You are on page 1of 14

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN MENGACU PADA RENCANA TATA RUANG

WILAYAH DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KELARA : ANALISIS MENGGUNAKAN


TEKNOLOGI INFORMASI GEOSPASIAL

Land Use Changes With A Particular Reference To Spatial Planning Regulations At


Kelara Catchment Area: An Analysis Using Geospatial Information Technology

Andi Ramlan*, Risma Neswati*, Sumbangan Baja*, Muhammad Nathan*

*Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar


e-mail: andi-ramlan@agri.unhas.ac.id, ramlanmartin@yahoo.com

ABSTRACT

Regional development planning system needs to accommodate the various aspects of the
dynamics change both spatially and temporally. It is necessary to consistently predict the
structural relationships between the various factors that influence the change, particularly in
relation to the aspects of land development impacts on land use, as well as the direction of a trend
that occurs within the next 5-20 years. The purpose of this study is to analyze land use changes
in the Kelara watershed and to assess the suitability of current land use changes with the spatial
planning regulation of Jeneponto within Kelara basin. This study integrates various survey
techniques, remote sensing, and geographic information system technology analysis. Geospatial
information used in this study consists of Landsat ETM 7+ satellite imagery (2009) and Landsat
8 (2014) as well as a number of spatial data based on vector data which is compiled by the
Jeneponto Government. Remote sensing data using two time series (2009 and 2014) are
analyzed by means of supervised classification and visual classification. The analysis indicated
that land use type for the paddy fields and forests (including mangroves) converted become a
current land use which is inconsistent with the spatial planning regulation of Jeneponto.The use
of land for settlement tends to increase through conversion of wetlands (rice fields). These
conditions provide an insight that this condition will occur in the future, so that providing the
direction of land use change can be better prepared and anticipated earlier.

Keywords: Jeneponto, Kelara, land use change, GIS, remote sensing, spatial planning regulations

ABSTRAK

Sistem perencanaan pembangunan wilayah perlu mengakomodasi berbagai aspek dinamika


perubahan baik secara spasial maupun temporal. Hal tersebut diperlukan untuk memprediksi
secara konsisten hubungan struktural antara berbagai faktor yang berpengaruh terhadap
perubahan khususnya yang terkait dengan aspek lahan, dampak pembangunan terhadap fungsi
lahan, serta arah kecenderungan yang akan terjadi dalam kurun waktu 5-20 tahun ke depan.
Tujuan dari studi ini adalah menganalisis perubahan penggunaan lahan di DAS Kelara serta
menilai kesesuaian penggunaan lahan saat ini dan perubahannya dengan rencana tata ruang
wilayah Kabupaten Jeneponto yang berada di dalam wilayah DAS Kelara. Penelitian ini
mengintegrasikan berbagai teknik survei wilayah, penginderaan jauh, dan teknologi sistem
informasi geografik. Informasi geospasial yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas citra
satelit Landsat ETM 7+ (2009) dan Landsat 8 (2014) serta sejumlah data spasial berbasis jenis
data vektor yang disusun oleh Pemerintah Kabupaten Jeneponto. Jenis data penginderaan jauh
menggunakan 2 (dua) seri waktu (tahun 2009 dan 2014) yang dianalisis menggunakan metode
klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi visual. Hasil analisis menunjukkan
bahwa jenis penggunaan lahan untuk sawah dan hutan (termasuk mangrove) mengalami
konversi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten
Jeneponto. Penggunaan lahan untuk pemukiman cenderung mengalami peningkatan melalui
konversi lahan basah (sawah). Kondisi tersebut memberikan gambaran tentang kondisi yang
akan terjadi di masa mendatang sehingga penanganan arah dan kecenderungan perubahan
penggunaan lahan yang lebih baik dapat disiapkan dan diantisipasi lebih awal.

Kata kunci: Jeneponto, Kelara, perubahan penggunaan lahan, GIS, penginderaan jauh, rencana
tata ruang wilayah.

