You are on page 1of 4

-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI PERGURUAN TINGGI


SEBAGAI PENGUATAN JATI DIRI BAHASA INDONESIA
DALAM KONTEKS MASAYARAKAT EKONOMI ASEAN

Hani’ah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
haniah.misya@gmail.com

Abstract
The implementation of AEC 2015 will adversely affect Indonesian identity. The use of language is not
appropriate to the context and the westernization of language, the use of language in public places,
the name of the hotel, shopping malls, and even the names of the food menu in the restaurant began
displaced by foreign language is a form of powerlessness and weakening of Indonesian identity.
Indonesian identity with regard to the nature and function of Indonesian. Indonesian identity is a
communication tool that serves as the national language and the language of the country. Indonesian
identity must be strengthened continuously. Strengthening Indonesian identity can be performed in
Indonesian learning process in college. Indonesian language learning in college as a special mission that
must be submitted by a lecturer in the learning process. First , a lecturer on a mission to foster a love of
Indonesian. Second, the mission exemplary lecturer in communication. Third, the lecturer should be able
to guide students so that students have the skills to use the Indonesian language properly as suggestions
of scienti ic communication in accordance with the study lived. Thus, lecturer and students together to
strengthen the identity of Indonesian, suppress and minimize the adverse effects that would undermine
the existence of Indonesian .
Keywords: strengthening Indonesian identity, nationalism, Indonesian language learning, college

Abstrak
Diberlakukannya MEA 2015 akan berdampak buruk terhadap jati diri bahasa Indonesia. Penggunaan
bahasa yang tidak sesuai dengan konteksnya dan terjadinya westernisasi bahasa, penggunaan
bahasa di tempat-tempat umum, nama hotel, pusat perbelanjaan, bahkan nama-nama menu
makanan di restoran mulai tergeser oleh bahasa asing merupakan bentuk ketidakberdayaan dan
melemahnya jati diri bahasa Indonesia. Jati diri bahasa Indonesia berkaitan dengan hakikat dan
fungsi bahasa Indonesia. Jati diri bahasa Indonesia adalah alat komunikasi yang berfungsi sebagai
bahasa nasional dan bahasa negara. Jati diri bahasa Indonesia harus dikuatkan secara terus menerus.
Penguatan jati diri bahasa Indonesia dapat dilakukan dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia
di perguruan tinggi. Pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi memiliki misi khusus yang
harus disampaikan oleh seorang dosen dalam proses pembelajaran. Pertama, dosen mengemban
misi untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap bahasa Indonesia. Kedua, dosen mengemban misi
keteladanan dalam berkomunikasi. Ketiga, dosen harus mampu membimbing mahasiswa sehingga
mahasiswa memiliki keterampilan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sebagai
saran komunikasi ilmiah sesuai dengan bidang studi yang dijalaninya. Dengan demikian, dosen
dan mahasiswa bersama-sama melakukan penguatan jati diri bahasa Indonesia, menekan dan
meminimalisasi pengaruh buruk yang akan merusak eksistensi bahasa Indonesia.
Kata Kunci: penguatan jati diri bahasa Indonesia, nasionalisme, pembelajaran bahasa Indonesia,
perguruan tinggi

Pendahuluan
Mahasiswa adalah insan akademis yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan siswa.
Penambahan label ‘maha’ pada kata siswa menjadi mahasiswa memikul beban dan tanggung
jawab yang cukup berat. Ada anggapan bahwa mahasiswa memiliki kapasitas keilmuan yang
lebih dari pada orang lain. Kapasitas keilmuan seseorang merupakan konsekuensi dari gesekan-
gesekan dengan pengetahuan dan dunia keilmuan di Perguruan Tinggi. Selain itu, mahasiswa

