You are on page 1of 18

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA

DI ERA OTONOMI DAERAH


(Kajian Terhadap Penanganan Kasus
Luapan Lumpur Lapindo Brantas)1

DISASTER MANAGEMENT POLICIES


IN THE ERA OF REGIONAL AUTONOMY
(Study on Handling Cases Surge Lumpur Lapindo Brantas)

Kemal Hidayah

PKP2A III Lembaga Administrasi Negara


JL. H.M Ardans No. 36 (Ring Road III) Samarinda-Kalimantan Timur
Email: hidayahkemal@yahoo.com

Abstract
Lapindo Brantas mudflow disaster in Porong Sidoarjo is blurred portrait of
uncontrolled exploitation of natural resources so well that a systemic effect and
extends not only to the community but also business and other sectors of the
economy. This article intends to describe the dynamics of disaster management
policies in the region in the era of regional autonomy. Based on the facts on the
ground, most of the region do not yet have sufficient awareness to mainstream
disaster risk reduction in development planning policy. Difficulties in integration
policies because of its complexity policies should synergize. Ranging from disaster
management policy itself (Act No. 24 of 2007), policy development planning (Law
No. 25 of 2004), financial policy areas (Law No. 17 of 2004) and local government
policy (Law No. 32 of 2004 which has now been replaced by Law No. 23 of 2014).
This complexity is also complicated by the problems caused by not singkronnya
relationships between the content in these policies as well as at the level of cultural
policies (perception, attitude and behavior) at the level of the public and policy
makers.
Keywords : Disaster management, Regional development policy, Lapindo

Abstraksi
Bencana luapan lumpur Lapindo brantas di Porong Sidoarjo merupakan
potret buram eksploitasi SDA yang tidak terkontrol dengan baik sehingga
berdampak sistemik dan meluas tidak hanya bagi masyarakat akan tetapi juga
pelaku usaha dan sektor perekonomian yang lainnya. Tujuan penulisan ini ingin
menguraikan tentang dinamika kebijakan penanggulangan bencana di daerah pada
era otonomi daerah. Berdasarkan fakta di lapangan, sebagian besar daerah belum
memiliki kesadaran yang memadai untuk mengarusutamakan pengurangan resiko
bencana dalam kebijakan perencanaan pembangunannya. Kesulitan dalam
pengintegrasian kebijakan karena kompleksitasnya kebijakan yang harus di

1 Naskah di terima pada 4 September 2015, revisi pertama pada 14 November 2015, disetujui pada 1 Desember 2015

Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015 298


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

sinergikan. Mulai dari kebijakan penanggulangan bencana itu sendiri (UU No 24


Tahun 2007), kebijakan perencanaan pembangunan (UU No 25 Tahun 2004),
kebijakan keuangan daerah (UU No 17 Tahun 2004) dan kebijakan pemerintahan
daerah (UU No 32 Tahun 2004 yang sekarang telah diganti dengan UU No 23 Tahun
2014). Kompleksitas ini juga diperumit lagi dengan persoalan-persoalan yang
disebabkan oleh tidak singkronnya relasi antar isi dalam kebijakan-kebijakan
tersebut serta pada aras budaya kebijakan (presepsi, sikap dan perilaku) pada level
masyarakat dan pembuat kebijakan.
Kata Kunci: Penanggulangan bencana, Kebijakan Pembangunan Daerah, Lapindo

A. PENDAHULUAN Lapindo Brantas Inc. melakukan


Kekayaan sumber daya alam yang pengeboran gas melalui perusahaan
dimiliki oleh bangsa Indonesia kontraktor pengeboran PT. Medici Citra
merupakan suatu modal penting dalam Nusantara yang merupakanperusahaan
proses penyelenggaraan pembangunan afiliasi Bakrie Group. Kontrak itu
nasional. Pemerintah sebagai pihak atau diperoleh Medici dengan tenderdari
lembaga memiliki kewenangan untuk Lapindo Brantas Inc. senilai US$ 24 juta.
mengelola dan memanfaatkannya. I Namun dalam hal perijinannyatelah
Nyoman Nurjaya, mengatakan bahwa terjadi kesimpangsiuran prosedur dimana
penyelenggaraan pembangunan nasional ada beberapa tingkatan ijinyang dimiliki
yang hanya diabdikan demi peningkatan oleh lapindo. Hak konsesi eksplorasi
pendapatan dan devisa negara (state Lapindo diberikan oleh Pemerintah pusat
revenue), maka pemanfaatan SDA dalam hal ini adalah Badan Pengelola
dilakukan tanpa memperhatikan prinsip- Minyak dan Gas (BPMIGAS), sementara
prinsip keadilan, demokratisasi, dan ijin konsensinya diberikan oleh
keberlanjutan fungsi sumber daya alam. P e m e r i n t a h P r o v i n s i J a w a Ti m u r
Hal ini merupakan salah satu wujud sedangkan ijin kegiatan aktifitas
timbulnya permasalahan lingkungan dikeluarkan oleh PemerintahDaerah
hidup. (Pemda) Kabupaten Sidoarjo yang
Salah satu wujud permasalahan memberikan keleluasaan kepadaLapindo
ekologis yang terjadi di Indonesia adalah untuk melakukan aktivitasnya tanpa sadar
peristiwa luapan lumpur Lapindo yang bahwa Rencana TataRuang (RUTR)
merupakan suatu malapetaka sosio- Kabupaten Sidoarjo tidak sesuai dengan
ekologis berskala masif dan tidak kunjung rencana eksplorasi dan eksploitasi.
juga terselesaikan hingga kini. Berpangkal dari fakta sebagaimana
P e n a n g a n a n s e m b u r a n l u m p u r, dimaksud berbagai upaya hukum berupa
penanganan permasalahan sosial Gugatan kepada pihak-pihak yang
kemasyarakatan bagi para korban lumpur dianggap bertanggung jawab diputus oleh
juga belum menemukan titik terang. majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Ribuan korban lumpur yang nyaris 3 Selatan yang terdiri dari Wahjono, Aswan
tahun terusir paksa dari tempat tinggal Nurcahyo, dan I Ketut Manika pada
mereka hingga kini belum juga tanggal 26 Desember 2007 yang isinya
mendapatkan hak restitusi atau hak menolak gugatan penggugat (Walhi)
pengganti kerugian atas musnahnya tanah untuk seluruhnya dengan alasan bahwa
beserta rumah dan harta benda lainnya, pihak tergugat tidak terbukti melakukan
bahkan hingga hilangnya mata perbuatan melawan hukum yang
pencaharian masyarakat akibat adanya mengakibatkan kerusakan lingkungan.
luapan lumpur. Dasar putusan majelis hakim sepakat

