You are on page 1of 46

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul
“Laporan Tutorial Kasus Skenario D Blok VII” sebagai tugas kompetensi
kelompok. Shalawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi
besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya
sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih kepada:
1. dr. Abdul Basith selaku Tutor kelompok 4.
2. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan materil maupun
spiritual.
3. Teman-teman seperjuangan.
4. Semua pihak yang membantu penulis.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga laporan
tutorial ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga
kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Juni 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................


............................................................................................................................... 1

Daftar Isi ..............................................................................................................


............................................................................................................................... 2

BAB I : Pendahuluan

1.1 Latar Belakang ........................................................................... 3

1.2 Maksud dan Tujuan .................................................................. 3

BAB II : Pembahasan

2.1 Data Tutorial ............................................................................. 4

2.2 Skenario Kasus .......................................................................... 4

2.3 Klarifikasi Istilah ....................................................................... 4

2.4 Identifikasi Masalah .................................................................. 7

2.5 Analisis Masalah ....................................................................... 7

2.6 Kesimpulan ............................................................................... 44

2.7 Kerangka Konsep ................................................................ 44

Daftar Pustaka .....................................................................................................


45

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem pertahanan tubuh dan infeksi adalah blok ketujuh pada


semester II dari Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Pembelajaran blok ini sangat penting untuk dipelajari dalam komponen
pendidikan blok di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus skenario D
yang memaparkan kasus yang berhubungan dengan Sistem pertahanan
tubuh dan infeksi.

1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu :

1.Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan dari sistem


pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Fakultas
Kedokteran Muhammadiyah.
2.Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis dan pembelajaran kelompok.
3.Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial

Tutor : dr. Abdul Basith


Moderator : Fildzah Sharfina
Notulis : Novi Putri Dwi Iriani
Sekretaris : Sindy Olivia Sari
Hari/Tanggal : Senin, 11– 06 – 2017
Rabu, 13– 06 – 2017

Peraturan Tutorial :
1. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan pendapat.
2. Mengacungkan tangan jika ingin memberi pendapat.
3. Berbicara dengan sopan dan penuh tata krama.
4. Izin bila ingin keluar ruangan.

2.2 Skenario D Blok 7


‘‘Kepalaku Pusing Seperti Dunia Mau Kiamat”
Ibu Aminah, 25 tahun, ibu rumah tangga, datang ke Puskesmas
dengan keluhan demam tinggi, sakit kepala, sakit menelan dan mual.
Pasien diberi obat suntikan Antalgin 1 cc i.m. Segera setelah disuntik,
pasien merasa pusing seperti dunia mau kiamat dan lemas serta jatuh
dari tempat tidur periksa. Penderita pernah mengalami keluhan serupa
1 tahun yang lalu tapi gejala hanya gatal-gatal dan bentol kemerahan
pada kulit, setelah 3 hari minum obat, tapi penderita lupa nama
obatnya. Penderita memiliki riwayat Asma yang dipicu oleh debu
rumah. Ibunya merupakan penderita Rhinitis alergi
Pemeriksaan fisik sebelum disuntik:

4
Keadaan umum : tampak sakit ringan, kesadaran Compos Mentis

Tanda vital : 120/70 mmHg,Nadi; 78x/menit,RR: 20X/menit,


T:39,00 C

Kepala : dalam batas normal, mulut;faring hiperemis,


Tonsil T2-T2

Leher : pembesaran KGB axilla dan colli (-)

Jantung : dalam batas normal

Paru : dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas : dalam batas normal

Pemeriksaan fisik sesudah disuntik:

Keadaan umum : tampak sakit berat, kesadaran Compos Mentis


lemah.

Tanda vital: TD : 80/40 mmHg, Nadi lemah sulit diraba.

Kulit : Teraba dingin.

2.3 Klarifikasi Istilah

NO ISTILAH ARTI

1. Mual Sensasi tidak


menyenangkan yang samar
pada epigastrium,
abdomen dengan
kecenderungan untuk

5
muntah (Dorland,2015)

2. Antalgin Merupakan salah satu


turunan pirozolon yang
bersifat analgetika yang
mempunyai kerja
farmakologi utama
analgetik, selain itu juga
menunjukkan kerja
antipiretik
3. Rhinitis Peradangan membran
alergi mukosa hidung (Dorland,
2015)
4. Asma Serangan dispnea
paroksismal berulang
disertai mengi akibat
kontraksi spasmodik
bronki (Dorland,2015)
5. Demam Peningkatan temperatur
tinggi tubuh diatas normal
(Dorland,2015)
6. Sakit Sensasi gangguan pasase
menelan makanan dari mulut ke
(disfagea) lambung yang dapat
disebabkan oleh gangguan
pada masing- masing fase
menelan yaitu pada fase
orofaringeal dan fase
esofageal (IPDL)

6
2.4 Identifikasi Masalah

1. Ibu Aminah, 25 tahun, ibu rumah tangga, datang ke Puskesmas


dengan keluhan demam tinggi, sakit kepala, sakit menelan dan mual

2. Pasien diberi obat suntikan Antalgin 1 cc i.m. Segera setelah


disuntik, pasien merasa pusing seperti dunia mau kiamat dan lemas
serta jatuh dari tempat tidur periksa.

3. Penderita pernah mengalami keluhan serupa 1 tahun yang lalu tapi


gejala hanya gatal-gatal dan bentol kemerahan pada kulit, setelah 3
hari minum obat, tapi penderita lupa nama obatnya

4. Penderita memiliki riwayat Asma yang dipicu oleh debu rumah.


Ibunya merupakan penderita Rhinitis alergi

5. Pemeriksaan fisik sebelum disuntik:

Keadaan umum : tampak sakit ringan.

Tanda vital : T: 39,00 C.

