You are on page 1of 76

ASUPAN ENERGI, ZAT GIZI DAN STATUS GIZI PADA BALITA

ISPA DAN TIDAK ISPA DI KECAMATAN CIPATAT KAB.


BANDUNG BARAT

Fauzan Bayu Ramdani

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ABSTRACT
FAUZAN BAYU RAMDANI. Energy and Nutrient Intake, and Nutritional Status in
Toddlers with Acute Respiratory Infections (ARI) and without ARI at sub-district
Cipatat Bandung Barat. Supervised by HADI RIYADI and LEILY AMALIA
FURKON

ARI (acute respiratory infection) is an important health issue that causes


highly enough death of infant and toddlers about 1 among 4 death occured. Each
child annualy expected 3-6 times infected by ARI Myrnawati research (2003) also
found about 20-30% infant mortality causes by ARI. Based on the results
of Indonesian Demographic and Health Survey, there were several factor that
cause respiratory disease such as environment, weather, parents occupation,
age, and food intake (Depkes 2002). Main purpose of this research are to know
the differences of energy intake, nutrients and nutritional status of toddlers ARI
suspect and non ARI suspect at Cipatat, Bandung Barat. This study was
implemented by cross-sectional design. Data collection was conducted in
Agustus to September 2010, with a total sample of 60 persons. Example
collected by purposive with the criteria has an history of respiratory illness during
the last 2 weeks (as a group of ARI suspect) and has no history of respiratory
infection (as a group of non ARI suspect) that registered at Puskesmas Cipatat.
Category ARI and non ARI was determined based on existing data in Puskesmas
Cipatat by doctor's diagnosis.
The data collection then processed and analyzed descriptively and
statistically using Miccrosoft excel and SPSS 16.0. Data processing include
editing, coding and data entry. To knowing difference of adequacy level of
energy, nutrients and nutritional status between ARI suspect and non ARI
suspect was used Indeppendent Sample T-test.
Based on the results of statistical analysis there were significant
differences between energy intake, protein and zinc on infants ARI suspect and
non ARI suspect (p=0,043) (0,004) and (p=0,036) (p<0,05). There was no
significant difference between intake of vitamin A, vitamin E, vitamin C and Fe
among todlers with ARI and (p>0,05). From the results of anthropometric
measurements that the nutritional status on the indicators BB/U, TB/U, and
BB/TB there was no difference between group of toddler with ARI and without
ARI (p>0,05).

Key word : Energy and Nutrient Intake, Nutritional status, Acute Respiratory
Infections (ARI)
RINGKASAN
FAUZAN BAYU RAMDANI. Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada Balita
ISPA dan Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat. Dibimbing oleh
HADI RIYADI dan LEILY AMALIA FURKON

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu mengetahui perbedaan asupan


energi, zat gizi dan status gizi pada balita ISPA dan tidak ISPA di Kecamatan
Cipatat Kabupaten Bandung Barat. Adapun tujuan khususnya yaitu (1)
Mengetahui karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh, (2) Mengetahui
karakteristik balita penderita ISPA dan tidak ISPA, (3) Mengetahui tingkat
kecukupan energi dan zat gizi antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA, (4)
Mengetahui status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA, (5)
Mengetahui perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita penderita ISPA
dan tidak ISPA (6) Mengetahui perbedaan status gizi antara balita penderita
ISPA dan tidak ISPA.
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study, yaitu model
pendekatan atau observasi sekaligus pada satu saat. Lokasi penelitian di
Kecamatan Cipatat di mana terdapat daerah penambangan batu kapur. Lokasi
dipilih berdasarkan pertimbangan tingginya polusi udara akibat kegiatan
penambangan batu kapur tersebut. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus
dan September 2010. Contoh dalam penelitian ini adalah anak balita usia 12-59
bulan yang berada di daerah ruang lingkup wilayah kerja Puskesmas Cipatat.
Pemilihan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria mempunyai riwayat
penyakit ISPA selama 2 minggu terakhir (sebagai kelompok ISPA) dan tidak
memiliki riwayat ISPA (sebagai kelompok tidak ISPA) serta terdaftar di
Puskesmas Cipatat. Kategori ISPA dan tidak ISPA ditetapkan berdasarkan data
yang ada di Puskesmas Cipatat berdasarkan hasil diagnosa dokter. Jumlah
contoh masing-masing kelompok adalah 30 sehingga total 60 anak balita.
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil wawancara dengan alat bantu kuesioner. Data primer
meliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh, data kebiasaan merokok
dalam rumah, data karakteristik individu contoh, data konsumsi makanan serta
data antropometri. Data sekunder berasal dari puskesmas yaitu data profil
puskesmas dan data kejadian penyakit ISPA selama 2 minggu terakhir. Data
diolah dan dianalisis secara deskriptif dan statistik. Program komputer yang
digunakan adalah Miccrosoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for Windows.
Proses pengolahan data meliputi editing, coding, dan entry data. Untuk
mengetahui perbedaan tingkat kecukupan energi, zat gizi dan status gizi antara
penderita ISPA dan tidak ISPA menggunakan uji Independent Samples T-Test.
Sebanyak 36,7% tingkat pendidikan orang tua contoh pada balita ISPA
hanya sampai tingkat SLTP, sedangkan pada balita tidak ISPA (40%) sampai
tingkat SLTA. Sebagian besar 60% jenis pekerjaan ayah contoh pada balita ISPA
adalah buruh pabrik, sedangkan pada balita tidak ISPA (33,3%) sebagai buruh
dan pegawai swasta. Besar keluarga contoh adalah kategori keluarga kecil pada
balita ISPA (50%) sedangkan pada balita tidak ISPA (73,3%). Tingkat
pendapatan berdasarkan BPS pusat (2004) yaitu sebesar Rp. 139.000,- per
kapita per bulan, bahwa sebagian besar 63,3% rumah tangga balita ISPA
tergolong miskin, sedangkan balita tidak ISPA (63,3%) tergolong tidak miskin.
Sebagian besar 76,7% anggota keluarga contoh pada balita ISPA mempunyai
kebiasaan merokok dalam rumah, sedangkan pada balita tidak ISPA (63,3%).
Mayoritas 83,3% responden yang menderita ISPA berumur 12-36 bulan,
sedangkan balita tidak ISPA (80%). Berdasarkan jenis kelaminnya sebagian
besar 63,3% responden laki-laki menderita ISPA, sedangkan pada balita tidak
ISPA (56,7%) responden adalah perempuan.
Berdasarkan tingkat kecukupan energi diketahui bahwa sebagian besar
balita ISPA dan balita tidak ISPA masing-masing 56,7% dan 40% mengalami
defisiensi berat. Dari hasil uji statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara
asupan energi pada balita ISPA dan tidak ISPA (p<0,05). Tingkat kecukupan
protein pada balita ISPA yang tergolong mengalami defisiensi berat adalah 40%,
sedangkan pada balita tidak ISPA (43,3%) mengalami tingkat kecukupan lebih.
Ada perbedaan yang signifikan antara asupan protein pada balita ISPA dan tidak
ISPA (p<0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan vitamin A mengalami defisensi
berat, pada balita ISPA (80%) sedangkan pada balita tidak ISPA (70%). Tidak
ada perbedaan yang signifikan antara asupan vitamin A pada balita ISPA dan
tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan vitamin E mengalami
defisiensi berat, pada balita ISPA (93,3%) sedangkan pada balita tidak ISPA
(96,7%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan vitamin E pada
balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan vitamin
C mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA sebesar 70% sedangkan pada
balita tidak ISPA sebesar 63,3%. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
asupan vitamin C pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar
tingkat kecukupan seng mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA maupun
balita tidak ISPA sebesar 96,7%. Ada perbedaan yang signifikan antara asupan
seng pada balita ISPA dan tidak ISPA (p<0,05). Sebagian besar tingkat
kecukupan besi mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA sebesar 76,7%
sedangkan pada balita tidak ISPA sebesar 63,3%. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara asupan besi pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05).
Sebagian besar 56,7% status gizi contoh berdasarkan BB/U mengalami
status gizi normal, baik pada balita ISPA maupun tidak ISPA. Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara status gizi berdasarkan BB/U pada balita ISPA
dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar contoh mengalami status gizi normal
berdasarkan TB/U, pada balita ISPA (60%) sedangkan pada balita tidak ISPA
(70%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara status gizi berdasarkan TB/U
pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar contoh mengalami
status gizi normal berdasarkan BB/TB, pada balita ISPA sebesar 80% sedangkan
pada balita tidak ISPA (83,3%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
status gizi berdasarkan BB/TB pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05).
Berdasarkan hasil penelitian terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan
energi, protein, dan seng pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini dapat
dikatakan bahwa ISPA mempengaruhi terhadap asupan energi, protein, dan
seng. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa asupan vitamin A, vitamin E.
vitamin C, dan Fe dalam kategori defisiensi berat sehingga perlu untuk
meningkatkan asupan. Dengan demikian para orang tua balita sebaiknya
melakukan pencegahan dengan mengupayakan kebutuhan zat gizi agar
kecukupan terpenuhi, dan menghilangkan kebiasaan merokok dalam rumah.
Untuk Puskesmas diharapkan melakukan penyuluhan kepada orang tua tentang
pentingnya makanan bergizi untuk memenuhi kecukupan gizi anak dan bisa
menekan angka kejadian ISPA pada balita agar tidak menjadi akut.
ASUPAN ENERGI, ZAT GIZI DAN STATUS GIZI PADA
BALITA ISPA DAN TIDAK ISPA DI KECAMATAN CIPATAT KAB.
BANDUNG BARAT

FAUZAN BAYU RAMDANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul Skripsi : Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada Balita ISPA dan
Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat
Nama : Fauzan Bayu Ramdani
Nrp : I14086012

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS Leily Amalia Furkon, STP, M.Si


NIP. 19610615 198603 1004 NIP. 19721209 200501 2001

Mengetahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS


NIP. 19621218 198703 1001

Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandung pada tanggal 14 Mei 1987, penulis merupakan
anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan bapak Suwinda dan ibu Teti
Suryati.
Pendidikan formal pertama di tempuh pada tahun 1991-1993 di TK
Pertiwi Desa Rajamandala. Tahun 1993 memulai pendidikan di SD Negeri RAMA
I selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2002 penulis menamatkan pendidikan di
SLTP Negeri 1 Cipatat. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 9
Bandung hingga tahun 2005. Selama di SMA penulis aktif dalam kegiatan
organisasi seperti pecinta alam dan kegiatan olahraga.
Pada tahun 2005 penulis diterima di Poltekkes DEPKES Bandung
Jurusan Gizi. Selama kuliah di Jurusan Gizi, penulis aktif dalam kegiatan
kemahasiswaan seperti Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), dan ikatan remaja
masjid. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan studi pada Program
Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis telah menyelesaikan penelitian akhir dan menyusun skripsi di
bawah bimbingan Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS dan Ibu Leily Amalia Furkon, STP, M.Si.
dengan judul “Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada Balita ISPA dan
Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat”.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat,
kasih sayang, kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Asupan Energi, Zat Gizi
dan Status Gizi pada Balita ISPA dan Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat
Kabupaten Bandung Barat”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam
memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor. Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada:
1. Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S sebagai dosen pembimbing satu skripsi yang telah
memberikan bimbingan selama penelitian, penulisan dan penyelesaian skripsi
ini.
2. Leily Amalia Furkon, STP, M.Si sebagai dosen pembimbing dua skripsi yang
telah memberikan bimbingan selama penelitian, penulisan dan penyelesaian
skripsi ini.
3. Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S sebagai dosen pembimbing akademik.
4. Ibu Mira Dewi, S.Ked sebagai pemandu seminar dan penguji skripsi, yang
telah memberikan masukan dan saran.
5. Orangtua (Bapak dan Ibu), kakak dan adik-adik atas kasih sayang, doa dan
bantuannya baik moril maupun materiil sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini.
6. Semua pihak yang belum tertulis diatas yang telah memberikan bimbingan
dan bantuannya dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi
ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak yang membaca. Penulis mengucapakan terima
kasih, semoga Allah SWT, senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita
semua, Aamiin.

Bogor, Januari 2011

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
DAFAR TABEL............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................... 1
Tujuan ................................................................................................ 3
Hipotesis ............................................................................................. 3
Kegunaan............................................................................................ 3
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut ........................................................ 4
Status Gizi........................................................................................... 6
Konsumsi Pangan .............................................................................. 9
Energi.................................................................................................. 10
Zat-zat Gizi yang Berperan dalam Imunitas......................................... 11
Angka Kecukupan Gizi ........................................................................ 18
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................ 19
METODOLOGI PENELITIAN
Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 21
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ................................................... 21
Jenis dan Cara Pengumpulan Data .................................................... 22
Pengolahan dan Analisis Data ............................................................ 23
Definisi Operasional ........................................................................... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran umum Lokasi Penelitian .................................................... 26
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Contoh.................................... 26
Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga ............................................... 30
Karakteristik Individu ........................................................................... 32
Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi .............................................. 34
Status Gizi .......................................................................................... 46
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ......................................................................................... 51
Saran .................................................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 53
LAMPIRAN .................................................................................................. 57
DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel 1. Kategori Status Gizi Pada Berbagai Ukuran Antropometri......... 7


Tabel 2. Angka Kecukupan Gizi Vitamin C yang di Anjurkan Pada
Berbagai Kelompok Usia............................................................. 16
Tabel 3. Bahan makanan sumber besi..................................................... 18
Tabel 4. Jenis peubah dan cara pengumpulan data................................. 22
Tabel 5. Cara pengolahan data................................................................ 23
Tabel 6. Kategori Status Gizi Balita.......................................................... 24
Tabel 7. Sebaran orang tua (ayah) contoh berdasarkan tingkat
pendidikan..................................................................................... 27
Tabel 8. Sebaran jenis pekerjaan ayah contoh......................................... 28
Tabel 9. Sebaran besar keluarga pada contoh......................................... 29
Tabel 10. Sebaran pendapatan keluarga contoh........................................ 30
Tabel 11. Sebaran kebiasaan merokok dalam rumah contoh.................... 31
Tabel 12. Sebaran umur contoh................................................................. 32
Tabel 13. Sebaran jenis kelamin contoh..................................................... 33
Tabel 14. Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh balita ISPA dan
tidak ISPA menurut jenis kelamin per hari.................................. 33
Tabel 15. Rata-rata konsumsi pangan sumber energi per hari................... 34
Tabel 16. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi............. 35
Tabel 17. Rata-rata konsumsi pangan sumber protein per hari.................. 36
Tabel 18. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein............ 37
Tabel 19. Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin A per hari 38
Tabel 20. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A ....... 39
Tabel 21. Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin E per hari 40
Tabel 22. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin E........ 40
Tabel 23. Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin C per hari 41
Tabel 24. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C........ 42
Tabel 25. Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber seng per hari....... 43
Tabel 26. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan seng............... 43
Tabel 27. Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber besi per hari........ 44
Tabel 28. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan besi................ 45
Tabel 29. Sebaran status gizi contoh menurut BB/U.................................. 47
Tabel 30. Sebaran status gizi contoh berdasarkan TB/U........................... 48
Tabel 31. Sebaran status gizi contoh berdasarkan BB/TB......................... 49
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 1. Bagan interelasi antara kurang vitamin A (KVA) dengan


infeksi........................................................................................ 14
Gambar 2. Kerangka pemikiran hubungan konsumsi dengan kejadian
penyakit ISPA pada balita......................................................... 20
Gambar 3. Kerangka cara penarikan contoh.............................................. 21
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian.................................................................. 56


