You are on page 1of 95

KONSUMSI ENERGI DAN ZAT GIZI SERTA STATUS GIZI

PASIEN LANSIA DI RUANG GAYATRI


RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR

Arina Manasik

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ABSTRACT
ARINA MANASIK. Energy and Nutrients Intake, and Nutritional Status of Elderly
Patients in Gayatri Room Marzoeki Mahdi Hospital. Supervised by SITI
MADANIJAH and VERA URIPI.

Services and facilities of healthcare for elderly are the increasing number of
elderly response in Indonesia. Gayatri Room in Marzoeki Mahdi Hospital (RSMM)
is the only one special ward for elderly patients in Bogor. The purposes of this
research are to identify and to analyze energy and nutrients intake, and
nutritional status of elderly patients in Gayatri Room, RSMM, Bogor. This
research uses cross sectional design and take place in Gayatri Room and
Nutrition Unit. The subjects of this research are 30 hospitalized elderly in Gayatri
Room. Descriptive and correlative statistical methode are used to process all the
data. Hospital meals consists of meals provided by Nutrition Unit and commercial
formula. Meals provided by Nutrition Unit gives availability of energy and
nutrients sufficiently, except vitamin E and folic acid. It means that if patients
consume it optimally, they would meet their nutrition requirement. Energy and
nutrients availability of commercial formula is lower than meals provided by
Nutrition Unit and it can not meet nutrition requirement. Combination of meals
and commercial formula gives availability of energy and nutritients sufficiently,
and more patients have excessive. But, energy and nutrients intake of hospital
meals in most patients is still low. Some patients not only consume energy and
nutrients from hospital meals, but also from non-hospital meals, parenteral
nutrition, and supplement. Pearson’s correlative test shows that there is no
significant correlation between age and Body Mass Index (BMI) (p = 0,537; r =
-0,117), age and energy requirement (p = 0,129; r = -0,283), and age and level of
energy intake from hospital meals (p = 0,574; r = 0,111). Spearman’s correlative
test shows that there is no significant correlation between amount of disease and
BMI (p = 0,466; r = -0,138).

Keywords: intake, nutritional status, elderly patients, hospital meals


RINGKASAN

ARINA MANASIK. Konsumsi Energi dan Zat Gizi serta Status Gizi Pasien Lansia
di Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. (Dibimbing oleh Siti
Madanijah dan Vera Uripi)

Penyelenggaraan sarana bagi kegiatan dan layanan yang dikhususkan


bagi lansia merupakan usaha yang diharapkan dapat semakin meningkatkan
jaminan terhadap kesehatan lansia (Komnas Lansia 2008). Ruang Gayatri
Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor merupakan satu-satunya
ruang rawat inap kelas II plus khusus lansia dengan diagnosa minimal tiga jenis
penyakit yang tersedia di Kota Bogor. Penyelenggaraan makanan yang diberikan
kepada pasien di Ruang Gayatri masih dilakukan secara bersama dengan pasien
umum lainnya. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari
keragaan konsumsi energi dan zat gizi serta status gizi pasien lansia yang
dirawat di Ruang Gayatri RSMM. Tujuan khusus penelitian ini adalah (1)
Mengidentifikasi karakteristik pasien dan jenis penyakit, (2) Menganalisis status
gizi pasien, (3) Menganalisis kebutuhan energi dan zat gizi pasien, (4)
Menganalisis ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS (makanan
olahan RS dan formula khusus), (5) Menganalisis konsumsi energi dan zat gizi
dari makanan RS dan makanan luar RS, (6) Menganalisis hubungan antara
variabel usia dengan status gizi (IMT), variabel status gizi (IMT) dengan jumlah
penyakit, variabel usia dengan kebutuhan energi, dan variabel usia dengan
tingkat konsumsi energi dari ketersediaan makanan RS.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, dilaksanakan
pada bulan Oktober hingga November 2010 berlokasi di Instalasi Gizi dan Ruang
Gayatri RSMM Bogor. Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien lansia di
Ruang Gayatri RSMM Bogor yang berada saat penelitian berlangsung.
Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling,
dengan kriteria inklusi yang terdiri dari (1) Bersedia diukur tinggi atau panjang
badan dan berat badan atau lingkar lengan atas, (2) Bersedia diwawancara atau
ada pihak keluarga yang dapat memberikan informasi mengenai pasien, (3)
Dirawat di Ruang Gayatri selama minimal tiga hari, dan (4) Tidak dalam keadaan
berpuasa sehingga dapat diamati konsumsi pangannya selama tiga hari .
Jumlah pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi hingga batas waktu
penelitian sebanyak 30 orang. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan
sekunder. Data primer meliputi karakteristik pasien, jenis penyakit, status gizi,
kebutuhan, ketersediaan, serta konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS
dan makanan luar RS. Data sekunder meliputi gambaran umum RSMM, Ruang
Gayatri, dan Instalasi Gizi. Data diperoleh melalui pengamatan langsung dan
wawancara menggunakan kuesioner, serta informasi yang diperoleh dari rekam
medis dan dokumentasi RS. Pengolahan data meliputi perhitungan terhadap
kebutuhan energi dan zat gizi masing-masing pasien, ketersediaan energi dan
zat gizi dari makanan RS, konsumsi energi dan zat gizi pasien dari berbagai
sumber, dan status gizi menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS
versi 16.0 for windows. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik
deskriptif serta analisis korelasi menggunakan Uji Pearson dan Uji Spearman.
Sebanyak 63,3% pasien berjenis kelamin wanita. Usia pasien berkisar
antara 60 hingga 100 tahun. Sebanyak 60% pasien termasuk dalam kategori
usia lanjut (elderly). Status pernikahan sebanyak 63,3% pasien adalah duda atau
janda. Sebanyak 60% pasien mendapat biaya perawatan RS dari keluarga. Jenis
penyakit yang diderita oleh paling banyak pasien adalah gangguan
kardiovaskuler. Selain itu, sebanyak 36,7% pasien menderita gangguan penyerta
berupa anemia, dan 60% berisiko low intake.
Makanan RS terdiri dari makanan olahan RS dan formula komersial.
Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan olahan RS adalah
energi sebanyak 117,5% dari kebutuhan energi pasien; protein sebanyak 1,8
g/kg BB; karbohidrat sebanyak 66,6% dari kebutuhan energi; lemak sebanyak
34,1% dari kebutuhan energi; serta vitamin dan mineral lebih dari sama dengan
77% AKG, kecuali vitamin E dan asam folat. Rata-rata ketersediaan energi dan
zat gizi dari formula komersial adalah energi sebanyak 65,1% dari kebutuhan
energi pasien; protein sebanyak 0,5 g/kg BB; karbohidrat sebanyak 43,7% dari
kebutuhan energi; lemak sebanyak 14,1% dari kebutuhan energi; serta vitamin
dan mineral lebih dari sama dengan 77% AKG, kecuali asam folat, vitamin B12,
mineral kalsium, dan besi. Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi dari
makanan olahan RS dan formula komersial adalah energi sebanyak 141,2% dari
kebutuhan energi pasien; protein sebanyak 2,3 g/kg BB; karbohidrat sebanyak
66,6% dari kebutuhan energi; lemak sebanyak 40,1% dari kebutuhan energi;
serta vitamin dan mineral lebih dari sama dengan 77% AKG, kecuali vitamin E
dan asam folat.
Makanan RS merupakan sumber utama energi dan zat gizi ketika pasien
dirawat di RS. Secara umum konsumsi makanan pokok dan sayuran cenderung
rendah karena masih kurang dari konsumsi minimal yang disarankan dari
ketersediaan. Lauk hewani dan nabati cenderung dikonsumsi lebih dari sama
dengan batas konsumsi minimal yang disarankan dari ketersediaan. Rata-rata
konsumsi energi dan zat gizi total (makanan RS dan makanan luar RS) adalah
energi sebanyak 71,6% dari kebutuhan energi, protein sebanyak 1 g/kg BB,
lemak sebanyak 19,9% dari total kebutuhan energi, dan karbohidrat sebanyak
44% dari total kebutuhan energi. Rata-rata konsumsi vitamin dan mineral masih
kurang dari 77% AKG, kecuali vitamin A.
Hasil Uji Korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang nyata antara variabel usia dengan IMT (p > 0,05) (p = 0,537; r = -0,117),
variabel usia dengan kebutuhan energi (p = 0,129; r = -0,283), dan variabel usia
dengan konsumsi energi dari makanan RS (p = 0,574; r = 0,111). Hasil Uji
Korelasi Spearman memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata
antara variabel jumlah penyakit yang diderita dengan Indeks Massa Tubuh (p >
0,05) (p = 0,466; r = -0,138).
Faktor dari dalam diri pasien yang mempengaruhi konsumsi makanan RS
meliputi adanya penurunan kondisi fisik karena faktor usia dan penyakit serta
kondisi psikis yang mempengaruhi nafsu dan kemampuan makan pasien. Faktor
dari luar diri pasien meliputi konsistensi makanan yang tidak sesuai dengan
kemampuan makan pasien, rasa makanan, serta kegiatan konsultasi gizi yang
belum merata ke seluruh pasien lansia di Ruang Gayatri. Disarankan kepada
pihak RS untuk lebih memperhatikan pelayanan makanan, tekstur makanan,
porsi, frekuensi, serta rasa masakan sehingga pasien dapat mengkonsumsi
makanan RS dengan baik. Penelitian mengenai daya terima dan persepsi pasien
terhadap makanan RS disarankan untuk dilakukan sebagai masukan bagi
penyelenggaraan makanan selanjutnya. Pelayanan konsultasi gizi dengan dokter
atau ahli gizi supaya lebih ditingkatkan agar pasien dapat mengkonsumsi
makanan RS secara optimal melalui dorongan dari keluarga.
KONSUMSI ENERGI DAN ZAT GIZI SERTA
STATUS GIZI PASIEN LANSIA DI RUANG GAYATRI
RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR

ARINA MANASIK

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Konsumsi Energi dan Zat Gizi, serta Status Gizi Pasien Lansia di
Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Nama : Arina Manasik
NRP : I14060722

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dr. Vera Uripi


NIP: 19491130 197603 2 001 NIP: 19511207 198803 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS


NIP: 19621218 198703 1 001

Tanggal lulus:
PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh
SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Konsumsi Energi
dan Zat Gizi, serta Status Gizi Pasien Lansia di Ruang Gayatri RS. dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor” dapat diselesaikan. Atas selesainya skripsi ini, penulis
ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen pembimbing skripsi I dan
dr. Vera Uripi selaku dosen pembimbing skripsi II, yang telah memberikan
arahan, nasehat, dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
2. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M. Sc selaku dosen pembimbing akademik, atas
bimbingan dan perhatian selama penulis melaksanakan studi.
3. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen pemandu seminar dan penguji
skripsi yang telah memberikan masukan, saran, dan kritik demi
kesempurnaan skripsi ini.
4. dr. Erry Dharma Irawan, SpKj selaku Direktur Utama RS. dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor yang memberi izin penulis melaksanakan penelitian di
Instalasi Gizi dan Ruang Gayatri RSMM.
5. dr. Anna Hoengdrayana Then, SpGk, M.Gizi selaku pembimbing lapang
yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian
berlangsung.
6. Ns. Aldi Andeksa, S.Kep selaku Kepala Ruang Gayatri, Hj. Hera Ganefi
TD, DCN, MARS selaku Kepala Instalasi Gizi, para perawat, dan tenaga
gizi yang telah membantu penulis dalam proses penelitian.
7. Bapak, Ibu, dan Adik-adik (Dila, Jamil, Riris) atas doa dan dukungan
selama ini yang tiada henti untuk penulis.
8. Teman-teman Gizi’ 43 (terutama Andris, Anne, Dini, Ghaida, dan Wulan),
serta seluruh penghuni Griya MBL (terutama Sofi, Lia, Nana, dan Vika)
atas kebersamaan selama ini Alhamdulillahi Jaza Kumullohu Khoiron.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Juni 2011

