You are on page 1of 14

Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

JURNAL PENDIDIKAN KHUSUS

INTERAKSI SOSIAL SISWA TUNANETRA DALAM BELAJAR

Oleh:
AGUS DHYANA PUTRA ATMAJA
NIM: 11010044228

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

2016

1
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

INTERAKSI SOSIAL SISWA TUNANETRA DALAM BELAJAR

Agus Dhyana Putra Atmaja dan Wahyudi Hartono


(Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya) agusdhyanaputra12@gmail.com

ABSTRACT
Humans as social beings are required to perform relationship or social interaction for survival to meet the
demands of life in groups. This is also true for students with visual impairment who are studying in inclusive school.
This environment is very different from the special school environment, which students with visual impairment are
interact only with the like. While in inclusive school, students are required to interact in an environment which is
actually different from itself. Based on this, the researchers took the study focused on how the social interaction of
students with visual impairment in learning in SMAN 10 Surabaya. Thus, this study aims to obtain data and information
about the social interaction of students with visual impairments in learning during in the school environment.
Source of data in this study is students with visual impairment, students alert (regular students), teacher,
shadow teacher, library staff, and principal. The method used is descriptive qualitative method. Data collected through
the interview process.
Results of the study found that; (1) social interaction of students with visual impairments to alert students,
teachers, library staff, and principals in learning in general can be expressed well. The level of student interaction with
the visually impaired student and teacher alert occurs is higher than with principals and library staff; (2) The interaction
of students with visual impairment with sighted students realized in the form of cooperation, positive competition, as
well as the correspondence themselves; (3) Broadly speaking, students with visual impairment have the same academic
achievement with sighted students in general, but has a non-academic achievements which tends to be better; (4) some
problems in the social interaction with the teacher in the learning process, teaching materials which have not been
modified, instructional media that do not support, facilities and infrastructure are lacking support, as well as the
response of the majority of citizens who are less concerned school; (5) Efforts made them student with visual
impairment, more active interaction in the form of question and answer with the teacher, through a peer tutor, trying to
borrow a record company; and try to show the attitude of open interaction and behave well, thereby eliminating the
negative stigma about private school community that is always dependent on other people.

Keywords:, social interaction,belajar

memperoleh dan menukar informasi untuk keperluan


PENDAHULUAN belajar.
Sejak dilahirkan manusia membutuhkan bantuan Perintah penyelenggaraan pendidikan inklusi di
orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia tidak seluruh Indonesia dikeluarkan berdasarkan surat
akan bisa hidup sendiri. Ketika seorang anak sudah mulai Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas
mampu untuk berinteraksi dengan teman sebayanya, ia RI pada tanggal 20 Januari 2003 dengan nomor
tidak hanya menerima kontak sosial tetapi mereka juga perintah 380/C.C6/MN 2003 kepada Dinas
dapat memberi kontak sosial. Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten/Kota seluruh
Manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk Indonesia untuk menyelenggarakan dan
melakukan hubungan/interaksi sosial antarsesamanya mengembangkan pendidikan inklusif dengan cara
demi kelangsungan hidupnya untuk memenuhi tuntutan menentukan, memfasilitasi, dan membina sekolah
dalam hidup berkelompok. Menurut Santoso (2009:10) perintis pendidikan inklusif.
hubungan sosial merupakan salah satu hubungan yang Penyelenggaraan model pendidikan secara
harus dilaksanakan, yang mengandung pengertian bahwa formal ini menyebabkan terjadinya proses menerima
individu harus menyadari kehadiran individu lain dalam dan memberi kontak sosial, baik antar penyandang
hubungan itu. Namun, berbeda dengan anak tunanetra disabilitas tunanetra ataupun terhadap siswa awas
yang mengalami kerusakan pada fungsi kedua matanya, ataupun siswa regular lainnya. Anak tunanetra yang
menyebabkan timbulnya berbagai masalah termasuk bersekolah di sekolah luar biasa akan lebih mudah
masalah belajar, sosial, dan perilaku. Sehingga melakukan adaptasi lingkungan sosial dengan teman
mempengaruhi perkembangan sosialnya. Masalah belajar sebaya yang juga mengalami ketunanetraan, serta
tidak akan lepas dari masalah kontak sosial karena dalam lebih mudah untuk membentuk sebuah kelompok
belajar pun anak tunanetra tidak terlepas dari kesulitan bermain. Akan tetapi bagi anak berkebutuhan khusus
dan hambatan. Oleh karena itu, kontak sosial akan di sekolah inklusif tentu akan membawa dampak
membantu proses belajar mereka terutama dalam tersendiri. Anak tunanetra yang bersekolah di sekolah
inklusi akan dihadapkan pada lingkungan baru yang

2
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

beragam. Anak tunanetra yang berada di sekolah 1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan tentang
inklusi bersama dengan orang awas dan berinteraksi bentuk interaksi sosial siswa tunanetra dengan
dengan mereka tentu akan menemui banyak kendala siswa awas, guru, staf perpustakaan dan kepala
di dalam proses interaksi sosial dengan orang awas di sekolah dalam belajar di lingkungan SMAN 10
sekitarnya. Surabaya.
Salah satu sekolah penyelenggara pendidikan 2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan
inklusif di Surabaya adalah SMA Negeri 10 Surabaya. permasalahan-permasalahan apa yang dihadapi
Masalah kontak sosial tersebut juga sering terjadi siswa tunanetra ketika melakukan interaksi sosial
pada siswa tunanetra di lingkungan sekolah inklusif dengan siswa awas, guru, staf perpustakaan dan
ini. Masalah yang terjadi dalam kontak sosial siswa kepala sekolah dalam belajar di lingkungan
tunanetra di SMAN 10 Surabaya antara lain: (1) siswa SMAN 10 Surabaya
tunanetra masih susah dalam menyesuaikan diri pada 3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan
lingkungan sekolahnya yang baru, sehingga bagaimana upaya siswa tunanetra untuk
mengalami hambatan dalam interaksi sosial dalam hal mengatasi permasalahan interaksi sosial dengan
belajar; (2) kemampuan orientasi dan mobilitas siswa siswa awas, guru, staf perpustakaan dan kepala
tunanetra terbatas sehingga enggan berpindah tempat sekolah dalam belajar di lingkungan SMAN 10
dan berbaur dengan siswa-siswa awas lainnya; (3) Surabaya.
kurangnya rasa percaya diri pada siswa tunanetra
sehingga masih merasa minder dalam memulai METODE
interaksi dengan siswa awas di sekolah tersebut; dan Metode penelitian merupakan suatu cara atau teknik
(4) kurangnya informasi bagaimana cara melakukan yang dipergunakan untuk menyimpulkan, menyajikan
kontak sosial yang benar untuk siswa tunanetra itu dan menganalisis data secara sistematis guna
sendiri. mendapatkan fakta yang benar untuk memecahkan suatu
Menyadari pentingnya masalah interaksi sosial permasalahan.
dalam belajar bagi siswa tunanetra di sekolah inklusif 1. Pendekatan dan Rancangan Penelitian
iniuntuk di teliti, maka peneliti mencoba dan
menggugahnya dalam bentuk uraian deskriptif Penelitian ini menggunakan
tentang kenyataan pelaksanaan interaksi sosial siswa pendekatan penelitian deskriptif kualitatif.
tunanetra yang ada di SMAN 10 Surabaya dengan Menurut Moleong (2013:6) metode penelitian
judul “Studi Deskriptif Interaksi Sosial Siswa kualitatif Adalah penelitian yang bermaksud
Tunanetra dalam Belajar di Lingkungan SMAN 10 untuk memahami fenomena tentang apa yang
Surabaya”. di alami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan
Fokus Penelitian lain-lain, secara holistik dan dengan cara
Berdasarkan latar belakang di atas maka fokus deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
penelitian dalam hal ini yaitu “Bagaimanakah Interaksi pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
Sosial Siswa Tunanetra dalam belajar di Lingkungan dengan memanfaatkan berbagai metode
SMAN 10 Surabaya?”. alamiah.
1. Bagaimanakah bentuk interaksi sosial siswa Alasan peneliti memilih menggunakan
tunanetra dengan siswa awas, guru, staf pendekatan penelitian deskriptif kualitatif
perpustakaan dan kepala sekolah SMAN 10 karena permasalahan belum jelas, kompleks,
Surabaya dalam belajar? dinamis, dan penuh makna. Adapun
2. Permasalahan-permasalahan apa yang rancangan penelitian yang akan dilakukan
dihadapi siswa tunanetra ketika melakukan peneliti dalam hal ini adalah penggambaran,
interaksi sosial dengan siswa awas, guru, staf situasi masalah yang dideskripsikan secara
perpustakaan dan Kepala Sekolah SMAN 10 sistematis mengenai interaksi sosial siswa
Surabaya dalam belajar? tunanetra dalam belajar di SMAN 10
3. Bagaimanakah upaya siswa tunanetra untuk Surabaya.
mengatasi permasalahan interaksi sosial dengan
siswa awas, guru, staf perpustakaan dan Kepala 2. Lokasi penelitian
Sekolah dalam belajar di lingkungan SMAN 10 Lokasi penelitian adalah letak di mana
Surabaya? penelitian dilakukan untuk memperoleh data
atau informasi yang diperlukan dan berkaitan
Tujuan Penelitian dengan permasalahan penelitian. Adapun lokasi
Berdasarkan fokus penelitian tersebut, maka tujuan penelitian ini di SMAN 10 Surabaya yang
penelitian ini ialah untuk memperoleh data dan informasi berlokasi di jalan Jemursari I/28, Kel. Jemur
tentang gambaran masalah interaksi sosial siswa Wonocolo, Kec. Wonocolo, Kota Surabaya.
tunanetra dalam belajar di lingkungan SMAN 10
Surabaya, yang meliputi:

3
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

3. Sumber dan Jenis Data Penelitian kepala sekolah dan staf perpustakaan dalam
Pada penelitian ini peneliti belajar di lingkungan SMAN 10 Surabaya;
mengumpulkan sumber data yaitu berupa dan (b) masalah yang dialami siswa
informasi, tindakan obyek yang diamati dan tunanetra dalam interaksi sosial dan upaya-
sumber data tertulis berupa hasil wawancara. upaya mengatasinya.
Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan 2. Penelitian kualitatif penyajian data bisa
berasal dari informan yang terseleksi terdiri dari: dilakukan dalam bentuk uraian singkat,
(1) Kepala sekolah SMAN 10 Surabaya; (2) Staf bagan, hubungan antar ketegori, flowchart,
perpustakan SMAN 10 Surabaya; (3) Guru dan sejenisnya (dalam Sugiyono, 2013:341).
regular SMAN 10 Surabaya; (4) Guru Dalam penyajian data peneliti menggelar
pendamping khusus SMAN 10 Surabaya; (5) data dalam bentuk sekumpulan informasi
Siswa awas SMAN 10 Surabaya; (6) Siswa yang berupa teks naratif.
tunanetra SMAN 10 Surabaya. 3. Pada tahap ini penarikan kesimpulan diambil
dari data yang terkumpul dan diverifikasi
4. Teknik Pengumpulan Data terus menerus selama penelitian berlangsung
Menurut Sugiyono (2012:308) teknik agar data yang didapat terjamin keabsahan
pengumpulan data merupakan langkah yang dan objektifitasnya, sehingga kesimpulan
paling utama dalam penelitian, karena tujuan terakhir dapat dipertanggung jawabkan
utama dari penelitian adalah mendapatkan data. (dalam Sugiyono, 2013:345). Pengambilan
Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, kesimpulan akan mendiskripsikan hal-hal
maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang sebagai berikut:
memenuhi standar data yang di tetapkan. a. Mendiskripsikan bentuk interaksi social
siswa tunanetra kepada teman sekelasnya,
Dalam penelitian ini, peneliti hanya guru, kepala sekolah dan staf
menggunakan pengumpulan data berupa perpustakaan dalam belajar.
wawancara. b. Mendiskripsikan masalah yang dialami
Menurut Sugiyono (2012:186) Wawancara siswa tunanetra dalam interaksi sosial
adalah percakapan dengan maksud tertentu. dengan teman sekelasnya, guru, kepala
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu sekolah dan staf perpustakaan dalam
pewawancara (interviewer) yang mengajukan belajar.
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) c. Upaya-upaya yang di lakukan siswa
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. tunanetra untuk mengatasi masalah yang
Menurut Sugiyono (2013:317) Wawancara ditemui dalam interaksi sosial dengan
digunakan sebagai teknik pengumpulan data teman sekelasnya, guru, kepala sekolah
apabila peneliti ingin melakukan studi dan staf perpustakaan dalam belajar.
pendahuluan untuk menemukan permasalahan
yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti 6. Teknik Pengecekan Keabsahan Data
ingin mengetahui hal-hal dari responden yang Setiap hal temuan harus dicek
lebih mendalam. keabsahannya agar hasil penelitiannya dapat
Pada penelitian ini, yang dilakukan oleh dipertanggungjawabkan kebenarannya dan dapat
peneliti yaitu peneliti melakukan wawancara dibuktikan keabsahannya.
dengan beberapa subyek yaitu: siswa tunanetra,
siswa awas, guru, kepala sekolah dan staf Untuk pengecekan keabsahan temuan ini
perpustakaan di SMAN 10 Surabaya. teknik yang dipakai oleh peneliti adalah
triangulasi. Triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang
5. Teknik Analisis Data memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data
Teknik analisis data yang digunakan untuk keperluan pengecekan atau sebagai
dalam penelitian ini ialah analisis data kualitatif pembanding terhadap data itu (Moleong,
menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2011:330). Pemeriksaan yang dilakukan oleh
2013:337) yang dilakukan adalah memulai peneliti adalah triangulasi sumber, yakni dengan
dengan pengumpulan data, reduksi data, display cara membandingkan kebenaran suatu fenomena
data dan verification. berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti,
1. Mereduksi data berarti merangkum, memilih baik dilihat dari dimensi waktu maupun sumber
hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal- yang lain.
hal yang penting, dicari tema dan polanya
(dalam Sugiyono, 2013:338). Dalam
penelitian ini data-data dipilih dan
dikategorikan menjadi beberapa bagian
yaitu: (a) bentuk interaksi sosial siswa
tunanetra kepada teman sekelasnya, guru,

4
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN berkunjung ke perpustakaan. Namun demikian, diakui SP


Dalam bab ini hasil penelitian berisi deskripsi hasil bahwa interaksi personal tidak hanya terjadi di
analisis data penelitian yang sudah terorganisasi dengan perpustakaan saja, karena hal ini dapat terjadi ketika SP
baik. Deskripsi analisis tersebut disajikan dalam uraian memberikan pendampingan pada saat ujian sekolah.
yang bersifat kualitatif yaitu data yang digambarkan diketahui bahwa interaksi personal antara STN dan
dengan kata-kata atau kalimat. Data-data hasil temuan SP sangatlah jarang, karena hanya terjadi pada saat STN
penelitian meliputi (a) hasil penelitian dan (b) berkunjung ke perpustakaan dan pada saat membacakan
pembahasan. Penyajian temuan dan pembahasan hasil naskah soal ulangan umum. Kedua hal tersebut sangatlah
penelitian studi deskriptif interaksi sosial siswa tunanetra jarang terjadi, meskipun diakui SP tidak ada hambatan
dalam belajar di SMAN 10 Surabaya. dalam memberikan pendampingan melalui membacakan
naskah soal karena SP telah dibekali pelatihan. Pada
A. HASIL PENELITIAN proses pembacaan naskah soal tersebut, terjadi suatu
1. Interaksi sosial siswa tunanetra dengan Kepala interaksi personal antara SP dengan STN dalam proses
Sekolah dalam Belajar pembelajaran.
Peneliti menemukan bahwa interaksi sosial dalam Intensitas kunjung STN ke perpustakaan sangatlah
belajar antara STN dengan KS cenderung sangat minim sedikit. SP menyatakan bahwa hal ini salah satunya
dibandingkan dengan individu yang lainnya. Dalam disebabkan oleh tidak adanya sarana memadai di
berinteraksi dengan tunanetra, KS mengakui tidak perpustakaan bagi STN, yakni salah satunya buku atau
memiliki bekal khusus yang diterima dalam pelatihan media ajar bercetak braille.
atau yang sejenisnya. Namun kepala sekolah belajar dari
pelatihan umum tentang pendidikan inklusif, dari GPK, 3. Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dengan Guru
dan belajar dari pengalaman pribadi. dalam Belajar
KS dalam keterangannya menyatakan bahwa siswa Interaksi personal secara langsung dalam belajar
tunanetra di sekolah yang dipimpinnya tersebut sudah antara STN dengan Guru Kelas (GK) ataupun Guru
berusaha mandiri dan berani berinteraksi dengan seluruh Pembimbing Khusus (GPK) cenderung dapat dipastikan
warga, tanpa terkecuali dengan dirinya. Menurutnya, hal lebih sering terjadi jika dibandingkan dengan interaksi
ini didukung juga oleh sarana dan prasarana yang cukup personal dalam belajar kepada KS ataupun SP. Hampir
menunjang, meskipun memang disadari masih banyak dapat dipastikan, selama proses pembelajaran di dalam
yang perlu diperhatikan. KS menilai adanya hubungan kelas berlangsung maka selama itu pula terjadi interaksi
dalam interaksi personal antara dirinya dengan siswa personal secara langsung antara STN dengan GK ataupun
tunanetra yang cukup baik. Selain itu, KS mengakui GPK.
bahwa seluruh siswa tunanetra telah memiliki keaktifan Hambatan penglihatan menjadi salah satu hambatan
dalam aktivitas yang diselenggarakan pihak sekolah. dalam proses pembelajaran serta proses interaksi antara
Keaktifan mereka diwujudkan dalam beberapa hal, salah GK dan STN. Hal ini disebabkan kesalahfahaman antara
satunya pentas seni. Hal ini membuktikan bahwa siswa GK dengan STN yang salah satu pihak tidak dapat
tunanetra meskipun memiliki kekurangan namun juga mencerna keinginan dengan baik. Namun ketika ada
tetap memiliki partisipasi yang baik dalam kegiatan perselisihan ataupun perbedaan pendapat, maka
sekolah. Meskipun interaksi secara personal dengan diri musyawarah adalah jalan terbaik. Hubungan interaksi
KS cenderung minim dikarenakan waktu untuk GK/GPK dengan STN sangat komunikatif, demikian juga
berinteraksi intens secara langsung sangat terbatas pada dengan hubungan dengan SA.
saat pembelajaran di dalam kelas. Namun, KS berusaha
memastikan perkembangan akademik ataupun 4. Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dengan Siswa Awas
nonakademik seluruh siswa tunanetra di sekolah yang (Siswa Reguler) dalam Belajar
dipimpinnya. Sehingga tidak hanya memperhatikan aspek Mengenai bentuk interaksi sosial siswa tunanetra
saranan prasarana serta pengajaran yang diberikan, dengan siswa awas/siswa regular ini Dapat
namun juga pada aspek akademik dan nonakademik dikelompokkan dalam beberapa bentuk interaksi sosial
siswa. kerja sama, persaingan, dan persesuaian. Hal ini dapat
dipaparkan sebagai berikut.
2. Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dengan Staf a. Interaksi Sosial dengan Kerjasama dalam Belajar
Perpustakaan dalam Belajar Dalam interaksi sosial di sekolah, terdapat interaksi
Interaksi personal yang terjadi antara siswa tunanetra yang sangat intens selama proses pembelajaran antara
(STN) dengan staf Perpustakaan (SP) memiliki tingkat satu siswa terhadap siswa yang lainnya. Hal ini juga
intensitas yang sangat sedikit. Meskipun demikian, diakui berlaku bagi siswa tunanetra (STN) terhadap siswa awas
SP bahwa tidak ada permasalahan yang berarti dalam (SA) atau sebaliknya. Hampir seluruh waktu kehidupan
proses interaksi dalam belajar dengan STN. Melalui siswa akan dihabiskan di sekolah bersama temannya.
keterangan SP diketahui bahwa intensitas pertemuan Terlebih pula interaksi tersebut akan terus berlanjut
yang menjadikan adanya interaksi personal antara SP dan hingga di rumah apabila tinggal di dalam lokasi yang
STN sangatlah jarang. Karena interaksi tersebut hanya tidak berjauhan. Interaksi yang sangat kuat ini
terjadi ketika STN berkunjung ke perpustakaan sekolah, menjadikan adanya pengaruh yang sangat kuat pula
sementara SP mengakui bahwa STN sangatlah jarang antara STN kepada SA ataupun sebaliknya, khususnya