PENDAHULUAN

Salah satu komponen utama yang mendorong terjadinya perubahan iklim di dunia saat ini
dipicu oleh terjadinya perubahan penggunaan lahan akibat aktifitas manusia dalam
memanfaatkan berbagai potensi sumberdaya. Aktifitas manusia mendorong terjadinya
peningkatan perubahan penggunaan lahan yang belum pernah terjadi sebelumnya secara rata-
rata, baik pada tingkat skala maupun pada tingkat luas dan jumlah areal lahan yang digunakan
(Turner, 1994; Vitousek et al., 1997). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Schneider et al. (2001)
di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Ipswich Massachusetts, Amerika Serikat menunjukkan
bahwa perubahan penggunaan lahan yang terjadi sebagian besar diakibatkan oleh konversi
penggunaan lahan dari hutan menjadi kawasan perumahan. Kondisi serupa juga terjadi
Indonesia, dimana hingga tahun 2011 terdapat 470 DAS yang berada pada kondisi kritis akibat
wilayah DAS tersebut tidak lagi efektif sebagai daerah tangkapan air (Suwarno, 2011). Bahkan
hingga tahun 2014, di Pulau Jawa hanya terdapat 10 dari 155 DAS yang persentase tutupan
hutannya di atas 30 persen (http://www.republika.co.id Akses 19 Juni 2014) . Degradasi DAS di
Indonesia ditenggarai telah terjadi sejak tahun 1970-an, dimana umumnya dipicu oleh pola
perubahan penggunaan lahan untuk kebutuhan areal pertanian (termasuk lahan perkebunan)
atau penggunaan lain seperti permukiman dan pertambangan (Junaidi, 2009).
Salah satu penyebab terjadinya kerusakan DAS di Indonesia adalah akibat inkonsistensi
kebijakan penggunaan lahan dengan rencana tata ruang wilayah (Marisan M, 2006), serta akibat
pertambahan jumlah penduduk yang meningkat dengan cepat (Vitousek et al., 1997). Kondisi
serupa terjadi di dalam wilayah DAS Kelara, dimana peningkatan jumlah penduduk menyebabkan
luas areal lahan untuk kebutuhan usahatani masyarakat juga semakin meningkat. Akibatnya luas
areal untuk kawasan lindung mengalami penurunan yang signifikan, akibat konversi lahan untuk
kegiatan budidaya pertanian semakin meningkat dari waktu ke waktu. Perubahan kondisi
penutupan lahan tersebut, memberikan dampak yang dirasakan oleh masyarakat khususnya di
musim kemarau dimana ketersediaan air tanah semakin sulit diperoleh. Menurut Foley et al.,
(2005) perubahan vegetasi penutupan lahan dalam jangka waktu yang lama akan memberikan
dampak terhadap keberlanjutan produksi pangan, air bersih dan sumberdaya hutan, iklim dan
pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Dengan demikian,
dokumentasi perubahan penggunaan lahan dari waktu ke waktu menjadi penting untuk
dilaksanakan.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai konsistensi/inkonsistensi pola penggunaan lahan di
DAS Kelara yang berada di wilayah Kabupaten Jeneponto dengan rencana tata ruang wilayah
Kabupaten Jeneponto. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi
penutupan lahan dalam kurun waktu tahun 2009 hingga 2014 serta menganalisis arah
kecenderungan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Kedua, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kesesuaian penggunaan lahan di DAS Kelara dengan rencana tata ruang wilayah
Kabupaten Jeneponto
Pola perubahan penggunaan lahan yang terjadi dalam kurun waktu 5 (lima) tahun tersebut
diharapkan dapat memperlihatkan kecenderungan perubahan yang terjadi. Perubahan
penggunaan lahan yang diketahui secara tepat dari waktu ke waktu akan memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana proses dan interaksi antara manusia dan
fenomena alam tersebut berlangsung sehingga pengelolaan sumberdaya dapat dilaksanakan
secara lebih baik (Lu et al.; 2004, Giri et al., 2005). Dengan demikian upaya mengatasi persoalan
yang terjadi dapat dilaksanakan sedari awal dengan baik.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada wilayah DAS Kelara yang terletak di dalam wilayah
administrasi Kabupaten Jeneponto. Secara administrasi DAS Kelara terletak di wilayah
Kabupaten Gowa dan Kabupaten Jeneponto dengan luas mencapai 39.089 ha. Luas wilayah
DAS Kelara yang terdapat di Kabupaten Jeneponto adalah 13,100 ha (34% dari luas DAS
Kelara), sedangkan wilayah DAS Kelara di Kabupaten Gowa adalah 25,983 (66% dari luas DAS
Kelara). Dalam studi ini focus dan locus penelitian dilaksanakan di dalam wilayah Kabupaten
Jeneponto. Wilayah DAS Kelara di Kabupaten Jeneponto merupakan daerah yang sebagian
besar penggunaan lahannya merupakan lahan pertanian tanaman pangan. Penelitian
dilaksanakan dalam kurun waktu Februari 2014 - Juli 2014.

