % b/v (Departemen

Kesehatan 1995).
13. Aqua DM

Aqua DM adalah air suling memiliki cairan jernih, tidak berwarna, tidak

berbau, tidak mempunyai rasa, disimpan dalam wadah tertutup baik. Digunakan

sebagai pelarut (Departemen Kesehatan 1979).


BAB III

METOFELOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat blender, maserator,

neraca analitik (Excellent and mettle toledo®), rotary vaccum evaporator

(Eyela®), mortir, stemper, cawan uap, waterbath, Moisture Balance, pH

meter, viscometer brookfield, timbangan eletrik, dan alat-alat lainnya yang

digunakan pada penelitian dilaboratorium.

3.1.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Buah Duku

(Lansium domesticum Corr), Asam Traneksamat, poligliseril-3-metilglukosa

distearat, setil alkohol, neopentil glikol diheptanoat, capric trigliserida,

fenoksietanol, gliserin, propilenglikol, tween 80, akrilat, aquadest, HCl 2N,

pereaksi mayer, etanol 70%, ammonia 10%, kloroform, pereaksi dragendrof,

FeCl3, Serbuk Mg, amil alkohol, asam asetat, NaOH 2N, dan larutan Sodium

lauril sulfat (Brataco).


3.2 Determinasi Sampel

Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Universitas Padjadjaran,

bertujuan untuk membuktikan buah Duku yang diperoleh benar-benar tumbuhan yang

sesuai dengan pustaka.

3.3 Pengumpulan Bahan dan Proses Ekstraksi

Pengumpulan bahan dimulai dari pemilihan dan pengambilan tumbuhan yang

akan digunakan. Buah Duku diperoleh dari pasar Singaparna, daerah Tasikmalaya.

Buah Duku yang diambil dan disortasi adalah kulitnya, berwarna kuning segar.

Kemudian kulit buah Duku di cuci bersih dan dikeringkan dibawah sinar matahari

tak langsung. Lalu kulit buah Duku dilakukan penggilingan dengan blender hingga

menjadi serbuk dan diayak dengan pengayak ukuran 60 mesh. Serbuk kulit buah

duku diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol selama 3 x 24

jam. Hasil maserasi disaring, pelarut diuapkan dengan rotary evaporator, kemudian

dikeringkan di atas waterbath hingga menjadi ekstrak kental

3.4 Parameter Simplisia dan Ekstrak

3.4.1Uji Kadar Air

Uji kadar air ditentukan dengan menggunakan alat Moisture Balance.

Ditimbang seksama 1 g simplisia kulit Duku ke dalam Moisture Balance yang

telah aktif, kemudian di tunggu hingga hasil persen kadar air tertera pada layar
alat. Pengujian dilakukan duplo (Herdiana, 2016). Kadar air simplisia yang

diperbolehkan adalah kurang dari 10%

3.4.2 Uji Kadar Abu Total

Menurut Departemen Kesehatan RI (1995), penetapan kadar abu total

yaitu dengan cara timbang 2-3 gram serbuk simplisia dan gerus lalu masukan

kedalam krus yang sebelumnya sudah ditimbang dan dioven sampai konstan.

Masukan kedalam krus lalu pijarkan perlahan hingga arang habis, kemudian

dinginkan dan timbang. Bila arang tidak hilang, tambahkan air panas lalu saring

dengan kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa tadi dan kertas saring dalam krus.

Masukan filtrat ke dalam krus, uapkan dan pijarkan hingga bobot konstan.

Timbang krus dan hitung kadar abu terhadap bahan yang telah di keringkan di

udara. Syarat kadar abu total untuk simplisia adalah tidak lebih dari 14%.

3.4 Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Kulit Buah Duku

Uji skrining fitokimia dilakukan secara kualitatif pada ekstrak etanol kulit

buah Duku (Lansium domesticum Corr). Untuk mengetahui adanya alkaloid,

flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid dan steroid dengan cara sebagai berikut:

3.4.1 Uji Alkaloid

Sejumlah 0,5 g ekstrak dilarutkan dalam 10 mL alkohol, didihkan dan

disaring. Sebanyak 5 mL filtrat kemudian ditambahkan 2 mL larutan ammonia dan 5

mL kloroform lalu dikocok kuat. Lapisan kloroform yang terbentuk, kemudian


diekstraksi dengan 10 ml asam asetat, kemudian dibagi menjadi tiga bagian

(Rajendra, 2011).

1. Uji Dragendorff (Kalium bismuth nirat) : beberapa tetes larutan Dragendorff

ditambahkan kedalam larutan kloroform, endapan coklat menunjukkan adanya

alkaloid.