Lampiran 2. Surat Pernyataan Kesediaan Mengikuti Penelitian................... 57
Lampiran 3. Kuesioner Karakteristik Soisal Ekonomi................................... 58
Lampiran 4. Form Food Recall..................................................................... 59
Lampiran 5. Output Analisi Data................................................................... 60
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Arah dan kebijakan pembangunan bidang kesehatan, diantaranya
menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk
meningkatkan derajat kesehatan termasuk didalamnya keadaan gizi
masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidup serta kecerdasan
rakyat pada umumnya (Suhardjo 2003). Masalah gizi yang banyak
dihadapi Indonesia meliputi gizi kurang atau yang mencakup susunan
hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhan yang tidak
mencukupi kebutuhan. Anak balita (1-5 tahun) merupakan kelompok umur
yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (KEP) atau termasuk
salah satu kelompok masyarakat yang rentan gizi (Sedioetama 2000).
Menurut Sediaoetama (2000) bahwa anak balita akan mengalami
proses pertumbuhan yang sangat pesat, sehingga memerlukan zat-zat
makanan yang relatif lebih banyak dengan kualitas yang lebih tinggi. Hasil
pertumbuhan pada saat dewasa, sangat bergantung dari kondisi gizi dan
kesehatan sewaktu masa balita. Di negara berkembang anak-anak umur
0-5 tahun merupakan golongan yang paling rawan terhadap gizi.
Kelompok yang paling rawan di sini adalah periode pasca penyapihan
khususnya kurun umur 1-3 tahun. Anak-anak biasanya menderita
bermacam-macam infeksi serta berada dalam status gizi rendah (Suhardjo
2003)
Status gizi rendah akibat masalah gizi pada anak, akan berpengaruh
terhadap daya tahan tubuh yang rendah dan rentan terhadap serangan penyakit
infeksi, seperti diare, flu, ISPA, campak, dll. Apabila kejadian penyakit infeksi
tidak segera ditangani maka akan mempengaruhi tingginya angka kematian
balita. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, angka
kejadian infeksi saluran pernafasan akut di Jawa Barat pada anak usia 0-5 tahun
pada tahun 2003 sebesar 5% (Dinkes Jabar 2005).
Menurut Sediaoetama (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi status
gizi seseorang adalah konsumsi makanan dan infeksi. Konsumsi makan dan
infeksi tersebut keduanya saling berkaitan. Konsumsi makan yang kurang dapat
menyebabkan daya tahan tubuh menjadi menurun, sehingga mudah untuk
terjadinya infeksi. Begitu juga apabila sudah terjadi infeksi, maka nafsu makan
menurun dan menyebabkan konsumsi makan berkurang, sehingga terjadi
gangguan salah satunya adalah zat gizi baik makro maupun mikro.
ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) merupakan masalah kesehatan
yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi
yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6
episode ISPA setiap tahunnya. Penelitian Myrnawati (2003) juga menemukan
bahwa 20-30% kematian balita disebabkan oleh ISPA (diacu dalam Zyiefa 2009).
Berdasarkan hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia ada beberapa
faktor yang menyebabkan penyakit ISPA diantaranya adalah lingkungan, cuaca,
pekerjaan orang tua, umur, dan konsumsi makanan (Depkes 2002).
Menurut studi longitudinal yang dilakukan oleh Yoon et al (tahun 1997)
pada anak dibawah 2 tahun di metro Cebu-Philiphina menyatakan bahwa
terdapat pengaruh status gizi kurang terhadap kematian anak di bawah dua
tahun. Penelitian ini juga membuktikan bahwa status gizi kurang (berdasarkan
BB/U) berhubungan dengan faktor resiko terjadinya ISPA pada anak. Penurunan
berat badan akan meningkatkan 1,7 kali resiko terjadinya ISPA (AJCN 1997).
Pertambangan kapur Gunung Masigit terletak di daerah perbukitan
di Cipatat, Bandung, Jawa Barat. Pertambangan kapur ini merupakan
pertambangan tradisional dengan perilaku kerja pekerja yang berisiko
sehingga pekerja pertambangan memiliki risiko tinggi untuk terkena
penyakit ISPA akibat terpajan oleh debu kapur. Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Eka (2009) sebanyak 56% pekerja mengalami gejala ISPA.
Debu yang cukup banyak dan menimbulkan pencemaran udara bagi
masyarakat sekitar dihasilkan dari penambangan batu kapur yang terdiri
dari pengadaan bahan baku, pengangkutan bahan, dan pada saat
pembakaran bahan. Aktivitas pengolahan batu kapur di desa Citatah
Kecamatan Cipatat sudah dilakukan sejak tahun 1960. Selain memiliki
fungsi sebagai penampung air batuan di kawasan Citatah, pengolahan
batu kapur juga memiliki manfaat ekonomi, yaitu batu kapur yang bisa
dijual dan dijadikan industri kerajinan marmer (Yusuf 2010). Dengan
demikian meskipun memiliki manfaat ekonomi, dampak dari
penambangan batu kapur harus mendapat perhatian yang lebih serius
terutama ISPA pada balita. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai asupan energi, zat gizi, dan status gizi
pada balita ISPA dan tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung
Barat.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan
asupan energi, zat gizi, dan status gizi pada balita ISPA dan tidak ISPA di
Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat.
Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mempelajari:
1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh penderita
ISPA dan tidak ISPA
2. Mengetahui karakteristik balita penderita ISPA dan tidak ISPA
3. Mengetahui asupan dan tingkat kecukupan energi serta zat gizi
antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA
4. Mengetahui status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA
5. Mengetahui perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita
penderita ISPA dan tidak ISPA
6. Mengetahui perbedaan status gizi antara balita penderita ISPA dan
tidak ISPA

Hipotesis
1. Ada perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita penderita
ISPA dan tidak ISPA
2. Ada perbedaan status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak
ISPA

Kegunaan
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi kepada
pembaca pada umumnya dan masyarakat Kecamatan Cipatat pada
khususnya mengenai kondisi tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan
status gizi, kaitannya dengan kejadian ISPA pada balita.
TINJAUAN PUSTAKA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)


Infeksi saluran pernapasan atas di kenal sebagai ISPA adalah penyakit
infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring,
atau laring (Algsagaff et al 1998). ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) yang
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI)
mempunyai pengertian sebagai berikut:
a. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah
dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan
bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-
paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini,
jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan.
b. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini
dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang
disebabkan oleh infeksi jasad renik bakteri, virus maupun riketsia tanpa atau
disertai radang parenkim paru. ISPA adalah penyakit penyebab angka absensi
tertinggi, lebih dari 50% semua angka tidak masuk kerja/sekolah karena sakit
ISPA (Algsagaff et al 1998).
Etiologi ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptokokus, stafilokokus,
pnemokokus, hemofilus, korinekbakterium dan bordetella. Virus penyebab ISPA
antara lain adalah golongan miksovirus, adenovirus, pikornavirus, mikoplasma,
hipervirus dan lain-lain.
Gejala ISPA dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu ringan,
sedang dan berat. Gejala ringan ditandai dengan batuk, serak yaitu anak
bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara
atau menangis), pilek yaitu mengeluarkan lendir / ingus dari hidung, panas, atau
demam dengan suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba dengan
punggung tangan terasa panas, perlu berhati-hati karena jika anak menderita
ISPA ringan sedangkan ia mengalami panas badannya lebih dari 390C, gizinya
kurang umurnya 6 bulan atau kurang maka anak tersebut menderita ISPA
sedang (Depkes 2002).
Gejala sedang ditandai jika gejala seperti pernafasan lebih dari 50x
permenit pada anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40x
permenit pada anak yang berumur satu tahun lebih. Cara menghitung
pernafasan ialah dengan menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit.
Untuk menghitung dapat digunakan arloji, suhu lebih dari 390C (diukur dengan
thermometer), tenggorokan berwarna merah, timbul bercak campak, telinga sakit
atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga, pernafasan berbunyi seperti
mengorok (mendengkur), pernafasan berbunyi menciut-ciut (Depkes 2002).
Gejala ISPA berat yang ditandai dengan bibir atau kulit membiru, lubang
hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas, anak tidak
sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan berbunyi seperti mengorok dan
anak tampak gelisah, sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas, nadi lebih
cepat dari 160x permenit atau tidak teraba, tenggorokkan berwarna merah
(Depkes 2002).
Faktor risiko yaitu faktor yang mempengaruhi atau memudahkan
terjadinya penyakit, tiga faktor risiko infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), yaitu
: keadaan sosial ekonomi dengan cara mengasuh atau mengurus anak,
keadaan gizi dan cara pemberian makanan, kebiasaan merokok dan
pencemaran udara (Depkes 2002).
Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan
dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan
dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat
iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga
menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh
bakteri di saluran pernafasan. Akibat dari hal tersebut akan menyebabkan
kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat
dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi
saluran pernafasan (Mukono 1997)
Faktor yang meningkatkan morbiditas, yaitu kurang gizi, BBLR,
pemberian ASI tidak memadai, polusi udara, kepadatan dalam rumah
kekurangan vitamin A dan vitamin C. Sedangkan faktor yang meningkatkan
mortalitas, yaitu tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat
pendidikan ibu rendah, jangkauan pelayanan kesehatan rendah.
ISPA bila mengenai saluran pernafasan bawah, khususnya pada bayi,
anak-anak dan orang tua, memberikan gambaran klinik yang berat dan jelek,
berupa bronchitis dan banyak berakhir dengan kematian. ISPA disebabkan
karena virus maka wanita lebih rentan terkena dibandingkan dengan laki-laki
namun pada waktu mensis mereka lebih tahan terhadap infeksi virus (Depkes
2002).

Status Gizi
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara
asupan dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh. Status gizi dapat dikatakan baik
apabila pola makan kita seimbang artinya banyak dan jenis makanan yang kita
makan sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh. Status gizi seseorang dipengaruhi
oleh banyak faktor antara lain tingkat pendapatan, pengetahuan gizi dan budaya
setempat. Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi pengetahuan gizi yang
cukup akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola
makannya sehari-hari (Depkes 2002).
Kondisi kesehatan anak saat diperiksa lebih banyak yang sakit pada
kelompok status gizi bawah. Risiko kurang gizi juga lebih tinggi secara nyata bila
konsumsi semua zat gizi pada anak lebih rendah. Riwayat kelahiran juga
berperan dalam risiko kurang gizi antara lain tempat lahir dan penolong
persalinan (Depkes 2002).
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan balita ada dua macam yaitu
faktor dalam yaitu jumlah dan mutu makanan, kesehatan balita (ada atau
tidaknya penyakit) sedangkan faktor luarnya yaitu tingkat ekonomi, pendidikan,
perilaku orang tua atau pengasuh, sosial budaya / kebiasaan, kesediaan bahan
makanan di rumah tangga (Depkes 2002).
Banyak faktor yang mempengaruhi baik buruknya keadaan seorang
balita. Keadaan gizi pada kehamilan merupakan penentu utama bagi
kelangsungan hidup anak. Growth faltering (menurunnya pertumbuhan)
merupakan tanda terjadinya keadaan gizi yang tidak baik. Kejadian ini bisa
disebabkan oleh dua hal yaitu karena asupan makan yang salah atau tidak
memenuhi gizi seimbang dan karena penyakit infeksi (Sumardi 1995 diacu dalam
Fitri 2008).
Hubungan yang signifikan antara status gizi dengan ISPA tidak lain
karena status gizi sangat berpengaruh terhadap status imun atau kekebalan
anak. Kurang gizi pada anak akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan
tubuh yang berarti kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan
infeksi menjadi turun. Hal inilah yang menyebabkan anak sangat potensial
terkena penyakit infeksi seperti ISPA (Siswatiningsih 2001 diacu dalam
Maitatorum 2009).
Penelitian yang dilakukan Smith et al (1991) menyebutkan bahwa anak
yang mengalami kurang gizi kronik berdampak terhadap sel imun mediasi dan
produksi antibodi, sehingga memperbesar peluang terjadinya penyakit infeksi.
Konsentrasi antibodi antipneumococcal pada anak kurang gizi juga sangat
rendah, sehingga meningkatkan risiko terserang infeksi saluran pernafasan
seperti ISPA (diacu dalam Maitatorum 2009). Disamping kurang gizi, anak yang
mengalami gizi lebih juga mengalami risiko lebih tinggi terkena penyakit infeksi
jika dibandingkan dengan status gizi normal. Seperti yang dikemukakan oleh
Chandra (1991) yang menyatakan bahwa anak dengan status gizi lebih
mempunyai penurunan jumlah limfosit, penurunan aktivitas sel Natural-killer (sel-
NK) dan penurunan stimulasi limposit T jika dibandingkan dengan anak status
gizi normal. Penurunan sistem kekebalan tubuh inilah yang menyebabkan anak
potensial terkena penyakit infeksi (diacu dalam Maitatorum 2009).
Parameter antropometri merupakan dasar dari penelitian status gizi.
Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Beberapa
indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) (Arisman 2003).

Tabel 1 Kategori Status Gizi Pada Berbagai Ukuran Antropometri


Indeks Kategori
BB/U Gizi lebih : > 2.0 SD
Gizi baik : - 2.0 SD s/d + 2.0 SD
Gizi kurang : < - 2 SD
Gizi buruk : < - 3 SD
TB/U Normal : ≥ - 2 SD
Pendek/stunted : < - 2 SD
BB/TB Gemuk : > 2.0 SD
Normal : - 2 SD s/d + 2 SD
Kurus/wasted : < - 2.0 SD
Sangat kurus : < - 3 SD
Sumber : Depkes (2000), Arisman (2003)
Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang infeksi, menurunnya nafsu makan atau
menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter
antropometri yang labil. Dalam keadaan kesehatan baik dan keseimbangan
antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan akan
berkembang mengikuti pertambahan umur (Supariasa 2001).
Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal terdapat dua kemungkinan
perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang secara cepat atau lebih
lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka
indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara
pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik badan yang labil, maka indeks
BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional
status) (Supariasa 2001).

Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)


Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertumbuhan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,
relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu yang pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu
relatif lama (Supariasa 2001).
Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, maka indeks ini
menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan
bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status masa lampau, juga
lebih erat kaitanya dengan status sosial ekonomi (Supariasa 2001).

Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)


Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan berat badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan
tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Jelliefe pada tahun 1966 telah
memperkenalakan indeks ini untuk mengindentifikasi status gizi (Supariasa 2001)
Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi
saat ini (sekarang). Berdasarkan sifat-sifat tersebut, indeks BB/TB mempunyai
beberapa kelebihan yaitu: tidak memerlukan data umum, dapat membedakan
proporsi badan (gemuk, normal atau kurus) dan kelemahannya adalah : tidak
dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan
atau kelebihan tinggi badan menurut umumya, karena faktor umur tidak
dipertimbangkan, dalam prakteknya sering mengalami kesulitan dalam
melakukan pengukuran panjang/tinggi badan pada kelompok balita.
Membutuhkan dua macam alat ukur, pengukuran relatif lebih lama (Supariasa
2001).

Konsumsi Pangan
Menurut Riyadi (2006), konsumsi pangan seseorang atau sekelompok
orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada empat faktor utama yang
mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu produksi pangan untuk
keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk pangan rumah tangga,
pengetahuan gizi dan ketersediaan pangan.
Sumarwan (2002) menyatakan bahwa memahami usia konsumen adalah
penting karena konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan
jasa yang berbeda pula. Perbedaan usia juga akan mengakibatkan perbedaan
selera dan kesukaan terhadap merk. Seorang yang berumur relatif muda akan
relatif lebih cepat dalam menerima sesuatu yang baru.
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan
seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih bahan pangan yang
lebih baik dalam kuantitas maupun kualitas dibanding dengan orang yang
berpendidikan rendah (Hardinsyah 1985 diacu dalam Permana 2006).
Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang
paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Terdapat hubungan yang
erat antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang
menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan
masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Apabila
penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk pada umumnya juga
meningkat mutunya (Suhardjo 1989).
Menurut Suhardjo (1989), keluarga yang berpenghasilan rendah
menggunakan sebagian besar dari keuangannya untuk pangan dan keluarga
yang berpenghasilan tinggi akan menurunkan pengeluaran untuk pangan.
Keluarga yang berpenghasilan rendah akan rendah pula jumlah uang yang
dibelanjakan untuk pangan. Jika penghasilan menjadi semakin baik, jumlah uang
yang dipakai untuk membeli makanan dan bahan makanan juga akan meningkat
sampai tingkat tertentu dimana uang tidak dapat bertambah secara berarti.
Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan
pengeluaran untuk konsumsi pangan. Keluarga dengan banyak anak dan jarak
kelahiran antar anak yang amat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah.
Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk
memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi
sebagian dari anggota keluarga itu (Martianto dan Ariani 2004 diacu dalam
Rosyida 2010).

Energi
Manusia membutuhkan energi untuk menjalani hidup, menunjang
pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi tersebut diperolah dari
karbohidrat, protein dan lemak yang ada dalam bahan makanan (Almatsier
2002). Manusia yang kurang makan akan lemah, baik daya kegiatan, pekerjaan-
pekerjaan fisik maupun daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan
yang diterima tubuhnya yang dapat menghasilkan energi (Marsetyo 2005).
Secara berturut-turut energi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan
tersebut adalah sebagai berikut : untuk memenuhi kebutuhan energi basal, untuk
aktifitas tubuh, untuk keperluan khusus (Moehji 2002).
Kebutuhan energi seseorang menurut FAO/WHO (1985) adalah konsumsi
energi berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi
seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat
aktifitas yang sesuai dengan kesehatan jangka panjang, dan yang
memungkinkan pemeliharaan fisik yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi
(Almatsier 2002).
Kebutuhan energi setiap anak berbeda-beda, walaupun pada umur yang
sama, terutama oleh adanya perbedaan aktifitas fisik (Pudjiadi 2000). Pada anak
masa sekolah, aktifitas anak lebih banyak, baik di sekolah maupun di luar
sekolah, sehingga anak perlu energi lebih banyak. Pertumbuhan anak lambat
tetapi pasti, sesuai dengan banyaknya makanan yang dikonsumsi anak
(Soetjiningsih 2002).
Energi yang digunakan untuk melakukan aktifitas dalam kehidupan
sehari-hari didapatkan oleh tubuh dari energi yang dilepaskan di dalam tubuh
pada proses pembakaran zat makanan (Irianto 2004). Setelah melakukan
aktifitas fisik yang berat, seseorang akan mengalami proses oksidasi dalam sel
yang lebih aktif dibandingkan apabila tidak melakukan gerak fisik yang berat.
Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya energi basal metabolisme (Suhardjo
1992).
Zat-zat Gizi yang Berperan Dalam Imunitas
Protein
Protein merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia setelah air
(Winarno 2002), seperlima bagian tubuh adalah protein, setengahnya ada di
dalam otot, seperlimanya di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di
dalam kulit, dan selebihnya di dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Protein
mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain yaitu
membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2004).
Khusus untuk anak-anak, asupan protein di perlukan lebih tinggi daripada orang
dewasa, karena mereka masih dalam masa pertumbuhan (Irianto 2004).
Fungsi protein diantaranya untuk membantu pertumbuhan, pemeliharaan
dan membangun enzim, hormon dan imunitas, oleh sebab itu protein sering kali
disebut sebagai zat pembangun. Protein dibagi dua, yakni berasal dari hewani
dan nabati. Sumber pangan yang mengandung protein antara lain ikan, telur,
daging, susu dan kacang-kacangan (Almatsier 2004).
Hasil kajian pemantauan konsumsi makanan yang dilaksanakan tahun
1995 sampai 1998 di wilayah pedesaan prevalensi rumah tangga defisit protein
pada tingkat rumah tangga sudah tinggi pada tahun 1995. Mulai dengan
prevalensi sebesar 35% rumah tangga defisit protein, kemudian berkurang
menjadi 24% pada tahun 1996, akan tetapi terjadi kecenderungan meningkat dari
tahun 1996 ke tahun 1998 (Latief dkk dalam WKNPG VII 2000).

