You are on page 1of 12

PERAN PBB DALAM MENGURANGI VIOLENCE AGAINST WOMEN

(VAW) OLEH TENTARA MYANMAR PADA CRISIS ROHINGYA

Preti Epira, S.IP


Hubungan Internasional Program Magister
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Prettysafrioniputri08@gmail.com

Abstract
This research illustrates the role of the United Nations in reducing violence against women
by the Myanmar Military in the Rohingya Crisis. Rohingyas are effectively not recognized by
citizenship under the Burmese Law, they have faced decades of oppression and discrimination by
my Myanmar government. Around 120,000 Rohingya internally displaced from the wave of
violence, some of whom are women. The Myanmar military treats Rohingya women with
inhumanity such as arrest and torture, such as sex slaves, murder. The UN has set guarantees for
the protection of human rights, especially the protection of individuals against state arbitrariness.
The convention on eliminating all forms of discrimination against women (CEDAW) has
emphasized the prohibition to eliminate all forms of discrimination, especially sexual violence
against women. The argument of this research is that the United Nations reduced violence against
women in the Rohingya crisis through UNHCR and promoted the enforcement of human rights by
OHCHR.
This research uses the perspective of Pluralism in International Relations. Pluralism
believes that the state is not the only actor in the international world. This research is also guided
by theories and concepts of the role of international organizations. Facts, data, arguments, and
theoretical frameworks of this study were formulated using qualitative descriptions.

Abstrak
Penelitian ini menggambarkan peran PBB dalam mengurangi kekerasan terhadap
perempuan oleh Militer Myanmar dalam Krisis Rohingya. Rohingya secara efektif tidak diakui
oleh kewarganegaraan di bawah Hukum Burma, mereka telah menghadapi puluhan tahun
penindasan dan diskriminasi oleh pemerintah Myanmar saya. Sekitar 120.000 Rohingya secara
internal mengungsi dari gelombang kekerasan, beberapa di antaranya adalah wanita. Militer
Myanmar memperlakukan perempuan Rohingya dengan tidak berperikemanusiaan seperti
penangkapan dan penyiksaan, seperti budak seks, pembunuhan. PBB telah menetapkan jaminan
untuk perlindungan hak asasi manusia, khususnya perlindungan individu terhadap kesewenang-
wenangan negara. Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
(CEDAW) telah menekankan larangan untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi, terutama
kekerasan seksual terhadap perempuan. Argumen penelitian ini adalah bahwa PBB mengurangi
kekerasan terhadap perempuan dalam krisis Rohingya melalui UNHCR dan mempromosikan
penegakan HAM oleh OHCHR.
Penelitian ini menggunakan perspektif Pluralisme dalam Hubungan Internasional.
Pluralisme percaya bahwa negara bukan satu-satunya aktor di dunia internasional. Penelitian ini
juga dipandu oleh teori dan konsep peran organisasi internasional. Fakta, data, argumen, dan
kerangka kerja teoritis dari penelitian ini dirumuskan menggunakan deskripsi kualitatif.
PENDAHULUAN
Kaum Perempuan Muslim Rohingya di Myanmar mengalami pelanggaran HAM dalam
bentuk kekerasan seperti penangkapan secara paksa, penyiksaan, pemerkosaan, penculikan dan
berbagai kejahatan seksual. Etnis Rohingya mendapatkan deskriminasi dan kekerasan oleh aparat,
militer pemerintah Myanmar dan dari warna etnis lainnya.
Konflik etnis Rohingya merupakan konflik yang didasari atas perlakuan deskriminasi
karena perbedaan etnis dan agama. Etnis Rohingya tidak diakui keberadaanya oleh negara
Myanmar dan tidak mendapatkan kewarganegaraan. Myanmar menghapus Rohingya dari daftar 8
etnis utama yaitu Burman, Kachin, Karen, Karenni, Chin, Mon, Arakan dan dari 135 kelompok
etnis lainnya. Bahkan Presiden Rohingya mengatakan dalam forum Internasional bahwa
“Rohingya are not our People and we have no duty to Protect them”(Ubaiyana, 2018)

Diskriminasi terhadap hak-hak etnis Rohingya semakin parah sejak diberlakukannya


Burma Citizenship Law pada tahun 1982, baik secara agama, budaya, social, politik dan ekonomi.
Perempuan muslim Rohingya dilarang mengenakan jilbab dan menunaikan kegiatan keagamaan.