Kepala : mulut; faring hiperemis, Tonsil T2-T2

6. Pemeriksaan fisik sesudah disuntik:

Keadaan umum : tampak sakit berat, kesadaran Compos Mentis


lemah.

Tanda vital: TD : 80/40 mmHg, Nadi lemah sulit diraba.

Kulit : Teraba dingin.

2.5 Analisis Masalah

1.Ibu Aminah, 25 tahun, ibu rumah tangga, datang ke Puskesmas


dengan keluhan demam tinggi, sakit kepala, sakit menelan dan
mual

7
a. Apa makna demam tinggi, sakit kepala, sakit menelan, dan mual?

Jawab:

Makna nya adalah Ibu Aminah mengalami gejala dari ISPA (


infeksi saluran penyakit atas ) dimana gejala dari ISPA itu sendiri
ditandai dengan gejala demam tinggi, sakit kepala, sakit menelan dan
mual.

b. Bagaimana patofisiologi dari demam tinggi?

Jawab:

Substansi penyebab demam adalah pirogen. Pirogen dapat


berasal dari eksogen maupun endogen. Pirogen eksogen berasal
dari luar tubuh sedangkan pirogen endogen berasal dari dalam
tubuh. Pirogen eksogen, dapat berupa infeksi atau non-infeksi,
akan merangsang sel-sel makrofag, monosit, limfosit, dan endotel
untuk melepaskan interleukin(IL)-1, IL-6, Tumor Necrosing Factor
(TNF)-α, dan interferon(IFN)-γ yang selanjutnya akan disebut
pirogen endogen/sitokin. Pirogen endogen ini, setelah berikatan
dengan reseptornya di daerah preoptik hipotalamus akan
merangsang hipotalamus untuk mengaktivasi fosfolipase-A2, yang
selanjutnya melepas asam arakhidonat dari membran fosfolipid,
dan kemudian oleh enzim siklooksigenase-2 (COX-2) akan diubah
menjadi prostaglandin E2 (PGE2). Rangsangan prostaglandin
inilah, baik secara langsung maupun melalui pelepasan AMP
siklik, menset termostat pada suhu tubuh yang lebih tinggi. Hal ini
merupakan awal dari berlangsungnya reaksi terpadu sistem saraf
autonom, sistem endokrin, dan perubahan perilaku dalam
terjadinya demam (peningkatan suhu).
Pusat panas di hipotalamus dan batang otak kemudian akan
mengirimkan sinyal agar terjadi peningkatan produksi dan

8
konservasi panas sehingga suhu tubuh naik sampai tingkat suhu
baru yang ditetapkan.

(Price, S., Wilson, L., 2006)

c. Bagaimana patofisiologi sakit kepala?

Jawab:
Faktor: virus bakteri, jamur

Masuk melalui saluran pernafasan

Invasi kuman

Peradangan saluran nafas

Reaksi inflamasi

Vasodilatasi pembuluh darah

Aliran darah meningkat

Menekan selaput saraf pada otak

Tekanan intracranial meningkat

(Price dan Wilson, 2006) Sakit kepala

9
d. Bagaimana patofisiologi sakit menelan dan mual?

Jawab:

Mual:

Faktor (virus,bakteri,jamur) masuk melalui saluran


pernafasan atas ditangkap oleh system imun mengeluarkan
leukosit dan mediator inflamasi (makrofag,limfosit) untuk
memfagosit  mengeluarkan zat kimia pirogen-eksogen 
IL1,IL6,TNFα dan IFN merangsang sel endotel hipotalamus 
oleh bantuan enzim fosfolifase  menggeluarkan asam arakidonat
dengan bantuan enzim sikloosigenase (cox)mengeluarkan
prostaglandin (PGE2) mengeluarkan zat-zat kimia yang peka
terhadap nyeri  zat P  vasodilatasi,peningkatan aliran darah dan
pembebasan lebih lanjut bradikinin, serotonin dari trombosit dan
pengeluaran histamine dari sel mast  mempengaruhi reseptor
muntahpada medulla oblongata merangsang saraf cranial (n.x)
nervus vagus  mual

( Sherwood, 2011 )

Sakit menelan:
Alergen  Infiltrasi lapisan endotel di faring Jaringan
limfoid superfisial di faring bereaksi  Pembendungan radang san
infiltrasi leukosit polimorfonuklear Faring hiperemis  Sakit
menelan (Adam, 2009).
2.Pasien diberi obat suntikan Antalgin 1 cc i.m. Segera setelah
disuntik, pasien merasa pusing seperti dunia mau kiamat dan
lemas serta jatuh dari tempat tidur periksa.

a. Bagaimana farmakodimanik dan farmakokinetik dari obat antalgin?

Jawab:

10
Antalgin merupakan obat analgetik-antipiretik dan antiinflamasi.
Analgesik adalah obat untuk menghilangkan rasa nyeri dengan cara
meningkatkan nilai ambang nyeri di sistem syaraf pusat tanpa
menekan kesadaran, sedangkan antipiretik merupakan obat yang
menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik
adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan
suhu tubuh yang tinggi. Sedangkan antiinflamasi adalah mengatasi
inflamasi atau peradangan (Tjay dan Kirana, 2007).