Vitamin A
Diantara beberapa jenis zat gizi, vitamin A merupakan zat gizi yang telah
banyak terbukti memiliki keterkaitan dengan status imunitas. Vitamin A
merupakan senyawa poliisoprenoid yang mengandung cincin sikloheksenil.
Vitamin A atau retinol merupakan istilah generik bagi semua senyawa dari
sumber hewani yang memperlihatkan aktivitas biologik vitamin A. Senyawa
tersebut disimpan dalam bentuk ester retinol di dalam hati. Di dalam sayur,
vitamin A berwujud sebagai provitamin dalam bentuk pigmen β-karoten berwarna
kuning (Murray 2003). β-karoten merupakan antioksidan dan mempunyai peran
dalam menangkap radikal bebas peroksi di dalam jaringan pada tekanan parsial
oksigen yang rendah (Murray 2003).
Radikal bebas yaitu atom atau molekul yang memiliki satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan. Adanya kecenderungan memperoleh elektron
dari substansi lain menjadikan radikal bebas bersifat sangat reaktif. Namun, tidak
semua jenis oksigen reaktif merupakan radikal bebas, diantaranya oksigen
singlet (tunggal) dan H2O2 (Murray 2003). Karotenoid memperlihatkan
kemampuannya dalam menghambat reaksi radikal bebas. β-caroten sangat
efisien menurunkan radikal trichloromethylperoxyl (Sies dan Stahl 1995). Secara
biologis karotenoid kurang aktif daripada retinol. Selain itu, sumber dietari
karotenoid juga kurang diproses dan diserap secara efisisen di usus. Maka,
untuk mencapai efek yang serupa dengan retinol, β-karoten vitamin A harus
dicerna sebanyak enam kali lebih banyak (melalui massa makanan) (Sommer
2004).
Sifat kimia vitamin A, yaitu kristal alkohol berwarna kuning dan larut
dalam lemak atau pelarut lemak, stabil terhadap panas, asam, dan alkali. Namun
demikian, vitamin A mudah sekali teroksidasi oleh udara dan akan rusak jika
dipanaskan pada suhu tinggi bersama sinar, udara, dan lemak yang sudah tengik
(Winarno 2002).
Vitamin A penting untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh,
kesehatan mata, melawan bakteri dan infeksi, mempertahankan kesehatan
jaringan epitel, membantu pembentukkan tulang dan gigi (Hartono 2000).
Antioksidan juga merupakan bahan yang menghambat atau mencegah
keruntuhan, kerusakan atau kehancuran akibat oksidasi (Youngson 2005).
Aktivitas enzim antioksidan meningkat pada alveolar macrophages perokok
muda tanpa gejala, tapi sel yang serupa dari perokok umur tua memperlihatkan
penurunan aktivitas dan terjadi ketidakseimbangan oksidan-antioksidan (Sridhar
1995).
Selain itu, antioksidan juga merupakan suatu senyawa yang dapat
menghambat atau mencegah kerusakan karena oksidasi pada suatu molekul
target. Perusakan oksidatif adalah serangan dari molekul radikal bebas
(superoksida, hidroksil radikal) atau molekul non radikal (singlet oksigen dan
ozon) kepada molekul biologis (Sitompul 2003). Radikal bebas dapat terbentuk
melalui pernafasan. Saat kita bernafas, akan masuk oksigen (O2) yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh untuk proses pembakaran gula menjadi CO2, H2O, dan
energi. Namun demikian, dengan bernafas atau oksigen yang berlebihan saat
olahraga terjadi reaksi yang kompleks dalam tubuh dan menghasilkan produk-
produk sampingan berupa radikal bebas, yaitu radikal oksigen singlet, radikal
peroksida lipid, radikal hidroksil, dan radikal superoksida. Semua radikal bebas
oksigen ini sangat cepat merusak jaringan-jaringan sel. Sehingga oksigen dapat
menjadi pemasok radikal bebas. Saat kita menghirup udara terpolusi oleh asap
rokok dan asap pembakaran bensin mobil dapat memicu terbentuknya radikal
bebas seperti radikal oksigen singlet, yang dapat merusak jaringan paru
(Kumalaningsih 2006).
Peroksidasi lipid merupakan mekanisme umum kerusakan jaringan oleh
radikal bebas yang diketahui bertanggungjawab pada kerusakan sel dan
menyebabkan banyak kejadian patologis. Selama inflamasi paru, peningkatan
jumlah ROS (Reactive Oxygen Species) dan RNI (Reactive Nitrogen
Intermediates) diproduksi sebagai konsekuensi letusan phagocytic pernafasan.
Produksi Reactive Oxygen Species (ROS) oleh phagocytes aktif dapat
disebabkan oleh mikrobakteria. Meskipun hal tersebut merupakan bagian penting
dalam pertahanan melawan mikrobakteria, hasil perluasan ROS dapat
mengakibatkan luka pada jaringan dan inflamasi. Hal ini dapat berkontribusi lebih
jauh pada immunosuppression, terutama dengan kapasitas antioksidan yang
tidak berpasangan, diantaranya pasien yang terinfeksi HIV. Selain itu, malnutrisi
yang terjadi pada pasien TB dapat menambah kapasitas antioksidan yang tidak
berpasangan dalam pasien tersebut (Reddy et al 2004).
Reactivate oxygen species terjadi pada jaringan dan dapat merusak DNA,
protein, karbohidrat, dan lemak. Reaksi penghapusan yang potensial diawasi
oleh sistem antioksidan enzimatik dan non enzimatik yang menghilangkan
prooksidan dan mencari radikal bebas. Kemampuan karotenoid larut lemak
adalah untuk memadamkan molekul oksigen singlet dapat menjelaskan
beberapa sifat karotenoid, tidak tergantung pada aktivitas provitamin A (Mascio
et al 1991).

Kaitan antara Vitamin A dan Kejadian Infeksi


Menurut Supariasa (2002) Penyakit infeksi berkaitan dengan keadaan gizi
kurang sehingga merupakan hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat
memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk akan mempermudah
terjadinya infeksi. Berikut adalah bagan kaitan antara vitamin A dan kejadian
infeksi.
infeksi

Panas, Gangguan Perubahan Integrasi Epitel


nafsu makan, Jaringan Limfoid
Gangguan absorpsi Imunitas Spesifik Mekanisme
Gangguan utilisasi dll Non Spesifik
dll

Kekuarangan Vitamin A

Gambar 1 Bagan interelasi antara kurang vitamin A (KVA) dengan infeksi

Tingkat keparahan penyakit selalu berkorelasi dengan tingkat defisiensi


vitamin A. Kematian selalu berhubungan dengan infeksi diantaranya pneumonia
dan diare berat. Pemberian vitamin A dosis besar dapat menurunkan risiko
kematian akibat infeksi (Rolfes et al 2006). Untuk mengurangi pengaruh infeksi
dan memperbaiki status gizi, pasien dianjurkan untuk menjalani diet yang
dianjurkan oleh ahli gizi.

Vitamin E
Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam
lemak dan mudah memberikan hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur
cincin ke radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat
merusak, yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Bila menerima
hidrogen, radikal bebas menjadi tidak reaktif. Pembentukan radikal bebas terjadi
didalam tubuh dalam proses metabolisme aerobik normal pada waktu oksigen
secara bertahap direduksi menjadi air. Radikal bebas yang dapat merusak itu
juga diperoleh tubuh dari benda-benda polusi, ozon dan asap rokok (Almatsier
2004).
Walaupun vitamin E adalah antioksidan larut lemak utama di dalam
membran sel, konsentrasinya sangat kecil yaitu satu molekul per 2000-3000
molekul fosfolipida. Diduga terjadi regenerasi dengan bantuan vitamin C atau
reduktase lain yang mereduksi radikal vitamin E ke bentuk aslinya. Sumber
utama vitamin E adalah minyak tumbuh-tumbuhan, terutama minyak kecambah
gandum dan biji-bijian. Minyak kelapa dan zaitun hanya sedikit mengandung
vitamin E. Sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber vitamin E yang
baik. Daging, unggas, ikan, dan kacang-kacangan mengandung vitamin E dalam
jumlah terbatas (Almatsier 2004).
Vitamin C
Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air, tidak tahan terhadap
panas dan dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak. Vitamin C membantu
spesifik enzim dalam melakukan fungsinya. Vitamin C juga berperan sebagai
antioksidan. Vitamin C juga penting untuk membentuk kolagen, serat, struktur
protein serta meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi dan membantu
tubuh menyerap zat besi (Almatsier 2004)
Vitamin C diperlukan pada pembentukan zat kolagen oleh fibroblast
hingga merupakan bagian dalam pembentukan zat intersel. Keadaan
kekurangan vitamin C akan mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C
diperlukan proses pematangan eritrosit dan pada pembentukan tulang dan
dentin, vitamin C mempunyai peranan penting pada respirasi jaringan (Pudjiadi
2001).
Vitamin C banyak sekali manfaatnya salah satunya adalah mencegah
infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau
pengaruh terhadap fungsi kekebalan. Menurut Pauling, mengemukakan bahwa
mengkonsumsi vitamin C dalam dosis tinggi dapat menyembuhkan infeksi
(Almatsier 2004).
Jeruk, brokoli, sayuran berwarna hijau, kol (kubis), melon dan stawberi
mempunyai kandungan vitamin C yang tinggi. Selain dari sayuran dan buah-
buahan vitamin C juga terdapat dalam makanan hewani seperti hati, ginjal tapi
yang paling banyak mengandung vitamin C terdapat dalam buah-buahan dan
sayuran (Marsetyo 2005).
Sama seperti vitamin A, vitamin C juga jika berlebihan ataupun
kekurangan akan menimbulkan masalah, diantaranya jika kekurangan vitamin C
akan mengakibatkan skorbut, anemia, perdarahan gusi serta depresi dan
gangguan saraf. Kelebihan juga akan mengakibatkan hal yang tidak baik seperti
hiperoksaluria dan resiko lebih tinggi terhadap batu ginjal (Almatsier 2004).
Kebutuhan vitamin C pada manusia itu berbeda sesuai dengan golongan
umurnya, peningkatan konsumsi vitamin C dibutuhkan dalam keadaan stress
psikologik atau fisik, seperti luka, panas tinggi atau suhu lingkungan tinggi dan
pada perokok. Apabila dimakan dalam jumlah melebihi kecukupan atau dalam
jumlah sedang, sisa vitamin C akan dibuang dari tubuh tanpa perubahan.
Sedangkan pada tingkat lebih tinggi (500 mg) atau lebih akan dimetabolisme
menjadi asam oksalat. Dalam jumlah banyak asam oksalat dapat berubah
menjadi batu ginjal (Pudjiadi 2001).

Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi Vitamin C yang di Anjurkan Pada Berbagai


Kelompok Usia
BB TB Vit C
No Kelompok Umur Anak
Kg Cm Mg
1. 0 - 6 bulan 6.0 60 40
2. 7 - 11 bulan 8.5 71 40
3. 1 – 3 tahun 12.0 90 40
4. 4 – 6 tahun 17.0 110 45
Depkes RI 2005
Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu
sayur dan buah terutama yang asam (Almatsier 2004). Jeruk, brokoli, sayuran
berwarna hijau, kol (kubis), melon dan stawberi mempunyai kandungan vitamin C
yang tinggi. Selain dari sayuran dan buah-buahan vitamin C juga terdapat dalam
makanan hewani seperti hati, ginjal tapi yang paling banyak mengandung vitamin
C terdapat dalam buah-buahan dan sayuran (Marsetyo 2005).

Seng
Di Indonesia, data defisiensi seng masih terbatas. Sejauh ini belum
dijumpai penelitian seng dalam skala besar di Indonesia. Hal ini disebabkan
rentannya kontaminasi penanganan spesimen sejak persiapan, pelaksanakan
dan pemrosesan baik di lapangan maupun di laboratorium untuk penentuan
seng. Secara keseluruhan, sekitar 800.000 anak yang meninggal per tahun
berkaitan dengan defisiensi seng. Kematian dan peningkatan penyakit infeksi ini
mengakibatkan 1,9% dari keseluruhan DALYs (Disability Adjusted Life Years)
yang berkaitan dengan defisiensi seng. Menurut WHO, secara global jumlah
tersebut terjadi 10,8 juta kematian anak per tahun berkaitan dengan defisiensi
seng, vitamin A, dan besi, atau sekitar 19% keseluruhan kematian anak.
Pengaruh suplementasi seng terhadap penyakit infeksi saluran nafas akut
(ISPA) masih belum jelas, akan tetapi suplementasi seng dapat mengurangi
morbiditas ISPA melalui perbaikan sistem imun. Suplementasi seng
meningkatkan fungsi imun, termasuk hipersensitivitas tipe lambat, dan
meningkatkan jumlah limfosit CD4 (helper). Pada penelitian eksperimental,
defisiensi seng terbukti mengganggu fungsi imun seluler dan humoral. Gangguan
fungsi imun ini menyebabkan anak rentan terhadap penyakit infeksi termasuk
ISPA (Bhandari et al diacu dalam Sudiana 2005).
Defisiensi seng menyebabkan gangguan fungsi imun non spesifik seperti
kerusakan epitel saluran nafas, menggangu fungsi leukosit PMN, sel natural killer
dan aktivitas komplemen dan fungsi imun spesifik seperti penurunan jumlah
sitokin. Gangguan fungsi imun non spesifik dan spesifik tersebut akhirnya
memudahkan anak menderita ISPA (Shankar et al diacu dalam Sudiana 2005).

Besi
Mineral yang penting bagi pekerja adalah zat besi (Fe). Fungsi zat besi

adalah untuk membentuk hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen

yang sangat diperlukan pada proses metabolisme di dalam sel, pembentukan

energi. Kekurangan zat besi akan berakibat anemia (Mahan 2000).

Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam

tubuh manusia dan hewan. Yaitu sebanyak 3-5 gr di dalam tubuh manusia

dewasa, besi mempunyai beberapa fungsi essensial dalam tubuh, sebagai alat

angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Sebagai alat angkut elektron di

dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi di dalam jaringan tubuh.

(Almatsier 2004).

Sebelum di absorpsi di dalam lambung, besi di bebaskan dari ikatan

organik protein. Hal ini terjadi dalam suasana asam di dalam lambung dengan

adanya HCL dan Vitamin C yang terdapat di dalam makanan. Absorbsi terjadi di

bagian usus halus. Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi hem seperti

yang terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani dan besi non

hem dalam makanan nabati. Besi hem di absorpsi di dalam sel mukosa sebagai

kompleks feritin utuh. Taraf absorbsi besi di atur oleh mukosa saluran cerna yang

di tentukan oleh kebutuhan tubuh, transferin mukosa yang di keluarkan ke dalam

empedu berperan sebagai alat angkut protein yang bolak-balik membawa besi

kepermukaan sel usus halus untuk di ikat oleh transferin reseptor dan kembali ke

rongga untuk mengangkut besi lain (Winarno 2002).


Defisiensi besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terdapat, baik
di negara maju maupun di negara berkembang. Defisiensi besi terutama
menyerang golongan rentan seperti anak-anak, remaja, ibu hamil dan menyusui
serta pekerja berpenghasilan rendah. Kekurangan besi terjadi dalam tiga tahap.
Tahap pertama terjadi bila simpanan besi berkurang yang dilihat dari penurunan
feritin dalam plasma hingga 12 ug/L. Tahap kedua terlihat dengan habisnya
simpanan besi. Tahap ketiga terjadi anemia gizi besi terlihat dari kadar
hemoglobin total turun di bawah nilai normal. Anemia gizi besi merupakan salah
satu masalah gizi di Indonesia. Sebagian besar anemia gizi ini disebabkan
karena makanan yang kurang mengandung besi (Almatsier 2004).