Arina Manasik
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Arina Manasik dilahirkan di Jakarta pada
tanggal 24 Februari 1988, dari pasangan Bapak H. Nur Ali dan Ibu Hj. Winarni.
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal
penulis dimulai dari TK Pertiwi IV dan SD Negeri 08 Pagi Cilandak Barat. Penulis
kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 85 Pondok Labu dan SMA
Negeri 46 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Penulis diterima sebagai mahasiswa
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur USMI, dan pada tahun
2007 penulis diterima pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat,
Institut Pertanian Bogor.
Selama menjalani masa perkuliahan penulis pernah mengikuti kegiatan
kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) periode 2008 –
2009. Beberapa kepanitian yang telah diikuti penulis antara lain Masa
Perkenalan Departemen dan Fakultas (2008) dan Nutrition Fair (2009). Penulis
pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan yang
didanai Dikti pada tahun 2009. Selain itu, penulis juga pernah melakukan Kuliah
Kerja Profesi pada tahun 2009 di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Barat, serta
Internship Bidang Dietetika di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita
Jakarta pada tahun 2010. Penulis juga pernah menjadi tenaga enumerator dalam
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) di Kota Bogor yang diselenggarakan oleh
Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………..……….. x
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………… xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………........ xiii
PENDAHULUAN …………………………………...…………………………........ 1
Latar Belakang ………...………………………...………………………… 1
Tujuan Penelitian……...………………………………………...…………. 2
Kegunaan …………………...……………………………………………… 3
TINJAUAN PUSTAKA ….……………………………………………………......... 4
Masalah Kesehatan dan Gizi Lansia ..................................................... 4
Makanan untuk Pasien Rawat Inap ....................................................... 6
Perencanaan Menu ........................................................................ 6
Pemilihan Bahan Makanan ............................................................ 7
Pengolahan Bahan Makanan ......................................................... 7
Standar Porsi dan Pendistribusian Makanan ................................. 8
Kebutuhan Gizi pada Pasien Lansia ..................................................... 8
Energi ............................................................................................. 9
Protein ............................................................................................ 10
Karbohidrat ..................................................................................... 10
Lemak ............................................................................................. 11
Vitamin dan Mineral ........................................................................ 12
Status Gizi Lansia ................................................................................. 14
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................. 16
METODE PENELITIAN ..................................................................................... 19
Desain, Tempat, dan Waktu .................................................................. 19
Cara Pengambilan Contoh .................................................................... 19
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ...................................................... 20
Pengolahan dan Analisis Data .............................................................. 22
Pengolahan Data ............................................................................ 22
Analisis Data .................................................................................. 27
Definisi Operasional .............................................................................. 28
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 30
Gambaran Umum RS dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dan R. Gayatri .... 30
Gambaran Umum Instalasi Gizi ............................................................ 31
Perencanaan Menu ........................................................................ 32
Bahan Makanan, Standar Porsi, Pengolahannya........................... 33
Pendistribusian ............................................................................... 34
Karakteristik Pasien ............................................................................... 35
Jenis Penyakit dan Status Gizi .............................................................. 36
Jenis Penyakit ................................................................................ 36
Status Gizi ...................................................................................... 39
Kebutuhan Energi dan Zat Gizi ............................................................. 39
Ketersediaan Energi dan Zat Gizi dari Makanan RS ............................. 40
Makanan Olahan RS ...................................................................... 41
Formula Komersial ......................................................................... 45
Makanan Olahan RS dan Formula Komersial ................................ 47
Konsumsi Makanan RS ......................................................................... 50
Konsumsi Makanan Pokok ............................................................. 50
Konsumsi Lauk Hewani dan Nabati ............................................... 50
Konsumsi Sayuran dan Buah-buahan ............................................ 51
Konsumsi Makanan Selingan dan Formula Komersial ................... 53
Konsumsi Energi dan Zat Gizi dari Sumber Pangan ............................. 54
Konsumsi Energi ............................................................................ 54
Konsumsi Protein ........................................................................... 55
Konsumsi Karbohidrat dan Lemak ................................................. 56
Konsumsi Vitamin dan Mineral ....................................................... 57
Hubungan antar Variabel ...................................................................... 59
Hubungan Jenis Kelamin dengan Usia dan Status Pernikahan ..... 59
Hubungan Usia dengan Indeks Massa Tubuh ............................... 60
Hubungan Status Gizi dengan Jumlah Penyakit ............................ 60
Hubungan Usia dengan Kebutuhan Energi .................................... 60
Hubungan Usia dengan Tingkat Konsumsi Energi Makanan
Olahan RS terhadap Ketersediaan ......................................... 61
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 62
Kesimpulan ............................................................................................ 62
Saran ..................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 64
LAMPIRAN ........................................................................................................ 67
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Angka kecukupan vitamin dan mineral pada lansia .................................... 14
2 Cut off point IMT untuk populasi Asia menurut WHO tahun 2004............... 15
3 Variabel, cara, dan alat yang digunakan dalam pengumpulan data …....... 21
4 Pengkategorian variabel karakteristik individu …………………………....... 21
5 Faktor aktivitas ............................................................................................ 23
6 Faktor stress ……………………………………………………………….….. 23
7 Ketentuan kebutuhan energi dan zat gizi pada diet khusus ……………..... 24
8 Pengkategorian tingkat kecukupan energi dan zat gizi …………………..... 25
9 Status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia ………………………....... 27
10 Kerangka menu berdasarkan kelas perawatan ……………………………... 33
11 Standar porsi bahan makanan untuk pasien umum kelas II …………......... 34
12 Sebaran pasien berdasarkan karakteristik …………………………………... 36
13 Sebaran pasien berdasarkan jenis penyakit ................................................ 39
14 Sebaran pasien berdasarkan status gizi ………………………………...….. 39
15 Rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi …………………………………….. 40
16 Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi makanan
olahan RS terhadap kebutuhan .................................................................. 41
17 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan protein makanan olahan RS.... 42
18 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat makanan olahan
RS ............................................................................................................... 43
19 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak makanan olahan RS .... 43
20 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS
terhadap AKG ............................................................................................. 45
21 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari formula komersial ........... 47
22 Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi makanan
olahan RS dan formula komersial terhadap kebutuhan .............................. 47
23 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat makanan olahan
RS dan formula komersial ........................................................................... 48
24 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak makanan olahan RS
dan formula komersial ................................................................................. 49
25 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS dan
formula komersial terhadap AKG .................................. 49
26 Konsumsi setiap makanan pokok terhadap ketersediaan .......................... 50
27 Konsumsi setiap lauk hewani terhadap ketersediaan ................................. 51
28 Konsumsi setiap lauk nabati terhadap ketersediaan .................................. 51
29 Konsumsi sayuran terhadap ketersediaan .................................................. 52
30 Konsumsi buah-buahan terhadap ketersediaan ......................................... 52
31 Konsumsi makanan selingan dan formula komersial terhadap
Ketersediaan................................................................................................ 53
32 Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi energi terhadap
kebutuhan.................................................................................................... 55
33 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi protein total .................................. 56
34 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi karbohidrat total ........................... 56
35 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi lemak total ................................... 57
36 Rata-rata konsumsi vitamin dan mineral total terhadap AKG ..................... 58
37 Sebaran pasien berdasarkan jenis kelamin dan usia ................................. 59
38 Sebaran pasien berdasarkan jenis kelamin dan status perkawinan ........... 59
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Analisis konsumsi energi dan zat gizi serta status gizi pasien lansia
rawat inap …………………………………....…………………………….. 18
2 Cara penarikan contoh …………………….……………………………… 19
3 Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi zat gizi mikro terhadap
AKG …………………………………………………………………………. 58
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Kuesioner penelitian …………………………………………………… 68
2 Struktur organisasi Ruang Gayatri …………………………………… 73
3 Keadaan Ruang Gayatri RSMM ……………………………………… 74
4 Struktur organisasi Instalasi Gizi RSMM …………………………..… 75
5 Siklus menu pasien Ruang Gayatri dan pasien kelas II ..………...… 76
6 Keadaan Instalasi Gizi dan Pantry ...…………………………………. 77
7 Data karakteristik pasien …..…………………………………………... 78
8 Perhitungan tingkat konsumsi minimal makanan RS ……………….. 79
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Saat ini kemajuan tingkat kesehatan, sosial ekonomi, kemajuan ilmu
kedokteran, kebersihan lingkungan, keadaan gizi yang baik, dan kemajuan di
bidang teknologi pangan telah meningkatkan usia harapan hidup Indonesia.
Semakin meningkatnya usia harapan hidup, berarti jumlah manusia lanjut usia
praktis akan bertambah banyak (Astawan & Wahyuni 1988). Jumlah penduduk
lansia di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 16,02 juta orang naik menjadi
sekitar 16,80 juta orang pada tahun 2005, dan naik lagi menjadi sekitar 18,96
juta orang pada tahun 2007 (BPS 2007). Jumlah lansia tahun 2010 diperkirakan
akan mencapai 23 juta jiwa, dan tahun 2020 menjadi 28 juta orang lebih
(Depkominfo 2009).
Memiliki usia panjang bukanlah tanpa masalah. Sebagian lansia ada
yang tergolong sehat, dan ada pula yang mengidap penyakit kronis (Arisman
2003). Berkurangnya fungsi imun selama proses penuaan juga mengakibatkan
mudahnya lansia terserang penyakit infeksi (Harris 2004). Angka kesakitan
penduduk lansia cenderung meningkat meskipun relatif kecil selama kurun waktu
tahun 2003 hingga 2007, yaitu sebesar 28,5% pada tahun 2003, meningkat
menjadi 30,0% pada tahun 2005, dan pada tahun 2007 meningkat menjadi
31,1% (BPS 2007).
Penyelenggaraan sarana bagi kegiatan dan layanan yang dikhususkan
bagi lansia merupakan usaha yang diharapkan dapat semakin meningkatkan
jaminan terhadap kesehatan lansia (Komnas Lansia 2008). Satu-satunya rumah
sakit di Kota Bogor yang menyediakan pelayanan ruang rawat inap akut bagi
pasien lansia yang memiliki minimal tiga macam gangguan kesehatan adalah
Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi. Darmojo dan Martono (2006) menjelaskan
bahwa bangsal geriatri akut adalah bangsal atau ruang rawat inap tempat
penderita geriatri dengan penyakit akut atau subakut dilakukan tindakan
penilaian, kuratif, dan rehabilitatif jalur cepat oleh tim geriatri. Perhimpunan
Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI) mendefinisikan penderita geriatri
sebagai mereka yang secara kronologis dan biologis telah berusia lanjut (berusia
60 tahun ke atas) dan menderita lebih dari dua macam penyakit yang secara
umum merupakan penyakit degeneratif.
Perawatan di rumah sakit berarti memisahkan penderita dari
lingkungannya sehari-hari termasuk juga kebiasaan dalam makanannya, cara
makanan itu dihidangkan, tempat makan, waktu makan, dan sebagainya.
Perubahan lingkungan dan kebiasaan ini dapat merupakan beban mental bagi
penderita yang akan menghambat penyembuhan penyakitnya (Subandriyo &
Santoso 1995).
Hasil penelitian McWhirter dan Pennington (1994) menemukan bahwa
sebanyak 200 dari 500 pasien rumah sakit mengalami gizi kurang, 171 pasien
mengalami gizi lebih, dan hanya 129 pasien yang memiliki status gizi normal.
Berdasarkan Data Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta (2001) dalam Setiati (2006), menunjukkan bahwa di
ruang rawat akut Geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2001 didapatkan
masalah gizi (gizi kurang, gizi buruk, hipoalbuminemia, dan anemia) sebesar
28,8% dari seluruh masalah pasien geriatri yang dirawat.
Perhitungan energi atau analisis diet sering digunakan untuk menilai
asupan pangan dan zat gizi aktual pada pasien (Hammond 2004). Perhatian
pada hal-hal tersebut kemudian menjadi gagasan dari penelitian yang berjudul
“Konsumsi Energi dan Zat Gizi serta Status Gizi Pasien Lansia di Ruang Gayatri
Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor”. Peneliti berharap agar penelitian ini
dapat memberikan gambaran bagaimana keadaan konsumsi energi dan zat gizi
serta status gizi pasien lansia rawat inap tersebut.

