Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
The construction of the monument of the Old Order in Jakarta is an integrated part of the struggle of
the Indonesian nation. This research is a qualitative study with a qualitative descriptive analysis through
textual and contextual analysis. Its focused on the spirit and visual representation of the five monu-
ments built during the government of the Old Order in Jakarta, those are the Monumen Selamat Datang,
Pembebasan Irian Barat, Pahlawan, Dirgantara, and Monumen Nasional (Monas). The Monuments of
the Old Order government in Jakarta as a representation of Bung Karno’s thought of Nationalism, are
reflected within the construction of the monument in his government. It does not describe a particular
ethnicity or class, but it contains the universal properties of Indonesian nation, and the Monas is consider-
ed as the center point of the four other monuments. Bung Karno was a leader who had consistent with the
ideology he believed; moreover, he had the ability to integrate a variety of ethnicity, class, and ideology.
Everything is reflected in the five monuments which were initiated by him, so that Bung Karno can be
stated as a model for leadership in Indonesia.
ABSTRAK
seni yang berpihak kepada rakyat dengan bahwa karya seni rupa harus mampu me-
mengedepankan tema-tema perjuangan nyampaikan pesan sebagaimana karak-
yang ditujukan untuk kejayaan masyara- ternya sebagai bahasa visual, ia harus
kat. komunikatif tanpa teks, tanpa kata-kata.
Bung Karno menolak dengan keras Im- Soekarno tidak tertarik terhadap seni yang
perialisme dan Kolonialisme, tidak hanya bergaya abstrak, walaupun ia tetap meng-
dengan kata-kata yang penuh semangat hargainya; ia tidak menginginkan Indone-
dan dalam tulisan-tulisan yang tersebar sia yang indah dirusak oleh perupa gaya
dalam majalah, buku, koran, baik sebe- Abstrak. Soekarno memiliki keyakinan
lum kemerdekaan maupun sesudah ke- bahwa seni rupa harus bisa berkomuni-
merdekaan Indonesia, tetapi juga dalam kasi dengan penikmatnya, tanpa penjelas-
berbagai karya arsitektur dan seni rupa. an kata-kata, teks atau penjelasan lain-
Konsistensi Soekarno terhadap seni anti Ko- nya, karena seni rupa memiliki karakter
lonialisme juga tercermin dalam rancangan tersendiri untuk komunikasi, yaitu melalui
arsitekturnya. Soekarno menolak arsitektur bahasa visual yang mudah dimengerti oleh
’bernuansa kolonial’ dengan meniadakan masyarakat yang tidak mengerti seni rupa
desain tiang-tiang Yunani bergaya Ionia, sekali pun.
Doria, Korintia, dan arsitektur Amsterdam Pemikiran Bung Karno mengenai In-
Style (Ardhiati, 2005: 111). Sikap tersebut donesia yang bulat, yang meliputi seluruh
sejalan dengan pandangan-pandangannya kepulauan yang ada di wilayah Indonesia,
bahwa bangsa Indonesia harus kembali ke- tercermin dalam Monumen Selamat Datang,
pada jiwanya sendiri, jangan menjadi suatu Pembebasan Irian Jaya, Dirgantara, Pahlawan,
bangsa peniru. dan Monas, karena monumen tersebut bu-
Upaya Bung Karno untuk kembali ke- kan menggambarkan individu perseorang-
pada jiwa Indonesia juga tergambar dalam an, atau bukan melukiskan kelompok, tidak
pidatonya ketika pertemuan dengan peser- menggambar tokoh pejuang kemerdekaan,
ta sayembara proyek Tugu Nasional di Istana tidak menggambarkan seorang jenderal
Negara, 26 Juni 1960. Ia menyatakan bahwa pemimpin peperangan, tetapi melukiskan
bangsa Indonesia dalam kurun waktu lama seluruh rakyat Indonesia, petani, buruh,
merupakan bangsa tiga dimensional, de- pegawai, nelayan, karena revolusi Indone-
ngan kemampuannya membangun Candi sia adalah revolusi rakyat (Soekarno, 1964).
Borobudur, Prambanan, tetapi selanjutnya Monumen masa pemerintahan Bung Karno
bangsa Indonesia menjadi bangsa dua di- yang menggambarkan sikap heroik bukan
mensional akibat datangnya kolonial Be- merupakan penggambaran seorang tokoh,
landa; namun dalam masa kemerdekaan golongan atau pun etnis tertentu. Sikap
bangsa Indonesia harus kembali menjadi Bung Karno ini sejalan dengan pemikiran-
bangsa tiga dimensional (Soekarno, 1960). nya bahwa Indonesia adalah suatu bangsa
Pernyataan tersebut adalah upaya Soekarno yang utuh dari Sabang sampai Merauke,
untuk kembali kepada jiwa seni Indonesia bukan suatu bangsa yang terkotak-kotak
dan tidak menjadi bangsa peniru. Secara dalam kelompok ideologi, suku, keperca-
tegas ia mengaitkan Monas dengan Candi yaan, dan golongan tertentu.
Borobudur dan Prambanan sebagai usaha Bung Karno selalu mendorong agar
untuk mencari identitas sendiri lepas dari bangsa Indonesia memiliki ideologinya
seni masa kolonial. sendiri, “Marilah kita kembali kepada
Bung Karno memiliki selera tersendiri Djiwa kita sendiri djangan kita mendjadi
terhadap karya seni rupa, ia beranggapan satu bangsa peniru (Soekarno, 1985: xv),”
Panggung Vol. 24 No. 2, Juni 2014 192
artinya bahwa bangsa Indonesia harus me- Dirgantara diisukan sebagai monumen pen-
miliki ciri khasnya sendiri yang berbeda cungkil mata. Pembelokan makna tersebut
dengan bangsa-bangsa lain; ia meletakkan tentu saja bukan suatu kebetulan, tetapi
dasar ideologi Pancasila yang berakar dari sebagai sebuah kesengajaan dari lawan-
kebudayaan Indonesia. Begitu pula dalam lawan politik Soekarno untuk mendegra-
rancangan arsitekturnya yang menghilang- dasi makna monumen atau bahkan sebagai
kan warna-warna bangunan yang bergaya bentuk serangan untuk menjatuhkan rezim
kolonial. Dalam mode busana yang dipa- Orde Lama.
kainya juga bercirikan gaya tersendiri de- Fungsi monumen sebagai peringat-
ngan uniform khas Soekarno lengkap de- an peristiwa masa lalu dan pembentuk
ngan pecinya. Keinginan Soekarno untuk perilaku masa depan, tidak lagi tercapai,
menciptakan gaya sendiri, terlihat pula karena masyarakat saat ini membuat mak-
dalam pembangunan monumen pada masa na baru yang sangat sempit, sebagaimana
pemerintahannya, bahwa gaya realis atau Monumen Dirgantara saat ini yang lebih dike-
ekspresionis yang ditampilkkannya ber- nal dengan Monumen Pancoran. Maknanya
beda dengan gaya seni rupa yang berkem- menjadi berubah, yang sebelumnya sebagai
bang di Eropa atau Uni Soviet. kenangan terhadap kehebatan penerbang-
penerbang Indonesia saat itu, saat ini hanya
dikenang sebagai penunjuk tempat. Hu-
Memori dan Monumen Masa Pemerintahan bungan peristiwa masa lalu untuk mem-
Orde Lama
bentuk perilaku masa kini dan masa depan
tidak lagi terwujud, karena generasi masa
Monumen bukan saja merupakan ben-
kini tidak mengenal dengan peristiwa-peris-
tuk peringatan terhadap suatu peristiwa
tiwa masa lalu yang berkaitan dengan Mo-
masa lalu, tetapi juga merupakan upaya
numen Dirgantara. Masyarakat lebih menge-
untuk membangun perilaku di masa de-
nal pusat perbelanjaan Tanah Abang, Mangga
pan, yang menghubungkan tipe-tipe masa
dua atau tempat rekreasi seperti, misalnya,
lalu dan masa depan (Anderson, 2000: 367).
Taman Impian Jaya Ancol. Monumen masa
Monumen adalah warisan untuk generasi
pemerintahan Orde Lama yang lainnya
masa depan, agar dikenang oleh masyara-
pun memiliki nasib yang sama, Monumen
kat atau generasi selanjutnya (Causey, 1998:
Selamat Datang lebih dikenal dengan Monu-
218). Ingatan mengenai peristiwa-peristi-
men Bunderan HI; Monumen Pembebasan
wa masa lalu berkenaan dengan monumen
Irian Barat lebih dikenal dengan Monumen
masa pemerintahan Orde Lama, tidak lagi
Lapangan Banteng; dan Monumen Pahlawan
diingat oleh generasi masa kini. Bahkan
lebih dikenal dengan Tugu Tani.
sebagian monumen sengaja dibelokkan
Fungsi monumen sebagaimana upacara
maknanya atau diberi makna-makna baru
peringatan Kemerdekaan Republik Indone-
yang tidak ada hubungannya dengan mak-
sia, yaitu mengenang peristiwa masa lalu
na yang dimaksud oleh monumen tersebut.
untuk kepentingan menggugah semangat
Seperti yang ada pada Monumen Dirgantara
setiap individu atau masyarakat bertindak
yang dikenal juga dengan Monumen Hanu-
atau berperilaku di masa depan sesuai de-
man, karena wajahnya dianggap mirip de-
ngan spirit perjuangan kemerdekaan, tidak
ngan kera. Monumen tersebut saat ini lebih
lagi mampu membangkitkan spirit masa
dikenal dengan nama Monumen Pancoran,
lalu untuk tindakan di masa depan, karena
karena berada di daerah Pancoran; bahkan
saat ini monumen tersebut menjadi objek
ketika terjadi peristiwa G30S PKI, Monumen
“mati” yang tidak lagi memberikan spirit
Arifin: Monumen Masa Pemerintahan Orde Lama di Jakarta 193
akan terlihat lebih pendek dan kehilangan karena detil wajah patung monumen terse-
relasi dengan lingkungannya. Selain itu, se- but dikerjakan oleh Edhi Sunarso sendiri,
cara teknis, ruang dalam landasan monu- kecuali penggarapan wajah patung Monu-
men akan mengurangi tekanan angin. men Selamat Datang dikerjakan oleh Tru-
Outside space menjadi permasalahan bus. Seorang seniman memerlukan tanda
yang krusial dalam monumen-monumen tangan dalam karya-karyanya, artinya ke-
yang ada di Jakarta, karena lingkungan miripan wajah patung monumen dengan
sekitar berkembang dengan pesat, seiring wajah senimannya sebagai sebuah kese-
dengan perkembangan industrialisasi di ngajaan untuk menampilkan kehadiran di-
kota-kota besar. Perkembangan kota yang rinya dalam karya tersebut. Jika karyanya
melaju dengan cepat tidak memperhitung- bersifat pribadi, seniman dengan mudah
kan harmonisasi lingkungan, pembangun- membubuhkan tanda tangan atau nama
an gedung-gedung seperti berlomba lebih dalam karyanya, tetapi monumen sebagai
tinggi dan lebih besar dengan tidak mem- sebuah karya milik publik yang didanai
pedulikan kesatuannya dengan bangunan oleh negara, tentu saja hak pribadi terha-
di sekitarnya. Monumen yang sebelumnya dap karya tersebut menjadi hilang.
berada di ruang kosong yang luas, selanjut- Figur patung dari empat monumen
nya ‘tenggelam’ dalam bangunan-bangun- yang dibangun pada masa Orde Lama, yai-
an tinggi seperti bangunan-bangunan di tu Monumen Selamat Datang, Pembebasan
sekitar Monumen Selamat Datang dan Dir- Irian Barat, Pahlawan, dan Dirgantara, ti-
gantara. Monumen “pindah” dari ruang dak ada satu pun yang menampilkan figur
kosong dan luas ke ruang sempit dan pa- Soekarno atau tokoh perjuangan lainnya.
dat, akhirnya monumen terkesan menjadi Bung Karno lebih tertarik untuk mengede-
lebih kecil, terasing, kehilangan relasi de- pankan spirit kebangsaan, yaitu spirit
ngan lingkungan sekitarnya dan berkurang bangsanya dalam merebut dan mengisi
sifat monumentalnya. kemerdekaan, karena kemerdekaan bukan
Monumen merupakan kombinasi merupakan hasil orang perseorangan atau
ekspresi pribadi seniman dan pemesannya, pun kelompok, tetapi merupakan hasil ke-
keduanya secara implisit “tersembunyi” ringat dan semangat seluruh rakyat Indo-
dalam sebuah monumen, sebagaimana nesia yang berjuang untuk kemerdekaan.
