You are on page 1of 10

2

Jurnal Preventia, Vol ... No ... Juli 2017

GAMBARAN PENGETAHUAN PENYAKIT CACINGAN


(HELMINTHIASIS) PADA WALI MURID SDN 1, 2, 3, DAN 4
MULYOAGUNG, KECAMATAN DAU,
KABUPATEN MALANG, JAWA TIMUR

Dhia Irfan Hanif


Moch Yunus
Rara Warih Gayatri
Universitas Negeri Malang
e-mail: dhiairfanhanif@gmail.com

Abstract: WHO (2016) said the helminthiasis is an infection of the intestinal parasites of the
Nematodes are transmitted through the ground, Soil Transmitted Helminths or (STH). WHO
(2016) reported more than 2 billion people are infected with helminthiasis. According to Indonesia
Ministry of Health (2004), the prevalence of helminthiasis in children of the primary school in
2003 amounting to 33% increasing and in 2004 became 46,8%. Indonesia Ministry of Health
(2005) presents results of survey of helminthiais in elementary school showed the prevalence of
approximately 60%-80%. The purpose of this research is to know the description of the knowledge
of the helminthiasis on caregivers SDN 1, 2, 3, and 4 Mulyoagung, Dau, Malang, East Java. This
research uses descriptive methods (cross sectional) and quantitative approach. The population of
the research was the entire caregivers SDN 1, 2, 3, and 4 Mulyoagung a number of 685 people,
with samples 253 people. Research instrument using a questionnaire based on the indicator of
knowledge on health. Engineering data retrieval done by giving questionnaires to caregivers
through the student and teacher. Data analysis using descriptive statistical analysis to determine
the score of the questionnaire and determine the level of knowledge of caregivers. The results of
the research in general, the description of the knowledge of the disease intestinal worms
(helminthiasis) on caregivers SDN 1, 2, 3, and 4 Mulyoagung, Kecamatan Dau, Malang, East
Java was less, with an average score of respondents 45,81.

Keywords: knowledge, helminthiasis, parents (caregivers)

Abstrak: WHO (2016) mengatakan helminthiasis adalah infeksi cacing parasit usus dari golongan
Nematoda usus yang ditularkan melalui tanah atau disebut Soil Transmitted Helminths (STH).
WHO (2016) melaporkan lebih dari 2 miliar orang terinfeksi cacingan. Menurut DEPKES RI
(2004), prevalensi cacingan pada anak sekolah dasar pada tahun 2003 sebesar 33% dan meningkat
pada tahun 2004 menjadi 46,8%. DEPKES RI (2005) memaparkan hasil survei cacingan di
sekolah dasar menunjukan prevalensi sekitar 60% - 80%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran pengetahuan helminthiasis pada wali murid SDN 1, 2, 3, dan 4
Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh wali
murid SDN 1, 2, 3, dan 4 Mulyoagung sejumlah 685 orang, dengan sampel sejumlah 253 orang.
Instrumen penelitian menggunakan kuesioner untuk mengetahui pengetahuan terhadap kesehatan.
Teknik pengambilan data dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada wali murid melalui
siswa dan guru. Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif untuk menentukan skor
dari kuesioner dan menentukan tingkat pengetahuan wali murid. Hasil penelitian secara umum,
gambaran pengetahuan penyakit cacingan (helminthiasis) pada wali murid SDN 1, 2, 3, dan 4
Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur adalah kurang, dengan skor rata-
rata responden 45,81.

Kata kunci: pengetahuan, cacingan (helminthiasis), wali murid

World Health Organization (2016) tanah, atau disebut Soil Transmitted


menjelaskan bahwa cacingan adalah Helminths (STH). STH yang sering
infeksi cacing parasit usus dari golongan ditemukan pada manusia adalah Ascaris
Nematoda usus yang ditularkan melalui lumbricoides, Necator americanus,
3
Hanif, Gambaran Pengetahuan Penyakit Cacingan (Helminthiasis) Pada Wali Murid SDN 1, 2, 3,
dan 4 Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur

Ancylostoma duodenale, Trichuris bersih adalah beberapa kondisi sebagai


trichiura, dan Strongiloides stercoralis penyebab infeksi cacingan (Astuty dkk,
(WHO, 2016). Sumanto (2010) 2012).
menjelaskan jika penyakit cacingan WHO (2011) mengatakan di
adalah contoh lain dari penyakit dalam konferensi internasional
parasitik yang mulai terabaikan atau kesehatan pertama tahun 1986 (Ottawa
Neglacted Tropical Desease (NTD). Charter) dijelaskan bahwa ada sembilan
Kasus infeksi oleh STH terjadi prasyarat (pre requisites) yang
karena tertelannya telur cacing dari mempengaruhi kesehatan, salah satunya
tanah atau tertelannya larva aktif yang adalah knowledge atau pengetahuan.
ada di tanah melalui kulit (WHO, 2016). Badan Pembangunan PBB atau UNDP
Umar (2008) mengatakan, penyakit (2011) memberikan tiga indikator
cacingan menimbulkan dampak yang pembangunan manusia yang disusun
besar pada manusia karena dalam Human Development Index atau
mempengaruhi pemasukan (intake), Indeks Pembangunan Manusia yakni
pencernaan (digestif), penyerapan pengetahuan, kesehatan, dan ekonomi.
(absorbsi), dan metabolisme makanan. Ketiga hal tersebut bukan hanya saling
Akibat yang ditimbulkan dari infeksi terkait dan mempengaruhi, namun juga
cacing berupa kerugian zat gizi saling melengkapi dalam membentuk
karbohidrat dan protein (Umar, 2008). kualitas hidup manusia (Notoatmodjo,
Masalah lain yang ditimbulkan adalah 2012). Tingkat pengetahuan orang tua
kekurangan darah, menghambat akan permasalahan kesehatan dapat
perkembangan fisik, perkembangan mempengaruhi perilaku dan tingkat
mental, kemunduran intelektual, dan kesehatan anak (Notoatmodjo, 2012).
menurunkan imunitas tubuh pada anak- Faridan (2013) mengatakan
anak (DEPKES RI, 2004). bahwa penyakit cacingan paling banyak
WHO (2016) melaporkan lebih terjadi pada anak usia sekolah dasar. Hal
dari 2 miliar orang terinfeksi penyakit itu disebabkan anak pada usia tersebut
cacingan. Menurut DEPKES RI (2004), sering melakukan kontak dengan tanah.
angka nasional prevalensi cacingan pada Kasus cacingan terbanyak dari golongan
anak sekolah dasar pada tahun 2003 cacing Ascariasis (Faridan, 2013).
sebesar 33%. Pada tahun 2004, DEPKES RI (2006) menyatakan bahwa
prevalensi penyakit cacingan meningkat anak usia sekolah dasar merupakan
menjadi 46,8% (DEPKES RI, 2006). golongan tertinggi terinfeksi cacing
Pada tahun 2005, survei infeksi cacingan yang penularannya melalui tanah.
di sekolah dasar di beberapa provinsi Tujuan dari penelitian ini adalah
menunjukan prevalensi sekitar 60%- untuk mengetahui gambaran
80% (DEPKES RI, 2005). pengetahuan penyakit cacingan
Faktor-faktor risiko penyebab (helminthiasis) pada wali murid SDN 1,
tingginya prevalensi penyakit cacingan 2, 3, dan 4 Mulyoagung, Kecamatan
adalah rendahnya tingkat sanitasi pribadi Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
(Perilaku Hidup Bersih Sehat) dan
buruknya sanitasi lingkungan (Umar, METODE
2008). Perilaku seperti tidak mencuci Penelitian ini merupakan
tangan sebelum makan dan setelah penelitian deskriptif dengan pendekatan
buang air besar (BAB), tidak menjaga cross sectional. Penelitian ini digunakan
kebersihan kuku, perilaku jajan di untuk mengetahui gambaran
sembarang tempat yang kebersihannya pengetahuan penyakit cacingan
tidak dikontrol, perilaku BAB tidak di (helminthiasis) pada wali murid SDN 1,
WC yang menyebabkan pencemaran 2, 3, dan 4 Mulyoagung, Kecamatan
tanah dan lingkungan oleh feses yang Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
mengandung telur cacing, serta Populasi penelitian adalah
kurangnya ketersediaan sumber air seluruh wali murid SDN 1, 2, 3, dan 4
4
Jurnal Preventia, Vol ... No ... Juli 2017

Mulyoagung Kecamatan Dau, 1) Penyebab penyakit;


Kabupaten Malang, Jawa Timur 2) Faktor risiko penyakit;
sejumlah 685 orang dengan ampel 3) Gejala dan tanda penyakit;
sejumlah 253 dengan pengambilan 4) Patofisiologi penyakit;
sampel menggunakan teknik 5) Penatalaksanaan penyakit;
proportional random sampling. 6) Pencegahan penyakit (termasuk
Pada sampel penelitian ini imunisasi).
terdapat kriteria inklusi dan eksklusi Dalam penelitian ini, ada dua
yang digunakan. Kriteria inklusi adalah langkah pengolahan data, yakni
wali murid SDN 1, 2, 3, dan 4 pengolahan data manual dan pengolahan
Mulyoagung, Kecamatan Dau, data dengan komputer. Teknik analisis
Kabupaten Malang, Jawa Timur yang dalam penelitian ini adalah analisis
bersedia menjadi responden dan statistik deskriptif dengan dengan
mengisi kuesioner dengan menyetujui menggunakan aplikasi komputer.
informed consent yang disediakan. Analisis deskriptif dilakukan
Kriteria eksklusi adalah wali murid SDN berdasarkan nilai atau skor akhir dari
1, 2, 3, dan 4 Mulyoagung, Kecamatan kuesioner, dengan kategori penilaian
Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur menurut Arikunto (2007), yaitu:
yang tidak bersedia menjadi responden a. Baik: menjawab benar 76%-100%
dengan tidak menyetujui informed dari seluruh pertanyaan;
consent yang disediakan. b. Cukup: menjawab benar 56%-75%
Instrumen dalam penelitian ini dari seluruh pertanyaan;
menggunakan kuesioner, untuk c. Kurang: menjawab benar 40%-55%
mengambil data primer yang digunakan dari seluruh pertanyaan.
dalam menggambarkan tingkat
pengetahuan wali murid SDN 1, 2, 3, HASIL
dan 4 Mulyoagung, Dau, Kabuaten Hasil analisis distribusi
Malang, Jawa Timur. Indikator-indikator frekuensi skor rata-rata responden
yang dapat digunakan untuk mengetahui berdasarkan sekolah adalah sebagai
tingkat pengetahuan terhadap kesehatan berikut:
(sakit dan penyakit) meliputi
(Notoatmodjo, 2012):

