You are on page 1of 22

Euthanasia?

The government should instead provide medical treatment to the poor, the
Church says

Mathias Hariyadi

Lack of money to pay for treatment pushes man to ask that his wife be euthanised.

Jakarta (AsiaNews) – For the first time in the history of the world's largest Muslim country,
people are debating the issue of euthanasia in Indonesia. All because of Panca Satrya Hasan,
a Jakarta man, who filed a request with the capital's Bogor Islamic Hospital asking that the
plug be pulled on his seriously ailing wife, 33-year-old Agian Isna Nauli Siregar.

The woman, who suffered a permanent stroke and is on a life-support machine, was reacting
to external stimuli, this according to the physicians treating her. Her husband claims instead
that she has slipped into a coma.

"She won't be able to even recognise me for another 6 to 12 months," Hasan said. "I cannot
watch her go through this difficult time like this". The two have been married for ten years.

For the past month Agian has been in the Special Stroke Unit of the Jakarta Central Hospital
of Cipto Mangunkusumo. Prior to that, she was in the Bogor Hospital for over a month
because of hypertension-induced brain damage. According to the doctors complications from
a caesarean section she suffered included a stroke caused by post-natal poisoning.

Her husband Hasan asked that his wife be euthanised because he cannot afford the medical
costs which are now running at about one million rupiahs (about US$ 100) per day. "I already
owe 60 million rupiahs (US$ 6,000)," Hasan said. "If the government can no longer
guarantee her right to live, then it is better to reduce her suffering," he added.

Agian's case is the first known case involving euthanasia in the vast Asian country and has
sparked a debate.
According to neurologist Salim Haris, "it would be a different matter if the patient were
conscious; for example, a patient suffering from acute cancer". In his view, it is incumbent on
the physician to inform the patient's family that the illness is entering its terminal phase or is
irreversible, which is the case when permanent brain damage occurs. It would be up to the
family, the neurologist believes, to decide whether medical treatment should continue or not.

The neurologist in charge of Agian, Yusuf Misback, claims that Agian had a cerebrovascular
incident but "never entered into a coma. She suffered a stroke". Contrary to the husband's
claim that she was in a coma, Dr Misback said that she could open her eyes, scream, answer
simple questions and follow easy orders. "Coma patients are instead generally unresponsive,"
he added.

For Fr Franz Magnis-Suseso SJ, professor of ethics at the Jesuit-run Philosophical Institute of
Driyarkara in Jakarta, "it is the state's responsibility to take care of any Indonesian citizen
who is terminally ill and suffers from lack of money".

Although, he pointed out, the Church has always been against euthanasia the issue in this
case is not "whether euthanasia is legal or illegal [. . .] but whether or not the authorities have
fulfilled their duty to take care of the needy." According to the Indonesian Constitution,
Father Magnis-Suseso insisted, the Social Welfare Department is legally bound to assist the
terminally ill who cannot pay for treatment on their own.

In theory at least, active and passive euthanasia are illegal under Indonesian law. However,
Indriyanto Seno Adji, Criminal Law expert at the University of Indonesia, is of the opinion
that Agian's family could file a request with the district court for the right to euthanise. "If the
court approves the request," Seno Adji said, "then euthanasia will be legal."

Iskandar Sitorus, chairman of the Medical Legal Aid Institute, shares this view adding that
the Institute plans to provide Hasan with eight lawyers to fight his case.

"Hasan's case has not been regulated by the state. And as long as this matter has not been
regulated, his request is theoretically valid," he explained.

Sitorus also rejected the argument that Hasan could be convicted for murder. "Where is the
logic behind that? He is asking the state to commit euthanasia because he won't do it
himself."

Indonesia's Health Minister Achmad Sujudi declined any comment about the case but said
that euthanasia will never be accepted in the country.
Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia Maret 15, 2008
Posted by teknosehat in Bioetik & Biohukum, HUKUM KESEHATAN.
trackback

Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia


Billy N. <billy@hukum-kesehatan.web.id>

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai
dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya,
serta diakhiri dengan kematian.
Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih
mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.
Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik
yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak
seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian.
Tapi, bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya?
Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap
dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan,
terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Adakah sesuatu yang istimewa yang membuat euthanasia selalu menarik untuk dibicarakan?
Para ahli agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata sepakat dalam menghadapi
keinginan pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Situasi ini menimbulkan
dilema bagi para dokter, apakah ia mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang
pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri
penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum.
Sudah barang tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.
Sebagai dampak dari kemajuan kemajuan ilmu & teknologi kedokteran (iptekdok), kecuali
manfaat, ternyata berdampak terhadap nilai-nilai etik/moral, agama, hukum, sosial, budaya,
& aspek lainnya.
Kemajuan iptekdok telah membuat kabur batas antara hidup & mati. Tidak jarang seseorang
yang telah berhenti pernapasannya & telah berhenti denyut jantungnya, berkat intervensi
medis misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit kembali.
Kadang upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi terkadang fungsi pernapasan
& jantung kembali normal, tanpa disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat
permanen. Secara klinis dia tergolong “hidup”, tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya
bertahan hidup dengan bantuan berbagai alat medis.
Bantuan alat medis tersebut menjadi patokan penentuan kematian pasien tersebut.
Permasalahan penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh
dokter maupun keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan, apakah dilanjutkan atau
dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas menghabiskan materi,
sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan
medis tersebut merupakan salah satu bentuk dari euthanasia. Sampai saat ini, euthanasia
masih menimbulkan pro & kontra di masyarakat.
Mereka yang menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu
tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama menghentikan
penderitaan pasien. Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak boleh dipaksa untuk
menderita. Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu meringankan penderitaan
pasien dengan memperbaiki resiko hidupnya.
Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia merupakan
tindakan pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Kematian semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya.
Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: “Meninggal dunia adalah keadaan
insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, &
atau denyut jantung seseorang telah berhenti”. Definisi mati ini merupakan definisi yang
berlaku di Indonesia.
Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya
kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk memahaminya
terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup.
Para ahli sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ vital (paru-
paru,jantung, & otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh adanya konsumsi
oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara
permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh berhentinya
konsumsi oksigen.
Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum
yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa
euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan
euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut:
Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan
biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati
atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.”
Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya
duabelas tahun.”
Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.”
Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya
satu tahun”
Pada dewasa ini, para dokter & petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam
bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis Dari semua masalah
yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para
dokter & tenaga kesehatan. Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien
menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang
seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut berulangkali
memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat
disebut euthanasia.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya
seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan.
Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut
untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap
tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, &
dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan,yang berbunyi:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313,
1314, 1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau
perjanjian. Pasal 1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut
izin berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak. Sehingga bila seorang dokter
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351
KUHP tentang penganiayaan.
Tindakan menghentikan perawatan medis yang dianggap tidak ada gunanya lagi, sebaiknya
dimaksudkan untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi merupakan kompetensinya, &
bukan maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Dengan kata lain, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau
mengakhiri penderitaan pasien & bukan mengakhiri hidup pasien. Ini sesuai dengan pendapat
Prof.Olga Lelacic yang mengatakan: Dalam kenyataan yang meminta dokter untuk
mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas
dari penderitaan karena penyakitnya.

Pembahasan
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau
gracefully and with dignity, & Thanatos yang berarti mati.
Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan
secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya
menghilangkan nyawa seseorang.
Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang & baik, sedangkan
Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia
berarti “mati cepat tanpa derita”.
Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah bunuh diri. Dalam hukum pidana,
masalah bunuh diri yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri
atau membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap
telah melakukan kejahatan?
Di beberapa Negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal melakukan bunuh diri
dapat dipidana. Juga di Israel, perbuatan percobaan bunuh diri merupakan perbuatan yang
dilarang & diancam pidana. Pernah ada amandemen agar larangan ini dicabut, tetapi
Prof.Amos Shapira berpendapat bahwa dengan konsep perbuatan percobaan bunuh diri
sebagai tindakan yang tidak terlarang, merupakan gerakan kearah diakuinya ‘hak untuk mati’.
Dilihat dari segi agama Samawi, euthanasia & bunuh diri merupakan perbuatan yang
terlarang. Sebab masalah kehidupan & kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta
yaitu Tuhan. Jadi, perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang berasal
dari Tuhan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya
tidak dibenarkan.
Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak
mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak
untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri
sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap
hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi
oleh siapapun & menuntut penghargaan & pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman
dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat
penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri & keluarganya.
Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah:
A. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang,
kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.
B. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian
infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.
C. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima
perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan berbagai pendapat
sebagai berikut:
– Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau
penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk
oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.
– Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan
karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan
untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
Assisted suicide: Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan & alasan tertentu untuk
menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
– Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan adalah meringankan penderitaan tanpa
izin individu yang bersangkutan & pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya
pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan
menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan
yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di
Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara
yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda & di negara
bagian Oregon-Amerika Serikat.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
– Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak
dapat diobati, misalnya kanker.
– Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu
kematian.
– Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat
dikurangi dengan pemberian morfin.
– Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga
yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan
dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan.
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang
Mahaesa’, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.
Mengenai “euthanasia pasif”, merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai
bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain
dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang
atau berjalan secara alamiah.

Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku
utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana,
atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan
pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan
sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak,
hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya
masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita
tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi
perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI
no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”.
Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa
yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang
Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan
IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit
masih memiliki pandangan & kebijakan yang berlainan.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung
makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan
dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan sebagai
pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia
dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat
apa yang disebut ‘concursus idealis’ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan
bahwa:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan
hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat
ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex specialis derogat legi generalis’, yaitu peraturan
yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.

Aspek Hak Azasi


Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, & sebagainya. Tapi
tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan
dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak
untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk
mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas
lagi dari segala penderitaan yang hebat.

Aspek Ilmu Pengetahuan


Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk
mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir
tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan,
apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya?
Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan
terseret dalam habisnya keuangan.

Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingga tidak
ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek
umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa
seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya.
Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh
dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan
euthanasia, apapun alasannya.
Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan kehendak Tuhan dengan
memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan
penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus
asa, & putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.
Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, & tentunya sangat
tidak ingin mati, & tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan
dengan pernyataan agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha
medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat
mengatasi penyakitnya? Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum
waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur
atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya
melawan kehendak Tuhan.
Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab
di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik.
Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan
ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga
diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa
manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya
sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.

Kesimpulan
HAM yang terutama adalah “hak untuk hidup”, yang dimaksudkan untuk melindungi nyawa
seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang lain. Oleh karena itu masalah
euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan dokter atas
permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja pasien yang
sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup milik pasien.
Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui pula adanya
‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, euthanasia diperbolehkan
untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia ini tetap
dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan masalah
yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis & moral yang
ada di suatu masyarakat tertentu.
Sejak berlakunya KUHP sampai saat ini, belum ada kasus yang secara nyata terjadi di
Indonesia yang berkaitan dengan euthanasia seperti diatur dalam pasal 344 KUHP yang
sampai ke pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan karena:
– Bila memang benar terjadi di Indonesia, tetapi tidak pernah dilaporkan ke polisi, sehingga
sulit untuk pengusutan lebih lanjut.
– Keluarga korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian sebagai euthanasia, karena
masyarakat Indonesia masih awam terhadap hokum, apalagi menyangkut euthanasia.
– Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semodern di negara maju, &
kalaupun ada, masih terlalu mahal untuk dapat digunakan oleh masyarakat umum, sebagai
pencegah kematian seorang pasien secara teknis.
Di samping itu, dari hukum materilnya sendiri, yaitu pasal 344 KUHP, sulit untuk dipenuhi
unsur-unsurnya, sehingga bila terjadi kasus, maka akan sulit pembuktiannya.
Apapun alasannya, bila tindakan dilakukan dengan tujuan mengakhiri hidup seseorang maka
dapat digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan. Namun dalam hal euthanasia
hendaknya tidak secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia
yang bermacam-macam.
Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang hal-hal yang
mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan dengan pasien, antara
lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi penyakit yang sudah stadium terminal
& tidak mungkin lagi diobati.
Oleh sebab itu, hukuman untuk tindakan euthanasia aktif yang pernah terjadi di Belanda
misalnya, hanya berupa hukuman percobaan yang sangat ringan. Bahkan pada beberapa
kasus nampak ada kecenderungan hakim untuk tidak menghukum pelaku euthanasia.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di Indonesia tetap dilarang.
Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini. Akan tetapi
perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk menerapkannya
atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut.
Agar pasal 344 KUHP dapat diterapkan dalam praktik, maka sebaiknya dalam rangka ‘ius
constituendum’ hukum pidana, bunyi pasal itu hendaknya dirumuskan kembali, berdasar
kenyataan yang yang terjadi & disesuaikan perkembangan di bidang medis.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id
8 Kasus Euthanasia di Dunia