5
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

interaksi antar teman kelas dalam belajar di sekolah. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi siswa
Menurut keterangan GPK, bahwa antara STN dan SA tunanetra ketika melakukan interaksi sosial dengan
telah terjadi interaksi sosial yang sangat baik dalam kepala sekolah, staf perpustakaan, guru (guru kelas
belajar. Salah satunya terlihat ketika SA membantu STN dan GPK), serta siswa awas di SMAN 10 Surabaya
dalam mobilitas dan beraktifitas selama di sekolah. dalam belajar.
SMAN 10 Surabaya memang sengaja menyiapkan Setelah melakukan penelitian, peneliti
program tutor sebaya bagi STN dalam belajar. Hal ini menemukan beberapa masalah yang terjadi dalam kontak
bukan untuk memanjakan STN dalam sagala hal, namun sosial siswa tunanetra di SMAN 10 Surabaya, yaitu
hanya ingin melatih dan mendukung proses belajar sebagai berikut:
apabila membutuhkan bantuan. STN tidak hanya baik Permasalahan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dengan
dalam interaksi kerja sama berkelompok dalam belajar Kepala Sekolah, Staf Perpustakaan, Guru (Guru Kelas
bersama SA lainnya. Namun juga interaksi yang baik dan GPK), Serta Siswa Awas dalam Belajar
dalam proses diskusi baik di dalam ataupun di luar jam Hambatan penglihatan yang dialami STN
pelajaran. diketahui bahwa pelajaran yang sering berakibat pada terhambatnya akses ataupun interaksi
membutuhkan pendampingan bagi STN adalah dalam belajar terhadap orang lain. Salah satu hambatan
matematika, geografi dan ekonomi. yang dialami STN untuk menangkap materi yang
diberikan GK. STN memiliki hambatan dalam
b. Interaksi Sosial dengan Persaingan dalam memahami penjelasan GK yang ditulis di papan tulis
Belajar ataupun di layar LCD. Lebih dalam, peneliti menemukan
Salah satu bentuk interaksi sosial adalah adanya bahwa belum adanya PPI atau Program Pembelajaran
persaingan antar anggota kelompok. Persaingan tersebut Individual bagi STN yang merupakan modifikasi dari
dalam hal negative ataupun dalam hal positif. Di dunia RPP.
pendidikan, persaingan positif sangatlah dibutuhkan Hambatan lain yang dirasakan STN dalam
untuk memacu semangat dan menumbuhkan motivasi interaksi sosial dalam belajar adalah metode ajar GK atau
dalam berprestasi. Hal ini juga berlaku di lingkungan GPK yang diterapkan dalam pengajaran. Hambatan lain
sekolah regular yang mendidik siswa regular serta siswa juga yang dirasakan oleh STN dalam belajar ialah dalam
berkebutuhan khusus, seperti halnya SMAN 10 Surabaya memahami materi ajar, salah satu materi yang susah
yang menerima SA dan STN dalam suatu proses difahami STN adalah matematika, fisika, dan kimia.
pengajaran yang bersama. Salah satu indicator adanya Hambatan lainnya bagi STN adalah kurangnya sarana
persaingan ialah melalui adanya debat dikarenakan dan media pembelajaran yang memadai, salah satunya
perselisihan pendapat. Namun demikian, KS menyatakan adanya media ajar dan buku-buku ajar bercetak braille.
bahwa sangat jarang terjadi perselisihan pendapat yang
berkonotasi negative antara STN dan SA. Namun hal ini Upaya siswa tunanetra untuk mengatasi
sedikit berbeda dengan pengakuan SA dan STN bahwa permasalahan interaksi sosial dengan siswa awas,
sering terjadi perselisihan pendapat antara keduanya, guru, staf perpustakaan dan Kepala Sekolah dalam
namun perselisihan tersebut bersifat positif. Sehingga belajar di lingkungan SMAN 10 Surabaya
melalui perbedaan pendapat itu dapat ditemukan Berdasarkan permasalahan yang ditemukan
pemahaman secara langsung. Polemic selama pelajaran di dalam proses pembelajaran pada pembahasan
kelas tidak dapat dipungkuri. Selain polemic yang sebelumnya. Maka pihak sekolah telah berusaha
bersifat fisik dalam bentuk perselisihan pendapat ataupun mengatasi permasalahan tersebut sebagai salah satu
pemikiran, adapula polemic internal diri siswa dalam upaya dalam mengatasi permasalahan yang ada,
bentuk unjuk kemampuan diri dalam bentuk keaktifan. khususnya tentang pembelajaran yang berlangsung bagi
Rasa untuk menunjukkan eksistensi diri yang ditunjukkan STN. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah
merupakan salah satu bentuk persaingan akademik antara dibentuknya tutor sebaya yang akan membantu STN
siswa. dalam proses pembelajaran selain GPK. tutor sebaya ini
bertugas membantu STN dalam membaca pelajaran
apabila tidak ada GPK yang masuk di dalam pelajaran,
karena tidak setiap pelajaran STN didampingi oleh GPK,
Interaksi Sosial dengan Persesuian dalam Belajar
namun hanya pelajaran-pelajaran tertentu saja. Dengan
Hambatan penglihatan mengakibatkan pengaruh
adanya pembekalan yang diberikan terhadap SA, maka
terhadap beberapa aspek lainnya. Sehingga dibutuhkan
diharapkan terjadi kerjasama yang baik dalam proses
waktu dan usaha yang lebih untuk dapat menyesuaikan
pembelajaran.
diri dengan lingkungan sekitar, termasuk dengan individu
Salah satu hambatan sebagai mana telah
lain di sekitarnya. diakui STN bahwa untuk dapat
ditemukan peneliti adalah kurangnya media ajar dan
menyesuaikan diri dibutuhkan waktu yang cukup,
sarana prasarana yang dibutuhkan STN dalam belajar.
sehingga dirinya tidak merasa malu ataupun minder.
Sebagai upaya untuk mengatasi hambatan tersebut, maka
Namun demikian, adapula dari sebagian STN yang masih
pihak sekolah dengan berbagai usaha telah berupaya
merasa minder jika berinteraksi dangan guru, sehingga
melakukan berbagai hal, seperti pengadaan media belajar
memilih berinteraksi dengan teman dekatnya saja.
bagi STN layaknya Buku braille, al-qur’an braille,
komputer bicara atau jaws. Meskipun diakui oleh
berbagai pihak bahwa keberadaan media tersebut masih