Tabel 1. Distribusi frekuensi skor rata-rata berdasarkan sekolah


No Sekolah Jumlah Responden Skor (rata-rata) Kategori (rata-rata)
1 SDN 1 Mulyoagung 96 48% Kurang
2 SDN 2 Mulyoagung 41 39% Kurang
3 SDN 3 Mulyoagung 72 48% Kurang
4 SDN 4 Mulyoagung 43 41% Kurang
Total 253 45% Kurang

Pada tabel diatas menunjukkan Rata-rata pengetahuan wali murid SDN


bahwa pengetahuan wali murid di SDN 1, 2, 3, dan 4 Mulyoagung, Kecamatan
1 Mulyoagung memiliki skor rata-rata Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur
sebesar 48% dengan kategori kurang, adalah 45,81. Sehingga wali murid SDN
SDN 2 Mulyoagung memiliki skor rata- 1, 2, 3, dan 4 Mulyoagung, Kecamatan
rata sebesar 39% dengan kategori Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur
kurang, SDN 3 Mulyoagung memiliki memiliki tingkat pengetahuan dengan
skor rata-rata sebesar 48% dengan kategori kurang, yakni diantara 40%-
55%.
kategori kurang, dan SDN 4
Mulyoagung memiliki skor rata-rata Hasil pengetahuan penyakit
sebesar 41% dengan kategori kurang. cacingan (helminthiasis) wali murid
5
Hanif, Gambaran Pengetahuan Penyakit Cacingan (Helminthiasis) Pada Wali Murid SDN 1, 2, 3,
dan 4 Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur

SDN 1, 2, 3, dan 4 Mulyoagung, Jawa Timur dapat dilihat pada gambar 1.


Kecamatan Dau, Kabupaten Malang,

0%
16%

Baik
Cukup
84% Kurang

Gambar 1. Grafik Pengetahuan penyakit cacingan (helminthiasis) wali murid SDN 1, 2, 3,


dan 4 Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur

Keterangan: penyakit cacingan. Menurut


Kurang: 212 responden dari 253 Herdiman (2007), ketiga binatang
responden total tersebut dapat membawa telur
Cukup: 41 responden dari 253 infektif cacing.
responden total WHO (2006) mengatakan
Baik: 0 responden dari 253 responden bahwa rantai penularan STH dapat
total dipengaruhi oleh vektor, yakni serangga
khusunya lalat. Astuty dkk (2012)
PEMBAHASAN
menambahkan bahwa sangat mungkin
Penyebab penyakit cacingan terdapat telur cacing pada makanan
Pada kuesioner nomer 1,
melalui lalat yang hinggap pada
persentase jawaban benar responden
makanan tersebut, dikarenakan lalat
sebesar 77%. Hasil ini menggambarkan
cenderung hinggap pada lingkungan
bahwa wali murid SDN 1, 2, 3, dan 4 yang menjadi lokasi perkembangan telur
Mulyoagung telah mengetahui bahwa
dan larva cacing.
nyamuk bukanlah hewan perantara
Binatang-binatang pembawa
penyebaran penyakit cacingan.
telur infektif cacing tersebut biasanya
Penyebab penyakit cacingan
memiliki perilaku yang cenderung untuk
adalah infeksi cacing parasit usus dari
melakukan kontak dengan kotoran
golongan Nematoda usus (WHO, 2016).
manusia dan hewan (Ginting, 2008).
Cacing parasit usus tersebut diantaranya
Kotoran manusia dan hewan adalah
adalah cacing gelang (Ascaris
sumber penyebaran penyakit cacingan.
lumbricoides/ roundworm), cacing
Hewan seperti tikus dan kecoa adalah
tambang (Necator americanus,
hewan dengan perilaku dan habitat dekat
Ancylostoma duodenale/hookworm), dan
dengan lingkungan dimana terdapat
cacing cambuk (Trichuris trichiura)
kotoran manusia dan hewan, sehingga
(Faridan, 2013). Cacing penyebab
dapat menjadi vektor penyebaran
penyakit cacingan tersebut dapat
penyebab penyakit cacingan (Herdiman,
menembus kulit dan masuk kedalam
2007). Kedua hewan tersebut juga hidup
tubuh anak atau masuk melalui
dekat dengan lingkungan manusia dan
hewan perantara. Binatang seperti tikus, tidak jarang melakukan kontak langsung
lalat, dan kecoa merupakan hewan- dengan makanan dan minuman manusia
(Ginting, 2008).
hewan yang dapat menjadi vektor
6
Jurnal Preventia, Vol ... No ... Juli 2017

