You are on page 1of 15

KONSEP INTEGRASI TATA KELOLA KEBENCANAAN DI KOTA

SEMARANG

Jawoto Sih Setyono1);Artiningsih2); Itsna Yuni Hidayati1)


1)
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang
2)
Kandidat Doktor, pada Program Doktoral Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Email: jawoto@pwk.undip.ac.id; artiningsih@gmail.com; itsna.yuni15@pwk.undip.ac.id

Abstract
The unique physical characteristics of Semarang have placed the city to be prone to
multi-hazard situation. Consequently, better management of disaster risk reduction is of
importance in order to minimize the impact of disasters which to some extent tend to increase
recently. The improvement of disaster risk management in the city needs to appropriately
consider the disaster cycle which includes the understanding the condition before, on the
event and after disasters. While the city government has done some efforts to improve the
management of disaster in the city, there are still some key important elements lacking
especially those which relate to the broader disaster governance framework. This study is
aimed to formulate the concept of integrative governance in disaster management in
Semarang. This is done through two objectives which include identifying gaps in disaster
management at every stage of disaster management and exploring the practice of community
disaster management.The research shows that there is a gap between existing disaster
management activities done by Semarang city government with the disaster management
activites in the normative rules. The gaps shows the role of government in disasters
management is still low. Therefore, there are needs to develop disaster management
improvement schemes.This also needs the development of a standard of operating procedure
(SOP) to implement the scheme. In order to have more sustainable improvement in disaster
management,continuous engagement from multi-stakeholder forum is one of the key
elements.
Keywords: disaster management, integration of governance, Semarang

Abstrak
Karakteristik Kota Semarang dengan kondisi topografi berada pada kawasan
kepesisiran, dataran rendah, dan dataran tinggi menyebabkan potensi multi bahaya (multi
hazard) di Kota Semarang. Pengelolaan bencana menjadi pekerjaan yang sangat mendesak
di Kota Semarang, mengingat semakin tingginya dampak bencana dan kerentanan yang
ditimbulkan. Pengelolaan bencana yang sesuai dengan standar Pengurangan Risiko
Bencana (Disaster Risk Reduction) perlu mempertimbangkan tahapan mitigasi, yaitu pra
bencana, saat bencana, dan paska bencana dan juga multi bahaya (multi hazard) yang
terjadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan konsep integrasi tata
kelolakebencanaan di Kota Semarang. Tujuan dicapai melalui 2 sasaran yakni
mengidentifikasi kesenjangan dalam pengelolaan bencana pada setiap tahapan pengelolaan
bencana yang diperoleh dengan membandingan pengelolaan bencana di Kota Semarang
saat ini dengan pengelolaan berdasarkan aturan normatif, dan pengelolaan bencana dari
masyarakat digunakan sebagai pembelajaran untuk dapat ditingkatkan pada level Kota.
Temuan penelitian menunjukkan masih adanya kesenjangan pengelolaan bencana,sehingga
perlu disusun skema penyempurnaan pengelolaan bencana berikut contoh rancangan SOP
pengelolaan bencana di Kota Semarang. Perbaikan ini diupayakan berkesinambungan

1
berdasarkan masukan dan umpan balik dari hasil monitoring dan evaluasi dari forum
multistakeholder.
Kata Kunci: Pengelolaan bencana, Integrasi tata kelola, Kota Semarang
Pendahuluan total wilayah Kota Semarang terklasifikasi
Bencana telah menjadi masalah kerentanan tinggi terhadap bencana banjir,
global dan masalah rutin pada banyak 5% dari total wilayah Kota Semarang
tempat di seluruh dunia. Tampaknya tidak terklasifikasi kerentanan medium-tinggi
ada satu tempat pun yang aman dari terhadap banjir, 58% terklasifikasi
bencana, bahkan tidak ada satu tempat kerentanan medium.Kejadian longsor pada
punyang mana secara historis tidak pernah periode 2005-2010 yang menyebabkan 266
mengalami peristiwa bencana. Untuk korban meninggal dan 4.239 korban harus
beberapa negara yang terletak di sabuk mengungsi. Warga Indonesia yang
Ring of Fire(Jepang, Taiwan, Vietnam dan terpapar langsung bahaya longsor sejumlah
Indonesia, misalnya), risiko bencana telah 40.9 juta jiwa atau seperenam penduduk
menjadi hal umum dan orang-orang yang Indonesia.Berdasarkan data dari Dinas
tinggal di wilayah tersebut telah akrab Kesehatan Kota Semarang, terdapat
dengan bahaya yang ada (Artiningsih, peningkatan kasus DBD di Kota
Jawoto Sih Setyono dan Rizki Kirana Semarang. Pada tahun 2006, 1.887 Jiwa
Yuniartanti, 2015). dari jumlah populasi 1.419.782 terjangkit
Berdasarkan letak geografis dan DBD, 42 dari jumlah jiwa yang terjangkit
bentang alam, kota-kota di Indonesia meninggal dunia. Pada tahun 2013, selama
berpotensi terhadap bencana, tak terkecuali Bulan Januari-Februari telah terjadi 430
Kota Semarang. Karakteristik Kota kasus DBD dan 4 dari jumlah jiwa yang
Semarang dengan kondisi topografi berada terjangkit meninggal dunia.Kebakaran di
pada kawasan kepesisiran, dataran rendah, Kota Semarang pada tahun 2014 terbagi
dan dataran tinggi menyebabkan potensi atas kebakaran bangunan perumahan (68
multi bahaya (multi hazard) di Kota kasus), bangunan campuran (72 kasus),
Semarang. Multi bahaya yang berpotensi bangunan industri (35 kasus), kendaraan
bencana di Kota Semarang sebagai (34 kasus), dan sisanya adalah kebakaran
konsekuensi karakteristik geografisnya rumput ilalang
adalah banjir, tanah longsor, dan DBD. Dengan melihat paradigma
Bencana di Kota Semarang tidak hanya bencana di Kota Semarang yang terdiri
dari faktor alam, tetapi juga non alam. atas berbagai macam tipe bencana, maka
Salah satu bencana non alam yang pengelolaan bencana perlu diintegrasikan
mendominasi di Kota Semarang adalah dengan melihat kondisi eksisting di Kota
bencana kebakaran. Bencana ini terjadi Semarang dan kajian pengelolaan bencana
karena faktor kelalaian manusia (human secara teoritis dan normatif. Tata kelola
error). bencana perlu melibatkan stakeholder yang
Dalam penentuan status respon terdiri atas penerima dampak dan institusi
bencana, adanya bahaya yang melanda pendukung pengelola bencana. Dengan
suatu daerah dikategorikan sebagai adanya pembagian tanggung jawab dan
bencana jika setidaknya sudah menelan 5 peran antar stakeholder, maka pengelolaan
korban jiwa meninggal.Di Kota Semarang, bencana akan lebih efektif sesuai dengan
jenis bencana yang telah menelan 5 korban target dan sasaran.
jiwa meninggal adalah bencana banjir, Pengelolaan bencana menjadi
longsor, DBD dan kebakaran. Kota pekerjaan yang sangat mendesak di Kota
Semarang terklasifikasi rentan terhadap Semarang, mengingat semakin tingginya
bencana banjir dengan indeks 0.16-0.581. dampak bencana dan kerentanan yang
Berdasarkan Institute for Social ditimbulkan. Pengelolaan bencana yang
Environmental Transition (ISET), 1% dari sesuai dengan standar Reduksi Risiko