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keadaan konsumsi energi dan
zat gizi, serta status gizi pasien lansia yang dirawat di Ruang Gayatri Rumah
Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik pasien dan jenis penyakit.
2. Menganalisis status gizi pasien.
3. Menganalisis kebutuhan energi dan zat gizi pasien.
4. Menganalisis ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS
(makanan olahan RS dan formula komersial).
5. Menganalisis konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dan
makanan luar RS.
6. Menganalisis hubungan antara variabel usia dengan status gizi (IMT),
variabel status gizi (IMT) dengan jumlah penyakit, variabel usia dengan
kebutuhan energi, dan variabel usia dengan tingkat konsumsi energi dari
ketersediaan makanan RS.

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna bagi peneliti untuk mengembangkan diri dan
memperluas pengetahuan serta wawasan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat
memberikan gambaran mengenai konsumsi energi dan zat gizi, juga status gizi
pasien lansia yang dirawat di Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan manfaat bagi rumah sakit
dalam upaya meningkatan pelayanan gizi bagi pasien lansia, sehingga dengan
dukungan gizi yang baik diharapkan lama rawat pasien akan lebih singkat.
TINJAUAN PUSTAKA

Masalah Kesehatan dan Gizi Lansia


Penuaan adalah proses normal yang dimulai sejak masa konsepsi
sampai dengan akhirnya mati (Harris 2004). Lanjut usia sesuai dengan undang-
undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, adalah
seseorang yang telah mencapai lebih dari 60 tahun ke atas. Klasifikasi lansia
berdasarkan usia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) yaitu usia lanjut
(elderly) (60 – 74 tahun), usia lanjut tua (old) (75 – 90 tahun), dan usia lanjut
sangat tua (very old) (di atas 90 tahun) (Komnas Lansia 2008).
Kemampuan fisiologis seseorang akan mengalami penurunan secara
bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai dengan
kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 – 3% perdekade. Sarkopenia, kehilangan
massa otot yang berkaitan dengan usia, berkontribusi terhadap penurunan
kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan dan keseimbangan, kehilangan
fungsi fisik, dan meningkatnya risiko penyakit kronis. Selama masa
pertumbuhan, proses anabolisme lebih banyak terjadi daripada proses
katabolisme. Saat tubuh sampai pada masa kedewasaan, tingkat katabolisme
atau perubahan degeneratif menjadi lebih besar daripada regenerasi anabolik
(Harris 2004).
Stieglietz (1954) dalam Darmojo dan Martono (2006) menerangkan
bahwa penyakit pada populasi lansia berbeda perjalanan dan penampilannya
dengan yang terdapat pada populasi lain. Secara singkat dapat disimpulkan
bahwa penyakit pada usia lanjut bersifat multi patologis atau mengenai multi
organ atau sistem, degeneratif dan saling terkait, kronis dan cenderung
menyebabkan kecacatan lama sebelum terjadinya kematian, dan biasanya juga
mengandung psikologis dan sosial. Selain itu sering terjadi polifarmasi dan
iatrogenesis, yaitu menderita penyakit baru akibat penggunaan obat-obatan yang
berlebihan dibandingkan dengan diagnosa. Brocklehurst dan Allen (1987) dalam
Darmojo dan Martono (2006) menambahkan satu hal lagi yang penting yaitu usia
lanjut juga lebih sensitif terhadap penyakit akut.
Selama proses penuaan, pembuluh darah menjadi kurang elastis dan
meningkatnya resistensi periferal sehingga meningkatkan risiko terjadinya
hipertensi. Peningkatan resistensi pembuluh darah dapat mengganggu aliran
darah ke jantung sehingga menyebabkan penyakit kardiovaskuler (Harris 2004).
Susunan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi tubuh, dapat
menciptakan dua kemungkinan, yaitu keadaan gizi kurang atau keadaan gizi
lebih (kegemukan). Keadaan obesitas ini banyak dipengaruhi oleh kegiatan yang
berlebihan dari kelenjar hipotalamus, banyaknya sel-sel lemak tubuh, umur para
lanjut usia, aktivitas jasmani yang kurang, faktor psikologis, faktor keturunan, dan
faktor endokrin. Keadaan ini sering pula menimbulkan gangguan dalam tubuh
secara mekanis, secara metabolik, traumata (kecelakaan), maupun gangguan
kardiovaskuler (Astawan & Wahyuni 1988).
Fungsi imunitas juga mengalami penurunan pada lansia, sehingga
kemampuan melawan infeksi berkurang dan meningkatnya kejadian penyakit
infeksi pada lansia. Fungsi ginjal dan kecepatan penyaringan glomerulus
mengalami penurunan sekitar 60% pada usia 30 sampai 80 tahun, terutama
jumlah nefron yang berkurang menyebabkan menurunnya aliran darah (Harris
2004). Pembuangan sisa-sisa metabolisme protein dan elektrolit yang harus
dilakukan ginjal akan merupakan beban tersendiri (Darmojo & Martono 2006).
Masalah gizi merupakan masalah paling penting dalam perawatan pasien
usia lanjut. Penurunan berat badan sebagai akibat kekurangan gizi merupakan
masalah utama yang seringkali dijumpai pada usia lanjut yang dirawat (Setiati
2006). Angka kematian yang berhubungan dengan underweight adalah sama
dengan angka kematian yang berhubungan dengan obesitas, terutama pada
lanjut usia (Harris 2004).
Salah gizi adalah keadaan gizi kurang atau gizi lebih karena asupan zat
gizi di bawah atau di atas kisaran yang dianjurkan dalam waktu yang lama
(Sandjaja et al. 2009). Kejadian salah gizi pada seorang pasien mempunyaki
efek negatif untuk mental maupun fisik pasien. Salah gizi pada seorang pasien
merupakan faktor yang memperpanjang masa rawat pasien, meningkatkan
kebutuhan untuk pelayanan yang dengan tingkat ketergantungan perawat yang
lebih tinggi, butuh perawatan intensif yang lebih tinggi, meningkatkan terjadinya
komplikasi dari penyakit yang diderita pasien dan tentunya akan meningkatkan
angka kematian baik karena penyakitnya atau komplikasi dari penyakitnya
(Daldiyono & Syam 2002).
Angka kejadian kekurangan energi dan protein pada pasien lansia yang
dirawat di rumah sakit berkisar antara 30% sampai dengan 65% (Fogt et al. 1995
dalam Setiati 2006). Suatu studi di Swedia mendapatkan 29% lansia mengalami
salah gizi ketika awal masuk rumah sakit (Thomas et al. 2000 dalam Setiati
2006). Studi lain di luar negeri mendapatkan sekitar 60% lansia yang di rawat di
rumah sakit mengalami kekurangan energi dan protein pada saat masuk rumah
sakit atau mengalami salah gizi ketika dirawat sampai sebelum keluar dari rumah
sakit (Sullivan et al. 1990 dalam Setiati 2006).

