You are on page 1of 11

Monumen Masa Pemerintahan Orde Lama Di Jakarta:

Representasi Visual Nasionalisme Soekarno


Toto Sugiarto Arifin
Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Jl. Parangtritis KM 6,5 Sewon, Yogyakarta

ABSTRACT

The construction of the monument of the Old Order in Jakarta is an integrated part of the struggle of
the Indonesian nation. This research is a qualitative study with a qualitative descriptive analysis through
textual and contextual analysis. Its focused on the spirit and visual representation of the five monu-
ments built during the government of the Old Order in Jakarta, those are the Monumen Selamat Datang,
Pembebasan Irian Barat, Pahlawan, Dirgantara, and Monumen Nasional (Monas). The Monuments of
the Old Order government in Jakarta as a representation of Bung Karno’s thought of Nationalism, are
reflected within the construction of the monument in his government. It does not describe a particular
ethnicity or class, but it contains the universal properties of Indonesian nation, and the Monas is consider-
ed as the center point of the four other monuments. Bung Karno was a leader who had consistent with the
ideology he believed; moreover, he had the ability to integrate a variety of ethnicity, class, and ideology.
Everything is reflected in the five monuments which were initiated by him, so that Bung Karno can be
stated as a model for leadership in Indonesia.

Keywords: nationalism, monuments, spirit, visual representation

ABSTRAK

Pembangunan monumen masa pemerintahan Orde Lama di Jakarta merupakan bagian


integral dari perjuangan bangsa Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
analisis deskriptif kualitatif melalui analisis tekstual dan kontekstual yang difokuskan terhadap
spirit dan representasi visual dari lima monumen yang dibangun pada masa pemerintahan
Orde Lama di Jakarta, yaitu Monumen Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, Pahlawan,
Dirgantara, dan Monumen Nasional (Monas). Monumen masa pemerintahan Orde Lama di
Jakarta sebagai representasi Nasionalisme Bung Karno, tercermin dalam pembangunan monu-
men di masa pemerintahannya. Monumen ini tidak digambarkan sebagai tokoh, golongan atau
ideologi tertentu, tetapi merupakan representasi dari seluruh jiwa rakyat Indonesia dan nilai-
nilai kebudayaannya, serta Monas sebagai titik pusat dari keempat monumen lainnya. Bung
Karno sebagai seorang pemimpin yang konsisten dengan ideologi yang diyakininya memiliki
kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai suku, golongan, dan ideologi. Semuanya itu
tercermin pada kelima monumen yang digagasnya, sehingga Bung Karno dapat dijadikan role
model bagi kepemimpinan di Indonesia.

Kata kunci: Nasionalisme, monumen, spirit, representasi visual


Panggung Vol. 24 No. 2, Juni 2014 188

PENDAHULUAN monumental. Dengan demikian monumen


merupakan produk budaya yang memiliki
Soekarno sebagai pemimpin besar revolu- nilai sejarah sebagai tanda peringatan ter-
si dan proklamator kemerdekaan Republik hadap suatu peristiwa atau tokoh penting.
Indonesia telah menghasilkan berbagai pe- Soekarno dalam kurun waktu kurang
mikiran dan karya besar, tidak hanya pe- lebih 5 lima tahun, yaitu sejak tahun 1961
mikiran dalam bidang sosial politik, tetapi sampai dengan 1965 telah mampu mem-
juga dalam pembangunan monumen megah bangun beberapa monumen yang megah
dan agung di Jakarta. Kota ini bukan saja dengan ukuran besar. Pembangunan mo-
sebagai pusat pemerintahan, pusat politik, numen itu tidak hanya didasarkan pada
dan pusat kebudayaan, tetapi juga sebagai pertimbangan politik, tetapi juga mere-
ibu kota. Menurut Geldern ibu kota dalam presentasikan kecintaan presiden terhadap
suatu negara merupakan pusat magis dari karya seni. Cita-cita Bung Karno menjadi-
sebuah bangsa (1982: 6). Kekuatan ibu kota kan Indonesia sebagai negara kuat dan be-
sangat penting bagi sebuah negara, seperti sar tidak hanya di sektor ideologi politik
Indonesia, yang sesudah kemerdekaan me- semata, tetapi mencakup berbagai aspek
merlukan perhatian dunia sebagai negara kehidupan, termasuk pembangunan mo-
yang baru saja terlepas dari kolonialisme. numen di Jakarta. Beberapa masalah men-
Soekarno menyatakan bahwa bangsa yang dasar yang diangkat dalam penelitian ini
besar adalah bangsa yang mampu mencip- adalah: (1) Apa spirit yang mempengaruhi
takan sesuatu yang besar dan agung (Yu- pembangunan monumen masa pemerin-
doseputro, 1979: 33). Dengan demikian, tahan Orde Lama di Jakarta; (2) Mengapa
untuk menonjolkan kekuatan dan kebesar- spirit tersebut berpengaruh pada masa
annya, Indonesia membangun berbagai pemerintahan Orde Lama; (3) Bagaimana
bangunan monumental di ibu kota sebagai representasi Nasionalisme Soekarno tercer-
simbol pusat kekuatan politik, budaya, dan min dalam monumen masa pemerintahan
magi.
Orde Lama di Jakarta; dan (4) Bagaimana
Monumen merupakan sebuah bangunan
representasi visual dan makna monumen
dan tempat yang mempunyai nilai sejarah
masa pemerintahan Orde Lama di Jakarta.
penting dan diciptakan dengan maksud
Secara mendasar terdapat dua hal pent-
mengabadikan kenangan terhadap seseo-
ing dalam penelitian ini, di satu sisi adalah
rang atau peristiwa skala besar. Anderson
spirit Nasionalisme Bung Karno sebagai
mengartikan monumen lebih luas, di sam-
penggagas utama dari pembangunan mon-
ping untuk memperingati suatu peristiwa
umen masa pemerintahan Orde Lama di Ja-
atau pengalaman di masa silam, pada saat
karta, di mana ia tidak hanya memberikan
yang sama monumen dimaksudkan sebagai
ide-ide saja, tetapi juga mengontrol setiap
warisan pusaka atau wasiat bagi anak cucu,
langkah proses pembangunan monumen-
lantaran keawetannya. Dengan demikian
nya. Di sisi lain adalah perkara representasi
monumen merupakan alat untuk meng-
visual dari monumen tersebut, untuk meli-
hubungkan antara tipe-tipe tertentu masa
hat wujud monumen dari sudut pandang
lalu dan masa depan (Anderson, 2000: 367).
estetika; kedua sisi tersebut dapat dianali-
Monumen seringkali divisualisasikan me-
sis keterkaitannya antara ideologi besar
lalui bangunan monumental, candi, tugu,
Bung Karno dan representasi visual yang
patung atau prasasti, dan peninggalan se-
diwujudkannya dalam bentuk monumen.
jarah lainnya, yang tergolong dalam kategori
Arifin: Monumen Masa Pemerintahan Orde Lama di Jakarta 189

