Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
Regional development planning system needs to accommodate the various aspects of the
dynamics change both spatially and temporally. It is necessary to consistently predict the
structural relationships between the various factors that influence the change, particularly in
relation to the aspects of land development impacts on land use, as well as the direction of a trend
that occurs within the next 5-20 years. The purpose of this study is to analyze land use changes
in the Kelara watershed and to assess the suitability of current land use changes with the spatial
planning regulation of Jeneponto within Kelara basin. This study integrates various survey
techniques, remote sensing, and geographic information system technology analysis. Geospatial
information used in this study consists of Landsat ETM 7+ satellite imagery (2009) and Landsat
8 (2014) as well as a number of spatial data based on vector data which is compiled by the
Jeneponto Government. Remote sensing data using two time series (2009 and 2014) are
analyzed by means of supervised classification and visual classification. The analysis indicated
that land use type for the paddy fields and forests (including mangroves) converted become a
current land use which is inconsistent with the spatial planning regulation of Jeneponto.The use
of land for settlement tends to increase through conversion of wetlands (rice fields). These
conditions provide an insight that this condition will occur in the future, so that providing the
direction of land use change can be better prepared and anticipated earlier.
Keywords: Jeneponto, Kelara, land use change, GIS, remote sensing, spatial planning regulations
ABSTRAK
Kata kunci: Jeneponto, Kelara, perubahan penggunaan lahan, GIS, penginderaan jauh, rencana
tata ruang wilayah.
PENDAHULUAN
Salah satu komponen utama yang mendorong terjadinya perubahan iklim di dunia saat ini
dipicu oleh terjadinya perubahan penggunaan lahan akibat aktifitas manusia dalam
memanfaatkan berbagai potensi sumberdaya. Aktifitas manusia mendorong terjadinya
peningkatan perubahan penggunaan lahan yang belum pernah terjadi sebelumnya secara rata-
rata, baik pada tingkat skala maupun pada tingkat luas dan jumlah areal lahan yang digunakan
(Turner, 1994; Vitousek et al., 1997). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Schneider et al. (2001)
di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Ipswich Massachusetts, Amerika Serikat menunjukkan
bahwa perubahan penggunaan lahan yang terjadi sebagian besar diakibatkan oleh konversi
penggunaan lahan dari hutan menjadi kawasan perumahan. Kondisi serupa juga terjadi
Indonesia, dimana hingga tahun 2011 terdapat 470 DAS yang berada pada kondisi kritis akibat
wilayah DAS tersebut tidak lagi efektif sebagai daerah tangkapan air (Suwarno, 2011). Bahkan
hingga tahun 2014, di Pulau Jawa hanya terdapat 10 dari 155 DAS yang persentase tutupan
hutannya di atas 30 persen (http://www.republika.co.id Akses 19 Juni 2014) . Degradasi DAS di
Indonesia ditenggarai telah terjadi sejak tahun 1970-an, dimana umumnya dipicu oleh pola
perubahan penggunaan lahan untuk kebutuhan areal pertanian (termasuk lahan perkebunan)
atau penggunaan lain seperti permukiman dan pertambangan (Junaidi, 2009).
Salah satu penyebab terjadinya kerusakan DAS di Indonesia adalah akibat inkonsistensi
kebijakan penggunaan lahan dengan rencana tata ruang wilayah (Marisan M, 2006), serta akibat
pertambahan jumlah penduduk yang meningkat dengan cepat (Vitousek et al., 1997). Kondisi
serupa terjadi di dalam wilayah DAS Kelara, dimana peningkatan jumlah penduduk menyebabkan
luas areal lahan untuk kebutuhan usahatani masyarakat juga semakin meningkat. Akibatnya luas
areal untuk kawasan lindung mengalami penurunan yang signifikan, akibat konversi lahan untuk
kegiatan budidaya pertanian semakin meningkat dari waktu ke waktu. Perubahan kondisi
penutupan lahan tersebut, memberikan dampak yang dirasakan oleh masyarakat khususnya di
musim kemarau dimana ketersediaan air tanah semakin sulit diperoleh. Menurut Foley et al.,
(2005) perubahan vegetasi penutupan lahan dalam jangka waktu yang lama akan memberikan
dampak terhadap keberlanjutan produksi pangan, air bersih dan sumberdaya hutan, iklim dan
pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Dengan demikian,