Dari sisi ekonomi pemerintah Xinjiang tidak memberikan izin usaha dan membatasi kegiatan
usaha etnis Rohingya, namun mereka harus membayarkan pajak (Bain, 2019). Pada tahun 1988
Ribuan orang turun ke jalan. Mereka protes dan ingin melengeserkan rezim junta militer. Militer
yang saat itu dipimpin Jenderal Saw Maung mengambil alih kepemimmpinan. Maung menumpas
segala macam pemberontakan. Tentara Burma menunjukkan arogansinya. Akibatnya selama enam
pekan, sebanyak 3.000 rakyat sipil tewas terbunuh. Pada tahun 1989 pemerintah Junta Militer
memberlakukan perubahan nama dari Provinsi Arakan menjadi Provinsi Rakhine, Perubahan
nama tersebut dalam rangka pemberian hak istimewa dalm bidang politik dan ekonomi kepada
etnis Rakhine, yang dahulu merupakan etnis minoritas beragama Buddha dengan jumlah penduduk
kurang dari 10% (Burma's 1988 protests, 2007). Sejak saat itu, upaya menekan dan menghacurkan
dengan membentuk Gerakan Anti Muslim untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap Etnis
Rohingya termasuk juga kekerasan kerap dilakukan, mereka banyak melakukan pelanggaran hak
asasi manusia tidak terkecuali pada perempuan.

Tindak kekerasan terhadap perempuan (violence against women) saat ini menjadi ancaman
serius bagi perempuan diseluruh dunia yang merupakan bagian dari pelanggaran Hak Asasi
Manusia. Kekerasan pada perempuan menurut pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang–wenang, baik yang
terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Bentuk dari kekerasan yang menimpa
perempuan secara umum dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni kekerasan fisik, psikologis dan
seksual (HEISE, 1994).
KERANGKA TEORI
Pada tulisan ini penulis menggunakan perspektif pluralisme. Pluralisme merupakan salah
satu perspektif yang berkembang pesat. Kaum pluralis memandang Hubungan Internasional tidak
hanya terbatas pada hubungan antar negara saja tapi juga merupakan hubungan antara individu
dan kelompok kepentingan dimana negara tidak selalu sebagai aktor utama dan aktor
tunggal.Terdapat Empat asumsi paradigm puralisme, yaitu:
1. Aktor non-negara memiliki peranan penting dalam politik internasional, seperti organisasi
internasional, baik pemerintahan maupun non-pemerintah, MNCs, kelompok ataupun
individu.
2. Negara bukanlah unitary actor/ aktor tunggal, karena aktor-aktor lain selain negara juga
memiliki peran yang sama pentingnya dengan negara dan menjadikan negara bukan satu-
satunya aktor.
3. Negara bukan aktor rasional. Dalam kenyataannya pembuatan kebijakan luar negeri suaut
negara merupakan proses yang diwarnai konflik, kompetisi, dan kompromi antar aktor di
dalam negara.
4. Masalah-masalah yang ada tidak lagi terpaku pada power atau national security, tetapi
meluas pada masalah-masalah sosial, ekonomi dan lain-lain (Paul R. Viotti, Mark V.
Kauppi, 1999).
Tingkat analisis ini mengasumsikan bahwa yang menjadi fokus utama adalah mempelajari
perilaku kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi yang terlibat di dalam hubungan
internasional. Kajian dalam politik internasional berfokus pada sistem internasional dan perilaku
para pembuat keputusan dalam situasi konflik.
Pada penelitian ini penulis menggunakan teori organisasi internasional. Menurut Clive
Archer dalam bukunya International Organizations, Organisasi internasional adalah: “Suatu
struktur formal dan berkelanjutan yang dibentuk atas suatu kesepakatan antara anggota-anggota
(pemerintah dan non-pemerintah) dari dua atau lebih negara berdaulat dengan tujuan untuk
mengejar kepentingan bersama para anggotanya”.
Organisasi internasional dapat diklasifikasikan berdasarkan keanggotaan, tujuan, aktivitas
dan strukturnya. Menurut Clive Archer dalam buku “International Organization”, klasifikasi
organisasi internasional berdasarkan keanggotaannya terbagi manjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1. Type of membership (tipe keanggotaan)
2. Inter-Governmental Organizations (IGO), yaitu organisasi internasional dengan wakil
pemerintahan-pemerintahan sebagai angota.
3. International Non-Governmental Organizations (INGO), yaitu organisasi internasional
dimana anggotanya bukan mewakili pemerintahan.
4. Extent of membership (jangkauan keanggotaan) a. Keanggotaan yang terbatas dalam
wilayah tertentu. b. Keanggotaan yang mencakup seluruh wilayah di dunia.
UNHCR sendiri dapat dikatergorikan kedalam IGO dimana anggota UNHCR adalah
negara-negara berdaulat dengan keanggotaan sama dengan PBB. Fungsi organisasi internasional
menurut Le Roy Bannet dalam bukunya “International Organization” adalah Pertama Sebagai
sarana kerja sama antarnegara dalam bidang-bidang dimana kerja sama tersebut dapat memberi
manfaat atau keuntungan bagi sejumlah negara. Kedua, Sebagai tempat atau wadah untuk
menghasilkan keputusan bersama. Ketiga, Sebagai sarana atau mekanisme administratif dalam
membuat keputusan bersama menjadi sebuah tindakan yang nyata. Dan Keempat Menyediakan
berbagai saluran komunikasi antar pemerintah sehingga penyelarasan lebih mudah tercapai.