May2

1. Kasus “Doctor Death”


Dr. Jack Kevorkian dijuluki “Doctor Death”, seperti dilaporkan Lori A. Roscoe . Pada awal
April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale, California. Diduga puluhan pasien telah
“ditolong” oleh Kevorkian untuk mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa yang
dilakukannya semata demi “menolong” pasien-pasiennya. Namun, para penentangnya
menyebut apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.
2. Jakarta – Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah
diajukan oleh seorang suami bernama Panca Satria Hasan Kusuma karena tidak tega
menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 3
bulan pasca operasi Caesar dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban
biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan euthanasia ini
diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk
euthanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien
(7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.
3. Jakarta – Indonesia
Koma selama 3,5 bulan setelah menjalani operasi di RSUD Pasar Rebo pada bulan Oktober
2004 dengan diagnosa hamil di luar kandungan. Namun setelah dioperasi ternyata hanya ada
cairan di sekitar rahim. Setelah diangkat, operasi tersebut mengakibatkan Siti Zulaeha, 23
tahun mengalami koma dengan tingkat kesadaran di bawah level binatang. Sang suami, Rudi
Hartono 25 mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada
tangggal 21 Februari 2005. Permohonan yang ditandatangani oleh suami, orang tua serta
kakak dan adik Siti Zulaeha.
4. New Jersey – Amerika Serikat
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21
April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena
kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan. Oleh
karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orang tuanya meminta agar dokter
menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian
dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orang tua pasien
ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun
dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut,
pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan
tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi
paru-paru (pneumonia).
5. Korea
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita
penyakit sirosis hati (liver cirrhosis). Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga
Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak
perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi
untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan
pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien
sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. 1 minggu
sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah
mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak
dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24 jam saja.
6. Swiss
Seorang warga Swiss bunuh diri dibantu medis atau euthanasia. Disaksikan keluarganya, ia
menenggak obat mematikan di satu klinik di Swiss. Proses menuju kematian itu, disiarkan
oleh televisi BBC. Kontroversi pun sontak merebak. Nama pria itu adalah Peter Smedley
berusia 71 tahun dan sedang sakit parah yang tak mungkin disembuhkan lagi. Pemilik hotel
ini pun memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu dengan cara meminum obat
mematikan. Niatnya itu bisa terlaksana karena di negaranya, Swiss, euthanasia tidak
terlarang. Ia pun meminta dokter di satu klik bernama Dignitas memberikan obat mematikan,
barbituates. Entah bagaimana dia memberikan izin kepada Sir Terry Pratchett, pembawa
acara Terry Pratchett: Choosing To Die, untuk merekam momen terakhirnya saat meminum
racun. Itu terjadi sebelum Natal tahun lalu. Dalam gambar yang ditayangkan di BBC, sang
pasien, Smedley, didampingi dokter dari klinik dan istrinya Christine. Dalam hitungan detik,
ia meninggal di kursinya. Segera setelah tayangan itu, debat panas muncul di Twitter, media
sosial lainnya serta media cetak membuat BBC dijuluki ‘pemandu sorak’ euthanasia. Warga
pun menulis pengaduannya pada Dirjen Mark Thompson dan Kepala BBC Lord Patten
mengenai acara itu. Warga menganggap acara ini ‘tak pantas’. Kelompok amal, politik dan
agama bergabung menyatakan acara ini ‘propaganda’ euthanasia. Dalam gugatan, tertulis,
“Menayangkan kematian pasien di acara demi hiburan, BBC harus punya alasan kuat”.
Baroness Campbell of Surbiton, Baroness Finlay of Llandaff, Lord Alton of Liverpool dan
Lord Charlie of Berriew mengatakan, BBC menayangkan acara ini guna mendukung bunuh
diri yang dibantu. Alhasil, hampir 900 warga membuat pengaduan resmi pada BBC atas
program itu. Juru bicara BBC menambahkan, “Terkait acara ini, kami punya 82 apresiasi dan
162 pengaduan, total pengaduan pun menjadi 898”. Regulator media Ofcom sendiri
mengakui seperti dikutip Dailymail, BBC mendapat ‘banyak’ pengaduan.
7. Inggris
Pada tahun 1992 ketika dr. Nigel Cox mengakhiri hidup Lilian Boyes seorang pasien
sekaligus teman baiknya selama 14 tahun. Caranya dengan memberikan suntikan potassium
chlorice. Dr. Cox mau melakukan itu karena ia sungguh-sungguh merasa iba dengan
penderitaan sahabatnya itu. “Ia mengalami kesakitan luar biasa. Lima hari sebelum
kematiannya ia memohon-mohon kepada saya untuk mengakhiri penderitaannya dengan
mengakhiri hidupnya,” demikian pembelaan dr. Cox. Kedua anak Lilian Boyes menyetujui
tindakan dr. Cox. Mereka malahan memberikan pembelaan dan berpendapat bahwa dr. Cox
telah merawat ibu mereka dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih. Tetapi apa pun bentuk
pembelaan, yang pasti kemudian dr. Cox diadili dan dijatuhi hukuman 12 bulan, hanya saja
ijin prakteknya tidak dicabut. Ia tetap bisa menjalankan profesinya sebagai dokter.
8. Florida – USA
Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah
Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang
selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada
tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo,
dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat
diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak
yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu
disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu,
dokternya kemudian dituduh malapraktik dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena
dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.
Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei
1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar
pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan
tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan
keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut.
Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari
harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim
memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga
Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat
undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan
hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika
Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di
Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim
federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

