You are on page 1of 65

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DAN PERSONAL HYGIENE

DENGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH)


PADA ANAK USIA SEKOLAH DI KECAMATAN KOTO TANGAH
KOTA PADANG

Skripsi
Diajukan ke Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Sebagai Pemenuhan Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan
Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh

TEGUH IMANA NUGRAHA


NIM: 1410312045

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
ABSTRACT

THE RELATION BETWEEN


ENVIRONMENTAL SANITATION AND PERSONAL HYGIENE
WITH SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) INFECTIONS
IN SCHOOL-AGED CHILDREN’S IN KOTO TANGAH, PADANG

By
Teguh Imana Nugraha

Soil Transmitted Helminths infections was one of the health problems in


Indonesia. Environmental sanitation and poor personal hygiene were the main
factors of this diseases. The government has made various efforts to eradicates
this diseases, but in the facts, some Indonesian peoples were still suffered this
infections, especially in school-aged children’s. The purpose of this study was to
determine the relation between environmental sanitation and personal hygiene,
such as hand washing, nail cleanliness, and footwear’s using habit’s with the Soil
Transmitted Helminths (STH) infections.
This study used an observational analytic design method of cross-sectional
study for school-aged children’s in Koto Tangah which were the students of
Siaga’s kindergarten and the first grade students of forty eight elementary school
from February until August in 2018. The samples of this study was sixty one
school-aged children’s through total sampling technique. The data were obtains
through laboratory tests, interviews, and observations using a questionnaires.
Bivariate analysis was done by using Chi-square test with the confidence interval
of 95% at the significance level of 5% (α=0.05).
The result of this study showed that the rate of Soil Transmitted Helminths
infection was 4.9%. The infection rates of each Helminths types were
Roundworms 4.9%, Whipworms 1.6% and Hookworms 0%. The statistical test
indicates probabilities for the relation between the variable of environmental
sanitation, hand washing, nail cleanliness, and footwear’s using habits with STH
infections were 0.551, 0.455, 0.226, and 0.100 respectively.
It can be concluded that there are no significant relation between
environmental sanitation and personal hygienes (hand washing, nail cleanliness,
and footwear’s using habit’s) with STH infections in school-aged children’s in
Koto Tangah, Padang.

Keywords : Soil Transmitted Helminths infections, environmental sanitation,


personal hygiene

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


ABSTRAK
HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DAN PERSONAL HYGIENE
DENGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH)
PADA ANAK USIA SEKOLAH DI KECAMATAN KOTO TANGAH
KOTA PADANG

Oleh
Teguh Imana Nugraha

Infeksi Soil Transmitted Helminths merupakan salah satu permasalahan


kesehatan masyarakat di Indonesia. Keadaan sanitasi lingkungan dan personal
hygiene yang buruk, merupakan dua faktor utama penyebab penyakit ini.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya pemberantasan, namun pada
kenyataannya masih banyak masyarakat Indonesia yang menderita penyakit ini
terutama di kalangan anak usia sekolah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara sanitasi lingkungan dan personal hygiene yaitu
kebiasaan mencuci tangan, kebersihan kuku, dan penggunaan alas kaki dengan
infeksi Soil Transmitted Helminths (STH).
Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan metode
cross-sectional pada anak usia sekolah yang merupakan siswa TK Siaga dan SDN
48 Ganting kelas I di Kecamatan Koto Tangah sebanyak 61 orang yang
dilaksanakan pada bulan Februari sampai Agustus 2018. Pengambilan sampel
menggunakan teknik total sampling. Instrumen penelitian adalah kuesioner
(pedoman wawancara) dan alat pemeriksaan laboratorium (parasitologi). Analisa
data menggunakan metode Chi-square Test dengan derajat kepercayaan (CI) 95%.
Hasil penelitian menunjukkan angka infeksi STH sebesar 4.9%, dengan
rincian infeksi A.lumbricodes 4.9%, infeksi T.trichiura 1.6% dan infeksi cacing
tambang 0%. Dari hasil uji statistic didapatkan nilai probabilitas untuk hubungan
variabel sanitasi lingkungan, kebiasaan mencuci tangan, kebersihan kuku, dan
penggunaan alas dengan infeksi STH masing – masing sebesar 0.551, 0.455,
0.226, dan 0.100.
Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
sanitasi lingkungan dan personal hygiene (kebiasaan mencuci tangan, kebersihan
kuku, dan penggunaan alas kaki) dengan infeksi STH pada anak usia sekolah di
Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.

Kata kunci : Soil Transmitted Helminths, sanitasi lingkungan, personal hygiene.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 185 Tahun 2014 tentang
Percepatan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi (PPAMS), sanitasi merupakan
suatu upaya yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya kondisi yang memenuhi
persyaratan kesehatan. Sanitasi meliputi pelayanan air limbah, persampahan,
drainase, kesehatan, kebersihan, dan merupakan salah satu aspek pembangunan
yang memiliki fungsi penting dalam menunjang tingkat kesejahteraan
masyarakat.1
Berdasarkan data World Health Organization/UNICEF’s Joint Monitoring
Programme for Water Supply and Sanitation tahun 2014, Indonesia
menempati urutan ke-3 teratas sebagai negara dengan sanitasi yang buruk di
dunia. Hal ini dikarenakan masih terdapat 109 juta penduduk Indonesia yang tidak
mendapatkan akses sanitasi yang layak, serta masih banyaknya buang air besar
sembarangan. Sanitasi lingkungan berkaitan dengan kesehatan, pola hidup,
kondisi lingkungan permukiman, estetika, dan personal hygiene perorangan.2
Personal hygiene atau higiene perorangan merupakan kebersihan diri
sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik secara fisik
maupun psikologis.3 Tujuan dari personal hygiene adalah memperbaiki kebersihan
diri, mencegah penyakit, meningkatkan kepercayaan diri dan menciptakan
keindahan. Seseorang dikatakan memiliki kebersihan diri apabila telah menjaga
kebersihan tubuh yang meliputi kebersihan kulit, gigi, mulut, rambut, mata,
hidung, telinga, tangan, kaki, kuku, kebersihan genitalia, dan kerapian
pakaiannya.4
Penerapan sanitasi lingkungan dan personal hygiene yang buruk, serta
didukung oleh keadaan iklim tropis di Indonesia yang memiliki kelembaban udara
tinggi, akan menyebabkan Soil Transmitted Helminths (STH) yaitu penyakit
kecacingan yang ditularkan melalui tanah berkembang dengan baik.5 Terdapat tiga
jenis Soil Transmitted Helminths (STH) yaitu cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus).6

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun
2018, lebih dari 1,5 milyar orang atau sekitar 24% penduduk dunia terinfeksi
STH, dimana angka kejadian terbesar berada di sub-Sahara Afrika, Amerika,
China dan Asia Timur. Lebih dari 267 juta anak usia pra-sekolah dan 568 juta
anak usia sekolah bertempat tinggal di daerah yang beresiko dimana parasit ini
mudah tertular dan membutuhkan pengobatan serta langkah pencegahan.7
Anak usia sekolah merupakan generasi penerus yang diharapkan bangsa
dapat tumbuh, berkembang, dan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas
di masa depan. Jika terinfeksi kecacingan, maka anak akan mengalami gangguan
konsentrasi belajar dan gangguan tumbuh kembang yang mempengaruhi
kemampuan anak dalam menerima pelajaran sekolahnya.8 Infeksi kecacingan
dapat menyebabkan penurunan kesehatan, gizi, dan produktivitas pada penderita.
Morbiditas penyakit berhubungan dengan jumlah cacing yang menginfeksi tubuh.
Infeksi yang ringan belum menimbulkan gejala, sedangkan infeksi yang lebih
berat dapat menyebabkan gejala berupa diare, sakit perut, lesu, kelemahan,
gangguan kognitif, dan perkembangan fisik.7
Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia berdasarkan laporan survei
Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan (P2LP) tahun 2015 adalah sebesar
28,12%.9 Padahal pemerintah telah menetapkan target untuk menurunkan
prevalensi penyakit kecacingan menjadi <20% pada tahun tersebut. Ditinjau dari
profil Dinas Kesehatan Kota Padang dari tahun 2012 sampai 2015, angka kejadian
penyakit kecacingan yang dialami masih dalam taraf intensitas yang tinggi.
Jumlah penderita kecacingan pada tahun 2012, 2013, 2014, dan 2015 adalah
sebanyak 533, 1331, 1250, dan 776 kasus. Dari 11 kecamatan yang ada di Kota
Padang, angka kejadian kecacingan tertinggi pada tiga tahun terakhir ini berada di
Kecamatan Koto Tangah, yaitu sebanyak 690 kasus, 663 kasus, 341 kasus pada
tahun 2013, 2014 dan 2015 dengan penderita terbanyak merupakan anak usia
sekolah.10
Data penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh Azika (2016)
pada 60 siswa di SDN 31 Pasir Kandang, Koto Tangah, mendapatkan hasil yang
positif terinfeksi STH adalah sebanyak 31 orang (51.7%).11 Penelitian lain yang
dilakukan oleh Agustina (2016) pada 81 siswa di SDN 27 Anak Air, Koto

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


Tangah, sebanyak 13 orang (16.05%) positif ditemukan telur Soil Transmitted
Helminths (STH) pada potongan kuku jari tangan mereka.12
TK Siaga dan Sekolah Dasar Negeri 48 Ganting adalah salah satu taman
kanak-kanak dan sekolah dasar yang berada di dalam kawasan kecamatan Koto
Tangah. Sekolah ini berada di daerah perkampungan yang berbatasan langsung
dengan pantai. Lingkungan sekolah yang diapit oleh rumah-rumah pemukiman
penduduk dengan luas tanah yang relatif sempit. Sarana dan prasarana mencuci
tangan masih sedikit dan tidak semuanya bisa digunakan dengan baik. Selain itu,
selokan di lingkungan sekolah tersumbat dan sampah berserakan di jalan.
Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kota Padang, sekitar 40% siswa berasal
dari keluarga miskin. Kondisi tersebut memungkinkan telur STH untuk dapat
berkembang dengan baik.7
Pengendalian penyakit kecacingan merupakan tindakan utama yang
bertujuan untuk menurunkan prevalensi penyakit ini dalam rangka mewujudkan
Indonesia sehat dan peningkatan mutu sumber daya manusia. Langkah utama
untuk mengendalikan penyakit kecacingan adalah dengan memutuskan mata
rantai lingkungan hidup cacing yang dapat dilakukan pada tingkatan cacing dalam
tubuh manusia, lingkungan fisik, lingkungan sosial ekonomi dan budaya. 13
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam pemberantasan penyakit ini,
diantaranya melalui promosi kesehatan, surveilans kecacingan, pengendalian
faktor resiko, penanganan penderita, dan pemberian obat pencegahan massal
(POPM). Pada bulan Oktober 2017 lalu, pemerintah telah melakukan pemberian
obat filariasis massal ke seluruh siswa sekolah dasar, dimana obat ini berefek
dalam mematikan semua jenis cacing termasuk STH yang diperiksa. Namun, pada
kenyataannya masih banyak masyarakat Indonesia yang menderita penyakit ini.14
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas dan masih didapatkannya
prevalensi kecacingan yang cukup tinggi dari hasil penelitian terdahulu, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “hubungan sanitasi
lingkungan dan personal hygiene dengan infeksi Soil Transmitted Helminths
(STH) pada anak usia sekolah di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Bagaimana hubungan sanitasi lingkungan dan personal
hygiene dengan infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) pada anak usia sekolah
di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan
dan personal hygiene (kebiasaan mencuci tangan, kebersihan kuku, dan
penggunaan alas kaki) dengan infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) pada
anak usia sekolah di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui gambaran infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) pada
anak usia sekolah di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
2. Mengetahui distribusi frekuensi sanitasi lingkungan pada anak usia
sekolah di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
3. Mengetahui distribusi frekuensi personal hygiene (kebiasaan mencuci
tangan, kebersihan kuku, dan penggunaan alas kaki) pada anak usia
sekolah di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
4. Mengetahui hubungan antara sanitasi lingkungan dengan infeksi Soil
Transmitted Helminths (STH) pada anak usia sekolah di Kecamatan
Koto Tangah Kota Padang.
5. Mengetahui hubungan antara personal hygiene (kebiasaan mencuci
tangan, kebersihan kuku, dan penggunaan alas kaki) dengan infeksi Soil
Transmitted Helminths (STH) pada anak usia sekolah di Kecamatan
Koto Tangah Kota Padang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan
Sebagai bahan informasi dalam upaya melakukan pencegahan penyakit
kecacingan, terutama pada anak usia sekolah.
1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat
1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai faktor risiko yang
berpengaruh terhadap kejadian infeksi kecacingan.
2. Memberikan edukasi kepada masyarakat untuk memperbaiki dan
meningkatan mutu sanitasi lingkungan.
3. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya infeksi penyakit
kecacingan, khususnya pada anak-anak yang terinfeksi.
1.4.3 Manfaat Bagi Institusi
1. Mewujudkan Universitas Andalas sebagai universitas riset.
2. Mewujudkan tujuan mulia FK UNAND sebagai pusat pendidikan yang
mengabdi pada masyarakat.
1.4.4 Manfaat Bagi Peneliti
1. Sebagai sarana pembelajaran dalam menyusun dan melakukan
penelitian dalam bidang kesehatan.
2. Mengembangkan kemampuan berpikir analitis dan sistematis dalam
mengidentifikasi masalah kesehatan di masyarkat.
3. Mendapatkan ilmu pengetahuan yang komprehensif mengenai sanitasi
lingkungan, personal hygiene, dan infeksi Soil Transmitted Helminths
(STH) beserta efek yang akan ditimbulkan.
4. Sebagai pemenuhan salah satu syarat bagi peneliti untuk mendapatkan
gelar sarjana kedokteran.
5. Memampukan peneliti memiliki salah satu kriteria seven stars doctor,
yaitu research.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Soil Transmitted Helminths (STH)