6
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

sangat minim. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, perilaku sosial, mobilitas, intelektual-kognitif, dan
khususnya masalah pendanaan yang hanya bersumber komunikasi. Salah satu hal yang menjadi fokus dalam
dari pemerintah. menurut hemat peneliti keberadaan pembahasan ini adalah pengaruh hambatan penglihatan
media ajar bagi STN masih sangat minim dan harus terus terhadap komunikasi, perilaku sosial dan intelektual-
dipenuhi agar mendukung proses pembelajaran, kognitif.
khususnya bagi STN. Menurut hasil penelitian, interaksi sosial STN
Hal lain yang menjadi hambatan bagi STN adalah memang akan lebih banyak terjadi dengan guru dan
tersedianya sarana dan prasarana. Sebagai upaya untuk teman di kelasnya selama proses pembelajaran, namun
menyelesaikan permasalahan tersebut, sekolah telah tidak demikian bagi kepala sekolah. Pasalnya, kepala
menyediakan sarana akses jalan (guiding block) dan ada sekolah lebih banyak beraktifitas dalam administrasi
pula ram untuk memudahkan bagi STN ataupun sekolah dan mungkin akan intens berinteraksi sosial
tunadaksa (kursi roda). dengan siswa saat memberikan pengajaran di dalam kelas
saja. Jika merujuk kepada pendapat Wahyuni dan
B. PEMBAHASAN Yusniati (2007:40) yang mengatakan bahwa kontak
Berdasarkan pemaparan data hasil penelitian yang sosial mempunyai dua sifat, yaitu bersifat primer, artinya
telah diuraikan pada sub sebelumnya. Maka, peneliti akan terjadi apabila hubungan diadakan secara langsung dan
membahas hasil penelitian tersebut dikaitkan dengan berhadapan muka. Dan bersifat sekunder, artinya suatu
teori yang telah dicantumkan sebelumnya. Pembahasan kontak memerlukan suatu perantara. Maka, dapat peneliti
hasil penelitian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: simpulkan bahwa interaksi STN dengan KS cenderung
1. Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dengan Kepala mengarah kepada interaksi sekunder, sehingga KS tidak
Sekolah, Staf Perpustakaan, Guru dan Siswa memiliki informasi yang lebih detail tentang interaksi
Awas dalam Belajar sosial STN dalam belajar di kelas.
a. Interaksi Sosial Sosial Siswa Tunanetra dengan Kepala Namun demikian, bukan berarti tidak ada kontak
Sekolah, Staf Perpustakaan, Guru Kelas dan GPK dalam sosial dengan individu kepala sekolah, karena hal ini bisa
Belajar dilakukan kepala sekolah setiap saat khususnya pada saat
Setiap anak berhak untuk mendapatkan layanan upacara bendera ataupun pada saat kapan saja kepala
pendidikan. Tidak terkecuali bagi siswa berkebutuhan sekolah berkehendak, tidak terkecuali bagi siswa
khusus, salah satunya siswa tunanetra (STN). Meskipun tunanetra. Sehingga interaksi sosial antara STN dengan
layanan yang dibutuhkan tidak sama dengan siswa KS akan tetap dapat terjadi. Hal ini merujuk pada teori
regular (SA), namun STN membutuhkan layanan khusus Gillin & Gillin (dalam Wahyuni dan Yusniati, 2007:37)
untuk mendukung proses belajar, dalam hal ini interaksi yang mendefinisikan interaksi sosial sebagai suatu
sosial terhadap lingkungan, baik individu ataupun hubungan sosial yang dinamis antara orang-perorangan,
lingkungan sekolah. Kebutuhan STN terhadap layanan antara individu dan kelompok manusia, dan antara
khusus dalam pendidikan ini, sesuai dengan pendapat kelompok manusia. Dalam beninteraksi dengan
Munawar dan Suwandi (2013:24) yang berpendapat tunanetra, kepala sekolah tidak memiliki bekal khusus
bahwa, yang diterima dalam pelatihan atau yang sejenisnya.
“anak berkebutuhan khusus paling sedikit Namun kepala sekolah belajar dari pelatihan umum
mempunyai tiga alasan untuk mendapatkan tentang pendidikan inklusif, dari GPK, dan belajar dari
layanan pendidikan khusus yaitu; (a) Individual pengalaman pribadi.
differences, manusia diciptakan berbeda-beda Lowenfeld, dkk, (dalam Hadi, 2005:56)
memiliki kapasitas intelektual, sosial, fisik, mengemukakan bahwa tunanetra buta mempunyai
suku, agama yang berbeda sehingga masalah serius pada perkembangan fungsi kognitif, yaitu
membutuhkan pendidikan yang sesuai dengan meliputi: (1) dalam tingkat dan macam pengalaman yang
karakteristik dan kebutuhannya; (b) Potensi dimiliki tunanetra; (2) dalam kecakapan atau
siswa akan berkembang optimal dengan adanya kesanggupan untuk berbuat; dan (3) dalam berinteraksi
layanan khusus; dan (c) Siswa berkebutuhan dengan lingkungan. Permasalahan tentang interaksi
khusus lebih terbantu dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan menjadi isu khusus dalam penelitian
sosial.” ini. Mengenai pendapat tersebut, STN3 mengakui bahwa
Pemberian layanan khusus bagi STN menurut memang pada awalnya merasa minder dan tidak percaya
pendapat tersebut lebih mengarah kepada poin terakhir, diri dalam berinteraksi dengan teman yang awas ataupun
yakni STN lebih terbantu dalam melakukan adaptasi dengan guru-guru dan kepala sekolah, namun kini
sosial dalam belajar. Proses belajar di sekolah terjadi mereka sudah jauh lebih baik. Menurut peneliti, tingkat
mulai siswa datang hingga pulang dari sekolah. Artinya interaksi sosial yang terjadi antara pribadi STN dengan
selama proses belajar tersebut, maka akan terjadi individu lain cenderung baik. Hal ini disebabkan oleh
interaksi dari diri siswa tunanetra kepada individu lain. banyak hal, salah satunya adanya sikap positif yang
Adanya hambatan dalam diri STN tentu sangat ditunjukkan individu lain sebagai lawan interaksi STN.
berpengaruh terhadap proses interaksi. Hal ini sesuai Merujuk pada pendapat Elstner, dkk (dalam Hadi,
dengan teori Sigelman (dalam Hadi, 2005:40) yang 2005:54) tentang dampak akibat ketunanetraan dalam hal
mengidentifikasi lima hal dimana kerusakan mata komunikasi verbal oleh siswa tunanetra dikemukakan
berkontribusi mengalami ketidakmampuan kesehatan, bahwa mereka tanpa sadar mengharapkan reaksi budaya
yang tetap dan pola tingkah laku yang memperlakukan