Tabel 3 Bahan makanan sumber besi


Bahan makanan Berat (gr) Kandungan besi (mg)
Tempe 100 10.0
Kacang kedelai kering 100 8.0
Udang segar 100 8.0
Kacang hijau 100 6.7
Hati sapi 100 6.6
Daun kacang panjang 100 6.2
Kacang merah 100 5.0
Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan Depkes (1979). Almatsier (2001)

Angka Kecukupan Gizi


Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang
diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut
kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu, seperti kehamilan
dan menyusui (Riyadi 2006). Kecukupan gizi merupakan suatu taraf asupan
yang dianggap dapat memenuhi kecukupan gizi semua orang sehat menurut
berbagai kelompoknya sehingga kebutuhan pangan hanya diperlukan
secukupnya (Khumaidi 1994). Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif
dan kuantitatif. Ukuran kualitatif meliputi nilai sosial dan cita rasa beragam jenis
pangan, sedangkan nilai kuantitatif yang umum digunakan yakni kandungan gizi.
Almatsier (2004) menyatakan bahwa angka kecukupan gizi adalah taraf
konsumsi zat-zat gizi essensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai
cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Kegunaannya
untuk berbagai keperluan yang menyangkut populasi, seperti merencanakan dan
menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok penduduk.
KERANGKA PEMIKIRAN

Kualitas udara yang buruk akibat penambangan batu kapur dan asap
kendaraan bermotor dapat menyebabkan terjadinya polusi udara, sehingga akan
mengakibatkan gangguan pada pernapasan. Jika kualitas udara yang buruk
terjadi berangsur terus menerus dan terhisap oleh balita, maka akan
menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan atau yang dikenal sebagai ISPA.
Polusi udara selain dari faktor luar rumah juga bisa terjadi dalam rumah seperti
asap rokok, jumlah orang yang merokok dan asap rokok yang dihasilkan dapat
memperburuk kualitas udara yang dihisap. ISPA adalah radang akut saluran
pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh jasad renik bakteri, virus,
maupun riketsia dengan gejala batuk, pilek, demam, dan sesak napas.
Balita umur 12-59 bulan merupakan golongan yang paling rawan gizi dan
rentan terhadap penyakit, karena pada usia ini merupakan periode pasca
penyapihan. Jika pada periode ini konsumsi makan kurang dan tidak mencukupi
kebutuhan, maka akan menyebabkan daya tahan tubuh menjadi kurang, dan
dalam jangka waktu tertentu akan mengakibatkan penurunan status gizi menjadi
rendah atau bisa menjadi buruk dan balita yang mempunyai status gizi rendah
akan mudah terinfeksi oleh penyakit. Infeksi juga akan menyebabkan seseorang
mengalami penurunan nafsu makan dan menyebabkan konsumsi makan
berkurang sehingga status gizi yang sebelumnya baik menjadi rendah, atau
status gizi rendah menjadi buruk.
Kecukupan gizi merupakan taraf asupan yang dianggap memenuhi
kecukupan gizi semua orang sehat menurut berbagai kelompok. Faktor-faktor
yang menentukan kecukupan gizi seseorang yaitu umur, jenis kelamin, berat
badan dan tinggi badan. Tingkat kecukupan gizi seseorang berkaitan dengan
konsumsi pangan dimana hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi
keluarga seperti pendidikan, pekerjaan, besar keluarga dan pendapatan.
Pendidikan akan mempengaruhi seseorang dalam memilih bahan pangan yang
lebih baik dalam kualitas dan kuantitas. Pekerjaan yang berhubungan dengan
pendapatan akan mempengaruhi seseorang dalam penyediaan pangan dan
meningkatkan taraf kesehatan. Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan
perkapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan.
Karakteristik Contoh Keadaan Sosial Ekonomi
Penambangan
1. Umur Keluarga
Batu Kapur
2 Jenis kelamin 1. Pendidikan
3 BB dan TB 2. Pekerjaan
3. Besar Keluarga
4. Pendapatan

Konsumsi pangan
Contoh
Kebiasaan Merokok Polusi
dalam rumah Udara
AKG

Tingkat Kecukupan Nafsu makan

Status Gizi ISPA / tidak


(BB/U, TB/U, BB/TB ISPA

Status Imunitas

Gambar 2 Kerangka pemikiran hubungan konsumsi dengan kejadian penyakit


ISPA pada balita

: Variabel diteliti
: Variabel tidak diteliti
: Hubungan yang dianalisis
: Hubungan yang tidak dianalisis
METODOLOGI PENELITIAN

Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study, yaitu desain
penelitian untuk mempelajari dinamika antara faktor terpapar dan faktor tidak
terpapar, dengan model pendekatan atau observasi sekaligus pada satu saat.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Cipatat desa Citatah dimana terdapat daerah
penambangan batu kapur. Lokasi dipilih berdasarkan pertimbangan tingginya
polusi udara akibat kegiatan penambangan batu kapur tersebut. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Agustus dan September 2010.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh


Contoh dalam penelitian ini adalah anak balita usia 12-59 bulan yang
berada di daerah ruang lingkup wilayah kerja Puskesmas Cipatat. Metode yang
digunakan dalam pengambilan contoh dilakukan secara purposive dengan
kriteria mempunyai riwayat penyakit ISPA selama 2 minggu terakhir (sebagai
kelompok ISPA) dan tidak memiliki riwayat ISPA (sebagai kelompok tidak ISPA)
serta terdaftar di Puskesmas Cipatat. Kategori ISPA dan tidak ISPA ditetapkan
berdasarkan data yang ada di Puskesmas Cipatat berdasarkan hasil diagnosis
dokter di puskesmas setempat. Jumlah contoh masing-masing kelompok adalah
30 sehingga total 60 anak balita. Penetapan sampel kelompok ISPA dan tidak
ISPA dilakukan berdasarkan rekomendasi dan hasil diagnosis. Menurut
Singarimbun dan Efendi (2006) untuk menguji beda dan membandingkan antar
kelompok seperti T-test dan analisis varian pada setiap sel dalam rancangan
analisis jumlah sampel minimal adalah 30 sampel pada masing-masing kasus.

Balita 12-59 bulan


Di Kecamatan Cipatat

Terdaftar di Puskesmas

ISPA Tidak ISPA


n=30 n=30

Gambar 3 Kerangka cara penarikan contoh


Jenis dan Cara Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan alat bantu
kuesioner. Data primer meliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh
(pendidikan, pekerjaan, besar keluarga, dan pendapatan), data kebiasaan
merokok dalam rumah, serta data karakteristik contoh (umur, jenis kelamin), data
konsumsi makanan serta data antropometri (berat badan, dan tinggi badan)
contoh. Sedangkan data sekunder berasal dari puskesmas meliputi data profil
puskesmas dan data kejadian penyakit ISPA pada balita selama 2 minggu
terakhir.
Data karakteristik sosial ekonomi keluarga, data kebiasaan merokok
dalam rumah dan data karakteristik contoh diperoleh dengan menjawab daftar
pertanyaan pada kuesioner. Data tingkat konsumsi energi dan zat gizi dapat
diketahui dari konsumsi pangan yang diperoleh melalui recall 2x24 jam konsumsi
pangan pada hari yang tidak berurutan. Data yang dikumpulkan yaitu jumlah
pangan yang dikonsumsi yang dinyatakan dalam satuan ukur rumah tangga
(URT), hasilnya dikonversikan ke dalam satuan gram (g).
Jenis data status gizi yang dikumpulkan adalah jenis kelamin, umur, berat
badan dan tinggi badan contoh dengan menghitung nilai z-skor. Cara
pengumpulan datanya diperoleh dengan pengukuran berat badan dan tinggi
badan langsung di lokasi penelitian. Jenis dan cara pengumpulan data dapat
dilihat pada Tabel 4 dibawah ini :

Tabel 4 Jenis peubah dan cara pengumpulan data


No Variabel Data Jenis Cara Alat Ukur
Data Pengumpulan
1. Keadaan Umum Demografi, jumlah Sekunder Data Puskesmas Pengambilan
Lokasi penduduk data Puskesmas
2. Kejadian ISPA Contoh penderita Sekunder Data Puskesmas Pengambilan
ISPA dan tidak data Puskesmas
menderita ISPA
3. Karakteristik Pendidikan, Primer Wawancara Kuesioner
sosial ekonomi Pekerjaan, Besar
keluarga keluarga,
Pendapatan
4. Kebiasaan Kebiasaan merokok Primer Wawancara Kuesioner
merokok dalam rumah
5. Karakteristik Umur , Jenis Primer Wawancara Kuesioner
Contoh Kelamin
6. Asupan Energi Konsumsi makanan Primer Wawancara Kuesioner Food
dan zat gizi Recall 2x24 jam
7. Status Gizi Berat badan, Tinggi Primer Pengukuran Timbangan
badan Antropometri Camry dan
Microtoise
Pengolahan dan Analisis Data
Proses pengolahan data meliputi editing, coding, cleaning, entry dan
analisis. Program komputer yang digunakan untuk pembuatan data base dan
pengolahan data adalah Microsft Exel 2007 sedangkan analisis data dengan
menggunakan program SPSS versi 16 for windows.
Data karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh meliputi, tingkat
pendidikan ayah, jenis pekerjaan ayah, besar keluarga, dan pendapatan
keluarga, data kebiasaan merokok dalam rumah, dan data karakteristik contoh
diolah dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dianalisis secara deskriptif.

Tabel 5 Cara pengolahan data


Data Variabel Kategori
Karakteristik Pendidikan  Tidak sekolah,
 SD
sosial ekonomi
 SLTP
keluarga contoh  SLTA dan Perguruan Tinggi
Jenis pekerjaan  Tidak Bekerja
 Petani
 Buruh
 Pegawai Swasta
 Pegawai Negeri (PNS)
Besar keluarga  Kecil (≤ 4)
 Sedang (4-6)
 Besar (≥ 7)
BKKBN (1998)
Pendapatan  Miskin (<Rp. 139.000)
 Tidak miskin (≥Rp. 139.000)
BPS Pusat (2004)
Kebiasaan Kebiasaan merokok  Ya
 Tidak
merokok dalam rumah
Karakeristik Jenis kelamin  Laki-laki
 Perempuan
contoh
Umur  12-36 bulan
 37-59 bulan
(penetapan umur berdasarkan AKG, 2004)

Status gizi contoh diolah dengan cara mentabulasi hasil pengukuran


parameter berat badan, tinggi badan, dan umur. Parameter tersebut digunakan
untuk mencari nilai median dan simpang baku yang ada pada buku rujukan
WHO-NCHS. Nilai tersebut akan digunakan untuk menghitung z-skor dengan
menggunakan rumus:
z-skor = nilai individu subyek – nilai median baku rujukan
nilai simpang baku rujukan
Hasil perhitungan z-skor akan digunakan untuk menentukan status gizi
sampel berdasarkan kategori seperti pada tabel berikut :
Tabel 6 Kategori Status Gizi Balita
Indeks Kategori
BB/U Gizi lebih : > 2.0 SD
Gizi baik : - 2.0 SD s/d + 2.0 SD
Gizi kurang : < - 2 SD
Gizi buruk : < - 3 SD
TB/U Normal : ≥ - 2 SD
Pendek/stunted : < - 2 SD
BB/TB Gemuk : > 2.0 SD
Normal : - 2 SD s/d + 2 SD
Kurus/wasted : < - 2.0 SD
Sangat kurus : < - 3 SD
Dimodifikasi dari SK Menkes 920/Menkes/SK/VIII/2002
Data konsumsi pangan diolah dengan cara mentabulasi hasil recall 24
jam yang dilakukan selama 2 hari, selanjutnya diolah dengan menggunakan
program Nutrisurvey 2007 untuk mendapatkan data asupan energi dan zat gizi
(protein, vitamin A, E, C, seng dan Fe ). Data tersebut kemudian di bandingkan
dengan angka kecukupan gizi (AKG) untuk mendapatkan data tingkat kecukupan
Energi dan Zat Gizi. Kemudian dikategorikan menjadi lima yaitu :
Defisit berat : < 70%
Defisit sedang : 70 – 79 %
Defisit ringan : 80% - 89 %
Normal : 90% - 119 %
Lebih : > 120%
(Depkes, Nasoetion 2008).

Analisis data
Untuk mengetahui perbedaan tingkat kecukupan energi, zat gizi dan
status gizi antara penderita ISPA dan tidak ISPA dilakukan uji beda
Indeppendent sample T-test mengggunakan program SPSS versi 16 for window.

Definisi Operasional
Contoh adalah anak balita yang berusia 12-59 bulan yang menderita
ISPA dan tidak menderita ISPA, merupakan pasien dari puskesmas Cipatat.
ISPA adalah infeksi saluran pernafasan atas maupun bawah yang
ditunjukan dengan adanya demam, batuk dan pilek yang telah di tetapkan oleh
dokter.
Tidak ISPA adalah seseorang yang tidak terdiagnosa oleh dokter terkena
ISPA dan tidak mengalami demam, batuk dan pilek.
Status gizi adalah suatu keadaan yang menggambarkan kondisi
seseorang mengalami kondisi normal, kurang atau lebih berdasarkan
antropometri.
Asupan gizi adalah jumlah zat gizi yang terkandung dalam makanan
yang dikonsumsi oleh seseorang dalam periode waktu tertentu yang biasanya
dinyatakan dalam satuan zat gizi per kapita/hari.
Tingkat kecukupan adalah suatu tingkatan dari sejumlah makanan yang
dikonsumsi oleh individu atau kelompok dalam periode waktu tertentu
dibandingkan dengan AKG.
Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi
setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran &
aktivitas tubuh, untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang telah atau sedang
ditempuh dan dikategorikan berdasarkan jenjang pendidikan SD, SMP, SMA dan
Perguruan Tinggi.
Pekerjaan adalah jenis suatu usaha yang sedang dilakukan dengan
tujuan mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan.
Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang hidup dibawah
pengelolaan sumberdaya yang sama.
Pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan
atau yang diusahan yang dinilai dengan uang dalam satu bulan.
Kebiasaan merokok dalam rumah adalah suatu aktivitas membakar
tembakau yang kemudian dihisap asapnya baik menggunakan rokok maupun
menggunakan pipa dan dilakukan dalam rumah.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Puskesmas Cipatat merupakan salah satu Puskesmas di wilayah UPTD
kesehatan Cipatat, termasuk Puskesmas DTP Rajamandala, dan Puskesmas
Sumur Bandung. Puskesmas Cipatat terletak di Desa Cipatat Kecamatan
Cipatat, tepatnya di Jl. Raya Padalarang-Cianjur, luas wilayah kerja Puskesmas
Cipatat sekitar 4.355,94 Ha.
Wilayah kerja Puskesmas Cipatat terdiri dari 4 desa, 78 RW, dan 253 RT.
Adapun ke 4 desa tersebut adalah : Desa Cipatat, Desa Citatah, Desa
Kertamukti, Desa Sarimukti. Diantara 4 desa tersebut, sebanyak 2 desa yaitu
desa Cipatat dan desa Citatah berada di pinggir jalan Padalarang-Cianjur, dan 2
desa lainnya cukup jauh dari jalan raya provinsi sehingga cukup sulit untuk
menjangkaunya sehingga sarana transportasi yang dipakai harus menggunakan
kendaraan roda dua bila ingin mencapai pelosok. Karena dua desa berada di
pinggir jalan maka kecenderungan kecelakaan lalu lintas sering terjadi
Berdasarkan hasil pendataan tahun 2009 jumlah penduduk di Kecamatan
Cipatat sebesar 37.939 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 18.833 jiwa dan
penduduk wanita 19.106 jiwa. Mata pencaharian penduduk sebagian besar
petani dan sebagiannya lagi sebagai buruh pabrik kapur dan batu marmer.
Data puskesmas setempat menunjukan bahwa para buruh pabrik memiliki
kecenderungan terkena penyakit saluran pernafasan dan TBC paru yang cukup
tinggi. Dari data tersebut juga didapatkan bahwa jumlah balita yang menderita
ISPA sekitar 349 dari 6.322 jiwa maka prevalensi balita ISPA di Puskesmas
Kecamatan Cipatat adalah 5,52% (laporan Puskesmas Cipatat 2009).

Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh


Tingkat Pendidikan
Sumber daya manusia (SDM) merupakan hal penting dalam
pembangunan suatu bangsa dan mutunya sangat dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan latihan, kesehatan dan gizi, lingkungan hidup mereka tinggal
serta kemampuan ekonomi suatu keluarga (Hapsari et al 2009). Seseorang yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi dapat mendapatkan pekerjaan yang layak
sehingga dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, selain itu tingkat
pendidikan orang tua juga mempengaruhi terhadap keadaan status gizi anak.
Menurut Sab’atmaja et al (2010) orang tua yang memiliki tingkat pendidikan
cukup tinggi mempunyai prevalensi gizi kurang yang rendah pada anaknya,
sedangkan orang tua yang memiliki pendidikan yang rendah umumnya balita
memiliki prevalensi gizi kurang yang lebih tinggi. Karena variabel pendidikan
merupakan indikator pengetahuan dan perilaku yang berhubungan dengan
kesadaran individu terhadap kesehatan. Berikut adalah sebaran tingkat
pendidikan orang tua contoh dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran orang tua (ayah) contoh berdasarkan tingkat pendidikan


ISPA Tidak ISPA
Kategori
n % n %
Tidak Tamat SD 1 3,3 0 0
Tamat SD 7 23,3 7 23,3
Tamat SLTP 11 36,7 7 23,3
Tamat SLTA 9 30 12 40
Perguruan Tinggi 2 6,7 4 13,3
Total 30 100 30 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan orang


tua contoh balita ISPA hanya sampai tingkat SLTP (36,7%), sedangkan pada
balita tidak ISPA sebanyak 40% sampai tingkat SLTA. Tingkat pendidikan
mempengaruhi terhadap perilaku seseorang baik dalam pemilihan bahan
makanan untuk memenuhi kebutuhan gizinya maupun pola asuh terhadap anak.
Penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di masyarakat. Hal ini
perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak
menyerang balita yang rentan terhadap infeksi. Jika tingkat pendidikan rendah
maka perilaku seseorang dalam upaya pencegahan maupun penanggulangan
penyakit ISPA sangat rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa peran keluarga
dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab
bila penanganan kurang atau buruk akan berpengaruh terhadap perjalanan
penyakit dari yang ringan menjadi lebih berat.

Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan orangtua dapat menggambarkan pendapatan keluarga
maupun kemampuan seseorang dalam menyerap informasi. Pendapatan yang
dihasilkan dari pekerjaan tersebut berpengaruh pada tingkat daya beli bahan
makanan sebuah keluarga. Asupan makanan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya
pendapatan. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka daya beli bahan
makanannya pun tinggi sehingga asupan makanan menjadi tinggi pula. Asupan
makanan yang kurang akan menimbulkan masalah gizi dimana masalah gizi
akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat (Suhardjo 2003).
Jenis pekerjaan masyarakat desa Citatah pada umumnya sebagai petani
dan buruh pabrik penambang batu kapur maupun pengrajin batu marmer.
Sebaran jenis pekerjaan orangtua ayah contoh dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran jenis pekerjaan ayah contoh


ISPA Tidak ISPA
Kategori
n % n %
Tidak bekerja 1 3,3 0 0
Petani 7 23,3 6 20
Buruh 18 60 10 33,3
Pegawai swasta 2 6,7 10 33,3
PNS 2 6,7 4 13,3
Total 30 100 30 100

Berdasarkan tabel diatas sebagian besar 60% jenis pekerjaan ayah


contoh balita ISPA bekerja sebagai buruh pabrik, sedangkan pada balita tidak
ISPA ayah contoh bekerja sebagai buruh dan pegawai swasta yaitu masing-
masing sebesar 33,3%. Keadaan gizi erat kaitannya dengan keadaan sosial
ekonomi keluarga terutama jenis pekerjaan yang mendukung terhadap tinggi
rendahnya pendapatan keluarga. Jika pendapatan kurang maka masalah yang
terjadi pada anak balita adalah keadaan gizi kurang dimana hal tersebut
disebabkan oleh kekurangan sumber energi dan protein. Pada anak-anak, gizi
kurang dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap infeksi dan
mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan (Almatsier 2003).