bentuk wajah patung Monumen Pembebasan Sikap Bung Karno menghindari penokoh-
Irian Barat dengan mulut yang terbuka an dalam karya monumen yang digagas-
menunjukkan ekspresi berteriak memiliki nya menunjukkan konsistensi Bung Karno
kesamaan dengan wajah patung potret dengan nilai-nilai Nasionalisme yang diya-
Edhi Sunarso, hal ini sangat dimungkinkan kininya sejak muda, bahwa Indonesia bu-
kan golongan atau kelom-
pok etnis tertentu, tetapi
Indonesia adalah selu-
ruh wilayah dari Sabang
sampai Merauke. Monu-
men masa Orde Lama di
Jakarta adalah saksi bisu
dari peristiwa-peristiwa
Gambar 3 penting masa lalu, baik
Monumen Dirgantara ‘pindah’ dari ruang kosong ke ruang padat peristiwa atau tragedi
Sumber: (kiri) koleksi Edhi Sunarso (1970),
(kanan) koleksi pribadi Toto Sugiarto Arifin (2010) yang berdekatan waktu-
Panggung Vol. 24 No. 2, Juni 2014 196
nya dengan pembangunan monumen terse- Tugu Tani. Ada pun Monumen Dirgantara
but, seperti Monumen Selamat Datang, Pem- juga mengalami nasib yang sama karena
bebasan Irian Barat, dan Dirgantara maupun pernah dikaitkan sebagai patung pencung-
mengenang memori, nilai-nilai atau tragedi kil mata atau Monumen Hanuman. Shelter
masa lalu yang jauh batas waktunya dengan Trans Jakarta yang dekat dengan Monu-
pembangunan monumen, seperti Monas dan men Dirgantara dinamakan dengan Shelter
Pahlawan. Pancoran bukan Shelter Monumen Dirgan-
Monas merupakan titik sentral yang me- tara, sehingga terlihat tidak ada upaya dari
nyatukan Monumen Selamat Datang, Pembe- pemerintah untuk menjaga memori terha-
basan Irian Barat, Pahlawan, dan Dirgantara. dap monumen-monumen tersebut. Justru
Semua monumen tersebut menghadap sebaliknya, yang menonjol adalah meneng-
ke Monas. Monumen Selamat Datang tidak gelamkan makna-makna sebenarnya dari
menghadap ke lapangan terbang Internasi- monumen-monumen yang dibangun pada
onal Kamayoran waktu itu untuk menyam- masa pemerintahan Orde Lama yang di-
but tamu yang datang dari luar negeri, gantikan dengan makna-makna baru yang
tetapi justru menghadap ke Monas. Begitu tidak memiliki relevansi dengan semangat
pula dengan Monumen Pembebasan Irian awal pembangunan monumen tersebut.
Barat yang tidak menghadap ke wilayah
Irian Barat atau Papua, tetapi justru meng-
hadap ke Monas. Monumen Dirgantara tidak PENUTUP
menghadap ke Markas Besar Angkatan
Udara Republik Indonesia saat itu, tetapi Monumen masa pemerintahan Orde
justru menghadap utara ke arah Monas. Be- Lama adalah representasi Nasionalisme
gitu juga dengan Monumen Pahlawan yang dalam menghapuskan penjajahan di Indo-
menghadap ke arah Monas. Monas dile- nesia dan di seluruh belahan dunia. Bung
takkan sebagai titik pusat dari monumen- Karno memiliki kekuasaan yang lebih kuat
monumen yang dibangun di masa Orde dan luas di bawah pemerintahan Demokrasi
Lama, sehingga monumen tersebut meru- Terpimpin, sehingga gagasan yang telah
pakan pusat magis bagi bangsa Indonesia, lama diimpikannya, yaitu pembangunan
karena Monumen Selamat Datang, Pembe- monumen yang agung dan besar dapat ter-
basan Irian Barat, Pahlawan, dan Dirgantara wujud selama lima tahun terakhir kekua-
merupakan representasi dari spirit seluruh saannya. Bung Karno dalam era Demokrasi
bangsa Indonesia. Terpimpin seperti menemukan kembali
Peralihan pemerintahan yang tidak mu- kekuasaannya yang lama telah hilang, se-
lus dari Orde Lama ke Orde Baru sebagai hingga tekanan-tekanan terhadap Barat,
salah satu penyebab yang mengakibatkan khususnya masalah pengembalian wilayah
hilangnya makna “peringatan” dari mo- Irian Barat kepada NKRI dan perlawanan
numen-monumen tersebut, serta diman- terhadap Neokolonialisme, Kolonialisme,
faatkannya sebagai bagian dari serangan dan Imperialisme, dilakukan secara lebih
politik. Monumen Pahlawan pernah diisu- progesif, baik tekanan itu dilakukan di
kan sebagai simbol Angkatan Kelima, yaitu dalam negeri maupun di dalam forum-fo-
kekuatan buruh dan tani yang dipersenja- rum internasional. Ia secara proaktif me-
tai dalam peristiwa G30S PKI dan makna nuangkan gagasan Nasionalisme melalui
tersebut dilestarikan oleh pemerintah Orde pembangunan monumen di Jakarta, serta
Baru dengan menamakan halte bus dekat ingin menunjukkan kepada dunia bahwa
monumen tersebut dengan nama Halte Bus Indonesia adalah negara besar dan makmur
Arifin: Monumen Masa Pemerintahan Orde Lama di Jakarta 197