You are on page 1of 12

Peran ASEAN menangani perdagangan perempuan di Indonesia (Nurachma Rizka)

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2) : 567 - 578


ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org
© Copyright 2013

PERAN ASSOCIATION OF SOUTH EAST ASIAN NATIONS


(ASEAN) DALAM MENANGANI PERDAGANGAN
PEREMPUAN DI INDONESIA (2004 – 2008)

NURACHMA RIZKA YUNIFTASARI 1


NIM. 06. 54009. 08284. 02

Abstract

This research aim to know how the role of ASEAN to overcome trafficking in
women in Indonesia from 2004 until 2008. This research is descriptive research
wherein give the common pictures and explain about the role of ASEAN regarding
to overcome trafficking in women especially in Indonesia. Presented data is
secondary data which is collected from various books, magazines, articles,
journals, summary lectures, websites and newspapers related to problems. Data
analyse’s technique used is content analysis.

Result of this research about role of the ASEAN to overcome trafficking in women
is to motivate Indonesia to publish the law about againts criminal act trafficking in
persons, to prevent and overcome trafficking in persons and protect trafficking
victims as an adaptation from the signature of UN Convention Transnational
Organized Crime and its protocol, Protocol to Prevent Suppress and Punish
Trafficking in Person, Especially Women and Children Suplementing The United
Nation Convention Again Transnational Organized Crime in 2000. Wherein this
law answer about the recommendation of ASEAN workshop at 6 th SOMTC in 2006
about determining the definition and parameter of trafficking in persons that point
to Palermo protocol which can be used as regional standard to collecting data in
national level. There is the obstacle are lack of the knowledge about trafficking in
person as criminal act that still happen in Indonesia society and the mistrust of
society to law intruments and agency in overcome trafficking in person especially
women.

Keyword : ASEAN, Trafficking in Women

Pendahuluan

1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Mulawarman. Email: nicetomiss_u@yahoo.com

55
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 567 - 578

Pasca ditetapkannya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap


Wanita (Konvensi wanita; CEDAW), perdagangan manusia masih menjadi isu global
yang mengemuka. Dalam perkembangannya, perdagangan manusia adalah bentuk
modern perbudakan yang luas terjadi di seluruh dunia. Memperdagangkan manusia
adalah industri kejahatan terbesar kedua di dunia setelah perdagangan obat terlarang
dan merupakan yang tercepat pertumbuhannya (www.duniapelajar.org, diakses 3
Desember 2008).

Dalam catatan Asian Development Bank, pada tahun 2003 sebanyak satu juta
manusia telah diperdagangkan di seluruh dunia. Sebagian besar dari negara miskin
dan berada pada tahap berkembang. Dalam aktivitas perdagangan manusia tersebut,
perempuan juga telah menjadi bagian dari komoditas yang dieksploitasi. Dalam
kondisi seperti ini, anak – anak bangsa menjadi kehilangan tokoh ibu yang bisa
dijadikan panutan dan kebanggaan.

Perdagangan perempuan ini juga terjadi di kawasan ASEAN. Berdasarkan data


UNICEF, diperkirakan terdapat 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks
dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan setiap tahunnya di kawasan ASEAN.
Bahkan, Indonesia tercatat sebagai negara pelaku perdagangan manusia ke luar
negeri, lintas batas dan domestik. Negara anggota ASEAN yang menjadi tujuan
utama perdagangan manusia dari Indonesia ini adalah Malaysia, Singapura, dan
Brunai. Hal ini dipengaruhi oleh faktor geografis yang mempermudah pelaku
perdagangan mengirimkan korban melintasi perbatasan antar negara – negara
tersebut. (Louis Brown, 2005 : 76)

Sebagai organisasi regional di Asia Tenggara, ASEAN memiliki posisi istimewa di


mata Indonesia sebagai sarana pencapaian kepentingan nasional Indonesia di kawasan
Asia Tenggara. Indonesia merupakan negara anggota yang aktif dalam
mengimplementasikan kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan ASEAN ke dalam
kebijakan – kebijakan nasional Indonesia. Pemberantasan perdagangan manusia
khususnya perempuan tidak dapat ditangani sendiri oleh Indonesia. Hal ini
dikarenakan, perdagangan perempuan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga
hampir diseluruh negara. Pemerintah Indonesia membuat kebijakan dengan
mengadakan kerjasama dengan berbagai negara khususnya di kawasan ASEAN
melalui keikutsertaan negara Indonesia dalam berbagai konvensi – konvensi
internasional yang membahas mengenai perdagangan manusia khususnya
perdagangan perempuan.(www.sinarharapan.co.id, diakses 4 Maret 2009