Gambar 1. Wilayah administrasi DAS Kelara

Data dan Jenis Data


Data yang digunakan dalam studi ini terdiri atas data spasial dan data non-spasial. Data
spasial merupakan data yang memiliki referensi geografik dan karakteristiknya. Adapun data non-
spasial merupakan data yang bersifat tabular. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan terdiri atas; data citra
satelit (Landsat ETM 7+ rekaman tahun 2009 dan Landsat 8 rekaman tahun 2014). Adapun data
sekunder yang digunakan antara lain; data pola ruang RTRW Kabupaten Jeneponto, data batas
wilayah DAS, data administrasi wilayah (provinsi, kabupaten, kecamatan), serta beberapa data
tematik yang relevan (geologi, sistem lahan, dan lain-lain).
Data citra satelit yang digunakan dalam studi ini bersumber dari USGS (United State
Geological Survey) (http://earthexplorer.usgs.gov/). Jenis data yang digunakan adalah citra
satelit Landsat ETM 7+ akuisisi bulan Januari 2009 dan citra Landsat 8 akuisisi bulan Mei 2014.
Landsat 7 TM/ETM+ merupakan satelit sumber daya bumi yang merupakan program
lanjutan dari beberapa wahana sebelumnya (Landsat 1 - 6). Wahana ruang angkasa ini dicirikan
oleh alat penginderaan yang ditingkatkan resolusi spasial dan kepekaan radiometriknya, memiliki
laju pengiriman data yang lebih cepat, serta fokus untuk memindai informasi yang berkaitan
dengan aspek ekologi (termasuk vegetasi). Landsat ETM 7+ dilengkapi dengan sensor
penyiaman multispektral yang lebih maju dari versi citra satelit Landsat sebelumnya. Sensor
tambahan tersebut disebut thematic mapper/TM, sebagai tambahan terhadap empat saluran
Landsat MSS (Multispectral scanning) yang terdapat pada seri citra Landsat sebelumnya (Reddy,
2008; Chang K.T, 2004; Lillesand dan Kiefer, 1997). Landsat 8 melanjutkan misi Landsat ETM
7+ sehingga kedua satelit tersebut memiliki karakteristik yang serupa khususnya pada aspek
resolusi (resolusi spasial, resolusi temporal, dan resolusi spektral), metode koreksi, ketinggian
terbang hingga karakteristik sensor. Perbedaan yang ada antara kedua satelit seperti jumlah
band, rentang spektrum gelombang elektromagnetik terendah yang dapat ditangkap sensor serta
nilai bit (rentang nilai digital number) dari tiap piksel citra merupakan perbaikan dari karakteristik
sensor yang dimiliki Landsat 7 (diadaptasi dari http://landsat.usgs.gov/landsat8.php).
Adapun data tematik berupa data administrasi wilayah bersumber dari Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Jeneponto dan Badan Informasi Geospasial (skala 1:50.000).