7
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

atau bertindak dan memberi respon penuh kasih sayang tertinggi di sekolah. Jika kembali pada pendapat Kingsley
terhadap anak. Jika respon kasih sayang dan peduli & Mason (dalam Hadi, 2005:53) yang menyebutkan
tersebut tidak didapatkan STN, maka bisa dipastikan empat area pengembangan sebagai dampak kerusakan
STN akan sangat susah dalam melakukan inetraksi sosial penglihatan, yaitu: sosial dan emosional, bahasa, kognitif,
antar personal dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. serta orientasi dan mobilitas. Maka, peneliti menganalisis
Sehingga menurut peneliti, kepedulian yang ditunjukkan memang STN belum mampu mengatasi keempat hal
oleh lingkungan STN menjadi sebab utama peningkatan tersebut secara bersamaan. Apalagi memang tema
kemampuan STN dalam berinteraksi sosial belajar di penelitian kali ini berfokus pada pembahasan interaksi
lingkungan SMAN 10 Surabaya. sosial saja. Dibutuhkannya waktu yang cukup panjang
Sedikit sama dengan KS, interaksi personal yang untuk dapat menyesuaikan dengan keadaan baru STN
terjadi antara siswa tunanetra (STN) dengan staf tersebut disebabkan berbagai hal, apalagi jika dilihat
Perpustakaan (SP) juga memiliki tingkat intensitas yang keberadaan STN di antara lingkungan yang notabene
sangat sedikit, bahkan lebih sedikit daripada KS. Hal bukan STN namun justru SA dan individu awas lainnya.
tersebut disebabkan karena interaksi hanya terjadi ketika Sehingga, akan berlaku teori Wahyuno (2013:7-9) dalam
STN berkunjung ke perpustakaan sekolah, sementara SP buku Orientasi & Mobilitas tentang beberapa
mengakui bahwa STN sangatlah jarang berkunjung ke karakteristik anak tunanetra adalah adanya rasa curiga
perpustakaan. Selain itu, interaksi personal juga terjadi pada orang lain, perasaan mudah tersinggung,
ketika SP memberikan pendampingan pada saat ujian ketergantungan yang berlebihan, dll. Untuk mengurangi
sekolah. Pada proses pembacaan naskah soal tersebut, karakteristik yang cenderung negative bagi STN, apalagi
terjadi suatu interaksi personal antara SP dengan STN STN mendapat pendidikan yang sudah cukup tinggi,
dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, hal ini tentu berbeda dengan STN yang hanya mendapat pendidikan di
berbanding terbalik dengan interaksi STN dengan GK bangku SD saja. Tentu karaktersitik tersebut sebaiknya
ataupun GPK. Jika merujuk pada pendapat Wahyuni dan dikurangi dari diri STN. Sebagai usaha untuk mengurangi
Yusniati (2007:40) tentang pembagian interaksi primer hal tersebut, dibutuhkan suatu manajemen diri dari diri
dan interaksi sekunder, maka dapat disimpulkan peneliti STN. Menurut Uno (2008:211), manajemen diri secara
interaksi STN dengan SP bersifat sekunder, sedangkan umum terdiri dari tiga langkah utama, yaitu menentukan
interaksi sosial STN dengan GK dan GPK bersifat tujuan, memonitor dan mengevaluasi kemajuan, dan
primer. memberikan penguatan diri. Menurut hemat peneliti,
Hampir dapat dipastikan, selama proses pihak sekolah sedang berkonsentrasi untuk membantu
pembelajaran di dalam kelas berlangsung maka selama manajemen diri STN melalui pemberian penguatan
itu pula terjadi interaksi personal secara langsung antara sebagaimana selalu dilakukan KS dalam upacara bendera,
STN dengan GK ataupun GPK. STN memiliki inisiatif GPK setiap bertemu dengan STN pada awal-awal
untuk bertanya karena dia perduli dengan pelajaran dan pendidikan, ataupun SA sebagai tutor sebaya. Hal ini
ingin bisa menguasai materi. Selain memiliki inisiatif didukung juga oleh hubungan timbal balik, baik antara
dalam berinteraksi dengan guru, menurut peneliti STN siswa tunanetra dengan siswa awas, ataupun guru bahkan
juga dinilai sudah dapat berbaur dengan teman-teman. kepala sekolah. Juga didukung oleh sarana dan prasarana
Merujuk pada pendapat Sigelman dan Geraldine (dalam yang tersedia.
Hadi, 2005:38) yang memahami istilah ketunanetraan Menurut Barlow (dalam Syah, 2003:64),
tersebut meliputi tiga pengertian yaitu berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi
ketunaan/kekurangan (impairment), ketidakmampuan (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara
(disability), dan hambatan atau kendala (handicap). Pada progresif. Artinya proses belajar tersebut haruslah
kata Disability, Sigelman dan Geraldine (dalam Hadi, terprogram dan secara continue, seperti halnya yang
2005:38) memberikan batasan adanya beban terjadi dalam lingkungan sekolah. Pembelajaran tersebut
ketidakseimbangan atau ketidakmampuan seseorang adalah sebagai pengatur peristiwa secara seksama dengan
individu akibat kecacatan/kerusakannya, salah satunya maksud agar terjadi altivitas belajar dan berhasil/berguna,
adalah ketidakseimbangan dalam berinteraksi sosial menurut Gagne (dalam Siregar dan Nara, 2011:12).
(Mary Kingsley & Heather Mason dalam Hadi, 2005:53). Sehingga siapapun objek yang mendapatkan
Melihat hal tersebut, sehingga diperlukan hubungan pembelajaran dimaksudkan agar pada akhirnya dapat
timbal balik, khususnya pada subjek interaksi primer berhasil guna dan berdaya guna, tanpa terkecuali bagi
yang lebih sering berinteraksi di sekolah. Agar STN STN, meskipun mendapatkan pembelajaran bersama
mampu mengurangi bahkan menghilangkan atau temannya yang awas. Merujuk pada pendapat dalam
setidaknya mengatasi kedisabilitasannya dalam Siregar dan Nara (2011:172) yang membagi belajar bagi
berinteraksi sosial sebagai mana pendapat Hadi STN menjadi lima kategori sebagai berikut:
(2005:53). a. Keterampilan intelektual: untuk jenis
Berdasarkan pengakuan berbagai informan belajar ini, kondisi belajar yang
kepada peneliti sebagaimana telah dipaparkan pada dibutuhkan adalah pengambilan
uraian sebelumnya, bahwa penyesuaian diri STN tidaklah kembali keterampilan-keterampilan
membutuhkan waktu yang lama untuk mampu yang sebelumnya, pembimbingan
berinteraksi dengan seluruh warga sekolah yang notabene dengan kata-kata atau alat,
berbeda, mulai teman, guru, petugas perpustakaan, pendemonstrasian penerapan oleh
hingga kepala sekolah yang merupakan pimpinan siswa dengan memberikan review.

8
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

b. Informasi verbal: untuk jenis belajar ini, kepercayaan diri STN masih sangat perlu ditingkatkan
kondisi belajar yang dibutuhkan adalah sampai pada pencapaian percaya diri yang maksimal
pengambilan konteks dari informasi sebagai bekal setelah keluar dari sekolah, mungkin akan
bermakna, kinerja dari pengetahuan baru melanjutkan pada perguruan tinggi ataupun memilih
yang direkonstruksi. bekerja.
c. Strategi kognitif: untuk jenis belajar ini, Berdasarkan temuan peneliti di lapangan bahwa
kondisi belajar yang dibutuhkan adalah mayoritas STN memiliki prestasi yang cukup baik dalam
pengambilan kembali aturan-aturan dan bidang akademik, meskipun tidak terlalu menonjol akan
konsep-konsep yang relevan, penyajian tetapi juga tidak tertinggal dari teman sebayanya. Justru
situasi masalah baru yang berhasil, peneliti temukan STN lebih banyak berprestasi dalam
pendemonstrasian solusi oleh siswa. bidang nonakademik, seperti lomba menyanyi, seni
d. Keterampilan motorik: untuk jenis belajar musik, ataupun kesenian lainnya. Meskipun dalam
ini, kondisi belajar yang dibutuhkan adalah bidang akademik ada salah satu STN yang mampu
pengambilan kembali rangkaian unsur menembus olimpiade matematika tingkat provinsi.
motorik, pembentukan atau pengingatan Pendapat Hardman dalam Hadi (2005) menyebutkan
kembali kebiasaan-kebiasaan yang bahwa anak tunanetra tidak dapat menggunakan
dilaksanakan, pelatihan keterampilan- penglihatannya, sehingga dalam proses belajar akan
keterampilan keseluruhan yang tepat. bergantung kepada indera lain yang masih berfungsi.
Melihat pada hasil penelitian, maka menurut Memaknai pendapat tersebut, maka tepat jika mayoritas
peneliti keempat kategori tersebut sesuai dengan keadaan STN di SMAN 10 Surabaya lebih cenderung berprestasi
STN di SMAN 10 Surabaya. Mereka dibekali tentang di bidang non akademik karena mereka memiliki
keterampilan intelektual, informasi verbal, strategi hambatan untuk berprestasi di bidang akademik untuk
kognitif oleh para guru, serta keterampilan motoric yang mengalahkan SA pada umumnya.
STN dapat dari pelatihan-pelatihan sekolah ataupun dari Hal tersebut menggambarkan bahwa keterbatasan
SA/tutor sebaya. siswa tunanetra tidak berpengaruh terhadap prestasi dan
Proses pembelajaran berjalan cukup keaktifannya dalam usaha berinteraksi dengan orang lain
komunikatif. Hal ini peneliti simpulkan melalui dan mencapai prestasi, baik akademik ataupun
pernyataan berbagai informan, baik siswa ataupun guru. nonakadmeik. Selain itu, pihak sekolah juga sudah
Keberadaan guru sangatlah penting bagi proses berusaha melibatkan seluruh siswa tunanetra sehingga
pembelajaran STN. Jika menurut pendapat konvensional tidak ada diskriminasi yang diberikan. Merujuk pada
teori komunikasi Berlo (dalam Prawiradilaga, 2008:23) pendapat Jan dkk (dalam Hadi, 2005:56) bahwa banyak
yang menjelaskan bahwa dalam suatu kegiatan belajar problem berkaitan kurang/lemahnya kognitif sebagai
mengajar (KBM) konvensional, pengajar adalah pengirim akibat kurangnya informasi, kenyataan bahwa berbagai
pesan yaitu berupa materi ajar. Meksipun teori modern pengertian tidak dapat diproses menjadi informasi yang
mendefinisikan peran guru jauh lebih kompleks, efisien. Berdasarkan pendapat tersebut, maka menurut
khususnya bagi STN yang memiliki hambatan dalam peneliti memang seharusnya STN diberikan pembekalan
penglihatan. Setidaknya dengan melihat peran guru dan kesempatan untuk dapat mengembangkan kreatifitas
secara konvensional sebagai pengirim pesan materi, maka dan prestasi yang lebih mengarah pada bidang
pengajar (guru) dituntut harus memiliki metode ajar yang nonakademik, sehingga bidang akademik cukup sebagai
sesuai dengan kebutuhan STN sehingga proses suatu pengetahuan yang setidaknya setara dengan SA
pengiriman materi dapat sampai dengan baik. pada umumnya.
Hambatan penglihatan menjadi salah satu
hambatan dalam proses pembelajaran serta proses b.Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dengan Siswa Awas
interaksi antara GK dan STN. Hal ini disebabkan (Siswa Reguler) dalam Belajar
kesalahfahaman antara GK dengan STN yang salah satu Rogow dan Mason (dalam Hadi, 2005:35-36)
pihak tidak dapat mencerna keinginan dengan baik antar mengatakan bahwa kerusakan penglihatan ialah istilah
satu dengan lainnya. Selain itu, GK belum memiliki umum yang menggambarkan adanya jenis ketunanetraan
pengatahuan mendalam tentang bagaiamana pengajaran yang meliputi buta (blind) dan kurang penglihatan (low
STN secara khusus. Namun ketika ada perselisihan vision). Hal ini yang juga peneliti temukan tentang
ataupun perbedaan pendapat, maka musyawarah adalah kelompok STN yang ada di SMAN 10 Surabaya. Yaitu
jalan terbaik. Menurut Wahyuno (2013:7-9) dalam buku dari lima STN yang diteliti, diketahui tiga diantaranya
Orientasi & Mobilitas tentang beberapa karakteristik kurang penglihatan (low vision), sementara yang lainnya
anak tunanetra adalah rasa curiga pada orang lain, buta total (blind). Menurut informasi yang peneliti
perasaan mudah tersinggung, ketergantungan yang terima, penerimaan STN di sekolah tersebut tentu
berlebihan, dll. Dalam proses pembelajaran di kelas, berdasarkan kemampuan sekolah dalam memberikan
hampir seluruh guru mengatakan bahwa STN telah layanan yang dibutuhkan. Sebagaimana temuan
memiliki kepercayaan diri yang cukup baik, sehingga penelitian yang telah peneliti paparkan sebelumnya,
ketergantungan dengan orang lain juga sangat berkurang. mengenai bentuk interaksi sosial STN dengan SA ini
Menurut peneliti, meskipun diakui STN telah memiliki dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk interaksi
kepercayaan diri yang baik dan tingkat ketergantungan
diri yang cukup rendah, namun peneliti menilai

