Professional Documents
Culture Documents
Key word : Energy and Nutrient Intake, Nutritional status, Acute Respiratory
Infections (ARI)
RINGKASAN
FAUZAN BAYU RAMDANI. Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada Balita
ISPA dan Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat. Dibimbing oleh
HADI RIYADI dan LEILY AMALIA FURKON
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
Menyetujui,
Mengetahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandung pada tanggal 14 Mei 1987, penulis merupakan
anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan bapak Suwinda dan ibu Teti
Suryati.
Pendidikan formal pertama di tempuh pada tahun 1991-1993 di TK
Pertiwi Desa Rajamandala. Tahun 1993 memulai pendidikan di SD Negeri RAMA
I selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2002 penulis menamatkan pendidikan di
SLTP Negeri 1 Cipatat. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 9
Bandung hingga tahun 2005. Selama di SMA penulis aktif dalam kegiatan
organisasi seperti pecinta alam dan kegiatan olahraga.
Pada tahun 2005 penulis diterima di Poltekkes DEPKES Bandung
Jurusan Gizi. Selama kuliah di Jurusan Gizi, penulis aktif dalam kegiatan
kemahasiswaan seperti Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), dan ikatan remaja
masjid. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan studi pada Program
Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis telah menyelesaikan penelitian akhir dan menyusun skripsi di
bawah bimbingan Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS dan Ibu Leily Amalia Furkon, STP, M.Si.
dengan judul “Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada Balita ISPA dan
Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat”.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat,
kasih sayang, kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Asupan Energi, Zat Gizi
dan Status Gizi pada Balita ISPA dan Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat
Kabupaten Bandung Barat”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam
memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor. Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada:
1. Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S sebagai dosen pembimbing satu skripsi yang telah
memberikan bimbingan selama penelitian, penulisan dan penyelesaian skripsi
ini.
2. Leily Amalia Furkon, STP, M.Si sebagai dosen pembimbing dua skripsi yang
telah memberikan bimbingan selama penelitian, penulisan dan penyelesaian
skripsi ini.
3. Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S sebagai dosen pembimbing akademik.
4. Ibu Mira Dewi, S.Ked sebagai pemandu seminar dan penguji skripsi, yang
telah memberikan masukan dan saran.
5. Orangtua (Bapak dan Ibu), kakak dan adik-adik atas kasih sayang, doa dan
bantuannya baik moril maupun materiil sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini.
6. Semua pihak yang belum tertulis diatas yang telah memberikan bimbingan
dan bantuannya dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi
ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak yang membaca. Penulis mengucapakan terima
kasih, semoga Allah SWT, senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita
semua, Aamiin.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
DAFAR TABEL............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................... 1
Tujuan ................................................................................................ 3
Hipotesis ............................................................................................. 3
Kegunaan............................................................................................ 3
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut ........................................................ 4
Status Gizi........................................................................................... 6
Konsumsi Pangan .............................................................................. 9
Energi.................................................................................................. 10
Zat-zat Gizi yang Berperan dalam Imunitas......................................... 11
Angka Kecukupan Gizi ........................................................................ 18
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................ 19
METODOLOGI PENELITIAN
Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 21
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ................................................... 21
Jenis dan Cara Pengumpulan Data .................................................... 22
Pengolahan dan Analisis Data ............................................................ 23
Definisi Operasional ........................................................................... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran umum Lokasi Penelitian .................................................... 26
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Contoh.................................... 26
Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga ............................................... 30
Karakteristik Individu ........................................................................... 32
Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi .............................................. 34
Status Gizi .......................................................................................... 46
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ......................................................................................... 51
Saran .................................................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 53
LAMPIRAN .................................................................................................. 57
DAFTAR TABEL
Halaman
Halaman
Latar Belakang
Arah dan kebijakan pembangunan bidang kesehatan, diantaranya
menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk
meningkatkan derajat kesehatan termasuk didalamnya keadaan gizi
masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidup serta kecerdasan
rakyat pada umumnya (Suhardjo 2003). Masalah gizi yang banyak
dihadapi Indonesia meliputi gizi kurang atau yang mencakup susunan
hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhan yang tidak
mencukupi kebutuhan. Anak balita (1-5 tahun) merupakan kelompok umur
yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (KEP) atau termasuk
salah satu kelompok masyarakat yang rentan gizi (Sedioetama 2000).
Menurut Sediaoetama (2000) bahwa anak balita akan mengalami
proses pertumbuhan yang sangat pesat, sehingga memerlukan zat-zat
makanan yang relatif lebih banyak dengan kualitas yang lebih tinggi. Hasil
pertumbuhan pada saat dewasa, sangat bergantung dari kondisi gizi dan
kesehatan sewaktu masa balita. Di negara berkembang anak-anak umur
0-5 tahun merupakan golongan yang paling rawan terhadap gizi.
Kelompok yang paling rawan di sini adalah periode pasca penyapihan
khususnya kurun umur 1-3 tahun. Anak-anak biasanya menderita
bermacam-macam infeksi serta berada dalam status gizi rendah (Suhardjo
2003)
Status gizi rendah akibat masalah gizi pada anak, akan berpengaruh
terhadap daya tahan tubuh yang rendah dan rentan terhadap serangan penyakit
infeksi, seperti diare, flu, ISPA, campak, dll. Apabila kejadian penyakit infeksi
tidak segera ditangani maka akan mempengaruhi tingginya angka kematian
balita. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, angka
kejadian infeksi saluran pernafasan akut di Jawa Barat pada anak usia 0-5 tahun
pada tahun 2003 sebesar 5% (Dinkes Jabar 2005).
Menurut Sediaoetama (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi status
gizi seseorang adalah konsumsi makanan dan infeksi. Konsumsi makan dan
infeksi tersebut keduanya saling berkaitan. Konsumsi makan yang kurang dapat
menyebabkan daya tahan tubuh menjadi menurun, sehingga mudah untuk
terjadinya infeksi. Begitu juga apabila sudah terjadi infeksi, maka nafsu makan
menurun dan menyebabkan konsumsi makan berkurang, sehingga terjadi
gangguan salah satunya adalah zat gizi baik makro maupun mikro.
ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) merupakan masalah kesehatan
yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi
yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6
episode ISPA setiap tahunnya. Penelitian Myrnawati (2003) juga menemukan
bahwa 20-30% kematian balita disebabkan oleh ISPA (diacu dalam Zyiefa 2009).
Berdasarkan hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia ada beberapa
faktor yang menyebabkan penyakit ISPA diantaranya adalah lingkungan, cuaca,
pekerjaan orang tua, umur, dan konsumsi makanan (Depkes 2002).