METODE melatarbelakangi terwujudnya monumen


di masa pemerintahan Orde Lama, sedang-
Penelitian yang dilakukan adalah pe- kan analisis tekstual mengenai unsur-unsur
nelitian kualitatif untuk mendapatkan data rupa, penyusunan unsur rupa, ekspresi, ser-
yang mendalam dan untuk mendeteksi ber- ta persepsi visual dari monumen tersebut.
bagai hal di balik yang nampak, atau dengan
kata lain mengungkap hal-hal yang tersirat
di balik yang tersurat. Penelitian dilakukan HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan pendekatan multidisplin melalui
ilmu Estetika, Sosial Politik, Psikologi, dan Nasionalisme Soekarno
keilmuan lainnya yang relevan. Pengum-
pulan data dilakukan melalui wawancara Menurut Bung Karno nasionalisme se-
dengan pelaku-pelaku langsung yang tu- jati adalah Nasinalisme yang bahu-mem-
rut serta dalam pembangunan monumen, bahu untuk membangun negara. Itu berarti
seniman patung, tokoh masyarakat, ajudan bukan Nasinalisme yang tumbuh di Eropa,
Bung Karno, dan masyarakat lainnya. Se- yaitu Nasinalisme saling serang-menye-
lain wawancara dilakukan juga observasi rang, Nasinalisme mengejar keuntungan
secara langsung untuk mengamati secara sendiri, suatu Nasinalisme perdagangan
lebih dekat dan juga observasi tidak lang- berdasarkan untung-rugi. Nasinalisme
sung melalui berbagai dokumen. Analisis semacam itu pasti kalah dan binasa. Na-
datanya dilakukan baik secara tekstual sionalisme Indonesia adalah berlandaskan
maupun kontekstual. kerjasama, kerjasama dengan kaum Islam,
Tujuan penelitian ini adalah untuk Marxis, dan kaum Nasionalis (Soekarno,
mengidentifikasikan, mengklasifikasikan, 2005: 6). Tentu saja pendapat Soekarno
mendeskripsikan, dan mengeksplanasikan tersebut memiliki kaitan erat dengan kon-
monumen di Jakarta yang dibangun pada disi penjuangan bangsa Indonesia di awal
masa pemerintahan Orde Lama, yaitu: 1920-an, di mana tiga komponen tersebut
(1) mengungkapkan spirit pembangunan merupakan golongan pergerakan yang
monumen masa pemerintahan Orde Lama sangat besar namun ketiganya berjalan
di Jakarta; (2) mengungkapkan ideologi sendiri-sendiri. Hal ini dilihat oleh Bung
sosial politik yang berpengaruh terhadap Karno bukan sebagai sesuatu yang meng-
pembangunan monumen masa pemerin- untungkan bagi pergerakan kemerdekaan
tahan Orde Lama di Jakarta; (3) mengung- Indonesia, sehingga ketiga golongan terse-
kapkan representasi Nasinalisme Soekarno but disatukan dengan satu konsep Nasio-
dalam monumen masa pemerintahan Orde nalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM).
Lama di Jakarta; dan (4) mengeksplanasi- Pemikiran tentang penyatuan paham yang
kan representasi visual dan makna yang berbeda-beda dalam bingkai nasionalis,
terkandung di dalam monumen. tercermin juga pada pembangunan monu-
Penelitian ini menggunakan analisis men di masa pemerintahannya.
deskriptif kualitatif, melalui analisis tekstu- Bung Karno dalam pandangannya
al dan kontekstual, mengingat penelitian ti- yang dimuat dalam majalah Soeloeh Indo-
dak hanya membahas dari sudut pandang nesia Moeda, yang diterbitkan tahun 1926,
produk seninya saja, tetapi juga spirit menyatakan berbagai pandangan menge-
atau motivasi yang mendorong timbulnya nai Nasionalisme sejati. Bung Karno ber-
produk seni tersebut. Analisis kontekstual pandangan bahwa ketiga golongan harus
menyangkut kondisi sosial politik yang disatukan menjadi suatu kekuatan yang
Panggung Vol. 24 No. 2, Juni 2014 190