dokumentasi perubahan penggunaan lahan dari waktu ke waktu menjadi penting untuk
dilaksanakan.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai konsistensi/inkonsistensi pola penggunaan lahan di
DAS Kelara yang berada di wilayah Kabupaten Jeneponto dengan rencana tata ruang wilayah
Kabupaten Jeneponto. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi
penutupan lahan dalam kurun waktu tahun 2009 hingga 2014 serta menganalisis arah
kecenderungan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Kedua, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kesesuaian penggunaan lahan di DAS Kelara dengan rencana tata ruang wilayah
Kabupaten Jeneponto
Pola perubahan penggunaan lahan yang terjadi dalam kurun waktu 5 (lima) tahun tersebut
diharapkan dapat memperlihatkan kecenderungan perubahan yang terjadi. Perubahan
penggunaan lahan yang diketahui secara tepat dari waktu ke waktu akan memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana proses dan interaksi antara manusia dan
fenomena alam tersebut berlangsung sehingga pengelolaan sumberdaya dapat dilaksanakan
secara lebih baik (Lu et al.; 2004, Giri et al., 2005). Dengan demikian upaya mengatasi persoalan
yang terjadi dapat dilaksanakan sedari awal dengan baik.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada wilayah DAS Kelara yang terletak di dalam wilayah
administrasi Kabupaten Jeneponto. Secara administrasi DAS Kelara terletak di wilayah
Kabupaten Gowa dan Kabupaten Jeneponto dengan luas mencapai 39.089 ha. Luas wilayah
DAS Kelara yang terdapat di Kabupaten Jeneponto adalah 13,100 ha (34% dari luas DAS
Kelara), sedangkan wilayah DAS Kelara di Kabupaten Gowa adalah 25,983 (66% dari luas DAS
Kelara). Dalam studi ini focus dan locus penelitian dilaksanakan di dalam wilayah Kabupaten
Jeneponto. Wilayah DAS Kelara di Kabupaten Jeneponto merupakan daerah yang sebagian
besar penggunaan lahannya merupakan lahan pertanian tanaman pangan. Penelitian
dilaksanakan dalam kurun waktu Februari 2014 - Juli 2014.
Metode Analisis
Interpretasi data citra satelit dilakukan menggunakan perangkat lunak Erdas IMAGINE 9.2
dan Idrisi Selva, sedangkan analis data spasial lainnya dilakukan menggunakan perangkat lunak
ArcGIS 10.2. Tahapan tahapan interpretasi citra satelit diuraikan sebagai berikut:
2. Analisis Spasial
60.00% 58.50%
50.00%
40.00%
32.95%
30.00%
20.00%
10.00%
4.61%
1.05% 0.97% 0.80% 1.12%
0.00%
Hutan Kebun Mangrove Pemukiman Sawah Semak Tubuh Air
Campuran Belukar
Menurut UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, alokasi ruang kawasan suatu wilayah dibagi
menurut distribusi pola ruang kawasan tersebut. Secara defenisi pola ruang adalah distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) antara peta
pola ruang RTRW Kab. Jeneponto dengan batas wilayah DAS Kelara menunjukkan bahwa
alokasi ruang terbesar diberikan kepada kawasan budidaya pertanian lahan basah (31% setara
dengan 4.005 ha), sedangkan alokasi penggunaan lahan terkecil diberikan untuk penggunaan
lahan tambak (4 ha). Adapun alokasi ruang untuk kawasan lindung (hutan lindung) seluas 6%
dari luas DAS Kelara yang terletak di Kabupaten Jeneponto (811 ha). Berdasarkan data hasil
analisa penggunaan lahan tahun 2009, luas lahan sawah (irigasi dan non irigasi) mencapai 4.316
ha (32,95% luas DAS Kelara di wilayah Kabupaten Jeneponto). Kondisi ini menunjukkan bahwa
luas alokasi lahan untuk fungsi kawasan budidaya lahan sawah cenderung lebih rendah dari
kondisi aktual pertanaman padi sawah di tahun 2009. Fluktuasi luas lahan sawah tersebut
disebabkan oleh pola pengusahaan lahan yang sangat tergantung dengan pola musim (hujan)
yang terjadi.
Gambar 4. Persentase alokasi ruang menurut pola ruang wilayah RTRW Kab. Jeneponto Pola
Tabel 1. Tabulasi silang (cross tabulation) penggunaan lahan Tahun 2009 dan Tahun 2014
Konversi lahan yang juga terjadi adalah berubahnya fungsi kawasan mangrove menjadi areal
lahan tambak. Konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak di wilayah pesisir mencapai rata-
rata 16 ha/tahun dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir. Kondisi yang lebih mengkhawatirkan
adalah berkurangnya luas areal hutan dari 137 ha (tahun 2009) menjadi 67 ha (tahun 2014). Laju
konversi areal hutan mencapai 14 ha/tahun. Konversi kedua jenis penggunaan lahan tersebut
cukup memprihatinkan sebab dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya dampak kerusakan
lingkungan yang semakin parah.