2
Bencana (Disaster Risk Reduction) perlu pengelolaan bencana juga perlu
mempertimbangkan tahapan mitigasi, yaitu mempertimbangkan proses pembelajaran
pra bencana, saat bencana, dan paska dalam masyarakat dalam menghadapi
bencana dan juga multi bahaya (multi bencana tersebut.
hazard) yang terjadi. Selain itu,

Sumber: Analisis Peneliti, 2015


Gambar 1
Permasalahan Pengelolaan Bencana di Kota Semarang
Menindaklanjuti permasalahan Studi mengenai konsep integrasi
yang dihadapi (Gambar 1), Kota Semarang pengelolaan kebencanaan di Kota
memerlukan tata kelola kebencanaan yang Semarang ini bertujuan untuk mengetahui
mempertimbangkan berbagai aspek, kesenjangan yang terjadi dalam
yaituaspek yang terkait karakteristik pelaksanaan pengelolaan bencana di Kota
bencana, dampak bencana, keterlibatan Semarang pada setiap tahapan bencanadan
stakeholder, dan tata kelola penyempurnaan pengelolaan kebencanaan
bencana.Keterlibatan stakeholder sangat di Kota Semarang.
tinggi dalam pengelolaan bencana. Akan
tetapi, perannya masih terbatas pada Metode
instansi masing-masing. Oleh karena itu, Penelitian ini menggunakan
perlu integrasi tanggung jawab dan peran. pendekatan deskriptif kualitatif. Gap
Identifikasi wewenang, tanggung jawab, pengelolaan bencana diperoleh dari
dan peran stakeholder menjadi kunci perbandingan antara pengelolaan bencana
dalam perwujudan tata kelola kebencanaan eksisting di Kota Semarang terhadap
yang efektif. Kota Semarang perlu pengelolaan bencana berdasarkan aturan
menstrukturkan kembali wewenang, normatif dan teoritis. Gap akan
tanggung jawab, dan peran para menunjukkan kelemahan pengelolaan
stakeholder dan membentuk sistem tata bencana di Kota Semarang. Data primer
kelola yang komprehensif. maupun sekunder dipadukan untuk
Penyelenggaraan penanggulangan mendapatkan hasil kajian yang kuat. Data
bencana terdiri atas 3 tahap, yaitu primer didapat dari hasil kuesioner dan
prabencana, saat tanggap darurat, dan wawancara. Wawancara ditujukan kepada
pascabencana yang cakupan kegiatannya stakeholder terpilih untuk mengidentifikasi
diatur dalam UU No. 24 tanggung jawab dan peran stakeholder.
Jumlah stakeholder yang menjadi
responden adalah 22 SKPD, 7 Lembaga