2. Uji Wagner (Kalium iodida) : beberapa tetes pereaksi Wagner ditambahkan

kedalam larutan kloroform, endapan coklat menunjukkan adanya alkaloid.

3. Uji Mayer (Kalium merkuri iodida) : beberapa tetes pereaksi Mayer ditambahkan

ke larutan kloroform, endapan putih kekuningan menunjukkan adanya alkaloid.

3.4.2 Uji Flavonoid

Ekstrak ditambahkan air lalu dipanaskan dan disaring untuk didapatkan

filtratnya. Terdapat tiga metode yang digunakan untuk uji flavonoid. Pertama,

beberapa tetes FeCl3 1% kedalam beberapa bagian ekstrak. Warna hijau kehitaman

menunjukkan adanya flavonoid. Kedua, beberapa tetes larutan asam asetat 10%

ditambahkan kedalam beberapa bagian ekstrak. Endapan kuning menandakan

adanya flavonoid. Ketiga, sejumlah ekstrak dilarutkan dalam methanol, lalu

ditambahkan sedikit serbuk Mg dan 1 ml HCl pekat dari sisi tabung. Terbentuknya

warna jingga menunjukkan adanya flavonoid (Rajendra, 2011).


3.4.3 Uji Saponin

Kedalam 0,5 gram ekstrak ditambahkan 5 mL aquadest dalam tabung reaksi.

Larutan dikocok kuat dan diamati adanya buih yang stabil. Ditambahkan 1 tetes

HCl 2N ke dalam buih dan dikocok kuat sampai teramati emulsi yang stabil

(Rajendra, 2011).

3.4.4 Uji Tanin

1. Sebanyak 0,5 g ekstrak dididihkan dalam 10 mL air dalam tabung reaksi, lalu

disaring. Filtrat Ditambahkan beberapa tetes FeCl3 0,1 %. Hasil positifnya adalah

warna hijau kecoklatan atau biru-hitam.

2. Sebanyak 0,5 g ekstrak yang diperiksa dimasukkan kedalam tabung reaksi,

dilarutkan dengan sedikit aquadest kemudian dipanaskan diatas penangas air, lalu

diteteskan dengan larutan gelatin 1% dalam NaCl 10%. Hasil positif ditandai

dengan terbentuknya endapan putih (Rajendra, 2011).

3.4.5 Uji Steroid/ Triterpenoid

Sebanyak 1 g ekstrak dilarutkan dalam 25 mL etanol panas (50° C), kemudian

hasilnya disaring kedalam pinggan porselen dan diuapkan sampai kering. Residu

ditambahkan eter dan ekstrak eter dipindahkan kedalam lempeng tetes kemudian

ditambahkan 3 tetes anhidrida asetat dan 1 tetes H2SO4 pekat (Uji Lieberman-

Bouchard). Terbentuknya warna hijau atau biru menunjukkan adanya senyawa


golongan steroid dan terbentuknya warna merah atau warna ungu menunjukkan

adanya senyawa golongan triterpenoid (Depkes RI, 1989).

3.5 Formula Sediaan Krim Ekstrak Etanol Kulit Duku

Formula sediaan krim pencerah kulit yang akan dibuat adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1 Formula sediaan krim pencerah kulit

Jumlah % (b/b)
Komposisi
F0 F1 F2 F3 F4
Ekstrak etanol kulit
0 10 10 10 10
duku
Asam Traneksamat 0 0 2 3 4
Tokoferol Asetat 1 1 1 1 1
Poligliserin-3-
8 8 8 8 8
metilglukosa distearat
Setil alkohol 2 2 2 2 2
Neopentil Glikol
3 3 3 3 3
Diheptanoat
Capric Trigliserida 5 5 5 5 5
Fenoksietanol 2 2 2 2 2
Gliserin 2 2 2 2 2
Propilenglikol 5 5 5 5 5
Tween 80 1 1 1 1 1
Akrilat 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75
Dinatrium EDTA 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
Aqua DM Add 100 Ml

Keterangan : F0 = Formula basis F1 = Formula 1, F2 = Formula 2, F3 = Formula 3,


F4 = Formula 4

3.6 Pembuatan Sediaan Krim Pencerah Kulit

Sediaan dibuat tipe krim minyak dalam air (M/A) atau oil in water (O/W).