Makanan untuk Pasien Rawat Inap


Pengaturan makanan pada orang sakit sangat berperan dalam proses
penyembuhan penyakitnya, sama halnya dengan perawatan dan pengobatan
penyakit (Subandriyo & Santoso 1995). Pelayanan kesehatan paripurna seorang
pasien memerlukan tiga jenis asuhan yang terdiri atas asuhan medik, asuhan
keperawatan, dan asuhan gizi. Tujuan utama dari asuhan gizi adalah memenuhi
kebutuhan zat gizi pasien secara optimal baik berupa pemberian makanan pada
pasien yang dirawat maupun konseling gizi pada pasien rawat jalan. Kerjasama
tim dari unsur yang terkait untuk mewujudkan tujuan tersebut meliputi membuat
diagnosa masalah gizi, menentukan kebutuhan terapi gizi, memilih dan
mempersiapkan bahan atau makanan atau formula khusus (oral, enteral, dan
parenteral) sesuai kebutuhan, melaksanakan pemberian makanan,
evaluasi/pengkajian gizi dan pemantauan (Depkes RI 2003).
Cara pemberian terapi gizi dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu
secara oral, enteral, dan parenteral. Pemberian secara oral merupakan cara
yang paling aman, mudah, dan terbaik. Pemberian gizi secara suplementasi oral
dilakukan bila pasien tidak dapat mengkonsumsi makanan secara cukup,
sehingga diperlukan dukungan gizi untuk memenuhi kebutuhannya (Setiati
2006). Penentuan terapi gizi pasien perlu berpedoman pada tepat gizi (bahan
makanan), tepat formula, tepat bentuk, tepat cara pemberian, serta tepat dosis
dan waktu (Depkes RI 2003). Porsi makanan yang dikonsumsi hendaknya kecil,
tetapi frekuensinya lebih sering, supaya tidak memberi rasa jenuh, pengab atau
mual (Roedjito 1989).
Perencanaan Menu
Perencanaan menu merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk
menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Perencanaan menu harus
disesuaikan dengan anggaran yang ada dan mempertimbangkan kebutuhan gizi
dan aspek kepadatan makanan, kebiasaan makan penderita, variasi bahan
makan, kombinasi yang dapat diterima oleh penderita, persiapan dan
penampilan makanan, dan cara-cara pelayanan. Pola menu sehari yang
dianjurkan di Indonesia adalah gizi seimbang yang terdiri dari makanan sumber
zat tenaga, makanan sumber zat pembangun, dan makanan sumber zat
pengatur (Subandriyo & Santoso 1995).
Tujuan dari perencanaan menu adalah tersedianya siklus menu sesuai
klasifikasi pelayanan yang ada di rumah sakit. Siklus menu pada umumnya
direncanakan pada waktu tertentu misalnya 10 sampai dengan 15 hari (Depkes
RI 2003). Siklus menu satu sampai dua minggu cocok digunakan pada rumah
sakit dengan masa rawat pasien sekitar dua sampai empat hari. Siklus menu
selama tiga sampai empat minggu biasa digunakan pada masa rawat dalam
jangka waktu yang lama (Gregoire & Spears 2007).
Pemilihan Bahan Makanan
Kejelian memilih bahan pangan adalah merupakan langkah awal untuk
menentukan mutu akhir suatu hidangan. Pemilihan diusahakan bahan makanan
yang masih segar secara alami (Astawan & Wahyuni 1988). Konsumsi supaya
diutamakan pada makanan yang dapat mendukung penyembuhan penyakit dan
menghindari makanan yang malah akan memperburuk kondisi penyakit
(Wirakusumah 2001).
Pengolahan Bahan Makanan
Pengolahan makanan merupakan suatu kegiatan mengubah (memasak)
bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap dimakan, berkualitas, dan
aman untuk dikonsumsi (Depkes RI 2003). Tujuan dari pemasakan terdiri atas
meningkatkan nilai estetik bahan makanan dengan memaksimalkan kualitas
(warna, tekstur, dan cita rasa), membunuh organisme berbahaya sehingga
makanan yang akan dikonsumsi terjamin aman secara mikrobiologi, dan
meningkatkan daya cerna serta mempertahankan nilai gizi (Payhe-Palacio &
Theis 2009).
Proses pemasakan terdiri dari enam macam, yaitu pemasakan dengan
medium udara, pemasakan dengan medium air, pemasakan dengan
menggunakan lemak, pemasakan langsung melalui dinding panci, pemasakan
dengan kombinasi, dan pemasakan dengan elektromagnetik (Depkes RI 2003).
Lansia yang kesulitan mengunyah sebaiknya dipilihkan makanan-makanan yang
lunak dan mudah dikunyah, seperti buah-buahan, sari buah, daging giling, susu,
ikan, telur, dan lain-lainnya. Beberapa alat dapat digunakan untuk membuat
makanan menjadi lebih mudah dikunyah seperti alat pencacah daging, mixer,
crusher, grinder, blender dan peralatan-peralatan lainnya perlu disediakan
(Astawan & Wahyuni 1988).
Standar Porsi dan Pendistribusian Makanan
Setelah mengalami proses pemasakan, makanan harus mengalami
proses pemorsian dan penyaluran dari dapur ke ruang perawatan. Makanan
diporsikan berdasarkan berat, ukuran, atau jumlah makanan. Standar porsi tidak
hanya diperlukan untuk kontrol biaya, namun juga untuk menciptakan dan
mempertahankan kepuasan konsumen (Payhe-Palacio & Theis 2009). Waktu
pemorsian makanan khusus harus dilakukan bersamaan dengan makanan biasa
sehingga penyajian pada satu ruangan dapat dilakukan secara serempak. Harus
ada tanda khusus untuk plato dengan makanan biasa dan plato dengan
makanan khusus (Subandriyo & Santoso 1995).
Pendistribusian makanan adalah serangkaian kegiatan penyaluran
makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan konsumen yang
dilayani (makanan biasa atau makanan khusus). Tujuannya adalah pasien
mendapat makanan sesuai diet dan ketentuan yang berlaku. Terdapat tiga
sistem penyaluran makanan yang biasa dilaksanakan di rumah sakit, yaitu
sistem yang dipusatkan (sentralisasi), sistem yang tidak dipusatkan
(desentralisasi), dan kombinasi antara sentralisasi dan desentralisasi (Depkes RI
2003).
Pendistribusian makanan secara sentralisasi dilaksanakan dengan
ketentuan makanan pasien dibagi dan disajikan dalam alat makan di tempat
pengolahan makanan. Pendistribusian makanan secara desentralisasi yaitu
makanan pasien dibawa dari tempat pengolahan ke dapur ruang perawatan
pasien dalam jumlah besar, untuk selanjutnya disajikan dalam alat makan
masing-masing pasien sesuai dengan permintaan makanan. Pendistribusian
makanan kombinasi dilakukan dengan cara sebagian makanan ditempatkan
langsung ke dalam alat makanan pasien sejak dari tempat produksi (dapur), dan
sebagian lagi dimasukkan ke dalam wadah besar, pendistribusiannya
dilaksanakan setelah sampai di ruang perawatan (Depkes RI 2003). Waktu
khusus bagi pasien untuk makan harus ditetapkan jika terdapat cukup staf. Alat
makan seperti sendok, garpu, pisau, barang tembikar, dan tatanan makanan
mungkin dibutuhkan (Watson 2003).

