Professional Documents
Culture Documents
Kemal Hidayah
Abstract
Lapindo Brantas mudflow disaster in Porong Sidoarjo is blurred portrait of
uncontrolled exploitation of natural resources so well that a systemic effect and
extends not only to the community but also business and other sectors of the
economy. This article intends to describe the dynamics of disaster management
policies in the region in the era of regional autonomy. Based on the facts on the
ground, most of the region do not yet have sufficient awareness to mainstream
disaster risk reduction in development planning policy. Difficulties in integration
policies because of its complexity policies should synergize. Ranging from disaster
management policy itself (Act No. 24 of 2007), policy development planning (Law
No. 25 of 2004), financial policy areas (Law No. 17 of 2004) and local government
policy (Law No. 32 of 2004 which has now been replaced by Law No. 23 of 2014).
This complexity is also complicated by the problems caused by not singkronnya
relationships between the content in these policies as well as at the level of cultural
policies (perception, attitude and behavior) at the level of the public and policy
makers.
Keywords : Disaster management, Regional development policy, Lapindo
Abstraksi
Bencana luapan lumpur Lapindo brantas di Porong Sidoarjo merupakan
potret buram eksploitasi SDA yang tidak terkontrol dengan baik sehingga
berdampak sistemik dan meluas tidak hanya bagi masyarakat akan tetapi juga
pelaku usaha dan sektor perekonomian yang lainnya. Tujuan penulisan ini ingin
menguraikan tentang dinamika kebijakan penanggulangan bencana di daerah pada
era otonomi daerah. Berdasarkan fakta di lapangan, sebagian besar daerah belum
memiliki kesadaran yang memadai untuk mengarusutamakan pengurangan resiko
bencana dalam kebijakan perencanaan pembangunannya. Kesulitan dalam
pengintegrasian kebijakan karena kompleksitasnya kebijakan yang harus di
1 Naskah di terima pada 4 September 2015, revisi pertama pada 14 November 2015, disetujui pada 1 Desember 2015
dengan pendapat saksi ahli yang diajukan dalam konteks pengelolaan lingkungan
pihak tergugat yang terdiri dari Agus hidup tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Gutoro, Sukandar Asikin, Moch Sofyan rumusan pembangunan berkelanjutan
Hadi Djojopranoto yang menyatakan pada dasarnya mengandung dua konsep,
bahwa terjadinya luapan lumpur adalah yaitu: pertama, konsep kebutuhan
fenomena alam, yaitu karena gerak (needs)terutama kebutuhan dari rakyat
tektonik (gempa tektonik) yang terjadi di miskin di dunia yang memerlukan
Jogjakarta pada 27 Mei 2006, sehingga prioritas penanganan. Kedua,
menyebabkan material kunjung yang ada keterbatasan (limitations) kemampuan
pada patahan yang memanjang sepanjang lingkungan hidup dalam rangka
Sidoarjo hingga Selat Madura mengalami memenuhi kebutuhan manusia sekarang
kompresi aktivitas magma sehingga maupun pemenuhan kebutuhan yang akan
menyembur kepermukaan.Putusan datang. Disamping itu, pembangunan
sebagaimana dimaksud menge- berkelanjutan (sustainable development)
sampingkan pendapat saksi ahli yang merupakan konsep memajukan
diajukan pihak penggugat yakni pendapat keterpaduan antara komponen atau aspek
Rudi Rubiandini, seorang Dosen Teknik pembangunan berkelanjutan,
Perminyakan dari ITB dengan keahlian pembangunan ekonomi, sosial dan
khusus tentang Driling (pengeboran perlindungan terhadap lingkungan hidup,
MIGAS), serta merupakan Ketua Tim sebagai pilar-pilar yang saling menopang,
Investigasi yang dibentuk oleh Meteri tergantung dan memperkuat satu sama
ESDM untuk mengetahui dan lain.
mengungkapkan penyebab terjadinya Berpangkal dari problematika
semburan lumpur di lokasi eksplorasi sebagaimana telah diuraikan diatas
BJP-1 Lapindo Brantas, Inc. semakin menunjukkan frekuensi tinggi
Berdasarkan hasil investigasi yang dan keberagaman bencana tersebut
dilakukan dapat disimpulkan bahwa menuntut progresifitas pemerintah dalam
penyebab terjadinya semburan lumpur menanggulangi bencana lumpur lapindo.
Lapindo adalah karena tekanan yang Pada awalnya respon Pemerintah masih
berbeda-beda dari formasi yang ditembus bersifat spontan, parsial, dan kurang
harus dihadapi oleh lumpur yang memiliki terlembagakan. Setiap kali terjadi
satu densitas yang homogen sehingga bencana, reaksi pemerintah selalu
perlu dapasang casing, sedangkan telah terkesan lamban, kurang terprogram
terjadi retakan batuan di bawah tanah secara komprehensif, dan cenderung
akibat tekanan di dalam lubang bor terlalu kurang terkoordinasi. Strategi yang
besar selama penanganan Problem ”kick” diterapkan pun kurang mencerminkan
tanggal 29 Mei 2006, dimana pada saat itu penanganan bencana yang berbasis
lubang bor tidak di pasang pelindung manajemen bencana, dan sering kali
(casing) sepanjang 4450 kaki (1350 minim data dan informasi sehingga
meter), sehingga mengakibatkan aliran kurang tepat sasaran. Penanganan
air-asin-panas mengalir ke permukaan bencana pun lebih terfokus pada saat
melalui rekahan batuan secara tidak tanggap darurat, sementara masa
terkontrol yang menggerus lapisan tanah prabencana belum tergarap secara
liat sehingga menyembur ke permukaan terprogram dengan manusia.
sebagai lumpur. Berdasarkan uraian diatas maka
Dengan demikian, dari berbagai dalam penulisan karya ilmiah ini penulis
uraian terkait dengan pengertian atau mengangkat permasalahan mengenai
batasan dari pembangunan berkelanjutan bagaimana model kebijakan yang efektif
bumi. Kemiskinan yang akut di kawasan tiba tiba, yang terpisah dari kehidupan
urban membuat banyak keluarga tidak normal manusia. Kondisi ini juga di
bisa membangun rumah yang aman perparah oleh tidak adanya jalur
terhadap bahaya karena keterdesakan koordinasi yang jelas antar SKPD dalam
ekonomi dan lemahnya daya dukung pelaksanaan penggulangan bencana. Para
lingkungan. Kemiskinan dan SKPD juga masih keuslitan memadukan
keterpinggiran dalam proses kebijakan kebutuhan penanggulangan bencana di
juga meningkatkan kerentanan karena daerah dalam rencana strategis, rencana
banyak kebijakan tidak memperhitungkan kerja dan anggarannya. Dengan kata lain,
kondisi dan kebutuhan orang miskin. SKPD-SKPD masih memandang
Dalam situasi yang sama, lemahnya kebijakan penanggulangan bencana
skema proteksi sosial dari negara di satu menjadi urusan sektoral, sehingga dalam
sisi, serta menurunnya mekanisme pelaksanaan kebijakan seringkali
pengaman informal di sisi yang lain, compang-camping dan ujung-ujungnya
membuat kerentanan menjadi semakin rakyat menjadi korbannya.Sementara itu,
meningkat. Inilah potret-potret kegagalan di sisi lain sebagai rujukan dalam
pembangunan yang berkorelasi dengan mengarusutamakan PRB, pemerintah
peningkatan keterpaparan terhadap daerah memerlukan peta resiko bencana
bahaya. yang terdiri dari peta ancaman, peta
Namun masalahnya adalah kerentanan dan peta kapasitas. Hasil
sebagian besar daerah belum memiliki pengamatan menunjukan bahwa sangat
kesadaran yang memadai untuk sedikit daerah yang memiliki peta yang
mengarusutamakan pengurangan resiko memadai. Sehingga, pada level
bencana dalam kebijakan perencanaan implementasi pengarusutamaan tersebut
pembangunannya. Para pemangku belum dapat mulus terjadi.
kepentingan di daerah belum begitu kuat Tabel di bawah ini menggambarkan
memahami paradigm baru berbagai tantangan dalam
penanggulangan bencana. Di sisi lain, pengintegrasian kebijakan pengurangan
secara kelembagaan ada keengganan resiko bencana (PRB), pada tahap
daerah untuk membentuk Badan perencanaan dan anggaran dalam
Penanggulangan Bencana Daerah kebijakan pembangunan di daerah.
(BPBD) dengan dasar Perda karena alasan Berbagai tantangan tersebut hampir
keberlanjutan suplai anggaran dari pusat. menghinggapi semua kabupaten, kota dan
Daerah tidak berkenan menganggarkan provinsi di Indonesia.
penanggulangan bencana pada arus utama
kebijakan dalam APBD. Oleh karenanya
BPBD yang terbentuk lebih banyak
berdasarkan SK Bupati dan atau Perbub.
Selama ini memang kebijakan
penggulangan bencana di daerah
terdistribusi dalam program-program
SKPD yang terkait dengan kebencanaan.
Tetapi, bukan hanya soal jumlah anggaran
yang seadanya, perencanaan
penggulangan bencana di daerah juga
kebanyakan lebih mengedepankan
paradigma lama, yaitu menganggap
bahwa bencana adalah suatu yang terjadi
PERENCANAAN PENGANGGARAN
1. PRB dan RAD belum secara teknis 1. PRB sering dianggap sebagai program
terintegrasi dengan RPJMD dan RKPD. sektoral, berdiri sendiri, musiman,
Peta Resiko dan RPB belum menjadi temporer.
input dari RPJMD dan RKPD 2. SKPD tidak menggunakan analisis
2. Pendekatan politis dominan dalam resiko bencana dalam menyusun
RPJMD sehingga PRB sbg pendekatan program,kegiatan dan anggaran.
teknokratis sering terabaikan. 3. Dampak pendapatan dan belanja
3. Musrenbang belum dapat memetakan terhadap resiko bencana tidak terukur.
resiko bencana warga dan kebutuhan 4. B u t u h ' k e r j a l e b i h ' u n t u k
PRB warga. menganggarkan PRB dalam
4. Perbedaan siklus RAD (3tahun) dan nomenklatur APBD.
RKPD (1tahun) cukup menyulitkan 5. Ketergantungan sumber pendanaan
pengintegrasian. dari pusat mengurangi inovasi untuk
PRB