Metode Analisis
Interpretasi data citra satelit dilakukan menggunakan perangkat lunak Erdas IMAGINE 9.2
dan Idrisi Selva, sedangkan analis data spasial lainnya dilakukan menggunakan perangkat lunak
ArcGIS 10.2. Tahapan tahapan interpretasi citra satelit diuraikan sebagai berikut:

1. Interpretasi Citra Satelit Landsat ETM 7+ dan Landsat 8


Sebelum interpretasi citra satelit dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan beberapa jenis
tahapan kegiatan yang diuraikan sebagai berikut:
 Koreksi geometrik dan koreksi radiometrik. Koreksi geometrik merupakan proses yang
diperlukan untuk menempatkan selembar citra satelit pada posisi sebenarnya di atas
permukaan bumi (real world) sesuai dengan posisi georeferensi. Adapun koreksi radiometrik
adalah suatu metode penyesuaian histogram yang dilakukan dengan asumsi bahwa pada
proses perekaman data, terdapat banyak distorsi penangkapan sinyal yang sangat lemah
atau bahkan tidak ada sama sekali, akibatnya terdapat data yang bernilai nol, dan jika nilainya
lebih dari nol maka dianggap sebagai nilai bias.
 Penyusunan citra komposit. Proses ini merupakan kombinasi tiga panjang gelombang yang
dilakukan dengan memberikan warna dasar terhadap ketiganya yaitu warna dasar merah
(Red), hijau (Green) dan biru (Blue). Jenis warna komposit data citra sangat tergantung
terhadap objek yang akan dikaji. Dalam studi ini warna komposit untuk citra Landsat ETM 7+
adalah kombinasi band 5 4 3, sedangkan kombinasi band untuk citra Landsat 8 adalah band
6 5 4.
 Penajaman Citra. Proses ini merupakan rangkaian dari penyusunan komposit citra yang
dilakukan dengan cara menajamkan citra dan filterisasi nilai digital citra.
 Interpretasi Citra. Proses ini merupakan analisis dan identifikasi objek. Beberapa hal yang
diperhatikan dalam proses interpretasi citra seperti warna, nilai digital, struktur, tekstur, rona,
pola, situs dan lain-lain. Interpretasi dan klasifikasi citra dilakukan menggunakan klasifikasi
terbimbing (supervised classification) dengan metode Maximum Likelihood menggunakan
kombinasi band komposit untuk analisis vegetasi. Hasil analisis penggunaan lahan divalidasi
melalui kegiatan pengecekan lapangan (ground truth).

2. Analisis Spasial

Analisa data dilakukan menggunakan perangkat sistem informasi geografis menggunakan


beberapa teknik analisis yang sesuai, antara lain; berbagai jenis metode overlay (intersect, clip,
merge, dll), update, dan tabulasi silang. Proses membandingkan penggunaan lahan dilakukan
melalui tumpang susun (overlay) data penggunaan lahan dengan software ArcGIS. Hasil overlay
akan diperoleh jenis penggunaan lahan apa saja yang mengalami perubahan dari tahun 2009
hingga 2014. Berdasarkan klasifikasi penggunaan lahan yang dilaksanakan untuk setiap tahun
pengamatan, dapat dihasilkan algoritma perubahan penggunaan lahan selama 5 (lima) tahun.
Pendekatan ini merupakan pola yang paling umum digunakan untk mengetahui perubahan
penggunaan lahan (Jensen, 2004).
Untuk mengetahui tingkat konsistensi antara kebijakan penggunaan lahan dengan kondisi
aktual penggunaan lahan dilakukan pengujian melalui penyusunan tabel tabulasi silang antara
beberapa komponen, misalnya data pola ruang RTRW dan hasil analisa penggunaan lahan.
Kombinasi data tersebut akan menunjukkan kondisi aktual kesesuaian/ketidaksesuaian antara
pola kebijakan penataan ruang dan penggunaan lahan. Hasil analisis ini dapat menunjukkan
secara spasial posisi lokasi penggunaan lahan yang tidak konsisten dengan kebijakan
keruangannya. Dengan demikian, dapat hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada
pada pengambil kebijakan untuk mengatasi persoalan yang terjadi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Lahan Tahun 2009