Kebutuhan Gizi pada Pasien Lansia


Masing-masing lansia memiliki kebutuhan gizi yang unik sehingga saran
diet seharusnya diberikan secara individu (Harris 2004). Faktor-faktor yang
terkait dengan kebutuhan gizi lansia terdiri dari aktivitas fisik, kemunduran
biologis, pengobatan, serta depresi dan kondisi mental (Wirakusumah 2001).
Kebutuhan gizi dalam keadaan sakit, selain tergantung pada faktor-faktor
yang mempengaruhi dalam keadaan sehat juga dipengaruhi oleh jenis dan berat
ringannya penyakit (Almatsier 2005). Lansia yang sedang sakit akut dihitung
kebutuhan energi dan zat gizinya berdasarkan peningkatan yang dibutuhkan
untuk merespon keadaan hiperkatabolik yang disebabkan oleh stres penyakit
(Arisman 2003). Menurut Depkes RI (2003), penentuan kebutuhan gizi diberikan
kepada pasien atas dasar status gizi, pemeriksaan klinis, dan data laboratorium.
Selain itu, perlu juga memperhatikan kebutuhan untuk penggantian zat gizi,
kebutuhan harian, kebutuhan tambahan karena kehilangan serta tambahan
untuk pemulihan jaringan atau organ yang sedang sakit.
Energi
Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia
karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme
basal, dan pengurangan aktivitas fisik. Kebutuhan energi seseorang dapat
diketahui dengan menghitung kebutuhan energi sehari, atau menghitung
persentase peningkatan dari kebutuhan energi untuk metabolisme basal (Frary &
Johnson 2004).
Berat badan ideal biasanya lebih sering digunakan dalam perhitungan
kebutuhan energi daripada berat badan aktual karena perhitungan menggunakan
berat badan aktual dapat menimbulkan kesalahan perhitungan kebutuhan pada
kasus gizi kurang atau gizi lebih. Perhitungan menggunakan berat badan aktual
untuk kasus salah gizi yang sangat ekstrim adalah sebuah pengecualian (Frary &
Johnson 2004).
Kebutuhan energi pada pasien gagal jantung kongestif tergantung pada
berat badan aktual, pembatasan aktivitas, dan tingkat keparahan. Pasien gagal
jantung parah yang kurang gizi kebutuhan energinya meningkat sebesar 30 –
50% di atas energi metabolisme basal, atau sebesar 35 kkal/kg BB (Krummel
2004). Asupan energi yang dianjurkan bagi pasien gagal ginjal kronik adalah
sebesar 30 – 35 kkal/kg BB/hari (Hartono 2006).
Optimalisasi asupan energi adalah prinsip utama dalam terapi gizi dalam
penyakit paru-paru. Keadaan overfeeding atau underfeeding seharusnya
dicegah. Secara umum kebutuhan energi pada pasien penyakit paru-paru adalah
sebesar 1,2 sampai 1,5 kali dari energi metabolisme basal (Heimburger &
Weinsler 1997). Faktor stres pada keadaan infeksi ringan hingga sedang ialah
sebesar 1,2 – 1,4 (Hartono 2006). Secara praktis, perhitungan kebutuhan energi
total dalam keadaan akut dapat menggunakan estimasi kebutuhan energi yaitu
25 – 35 kkal/kg BB/hari (PDGKI 2008).
Protein
Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah,
matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Salah satu fungsi khas
protein adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh
(Almatsier 2006).
Asupan protein sebanyak 1 sampai 1,25 g/kg berat badan umumnya
aman bagi lansia. Kebutuhan protein meningkat sehubungan dengan adanya
penyakit infeksi dan kronis. Stres fisik dan psikologis dapat merangsang keadaan
keseimbangan nitrogen negatif. Infeksi, penurunan fungsi saluran pencernaan,
dan perubahan metabolisme yang disebabkan karena penyakit kronis dapat
mengurangi efisiensi penggunaan nitrogen dari makanan dan meningkatkan
ekskresi nitrogen (Harris 2004).
Menurut Adult Treatment Panel (ATP) III, konsumsi protein yang
disarankan adalah 15% dari total kebutuhan energi (NCEP 2002). Perencanaan
makan bagi penyandang diabetes di Indonesia adalah hidangan dengan asupan
protein sekitar 10 – 15% dari total kebutuhan energi (PERKENI 2002 dalam
Hartono 2006). Asupan protein pada pasien paru-paru yang tidak mengalami
hypercapnia adalah sebesar 15 – 20% dari total kebutuhan energi (Heimburger &
Weinsler 1997). Dorfman (2004) menyatakan konsumsi protein sedang atau
sebesar 15 – 20% dari total kebutuhan energi dianjurkan bagi penderita asam
urat. Kebutuhan protein dalam situasi stres, seperti alcoholic hepatitis, sepsis,
infeksi, perdarahan pada gastrointestinal, dan asites yang parah dapat diberikan
minimal 1,5 g protein perkilogram berat badan perhari (Hasse & Matarese 2004).
Asupan protein sehari untuk pasien gagal ginjal yang belum mengalami dialisis
(predialisis) adalah 0,6 – 0,8 g/kg BB/hari (PDGKI 2008). Konsumsi diet tinggi
protein sebesar 1,5 g/kg BB/hari dalam keadaan anemia digunakan dalam
regenerasi sel darah dan menjaga fungsi hati (Stopler 2004).
Karbohidrat
Asupan karbohidrat diperlukan untuk mencegah penggunaan protein
sebagai sumber energi. Kontribusi karbohidrat terhadap kebutuhan energi total
pada lansia secara umum adalah sekitar 45% sampai 65% (Harris 2004).
Selain jumlah, kebutuhan karbohidrat dalam keadaan sakit sering
dinyatakan dalam bentuk karbohidrat yang dianjurkan. Contoh pada kasus
diabetes melitus dan dislipidemia dengan trigliserida darah tinggi, tidak
dianjurkan penggunaan gula sederhana (Almatsier 2005). Sumber karbohidrat
kompleks supaya ditingkatkan, seperti sayuran, serealia, kacang-kacangan, serta
buah-buahan yang mengandung serat, phytochemicals, vitamin, dan mineral
(Harris 2004).
Menurut ATP III, konsumsi karbohidrat yang disarankan adalah 50 – 60%
dari total kebutuhan energi (NCEP 2002). Persentase kontribusi karbohidrat
terhadap pemenuhan kebutuhan energi total pada pasien penyakit paru-paru
yang tidak mengalami hypercapnia adalah 50 – 60% (Heimburger & Weinsler
1997).
Lemak
Kontribusi lemak terhadap total kebutuhan energi yang disarankan adalah
sebesar 25% sampai 35%, serta meningkatkan asupan lemak tak jenuh ganda
dan tunggal, serta mengurangi asupan lemak jenuh (Harris 2004). Kebutuhan
lemak dalam keadaan sakit bergantung jenis penyakit. Penyakit tertentu seperti
dislipidemia membutuhkan modifikasi jenis lemak (Almatsier 2005). Pembatasan
asupan lemak pada makanan bermanfaat dalam mengontrol berat badan dan
pencegahan kanker. Pembatasan lemak sampai dengan kurang dari 20% total
kebutuhan energi dapat mempengaruhi kualitas diet dan memberikan efek yang
negatif dari segi cita rasa, rasa kenyang, dan asupan (Harris 2004).
Menurut ATP III, konsumsi lemak yang disarankan adalah 25 – 35% dari
total kebutuhan energi (NCEP 2002). Asupan lemak pada penderita asam urat
harus lebih sedikit, sedangkan asupan karbohidrat harus mengandung lebih
banyak untuk membantu pengeluaran asam urat yang lebih mudah larut dalam
urin yang alkalis (Hartono 2006). Perbandingan komposisi zat gizi makro dalam