Menurut studi longitudinal yang dilakukan oleh Yoon et al (tahun 1997)
pada anak dibawah 2 tahun di metro Cebu-Philiphina menyatakan bahwa
terdapat pengaruh status gizi kurang terhadap kematian anak di bawah dua
tahun. Penelitian ini juga membuktikan bahwa status gizi kurang (berdasarkan
BB/U) berhubungan dengan faktor resiko terjadinya ISPA pada anak. Penurunan
berat badan akan meningkatkan 1,7 kali resiko terjadinya ISPA (AJCN 1997).
Pertambangan kapur Gunung Masigit terletak di daerah perbukitan
di Cipatat, Bandung, Jawa Barat. Pertambangan kapur ini merupakan
pertambangan tradisional dengan perilaku kerja pekerja yang berisiko
sehingga pekerja pertambangan memiliki risiko tinggi untuk terkena
penyakit ISPA akibat terpajan oleh debu kapur. Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Eka (2009) sebanyak 56% pekerja mengalami gejala ISPA.
Debu yang cukup banyak dan menimbulkan pencemaran udara bagi
masyarakat sekitar dihasilkan dari penambangan batu kapur yang terdiri
dari pengadaan bahan baku, pengangkutan bahan, dan pada saat
pembakaran bahan. Aktivitas pengolahan batu kapur di desa Citatah
Kecamatan Cipatat sudah dilakukan sejak tahun 1960. Selain memiliki
fungsi sebagai penampung air batuan di kawasan Citatah, pengolahan
batu kapur juga memiliki manfaat ekonomi, yaitu batu kapur yang bisa
dijual dan dijadikan industri kerajinan marmer (Yusuf 2010). Dengan
demikian meskipun memiliki manfaat ekonomi, dampak dari
penambangan batu kapur harus mendapat perhatian yang lebih serius
terutama ISPA pada balita. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai asupan energi, zat gizi, dan status gizi
pada balita ISPA dan tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung
Barat.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan
asupan energi, zat gizi, dan status gizi pada balita ISPA dan tidak ISPA di
Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat.
Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mempelajari:
1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh penderita
ISPA dan tidak ISPA
2. Mengetahui karakteristik balita penderita ISPA dan tidak ISPA
3. Mengetahui asupan dan tingkat kecukupan energi serta zat gizi
antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA
4. Mengetahui status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA
5. Mengetahui perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita
penderita ISPA dan tidak ISPA
6. Mengetahui perbedaan status gizi antara balita penderita ISPA dan
tidak ISPA
Hipotesis
1. Ada perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita penderita
ISPA dan tidak ISPA
2. Ada perbedaan status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak
ISPA
Kegunaan
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi kepada
pembaca pada umumnya dan masyarakat Kecamatan Cipatat pada
khususnya mengenai kondisi tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan
status gizi, kaitannya dengan kejadian ISPA pada balita.
TINJAUAN PUSTAKA
Status Gizi
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara
asupan dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh. Status gizi dapat dikatakan baik
apabila pola makan kita seimbang artinya banyak dan jenis makanan yang kita
makan sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh. Status gizi seseorang dipengaruhi
oleh banyak faktor antara lain tingkat pendapatan, pengetahuan gizi dan budaya
setempat. Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi pengetahuan gizi yang
cukup akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola
makannya sehari-hari (Depkes 2002).
Kondisi kesehatan anak saat diperiksa lebih banyak yang sakit pada
kelompok status gizi bawah. Risiko kurang gizi juga lebih tinggi secara nyata bila
konsumsi semua zat gizi pada anak lebih rendah. Riwayat kelahiran juga
berperan dalam risiko kurang gizi antara lain tempat lahir dan penolong
persalinan (Depkes 2002).
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan balita ada dua macam yaitu
faktor dalam yaitu jumlah dan mutu makanan, kesehatan balita (ada atau
tidaknya penyakit) sedangkan faktor luarnya yaitu tingkat ekonomi, pendidikan,
perilaku orang tua atau pengasuh, sosial budaya / kebiasaan, kesediaan bahan
makanan di rumah tangga (Depkes 2002).
Banyak faktor yang mempengaruhi baik buruknya keadaan seorang
balita. Keadaan gizi pada kehamilan merupakan penentu utama bagi
kelangsungan hidup anak. Growth faltering (menurunnya pertumbuhan)
merupakan tanda terjadinya keadaan gizi yang tidak baik. Kejadian ini bisa
disebabkan oleh dua hal yaitu karena asupan makan yang salah atau tidak
memenuhi gizi seimbang dan karena penyakit infeksi (Sumardi 1995 diacu dalam
Fitri 2008).
Hubungan yang signifikan antara status gizi dengan ISPA tidak lain
karena status gizi sangat berpengaruh terhadap status imun atau kekebalan
anak. Kurang gizi pada anak akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan
tubuh yang berarti kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan
infeksi menjadi turun. Hal inilah yang menyebabkan anak sangat potensial
terkena penyakit infeksi seperti ISPA (Siswatiningsih 2001 diacu dalam
Maitatorum 2009).
Penelitian yang dilakukan Smith et al (1991) menyebutkan bahwa anak
yang mengalami kurang gizi kronik berdampak terhadap sel imun mediasi dan
produksi antibodi, sehingga memperbesar peluang terjadinya penyakit infeksi.
Konsentrasi antibodi antipneumococcal pada anak kurang gizi juga sangat
rendah, sehingga meningkatkan risiko terserang infeksi saluran pernafasan
seperti ISPA (diacu dalam Maitatorum 2009). Disamping kurang gizi, anak yang
mengalami gizi lebih juga mengalami risiko lebih tinggi terkena penyakit infeksi
jika dibandingkan dengan status gizi normal. Seperti yang dikemukakan oleh
Chandra (1991) yang menyatakan bahwa anak dengan status gizi lebih
mempunyai penurunan jumlah limfosit, penurunan aktivitas sel Natural-killer (sel-
NK) dan penurunan stimulasi limposit T jika dibandingkan dengan anak status
gizi normal. Penurunan sistem kekebalan tubuh inilah yang menyebabkan anak
potensial terkena penyakit infeksi (diacu dalam Maitatorum 2009).
Parameter antropometri merupakan dasar dari penelitian status gizi.
Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Beberapa
indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) (Arisman 2003).
Konsumsi Pangan
Menurut Riyadi (2006), konsumsi pangan seseorang atau sekelompok
orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada empat faktor utama yang
mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu produksi pangan untuk
keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk pangan rumah tangga,
pengetahuan gizi dan ketersediaan pangan.
Sumarwan (2002) menyatakan bahwa memahami usia konsumen adalah
penting karena konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan
jasa yang berbeda pula. Perbedaan usia juga akan mengakibatkan perbedaan
selera dan kesukaan terhadap merk. Seorang yang berumur relatif muda akan
relatif lebih cepat dalam menerima sesuatu yang baru.