dahsyat untuk melawan Kolonialisme dan annya sendiri, menggunakan peralatan


Imperialisme Barat, karena gerakan Nasi- sendiri, oleh sebab itu bukan kaum prole-
onalisme dan Islamisme di Indonesia memi- tar yang menjual tenaganya untuk bekerja
liki tujuan yang sama, yaitu kemauan yang di industri (Soekarno, Pidato, 26 Mei 1958).
begitu kuat untuk meruntuhkan dominasi Paham tersebut tercermin dalam pemba-
Kolonialisme dan Imperialisme Barat di ngunan monumen masa pemerintahannya.
Indonesia. Walaupun Islam bersifat inter- Pemikiran-pemikiran Soekarno yang
nasional, namun Islam yang hidup di bumi telah lama diperjuangkan sejak tahun 1920-
Indonesia harus memperjuangankan nega- 1945 dan sudah diterbitkan dalam berbagai
ranya untuk terbebas dari cengkeraman koran dan majalah, terkristalisasi dalam
negara asing. Begitu juga kaum Nasionalis pidato pertama mengenai Pancasila pada
harus mampu bersatu dengan kaum Marx- tanggal 1 Juni 1945; ia mengatakan bahwa
is yang bersifat internasional, karena dalam “Kita hendak mendirikan suatu negara
perjalanan sejarah di Indonesia, kaum semua buat semua. Bukan buat satu orang,
Marxis adalah suatu golongan yang me- bukan buat satu golongan, baik golongan
nentang kekuasaan Barat, sehingga dengan bangsawan, maupun golongan orang kaya,
demikian Nasionalisme, Islamisme, dan tetapi semua buat semua” (Alam, 2000: 14).
Marxisme merupakan bagian yang integral Ia dalam pidato selanjutnya menyatakan
dari perjuangan melawan penjajahan, de- bahwa Indonesia yang bulat, bukan Jawa,
ngan menutup kekurangan satu sama lain Sumatra, Borneo, Selebes, Ambon, dan Ma-
(Soekarno, 2005: 7-22). luku saja, tetapi seluruh kepulauan yang
Pemikiran Soekarno lainnya yang ber- ada di wilayah Indonesia. Nasionalisme
pengaruh terhadap pembangunan monu- Soekarno adalah Nasionalisme Indonesia
men di masa pemerintahannya, adalah yang bulat, bukan atas dasar Nasionalisme
gagasan mengenai Marhaenisme. Bung golongan atau etnis tertentu. Pandangan
Karno menjelaskan bahwa akibat dominasi Bung Karno mengenai Nasionalisme yang
Imperialisme selama berabad-abad, per- utuh tersebut, terwujud secara jelas dalam
juangan masyarakat Indonesia adalah khas pembangunan monumen di masa pemerin-
masyarakat kecil (Dahm, 1987: 175); ma- tahannya.
syarakat kecil tersebut bukanlah kaum pro- Pembangunan monumen di Jakarta,
letar sebagaimana pandangan dari Marx- dalam kurun waktu tahun 1961 sampai de-
isme, tetapi masyarakat kecil itu adalah ngan tahun 1965, merupakan bukti dari pun-
“Marhaen” (Soekarno, Pidato, 26 Mei 1958). cak kekuasaan Presiden Soekarno, sehingga
Soekarno membedakan istilah proletar dan dengan leluasa ia dapat menuangkan ide-i-
Marhaen, proletar mengacu pada kaum denya menjadi sebuah realitas untuk menca-
buruh, sedangkan Marhaen mengacu pada pai tujuan-tujuan tertentu. Kebebasan Bung
petani kecil, pedagang kecil, nelayan kecil, Karno adalah kebebasan yang terbingkai
sebagaimana dituliskannya dalam koran oleh nilai-nilai, norma-norma, dan berbagai
Fikiran Rakyat tahun 1933 bahwa “…tenta- ide abstrak yang mempengaruhinya, yang
ranya Marhaen, tentara yang banyak meng- cenderung terpengaruh oleh ide-ide sosi-
ambil tenaga kaum tani, tetapi pelopor kita alis, yaitu segala perbuatan termasuk men-
adalah barisan kaum buruh, barisannya ciptakan karya seni merupakan sebuah per-
kaum proletar (Soekarno, 1985: 256).” Pe- juangan untuk membangun bangsa; pada
mikiran tersebut ditegaskan kembali dalam akhirnya hal ini akan menyejahterakan rak-
pidatonya bahwa Marhaen adalah petani yat. Ideologi sosialis dalam seni direpresen-
kecil yang mengerjakan sawah kepunya- tasikan melalui ciri seni kerakyatan, yaitu
Arifin: Monumen Masa Pemerintahan Orde Lama di Jakarta 191