9
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

sosial kerja sama, persaingan, dan persesuaian. Hal ini 2. Interaksi Sosial dengan Persaingan dalam
akan dibahas sebagai berikut. Belajar
1. Interaksi Sosial dengan Kerjasama dalam Belajar Terdapat perbedaan di kalangan
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh professional tentang pembagian bentuk interaksi
Kimball Young (dalam Wahyuni dan Yusniati, 2007:44) sosial. Menurut Kimball Young (dalam
tentang bentuk interaksi sosial STN dengan individu Wahyuni dan Yusniati, 2007:44) interaksi sosial
lainnya. Ia berpendapat bahwa, interaksi sosial STN STN dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1)
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) oposisi yang oposisi yang mencakup persaingan, pertentangan
mencakup persaingan, pertentangan dan pertikaian; (2) dan pertikaian; (2) kerjasama yang
kerjasama yang menghasilkan akomodasi; dan (3) menghasilkan akomodasi; dan (3) diferensiasi
diferensiasi yaitu suatu proses saat seseorang yaitu suatu proses saat seseorang memperoleh
memperoleh hak dan kewajiban yang berbeda dalam hak dan kewajiban yang berbeda dalam suatu
suatu masyarakat. Berdasarkan pendapat tersebut, maka masyarakat. Sedikit berbeda dengan pendapat
peneliti mengamati bentuk interaksi sosial yang terjadi Gillin dan Gillin (dalam Wahyuni dan Yusniati,
antara STN dengan SA dalam bentuk kerja sama yang 2007: 43-44) yang mengatakan bahwa bentuk
menghasilkan akomodasi selama proses belajar sangatlah interaksi sosial dibedakan menjadi dua golongan
aktif dilakukan. Hampir seluruh waktu kehidupan STN yaitu: (1) proses asosiatif yang terbagi dalam
akan dihabiskan di sekolah bersama temannya, tentu tiga bentuk khusus yaitu akomodasi, asimilasi,
proses kerjasama tidak dapat dihindarkan tanpa dan akulturasi, dan (2) proses yang disosiatif
terkecuali. Menurut peneliti, terlaksananya kerja sama yang mencakup persaingan, kontravensi, dan
yang baik antara STN dengan SA dapat dilihat dalam pertentangan. Melalui dua pendapat tersebut,
beberapa hal, seperti proses kerja kelompok di dalam peneliti mengambil garis tengah, bahwa intinya
kelas, proses kerja kelompok di luar kelas (rumah), terdapat interaksi sosial yang bersifat asosiatif
dibentuknya tutor sebaya untuk membantu STN dalam (kerja sama), dan adapula interaksi sosial yang
membacakan atau menuliskan materi/tugas-tugas, serta bersifat disasosiatif (pertentangan/permusuhan).
kerja sama dalam pendampingan mobilitas STN di Berdasarkan paparan hasil penelitian,
lingkungan sekolah. peneliti juga menemukan adanya interaksi sosial
Menurut peneliti, bentuk interaksi sosial yang antara STN dengan SA dalam proses belajar,
bersifat positif sangat sering dilakukan SA dengan STN, suatu bentuk interaksi yang bersifat diasosiatif
baik di dalam ataupun di luar kelas. Bentuk interaksi ini (pertentangan/permusuhan). Namun, dalam
tentu akan sangat berakibat positif pula bagi masing- penelitian ini peneliti memaknai kata disasosiatif
masing. Bagi STN dapat merasa terbantu untuk bukan sebagai sebuah permusuhan yang
memahami materi ataupun penyelesaian tugas, sementara cenderung bernilai negative, akan tetapi peneliti
bagi SA akan dapat belajar bersama dan mengenal menilai bentuk interaksi lebih mengara kepada
karakteristik STN lebih dalam. Tentu juga dapat pertentangan, ataupun perbedaan pendapat, serta
dimanfaatkan di lingkungan lain apabila menemui persaingan. Ketiga kata tersebut cenderung
penyandang disabilitas, khususnya tunanetra. Hal tersebut bernilai positif yang justru perlu dikembangkan
mengacu pada pendapat Soekanto (dalam Wahyuni dan dalam interaksi sosial STN dengan lainnya di
Yusniati, 2007:41) yang mengatakan bahwa kontak sosial sekolah. Karena menurut peneliti, dengan
bersifat positif dan negatif. Kontak sosial yang bersifat adanya persaingan yang baik, maka akan
positif apabila mengarah pada kerjasama. Kontak sosial meningkatkan daya saing dari diri STN untuk
bersifat negatif apabila tidak menghasilkan interaksi dapat setara atau bahkan melebihi prestasi SA,
sosial dan mengarah pada permusuhan. Sehingga dapat khususnya bidang nonakademik.
peneliti simpulkan, bahwa bentuk interaksi kerja sama Di dunia pendidikan, persaingan positif
yang ditujukkan antara STN dan SA sangat berakibat sangatlah dibutuhkan untuk memacu semangat
positif dalam proses belajar. dan menumbuhkan motivasi dalam berprestasi.
Proses interaksi sosial kerja sama ini didukung oleh Hal ini juga berlaku di lingkungan sekolah
beberapa hal, jika belajar di dalam kelas didukung regular yang mendidik siswa regular serta siswa
dengan pengaturan tempat duduk agar bersebelahan berkebutuhan khusus, seperti halnya SMAN 10
dengan SA sehingga akan melatih SA dalam membantu Surabaya yang menerima SA dan STN dalam
temannya, seperti membantu membacakan redaksi di suatu proses pengajaran yang bersama. Salah
papan tulis, membantu membacakan redaksi di buku satu indicator adanya persaingan ialah melalui
naskah, atau yang lainnya. Karena GPK tidak dapat adanya debat dikarenakan perselisihan pendapat.
mendampingi selama proses belajar berlangsung di setiap Terkait perbedaan pendapat ini, STN menilai
mata pelajaran. sementara di luar kelas, interaksi kerja positif karena dengan adanya perbedaan
sama antara keduanya didukung oleh adanya program pendapat akan saling mengisi.
tutor sebaya dan pelatihan yang diberikan sekolah kepada
seluruh siswa tanpa terkecuali tentang teman-temannya
yang berkebutuhan khusus, khususnya STN.