Berdasarkan hasil klasifikasi Citra Landsat ETM7+ Tahun 2009 menggunakan 7 kelas
penggunaan lahan dihasilkan persentase luas penggunaan lahan DAS Kelara yang terletak di
dalam wilayah Kab. Jeneponto yang tersaji pada Gambar 2. Hasil interpretasi menunjukkan
bahwa penggunaan lahan terbesar pada Tahun 2009 adalah kebun campuran (58,50% luas DAS
Kelara di Kabupaten Jeneponto), sedangkan penggunaan lahan terkecil adalah semak belukar
(0.8%). Jenis penggunaan yang cukup signifikan adalah penggunaan lahan untuk sawah
(32,95%). Penggunaan lahan sawah tersebut menonjol disebabkan waktu akuisisi citra satelit di
bulan Januari 2009 bertepatan dengan musim hujan, sehingga masyarakat dapat melakukan
kegiatan budidaya lahan sawah (sawah irigasi dan non irigasi) dengan tanaman padi.

Persentase Penggunaan Lahan Tahun 2009


70.00%

60.00% 58.50%

50.00%

40.00%
32.95%
30.00%

20.00%

10.00%
4.61%
1.05% 0.97% 0.80% 1.12%
0.00%
Hutan Kebun Mangrove Pemukiman Sawah Semak Tubuh Air
Campuran Belukar

Gambar 2. Persentase penggunaan lahan DAS Kelara 2009

Penggunaan Lahan Tahun 2014


Hasil klasifikasi citra Landsat 8 akuisisi bulan Mei 2014 menghasilkan 8 jenis penggunaan
lahan. Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa penggunaan lahan terbesar terdapat pada
penggunaan lahan untuk kebun campuran (60,67% dari luas DAS Kelara di wilayah Kabupaten
Jeneponto), sedangkan penggunaan lahan terkecil adalah mangrove (0,23%). Berdasarkan hasil
klasifikasi citra tahun 2014, terdapat penambahan jenis penggunaan lahan yaitu penggunaan
lahan untuk tambak. Lahan tambak yang sebelumnya belum teridentifikasi secara signifikan di
tahun 2009, dalam kurun waktu 5 (lima) tahun meningkat menjadi 82 ha yang umumnya berasal
dari konversi lahan mangrove.
Gambar 3. Persentase penggunaan lahan DAS Kelara 2014

Pola Ruang DAS Kelara di Wilayah Kabupaten Jeneponto

Menurut UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, alokasi ruang kawasan suatu wilayah dibagi
menurut distribusi pola ruang kawasan tersebut. Secara defenisi pola ruang adalah distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) antara peta
pola ruang RTRW Kab. Jeneponto dengan batas wilayah DAS Kelara menunjukkan bahwa
alokasi ruang terbesar diberikan kepada kawasan budidaya pertanian lahan basah (31% setara
dengan 4.005 ha), sedangkan alokasi penggunaan lahan terkecil diberikan untuk penggunaan
lahan tambak (4 ha). Adapun alokasi ruang untuk kawasan lindung (hutan lindung) seluas 6%
dari luas DAS Kelara yang terletak di Kabupaten Jeneponto (811 ha). Berdasarkan data hasil
analisa penggunaan lahan tahun 2009, luas lahan sawah (irigasi dan non irigasi) mencapai 4.316
ha (32,95% luas DAS Kelara di wilayah Kabupaten Jeneponto). Kondisi ini menunjukkan bahwa
luas alokasi lahan untuk fungsi kawasan budidaya lahan sawah cenderung lebih rendah dari
kondisi aktual pertanaman padi sawah di tahun 2009. Fluktuasi luas lahan sawah tersebut
disebabkan oleh pola pengusahaan lahan yang sangat tergantung dengan pola musim (hujan)
yang terjadi.
Gambar 4. Persentase alokasi ruang menurut pola ruang wilayah RTRW Kab. Jeneponto Pola

Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2009 – 2014


Untuk mengetahui kecenderungan perubahan penggunaan lahan selama 5 (lima) tahun
terakhir di wilayah DAS Kelara yang terdapat di Kabupaten Jeneponto, dilakukan analisis tabulasi
silang antara jenis penggunaan lahan antara Tahun 2009 dan Tahun 2014. Hasil analisis (Tabel
1) menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan terbesar (dari tahun 2009 ke tahun 2014)
adalah lahan sawah. Perubahan klasifikasi penggunaan lahan tersebut bukan disebabkan oleh
konversi penggunaan lahan, namun disebabkan oleh perubahan pengusahaan lahan akibat
keterbatasan sumberdaya air. Lahan sawah yang diklasifikasi sebagai sawah (tahun 2009)
sebagian tidak diusahakan di tahun 2014 (saat citra satelit mengakuisisi wilayah tersebut) akibat
masalah keterbatasan air. Akibatnya lahan tersebut sebagian besar menjadi lahan terbuka atau
semak belukar (dalam studi ini klasifikasi lahan terbuka tidak digunakan secara spasifik dan
digabungkan menjadi kelas penggunaan lahan semak belukar). Hasil studi ini juga
memperlihatkan bahwa akurasi klasifikasi citra memerlukan penjelasan untuk setiap perubahan
penggunaan lahan yang terjadi.
Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Kelara dalam wilayah Kabupaten
Jeneponto terjadi seluruh jenis penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan terbesar terjadi
pada penggunaan lahan untuk sawah. Adapun konversi (perubahan penggunaan lahan yang
tidak dapat balik) terjadi pada penggunaan lahan untuk hutan, mangrove, sawah, pemukiman,
dan tambak. Konversi penggunaan lahan untuk hutan terjadi seluas 70 ha yang umumnya
diusahakan oleh masyarakat untuk lahan usaha tanaman semusim. Konversi lahan dari
penggunaan lahan untuk mangrove menjadi tambak seluas 82 ha dan areal lahan mangrove yang
rusak seluas 25 ha. Konversi lahan sawah untuk pemukiman terjadi seluas 42 ha dan yang
dibiarkan sebagai lahan kering (semak belukar) yang tidak diusahakan seluas 2.003 ha. Potensi
lahan sawah yang tidak diusahakan tersebut disebabkan oleh tidak tersedianya air untuk mengairi
areal pertanaman. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS Kelara lebih baik. Potensi
lahan sawah yang tidak dapat terairi tersebut mengindikasikan hilangnya potensi sumberdaya
lahan khususnya bagi masyarakat di wilayah tersebut, akibat tidak manajemen sumberdaya air
yang tidak berlangsung secara optimal.

Tabel 1. Tabulasi silang (cross tabulation) penggunaan lahan Tahun 2009 dan Tahun 2014

Penggunaan Penggunaan Lahan Tahun 2014


Lahan Tahun Kebun Semak Tubuh
2009 Hutan Mangrove Pemukiman Sawah Tambak Total
Campuran Belukar* Air
Hutan 67 - - - - 70 - - 137
Kebun Campuran - 7,664 - - - - - - 7,664
Mangrove - - 13 - - 25 82 6 126
Pemukiman - - - 604 - - - - 604
Sawah - 285 - 42 1,940 2,003 - 46 4,316
Semak Belukar - - 9 - 12 73 - 11 105
Tubuh Air - 0 10 - 3 70 7 58 147
Total 67 7,948 32 646 1,956 2,240 88 122 13,100
Gambar 5. Citra Landsat ETM 7+ Akuisis Gambar 6. Citra Landsat 8 Akuisisi 2014
2009 Wilayah DAS Kelara wilayah DAS Kelara

Keterangan : * = semak belukar dan tanah terbuka.