seni yang berpihak kepada rakyat dengan bahwa karya seni rupa harus mampu me-
mengedepankan tema-tema perjuangan nyampaikan pesan sebagaimana karak-
yang ditujukan untuk kejayaan masyara- ternya sebagai bahasa visual, ia harus
kat. komunikatif tanpa teks, tanpa kata-kata.
Bung Karno menolak dengan keras Im- Soekarno tidak tertarik terhadap seni yang
perialisme dan Kolonialisme, tidak hanya bergaya abstrak, walaupun ia tetap meng-
dengan kata-kata yang penuh semangat hargainya; ia tidak menginginkan Indone-
dan dalam tulisan-tulisan yang tersebar sia yang indah dirusak oleh perupa gaya
dalam majalah, buku, koran, baik sebe- Abstrak. Soekarno memiliki keyakinan
lum kemerdekaan maupun sesudah ke- bahwa seni rupa harus bisa berkomuni-
merdekaan Indonesia, tetapi juga dalam kasi dengan penikmatnya, tanpa penjelas-
berbagai karya arsitektur dan seni rupa. an kata-kata, teks atau penjelasan lain-
Konsistensi Soekarno terhadap seni anti Ko- nya, karena seni rupa memiliki karakter
lonialisme juga tercermin dalam rancangan tersendiri untuk komunikasi, yaitu melalui
arsitekturnya. Soekarno menolak arsitektur bahasa visual yang mudah dimengerti oleh
’bernuansa kolonial’ dengan meniadakan masyarakat yang tidak mengerti seni rupa
desain tiang-tiang Yunani bergaya Ionia, sekali pun.
Doria, Korintia, dan arsitektur Amsterdam Pemikiran Bung Karno mengenai In-
Style (Ardhiati, 2005: 111). Sikap tersebut donesia yang bulat, yang meliputi seluruh
sejalan dengan pandangan-pandangannya kepulauan yang ada di wilayah Indonesia,
bahwa bangsa Indonesia harus kembali ke- tercermin dalam Monumen Selamat Datang,
pada jiwanya sendiri, jangan menjadi suatu Pembebasan Irian Jaya, Dirgantara, Pahlawan,
bangsa peniru. dan Monas, karena monumen tersebut bu-
Upaya Bung Karno untuk kembali ke- kan menggambarkan individu perseorang-
pada jiwa Indonesia juga tergambar dalam an, atau bukan melukiskan kelompok, tidak
pidatonya ketika pertemuan dengan peser- menggambar tokoh pejuang kemerdekaan,
ta sayembara proyek Tugu Nasional di Istana tidak menggambarkan seorang jenderal
Negara, 26 Juni 1960. Ia menyatakan bahwa pemimpin peperangan, tetapi melukiskan
bangsa Indonesia dalam kurun waktu lama seluruh rakyat Indonesia, petani, buruh,
merupakan bangsa tiga dimensional, de- pegawai, nelayan, karena revolusi Indone-
ngan kemampuannya membangun Candi sia adalah revolusi rakyat (Soekarno, 1964).
Borobudur, Prambanan, tetapi selanjutnya Monumen masa pemerintahan Bung Karno
bangsa Indonesia menjadi bangsa dua di- yang menggambarkan sikap heroik bukan
mensional akibat datangnya kolonial Be- merupakan penggambaran seorang tokoh,
landa; namun dalam masa kemerdekaan golongan atau pun etnis tertentu. Sikap
bangsa Indonesia harus kembali menjadi Bung Karno ini sejalan dengan pemikiran-
bangsa tiga dimensional (Soekarno, 1960). nya bahwa Indonesia adalah suatu bangsa
Pernyataan tersebut adalah upaya Soekarno yang utuh dari Sabang sampai Merauke,
untuk kembali kepada jiwa seni Indonesia bukan suatu bangsa yang terkotak-kotak
dan tidak menjadi bangsa peniru. Secara dalam kelompok ideologi, suku, keperca-
tegas ia mengaitkan Monas dengan Candi yaan, dan golongan tertentu.
Borobudur dan Prambanan sebagai usaha Bung Karno selalu mendorong agar
untuk mencari identitas sendiri lepas dari bangsa Indonesia memiliki ideologinya
seni masa kolonial. sendiri, “Marilah kita kembali kepada
Bung Karno memiliki selera tersendiri Djiwa kita sendiri djangan kita mendjadi
terhadap karya seni rupa, ia beranggapan satu bangsa peniru (Soekarno, 1985: xv),”
Panggung Vol. 24 No. 2, Juni 2014 192