2.1.1 Ascaris lumbricoides15
a. Taksonomi A.lumbricoides:
Phylum : Nemathelminthes
Sub phylum : Ascaridoidea
Ordo : Ascaridida
Family : Ascaridae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides
b. Epidemiologi
A.lumbricoides merupakan jenis cacing terbanyak yang
menyebabkan infeksi pada manusia. Penyakit yang disebabkan oleh
cacing jenis ini disebut Ascariasis dan merupakan penyakit kedua
terbesar yang disebabkan oleh infeksi parasit.16
Angka kejadian infeksi A.lumbricoides cukup tinggi pada negara
berkembang seperti Indonesia dibandingkan dengan negara maju.17
Tingginya angka kejadian Ascariasis disebabkan oleh banyaknya telur
yang dihasilkan dan daya tahan yang kondusif untuk perkembangannya
ditanah. Parasit ini lebih banyak ditemukan di tanah liat dengan
kelembaban yang tinggi pada suhu 25°- 30°C.16,17
Telur A. lumbricoides akan mati pada suhu diatas 40° C
sedangkan suhu dingin tidak mempengaruhinya.17 Telur tersebut tahan
terhadap desinfektan dan rendaman yang bersifat sementara oleh
berbagai bahan kimiawi keras.18
Infeksi A. lumbricoides dialami oleh semua usia, namun
cenderung menyerang anak usia 5-9 tahun dengan frekuensi kejadian
yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bayi yang menderita
Ascariasis, kemungkinan terinfeksi dari tangan ibunya yang tercemar
oleh larva infektif. 19

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


Prevalensi A. lumbricoides ditemukan tinggi di beberapa pulau
di Indonesia yaitu Nusa Tenggara Barat (92%), Jawa Barat (90%)
Sulawesi (88%), Kalimantan (79%), dan Sumatera (78%).16
c. Morfologi
Secara umum, cacing A.lumbricoides berwarna merah dan
berbentuk silinder. Cacing jantan berukuran lebih kecil daripada cacing
betina. Pada stadium dewasa, cacing ini akan hidup dan berkembang di
dalam rongga usus kecil.16
Tabel 2.1 Karakteristik A.lumbricoides
Karakteristik A.lumbricoides
Ukuran cacing dewasa
1. Jantan 1. Panjang 15-30 cm, lebar 0,2-0,4
cm
2. Betina 2. Panjang 20-35 cm, lebar 0,3-0,6
cm

Umur cacing dewasa 1-2 tahun


Lokasi cacing dewasa Usus halus
Ukuran telur Panjang 60-70 μm, lebar 40-50 μm
Jumlah telur/cacing ± 200.000 telur
betina/hari
Dikutip: Buku Ajar Parasitologi Kedokteran UI20
Cacing dewasa hidup dalam jangka waktu ± 10-24 bulan.
Cacing dewasa dilindungi oleh pembungkus keras yang kaya akan
kolagen dan lipid serta menghasilkan enzim protease inhibitor yang
berfungsi untuk melindungi cacing agar tidak tercerna di dalam sistem
pencernaan manusia.21 Cacing tersebut memiliki sel-sel otot somatik
yang besar dan memanjang sehingga mampu mempertahankan
posisinya di dalam usus kecil. Jika otot somatik tersebut lumpuh oleh
obat cacing, cacing akan keluar melalui anus karena gerakan peristaltik
usus.22

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


Gambar 2.1 A. lumbricoides betina dan jantan
Dikutip : Atlas Berwarna Parasitologi Klinik23

Cacing betina mampu bertahan hidup selama 1-2 tahun dengan


memproduksi 26 juta telur selama hidupnya sebanyak 100.000- 200.000
butir telur per hari yang terdiri dari telur yang telah dibuahi (fertilized),
yang tidak dibuahi (unfertilized), maupun telur dekortikasi.18 Telur
dekortikasi adalah telur A. lumbricoides yang telah dibuahi namun
kehilangan lapisan albuminoid.19

Gambar 2.2 Telur cacing A. Lumbricoides fertilized dan unfertilized


Dikutip : Buku Medical Parasitology21

Telur yang telah dibuahi berbentuk bulat atau oval dengan


permukaaan tidak teratur, memiliki lapisan yang tebal, berwarna kuning
kecoklatan, dan terdapat lapisan tebal albumin dan lapisan dalamnya
yang terdapat selubung vitelin tipis yang cukup kuat. Lapisan tersebut
berfungsi sebagai pelindung, sehingga telur dapat bertahan hidup di
tanah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.19
Telur yang telah dibuahi berisi embrio regular yang tidak
bersegmen. Pematangan telur atau larva dari bentuk yang tidak infektif
menjadi infektif terjadi pada lingkungan yang sesuai yakni di tanah

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


liat, dengan kelembaban tinggi dan suhu yang sesuai. 19 Kedua kutub
pada telur ini memiliki rongga yang tampak sebagai daerah yang terang
berbentuk bulan sabit.22
Telur yang tidak dibuahi adalah telur yang dihasilkan cacing
betina yang tidak subur, atau telur yang terlalu cepat dikeluarkan oleh
cacing betina subur. Bentuk telur memanjang, terkadang berbentuk
segitiga dengan lapisan tipis dan berwarna coklat berukuran 90 x 40
µm.19 Telur berwarna kecoklatan akibat pengaruh dari pigmen empedu
di saluran cerna dan tidak terdapat rongga udara.23
d. Siklus Hidup
Siklus hidup A. lumbricoides terbagi dalam 3 stadium yaitu
stadium telur, larva, dan dewasa. Siklus ini membutuhkan fase diluar
tubuh manusia (hospes) dengan atau tanpa tuan rumah perantara.19
Telur cacing yang telah dibuahi dan keluar bersama tinja
penderita akan berkembang menjadi infektif dalam waktu kurang lebih
3 bulan di tanah lembab dan suhu yang optimal. 16 Seseorang akan
terinfeksi A. lumbricoides apabila memakan makanan atau minuman
yang terkontaminasi tanah yang mengandung tinja penderita Ascariasis.

Gambar 2.3 Siklus hidup A. lumbricoides


Dikutip : Buku Ajar Parasitologi Kedokteran UI16
Larva akan menembus dinding usus halus menuju pembuluh
darah atau saluran limfe, dialirkan ke jantung, dan mengikuti aliran

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


darah sampai paru-paru. Larva yang berada di dalam paru-paru akan
menembus dinding pembuluh darah dan dinding alveolus, kemudian
naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Setelah itu, larva akan
menuju faring dan menimbulkan rangsangan yang menyebabkan
penderita batuk, selanjutnya larva akan tertelan ke dalam esofagus.
Dalam usus halus larva akan berubah menjadi cacing dewasa. Dari telur
matang tertelan sampai menjadi cacing betina dewasa bertelur,
dibutuhkan waktu kurang lebih 2-3 bulan.6
e. Patologi dan Gejala Klinis
Gejala klinis yang timbul dari Ascariasis tergantung dari
beratnya infeksi, keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan
penderita terhadap infeksi cacing ini.19 Penderita Ascariasis tidak akan
merasakan gejala (asimptomatik) ketika jumlah cacing masih sekitar
10-20 ekor didalam tubuh manusia dan gejala baru diketahui jika
dilaksanakan pemeriksaan tinja rutin ataupun keluarnya cacing dewasa
bersama dengan tinja. Gejala klinis yang timbul bervariasi, dimulai dari
gejala ringan seperti batuk sampai gejala yang berat seperti sesak nafas
dan perdarahan.16
Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis berdasarkan
migrasi larva dan perkembangbiakan cacing dewasa, yaitu:
1. Selama fase migrasi, larva A. lumbricoides di paru-paru
penderita akan membuat perdarahan kecil di dinding alveolus
dan timbul gangguan batuk dan demam. Pada foto thoraks
penderita Ascariasis akan tampak infiltrat yaitu tanda terjadi
pneumonia dan eosinofilia di daerah perifer yang disebut
sebagai sindrom Loeffler. Gambaran tersebut akan
menghilang dalam waktu 3 minggu.24 Gejala sindrom
Loeffler antara lain demam, batuk, infiltrasi paru-paru,
oedema, asma, leukositosis, dan eosinofilia.18

2. Selama fase di dalam saluran pencernaan, gejala utama


berasal dari dalam usus, migrasi ke dalam lumen usus yang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


lain atau perforasi ke dalam peritoneum.17 Cacing dewasa
yang tinggal dilipatan mukosa usus halus dapat menyebabkan
iritasi ditandai dengan gejala mual, muntah, dan sakit perut.
Perforasi cacing dewasa A. lumbricoides ke dalam
peritoneum biasanya menuju ke umbilikus pada anak
sedangkan pada dewasa mengarah ke inguinal. Cacing
dewasa A. Lumbricoides juga dapat menyebabkan obstruksi
di berbagai tempat termasuk di daerah apendiks (terjadi
apendisitis), di ampula vateri (terjadi pancreatitis
haemoragis), dan di duktus choleduchus (terjadi
cholesistitis).25 Anak yang menderita Ascariasis akan
mengalami gangguan gizi akibat malabsorpsi disebabkan
oleh cacing dewasa. A. lumbricoides dapat menyerap 2,8
gram karbohidrat dan 0,7 gram protein perhari, sehingga pada
anak-anak memperlihatkan gejala berupa perut buncit, pucat,
lesu, dan rambut yang jarang.17,26
Penderita askariasis juga dapat mengalami alergi yang
berhubungan dengan pelepasan antigen oleh A. lumbricoides dalam
darah dan kemudian merangsang sistem imun tubuh sebagai defence
mechanism dengan gejala berupa asma bronkial, urtikaria,
hipereosinofilia, dan sindrom Loeffler.27

2.1.2 Trichuris trichiura


a. Taksonomi T.trichiura:28
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub-Kelas : Aphasmida
Ordo : Enoplida
Super Famili : Trichuroidea
Famili : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


b. Epidemiologi
Infeksi cacing T.trichiura lebih sering ditemukan bersama-sama
dengan infeksi A.lumbricoides. Penyakit yang disebabkannya disebut
Trichuriasis. Cacing dewasa hidup di dalam usus besar manusia,
terutama di dalam sekum dan kolon. Selain itu, cacing ini juga
ditemukan di daerah apendiks dan ileum.16 Cacing ini bersifat
kosmopolit, terutama di daerah panas dan lembab seperti di Indonesia.
Frekuensi yang tinggi di Indonesia terdapat di daerah pedesaan berkisar
antara 30-90%.17
c. Morfologi
Panjang cacing betina kira-kira 5 cm dan cacing jantan sekitar 4
cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya sekitar 3/5
dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk
pada cacing betina bentuknya membulat tumpul, pada cacing jantan
melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon
asendens dan sekum dengan bagian anteriornya seperti cambuk yang
mempermudahnya masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina
menghasilkan telur setiap hari antara 3000-20.000 butir.16

Gambar 2.4 Trichuris trichiura dewasa betina (kiri) dan


Trichuris trichiura dewasa jantan (kanan)
Dikutip : Atlas Berwarna Parasitologi Klinik23

Tabel 2.2 Karakteristik T.trichiura


Karakterisitik Trichuris trichiura
Ukuran cacing dewasa

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


1. Jantan 1. 30-45 mm
2. Betina 2. 35-50 mm
Telur Panjang 50-55 µm lebar 22-24 µm
Lokasi cacing dewasa Sekum dan kolon asenden
Jumlah telur/hari/cacing 3.000-20.000 butir
betina
Dikutip : Buku Ajar Parasitologi Kedokteran UI29
Telur T.trichiura berbentuk seperti tempayan dengan penonjolan
yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna
kekuning – kuningan dan bagian dalamnya jernih.16

Gambar 2.5 Telur cacing T.trichiura


Dikutip : Buku Medical Parasitology21
d. Siklus Hidup
Telur yang telah dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja.
Telur tersebut berisi larva dan menjadi bentuk infektif dalam waktu 3-6
minggu, kemudian akan menjadi matang dalam lingkungan yang sesuai,
yaitu pada tanah yang lembab dan teduh. Cara infeksi langsung terjadi
apabila hospes menelan telur matang. Setelah dewasa, cacing turun ke
usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum.
Sehingga, cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan
T.trichiura dimulai dari telur tertelan sampai menjadi cacing dewasa
betina bertelur dibutuhkan waktu kurang lebih 30-90 hari.16

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


Gambar 2.6 Siklus hidup T.trichiura
Dikutip : Buku Medical Parasitology21

e. Patologi dan Gejala Klinis


Cacing Trichuris ditemukan di dalam kolon asendens pada
manusia. Infeksi cacing jenis ini dapat menyebabkan infeksi yang berat
terutama pada anak. Cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum,
kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus
akibat mengejannya penderita ketika defekasi. Cacing ini masuk ke
dalam mukosa usus yang mengakibatkan terjadinya trauma,
menimbulkan iritasi, peradangan mukosa usus, dan dapat menyebabkan
tempat perlekatannya mengalami pendarahan. Selain itu, cacing ini
menghisap darah hospesnya yang dapat menyebabkan anemia.16
Penderita dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun,
menunjukan gejala-gejala seperti diare yang sering diselingi dengan
sindrom disentri, anemia, berat badan turun, dan kadang-kadang disertai
prolapsus rektum terutama pada anak. Infeksi berat Trichuris trichiura
sering disertai dengan infeksi cacing lain atau protozoa. Infeksi ringan
biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali
tanpa gejala (asimptomatik). 21