Farmakodinamik

1. Absorbsi
Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat dari
tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses
tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat
yang diberikan.
2. Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh
melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah,
distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi
obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam
tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan,
yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati,
ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas
yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas
misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru
mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke
ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel
kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di
otak.
3. Metabolisme
Metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia
obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada

11
proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih
mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih
mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat
menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam
mengakhiri kerja obat.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat
dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom
yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada
isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom.
Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel
hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru,
epitel, saluran cerna, dan plasma.
4. Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ
ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam
bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat
daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini
merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus,
sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli
proksimal dan distal. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat,
liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif
kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat.
Farmakodinamik Antalgin:
Sesuai analgetika, obat ini hanya efektif terhadap nyeri
dengan intensitas rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala,
juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan radang atau
inflamasi. Analgetika bekerja secara sentral menahan nyeri.
Analgesia yaitu suatu keadaan dimana setelah pemberian analgetik,
bercirikan perubahan prilaku pada respon terhadap nyeri dan

12
kemampuan yang berkurang untuk menerima impuls nyeri tanpa
kehilangan kesadaran.

b. Apa makna pasien diberikan obat suntikan antalgin 1cc I.m?

Jawab:

1. Analgesik, digunakan untuk mengobati nyeri akut atau


kronik hebat bila analgesik lain tidak menolong
2. Antipiretik, menurunkan demam bila tidak dapat diatasi
dengan antipiretik lain
3. Anti-Inflamasi, efek anti radang yang dihasilkan rendah

Disini pasien datang dengan keluhan demam tinggi, sakit kepala,


sakit menelan dan mual, serta diketahui bahwa tonsil pasien tidak
dalam keadaan normal (membesar). Pasien diberikan obat antalgin
karena antalgin sendiri merupakan obat anti-inflamasi yang dapat
membantu penyembuhan dari radang pada tonsil. Kemudian
antalgin juga dapat mengurangi nyeri seperti sakit kepala dan juga
dapat menurunkan suhu tubuh.

c. Apa saja jenis-jenis pemberian obat, dan bagaimana prosedur


pemberiannya?

Jawab:

Cara pemberian obat serta tujuan penggunaannya adalah


sebagai berikut:
a. Oral
Obat yang cara penggunaannya masuk melalui mulut.
Keuntungannya relatif aman, praktis, ekonomis. Kerugiannya
timbul efek lambat; tidak bermanfaat untuk pasien yang sering
muntah, diare, tidak sadar, tidak kooperatif; untuk obat iritatif

13
dan rasa tidak enak penggunaannya terbatas; obat yang
inaktif/terurai oleh cairan lambung/ usus tidak bermanfaat
(penisilin G, insulin); obat absorpsi tidak teratur. Untuk tujuan
terapi serta efek sistematik yang dikehendaki, penggunaan oral
adalah yang paling menyenangkan dan murah, serta umumnya
paling aman. Hanya beberapa obat yang mengalami perusakan
oleh cairan lambung atau usus. Pada keadaan pasien muntah-
muntah, koma, atau dikehendaki onset yang cepat, penggunaan
obat melalui oral tidak dapat dipakai.
b. Sublingual
Cara penggunaannya, obat ditaruh dibawah lidah. Tujuannya
supaya efeknya lebih cepat karena pembuluh darah bawah lidah
merupakan pusat sakit. Misal pada kasus pasien jantung.
Keuntungan cara ini efek obat cepat serta kerusakan obat di
saluran cerna dan metabolisme di dinding usus dan hati dapat
dihindari (tidak lewat vena porta)
c. Inhalasi
Penggunaannya dengan cara disemprot (ke mulut). Misal obat
asma. Keuntungannya yaitu absorpsi terjadi cepat dan
homogen, kadar obat dapat dikontrol, terhindar dari efek lintas
pertama, dapat diberikan langsung pada bronkus. Kerugiannya
yaitu, diperlukan alat dan metoda khusus, sukar mengatur dosis,
sering mengiritasi epitel paru – sekresi saluran nafas, toksisitas
pada jantung. Dalam inhalasi, obat dalam keadaan gas atau uap
yang akan diabsorpsi sangat cepat melalui alveoli paru-paru dan
membran mukosa pada perjalanan pernafasan.
d. Rektal
Cara penggunaannya melalui dubur atau anus. Tujuannya
mempercepat kerja obat serta sifatnya lokal dan sistemik. Obat
oral sulit/tidak dapat dilakukan karena iritasi lambung, terurai di

14
lambung, terjadi efek lintas pertama. Contoh, asetosal,
parasetamol, indometasin, teofilin, barbiturat.
e. Pervaginam
Bentuknya hampir sama dengan obat rektal, dimasukkan ke
vagina, langsung ke pusat sasar. Misal untuk keputihan atau
jamur.
f. Parentral
Digunakan tanpa melalui mulut, atau dapat dikatakan obat
dimasukkan de dalam tubuh selain saluran cerna. Tujuannya
tanpa melalui saluran pencernaan dan langsung ke pembuluh
darah. Misal suntikan atau insulin. Efeknya biar langsung
sampai sasaran. Keuntungannya yaitu dapat untuk pasien yang
tidak sadar, sering muntah, diare, yang sulit menelan/pasien
yang tidak kooperatif; dapat untuk obat yang mengiritasi
lambung; dapat menghindari kerusakan obat di saluran cerna
dan hati; bekerja cepat dan dosis ekonomis. Kelemahannya
yaitu kurang aman, tidak disukai pasien, berbahaya (suntikan –
infeksi). Istilah injeksi termasuk semua bentuk obat yang
digunakan secara parentral, termasuk infus. Injeksi dapat berupa
larutan, suspensi, atau emulsi. Apabila obatnya tidak stabil
dalam cairan, maka dibuat dalam bentuk kering. Bila mau
dipakai baru ditambah aqua steril untuk memperoleh larutan
atau suspensi injeksi.
g. Topikal/lokal
Obat yang sifatnya lokal. Misal tetes mata, tetes telinga, salep.
h. Suntikan
Diberikan bila obat tidak diabsorpsi di saluran cerna serta
dibutuhkan kerja cepat.
(Ansel, 2008).

15
d. Apa makna setelah diberikan obat antalgin, pasien merasa pusing
seperti dunia mau kiamat dan lemas serta jatuh setelah bangun dari
tempat tidur?

Jawab:

Disini pasien mengalami syok anafilaksis sebagai reaksi


hipersensitivitas tipe I atau reaksi yang cepat. Reaksi ini dapat
dipacu oleh berbagai alergen seperti makanan (asal laut, kacang-
kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan
jasmani dandiagnostik lainnya. Dan pada kasus ini, reaksi ini
dipacu oleh obat-obatan antalgin.

(Baratiwidjaja dan Rengganis, 2014)

Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas generalista atau sistemik


yang beronset cepat, serius dan mengancam. Insiden syok
anafilaksis 40-60% adalah akibat gigitan serangga, 20-40% akibat
zat kontras radiografi, dan 10-20% akibat pemberian obat penisilin.
Sebagian besar kasus yang serius anafilaksis adalah akibat
pemberian antibiotik seperti penisilin dan bahan zat radiologi
(Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter, 2014).

Obat antalgin juga memiliki kontraindikasi terhadap orang dengan


hipersensitivitas. Obat ini juga dapat menurunkan tekanan darah.
Disini pasien mengalami hipersensitivitas sehingga efek penurunan
tekanan darah sangat drastis dari 120/70 menjadi 80/40 mmHg

e. Termasuk golongan apa antalgin, serta indikasi dan


kontraindikasi dari pemberian obat antalgin?

Jawab:

Indikasi : Untuk menghilangkan rasa sakit atau nyeri,

16
Kontraindikasi : Ibu hamil dan menyusui, Individu dengan
riwayat hipersensitivitas, Individu yang memiliki tekanan
sistolik dibawah 100mmHg, Bayi dibawah 3 bulan.

(Ikatan Apoteker Indonesia,2016)

f. Bagaimana tatalaksana awal yang dilakukan oleh dokter terhadap


pasien di kasus?

Jawab:

A.Airway control (jalan nafas)

1.Penilaian: pastikan korban tidak sadar


Dengan cara menyentuh atau menggoyangkan secara halus dan
berteriak memanggil. Hati-hati pada korban trauma (kecelakaan)
pada kepala dan leher. Kesalahan pergerakan akan menyebabkan
kelumpuhan otot pernafasan. Apabila korban sadar (dapat bicara)
berarti tidak ada masalah dengan jari nafasnya.
Sumbatan nafas:
-Total; sulit bernafas, memegangi leher
-Parsial: seperti ngorok, mengi, kumur.
Dalam beberapa kasus dimana korban tidak ada respon.lidah
menjadi penyebab dari tersumbatnya jalan nafas, karena pada
saat kehilangan kesadaran otot-otot akan lumpuh termasuk otot
dasar lidah akan jatuh ke belakang sehingga jalan nafas tertutup
2.Bila penderita tidak sadar mintalaha bantuan orang terdekat
dalam melakukan melakukan pertolongan;
3.Posisi korban untuk melakukan RJP yang efektif, korban harus
terlentang dan berada pada permukaan yang keras;
4. Bula jalan nafas

17
Untuk membuka jalan nafas, kepala korban diposisikan ekstensi
(tengadah kepala) untuk menghindari sumbatan jalan nafas oleh
lidah. Benda asing atau sisa muntahan yang terlihat dalam mulut
harus segera disingkirkan secara cepat dan seksama.
Ada dua cara untuk membebaskan jalan nafas, antara lain:
a.Tekan dahi dan angkat;
b. Pendorong rahang bawah.
Teknik mempertahankan jalan napas
Pada penderita dengan kasus henti napas maka tindakan untuk
membebaskanjalan napas dan memberikan ventilasi harus segera
dulakukan.

1. Chin lift manuver


Empat jari salah satu tangan diletakan di bawah rahang , ibu
jari di atas dagu, kemudian secara hati-hati diangkat ke
depan,manuver ini tidak boleh menyebabkan posisi kepala
hiperekstensi. Bila perlu ibu jari
dIgunakan untuk membuka mulut atau bibir.

2. Jaw thrust

Mendorong angulus mandibula kanan dan kiri ke depan dengan


jari-jari kedua tangan sehingga gigi bawah berada di depan gigi
atas, kedua ibu jari membuka mulut dan kedua telapak tangan

18
menempel pada kedua pipi penderita untuk imobilisasi kepala.
Tindakan jaw thrust, buka mulut dan head tilt disebut triple
airway manuver.

B.Breathing support (bantuan pernafasan)


1.Penilaian: tentukan korban tidak bernafas
Penolong mendekatkan telinganya diatas mulut dan hidung
korban dan kemudian terus mempertahankan jalan nafas lalu
memperhatikan dada korban. Penolong harus:
a) Melihat gerakan dada naik turun;
b) Mendengarkan udara keluar pada waktu ekspirasi;
c) Merasakan adanya aliran udara.
2.Pertolongan pernafasan buatan
a) Dari mulut ke mulut;
b) Dari mulut kehidung.
3.Teknik pemberian nafas buatan
a.Respon konstan;
b. Minta bantuan;

19
c. Buka jalan nafas;
d. LDR 3-5menit;
e. Jika tidak bernafas, beri 2-5 kali;
f. Periksa nadi carotis 5-10 detik;
g. Jika nadi berdenyut, lanjutkan pemberian nafas buatan.

C.Circulation support (pemeriksaan nadi)


Tentukan adanya denyut nadi dan menghentikan perdarahan
besar. Henti jantung ditandai dengan adanya denyut nadi pada
arteri besar dari korban yang tidak sadar. Pemeriksaan nadi
dilakukan dengan cara meraba secara lembut arteri carotis.
Secara umum dapat dikatakan bila jantung berhenti berdenyut,
maka pernafasan akan langsung mengikuti, namun keadaan ini
tidak berlaku sebaliknya. Seseorang akan mengalami kegagalan
pernafasan dengan jantung yang masih berdenyut, akan tetapi
dalam waktu singkat akan diikuti henti jantung karena
kekurangan oksigen.

20
(Agus Purwadianto, Budi Sampurna. 2013).

3. Penderita pernah mengalami keluhan serupa 1 tahun yang lalu


tapi gejala hanya gatal-gatal dan bentol kemerahan pada kulit,
setelah 3 hari minum obat, tapi penderita lupa nama obatnya.

a. Bagaimana patofisiologi dari gatal-gatal dan kemerahan pada kulit?

Jawab:

Akibat pengaruh dari mediator kimiawi yang dilepaskan akibat


degranulasi sel mast (histamin) akan menyebabkan terjadinya
dilatasi pembuluh darah di bawah kulit yang menyebabkan kulit
berwarna merah (eritema).Peningkatan permeabilitas kapiler akibat
mediator-mediator kimiawi yang dilepaskan karena degranulasi sel
mast akna menyebabkan cairan dan sel (eosinofil) akan keluar dari
pembuluh darah menuju ke jaringan interstisial yang menyebabkan
terjadi pembengkakan kulit (lokal atau general) dan merangsang
ujung saraf perifer kulit sehingga menimbulkan rasa gatal.
( Sherwood, 2011 )

21
(Guyton,2006)

b. Apa makna penderita pernah mengalami keluhan serupa satu tahun


yang lalu tapi gejalanya hanya bentol-bentol kemerahan pada kulit?

Jawab :

Didalam buku Imunologi Dasar FKUI disebutkan kriteria kasar


dari alergi (hipersensitivitas) dimana reaksi yang timbul adalah
setelah pajanan berulang. Yang berarti reaksi akan timbul setelah
beberapa kali pajanan (disini faktor pajanan adalah konsumsi obat).
Satu tahun sebelumnya, keluhan yang timbul hanya berupa bentol-
bentol kemerahan pada kulit setelah 3 hari mengkonsumsi obat.
Lalu panjanan diulang pada saat pasien diberi suntikan antalgin
yang menghasilkan reaksi syok anafilaksis (Baratiwidjaja dan
Rengganis, 2014)

22
c. Bagaimana hubungan keluhan satu tahun yang lalu gatal-gatal dan
bentol dengan keluhan utama sekarang?

Jawab :
Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan
kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan
timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat
pada antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi,
pengeluaran histamin dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler
menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang
mengakibatkan syok.
( Departemen Kesehatan RI, 2007 )

d. Apa faktor resiko dan faktor pencetus dari hipersensitivitas?

Jawab:

Faktor Resiko:

Ibu aminah yang memiliki riwayat atopi asthma dan orang tua
rhinitis alergi. Penyakit atopi yang ibu aminah derita merupakan
reaksi dari hipersensitivitas tipe 1.(Robbins,2015)

Faktor Pencetus:

Antalgin yang disuntikkan ke ibu aminah merupakan factor


pencentus terrjadinya syok anafilaktik, dimana obat antalgin
sendiri memiliki kontrsindikasi terdahap penderita hipersensitivitas

e. Apa saja jenis-jenis reaksi hipersensitivitas?

Jawab :

23
A. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya
reaksi

1) Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang
dalam 2 jam. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan
sel mast menginduksi penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi
reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.
2) Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan
menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan
kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi
komplemen atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet
dapat berupa :

i. Reaksi tranfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik


autoimun.
ii. Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sicnessi,
vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES.

Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan


pejamu yang disebabkan oleh neutrofil atau sel NK.
3) Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan
dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH,
sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah
dermatitis kontal, reaksi M. tuberkulosis dan reaksi penolakan
tandur.
B. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs:

24
(Baratiwidjaja dan Rengganis, 2014)

Pada kasus ini, berdasarkan waktu timbulnya reaksi adalah reaksi


cepat sedangkan menurut Gll dan Coombs merupakan reaksi
hipersensitivitas I.

(Baratiwidjaja dan Rengganis, 2014)

g Bagaimana mekanisme terjadinya hipersensitivitas?

Jawab :

 Hipersensitivitas tipe I

Terdapat 2 kemungkinan yang terjadi pada mekanisme reaksi alergi


tipe I, yaitu :
A. Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada di
permukaan sel mast atau basofil, dimana sebelumnya penderita
telah terpapar allergen sebelumnya, sehingga Ig E telah
terbentuk. Ikatan antara allergen dengan Ig E akan menyebabkan

25
keluarnya mediatormediator kimia seperti histamine dan
leukotrine.
B. Respons ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah terpapar
dengan allergen penyebab sebelumnya. Alergen yang masuk ke
dalam tubuh akan berikatan dengan sel B, sehingga
menyebabkan sel B berubah menjadi sel plasma dan
memproduksi Ig E. Ig E kemudian melekat pada permukaan sel
mast dan akan mengikat allergen. Ikatan sel mast, Ig E dan
allergen akan menyebabkan pecahnya sel mast dan
mengeluarkan mediator kimia. Efek mediator kimia ini
menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hipersekresi, oedem,
spasme pada otot polos. Oleh karena itu gejala klinis yang dapat
ditemukan pada alergi tipe ini antara lain : rinitis (bersin-bersin,
pilek) ; sesak nafas (hipersekresi sekret), oedem dan kemerahan
(menyebabkan inflamasi) ; kejang (spasme otot polos yang
ditemukan pada anafilaktic shock).

26
Gambar B (Hipersensitivitas I).

 Hipersensitivitas tipe II {Antibody-Mediated Cytotoxicity (Ig


G)}
Tipe ini melibatkan K cell atau makrofag. Alergen akan diikat
antibody yang berada di permukaan sel makrofag/K cell
membentuk antigen antibody kompleks. Kompleks ini
menyebabkan aktifnya komplemen (C2 –C9) yang berakibat
kerusakan (Gambar 1).

Gambar 1 (Hipersensitivitas II)

27
Alergen (makanan) akan diikat antibody yang berada di permukaan
K cell, dan akan melekat pada permukaan sel darah merah.
Kompleks ini mengaktifkan komplemen, yang berakibat hancurnya
sel darah merah (Gambar 2).

Gambar 2 (Hipersensitivitas II)


 Hipersensitivitas tipe III (Immune Complex Disorders)
 Adanya antigen antibody kompleks di jaringan, menyebabkan
aktifnya komplemen. Kompleks ini mengatifkan basofil sel
mast aktif dan merelease histamine, leukotrines dan
menyebabkan inflamasi
 Alergen (makanan) yang terikat pada antibody pada netrofil
(yang berada dalam darah) dan antibody yang berada pada
jaringan, mengaktifkan komplemen. Kompleks tersebut
menyebabkan kerusakan pada jaringan (Gambar 3).

Gambar 3 (Hipersensitivitas III)

28
 Hipersensitivitas tipe IV {Cell-Mediated Hypersensitivities (tipe
lambat)}
Makrofag (APC) mengikat allergen pada permukaan sel dan akan
mentransfer allergen pada sel T, sehingga sel T merelease
interleukin (mediator kimia) yang akan menyebabkan berbagai
gejala (Gambar 4).

Gambar 4 (Hipersensitivitas IV)


(Nuzulul, 2008).
h. Bagaimana gejala dari setiap tipe hipersensitivitas?

Jawab:

1. Tipe 1 : Anafilaksis, Urtikaria, Angioedem, mengi,


Hipotensi, muntah, sakit abdomen.
2. Tipe 2 : Anemia hemolitik autoimun, trombositopenia,
agranulositosis
3. Tipe 3: Limfadenopati, serum sickness, glomerulonefritis,
urtikaria, panas.
4. Tipe 4: Eritema, lepuh, dermatitis kontak, pruritis, lesi
makulopapular.

(Baratiwidjaja dan Rengganis, 2014)

4. Penderita memiliki riwayat Asma yang dipicu oleh debu rumah.


Ibunya merupakan penderita Rhinitis alergi.

29
a. Apa makna penderita memliki riwayat asma yang dipicu oleh debu
rumah?

Jawab:
Riwayat atopik.
Penyakit atopik ditandai dengan kecenderungan untuk
menghasilkan antibodi IgE terhadap inhalan (benda-benda yang
terhirup, seperti partikel-partikel debu, serbuk bunga, bulu
binatang)
(Nuzulul, 2008).
Sintesis :

Rhinitis Alergi merupakan penyakit inflamasi yang


disebabkan oleh reaksi alergi pada seorang atopi yang sebelumnya
sudah tersensititasi dengan alergen yang sama dilepaskan suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan alergen
spesifik tersebut. Rhnitis alergi, kelainan pada hidung dengan
gejala; bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantara oleh IgE.
(Yilmaz, 2000)

b. Bagaimana patofisiologi dari asma?

Jawab:

Patofisologi Asma
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan
hipereaktivitas saluran napas yang akan mempermudah terjadinya
obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan
saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga
diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas.
Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya
inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas,
sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali

30
secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut
terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang. Dikenal
dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis
yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada
jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh
akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil
olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong )
terutama Th2 . Sel T penolong inilah yang akan memberikan
intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma
membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel
epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk
mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin
(PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin,
tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan
mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi
otot polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-
sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui
mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga
menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang
dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan,
udara dingin, dan stress.
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan
sistem saraf otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir
berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen
akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus
terjadi karena adanya peregangan nervus vagus, sedangkan
pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan
alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi

31
yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa
keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO.
Refleks saraf memegang peranan pada reaksi asma yang
tidak melibatkan sel mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang
terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa
P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi
lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
(Yunitasari, A. 2013)

c. Apa makna ibunya merupakan pendertia rhinitis alergi?

Jawab:

Maknanya adalah penyakit yang diderita merupakan familial


genetik.

d. Apa hubungan dari riwayat penyakit asma, dengan riwayat rhinitis


alergi dari ibunya, dengan keluhan utama?

Jawab :

Asma merupakan salah satu jenis dari reaksi alergi


(hipersensitivitas) dimana alergen umumnya adalah polen dan
tungau debu rumah, begitu pula dengan rhinitis alergi. Namun di
dalam kriteria kasar dari reaksi alergi (hipersensitivitas) adalah
adanya kemungkinan riwayat keluarga. Disini ibu dari pasien
memiliki riwayat rhinitis alergi yang dapat memperkuat teori
kriteria dari reaksi alergi yang dialami pasien

32
(Baratiwidjaja dan Rengganis, 2014)

5. Pemeriksaan fisik sebelum disuntik:

Keadaan umum : tampak sakit ringan.

Tanda vital : T: 39,00 C.

Kepala : mulut; faring hiperemis, Tonsil T2-T2

a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik?

Jawab:

Yang Kondisi Normal Interpretasi


ditemukan
Keadaan Abnormal
umum : Sehat
Tampak
ringan
T: 39,00 C. 36,50 C-37,50 C. Abnormal
Kepala: Abnormal
mulut; faring Faring tidak hiperemis,
hiperemis, Tonsil T1-T1
Tonsil T2-
T2

b. Bagaimana mekanisme dari pemeriksaan fisik yang abnormal?

Jawab:

33
Infeksi atau Perbesaran
peradangan tonsil karena Makrofag Pirogen Endogen
pada saluran produksi
pernafasan antibody
meningkat.

Prostaglandin
Aliran darah Tonsil
ke faring membesar
meningkat
(T2-T2)
Peningkatan
Faring patokan suhu di
hiperemis hipotalamus

Inisiasi respon
dingin

Produksi panas
meningkat

(Sherwood, 2014)
Demam

6. Pemeriksaan fisik sesudah disuntik:

Keadaan umum : tampak sakit berat, kesadaran Compos Mentis


lemah.

Tanda vital: TD : 80/40 mmHg, Nadi lemah sulit diraba.

Kulit : Teraba dingin.

a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik?

34
Jawab:

Yang Kondisi Normal Interpretasi


ditemukan
Keadaan Abnormal
umum : Sehat, kesadaran compos
Tampak mentis
sakit berat,
kesadaran
compos
mentis
lemah
TD : 80/40 120/80 mmHg Abnormal
mmHg
Nadi lemah, Nadi normal, teraba Abnormal
sulit teraba
Kulit teraba Kulit teraba hangat Abnormal
dingin

b. Bagaimana mekanisme dari pemeriksaan fisik yang abnormal?

Jawab:

35
FR: Riwayat Asma, Genetik (Rhinitis alergi) Faktor pencetus: injeksi Antalgin

Pajanan ke-2 dengan allergen menimbulkan ikatan silang antara antigen


dengan IgE yang diikat sel mast dan basofil

Pelepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif)

Syok
anafilaktik

Pelebaran pembuluh darah

Maldistribusi volume sirkulasi

Aliran darah balik

Tekanan darah menurun

Nadi lemah, sulit diraba Gangguan perfusi

Hipoksia jaringan Hipoksia otak

pusing
Otot : lemah, lemas

Kulit : teraba dingin


Tampak sakit berat

(Penurunan kesadaran)
(Baratiwidjaja dan Rengganis, 2014)

36
7. a. Bagaimana cara diagnosis?

Jawab:

Cara mendiagnosisnya dengan melihan hasil anamnesis dan


gejala yang ada dimana setelah disuntik, pasien merasa pusing
seperti dunia mau kiamat dan lemas serta jatuh setelah bangun dari
tempat tidur periksa, pasien juga mempunyai riwayat alergi, asma,
dan ibunya mempunyai rhinitis alergi. Didapatkan juga keadaan
pasien dalam tampak sakit berat, kesadaran compos mentis lemah,
tekanan darah 80/40 mmHg, nadi lemah sulit diraba, dan dingin.
b. Bagaimana diagnosis banding?

Jawab:

1. Reaksi vasogal: Reaksi ini sering dijumpai setelah pasien


mendapat suntikan. Pasien tampak mau pingsan, pucat dan
berkeringat. Pada reaksi ini, nadinya lambat dan tidak
terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun, tetapi
masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah
seperti anafilaksis.
2. Infark miokard akut: Gejalanya berupa nyeri dada, dengan
atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering dijumpai rasa
sesak, tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran
napas, maupun kelainan kulit
3. Reaksi hipoglikemik: Gejalanya berupa pasien tampak
lemah, pucat, berkeringat sampai tak sadar. Tekanan darah
kadang-kadang menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda
obstruksi saluran napas atau kelainan kulit.
4. Reaksi histerik: Tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal
napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang
pingsan meskipun hanya sementara.

37
5. Angiodema herediter: Ditandai dengan angiodema saluran
napas bagian atas dan sering kali disertai kolik abdomen.
Tidak dijumpai kelainan kulit atau kolaps vaskular.
(Aru W. Sudoyo, dkk. 2009)

6. Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka


kemerahan, nyeri kepala, diare, serangan sesak napas
seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai
beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada
beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr,
bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma.
Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan
pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi
makanan tanpa MSG.
7. Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas,
batuk berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan
biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu,
aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada
pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan
gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang
hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor
pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.
(Longecker, 2008).
c. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus?

Jawab:

Pemeriksaan Skin Test Alergi


 Uji kulit in vivo
Dilakukan dengan cara memberikan alergen di kulit melalui
tusuk atau suntikan intradermal. Alergen akan masuk melalui
kulit untuk berteraksi dengan IgE yang terikat pada sel mast.

38
Cross-linking IgE akan menyebabkan degranulasi sel mast, yang
akan menyebabkan pelepasan histamin; yang akan
menyebabkan terjadinya urtika sentral dengan flare eritem.
Urtika dan flare diukur 15-20 menit setelah alergen disuntikan
 Uji serum in vitro
Dengan mengukur kadar IgE spesifik antigen. Uji ini
diperuntukan untuk pasien yang mempunyai dermatografisme
atau dermatitis yang luas; yang tidak dapat menghentikan obat,
misalnya pasien yang sangat alergi, keadaan dimana terdapat
kemungkinan terjadi anafilaksis.
(Nelson,2014).
1. Jumlah leukosit dan hitung jenis sel, pada penyakit alergi jumlah
leukosit normal kecuali alergi disertai dengan infeksi.
2. Serum IgE total, meningkatnya serum IgE total menyokong adanya
penyakit alergi.
3. Tes Kulit, bertujuan untuk menentukan antibody IgE spesifik
dalam kulit pasien, yang secara tidak langsung menggambarkan
adanya antibody yang serupa pada organ yang sakit..
4. Spirometri, menentukan obstruksi saluran nafas baik beratnya
maupusn reversibilitasnya, serta menilai hasil pengobatan asma.
5. Foto dada, untuuk melihat komplikasi asma dan Foto paranasal,
untuk melihat komplikasi rhinitis.

(Setiati dkk, 2014)

d. Bagaimana working diagnosis pada kasus?

Jawab:

Syok Anafilaktik.

e. Bagaimana tatalaksana pada kasus ini?

Jawab:

39
1) Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas,
paha, ataupun sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan
pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik.
Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian
intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk
orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat
diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan
nadi menunjukkan perbaikan
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena
kecuali pada keadaan tertentu saja misalnya pada saat syok
(mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien
tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi
injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis
500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000)
diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika
respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis
10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa
menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu
adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi
untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin
setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan
yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps
yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut.
2) Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut
anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat
untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah

40
anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan
menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125
mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien
stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison
intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap
6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB
(Suryana, 2003).
Farmakologi : injeksi epinerfrin 1 :1000 yang diberikan adalah
0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml secara intra
muscular dan dapat diberi setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali.

Promotif : Edukasi tentang hipersensitivitas khususunya


hipersensitivitas tipe I (Syok Anafilaktik)

Preventif : Anamnesis pasien tentang riwayat alergi obat pasien


dan menghindari serangan (allergen) yang telah dikenal bagi
individu tertentu penting sekali untuk mengurangi resiko
anafilaksis

Kuratif : Menggunakan epinefrin 0,3 ml 1:1000 secara injeksi intra


muscular

Rehabilitatif : Dokter memonitoring pasien

(Setiati dkk, 2014)

Konseling dan Edukasi

Keluarga perlu diberitahukan mengenai penyuntikan apapun


bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat
antigen (serum, penisilin, anestesi lokal, dll) harus selalu waspada
untuk timbulnya reaksi anafilaktik. Penderita yang tergolong risiko
tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-penyakit
alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba
menyuntikkan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat

41
alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat
lain yang lebih aman (IDI; Bakti Husada, 2014)

f. Komplikasi?
Jawab:

1. Koma
2. Kematian

g. Bagaimana prognosis pada kasus ini?

Jawab:

Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan


diagnose dan pengelolaan nya karena itu umumnya adalah dubia ad
bonam (Permenkes 2014)

h. Standar kompetensi Dokter umum tingkat berapa pada kasus?


Jawab:

Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan


Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran
klinik penyakit, dan mengetahui cara yang paling tepat untuk
mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut,
selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.

Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap
penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

42
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan
awal, dan merujuk

3A. Bukan gawat darurat


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan
terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat.
Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan
terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi
menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau
kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan
rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.

Tingkat Kemampuan 4A: mendiagnosis, melakukan


penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
Pada kasus ini SKDU adalah 4A

(Konsil Kedokteran Indonesia, 2012).

i. Bagaimana nilai- nilai islam pada kasus ini?

Jawab:

“Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus


menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai
kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan
dengan dosa-dosanya”.

43
( HR. Muslim no. 2573 )
Maka jelaslah dari penjelasan nash-nash ini bahwa
disamping menghapuskan kesalahan, juga diperoleh peningkatan
derajat dan tambahan kebaikan. Imam an-Nawawi rahimahullah
memberikan komentar atas hadits di atas, bahwa terdapat kabar
gembira yang besar bagi kaum muslimin, bahwa tidak berkurang
sedikitpun dari diri mereka, dan di dalamnya dijelaskan tentang
penebus berbagai kesalahan dengan segala penyakit, segala
musibah dunia dan duka citanya, sekalipun kesusahan itu hanyalah
sedikit. Dan di dalamnya dijelaskan pula tentang pengangkatan
derajat dengan perkara-perkara ini dan tambahan kebaikan (Syarh
an-Nawawi atas Shahih 193).Muslim 16

2.6 Kesimpulan

Ibu Aminah, 25 tahun, mengalami syok anafilaktik yang dipicu oleh


obat injeksi antalgin.

2.7 Kerangka Konsep

Faktor pencetus (injeksi


FR (Riwayat atopi, familial
antalgin)
genetik)

Reaksi Hipersensitivitas tipe I

Syok anafilaktik

Nadi sulit Pusing Lemas Kulit teraba


diraba dingin

44
Daftar Pustaka

Adam, JM. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Agus Purwadianto, Budi Sampurna. 2013. Kedaruratan Medik. Edisi Revisi.
Jakarta : Penerbit Bina Rupa Aksara.
Ansel, H. C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi edisi IV. Jakarta: UI Press.

Bakti Husada. 2014. Panduan praktik klinis bagi dokter. Jakarta

Baratawidjaja, K dan Rengganis, I. 2014. Imunologi Dasar Edisi 11.


Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Guyton.A.C. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Ikatan Apoteker Indonesia.2016. ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia.vol

50.Jakarta:PT ISFI

Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.

Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.

Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology.

2008; Chapter 88.

Mangku, G. 2007. Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi. Denpasar: FK


FK UNUD.
Nelson. 2014. Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Jakarta: EGC.
Nuzulul. 2008. Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi). Jember: FK Unej.

2014. Imunologi Dasar. Badan Penerbit FKUI. Jakarta. Indonesia.

2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter. IDI. Indonesia

Permenkes No 5 tahun 2014.Jakarta: Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi


Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2014. Kementerian
Kesehatan.

45
Price, S., Wilson, L., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sari. 2013. Inflamasi Alergi pada Asma. Jakarta: FK UI.

Setiati S, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Internal Pubishing
: Jakarta
Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta : EGC

Sudoyo, dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5 Jilid 3. Jakarta:

Interna Publishing.

Suryana. 2003. Clinical Allergy Immunology. Denpasar: FK UNUD.

Yilmaz M, Bingol G, Altintas D, Kendirli SG. Correlation between atopic


diseases and tuberculin responses. Allergy 2000.
Yunitasari, A. 2013. Hubungan Rinosinusitis Kronik dengan Tingkat Kontrol

Asma. Fakultas Kedoteran Universitas Diponogoro : Semarang.

46

You might also like