artinya bahwa bangsa Indonesia harus me- Dirgantara diisukan sebagai monumen pen-
miliki ciri khasnya sendiri yang berbeda cungkil mata. Pembelokan makna tersebut
dengan bangsa-bangsa lain; ia meletakkan tentu saja bukan suatu kebetulan, tetapi
dasar ideologi Pancasila yang berakar dari sebagai sebuah kesengajaan dari lawan-
kebudayaan Indonesia. Begitu pula dalam lawan politik Soekarno untuk mendegra-
rancangan arsitekturnya yang menghilang- dasi makna monumen atau bahkan sebagai
kan warna-warna bangunan yang bergaya bentuk serangan untuk menjatuhkan rezim
kolonial. Dalam mode busana yang dipa- Orde Lama.
kainya juga bercirikan gaya tersendiri de- Fungsi monumen sebagai peringat-
ngan uniform khas Soekarno lengkap de- an peristiwa masa lalu dan pembentuk
ngan pecinya. Keinginan Soekarno untuk perilaku masa depan, tidak lagi tercapai,
menciptakan gaya sendiri, terlihat pula karena masyarakat saat ini membuat mak-
dalam pembangunan monumen pada masa na baru yang sangat sempit, sebagaimana
pemerintahannya, bahwa gaya realis atau Monumen Dirgantara saat ini yang lebih dike-
ekspresionis yang ditampilkkannya ber- nal dengan Monumen Pancoran. Maknanya
beda dengan gaya seni rupa yang berkem- menjadi berubah, yang sebelumnya sebagai
bang di Eropa atau Uni Soviet. kenangan terhadap kehebatan penerbang-
penerbang Indonesia saat itu, saat ini hanya
dikenang sebagai penunjuk tempat. Hu-
Memori dan Monumen Masa Pemerintahan bungan peristiwa masa lalu untuk mem-
Orde Lama
bentuk perilaku masa kini dan masa depan
tidak lagi terwujud, karena generasi masa
Monumen bukan saja merupakan ben-
kini tidak mengenal dengan peristiwa-peris-
tuk peringatan terhadap suatu peristiwa
tiwa masa lalu yang berkaitan dengan Mo-
masa lalu, tetapi juga merupakan upaya
numen Dirgantara. Masyarakat lebih menge-
untuk membangun perilaku di masa de-
nal pusat perbelanjaan Tanah Abang, Mangga
pan, yang menghubungkan tipe-tipe masa
dua atau tempat rekreasi seperti, misalnya,
lalu dan masa depan (Anderson, 2000: 367).
Taman Impian Jaya Ancol. Monumen masa
Monumen adalah warisan untuk generasi
pemerintahan Orde Lama yang lainnya
masa depan, agar dikenang oleh masyara-
pun memiliki nasib yang sama, Monumen
kat atau generasi selanjutnya (Causey, 1998:
Selamat Datang lebih dikenal dengan Monu-
218). Ingatan mengenai peristiwa-peristi-
men Bunderan HI; Monumen Pembebasan
wa masa lalu berkenaan dengan monumen
Irian Barat lebih dikenal dengan Monumen
masa pemerintahan Orde Lama, tidak lagi
Lapangan Banteng; dan Monumen Pahlawan
diingat oleh generasi masa kini. Bahkan
lebih dikenal dengan Tugu Tani.
sebagian monumen sengaja dibelokkan
Fungsi monumen sebagaimana upacara
maknanya atau diberi makna-makna baru
peringatan Kemerdekaan Republik Indone-
yang tidak ada hubungannya dengan mak-
sia, yaitu mengenang peristiwa masa lalu
na yang dimaksud oleh monumen tersebut.
untuk kepentingan menggugah semangat
Seperti yang ada pada Monumen Dirgantara
setiap individu atau masyarakat bertindak
yang dikenal juga dengan Monumen Hanu-
atau berperilaku di masa depan sesuai de-
man, karena wajahnya dianggap mirip de-
ngan spirit perjuangan kemerdekaan, tidak
ngan kera. Monumen tersebut saat ini lebih
lagi mampu membangkitkan spirit masa
dikenal dengan nama Monumen Pancoran,
lalu untuk tindakan di masa depan, karena
karena berada di daerah Pancoran; bahkan
saat ini monumen tersebut menjadi objek
ketika terjadi peristiwa G30S PKI, Monumen
“mati” yang tidak lagi memberikan spirit
Arifin: Monumen Masa Pemerintahan Orde Lama di Jakarta 193

komunikasi untuk menyampaikan pesan-


pesan tertentu. Tanpa memahami struktur
bahasa visual akan sulit untuk membaca
karya seni rupa tersebut. Sebagaimana
dalam bahasa tulis, tanpa mengetahui defi-
nisi dari kata benda atau kata kerja, akan
sulit untuk melakukan komunikasi antara
satu dan yang lainnya. Apabila struktur
bahasa visual tidak dikuasai dengan baik,
kemungkinan akan terjadi ketidaktepat-
an dalam penangkapan makna dari karya
seni rupa tersebut. Dengan demikian harus
diketahui secara tepat setiap definisi unsur
seni rupa dan cara pengorganisasiannya,
meskipun karya seni rupa tidak memiliki
kaidah-kaidah struktur bahasa yang pasti.
Bahasa rupa memiliki cakupan yang luas
cara pemaknaannya, tergantung dari sudut
pandang mana dalam melihat dan untuk
Gambar 1
Nama halte bus kepentingan apa karya seni diciptakan.
di samping Monumen Pahlawan Monumen masa Orde Lama di Jakarta
sebagai bentuk ‘pembelokan’ makna monumen banyak menggunakan gerak garis diago-
Sumber: koleksi pribadi
Toto Sugiarto Arifin (2010) nal, kecuali pada Monas yang menampilkan
gerak garis vertikal, untuk mencapai kesan
yang berarti baik bagi perilaku individu spiritual. Gerak garis diagonal digunakan
maupun kelompok masyarakat. Warisan untuk mencapai tampilan gerak dina-
visual monumen sebagai sebuah objek per- mis dari monumen, yang berbeda apabila
ingatan tidak cukup, tetapi warisan bentuk menggunakan garis-garis horizontal yang
harus diikuti dengan warisan makna yang memberi kesan tenang dan diam. Dengan
terkandung di dalamnya. Warisan perlu di- demikian penggunaan garis-garis diagonal
hidupkan melalui ritual-ritual khusus dan sesuai dengan spirit monumen tersebut se-
rutin yang diselenggarakan secara berkala, bagai media eskpresi perjuangan Indonesia
dengan maksud untuk membangkitkan dalam merebut dan membangun bangsa-
perhatian dan kenangan bagi individu dan nya yang berlangsung dinamis.
kelompok masyarakat pendukungnya, se- Monumen yang dibangun pada masa
hingga tujuan pembangunan monumen Orde Lama di Jakarta menampilkan ben-
akan tercapai. tuk-bentuk yang dinamis, ditandai dengan
banyaknya penggunaan gerak garis diago-
nal. Sifat-sifat dinamis diperkuat dengan
Representasi Visual Monumen anggota tubuh dan mimik muka yang mem-
beri kesan sedang bergerak dengan kokoh
Monumen yang dibangun di masa dan kuat. Sifat-sifat dinamis ini secara vi-
pemerintahan Orde Lama sebagai sebuah sual dapat dilihat pada monumen-monu-
karya seni rupa memiliki struktur bahasa men yang menampilkan gaya realis seperti
sebagaimana halnya dengan karya sastra, Monumen Selamat Datang, gaya Ekspresio-
yaitu struktur bahasa visual sebagai alat nis seperti Monumen Pembebasan Irian Barat
Panggung Vol. 24 No. 2, Juni 2014 194