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan
seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih bahan pangan yang
lebih baik dalam kuantitas maupun kualitas dibanding dengan orang yang
berpendidikan rendah (Hardinsyah 1985 diacu dalam Permana 2006).
Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang
paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Terdapat hubungan yang
erat antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang
menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan
masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Apabila
penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk pada umumnya juga
meningkat mutunya (Suhardjo 1989).
Menurut Suhardjo (1989), keluarga yang berpenghasilan rendah
menggunakan sebagian besar dari keuangannya untuk pangan dan keluarga
yang berpenghasilan tinggi akan menurunkan pengeluaran untuk pangan.
Keluarga yang berpenghasilan rendah akan rendah pula jumlah uang yang
dibelanjakan untuk pangan. Jika penghasilan menjadi semakin baik, jumlah uang
yang dipakai untuk membeli makanan dan bahan makanan juga akan meningkat
sampai tingkat tertentu dimana uang tidak dapat bertambah secara berarti.
Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan
pengeluaran untuk konsumsi pangan. Keluarga dengan banyak anak dan jarak
kelahiran antar anak yang amat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah.
Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk
memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi
sebagian dari anggota keluarga itu (Martianto dan Ariani 2004 diacu dalam
Rosyida 2010).
Energi
Manusia membutuhkan energi untuk menjalani hidup, menunjang
pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi tersebut diperolah dari
karbohidrat, protein dan lemak yang ada dalam bahan makanan (Almatsier
2002). Manusia yang kurang makan akan lemah, baik daya kegiatan, pekerjaan-
pekerjaan fisik maupun daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan
yang diterima tubuhnya yang dapat menghasilkan energi (Marsetyo 2005).
Secara berturut-turut energi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan
tersebut adalah sebagai berikut : untuk memenuhi kebutuhan energi basal, untuk
aktifitas tubuh, untuk keperluan khusus (Moehji 2002).
Kebutuhan energi seseorang menurut FAO/WHO (1985) adalah konsumsi
energi berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi
seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat
aktifitas yang sesuai dengan kesehatan jangka panjang, dan yang
memungkinkan pemeliharaan fisik yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi
(Almatsier 2002).
Kebutuhan energi setiap anak berbeda-beda, walaupun pada umur yang
sama, terutama oleh adanya perbedaan aktifitas fisik (Pudjiadi 2000). Pada anak
masa sekolah, aktifitas anak lebih banyak, baik di sekolah maupun di luar
sekolah, sehingga anak perlu energi lebih banyak. Pertumbuhan anak lambat
tetapi pasti, sesuai dengan banyaknya makanan yang dikonsumsi anak
(Soetjiningsih 2002).
Energi yang digunakan untuk melakukan aktifitas dalam kehidupan
sehari-hari didapatkan oleh tubuh dari energi yang dilepaskan di dalam tubuh
pada proses pembakaran zat makanan (Irianto 2004). Setelah melakukan
aktifitas fisik yang berat, seseorang akan mengalami proses oksidasi dalam sel
yang lebih aktif dibandingkan apabila tidak melakukan gerak fisik yang berat.
Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya energi basal metabolisme (Suhardjo
1992).
Zat-zat Gizi yang Berperan Dalam Imunitas
Protein
Protein merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia setelah air
(Winarno 2002), seperlima bagian tubuh adalah protein, setengahnya ada di
dalam otot, seperlimanya di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di
dalam kulit, dan selebihnya di dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Protein
mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain yaitu
membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2004).
Khusus untuk anak-anak, asupan protein di perlukan lebih tinggi daripada orang
dewasa, karena mereka masih dalam masa pertumbuhan (Irianto 2004).
Fungsi protein diantaranya untuk membantu pertumbuhan, pemeliharaan
dan membangun enzim, hormon dan imunitas, oleh sebab itu protein sering kali
disebut sebagai zat pembangun. Protein dibagi dua, yakni berasal dari hewani
dan nabati. Sumber pangan yang mengandung protein antara lain ikan, telur,
daging, susu dan kacang-kacangan (Almatsier 2004).
Hasil kajian pemantauan konsumsi makanan yang dilaksanakan tahun
1995 sampai 1998 di wilayah pedesaan prevalensi rumah tangga defisit protein
pada tingkat rumah tangga sudah tinggi pada tahun 1995. Mulai dengan
prevalensi sebesar 35% rumah tangga defisit protein, kemudian berkurang
menjadi 24% pada tahun 1996, akan tetapi terjadi kecenderungan meningkat dari
tahun 1996 ke tahun 1998 (Latief dkk dalam WKNPG VII 2000).
Vitamin A
Diantara beberapa jenis zat gizi, vitamin A merupakan zat gizi yang telah
banyak terbukti memiliki keterkaitan dengan status imunitas. Vitamin A
merupakan senyawa poliisoprenoid yang mengandung cincin sikloheksenil.
Vitamin A atau retinol merupakan istilah generik bagi semua senyawa dari
sumber hewani yang memperlihatkan aktivitas biologik vitamin A. Senyawa
tersebut disimpan dalam bentuk ester retinol di dalam hati. Di dalam sayur,
vitamin A berwujud sebagai provitamin dalam bentuk pigmen β-karoten berwarna
kuning (Murray 2003). β-karoten merupakan antioksidan dan mempunyai peran
dalam menangkap radikal bebas peroksi di dalam jaringan pada tekanan parsial
oksigen yang rendah (Murray 2003).
Radikal bebas yaitu atom atau molekul yang memiliki satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan. Adanya kecenderungan memperoleh elektron
dari substansi lain menjadikan radikal bebas bersifat sangat reaktif. Namun, tidak
semua jenis oksigen reaktif merupakan radikal bebas, diantaranya oksigen
singlet (tunggal) dan H2O2 (Murray 2003). Karotenoid memperlihatkan
kemampuannya dalam menghambat reaksi radikal bebas. β-caroten sangat
efisien menurunkan radikal trichloromethylperoxyl (Sies dan Stahl 1995). Secara
biologis karotenoid kurang aktif daripada retinol. Selain itu, sumber dietari
karotenoid juga kurang diproses dan diserap secara efisisen di usus. Maka,
untuk mencapai efek yang serupa dengan retinol, β-karoten vitamin A harus
dicerna sebanyak enam kali lebih banyak (melalui massa makanan) (Sommer
2004).
Sifat kimia vitamin A, yaitu kristal alkohol berwarna kuning dan larut
dalam lemak atau pelarut lemak, stabil terhadap panas, asam, dan alkali. Namun
demikian, vitamin A mudah sekali teroksidasi oleh udara dan akan rusak jika
dipanaskan pada suhu tinggi bersama sinar, udara, dan lemak yang sudah tengik
(Winarno 2002).
Vitamin A penting untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh,
kesehatan mata, melawan bakteri dan infeksi, mempertahankan kesehatan
jaringan epitel, membantu pembentukkan tulang dan gigi (Hartono 2000).