DAFTAR PUSTAKA
Agamben, Giorgio; diterjemahkan oleh Daniel Heller-Roazen (1998). Homo sacer: sovereign
power and bare life. Stanford, Calif: Stanford University Press. ISBN0-8047-3218-3.
Almagor, Raphael (2001). The right to die with dignity: an argument in ethics, medicine, and
law. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. ISBN0-8135-2986-7.
Anonim.Tanpa Tahun. Kasus Euthanasia killing yang Terjadi di dunia. Diakses dari
http://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com pada 1 Maret 2014.
Anonym.2012. Beberapa Kasus Eutanashia Termasuk Di Indonesia. Diakses dari
http://gasberacun.blogspot.com pada 1 Maret 2014.
Appel, Jacob. 2007. A Suicide Right for the Mentally Ill? A Swiss Case Opens a New
Debate. Hastings Center Report, Vol. 37, No. 3.
Battin, Margaret P., Rhodes, Rosamond, and Silvers, Anita, eds. Physician assisted suicide:
expanding the debate. NY: Routledge, 1998.
Dworkin, R. M. Life’s Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and Individual
Freedom. New York: Knopf, 1993.
Emanuel, Ezekiel J. 2004. “The history of euthanasia debates in the United States and
Britain” in Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman &
Littlefield Publishers.
UUD 1945 tidak mengatur tentang legalitas hak manusia untuk mati.
Di balik hiruk pikuk pemilihan presiden, masyarakat Indonesia dikagetkan dengan
pemberitaan seorang pria bernama Ryan Tumiwa mengajukan permohonan ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Intinya, Ryan berharap MK menghapus ketentuan Pasal 334 KUHP
dikarenakan pasal tersebut menghalangi hak konstitusinya untuk meminta Eutanasia

Eutanasia dalam Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος,
thanatos yang berarti kematian. Arti lengkapnya, Eutanasia adalah praktik pencabutan
kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit
atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan
suntikan yang mematikan. (Sumber: ttp://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia)

Sungguh Ironis memang apalagi melihat dari alasan-alasan pokok diajukannya permohonan
dari Ryan Tumiwa. Di dalam permohonannya, Ryan Tumiwa mengatakan bahwa dia telah
frustasi terhadap hidupnya yang telah bertahun-tahun sampai dengan saat ini tidak
mempunyai pekerjaan, dan bahkan Ryan Tumiwa-pun merasa tidak pernah diperhatikan oleh
saudara-saudaranya sendiri.

Apabila melihat dari strata pendidikan formal Ryan Tumiwa saat ini maka sebenarnya tingkat
pendidikannya terbilang cukup tinggi. Ryan Tumiwa adalah lulusan S2 (starta dua) pada
salah satu universitas terbaik di Indonesia sehingga sungguh sangat mengagetkan apabila
sampai dengan saat ini Ryan Tumiwa frustasi karena belum mendapatkan pekerjaan.

Tulisan ini pada pokoknya bukan untuk menceritakan hal-hal terkait dengan Ryan Tumiwa.
Tulisan ini akan meninjau sisi legalitas dari Eutanasia. Apakah terdapat hal-hal yang
bertentangan terkait pemberlakuan Eutanasia baik itu dari segi ketentuan dasar negara, hak
asasi manusia dan juga ideologi bangsa.