Besar Keluarga
Besar keluarga dalam suatu rumah tangga juga termasuk salah satu
faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Besar keluarga juga menyebabkan
bertambahnya biaya pengadaan pangan untuk dikonsumsi. Anak-anak yang
sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap
gizi kurang di antara semua anggota keluarga, tahun-tahun awal masa kanak-
kanak yaitu pada umur satu hingga enam tahun berada dalam kondisi yang
paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi ini sering terjadi sebab
seandainya besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak
berkurang (Suhardjo 1989).
Menurut Robert et al (1994) bahwa pertambahan jumlah anggota
keluarga akan memberikan dampak merugikan kepada status gizi anggota
rumah tangga termasuk anak berumur di bawah dua tahun. Bertambahnya
jumlah anggota keluarga akan menyebabkan masalah kelaparan dan kesempitan
ruang. Hal ini menyebabkan terbatasnya ruang gerak dan menghambat jalan
sirkulasi udara sehingga memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap
kesehatan. Berikut adalah sebaran besar keluarga contoh dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran besar keluarga pada contoh
ISPA Tidak ISPA
Kategori
n % n %
Keluarga kecil 15 50 22 73.3
Keluarga sedang 12 40 7 23.3
Keluarga besar 3 10 1 3.3
Total 30 100 30 100

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 30 balita yang


dikategorikan menderita ISPA sebesar 50% termasuk dalam keluarga kecil dan
40% temasuk kedalam keluarga sedang, sedangkan pada kategori tidak ISPA
mayoritas sebesar 73,3% termasuk kedalam keluarga kecil dan 23,3% termasuk
kedalam keluarga sedang. Pada penelitian ini menunjukan bahwa besar keluarga
tidak ada kaitaannya dengan kejadian ISPA di Puskesmas Cipatat, namun besar
keluarga merupakan faktor yang menyebabkan anak-anak terkena penyakit
ISPA. Karena banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam suatu rumah
akan menghambat jalan sirkulasi udara, jika besar keluarga tidak diiringi dengan
luas rumah yang sesuai maka ruangan akan menjadi sempit sehingga
menyebabkan tempat tinggal menjadi kumuh dan berisiko tinggi terhadap
tertularnya penyakit ISPA (Endah et al 2009). Penelitian yang dilakukan oleh
Victoria pada tahun 1993 menyatakan bahwa makin meningkat jumlah orang per
kamar akan meningkatkan kejadian ISPA. Semakin banyak penghuni rumah
berkumpul dalam suatu ruangan kemungkinan mendapatkan risiko untuk
terjadinya penularan penyakit akan lebih mudah, khususnya bayi yang relatif
rentan terhadap penularan penyakit (Depkes RI 2001). Dalam penelitian ini luas
rumah dan ketersediaan fentilasi udara tidak diteliti, karena keterbatasan
penelitian dan waktu yang diperlukan.
Tingkat Pendapatan
Dengan meningkatnya pendapatan perorangan, maka akan terjadi
perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang
yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi
pangan (Suhardjo 1989). Menurut Madanijah (2004) keadaan ekonomi keluarga
relatif lebih mudah diukur dan mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi
pangan, terutama pada golongan miskin. Pada golongan miskin mereka
menggunakan sebagian pendapatannya untuk kebutuhan makanan. Faktor
ekonomi yang paling berperan adalah keluarga dan harga (baik harga pangan,
maupun harga komoditas kebutuhan dasar). Berikut adalah Tabel 10
menampilkan sebaran tingkat pendapatan keluarga contoh.
Tabel 10 Sebaran pendapatan keluarga contoh
ISPA Tidak ISPA
Kategori
n % n %
Miskin (<Rp. 139.000) 19 63,3 11 36,7
Tidak miskin (≥Rp. 139.000) 11 36,7 19 63,3
Total 30 100 30 100

Tingkat pendapatan berdasarkan BPS pusat (2004) yaitu sebesar Rp.


139.000,- per kapita per bulan, didapatkan bahwa sebagian besar (63,3%) dari
rumah tangga balita ISPA tergolong miskin, sedangkan pada balita tidak ISPA
sebagian besar (63,3%) tidak miskin. Dalam hal ini ISPA lebih banyak diderita
oleh keluarga yang miskin, karena pada keluarga miskin rata-rata mempunyai
kondisi lingkungan yang kurang baik misalnya lantai dasar rumah masih
memakai semen, dinding rumah masih memakai bilik kayu, dan ketersediaan
fentilasi yang kurang ditambah dengan kurangnya daya beli terhadap makanan.
Jika daya beli kurang maka konsumsi makan akan menjadi kurang dan asupan
energi dan zat gizi akan kurang dan tidak memenuhi kecukupan gizi.

Kebiasaan Merokok dalam Rumah


Determinasi tempat tinggal menentukan daerah rural dan urban dengan
asumsi ada perbedaan antara daerah urban yang dihubungkan dengan
kepadatan penduduk, serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap daerah
tersebut, misalnya sanitasi lingkungan, polusi udara. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Puslit Penyakit Menular dalam Cermin Dunia kedoteran no.70.th
1991 no 15 tentang pengaruh lingkungan terhadap penyakit ISPA menyatakan
bahwa faktor yang berpengaruh antara lain jumlah orang yang merokok, jumlah
rokok yang dihisap, masuknya asap dapur kedalam ruangan keluarga, fentilasi
rumah yang tidak baik, jarak antara rumah dengan tempat sampah. Keadaan
lingkungan dapat mempengaruhi episode kejadian ISPA pada anak. Sebaran
kebiasaan merokok adalam rumah contoh dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.
Tabel 11 Sebaran kebiasaan merokok dalam rumah contoh

ISPA Tidak ISPA


Kategori
n % n %
Merokok 23 76,7 19 63,3
Tidak merokok 7 23,3 11 36,7
Total 30 100 30 100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada balita ISPA dan
tidak ISPA mayoritas kepala keluarga atau anggota keluarga memiliki kebiasaan
merokok dalam rumah dengan anggota keluarga, masing-masing sebanyak 23
orang (76,7%) dan 19 orang (63,3%). Hampir sebagian besar keluarga
mempunyai kebiasaan merokok bersama dengan anggota keluarga lain, baik
pada kelompok balita ISPA maupun pada kelompok balita tidak ISPA. Kaitannya
antara asap rokok dengan kejadian ISPA karena produksi CO terjadi selama
merokok. Asap rokok mengandung CO dengan konsentrasi lebih dari 20.000
ppm selama dihisap. Konsentrasi tersebut terencerkan menjadi 400-500 ppm.
Konsentrasi CO yang tinggi di dalam asap rokok yang terisap mengakibatkan
kadar COHb di dalam darah meningkat. Selain berbahaya terhadap orang yang
merokok, adanya asap rokok yang mengandung CO juga berbahaya bagi orang
yang berada di sekitarnya karena asapnya dapat terisap (Fardiaz 1992).
Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar
memberikan risiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok
dilakukan oleh ibu bayi (Depkes RI 2001).
Dalam penelitian ini tidak menguji apakah kebiasaan merokok dalam
rumah berhubungan dengan kejadian ISPA, namun perlu diwaspadai bahwa
udara yang sudah tercemar karena penambangan kapur ditambah dengan asap
dari rokok dalam rumah dapat menambah episode kejadian ISPA pada anak dan
mempengaruhi proses penyembuhan penyakit ISPA menjadi lama.
Karakteristik Contoh
Umur
Umur merupakan faktor gizi sehingga umur berkaitan erat dengan status
gizi (Apriadji 1986). Usia balita merupakan kelompok rentan terhadap kesehatan
dan gizi, karena masih berlangsungnya proses tumbuh kembang yang sangat
pesat, yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotor, mental dan sosial.
Stimulasi psikososial harus dimulai sejak dini dan tepat waktu untuk tercapainya
perkembangan psikososial yang optimal. Oleh karena itu, pada usia ini balita
sangat membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk menunjang pertumbuhan
dan perkembangannya. ISPA dapat menyerang semua manusia baik pria
maupun wanita pada semua tingkat usia, terutama pada usia kurang dari 5 tahun
karena daya tahan tubuh balita lebih rendah dari orang dewasa sehingga mudah
menderita ISPA.
Umur diduga terkait dengan sistem kekebalan tubuh, bayi dan balita
merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga
masih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Hal senada dikemukakan oleh
Suwendra (1988), bahkan semakin muda usia anak makin sering mendapat
serangan ISPA. Berikut sebaran umur contoh dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.

Tabel 12 Sebaran umur contoh


ISPA Tidak ISPA
Kategori
n % n %
12-36 bulan 25 83,3 24 80
37-59 bulan 5 16,7 6 20
Total 30 100 30 100

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas 83,3% responden yang
menderita ISPA berumur satu sampai tiga tahun, sedangkan 16,7% berumur
empat sampai lima tahun. Hampir sama pada kelompok tidak ISPA mayoritas
80% responden berumur satu sampai tiga tahun dan 20% responden berumur
empat sampai lima tahun. Menurut Endah et al (2009) umur 12-36 bulan
merupakan umur yang paling sering dijumpai menderita infeksi saluran
pernafasan akut dibandingkan kelompok umur 37-59 bulan. Hal ini dikarenakan
seiring bertambahnya umur asupan makan balita yang berumur 37-59 bulan jenis
makanannya lebih beragam dan bervariasi sehingga asupan vitamin dan mineral
dari makanan semakin baik.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor yang menentukan dalam status gizi,
antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan sangat berbeda dari segi aktifitas
fisik maupun metabolisme dalam tubuh. Pada balita kebutuhan akan zat gizi
belum dibedakan, namun pada saat usia 10 tahun kebutuhan akan zat gizi
dibedakan menurut jenis kelamin. Berikut sebaran jenis kelamin contoh dapat
dilihat pada Tabel 13 berikut ini :
Tabel 13 Sebaran jenis kelamin contoh
ISPA Tidak ISPA
Kategori
n % n %
Laki-Laki 19 63,3 13 43,3
Perempuan 11 36,7 17 56,7
Total 30 100 30 100

Berdasarkan jenis kelaminnya sebagian besar responden laki-laki


mempunyai persentase sebesar 63,3% menderita ISPA, sedangkan 43,3% tidak
menderita ISPA. Namun pada jenis kelamin perempuan sebesar 56,7% tidak
menderita ISPA, hal ini tidak sejalan dengan pernyataan dari Depkes RI (2002)
yang menyatakan bahwa balita perempuan lebih rentan menderita ISPA dari
pada laki-laki disebabkan karena daya tahan tubuh laki-laki lebih kuat di
bandingkan dengan perempuan. Hal ini diduga karena anak laki-laki lebih banyak
beraktifitas bermain diluar rumah, dan sering menghirup udara yang sudah
tercemar akibat penambangan batu kapur tersebut. Akan tetapi hal tersebut
merupakan asumsi saja, disini peneliti akan melakukan percobaan analisis sebab
akibat perbedaan sebaran jenis kelamin dengan membandingkan rata-rata
asupan energi dan zat gizi contoh balita ISPA dan tidak ISPA menurut jenis
kelamin.

Tabel 14 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh balita ISPA dan tidak ISPA
menurut jenis kelamin per hari
Rata-rata asupan ISPA Tidak ISPA
per hari
Laki-laki Perempuan Laki-laki perempuan
(n=19) (n=11) (n=13) (n=17)
Energi (kkal) 820,26 862,3 981,92 946,93
Protein (gram) 24,06 24,73 30,11 33,96
Vitamin A (RE) 517,47 163,53 214,06 871,6
Vitamin E (mg) 1,78 1,51 1,85 2,5
Vitamin C (mg) 21,38 26,12 26,5 35,7
Seng (mg) 2,99 2,91 3,42 3,64
Besi (mg) 7,35 3,5 5,3 4,89
Dari tabel 14 terlihat bahwa laki-laki yang menderita ISPA mempunyai
asupan energi lebih rendah (820,26 kkal) dibandingkan dengan perempuan
(862,3 kkal), sedangkan pada balita yang tidak ISPA jenis kelamin laki-laki
mempunyai asupan energi lebih tinggi (981,92 kkal) dibandingkan dengan
perempuan (946,93 kkal). Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini laki-laki
yang menderita ISPA mempunyai asupan energi lebih rendah dibandingkan
dengan perempuan yang menderita ISPA

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi

Konsumsi dan tingkat kecukupan energi


Kekurangan energi terjadi bila asupan energi melalui konsumsi makanan
kurang dari energi sesuai dengan kebutuhan. Tubuh akan mengalami
keseimbangan energi negatif, akibatnya adalah berat badan kurang dari berat
badan yang seharusnya (ideal). Kekurangan energi pada bayi dan anak-anak
akan menghambat pertumbuhan dan pada orang dewasa akan terjadi penurunan
berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan adalah
kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan penurunan
daya tahan terhadap penyakit infeksi. Kelebihan energi terjadi bila konsumsi
energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi akan
dirubah menjadi lemak tubuh, akibatnya adalah berat badan lebih atau
kegemukan. Kegemukan bisa disebabkan oleh kebanyakan makan, dalam hal
karbohidrat, lemak maupun protein, tetapi juga karena kurang bergerak.
Kegemukan merupakan faktor resiko penyakit kronis seperti diabetes mellitus,
hipertensi, PJK, kanker dan memperpendek usia harapan hidup (Almatsier
2004). Berikut adalah rata-rata konsumsi pangan sumber energi dapat dilihat
pada Tabel 15 :

Tabel 15 Rata-rata konsumsi pangan sumber energi per hari


ISPA Tidak-ISPA
Jenis pangan Konsumsi Kontribusi terhadap Konsumsi Kontribusi terhadap
(gr/hari) AKG Energi (%) (gr/hari) AKG Energi (%)
Nasi 174 37 221,67 41,0
Biskuat 11,73 6,5 11,73 5,7
Roti 11,33 4,4 4,5 1,5
Tahu 28,17 4,3 34,3 4,6
Tempe 10,33 4,0 25,5 8,7
Susu 21 2,7 127,67 8,6
Mie 9,23 3,71 23,5 8,2
Bubur 55,7 3,9 26,6 1,7
Pada tabel 15 hanya menampilkan bahan makanan sumber energi yang
mempunyai nilai kontribusi paling besar saja. Jenis pangan sumber energi yang
di konsumsi balita ISPA adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 174 gr/hari,
biskuat 11,73 gr/hari dan roti 11,33 gr/hari, dibandingkan dengan kelompok tidak
ISPA jenis pangan sumber energi yang dikonsumsi adalah nasi rata-rata
konsumsi sebesar 221,67 gr/hari, tempe 25,5 gr/hari, dan susu 127,67 gr/hari.
Sumber energi yang mempunyai konsentrasi tinggi adalah bahan makanan
sumber lemak seperti kacang-kacangan dan biji-bijian, setelah itu bahan
makanan sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbi-umbian dan gula murni.
Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi menjamin tercukupinya kebutuhan
energi dan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, berikut adalah sebaran contoh
berdasarkan tingkat kecukupan energi dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi


ISPA Tidak ISPA
Tingkat kecukupan energi
n % n %
Defisiensi berat 17 56,70 12 40,00
Defisiensi sedang 4 13,30 6 20,00
Defisiensi ringan 3 10,00 3 10,00
Normal 5 16,70 8 26,70
Lebih 1 3,30 3 3,30
Total 30 100,0 30 100,00
Rata-rata asupan 837±264,234 962±198,308
Rata-rata tingkat kecukupan (%) 68,32 78,53

Berdasarkan tingkat kecukupan energi diketahui bahwa sebagian besar


56,7% balita ISPA dan balita tidak ISPA (40%) mengalami defisiensi berat. Pada
penelitian ini asupan energi yang paling rendah yaitu 409 kkal dan tertinggi yaitu
1521 kkal dengan rata-rata asupan energi pada balita ISPA yaitu 837 kkal dan
standar deviasi sebesar 264,234. Sedangkan balita yang tidak ISPA mempunyai
rata-rata asupan energi sebesar 962 kkal dan standar deviasinya 198.
Berdasarkan uji statistik nilai p = 0,043 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan antara asupan energi pada balita ISPA dan tidak
ISPA.
Asupan energi berasal dari sejumlah bahan makanan yang dikonsumsi
oleh seseorang. Balita yang terinfeksi ISPA akan mengalami kehilangan nafsu
makan dikarenakan karena batuk-batuk, pilek, dan kelelahan sehingga
mempengaruhi kemampuan mengkonsumsi makanan karena kegiatan makan
menambah sesak nafas. Oleh karena itu mengapa balita yang menderita ISPA
mengalami defisiensi tingkat berat kecukupan energi.