Isu mengenai wanita mulai diangkat pada ASEAN Women Leaders Conference di
Jakarta pada bulan Desember 1975. Pertemuan pertama ASEAN Standing Committee
di Manila tahun 1975 membentuk ASEAN Sub-Committee on Women (ASW).
Selanjutnya pada Pertemuan ke-20 ASW tahun 2001, ASW ditingkatkan statusnya
menjadi ASEAN Committee on Women (ACW).

Dari sisi perkembangan regional policy framework, terdapat tiga deklarasi penting
ASEAN yang terkait dengan isu wanita dan telah disahkan, yakni (www.deplu.go.id,
diakses 27 Desember 2008):
1.Declaration on the Advancement of Women in ASEAN, tahun 1988;

56
Peran ASEAN menangani perdagangan perempuan di Indonesia (Nurachma Rizka)

2.The Declaration on HIV and AIDS, tahun 2001;


3.The Declaration against Trafficking in Persons Particularly Women and Children,
tahun 2004; dan
4.The Declaration on the Elimination of Violence against Women (DEVAW), tahun
2004.

Sejauh ini, terdapat dua Work Plan yang telah disusun dan disahkan sebagai tindak
lanjut dari deklarasi-deklarasi yang dihasilkan, antara lain:

1.Work Plan on Women’s Advancement and Gender Equality (2005-2010) sebagai


tindak lanjut dari 1988 Declaration on the Advancement of Women in the ASEAN
Region; dan
2.Work Plan to Operationalize the Declaration on the Elimination of Violence
against Women in ASEAN sebagai tindak lanjut dari Declaration on the Elimination
of Violence against Women (DEVAW) 2004.

Selain itu, terdapat AIPO (ASEAN Inter-Parliamentary Organization) yang kemudian


bertransformasi menjadi AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly) yang menjadi
wadah bagi negara – negara ASEAN untuk saling berbagi informasi dan
menoptimalkan kerjasama terutama dalam penanggulangan perdagangan manusia di
kawasan ASEAN.

Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengambil tindakan atas masalah perdagangan


manusia yang ada di Indonesia, yaitu dengan menandatangani Protocol to Prevent
Suppress and Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children
Suplementing The United Nation Convention Again Transnational Organized Crime
(Protokol PBB untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku trafficking
terhadap manusia khususnya perempuan dan anak) tahun 2000. Sikap pemerintah
Indonesia untuk memerangi perdagangan manusia dipertegas kembali dalam
Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN).

Masih terjadinya perdagangan manusia khususnya perempuan walaupun telah banyak


usaha dan ketentuan yang ditempuh dan ditetapkan baik oleh pemerintah Indonesia
maupun ASEAN sebagai organisasi regional inilah yang mendorong penulis untuk
mengangkat judul Peran ASEAN dalam Menangani Perdagangan Perempuan di
Indonesia.

Kerangka Dasar Teori


Konsep Organisasi Internasional
Organisasi Internasional, akan lebih lengkap dan menyeluruh jika didefinisikan
sebagai berikut :
“Pola kerjasama yang melintasi batas – batas Negara dengan didasari struktur
organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk
berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga
guna mengusahakan tercapainya tujuan – tujuan yang diperlukan serta disepakati
bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama kelompok
non-pemerintah pada Negara yang berbeda” (T.May Rudi, 2005 : 3).

57
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 567 - 578

Penggolongan Organisasi Internasional


Dari segi ruang lingkup, fungsi, kewenangan dan lain sebagainya, ada bermacam –
macam penggolongan organisasi internasional. Secara terinci, penggolongan
organisasi internasional ada bermacam – macam, tinjauan ini di dasarkan pada
(T.May Rudi, 2005 : 5-9) :

Kegiatan Administrasi
1.Organisasi Internasional Antar-pemerintah (Inter-Governmental Organization /
IGO) :
Anggotanya adalah pemerintah atau instansi yang mewakili pemerintah suatu negara
secara resmi.
2.Organisasi Internasional non-pemerintah (Non-Governmentlk Organization / NGO):
Terdiri dari kelompok – kelompok swasta di bidang keilmuan, keagamaan,
kebudayaan, bantuan teknik atau ekonomi dan sebagainya.