Antioksidan juga merupakan bahan yang menghambat atau mencegah
keruntuhan, kerusakan atau kehancuran akibat oksidasi (Youngson 2005).
Aktivitas enzim antioksidan meningkat pada alveolar macrophages perokok
muda tanpa gejala, tapi sel yang serupa dari perokok umur tua memperlihatkan
penurunan aktivitas dan terjadi ketidakseimbangan oksidan-antioksidan (Sridhar
1995).
Selain itu, antioksidan juga merupakan suatu senyawa yang dapat
menghambat atau mencegah kerusakan karena oksidasi pada suatu molekul
target. Perusakan oksidatif adalah serangan dari molekul radikal bebas
(superoksida, hidroksil radikal) atau molekul non radikal (singlet oksigen dan
ozon) kepada molekul biologis (Sitompul 2003). Radikal bebas dapat terbentuk
melalui pernafasan. Saat kita bernafas, akan masuk oksigen (O2) yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh untuk proses pembakaran gula menjadi CO2, H2O, dan
energi. Namun demikian, dengan bernafas atau oksigen yang berlebihan saat
olahraga terjadi reaksi yang kompleks dalam tubuh dan menghasilkan produk-
produk sampingan berupa radikal bebas, yaitu radikal oksigen singlet, radikal
peroksida lipid, radikal hidroksil, dan radikal superoksida. Semua radikal bebas
oksigen ini sangat cepat merusak jaringan-jaringan sel. Sehingga oksigen dapat
menjadi pemasok radikal bebas. Saat kita menghirup udara terpolusi oleh asap
rokok dan asap pembakaran bensin mobil dapat memicu terbentuknya radikal
bebas seperti radikal oksigen singlet, yang dapat merusak jaringan paru
(Kumalaningsih 2006).
Peroksidasi lipid merupakan mekanisme umum kerusakan jaringan oleh
radikal bebas yang diketahui bertanggungjawab pada kerusakan sel dan
menyebabkan banyak kejadian patologis. Selama inflamasi paru, peningkatan
jumlah ROS (Reactive Oxygen Species) dan RNI (Reactive Nitrogen
Intermediates) diproduksi sebagai konsekuensi letusan phagocytic pernafasan.
Produksi Reactive Oxygen Species (ROS) oleh phagocytes aktif dapat
disebabkan oleh mikrobakteria. Meskipun hal tersebut merupakan bagian penting
dalam pertahanan melawan mikrobakteria, hasil perluasan ROS dapat
mengakibatkan luka pada jaringan dan inflamasi. Hal ini dapat berkontribusi lebih
jauh pada immunosuppression, terutama dengan kapasitas antioksidan yang
tidak berpasangan, diantaranya pasien yang terinfeksi HIV. Selain itu, malnutrisi
yang terjadi pada pasien TB dapat menambah kapasitas antioksidan yang tidak
berpasangan dalam pasien tersebut (Reddy et al 2004).
Reactivate oxygen species terjadi pada jaringan dan dapat merusak DNA,
protein, karbohidrat, dan lemak. Reaksi penghapusan yang potensial diawasi
oleh sistem antioksidan enzimatik dan non enzimatik yang menghilangkan
prooksidan dan mencari radikal bebas. Kemampuan karotenoid larut lemak
adalah untuk memadamkan molekul oksigen singlet dapat menjelaskan
beberapa sifat karotenoid, tidak tergantung pada aktivitas provitamin A (Mascio
et al 1991).
Kekuarangan Vitamin A
Vitamin E
Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam
lemak dan mudah memberikan hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur
cincin ke radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat
merusak, yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Bila menerima
hidrogen, radikal bebas menjadi tidak reaktif. Pembentukan radikal bebas terjadi
didalam tubuh dalam proses metabolisme aerobik normal pada waktu oksigen
secara bertahap direduksi menjadi air. Radikal bebas yang dapat merusak itu
juga diperoleh tubuh dari benda-benda polusi, ozon dan asap rokok (Almatsier
2004).
Walaupun vitamin E adalah antioksidan larut lemak utama di dalam
membran sel, konsentrasinya sangat kecil yaitu satu molekul per 2000-3000
molekul fosfolipida. Diduga terjadi regenerasi dengan bantuan vitamin C atau
reduktase lain yang mereduksi radikal vitamin E ke bentuk aslinya. Sumber
utama vitamin E adalah minyak tumbuh-tumbuhan, terutama minyak kecambah
gandum dan biji-bijian. Minyak kelapa dan zaitun hanya sedikit mengandung
vitamin E. Sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber vitamin E yang
baik. Daging, unggas, ikan, dan kacang-kacangan mengandung vitamin E dalam
jumlah terbatas (Almatsier 2004).
Vitamin C
Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air, tidak tahan terhadap
panas dan dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak. Vitamin C membantu
spesifik enzim dalam melakukan fungsinya. Vitamin C juga berperan sebagai
antioksidan. Vitamin C juga penting untuk membentuk kolagen, serat, struktur
protein serta meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi dan membantu
tubuh menyerap zat besi (Almatsier 2004)
Vitamin C diperlukan pada pembentukan zat kolagen oleh fibroblast
hingga merupakan bagian dalam pembentukan zat intersel. Keadaan
kekurangan vitamin C akan mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C
diperlukan proses pematangan eritrosit dan pada pembentukan tulang dan
dentin, vitamin C mempunyai peranan penting pada respirasi jaringan (Pudjiadi
2001).
Vitamin C banyak sekali manfaatnya salah satunya adalah mencegah
infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau
pengaruh terhadap fungsi kekebalan. Menurut Pauling, mengemukakan bahwa
mengkonsumsi vitamin C dalam dosis tinggi dapat menyembuhkan infeksi
(Almatsier 2004).
Jeruk, brokoli, sayuran berwarna hijau, kol (kubis), melon dan stawberi
mempunyai kandungan vitamin C yang tinggi. Selain dari sayuran dan buah-
buahan vitamin C juga terdapat dalam makanan hewani seperti hati, ginjal tapi
yang paling banyak mengandung vitamin C terdapat dalam buah-buahan dan
sayuran (Marsetyo 2005).
Sama seperti vitamin A, vitamin C juga jika berlebihan ataupun
kekurangan akan menimbulkan masalah, diantaranya jika kekurangan vitamin C
akan mengakibatkan skorbut, anemia, perdarahan gusi serta depresi dan
gangguan saraf. Kelebihan juga akan mengakibatkan hal yang tidak baik seperti
hiperoksaluria dan resiko lebih tinggi terhadap batu ginjal (Almatsier 2004).