menyumbang kebutuhan energi pada penderita asam urat ialah 50 – 55% dari
karbohidrat, dan lemak tidak lebih dari 30% (Dorfman 2004). Persentase
kontribusi lemak terhadap pemenuhan kebutuhan energi total pada pasien
penyakit paru-paru yang tidak mengalami hypercapnia adalah 20 – 30%
(Heimburger & Weinsler 1997).
Persentase pemenuhan kebutuhan energi total dalam diet rendah sisa
adalah 10 - 25% dari lemak, dan 60 - 80% dipenuhi dari karbohidrat. Diet rendah
sisa diberikan kepada pasien diare berat, peradangan saluran cerna akut, serta
pada pra dan pascabedah saluran cerna (Hartono 2005).
Vitamin dan Mineral
Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan mineral tetap
saja berlangsung pada lansia. Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring
dengan penurunan kebutuhan vitamin dan mineral, bahkan kebutuhan vitamin
dan mineral cenderung sama atau meningkat. Rendahnya status mineral pada
lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan
fisiologis, dan pengobatan (Harris 2004).
Seiring berlangsungnya proses penuaan maka kepadatan zat gizi dalam
makanan menjadi lebih diperhatikan. Makanan seseorang harus menyediakan
cukup cairan, kalsium, serat, zat besi, protein, asam folat, dan vitamin A, B12, dan
C tanpa energi yang ekstra (Harris 2004). Vitamin A, C, dan E juga sebagai
antioksidan yang dapat mengurangi kerusakan sel akibat radikal bebas
(Wirakusumah 2001). Fungsi utama vitamin E adalah untuk mencegah oksidasi
PUFA pada membran sel. Karena kurangnya data yang mendukung, American
Heart Association (AHA) tidak merekomendasikan suplementasi vitamin E untuk
mencegah penyakit kardiovaskuler. Suplementasi β-karoten juga tidak
memberikan keuntungan pada pencegahan penyakit kardiovaskuler. Karena itu,
suplementasi vitamin E dan β-karoten tidak disarankan, sedangkan konsumsi
makanan yang kaya antioksidan disarankan (Krummel 2004).
Kandungan vitamin C serum pada lansia lebih rendah daripada orang
yang lebih muda. Dukungan melalui konsumsi pangan tinggi vitamin C lebih
efektif dalam meningkatkan status vitamin C pada lansia (Harris 2004).
Penyerapan zat besi dan pencegahan anemia gizi besi dapat dilaksanakan
dengan meningkatkan asupan pangan sumber zat besi, vitamin C, daging, ikan,
dan unggas setiap waktu makan, serta mencegah mengkonsumsi teh dan kopi
dalam jumlah besar bersamaan dengan waktu makan (Stopler 2004). Saran
asupan vitamin C pada pasien dengan nefrolitiasis yang berusia di atas 50 tahun
adalah kurang dari 2 g perhari (Wilkens 2004).
Defisiensi vitamin larut air seperti vitamin B1, B6, B12, dan asam folat
berkaitan dengan penyakit alcoholic liver. Jika diduga terjadi defisiensi,
suplementasi vitamin B1 dalam dosis besar (100 mg) diberikan selama batas
waktu tertentu (Hasse & Matarese 2004). Defisiensi tiamin (B1) karena
pemberian obat furosemid pertama kali terjadi pada tikus percobaan. Defisiensi
sedang vitamin B1 dapat terjadi pada pasien lansia di rumah sakit serta pada
pasien gagal jantung kronik dengan terapi diuretik (Witte & Clark 2004). Eksresi
vitamin B1 dilakukan melalui urin dalam bentuk utuh dan sebagian kecil dalam
bentuk metabolit (Almatsier 2006).
Kebanyakan kasus anemia terjadi karena defisiensi zat gizi yang
dibutuhkan untuk sintesis eritrosit, seperti zat besi, vitamin B6, B12, C, dan asam
folat (Stopler 2004). Lansia sering juga mengalami masalah dengan vitamin B 12,
meskipun sudah mengkonsumsi dalam jumlah yang cukup. Vitamin B 12
diperlukan untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif sehingga dapat berfungsi
dalam memproduksi sel darah merah. Terganggunya penyerapan vitamin B 12
dapat menyebabkan pernicious anemia (Harris 2004). Lapisan lambung lansia
mengalami penipisan, serta sekresi HCL dan pepsin berkurang. Hal itu
mengakibatkan penyerapan vitamin B12 dan zat besi menurun (Arisman 2003).
Anemia yang terjadi pada lansia lebih terkait pada penyakit dan pengobatan,
atau menurunnya kemampuan penyerapan akibat pengobatan (Harris 2004).
Pengobatan pada penyakit TB dapat mengganggu metabolisme
pyridoxine (vitamin B6) (Mueller 2004). Isoniazida (Asam Iso Nikotenat
Hidroksida atau INH) yang dipakai untuk pengobatan penyakit paru-paru
merupakan antagonis vitamin B6 karena membentuk kompleks dengan piridoksal
fosfat yang tidak aktif (Almatsier 2006).
Osteoporosis terjadi karena proses demineralisasi tulang. Penyebab
proses ini ialah defisiensi kalsium karena asupan kurang dan penyerapan
kalsium menurun, gangguan keseimbangan hormon seks akibat menopause,
dan ketidakaktifan fisik (Arisman 2003).
Lansia yang dibatasi atau dilarang makan daging dan ikan berisiko
mengalami defisiensi seng karena rendahnya bioavailibilitas seng dari sumber
pangan lainnya. Defisiensi seng berhubungan dengan gangguan fungsi imun,
anoreksia, dysgeusia (kehilangan nafsu makan), dan lamanya proses
penyembuhan (Harris 2004).
Lansia yang tidak mengalami masalah dengan tekanan darah dan retensi
cairan dapat mengkonsumsi natrium sekitar 2 – 4 g/hari, dan meningkatkan
asupan kalium (Harris 2004). Penyakit-penyakit tertentu seperti sirosis hati,
penyakit ginjal tertentu, dekompensasio kordis, dan hipertensi esensial dapat
menyebabkan gejala edema dan atau hipertensi. Dalam keadaan demikian
asupan garam natrium perlu dibatasi (Almatsier 2005). Menurut Wirakusumah
(2001) makanan yang mengandung cukup tinggi kalium merupakan salah satu
obat yang cukup manjur bagi penderita hipertensi. Kalium berfungsi untuk
memelihara keseimbangan garam (Na) dan cairan serta membantu mengontrol
tekanan darah yang normal. Asupan natrium dalam sehari disarankan bagi
pasien dengan gangguan kardiovaskuler adalah kurang dari 2400 mg (6,4 g
garam dapur) dan mempertahankan asupan kalium sekitar 90 mmol perhari
(3510 mg), serta cukup konsumsi kalsium sesuai kebutuhan (NCEP 2002).
Di Indonesia telah direkomendasikan angka kecukupan gizi untuk lansia
sehat, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Angka kecukupan vitamin dan mineral pada lansia
Pria Wanita
Zat Gizi
60-64 th ≥65 th 60-64 th ≥65 th
Vitamin A (RE) 600,0 600,0 500,0 500,0
Vitamin E (mg) 15,0 15,0 15,0 15,0
Vitamin B1 (mg) 1,2 1,0 1,0 1,0
Vitamin B6 (mg) 1,7 1,7 1,5 1,5
Vitamin B12 (mcg) 2,4 2,4 2,4 2,4
Asam Folat (mcg) 400,0 400,0 400,0 400,0
Vitamin C (mg) 90,0 90,0 75,0 75,0
Kalsium (mg) 800,0 800,0 800,0 800,0
Besi (mg) 13,0 13,0 12,0 12,0
Seng (mg) 13,4 13,4 9,8 9,8
Sumber: WNPG VIII dalam LIPI (2004)

Kebutuhan vitamin dan mineral pada orang sakit juga dapat diambil dari AKG
yang dianjurkan. Vitamin dan mineral perlu ditambahkan dalam bentuk suplemen
untuk menjamin kebutuhan dalam keadaan tertentu (Almatsier 2005).