Untuk mempersiapkan basis, fase air yang terdiri dari tween 80, gliserin,
propilenglikol dilarutkan dalam aqua DM yang telah dipanaskan pada 500C. Pada saat

yang sama fasa minyak yang terdiri dari poligliseril-3-Metilglukosa distearat, setil

alcohol, neopentil glikol diheptanoat, capric trigliserida dicampurkan dan dilebur

pada 800C. Setelah itu, fasa minyak ditambahkan ke dalam fasa air sedikit demi

sedikit dengan pengadukan berulang menggunakan magnetic stirrer selama 10 menit

hingga terbentuk massa krim. Ekstrak etanol kulit Duku dilarutkan dalam sebagian

aqua DM yang telah dipanaskan kemudian ditambahkan ke dalam basis krim sambil

terus dilakukan pengadukan. Dinatrium EDTA ditambahkan ke dalam formula

dengan suhu yang telah diturunkan (270C) kemudian ditambahkan fenoksietanol,

asam traneksamat dan tokoferol asetat dengan pengadukan yang diturunkan. Untuk

membuat massa krim akrilat ditambahkan hingga diperoleh massa krim yang

homogen. Massa krim dituang pada pot krim dan disimpan untuk dievaluasi.

3.7 Evaluasi Sediaan Krim Pencerah Kulit


3.7.1 Uji stabilitas fisik

Uji ini dilakukan untuk menilai sifat fisik dari sediaan krim.Uji yang

dilakukan

diantaranya:

1) Organoleptis

Pemeriksaan meliputi warna yang diamati secara visual dan bau (Kurniasih,

2016).
2) Uji Homogenitas

Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan menggunakan gelas objek

caranya

sejumlah tertentu sediaan dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain

yang cocok menghasilkan sediaan yang homogen dan tidak terlihat butiran - butiran

kasar (Lubis, 2012 ).

3) Penentuan pH

Sediaan ditimbang sebanyak 1 g dan dilarutkan dalam 100 ml air suling.

Kemudian elektroda dicelupkan dalam larutan tersebut, sampai alat menunjukkan

harga pH yang konstan. Angka yang ditunjukkan pH meter merupakan pH sediaan

(Lubis, 2012).

4) Uji Viskositas

Uji viskositas ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kekentalan dari sediaan

krim. Pada pengukuran viskositas ini di gunakan alat Viscometer Brookfield dengan

menggunakan spindle no. 4 pada 50 rpm. Kekentalan atau viskositas sediaan

termasuk salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan sediaan krim

karena bila krim terlalu kental maka susah untuk dituang sedangkan bila terlalu encer

maka lebih tepat disebut sebagai lotion dan bukan krim (Nurdianti, 2016). Syarat

viskositas krim yang baik adalah sekitar 4000-40.000 cPs.

5) Uji Daya Sebar

Sebanyak 0,5 gram krim hasil formulasi ditimbang dan diletakkan diatas petri

yang telah dilapisi kertas grafik diberi petri diatasnya dibiarkan 1 menit, dihitung luas
daerah yang diberikan sediaan. Selanjutnya diberi beban masing – masing 50, 100

dan 150 gram dibiarkan selama 60 detik selanjutnya dihitung luas sediaan yang

dihasilkan (Kurniasih, 2016).

6) Uji Daya Lekat

Sebanyak 0,3 gram krim dioleskan diatas gelas obyek yang sudah diketahui

luasnya. Diletakkan gelas obyek yang lain pada krim tersebut kemudian ditekan

dengan beban 1 kg selama 1 menit. Dipasang gelas obyek tersebut pada alat uji

kemudian dipasang beban seberat 80 gram dan dicatat waktu hingga kedua gelas

obyek terpisah (Engelina, 2013).

3.7.2 Uji Iritasi Sediaan Krim Pencerah Kulit

Uji iritasi sediaan krim dilakukan terhadap hewan uji kelinci dengan

menggunakan metode Draize (1959). Penelitian ini menggunakan 5 ekor kelinci..

Pada bagian punggung kelinci dibuat 6 pola menggunakan spidol, yaitu 3 bagian

disebelah kanan dan kiri berbentuk persegi panjang dengan ukuran 3 x 2 cm dengan

jarak antar bagian 2 cm. kemudian cukur halus (jangan sampai lecet) pola yang sudah

dibaut tersebut menggunakan gunting dan silet, lalu dibersihkan dan diolesi etanol

95% kemudian diberikan perlakuan larutan SLS 15% sebagai kontrol positif, basis

formulasi krim (F0) sebagai kontrol negative, dan formula (F1, F2, F3, dan F4)

sebagai sampel.