Konversi lahan yang juga terjadi adalah berubahnya fungsi kawasan mangrove menjadi areal
lahan tambak. Konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak di wilayah pesisir mencapai rata-
rata 16 ha/tahun dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir. Kondisi yang lebih mengkhawatirkan
adalah berkurangnya luas areal hutan dari 137 ha (tahun 2009) menjadi 67 ha (tahun 2014). Laju
konversi areal hutan mencapai 14 ha/tahun. Konversi kedua jenis penggunaan lahan tersebut
cukup memprihatinkan sebab dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya dampak kerusakan
lingkungan yang semakin parah.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Penggunaan Lahan Aktual

Untuk mengetahui konsistensi/inkonsistensi antara kebijakan keruangan wilayah di


Kabupaten Jeneponto dengan kondisi penggunaan lahan aktual di dalam wilayah DAS Kelara,
dilakukan proses tabulasi silang antara peta pola ruang RTRW Kab. Jeneponto dengan data
penggunaan lahan terbaru (Landsat 8 Tahun 2014). Hasil analisis disajikan pada Tabel 2, yang
menunjukkan adanya inkonsistensi antara pola ruang wilayah (kebijakan keruangan) dengan
kondisi aktual penutupan lahan. Hal tersebut antara lain terlihat dari adanya penggunaan lahan
untuk kebun campuran pada wilayah yang ditetapkan sebagai hutan lindung. Bahkan kawasan
hutan lindung yang masih secara aktual memenuhi ketentuan penutupan vegetasi hutan hanya
terdapat 8 ha.

Tabel 2. Tabulasi silang (cross tabulation) pola RTRW Kabupaten Jeneponto dengan
penggunaan lahan Tahun 2014
Penggunaan Lahan Tahun 2014
Pola Ruang RTRW
Kebun Semak Tubuh
Hutan Mangrove Pemukiman Sawah Tambak Total
Campuran Belukar Air
Agroforestry - 197 - - - 22 - - 219

Holtikultura dan Sawah 59 2,157 - - - 197 - - 2,430

Hutan Lindung 8 625 - - - 167 - 12 811

Kawasan Budidaya Kehutanan - 7 - - - - - 7

Permukiman - 228 - 577 168 156 - 11 1,140

Pertanian Lahan Basah - 1,216 - 20 1,674 1,085 - 10 4,005

Pertanian Lahan Kering - 2,083 29 29 91 333 88 47 2,700

Peternakan - 1,435 - 3 23 281 - 41 1,783

Tambak - - 3 - - 1 - - 4

Total 67 7,949 32 646 1,956 2,240 88 122 13,100

Demikian halnya pada kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya menurut
peta pola ruang RTRW Kabupaten Jeneponto, telah terjadi konversi penggunaan lahan menjadi
kawasan pemukiman. Bahkan kawasan yang secara aktual merupakan areal tambak
dialokasikan sebagai wilayah pertanian lahan kering. Kondisi ini mengindikasikan bahwa terjadi
inkonsistensi kebijakan peruntukan lahan dengan kondisi aktual penutupan lahannya yang
mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan yang terjadi dengan cepat. Jika kondisi ini
terus menerus dibiarkan terjadi, tanpa upaya yang serius dan sistematis untuk mengatasinya,
maka nilai (value) kerugian yang dialami masyarakat akan semakin meningkat. Salah satu hal
yang terjadi saat ini adalah berkurangnya suplai air untuk berbagai kebutuhan masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir (2009-2014) telah terjadi konversi penggunaan
lahan dari sawah menjadi perumahan, mangrove menjadi lahan tambak, dan hutan menjadi
lahan pertanian.
2. Rata-rata laju konversi mangrove menjadi tambak dan areal kawasan hutan menjadi lahan
pertanian berturut-turut mencapai 16 ha/tahun dan 14 ha/tahun.
3. Perubahan penggunaan lahan dari sawah menjadi semak belukar atau lahan terbuka
disebabkan oleh tidak tercukupinya kebutuhan air untuk areal pertanaman lahan sawah,
sehingga diperlukan manajemen sumberdaya air yang lebih baik.
4. Inkonsistensi antara kebijakan keruangan dan penggunaan lahan aktual diduga merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan yang terjadi
secara cepat.