Kebutuhan vitamin C pada manusia itu berbeda sesuai dengan golongan
umurnya, peningkatan konsumsi vitamin C dibutuhkan dalam keadaan stress
psikologik atau fisik, seperti luka, panas tinggi atau suhu lingkungan tinggi dan
pada perokok. Apabila dimakan dalam jumlah melebihi kecukupan atau dalam
jumlah sedang, sisa vitamin C akan dibuang dari tubuh tanpa perubahan.
Sedangkan pada tingkat lebih tinggi (500 mg) atau lebih akan dimetabolisme
menjadi asam oksalat. Dalam jumlah banyak asam oksalat dapat berubah
menjadi batu ginjal (Pudjiadi 2001).
Seng
Di Indonesia, data defisiensi seng masih terbatas. Sejauh ini belum
dijumpai penelitian seng dalam skala besar di Indonesia. Hal ini disebabkan
rentannya kontaminasi penanganan spesimen sejak persiapan, pelaksanakan
dan pemrosesan baik di lapangan maupun di laboratorium untuk penentuan
seng. Secara keseluruhan, sekitar 800.000 anak yang meninggal per tahun
berkaitan dengan defisiensi seng. Kematian dan peningkatan penyakit infeksi ini
mengakibatkan 1,9% dari keseluruhan DALYs (Disability Adjusted Life Years)
yang berkaitan dengan defisiensi seng. Menurut WHO, secara global jumlah
tersebut terjadi 10,8 juta kematian anak per tahun berkaitan dengan defisiensi
seng, vitamin A, dan besi, atau sekitar 19% keseluruhan kematian anak.
Pengaruh suplementasi seng terhadap penyakit infeksi saluran nafas akut
(ISPA) masih belum jelas, akan tetapi suplementasi seng dapat mengurangi
morbiditas ISPA melalui perbaikan sistem imun. Suplementasi seng
meningkatkan fungsi imun, termasuk hipersensitivitas tipe lambat, dan
meningkatkan jumlah limfosit CD4 (helper). Pada penelitian eksperimental,
defisiensi seng terbukti mengganggu fungsi imun seluler dan humoral. Gangguan
fungsi imun ini menyebabkan anak rentan terhadap penyakit infeksi termasuk
ISPA (Bhandari et al diacu dalam Sudiana 2005).
Defisiensi seng menyebabkan gangguan fungsi imun non spesifik seperti
kerusakan epitel saluran nafas, menggangu fungsi leukosit PMN, sel natural killer
dan aktivitas komplemen dan fungsi imun spesifik seperti penurunan jumlah
sitokin. Gangguan fungsi imun non spesifik dan spesifik tersebut akhirnya
memudahkan anak menderita ISPA (Shankar et al diacu dalam Sudiana 2005).
Besi
Mineral yang penting bagi pekerja adalah zat besi (Fe). Fungsi zat besi
tubuh manusia dan hewan. Yaitu sebanyak 3-5 gr di dalam tubuh manusia
dewasa, besi mempunyai beberapa fungsi essensial dalam tubuh, sebagai alat
angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Sebagai alat angkut elektron di
dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi di dalam jaringan tubuh.
(Almatsier 2004).
organik protein. Hal ini terjadi dalam suasana asam di dalam lambung dengan
adanya HCL dan Vitamin C yang terdapat di dalam makanan. Absorbsi terjadi di
bagian usus halus. Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi hem seperti
yang terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani dan besi non
hem dalam makanan nabati. Besi hem di absorpsi di dalam sel mukosa sebagai
kompleks feritin utuh. Taraf absorbsi besi di atur oleh mukosa saluran cerna yang
empedu berperan sebagai alat angkut protein yang bolak-balik membawa besi
kepermukaan sel usus halus untuk di ikat oleh transferin reseptor dan kembali ke
Kualitas udara yang buruk akibat penambangan batu kapur dan asap
kendaraan bermotor dapat menyebabkan terjadinya polusi udara, sehingga akan
mengakibatkan gangguan pada pernapasan. Jika kualitas udara yang buruk
terjadi berangsur terus menerus dan terhisap oleh balita, maka akan
menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan atau yang dikenal sebagai ISPA.
Polusi udara selain dari faktor luar rumah juga bisa terjadi dalam rumah seperti
asap rokok, jumlah orang yang merokok dan asap rokok yang dihasilkan dapat
memperburuk kualitas udara yang dihisap. ISPA adalah radang akut saluran
pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh jasad renik bakteri, virus,
maupun riketsia dengan gejala batuk, pilek, demam, dan sesak napas.
Balita umur 12-59 bulan merupakan golongan yang paling rawan gizi dan
rentan terhadap penyakit, karena pada usia ini merupakan periode pasca
penyapihan. Jika pada periode ini konsumsi makan kurang dan tidak mencukupi
kebutuhan, maka akan menyebabkan daya tahan tubuh menjadi kurang, dan
dalam jangka waktu tertentu akan mengakibatkan penurunan status gizi menjadi
rendah atau bisa menjadi buruk dan balita yang mempunyai status gizi rendah
akan mudah terinfeksi oleh penyakit. Infeksi juga akan menyebabkan seseorang
mengalami penurunan nafsu makan dan menyebabkan konsumsi makan
berkurang sehingga status gizi yang sebelumnya baik menjadi rendah, atau
status gizi rendah menjadi buruk.
Kecukupan gizi merupakan taraf asupan yang dianggap memenuhi
kecukupan gizi semua orang sehat menurut berbagai kelompok. Faktor-faktor
yang menentukan kecukupan gizi seseorang yaitu umur, jenis kelamin, berat
badan dan tinggi badan. Tingkat kecukupan gizi seseorang berkaitan dengan
konsumsi pangan dimana hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi
keluarga seperti pendidikan, pekerjaan, besar keluarga dan pendapatan.
Pendidikan akan mempengaruhi seseorang dalam memilih bahan pangan yang
lebih baik dalam kualitas dan kuantitas. Pekerjaan yang berhubungan dengan
pendapatan akan mempengaruhi seseorang dalam penyediaan pangan dan
meningkatkan taraf kesehatan. Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan
perkapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan.
Karakteristik Contoh Keadaan Sosial Ekonomi
Penambangan
1. Umur Keluarga
Batu Kapur
2 Jenis kelamin 1. Pendidikan
3 BB dan TB 2. Pekerjaan
3. Besar Keluarga
4. Pendapatan
Konsumsi pangan
Contoh
Kebiasaan Merokok Polusi
dalam rumah Udara
AKG
Status Imunitas
: Variabel diteliti
: Variabel tidak diteliti
: Hubungan yang dianalisis
: Hubungan yang tidak dianalisis
METODOLOGI PENELITIAN
Terdaftar di Puskesmas
Analisis data
Untuk mengetahui perbedaan tingkat kecukupan energi, zat gizi dan
status gizi antara penderita ISPA dan tidak ISPA dilakukan uji beda
Indeppendent sample T-test mengggunakan program SPSS versi 16 for window.