299 Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

dengan pendapat saksi ahli yang diajukan dalam konteks pengelolaan lingkungan
pihak tergugat yang terdiri dari Agus hidup tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Gutoro, Sukandar Asikin, Moch Sofyan rumusan pembangunan berkelanjutan
Hadi Djojopranoto yang menyatakan pada dasarnya mengandung dua konsep,
bahwa terjadinya luapan lumpur adalah yaitu: pertama, konsep kebutuhan
fenomena alam, yaitu karena gerak (needs)terutama kebutuhan dari rakyat
tektonik (gempa tektonik) yang terjadi di miskin di dunia yang memerlukan
Jogjakarta pada 27 Mei 2006, sehingga prioritas penanganan. Kedua,
menyebabkan material kunjung yang ada keterbatasan (limitations) kemampuan
pada patahan yang memanjang sepanjang lingkungan hidup dalam rangka
Sidoarjo hingga Selat Madura mengalami memenuhi kebutuhan manusia sekarang
kompresi aktivitas magma sehingga maupun pemenuhan kebutuhan yang akan
menyembur kepermukaan.Putusan datang. Disamping itu, pembangunan
sebagaimana dimaksud menge- berkelanjutan (sustainable development)
sampingkan pendapat saksi ahli yang merupakan konsep memajukan
diajukan pihak penggugat yakni pendapat keterpaduan antara komponen atau aspek
Rudi Rubiandini, seorang Dosen Teknik pembangunan berkelanjutan,
Perminyakan dari ITB dengan keahlian pembangunan ekonomi, sosial dan
khusus tentang Driling (pengeboran perlindungan terhadap lingkungan hidup,
MIGAS), serta merupakan Ketua Tim sebagai pilar-pilar yang saling menopang,
Investigasi yang dibentuk oleh Meteri tergantung dan memperkuat satu sama
ESDM untuk mengetahui dan lain.
mengungkapkan penyebab terjadinya Berpangkal dari problematika
semburan lumpur di lokasi eksplorasi sebagaimana telah diuraikan diatas
BJP-1 Lapindo Brantas, Inc. semakin menunjukkan frekuensi tinggi
Berdasarkan hasil investigasi yang dan keberagaman bencana tersebut
dilakukan dapat disimpulkan bahwa menuntut progresifitas pemerintah dalam
penyebab terjadinya semburan lumpur menanggulangi bencana lumpur lapindo.
Lapindo adalah karena tekanan yang Pada awalnya respon Pemerintah masih
berbeda-beda dari formasi yang ditembus bersifat spontan, parsial, dan kurang
harus dihadapi oleh lumpur yang memiliki terlembagakan. Setiap kali terjadi
satu densitas yang homogen sehingga bencana, reaksi pemerintah selalu
perlu dapasang casing, sedangkan telah terkesan lamban, kurang terprogram
terjadi retakan batuan di bawah tanah secara komprehensif, dan cenderung
akibat tekanan di dalam lubang bor terlalu kurang terkoordinasi. Strategi yang
besar selama penanganan Problem ”kick” diterapkan pun kurang mencerminkan
tanggal 29 Mei 2006, dimana pada saat itu penanganan bencana yang berbasis
lubang bor tidak di pasang pelindung manajemen bencana, dan sering kali
(casing) sepanjang 4450 kaki (1350 minim data dan informasi sehingga
meter), sehingga mengakibatkan aliran kurang tepat sasaran. Penanganan
air-asin-panas mengalir ke permukaan bencana pun lebih terfokus pada saat
melalui rekahan batuan secara tidak tanggap darurat, sementara masa
terkontrol yang menggerus lapisan tanah prabencana belum tergarap secara
liat sehingga menyembur ke permukaan terprogram dengan manusia.
sebagai lumpur. Berdasarkan uraian diatas maka
Dengan demikian, dari berbagai dalam penulisan karya ilmiah ini penulis
uraian terkait dengan pengertian atau mengangkat permasalahan mengenai
batasan dari pembangunan berkelanjutan bagaimana model kebijakan yang efektif

Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015 300


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

penanggulangan bencana Lumpur lapindo Nomor 24 tahun 2007 tentang


brantas Inc di era otonomi daerah? Penanggulangan Bencana,Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
B. METODE PENELITIAN Perencanaan Pembangunan Nasional,
Berdasarkan permasalahan yang danUndang-Undang Nomor 23 Tahun
diteliti, maka penelitianini menggunakan 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
metode hukum normatif. (Soerjono 2. Bahan Hukum Sekunder diartikan
Soekanto, 2009). Metode penelitian sebagai bahan hukum yang tidak
hukum normatif atau metode penelitian mengikat tetapi menjelaskan mengenai
hukum kepustakaan adalah metode atau bahan hukum primer yang merupakan
cara yang dipergunakan di dalam hasil olahan pendapat atau pikiran para
penelitian hukum yang dilakukan dengan pakar atau ahli yang mempelajari suatu
cara meneliti bahan pustaka yang ada. bidang tertentu secara khusus yang
Tahapan pertama penelitian hukum akan memberikan petunjuk ke mana
normatif adalah penelitian yang ditujukan p e n e l i t i a k a n m e n g a r a h . Ya n g
untuk mendapatkan hukum obyektif dimaksud dengan bahan sekunder
(norma hukum), yaitu dengan disini oleh penulis adalah
mengadakan penelitian terhadap masalah doktrin–doktrin yang ada di dalam
di Lapindo. Tahapan kedua penelitian buku, jurnal hukum dan internet.
hukum normatif adalah penelitian yang 3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan
ditujukan untuk mendapatkan hukum hukum yang mendukung bahan hukum
subjektif (hak dan kewajiban). Penelitian primer dan bahan hukum sekunder
yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu dengan memberikan pemahaman dan
menggambarkan gejala-gejala di pengertian atas bahan hukum lainnya.
lingkungan masyarakat terhadap suatu Bahan hukum yang dipergunakan oleh
kasus di Lapindo, pendekatan yang penulis adalah Kamus Besar Bahasa
dilakukan yaitu pendekatan kualitatif Indonesia dan Kamus Hukum.
yang merupakan tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif. Penulis Di dalam penelitian ini terdapat
melakukan penelitian dengan tujuan beberapa pendekatan. Macam-macam
untuk menarik azas-azas hukum pendekatan-pendekatan yang digunakan
( “ re c h s b e g i n s e l e n ” ) y a n g d a p a t di dalam penelitian ini adalah:
dilakukan terhadap hukum positif tertulis 1. Pendekatan undang-undang (statute
maupun hukum positif tidak tertulis. approach)
Di dalam metode penelitian ini, 2. Pendekatan kasus (case approach)
terdapat 3 macam bahan pustaka yang 3. Pendekatan historis (historical
digunakan oleh penulis yaitu: approach)
1. Bahan Hukum Primer merupakan 4. Pendekatan komparatif (comparative
bahan hukum yang mengikat atau yang approach)
membuat orang taat pada hukum 5. Pendekatan konseptual (conceptual
seperti peraturan perundang- approach)
undangan, dan putusan hakim. Bahan
hukum primer yang penulis gunakan di C. K E R A N G K A K O N S E P D A N
dalam penulisan ini yakni:Peraturan KEBIJAKAN
Daerah Kabupaten Sidoarjo No. 16 Dalam literatur-literatur tentang
Tahun 2003 Tentang Rencana Tata mitigasi bencana dinyatakan bahwa
Ruang Wilayah Kabupaten Sidoarjo mitigasi (bencana) adalah bagian dari
Tahun 2003-20013, Undang-Undang manajemen bencana (disaster