Masing-masing sampel sediaan sebanyak 0,5 g dioleskan pada bagian

punggung kelinci yang telah dicukur, lalu ditutup dengan kasa steril kemudian diikat

dengan plester panjang memutari perut dan punggung selama 24 jam. Setelah 24 jam,
plester dan perban dibuka dan dibiarkan selama 1 jam, lalu diamati. Setelah diamati,

bagian tersebut kembali dengan plester yang sama dan dilakukan pengamatan

kembali setelah 72 jam. Selanjutnya untuk setiap keadaan kulit diberi nilai sebagai

berikut :

Tidak ada eritema =0

Eritema sangat ringan = 1

Eritema ringan =2

Eritema sedang =3

Eritema berat =4

Tidak ada edema =0

Edema sangat ringan = 1

Edema ringan =2

Edema sedang =3

Edema berat =4

Indeks iritasi dihitung dengan cara menjumlahkan nilai dari setiap kelinci

percobaan setelah 24 jam dan 72 jam pemberian sampel iritan, kemudian dibagi 4

penilaian iritasinya sebagai berikut :

0,00 = Tidak mengiritasi

0,04-0,99 = Sedikit mengiritasi

1,00-2,99 = Iritasi ringan

3,00-5,99 = Iritasi sedang

6,00-8,00 = Iritasi berat.


3.7.3 Uji Sediaan Krim Pencerah Kulit pada Kulit

Uji ini dilakukan oleh 5 probandus pada masing – masing formula. Kriteria

sebagai probandus diantaranya wanita berbadan sehat, Usia antara 18-30 tahun, tidak

ada riwayat penyakit yang berhubungan dengan alergi pada kulit dan bersedia

menjadi probandus dengan mengisi form kesediaan sebagai probandus. Uji sediaan

krim ini dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan krim di punggung tangan kiri

dengan luas 5x5 cm setiap pagi dan malam hari selama 2 jam. Uji ini dilakukan

selama 1 minggu dan diamati setiap 1 hari sekali. Pengamatan hasil dilakukan dengan

mengamati langsung perubahan fisik meliputi warna dan didokumentasikan dengan

pengambilan gambar menggunakan kamera handphone dengan merk dan produk

yang sama yang dilakukan pada ruangan dengan menggunakan pencahayaan lampu

philip. Gambar diambil pada jarak 17 cm. Tingkat kecerahan kulit juga diukur

menggunakan Skin Color Chart. Dalam uji ini punggung tangan kanan digunakan

sebagai kontrol.
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Goeswin. 2015. Sediaan Kosmetika, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Agoes, Goeswin. 2009. Teknologi Bahan Alam, Institut Teknologi Bandung,


Bandung.

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.

BPOM. 2008. Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat Citeureup.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

Chang, Te-sheng. 2009. “An updated review of Tyrosinase Inhibitors.” (Figure


1):2440–75.

Fajarini, Masyita Nurul. 2016. “Pengaruh masker mentimun terhadap pengurangan


hiperpigmentasi pada kulit wajah.” 9–14.

Herdiana Y, S Haryanto, Muztabadihardja. 2016. Formulasi krim pencerah wajah


ekstrak etanol 70% daun ciplukan (Physalis angulata L).

Kariosentono, Harijono. 2015. “Kelainan pigmentasi kulit dan penuaan dini serta
peran pendidikan kedokteran dibidang ilmu kesehatan kulit & kelamin.”

Kim, Donghyun et al. 2006. “Flavonoids as mushroom tyrosinase inhibitors : A


fluorescence quenching study flavonoids as mushroom tyrosinase inhibitors : A
fluorescence quenching study.”

Redha, Abdi. 2010. “Flavonoid : struktur , sifat antioksidatif dan peranannya dalam
sistem biologis.” 196–202.

Rowe, R., P. Sheskey, and M. Quinn. 2009. “Handbook of Pharmaceutical


Excipients.” Handbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition 549–53.

Salim, Milana et al. 2016. “Karakterisasi simplisia dan ekstrak kulit buah duku (
Lansium domesticum Corr ) dari provinsi sumatera selatan dan jambi.”
6(2):117–28.
Soeharto, Iman. 2004. Penyakit Jantung Koroner Dan Serangan Jantung. Kedua.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Subandrate, Sadakata Sinulingga, Sri Wahyuni, M.Fakhri Altiyan, and Fatmawati.


2016. “Potensi antioksida biji duku (Lansium domesticum Corr.) pada tikus
putih (Rattus Novergicus) jantan yang diinduksi aloksan.” 1–8.

Supriyatna, Moelyono MW, Yoppi Iskandar, and R. Maya Febrianti. 2015. Prinsip
obat herbal.

Syamsuni, Haji. 2004. Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi. Jakarta: EGC.

Wibowo, Almond. 2014. “Tranexamid acid lebih menurunkan skor melasma


daripada triple combination (Hidrokuinon 4%, Tretinoin 0,05%, Fluosinolon
Asetonid 0,01%) pada proses anti aging.”

You might also like