Definisi Operasional
Contoh adalah anak balita yang berusia 12-59 bulan yang menderita
ISPA dan tidak menderita ISPA, merupakan pasien dari puskesmas Cipatat.
ISPA adalah infeksi saluran pernafasan atas maupun bawah yang
ditunjukan dengan adanya demam, batuk dan pilek yang telah di tetapkan oleh
dokter.
Tidak ISPA adalah seseorang yang tidak terdiagnosa oleh dokter terkena
ISPA dan tidak mengalami demam, batuk dan pilek.
Status gizi adalah suatu keadaan yang menggambarkan kondisi
seseorang mengalami kondisi normal, kurang atau lebih berdasarkan
antropometri.
Asupan gizi adalah jumlah zat gizi yang terkandung dalam makanan
yang dikonsumsi oleh seseorang dalam periode waktu tertentu yang biasanya
dinyatakan dalam satuan zat gizi per kapita/hari.
Tingkat kecukupan adalah suatu tingkatan dari sejumlah makanan yang
dikonsumsi oleh individu atau kelompok dalam periode waktu tertentu
dibandingkan dengan AKG.
Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi
setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran &
aktivitas tubuh, untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang telah atau sedang
ditempuh dan dikategorikan berdasarkan jenjang pendidikan SD, SMP, SMA dan
Perguruan Tinggi.
Pekerjaan adalah jenis suatu usaha yang sedang dilakukan dengan
tujuan mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan.
Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang hidup dibawah
pengelolaan sumberdaya yang sama.
Pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan
atau yang diusahan yang dinilai dengan uang dalam satu bulan.
Kebiasaan merokok dalam rumah adalah suatu aktivitas membakar
tembakau yang kemudian dihisap asapnya baik menggunakan rokok maupun
menggunakan pipa dan dilakukan dalam rumah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan orangtua dapat menggambarkan pendapatan keluarga
maupun kemampuan seseorang dalam menyerap informasi. Pendapatan yang
dihasilkan dari pekerjaan tersebut berpengaruh pada tingkat daya beli bahan
makanan sebuah keluarga. Asupan makanan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya
pendapatan. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka daya beli bahan
makanannya pun tinggi sehingga asupan makanan menjadi tinggi pula. Asupan
makanan yang kurang akan menimbulkan masalah gizi dimana masalah gizi
akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat (Suhardjo 2003).
Jenis pekerjaan masyarakat desa Citatah pada umumnya sebagai petani
dan buruh pabrik penambang batu kapur maupun pengrajin batu marmer.
Sebaran jenis pekerjaan orangtua ayah contoh dapat dilihat pada Tabel 8.
Besar Keluarga
Besar keluarga dalam suatu rumah tangga juga termasuk salah satu
faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Besar keluarga juga menyebabkan
bertambahnya biaya pengadaan pangan untuk dikonsumsi. Anak-anak yang
sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap
gizi kurang di antara semua anggota keluarga, tahun-tahun awal masa kanak-
kanak yaitu pada umur satu hingga enam tahun berada dalam kondisi yang
paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi ini sering terjadi sebab
seandainya besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak
berkurang (Suhardjo 1989).
Menurut Robert et al (1994) bahwa pertambahan jumlah anggota
keluarga akan memberikan dampak merugikan kepada status gizi anggota
rumah tangga termasuk anak berumur di bawah dua tahun. Bertambahnya
jumlah anggota keluarga akan menyebabkan masalah kelaparan dan kesempitan
ruang. Hal ini menyebabkan terbatasnya ruang gerak dan menghambat jalan
sirkulasi udara sehingga memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap
kesehatan. Berikut adalah sebaran besar keluarga contoh dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran besar keluarga pada contoh
ISPA Tidak ISPA
Kategori
n % n %
Keluarga kecil 15 50 22 73.3
Keluarga sedang 12 40 7 23.3
Keluarga besar 3 10 1 3.3
Total 30 100 30 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada balita ISPA dan
tidak ISPA mayoritas kepala keluarga atau anggota keluarga memiliki kebiasaan
merokok dalam rumah dengan anggota keluarga, masing-masing sebanyak 23
orang (76,7%) dan 19 orang (63,3%). Hampir sebagian besar keluarga
mempunyai kebiasaan merokok bersama dengan anggota keluarga lain, baik
pada kelompok balita ISPA maupun pada kelompok balita tidak ISPA. Kaitannya
antara asap rokok dengan kejadian ISPA karena produksi CO terjadi selama
merokok. Asap rokok mengandung CO dengan konsentrasi lebih dari 20.000
ppm selama dihisap. Konsentrasi tersebut terencerkan menjadi 400-500 ppm.
Konsentrasi CO yang tinggi di dalam asap rokok yang terisap mengakibatkan
kadar COHb di dalam darah meningkat. Selain berbahaya terhadap orang yang
merokok, adanya asap rokok yang mengandung CO juga berbahaya bagi orang
yang berada di sekitarnya karena asapnya dapat terisap (Fardiaz 1992).
Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar
memberikan risiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok
dilakukan oleh ibu bayi (Depkes RI 2001).
Dalam penelitian ini tidak menguji apakah kebiasaan merokok dalam
rumah berhubungan dengan kejadian ISPA, namun perlu diwaspadai bahwa
udara yang sudah tercemar karena penambangan kapur ditambah dengan asap
dari rokok dalam rumah dapat menambah episode kejadian ISPA pada anak dan
mempengaruhi proses penyembuhan penyakit ISPA menjadi lama.
Karakteristik Contoh
Umur
Umur merupakan faktor gizi sehingga umur berkaitan erat dengan status
gizi (Apriadji 1986). Usia balita merupakan kelompok rentan terhadap kesehatan
dan gizi, karena masih berlangsungnya proses tumbuh kembang yang sangat
pesat, yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotor, mental dan sosial.
Stimulasi psikososial harus dimulai sejak dini dan tepat waktu untuk tercapainya
perkembangan psikososial yang optimal. Oleh karena itu, pada usia ini balita
sangat membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk menunjang pertumbuhan
dan perkembangannya. ISPA dapat menyerang semua manusia baik pria
maupun wanita pada semua tingkat usia, terutama pada usia kurang dari 5 tahun
karena daya tahan tubuh balita lebih rendah dari orang dewasa sehingga mudah
menderita ISPA.