Ruang Lingkup (Wilayah) Kegiatan Dan Keanggotaan:


1.Organisasi Internasional Global :
Wilayah kegiatannya adalah global dan keanggotaannya terbuka dalam ruang lingkup
di berbagai penjuru dunia
2.Organisasi Internasional Regional :
Wilayah kegiatannya adalah regional dan keanggotaannya hanya diberikan bagi
negara – negara pada kawasan tertentu saja.

Bidang Kegiatan (Operasional) Organisasi


1.Bidang Ekonomi
2.Bidang Lingkungan Hidup
3.Bidang Kesehatan
4.Bidang Pertambangan
5.Bidang Komoditi
6.Bidang Bea-Cukai Dan Perdagangan Internasional

Tujuan dan Luas Bidang Kegiatan Organisasi


1.Organisasi Internasional Umum :
Tujuan organisasi serta bidang kegiatannya bersifat luas dan umum bukan hanya
menyangkut bidang tertentu.
2.Organisasi Internasional Khusus :
Tujuan organisasi dan kegiatannya adalah khusus pada bidang tertentu.

Ruang Lingkup (Wilayah) dan bidan kegiatan


1.Organisasi Internasional : Global – Umum
2.Organisasi Internasional : Global – Khusus
3.Organisasi Internasional : Regional – Umum
4.Organisasi Internasional : Regional – Umum

Menurut Taraf Kewenangan


1.Organisasi Supra-Nasional (Supra-National Organization) :

58
Peran ASEAN menangani perdagangan perempuan di Indonesia (Nurachma Rizka)

Kedudukan dan kewenangan organisasi internasional berada di atas negara- negara


anggota.
2.Organisasi Kerjasama (Co-Operative Organization) :
Kedudukan dan kewenangan organisasi internasional tidaklah lebih tinggi dibanding
negara – negara anggotanya. Organisasi adalah wadah kerjasama berdasarkan
kesepakatan anggota.

Bentuk dan pola kerjasama


1.Kerjasama pertahanan – keamanan (Collective Security) yang adakalanya disebut
“Institutionalized Alliance”
2.Kerjasama Fungsional (Functional Co-operation). Organisasi yang didasarkan pada
kerjasama fungsional ini, jumlahnya sangat banyak. Ada kerjasama fungsional di
bidang ekonomi politik, sosial dan budaya; disamping pola kerjasama secara umum
(mencakup berbagai bidang)

Fungsi Organisasi
1.Organisasi Politikal (Political Organization), yaitu organisasi yang dalam
kegiatannya menyangkut masalah – masalah politik dalam hubungan internasional.
Mungkin saja, titik berat pola kerjasama adalah ekonomi dan sosial-budaya tetapi
tidak dapat melepaskan sepenuhnya kaitan hal – hal lainnya itu terhadap masalah
politik
2.Organisasi Administartif (Administration Organization), yaitu organisasi yang
sepenuhnya hanya melaksanakan kegiatan teknik secara adminitratif. Misalnya :
pengaturan lalu-lintas dan ketentuan mengenai pos, lalu-lintas dan ketentuan
telekomunikasi (telepon SLI, telex, SKSD), ketentuan jalur pelayaran dan jalur
penerbangan, pengaturan kuota serta tingkat harga minyak atau komoditi lainnya.
3.Organisasi Peradilan (Judical Organization), yaitu organisasi yang menyangkut
penyelesaian sengketa pada berbagai bidang atau aspek (politik, ekonomi, hukum,
sosial dan budaya) menurut prosedur hukum dan melalui proses peradilan (sesuai
ketentuan internasional dan perjanjian – perjanjian internasional)