Saran

1. Perubahan penggunaan lahan di wilayah DAS Kelara perlu mendapatkan perhatian penting
mengingat potensi kerusakan lahan yang berakibat berkurangnya lahan pertanian yang
potensial untuk pengembangan tanaman pangan di wilayah ini. Penelitian karakterisasi
lahan wilayah DAS Kelara terkini perlu dilakukan untuk mendukung arahan penggunaan
lahan yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan (sustainability).

DAFTAR PUSTAKA

Boori, M.S., Amaro, V.E. (2010). Land use change detection for environmental management:
using multi-temporal, satellite data in the Apodi Valley of northeastern Brazil, Applied GIS,
6(2), 1-15.

Chang, Kang Tsun. (2004). Introduction to Geographic Information System. McGraw Hill. USA.
Foley J.A., DeFries R., Asner G.P., Barford C., Bonan G., Carpenter S.R., Chapin F.S., Coe M.T.,
Daily G.C., Gibbs H.K., Helkowski J.H., Holloway T., Howard E.A., Kucharik C.J., Monfreda
C., Patz J.A., Prentice I.C., Ramankutty N, Snyder P.K. (2005). Global consequences of
land use changes. Science, 309, 570–574.

Giri, C., Zhu, Z., Reed, B. (2005). A comparative analysis of the Global Land Cover 2000 and
MODIS land cover data sets. Remote Sensing of Environment, 94, 123–132.

http://landsat.usgs.gov/landsat8.php. [19 Agustus 2014].

http://www.republika.co.id/berita/koran/industri/14/06/19/n7ejpv-miris-ipb-melaporkan-das-
makin-kritis [19 Juli 2014].

Jensen, J.R. (2004). Digital change detection and introductory digital image processing: A remote
sensing perspective. New Jersey, Prentice-Hall.

Junaidi, E. (2009). Kajian Berbagai Alternatif Perencanaan Pengelolaan DAS Cisadane


Menggunakan Model SWAT. Tesis [Tidak dipublikasikan]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lillesand, K. (1997). Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri (Penerjemah). Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

Liu JG, Mason PJ. (2009). Essential Image Processing and GIS for Remote Sensing. United
Kingdom: Willey Blackwell, A John Willey and Sons, Ltd.

Lu, D., Mausel, P., Brondizio, E., Moran, E. (2004). Change detection techniques. International
Journal of Remote Sensing, 25(12), 2365–2407.

Marthen, M. (2006). Analisis inkonsistensi tata ruang dilihat dari aspek fisik wilayah: Kasus
Kabupaten dan Kota Bogor. Tesis [Tidak dipublikasikan]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Poerbandono, A. Basyar, A. B. Harto, dan P. Rallyanti. (2006). Evaluasi Perubahan Perilaku


Erosi Daerah Aliran Sungai Citarum Hulu dengan Pemodelan Spasial. Jurnal Infrastruktur
dan Lingkungan Binaan,Vol. II No. 2, Juni 2006 (21-28).

Reddy, M. A, (2008). Remote Sensing and Geographical Information Systems. Third Edition. BS
Publications 4-4-309, Giriraj Lane, Sultan Bazar, Hyderabad - 500095 AP.

Schneider, L.C., Pontius Jr, R. Gil. (2001). Modeling land-use change in the Ipswich watershed,
Massachusetts, USA. Agriculture, Ecosystems and Environment 85; 83–94.

Suwarno, J. (2011). Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu


Kabupaten Bogor. Disertasi [Tidak dipublikasikan]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Turner II, B.L. (1994). Global land-use/land-cover change: towards an integrated study.
Ambiology 23 (1), 91–95.

Vitousek, P.M., Mooney, H.A., Lubchenco, J., Melillo, J.M. (1997). Human domination of earth’s
ecosystems. Science 277, 494–500.

You might also like