10
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

3. Interaksi Sosial dengan Persesuian dalam mereka bergerak atau mengulurkan lengan atau
Belajar anggota badan, menekan pinggang atau
Sedikit berbeda dengan pendapat Kimball berguling. Berdasarkan analisis peneliti, tiga
Young (dalam Wahyuni dan Yusniati, 2007:44) STN yang memiliki tingkat ketunanetraan
dan Gillin dan Gillin (dalam Wahyuni dan sedang dan dua diantaranya cukup berat, maka
Yusniati, 2007: 43-44) tentang klasifikasi bentuk menjadikan tiga STN tersebut lebih berpotensi
interaksi sosial STN. Menurut Park and Burgess untuk memiliki gerak mobilitas yang lebih baik.
(dalam Santoso, 2009:22 – 27), bentuk interaksi Sementara tidak bagi dua STN lainnya. Namun,
sosial menurut Park and Burgess terdiri dari secara umum dapat disimpulkan bahwa seluruh
persaingan, pertentangan, persesuaian, dan STN di sekolah tersebut sudah memiliki tingkat
asimilasi/perpaduan. Peneliti dalam hal ini, penyesuaian diri yang cukup baik, meskipun dua
mengambil jenis persesuaian dalam interaksi STN yang berkategori buta total sangat memiliki
sosial STN dalam belajar. Peneliti memaknai hambatan yang cukup berat dalam bergerak,
kata persesuaian tersebut sebagai suatu upaya akan tetapi tidak berakibat pada interaksi sosial
STN menyesuaikan diri dalam berinteraksi belajar dengan SA.
sosilal dengan lingkungan dan individu awas,
salah satu indicator persesuaian tersebuat adalah b. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi siswa
gerak atau mobilitas STN dalam menguasai tunanetra ketika melakukan interaksi sosial
lingkungan, serta usaha STN dalam dengan kepala sekolah, staf perpustakaan, guru
menyesuaikan diri dengan lingkungan belajar. (guru kelas dan GPK), serta siswa awas di SMAN
Menurut Lowenfeld (dalam Wesna, 1994:32) 10 Surabaya dalam belajar
mengatakan bahwa mobilitas merupakan suatu Sebagaimana telah dijelaskan dalam
kemampuan atau kemudahan berpindah yang pembahasan sebelumnya tentang permasalahan yang
terdiri dari dua komponen yaitu perpindahan dihadapi oleh STN dalam interaksi sosial dengan
fisik (lokomosi) dan orientasi mental. seluruh individu yang berbeda-beda, ditemukan salah
Dampak pengembangan orientasi dan satu masalah yakni interaksi sosial STN dalam
mobilitas tidak bisa dilepaskan dari awal proses pembelajaran, metode pembelajaran yang
perkembangan gerakan yang dilakukan oleh dinilai STN masih susah difahami, materi ajar yang
STN, sehingga menurut B.J. Cratty dan Theressa belum dimodifikasi sesuai kekhususan, media ajar,
A. Sams (2010) bahwa sebelum tunanetra sarana, dan prasarana yang kurang menunjung, serta
mengenal situasi dan kondisi lingkungan di luar respon beberapa warga sekolah yang masih kurang
dirinya, tunanetra perlu untuk mengenal dirinya peduli terhadap STN. Menurut peneliti,
sendiri. Menurut peneliti, usaha untuk mengenal permasalahan tentang proses pembelajaran, materi
diri sendiri sudah diberikan kepada STN jauh ajar, dan metode pembelajaran dapat dikelompokkan
sebelum bersekolah di SMA. Karena menurut menjadi masalah belum adanya PPI (Program
keterangan yang dihimpun peneliti, tiga diantara Pembelajaran Individual) yang merupakan sebuah
STN sebelumnya bersekolah di SLB A yang modifikasi dari RPP untuk SA. Menurut Nimmo
notabene lebih mengenalkan kemandirian (2008) PPI atau dalam Bahasa inggris Individual
terhadap STN. Meskipun dua STN yang lainnya Education Plan (IEP) adalah, “An IEP is a plan
dari SMP Inklusif, bukan berarti mereka belum created by a collaborative team that sets learning
mendapatkan pengetahuan tentang kemandirian goals and details the support and adaptations
dalam diri STN tersebut. Sehingga, pihak required for students to achieve prescribed learning
SMAN 10 Surabaya hanya perlu melanjutkan outcomes”. Sehingga menurut pendapat tersebut,
pelajaran kemandirian diri STN untuk mengenal sebuah dokumen rencana pembelajaran yang
dan menyesuaian diri dengn lingkungan dan disesuaikan dengan tujuan pembelajaran sehingga
individu di sekitarnya. akan mempengaruhi outcome dari pembelajaran
Jan dan Heather, (dalam Hadi, 2005:57) tersebut. Hal ini yang belum peneliti dapatkan di
mengemukakan bahwa siswa yang mengalami sekolah, sehingga menurut peneliti hal ini menjadi
ketunanetraan berat dengan berbagai ketakutan salah satu hambatan besar bagi interaksi sosial
tidak akan memperoleh kesempatan baik untuk belajar STN dalam memahami pemaparan matero
belajar ketrampilan bergerak, sehingga tunanetra oleh guru.
perkembangan motoriknya terlambat. Dalam proses pengajaran dibutuhkan
Menurutnya, tunanetra sering mangalami metode pengajaran, pembelajaran, penyesuaian
kecemasan, koordinasi motorik yang buruk, bahan pelajaran dan lingkungan belajar yang sesuai
berjalan pada kaki yang tidak kokoh, dan posisi dengan kehususan STN. Pendapat Hardman dalam
kakinya sangat kurang baik.pendapat tersebut Hadi (2005) menyebutkan bahwa anak tunanetra
didukung pula oleh pendapat Best dan Heather tidak dapat menggunakan penglihatannya, sehingga
(dalam Hadi, 2005:58) yang menggambarkan dalam proses belajar akan bergantung kepada indera
bahwa siswa tunanetra tidak dapat dengan lain yang masih berfungsi. Indera lain yang
mudah memonitor gerakannya dan juga dimaksud dapat berupa indera pendengaran dan
kesulitan memahami apa yang terjadi ketika

11
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

indera peraba dalam bentuk braille. Namun Menanggapi kekurangan tersebut, sehingga pihak
demikian, ditemukan peneliti bahwa masih sangat sekolah masih harus berusaha untuk memenuhi hal-
minim penyediaan media ajar dan bahan-bahan hal tersebut guna mendukung STN dalam
pelajaran yang bercetak braille, sehingga sangat berinteraksi sosial belajar.
menghambat STN dalam memahami pelajaran. Bila mengacu pada pada pasal 2 ayat 1
meskipun, pihak sekolah sudah menyiapkan SA Permendiknas tersebut, maka terlihat bahwa STN di
sebagai tutor sebaya yang akan membantu STN sekolah ini belum dapat memperoleh kesempatan
dalam memahami dan mentransfer materi. yang luas dalam mengakses pendidikan yang
Hambatan lain yang dirasakan STN dalam bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
interaksi sosial dalam belajar adalah metode ajar GK mereka melalui tersedianya sarana prasarana dan
atau GPK yang diterapkan dalam pengajaran. media ajar yang diperlukan, baik untuk pembelajaran
Hambatan tersebut bukan hanya dirasakan oleh STN, di dalam kelas ataupun di luar kelas. Salah satu
namun juga GPK yang menerapkan metode ajar akibat dari belum tersedianya sarana prasarana dan
tersebut. Pernyataan lain juga diungkapkan STN5 media ajar yang mendukung tersebut, dapat
tentang kesusahan dalam menangkap pelajaran mengakibatkan STN tidak dapat berpartisipasi dan
disebabkan metode ajar yang digunakan guru. berinteraksi sosial secara maksimal sehingga
Merujuk pada pendapat Morrison dan Ross (dalam berakibat pada pencapaian prestasi STN, khususnya
Prawiradilaga, 2008:17) yang merinci keempat bidang akademik. Lebih ekstrim, menurut peneliti,
masalah tentang metode ajar bagi interaksi sosial hal tersebut juga dapat berakibat munculnya stigma
STN sebagai berikut: Metode terkait dengan strategi negative dari public bahwa STN tidak dapat
pembelajaran yang sebaiknya dirancang agar proses berkembang secara akademis jika disekolahkan di
belajar berjalan lancar. Metode adalah cara atau sekolah inklusif, karena public akan menganggap
teknik yang dianggap penting untuk menyampaikan STN hanya dapat berbuat sesuatu dengan bantuan
materi ajar. metode sebagai strategi pembelajaran orang lain, serta memungkinkan munculnya
bisa dikaitkan dengan media dan waktu yang tersedia pemikiran publik, bahwa keberadaan STN di sekolah
untuk belajar. Berdasarkan beberapa keterangan inklusif hanya dapat berprestasi karena adanya rasa
tersebut maka dapat disimpulkan peneliti bahwa kasihan dari guru. Hal ini yang menurut peneliti
metode sangatlah penting, dalam proses belajar perlu dikhawatirkan, sehingga permasalahan tentang
mengajar. Hal ini yang masih menjadi tugas besar penyediaan sarana prasarana dan media ajar di
bagi pendidik agar dpat mentransformasikan materi sekolah inklusif, khususnya bagi STN, sangat
dengan baik sesuai dengan kekhususan STN. membutuhkan perhatian lebih agar segera dilengkapi
Permasalahan lain yang menjadi hambatan sesuai kebutuhan STN sehingga dapat mendukung
dari lingkungan adalah sarana dan prasarana. aktifitas belajar dan berinteraksi sosial dalam belajar.
Khususnya untuk mendukung aktifitas Belajar STN.
Apabila Mengacu Pada Pasa 2 Permendiknas No. 70 c. Upaya siswa tunanetra untuk mengatasi
Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi permasalahan interaksi sosial dengan siswa
Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan awas, guru, staf perpustakaan dan Kepala
Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Sekolah dalam belajar di lingkungan SMAN 10
menyatakan bahwa, Pendidikan inklusif bertujuan: Surabaya
(1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya Sesuai dengan permasalahan yang
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan menjadikan hambatan bagi STN dalam
fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki berinteraksi sosial belajar, maka individu STN
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk telah berusaha melakukan berbagai upaya untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan menyelesaikan masalah tersebut. Pertama, untuk
kebutuhan dan kemampuannya; (2) mewujudkan mengatasi permasalahan proses pembelajaran,
penyelenggaraan pendidikan yang menghargai metode pembelajaran yang dinilai STN masih
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua susah difahami, materi ajar yang belum
peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada dimodifikasi sesuai kekhususan, dan media ajar
huruf a. yang menjadi permasalahan dalam berinteraksi
Diakui bahwa permasalahan sarana dan sosial belajar, salah satu hal yang dilakukan ialah
prasarana memang menjadi salah satu masalah besar STN duduk bersama dengan SA yang diminta
bagi sekolah inklusif. Sehingga dapat disimpulkan guru sebagai tutor sebaya. Tutor sebaya bertugas
bahwa Permendiknas pasal 2 tersebut belum dapat memberikan pendampingan STN dalam
berjalan dengan baik. Hal ini hampir sama dengan pembelajaran apabila STN tidak dapat memahami
masalah media ajar yang diperlukan. Dari beberapa dengan baik. Meskipun GPK sudah memiliki
kutipan wawancara yang telah dilakukan, maka jadwal khusus mendampingi STN pada pelajaran
dapat disimpulkan peneliti bahwa salah satu hal yang tertentu yang dianggap sulit. Namun karena
menjadi penghambat dalam proses interaksi sosial keterbatasan GPK menjadikan waktu
belajar bagi STN adalah kurangnya sarana dan pendampingan sangat sedikit. Kedua, masalah
prasarana, seperti gedung yang aksesibel, ram, metode ajar yang sulit difahami STN yang
ataupun guiding block, papan ruang braille, dll.