A. Tentang Hukumnya
Sebenarnya permasalahan Eutanasia ini sangatlah istimewa karena menyangkut dengan
berbagai macam aspek, baik itu aspek agama, moral, medis maupun hukum. Oleh karenanya,
sampai dengan saat ini permasalahan Eutanasia masih menimbulkan pro dan kontra.
Beberapa kelompok sangat mendukung untuk melegalkan Eutanasia dengan alasan untuk
menghentikan penderitaan dari pasien. Beberapa kelompok lain menolak dengan tegas
Eutanasia diberlakukan dengan alasan bahwa kematian adalah hak dari Tuhan sehingga
manusia tidak mempunyai hak apa-apa untuk itu.

Sebelum kita membahas lebih lajut tentang Eutanasia, mari terlebih dahulu melihat
pengertian dari kematian/meninggal dunia. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf g PP No. 18
Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat
dan atau Jaringan Tubuh Manusia,menyebutkan bahwa pengertian dari “meninggal dunia
adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yangberwenang bahwa fungsi otak,
pernafasan,dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti”. Sebagai catatan, definisi
meninggal dunia ini adalah definisi yang sampai dengan saat ini masih berlaku di Indonesia.

Dari ketentuan tersebut di atas, secara gramatikal dapat dikatakan bahwa berhentinya
kehidupan seorang manusia secara permanen, dimana seluruh dari fungsi oragan yang
disebutkan dalam ketentuan tersebut telah berhenti secara sempurna dan tidak mempunyai
harapan untuk difungsikan kembali pada tubuh dari manusia tersebut.

Eutanasia itu sendiri pada dasarnya bukan merupakan istilah hukum. Namun, Eutanasia telah
diatur secara jelas dalam ketentuan hukum di Indonesia, yang pada dasarnya permasalahan
Eutanasia adalah suatu praktik yang bertentangan dengan ketentuan hukum di Indonesia,
dalam hal ini ketentuan Pasal 344 KUHP.

Pasal 344 KUHP


“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas
tahun.”

Berdasarkan Pasal 344, maka jelas Eutanasia merupakan sebuah tindakan yang tidak dapat
dilegalkan di Indonesia walaupun pada kenyataannya beberapa negara di dunia telah
melegalkan Eutanasia.

Sebagai contoh di Belanda, Eutanasia telah dilegalkan pada tanggal 29 November 2000.
Parlemen Belanda telah menyetujui undang-undang yang melegalkan Eutanasia dengan
mempertimbangkan bahwa permasalahan terkait dengan Eutanasia hanya berlaku kepada
kepada dokter dan tidak berlaku kepada pihak-pihak di luar dari profesi medis. Pelaksanaan
Eutanasia harus memenuhi beberapa syarat antara lain adalah calon pasien yang
menginginkan Eutanasia harus mengajukan permohonan secara pribadi dan berkali-kali, serta
dokter yang menangani permasalahan pasien tersebut harus benar-benar yakin bahwa pasien
yang meminta untuk di Eutanasia mengalami penderitaan yang luar biasa.

B. Eutanasia Bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai Ideologi Negara
Seperti yang telah jelaskan di atas terkait dengan permasalahan permohonan dari Ryan
Tumiwa maka sangat menarik apabila kita membahas tentang apakah terdapat pertentangan
antara ketentuan 344 KUHP dengan UUD 1945.

Dalam UUD 1945 Pasal 28 huruf a menyatakan bahwa


“setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya”

Kemudian dalam ketentuan pasal Pasal 28 huruf g menyatakan bahwa:


(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. “

Bahwa dengan melihat substansi dan isi dari pasal-pasal yang telah disebutkan di atas, dapat
dikatakan bahwa pasal-pasal tersebut adalah pasal yang terkait erat dengan prinsip HAM.
Bahwa setiap manusia berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya dengan
didukung oleh perlindungan baik terhadap dirinya maupun orang-orang yang di sekitar
hidupnya. Perlindungan yang dimaksud disini adalah perlindungan dari masyarakat, aparatur
negara maupun pihak-pihak yang terkait dengan manusia tersebut.

Lebih lanjut, kematian yang diakibatkan oleh sebuah tindakan secara sengaja oleh orang lain
justru merupakan bentuk pelanggaran ketentuan-ketentuan UUD tersebut di atas dan bahkan
merupakan pelanggaran terhadap HAM.