2.1.3 Cacing Tambang (Hookworms)


a. Taksonomi Cacing Tambang30
Subkingdom : Metazoa
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub Kelas : Phasmidia

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


Ordo : Rhabtidia
Super Famili : Strongyloidea
Famili : Strongyloidea
Genus : Ancylostoma, Necator
Spesies : Ancylostoma duodenale, Ancylostoma canium,
Ancylostoma braziliensis, Ancylostoma
ceylanicum, Necator americanus
b. Epidemiologi
Infeksi cacing tambang pada manusia terutama disebabkan oleh
A.duodenale dan N.americanus.31 Cacing tambang menyebabkan
Necatoriasis dan Ancylostomiasis. Diperkirakan terdapat 1 miliar orang
di seluruh dunia yang menderita infeksi cacing tambang dengan
populasi penderita terbanyak di daerah tropis dan subtropis, terutama di
Asia dan Afrika. Infeksi N.americanus lebih luas penyebarannya
dibandingkan A.duodenale dan spesies ini merupakan penyebab utama
infeksi cacing tambang di Indonesia. Prevalensi infeksi cacing tambang
cukup tinggi di Indonesia, terutama di daerah pedesaan khususnya di
perkebunan yaitu sekitar 40 %.16 Tingginya prevalensi ini dikarenakan
oleh kebiasaan defeksi dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun yang
merupakan penyebab utama dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik
untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan
suhu optimum untuk N.americanus 28°-32°C dan A.duodenale 23°-
25°C.16
c. Morfologi
Spesies cacing tambang dapat dibedakan berdasarkan bentuk
rongga mulut dan susunan rusuknya. Cacing dewasa berbentuk silindris
dengan kepala membengkok tajam ke belakang. Cacing jantan
berukuran lebih kecil daripada cacing betina dewasa. Telurnya
berbentuk ovoid dengan kulit yang jernih dan berukuran 74-76 μ x 36-
40 μ. Telur mengandung satu sel jika baru dikeluarkan di dalam usus,
akan tetapi apabila dikeluarkan bersama tinja telur sudah mengandung

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


4-8 sel, dalam beberapa jam telur akan tumbuh menjadi stadium
morula, kemudian menjadi larva rabditiform pada stadium pertama.33

Gambar 2.7 A.duodenale dewasa (kiri) dan


N. americanus dewasa (kanan).
Dikutip : Atlas Berwarna Parasitologi Klinik23

Cacing tambang dewasa adalah nematoda yang kecil, berbentuk


seperti silindris, kumparan (fusiform), dan berwarna putih keabu-abuan.
Cacing betina mempunyai ukuran lebih besar yaitu 9-13 x 0.35-0.6 mm
daripada cacing jantan yang berukuran 5-11 x 0.3-0.45 mm.
Ukuran A.duodenale lebih besar daripada N.americanus. Cacing
ini mempunyai kutikulum yang relatif tebal. Pada ujung posteriornya
terdapat bursa kopulatrik yang dipakai untuk memegang cacing betina
selama kopulasi. Bentuk badan A.duodenale menyerupai huruf C,
sedangkan N.americanus biasanya menyerupai huruf S.33
Telur kedua cacing ini sulit dibedakan satu sama lain. Telur
berbentuk lonjong atau elips dengan ukuran sekitar 65 x 40 mikron,
tidak berwarna, memiliki dinding tipis yang tembus sinar, dan
mengandung embrio dengan empat blastomer. Telur cacing tambang
mempunyai ukuran 56-60 x 36-40 mikron, berbentuk bulat lonjong,
berdinding tipis, dan terdapat 1-4 sel telur di dalam sediaan tinja
segar.34

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


Gambar 2.8 Telur cacing tambang yang terfertilisasi
Dikutip : Medical Parasitology21

Terdapat dua stadium larva, yaitu larva rabditiform yang tidak


infektif dan larva filariform yang infektif. Larva rabditiform berbentuk
agak gemuk dengan panjang sekitar 250 mikron, sedangkan larva
filariform berbentuk langsing dengan panjang kira-kira 600 mikron.34
d. Siklus Hidup
Telur tetap hidup dan larva akan berkembang secara maksimum
ketika berada di tanah dengan keadaan lembab, teduh dan hangat. Telur
akan menetas 1-2 hari kemudian setelah berada di kondisi tanah yang
mendukung perkembangannya. Dalam 5-8 hari, larva akan tumbuh
menjadi larva infektif filariform dan dapat tetap hidup di tanah untuk
beberapa minggu.16
Infeksi pada manusia terjadi melalui penetrasi larva filariform
yang terdapat di tanah. Setelah menembus masuk ke dalam kulit, larva
dibawa oleh aliran darah vena ke jantung bagian kanan dan menuju ke
paru-paru. Setelah itu larva akan menembus alveoli, bermigrasi melalui
bronkus ke trakea dan faring, tertelan sampai ke usus kecil, kemudian
akan melekat di mukosa usus dengan menggunakan struktur mulut
sementara. Cacing betina akan mengeluarkan telur kira-kira 5 bulan
setelah permulaan infeksi, meskipun periode prepaten dapat
berlangsung selama 6-10 bulan. Apabila larva filariform A.duodenale
tertelan, maka akan berkembang menjadi cacing dewasa di dalam usus
tanpa melalui siklus paru-paru.6

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


Gambar 2.9 Siklus hidup cacing tambang
Dikutip : Medical Parasitology21
e. Patologi dan Gejala Klinis
Gejala awal setelah penetrasi larva menembus kulit tergantung
dari jumlah larva yang akan menimbulkan rasa gatal minimal sampai
berat, infeksi sekunder terjadi ketika lesi vesikuler terbuka karena
garukan. Berkembangnya vesikel dari ruam papula eritematosa disebut
“ground itch”. Gejala infeksi pada fase usus disebabkan oleh nekrosis
jaringan di tempat perlekatan mulut cacing dewasa, cacing menghisap
darah secara langsung sehingga penderita kehilangan darah, dan sekresi
antikoagulan yang mengakibatkan terjadinya perdarahan terus-menerus
di tempat asal perlekatan.16
Pada infeksi akut dengan jumlah cacing yang banyak akan
mengakibatkan kelemahan, lesu, pucat, nausea, muntah, sakit perut, dan
diare dengan tinja hitam atau merah (tergantung jumlah darah yang
keluar). Seperti infeksi parasit lainnya, jumlah cacing yang banyak pada
anak-anak dapat menimbulkan gejala serius dan kematian.
Selama fase usus akut dijumpai peningkatan eosinofilia perifer.
Pada infeksi kronik, gejala utamanya adalah anemia defisiensi besi yang
menyebabkan penderita menjadi pucat, edema muka dan kaki, lesu,
dengan kadar haemoglobin ≤ 5g/dL, dapat dijumpai kardiomegali, serta
retardasi mental dan fisik.16
2.1.4 Dampak Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
Infeksi STH akan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan
(digestive), penyerapan (absorbs), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif,
infeksi STH menyebabkan kekurangan zat gizi berupa kalori, protein, dan
kehilangan darah. Selain menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


produktifitas kerja, dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena
penyakit lainnya. 35
Infeksi STH akan menurunkan kualitas hidup penderitanya, tetapi jarang
menyebabkan kematian. Infeksi A.lumbricoides yang berat akan menyebabkan
malnutrisi dan gangguan pertumbuhan terutama pada anak-anak. Pada infeksi
ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien kurang lebih 3% dari
kalori yang dicerna. Pada infeksi berat, 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat
dimanfaatkan oleh tubuh.35
Pada infeksi Trichuris yang berat sering ditandai dengan diare darah,
turunnya berat badan, dan anemia. Diare pada umumnya berat dengan eritrosit di
bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Anemia berat ini terjadi
karena T.trichiura dapat menghisap darah sekitar 0,005 ml perhari/ cacing.33
Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung bertahun-tahun, sehingga
cacing ini dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu
menghisap darah 0,2 ml perhari. Penderita akan kehilangan darah secara perlahan
sehingga mengalami anemia berat. Infeksi ketiga jenis cacing ini dapat dialami
sekaligus atau salah satu diantara A.lumbricoides, T.trichiura, atau cacing
tambang. Semakin banyak jenis atau jumlah cacing di dalam tubuh, maka akan
semakin berat gangguan kesehatan yang ditimbulkan.36
2.1.5 Diagnosis dan Pengobatan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
Infeksi STH tidak menimbulkan keluhan dan gejala spesifik. Diagnosis
ditegakkan melalui pemeriksaan feses secara langsung. atau ketika cacing dewasa
keluar melalui feses, mulut dan hidung karena muntah. Pada fase migrasi larva,
diagnosis dapat ditegakkan apabila ditemukan larva dalam sputum atau bilas
lambung.16
Ada beberapa cara pemeriksaan feses yang dapat dilakukan yaitu dengan
cara Kato-Katz fecal-thick smear dan McMaster yang digunakan untuk mengukur
intensitas dari infeksi kecacingan dengan memperkirakan jumlah telur yang ada
per gram tinja.37
Tujuan utama dari pengobatan infeksi STH adalah mengeluarkan semua
cacing dewasa dari saluran gastrointestinal. Obat yang digunakan adalah
mebendazole dan albendazole. Obat antelmintik benzimidazole mempunyai efek

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


embriotoksik dan teratogenik pada tikus yang hamil, sehingga tidak dianjurkan
bagi bayi dan ibu hamil. Obat ini menghambat polimerisasi dari microtubule
parasit yang menyebabkan kematian cacing dewasa dalam beberapa hari.
Walaupun albendazole dan mebendazole merupakan obat broad-spectrum
terdapat perbedaan penggunaannya dalam klinik. Kedua obat ini sangat efektif
terhadap Ascariasis dengan pemberian dosis tunggal. Namun, untuk pengobatan
cacing tambang, albendazole terbukti lebih efektif dibandingkan dengan
mebendazole dosis tunggal yang memberikan rate pengobatan lebih rendah.
Sebaliknya, albendazole dosis tunggal tidak efektif untuk kasus Trichuriasis.38
Pyrantel pamoate dan levamisole merupakan pengobatan alternatif bagi
penderita infeksi Ascaris dan cacing tambang, tetapi pengobatan pyrantel
pamoate masih belum efektif untuk pengobatan infeksi trichuriasis. Obat ini
berspektrum luas dengan cara kerja melumpuhkan cacing, sehingga dapat
dikeluarkan bersama tinja. Dosis untuk anak dan dewasa yaitu 10 mg/kgBB dosis
tungal dengan dosis maksimal 1,0 gram. Sediaan obat yang tersedia yaitu suspensi
oral 50 mg/ml dan tablet kunyah 250 mg. 39
2.1.6 Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
Hal-hal yang perlu dilakukan agar tercegah dari penyakit kecacingan
adalah sebagai berikut:16
1. Memutuskan daur hidup dengan cara :
a. Defekasi di jamban.
b. Menjaga kebersihan.
c. Memberi pengobatan massal dengan obat antelmintik yang efektif,
terutama kepada golongan yang rawan terinfeksi.
2. Penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang
memenuhi syarat dan cara menghindari infeksi kecacingan.
Pada kenyataannya, sanitasi lingkungan yang memenuhi syarat
masih sulit dikembangkan dalam masyarakat yang mempunyai
keadaan sosio-ekonomi rendah seperti keadaan berikut:16
a. Rumah yang berhimpitan di daerah kumuh ataupun di kota besar
dengan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


b. Kebiasaan warga di daerah pedesaan yang berdefekasi di dekat
rumah, di sungai, di ladang dan perkebunan tempat bekerja.
c. Penggunaan tinja untuk pupuk tanaman yang mengandung telur
cacing.
d. Kebiasaan pekerja di daerah pertanian, perkebunan, dan
pertambangan yang tidak menggunakan alas kaki saat bekerja.
Kunci pemberantasan infeksi kecacingan adalah memperbaiki sanitasi
lingkungan dan personal hygiene, sehingga rantai penularan infeksi kecacingan
dapat diputus.40 Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah seperti promosi
kesehatan, surveilans kecacingan, pengendalian faktor resiko, penanganan
penderita, dan pemberian obat pencegahan massal (POPM).14 Pelaksanaan
pengobatan massal dengan menggunakan obat yang ampuh masih sulit
dilaksanakan karena harus dilakukan setiap enam bulan sekali. Oleh karena itu,
promosi kesehatan dan penyuluhan kepada masyarakat harus diutamakan agar
terhindar dari infeksi STH. Dengan demikian, keadaan endemi dapat dikurangi
dan angka kesakitan (morbiditas) dapat diturunkan.6