Umur diduga terkait dengan sistem kekebalan tubuh, bayi dan balita
merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga
masih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Hal senada dikemukakan oleh
Suwendra (1988), bahkan semakin muda usia anak makin sering mendapat
serangan ISPA. Berikut sebaran umur contoh dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas 83,3% responden yang
menderita ISPA berumur satu sampai tiga tahun, sedangkan 16,7% berumur
empat sampai lima tahun. Hampir sama pada kelompok tidak ISPA mayoritas
80% responden berumur satu sampai tiga tahun dan 20% responden berumur
empat sampai lima tahun. Menurut Endah et al (2009) umur 12-36 bulan
merupakan umur yang paling sering dijumpai menderita infeksi saluran
pernafasan akut dibandingkan kelompok umur 37-59 bulan. Hal ini dikarenakan
seiring bertambahnya umur asupan makan balita yang berumur 37-59 bulan jenis
makanannya lebih beragam dan bervariasi sehingga asupan vitamin dan mineral
dari makanan semakin baik.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor yang menentukan dalam status gizi,
antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan sangat berbeda dari segi aktifitas
fisik maupun metabolisme dalam tubuh. Pada balita kebutuhan akan zat gizi
belum dibedakan, namun pada saat usia 10 tahun kebutuhan akan zat gizi
dibedakan menurut jenis kelamin. Berikut sebaran jenis kelamin contoh dapat
dilihat pada Tabel 13 berikut ini :
Tabel 13 Sebaran jenis kelamin contoh
ISPA Tidak ISPA
Kategori
n % n %
Laki-Laki 19 63,3 13 43,3
Perempuan 11 36,7 17 56,7
Total 30 100 30 100
Tabel 14 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh balita ISPA dan tidak ISPA
menurut jenis kelamin per hari
Rata-rata asupan ISPA Tidak ISPA
per hari
Laki-laki Perempuan Laki-laki perempuan
(n=19) (n=11) (n=13) (n=17)
Energi (kkal) 820,26 862,3 981,92 946,93
Protein (gram) 24,06 24,73 30,11 33,96
Vitamin A (RE) 517,47 163,53 214,06 871,6
Vitamin E (mg) 1,78 1,51 1,85 2,5
Vitamin C (mg) 21,38 26,12 26,5 35,7
Seng (mg) 2,99 2,91 3,42 3,64
Besi (mg) 7,35 3,5 5,3 4,89
Dari tabel 14 terlihat bahwa laki-laki yang menderita ISPA mempunyai
asupan energi lebih rendah (820,26 kkal) dibandingkan dengan perempuan
(862,3 kkal), sedangkan pada balita yang tidak ISPA jenis kelamin laki-laki
mempunyai asupan energi lebih tinggi (981,92 kkal) dibandingkan dengan
perempuan (946,93 kkal). Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini laki-laki
yang menderita ISPA mempunyai asupan energi lebih rendah dibandingkan
dengan perempuan yang menderita ISPA
Pada penelitian ini asupan vitamin E yang paling rendah yaitu 0 mg dan
tertinggi yaitu 4,8 mg dengan rata-rata asupan vitamin E pada balita ISPA yaitu
1,67 mg dan standar deviasi sebesar 1,27. Anjuran angka kecukupan gizi vitamin
E umur 1-3 tahun yaitu 6 mg sedangakn umur 4-5 tahun yaitu 7 mg. Sebagian
besar tingkat kecukupan vitamin E mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA
(93,3%) sedangkan pada balita tidak ISPA (96,7%). Hasil analisis menggunakan
Independent samples t-test menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara asupan vitamin E pada balita ISPA dan tidak ISPA. nilai p=0,088 (p>0,05).
Defisiensi vitamin E jarang ditemukan oleh sebab makanan sehari-hari
mengandung cukup vitamin E, akan tetapi dalam penelitian ini hampir sebagian
besar balita mengalami defisiensi berat vitamin E. Hal ini diduga karena balita
mengalami defisiensi juga protein dan vitamin A. Seperti yang kita ketahui bahwa
sumber vitamin E terdapat pada sayuran, buah-buahan dan daging. Namun
sumber vitamin E yang banyak dikonsumsi oleh balita ISPA maupun tidak ISPA
berasal dari makanan jajanan seperti kue dan chiki, dimana minyak tumbuh-
tumbuhan sebagai sumber vitamin E digunakan dalam proses pengolahan
makanan tersebut.
Konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin C
Fungsi vitamin C yaitu membantu enzim dalam melakukan fungsinya dan
juga bekerja sebagai antioksidan. Vitamin C juga penting untuk membentuk
kolagen, serat, struktur protein serta meningkatkan ketahanan tubuh terhadap
infeksi dan membantu tubuh menyerap zat besi. Keadaan kekurangan vitamin C
akan mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C diperlukan proses
pematangan eritrosit dan pada pembentukan tulang dan dentin, vitamin C
mempunyai peranan penting pada respirasi jaringan (Pudjiadi 2001).
Vitamin C banyak sekali manfaatnya salah satunya adalah mencegah
infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau
pengaruh terhadap fungsi kekebalan. Menurut Pauling, mengemukakan bahwa
mengkonsumsi vitamin C dalam dosis tinggi dapat menyembuhkan infeksi
(Almatsier 2004). Berikut adalah rata-rata konsumsi bahan makanan sumber
vitamin C.
Pada penelitian ini asupan vitamin C yang paling rendah yaitu 0,6 mg dan
tertinggi yaitu 165,4 mg dengan rata-rata asupan vitamin C pada balita ISPA
yaitu 23,27 mg dan standar deviasi sebesar 28,74. Sebaran tingkat konsumsi
vitamin C yang terlihat pada tabel 24 menunjukan bahwa balita yang menderita
ISPA mengalami defisensi berat sebesar 70%, sedangkan balita yang tidak
menderita ISPA sebesar 63,3%. Berdasarkan uji statistik nilai p=0,316 (p>0,05).
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan
vitamin C pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini diduga karena faktor
ketidaksukaan balita terhadap buah-buahan dan sayuran, dan lebih menyukai
makanan jajanan seperti chiki.
Sumber paling baik adalah sumber protein hewani, terutama daging, hati,
kerang, dan telur. Serealia tumbuk dan kacang-kacangan juga merupakan
sumber yang baik, namun mempunyai ketersediaan biologik yang rendah. Tabel
25 menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai kontribusi
seng paling besar. Jenis pangan sumber seng yang di konsumsi balita ISPA
adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 174 gr/hari, tahu 28,16 gr/hari dan telur
18,33 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber
seng yang dikonsumsi adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 221,67 gr/hari,
baso 13 gr/hari, dan tempe 12,2 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan seng dapat
dilihat pada Tabel 26 berikut ini :
Hubungan yang signifikan antara status gizi dengan ISPA tidak lain
karena status gizi sangat berpengaruh terhadap status imun atau kekebalan
anak. Kurang gizi pada anak akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan
tubuh yang berarti kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan
infeksi menjadi turun. Hal inilah yang menyebabkan anak sangat potensial
terkena penyakit infeksi seperti ISPA (Siswatiningsih 2001).