Peran Organisasi Internasional


Le Roy Bennet dalam bukunya International Orgnanization (1997 : 3) secara jelas
mengemukakan mengenai peran dan fungsi organisasi internasional, akan tetapi
terbatas hanya untuk organisasi internasional antar-pemerintah (IGOs/Inter-
Governmental Organizations). Dalam ulasan Le Roy Bennet memang tidak secara
tegas membedakan antara peranan (role) dan fungsi (function). Namun dapat kita
simpulkan bahwa fungsi organisasi internasional tidak mencakup pelaksanaan
kedaulatan (soveregnty) dan kekuasaan (power) sebagaimana yang dimiliki oleh
negara, melainkan hanya mencakup (T.May Rudi, 2005 : 28):
1.Sebagai sarana kerjasama antar-negara dalam bidang – bidang dimana kerjasama
dapat memberi manfaat/keuntungan bagi sejumlah negara.
2.Sebagai tempat atau wadah untuk menghasilkan keputusan bersama.
3.Sebagai saranan atau mekanisme administratif dalam mengejewantahkan keputusan
bersama menjadi tindakan nyata
4.Menyediakan berbagai saluran komunikasi antar-pemerintah sehingga penyelarasan
lebih mudah tercapai

59
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 567 - 578

Pakar Lainnya Clive Archer menyatakan bahwa peranan organisasi internasional


(1983: 136-137) adalah sebagai berikut pada (T.May Rudi, 2005 : 29):
1.Instrumen (alat/sarana), yaitu untuk mencapai kesepakatan, menekan intensitas
konflik (jika ada) dan menyelaraskan tindakan
2.Arena (forum/wadah), yaitu untuk berhimpun berkonsultasi dan memprakarsai
pembuatan keputusan secara bersama – sama atau perumusan perjanjian – perjanjian
internasional (convention, treaty, protocol, agreement dan lain sebagainya)
3.Pelaku (aktor), bahwa organisasi internasional juga merupakan aktor yang
autonomus dan bertindak dalam kapasitasnya sendiri sebagai organisasi internasional
dan bukan lagi sebagai pelaksanaan kepentingan anggota – anggotanya.

Konsep Perdagangan Perempuan (Trafficking in Women)


Perdagangan perempuan menurut Protocol to Prevent and Punish Trafficking in
Person Especially Women and Children Suplemting The United Union Convention
Againts Transnational Organized Crime tahun 2000 adalah
(www.pemantauperadilan.com, diakses 27 Desember 2008):

“Rekrutmen, transportasi, pemindahtanganan, penampungan atau penerimaan orang,


dengan menggunakan cara – cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau berbagai
bentuk paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau penyalahgunaan posisi kerentanan atau pemberian atau penerimaan
bayaran atau keuntungan lain guna mendapat persetujuan dari seseorang yang
mempunyai kendali terhadap orang lain, untuk kepentingan eksploitasi. Eksploitasi
mencakup, sedikitnya eksploitasi prostitusi atau bentuk – bentuk eksploitasi seksual
lainnya, kerja paksa, perbudakan atau praktek – praktek sejenisnya, perhambaan atau
pengambil alihan organ – organ tubuh.”

Persatuan Bangsa – Bangsa (PBB) mendefinisikan trafficking sebagai (Andy


Yentriani, 2005 : 20) :
Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang,
dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk – bentuk paksaan lain,
penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau
memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang
mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.

Diantara banyaknya kasus perdagangan perempuan yang terjadi, dengan terpenuhinya


syarat bahwa perdagangan harus melibatkan unsur penipuan, kekerasan atau
pemaksaan, maka seorang perempuan dapat diakui menjadi korban perdagangan.
Bahkan jika ia menyetujui perekrutan atau pengiriman dirinya ke tempat bekerjanya
pun, juga dapat dikatakan sebagai korban. Biasanya seseorang akan menyetujui
perekrutan diri mereka, bahkan ingin sekali direkrut sebagai tenaga kerja ke luar
negeri (buruh migran). Namun fakta yang terjadi di lapangan adalah calon tenaga
kerja ini tidak mendapatkan informasi yang jelas dan benar mengenai kondisi kerja
yang akan mereka hadapi di negara tujuan bekerja. Mereka mungkin akan dipaksa
untuk menjadi pekerja seks, dipaksa untuk bekerja dengan pembayaran yang kecil
atau bahkan tidak digaji sama sekali, dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang
berbeda dari apa yang dijanjikan sebelumnya.