3
Non Pemerintah, KSB Wonosari sebagai kerusakan. Dengan demikian bisa
perwakilan dari Masyarakat dan Kodim dipahami bahaya merupakan potensi
sebagai perwakilan dari Keamanan terjadinya risiko, atau potensi untuk
Wilayah. melukai individu karena elemen bahaya
dari alam, non alam dan atau bahaya akibat
Kajian Literatur aktifitas manusia.
Kebencanaan adalah hal ihwal Kerentanan dapat didefinisikan
tentang bencana. Beberapa pertanyaan sebagai atribut dari seseorang atau sistem
mendasar yang timbul seputar sosial yang ditentukan oleh peluang
kebencanaan akan mencakup apa keterpaparan, kehilangan dan kerusakan
pengertiannya, kapan dan dimana yang mungkin dialami akibat bahaya yang
terjadinya, siapa saja pihak yang akan menimpa. (Marchand, 2009). Kerentanan
terdampak, mengapa terjadi bencana, lebih fokus merujuk kepada kemampuan
bagaimana penanggulangan dan manusia baik sebagai entitas individu,
pengelolaannya. Kebencanaan dipengaruhi keluarga atau sebagai bagian dari
oleh berbagai elemen atau variabel yang komunitas, sehingga kerentanan diukur
melekat dan saling terkait satu sama lain berdasarkan tingkat kerapuhan, kepekaan,
sebagai faktor yang mempengaruhi atau keterpaparan, kerusakan, kehilangan yang
dipengaruhi. Derajat atau tingkat risiko timbul karena adanya tekanan dan
bencana yang terjadi menjadi suatu gangguan akibat bahaya yang diderita.
konteks yang lebih jauh akan terkait Kerentanan seringkali dimaknai
dengan aspek keruangan dan atribut sebagai kerawanan, padahal artikulasi
didalamnya yang mencakup manusia, yang dimaksud berbeda. Kerentanan lebih
ekosistem beserta lingkungan fisik, sosial, melekat kepada individu, keluarga atau
maupun ekonominya. komunitas sedangan kerawanan lebih
Beberapa elemen atau variabel melekat pada potensi daerah terdampak
terkait yang selalu ikut mengemuka dalam atau merujuk pada potensi lokasi atau
pembahasan tentang bencana tersebut tempat terjadinya bahaya. Sebagai contoh
menjadi penting untuk dipahami sesuai jika disebut daerah rawan banjir, maka
artikulasinya, agar tidak menimbulkan artikulasinya merujuk pada lokasi yang
salah pengertian seperti maksud yang berpotensi terjadi banjir. Sementara
sebenarnya. Variabel yang dimaksud kerentanan akibat banjir , dipahami
mencakup bahaya, kerentanan, risiko, sebagai peluang keterpaparan bahaya
rawan, ketahanan dan kapasitas adaptasi, terkait pada potensi kerugian atau
yang akan dikemukakan dalam uraian kerapuhan dari pihak-pihak yang paling
berikut.Bahaya didefinisikan sebagai peka, baik itu individu, keluarga atau
kejadian fisik, fenomena alam atau komunitas, misalnya dari sisi usia yang
aktivitas manusia yang berpotensi lebih rentan adalah mereka di kelompok
menghasilkan kerusakan (Marchand, balita, wanita dan manula, secara sosial
2009). Bahaya tidak selalu menghasilkan ekonomi akan menyangkut mereka di
kerusakan tetapi mempertimbangkan kelompok miskin dibanding mereka yang
kemungkinan, frekuensi serta terjadinya kaya.

4
Gambar 2
Konsep dan Konteks Kebencanaan

Risiko secara luas dapat Ketahanan Jangka Pendek


didefinisikan sebagai peluang seseorang adalah elastisitas sistem untuk
menerima dampak negatif yang terjadi kembali ke status semula, yang
karena ketidak pastian akibat bahaya ditunjukkan oleh perubahan yang
alamiah, non alamiah atau pun bahaya dapat dilakukan sistem agar tetap
akibat aktivitas manusia. Bahkan memiliki kontrol terhadap fungsi
penelitian Ulrich Beck (1992) dan strukturnya, atau tetap dalam
mengemukakan bahwa risiko lingkungan status yang sama; mengatur
yang dihadapi secara geografis tidak sama dirinya, serta mampu beradaptasi
dan memiliki rentang, baik jenis, frekuensi dan belajar (Berkes et al.(ed),
dan ancamannya. 2003; Walker and Salt, 2006;
Adaptasi (Adaptation) Marchand, 2009). Secara teoritis
merupakan kemampuan sistem bencana didefinisikan sebagai
untuk berubah menyesuaikan diri peristiwa alam, antropogenik
baik dalam aspek sosial, ekonomi (faktor manusia), atau
maupun ekologinya, dan berganti naturalantropogenik yang terjadi
karakteristik (perilaku) agar lebih secara mendadak atau progresif,
mudah menghadapi tekanan saat ini yang menimbulkan dampak besar
atau tekanan yang diperkirakan sehingga masyarakat yang terkena
terjadi di masa depan (Smit dan atau terpengaruh harus merespon
Pilifosova dalam Smith et al., dengan melakukan tindakan-
2003; Walker and Salt, 2006). tindakan luar biasa (Carter, 1991
dalam Sunarto, dkk (ed) 2014).