Konsumsi dan tingkat kecukupan protein


Fungsi utama protein bagi tubuh yaitu untuk membentuk jaringan baru
dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein dapat juga berfungsi
sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi dari
karbohidrat dan lemak. Protein dapat mengatur keseimbangan cairan dalam
jaringan dan pembuluh darah, yaitu dengan menimbulkan tekanan osmotik koloid
yang dapat menarik cairan dari jaringan ke dalam pembuluh darah (Winarno
2002).
Fungsi lain dari protein yaitu untuk tumbuh kembang anak dan
pembentukkan hormon, enzim, dan antibodi (Hartono 2000). Kemampuan tubuh
untuk memerangi infeksi bergantung pada kemampuannya untuk memproduksi
antibodi terhadap organisme yang menyebabkan infeksi tertentu atau terhadap
bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh. Tingkat kematian pada anak-
anak yang menderita gizi kurang kebanyakan disebabkan oleh menurunnya daya
tahan terhadap infeksi karena ketidakmampuannya membentuk antibodi dalam
jumlah yang cukup (Almatsier 2004).

Tabel 17 Rata-rata konsumsi pangan sumber protein per hari


ISPA Tidak-ISPA
Jenis pangan Konsumsi Kontribusi terhadap Konsumsi Kontribusi terhadap
(gr/hari) AKG Protein (%) (gr/hari) AKG Protein (%)
Nasi 174 15,04 221,67 14,41
Telur 18,73 8,69 36,84 13,14
Tempe 10,33 7,82 25,5 14,53
Tahu 28,17 6,49 34,3 5,95
Susu 21 2,29 127,67 27,67
Mie 9,23 3,0 23,5 5,75
Ikan Segar 2,3 1,31 14,67 6,18

Pada tabel 17 menyajikan bahan makanan yang mempunyai nilai


kontribusi protein paling besar. Jenis pangan sumber protein yang di konsumsi
balita ISPA adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 174 gr/hari, telur 18,33
gr/hari dan tempe 10,33 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis
pangan sumber protein yang dikonsumsi adalah susu rata-rata konsumsi sebesar
127,67 gr/hari, tempe 25,5 gr/hari, dan nasi 217,67 gr/hari. Bahan makanan
hewani merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah maupun mutu seperti
telur, susu, daging, unggas, dan ikan. Sedangkan sumber protein nabati adalah
kedelai dan hasilnya seperti tempe dan tahu. Berikut sebaran tingkat kecukupan
protein pada contoh dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein


ISPA Tidak ISPA
Tingkat kecukupan protein
n % n %
Defisiensi berat 12 40 3 10
Defisiensi sedang 2 6,7 3 10
Defisiensi ringan 2 6,7 3 10
Normal 8 26,7 8 26,7
Lebih 6 20 13 43,3
Total 30 100,00 30 100,00
Rata-rata asupan 24,3±9,86 32,3±10,9
Rata-rata tingkat kecukupan (%) 75,93 100,9

Tingkat kecukupan protein pada balita ISPA umumnya (40%) mengalami


defisiensi berat, sedangkan pada balita tidak ISPA umumnya (43,3%) mengalami
tingkat kecukupan lebih. Rata-rata asupan protein pada balita ISPA sebesar
24,33 gr dan standar deviasinya adalah 910,94. Pada balita tidak ISPA rata-rata
asupan protein sebesar 32,3 gr dan standar deviasinya 10,93. Berdasarkan uji
terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan protein pada balita ISPA dan
tidak ISPA (p<0,05). Sumber protein yang dikonsumsi antara balita ISPA dan
tidak ISPA hampir sama antara lain nasi, telur, tempe, tahu, susu dan ikan akan
tetapi jumlah yang dikonsumsi berbeda. Hal ini disebabkan karena nafsu makan
yang menurun diakibatkan karena kondisi tubuh yang sakit karena infeksi
merupakan faktor utama konsumsi protein menjadi berkurang. Selain itu keadaan
sosial ekonomi juga sangat mempengaruhi terhadap kecukupan protein dan
kejadian ISPA.

Konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin A


Menurut Winarno (2002) fungsi vitamin A yaitu sebagai salah satu zat gizi
yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Anak yang cukup
mendapatkan asupan vitamin A, apabila mengalami diare, campak / penyakit
infeksi lain, maka penyakit tersebut tidak menjadi parah, sehingga tidak
membahayakan jiwa anak. Asupan vitamin A sering dijumpai tidak cukup karena
faktor musim dan tidak didapatkannya makanan yang kaya vitamin A pada anak.
Vitamin A mudah rusak karena pengaruh pemasakan atau penyimpanan.
Absorpsi vitamin A kurang apabila kandungan provitamin A dan vitamin A dalam
tubuh juga kurang sehingga akan menyebabkan terjadinya penurunan daya
tahan tubuh yang berakibat pada kejadian infeksi. (Husaini dan Muhilal 1996).
Banyak studi yang mengakaitkan antara KVA dan ISPA dengan berbagai
hasilnya, namun pada umumnya menunjukkan bahwa KVA memiliki risiko relatif
tinggi terhadap terjadinya ISPA. Studi Sommer dkk, di Indonesia dan studi Milton
dkk, di India menunjukkan asosiasi yang kuat antara Xeroftalmia moderat dengan
menunjukkan peningkatan kejadian ISPA, sementara penelitian Mamdani. Di
Australia menunjukkan rendahnya kejadian ISPA pada anak-anak yang diberi
suplemen vitamin A dibandingkan dengan anak-anak yang tidak diberi suplemen
vitamin A. Keadaan tersebut dapat dijelaskan melalui percobaan pada binatang,
dimana didapatkan adanya kreatinisasi dan kerusakan sel-sel penghasil cairan
pada saluran nafas, baik bagian atas maupun bawah (Santoto 1992). Berikut
rata-rata konsumsi bahan makanan yang mengandung sumber vitamin A.

Tabel 19 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin A per hari


ISPA Tidak-ISPA
Jenis pangan Konsumsi Kontribusi terhadap Konsumsi Kontribusi terhadap
(gr/hari) AKG vitamin A (%) (gr/hari) AKG vitamin A (%)
Telur 18,33 13,6 36,83 17,48
Bayam 5,33 7 3 2,53
Wortel 1,67 6,7 10 25,6
Ubi Jalar 1,33 2,9 3,33 4,1
Kangkung 3,67 2,9 1,3 0,68
Semangka 12,67 1,4 23,33 1,67

Vitamin A terdapat didalam pangan hewani sedangkan karoten terutama


didalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, dan kuning telur,
sedangkan sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau serta buah-buahan
seperti kangkung, bayam, wortel, pepaya, mangga dan jeruk. Tabel 19
menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai kontribusi
vitamin A paling besar. Jenis pangan sumber vitamin A yang di konsumsi balita
ISPA adalah telur rata-rata konsumsi sebesar 18,33 gr/hari, bayam 5,33 gr/hari
dan wortel 1,67 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan
sumber vitamin A yang dikonsumsi adalah wortel rata-rata konsumsi sebesar 10
gr/hari, telur 36,83 gr/hari, dan ubi 3,33 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan
vitamin A dapat dilihat pad Tabel 20 berikut ini :
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A
ISPA Tidak ISPA
Tingkat kecukupan vitamin A
n % n %
Defisiensi berat 24 80 21 70
Defisiensi sedang 1 3,3 2 6,7
Defisiensi ringan 3 10 3 10
Normal 1 3,3 0 0
Lebih 1 3,3 4 13,3
Total 30 100,00 30 100,00
Rata-rata asupan 375±1.141 586±1.835
Rata-rata tingkat kecukupan (%) 88,23 137,88

Sebaran tingkat kecukupan vitamin A yang terlihat pada tabel 20


menunjukan bahwa balita yang menderita ISPA mengalami defisensi berat
sebesar 80%, sedangkan balita yang tidak menderita ISPA sebesar 70%. Rata-
rata kecukupan vitamin A balita ISPA dan balita tidak ISPA adalah 375 RE dan
587 RE, sedangkan standar deviasinya adalah 1.141 dan 1.835. Hasil analisis
menggunakan Independent samples t-test menunjukan tidak ada perbedaan
yang signifikan antara asupan vitamin A pada balita ISPA dan tidak ISPA
(p=0,595) (p>0,05). Hal ini disebabkan karena pada saat anak menginjak usia
balita yaitu umur 12-59 bulan, banyak permasalahan yang dihadapi terutama
makan. Pada usia ini anak sangat sulit sekali makan, suka makanan jajanan dan
tidak menyukai sayuran. Sedangkan sumber vitamin A yang paling baik terdapat
pada sayuran hijau dan buah-buahan.
Jika balita yang menderita ISPA terus mengalami defisiensi berat vitamin
A maka fungsi sel-sel kelenjar kulit menjadi kering, kasar dan luka sukar sembuh.
Membran mukosa tidak dapat mengeluarkan cairan ende dengan sempurna
sehingga mudah terserang bakteri (infeksi). Vitamin A berpengaruh terhadap
fungsi kekebalan tubuh manusia (Almatsier 2004). Sehingga, fungsi kekebalan
tubuh menurun sehingga mudah terserang infeksi. Lapisan sel yang menutupi
trakea dan paru-paru mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan ender
sehingga mudah dimasuki mikroorganisme atau virus dan menyebabkan infeksi
saluran pernafasan (Almatsier 2004).

Konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin E


Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam
lemak dan mudah memberikan hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur
cincin ke radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat
merusak, yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Tabel 21
menyajikan rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin E.
Tabel 21 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin E per hari
ISPA Tidak-ISPA
Jenis pangan Konsumsi Kontribusi terhadap Konsumsi Kontribusi terhadap
(gr/hari) AKG vitamin E (%) (gr/hari) AKG vitamin E (%)
Telur 18,33 22 36,83 35
Kue 5,23 18,8 12,63 34,4
Chiki 5,00 18 5,06 4,5
Tempe 10,33 12,4 25,50 23,2
Ikan segar 2,33 2,8 14,67 13,3

Vitamin E banyak terdapat dalam bahan makanan, sumber utama


vitamin E adalah minyak tumbuh-tumbuhan terutama minyak kecambah
gandum dan biji-bijian. Sayuran, buah-buahan dan juga daging, ikan
merupakan sumber vitamin E yang baik namun dalam jumlah yang
terbatas. Tabel 21 menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi
mempunyai nilai kontribusi vitamin E paling besar. Jenis pangan sumber
vitamin E yang di konsumsi balita ISPA adalah telur rata-rata konsumsi
sebesar 18,33 gr/hari, kue 5,23 gr/hari dan chiki 1,67 gr/hari, di
bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber vitamin E
yang dikonsumsi adalah telur rata-rata konsumsi sebesar 36,83 gr/hari,
kue 12,63 gr/hari, dan tempe 25,5 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan
vitamin E dapat dilihat pada Tabel 22 berikut ini :
Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin E
ISPA Tidak ISPA
Tingkat kecukupan vitamin E
n % n %
Defisiensi berat 28 93,3 29 96,7
Defisiensi sedang 1 3,3 1 3,3
Defisiensi ringan 1 3,3 0 0
Normal 0 0 0 0
Lebih 0 0 0 0
Total 30 100,00 30 100,00
Rata-rata asupan 1,67±1,27 2,2±1,12
Rata-rata tingkat kecukupan (%) 25,69 33,8

Pada penelitian ini asupan vitamin E yang paling rendah yaitu 0 mg dan
tertinggi yaitu 4,8 mg dengan rata-rata asupan vitamin E pada balita ISPA yaitu
1,67 mg dan standar deviasi sebesar 1,27. Anjuran angka kecukupan gizi vitamin
E umur 1-3 tahun yaitu 6 mg sedangakn umur 4-5 tahun yaitu 7 mg. Sebagian
besar tingkat kecukupan vitamin E mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA
(93,3%) sedangkan pada balita tidak ISPA (96,7%). Hasil analisis menggunakan
Independent samples t-test menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara asupan vitamin E pada balita ISPA dan tidak ISPA. nilai p=0,088 (p>0,05).
Defisiensi vitamin E jarang ditemukan oleh sebab makanan sehari-hari
mengandung cukup vitamin E, akan tetapi dalam penelitian ini hampir sebagian
besar balita mengalami defisiensi berat vitamin E. Hal ini diduga karena balita
mengalami defisiensi juga protein dan vitamin A. Seperti yang kita ketahui bahwa
sumber vitamin E terdapat pada sayuran, buah-buahan dan daging. Namun
sumber vitamin E yang banyak dikonsumsi oleh balita ISPA maupun tidak ISPA
berasal dari makanan jajanan seperti kue dan chiki, dimana minyak tumbuh-
tumbuhan sebagai sumber vitamin E digunakan dalam proses pengolahan
makanan tersebut.
Konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin C
Fungsi vitamin C yaitu membantu enzim dalam melakukan fungsinya dan
juga bekerja sebagai antioksidan. Vitamin C juga penting untuk membentuk
kolagen, serat, struktur protein serta meningkatkan ketahanan tubuh terhadap
infeksi dan membantu tubuh menyerap zat besi. Keadaan kekurangan vitamin C
akan mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C diperlukan proses
pematangan eritrosit dan pada pembentukan tulang dan dentin, vitamin C
mempunyai peranan penting pada respirasi jaringan (Pudjiadi 2001).
Vitamin C banyak sekali manfaatnya salah satunya adalah mencegah
infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau
pengaruh terhadap fungsi kekebalan. Menurut Pauling, mengemukakan bahwa
mengkonsumsi vitamin C dalam dosis tinggi dapat menyembuhkan infeksi
(Almatsier 2004). Berikut adalah rata-rata konsumsi bahan makanan sumber
vitamin C.

Tabel 23 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin C per hari


ISPA Tidak-ISPA
Jenis pangan Konsumsi Kontribusi terhadap Konsumsi Kontribusi terhadap
(gr/hari) AKG vitamin C (%) (gr/hari) AKG vitamin C (%)
Jeruk 13 19,7 11,33 46,12
Pepaya 4 10,1 25 12,61
Ale-ale 36,67 9,5 13,3 2,52
Mangga 4,33 8,8 0 0
Bayam 5,33 7,3 3 3,03
Kentang 6,67 4,1 0 0
Vitamin C pada umumnya hanya terdapat didalam pangan nabati, yaitu
sayur dan buah terutama yang berasa asam, seperti jeruk, nanas, rambutan,
pepaya, gandaria, dan tomat. Tabel 23 menampilkan konsumsi bahan makanan
yang mempunyai nilai kontribusi vitamin C paling besar. Jenis pangan sumber
vitamin C yang di konsumsi balita ISPA adalah jeruk rata-rata konsumsi sebesar
13 gr/hari, pepaya 4 gr/hari dan minuman ale-ale 1,67 gr/hari, di bandingkan
dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber vitamin C yang dikonsumsi
adalah pepaya rata-rata konsumsi sebesar 25 gr/hari, jeruk 11,33 gr/hari, dan
bayam 3 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan vitamin C dapat dilihat pada Tabel
24 berikut ini :

Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C


ISPA Tidak ISPA
Tingkat kecukupan vitamin C
n % n %
Defisiensi berat 21 70 19 63,3
Defisiensi sedang 1 3,3 1 3,3
Defisiensi ringan 1 3,3 2 6,7
Normal 3 10 2 6,7
Lebih 4 13,3 6 20
Total 30 100,00 30 100,00
Rata-rata asupan 23,27±28,74 31,71±35,53
Rata-rata tingkat kecukupan (%) 54,75 74,61

Pada penelitian ini asupan vitamin C yang paling rendah yaitu 0,6 mg dan
tertinggi yaitu 165,4 mg dengan rata-rata asupan vitamin C pada balita ISPA
yaitu 23,27 mg dan standar deviasi sebesar 28,74. Sebaran tingkat konsumsi
vitamin C yang terlihat pada tabel 24 menunjukan bahwa balita yang menderita
ISPA mengalami defisensi berat sebesar 70%, sedangkan balita yang tidak
menderita ISPA sebesar 63,3%. Berdasarkan uji statistik nilai p=0,316 (p>0,05).
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan
vitamin C pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini diduga karena faktor
ketidaksukaan balita terhadap buah-buahan dan sayuran, dan lebih menyukai
makanan jajanan seperti chiki.