dan Dirgantara, gaya Realis Sosialis seperti


Monumen Pahlawan, dan Abstrak Simbolis
seperti Monas.
Monumen masa pemerintahan Orde
Lama menunjukkan gerak dinamis, kesan
gerak tersebut dicapai dengan 3 (tiga) cara, 1 2
yaitu: (1) melengkungkan anggota badan
3
ke depan, ke belakang atau ke samping,
mengangkat tangan, membuka mulut,
dan melangkahkan kaki; (2) mengangkat
benda-benda atau asesoris yang menempel
di badan, sehingga memberi kesan sedang
melayang; dan (3) membuat garis-garis
paralel dari kecil menuju ke besar atau se- Gambar 2
Visualisasi gaya realis dalam
baliknya dari besar menuju ke kecil.
Monumen Selamat Datang (1)
Bentuk monumen masa pemerintahan menuju gaya ekpresionis dalam
Orde Lama di Jakarta pada umumnya meng- Monumen Pembebasan Irian Barat (2)
dan Dirgantara (3)
acu pada bentuk manusia, kecuali Monas Sumber: koleksi pribadi
yang mengusung gaya Abstrakisme Simbol- Toto Sugiarto Arifin (2010)
is. Monumen Selamat Datang menunjukkan
gaya Realisme, sedangkan Monumen Pembe-
basan Irian Barat dan Dirgantara cenderung Indonesia. Walaupun demikian Bung Kar-
Ekspresionisme. Adapun Monumen Pahlawan no telah mampu membimbing seniman pa-
lebih menampilkan Realisme Sosialis. Gaya tung untuk menemukan jati dirinya sendi-
yang ditampilkan tersebut, tentu saja sesu- ri, karena realisme dari Monumen Selamat
ai dengan pandangan Bung Karno, karena Datang atau Ekspresionisme dari Monumen
menurutnya seni harus mudah ditangkap Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara ber-
maknanya oleh orang buta huruf sakali pun, beda dengan konsep Realisme dan Ekspre-
karena hakikat suatu karya seni rupa dilihat sionisme yang berkembang di Barat.
tanpa teks, tanpa kata-kata. Maka yang pa- Ruang merupakan bagian yang penting
ling tepat untuk ideologi seperti itu adalah dalam sebuah karya tiga dimensional se-
seni rupa gaya realis. perti monumen; ruang tidak hanya yang
Bung Karno selalu menyatakan bahwa berada dalam karya tersebut atau inside
bangsa Indonesia harus kembali ke jati diri- space, tetapi juga ruang yang berada di luar
nya dan jangan menjadi bangsa peniru, teta- monumen atau outside space. Inside space
pi karena begitu lamanya Indonesia dijajah bersifat permanen atau tidak berubah-ubah,
oleh bangsa Eropa dan kaidah-kaidah seni tetapi outside space selalu akan berubah se-
rupa telah diajarkan oleh seniman-seniman jalan dengan perkembangan lingkungan
Barat kepada seniman-seniman Indonesia, setempat. Inside space tidak hanya untuk
karena hampir tiga perempat dari era kon- mencapai kesan estetis semata, tetapi juga
temporer, dunia telah dikuasai dan dipe- untuk memberikan kualitas persepsi mo-
ngaruhi oleh imperialisme serta kolonial- numental terhadap monumen, sebagaima-
isme, sehingga proses artistik dikuasai oleh na landasan atau base dalam Monumen Se-
kode-kode Eropa, begitu pula monumen lamat Datang dan Pembebasan Irian Barat.
masa pemerintahan Orde Lama di Jakarta Apabila ruang dalam landasan tersebut
tidak bisa kembali kepada kemurnian seni ditutup, maka secara otomatis monumen
Arifin: Monumen Masa Pemerintahan Orde Lama di Jakarta 195