12
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

disebabkan belum adanya PPI, untuk mengatasi bersama. Interaksi antara STN dan SA peneliti
permasalahan ini pihak sekolah sudah beberapa temukan diwujudkan dalam bentuk kerjasama,
kali menerima pelatihan tentang pendidikan persaingan yang positif, serta persesuaian.
inklusif, akan tetapi sampai sekarang PPI belum Secara garis besar, STN memiliki prestasi
dapat dilaksanakan. Ketiga, untuk mengatasi akademik yang setara dengan SA pada
kurangnya media ajar, STN selalu berinteraksi umumnya, namun STN memiliki prestasi
aktif dengan SA melalui telepon atau media sosial nonakademik yang cenderung lebih baik.
yang dapat menggantikan peran media ajar, karena 2. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi
pihak sekolah belum dapat menyediakan media siswa tunanetra ketika melakukan interaksi
ajar yang memadai. sosial dengan siswa awas, guru, staf
Upaya untuk mengatasi masalah selanjutnya perpustakaan dan Kepala Sekolah SMAN 10
yakni masalah kurangnya sarana dan prasarana Surabaya dalam belajar dapat diuraikan sebagai
penunjung, serta respon beberapa warga sekolah berikut; (a) interaksi sosial STN dengan GK
yang masih kurang peduli terhadap STN. Dalam dalam proses pembelajaran; (b) metode
hal ini, tidak banyak yang dapat dilakukan STN, pembelajaran yang dinilai STN masih susah
kecuali dengan menyuarakan pendapat melalui difahami; (c) materi ajar yang belum
SA, GK, ataupun GPK yang mendampingi mereka dimodifikasi sesuai kekhususan (belum adanya
agar sarana dan prasarana dapat ditingkatkan. PPI); (d) media ajar yang dibutuhkan sesuai
Selain itu, STN berupaya menjalin komunikasi karakteristik STN; (e) sarana dan prasarana
aktif dan menunjukkan sikap positif di setiap yang kurang menunjang; serta (f) respon
kegiatan, harapannya setiap individu sekolah sebagian kecil warga sekolah yang masih
mengetahui bahwa STN juga mampu berinteraksi kurang peduli terhadap STN.
dengan baik sebagaimana perilaku SA pada 3. Upaya siswa tunanetra untuk mengatasi
umumnya. permasalahan interaksi sosial dengan siswa
awas, guru, staf perpustakaan dan Kepala
PENUTUP Sekolah dalam belajar di lingkungan SMAN 10
A. Simpulan Surabaya dapat diuraikan sebagai berikut: (a)
Berdasarkan hasil temuan dan analisis data lebih aktif berinteraksi dalam wujud tanya
sebagaimana fokus penelitian yaitu, “Bagaimana jawab dengan GK; (b) melalui tutor sebaya,
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar di STN mencatat ulang materi dan meminta
Lingkungan SMAN 10 Surabaya”, maka diperoleh penjelasan lebih detail; (c) STN berusaha
beberapa kesimpulan yang dapat ditulis secara rinci meminjam catatan teman; (d) tidak banyak
sebagai berikut: yang dapat dilakukan STN kecuali
1. Bentuk interaksi sosial siswa tunanetra dengan menyuarakan aspirasi melalui dialog dengan
siswa awas, guru, staf perpustakaan dan kepala GPK; serta (e) STN berusaha menunjukkan
sekolah SMAN 10 Surabaya dalam belajar sikap interaksi terbuka dan berperilaku baik,
secara garis besar dapat dinyatakan baik. sehingga menghilangkan stigma negative warga
Meskipun menurut hasil penelitian, tingkat sekolah tentang diri STN yang selalu
intensitas interaksi sosial antara STN dengan bergantung dengan orang lain.
KS dan SP masih sangat kurang, hal ini
disebabkan tugas KS serta masih kurangnya B. Saran
fasilitas yang menjadikan STN kurang Berdasarkan hasil temuan penelitian yang diperoleh,
berkunjung ke perpustakaan, sehingga dapat maka peneliti mengajukan beberapa saran terkait
peneliti simpulkan interaksi yang terjadi cukup hasil penelitian yang telah dilaksanakan, saran
baik dan dapat dikategorikan sebagai interaksi tersebut diharapkan dapat menjadi masukan,
sekunder. Namun demikian, berbeda dengan khususnya bagi pribadi STN dan bagi sekolah yang
interaksi sosial antara STN dengan GK, GPK, dijadikan tempat penelitian untuk dapat
dan SA yang memiliki intensitas lebih banyak ditindaklanjuti.
dan bersifat primer. Menurut hasil penelitian, 1. Bagi Siswa Tunanetra;
dapat peneliti simpulkan bahwa tingkat a. diharapkan STN lebih membuka diri
interaksi yang terjadi lebih baik. Hal ini untuk bergaul dan berbaur dengan warga
berdasarkan pada tingginya tingkat interaksi sekolah tanpa rasa minder;
yang diwujudkan dalam bentuk kerja sama dan b. mempertahankan atau bahkan
komunikasi. Interaksi STN dengan GK dan meningkatkan prestasi-prestasi yang telah
GPK ditunjukkan pada saat pembelajaran dicapai, sehingga akan berakibat pada
berlangsung, sementara interaksi STN dengan peningkatan kepercayaan warga sekolah
SA ditunjukkan tidak hanya pada saat terhadap STN; dan
pembelajaran di dalam kelas, namun juga c. STN hendaknya meningkatkan
berlangsung di luar kelas hingga di lingkungan kemampuan orientasi mobilitas sehingga
rumah, dalam konteks pengerjaan tugas

13
Interaksi Sosial Siswa Tunanetra dalam Belajar

mengurangi tingkat ketergantungan STN Olsen, H. 2002. Makalah: Education for All. Lombok:
dengan SA dan warga sekolah lainnya. Depdiknas
Prawiradilaga, Dewi Salma. 2008. Prinsip Disain
2. Bagi Guru;
Pembelajaran (Instructional Design Principles).
a. disarankan membuat dan melaksanakan
Jakarta: Prenada Media Group.
PPI (Program Pembelajaran Individual)
yang disesuaikan dengan karakteristik Puspitasari, Ita Tri. 2013. Implementasi Program
STN; dan Sosialisasi Siswa Berkebutuhan Khusus dengan
b. diharapkan adanya penyesuaian materi Teman Sekelas pada Siswa Kelas VII di Sekolah
ajar yang bersifat gambar atau grafik Inklusif SMPN 29 Surabaya. Skripsi tidak
terhadap kemampuan STN. diterbitkan. Surabaya: JPLB FIP Unesa.
Santoso, Slamet. 2009. Dinamika Kelompok. Jakarta: PT
3. Bagi Kepala Sekolah;
Bumi Aksara.
a. diharapkan adanya anggaran khusus
untuk peningkatan media ajar yang Siregar dan Nara. 2011. Teori dan Pembelajaran. Bogor:
bersifat timbul dan mendukung proses Ghalia Indonesia
belajar bagi STN;
b. diharapkan dapat memberikan perhatian Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan.
khusus tentang pengadaan sarana Bandung: Alfabeta.
prasarana tersebut, seperti guiding block Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan.
di seluruh gedung sekolah, ram, buku Bandung: Alfabeta.
paket braille, dan penyediaan papan
braille untuk penanda ruangan; dan Syah, Muhibbin. 2007. Psikologi Belajar. Jakarta: PT.
c. untuk dapat meningkatkan penanaman Raja Grafindo Pesada
pemahaman terhadap seluruh warga Uno, Hamzah. 2008. Orientasi Baru Dalam Psikologi
sekolah tentang pendidikan inklusif dan Pembeajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara
pentingnya menghargai setiap individu,
khususnya siswa berkebutuhan khusus. Wahyuno, Endro. 2013. Orientasi & Mobilitas. Malang:
Sehingga dapat terwujud inclusive Tidak ada penerbit.
culture yang akan berakibat pada Wahyuni, Sri N dan Yusniati. 2007. Manusia dan
hubungan interaksi sosial yang sangat Masyarakat. Jakarta: Ganesha Exact.
baik di seluruh warga sekolah.
Wesna, I Ketut. 1994. Materi Pelatihan Aspek Psikologis
Ketunanetraan dan Pengaruh Terhadap
--------------------------------------------------------------------- Pembelajaran.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Direktorat Pendidikan Menengah
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta: Umum.
Rineka Cipta.
Farhan, Tuti. 2013. Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di
Lingkungan Madrasah Aliyah Negeri Kota
Sukabumi. Jurnal Pendidikan Luar Biasa,
(Online) (http://repository.upi.edu/71/, diakses 21
April 2015)
Gerungan. 2010. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika
Aditama.
Gintings, Abdorrakhman. 2008. Esensi Praktis Belajar
dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora
Hadi, Purwaka. 2005. Kemandirian Tunanetra. Jakarta:
Depdiknas – Dirjen Dikti – Direktorat Ketenagaan.
Moleong, J. Lexy. 2011. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Rosda.
Moleong, J. Lexy. 2013. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Rosda.
Munawar, Muhdar dan Suwandi, Ate. 2013. Mengenal &
Memahami Orientasi Mobilitas. Bandung: Luxin.

14

You might also like