Konsumsi dan tingkat kecukupan seng


Di Indonesia, data defisiensi seng masih terbatas. Sejauh ini belum
dijumpai penelitian seng dalam skala besar di Indonesia. Hal ini disebabkan
rentannya kontaminasi penanganan spesimen sejak persiapan, pelaksanakan
dan pemrosesan baik di lapangan maupun di laboratorium untuk penentuan
seng. Secara keseluruhan, sekitar 800.000 anak yang meninggal per tahun
berkaitan dengan defisiensi seng. Kematian dan peningkatan penyakit infeksi ini
mengakibatkan 1,9% dari keseluruhan DALYs (Disability Adjusted Life Years)
yang berkaitan dengan defisiensi seng. Menurut WHO, secara global jumlah
tersebut terjadi 10,8 juta kematian anak per tahun berkaitan dengan defisiensi
seng, vitamin A, dan besi, atau sekitar 19% keseluruhan kematian anak. Berikut
rata-rata konsumsi bahan makanan sumber seng.
Tabel 25 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber seng per hari
ISPA Tidak-ISPA
Jenis pangan
Konsumsi Kontribusi terhadap Konsumsi Kontribusi terhadap
(gr/hari) AKG seng (%) (gr/hari) AKG seng (%)
Nasi 174 20,9 221,67 25
Tahu 28,16 5,9 7,2 6,8
Telur 18,33 5,5 11,1 10,5
Tempe 10,33 5 12,2 11,5
Baso 3,5 4 13 13,9

Sumber paling baik adalah sumber protein hewani, terutama daging, hati,
kerang, dan telur. Serealia tumbuk dan kacang-kacangan juga merupakan
sumber yang baik, namun mempunyai ketersediaan biologik yang rendah. Tabel
25 menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai kontribusi
seng paling besar. Jenis pangan sumber seng yang di konsumsi balita ISPA
adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 174 gr/hari, tahu 28,16 gr/hari dan telur
18,33 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber
seng yang dikonsumsi adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 221,67 gr/hari,
baso 13 gr/hari, dan tempe 12,2 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan seng dapat
dilihat pada Tabel 26 berikut ini :

Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan seng


ISPA Tidak ISPA
Tingkat kecukupan seng
n % n %
Defisiensi berat 29 96,7 29 96,7
Defisiensi sedang 0 0 0 0
Defisiensi ringan 1 3,3 1 3,3
Normal 0 0 0 0
Lebih 0 0 0 0
Total 30 100,00 30 100,00
Rata-rata asupan 2,95±1,13 3,54±0,99
Rata-rata kecukupan (%) 32,96 39,55
Secara keseluruhan berdasarkan tingkat kecukupan seng diketahui
bahwa balita yang menderita ISPA maupun tidak menderita ISPA mayoritas
mengalami defisiensi berat sebesar 96,7%. Pada penelitian ini asupan seng yang
paling rendah yaitu 1,5 mg dan tertinggi yaitu 6,8 mg dengan rata-rata asupan
seng pada balita ISPA yaitu 2,95 mg dan standar deviasi sebesar 1,13.
Berdasarkan uji statistik nilai p=0,036 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan antara asupan seng dengan balita ISPA dan tidak
ISPA. Walaupun sama-sama mengalami defisiensi berat, akan tetapi asupan
seng pada balita tidak ISPA lebih tinggi dengan rata-rata asupan 3,54 mg atau
rata-rata kecukupan sebesar 39,55%. Dari hasil penelitian bahwa di Indonesia
tingkat konsumsi seng pada kelompok umur 12-59 bulan rata-rata sebesar 23-
36% AKG. Tidak seperti zat gizi lainnya, tubuh tidak memiliki cadangan seng,
akan tetapi seng ada di hampir semua sel dan jaringan tubuh terkadang dalam
konsentrasi yang tinggi. Beberapa studi memperlihatkan suplementasi seng
dapat meningkatkan pertumbuhan anak, menurunkan kejadian diare, malaria dan
pneumonia serta mortalitas (Herman 2009).

Konsumsi dan tingkat kecukupan besi


Mineral yang penting bagi pekerja adalah zat besi (Fe). Fungsi zat besi
adalah untuk membentuk Hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen
yang sangat di perlukan pada proses metabolisme di dalam sel, pembentukan
energi. Kekurangan zat besi akan berakibat anemia (Mahan 2000).
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam
tubuh manusia dan hewan. Yaitu sebanyak 3-5 gr di dalam tubuh manusia
dewasa, besi mempunyai beberapa fungsi essensial dalam tubuh, sebagai alat
angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Sebagai alat angkut elektron di
dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi di dalam jaringan tubuh.
(Almatsier 2004).

Tabel 27 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber besi per hari


ISPA Tidak-ISPA
Jenis pangan Konsumsi Kontribusi terhadap Konsumsi Kontribusi terhadap
(gr/hari) AKG Besi (%) (gr/hari) AKG Besi (%)
Tempe 10,33 18,64 25,5 52,61
Nasi 174 14,97 221,67 21,9
Roti 11,33 10,40 4,5 4,74
Telur 18,33 7,67 36,83 17,69
Bayam 5,33 5,23 3 3,38
Mie 9,23 4,45 23,5 13,00
Sumber paling baik adalah sumber protein hewani, terutama daging, hati,
unggas dan ikan. Serealia tumbuk dan kacang-kacangan juga beberapa jenis
buah, jumlah besi perlu diperhatikan kualitas besi didalam makanan, dinamakan
juga ketesediaan biologik (bioavabilitas) pada umumnya besi didalam daging
mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi dibandingkan dengan sayuran,
terutama yang mengandung asam okslalat yang tinggi seperti bayam. Tabel 27
menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai kontribusi besi
paling besar. Jenis pangan sumber besi yang di konsumsi balita ISPA adalah
tempe rata-rata konsumsi sebesar 10,33 gr/hari, nasi 174 gr/hari dan roti 11,33
gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber besi
yang dikonsumsi adalah tempe 25,5 rata-rata konsumsi sebesar 25,5 gr/hari,nasi
221,67 gr/hari, dan telur 36,83 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan besi dapat
dilihat pada tabel 28 berikut ini :
Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan besi
ISPA Tidak ISPA
Tingkat kecukupan Fe
n % n %
Defisiensi berat 23 76,7 19 63,3
Defisiensi sedang 3 10 3 10
Defisiensi ringan 2 6,7 2 6,7
Normal 1 3,3 4 13,3
Lebih 1 3,3 2 6,7
Total 30 100,00 30 100,00
Rata-rata asupan 5,816±10,64 5,06±2,75
Rata-rata kecukupan (%) 68,42 59,5

Secara keseluruhan berdasarkan tingkat konsumsi besi diketahui bahwa


sebagian besar tingkat kecukupan besi mengalami defisiensi berat, pada balita
ISPA sebesar 76,7% sedangkan pada balita tidak ISPA sebesar 63,3%. Pada
penelitian ini rata-rata asupan besi pada balita ISPA yaitu 5,81 mg dan standar
deviasi sebesar 10,64. Berdasarkan uji statistik nilai p=0,169 (p>0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan besi
pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini diduga karena sumber makanan yang
kaya akan zat besi seperti daging, hati dan ikan jarang dikonsumsi. Sedangkan
zat besi yang dikonsumsi oleh balita ISPA dan tidak ISPA sebagian besar
berasal dari serealia dan kacang-kacangan, dimana bioavabilitasnya yang
rendah.
Status Gizi

Hubungan yang signifikan antara status gizi dengan ISPA tidak lain
karena status gizi sangat berpengaruh terhadap status imun atau kekebalan
anak. Kurang gizi pada anak akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan
tubuh yang berarti kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan
infeksi menjadi turun. Hal inilah yang menyebabkan anak sangat potensial
terkena penyakit infeksi seperti ISPA (Siswatiningsih 2001).
Penelitian yang dilakukan smith et al (1991) menyebutkan bahwa anak
yang mengalami kurang gizi kronik berdampak terhadap sel imun mediasi dan
produksi antibodi, sehingga memperbesar peluang terjadinya penyakit infeksi.
Konsentrasi antibodi antipneumococcal pada anak kurang gizi juga sangat
rendah, sehingga meningkatkan risiko terserang infeksi saluran pernafasan
seperti ISPA. Disamping kurang gizi, anak yang mengalami gizi lebih juga
mengalami risiko lebih tinggi terkena penyakit infeksi jika dibandingkan dengan
status gizi normal. Seperti yang dikemukakan oleh Chandra (1991) yang
menyatakan bahwa anak dengan status gizi lebih mempunyai penurunan jumlah
limfosit, penurunan aktivitas sel Natural-killer (sel-NK) dan penurunan stimulasi
limposit T jika dibandingkan dengan anak status gizi normal. Penurunan sistem
kekebalan tubuh inilah yang menyebabkan anak potensial terkena penyakit
infeksi.

Status Gizi BB/U


Untuk menentukan atau menaksir status gizi seseorang dilakukan
pengukuran untuk menilai berbagai tingkatan kurang gizi yang ada atau mungkin
ada. Pengukuran yang dipakai biasanya menunjuk kepada indikator atau
parameter dan dinamakan demikian karena berguna sebagai indeks untuk
menunjukan kepada tingkatan status gizi dan kesehatan yang berbeda (Suhardjo
1996).
Indikator berat badan dipergunakan pada masa bayi sampai balita untuk
melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan
klinis. Seperti dehidrasi, asites, edema dan adanya tumor. Disamping itu pula,
berat badan dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan dosis obat dan
makanan. Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan
mineral pada tulang. Pada remaja, lemak tubuh cenderung meningkat dan
protein otot menurun. Pada orang yang edema dan ascites, terjadi penambahan
cairan dalam tubuh. Adanya tumor dapat menurunkan jaringan lemak dan otot,
khususnya terjadi pada orang kekurangan gizi (Supariasa 2001).
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting, dipakai
pada setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok
umur. Berat badan merupakan hasil peningkatan/penurunan semua jaringan
yang ada pada tubuh. Antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lain.
Berat badan dipakai sebagai indikator yang terbaik pada saat ini untuk
mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, sensitif terhadap
perubahan sedikit saja, pengukuran objektif dan dapat diulangi, dapat digunakan
timbangan apa saja yang relatif murah, mudah dan tidak memerlukan banyak
waktu. Kerugiannya, indikator berat badan ini tidak sensitif terhadap proporsi
tubuh. Misalnya pendek gemuk atau tinggi kurus (Soetjiningsih 2004).
Indikator berat badan sering dimanfaatkan dalam klinik sebagai bahan
informasi untuk menilai keadaan gizi, baik akut maupun kronis, serta untuk
penilaian tumbuh kembang anak dan kesehatan. Selain itu, berat badan juga
dapat digunakan untuk memonitor keadaan kesehatan, misalnya pada
pengobatan penyakit (Soetjiningsih 2004). Berikut sebaran status gizi contoh
menurut BB/U.

Tabel 29 Sebaran status gizi contoh menurut BB/U


ISPA Tidak ISPA
Kategori
n % n %
Kurang (-3.0 SD s/d -2.0 SD) 13 43,3 13 43,3
Baik (-2.0 SD s/d 2.0 SD) 17 56,7 17 56,7
Lebih (< - 3 SD) 0 0 0 0
Total 30 100,00 30 100,00
Rata-rata z-skor -1,71±0,84 -1,59±0,93

Secara keseluruhan berdasarkan indikator BB/U diketahui bahwa balita


yang menderita ISPA dan tidak menderita ISPA mayoritas sebesar 56,7%
memiliki status gizi normal atau baik. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara status gizi balita menurut
BB/U pada balita ISPA dan tidak ISPA yang ditunjukan oleh nilai p=0,60
(p>0,05). Hal tersebut diduga karena kondisi ISPA yang diamati dalam penelitian
ini adalah terbatas sekitar 2 minggu, sehingga kurang menggambarkan efek dari
ISPA. Namun jika balita pada keadaan gizi yang normal atau baik akan lebih
cepat mengalami penyembuhan dibandingkan dengan balita gizi kurang, dimana
pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan
serangannya lebih lama dan lebih mudah terserang ISPA kembali dibandingkan
karena faktor daya tahan tubuh yang rendah. Di samping itu penyakit infeksi
sendiri menyebabkan nafsu makan balita menurun dan mengakibatkan
kekurangan gizi.

Status gizi TB/U


Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertumbuhan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,
relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu yang pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu
relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut diatas, maka indeks ini
menggambarkan status gizi masa lalu. Berikut adalah sebaran status gizi contoh
berdasarkan TB/U.

Tabel 30 sebaran status gizi contoh berdasarkan TB/U


ISPA Tidak ISPA
Kategori
n % n %
Buruk (<-3,0) 0 0 1 1,00
Pendek/Stunted (-3,0 SD s/d -2,0) 12 40,00 8 26,0
Normal (-2,0- s/d 2,0) 18 60,00 21 70,00
Total 30 100,00 30 100,00
Rata-rata z-skor -1,42±1,54 -1,45±1,28

Sebagian besar contoh mengalami status gizi normal berdasarkan TB/U,


pada balita ISPA (60%) sedangkan pada balita tidak ISPA (70%). Berdasarkan
hasil uji statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara status gizi
berdasarkan TB/U dengan balita ISPA dan tidak ISPA yang ditunjukan dengan
nilai p=0,932 (p>0,05). Penderita ISPA dapat berlangsung sampai dengan 14
hari karena berdasarkan proses akut tersebut, akan tetapi jika ditangani dengan
baik dan status gizi seseorang baik maka proses penyembuhan bisa lebih cepat.
Oleh karena itu mengapa dalam penelitian ini tidak terdapat perbedaan status
gizi antara penderita ISPA dan tidak ISPA, karena parameter yang digunakan
adalah tinggi badan menurut umur, dimana parameter tersebut menggambarkan
keadaan gizi masa lampau.
Status Gizi BB/TB
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan
tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Hal ini didukung dengan faktor-faktor
seperti konsumsi, pengetahuan dalam memilih makanan, pendapatan, akses
pangan, pelayanan kesehatan, serta pola asuh yang baik. Indeks BB/TB
merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini/sekarang
(Supariasa 2001). Berikut adalah sebaran status gizi contoh berdasarkan BB/TB.

Tabel 31 Sebaran status gizi contoh berdasarkan BB/TB


ISPA Tidak ISPA
Kategori
n % n %
Kurus (-2.00 SD) 6 20,00 5 16,70
Normal (-2.00 SD ± 2.00 SD) 24 80,00 85 83,30
Gemuk (>2.00 SD) 0 00,00 0 00,00
Total 30 100,00 30 100,00
Rata-rata z-skor -1,054 ± 1,124 -0,898 ± 1,057

Status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan secara umum
berkategori normal. Balita yang menderita ISPA mayoritas 80% dan balita tidak
menderita ISPA 83,30%. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status
gizi balita yang menderita ISPA dan tidak menderita ISPA berdasarkan BB/TB
yang ditunjukan oleh p=0,74 (p>0,05). Hal ini dikarenakan berat badan balita
mayoritas normal, pertumbuhan dan perkembangan berat badan dan tinggi
badan berlangsung normal. Artinya meningkatnya berat badan diiringi dengan
bertambahnya tinggi badan balita sehingga anak terlihat normal. ISPA pada
balita dapat menyebabkan tubuh menjadi kurus karena zat gizi yang seharusnya
digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan terganggu melawan infeksi
yang masuh kedalam tubuh. Namun dalam penelitian ini efek dari infeksi tersebut
terhadap status gizi tidak terlihat.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap masing-masing 30 penderita ISPA


dan tidak ISPA dapat disimpulkan bahwa :
Sebanyak 36,7% tingkat pendidikan orang tua contoh pada balita ISPA
hanya sampai tingkat SLTP, sedangkan pada balita tidak ISPA (40%) sampai
tingkat SLTA. Sebagian besar 60% jenis pekerjaan ayah contoh pada balita ISPA
adalah buruh pabrik, sedangkan pada balita tidak ISPA (33,3%) sebagai buruh
dan pegawai swasta. Besar keluarga contoh adalah kategori keluarga kecil pada
balita ISPA (50%) sedangkan pada balita tidak ISPA (73,3%). Sebagian besar
63,3% rumah tangga balita ISPA tergolong miskin, sedangkan balita tidak ISPA
(63,3%) tergolong tidak miskin. Sebagian besar 76,7% anggota keluarga contoh
pada balita ISPA mempunyai kebiasaan merokok dalam rumah, sedangkan pada
balita tidak ISPA (63,3%).
Mayoritas 83,3% responden yang menderita ISPA berumur 12-36 bulan,
sedangkan balita tidak ISPA (80%). Berdasarkan jenis kelaminnya sebagian
besar 63,3% responden laki-laki menderita ISPA, sedangkan pada balita tidak
ISPA (56,7%) responden adalah perempuan.
Berdasarkan tingkat kecukupan energi diketahui bahwa sebagian besar
56,7% balita ISPA dan balita tidak ISPA (40%) mengalami defisiensi berat. Dari
hasil uji statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan energi pada
balita ISPA dan tidak ISPA (p<0,05). Tingkat kecukupan protein pada balita ISPA
(40%) mengalami defisiensi berat, sedangkan pada balita tidak ISPA (43,3%)
mengalami tingkat kecukupan lebih. Ada perbedaan yang signifikan antara
asupan protein pada balita ISPA dan tidak ISPA (p<0,05). Sebagian besar tingkat
kecukupan vitamin A mengalami defisensi berat, pada balita ISPA (80%)
sedangkan pada balita tidak ISPA (70%). Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara asupan vitamin A pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian
besar tingkat kecukupan vitamin E mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA
(93,3%) sedangkan pada balita tidak ISPA (96,7%). Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara asupan vitamin E pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05).
Sebagian besar tingkat kecukupan vitamin C mengalami defisiensi berat, pada
balita ISPA sebesar 70% sedangkan pada balita tidak ISPA sebesar 63,3%.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan vitamin C pada balita ISPA
dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan seng mengalami
defisiensi berat, pada balita ISPA maupun balita tidak ISPA sebesar 96,7%. Ada
perbedaan yang signifikan antara asupan seng pada balita ISPA dan tidak ISPA
(p<0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan besi mengalami defisiensi berat,
pada balita ISPA sebesar 76,7% sedangkan pada balita tidak ISPA sebesar
63,3%. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan besi pada balita
ISPA dan tidak ISPA (p>0,05).
Sebagian besar 56,7% status gizi contoh berdasarkan BB/U mengalami
status gizi normal, baik pada balita ISPA maupun tidak ISPA. Sebagian besar
contoh mengalami status gizi normal berdasarkan TB/U, pada balita ISPA (60%)
sedangkan pada balita tidak ISPA (70%). Sebagian besar contoh mengalami
status gizi normal berdasarkan BB/TB, pada balita ISPA sebesar 80% sedangkan
pada balita tidak ISPA (83,30%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
status gizi berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB pada balita ISPA dan tidak ISPA
(p>0,05).