Faktor risiko penyakit cacingan cacingan dapat terjadi ketika seseorang


Sanitasi Lingkungan mengkonsumsi sayur dan buah tanpa
Pada kuesioner nomer 6, melalui proses dikupas, dicuci, dan
persentase jawaban benar responden dimasak dengan baik (Umar, 2008).
sebesar 72%. Hal ini menggambarkan Karena sayur yang hanya dicuci sebelum
bahwa pengetahuan wali murid SDN 1, dikonsumsi, memungkinkan masih
2, 3, dan 4 Mulyoagung cukup baik adanya telur atau larva cacing pada
dengan mengetahui bahwa telur cacing bagian dalam sayur, yang hanya bisa
tidak hanya terdapat pada kotoran dimatikan melalui proses pemasakan
manusia saja. Kasus penyebaran (Andarumi, 2010).
penyakit cacingan oleh kotoran manusia WHO (2011) mengatakan
dapat terjadi jika didukung oleh bahwa kebiasaan menggunakan pupuk
buruknya sanitasi lingkungan, seperti dari kotoran hewan pada lahan pertanian
tidak tersedianya fasilitas jamban atau sayur, akan menyebabkan infeksi
WC (Ginting, 2008). Perilaku BAB cacingan jika sayur tersebut tidak
tidak di jamban serta kurangnya direbus (dimasak).
ketersediaan sumber air bersih adalah
beberapa kondisi sebagai faktor risiko Perilaku Kebersihan Diri
terjadinya penyakit cacingan (Astuty Pada kuesioner nomer 5,
dkk, 2012). Sehingga perilaku BAB di persentase jawaban benar responden
sungai dan kebun dapat memperburuk sebesar 49%. Hal ini disimpulkan bahwa
kondisi sanitasi lingkungan, dengan separuh dari wali murid SDN 1, 2, 3,
memungkinkan tersebarnya telur cacing dan 4 Mulyoagung belum mengetahui
yang terkontaminasi pada kotoran bahwa istirahat bukanlah faktor risko
(Ginting, 2008). penyakit cacingan. Umar (2008)
Perilaku BAB tidak di jamban mengatakan bahwa anak usia sekolah
dapat menyebabkan pencemaran tanah dasar adalah usia paling rentan terkena
dan lingkungan oleh feses yang penyakit cacingan. Anak usia sekolah
mengandung telur cacing adalah kondisi dasar memiliki aktifitas tinggi, sehingga
yang mendukung terjadinya penyakit memiliki waktu istirahat yang lebih
cacingan (Astuty dkk, 2012). sedikit (Astuty dkk, 2012). Kurangnya
Penyebaran helminthiasis dapat melalui waktu istirahat tersebut bukanlah
terkontaminasinya tanah dengan tinja menjadi faktor risiko penyakit cacingan
(manusia dan hewan) yang mengandung pada anak, namun lebih kepada aktifitas
telur cacing (Umar, 2008). fisik (bermain) anak yang tinggi dan
Keberadaan sumber air bersih cenderung untuk melakukan kontak
sebagai air konsumsi harian juga harus dengan tanah (Faridan, 2013). Jika anak
dipastikan kelayakannya (Astuty dkk, memiliki perilaku kebersihan diri yang
2012). Air yang baik adalah tidak kurang baik, maka hal tersebut
berbau, berwarna, berasa, dan terjaga menjadikan anak dapat terinfeksi
dari kotoran hewan yang bisa saja penyakit cacingan (Sumanto, 2010).
membawa penyebab penyakit seperti Pada kuesioner nomer 8 dan 9,
telur dan larva cacing (Ginting, 2008). persentase jawaban benar responden
sebesar 25%. Hal ini dapat disimpulkan
Sanitasi Makanan Dan Minuman bahwa sebagian besar wali murid SDN
Pada kuesioner nomer 7, 1, 2, 3, dan 4 Mulyoagung belum
persentase jawaban benar responden mengetahui kapan waktu yang tepat bagi
sebesar 33%. Dari hasil tersebut dapat anak untuk mencuci tangan. Perilaku
disimpulkan bahwa 77% wali murid mencuci tangan merupakan faktor risiko
SDN 1, 2, 3, dan 4 Mulyoagung belum dari penyakit cacingan (Umar, 2008).
mengetahui bahwa sayur yang hanya Kontak dengan tanah yang
dicuci tidak dapat menghilangkan terkontaminasi dengan telur cacing,
seluruh cacing didalamnya. Penyakit tanpa disertai perilaku mencuci tangan
7
Hanif, Gambaran Pengetahuan Penyakit Cacingan (Helminthiasis) Pada Wali Murid SDN 1, 2, 3,
dan 4 Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur

sebelum makan, setelah BAB, dan (2012) mengatakan bahwa pada negara
setelah bermain diluar rumah sering yang tidak memiliki iklim tropis, telur
menjadi cara penularan penyakit dan larva cacing akan sulit berkembang
cacingan (Pasaribu, 2005). biak.
WHO (2014) memberikan Peningkatan angka prevalensi
instruksi agar mencuci tangan sebelum kejadian penyakit cacingan terjadi saat
makan dan setelah keluar rumah musim hujan, dimana curah hujan yang
(bermain di luar rumah) untuk tinggi diikuti oleh kenaikan suhu udara
pencegahan terhadap infeksi cacingan dan tanah, sehingga mempercepat
diutamakan menggunakan sabun. proses perkembangbiakan cacing
Faktor risiko lainnya selain parasit (Sembiring, 2012).
mencuci tangan adalah melalui perilaku
menjaga kebersihan kuku (Umar, 2008). Gejala dan Tanda Penyakit Cacingan
Anak memiliki kecenderungan kontak Gejala Penyakit Cacingan
dengan tanah yang terkontaminasi Pada kuesioner nomer 13 dan
dengan telur cacing memungkinkan 17, persentase jawaban benar responden
adanya telur dan larva cacing pada kuku sebesar 41%. Hal ini disimpulkan bahwa
tersebut (Pasaribu, 2005). wali murid SDN 1, 2, 3, dan 4
Pada kuesioner nomer 10, Mulyoagung sebagian telah mengetahui
persentase jawaban benar responden gejala anak yang menderita penyakit
sebesar 79%. Hal ini dapat disimpulkan cacingan seperti lemah dan lesu, serta
bahwa sebagian besar wali murid SDN memiliki kondisi fisik seperti anak yang
1, 2, 3, dan 4 Mulyoagung telah menderita kekurangan gizi.
mengetahui bahwa bermain diluar Anak yang menderita
rumah tanpa menggunakan alas kaki helminthiasis biasanya lesu, tidak
dapat menjadi faktor risiko terkena bergairah, dan kurang konsentrasi
penyakit cacingan. Anak-anak memiliki belajar (Umar, 2008). Hal tersebut
kecenderungan untuk bermain diluar dikarenakan penderita penyakit cacingan
rumah pada lingkungan tanah terbuka mengalami anemia atau kondisi
tanpa menggunakan alas kaki, sehingga kekurangan darah (Sumanto, 2010).
rentan terinfeksi STH (Sumanto, 2010). Anemia yang terjadi dikarenakan cacing
DEPKES RI (2008) memaparkan bahwa dalam usus menghisap darah
cacing yang hidupnya di tanah dapat penderitanya, sehingga dalam kondisi
menembus kulit anak-anak. yang parah menyebabkan kekurangan
darah (Ginting, 2008). Jika dilihat dari
Iklim dan Cuaca dampak jangka panjangnya, infeksi
Pada kuesioner nomer 11 dan cacingan menimbulkan kerugian yang
12, persentase jawaban benar responden besar bagi penderita dan keluarga,
sebesar 37%. Hal ini dapat disimpulkan seperti keadaan lemah dan lesu
bahwa sebagian besar wali murid SDN (Herdiman, 2007).
1, 2, 3, dan 4 Mulyoagung belum Helminthiasis merupakan
mengetahui bahwa iklim tropis dan penyakit yang diakibatkan oleh cacing
musim penghujan dapat menjadi faktor dengan prevalensi tinggi, tidak
risiko penyakit cacingan. mematikan tetapi menggerogoti
Menurut Sumanto (2010), kesehatan tubuh manusia sehingga
bahwa penyakit cacingan tidak mudah berakibat menurunnya kondisi gizi, dan
menular di seluruh dunia dan hanya paling banyak menyerang anak-anak
mudah menular pada negara dengan usia sekolah dasar (Umar, 2008). Pada
iklim tropis, karena cacing penyebab kondisi yang lanjut, infeksi cacingan
infeksi cacingan lebih banyak menyebabkan suatu kondisi berupa
ditemukan di daerah lembab dan panas, kekurangan gizi, berupa protein dan
atau beriklim tropis seperti Indonesia karbohidrat (DEPKES RI, 2004).
dan negara tropis lainnya. Sembiring
8
Jurnal Preventia, Vol ... No ... Juli 2017

Tanda Penyakit Cacingan anak-anak. DEPKES RI (2008)