akan terlihat lebih pendek dan kehilangan karena detil wajah patung monumen terse-
relasi dengan lingkungannya. Selain itu, se- but dikerjakan oleh Edhi Sunarso sendiri,
cara teknis, ruang dalam landasan monu- kecuali penggarapan wajah patung Monu-
men akan mengurangi tekanan angin. men Selamat Datang dikerjakan oleh Tru-
Outside space menjadi permasalahan bus. Seorang seniman memerlukan tanda
yang krusial dalam monumen-monumen tangan dalam karya-karyanya, artinya ke-
yang ada di Jakarta, karena lingkungan miripan wajah patung monumen dengan
sekitar berkembang dengan pesat, seiring wajah senimannya sebagai sebuah kese-
dengan perkembangan industrialisasi di ngajaan untuk menampilkan kehadiran di-
kota-kota besar. Perkembangan kota yang rinya dalam karya tersebut. Jika karyanya
melaju dengan cepat tidak memperhitung- bersifat pribadi, seniman dengan mudah
kan harmonisasi lingkungan, pembangun- membubuhkan tanda tangan atau nama
an gedung-gedung seperti berlomba lebih dalam karyanya, tetapi monumen sebagai
tinggi dan lebih besar dengan tidak mem- sebuah karya milik publik yang didanai
pedulikan kesatuannya dengan bangunan oleh negara, tentu saja hak pribadi terha-
di sekitarnya. Monumen yang sebelumnya dap karya tersebut menjadi hilang.
berada di ruang kosong yang luas, selanjut- Figur patung dari empat monumen
nya ‘tenggelam’ dalam bangunan-bangun- yang dibangun pada masa Orde Lama, yai-
an tinggi seperti bangunan-bangunan di tu Monumen Selamat Datang, Pembebasan
sekitar Monumen Selamat Datang dan Dir- Irian Barat, Pahlawan, dan Dirgantara, ti-
gantara. Monumen “pindah” dari ruang dak ada satu pun yang menampilkan figur
kosong dan luas ke ruang sempit dan pa- Soekarno atau tokoh perjuangan lainnya.
dat, akhirnya monumen terkesan menjadi Bung Karno lebih tertarik untuk mengede-
lebih kecil, terasing, kehilangan relasi de- pankan spirit kebangsaan, yaitu spirit
ngan lingkungan sekitarnya dan berkurang bangsanya dalam merebut dan mengisi
sifat monumentalnya. kemerdekaan, karena kemerdekaan bukan
Monumen merupakan kombinasi merupakan hasil orang perseorangan atau
ekspresi pribadi seniman dan pemesannya, pun kelompok, tetapi merupakan hasil ke-
keduanya secara implisit “tersembunyi” ringat dan semangat seluruh rakyat Indo-
dalam sebuah monumen, sebagaimana nesia yang berjuang untuk kemerdekaan.
bentuk wajah patung Monumen Pembebasan Sikap Bung Karno menghindari penokoh-
Irian Barat dengan mulut yang terbuka an dalam karya monumen yang digagas-
menunjukkan ekspresi berteriak memiliki nya menunjukkan konsistensi Bung Karno
kesamaan dengan wajah patung potret dengan nilai-nilai Nasionalisme yang diya-
Edhi Sunarso, hal ini sangat dimungkinkan kininya sejak muda, bahwa Indonesia bu-
kan golongan atau kelom-
pok etnis tertentu, tetapi
Indonesia adalah selu-
ruh wilayah dari Sabang
sampai Merauke. Monu-
men masa Orde Lama di
Jakarta adalah saksi bisu
dari peristiwa-peristiwa
Gambar 3 penting masa lalu, baik
Monumen Dirgantara ‘pindah’ dari ruang kosong ke ruang padat peristiwa atau tragedi
Sumber: (kiri) koleksi Edhi Sunarso (1970),
(kanan) koleksi pribadi Toto Sugiarto Arifin (2010) yang berdekatan waktu-
Panggung Vol. 24 No. 2, Juni 2014 196

nya dengan pembangunan monumen terse- Tugu Tani. Ada pun Monumen Dirgantara
but, seperti Monumen Selamat Datang, Pem- juga mengalami nasib yang sama karena
bebasan Irian Barat, dan Dirgantara maupun pernah dikaitkan sebagai patung pencung-
mengenang memori, nilai-nilai atau tragedi kil mata atau Monumen Hanuman. Shelter
masa lalu yang jauh batas waktunya dengan Trans Jakarta yang dekat dengan Monu-
pembangunan monumen, seperti Monas dan men Dirgantara dinamakan dengan Shelter
Pahlawan. Pancoran bukan Shelter Monumen Dirgan-
Monas merupakan titik sentral yang me- tara, sehingga terlihat tidak ada upaya dari
nyatukan Monumen Selamat Datang, Pembe- pemerintah untuk menjaga memori terha-
basan Irian Barat, Pahlawan, dan Dirgantara. dap monumen-monumen tersebut. Justru
Semua monumen tersebut menghadap sebaliknya, yang menonjol adalah meneng-
ke Monas. Monumen Selamat Datang tidak gelamkan makna-makna sebenarnya dari
menghadap ke lapangan terbang Internasi- monumen-monumen yang dibangun pada
onal Kamayoran waktu itu untuk menyam- masa pemerintahan Orde Lama yang di-
but tamu yang datang dari luar negeri, gantikan dengan makna-makna baru yang
tetapi justru menghadap ke Monas. Begitu tidak memiliki relevansi dengan semangat
pula dengan Monumen Pembebasan Irian awal pembangunan monumen tersebut.
Barat yang tidak menghadap ke wilayah
Irian Barat atau Papua, tetapi justru meng-
hadap ke Monas. Monumen Dirgantara tidak PENUTUP
menghadap ke Markas Besar Angkatan
Udara Republik Indonesia saat itu, tetapi Monumen masa pemerintahan Orde
justru menghadap utara ke arah Monas. Be- Lama adalah representasi Nasionalisme
gitu juga dengan Monumen Pahlawan yang dalam menghapuskan penjajahan di Indo-
menghadap ke arah Monas. Monas dile- nesia dan di seluruh belahan dunia. Bung
takkan sebagai titik pusat dari monumen- Karno memiliki kekuasaan yang lebih kuat
monumen yang dibangun di masa Orde dan luas di bawah pemerintahan Demokrasi
Lama, sehingga monumen tersebut meru- Terpimpin, sehingga gagasan yang telah
pakan pusat magis bagi bangsa Indonesia, lama diimpikannya, yaitu pembangunan
karena Monumen Selamat Datang, Pembe- monumen yang agung dan besar dapat ter-
basan Irian Barat, Pahlawan, dan Dirgantara wujud selama lima tahun terakhir kekua-
merupakan representasi dari spirit seluruh saannya. Bung Karno dalam era Demokrasi
bangsa Indonesia. Terpimpin seperti menemukan kembali
Peralihan pemerintahan yang tidak mu- kekuasaannya yang lama telah hilang, se-
lus dari Orde Lama ke Orde Baru sebagai hingga tekanan-tekanan terhadap Barat,
salah satu penyebab yang mengakibatkan khususnya masalah pengembalian wilayah
hilangnya makna “peringatan” dari mo- Irian Barat kepada NKRI dan perlawanan
numen-monumen tersebut, serta diman- terhadap Neokolonialisme, Kolonialisme,
faatkannya sebagai bagian dari serangan dan Imperialisme, dilakukan secara lebih
politik. Monumen Pahlawan pernah diisu- progesif, baik tekanan itu dilakukan di
kan sebagai simbol Angkatan Kelima, yaitu dalam negeri maupun di dalam forum-fo-
kekuatan buruh dan tani yang dipersenja- rum internasional. Ia secara proaktif me-
tai dalam peristiwa G30S PKI dan makna nuangkan gagasan Nasionalisme melalui
tersebut dilestarikan oleh pemerintah Orde pembangunan monumen di Jakarta, serta
Baru dengan menamakan halte bus dekat ingin menunjukkan kepada dunia bahwa
monumen tersebut dengan nama Halte Bus Indonesia adalah negara besar dan makmur
Arifin: Monumen Masa Pemerintahan Orde Lama di Jakarta 197

yang mampu menghasilkan karya-karya Geldern, Robert Heine


besar, di atas kemampuannya sendiri. 1996 “Soekarno dan Perjuangan Kemerde-
Monumen-monumen masa Orde Lama kaan”. Terjemahan dari Soekarno and
di Jakarta menunjukkan ekspresi masing- The Struggle for Indonesian Indepen-
masing yang mendukung adanya ekspresi dence oleh Hasan Basari. Jakarta:
keseluruhan, sehingga monumen masa LP3ES.
pemerintahan Orde Lama masing-masing
mengandung empat aspek ekspresi, yaitu: McIntyre, Angus
(1) Monumen sebagai ekspresi pribadi seni- 1993 “Indonesian Political Biography: In
man; (2) Monumen sebagai media penyam- Search of Cross – Cultural Understand-
paian emosi seniman terhadap publik; (3) ing”, Monash Paper on Southeast
Monumen sebagai perwujudan emosi me- Asia, No. 28. Monash University
lalui sesuatu objek; dan (4) Monumen se-
bagai ekspresi dari pemesan, dalam hal ini Sitor Situmorang
pemerintah Orde Lama yang direpresen- 1979 “Bung Karno dan Seniman”, dalam
tasikan oleh pribadi Bung Karno. Dengan Bung Karno & Seni, Soedarmadji
demikian, dapat digeneralisasikan bahwa J.H. Damais, ed. Jakarta: Yayasan
monumen merupakan kombinasi dari re- Bung Karno
presentasi ekspresi pribadi seniman/pem-
buat dan pemesan/penguasa. Soekarno
2005 Dibawah Bendera Revolusi. Cetakan
kelima. Jakarta: Yayasan Bung Karno
Daftar Pustaka
Wawan Tunggul Alam
Anderson, Benedict R. O’G. 2001 Bung Karno Menggali Pancasila
1990 “Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya (Kumpulan Pidato). Jakarta: Penerbit
Politik di Indonesia”. Terjemahan da- PT Gramedia Pustaka Utama
ri Language and Power: Exploring Po-
litical Cultures in Indonesia oleh Re- Wiyoso Yudoseputro
vianto Budi Santosa. Yogyakarta: 1979 “Bung Karno & Seni: Peranan Bung
Mata Bangsa. Karno terhadap Kreativitas dan I-
novasi Artistik”, dalam Bung Karno
Causey, Andrew & Seni, Soedarmadji J.H. Damais,
1998 Sculpture Since 1945. New York: Ox- ed. Jakarta: Yayasan Bung Karno
ford University Press.
Yuke Ardhiati
Dahm, Bernhard 2005 Bung Karno Sang Arsitek: Kajian
1956 “Konsepsi tentang Negara & Keduduk- Artistik Karya Arsitektur, Tata Ru-
an Raja di Asia Tenggara”. Terjemahan ang Kota, Interior, Kria, Simbol,
dari Conceptions of State and Kingship Mode Busana dan Teks Pidato 1926-
in Southeast Asia oleh Deliar Noer. 1965. Jakarta: Komunitas Bambu
(1982). Jakarta: C.V. Rajawali.

You might also like