60
Peran ASEAN menangani perdagangan perempuan di Indonesia (Nurachma Rizka)

Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe deskriptif, yaitu tipe penelitian yang
mendeskripsikan satu atau lebih fenomena dengan beberapa pertimbangan, yang
mana penulis memberikan gambaran dan menjelaskan mengenai peran Association of
South East Asian Nation (ASEAN) dalam menangani perdagangan perempuan di
Indonesia pada tahun 2004 - 2008. Data yang disajikan merupakan data sekunder
yang diperoleh melalui telaah pustaka, yakni dengan mengumpulkan data-data yang
relevan dengan permasalahan yang dibahas dari literatur seperti buku, surat kabar,
atau majalah dan situs-situs dari internet. Teknik analisis yang digunakan adalah
content analysis, yaitu menganalisa data dari sumber – sumber tertulis dan data yang
terkumpul akan dihubungkan demi mendukung permasalahan yang diteliti.

Pembahasan
Perdagangan perempuan merupakan fenomena regional dan global yang selalu dapat
ditangani secara efektif pada tingkat nasional. Sebuah respon nasional sering
berakibat para pelaku perdagangan berpindah operasi ke tempat lain. Kerjasama
internasional baik multilateral maupun bilateral sangat berperan penting dalam
memberantas perdagangan perempuan. Kerja sama seperti ini dapat mengupas secara
kritis antara negara yang terlibat pada tahap – tahap yang berbeda dalam lingkaran
perdagangan perempuan.

Dalam buku Kerjasama ASEAN dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas Negara


dijelaskan bahwa asumsi dasar dari kejahatan lintas Negara adalah jelas
(Abdurrachman Mattalitti, dkk, 2001 : 1) :

Pertama, merupakan gejala global yang tidak dapat diselesaikan oleh satu Negara
saja, melainkan harus melalui kerjasama internasional.
Kedua, kejahatan ini tumbuh dan berkembang seirama dengan kemajuan teknologi
informasi dan transportasi internasional.
Ketiga,kejahatan tersebut disebabkan oleh kondisi sosial, politik, ekonomi,
pertahanan, keamanan, dan teknologi yang berkembang pesat di berbagai Negara juga
kebijakan dalam dan luar negeri suatu Negara yang menjadi sasaran dari kejahatan
ini.
Keempat, kejahatan lintas Negara tidak memandang ideologi, suku bangsa ataupun
agama dari para pelaku kejahatan ini.
Kelima, dapat dilakukan oleh individu, kelompok, atau bahkan Negara, baik sebagai
sponsor maupun pelakunya; keenam, tidak selalu didasari oleh motif politik semata,
tetapi juga motif-motif ekonomi atau bahkan tak ada motif yang jelas.

Dengan demikian, tindak pidana perdagangan manusia terutama perempuan


merupakan kejahatan transnasional sehingga tidak dapat ditanggulangi secara parsial
atau secara sendiri – sendiri oleh masing – masing negara. Negara – negara yang
tidak menyetujui perbudakan dan melindungi warga negaranya harus bersatu padu
bekerja sama menanggulangi dan mencegah terjadinya perdagangan perempuan.
Kerjasama antar pemerintah (government to government), antar-LSM, antar
organisasi masyarakat dan perorangan dalam dan luar negeri harus dibina dan
dikembangkan, sehingga terbentuk kekuatan yang dapat menanggulangi dan
memberantas serta mencegah tindak pidana perdagangan perempuan yang

61
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 567 - 578

terorganisir tersebut. Dari pendefinisian dapat diperoleh gambaran mengenai


kejahatan transnasional. Sementara dari ASEAN sendiri, dalam pertemuan di Yangon,
Myanmar pada bulan Juni 1999, telah ditetapkan Rencana Aksi ASEAN untuk
memerangi kejahatan lintas Negara (ASEAN Plan of Action to Combat Transnational
Crimes) dimana rencana aksi tersebut memproritaskan enam bidang kerjasama dalam
kejahatan transnasional, salah satunya adalah perdagangan perempuan.