Penelitian yang dilakukan smith et al (1991) menyebutkan bahwa anak
yang mengalami kurang gizi kronik berdampak terhadap sel imun mediasi dan
produksi antibodi, sehingga memperbesar peluang terjadinya penyakit infeksi.
Konsentrasi antibodi antipneumococcal pada anak kurang gizi juga sangat
rendah, sehingga meningkatkan risiko terserang infeksi saluran pernafasan
seperti ISPA. Disamping kurang gizi, anak yang mengalami gizi lebih juga
mengalami risiko lebih tinggi terkena penyakit infeksi jika dibandingkan dengan
status gizi normal. Seperti yang dikemukakan oleh Chandra (1991) yang
menyatakan bahwa anak dengan status gizi lebih mempunyai penurunan jumlah
limfosit, penurunan aktivitas sel Natural-killer (sel-NK) dan penurunan stimulasi
limposit T jika dibandingkan dengan anak status gizi normal. Penurunan sistem
kekebalan tubuh inilah yang menyebabkan anak potensial terkena penyakit
infeksi.
Status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan secara umum
berkategori normal. Balita yang menderita ISPA mayoritas 80% dan balita tidak
menderita ISPA 83,30%. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status
gizi balita yang menderita ISPA dan tidak menderita ISPA berdasarkan BB/TB
yang ditunjukan oleh p=0,74 (p>0,05). Hal ini dikarenakan berat badan balita
mayoritas normal, pertumbuhan dan perkembangan berat badan dan tinggi
badan berlangsung normal. Artinya meningkatnya berat badan diiringi dengan
bertambahnya tinggi badan balita sehingga anak terlihat normal. ISPA pada
balita dapat menyebabkan tubuh menjadi kurus karena zat gizi yang seharusnya
digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan terganggu melawan infeksi
yang masuh kedalam tubuh. Namun dalam penelitian ini efek dari infeksi tersebut
terhadap status gizi tidak terlihat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
2010
SURAT PERNYATAAN
KESEDIAAN MENGIKUTI PENELITIAN
Bandung,....................2010
Nama Contoh
(....................................)
Lampiran 3 Kuesioner Karakteristik Soisal Ekonomi
Kode Responden:
Nama enumerator :
Hari/tgl wawancara :
Tanda tangan enumerator :
A. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama
:………………………………………………
2. Tempat tanggal lahir
:………………………………………………
3. Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2.
Perempuan
4. Berat Badan : .............................. kg
5. Tinggi Badan : .............................. cm
6. Frekuensi / waktu batuk, pilek : ………..hari / minggu
7. Sesak nafas : …………kali / menit
8. Suhu badan : ……0C
9. Hasil diagnosa : ………………………
B. KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RESPONDEN
1. Nama ibu/bapak : ………………………
2. Pekerjaan : ………………………
3. Pendidikan Terakhir : ………………………
4. Jumlah anggota keluarga dalam satu rumah :……….. orang
5. Pekerjaan (suami/istri) :……………….
6. Pendapatan anda sekarang dalam sebulan : Rp. …………..
7. Pendapatan (suami/istri) dalam sebulan : Rp. …………..
8. Kebiasaan Merokok dalam rumah : 1. Ya 2. Tidak
Kode Responden:
Nama Balita :
Alamat :
Tgl wawancara :
Hari ke :
Porsi Konsumsi
Nama Bahan
Waktu Berat Keterangan
Hidangan Makanan Jumlah URT
(g)
1 2 3 4 5 6
Pagi
selingan
Siang
Selingan Group Statistics
penyakit yg
N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
diderita
ISPA 30 -1.7143 .84505 .15428
nilai Z skore
tidak ispa 30 -1.5937 .93816 .17128
Malam
selingan
Catatan : .......................................................................................................................
..........................................................................................................
....
Lampiran 5 Output Analisis Data
A. Perbedaan Status gizi (BB/U) dengan Balita ISPA dan Tidak ISPA
Levene's Test
for Equality of t-test for Equality of Means
Variances
95% Confidence
Sig. (2- Mean Std. Error Interval of the
F Sig. t df Difference
tailed) Difference Difference
Lower Upper
Equal
variances .931 .338 -.523 58 .603 -.12067 .23053 -.58211 .34078
nilai Z assumed
skore Equal
variances not -.523 57.378 .603 -.12067 .23053 -.58222 .34089
assumed
B. Perbedaan Status gizi (TB/U) dengan Balita ISPA dan Tidak ISPA
Group Statistics
penyakit yg
diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
nilai Z skore ISPA 30 -1.4277 1.54674 .28240
tidak ispa 30 -1.4593 1.28956 .23544
C. Perbedaan Status gizi (BB/TB) dengan Balita ISPA dan Tidak ISPA
Group Statistics
penyakit yg
N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
diderita
ISPA 30 -1.0543 1.12474 .20535
nilai Z skore
tidak ispa 30 -.8980 1.05712 .19300
Group Statistics
penyakit yg
diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
energi ISPA 30 837.07 264.234 48.242
tidak ispa 30 962.10 198.308 36.206
Group Statistics
penyakit yg
diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
protein ISPA 30 24.3343 9.86370 1.80086
tidak ispa 30 32.2967 10.93597 1.99663
95% Confidence
Sig. (2- Mean Std. Error Interval of the
F Sig. t df Difference
tailed) Difference Difference
Lower Upper
Equal
-
variances .764 .386 58 .004 -7.96233 2.68879 -13.34453 -2.58013
2.961
assumed
protein
Equal
-
variances not 57.393 .004 -7.96233 2.68879 -13.34575 -2.57892
2.961
assumed
Levene's
Test for
t-test for Equality of Means
Equality of
Variances
95% Confidence Interval of
Sig. (2- Mean Std. Error the Difference
F Sig. t df
tailed) Difference Difference
Lower Upper
Equal
-
Vit_A variances .484 .489 58 .595 -210.77333 394.61937 -1000.68983 579.14316
.534
assumed
Independent Samples Test
Levene's
Test for
t-test for Equality of Means
Equality of
Variances
95% Confidence Interval of
Sig. (2- Mean Std. Error the Difference
F Sig. t df
tailed) Difference Difference
Lower Upper
Equal
-
Vit_A variances .484 .489 58 .595 -210.77333 394.61937 -1000.68983 579.14316
.534
assumed
Equal
variances -
48.498 .596 -210.77333 394.61937 -1003.99837 582.45170
not .534
assumed
Group Statistics
penyakit yg
diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Vit_E ISPA 30 1.6767 1.27676 .23310
tidak ispa 30 2.2167 1.12743 .20584
Equal variances -
.036 .850 58 .088 -.54000 .31098 -1.16249 .08249
assumed 1.736
Vit_E
Equal variances -
57.125 .088 -.54000 .31098 -1.16269 .08269
not assumed 1.736
Group Statistics
penyakit yg
diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence