Professional Documents
Culture Documents
Lukman Hakim Dan Dedi Setiadi: Hubungan Faktor Penularan Dengan Kesakitan... (Lukman H & Dedi S)
Lukman Hakim Dan Dedi Setiadi: Hubungan Faktor Penularan Dengan Kesakitan... (Lukman H & Dedi S)
ABSTRACT
The eradication of Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) has not decrease the amount of patient significantly
in West Java, correlated factors with DHFwere not much known. Therefore the process of eradication still
based on cases. This research was aimed to collect information in variable which have correlated with
DHFby using advanced analysis on Riskesdas 2007 data on 10 districts with highest DHFincident rate. The
independent variables are residence, utilization of integrated health post, water resources throughout the
year, water reservoir, nutrients status, measles and tubercolosis, with dependent variable that was DHF.
Bivariat analysis was aimed to recognize each relation between independent and dependent variables. Then,
multivariate analysis conducted in order to aim the dominant variable and predicting the possiblity of DHF.
Result of bivariate analysis showed the illness of lungs tubercolosis, measles, amounts of residence and
nutrient status were significantly correlated with dengue haemorrhagic fever. Thus, had a chance to be the
risk factors of dengue haemorrhagic fever. Multivariate analysis showed that there was some interaction
between independent variable in correlation with dengue haemorrhagic fever. From the further analysis, the
interaction happened at Bandung district and Bogor City. Possibilites of DHF were counted based on lung
tubercolosis, measles and nutrient status.
Keywords: DHFRisk Factor, measles morbidity, Tuberculosis morbidity, nutrient status, Riskesdas 2007,
West Java
ABSTRAK
Pemberantasan demam berdarah dengue (DBD) belum berhasil menurunkan jumlah penderita secara
bermakna meskipun angka kematian bisa ditekan Di Jawa Barat, faktor yang berhubungan dengan kejadian
DBD belum banyak diketahui sehingga pemberantasan yang dilakukan masih berdasarkan kasus. Penelitian
ini bertujuan memperoleh informasi tentang variabel yang berhubungan dengan kejadian DBD,
dilaksanakan dengan melakukan analisis lanjut data hasil Riskesdas 2007 di 10 kabupaten/kota dengan
incident rate DBD tertinggi. Dilakukan dengan menganalisis hubungan variabel independent yaitu jumlah
penghuni rumah, pemanfaatan posyandu, kemudahan air sepanjang tahun, keberadaan tandon air, status
gizi, kesakitan campak, dan kesakitan TB paru dengan variabel dependent yaitu kesakiran DBD. Analisis
bivariat ditujukan untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel independent dengan dependent,
dilanjutkan dengan analisis multivariat untu mengetahui variabel yang dominan serta untuk menduga
peluang terjadinya DBD. Analisis dilakukan pada data hasil Riskesdas 2007 di Kota Cimahi, Kota
Bandung, Kota Sukabumi, Kabupaten Cirebon, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten
Indramayu, Kabupaten Bandung dan Kota Bekasi serta keseluruhan di 10 kabupaten/kota. Hasil analisis
bivariat menunjukan variabel kesakitan TB paru, variabel kesakitan campak, variabel jumlah penghuni
rumah, dan variabel status gizi, berhubungan secara bermakna dengan kejadian DBD sehingga berpeluang
menjadi faktor risiko kejadian DBD. Analisis multivariat yang dilaksanakan pada data di enam
kabupaten/kota dan pada data gabungan, hanya di Kabupaten Bandung, Kota Bogor dan gabungan data 10
kabupaten/kota yang menunjukan adanya interaksi antara variabel independent dalam hubungannya dengan
kesakitan DBD. Peluang terjadinya DBD bisa dihitung berdasarkan variabel kesakitan TB paru, kesakitan
campak dan status gizi..
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 12 No 1,Maret 2013 : 25 – 33
Kata kunci: Faktor risiko kesakitan DBD, kesakitan campak, kesakitan TB paru, status gizi, Riskesdas
2007, Jawa Barat.
sebesar 3,6%, kategori kurus sebesar 5,4%, dependent yang dianalisis adalah kesakitan
kategori normal sebesar 81,3% dan kategori DBD. Analisis dilakukan pada data masing-
gemuk sebesar 9,6%. Sedangkan masing kabupaten/kota serta data gabungan
kabupaten/kota di Jawa Barat dengan IR keseluruhan.
tinggi berada di wilayah tengan dan utara;
Seluruh data variabel independent
sepuluh besar tertinggi adalah Kota Cimahi,
per individu responden diolah dan dijadikan
Kota Bandung, Kota Sukabumi, Kabupaten
dua kategori (dikotome) yaitu kategori tidak
Cirebon, Kota Depok, Kota Bogor,
berisiko (diberi kode 0) dan kategori berisiko
Kabupaten Bogor, Kabupaten Indramayu,
(diberi kode 1). Sedangkan data variabel
Kabupaten Bandung dan Kota Bekasi
dependent dibuat menjadi kategori tidak sakit
(Anonim, 2008).
DBD (diberi kode 0) dan kategori tidak sakit
Analisis lanjut data Riskesdas 2007 DBD (diberi kode 1).
ini bertujuan mengetahui hubungan beberapa
Selanjutnya dilakukan analisis
faktor penularan dengan kesakitan demam
bivariat menggunakan chi square test antara
berdarah dengue di kabupaten/kota dengan
masing-masing variabel independent dengan
kesakitan DBD Jawa Barat.
variabel dependent untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan masing-masing variabel
independent dengan variabel dependent
BAHAN DAN CARA
(Atmaja, 2003). Sedangkan untuk mengetahui
Penelitian ini dilakukan dengan variabel independent yang paling besar
melakukan analisis lanjut data Riskesdas hubungannya dengan variabel dependent,
2012 yang berasal dari Kota Cimahi, Kota dilakukan analisis multivariat (regresi binary
Bandung, Kota Sukabumi, Kabupaten logistic) antara variabel independent yang
Cirebon, Kota Depok, Kota Bogor, menghasilkan P <0,25 dengan variabel
Kabupaten Bogor, Kabupaten Indramayu, dependent. Analisis ini juga bertujuan
Kabupaten Bandung dan Kota Bekasi membuat permodelan pendugaan dalam
Provinsi Jawa Barat. Variabel independent menghitung probabilitas individu (dalam %)
yang dianalisis adalah jumlah penghuni terjadinya kesakitan DBD berdasarkan nilai-
rumah, pemanfaatan Posyandu, kemudahan nilai sejumlah variabel prediktor. Model
air sepanjang tahun, keberadaan tandon air matematika untuk pendugaan probabilitas
terbuka, status gizi, kesakitan TB Paru dan kejadian event, ditentukan berdasarkan rumus
kesakitan campak; sedangkan variable sebagai berikut (Kleinbaum DG, 2002) :
1
P= -(+ 1X1 + 2X2 + ….. + kXk)
1+e
air sepanjang tahun adalah 69,8%, memiliki adalah 50,5%, responden yang tidak
tendon air yang terbuka adalah 8,5%, memanfaatkan Posyandu adalah 75,4%,
memliki status gizi tidak normal adalah tinggal di rumah yang mudah mendapatkan
54,4%, pernah menderita campak adalah air sepanjang tahun adalah 81,4%, memiliki
1,8%, pernah menderita TB paru adalah tendon air yang terbuka adalah 2,9%,
1,2%, sedangkan yang menderita DBD memliki status gizi tidak normal adalah
adalah 0,5%. 51,1%, pernah menderita campak adalah
0,8%, pernah menderita TB paru adalah
Di Kota Bandung, dari 3.355
0,5%, sedangkan yang menderita DBD
responden, diketahui bahwa responden yang
adalah 0,3%.
tinggal di rumah dengan kategori padat
adalah 72,2%, responden yang tidak Di Kota Cimahi, dari 2.754
memanfaatkan Posyandu adalah 68,9%, responden, diketahui bahwa responden yang
tinggal di rumah yang mudah mendapatkan tinggal di rumah dengan kategori padat
air sepanjang tahun adalah 65,6%, memiliki adalah 69,5%, responden yang tidak
tendon air yang terbuka adalah 14,1%, memanfaatkan Posyandu adalah 68,6%,
memliki status gizi tidak normal adalah 47%, tinggal di rumah yang mudah mendapatkan
pernah menderita campak adalah 1,3%, air sepanjang tahun adalah 59%, memiliki
pernah menderita TB paru adalah 0,8%, tendon air yang terbuka adalah 4,1%,
sedangkan yang menderita DBD adalah memliki status gizi tidak normal adalah
0,6%. 50,8%, pernah menderita campak adalah
0,5%, pernah menderita TB paru adalah
Di Kota Bekasi, dari 2.810
0,7%, sedangkan yang menderita DBD
responden, diketahui bahwa responden yang
adalah 0,9%.
tinggal di rumah dengan kategori padat
adalah 73,2%, responden yang tidak Secara keseluruhan di 10
memanfaatkan Posyandu adalah 80,7%, kabupaten/kota, dari 29.377 responden,
tinggal di rumah yang mudah mendapatkan diketahui bahwa responden yang tinggal di
air sepanjang tahun adalah 78,6%, memiliki rumah dengan kategori padat adalah 67%,
tendon air yang terbuka adalah 6,1%, responden yang tidak memanfaatkan
memliki status gizi tidak normal adalah Posyandu adalah 67,4%, tinggal di rumah
49,6%, pernah menderita campak adalah yang mudah mendapatkan air sepanjang
0,3%, pernah menderita TB paru adalah tahun adalah 70,5%, memiliki tendon air
0,2%, sedangkan yang menderita DBD yang terbuka adalah 6,9%, memliki status
adalah 0,2%. gizi tidak normal adalah 51,6%, pernah
menderita campak adalah 1,3%, pernah
Di Kota Depok, dari 1.950
menderita TB paru adalah 1,0%, sedangkan
responden, diketahui bahwa responden yang
yang menderita DBD adalah 0,6% (Tabel 2).
tinggal di rumah dengan kategori padat
Tabel 2. Distribusi frekuensi variabel penelitian per kategori di 10 Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Kategori tidak berisiko Kategori berrisiko
Variabel
Kategori f % Kategori Ff %
Jumlah penghuni rumah Tidak Padat 9.699 33,0 Padat 19.678 67,0
Pemanfaatan Posyandu Meman- 9.586 32,6 Tidak me- 19.791 67,4
faatkan manfaatkan
Kemudahan air sepanjang tahun Tidak 8.670 29,5 Mudah 20.704 70,5
mudah
Keberadaan tandon air terbuka Tidak ada 27.358 93,1 Ada 2.019 6,9
Status gizi Normal 14.211 48,4 Tidak normal 15.166 51,6
Kesakitan campak Tidak sakit 29.006 98,7 Sakit 371 1,3
Kesakitan tuberkulosis paru Tidak sakit 29.078 99,0 Sakit 299 1,0
Kesakitan DBD Tidak sakit 29.203 99,4 Sakit 174 0,6
Keterangan : n = 29.377
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 12 No 1,Maret 2013 : 25 – 33
dari satu variable yang signifikan demikian tidak bisa dihitung peluang
berhubungan atau variable confounding. terjadinya kesakitan DBD berdasarkan
variabel prediktor. Sedangkan di Kota
Analisis multivariat di Kabupaten
Sukabumi, analisis dengan tiga variabel
Cirebon dengan dua variable predictor,
predictor, menghasilkan hanya variabel
menghasilkan hanya variabel Kesakitan TB
kesakitan TB paru yang secara bersama-sama
Paru yang secara bersama-sama signifikan
signifikan berhubungan dengan kejadian
berhubungan dengan kejadian DBD
DBD (p=0,000), dengan demikian tidak bisa
(p=0,000), dengan demikian tidak bisa
dihitung peluang terjadinya kesakitan DBD
dihitung peluang terjadinya kesakitan DBD
berdasarkan variabel prediktor.
berdasarkan variabel predictor.
Analisis data 10 kota/kabupaten
Di Kota Bandung, analisis dengan
dengan dua variabel predictor, menghasilkan
empat variable predictor, menunjukan
kesakitan campak (p=0,00) dan kesakitan TB
variabel kesakitan campak (p-0,000) dan
paru (p=0,000) secara bersama-sama
Kesakitan TB Paru (0,042) secara bersama-
signifikan berhubungan dengan kejadian
sama signifikan berhubungan dengan
DBD, dengan demikian untuk menduga
kejadian DBD (p=0,000), dengan demikian
kesakitan DBD dihitung berdasarkan kedua
untuk menduga kesakitan DBD dihitung
variabel predictor. Dari hasil itu diketahui,
berdasarkan kedua variabel predictor. Dari
individu dengan dengan status gizi tidak
hasil itu diketahui, individu yang menderita
normal, menderita sakit TB Paru dan
sakit TB Paru dan status gizi tidak normal,
menderita campak, peluangnya untuk sakit
peluangnya untuk sakit DBD adalah adalah
DBD adalah adalah 12,99%, sedangkan
38,74%, sedangkan individu yang tidak
individu dengan status gizi normal, tidak
menderita sakit TB Paru dan status gizi
menderita sakit TB Paru dan tidak menderita
normal, peluangnya untuk sakit DBD adalah
campak, peluangnya untuk sakit DBD adalah
adalah 0,51%.
adalah 1,33%.
Di Kota Bogor, analisis dengan tiga
variable predictor, menunjukan variabel
status gizi (p=0,039), kesakitan campak PEMBAHASAN
(p=0,00) dan Kesakitan TB Paru (p=0,036)
Analisis bivariat yang dilakukan
secara bersama-sama signifikan berhubungan
anatara tujuh variabel independent masing-
dengan kejadian DBD, dengan demikian
masing dengan variabel dependent, secara
untuk menduga kesakitan DBD dihitung
keseluruhan menunjukkan empat variabel
berdasarkan ketiga variabel prediktor. Dari
yang signifikan berhubungan, yaitu variabel
hasil itu diketahui, individu dengan status
kesakitan TB paru (di Kabupaten Bandung,
gizi tidak normal, menderita sakit TB Paru
Kabupaten Cirebon, Kota Bogor, Kota
dan menderita campak, peluangnya untuk
Depok, Kota Sukabumi dan pada data 10
sakit DBD adalah adalah 26,77%, sedangkan
kabupaten/kota), variabel kesakitan campak
individu dengan status gizi normal, tidak
(di Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Cimahi,
menderita sakit TB Paru dan tidak menderita
Kota Depok dan di 10 kabupaten/kota),
campak, peluangnya untuk sakit DBD adalah
variabel jumlah penghuni rumah (di Kota
adalah 2,02%.
Bandung), dan variabel status gizi (di Kota
Analisis multivariat di Kota Cimahi Bogor). Keempat variabel tersebut
dengan dua variable predictor, menghasilkan berpeluang menjadi faktor risiko kejadian
hanya variabel kesakitan campak yang secara DBD.
bersama-sama signifikan berhubungan
Variabel kesakitan campak dan
dengan kejadian DBD (p=0,000), dengan
kesakitan TB paru bisa menjadi faktor risiko
demikian tidak bisa dihitung peluang
kesakitan DBD karena berpengaruh terhadap
terjadinya kesakitan DBD berdasarkan
status imunitas seseorang (immunodefisiensi)
variabel predictor. Sedangkan di Kota
sehingga menjadi rentan terhadap mikroba
Depok, analisis dengan empat variabel
termasuk virus dengue (Kumala S, 2009). Hal
prediktor, menunjukan tidak ada variabel
ini sesuai dengan hasil penelitian di Jepara
yang secara bersama-sama signifikan
dan Ujungpandang yang melaporkan bahwa
berhubungan dengan kejadian DBD, dengan
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 12 No 1,Maret 2013 : 25 – 33
untuk terjadi infeksi virus dengue yang dengan variabel lain, berpeluang menjadi
menyebabkan DBD pada manusia, selain faktor risiko kejadian DBD.
populasi nyamuk juga masih tergantung pada
Berdasarkan analisis data, tidak di
faktor lain seperti vektor capacity, virulensi
semua kabupaten kota, variabel independent
virus dengue, serta status kekebalan host
yang dianalisis, signifikan behubungan
(Lubis I, 1990). Jumlah penghuni rumah bisa
dengan kesakitan DBD. Di Kabupaten
menjadi faktor risko kejadian DBD karena
Cirebon, Kabupaten Indramayu dan Kota
variabel tersebut berpengaruh terhadap
Bekasi, tidak ada satupun variabel
frekuensi gigitan nyamuk per hari (multiple
independent yang berhubungan dengan
bites), sehingga diperkirakan nyamuk Ae.
variabel dependent, artinya ketujuh variabel
aegypti di rumah yang banyak penghuninya,
yang dianalisis bukan jadi faktor risiko
lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap
kejadian DBD.
manusia dibanding yang lebih sedikit
(Canyon D, 2000). Analisis multivariat tidak dilakukan
pada data di Kabupaten Bandung karena
Variabel status gizi bisa menjadi
hanya ada satu variabel yang signifikan
faktor risiko kejadian DBD karena juga bisa
berhubungan serta tidak ada variabel
berpengaruh terhadap status imunitas
confounding. Analisis pada data di enam
seseorang (immunodefisiensi) sehingga
kabupaten/kota dan pada data gabungan,
menjadi rentan terhadap mikroba termasuk
hanya di Kabupaten Bandung, Kota Bogor
virus dengue (Kumala S, 2009). Beberapa
dan gabungan data 10 kabupaten/kota yang
penelitian terdahulu, juga menunjukan hasil
menunjukan adanya interaksi antara variabel
yang sama, misalnya penelitian yang
independent dalam hubungannya dengan
dilakukan di Vietnam dan El Salvador yang
kesakitan DBD. Dengan demikian, hanya di
membuktikan status gizi sangat berpengaruh
wilayah tersebut yang bisa dihitung peluang
terhadap kesakitan DBD khususnya pada
terjadinya kesakitan DBD berdasarkan ketiga
ana-anak (Kalayanarooj S, 2003). Status gizi
variabel yang menunjukan adanya interaksi.
juga berpengaruh terhadap sitem immunitas
Di Kota Bandung, peluang terjadinya
tubuh yang berfungsi membantu perbaikan
kesakitan DBD dihitung berdasarkan variabel
DNA manusia; mencegah infeksi yang
kesakitaqn TB dan kesakitan campak; yaitu
disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan
individu yang menderita sakit TB dan
organisme lain; serta menghasilkan antibodi
campak, berpeluang 38,74% untuk menderita
untuk memerangi serangan bakteri dan virus
DBD, sedangkan yang tidak menderita sakit
asing yang masuk ke dalam tubuh (Aspinall
TB dan campak, berpeluang 0,51% untuk
R, 2005).
menderita DBD. Di Kota Bogor, peluang
Analisis ini menunjukan, responden terjadinya kesakitan DBD dihitung
yang tidak menderita sakit TB, tidak berdasarkan variabel kesakitaqn TB,
menderita sakit campak, tinggal di rumah kesakitan campak dan status gizi; yaitu
dengan penghuni yang sedikit, serta memiliki individu yang menderita sakit TB, menderita
status gizi baik (normal), memiliki tingkat campak dan status gizi tidak normal,
proteksi yang lebih tinggi dibandingkan yang berpeluang 26,77% untuk menderita DBD,
berada pada kelompok sebaliknya, sehingga sedangkan yang dalam keadaan sebaliknya,
lebih terhindar dari kesakitan DBD. berpeluang 2,01% untuk menderita DBD.
Sedangkan secara keseluruhan di 10
Selain itu, terdapat lima variabel
kabupaten/kota, peluang terjadinya kesakitan
yang menjadi variabel coumpondent (p
DBD dihitung berdasarkan variabel
<0,25) yaitu variabel jumlah penghuni rumah
kesakitaqn TB dan kesakitan campak; yaitu
(Kabupaten Cirebon), variabel keberadaan
individu yang menderita sakit TB dan
tendon air (Kota Bandung), variabel
campak, berpeluang 12,99% untuk menderita
pemanfaatan Posyandu (Kota Cimahi, Kota
DBD, sedangkan yang tidak menderita sakit
Depok dan Kota Sukabumi), variabel status
TB dan campak, berpeluang 1,33% untuk
gizi (Kota Depok), dan variabel kemudahan
menderita DBD. Kecilnya nilai pendugaan
air sepanjang tahun (Kota Sukabumi).
peluang terjadinya kesakitan DBD,
Kelima variabel tersebut, kalau berinteraksi
disebabkan sedikitnya variabel yang
dijadikan sebagai prediktor (dua variabel di
Hubungan faktor penularan dengan kesakitan...(Lukman H & Dedi S)