Pada kuesioner nomer 14, 15, memaparkan bahwa proses masuknya
dan 16, persentase jawaban benar cacing dari tanah bisa terjadi karena
responden sebesar 45%. Hal ini dapat cacing di tanah dapat menembus kulit
disimpulkan bahwa wali murid SDN 1, anak-anak saat bermain di tanah terbuka
2, 3, dan 4 Mulyoagung sebagian besar tanpa menggunakan alas kaki.
belum mengetahui tanda pada anak yang Pada kuesioner item nomer 2, 4,
menderita penyakit cacingan. dan 18, persentase jawaban benar
Sembiring (2012) mengatakan responden sebesar 48%. Hal ini dapat
bahwa larva cacing di paru-paru dapat disimpulkan bahwa sebagian besar dari
menembus dinding pembuluh darah, lalu wali murid SDN 1, 2, 3, dan 4
dinding alveolus, masuk rongga Mulyoagung belum mengetahui
alveolus, kemudian naik ke trakea mekanisme telur dan larva cacing masuk
melalui bronkiolus dan bronkus, kedalam organ pernafasan, serta dahak
sehingga menimbulkan rangsangan pada dapat mengandung telur dan larva
faring dan merangsang penderita cacing.
mengalami batuk yang berlangsung Ginting (2008) mengatakan
lama. Hal ini sejalan dengan apa yang bahwa cacing yang menembus kulit
dikatakan oleh Umar (2008) bahwa akan masuk ke aliran darah, lalu menuju
gejala infeksi cacingan adalah batuk jantung kanan, kemudian ke paru-paru,
yang berlangsung lama. dan berkembang biak di paru-paru lalu
Sumanto (2010) mengatakan menuju usus halus saat dewasa. Setelah
bahwa cacing ini menghisap darah telur menetas di dalam paru-paru, larva
penderitanya, sehingga dapat cacing akan naik untuk berimigrasi
menyebabkan anemia. Infeksi cacingan kembali ke usus halus, dimana pada
dapat menyebabkan kehilangan darah kondisi ini penderita akan mengalami
secara perlahan akibatnya pederita batuk disertai dahak yang berdarah dan
mengalami kondisi kekurangan darah kadang berisi larva cacing yang dapat
merah atau anemia (DEPKES RI, 2004). hidup hingga 8 hari pada kondisi
Kondisi tersebut menyebabkan anak lembab (WHO, 2016).
yang menderita helminthiasis biasanya Pada item kuesioner nomer 19,
lesu, tidak bergairah, dan kurang persentase jawaban benar responden
konsentrasi belajar (Umar, 2008). sebesar 54%. Hasil ini dapat
Infeksi faring menyebabkan disimpulkan bahwa wali murid SDN 1,
batuk berlangsung lama (Sembiring, 2, 3, dan 4 Mulyoagung sebagian besar
2012) dan infeksi usus akibat cacing telah mengetahui bahwa bermain
menghisap darah pada dinding usus bersama anak penderita cacingan tidak
penderita (Sumanto, 2010), dapat tertularkan penyakit cacingan.
menyebabkan anak mengalami suhu STH adalah penyakit yang ditularkan
tubuh yang meningkat. Sehingga pada melalui tanah yang dapat disebarkan
anak yang menderita penyakit cacingan melalui hewan, makanan dan minuman
lanjut, akan mengalami suhu tubuh yang serta perilaku kebersihan diri yang buruk
panas. (Umar, 2008).

Patofisiologi atau Penularan Penyakit Penatalaksanaan Penyakit Cacingan


Cacingan Penentuan Diagnosis
Pada kuesioner nomer 3, Pada kuesioner nomer 20,
persentase jawaban benar responden persentase jawaban benar responden
sebesar 63%. Hasil tersebut dapat sebesar 34%. Hal ini disimpulkan bahwa
disimpulkan bahwa sebagian besar wali sebagian besar wali murid SDN 1, 2, 3,
murid SDN 1, 2, 3, dan 4 Mulyoagung dan 4 Mulyoagung cenderung belum
telah mengetahui bahwa cacing dan telur mengetahui bahwa uji laboratorium
cacing dapat masuk menembus kulit
9
Hanif, Gambaran Pengetahuan Penyakit Cacingan (Helminthiasis) Pada Wali Murid SDN 1, 2, 3,
dan 4 Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur

darah bukanlah teknik diagnosis pengetahuan penyakit cacingan


penyakit cacingan. (helminthiasis) pada wali murid SDN 1,
Sandjaja (2007) mengatakan 2, 3, dan 4 Mulyoagung, Kecamatan
jika diagnosa cacingan dapat ditegakkan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur
dengan menemukan telur cacing dan secara umum adalah kurang. Hasil ini
cacing dewasa melalui kotoran. Pasaribu diperoleh dari hasil perhitungan rata-rata
(2005) menambahkan jika diagnosis skor responden yakni sebesar 45,81.
cacingan dapat ditegakkan melalui Rentang skor responden paling rendah
pemeriksaan kualitatif telur cacing pada adalah 18 (benar 4) dan skor paling
sediaan tinja segar. tinggi adalah 68 (benar 15), serta skor
paling banyak adalah 50 (benar 11)
Pengobatan sebanyak 59 responden.
Pada kuesioner nomer 21, Hasil tersebut jika dilihat
persentase jawaban benar responden berdasarkan tingkat pengetahuan
sebesar 50%. Hal ini disimpulkan bahwa responden pada aspek penyebab
separuh dari wali murid SDN 1, 2, 3, penyakit cacingan, responden memiliki
dan 4 Mulyoagung sebagian telah pengetahuan cukup baik, dengan
mengetahui bahwa untuk mendapatkan persentase jawaban benar sebesar
obat cacing di apotek tidak diharuskan 58,7%, pada aspek faktor risiko penyakit
menggunakan resep dari dokter. cacingan, responden memiliki
Pengobatan penyakit cacingan pengetahuan kurang, dengan persentase
dapat berbeda-beda tergantung jenis jawaban benar sebesar 46,3%, pada
cacing yang menyebabkan penyakit aspek gejala dan tanda penyakit
(Sembiring, 2012). Untuk Obat berupa cacingan, responden memiliki
Mebendazol, Pirantel Pamoat, pengetahuan kurang, dengan persentase
Levamisol, dan Piperazin yang jawaban benar sebesar 50,5%, pada
diperuntukkan obat cacing secara umum aspek patofisiologi atau penularan
dapat dibeli di apotek pada berbagai penyakit cacingan, responden memiliki
macam merk dagang, namun pada kasus pengetahuan cukup baik, dengan
cacing pita memerlukan terapi dengan persentase jawaban benar sebesar 57%,
golongan obat keras yang hanya dapat pada aspek penatalaksanaan penyakit
diperoleh dengan resep dokter (BPOM cacingan responden memiliki
RI, 2012). Hotez dkk (2013) pengetahuan kurang, dengan persentase
mengatakan bahwa Major Global jawaban benar sebesar 42%, dan pada
Helminthic Desease Control Initiatives aspek pencegahan penyakit cacingan,
memiliki target pemenuhan obat responden memiliki pengetahuan
cacingan pada anak berupa albendazole kurang, dengan persentase jawaban
dan mebendazole pada tahun 2020. benar sebesar 9%.

Pencegahan Penyakit Cacingan SARAN


Pada kuesioner nomer 22, Perlu dilakukan sosialisasi dan
persentase jawaban benar responden promosi kesehatan untuk meningkatkan
sebesar 9%. Hal ini dapat disimpulkan pengetahuan penyakit cacingan di
bahwa hanya sedikit wali murid SDN 1, Kecamatan Dau, dengan sasaran
2, 3, dan 4 Mulyoagung yang khususnya kepada orang tua yang
mengetahui bahwa mencuci piring memiliki anak usia dibawah 12 tahun.
makan dapat mencegah terjangkitnya Kemudian perlu dilakukan pelatihan
penyakit cacingan. perilaku hidup bersih dan sehat untuk
anak sekolah se-Kecamatan Dau dan
KESIMPULAN pengawasan fasilitas penunjang perilaku
Berdasarkan hasil dan hidup bersih dan sehat tersebut di
pembahasan penelitian, maka dapat sekolah dasar se-Kecamatan Dau.
diambil kesimpulan bahwa gambaran
10
Jurnal Preventia, Vol ... No ... Juli 2017