Selain itu penulis juga menggunakan teori peranan dalam organisasi internasional yaitu
Peranan merupakan seperangkat perilaku yang diharapkan dari seseorang atau dari struktur yang
menduduki suatu posisi dalam sistem. Dengan demikian, peranan dapat dianggap sebagai fungsi
baru dalam rangka pengejaran tujuan-tujuan kemasyarakatan. Menurut Leroy Bennet, sejajar
dengan negara, organisasi internasional dapat melakukan dan memiliki sejumlah peranan penting,
yaitu: Menyediakan sarana kerjasama diantara negara-negara dalam berbagai bidang, dimana
kerjasama tersebut memberikan keuntungan bagi sebagian besar ataupun keseluruhan anggotanya.
Selain sebagai tempat dimana keputusan tentang kerjasama dibuat juga menyediakan perangkat
administratif untuk menerjemahkan keputusan tersebut menjadi tindakan. Kemudian
Menyediakan berbagai jalur komunikasi antar pemerintah negaranegara, sehingga dapat
dieksplorasi dan akan mempermudah aksesnya apabila timbul masalah (Adita, 2017).
Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi atau Komisariat Tinggi PBB untuk
Pengungsi - United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR ) berfungsi untuk
melindungi dan memberikan bantuan kepada pengungsi berdasarkan permintaan sebuah
pemerintahan atau PBB kemudian untuk mendampingi para pengungsi tersebut dalam proses
pemindahan tempat menetap mereka ke tempat yang baru. Selain UNHCR dan PBB lain yang juga
berperan dalam kasus Rohingya adalah Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi
Manusia atau Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) yang
merupakan suatu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bekerja untuk mempromosikan dan
melindungi hak-hak asasi manusia (HAM) yang ada dalam hukum internasional dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948.
Metode yang diterapkan adalah metode penelitian deskriptif yaitu metode penelitian yang
meggambarkan keadaan secara objektif dilapangan kemudian dilanjutkan dengan interpretasi data
agar dapat menjelaskan atau menganalisa masalah serta memberikan jawaban terhadap peran PBB
dalam menanggulangi violence against women pada Etnis Rohingya.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (Library research), dengan merujuk pada bukubuku,
jurnal, artikel, bulletin, surat kabar, berita-berita lain dari media yang relevan yang dilengkapi
arsip-arsip dari kantor yang berkaitan. Sedangkan data primer diperoleh melalui observasi
langsung dam wawancara. Peneliti juga menggunakan media internet sebagai source of data karena
keterbatasan peneliti untuk mencari data-data primer.
ISI
Miyanmar merupakan negara yang merdeka pada tanggal 4 Januari 1948 dari Inggris
melalui perdamaian antara pemerintah colonial Inggris dan Kaum Nasionalis Burma. Awalnya
Myanmar adalah negara yang dikenal dengan sebutan Burma, namun pada gahun 1989 nama
Burma diubah menjadi Myanmar/ sejak saat itu Myanmar idpimpin oleh rezim Junta Militer. Pihak
Junta Militer sellau menetakan etnis Rohingya dengan berbagai cara dan tidak mengakui Rohingya
sebagia salah satu etnis dari masyarakat minoritas yang ada di Myanmar. Keberadaan kelompok
etno-religius ini secara resmi mengalami deskriminasi ditandai dengan dikeluarkannya UU
Kewarganegaraan pada tahun 1982 yang menyatakan menolah akses kewarganegaraan minoritas
Rohingya.
Nama Rohingya baru muncul sekitar tahun 1950-an pasca kemerdekaan Myanmar.
Berdasarkan catatan PBB. Etnis Rohingya disebut sebagai penduduk Muslim yang tinggal di
Arakhan, Rakhine, Myanmar. Sementara itu orang orang yang menyebut dirinya sebagai Rohingya
adalah mereka yang tinggal di daerah Mayu Frontier, Kota Buthidaung, dan Maungdaw di Arakan
(Rakhine), melintasi Sungai Naaf sebagai perbatasan dari Bangladesh. Arakan telah menjadi
kerajaan yang independen sejak tahun 1784 sebelum ditaklukkan oleh orang Burma. Rohingya
mengklaim bahwa mereka telah menjadi penduduk asli Negara bagian Arakan selama lebih dari
ribuan tahun. Pada tahun 1950 muslim Bengali yang hidup dibagian barat laut Arakan mulai
menggunakan istilah “Rohingya” untuk menyebut diri mereka sendiri sebagai identitas. Mereka
merupakan keturunan langsung imigram dari Distrik Cittagong Benggela Timur (sekarang dikenal
Bangladesh), Etnis Rohingya telah berimigrasi ke Arakan setelah Provinsi tersebut diserahkan ke
Inggris dan India berdasarkan Perjanjian Traktat Yandabo tahun1824-1826(Ubaiyana, 2018).
Kulit Etnis Rohingya yang cenderung lebih gelap membuat mereka mudah dikenal. Secara
fisik dan budaya mereka mirip dengan orang orang Bengali. Mereka berbicara dengan logat
Chuttagonia, dialek regional Bengali yang juga digunakan secara luas di seluruh wi;ayah bagian
tenggara Bangladesh.
Konflik yang melibatkan etnis Rohingya sudah berlangsung dalam kurun yang yang sangat
panjang sejak tahun 1942, setelah Inggris pergi meninggalkan Rakhine atau Arakan, pemeirntah
Myanmar memprovokasi penganut Buddha Rakhine untuk melakukan kerusuhan besar yang
mengakibatkan skitar 100.000 warga Rohingya dibantai dan dipersempit ruang tinggalnya
dibagian Arakan Utara (Northern Rakhine).
Pada tahun 1961, pemerintah Burma menyatakan bahwa Buddha adalah agama negara dan
semua orang Islam harus belajar nilai dan budaya agama Buddha. Lewat kudeta Militer, Jenderal
Ne Win mendeklarasikan Burma sebagai negara Sosialis. Pada tahun 19962 Burma dikuasasi oleh
Junta Militer yang berpihak pada Komunis China-Rusia yang memiliki ambisi besar untuk
pembersihan etnis Muslim Rohingya. Kemudian pada tahun 1978 sekitar 500.000 warga Rohingya
kembali terusir dari Burma (Qurtuby, 2017).
Dalam melaksanakan operasi-operasi tersebut, mekanisme yang digunakan oleh
Pemerintah Myanmar antara lain54 : (a) Extra judicial killing, yaitu dimana sejak tahun 1989,
ribuan remaja dan murid madrasah dibantai, (b) Penangkapan sewenang-wenang dan pemerasan,
yang menjadi tugas- sehari-hari dair Na-Sa-Ka dan polisi, yang lebih popular dengan sebutan Kalar
Hmu, (c) Penyitaan properti, yaitu penyitaan terhadap tandah dan sapi penduduk kemudian
membagikannya kepada “perkampungan contoh” di Burma yang didiami oleh Mayoritas Budha.
Terdapat 100 perkampungan contoh, dimana setiap perkampungan terdiri dari 70-100 rumah
tangga. Setiap rumah tangga diberikan tanah seluas 4 Ha dan dua pasang sapi, (d) Propaganda
Anti-Rohingya dan anti-Muslim, dilakukan oleh Junta militer dengan menghasut komunitas
penduduk dengan memberikan ijin distibusi buku atau video yang menghina Islam dan Muslim,
(e) Perkosaan, yang terjado dimana-mana sebagai strategi resmi untuk meneror dan memaksa
rakyat Rohingya melarikan diri, (f) Kerja Paksa, yang sudah lazim di seluruh Myanmar, namun di
Arakan Utara hanya berlaku untuk Rohingya, (g) Pembatasan gerakan, dimana Rohingya tidak
diijinkan berpergian dari suatu tempat ke tempat lain, meskipun di lokasi yang sama, (h)
Pembatasan atas Pernikahan, dimana Rohinngya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
mendpat ijin menikah, bahkan harus menyuap. Pernikahan yang tidak sah dianggap kriminal dan
diancam hukuman 4-7 tahun, (i) Pembatasan lapangan kerja, sebagainon-warga negara,Rohingya
terpaksa menganggur karena dilarang dari semua jenis pekerjaan, (j) Pembatasan pendidikan, buta
huruf sebesar 80% dimana pendidikan dasar dan menengah diabaikan. Karena pembatasan
gerakan, Rohingya dipaksa untuk tidak menempuh pendidikan tinggi, (k) Larangan berpraktek
agama, antara lain banyak masjid sudah ditutup dan dihancurkan dan tidak ada ijin untuk
merenovasi masjid manapun, sedang membangun masjid yang baru sama sekali dilarang (Mitzy,
2014).
Militer Myanmar selalu melibatkan perempuan dalam melakukan berbagai bentuk
kekerasan untuk mencapai tujuannya tersebut. Berikut bentuk-bentuk kekerasan yang dialami
perempuan di Suriah
Pembunuhan
Beberapa saat sebelum ARSA melakukan penyerangan, petugas keamanan Myanmar yang
didukung oleh kelompok vigilante mengepung perkampungan Rohingya di wilayah utara Rakhine,
saat perempuan, anak anak dan laki laki Rohingya lari meninggalkan rumah mereka, tenatra dan
polisi Myanmar melepaskan tembakan yang membunuh dan melukai ratusan orang etnis
Rohingya.
Pola pembunuhan dan pembantaian seperti ini ditemukan di puluhan perkampungan
Rohingya lainnya di kota Maungdaw, Rathedaung dan Bithudaung. Petugas keamanan khususnya
militer menyerang secara mematikan di Perkampungan Rohingya (Dermawan, 2017). Amnesty
Internaional menemukan di lima perkampungan di ota Chein Kar Lie, Kota Tan Kauk dan Chut
Pyin minimal puluhan orang mati dibunuh dan dibantai termausk juga didalamnya pembunuhan
terhadap perempuan.
Perdagangan Manusia
Berdasarkan laporan dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) melaporkan
ribuan pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh berisiko menjadi korban perdagangan
manusia yang mengeksploitasi mereka secara seksual dan untuk kerja paksa. para wanita dan anak
perempuan seusia 11 tahun rentan diperdagangkan sebagai pembantu rumah tangga dalam kondisi
mirip-budak. IOM hanya berhasil mengidentifikasi 78 korban perdagangan dalam 10 bulan
terakhir. Namun, badan migrasi PBB itu menyatakan ini hanya merupakan sebagian kecil dari
angka yang sebenarnya.
Sayangnya sebagai upaya untuk melindungi diri dengan berpindah tempat ke negara lain
etnis Rohingya banyak yang menggunakan jasa penyelundup untuk menuju Malaysia. Pada
awalnya agen di Myanmar yang biasanya juga merupakan golongan orang Rohingya, mencari
calon penumpang etnis Rohingya, khususnya di negara bagian Rakhine, yang ingin mendapatkan
suaka atau pekerjaan di luar negeri. Lalu, para calon penumpang Rohingya yang telah bersedia
untuk diselundupkan, akan dikenakan tarif kapal US $ 205 per orang. Uang tersebut kemudian
diserahkan pada pemilik perahu atau kapal, setelah dipotong komisi untuk agen dan petugas
pengawas perbatasan perairan. Agen yang berada di Myanmar sendiri, bertugas untuk
mengirimkan daftar penumpang yang akan diselundupkan ke pusat markas mereka di Thailand.
Sedangkan tim penyelundup di Thailand, bertugas memberikan informasi dan tanda kapal yang
akan tiba di Thailand kepada petugas pengawas pantai agar kapal dapat merapat ke pantai
Thailand. Ketika kapal itu pun tiba, petugas pengawas pantai Thailand menggiring mereka ke
pantai lalu menyerahkannya kepada sindikat penyelundupan manusia. Polisi yang mengawal
mendapat komisi US $160 sedangkan petugas laut yang memutar atau mengarahkan mereka ke
tempat yang telah diatur mendapat US $ 65 per penumpang. Setelah sampai di tangan para
penyelundup di Thailand, mereka membawa imigran gelap tersebut di kamp sementara di distrik
Sadao provinsi Songkhla Thailand selatan, dekat perbatasan Malaysia. Inilah jalur trafficking
tradisional para pelaku penyelundupan dan perdagangan manusia. Mereka harus membayar uang
makan dan pondokan US $ 950, untuk sampai ke Malaysia mereka harus membayar lagi US $
1500- US $ 1900. Apabila mereka tidak sanggup membayar maka Rohingya tersebut akan dianiaya
dan disiksa hingga akhirnya mereka akan dijual dengan harga US $ 320-US $ 640 (prianya) untuk
menjadi budak kapal atau pekerja kasar dan US $ 1600 para wanitanya untuk dijadikan istri pria
Rohingya di Malaysia. Keuntungan dari kejahatan ini sepanjang 2012-2014 mencapai US $ 250
juta telah mengalir ke rekening pejabat Thailand yang terlibat (Augita, 2017)
Pemerkosaan
Beberapa tahun terakhir telah muncul perhatian lebih besar terhadap penyebaran praktek
kejahatan seksual pada perempuan yang dilakukan oleh prajurit militer Myanmar. Sidang umum
PBB tahin 1991 dan Komisi HAM PBB 1992 mengeluarkan resolusi mengutuk berbagai kasus
penganiayaan etnik minoritas yang terjadi di Myanmar.
Menurut laporan Francis Buchanan, digambarkan situasi kekejaman yang dilakukan oleh Penjajah
Burma setelah satu hari penaklukan Arakan, dimanapun tentara Myanmar menemukan wanita
cantik, maka mereka kaan membawanya meski harus membunuh suaminya. Bahkan anak anak
gadis muda diambil secara paksa tanpa harus mempedulikan orang tua gadis tersebut. Laporan
yang berbeda menyebutkan bahwa tentara Myanmar bias saja secraa tiba tiba masuk ke dalam
rumah warga Rohingya pada tengah malam dan memperkosa wanita di depan suami dan anak
anaknya. Pengaduan atas kebejatan tentara ini hanya akan berujung pada penahanan pelapor.
Bahkan dalam banyak kasus, pelapor disiksa dan dibunuh.
Lebih mengerikan lagi, setelah menembak dan membunuh laki-laki, tenatra Rohingya
menarik dan membawa perempuan Rohingya kedalam rumah untuk diperkosa secara bergantian.
Setelah memperkosa perempuan perempuan tersebut tentara membakar rumah dan perkampungan
dan kemudian pergi. Banyak dari perempuan yang telah diperkosa tersebut kemudian mati terbakar
didalam rumah.
Tindakan pemerkosaan dikaitkan dengan upaya pemindahan paksa, karena dalam beberpaa
kasus pemindahan paksa dibarengi dengan tindakan pemerkosaan. Hal ini dibuktikan dengan
sebuah laporan dengan melakukan wawancara pada beberapa perempuan korban kasus
diskriminasi terhadap muslim Rohingya yang mengaku bahwa mereka terpaksa meninggalkan
tempat tinggalnya karena tidak sanggup menghadapi kejahatan pemerkosaan oleh tentara
Myanmar.
Peran PBB dalam menanggulangi kasus kekerasan Perempuan pada Muslim Etnis
Rohingya
Atas kasus pelanggaran HAM yang telah dilakukan diatas, PBB memang telah mengecam
keras kepda pemerintah Myanmar untuk segera mengakhiri kekerasan yang terjadi. Naum hal
tersebut tidak diindahkan oleh pemerintah Myanmar dan hingga saat ini belum ada upaya
penyelesaian.
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan untuk Konvensi Jenewa nemepatkan orang
orang non-kombatan untuk diberikan hak agar tidak mendapatkan pelanggaran fisik, mental dan
penyiksaan dan pmerkosaan. Hal ini snagat berbeda dengan fakta yang dialami oleh etnis
Rohingya yang banyak menderita akibat penyiksaan, pemerkosaan dan berbagai kekerasan lainnya
di Myanmar. Pemerinta mYanmar sebenarnya telah melanggar asas yang disebutkan dalam
konvensi tersebut. Selian itu untuk melindungi hak asasi manusia PBB juga mengadopsi ebberapa
perjanjian internasional. Beberapa diantaranya adalah Kovenan internasional tentang hak sipil dan
politik, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, juga Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Selain itu terdapat juga Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman
Lainnya yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabatnya (Convention Against
Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment of Punishment), menjadi pedoman
dalam menentang penyiksaan dan perlakukan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Konvensi ini mewajibkan negara untuk
mengambil langkah legislatif, administrative, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk
mencegah tindakan penyiksaan dan menjamin hak asasi manusia atas tindakan tersebut (Tindaon,
2017).
Pelanggaran Hak Asasi perempuan dalam situasi konflik bersenjata adalah pelanggaran
dari prinsip prinsip fundamental hak asasi manusia internasional dan hukum kemanusiaan. Semua
penlanggaran jenis ini gtermasuk pembunuhan, perkosaan sistematis, perbudakan seksual dan
kehamilan secara paksa, menunut tanggapan efektif.
Dewan Hak Asasi Manusia telah mengadopsi 13 resolusi, untuk mengirim misi pencari
fakta internasional yang independen untuk menetapkan fakta tentang dugaan pelanggaran hak asasi
manusia etnis Rohingya oleh militer dan pasukan keamanan dan pelanggaran di Myanmar,
khususnya di Negara Bagian Rakhine. Dewan juga memperpanjang mandat Pelapor Khusus
tentang situasi hak asasi manusia di Iran, Myanmar, Republik Rakyat Demokratik Korea dan
Sudan Selatan selama satu tahun lebih lanjut, dan memperpanjang mandat Pelapor Khusus tentang
hak untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi, tentang penyiksaan dan perlakuan atau
hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, dan tentang hak asasi
manusia para migran selama tiga tahun. PBB menyerukan kepada Pemerintah Myanmar untuk
melanjutkan upaya-upaya untuk menghilangkan kewarganegaraan dan diskriminasi sistematis dan
melembagakan terhadap anggota etnis, dan minoritas agama, termasuk akar penyebab
diskriminasi, khususnya yang berkaitan dengan minoritas Rohingya (BBC, 2019).
Terkait dengan banyaknya orang orang termasuk juga perempuan Rohingya yang
menyebar menyelamatkan diri ke negara negara tetangga Myanmar, PBB mengambil peran
melalui UNHCR, suatu lembaga tinggi PBB untuk urusan pengungsi, hal ini karena banyaknya
masyarakat Rohingya yang pergi ke luar wilayah Myanmar mencari perlindungan karena merasa
tertindas di wilayah Myanmar. Pada tingkat Internasional, UNHCR mempromosikan perjanjian
pengungsi internasional dan memonitor kepatuhan pemerintah dengan hukum internasional
tentang pengungsi. Pada tingkat lapangan, staf UNHCR yang bekerja untuk melindungi pengungsi
melalui berbagai kegiatan, yaitu :
1. Menanggapi keadaan darurat
2. Merelokasi kamp pengungsi jauh dari daerah perbatasan untuk meningkatkan keamanan
bagi para pengungsi.
3. Memastikan bahwa perempuan pengungsi memiliki hak suara dalam distribusi makanan
dan pelayanan social.
4. Unifikasi keluarga terpisah
5. Memberikan pengakuan terhadap status pengungsi bagi pengungsi Rohingya di negara
yang belum memiliki instrumen hukum nasional untuk penentuan status pengungsi.
6. Memberikan informasi kepada pengungsi tentang kondisi di negara asal mereka sehingga
mereka dapat membuat keputusan tentang kembalinya mereka secara sukarela.
7. Mendokumentasikan kebutuhan pengungsi untuk pemukiman kembali ke negara pemberi
suaka.
8. Serta hak untuk mengunjungi pusat-pusat penahanan, dan memberikan nasihat kepada
pemerintah tentang kebijakan dan praktek dalam aturan mengenai pengungsi.
Berdasarkan Pasal 1 Statuta UNHCR, peran UNHCR adalah mencari solusi permanen
untuk pengungsi. Solusi yang ditawarkan UNHCR untuk masalah Rohingya ini antaralain
repatriasi sukarela (voluntary repatriation) jika kemanan yang meliputi keamanan hukum, fisik,
dan harta telah ada. Kemanan dalam bidang hukum termasuk pengesahan dan pelaksanaan hukum
amnesty untuk melindungi orang-orang yang kembali dari pengungsian karena telah lari dari
negaranya, peraturan yang menjamin status kewarganegaraan orangorang yang telah kembali dan
askes untuk memperoleh dokumen identitas diri. Keamanan dalam hal fisik meliputi situasi yang
aman secara keseluruhan dan jaminan dari aparat atas keselamatan pengungsi yang kembali.
Sedangkan keamanan dalam hal harta meiputi akses pada sarana kelangsungan hidup dan
pelayanan dasar seperti air minum, pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Serta pulihnya
perlindungan nasional terhadap etnis Rohingya, hal ini dapat dilihat dari pemerintahan berfungsi
secara baik sehingga dapat memenuhi berbagai aspek seperti hak sipil, hak politik, hak ekonomi,
hak social dan budaya, dan pelayanan kepada warga negaranya, seperti perlindungan oleh polisi,
pengadilan umum dan pengadilan terhadap kejahatan dan penyiksaan (Zuraya, 2017).
Solusi permanen lainnya adalah integrasi lokal. UNHCR dapat menawarkan pilihan ini
kepada negara transit atau negara tujuan agar pengungsi dapat tinggal secara permanen di
wilayahnya. Sehingga ada kemungkinan naturalisasi kewarganegaraan pengungsi, dan pemukiman
kembali (resettlement) pengungsi ke negara ketiga. Dalam menjalankan solusi jangka panjang
tersebut, UNHCR memerlukan kerjasama dengan pemerintah-pemerintah negara transit, negara
asal, dan negara ketiga (AFP, 2018).
Pengungsi Rohingya telah ditampung di kamp-kamp pengungsian dalam pengawasan
UNHCR. UNHCR juga memberikan fasilitas serta bantuan bagi para pengungsi Rohingya
sehingga negara yang menjadi tujuan pelarian etnis Rohingya, tidak harus bertanggung jawab
tunggal. Negara-negara tersebut dapat berbagi tanggung jawab dengan UNHCR dalam memberi
dukungan, baik keuangan dan peralatan, menjaga dan melindungi pengungsi. UNHCR juga terus
mendorong kerjasama antara pemerintah Myanmar dengan negara-negara yang menampung etnis
Rohingya, agar mencarikan solusi bersama dalam mengatasi pengungsi Rohingya.
Selain UNHCR badan Perserikatan Bangsa Bangsa yang gencar untuk menurukan
kekerasan adalah OHCHR. OHCHR berhasil membentuk tim investigasi yang dapat memediasi
dalam terbentuknya investigasi yang melibatkan komunkitas Internasional dengan penembatan
secara brutal kepada kaun laki – laki, perempuan dan anak anak. Termasuk pada kasus kekerasan
pada kaum perempuan dan pembakaran aaet etnis Rohingya. Pembentukan tim investigasi ini
sebagai respon atas kegagalan tim investigasi local yang dibentuk pemerintah (Ramadhani, 2015).

Kesimpulan
Konflik yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar merupakan kisah panjang dan kelam
yang sampai sekarang masih banyak diperbincangkan dan menjadi perhatian dunia internasional.
Setelah lepas dari Inggris, pada tahun 1948-1962 parlemen Myanmar mengakui Rohingya sebagai
warga negara. Perdana Menteri U Nu menyebut kelompok Muslim Rakhine dengan istilah
Rohingya. Pemerintah Myanmar saat itu memberikan kartu tanda penduduk dan dokumen legal,
dan memberikan hak kewarganegaraan kepada orang Rohingya. Namun hal itu berubah ketika
Myanmar dipimpin oleh rezim militer di bawah komando Jendral Ne Win. Dalam masa
kepemimpinannya Jendral Ne Win memiliki aturan tidak tertulis, yaitu membinasakan komunitas
Muslim, Kristen, Karen dan etnis lain.
Undang-undang Kewarganegaraan Burma 1982, membedakan antara tiga kategori
kewarganegaraan sebagai berikut: kategori pertama warga negara biasa, yakni orang-orang yang
termasuk dalam delapan kelompok etnis besar serta orangorang pribumi lainnya yang dianggap
hadir di Burma sebelum tahun 1823 (setahun sebelum perang Anglo-Burma pertama). Orang-
orang ini diakui sebagai warga negara “asli”. Kategori kedua, warga negara adalah orang-orang
yang memperoleh kewarganegaraan Burma menurut Undang-undang Kewarganegaraan Serikat
1948 sebelumnya, yang berlaku hanya selama dua tahun yaitu tahun 1948-1950. Dimana sebagian
besar dari orang-orang ini adalah keturunan dari pernikahan campuran antara para imigran setelah
1823 dan dengan orang-orang pribumi Burma. Kemudian kategori ketiga, warga yang
dinaturalisasi adalah orang-orang yang telah dinaturalisasi setelah penangguhan Undang-undang
Kewarganegaraan 1948.
Pasca terbitnya Undang –Undangg Burma tahun 1981 Diskirminasi terhadap etnis
Rohingya semakin parah, tentara Myanmar telah menuduh dan mengusir mereka secara paksa,
terjadi kebrutalan, pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh tentara Myanmar. Hal
yang paling tragis terjadi pada perempuan – perempuan etnis Rohingya. Mereka diperkosa secara
bergantian oleh tentara Myanmar, diculik lalu dibakar. PBB sebagai organisasi Internasional
terbesar memang belum memiliki peran yang signifikan dalam mengurangi Kekerasan terhadap
perempuan yang dialami oleh Etnis Rohingya. Namun melalui badan PBB memberikan perioritas
utama dalam mengurangan kekerasan terhadap perempuan. UNHCR Memastikan bahwa
perempuan pengungsi memiliki hak suara dalam distribusi makanan dan pelayanan sosial.
Selain UNHCR badan Perserikatan Bangsa Bangsa yang gencar untuk menurukan
kekerasan adalah OHCHR. OHCHR berhasil membentuk tim investigasi yang dapat memediasi
dalam terbentuknya investigasi yang melibatkan komunkitas Internasional dengan penembatan
secara brutal kepada kaun laki – laki, perempuan dan anak anak. Termasuk pada kasus kekerasan
pada kaum perempuan dan pembakaran aaet etnis Rohingya.
Bibliography
Adita, F. (2017). PERAN PBB DALAM MENANGGULANGI VIOLENCE AGAINST
WOMEN (VAW) OLEH KELOMPOK EKSTRIMIS ISIS DI NEGARA KONFLIK
SURIAH TAHUN 2013-2016. JOM FISIP, 6.
AFP. (2018). Badan PBB Mulai Beroperasi di Wilayah Muslim Rohingya. Jakarta: CNN
Indonesia.
Augita, S. (2017). PERAN PEMERINTAH THAILAND DALAH MENGATASI PENCARI
SUAKA. Journal of International Relations UNDIP, 33.
Bain, S. (2019, May 25). Myanmar’s discriminatory citizenship laws can and must be
immediately reformed. Retrieved from Internation Commission of Jurist:
https://www.icj.org/myanmars-discriminatory-citizenship-laws-can-and-must-be-
immediately-reformed/
BBC, T. (2019). PBB setujui resolusi mengutuk pelanggaran HAM atas Muslim Rohingya di
Myanmar. Jakarta: BBC.
(2007). Burma's 1988 protests. United Kingdom: BBC Website.
Dermawan, S. H. (2017). SOCIAL INEQUALITY KAUM ROHINGYA MYANMAR.
Academia.edu, 283.
HEISE, L. L. (1994). Violence Against Women : a neglegted public health issues in less
developed countries. Elsevier Science, 1166.
Mitzy, G. I. (2014). Perlawanan Etnis Muslim Rohingya terhadap Kebijakan Diskriminatif
Pemerintah Burma-Myanmar . IJIS, 165.
Paul R. Viotti, Mark V. Kauppi. (1999). International Relatiosn Theory. Boston: Pearson.
Qurtuby, S. A. (2017). Sejarah Kelam Muslim Rohingya. Jakarta: Made for Minds.
Ramadhani, B. A. (2015). Peran OHCHR dalam menangani kasus HAM yang terjadi pada etnis
Rohingya di Myanmar tahun 2012. SKRIPSI, (p. 66). Jakarta.
Tindaon, S. (2017). Perlindungan atas Imigran Rohingya dalam Pelanggaran HAM Berat di
Myanmar dari. p. 12.
Zuraya, N. (2017). Bantuan UNHCR Buat Pengungsi Rohingya Tiba di Bangladesh. Jakarta:
Republika.

You might also like