You are on page 1of 3

INDONESIAN TOURISM DEVELOPMENT

Tourism in Indonesia is an important component of the Indonesian economy and a


significant source of foreign exchange income. Indonesia ranked 20th in the world tourism industry in
2017, also ranked as the ninth fastest growing tourism sector in the world, the third fastest growing
in Asia and the fastest growth in Southeast Asia. The country has planned to reach 8 percent of GDP
from the tourism sector and is targeted to attract around 20 million visitors in 2019. The tourism
sector ranks the 4th largest among the exports of goods and services. Indonesia has a rich and
colorful culture, such as Barong dance performances in Bali.

In 2016, the government was reported to be investing more in tourism development by


attracting more foreign investors. The government has given priority to 10 destinations such as:

1. Candi Borobudur in Central Java


2. Mandalika in West Nusa Tenggara
3. Labuan Bajo in East Nusa Tenggara
4. Bromo-Tengger-Semeru in East Java
5. Pulau Seribu in Jakarta
6. Toba Lake in North Sumatra
7. Wakatobi in Southeast Sulawesi
8. Tanjung Lesung in Banten
9. Morotai in North Maluku
10. Tanjung Kelayang in Belitung

As quoted in The Jakarta Post, the government is aiming for 275 million trips by domestic
tourists by end of 2019. The government has also secured commitments from potential investors,
totalling US$70 million in the areas of building accommodation, marina and ecotourism facilities in 3
of the 10 areas. Indonesia is ranked at seventh place in the list of Lonely Planet's top 10 countries to
visit in 2019.
Awal mula pariwisata di Nederlands-Indië yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan suatu
perkumpulan olahraga dan gaya hidup (sepeda dan motor), perkumpulan sosial masyarakat dan
komersial, serta perseorangan. Orang-orang yang menjadi perintis pariwisata di Hindia Belanda
seperti pendeta Marius Buys, wartawan Karel Zaalberg, profesional bidang perhotelan Johan
Martinus Gantvoort, pegawai negeri Louis Constant Westenenk, dan militer yang kemudian menjadi
Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van Heutsz.

“Pariwisata di Hindia Belanda merupakan suatu gagasan dari para individu dan sekelompok
individu yang diawali dengan kegiatan perjalanan mengunjungi tempat lain di luar tempat
tinggalnya,” tulis Achmad Sunjayadi dalam disertasinya berjudul “Dari Vreemdelingenverkeer ke
Toeristenverkeee: Dinamika Pariwisata Di Hindia-Belanda 1891-1942,” yang dipertahankan dalam
sidang terbuka senat akademik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok,
Jawa Barat, 6 Juli 2017.

Mereka mencatat perjalanannya yang memuat tempat-tempat yang dikunjungi, objek-objek


yang dilihat, dan tata cara dan kebiasaan hidup di Hindia Belanda. Catatan perjalanan ini kemudian
menjadi panduan atau pedoman bagi para wisatawan yang akan berkunjung ke Hindia Belanda.
Namun, ketika datang ke Hindia Belanda, mereka mengeluhkan keadaan pariwisata yang belum
terorganisir, tidak ada fasilitas-fasilitas pendukung pariwisata, seperti pusat informasi dan akomodasi
di wilayah yang memiliki objek wisata.

Hal itu menjadi perhatian pemerintah Hindia Belanda, masyarakat, dan swasta, yang melihat
ada kebutuhan terkait kegiatan pariwisata, terutama untuk menarik wisatawan datang ke Hindia
Belanda. Oleh karena itu, pemerintah dan swasta membentuk organisasi yang bergerak dalam
menangani pariwisata.

“Dalam proses mewujudkan gagasan tersebut, pemerintah Hindia Belanda meniru Kihinkai
(Welcome Society) yang dibentuk pada 1893 di Jepang. Perhimpunan pariwisata di Jepang yang
mengatur kegiatan pariwisata,” tulis Achmad. Awalnya, Kihinkai belum melibatkan pemerintah
sehingga perhimpunan tersebut bersifat nonpemerintah. Kihinkai didukung dan didanai dari
sumbangan perusahaan kereta api dan pelayaran swasta, pemilik hotel dan penginapan.

Pada 1907, Konsul Belanda di Kobe, Jepang, J. Barendrecht mengirim surat kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda J.B. van Heutsz mengusulkan agar pemerintah Hindia Belanda meniru
Kihinkai dalam mengelola pariwisata.
Sebelumnya, pada 1905, Karel Zaalberg, redaktur Bataviaasch Nieuwsblad menuliskan
pendapatnya tentang pariwisata yang menurutnya jika dikelola dengan baik dapat menjadi potensi
pemasukan besar bagi pemerintah Hindia Belanda. J.M. Gantvoort, direktur Hotel des Indes, juga
mengusulkan soal promosi pariwisata di Hindia Belanda.

Akhirnya, pada 13 April 1908, didirikan Perhimpunan Pariwisata (Vereeniging


Toeristenverkeer atau VTV) di Batavia. Sebagai perhimpunan pertama di Hindia Belanda, pendirian
VTV bertujuan untuk mengembangkan vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) di Hindia
Belanda. Struktur organisasi VTV mirip dengan Kihinkai, khususnya dalam bentuk perhimpunan yang
terdiri dari para pengusaha dan inisiatif pihak swasta. Seperti Kihinkai, para anggotanya terdiri dari
pihak swasta, seperti perusahaan pelayaran, perhotelan, dan perbankan. Pemerintah menempatkan
wakilnya dalam susunan pengurus VTV.

Untuk mendukung kegiatannya, VTV memiliki jaringan yang luas baik di dalam maupun di
luar negeri. Di dalam negeri, VTV membuka kantor cabang di Surabaya, Semarang, Padang, dan
Medan, serta perwakilan di Surakarta, Yogyakarta, Kedu, Singapura, Amsterdam, Hongkong, dan
Shanghai. Pada periode berikutnya, VTV juga memiliki perwakilan baru di Amerika, Australia, dan
Afrika. Selain itu, upaya lain yang juga dilakukan adalah menjalin kerjasama dengan organisasi sejenis
dan lainnya di Belanda guna mempromosikan pariwisata di Hindia Belanda.

Kemunculan VTV turut mendorong menculnya berbagai organisasi pariwisata di tingkat lokal,
seperti di Padang, Bandung, Magelang, Malang, Lawang, Yogyakarta, dan Batavia.

Dengan demikian, menurut Achmad, para pelaku yang berperan sebagai penggerak
pariwisata di Hindia Belanda adalah masyarakat, swasta, dan pemerintah.

You might also like