Saran

Berdasarkan hasil penelitian terdapat perbedaan yang signifikan antara


asupan energi, protein, dan seng pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini dapat
dikatakan bahwa ISPA mempengaruhi terhadap asupan energi, protein, dan
seng. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa asupan vitamin A, vitamin E,
vitamin C, dan Fe dalam kategori defisiensi berat sehingga perlu untuk
meningkatkan asupan. Dengan demikian para orang tua balita sebaiknya segera
melakukan pencegahan dengan mengupayakan kebutuhan zat gizi agar
kecukupan terpenuhi. Untuk Puskesmas diharapkan melakukan penyuluhan
tentang gizi agar kejadian ISPA tidak menjadi parah dan menjadi akut.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian ISPA seperti luas bangunan rumah, ketersediaan
fentilasi, keadaan lingkungan tempat tinggal, dan status imuniasasi yang tidak
diteliti oleh peneliti sehingga dalam penelitian selanjutnya dapat ditambahkan
variabel-variabel tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. (2004). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
. (2005). “Penuntun Diet”. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
Alsagaff H and W.B.M Taib Saleh. (1998). Ilmu Penyakit Paru. Airlangga
University Press
Arisman. 2003. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC.
BPS ( 2004). Profil Kemiskinan di Indonesia 2004. Jakarta : BPS
Depkes RI. (2001). Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. dalam
http//kesehatanlingkungan.com. Januari 2010
. (2002). Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Akut Untuk Penanggulangan Pnemonia Pada Balita.
Jakarta. http//Litbang.depkes.co.id. Januari 2010
Dinkes Jabar. (2005). Profil Kesehatan Propinsi Jawa Barat Tahun 2004.
Bandung
Eka, DS. (2009). “Hubungan antara pemajanan particulate matter 10µm
(PM10) dengan gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
pada pekerja pertambangan kapur tradisional” (studi di
pertambangan kapur tradisional gunung masigit, Cipatat,
Kabupaten Bandung Barat Tahun
2009).http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id-
125375 &lokasi-lokal, Oktober 2010
Endah, N et al. (2009). “Penyakit ISPA Hasil Riskesdas Di Indonesia”.
dalam Buletin Penelitian Kesehatan Edisi Suplement hal 50-55
tahun 2009. Bogor
Fitri, I (2008). Analisis Asupan Vitamin A, Vitamin C dan kejadian penyakit ISPA
pada anak balita. Karya Tulis Ilmiah. Poltekkes Depkes Bandung.
Jurusan Gizi

Gibson, R.S. (1991). Principles Of Nutrition Assesment. New York : Oxford


University Press.
Hapsari, D et al. (2009). “Pengaruh Lingkungan Sehat dan Perilaku Hidup
Sehat Terhadap Kesehatan”. dalam Buletin Penelitian Kesehatan
Edisi Suplement hal 40-49 tahun 2009. Bogor
Hardinsyah. (1996). Angka Kecukupan Energi Protein, Lemak dan Serat
Makanan, Prosding Widyakarya Nasional pangan dan Gizi VIII,
LIPI, Jakarta : 317-330
Hartono, A. (2000). “Asuhan Nutrisi Rumah Sakit”. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Herman, S. (2009) “Review On The Problem Of Zinc Defficiency, Program
Prevention And Its Prospect” dalam Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan volume XIX tahun 2009. Bogor
Husaini dan Muhilal. (1996). “Defesiensi Zat Gizi Makro”. dalam Peran
Pangan dan Gizi Dalam Menyongsong Era Globalisasi. Surabaya
: Pergizi Pangan Indonesia Jawa Timur
Irianto, K. (2004). Gizi dan Pola Hidup Sehat: Yrama Widya. Bandung
Khumaidi M. 1994. Bahan Pengajaran Gizi Masyarakat. Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulia bekerja sama dengan Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi IPB.
Kumalaningsih, S. (2006). Anti Oksidan. Jakarta : Bumi Aksara
Laporan Puskesmas Cipatat. (2009). Bandung. Puskesmas Cipatat 2009.
Madanijah, S. Pola Konsumsi Pangan, dalam Pengantar Pangan dan Gizi.
Bogor
Mahan, K. (2000). Peranan dan Gizi Untuk Kualitas Hidup. Jakarta : PT.
Rajagrafindo Persada.
Maitatorum, E (2009). Hubungan Status Gizi, Asupan Protein dan Asupan
Seng dengan kejadian ISPA pada anak Balita di RW VII
Kelurahan Sewu Kecamatan Jebres Kota Surakarta. Skripsi.
Surakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan dalam
http//linkpdf.com/skripsi/hubungan status gizi asupan protein dan
seng pada ispa. Oktober 2010
Marsetyo. (2005). Ilmu Gizi, Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktifitas
Kerja. Jakarta. PT. Rineka cipta
Moehji, S. 2003. Ilmu Gizi 2 dalam Penanggulangan Gizi Buruk. Papas
Sinar Sinanti. Jakarta.
Mukono. (1997). “Pengaruh Pencemaran Udara Terhadap ISPA” dalam
www.Error! Hyperlink reference not valid. [20 Februari 2011]
Murray, R.K. (2003). Biokimia Harper. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Nkondjock , Andre and Ghadirian, Parviz. “Intake of Specific Carotenoids
and Essential Fatty Acids and Breast Cancer Risk in Montreal,
Canada” dalam American Journal of Clinical Nutrition 79(5) : 857
– 864
Permana SM. 2006. Gaya hidup pria dewasa di pedesaan dan perkotaan
Bogor kaitannya dengan faktor risiko penyakit jantung koroner.
Skripsi Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pudjiadi, S. (2001). Ilmu Gizi Klinis Pada Anak edisi ke-4. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
Reddy et al. (2004). “Role of Free Radicals and Antioxidants in
Tuberculosis Patients” dalam Indian Journal of Tuberculosis 51 :
213-218
Riyadi. 2006. Gizi dan Kesehatan Keluarga. Jakarta: Universitas Terbuka.
Rolfes et al. (2006). “Understanding Nutrition and Clinical Nutrition”.
Seventh edition. USA : Thomson Higher Education
Rosyida A. 2010. Tingkat Konsumsi Energi dan Zat Besi (Fe), Status Gizi
dan Produktivitas Kerja Karyawan Pada Bagian Produksi PT Air
Mancur Palur, Karanganyar. Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat
dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sab’atmaja, S. et al (2010). “Analisis determinan Positive Deviance Status
Gizi Balita di Wilayah Miskin Dengan Prevalensi Kurang Gizi
Rendah dan Tinggi”. Jurnal Gizi dan Pangan, Juli 2010 volume 5
(1): 103-112.
Satoto (2001). Seleneium dan Kurang Iodium dalam Kumpulan Naskah
Pertemuan Ilmiah Nasional Gangguan Akibat Kurang Yodium
(GAKY) 2001 editor Djokomoeljanto, dkk. Semarang, Badan
penerbit Universitas Diponegoro. 2001 dalam
http//kalbe.co.idfilescdkfiles. Oktober 2010
Sies ,Helmut and Stahl, Wilhelm. (1995). “Vitamins E and C, β-Carotene,
and Other Carotenoids as Antioxidants” dalam American Journal
of Clinical Nutrition 62 : 1315S – 12S

Singarimbun, M dan Efendi, S. (2006). “Tipe, Metode dan Peneliian”,


Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta
Sitompul, B. (2003). “Antioksidan dan Penyakit Aterosklerosis” dalam
MEDIKA No.6 tahun XXIX :373-377
Soediaoetama, AD. (1997). Ilmu Gizi II. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
, 2000. Ilmu gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta :
Dian Rakyat.
Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Anak. Jakatra : EGC penerbit
buku kedokteran.
Sommer, A. (2004). Defesiensi Vitamin A dan Akibatnya Edisi 3. Jakarta :
EGC
Sridhar. (1995). “Nutrition and Lung Health” dalam British Medical Journal
310 : 75–76
Sudiana, I. (2005). “pengaruh suplementasi seng terhadap morbiditas
diare dan infeksi saluran pernafasan akut pada anak umur 6
bulan-2 tahun. TESIS. UNDIP 2005.
Suhardjo. (1989). Sosio Budaya gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi IPB. Bogor
. (2003). Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Bogor : Bumi Aksara
Supariasa I D Nyoman, dkk. (2001). Penilaian Status Gizi. Penerbit buku
kedokteran EGC. Jakarta
Winarno. F.G. (2002). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
WNPG VIII. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi
Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI.
Yoon et al. (1997). The effect of malnutrition on the risk of diarrheal and
respiratory mortality in children < 2 y of age in Cebu, Philippines.
http://www.ajcn.org/cgi/content/abstract/65/4/1070
Yusuf, A (2010). Berribu tetes air mata untuk karst Citatah. Bandung :
Pikiran Rakyat 29 Mei 2010
Zyefa. (2009). ISPA dan Vitamin A. dalam
http//forumsains.com/kesehatan/ISPA danvitaminA. Agusutus
2010
LAMPIRAN
Lampiran 2 Surat Pernyataan Kesediaan Mengikuti Penelitian
PROGRAM PENYELENGARAAN KHUSUS S1 MAYOR
ILMU GIZI

DEPARTEMEN KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

SURAT PERNYATAAN
KESEDIAAN MENGIKUTI PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Umur :
Alamat :

Bersedia membantu dan memberikan keterangan yang diperlukan dalam


penelitian.

Peneliti : Fauzan Bayu Ramdani

Judul : Asupan Energi, Zat Gizi, dan Status Gizi antara


balita ISPA dan tidak ISPA di Kecamatan Cipatat

Tujuan Penelitian :Mengetahui Perbedaan Antara Asupan Energi, Zat


Gizi, dan Status Gizi pada Balita ISPA dan tidak ISPA

Bandung,....................2010
Nama Contoh

(....................................)
Lampiran 3 Kuesioner Karakteristik Soisal Ekonomi

KUESIONER KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RESPONDEN

Kode Responden:

Nama enumerator :
Hari/tgl wawancara :
Tanda tangan enumerator :

Tanda tangan responden :

A. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama
:………………………………………………
2. Tempat tanggal lahir
:………………………………………………
3. Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2.
Perempuan
4. Berat Badan : .............................. kg
5. Tinggi Badan : .............................. cm
6. Frekuensi / waktu batuk, pilek : ………..hari / minggu
7. Sesak nafas : …………kali / menit
8. Suhu badan : ……0C
9. Hasil diagnosa : ………………………
B. KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RESPONDEN
1. Nama ibu/bapak : ………………………
2. Pekerjaan : ………………………
3. Pendidikan Terakhir : ………………………
4. Jumlah anggota keluarga dalam satu rumah :……….. orang
5. Pekerjaan (suami/istri) :……………….
6. Pendapatan anda sekarang dalam sebulan : Rp. …………..
7. Pendapatan (suami/istri) dalam sebulan : Rp. …………..
8. Kebiasaan Merokok dalam rumah : 1. Ya 2. Tidak

Lampiran 4 Form Food Recall


FORM FOOD RECALL 24 JAM

Kode Responden:

Nama Balita :
Alamat :
Tgl wawancara :
Hari ke :
Porsi Konsumsi
Nama Bahan
Waktu Berat Keterangan
Hidangan Makanan Jumlah URT
(g)
1 2 3 4 5 6

Pagi

selingan

Siang
Selingan Group Statistics
penyakit yg
N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
diderita
ISPA 30 -1.7143 .84505 .15428
nilai Z skore
tidak ispa 30 -1.5937 .93816 .17128

Malam

selingan

Catatan : .......................................................................................................................
..........................................................................................................
....
Lampiran 5 Output Analisis Data

A. Perbedaan Status gizi (BB/U) dengan Balita ISPA dan Tidak ISPA

Independent Samples Test

Levene's Test
for Equality of t-test for Equality of Means
Variances
95% Confidence
Sig. (2- Mean Std. Error Interval of the
F Sig. t df Difference
tailed) Difference Difference
Lower Upper
Equal
variances .931 .338 -.523 58 .603 -.12067 .23053 -.58211 .34078
nilai Z assumed
skore Equal
variances not -.523 57.378 .603 -.12067 .23053 -.58222 .34089
assumed

B. Perbedaan Status gizi (TB/U) dengan Balita ISPA dan Tidak ISPA

Group Statistics
penyakit yg
diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
nilai Z skore ISPA 30 -1.4277 1.54674 .28240
tidak ispa 30 -1.4593 1.28956 .23544

Independent Samples Test


Levene's Test for
Equality of t-test for Equality of Means
Variances
95% Confidence
Sig. (2- Mean Std. Error Interval of the
F Sig. t df Difference
tailed) Difference Difference
Lower Upper
Equal
variances 2.069 .156 .086 58 .932 .03167 .36767 -.70430 .76763
nilai Z assumed
skore Equal
variances not .086 56.182 .932 .03167 .36767 -.70481 .76814
assumed

C. Perbedaan Status gizi (BB/TB) dengan Balita ISPA dan Tidak ISPA
Group Statistics
penyakit yg
N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
diderita
ISPA 30 -1.0543 1.12474 .20535
nilai Z skore
tidak ispa 30 -.8980 1.05712 .19300

Independent Samples Test


Levene's Test for
Equality of t-test for Equality of Means
Variances
95% Confidence
Sig. (2- Mean Std. Error Interval of the
F Sig. t df Difference
tailed) Difference Difference
Lower Upper
Equal
variances .000 1.000 -.555 58 .581 -.15633 .28181 -.72044 .40778
nilai Z assumed
skore Equal
variances not -.555 57.778 .581 -.15633 .28181 -.72049 .40782
assumed

D. Perbedaan Asupan Energi antara Balita ISPA dan tidak ISPA

Group Statistics
penyakit yg
diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
energi ISPA 30 837.07 264.234 48.242
tidak ispa 30 962.10 198.308 36.206

Independent Samples Test


Levene's Test for
Equality of t-test for Equality of Means
Variances
95% Confidence
Sig. (2- Mean Std. Error Interval of the
F Sig. t df Difference
tailed) Difference Difference
Lower Upper
Equal
-
variances .936 .337 58 .043 -125.023 60.317 -245.762 -4.285
2.073
assumed
energi
Equal
-
variances not 53.801 .043 -125.023 60.317 -245.963 -4.084
2.073
assumed

E. Perbedaan Asupan Protein antara Balita ISPA dan tidak ISPA

Group Statistics
penyakit yg
diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
protein ISPA 30 24.3343 9.86370 1.80086
tidak ispa 30 32.2967 10.93597 1.99663

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of t-test for Equality of Means
Variances

95% Confidence
Sig. (2- Mean Std. Error Interval of the
F Sig. t df Difference
tailed) Difference Difference
Lower Upper
Equal
-
variances .764 .386 58 .004 -7.96233 2.68879 -13.34453 -2.58013
2.961
assumed
protein
Equal
-
variances not 57.393 .004 -7.96233 2.68879 -13.34575 -2.57892
2.961
assumed

F. Perbedaan Asupan Vitamin A antara Balita ISPA dan tidak ISPA


Group Statistics
penyakit yg
diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Vit_A ISPA 30 3.7589E2 1141.01900 208.32061
tidak ispa 30 5.8667E2 1835.70397 335.15216

Independent Samples Test

Levene's
Test for
t-test for Equality of Means
Equality of
Variances
95% Confidence Interval of
Sig. (2- Mean Std. Error the Difference
F Sig. t df
tailed) Difference Difference
Lower Upper

Equal
-
Vit_A variances .484 .489 58 .595 -210.77333 394.61937 -1000.68983 579.14316
.534
assumed
Independent Samples Test

Levene's
Test for
t-test for Equality of Means
Equality of
Variances
95% Confidence Interval of
Sig. (2- Mean Std. Error the Difference
F Sig. t df
tailed) Difference Difference
Lower Upper

Equal
-
Vit_A variances .484 .489 58 .595 -210.77333 394.61937 -1000.68983 579.14316
.534
assumed
Equal
variances -
48.498 .596 -210.77333 394.61937 -1003.99837 582.45170
not .534
assumed

G. Perbedaan Asupan Vitamin E antara Balita ISPA dan tidak ISPA

Group Statistics
penyakit yg
diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Vit_E ISPA 30 1.6767 1.27676 .23310
tidak ispa 30 2.2167 1.12743 .20584

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of t-test for Equality of Means
Variances

95% Confidence Interval


Sig. (2- Mean Std. Error of the Difference
F Sig. t df
tailed) Difference Difference
Lower Upper

Equal variances -
.036 .850 58 .088 -.54000 .31098 -1.16249 .08249
assumed 1.736
Vit_E
Equal variances -
57.125 .088 -.54000 .31098 -1.16269 .08269
not assumed 1.736

H. Perbedaan Asupan Vitamin C antara Balita ISPA dan tidak ISPA


Group Statistics
penyakit yg
diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
vit_C ISPA 30 23.2767 28.74753 5.24856
tidak ispa 30 31.7133 35.53105 6.48705

Independent Samples Test


Levene's Test
for Equality of t-test for Equality of Means
Variances
95% Confidence
Sig. Interval of the
Mean Std. Error
F Sig. t df (2- Difference
Difference Difference
tailed)
Lower Upper
Equal
- -
variances .576 .451 58 .316 -8.43667 8.34441 8.26649
1.011 25.13982
assumed
vit_C
Equal
- -
variances not 55.578 .316 -8.43667 8.34441 8.28200
1.011 25.15533
assumed

I. Perbedaan Asupan Zink antara Balita ISPA dan tidak ISPA


Group Statistics
penyakit yg
diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Zink ISPA 30 2.9567 1.13371 .20699
tidak ispa 30 3.5467 .99090 .18091

J. Perbedaan Asupan Besi antara Balita ISPA dan tidak ISPA

Group Statistics

penyakit yg
diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of
Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence

Std. Error Interval of the

Sig. (2- Mean Differenc Difference

F Sig. t df tailed) Difference e Lower Upper

Kat_Tb Equal variances


5.256 .026 -1.393 58 .169 -.43333 .31104 -1.05594 .18927
esi assumed

Equal variances not


-1.393 53.217 .169 -.43333 .31104 -1.05713 .19047
assumed

Kat_Tbesi ISPA 30 1.4667 1.00801 .18404

tidak ispa 30 1.9000 1.37339 .25075

You might also like