Tabel 2. Tabulasi silang (cross tabulation) pola RTRW Kabupaten Jeneponto dengan
penggunaan lahan Tahun 2014
Penggunaan Lahan Tahun 2014
Pola Ruang RTRW
Kebun Semak Tubuh
Hutan Mangrove Pemukiman Sawah Tambak Total
Campuran Belukar Air
Agroforestry - 197 - - - 22 - - 219
Tambak - - 3 - - 1 - - 4
Demikian halnya pada kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya menurut
peta pola ruang RTRW Kabupaten Jeneponto, telah terjadi konversi penggunaan lahan menjadi
kawasan pemukiman. Bahkan kawasan yang secara aktual merupakan areal tambak
dialokasikan sebagai wilayah pertanian lahan kering. Kondisi ini mengindikasikan bahwa terjadi
inkonsistensi kebijakan peruntukan lahan dengan kondisi aktual penutupan lahannya yang
mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan yang terjadi dengan cepat. Jika kondisi ini
terus menerus dibiarkan terjadi, tanpa upaya yang serius dan sistematis untuk mengatasinya,
maka nilai (value) kerugian yang dialami masyarakat akan semakin meningkat. Salah satu hal
yang terjadi saat ini adalah berkurangnya suplai air untuk berbagai kebutuhan masyarakat.
Kesimpulan
1. Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir (2009-2014) telah terjadi konversi penggunaan
lahan dari sawah menjadi perumahan, mangrove menjadi lahan tambak, dan hutan menjadi
lahan pertanian.
2. Rata-rata laju konversi mangrove menjadi tambak dan areal kawasan hutan menjadi lahan
pertanian berturut-turut mencapai 16 ha/tahun dan 14 ha/tahun.
3. Perubahan penggunaan lahan dari sawah menjadi semak belukar atau lahan terbuka
disebabkan oleh tidak tercukupinya kebutuhan air untuk areal pertanaman lahan sawah,
sehingga diperlukan manajemen sumberdaya air yang lebih baik.
4. Inkonsistensi antara kebijakan keruangan dan penggunaan lahan aktual diduga merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan yang terjadi
secara cepat.
Saran
1. Perubahan penggunaan lahan di wilayah DAS Kelara perlu mendapatkan perhatian penting
mengingat potensi kerusakan lahan yang berakibat berkurangnya lahan pertanian yang
potensial untuk pengembangan tanaman pangan di wilayah ini. Penelitian karakterisasi
lahan wilayah DAS Kelara terkini perlu dilakukan untuk mendukung arahan penggunaan
lahan yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan (sustainability).
DAFTAR PUSTAKA
Boori, M.S., Amaro, V.E. (2010). Land use change detection for environmental management:
using multi-temporal, satellite data in the Apodi Valley of northeastern Brazil, Applied GIS,
6(2), 1-15.
Chang, Kang Tsun. (2004). Introduction to Geographic Information System. McGraw Hill. USA.
Foley J.A., DeFries R., Asner G.P., Barford C., Bonan G., Carpenter S.R., Chapin F.S., Coe M.T.,
Daily G.C., Gibbs H.K., Helkowski J.H., Holloway T., Howard E.A., Kucharik C.J., Monfreda
C., Patz J.A., Prentice I.C., Ramankutty N, Snyder P.K. (2005). Global consequences of
land use changes. Science, 309, 570–574.
Giri, C., Zhu, Z., Reed, B. (2005). A comparative analysis of the Global Land Cover 2000 and
MODIS land cover data sets. Remote Sensing of Environment, 94, 123–132.
http://www.republika.co.id/berita/koran/industri/14/06/19/n7ejpv-miris-ipb-melaporkan-das-
makin-kritis [19 Juli 2014].
Jensen, J.R. (2004). Digital change detection and introductory digital image processing: A remote
sensing perspective. New Jersey, Prentice-Hall.
Liu JG, Mason PJ. (2009). Essential Image Processing and GIS for Remote Sensing. United
Kingdom: Willey Blackwell, A John Willey and Sons, Ltd.
Lu, D., Mausel, P., Brondizio, E., Moran, E. (2004). Change detection techniques. International
Journal of Remote Sensing, 25(12), 2365–2407.
Marthen, M. (2006). Analisis inkonsistensi tata ruang dilihat dari aspek fisik wilayah: Kasus
Kabupaten dan Kota Bogor. Tesis [Tidak dipublikasikan]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Reddy, M. A, (2008). Remote Sensing and Geographical Information Systems. Third Edition. BS
Publications 4-4-309, Giriraj Lane, Sultan Bazar, Hyderabad - 500095 AP.
Schneider, L.C., Pontius Jr, R. Gil. (2001). Modeling land-use change in the Ipswich watershed,
Massachusetts, USA. Agriculture, Ecosystems and Environment 85; 83–94.
Vitousek, P.M., Mooney, H.A., Lubchenco, J., Melillo, J.M. (1997). Human domination of earth’s
ecosystems. Science 277, 494–500.