434
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

selalu dituntut mampu mengekspresikan pengalaman keilmuan dan pengetahuannya melalui


bahasa lisan dan tulis.
Kemampuan mengaktualisasikan pikiran, gagasan tentang pengalaman dan
pengetahuannya di bidang ilmu pengetahuan merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh
insan akademis di perguruan tinggi. Hal ini sesuai dengan peran perguruan tinggi sebagai
pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat akademis harus mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan di bidangnya masing-masing. Hasil pengembangan itu
kemudian dikomunikasikan kepada sesama ahli dalam bidang yang bersangkutan atau kepada
masyarakat luas melalui bahasa tulis. Jadi, kemampuan menulis bagi insan akademis bukan lagi
hal yang mewah dan “wah”, melainkan kebutuhan dan keharusan yang mutlak sebagai wujud
dari Tridarma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Ironisnya,
banyak insan akademis, terutama mahasiswa yang kurang mampu mengaktualisasikan gagasan
atau pengalaman ilmiahnya.
Ada dua faktor utama yang menyebabkan bahwa kurang membudayanya kegiatan menulis
di kalangan akademis terutama mahasiswa. pertama, rendahnya minat baca di kalangan
akademisi. Dengan membaca, seseorang akan memiliki wawasan yang luas sehingga ia dapat
memformulasikan gagasan-gagasannya sendiri dengan baik. Hal ini dapat menghindari –atau
setidaknya meminimalisir— terjadinya plagiasi yang akhir-akhir ini menjadi wacana publik.
Kedua, rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibatnya, banyak
karya mahasiswa, baik berupa makalah, tugas-tugas kuliah, bahkan skripsi yang masih jauh
dari sempurna.
Berbicara tentang penguasaan terhadap Bahasa Indonesia Keilmuan, masih banyak di
antara mahasiswa –bahkan dosen— yang kurang mampu menerapkan kaidah dan tata bahasa
dalam tulisan akademiknya. Tidak jarang dijumpai kesalahan berbahasa dalam makalah ataupun
skripsi, seperti kalimat tanpa subjek, kalimat tanpa predikat, anak kalimat dipisah dari induk
kalimatnya, dan ejaan yang tidak mengikuti EYD. Hal ini secara tidak langsung melemahkan jati
diri bahasa Indonesia. Selain itu, banyak hasil penelitian, publikasi ilmiah, skripsi, tesis, bahkan
disertasi, yang masih mengandung istilah asing yang sebenarnya memiliki padanan dalam
bahasa Indonesia. Hal ini dinilai sebagai perilaku berbahasa yang berdampak buruk terhadap
jati diri bahasa Indonesia.
Jati diri bahasa Indonesia harus dikuatkan secara terus menerus. Penguatan jati diri
bahasa Indonesia dapat dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia sesuai dengan posisi tanggung
jawab masing-masing. Masyarakat akademis tentu memiliki tanggung jawab yang lebih besar
dibandingkan dengan masyarakat awam. Sehubungan dengan hal tersebut, bagaimanakah
bentuk penguatan jati diri bahasa Indonesia yang dapat dilakukan oleh mahasiswa dan dosen
dalam pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi?

Pembahasan
1. Jati Diri Bahasa Indonesia dalam Konteks MEA
Setiap bangsa memiliki bahasa. Bahasa yang dimiliki suatu bangsa menjadi ciri khas yang
membedakannya dengan bangsa-bangsa lain. Hal tersebut sejalan dengan pepatah bahasa
menunjukkan bangsa. Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia yang
merupakan bahasa masyarakat Indonesia merupakan simbol jati diri bangsa. Oleh karena itu,
bahasa Indonesia harus senantiasa dijaga, dilestarikan secara terus-menerus. Di samping itu,
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia menjadi tanggung jawab bersama seluruh
bangsa Indonesia.
Salah satu wujud pelaksanaan tanggung jawab tersebut adalah penggunaan bahasa
Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai sarana

435
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

komunikasi. Pergeseran penggunaan bahasa Indonesia di era global menjadikan bahasa


Indonesia akan kehilangan jati dirinya. Siapa lagi yang akan menggunakan bahasa Indonesia
secara baik dan benar kalau bukan bangsa Indonesia sendiri? Bagaimanakah jati diri bahasa
Indonesia saat ini?
Jati diri adalah ciri khas yang menandai sesuatu. Jati diri bahasa Indonesia adalah ciri
khas yang menandai bahasa Indonesia yang membedakan dengan bahasa lain di dunia. Jati diri
bahasa Indonesia berkaitan dengan hakikat dan fungsi bahasa Indonesia. jadi, jati diri bahasa
Indonesia adalah alat komunikasi yang berfungsi sebagai bahasa nasional dan bahasa negara.
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki kedudukan: (1) bahasa Indonesia sebagai
identitas nasional, (2) bahasa Indonesia sebagai kebanggaan bangsa, (3) bahasa Indonesia
sebagai alat komunikasi, (4) bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa yang berbeda
suku, agama, ras, adat istiadat, dan budaya. Selain itu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa
negara. Artinya, bahasa Indonesia memiliki kedudukan: (1) bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi kenegaraan, (2) bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan, (3)
bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, (4) bahasa Indonesia sebagai pengembangan
kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi.
Jika diamati, kondisi bahasa Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Penggunaan
bahasa yang tidak sesuai dengan konteksnya dan terjadinya westernisasi bahasa merupakan
bentuk ketidakberdayaan bahasa Indonesia. Contohnya, penggunaan bahasa di tempat-tempat
umum, nama hotel, pusat perbelanjaan, bahkan nama-nama menu makanan di restoran mulai
tergeser oleh bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Penggunaan bahasa Inggris dipandang
lebih prestise dan bergengsi. Akibatnya, wajah Indonesia menjadi asing bagi bangsanya sendiri.
Ketidakberdayaan bahasa Indonesia tersebut pada dasarnya disebabkan oleh sikap
pemilik bahasa itu sendiri, yaitu bangsa Indonesia. Sikap bahasa adalah posisi mental atau
perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Sebagian
masyarakat Indonesia beranggapan bahwa bahasa asing lebih bergengsi daripada bahasa
Indonesia. Secara tidak langsung bangsa Indonesia memosisikan bahasa Indonesia di tingkat
yang lebih rendah dari bahasa-bahasa asing.
Dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN maka barang, jasa, modal, dan investasi
akan bergerak bebas di kawasan ini. Integrasi ekonomi regional menjadi satu keharusan di era
global saat ini. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan. Dari tujuan inilah satu negara
menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara yang
memungkinkan terjadinya gesekan budaya yang tak terkendali.
Gesekan-gesekan tersbut akan berdampak besar terhadap eksistensi bahasa Indonesia,
apalagi kebijakan presiden Joko Widodo untuk mencoret syarat “Dapat berkomunikasi dalam
bahasa Indonesia” bagi pekerja asing yang dipekerjakan di Indonesia. Kebijakan itu tertuang
dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015, menggantikan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 12 Tahun 2013. Sebenarnya berlakunya MEA
dapat dijadikan peluang bagi pemerintah untuk menguatkan jati diri bahasa Indonesia. Jati diri
bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia
tidak terbawa arus dan pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Bagaimana pun, dalam persoalan pengaruh mempengaruhi ini, masyarakat atau kelompok yang
secara sosial, politik, dan ekonomi lebih kuat cenderung akan memberikan pengaruh yang luar
biasa besarnya, dan pengaruh itu biasanya dipandang positif oleh penerimanya (Foley, 2001:
384).
Pengaruh buruk tersebut dapat dihindari dengan melakukan penjagaan, pembinaan
terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia harus dilestarikan karena berperan dan berfungsi

436
Thank you for using PDFelement 6 Professional.

You can only convert up to 5 pages in the trial version.

To get the full version, please purchase the program here:

http://cbs.wondershare.com/go.php?pid=2990&m=db

You might also like