Satu hal yang perlu dipahami dari ketentuan-ketentuan UUD 1945 terkait dengan
permasalahan tersebut adalah setiap warga negara Repubilk Indonesia mempunyai hak untuk
hidup dan dilindungi, sehingga dapat disimpulkan secara tersirat bahwa Eutanasia tidak dapat
diberlakukan di Indonesia. Dan bahkan, apabila kita cermati dan menelusuri pasal demi pasal
yang terdapat dalam UUD 1945 maka kita tidak akan pernah menemukan satu pasal pun yang
menyebutkan atau mengatur tentang legalitas hak manusia untuk mati.

Selanjutnya Bahwa Ketentuan UUD 1945 adalah implementasi dari Pancasila, yaitu lima sila
dasar pembentukan negara ini, sehingga hal-hal yang termuat dalam UUD 1945 adalah
cerminan dari Kesaktian Pancasila. Pancasila merupakan sebuah ideologi dalam
pembentukan negara ini sehingga adalah tepat jika hal-hal yang terkait dengan ketentuan-
ketentuan hukum harus berlandaskan pada semangat Pancasila.

Sila Pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mempunyai makna terdapatnya
keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang telah meciptakan alam beserta dengan
isinya.

Terkait dengan Eutanasia sendiri, apabila dihubungkan dengan filosofi dari pada Sila Pertama
Pancasila, maka pemberlakuan Eutanasia di Indonesia adalah suatu hal yang sangat
bertentangan kodrat dan nilai-nilai luhur dari berbagai macam ajaran agama yang berlaku di
Indonesia.

C. Kesimpulan
Salah satu hak manusia yang sangat mendasar adalah hak untuk hidup dan bukan hak untuk
mati sehingga adalah tidak tepat apabila Indonesia memberikan izin pemberlakuan Eutanasia
dengan menghapus ketentuan Pasal 344 KUHP.

Dengan segala argumentasinya, maka telah jelas dan berdasar bahwa Eutanasia merupakan
sebuah tindakan yang sangat bertentangan dengan UUD 1945, HAM dan juga bertentangan
dengan Ideologi Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur dari ajaran masing-masing agama yang telah diakui
Pro Euthanasia Aktif
a. Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat. Maka seseorang
mempunyai hak memilih cara kematiannya.
b. Adanya hak ‘privacy’ yang secara legal melekat pada tiap orang. Maka seseorang
berhak sesuai privacy-nya (band. Pro-choice dalam kasus Aborsi).
c. Euthanasia adalah tindakan belas – kasihan/kemurahan pada si sakit. Maka tidak
bertentangan dengan peri-kemanusiaan. Meringankan penderitaan sesama adalah tindakan
kebajikan.
d. Euthanasia adalah juga tindakan belas kasih pada keluarga. Bukan hanya si sakit yang
menderita, tetapi juga keluarganya. Meringankan penderitaan si sakit berarti meringankan
penderitaan keluarga khususnya penderitaan psikologis.
e. Euthanasia mengurangi beban ekonomi keluarga. Dari pada membuang dana untuk usaha
yang mungkin sia-sia, lebih baik uang dipakai untuk keluarga yang masih hidup.
f. Euthanasia meringankan beban biaya sosial masyarakat, bukan hanya dari segi
ekonomi tetapi juga beban sosial misalnya dengan mengurangi biaya perawatan
mereka yang cacat secara permanen.
2. Kontra Euthanasia
a. Tidak ada alasan moral apapun yang mengijinkan seseorang melakukan ‘pembunuhan’
maupun ‘bunuh diri’. Maka tidak ada hak manusia untuk memilih cara kematiannya.
b. Hak ‘privacy’ adalah hak yang dinikmati dalam hidup. Hak hidup memang tak terbatas,
tetapi hak ‘privacy’ selalu terbatas, bahkan dalam kehidupan yang dijalani sehari-hari. Maka
hak privacy tidak relevan digunakan mengklaim hak untuk memilih cara kematian seseorang.
c. Walaupun euthanasia dapat mengakhiri penderitaan, euthanasia tetaplah suatu pembunuhan.
d. Penderitaan tidak bisa dijadikan sebagai alat pembenaran praktek euthanasia.
e. Manusia lebih berharga daripada materi. Maka melakukan euthanasia demi untuk
kepentingan penghematan ekonomi tidak dibenarkan secara moral

You might also like