Perlu adanya pengadaan fasilitas untuk Penyakit Pencernaan Ditjen


cuci tangan beserta sabun untuk cuci PPM & PLP Depkes RI.
tangan di setiap kelas, kantin sekolah, Departemen Kesehatan RI. 2005.
dan toilet. Kemudian perlu dilakukan Laporan Hasil Survei
pelarangan pedagang jajanan dari luar Morbiditas Cacingan Tahun
sekolah untuk berjualan di lingkungan 2005. Jakarta: Subdit Diare dan
sekolah serta meningkatkan kebersihan Penyakit Pencernaan Ditjen
dan kesehatan makanan dan minuman PPM & PLP Depkes RI.
yang dijual di kantin sekolah. Depkes RI. 2006. Profil Kesehatan
Perlu menempatkan mahasiswa Indonesia. (Online), (Error!
PBL komunitas di Kecamatan Dau, Hyperlink reference not
khususnya di Desa Mulyoagung dan valid.) diakses 19 Januari 2015.
melakukan kerjasama instansi dengan Depkes RI. 2008. Profil Kesehatan
Puskesmas Dau dalam promosi Indonesia. (Online), (Error!
kesehatan penyakit cacingan baik Hyperlink reference not
kepada orang tua maupun anak di valid.) diakses 20 September
sekolah dasar di Kecamatan Dau, 2016.
Kabupaten Malang, Jawa Timur. Faridan K, dkk. 2013. Faktor-faktor
Perlu adanya penelitian yang berhubungan dengan
mengenai angka kejadian penyakit kejadian kecacingan pada sisa
cacingan khususnya di Desa Sekolah Dasar Negeri Cempaka
Mulyoagung dan umunya di Kecamatan 1 Kota Banjarbaru. (Online),
Dau. (http://ejournal.litbang.depkes.g
o.id/index.php/buski/article
DAFTAR RUJUKAN /view/3229/3200) diakses 17
Andarumi, A. 2010. Gambaran Faktor- Juli 2016.
faktor Penyebab Infeksi Ginting, A. 2008. Faktor-Faktor Yang
Cacingan pada anak di SDN 01 Berhubungan Dengan Kejadian
Pasirlangu Cisarua. Bogor. Kecacingan Pada Anak Sekolah
(Online), (Error! Hyperlink Dasar Di Desa Tertinggal
reference not valid.) diakses 29 Kecamatan Pangaruran
Oktober 2016. Kabupaten Samosir. (Online),
Arikunto, S. 2007. Prosedur Penelitian (Error! Hyperlink reference
Suatu Pendekatan Praktik edisi not valid.) diakses 22 Agustus
revisi VI. Jakarta: Rineka Cipta. 2016.
Astuty H, Mulyati, dan Winita. 2012. Ginting, SA. 2003. Hubungan Antara
Upaya Pemberantasan Status Sosial Ekonomi
Kecacingan di Sekolah Dasar. DenganKejadian Kecacingan
Makara, Jurnal Kesehatan, Vol. Pada Anak Sekolah Dasar Di
16, No. 2 hal:65-71. Jakarta: Desa Suka Kecamatan Tiga
Departemen Parasitologi, Panah Kabupaten Karo Sumatra
Fakultas Kedokteran, Utara. (Online), (Error!
Universitas Indonesia. Hyperlink reference not
BADAN POM RI. 2012. Seri valid.) diakses 27 September
Swamedikasi 4 “Obat 2016.
Kecacingan”. (Online), Herdiman. 2007. Penyakit Cacingan
(http://bpom.go.id) diakses 2 Yang Ditularkan Melalui Tanah.
November 2016. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu
Departemen Kesehatan RI. 2004. Penyakit Dalam FKUI.
Pedoman Umum Program Hotez P.J, et al. 2008. Helminth
Nasional Pemberantasan Infections: The Great Neglacted
Cacingan di Era Desentralisi. Tropical Deseases. (Online),
Jakarta: Subdit Diare dan (http://search.proquest.com/docv
11
Hanif, Gambaran Pengetahuan Penyakit Cacingan (Helminthiasis) Pada Wali Murid SDN 1, 2, 3,
dan 4 Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur

iew/200561377/ http://eprints.undip.ac.id/23985/
fulltextPDF/B5CC6ECF10D740 1/DIDIK_SUMANTO.pdf
FFPQ/20?accountid38628)diaks diakses 22 Desember 2015.
es 16 April 2017. Umar, Z. 2008. Perilaku Cuci Tangan
Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku Sebelum Makan Dan
Kesehatan. Jakarta: Rineka Kecacingan Pada Murid SD di
Cipta. Kabupaten Pesisir Selatan
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Sumatra Barat. Jurnal
Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan Masyarakat Nasional
Kesehatan. Jakarta: Rineka vol.2 no.6 Juni 2008.
Cipta. UNDP. 2011. Human Development
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Index. (Online), (Error!
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Hyperlink reference not
Rineka Cipta. valid.) diakses 6 Oktober 2016.
Pasaribu, HER. 2005. Perbandingan WHO. 2011. Worm Control. (Online),
Penyuluhan Kesehatan Metode (http://www.who.int/mediacentr
Ceramah Tanya Jawab Dengan e /factsheets/fs366/en) diakses
Penyuluhan Kesehatan 16 September 2016.
Menggunakan Buku Kecacingan WHO. 2011. International Conference
Dalam Mencegah Reinfeksi of Social Determinants of
Ascaris lumbricoides Pada Anak Health. (Online),
Sekolah Dasar. (Online), (http://www.who.int/social_dete
(http://eprints.undip.ac.id/17659/ rminants/Background-paper-
1/Hotber_ER_ Pasaribu.pdf) final.pdf) diakses 13 April 2017.
diakses 20 Oktober 2016. WHO. 2014. Intestinal Worm. (Online),
Sandjaya B. 2007. Helminthologi (http://www.who.int/intestinal
Kesehatan. Jakarta; Prestasi worms
Pustaka. /resources/en/ppc_unicef_finalre
Sembiring, B. 2012. Pengaruh Sosio port.pdf) diakses 1 November
Budaya Dan Dukungan 2016.
Keluarga Terhadap Pencegahan WHO. 2016. Soil Transmitted Helminths
Infeksi Kecacingan Pada Anak Infection. (Online), (Error!
Sekolah Dasar Negeri 05 Di Hyperlink reference not
Kecamatan Kuala Kabupaten valid.) diakses 16 September
Langkat. (Online), (Error! 2016.
Hyperlink reference not WHO. 2017. Ottawa Charter, The First
valid.) diakses 10 September International Conference of
2016. Health. (Online),
Sumanto, D. 2010. Faktor Risiko Infeksi (http://www.who.int/healthprom
Cacing Tambang Pada Anak otion/conferences /previous
Sekolah (Studi kasus kontrol di /ottawa/en/) diakses 13 April
Desa Rejosari, Karangawen, 2017
Demak). (Online),

You might also like