5
Tindakan tersebut menurut penanggulangan bencana dengan provinsi
Bakornas PBP (2005) mencakup dan/atau kabupaten/kota lain, 4.
tindakan darurat untuk menolong Pengaturan penggunaan teknologi yang
manusia dan lingkungannya berpotensi sebagai sumber ancaman atau
(Gambar 2). bahaya bencana pada wilayahnya,
UU No. 24 Tahun 2007 5.Perumusan kebijakan pencegahan
tentang Penanggulangan Bencana penguasaan dan pengurasan sumber daya
dijelaskan bahwa penyelenggaraan alam yang melebihi kemampuan alam
penanggulangan bencana pada wilayahnya, 6. Penertiban
merupakan serangkaian upaya yang pengumpulan dan penyaluran uang atau
meliputi penetapan kebijakan barang pada wilayahnya.
pembangunan yang berisiko Penyelenggaraan
timbulnya bencana, kegiatan penanggulangan bencana terdiri
pencegahan bencana, tanggap atas 3 tahap, yaitu prabencana, saat
darurat, dan rehabilitasi. tanggap darurat, dan pascabencana.
Pemerintah dan pemerintah daerah Penyelenggaraan bencana pada
bertanggung jawab dalam tahapan prabencana meliputi 1.
penyelenggaraan penanggulangan Dalam situasi tidak terjadi bencana
bencana. Tanggung jawab dan 2. Dalam situasi terdapat
pemerintah dalam penyelenggaraan potensi terjadinya bencana.
penanggulangan bencana meliputi Penanggulangan bencana dalam
1. Pengurangan risiko bencana situasi tidak terjadi bencana
dengan program pembangunan, 2. meliputi 1. Perencanaan
Perlindungan masyarakat dari penanggulangan bencana, 2.
dampak bencana, 3. Penjaminan Pengurangan risiko bencana, 3.
pemenuhan hak masyarakat dan Pencegahan, 4. Pemaduan dalam
pengungsi yang terkena bencana perencanaan pembangunan, 5.
secara adil dan sesuai dengan Persyaratan analisis risiko bencana,
standar pelayanan minimum, 4. 6. Penegakan rencana tata ruang, 7.
Pemulihan kondisi dari dampak Pendidikan dan pelatihan, 8.
bencana, 5. Pengalokasian Persyaratan standar teknis
anggaran penanggulangan bencana penanggulangan bencana.
dalam anggaran pendapatan dan Penyelenggaraan penanggulangan
belanja negara yang memadai, 6. bencana dalam situasi terdapat
Pengalokasian anggaran potensi terjadi bencana meliputi 1.
penanggulangan bencana dalam Kesiapsiagaan, 2. Peringatan dini,
bentuk dana siap pakai, 7. dan 3. Mitigasi bencana.
Pemeliharaan arsip/dokumen Tata kelola kebencanaan
otentik dan kredibel dari ancaman perlu dibangun secara integratif
dan dampak bencana. dalam skala nasional hingga lokal.
Tanggung jawab pemerintah Dalam skala nasional, pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan telah menyiapkan prosedur mitigasi
penanggulangan bencana, meliputi 1. bencana baik untuk bencana alam
Penetapan kebijakan penanggulangan dan non alam. Tata kelola bencana
bencana pada wilayahnya selaras dengan berkaitan dengan penguatan
kebijakan pembangunan daerah, 2. kapasitas stakeholder dalam
Pembuatan perencanaan pembangunan mengelola bencana agar dampak
yang memasukkan unsur-unsur kebijakan terjadinya bencana dan jumlah
penanggulangan bencana, 3. Pelaksanaan kerugian dapat diminimalisir.
kebijakan kerjasama dalam Kapasitas didefinisikan sebagai

6
kemampuan individu, organisasi Dalam upaya pengembangan
atau unit organisasi untuk kapasitas ini, ada beberapa faktor
menampilkan fungsi secara efektif, yang membuat inisiasi kapasitas ini
efisien dan berkelanjutan (UNDP, berhasil. Faktor tersebut
2008). Secara luas, kapasitas dapat diantaranya adalah (UNDP, 2008):
didefinisikan sebagai kemampuan
untuk mengerjakan tugas dan
memproduksi output, untuk
mengartikan dan menyelesaikan
masalah, dan membuat pilihan
yang diinformasikan (European
Commission, 2005).

Sumber: UNDP, 2008.


Gambar 3
Faktor Keberhasilan Pengembangan Kapasitas

Faktor keberhasilan dalam beberapa situasi, konsultan eksternal dapat


pengembangan kapasitas tentu tidak dapat membantu memudahkan proses yang ada
diterapkan semuanya begitu saja. Faktor dan menjamin independensi dan
kunci pengembangan kapasitas pada fase objektivitas.
awal dan melibatkan banyak Faktor kesadaran dan pemahaman
stakeholderantara lain adalah organisasi penting agar semua pihak/pemangku
yang luas dan partispatif, keterbukaan dan kepentingan yang terlibat menyadari dan
transparansi, kesadaran dan pemahaman, memahami perkembangan atau kapasitas
persetujuan dan penerimaan umum serta inisiatif, tersirat perubahan dan kebutuhan
tujuan dan prioritas yang jelas. kapasitas, memerlukan komunikasi
Organisasi yang luas dan partisipatif internal dan eksternal yang kuat dan
berkaitan dengan keterlibatan semua pihak perlunya hubungan dengan masyarakat.
atau stakeholder dan fungsi konsultatif Persetujuan dan penerimaan umum
antar stakeholder. Keterbukaan dan merupakan hasil dari pemahaman yang
transparansi berkaitan dengan proses kemudian menghasilkan persetujuan dan
pengelolaan bencana yang terbuka dengan penerimaan; persetujuan dan penerimaan
tidak ada agenda tersembunyi dan umum ini harus terjadi baik pada masa
pengambilan keputusan transparan. Dalam kritis komitmen dan kemampuan

7
mengelola perlawanan. Faktor penting Tahapan pra bencana dalam situasi
terakhir adalah tujuan dan prioritas yang tidak terjadi bencana, telah memiliki acuan
jelas. Tujuan dan prioritas yang yang jelas pada kebijakan normatif
jelasdibangun ke dalam proyek/rencana maupun proses pembelajaran dari studi
program yang inkremental dan bertahap. kasus lainnya. Hanya saja kebijakan dan
Dalam mencapai tujuan dan prioritas ini proses pembelajaran tersebut belum dapat
perlu ketepatan sumber daya yang tersedia sepenuhnya diadopsi di Kota Semarang.
dan sesuai dengan beban kerja. Kota Semarang memerlukan tahapan
Faktor-faktor lainnya yang harus identifikasi stakeholder yang terlibat dalam
dipenuhi jika kelima faktor penting telah pengelolaan bencana. Kemudian, tahapan
terpenuhi adalah faktor kepemimpinan dilanjutkan dalam pembagian peran dan
yang nyata, metodologi yang sesuai, fungsi pada saat tahapan pra bencana.
manajemen akuntabilitas yang jelas serta Pembagian peran dan tanggung
kecukupan sumberdaya dan waktu. jawab harus sesuai dengan bidang keahlian
Kepemimpinan yang nyata berkaitan setiap individu. Dengan demikian, individu
dengan komitmen yang berarti, yang bertanggung jawab pada tahapan pra
kepemilikan “political will” di tingkat bencana dapat dengam mudah
birokrat politik dan proses yang melaksanakan prosedur penanggulangan
berkelanjutan. Metodologi yang sesuai bencana, terutama pada tahapan pra
adalah manajemen proyek dan program; bencana. Selain pembagian peran dan
alat dan teknik; disesuaikan dengan situasi tanggung jawab juga diperlukan kerangka
lokal dan kebutuhan; langkah-langkah kerja dan standarisasi penanggulangan
kinerja didirikan (hasil, output, outcome); bencana yang menjabarkan peran dan
penyisihan untuk kesuksesan awal dan tanggung jawab seluruh stakeholder.
pilotproject serta pemantauan dan Dengan begitu stakeholder dapat
evaluasi.Manajemen akuntabilitas yang memahami peran dan tanggung jawab
jelas merupakan proses yang transparan masing-masing.
dan pengambilan keputusan; membuka Kebijakan tata ruang di Kota
dialog; tanggung jawab dan akuntabilitas Semarang perlu ditegakkan untuk
yang eksplisit.Faktor terakhir adalah cukup mengembalikan filosofi pembangunan
waktu dan sumber daya, berkomitmen yang tidak berorientasi pada bisnis dan
ketersediaan keuangan, informasi dan ekonomi. Stakeholder di Kota Semarang
sumber daya manusia untuk belum memiliki kesamaan visi dalam
merencanakan, mengembangkan, menerapakan konsep pembangunan di
melaksanakan inisiatif kapasitas dan Kota Semarang. Reduksi dampak bencana
sumber daya manajerial yang kuat. dapat dilakukan dengan cara
memperhatikan prinsip-prinsip
Hasil dan Pembahasan lingkungan.
Temuan penelitian menunjukkan Prosedur kesiapsiagaan yang selama
masih adanya kesenjangan pengelolaan ini menjadi tanggung jawab BPBD perlu
bencana, sehingga perlu disusun skema melibatkan stakeholder lainnya karena
penyempurnaan pengelolaan bencana dalam tahapan ini memerlukan
berikut contoh rancangan SOP pengumpulan data akurat dan informasi
pengelolaan bencana di Kota Semarang. dari berbagai stakeholder. Pembentukan
Secara kontinyu perbaikan diupayakan jaringan komunikasi antar stakeholder
berkesinambungan berdasarkan masukan sangat diperlukan, sehingga data-data yang
dan umpan balik dari hasil monitoring dan digunakan untuk pengambilan keputusan
evaluasi dari forum multistakeholder. dapat diakses oleh stakeholder lainnya
Gap/ Kesenjangan Pengelolaan Bencana melalui prosedur yang memudahkan.

8
Tahapan peringatan dini di Kota mempertimbangkan perbaikan sarana dan
Semarang hanya sampai pada kegiatan prasarana. Padahal kegiatan rehabilitasi
pengamatan gejala bencana. Masih ada tidak hanya perbaikan sarana dan
kendala dalam analisis hasil pengamatan, prasarana, tetapi juga pemulihan kondisi
pengambilan keputusan, dan psikologis dan stabilitas wilayah. Tahapan
penyebarluasan hasil, serta pengambilan rehabilitasi memerlukan sumber daya
tindakan. Terutama tidak adanya manusia yang berkompeten dibidangnya.
sinkronisasi kegiatan peringatan dini. Selama ini belum pernah ada identifikasi
Sebagai contoh masih sulit diaksesnya data stakeholder yang memiliki kapasitas dalam
dan informasi gejala bencana yang tahapan rehabilitasi, terutama untuk
sehingga dapat memperlambat proses pemulihan fungsi pemerintahan, pelayanan
analisis dan pengambilan keputusan. public, sosial psikologis, dan kondisi
Tahapan penyebarluasan hasil sosial; ekonomi; dan budaya. Sama halnya
analisis belum dilakukan oleh stakeholder. dengan tahapan rehabilitasi, tahapan
Hal ini sangat penting dilakukan karena rekonstruksi hanya fokus pada
harus ada kejelasan peran dan tanggung pembangunan sarana dan prasarana.
jawab dan siapa melakukan apa. Dalam tahapan rekonstruksi perlu adanya
Pengembangan sistem peringatan dini kegiatan pembangkitan kondisi
dapat diaplikasikan untuk setiap jenis pemerintahan dan masyarakat. Oleh karena
bencana dengan melibatkan stakeholder itu, fokus rekonstruksi tidak hanya pada
yang berwenang sesuai dengan kapasitas pembangunan infrastruktur, tetapi juga
pengguna. memastikan bahwa roda pemerintahan dan
Mitigasi bencana Kota Semarang kehidupan masyarakat dapat pulih seperti
perlu dijabarkan dalam rencana tata ruang sedia kala.
agar memiliki kerangka hukum yang Tahapan monitoring dan evaluasi
diakui secara sah. Mitigasi bencana di belum tercantum pada kebijakan normatif
Kota Semarang mengkolaborasikan hard dari BPBD. Begitu juga proses
dan softinfrastruktur. Mitigasi pembelajaran dalam monitoring dan
hardinfrastruktur dapat diwujudkan evaluasi pengelolaan bencana. Tahapan ini
melalui bangunan sturktural, seperti sangat penting untuk menilai keberhasilan
pompa pengendali banjir, APO, tebing atau kegagalan dalam proses
beton, Sedangkan soft infrastruktur dapat penanggulangan bencana. Tahapan ini juga
diwujudkan dengan memberikan pelatihan bertujuan untuk menggali kendala dan
bagi stakeholder. permasalahan dalam pengelolaan bencana.
Kegiatan tahapan saat bencana Dengan begitu terdapat proses perbaikan
seharusnya tersusun dalam dokumen pada setiap tahapan pengelolaan bencana.
emergency plan, padahal Kota Semarang Hasil gap menunjukkan peran
belum memiliki dokumen tersebut. pemerintah masih rendah dalam
Kesimpangsiuran tugas dan peran dialami pengelolaan bencana. Hal ini disebabkan
oleh stakeholder yang terlibat dalam oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah
tahapan saat bencana. Saat ini tahapan saat belum adanya dokumentasi yang kuat dari
bencana menjadi tanggung jawab dri kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada
BPBD. Kegiatan yang sering mengalami tahapan pengelolaan bencana sehingga
kesimpangsiuran dalam pelaksanaannya menyebabkan kekurangan-kekurangan
adalah pemenuhan kebutuhan dasar. Oleh pada setiap tahapan tidak dapat
karena itu, peran dan tanggung jawab diidentifikasi dan belum bisa menjadi
stakeholder perlu dijabarkan dalam masukan dan perbaikan di masa depan.
emergency plan. Faktor berikutnya adalah kurangnya
Pada tahapan rehabillitasi ternyata diseminasi hasil dan penyampaian success
dalam sudut pandang normatif hanya story dari pengelolaan eksisting sehingga

9
keberhasilan yang sudah dicapai tidak banyak pihak (multistakeholder) dan
ditindaklanjuti. Faktor lainnya adalah koordinasi dan kerjasama antar SKPD
belum optimalnya upaya perbaikan beserta yang belum jelas dan terstruktur.
masukan pengalaman dan pengetahuan

10
Gambar 4
Gap Pengelolaan Bencana

Skema Penyempurnaan Pengelolaan penyempurnaan tata kelola kebencanaan di


Bencana di Kota Semarang Kota Semarang. Berikut adalah skema
Untuk mencapai tata kelola penyempurnaan tata kelola kebencanaan di
kebencanaan yang lebih baik di Kota Kota Semarang.
Semarang, maka perlu skema

Gambar 5
Skema Penyempurnaan tata kelola kebencanaan di Kota Semarang

Penyempurnaan tata kelola tingkat kota. Berdasarkan pengelolaan


kebencanaan di Kota Semarang secara kebencanaan yang dilakukan stakeholder
umum adalah menggabungkan tata kelola saat ini, jika dibandingkan dengan aturan
yang ada dalam aturan normatif dan normatif, literatur dan best practice
literatur serta best practice dan terdapat kesenjangan dalam pengelolaan
pembelajaran masyarakat yang dapat bencana di Kota Semarang. Kesenjangan
menjadi contoh dalam tata kelola ini juga disebabkan adanya masalah-
kebencanaan yang lebih tinggi yakni tata masalah dalam pengelolaan bencana
kelola tingkat kota. Kegiatan-kegiatan seperti belum ada kebijakan yang
yang dilakukan masyarakat dalam mewadahi stakeholder selain BPBD dalam
mengelola bencana, dapat dijadikan mengelola bencana dan belum adanya
pembelajaran untuk pengelolaan bencana SOTK kebencanaan yang terpadu dan
pada skala yang lebih tinggi yakni pada disepakati oleh seluruh stakeholder yang
11
menyebabkan tidak adanya kejelasan secara umum dilaksanakan oleh
dalam struktur penanggungjawab, stakeholder-stakeholder terkait yang
kerangka kerja dan standarisasi dilaksanakan dari tahapan pra, saat hingga
pengelolaan bencana. Dengan adanya paska bencana. SOP ini dapat
kesenjangan dalam pengelolaan bencana disempurnakan dari waktu ke waktu sesuai
ini, maka direkomendasikan beberapa hal dengan umpan balik yang diterima dari
yang dapat menyempurnakan pengelolaan kegiatan pengelolaan bencana baik
bencana di Kota Semarang diantaranya dokumentasi, share dialog learning,
adalah dikeluarkannya kebijakan diseminasi dan kegiatan lainnya. SOP ini
pengelolaan bencana baik melalui Surat bertujuan agar setiap kegiatan pengelolaan
keputusan maupun Peraturan Walikota, bencana menjadi jelas pelaksanaannya dan
dibentuknya forum multistakeholder, sasaran yang ingin dilaksanakan tercapai.
penyusunan SOTK yang mengintegrasikan SOP sendiri secara umum memuat
BPBD dengan stakeholder lain dan SOP beberapa hal, diantaranya.
pengelolaan bencana. Kegiatan-kegiatan  Latar belakang dan konteks kegiatan
yang dilakukan masyarakat yang dapat  Dasar hukum kegiatan
ditingkatkan pada level kota seperti  Tujuan dan sasaran kegiatan
dokumentasi, share learning dialog dan  Lingkup dan Target Group
diseminasi dapat dijadikan umpan balik  Sumber daya (dana dan alat)
dalam penyempurnaan pengelolaan  Mekanisme pertanggungjawaban
bencana di Kota Semarang, hal ini  Monitoring evaluasi
disebabkan dokumentasi kegiatan, share  Standar Pelayanan Minimal dan
learning dialog dan diseminasi pada setiap Indikator keberhasilan kegiatan
tahapan pengelolaan bencana, dapat  Umpan balik dan Tingkat Kepuasan
dijadikan pembelajaran hal apa saja yang Layanan terhadap Klien/Target Group
perlu diperbaiki dan hal apa saja yang Tabel 1 adalah contoh SOP kegiatan
perlu ditingkatkan dalam pengelolaan pengelolaan bencana yang dapat
bencana di masa yang akan datang. Hal ini dilaksanakan oleh stakeholder pada
terus menerus dilakukan sehingga masing-masing tahapan kegiatan
pengelolaan bencana di Kota Semarang pengelolaan bencana. Rancangan SOP ini
semakin baik dari waktu ke waktu bukanlah hasil akhir dari SOP pengelolaan
Dalammenciptakan tata kelola yang kebencanaan di Kota Semarang. Sebagai
baik dalam manajemen bencana, salah catatan penting rancangan SOP ini
satunya adalah dengan menciptakan SOP merupakan contoh lebih lanjut yang harus
partisipatif sebagai dasar dalam dipertimbangkan dan disepakati bersama
memberikan pelayanan kebutuhan dasar oleh stakeholder.
masyarakat terkait kebencanaan. SOP ini

Kesimpulan dan Rekomendasi pengelolaan bencana merupakan bentuk


Kesimpulan riil penyelesaian pengelolaan bencana di
Berdasarkan temuan diketahui jika Kota Semarang yang harus disepakati oleh
masih ada kesenjangan pelaksanaan dalam seluruh stakeholder agar setiap stakeholder
pengelolaan kebencanaan di Kota tahu kapasitasnya masing-masing dan
Semarang pada setiap tahapan bencana tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaan
dari tahap pra hingga tahap monitoring kegiatan. Skema penyempurnaan
evaluasi. Kesenjangan ini dikarenakan pengelolaan pun harus disempurnakan
belum adanya kebijakan pengelolaan setiap saat dengan memanfaatkan hasil
bencana yang mewadahi seluruh aktivitas monitoring evaluasi hingga terjadi
stakeholder dalam mengelola bencana penyempurnaan yang berkelanjutan dalam
sehingga tidak ada keterpaduan. SOP pengelolaan bencana di Kota Semarang.

12
Rekomendasi untuk membahas hasil monitoring
Untuk mencapai integrasi evaluasi yang digunakan sebagai
pengelolaan bencana di Kota Semarang, masukan dalam pengelolaan
dapat dilakukan beberapa hal untuk bencana;
mencapainya. 3. Dalam waktu dekat, perlu ada forum
1. Menyegerakan pembentukan forum untuk membahas SOP agar SOP
multistakeholder untuk pengelolaan disepakati oleh seluruh stakeholder
bencana. Forum ini dapat digunakan dan menyempurnakan contoh
sebagai wadah koordinasi antar rancangan SOP yang sudah ada
stakeholder; sesuai dengan kebutuhan seluruh
2. Forum multistakeholder diharapkan stakeholder.
mampu membuat pertemuan rutin

Tabel V. 1
Contoh Rancangan SOP Kegiatan Pengelolaan Bencana
No Menu SOP Kegiatan Pengelolaan Bencana Stakeholder