ASEAN Senior Official Meeting on Transnational Crime. ASEAN Senior Official


Meeting on Transnational Crime (SOMTC) merupakan forum kerjasama negara-
negara ASEAN dalam memberantas kejahatan transnasional. Pertemuan SOMTC
diselenggarakan setiap tahun secara bergiliran di tiap-tiap negara anggota ASEAN.
Hasil dari pertemuan SOMTC selanjutnya akan dibawa ke pertemuan tingkat Menteri
(ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime-AMMTC) untuk dibahas lebih
lanjut dan disahkan.

Dalam pertemuan AMMTC ke-2 di Kuala Lumpur, Malaysia telah disepakati delapan
jenis kejahatan transnasional yang dianggap berdampak serius di kawasan Asia
Tenggara dan memerlukan perhatian serta kerjasama yang serius dari negara-negara
anggota ASEAN. Kedelapan jenis kejahatan transnasional tersebut yaitu :
1. Illicit Drug Trafficking,
2. Trafficking in Persons Especially Women and Children,
3. Sea Piracy and Armed Robbery at Sea,
4. Arms Smuggling,
5. Terrorism,
6. Money Laundering,
7. International Economic Crime, dan
8. Cyber Crime

Seiring dengan perkembangan kedelapan kejahatan transnasional tersebut, pertemuan


SOMTC ke-5 di Kamboja 2005 menyepakati dari 8 issue kejahatan transnasional,
empat jenis kejahatan yang menjadi prioritas yaitu terrorisme, perdagangan gelap
narkotika, perdagangan manusia, dan pencucian uang.

Pertemuan SOMTC ke-6 kali ini dirangkaikan dengan pertemuan SOMTC+1 yaitu
+China, +Jepang, + Korea Selatan dan +Australia serta SOMTC+3 yaitu +China,
Jepang dan Korea Selatan. Sebelum acara SOMTC dimulai terlebih dahulu
diselenggarakan kegiatan Workshop dan Working Group pada tanggal 5-6 Juni 2006
yaitu :

1. Workshop tentang Pengumpulan Data & Statistik perdagangan manusia dan


sebelum penutupan SOMTC ke-6 diselenggarakan peluncuran buku yang terkait
dengan data perdagangan manusia
2. Working Group tentang Counter Terrorime.
3. Working Group tentang Perdagangan Manusia.
4. Working group tentang Finalisasi Program Kerja SOMTC+3
5. Workshop tentang Pengumpulan Data & Statistik perdagangan manusia

62
Peran ASEAN menangani perdagangan perempuan di Indonesia (Nurachma Rizka)

Pra SOMTC diawali dengan Workshop tentang Pengumpulan Data & Statistik
perdagangan manusia pada tanggal 5 Juni 2006. Workshop dibuka oleh Kabareskrim
Polri selaku ketua SOMTC Indonesia. Rekomendasi yang dihasilkan dalam workshop
ini yaitu :
1. Negara tujuan menginformasikan segera kepada Kedutaan atau Konsulat negara
asal/pengirim guna melakukan tindakan terhadap adanya dugaan kekerasan, pelaku
dan para korban sesuai mekanisme internasional.

2. Melaksanakan pelatihan bagi para aparat penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim
untuk lmeningkatkan sensitivitas terhadap isu pelanggaran terhadap wanita dan anak-
anak.

3. Mengkriminalisasikan segala bentuk eksploitasi seksual termasuk perdagangan


manusia sesuai Deklarasi ASEAN mengenai Perlawanan terhadap Perdagangan
Manusia khususnya terhadap Wanita dan Anak-anak serta Konvensi PBB termasuk
Protokolnya mengenai Perlawanan terhadap Kejahatan Terorganisir.

4. Memberikan perlindungan terhadap para saksi dan korban perdagangan manusia


melalui langkah-langkah yang efektif guna memfasilitasi proses repatriasi,
rehabilitasi, akses ke tempat-tempat penampungan, bantuan hukum dan kesehatan,
psikologi, sosial dan ekonomi, serta kemungkinan mendapatkan kompensasi atas
kerugian yang diderita.

5. Memfasiliatasi kerjasama pertukaran informasi dan intelijen, Bantuan Hukum


Timbal Balik dibidang Kejahatan, pengembangan legislasi, bantuan investigasi dan
melakukan penandatangan kesepakatan-kesepakatan bilateral dan multilateral yang
sesuai dengan UU nasional masing-masing.