2.2 Sanitasi Lingkungan


2.2.1 Definisi
Lingkungan adalah keadaan, kondisi, dan situasi yang mempengaruhi
perkembangan dan perilaku manusia.41,42 Lingkungan dapat dikategorikan dalam
beberapa kelompok :
a. Lingkungan Fisik, yaitu tanah dan udara serta interaksi satu sama
lainnya.
b. Lingkungan Biologis, yaitu semua organisme hidup baik binatang,
tumbuhan maupun mikroorganisme, kecuali manusia itu sendiri.
c. Lingkungan Sosial, yaitu semua interaksi antara manusia dengan
makhluk sesamanya yang meliputi faktor sosial, ekonomi, kebudayaan
dan psikososial.
Kesehatan lingkungan merupakan salah satu disiplin ilmu kesehatan
masyarakat dan merupakan perluasan dari prinsip-prinsip hygiene dan sanitasi,
yang berupa hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


akan mempengaruhi derajat kesehatannya. WHO mendefinisikan kesehatan
lingkungan sebagai suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia
dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia tersebut.
Keadaan sehat manusia mencakup sehat secara fisik, mental, dan hubungan sosial
yang optimal di dalam lingkungannya.41
Sanitasi lingkungan akan menjadi acuan dari kesehatan antar manusia dan
lingkungannya. Pengawasan sanitasi air dan makanan merupakan hal yang
penting, karena penularan infeksi kecacingan dapat terjadi melalui air dan
makanan yang terkontaminasi oleh telur ataupun larva cacing.42
Dalam paradigma H.L Blum tentang kesehatan, lingkungan mempunyai
pengaruh dominan dari empat faktor lain yang berperan dalam menentukan status
kesehatan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi status kesehatan seseorang
tersebut dapat berasal dari lingkungan pemukiman, lingkungan sosial, lingkungan
rekreasi, dan lingkungan kerja yang disampaikan.
2.2.2 Sanitasi Lingkungan Rumah
Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia, dan biologi di dalam rumah
maupun perumahan yang memungkinkan penghuninya atau masyarakat
memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Rumah yang sehat dan layak huni
tidak harus berwujud rumah mewah dan besar, namun rumah yang sederhana dan
bersih juga dapat menjadi rumah yang sehat dan layak dihuni.
Disamping lingkungan tempat tinggal, anak usia sekolah juga
membutuhkan lingkungan sekolah sebagai tempat pembelajaran yang sehat, baik
untuk perkembangan fisik, mental, dan spiritualnya. Sebagian besar waktu anak
dihabiskan dengan bermain, baik di rumah maupun di sekolah sehingga anak usia
sekolah mempunyai potensi yang cukup besar untuk terjangkit infeksi STH.43
Sanitasi lingkungan merupakan hal utama yang harus diperhatikan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai kemampuan hidup sehat di
masyarakat, yaitu :
a. Penyediaan Air Bersih
Penyediaan air bersih harus memenuhi persyaratan fisik, kimia,
dan bakteriologis. Air merupakan sarana utama untuk meningkatkan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


derajat kesehatan masyarakat, karena air merupakan salah satu media
dari berbagai macam penularan penyakit.44
Syarat kualitas air secara fisik adalah tidak berwarna, tidak
berasa, tidak berbau, dan jernih. Secara kimia, air yang baik merupakan
air yang tidak tercemar secara berlebihan oleh zat-zat kimia ataupun
mineral terutama zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan. Selain itu,
syarat bakteriologis air minum hendaknya terhindar dari kemungkinan
terkontaminasi oleh bakteri terutama bakteri patogen.
Mengingat bahwa tidak mungkin air yang dikonsumsi seutuhnya
sesuai dengan persyaratan kesehatan, maka air yang ada diusahakan
memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990.
b. Toilet dan Kamar Mandi
Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk
membuang dan mengumpulkan kotoran atau najis yang lazim disebut
WC, sehingga kotoran atau najis tersebut berada dalam suatu tempat
tertentu agar tidak menjadi penyebab atau sumber penyakit dan
mengotori lingkungan pemukiman.9
Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan
berbagai macam penyakit seperti diare, kolera, disentri, Ascariasis dan
lain sebagainya. Kotoran manusia merupakan buangan padat. Selain
menimbulkan bau dan mengotori lingkungan, tinja merupakan media
penularan penyakit.45
Penularan penyakit dapat terjadi dengan cara transmisi seperti
tangan, peralatan yang terkontaminasi, ataupun melalui mata rantai
lainnya yang memungkinkan tinja atau kotoran yang mengandung agen
penyebab infeksi masuk ke saluran pencernaan. Oleh karena itu, toilet
dan kamar mandi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Toilet harus selalu dalam keadaan bersih.
2. Lantai kamar mandi terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, tidak
licin, dan mudah dibersihkan.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


3. Terdapat saluran pembuangan air limbah (SPAL) yang telah
dilengkapi dengan penahan bau dari toilet dan kamar mandi.
4. Tempat penampungan tidak menyebabkan genangan air yang akan
menjadi tempat pertumbuhan binatang pengerat dan serangga.
5. Lubang penghawaan yang berhubungan langsung dengan udara luar.
6. Letak toilet dan kamar mandi tidak berhubungan langsung dengan
dapur ataupun ruang makan.
7. Kamar mandi dilengkapi dengan slogan untuk menjaga kebersihan.
c. Pengelolaan Air Limbah
Air limbah adalah air sisa buangan yang berasal dari rumah
tangga dan industri. Pada umumnya, air limbah mengandung zat-zat
dan bahan yang membahayakan, sehingga limbah yang tidak diolah
terlebih dahulu akan menyebabkan gangguan kesehatan dan lingkungan
hidup, salah satunya yaitu limbah sebagai media penyebaran berbagai
penyakit.46

2.3 Personal Hygiene


2.3.1 Definisi
Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya
perorangan dan higiene yang berarti sehat. Personal hygiene adalah suatu
tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan diri untuk memperbaiki
kesejahteraan fisik dan psikis.47 Kesehatan pribadi merupakan hal yang sangat
penting, kondisi sehat dapat diperoleh apabila setiap pribadi berperilaku hidup
bersih dan sehat.48
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan semua perilaku yang
dilakukan atas kesadaran diri akan kebersihan, sehingga dapat menolong dirinya
sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan
di masyarakat.49 Seseorang dikatakan memiliki kebersihan diri yang baik apabila
dapat menjaga kebersihan tubuh, yang meliputi kebersihan kulit, tangan, kaki,
kuku, dan kebersihan genitalia.50
Manfaat dari personal hygiene antara lain meningkatkan derajat kesehatan,
memelihara kebersihan diri, memperbaiki kebersihan yang kurang baik,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


menciptakan keindahan, serta meningkatkan rasa percaya diri. Prinsip personal
hygiene dalam penerapannya adalah sebagai berikut:51
a. Mengetahui sumber pencemaran yang berasal dari tubuh.
Sumber pencemaran yang berasal dari tubuh harus selalu dijaga
kebersihannya agar tidak menambah potensi pencemaran. Sumber
pencemaran tersebut dapat berasal dari hidung, mulut, telinga, isi perut,
dan kulit.
b. Mengetahui sumber pencemaran yang berasal dari perilaku
Sumber pencemaran yang berasal dari perilaku biasanya terjadi
karena pola hidup maupun kebiasaan tidak sehat seseorang dalam
menjalani aktivitasnya sehari-hari.
c. Sumber pencemaran karena ketidaktahuan
Sumber pencemaran ini biasanya terjadi karena ketidaktahuan
seseorang mengenai apa saja yang bisa mengakibatkan pencemaran
dalam kebersihan pribadi dan tidak menyadari bahwa hal tersebut dapat
menimbulkan penyakit.
2.3.2 Usaha Kesehatan Pribadi yang Menunjang PHBS
Usaha kesehatan pribadi merupakan upaya yang dilakukan individu untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya sendiri. Sehat harus
senantiasa diusahakan, selain karena bermanfaaat untuk diri sendiri juga akan
menguntungkan bagi masyarakat sekitar.52 Berikut ini dijelaskan beberapa hal
tentang kebersihan pribadi:48

a. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun


Perilaku masyarakat terhadap kebiasaan mencuci tangan
berdasarkan survei Environmental Service Program (ESP) yang
dilakukan oleh Depkes dan instansi lainnya pada tahun 2006
memperoleh hasil yang masih rendah, diantaranya:48
1. 14% praktik cuci tangan pakai sabun (CTPS) dilakukan
sebelum makan.
2. 12% yang mencuci tangan pasca buang air besar.
3. 9% yang melakukan CTPS setelah membantu buang air besar
bayi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


4. 7% sebelum memberi makan bayi.
5. 6% sebelum menyiapkan makanan.
6. Rata-rata hanya 3% yang menggunakan sabun untuk cuci
tangan.
Setiap anggota keluarga harus mencuci tangan dengan
menggunakan air bersih dan sabun. Membersihkan tangan dengan
sabun dapat mengangkat kotoran dan membunuh kuman, karena tanpa
sabun, kotoran dan kuman masih tertinggal di tangan. Mencuci tangan
dapat dilakukan setiap kali tangan kotor, setelah buang air besar, setelah
menceboki bayi atau anak, sebelum makan dan menyuapi anak,
sebelum memegang makanan, serta sebelum menyusui bayi.48
Manfaat mencuci tangan yaitu membunuh kuman penyakit di
tangan, mencegah penularan penyakit (seperti diare, kolera, disentri,
typhus, kecacingan, penyakit kulit, infeksi saluran pernafasan akut, dan
flu burung), tangan menjadi bersih dan bebas dari kuman. 53Adapun cara
mencuci tangan yang benar, yaitu:48
1. Cuci tangan dengan air bersih mengalir dan memakai sabun.
2. Membersihkan telapak, pergelangan tangan, sela-sela jari dan
punggung tangan.
3. Setelah itu keringkan dengan lap bersih.

b. Kebersihan Kuku
Kuku mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting
dalam kehidupan seseorang. Kuku yang kotor akan menjadi sarang
kuman penyakit dan selanjutnya bisa ditularkan ke bagian-bagian tubuh
yang lain. Oleh karena itu, kuku perlu dijaga dan dipelihara
kebersihannya.54
Ciri-ciri kuku yang baik yaitu kuku tumbuh dengan rapi, kuat,
bersih, dan halus. Jadi, sebaiknya kuku perlu dipotong, dirawat, dan
tidak membiarkannya tumbuh terlalu panjang,. Pada anak-anak, kuku
harus bersih dan senantiasa di gunting. Seorang ibu sebaiknya tidak

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


memiliki kuku yang panjang dalam merawat anaknya. Cara merawat
kuku, antara lain:48
1. Memotong ujung kuku sampai beberapa milimeter dari
tempat perlekatan antara kuku dan kulit.
2. Potongan kuku disesuaikan dengan bentuk ujung jari supaya
terlihat lebih bagus.
3. Pergunakan alat pemotong kuku atau gunting yang tajam agar
memberikan hasil potongan kuku yang rapi.
4. Setelah dipotong kikirlah tepi kuku agar lebih rapi dan tidak
tajam.
5. Setelah pemotongan selesai dilakukan lanjutkan dengan
pencucian.
6. Kuku sebaiknya dicuci dengan air hangat dengan
menggunakan sikat untuk membersihkan sisa-sisa kotoran.
7. Kemudian kuku dikeringkan dengan lap atau handuk yang
kering dan bersih.
c. Penggunaan Alas Kaki
Di luar rumah, seharusnya menggunakan sandal atau sepatu
untuk menghindarkan kaki dari kotoran atau terkena luka.
Mikroorganisme seperti jamur dapat tumbuh di sela-sela kaki.
Penggunaan alas kaki akan mencegah masuknya cacing tambang ke
dalam tubuh melalui telapak kaki dari kotoran atau melalui luka.48
Ketika melakukan aktivitas olahraga seseorang memerlukan
perlengkapan seperti kaus kaki dan sepatu. Menggunakan kaus kaki
yang kotor dan sepatu yang tidak bersih adalah suatu kebiasaan yang
buruk. Setelah berolahraga sebaiknya juga dibiasakan membersihkan
kaki dengan sabun dan air hangat.48
2.3.3 Dampak Personal Hygiene
a. Dampak Fisik
Banyak gangguan kesehatan yang dapat terjadi jika seseorang
tidak menjaga kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan fisik yang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


sering dialami antara lain yaitu gangguan integritas kulit, kuku,
membran mukosa mulut, serta infeksi pada mata dan telinga.47
b. Dampak Psikososial
Personal hygiene yang buruk merupakan cerminan dari kondisi
lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat. Penduduk miskin
dengan personal hygiene yang buruk mempunyai kemungkinan yang
lebih besar untuk terinfeksi oleh semua jenis cacing.18

2.4 Hubungan antara Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi Soil


Transmitted Helminths (STH)
Beberapa faktor sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan infeksi
Soil Transmitted Helminths (STH) diantaranya adalah penyediaan air bersih,
penyediaan tempat pembuangan sampah, jamban, dan SPAL.
a. Kondisi Penyediaan Air Bersih
Sarana air bersih merupakan konstruksi yang harus terpenuhi
agar terlindungi dari resiko pencemaran. Tidak terpenuhinya kualitas air
bersih merupakan salah satu penyebab resiko pencemaran pada air.
Agar kualitas air bersih terpenuhi, maka air harus memenuhi beberapa
persyaratan diantaranya
1. Syarat fisik
Persyaratan fisik air minum yang sehat yaitu tidak
berwarna (bening), tidak berasa, dan memiliki suhu yang
lebih rendah dibandingkan udara luar.56
2. Syarat bakteriologis
Air yang sehat seharusnya terbebas dari segala
bakteri terutama bakteri patogen. Apabila di dalam
pemeriksaan 100 cc air ditemukan kurang dari 4 bakteri
E.Coli, maka air tersebut telah memenuhi persyaratan
bakteriologis sebagai air yang layak untuk diminum.57
3. Syarat kimia

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31


Ditinjau dari syarat kimianya, air yang bersih
mempunyai pH = 7 dengan kadar oksigen terlarut jenuh 9
mg/l.58
b. Ketersediaan Jamban
Masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah
pokok untuk sesegera mungkin diatasi, karena kotoran manusia (feses)
adalah sumber penyebaran penyakit yang multi kompleks. Persyaratan
mengenai penularan penyakit melalui pembuangan kotoran manusia
perlu diperhatikan. Agar persyaratan jamban tersebut dapat dipenuhi,
maka:59
1. Septik tank tidak mencemari air tanah atau air permukaan,
dan harus berjarak ± 10 meter dari sumber air bersih.
2. Apabila memiliki jamban leher angsa, air penyekat akan
menutup lubang tempat jongkok. Namun, apabila tanpa leher
angsa, perlu untuk dilengkapi dengan penutup lubang tempat
jongkok untuk mencegah lalat atau serangga masuk ke
dalamnya.
3. Jamban yang memenuhi syarat yaitu tidak menyebabkan
perindukan nyamuk dan tidak menimbulkan bau.
c. Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL).
Pengolahan air limbah biasanya dilakukan dengan cara
menyalurkan air limbah tersebut jauh dari tempat tinggal tanpa
dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Hal ini dapat mengakibatkan
daerah pembuangan limbah menjadi media perkembangan
mikroorganisme pathogen seperti larva, nyamuk, ataupun serangga.
SPAL yang tidak memenuhi syarat akan menimbulkan berbagai macam
jenis penyakit diantaranya typhus abdominalis, disentri basiler, cholera,
dan kecacingan. Persyaratan SPAL agar memenuhi syarat kebersihan
yaitu:59
1. Tidak mencemari air bersih dan permukaan tanah.
2. Tidak menimbulkan perindukan nyamuk.
3. Dilengkapi pengedap bau.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32


d. Pengelolaan Sampah
Sampah dapat mempengaruhi kesehatan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pengaruh langsung dari sampah dikarenakan
adanya kontak langsung dengan sampah seperti membuang sampah
yang beracun, sedangkan pengaruh sampah secara tidak langsung
terjadi melalui proses pembusukan, pembakaran, dan pembuangan
sampah yang akan menyebabkan berbagai penyakit.58 Oleh karena itu,
perlu diperhatikan beberapa hal mengenai pengelolaan sampah yang
baik dan benar, yaitu:59
1. Menyediakan tempat sampah di dalam rumah yang kedap
air dan dilengkapi penutup.
2. Pada lingkungan pedesaan disediakan tempat sampah
basah dengan lubang galian sebesar 1 m x 1 m x 1 m.

2.5 Hubungan antara Personal Hygiene dengan Infeksi Soil Transmitted


Helminths (STH)
Personal hygiene yang buruk merupakan salah satu faktor penyebab
tingginya infeksi Soil Transmitted Helminths (STH), terutama pada anak
dibandingkan dengan orang dewasa.60 Tingginya angka kejadian kecacingan
disebabkan oleh beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh anak, adapun kebiasaan-
kebiasaan tersebut antara lain:
a. Kebiasaan tidak mencuci tangan
Tangan merupakan anggota tubuh yang erat hubungannya
dengan mulut. Tangan anak yang terkontaminasi telur infektif dari
cacing A.lumbricoides dan T.trichiura, apabila tidak dicuci dengan
bersih akan menyebabkan tertelannya telur infektif tersebut melalui
mulut.60 Membiasakan mencuci tangan sebelum makan dengan sabun
merupakan salah satu cara yang paling baik untuk memutus rantai
penularan infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah.61
b. Kuku panjang dan kotor
Kuku yang panjang dan kotor akan menjadi tempat melekatnya
berbagai kotoran yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 33


telur cacing A.lumbricoides dan T.trichiura.62 Kebiasaan anak yang
sering berkontak langsung dengan tanah, akan mengakibatkan telur
cacing infektif masuk ke dalam sela kuku yang panjang dan telur
tersebut akan ikut tertelan ke dalam saluran pencernaan ketika makan
menggunakan tangan.60
c. Jajan di sembarang tempat
Selain melalui tangan, transmisi telur cacing A.lumbricodes dan
T.trichiura juga dapat terjadi melalui makanan dan minuman, terutama
makanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat. Telur cacing yang
berada di tanah atau debu dapat sampai pada makanan jika diterbangkan
oleh angin atau lalat yang sebelumnya hinggap di tanah, selokan, dan
air limbah yang membawa telur cacing tersebut.63
d. Tidak memakai alas kaki ketika kontak langsung dengan tanah
Telur cacing tambang yang keluar bersama feses penderita akan
mengalami pematangan di tanah. Setelah 24 jam telur akan berubah
menjadi larva tingkat pertama (L1), kemudian berkembang menjadi
larva rhabditiform, dan akhirnya menjadi larva filariform. 64 Larva
filariform didalam tanah akan menembus kulit, terutama kulit tangan
dan kaki.65 Perilaku anak yang suka bermain di tanah tanpa memakai
alas kaki akan mempunyai kecenderungan yang lebih tinggi untuk
terkena infeksi cacing tambang.66

2.6 Faktor–faktor lain yang Berhubungan dengan Infeksi Soil


Transmitted Helminths (STH)
a. Faktor Sosio-ekonomi
Kehidupan sosial ekonomi menggunakan indikator pendidikan,
pekerjaan, dan penghasilan sebagai tolak ukur. Penyakit kecacingan
identik dengan faktor sosio-ekonomi yang buruk. Kemiskinan akan
mempengaruhi tingkat kesehatan seperti tingginya angka penyakit yang
disebabkan oleh parasit. Studi yang telah dilakukan menyatakan bahwa

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 34


terdapat hubungan antara perkembangan sosio-ekonomi dengan angka
prevalensi kecacingan.67
Kondisi ekonomi yang rendah berkaitan dengan kondisi sanitasi
dan hygiene yang buruk, sehingga hal ini menyebabkan kemungkinan
infeksi STH dapat terjadi. Profesi yang membutuhkan tenaga sebagai
dasar pekerjaannya, seperti buruh dan petani akan meningkatkan resiko
terjadinya infeksi kecacingan karena kontak dengan parasite yang lebih
besar.
Indikator yang dijadikan sebagai penilaian tingkat kesejahteraan
masyarakat dinilai dari kepemilikan seseorang secara material seperti
kondisi rumah yang layak untuk ditinggali, jumlah orang yang tinggal
dalam rumah, penggunaan air yang bersih. Tempat tinggal harus
memenuhi persyaratan kesehatan, sehingga tidak lepas dari ketersediaan
sarana dan prasarana yang terkait, seperti: 67
1. Penyediaan air bersih
2. Sanitasi pembuangan sampah
3. Transportasi
4. Tersedianya pelayanan sosial
b. Faktor Pengetahuan
Infeksi STH identik dengan kebiasaan seperti cara makan,
defekasi, personal hygiene, pengetahuan akan kebersihan yang
berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, kepedulian akan
kesehatan, dan kurangnya kebutuhan yang berkaitan dengan
kebersihan.68
Anak-anak merupakan kelompok usia yang terbanyak
menderita infeksi kecacingan. Hal ini dikarenakan oleh keterlibatan
anak secara langsung dengan lingkungan tempat bermain yang
menyebabkan sulitnya menjaga kebersihan perorangan. Oleh karena itu,
higienitas seorang anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar
terutama orang tua dan lingkungan keluarga sehingga tingkat
pengetahuan orang tua berperan penting dalam menjaga kesehatan dan
kebersihan keluarga yang mempengaruhi prevalensi infeksi STH.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 35


Infeksi kecacingan berkaitan dengan faktor kebersihan
lingkungan dan pribadi seseorang, sehingga salah satu pengetahuan
yang harus dimiliki adalah pengetahuan tentang perilaku hidup bersih
dan sehat serta pengetahuan akan kecacingan. Data dari beberapa
penelitian, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna pada
tingkat pengetahuan dengan kejadian infestasi STH. Berdasarkan hasil
penelitian Jusuf pada tahun 2013, dapat disimpulkan bahwa semakin
rendah pengetahuan, sikap, dan tindakan yang kurang baik terhadap
pencegahan infeksi kecacingan maka semakin banyak jumlah telur yang
ditemukan.69
c. Status Gizi
Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk akan
memudahkan berkembangnya bibit penyakit di dalam tubuh. Gizi buruk
dan penyakit infeksi mempunyai hubungan timbal balik yang erat.
Dalam banyak kejadian, terjadi sinergisitas antara gizi buruk dan
penyakit infeksi yang akan berakibat fatal.70
Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi
kecacingan disebabkan oleh beberapa hal yaitu turunnya nafsu makan
anak sehingga masukan zat gizi berkurang, penyakit infeksi sering
disertai diare dan muntah yang menyebabkan penderita kehilangan
cairan, serta menyebabkan penyerapan zat gizi dari makanan menjadi
terganggu.
Infeksi yang disebabkan oleh cacing seperti Ascaris, Trichuris,
atau cacing tambang akan bersaing dengan tubuh dalam memperoleh
makanan dan menghalangi zat gizi masuk ke dalam peredaran darah.
Penghisapan zat-zat makanan dan darah oleh cacing akan
mengakibatkan penderita menjadi kurus dan status gizinya menurun.70
d. Respon Imun Leukosit Terhadap Infeksi Kecacingan
Infeksi kecacingan merangsang sistem imun humoral dan
selular yang menjadi sistem pertahanan pertama yang bertanggung
jawab mengontrol perkembangan antigen yang masuk. Pada infeksi
kecacingan, leukosit membentuk respon imun humoral dengan cara

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 36


merangsang sel B untuk memproduksi IgG yang berfungsi merusak
membran/permukaan cacing dan IgE yang berfungsi merangsang
mastosit untuk melepaskan granula dan mengikat permukaan cacing.
Ikatan IgG dengan antigen cacing akan mengaktifkan komplemen.
Ikatan mastosit dan IgE dengan cacing akan menyebabkan degranulasi
sehingga beberapa mediator mastosit terlepas dan menarik sel-sel
eosinofil.
Eosinofil lebih berpotensi dalam membunuh cacing
dibandingkan dengan jenis leukosit yang lainnya karena granula
eosinofil berupa major basic protein (MBP) lebih toksik terhadap
cacing, biasanya kerusakan cacing akan berlangsung kurang lebih 12
jam setelah penempelan eosinofil pada permukaan cacing.71

2.7 Kerangka Teori

Kebersihan halaman Sanitasi Telur (keluar


Lingkungan bersama feses)

Sumber air bersih


Sarana pembuangan Telur berkembang
Tanah lembab,
sampah menjadi bentuk infektif
hangat, dan teduh
(Tanah)
SPAL

Personal Hygiene Telur infektif


Kebiasaan mencuci mengontaminasi kuku,
tangan tangan dan mulut
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 37
Kebersihan kuku

Penggunaan alas Telur tertelan


kaki

Jajan sembarangan
Penyakit kecacingan

Keadaan sosial Telur & Larva berkembang


ekonomi menjadi cacing dewasa
(usus halus)
Pengetahuan cara
infeksi cacing

Status gizi Cacing betina


menghasilkan telur
Imunitas tubuh

Gambar 2.10 Kerangka Teori 12,52

Keterangan

= Variabel diteliti

= Variabel tidak diteliti

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

Sanitasi Lingkungan
- Lingkungan Rumah

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 38


Infeksi STH
Personal Hygiene
- Kebiasaan Mencuci Tangan
- Kebersihan Kuku
- Penggunaan Alas Kaki

Gambar 3.1 : Kerangka Konseptual

3.2 Hipotesis Penelitian


1. Ada pengaruh sanitasi lingkungan terhadap infeksi Soil Transmitted
Helminths (STH) pada anak usia sekolah di Kecamatan Koto Tangah
Kota Padang.
2. Ada pengaruh personal hygiene terhadap infeksi Soil Transmitted
Helminths (STH) pada anak usia sekolah di Kecamatan Koto Tangah
Kota Padang.

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik yang
menggunakan rancangan cross sectional study yaitu penelitian yang dilakukan
dengan sekali pengamatan pada suatu saat tertentu terhadap objek yang berubah,
berkembang atau tumbuh menurut waktu.72 Metode yang digunakan adalah
explanatory research yaitu mencari seberapa besar pengaruh faktor sanitasi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 39


lingkungan dan personal hygiene terhadap infeksi Soil Transmitted Helminths
(STH) pada anak usia sekolah di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang .

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan pada anak usia sekolah di Kecamatan Koto Tangah
yang merupakan siswa TK Siaga dan SDN 48 Ganting kelas I yang dilaksanakan
pada bulan Februari sampai Agustus 2018. Pemeriksaan telur Soil Transmitted
Helminths (STH) untuk menentukan status infeksi kecacingan dilakukan di
Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

4.3 Populasi dan Sampel


4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah yang merupakan
seluruh siswa-siswi TK Siaga dan SDN 48 Ganting kelas I di kecamatan Koto
Tangah yang terdaftar dalam buku induk sekolah sejumlah 61 orang.
4.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi sesuai dengan kriteria inklusi dan
eksklusi.
4.3.3 Kriteria Sampel
4.3.3.1 Kriteria Inklusi
1. Anak yang bersedia menjadi responden.
2. Responden mengisi kuesioner.
3. Mendapatkan izin dari orang tua.

4.3.3.2 Kriteria Eksklusi


1. Meminum obat cacing dalam 2 bulan terakhir
2. Tidak mengumpulkan kuesioner atau pot tinja melewati batas
yang telah ditentukan (7 hari)
4.3.4 Besar Sampel
Penelitian ini menggunakan total sampling dengan jumlah populasi anak
usia sekolah siswa TK Siaga dan SDN 48 Ganting kelas I sebanyak 61 orang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 40


4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi Variabel
1. Variabel dependen adalah infeksi Soil Transmitted Helminths (STH).
2. Variabel independen adalah sanitasi lingkungan dan personal hygiene
(kebiasaan mencuci tangan, kebersihan kuku, dan penggunaan alas
kaki)
4.4.2 Definisi Operasional
1. Sanitasi Lingkungan Rumah
a) Definisi : Kondisi kesehatan rumah yang berhubungan
dengan penularan infeksi kecacingan dengan
indikator ketersediaan air bersih, ketersediaan
jamban, adanya tempat pembuangan sampah dan
sarana pembuangan air limbah (SPAL). Dinilai
dengan 4 pertanyaan, setiap pertanyaan dengan
jawaban benar diberikan nilai 1 dan jawaban
salah diberikan nilai 0.
b) Alat ukur : Kuesioner
c) Cara Ukur : Wawancara
d) Skala Ukur : Ordinal
e) Hasil Ukur :
1. Memenuhi syarat, jika semua indikator terpenuhi.
2. Tidak memenuhi syarat, jika satu atau lebih indikator tidak
terpenuhi.

2. Personal Hygiene
a. Kebiasaan Mencuci Tangan
a) Definisi : Kebiasaan sehari-hari dari siswa untuk
membersihkan tangan sebelum makan, setelah
buang air besar dan setelah bermain di tanah.
Dinilai dengan 3 pertanyaan, setiap pertanyaan
dengan jawaban benar diberikan nilai 1 dan
jawaban salah diberikan nilai 0.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 41


b) Alat ukur : Kuesioner
c) Cara Ukur : Wawancara
d) Skala Ukur : Ordinal
e) Hasil Ukur :
1.Baik, jika menjawab dengan nilai 2-3 (≥ 60%)
2.Tidak Baik, jika menjawab dengan nilai 0-1 (60%)
b. Kebersihan Kuku
a) Definisi : Upaya yang dilakukan untuk siswa/orang tua siswa
untuk memotong kuku. Dinilai dengan 3
pertanyaan, setiap pertanyaan dengan jawaban
benar diberikan nilai 1 dan jawaban salah diberikan
nilai 0.
b) Alat ukur : Kuesioner
c) Cara ukur : Wawancara
d) Skala ukur : Ordinal
e) Hasil ukur :
1. Bersih, jika menjawab dengan nilai 2-3 (≥ 60%)
2. Tidak Bersih, jika menjawab dengan nilai 0-1 (60%)
c. Penggunaan Alas Kaki
a) Definisi : Kebiasaan siswa apakah menggunakan alas kaki
atau tidak pada saat bermain dan beraktivitas.
Dinilai dengan 3 pertanyaan, setiap pertanyaan
benar diberikan nilai 1 dan jawaban salah
diberikan nilai 0.
b) Alat ukur : Kuesioner
c) Cara ukur : Wawancara
d) Skala ukur : Ordinal
e) Hasil ukur :
1. Sering, jika menjawab dengan nilai 2-3 (≥ 60%)
2. Jarang, jika menjawab dengan nilai 0-1 (60 %)
3. Jenis Kelamin
a) Definisi : Dibedakan atas laki-laki dan perempuan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 42


b) Alat ukur :-
c) Cara ukur : -
d) Skala ukur : Nominal
e) Hasil ukur : Laki-laki = 1, perempuan = 2
4. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
a) Definisi : Ditemukannya telur cacing ataupun cacing dewasa
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing
tambang pada feses siswa yang diperiksa di
Laboratorium Parasitologi
b) Alat ukur : Pemeriksaan laboratorium dengan mikroskop
c) Cara ukur : Pemeriksaan sediaan langsung pada feses
d) Skala ukur : Nominal
e) Hasil ukur :
1. Positif, apabila dari hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan
adanya telur cacing atau cacing dewasa di dalam feses
2. Negatif, apabila dari hasil pemeriksaan laboratorium tidak
ditemukan adanya telur cacing atau cacing dewasa di dalam feses.

4.5 Alur Penelitian

Persiapan Penelitian

Anak Usia Sekolah

Kriteria Kriteria
Inklusi Eksklusi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 43


Pembagian Pot Feses,
Informed Consent &
Kuesioner

Jumlah
Sampel

Pengumpulan Pot Feses Wawancara Terpimpin

Pemeriksaan Sediaan
secara Mikroskopik

Identifikasi Telur STH


& Cacing Dewasa

Analisis Data

Gambar 4.1 : Alur Penelitian

4.6 Alat dan Bahan Penelitian


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
a. Gelas objek
b. Kaca penutup
c. Larutan eosin
d. Lidi atau aplikator lainnya
e. Mikroskop
f. Feses

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 44


g. Pot untuk menyimpan feses

4.7.1 Instrumen Penelitian


a. Kuesioner (Lampiran)
b. Pemeriksaan Parasitologi di Laboratorium

4.8 Prosedur Pengamatan/Pengolahan Data


4.8.1 Prosedur Pengamatan Data
1. Data Primer
Data primer yang dikumpulkan adalah data kejadian infeksi
kecacingan pada siswa TK Siaga dan SDN 48 Ganting kelas I,
Kecamatan Koto Tangah. Data ini dikumpulkan dengan cara setiap
siswa yang terpilih menjadi sampel dibagikan masing-masing sebuah
pot plastik (diberi nomor sesuai dengan kuesioner) yang akan diisi tinja
keesokan harinya. Setelah itu dilakukan pemeriksaan sampel di
Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Apabila sampel tidak bisa langsung diperiksa, sampel tinja dapat
diawetkan dengan pemberian formalin. Pemeriksaan dilakukan dengan
pemeriksaan langsung/sediaan basah larutan eosin 2%, yaitu:
a. Teteskan satu tetes larutan eosin ke atas kaca objek.
b. Dengan lidi ambil sedikit feses (± 2 mg) dan campurkan dengan
tetesan larutan eosin sampai homogen, buang bagian-bagian kasar.
c. Tutup dengan kaca penutup ukuran 22 x 22 mm, sedemikian rupa
sehingga tidak terbentuk gelembung-gelembung udara.
d. Periksa secara sistematik dengan menggunakan pembesaran rendah
(objek 10 kali).
e. Apabila dicurigai adanya parasit periksalah dengan objek 40 kali.
f. Rekatkan dengan lilin cair/entelan/pewarna kuku (kuteks) pada tepi
sediaan untuk memperlambat kekeringan.
g. Cara pembuatan sediaan dengan syarat sediaan harus tipis, sehingga
warnanya merah jambu muda. Apabila warnanya merah jambu tua
atau jingga maka berarti sediaan terlalu tebal.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 45


Data tentang sanitasi lingkungan dan personal hygiene
dikumpulkan dengan menggunakan instrument kuesioner dan format
check list. Setelah anak mengisi lampiran informed consent yang
ditanda tangani oleh orang tua, kemudian dilakukan wawancara
terpimpin sesuai kuesioner. Kuesioner dibuat sendiri oleh peneliti dan
merujuk kepada kuesioner yang telah teruji. Data primer dikumpulkan
langsung oleh peneliti dan pada saat pemeriksaan laboratorium
didampingi oleh ahli parasitologi.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pencatatan dan pelaporan yang
diperoleh dari masing-masing sekolah, Puskesmas Lubuk Buaya, Dinas
Kesehatan Kota Padang, dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat.
4.8.2 Prosedur Pengolahan Data
a. Pengecekan data (Editing)
Dalam proses editing, dilakukan kegiatan mengamati apakah
semua pertanyaan sudah terjawab, kejelasan, dan perbaikan data yang
salah untuk mempersiapkan proses pengolahan selanjutnya.
b. Pengkodean data (Coding)
Apabila proses editing telah selesai dilakukan dan hasil catatan
atau jawaban kuesioner yang dinilai telah memenuhi syarat data, maka
dilakukan pengkodean pada kuesioner, yaitu merubah dari bentuk huruf
menjadi angka untuk memudahkan pengolahan.

c. Memasukkan data (Entry data)


Entry data merupakan kegiatan memasukkan data ke dalam
paket program komputer yang sesuai.
d. Pembersihan data (Cleaning data)
Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang
sudah di masukkan apakah terdapat kesalahan atau tidak.

4.9 Cara Pengolahan dan Analisis Data

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 46


4.9.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi
responden untuk masing-masing variabel yang meliputi sanitasi lingkungan dan
personal hygiene (kebiasaan mencuci tangan, kebersihan kuku, dan penggunaan
alas kaki) serta infeksi Soil Transmitted Helminths (STH).
4.9.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel
independen dengan variabel dependen yaitu sanitasi lingkungan dan personal
hygiene (kebiasaan mencuci tangan, kebersihan kuku, dan penggunaan alas kaki)
dengan infeksi Soil Transmitted Helminths (STH). Untuk melihat hubungan kedua
variabel digunakan uji Chi-Square dengan derajat kepercayaan 95%. Apabila nilai
p ≤ 0,05 menandakan terdapat hubungan antara variabel independen dan
dependen. Namun, apabila p > 0,05 menandakan tidak terdapat hubungan antara
variabel independen dan dependen.

BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian


Berdasarkan PP nomor 17 pada tanggal 21 Maret tahun 1980, Kecamatan
Koto Tangah yang sebelumnya termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Padang
Pariaman telah resmi dinyatakan sebagai wilayah administrasi Kota Padang.
Kecamatan Koto Tangah terletak di Lubuk Buaya, Kota Padang, Provinsi Sumatra

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 47


Barat, dengan luas wilayah 232,25 km2 dan jumlah penduduk yang menempati
sebanyak 161.638 jiwa.73
Kecamatan Koto Tangah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten
Padang Pariaman dan berada dalam jarak 7 km dari pusat Kota Padang, memiliki
batas – batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia
b. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pauh dan Kabupaten Solok
c. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman
d. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Padang Utara, Nanggalo,
dan Kuranji
Penelitian dilakukan pada anak usia sekolah di Kecamatan Koto Tangah
yang bersekolah di TK Siaga dan SDN 48 Ganting yang merupakan siswa taman
kanak-kanak dan sekolah dasar yang berada di Kelurahan Batang Kabung atau
disebut juga Kelurahan Ganting. Sekolah ini berada di daerah perkampungan yang
berbatasan langsung dengan pantai. Lingkungan sekolah yang diapit oleh rumah-
rumah pemukiman penduduk dengan luas tanah yang relatif sempit. TK Siaga
dengan luas tanah yang hanya 400 m2 dan SDN 48 Ganting dengan luas tanah
1598 m2. Selain itu, selokan di lingkungan sekolah tersumbat dan sampah
berserakan di jalan. Sarana dan prasarana mencuci tangan belum mencukupi dan
tidak semuanya bisa digunakan dengan baik. Kondisi tersebut memungkinkan
telur STH untuk dapat berkembang dengan baik. Berdasarkan data dari Dinas
Pendidikan Kota Padang, sekitar 40% siswa berasal dari keluarga yang kurang
mampu.

5.2 Karakteristik Responden


Karakteristik responden yang terdiri atas jenis kelamin, tingkatan
kelas, dan pekerjaan orang tua. Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diihat
pada tabel berikut.
Tabel 5.1 : Distribusi Karakteristik Responden
Karakteristik Responden Frekuensi (F) %

Jenis Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 48


- Laki laki 28 45.9
- Perempuan 33 54.1
Tingkatan Kelas
- TK 20 32,8
- I 41 67.2
Pekerjaan Orang Tua
- Buruh 27 44.3
- Nelayan 12 19.7
- Pedagang 13 21.3
- Pegawai Swasta 6 9.8
- PNS 3 4.9

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebanyak 28 orang (45.9%) responden


berjenis kelamin laki – laki dan sebanyak 33 orang (54.1%) responden yang
berjenis kelamin perempuan. Responden terdiri dari tingkatan TK sebanyak 20
orang (32,8%) dan siswa kelas I SD sebanyak 41 orang (67.2%). Berdasarkan
hasil penelitian diperoleh prevalensi terbanyak pekerjaan orang tua responden
berprofesi sebagai buruh yaitu 27 orang (44.3%), sedangkan jenis pekerjaan
dengan prevalensi terkecil adalah pegawai negeri sipil (PNS) yaitu 3 orang
(4.9%).

5.3 Sanitasi Lingkungan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 49


Tidak Memenuhi Syarat
Memenuhi Syarat

39.3 %

60.7 %

Gambar 5.1 : Distribusi Frekuensi Sanitasi Lingkungan Rumah


Berdasarkan hasil observasi langsung ke rumah-rumah responden,
diperoleh sanitasi lingkungan rumah yang memenuhi syarat adalah 60.7%.
Tabel 5.2 : Distribusi Jawaban Kuesioner Sanitasi Lingkungan
No Item Pertanyaan N %
.
1. Darimana sumber air untuk keperluan di rumah ?
PDAM 39 63.9
Sumur 22 36.1
2. Apakah dirumah ada Jamban/WC yang di pakai oleh
anggota keluarga ?
Ya 60 98.4
Tidak 1 1.6
3. Apakah ada tempat pembuangan sampah ?
Ya 56 91.8
Tidak 5 8.2
4. Apakah ada sarana pembuangan air limbah (SPAL) ?
Ya 60 98.4
Tidak 1 1.6

Berdasarkan tabel 5.2, diperoleh rincian sanitasi lingkungan rumah


responden yaitu sumber air yang berasal dari PDAM sebanyak 63.9%,
ketersediaan tong sampah didalam rumah sebanyak 91.8%, dan kepemilikan
jamban beserta SPAL sebanyak 98.4%.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 50


5.4 Personal Hygiene
5.4.1 Kebiasaan Mencuci Tangan

Tidak Baik Baik


19.7 %

80.3 %

Gambar 5.2 : Distribusi Frekuensi Kebiasaan Mencuci Tangan


Gambar 5.2 menunjukkan sebagian besar responden (80.3%) memiliki
kebiasaan mencuci tangan yang baik.
Tabel 5.3 : Distribusi Jawaban Kuesioner Kebiasaan Mencuci Tangan
No Item Pertanyaan N %
.
1. Apakah adik selalu mencuci tangan sebelum makan ?

Ya 54 88.5
Tidak 7 11.5
2. Apakah setelah bermain dengan tanah adik mencuci

tangan ?

Ya 52 85.2
Tidak 9 14.8
3. Dengan apa adik mencuci tangan setelah BAB ?

Dengan air dan sabun 50 82.0


Dengan air saja 11 18.0

Berdasarkan tabel 5.3, diperoleh rincian kebiasaan mencuci tangan


responden sebagian besar sudah baik, yaitu mencuci tangan sebelum makan
sebanyak 88.5%, mencuci tangan setelah bermain tanah sebanyak 85.2%, dan
mencuci tangan menggunakan sabun setelah BAB sebanyak 82.0%.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 51


5.4.2 Kebersihan Kuku

Tidak Bersih Bersih

31.1 %

68.9 %

Gambar 5.3 : Distribusi Frekuensi Kebersihan Kuku


Gambar 5.3 menunjukkan sebagian besar responden (68.9%) memiliki
kebersihan kuku yang bersih.
Tabel 5.4 : Distribusi Jawaban Kuesioner Kebersihan Kuku
No Item Pertanyaan N %
.
1. Berapa kali dalam seminggu adik memotong kuku ?

1x dalam 1 minggu 50 82.0


1x dalam 2 minggu atau lebih 11 18.0
2. Apakah kuku anak bersih ? (observasi)

Ya 39 63.9
Tidak 22 36.1
3. Apakah kuku anak panjang ? (observasi)

Tidak 40 65.6
Ya 21 34.4

Berdasarkan hasil observasi langsung kepada responden yang dijelaskan


pada tabel 5.4, diperoleh kuku anak yang bersih sebanyak 63.9%, kuku yang
pendek sebanyak 65.6%, dan responden yang memotong kuku sekali dalam
seminggu sebanyak 82.0%.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 52


5.4.3 Penggunaan Alas Kaki

Jarang Sering
16.4 %

83.6 %

Gambar 5.4 : Distribusi Frekuensi Penggunaan Alas Kaki


Gambar 5.4 menunjukkan sebagian besar responden (83.6%) memiliki
kebiasaan yang sering menggunakan alas kaki.
Tabel 5.5 : Distribusi Jawaban Kuesioner Penggunaan Alas Kaki
No Item Pertanyaan N %
.
1. Apakah setelah bermain adik mencuci kaki ?

Ya 37 60.7
Tidak 24 39.3
2. Apakah setiap keluar rumah/bermain adik memakai alas

kaki (sandal,sepatu) ?

Ya 53 86.9
Tidak 8 13.1
3. Apakah adik memakai alas kaki bila hendak BAB ?

Ya 40 65.6
Tidak 21 34.4

Berdasarkan tabel 5.3, diperoleh rincian penggunaan alas kaki responden


yaitu mencuci kaki setelah bermain sebanyak 60.7%, menggunakan alas kaki
ketika keluar rumah sebanyak 86.9%, dan memakai alas kaki bila hendak BAB
sebanyak 67.2%.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 53


5.5 Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
Hasil pemeriksaan feses dengan menggunakan metode pemeriksaan
langsung/sediaan basah larutan eosin 2% untuk mengetahui prevalensi infeksi
STH pada responden menunjukkan hasil yang rendah sebagaimana dijelaskan
pada gambar berikut.

Negatif Positif
4,9 %

95,1 %

Gambar 5.5 : Distribusi Frekuensi Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)


Pada gambar 5.5 didapatkan sebanyak 3 orang dari 61 populasi (4.9%)
responden positif terinfeksi STH. Jenis telur cacing yang ditemukan dalam
pemeriksaan adalah telur Ascaris lumbricoides (cacing gelang), telur Trichuris
trichiura (cacing cambuk), dan tidak ditemukan telur cacing tambang.
Tabel 5.6 : Distribusi Jenis Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
Frekuensi (F)
Jenis Infeksi
Positif % Negatif %
Ascaris lumbricoides 3 4.9 58 95.1
Trichuris trichiura 1 1.6 60 98.4
Cacing Tambang 0 0 0 0

Pada tabel 5.6 diperoleh distribusi infeksi STH berdasarkan jenis cacing
yaitu sebanyak 3 orang (5.3%) positif terinfeksi A.lumbricoides, sebanyak 1 orang
(1.5%) positif terinfeksi T.trichiura, dan tidak ada yang terinfeksi cacing tambang
(0%). Dari total 3 orang responden yang terinfeksi STH, terdapat 1 orang
responden yang terinfeksi oleh A.lumbricoides dan T.trichiura sekaligus.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 54


5.6 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
dependen dengan variabel independen. Variabel dependen yaitu infeksi Soil
Transmitted Helminths (STH) dan variabel independen terdiri dari sanitasi
lingkungan dan personal hygiene (kebiasaan mencuci tangan, kebersihan kuku,
dan penggunaan alas kaki. Hasil analisis bivariat ditampilkan dalam tabel berikut.
Tabel 5.7 : Hubungan antara Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene
dengan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
Variabel Positif Negatif P
F % f %
Sanitasi Lingkungan
Memenuhi Syarat 1 1,6 37 60,7 0,551
Tidak Memenuhi Syarat 2 3,3 21 34,4
Kebiasaan Mencuci Tangan
Baik 2 3,3 48 78,7 0,455
Tidak Baik 1 1,6 10 16,4
Kebersihan Kuku
Bersih 1 1,6 41 67,2 0,226
Tidak Bersih 2 3,3 17 27,9
Penggunaan Alas Kaki
Sering 3 4,9 50 82,0 0,100
Jarang 0 0 8 13,1

Tabel 5.7 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna


antara sanitasi lingkungan dan personal hygiene (kebiasaan mencuci tangan,
kebersihan kuku, dan penggunaan alas kaki) dengan infeksi Soil Transmitted
Helminths (STH) pada anak usia sekolah di Kecamatan Koto Tangah Kota
Padang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 55


BAB 6
PEMBAHASAN

6.1 Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) pada Anak Usia Sekolah di
Kecamatan Koto Tangah Kota Padang
Penelitian ini dilakukan pada 61 orang responden anak usia sekolah yang
terdiri dari 20 orang siswa TK Siaga dan 41 orang siswa SDN 48 Ganting kelas I.
Pemeriksaan sampel dilakukan di laboratorium parasitologi Fakultas Kedokteran
Unand dan didapatkan sebanyak 3 orang responden (4.9%) positif terinfeksi STH
dengan rincian ditemukannya telur cacing Ascaris lumbricoides (cacing gelang)
sebanyak 3 orang (4.9%), telur Trichuris trichiura (cacing cambuk) sebanyak 1
orang (1.6%) dan tidak ditemukan telur cacing tambang. Dari total 3 orang yang
terinfeksi STH, terdapat 1 orang yang terinfeksi oleh A.lumbricoides dan
T.trichiura sekaligus. Kejadian infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) yang
rendah ini dikarenakan pemerintah Kota Padang telah melakukan pemberian obat
filariasis massal pada bulan Oktober 2017 lalu, sehingga STH yang diperiksa juga
ikut mati disebabkan oleh efek obat tersebut.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mahmudah (2017) pada
siswa sekolah dasar di SD Barengan Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali,
Provinsi Jawa Tengah menunjukkan angka positif yang tinggi terinfeksi
kecacingan yaitu sebesar 40,21%.74 Pada tahun yang sama, Lestari mendapatkan
angka positif infeksi kecacingan yang lebih tinggi yaitu sebesar 57.5% pada siswa
SDN IV Cikiwul dan MIN Bantar Gebang Kota Bekasi.75 Angka persentase
infeksi kecacingan yang rendah ditemukan dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Derek, dkk (2017) di SD Negeri 58 Manado yaitu sebesar 9.8% dan
penelitian oleh Susilawati pada tahun yang sama di Kelurahan Baktate Kecamatan
Kupang Barat yaitu sebesar 12%.76,77
Angka nasional infeksi kecacingan di Indonesia adalah sebesar 28.12%. 78
Perbedaan angka infeksi kecacingan pada masing-masing hasil penelitian ini

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 56


kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan faktor risiko di beberapa lokasi
penelitian, terutama yang berhubungan dengan kondisi sanitasi lingkungan,
personal hygiene, dan kondisi alam atau geografi.79
Penurunan kejadian infeksi kecacingan pada responden anak usia sekolah
di Kecamatan Koto Tangah mungkin saja terjadi karena banyak hal, seperti
personal hygiene, sanitasi lingkungan, status gizi anak yang sudah membaik,
tingkat pengetahuan masyarakat yang tinggi, meningkatnya penghasilan per
kepala keluarga, serta efek obat filariasis yang diberikan pemerintah Kota Padang
pada bulan Oktober 2017 lalu. Status gizi tidak dilakukan dalam penelitian ini dan
penilaian status gizi anak dapat diambil dari hasil penimbangan berat badan,
tinggi badan, ukuran lingkar lengan atas, dan ukuran lingkar kepala anak.

6.2 Hubungan antara Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi Soil


Transmitted Helminths (STH)
Hasil uji Chi-Square test hubungan sanitasi lingkungan dengan infeksi
kecacingan menunjukkan p = 0.551 berarti tidak ada hubungan yang bermakna
antara sanitasi lingkungan dengan infeksi Soil Transmitted Helminths (STH).
Dari 21 orang responden yang sanitasi lingkungan rumahnya tidak memenuhi
syarat terdapat 2 orang (3.3%) positif terinfeksi STH.
Hasil observasi langsung ke rumah-rumah responden, sebagian besar
sanitasi lingkungan responden sudah memenuhi syarat (60.7%), akan tetapi 22
rumah responden (36.1%) masih menggunakan sumber air bersih yang berasal
dari sumur gali untuk keperluan sehari-hari dan tidak semuanya memenuhi syarat
air bersih. Sebanyak 5 rumah responden (8.2%) tidak menyediakan fasilitas tong
sampah di dalam rumah, keluarga responden menggantungkan sampah sebelum di
buang pada pagi hari atau malam hari ke tempat pembuangan sampah umum yang
disediakan pemerintah di pinggir jalan. Selain itu, 1 rumah responden (1.6%)
tidak memiliki jamban dan sarana pembuangan air limbah (SPAL), sehingga
keluarga tersebut menggunakan pantai sebagai alternatif untuk memenuhi
keperluan mandi, mencuci dan buang air besar.
Secara umum keadaan ini menggambarkan bahwa kondisi sanitasi
lingkungan rumah anak usia sekolah di Kecamatan Koto Tangah sudah memenuhi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 57


standar sebagai lingkungan yang memenuhi persyaratan kesehatan. Sanitasi
lingkungan yang tidak memenuhi syarat tentu dapat menjadi rantai penyebaran
penyakit infeksi kecacingan.
Kesehatan lingkungan di Indonesia merupakan salah satu permasalahan
utama yang sedang diupayakan demi meningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Masalah lingkungan meliputi kurangnya penyediaan air bersih, kurangnya
pembuangan kotoran yang sehat, keadaan rumah yang tidak sehat, usaha higiene
yang belum menyeluruh, pembuangan sampah dan limbah di daerah pemukiman
yang kurang baik. Kondisi ini dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya tingkat
kemampuan ekonomi masyarakat, kurangnya pengetahuan, kurangnya kesadaran
dalam pemeliharaan lingkungan, dan masih kurangnya kebijakan-kebijakan dari
pemerintah yang mendukung peningkatan kualitas kesehatan lingkungan ini.80
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kusmi (2015) di Kelurahan
Purus Kota Padang dan Chadijah (2014) di Kota Palu dan Kundaian (2011) bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara sanitasi lingkungan rumah dengan
infeksi STH. 81,82
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mahmudah
(2017) di Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali dan Jalaludin (2009) di
Kecamatan Blang Mangat Kabupaten Lhoksumawe bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara sanitasi lingkungan dengan infeksi STH.52,75
Perbedaan dari beberapa penelitian terdahulu, kemungkinan disebabkan
oleh beberapa faktor sanitasi yang mempengaruhi infeksi STH. Penelitian
Mahmudah (2017) menambahkan komponenen rumah (langit-langit, dinding,
lantai, jendela, ventilasi, sarana pembuangan asap dapur, dan pencahayaan)
dengan infeksi STH. Sedangkan pada penelitian Jalaluddin (2009) menemukan
faktor-faktor lain selain pengaruh sanitasi lingkungan yang akan mempengaruhi
infeksi kecacingan. Berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan yang tidak
menambahkan pengaruh komponen rumah terhadap infeksi STH.52,75
Keadaan sehat merupakan hasil interaksi antara manusia dan
lingkungannya. Lingkungan yang tidak memenuhi standar merupakan faktor
utama yang akan menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat, salah
satunya adalah infeksi kecacingan. Semakin baik kondisi lingkungan, maka

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 58


semakin kecil kemungkinan terjadinya infeksi STH terutama infeksi pada anak
usia sekolah.