301 Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

management) atau manajemen darurat masyarakat yang disebabkan baik oleh


(emergency management). Manajemen faktor alam dan ataufaktor non alam
bencana meliputi: penyiapan, dukungan, maupun faktor manusia sehingga
dan pembangunan kembali suatu mengakibatkan timbulnya korban
masyarakat yang terkena bencana alam jiwamanusia, kerusakan lingkungan,
(natural disaster) atau bencana buatan kerugian harta benda, dan dampak
(man-made disaster). Manajemen psikologis.
bencana adalah suatu proses yang harus Secara umum, dasar hukum
diselenggarakan terus menerus oleh penanggulangan bencana di
segenap pribadi, kelompok, dan Indonesia,yaitu:
komunitas dalam mengelola seluruh 1. UUD 1945 RI, Pasal 4, Ayat 1
bahaya (hazards) melalui usaha-usaha 2. U U N o . 2 4 T h . 2 0 0 7 Te n t a n g
meminimalkan akibat dari bencana yang Penanggulangan Bencana
mungkin timbul dari bahaya tersebut 3. P P N o . 3 8 T h . 2 0 0 7 Te n t a n g
(mitigasi). Mitigasi adalah bagian atau Pembagian Urusan Pemerintahan
salah satu tahap dalam penanganan 4. P P N o . 2 1 T h . 2 0 0 8 Te n t a n g
bencana. Tahap mitigasi dalam maknanya Penyelenggaraan Penanggulangan
yang berarti kesiapsiagaan atau Bencana
kewaspadaan adalah cara yang murah 5. PP No. 32 Th. 2008 Tentang Pendanaan
dalam mengurangi akibat bahaya-bahaya dan Pengelolaan Bantuan Bencana.
yang dihadapi masyarakat dibandingkan 6. Pepres No. 8 Th. 2008 Tentang BNPB
dengan tindakan lainnya, seperti:
evakuasi, rehabilitasi dan Kasus luapan lumpur Lapindo
rekonstruksi.Mitigasi harus dilakukan adalah salah satu contoh kebijakan
baik secara bersama-sama melalui agenda pembangunan yang dalam
Pemerintah, maupun sendiri-sendiri baik implementasinya telah terjadi pergeseran
saat dan paska kejadian, maupun sebelum orientasi, yaitu kebijakan pembangunan
kejadian. Karena itu, konsep mitigasi dan yang cenderung mengabaikan faktor
tahap lainnya dari manajemen bencana, kelestarian lingkungan. Atau suatu
serta irisan dan kesalingterkaitan diantara kebijakan yang tidak memasukkan faktor
tahapan-tahapan tersebut perlu dipahami lingkungan sebagai hal yang mutlak untuk
sebelumnya oleh siapa pun yang terlibat dipertimbangkan mulai dari tahap
dalam penanganan bencana. Seluruh geo- perencanaan sampai dengan tahap
hazards atau potensi bencana (disaster) pelaksanaannya. Salah satu
tersebut harus dinilai atau dievaluasi serta contohnyaadalah tidak ditepatinya
dikelola dengan baik agar tidak kebijakan lingkungan yang seharusnya
berkembang menjadi bencana. Penilaian menjadi bahan pertimbangan sebelum
tersebut berkenaan dengan aspek fisik suatu perusahaan mendapatkan ijin
bumi sebagai fokus perhatiannya dikenal untukmelakukan usahanya. Pertimbangan
sebagai analisis geo-risk. kebijakan lingkungan tersebut antara lain:
Menurut Undang-Undang Nomor jarak rumah penduduk dengan lokasi
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan eksplorasi, mentaati standaroperasional
Bencana, bencana adalah Peristiwa atau prosedur teknik eksplorasi, dan
rangkaian peristiwa yang mengancam dan keberlanjutan lingkungan untukmasa
mengganggu kehidupan dan penghidupan yang akan datang.

Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015 302


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

Sumber: Manajemen Bencana (2015)


Gambar 1. Kerangka Konsep
Berangkat dari kerangka konsep lingkungan karena manusia. sebagai
diatas maka penulis akan mencoba pelaku sekaligus menjadi korbannya.
mengupas beberapa masalah yang akan Rusaknya lingkungan fisik tersebut sudah
memberikan pemahaman dan masukan dirasakan berbagai pihak selama ini antara
terkait dengan kebijakan penanggulangan lain:
bencana di Kabupaten Sidoarjo. 1. L u m p u h n y a s e k t o r i n d u s t r i d i
Kabupaten Sidoarjo. Sebagai
D. HASIL DAN PEMBAHASAN manadiketahui Sidoarjo merupakan
Dampak dari luapan lumpur yang penyangga Propinsi Jawa Timur,
bersumber dari sumur di Desa khususnya Kota Surabaya dalam
Renokenongo, Kecamatan Porong, sektor industri. Hingga kini sudah
Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa 25sektor usaha tidak dapat beroperasi
Timursejak 29 Mei 2006 ini telah yang berakibat hilangnya mata
mengakibatkan timbunan lumpur pencaharian ribuan karyawan yang
bercampur gas sebanyak Tujuh Juta Meter bekerja pada sektor industri tersebut.
Kubik atau setara dengan jarak 7.000 2. Lumpuhnya sektor ekonomi sebagai
kilometer, dan jumlah ini akan terus akibat rusaknya infrastruktur darat
bertambah bila penanganan terhadap seperti rusaknya jalan, jalan tol dan
semburan lumpurtidak secara serius jalur ekonomi darat lainnya seperti
ditangani. Lumpur gas panas Lapindo jalur transportasi kereta api dan lain-
selain mengakibatkan kerusakan lain.
lingkungan, dengan suhu rata-rata 3. Kerugian di sektor lain seperti
mencapai 60 derajat celcius juga bisa pertanian, perikanan darat dll. Sejauh
mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik inisudah diidentifikasi luas lahan
masyarakat yang tinggal disekitar pertanian berupa lahan sawah
s e m b u r a n l u m p u r. D a u d S i l a l a h i yangmengalami kerusakan, menurut
menganggap hal ini sebagai awal krisis Direktur Jenderal Tanaman Pangan

303 Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

Departemen Pertanian Soetarto Bencana. Dengan lahirnya UU No 24


Alimoeso mengatakan area pertanian Tahun 2007 maka lahirlah berbagai
di Sidoarjo, Jawa Timur, yang terkena kebijakan turunan serta pengarusutamaan
luapan lumpur Lapindo seluas 417 perencanaan dan pendanaan
hektare. 8 Lumpur telah menggenangi penggulangan bencana. Secara garis
duabelas desa di tiga kecamatan, tak besar, UU No 24 Tahun 2007 mengandung
kurang 10.426 unit rumah terendam beberapa poin penting, pertama, adanya
lumpur, menggenangi sarana dan perubahan paradigma kebencanaan yang
prasarana publik, Sekitar 30 pabrik tidak lagi hanya fokus pada kejadian
yang tergenang terpaksa menghentikan tanggap darurat bencana dan paska
aktivitas produksi dan merumahkan bencana, tetapi juga difokuskan pada
ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 prabencana atau pengurangan resiko.
orang tenaga kerja yang terkena Kedua, penanggulangan bencana tidak
dampak lumpur ini, serta memindah lagi bersifat reaktif namun lebih terencana
paksakan sebanyak lebih dari 8.200 dan proaktif. Ketiga, posisi pemerintah
jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. pada paradigam baru ini tidak lagi bersifat
4. Dampak sosial kehidupan masyarakat dominan karena sekarang lebih
disekitar seperti sarana tempat tinggal, mengedepankan partisipasi masyarakat,
pendidikan, kesehatan, sarana air dimana menempatkan masyarakat
bersih dll. Bahwa efek langsung sebagai subjek, tidak lagi sebagai objek
lumpur panas menyebabkan infeksi penanggulangan bencana. Keempat,
saluran pernapasan daniritasi kulit. domain penanggulangan bencana tidak
Lebih lanjut dijelaskan bahwa lumpur lagi menjadi hak mutlak pemerintah pusat
tersebut juga mengandung bahan (tersentralisasi) tetapi telah
karsinogenik yang bila berlebihan terdesentralisasi ke daerah. Dengan kata
menumpuk dalam tubuh dapat lain, dalam konteks otonomi daerah,
menyebabkan kanker dan akumulasi pengurusan penanggulangan bencana
yang berlebihan pada anak-anak akan juga telah menjadi tanggung jawab
mengakibatkan berkurangnya daerah, baik dalam wilayah anggaran
kecerdasan. maupun kebijakan.
5. H a s i l u j i l a b o r a t o r i u m j u g a Langkah ini merupakan kemajuan
menemukan adanya kandungan yang signifikan, setidaknya penanganan
BahanBeracun dan Berbahaya yaitu bencana akan lebih standar dan
kandungan (B3) yang sudah melebihi terlembagakan. Akan tetapi,
ambang batas. Hasil uji kualitas air implementasi program sebagaimana
lumpur Lapindo pada tanggal 5 Juni amanat dalam undang-undang tersebut
2006 oleh Dinas Pekerjaan Umum masih banyak terhadang oleh berbagai
Propinsi Jawa Timur, menunjukkan masalah, mulai belum tersosialisasinya
bahwa uji laboratorium dalam air peraturan perundangan tersebut, belum
tersebut terdapat kandungan fenol. terbentuknya lembaga penanggulangan
Kontak langsung dengan kulit dapat bencana di daerah, soal sumber anggaran
mengakibatkan kulit seperti terbakar yang terbatas, dan lebih dari semua itu
dan gatal-gatal. adalah masalah masih rendahnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya
Menyadari akan hal itu, pemerintah manajemen bencana. Pada sisi yang lebih
kemudian membuat landasan hukum u rg e n , A n a l i s a R e s i k o , R e n c a n a
dengan lahirnya Undang Undang Nomor Penanggulangan Resiko Daerah (RPRD),
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Rencana Aksi Daerah (RAD), Rencana

Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015 304


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

Kontijensi dan platform Penanggulangan penanggulangan bencana dalam


Resiko Bencana (PRB) merupakan perspektif pembangunan berkelanjutan
instrument-instrumen penting di daerah mengandung dimensi yang sangat luas,
yang kerap mengalami dinamika. integratif dan komprehensif, tidak saja
Berangkat pada konteks tersebut, artikel mengandung dimensi fisik-ekologis,
ini ingin difokuskan pada dinamika melainkan juga sosial, budaya, politik dan
pelaksanaan UU No. 24/2007 di daerah. hukum. Dimensi sosial, budaya, politik,
Secara spesifik ingin menguraikan dan hukum sangat penting dan mendasar
kesenjangan antara implementasi dalam konteks pengelolaan lingkungan
instrument-instrumen penanggulangan hidup yang berbasis pada pembangunan
bencana dengan kebijakan perencanaan berkelanjutan bagi negara berkembang
dan penganggaran di daerah serta oleh karena ketimpangan itu cukup besar.
kolerasinya dalam kebijakan Berpangkal dari problematika
pembangunan daerah. sebagaimana telah diuraikan diatas
Berdasarkan kasus diatas maka semakin menunjukkan frekuensi tinggi
pemahaman terhadap konsep dan keberagaman bencana menuntut
pembangunan berkelanjutan mengandung progresifitas pemerintah dalam
dimensi yang sangat luas, integratif dan menanggulangi bencana alam dan/atau
komprehensif, tidak saja mengandung bencana yang disebabkan akibat
dimensi fisik-ekologis, melainkan juga eksploitasi lingkungan hidup.Menyadari
sosial, budaya, politik dan hukum. akan hal itu, pemerintah kemudian
Dimensi sosial, budaya, politik, dan membuat landasan hukum dengan
hukum sangat penting dan mendasar lahirnya Undang Undang Nomor 24
dalam konteks pengelolaan lingkungan Tahun 2007 tentang Penanggulangan
hidup yang berbasis pada pembangunan Bencana. Dengan lahirnya UU No 24
berkelanjutan bagi negara berkembang Tahun 2007 maka lahirlah berbagai
oleh karena ketimpangan itu cukup besar. kebijakan turunan serta pengarusutamaan
Dengan demikian, konsep pembangunan perencanaan dan pendanaan
berkelanjutan bukan merupakan konsep penggulangan bencana. Secara garis
yang statis dan deterministik (tidak dapat besar, UU No 24 Tahun 2007 mengandung
dirubah), namun merupakan suatu konsep beberapa poin penting antara lain:
yang dinamis dan terbuka sehingga perlu Pertama, adanya perubahan
terus untuk dikaji dan dikembangkan. paradigma kebencanaan yang tidak lagi
Konsep pembangunan berkelanjutan dan hanya fokus pada kejadian tanggap
perspektif hukum adalah merupakan darurat bencana dan paska bencana, tetapi
bagian hukum lingkungan modern. juga difokuskan pada prabencana atau
Menarik untuk disimak beberapa kriteria pengurangan resiko. Kedua,
dari pembangunan berkelanjutan yang penanggulangan bencana tidak lagi
dihasilkan oleh Komisi Bali Sustainable bersifat reaktif namun lebih terencana dan
Development Project (BSDP), yang proaktif. Ketiga, posisi pemerintah pada
didalamnya menyertakan adanya aspek paradigma baru ini tidak lagi bersifat
kultur serta keharmonian atau dominan karena sekarang lebih
keseimbangan. mengedepankan partisipasi masyarakat,
dimana menempatkan masyarakat
1. K e r a n g k a P a r a d i g m a t i k sebagai subjek, tidak lagi sebagai objek
Penanggulangan Bencana di penanggulangan bencana. Keempat,
Indonesia domain penanggulangan bencana tidak
Pemahaman terhadap konsep lagi menjadi hak mutlak pemerintah pusat

305 Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

(tersentralisasi) tetapi telah 2. P e m a n f a a t a n Te k n o l o g i


terdesentralisasi ke daerah. Dengan kata Informasi Geospasial-Deteksi Dini
lain, dalam konteks otonomi daerah, Terhadap Penanggulangan Bencana Di
pengurusan penanggulangan bencana Era Otonomi Daerah
juga telah menjadi tanggung jawab Di negara-negara maju teknologi
daerah, baik dalam wilayah anggaran penginderaan jauh sangat penting bagi
maupun kebijakan. penguatan sistem keamanan dan
Disamping itu mitigasi bencana dini pertahanan suatu negara. Teknologi
menjadi hal yang sangat penting dalam penginderaan jauh (remote
rangka membangun sistem pertahanan sensing)menjadi salah satu teknologi
negara yang handal di era otonomi daerah. pengamatan bumi yang semakin banyak
Sebagai daya dukung dalam rangka digunakan oleh para peneliti, pendidik,
mewujudkan sistem pertahanan pemerintah, pemerhati, industri, serta
kewaspadaan bencanamaka, pengambil keputusan untuk mengetahui
pengembangan ilmu pengetahuan dan secara umum atau lebih detail terkait
teknologi menjadi kebutuhan mendasar dengan fenomena dan kondisi suatu
bagi keberlanjutan visi penanggulangan wilayah tertentu di suatu negara.
bencana. Di negara-negara maju Pemanfaatan teknologi sebagaimana
teknologi informasi geospasial sangat dimaksud sangat bermanfaat dalam
penting bagi penguatan sistem keamanan melingkupi permasalahan sengketa
dan pertahanan negara. Pemanfaatan perbatasan, kebuntuan dalam penataan
teknologi sebagaimana dimaksud ruang, kesulitan dalam menentukan
melingkupi permasalahan sengketa kawasan rawan bencana, kebutuhan
perbatasan, kebuntuan dalam penataan informasi sumber daya alam yang akurat,
ruang, kesulitan dalam menentukan dan berbagai aspek kehidupan. (Ketut
kawasan rawan bencana, kebutuhan Wi k a n t i k a , 5 , 2 0 1 2 ) M e k a n i s m e
informasi sumber daya alam yang akurat. pemanfaatan informasi geospasial, mulai
Mekanisme pemanfaatan informasi dari aktivitas survei untuk pengumpulan
geospasial, mulai dari aktivitas survei data, pengolahan data sehingga menjadi
untuk pengumpulan data, pengolahan data peta dan sistem informasi geografis,
sehingga menjadi peta dan sistem penyimpanan dan penyebarluasan, hingga
informasi geografis, penyimpanan dan penggunaan informasi geospasial dapat
penyebarluasan, hingga penggunaan memberikan manfaat terhadap segala
informasi geospasial dapat memberikan aspek kehidupan bermasyarakat dan
manfaat terhadap segala aspek kehidupan bernegara. Berdasarkan uraian tersebut
bermasyarakat dan bernegara. maka model pemanfaatan teknologi
penginderaan jauh dapat digambarkan
sebagai berikut ini:

Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015 306


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

Gambar 2. Interaksi, Kerjasama, Inovasi Melahirkan


Paradigma Baru Geospasial

Keberadaan teknologi informasi amat erat kaitannya dengan salah satu


geospasial dalam konteks kewaspadaan syarat terbentuknya sebuah negara yaitu
dini terhadap bencana menjadi sangat adanya wilayah yang berkonotasi
penting sebagai sumber informasi terkait teritorial. Adapun model dimaksud dapat
dengan validitas kondisi geografi suatu di gambarkan berikut ini:
daerah. Pengertian informasi geospasial

Sumber: Badan Informasi Geospasial (BIG)(2013)

Gambar 3. Model Pemanfaatan Teknologi Informasi Geospasial

307 Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

Berdasarkan gambar diatas solusi 7 (1) UU 24/2007 dijabarkan dengan jelas


dan model pemanfataan terhadap wewenang pemerintah dalam
teknologi informasi geospasial sebagai penyelenggaraan penanggulangan
strategi penguatan sistem kewaspadaan bencana meliputi:a] penetapan kebijakan
dini dalam penanggulangan bencana penanggulangan bencana selaras dengan
diarahkan pada terwujudnya Integrated kebijakan pembangunan nasional;b]
Portal of Dynamic Information (Portal pembuatan perencanaan pembangunan
Terpadu Informasi Dinamis). Model ini yang memasukkan unsur-unsur kebijakan
dimaksudkan sebagai sistem portal penanggulangan bencana.
terpadu, di mana memberikan kemudahan Secara ideal, pasal-pasal dalam
akses bagi pengguna melalui jaringan kedua undang-undang tersebut telah
internet yang telah membuka kebuntuan menjelaskan, Pertama, perencanaan
akan keragaman itu. Penyatuan data dan pembangunna haruslah selaras dari
informasi geospasial dapat dilakukan tinggkat nasional hingga daerah. Kedua,
dengan lebih mudah, murah dan cepat. pembuatan perencanaan pembangunan
Disamping itu gagasan Portal Terpadu diharapkan memasukkan unsur-unsur
Informasi Dinamis diharapkan mampu kebijakan penanggulangan bencana.
menjembatani perkembangan informasi Dengan demikian, perlu adanya
geospasial yang selama ini diterbitkan pengarusutamaan PRB dalam kebijakan
oleh berbagai institusi. Di sinilah peran penganggaran dan pembangunan dan juga
I C T, y a n g d a p a t m e n j e m b a t a n i agar dapat menjamin kelengkapan
keragaman dan menyatukan data Rencana Aksi Daerah Pengurangan
geospasial dalam suatu manajemen Risiko Bencana (RAD-PRB) dapat
data.Dari sisi kelembagaan pembentukan terdanai dengan baik oleh anggaran publik
Portal Terpadu Informasi Dinamis di daerah. Penekanan ini semakin
dimaksudkanguna menstimulasi dikuatkan dengan pasal 9 UU No. 24
pengambilan kebijakan disektor tahun 2007, yang menyebutkan bahwa
penanggulangan bencana yang berbasis wewenang pemerintah daerah dalam
pada pemanfaatan teknologi geospasial. penyelenggaraan penanggulangan
1. Model Kebijakan Penanggulangan bencana meliputi, pertama, penetapan
Bencana diDaerah: Dinamika kebijakan penanggulangan bencana pada
Pengintegrasian Kebijakan wilayahnya yang selaras dengan
Dalam UU No. 25 Tahun 2004 kebijakan pembangunan daerah. Kedua,
tentang Sistem Perencanaan penetapan kebijakan ini juga meliputi
Pembangunan Nasional disebutkan dalam pembuatan perencanaan pembangunan
pasal 3 (1), bahwa Perencanaan yang memasukan unsur-unsur
Pembangunan Nasional mencakup penanggulangan bencana.
penyelenggaraan perencanaan makro Paradigma baru penanggulangan
semua fungsi pemerintahan yang meliputi bencana yang menganggap bahwa
semua bidang kehidupan secara terpadu bencana (disaster) adalah bagian dari
d a l a m Wi l a y a h N e g a r a R e p u b l i k kehidupan normal manusia dan ada faktor
Indonesia; (2) Perencanaan Pembangunan sebab akibat dalam terjadinya bencana
Nasional terdiri atas perencanaan serta bencana pasti akan terjadi, tetapi
pembangunan yang disusun secara tidak dapat ditentukan secara pasti kapan
terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan dan besarannya, maka perencanaan
perencanaan pembangunan oleh penanggulangan bencana harus
Pemerintah Daerah sesuai dengan terintegrasi dalam perencanaan
kewenangannya. Sedangkan dalam pasal pembangunan. Dengan kata lain,

Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015 308


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

kebijakan pembangunan di daerah dengan terselenggaranya penanggulangan


dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 2007 bencana secara terencana, terpadu,
haruslah memasukkan unsur-unsur terkoordinasi, dan menyeluruh sehingga
penanggulangan bencana di dalamnya. dapat memberikan perlindungan kepada
Dengan demikian akan menjamin masyarakat dari ancaman bencana.

Sumber: Undang-Undang 25/2004 dan Undang-Undang 24/2007

Gambar 4. Keterkaitan Antara Pembangunan Dengan Kebencanaan


(UU 25/2004 dan UU 24/2007)

Pada gambar diatas terlihat otonom di Indonesia, akan turut


keterkaitan dengan jelas antara membentuk kerentanan dan kapasitas
pembangunan dan penanggulangan warga terhadap bencana karena seperti
bencana. Pembangunan di daerah dapat terpapar pada model diatas, kebijakan
menjadi pemicu bencana bila pasal 2dan 3 pembangunan tidak dapat dilepaskan dari
U U N o . 2 5 Ta h u n 2 0 0 5 t i d a k dampaknya terhadap resiko bencana.
dilaksanakan. Di samping itu, Gambar tersebut juga dapat
pembangunan dapat mengurangi resiko menjelaskan bawah bencana adalah hasil
bencana apabila pasal 2 dan 3 UU No. dari kegagalan pembangunan yang
25/2005 dilaksanakan. Di sisi lain, apabila meningkatkan kerentanan terhadap
pasal 4, 31 dan 32 UU 24/2007 tidak bahaya. Sebab, kegagalan dari
dilaksanakan maka bencana akan dapat pembangunan dapat dijumpai dalam
merusak pembangunan yang ada. Tetapi semua level, mulai dari tingkat lokal dan
apabila pasal 57, 58 dan 59 tidak nasional, hingga institusi di tingkat global
dilaksanakan, maka bencana malah akan yang sangat dipengaruhi oleh negara-
dapat membuka peluang pembangunan. negara adidaya. Pertumbuhan kawasan
Ini menjelaskan bawah kebijakan tidak urban yang sangat cepat dan tidak
bisa dilepaskan dari proses pembangunan. terkelola dengan baik misalnya, bisa
Intervensi terhadap kebijakan memicu tingginya kerentanan terhadap
pembangunan, terutama di daerah-daerah bahaya seperti banjir dan juga gempa

309 Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

bumi. Kemiskinan yang akut di kawasan tiba tiba, yang terpisah dari kehidupan
urban membuat banyak keluarga tidak normal manusia. Kondisi ini juga di
bisa membangun rumah yang aman perparah oleh tidak adanya jalur
terhadap bahaya karena keterdesakan koordinasi yang jelas antar SKPD dalam
ekonomi dan lemahnya daya dukung pelaksanaan penggulangan bencana. Para
lingkungan. Kemiskinan dan SKPD juga masih keuslitan memadukan
keterpinggiran dalam proses kebijakan kebutuhan penanggulangan bencana di
juga meningkatkan kerentanan karena daerah dalam rencana strategis, rencana
banyak kebijakan tidak memperhitungkan kerja dan anggarannya. Dengan kata lain,
kondisi dan kebutuhan orang miskin. SKPD-SKPD masih memandang
Dalam situasi yang sama, lemahnya kebijakan penanggulangan bencana
skema proteksi sosial dari negara di satu menjadi urusan sektoral, sehingga dalam
sisi, serta menurunnya mekanisme pelaksanaan kebijakan seringkali
pengaman informal di sisi yang lain, compang-camping dan ujung-ujungnya
membuat kerentanan menjadi semakin rakyat menjadi korbannya.Sementara itu,
meningkat. Inilah potret-potret kegagalan di sisi lain sebagai rujukan dalam
pembangunan yang berkorelasi dengan mengarusutamakan PRB, pemerintah
peningkatan keterpaparan terhadap daerah memerlukan peta resiko bencana
bahaya. yang terdiri dari peta ancaman, peta
Namun masalahnya adalah kerentanan dan peta kapasitas. Hasil
sebagian besar daerah belum memiliki pengamatan menunjukan bahwa sangat
kesadaran yang memadai untuk sedikit daerah yang memiliki peta yang
mengarusutamakan pengurangan resiko memadai. Sehingga, pada level
bencana dalam kebijakan perencanaan implementasi pengarusutamaan tersebut
pembangunannya. Para pemangku belum dapat mulus terjadi.
kepentingan di daerah belum begitu kuat Tabel di bawah ini menggambarkan
memahami paradigm baru berbagai tantangan dalam
penanggulangan bencana. Di sisi lain, pengintegrasian kebijakan pengurangan
secara kelembagaan ada keengganan resiko bencana (PRB), pada tahap
daerah untuk membentuk Badan perencanaan dan anggaran dalam
Penanggulangan Bencana Daerah kebijakan pembangunan di daerah.
(BPBD) dengan dasar Perda karena alasan Berbagai tantangan tersebut hampir
keberlanjutan suplai anggaran dari pusat. menghinggapi semua kabupaten, kota dan
Daerah tidak berkenan menganggarkan provinsi di Indonesia.
penanggulangan bencana pada arus utama
kebijakan dalam APBD. Oleh karenanya
BPBD yang terbentuk lebih banyak
berdasarkan SK Bupati dan atau Perbub.
Selama ini memang kebijakan
penggulangan bencana di daerah
terdistribusi dalam program-program
SKPD yang terkait dengan kebencanaan.
Tetapi, bukan hanya soal jumlah anggaran
yang seadanya, perencanaan
penggulangan bencana di daerah juga
kebanyakan lebih mengedepankan
paradigma lama, yaitu menganggap
bahwa bencana adalah suatu yang terjadi

Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015 310


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

Tabel 1. Tantangan Pengintegrasian PRB Dalam Kebijakan Pembangunan


di Daerah PERENCANAANPENGANGGARAN

PERENCANAAN PENGANGGARAN

1. PRB dan RAD belum secara teknis 1. PRB sering dianggap sebagai program
terintegrasi dengan RPJMD dan RKPD. sektoral, berdiri sendiri, musiman,
Peta Resiko dan RPB belum menjadi temporer.
input dari RPJMD dan RKPD 2. SKPD tidak menggunakan analisis
2. Pendekatan politis dominan dalam resiko bencana dalam menyusun
RPJMD sehingga PRB sbg pendekatan program,kegiatan dan anggaran.
teknokratis sering terabaikan. 3. Dampak pendapatan dan belanja
3. Musrenbang belum dapat memetakan terhadap resiko bencana tidak terukur.
resiko bencana warga dan kebutuhan 4. B u t u h ' k e r j a l e b i h ' u n t u k
PRB warga. menganggarkan PRB dalam
4. Perbedaan siklus RAD (3tahun) dan nomenklatur APBD.
RKPD (1tahun) cukup menyulitkan 5. Ketergantungan sumber pendanaan
pengintegrasian. dari pusat mengurangi inovasi untuk
PRB

Sumber: Data Primer (diolah), 2014

Guna menangulangi problem dengan melakukan kerjasama multi pihak,


pengintegrasian tersebut perlu ada upaya- melakukan analisa resiko berbasis
upaya yang menyeluruh. Para pemangku komunitas dan melakukan koordinasi
kepentingan di daerah perlu membuat dalam proses perencanaan dan
proses kebijakan yang partisipatif dalam pengganggaran. Secara detail dapat
kebijakan peanggulangan bencana, dilihat pada gambar di bawah ini.

Sumber: I Nyoman Nurjaya, (2006)

Gambar 5. Solusi Pengintegrasian Kebijakan Penanggulangan Bencana

Dengan mekanisme ini diharapkan akan pada tahap perencanaan, penyusunan,


terjadi pengintegrasian kebijakan pengesahan, pelaksanaan dan tahap
penganggulangan bencana di daerah pada pertanggungjawaban.

311 Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

Tabel 2. Penjabaran Tahap-Tahap Pengintegrasian Kebijakan PB

1. Koordinasi pemaduan RPB dan RAD dalam RPJMD.


2. Koordinasi panduan pelaksanaan Musrenbang tahunan.
3. Koordinasi pemaduan RPB dan RAD dalam Musrenbang
Perencanaan Kabupaten hingga Provinsi.
4. Koordinasi untuk merespon kebutuhan PRB masyarakat
(Rencana Aksi Masyarakat) dalam Musrenbangdes sampai

1. Koordinasi pemaduan RPB dan RAD dalam RKPD.


2. Menggunakan Forum SKPD untuk Koordinasi pemaduan
Penyusunan RPB dan RAD dalam penyusunan RKA-SKPD.
3. Koordinasi dengan Bappeda untuk memadukan RPB dan
RAD dalam Rancangan RKPD

1. Koordinasi pemaduan RPB dan RAD dalam RKPD yang


disahkan oleh DPRD.
Pengesahan 2. Koordinasi pemaduan RPB dan RAD dalam APBD yang
disahkan oleh DPRD.
3. Koordinasi dengan DPRD untuk melakukan jaringasmara
kebutuhan PRB masyarakat.

1. Koordinasi dengan SKPD untuk monitoring aspek PRB


dalam pelaksanaan pembangunan.
2. Koordinasi para pihak untuk Kesiapsiagaan dan Rencana
Pelaksanaan
Kontinjensi
3. Koordinasi dengan pihak terkait untuk merespon
kedaruratan.

1. Koordinasi dengan SKPD untuk evaluasi aspek PRB dalam


Pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan.
2. Koordinasi para pihak untuk evaluasi kesiapsiagaan dan
Rencana Kontinjensi serta evaluasi respon kedaruratan.

Sumber: Data Primer (diolah), 2014

Bila tahapan ini dapat terlaksana penyelenggaraan penanggulangan


dengan baik maka semua proses bencana di daerah. Model ini akan
pelaksanaan kebijakan penggulangan membantu mengatasi berbagai persoalan
bencana di daerah akan dapat terlaksana penanggulangan bencana di daerah.
dengan baik. Semua pihak akan berperan Minimal, model ini akan menjadi
pada fungsinya masing-masing sehingga roadmap bagi inisiasi perda
akan semakin jelas tantang penanggulangan bencana di daerah.
keterlibatannya pada tahapan-tahapan Adapaun kerangka penyelenggaraan
pelaksanaan kebijakan penggulangan penanggulangan bencana di daerah
bencana. Apabila kerangka ini dapat terlihat pada tabel di bawah ini.
berjalan, maka akan bisa menjadi model

Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015 312


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

Tabel 3. Kerangka Penyelenggaraan PB di Daerah


Fase Pra Bencana Tanggap Darurat Paska Bencana
Fungsi Koordinasi Komando Koordinasi
Implementasi Koordinasi Implementasi
Implementasi
Aktivitas Pencegahan Tanggap Darurat Rehabilitasi
Mitigasi Pemulihan Awal Rekonstruksi
Kesiapsiagaan
Pendekatan Sektoral Terpusat Sektoral
Aktor BPBD BPBD BPBD
Dominan BAPPEDA BAPPEDA
DINAS TEKNIS DINAS TEKNIS
WARGA WARGA
DPRD DPRD
Sumber: Data Primer, (diolah), 2014

E. PENUTUP penganggaran, namun dalam prakteknya


Pada kesempatan ini, penulis telah terdapat inisiatif-inisiatif di daerah.
mencoba menutup rangkaian karya ilmiah Upaya-upaya praktis dilapangan tersebut
inidengan memberikan saran dengan dapat memberi secercah harapan bagi
melihat kepada analisa-analisa penulis pengarusutamaan kebijakan
dibab-bab sebelumnya, yaituMemang penanggulangan bencana dalam
harus diakui bahwa salah satu kesulitan kebijakan pembangunan di daerah.
dalam pengintegrasian kebijakan Kedepan, perlu ada sudaha diskresi di
pengurangan resiko bencana dalam tingkat lokal atau pun pusat untuk
pembangunan karena kompleksitasnya mendamaikan ketidaksingkronan
kebijakan yang harus di sinergikan. Mulai kebijakan tersebut. Perda
dari kebijakan penanggulangan bencana penanggulangan bencana mungkin bisa
itu sendiri, kebijakan perencanaan menjadi terobosan untuk dapat
pembangunan, kebijakan keuangan mensingkronkan semua persoalan. Pada
daerah dan kebijakan pemerintahan tahap ini, political will para pemangku
daerah. kepentingan di daerah menjadi kata
Kompleksitas penanganan bencana kuncinya.
luapan lumpur Lapindo Brantas Inc
semakin diperumit dengan persoalan- F. DAFTAR PUSTAKA
persoalan yang disebabkan oleh tidak
singkronnya relasi antar isi dalam Ageung, Ivan, Valentina, 2010,Kejahatan
kebijakan-kebijakan tersebut. Pada aras Korporasi Dalam Kasus Luapan
budaya kebijakan, pemaduan kebijakan Lumpur Lapindo Brantas
pengurangan resiko bencana juga masih Incorporated, Program
terkendala persepsi, sikap dan perilaku Pascasarjana Universitas 17
masyarakat dan pembuat kebijakan yang Agustus Jakarta
memahami bahwa penanggulangan Andriono, Rinto, Struktur Anggaran
bencana semata-mata hanya dapat Kebencanaan: Isu Baru
dilakukan melalui respon kedaruratan. Advokasi Anggaran.
Namun meskipun terdapat banyak Sebagaimana dimuat
kendala dalam pelaksanaan kebijakan dalam,http://www.ideajogja.or.id/
penanggulangan bencana di daerah, news.php?extend.49.7
khususnya dalam bidang perencanaan dan Badan Nasional Penggulangan Bencana,

313 Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

2010. Jakarta. Buku Panduan or.id/article/5/tahun/2008/bulan/


Pengenalan Karakteristik 01/tanggal/23/id/3141/.
Bencana dan Upaya Mitigasinya Marzuki,Peter Mahmud, 2009, Penelitian
di Indonesia. Hukum, Kencana Prenada Media
Badan Nasional Penggulangan Bencana, Group, Jakarta, hal. 93.
Rencana Nasional Mustafa Lutfi, 2010, Resolusi Model
Penanggulangan Bencana 2010- Pengembangan Konsep Hukum
2014, diakses dari Administrasi Lingkungan dalam
http://www.bpls.go.id. Pemanfaatan dan Pengoelolaan
B e n s o n , C h a r l o t t e d a n J o h n Tw i g g . SDA di Daerah, Makalah
2007.Perangkat untuk disampaikan pada Simposium
Mengarusutamakan Nasional Pelaksanaan Satu
Pengurangan Risiko Bencana: Dasawarsa Otonomi Daerah, PP
Catatan Panduan bagi OTODA FH Universitas
Lembaga-Lembaga yang Brawijaya.
B e rg e r a k d a l a m B i d a n g Nurjaya, I Nyoman, 2006, Pengelolaan
Pembangunan. Hivos Kantor Sumber Daya Alam dalam
Regional Asia Tenggara dan Perspektif Antropologi Hukum,
CIRCLE Indonesia. diterbitkan atas kerjasama
Davies, Richard J, Birth of a Mud Program Magister Ilmu Hukum
Volcano: East Java, 29 May Program Pascasarjana, Arena
2007. Dalam http://hotmudflow. Hukum Majalah Fakultas
wordpress.com/. Hukum Universitas Brawijaya
Disaster Risk Reduction as Development dengan Penerbit Universitas
Concern, DFID, Policy Brief, Negeri Malang (UM Press).
2004, sebagaimana dimuat Setiawan, Bakti, 1999, Konsep Dasar dan
dalam http://www.dfid.gov.uk/ Prinsip-prinsip Pengelolaan
pubs/files/disaster-risk- Lingkungan, Makalah, Pusat
reduction.pdf. Penelitian Lingkungan Hidup
Indaru Setyo Nurprojo dan Khairu R. (PPLH) Universitas
Sobandi, 1-2 Desember Diponegoro, Semarang
2 0 1 0 . K e b i j a k a n Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri,
Penanggulangan Bencana di 2009, Penelitian Hukum
Era Etonomi Daerah, Makalah Normatif Suatu Tinjauan
disampaikan Pada Simposium Singkat, Cetakan ke – 11. PT
Nasional Satu Dasawarsa Raja Grafindo Persada, Jakarta
Pelaksanaan Otonomi Daerah di hal. 13–14.
selenggarakan oleh PP OTODA Silalahi, Daud, 1996, Hukum Lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Dalam Sistem Penegakan
Brawijaya Malang. Hukum Lingkungan Indonesia,
Isran Noor, 2012, Politik Otonomi Daerah Bandung: Penerbit Alumni
Untuk Penguatan NKRI, Smith, Keith, 1999. Sebagaimana dikutip
APKASI dan Seven Strategis dalam Hilhorst, D, "Unlocking
Studies. Disaster Paradigms : An Actor-
Komnas HAM, 2008, Telah Terjadi oriented Focus on Disaster
Ecocide Pada Semburan Response", abstract submitted
Lumpur Lapindo, Lihat for session 3 of The Disaster
dalam:http://www.mediacenter. Research and Social Crisis,

Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015 314


Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah
Kemal Hidayah

Network Panels of the 6th Sidoarjo Tahun 2003-


European Sociological 20013.
Conference, tanpa tahun, UU Nomor 24 tahun 2007 tentang
sebagaimana dimuat dalam Penanggulangan Bencana.
http://www.erc.gr/English/d&sc UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang
rn/murciapapers/session3/Hilho Perencanaan Pembangunan
rst_III_Original.pdf. Nasional.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Peraturan dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo No.
16 Tahun 2003 Tentang
R e n c a n a Ta t a R u a n g
Wi l a y a h K a b u p a t e n

315 Jurnal Borneo Administrator/Volume 11/No. 3/2015

You might also like