6. Menetapkan definisi dan parameter “perdagangan manusia” dengan mengacu pada


Protokol Palermo yang dapat digunakan sebagai Standard Regional guna
pengumpulan data pada level nasional.

7. Melakukan kerjasama dengan proses regional lainnya seperti Bali Process,


Konsultasi Antar Pemerintah Asia Pasifik (APC) mengenai pengungsi, migrant and
orang terlantar, Budapest Process, dan Coordinated Mekong Ministerial Initiatives
against Trafficking (COMMIT), guna meningkatkan upaya-upaya ASEAN dalam
memberantas perdagangan manusia.

8. Membentuk suatu mekanisme pengumpulan data secara kualitataif maupun


kuantitatif guna mencegah perdagangan manusia khususnya wanita dan anak-anak
serta mencegah mereka menjadi korban lagi.

9. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama pengumpulan data di tingkat daerah


dengan membentuk focal point pengumpulan data tentang perdagangan manusia.
focal point ini juga berfungsi sebagai penghubung dalam proyek-proyek yang
berkaitan dengan perdagangan dalam rangka meningkatkan pengumpulan data.

63
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 567 - 578

10. Mengembangkan format data pengumpulan atau pola yang berisi informasi sesuai
dengan kebutuhan operasional ASEAN dalam rangka memerangi perdagangan
manusia.

11. Meningkatkan kerjasama yang lebih praktis dan berkelanjutan dengan mitra
ASEAN dialog, seperti Training of Trainers (TOT), pembangunan kamp relokasi,
penyediaan bantuan teknis, kerjasama intelejen, pembentukan hotline,
mengidentifikasi akar penyebab dan merumuskan rencana aksi.

12. Membuat kerjasama dengan Badan ASEAN terkait lainnya dalam rangka
merumuskan rencana kerja untuk melaksanakan Deklarasi ASEAN tentang
Perdagangan manusia, terutama Perempuan dan Anak.

Berdasarkan rekomendasi tersebut yang juga merupakan adaptasi dari


penandatanganan UN Convention Transantional Organized Crime beserta
protokolnya Protocol to Prevent Suppress and Punish Trafficking in Person,
Especially Women and Children Suplementing The United Nation Convention Again
Transnational Organized Crime (Protokol PBB untuk mencegah, menekan dan
menghukum pelaku trafficking terhadap manusia khususnya perempuan dan anak)
tahun 2000. Lahir Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk mencegah dan menanggulangi tindak
pidana perdagangan orang dan melindungi korban perdagangan (www.interpol.go.id,
diakses 8 Mei 2012).

Undang – Undang ini mengatur berbagai ketentuan yang dapat mengantisipasi dan
menjaring semua jenis tindak pidana perdagangan manusia khususnya perempuan,
mulai dari proses dan cara, sampai kepada tujuan dalam semua bentuk eksploitasi
yang mungkin terjadi dalam perdagangan perempuan, baik yang dilakukan antar
wilayah yang dalam negeri maupun antar negara dan baik dilakukan
perorangan,kelompok maupun korporasi. Undang – undang ini juga mengatur
perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum untuk
memberikan perlindungan kepada korban dan/atau saksi.

Selain itu, undang – undang ini memberikan perhatian terhadap penderitaan koban
akibat tindak pidana perdagangan manusia khususnya perempuan dalam bentuk hak
restitusi yang harus diberikan pelaku tindak perdagangan sebagai ganti kerugian bagi
korban dan mengatur hak korban atas rehabilitasi medis, psikologis dan sosial,
pemulangan serta integrasi yang wajib dilakukan oleh negara, khususnya bagi mereka
yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak perdagangan.

Undang – Undang ini juga mengatur ketentuan tentang pencegahan dan penanganan
korban tindak pidana perdagangan sebagai tanggung jawab pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat dan keluarga. Juga mengatur pembentukan gugus tugas untuk
mewujudkan langkah – langkah yang terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan
penanganan perdagangan manusia.
Untuk kerjasama internasional diatur juga dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam bentuk
perjanjian hukum timbal balik dalam pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya. Hal

64
Peran ASEAN menangani perdagangan perempuan di Indonesia (Nurachma Rizka)

ini karena sifat dari tindak pidana perdagangan manusia merupakan tindak pidana
yang tidak hanya terjadi dalam satu wilayah negara, tetapi juga antar negara.