6.3 Hubungan antara Personal Hygiene dengan Infeksi Soil Transmitted


Helminths (STH)
6.3.1 Hubungan antara Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Infeksi Soil
Transmitted Helminths (STH)
Hasil uji Chi-Square test hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan
infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) menunjukkan p = 0,455, berarti tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan mencuci tangan dengan
infeksi STH. Hasil penelitian dari 48 orang responden yang mempunyai kebiasaan
mencuci tangan yang baik terdapat 2 orang (3.3%) positif terinfeksi STH.
Sebagian besar responden sudah memiliki kebiasaan mencuci tangan yang baik
(80.3%), akan tetapi masih diperoleh responden yang mempunyai kebiasaan
mencuci tangan tidak baik meliputi tidak mencuci tangan sebelum makan
sebanyak 7 orang (11.5%), setelah bermain sebanyak 9 orang (14.8%), dan
responden yang hanya mencuci tangan setelah buang air besar dengan air tanpa
menggunakan sabun sebanyak 11 orang (18.0%).
Hal ini kemungkinan disebabkan karena sebagian besar responden sudah
membiasakan kebiasaan tersebut saat belajar dalam materi usaha kesehatan
sekolah (UKS), pelajaran olahraga, dan telah diterapkan di dalam lingkungan
keluarga. Selain itu, dari hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan infeksi cacing
A.lumbricoides lebih besar dibandingkan dengan jenis STH yang lain. Cacing ini
ditularkan melalui mulut (oral) bukan menembus kulit melalui kaki sebagaimana
cacing tambang dan Strongyloides stercoralis.
Kebiasaan mencuci tangan mempunyai pengaruh yang besar terhadap
infeksi STH, mencuci tangan menggunakan air dan sabun akan mematikan telur
cacing yang melekat pada tangan dan kuku, hal ini dapat mengurangi infeksi STH.
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Majid (2001) bahwa cara
yang paling baik dalam memutus mata rantai penularan infeksi cacing yang
ditularkan melalui tanah yaitu dengan menjaga personal hygiene misalnya

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 59


mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan menggunting kuku secara
rutin.83

Hasil penelitian ini mendukung penelitian Nusa, dkk. (2013) di Kecamatan


Damau Kabupaten Kepulauan Talaud, Endriani, dkk. (2010) di Kelurahan
Karangroto Semarang dan Sofiana (2010) di Kabupaten Salatiga Yogyakarta
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan mencuci tangan
dengan infeksi STH.84,85,86 Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi,
dkk. (2013) di Pulau Barrang Lompo Kota Talaud Makassar, Jalaluddin (2009) di
Kota Lhokseumawe dan Rizki Rahmad (2008) di Kecamatan Sibolga Kota bahwa
ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan mencuci tangan dengan infeksi
STH pada siswa sekolah dasar.52,87, 88
Perbedaan dari beberapa penelitian terdahulu, kemungkinan disebabkan
dengan beberapa faktor hygiene yang mempengaruhi infeksi STH. Dari penelitian
Rizki Rahmad (2008) menambahkan hubungan jajanan dengan infeksi STH.
Sedangkan pada penelitian Jalaluddin (2009) menemukan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi infeksi kecacingan selain pengaruh personal hygiene. Berbeda
dengan penelitian yang peneliti lakukan yang tidak menambahkan tentang jajanan
siswa SD dalam pengaruhnya pada infeksi STH.52,88
Walaupun sudah mencuci tangan menggunakan air dan sabun sebelum
makan, setelah buang air besar, dan bermain tanah tetapi masih terkena infeksi
STH, hal ini kemungkinan disebabkan karena sering berkontak dengan tanah,
jajan sembarangan, dan kebersihan kuku yang kotor. Oleh karena itu personal
hygiene harus dijaga untuk menghindari infeksi tersebut.88
6.3.2 Hubungan antara Kebersihan Kuku dengan Infeksi Soil Transmitted
Helminths (STH)
Hasil uji Chi-square test hubungan kebersihan kuku dengan infeksi Soil
Transmitted Helminths (STH) menunjukkan p = 0.226, berarti tidak ada hubungan
yang bermakna antara kebersihan kuku dengan infeksi STH. Dari 41 responden
yang mempunyai kebersihan kuku yang bersih terdapat 1 orang (1.6%) yang
positif terinfeksi STH. Sebagian besar responden memiliki kuku yang bersih
(68.9%), akan tetapi masih ditemukan responden yang memotong kuku 1 kali

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 60


dalam 2 minggu atau lebih sebanyak 11 orang (18.0%), responden dengan kuku
yang panjang sebanyak 21 orang (34.4%), dan responden yang mempunyai kuku
kotor sebanyak 22 orang (36.1%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nusa, dkk.
(2013) di Kecamatan Damau Kabupaten Kepulauan Talaud, penelitian Endriani,
dkk (2010) di Kelurahan Karangroto Semarang dan Sofiana (2010) di Kabupaten
Salatiga Yogyakarta bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kebersihan
kuku dengan infeksi STH.84,85,86 Sedangkan ditemukan hasil yang berbeda dari
penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi, dkk. (2013) di Pulau Barrang Lompo Kota
Makassar, Rizki Rahmad (2008) di Kecamatan Sibolga Kota dan penelitian
Jalaluddin (2009) di Kota Lhokseumawe bahwa ada hubungan yang bermakna
antara kebersihan kuku dengan infeksi STH. 52,87,88 Penelitian Agustina (2000) di
Kabupaten Bandung mendapatkan bahwa ada hubungan yang erat antara tanah
dan kuku yang tercemar oleh telur A.lumbricodes dengan kejadian Ascariasis.89
Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena faktor personal hygiene lain
yang ditemukan. Pada penelitian Rahmad Rizki (2008) di Kecamatan Sibolga
Kota didapatkan prevalensi kecacingan yang cukup tinggi pada anak yang sering
menggigit kuku ketika sedang bermain dan memasukkan jari tangan kedalam
mulut.88
Personal hygiene seperti kebersihan kuku merupakan salah satu faktor
yang berperan dalam infeksi STH. Infeksi kecacingan dapat dipengaruhi oleh
kebiasaan siswa bermain di tanah. Sebagian responden yang tidak menjaga
kebersihan kuku dan memiliki kuku yang kotor kemungkinan disebabkan oleh
ketidaktahuan responden bahwa infeksi STH sebagian besar ditularkan melalui
tangan yang kotor dan kuku panjang yang menyimpan telur cacing. Apabila
tangan dan kuku tidak dicuci dengan bersih, maka telur cacing yang tersimpan di
dalam kuku akan ikut tertelan ketika makan. 90 Kuku yang terawat dan bersih juga
merupakan cerminan kepribadian seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat
akan menjadi tempat melekat berbagai kotoran yang mengandung bahan dan
mikroorganisme diantaranya bakteri dan telur cacing.91
6.3.3 Hubungan antara Penggunaan Alas Kaki dengan Infeksi Soil Transmitted
Helminths (STH)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 61


Hasil Chi-Square test hubungan penggunaan alas kaki dengan infeksi Soil
Transmitted Helminths (STH) menunjukkan p = 0.100, berarti tidak ada hubungan
yang bermakna antara penggunaan alas kaki dengan infeksi STH. Dari 50
responden yang sering menggunakan alas kaki terdapat 3 orang (4.9%) positif
terinfeksi STH. Sebagian besar responden (83.6%) memiliki kebiasaan
menggunakan alas kaki yang baik, akan tetapi masih ditemukan 24 orang (39.3%)
yang tidak mencuci kaki setelah bermain, 21 orang (34.4%) yang tidak
menggunakan alas kaki saat hendak BAB, dan 8 orang (13.1%) yang tidak
menggunakan alas kaki ketika keluar rumah.
Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizki Rahmad (2008)
di Kecamatan Sibolga Kota, penelitian Endriani, dkk (2010) di Kelurahan
Karangroto Semarang dan penelitian Nusa, dkk. (2013) di Kabupaten Kepulauan
Talaud bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan alas kaki
dengan infeksi STH.84,85,88 Tetapi ditemukan hasil yang berbeda pada penelitian
yang dilakukan oleh Jalaluddin (2009) di Kota Lhokseumawe dan Pertiwi, dkk.
(2013) di Kota Makassar bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan
alas kaki dengan infeksi STH.52,87
Hal ini kemungkinan disebabkan karena jenis infeksi terbanyak yang
ditemukan pada penelitian ini adalah A.lumbricodes. Dari 61 responden yang
diperiksa, tidak ada yang terinfeksi cacing tambang. Selain itu, responden juga
sudah menggunakan alas kaki (sandal atau sepatu) ketika bermain di atas tanah.
Hal ini sudah diajarkan oleh orang tua dan guru untuk melindungi kaki dari
bahaya benda asing dan penyakit kecacingan yang dapat membahayakan
keselamatan mereka.

6.4 Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
menggunakan rancangan cross sectional yaitu penelitian yang dilakukan dengan
sekali pengamatan pada suatu saat tertentu terhadap objek yang berubah,
berkembang atau tumbuh menurut waktu. Penelitian ini tidak dapat memberikan
penjelasan sebab akibat, akan tetapi hubungan yang ada hanya menunjukkan
hubungan variabel dependen dengan variabel independen.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 62


BAB 7
PENUTUP

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan setelah dilakukan serangkaian analisis
dan pembahasan, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Prevalensi infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) pada anak usia
sekolah di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang adalah 4.9 persen.
2. Sebagian besar sanitasi lingkungan di Kecamatan Koto Tangah Kota
Padang sudah baik, tetapi masih ditemukan beberapa rumah dengan
sumber air bersih yang berasal dari sumur gali, tidak memiliki tempat
sampah di dalam rumah, dan terdapat satu rumah yang tidak memiliki
jamban dan SPAL.
3. Sebagian besar personal hygiene anak usia sekolah di Kecamatan Koto
Tangah Kota Padang sudah baik, tetapi masih ditemukan beberapa anak
dengan kebiasaan mencuci tangan yang buruk dan sepertiga anak memiliki
kuku yang panjang dan kotor.
4. Tidak ada hubungan yang bermakna antara sanitasi lingkungan dengan
infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) pada anak usia sekolah di
Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
5. Tidak ada hubungan yang bermakna antara personal hygiene (kebiasaan
mencuci tangan, kebersihan kuku, dan penggunaan alas kaki) dengan
infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) pada anak usia sekolah di
Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.

7.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka beberapa saran yang disampaikan
adalah sebagai berikut:
1. Bagi Masyarakat
Masyarakat perlu meningkatkan kondisi sanitasi lingkungan yang
lebih baik, berupa sumber air bersih, penyediaan tempat sampah didalam

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 63


rumah, ketersediaan jamban dan saluran pembuangan air limbah (SPAL),
serta menerapkan personal hygiene yang baik untuk memperoleh
lingkungan yang sehat dan terbebas dari infeksi Soil Transmitted
Helminths (STH).
2. Bagi Orang Tua
Orang tua merupakan seseorang yang paling bertanggung jawab
terhadap kondisi seorang anak. Oleh karena itu, diharapkan kepada orang
tua agar memperhatikan personal hygiene anaknya dengan menerapkan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) supaya terhindar dari berbagai
penyakit, terutama infeksi Soil Transmitted Helminths (STH).
3. Bagi Sekolah
Sekolah perlu mengaktifkan kembali program Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS) untuk menerapkan perilaku disiplin kebersihan bagi siswa
dengan cara mengadakan sanksi kepada siswa yang tidak menjaga
kebersihan diri, dan menerapkan gerakan cuci tangan pakai sabun (CTPS)
di sekolah sebagaimana yang telah diwajibkan oleh pemerintah.
4. Bagi Dinas Kesehatan
Untuk Dinas Kesehatan Kota Padang, dilihat dari tingginya angka
infeksi kecacingan secara nasional yaitu 28.12 persen, perlu dilakukan
pemeriksaan dan pengobatan cacing secara berkala setiap 6 bulan sekali
pada anak usia sekolah yang dilaksanakan oleh pihak puskesmas Lubuk
Buaya.
5. Bagi Peneliti Lanjutan
Karena keterbatasan variabel yang diteliti maka disarankan pada
penelitian selanjutnya untuk meneliti lebih luas dan mendalam dengan
variabel-variabel lain yang belum tergali seperti menganalisis hubungan
antara kebersihan kuku dengan infeksi cacing A.lumbricoides,
menganalisis hubungan antara penggunaan alas kaki dengan infeksi cacing
tambang, mengidentifikasi karakteristik siswa dengan infeksi STH, atau
menemukan variabel independen lain seperti konsumsi makanan jajanan
siswa di sekolah dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan infeksi
kecacingan.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 64


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 65

You might also like