A Pra Bencana
A.1 Situasi tidak terjadi bencana
Forum diskusi pemaduan pengelolaan Bencana dan
A.1.1 Bappeda (A), BPBD (R), Forum Kebencanaan
Perencanaan pembangunan
Pendidikan dan pelatihan SDM/stakeholder dalam
A.1.2 BPBD (A), Forum Kebencanaan
pengelolaan bencana
Forum diskusi penyusunan rencana penanggulangan BPBD (A), PSDA, PMK, Dinkes, Forum
A.1.3
multibahaya Kebencanaan
A.2 Situasi terdapat potensi terjadi bencana
A.2.1 Kesiapsiagaan
A.2.1. Upgrading Penyuluhan dan Pelatihan mekanisme tanggap
BPBD, Forum Kebencanaan
1 darurat
A.2.1. Uji coba rencana dan gladi mekanisme kedaruratan
BPBD, Forum Kebencanaan
2 bencana
A.2.2 Peringatan Dini
A.2.2. Penyebarluasan informasi dan publikasi hasil pengamatan
BPBD dan Forum Kebencanaan
1 dan analisis gejala bencana
A.2.3 Mitigasi Bencana
A.2.3. Penyelenggaraan pendidikan pengelolaan bencana pada
BPBD, Dinas Pendidikan
1 anak usia sekolah
A.2.3. Penyelenggaraan pelatihan penanggulangan bencana pada
BPBD, Forum Kebencanaan
2 stakeholder terkait
A.2.3. BPBD, PSDA, Dinas Kesehatan Kota dan PMK,
Penyuluhan bencana pada masyarakat
4 Forum Kebencanaan, BLH
A.2.3.
Temu koordinasi forum kebencanaan BPBD
5
B Saat Bencana
B.1 Koordinasi dan penyebaran informasi bencana BPBD
B.2 Pengkajian lokasi, kerusakan, kerugian dan sumber daya BPBD
B.3 Penyelamatan dan evakuasi masyarakat BPBD
B.4 Pemenuhan kebutuhan dasar Dinas Sosial dan BPBD
B.5 Perlindungan Kelompok rentan BPBD dan DKK
B.6 Pemulihan prasarana dan sarana vital BPBD
C Paska Bencana
C.1 Rehabilitasi
C.1.1 Temu koordinasi forum kebencanaan paska bencana BPBD
C.1.2 Perbaikan lingkungan daerah bencana BLH
C.1.3 Perbaikan prasarana dan sarana umum Dinas Bina Marga, Dinas Tata Kota dan

13
No Menu SOP Kegiatan Pengelolaan Bencana Stakeholder

Perumahan, Dinas PSDA dan ESDM


Pemberian bantuan perbaikan hunian masyarakat
C.1.4 Dinas Tata Kota dan Perumahan dan Dinas Sosial
terdampak
C.1.5 Pemulihan psikologis Dinas Kesehatan Kota
C.1.6 Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota
C.1.7 Pemulihan keamanan dan ketertiban Kesbangpol
C.2 Rekonstruksi
Dinas Bina Marga, Dinas Tata Kota dan
C.2.1 Pembangunan kembali prasarana dan sarana
Perumahan, Dinas PSDA dan ESDM
C.2.2 Pembangunan kembali saranan sosial masyarakat Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Pemantauan penyelenggaraan penanggulangan
D BPBD dan Forum Kebencanaan
bencana
Evaluasi dan Penyempurnaan penyelenggaraan
E BPBD dan Forum Kebencanaan
penanggulangan bencana
Sumber: Analisis Peneliti, 2015

Ucapan Terimakasih Beck, Ulrich.1992. Risk Society: Towards A New


Ucapan terimakasih disampaikan sebesar- Modernity (Theory, Culture & Society
Series). Great Britain: Dotesios LTd.
besarnya kepada pihak yang telah ikut Berkes,F, J Colding and C Folke (ed). 2003.
terlibat dalam penelitian ini. Bappeda Kota Navigating Social Ecological Systems:
Semarang yang telah mendukung Building Resilience for Complexity and
pembiayaan penelitian ini dan stakeholder Change. Cambridge University Press,
terpilih yang telah bersedia menjadi Cambridge.
European Commission. 2005. Institutional
responden dari penelitian ini seperti Assessment and Capacity Development:
Lembaga Pemerintah terutama Bappeda, Why, What and How?. Italy: Official
BPBD, Dinas Kelautan dan Perikanan, Publication of the European Communities
Dinas Kesehatan Kota, Dinas Kebakaran, Marchand, Marcel. 2009. Modelling Coastal
Kecamatan, Kelurahan, Lembaga Non Vulnerability: Design and Evaluation of A
Vulnerability Model for Tropical Storms
Pemerintah terutama Bintari, Ubaloka, and Floods. Amsterdam: IOS Press BV
Kalandara, Mercy Coprs, Masyarakat Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 13 Tahun
(Kelompok Siaga Bencana (KSB) dan 2010 tentang Penyelenggaraan
PKK) serta Keamanan Wilayah (Kodim). Penanggulangan Bencana di Kota Semarang
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Daftar Pustaka
Pedoman Penyusunan Penanggulangan
Artiningsih, Jawoto Sih Setyono dan Rizki Kirana
Bencana
Yuniartanti. 2015. The Challenges of
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
Disaster Governance in an Indonesian
21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Multi-Hazards City: a Case of Semarang,
Penanggulangan Bencana
Central Java. Prosiding pada The Cities
Smith, JB, RJT Klein and S Hug (ed). 2003.
International Conference 2015: Intelligence
Climate Change Adaptive Capacity and
Planning Towards Smart Cities. Procedia
Development. Imperial College Press,
Elsevier www.sciencedirect.com (Dalam
London.
proses penerbitan 2016)
Sunarto, dkk. (ed) 2014. Penaksiran Multirisiko
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2010.
Bencana di Wilayah Kepesisiran
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana
Parangtritis. Universitas Gadjah Mada,
2010-2014.
Yogyakarta
Baker, Daniel; Karen Refsgaard. 2007. Institutional
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Development and Scale Matching in
Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Disaster Response Management. Ecological
Bencana
Economics. 331-343
UNDP. 2008. UNDP Capacity Assessment
Bappeda Kota Semarang. 2015. Kajian
Methodology User’s Guide. New York :
Pengelolaan Bencana di Kota Semarang.
United Nation Development Program
Litbang Bappeda Kota Semarang

14
Walker, B and D Salt. 2006. Resilience Thinking:
Sustaining Ecosystems and People in a
Changing World. Island Press, Washington.

15

You might also like