ASEAN juga melakukan kerjasama dengan Organisasi internasional lainnya, LSM –


LSM, aparat kepolisian, dan aparat daerah dalam hal pencarian data jumlah
perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia. Untuk memerangi
perdagangan perempuan di Indonesia,

Kesimpulan
Peran ASEAN dalam menanggulangi masalah perdagangan perempuan di Indonesia
adalah sebagai fasilitator dengan mendorong Indonesia untuk mengeluarkan Undang
– Undang mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan
menfasilitasi Indonesia untuk menjalin kerjasama dengan negara lain dalam kerangka
ASEAN, serta bekerja sama dengan pihak – pihak lain untuk melakukan
pengumpulan data jumlah korban perdagangan perempuan.

Namun demikian, peran ASEAN di Indonesia masih terbatas hanya dalam tatanan
pembentukan kebijakan atau undang – undang. Belum ada tindakan langsung yang
menggambarkan peran ASEAN secara teknis di Indonesia. Hal ini yang
mengakibatkan peran ASEAN menjadi kurang efektif dan tidak menunjukkan hasil
seperti yang diharapkan karena pada kenyataannya jumlah korban perdagangan
perempuan masih meningkat. Akan tetapi, di satu sisi ASEAN cukup membantu
Indonesia melalui kerjasama – kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan negara –
negara lain dalam kerangka ASEAN

Saran
Berkaitan dengan peran ASEAN dalam menangani perdagangan perempuan di
Indonesia, maka ada beberapa saran yang penulis anggap perlu untuk di ajukan, yaitu:
1.ASEAN sebagai organisasi internasional dalam kawasan Asia Tenggara harus
menetapkan badan – badan khusus yang berfokus pada kesejahteraan dan
perlindungan bagi perempuan seperti yang dimiliki oleh organisasi lain seperti PBB.
Hal ini akan lebih mempermudah fokus pemberantasan perdagangan perempuan di
wilayah negara – negara anggotanya.

2.Pemerintah Indonesia harus lebih bekerja keras dalam upaya mengeliminir kasus –
kasus perdagangan manusia khususnya perempuan dengan meningkatkan
pengetahuan masyarakat bahwa kegiatan trafficking merupakan salah satu bentuk
kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia

3.Penetapan hukuman harus lebih memberi efek jera kepada pelaku dan memberi
perlindungan terhadap korban tindak perdagangan

4.Pemerintah juga harus lebih memperhatikan program – program penghapusan


kemiskinan di Indonesia karena apabila faktor – faktor penyebab perdagangan
perempuan dapat di minimalkan, maka tindak kejahatan dapat dicegah pula.
Daftar Pustaka
ACILS-ICMC, 2005. Panduan Untuk Pendamping Korban Perdagangan Manusia
Dalam Proses Hukum Di Indonesia. ICMC & ACILS. Indonesia

65
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 567 - 578

Brown, Louise, 2005. Sex Slaves: Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia.
Rudy, T. May, 2005. Administrasi dan Organisasi Internasional. Bandung : PT Refika
Aditama.
Yentriyani, Andy, 2005. Politik Perdagangan Perempuan. Yogyakarta : Galang Press.

Jurnal :
Mattalitti, Abdurrachman dkk, 2001. Kerjasama ASEAN Dalam Menanggulangi
Kejahatan Lintas Negara. Jakarta : Direktoral Jenderal Kerjasama ASEAN
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.

Sumber lain :
ASEAN Selayang Pandang. Diakses dari http://www.deplu.go.id/pdf. Tanggal 27
Desember 2008
Indonesia Peringkat ketiga perdagangan perempuan dan anak – anak. Diakses dari
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/26/nas09.html. Tanggal 4 maret
2009
Kesepakatan Bersama (SOMTC) Ke-6 di Denpasar - Bali. Diakses dari
http://www.interpol.go.id/id/uu-dan-hukum/kesepakatan-bersama/221-
kesepakatan-bersama-somtc-ke-6-di-denpasar-bali. Tanggal 29 Agustus 2010.
Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak, Suatu Permasalahan. Diakses dari
http://www.pemantauperradilan.com/opini.pdf. Tanggal 27 Desember 2008

66

You might also like