Status Gizi Lansia


Status gizi seseorang merupakan refleksi dari mutu makanan yang
dimakan sehari-hari (Astawan & Wahyuni 1988). Lansia seperti tahapan-tahapan
usia lainnya dapat mengalami baik keadaan gizi lebih maupun gizi kurang
(Darmojo & Martono 2006). Status gizi lansia dapat dinilai dengan cara-cara
yang baku bagi berbagai tahapan umur yakni penilaian secara langsung dan
tidak langsung. Jellife (1966) dalam Gibson (2005) menerangkan bahwa
penilaian secara langsung dilakukan melalui pemeriksaan antropometri, klinis,
biokimia, dan biofisik. Antropometri merupakan salah satu macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain berat badan, tinggi badan, lingkar lengan
atas, dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa et al. 2001).
Laporan WHO tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan
normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI) atau
Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan (Supariasa et al. 2001). Klasifikasi IMT
berdasarkan WHO untuk populasi Asia ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Cut off point IMT untuk populasi Asia menurut WHO tahun 2004
Klasifikasi IMT
(kg/m2)
BB kurang (underweight) < 18,5
Severe underweight < 16,0
Moderate underweight 16,0 – 16,9
Mild underweight 17,0 –
18,49
Normal 18,5 – 24,9
BB Lebih (overweight) ≥ 25
Pra-obes 25 – 29,9
Obes ≥ 30
Obes I 30 – 34,9
Obes II 35 – 39,9
Obes III ≥ 40
` Sumber: PDGKI (2008).
KERANGKA PEMIKIRAN

Kejadian gizi salah akibat dirawat di rumah sakit (hospital malnutrition)


disebabkan karena perhatian dari pengelola rumah sakit sebagian besar baru
melihat kepada segi penyediaan makanan saja tetapi belum mempertimbangkan
tentang kuantitas dan kualitas makanan yang dibutuhkan serta diterima oleh
masing-masing pasien (Subandriyo & Santoso 1995). Pencegahan terjadinya
salah gizi pada pasien yang dirawat di rumah sakit memerlukan pengamatan dan
pengawasan yang cukup terhadap asupan atau konsumsi pangan pasien
(Hammond 2004). Tujuan dari penyelenggaraan makanan adalah menyediakan
makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang sesuai kebutuhan serta
pelayanan yang layak dan memadai bagi pasien yang membutuhkannya
(Depkes RI 2003).
Menurut Syafiq et al (2009), beberapa fungsi zat gizi antara lain sebagai
sumber energi, mengatur metabolisme dan keseimbangan (air, mineral, dan
asam basa), memelihara jaringan tubuh, mengganti sel-sel yang rusak, dan
berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap penyakit. Makanan RS
merupakan sumber utama zat gizi untuk pasien yang dirawat di RS, namun pada
beberapa pasien juga mengkonsumsi makanan dari luar RS, formula khusus,
serta dalam bentuk non-pangan yaitu suplemen dan cairan infus (gizi parenteral).
Baliwati dan Retnaningsih (2004) menuturkan, kebutuhan gizi berbeda
antar individu karena dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain tahap
perkembangan (usia), faktor fisiologis tubuh, keadaan sakit dan dalam masa
penyembuhan, aktivitas fisik, dan ukuran tubuh (berat badan dan tinggi badan).
Kebutuhan mineral dan vitamin dapat diambil dari Angka Kecukupan Gizi (AKG)
yang dianjurkan (Almatsier 2005). Kebutuhan energi secara umum menurun
seiring bertambahnya usia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh,
penurunan angka metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik (Frary &
Johnson 2004). Hal ini mendasari analisis hubungan antara variabel usia dengan
kebutuhan energi pasien.
Status gizi adalah cerminan ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi
(Sandjaya et al. 2009). Lansia merupakan kelompok usia yang berisiko terhadap
salah gizi karena adanya penyakit yang diderita, ketidakmampuan fisik,
kesehatan gigi dan mulut yang buruk, pengobatan, isolasi sosial, keterbatasan
ekonomi, atau gangguan kesehatan mental (Harris 2004). Hal ini mendasari
analisis hubungan antara variabel usia dengan status gizi, dan hubungan antara
status gizi dengan jumlah penyakit.
Ketika sakit maka nafsu makan lansia akan tampak semakin berkurang
sehingga dapat menyebabkan keadaan salah gizi, sedangkan energi yang
mereka butuhkan akan meningkat, khususnya dalam kondisi infeksi dan setelah
cedera (Watson 2003). Hal ini mendasari dilakukannya analisis hubungan antara
usia dan tingkat konsumsi energi dari makanan RS.
Variabel yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari pemilihan dan
pengolahan bahan makanan, karakteristik individu, kebutuhan energi dan zat gizi
pasien, ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS (makanan olahan RS
dan formula komersial), konsumsi energi dan zat gizi total (makanan RS dan
makanan luar RS), dan jenis penyakit. Analisis hubungan antara variabel yang
dianalisis terdiri dari hubungan antara status gizi dengan usia, hubungan antara
status gizi dengan jumlah penyakit, hubungan antara usia dengan kebutuhan
energi, dan hubungan antara usia dengan tingkat konsumsi energi terhadap
ketersediaan makanan RS. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
- Perencanaan Menu makanan RS
- Bahan Makanan, Standar Porsi, Pengolahan, dan Karakteristik
Pendistribusiannya Pasien

- Biaya rawat
Ketersediaan Makanan RS - Status pernikahan
(Makanan Olahan RS dan - Pihak perawat
Gizi parenteral Formula Komersial) sebelum di RS
dan suplemen - Lama rawat

Makanan luar RS Konsumsi Makanan RS - Usia

- Jenis kelamin
- BB dan TB

Konsumsi Energi dan Zat Gizi Kebutuhan Energi dan Zat Gizi

Status Gizi Penyakit/ Faktor Stres

Keterangan: = variabel yang diteliti


= variabel yang tidak diteliti
= hubungan antar variabel yang diteliti
= hubungan antar variabel yang tidak diteliti
Gambar 1 Analisis konsumsi energi dan zat gizi, serta status gizi pasien lansia
rawat inap
METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain cross sectional
study, dilaksanakan di Instalasi Gizi dan Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor. Ruang Gayatri merupakan ruang rawat inap khusus
lansia dengan minimal tiga jenis penyakit dan satu-satunya yang ada di Kota
Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga November 2010.

Cara Pengambilan Contoh


Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien lansia di Ruang Gayatri
RS. dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang berada saat penelitian berlangsung.
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Sebanyak 51 orang
pasien berhasil dijumpai selama penelitian berlangsung di Ruang Gayatri, namun
jumlah pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi dan dapat diperoleh hingga
batas waktu penelitian adalah sebanyak 30 orang. Kriteria inklusi yang
ditetapkan meliputi:
- Pasien yang bersedia diukur tinggi atau panjang badan dan berat badan atau
lingkar lengan atasnya.
- Pasien yang bersedia diwawancara, atau ada pihak keluarga yang dapat
memberikan informasi mengenai pasien.
- Pasien yang dirawat selama minimal tiga hari dan tidak dalam keadaan
berpuasa sehingga dapat diamati konsumsi energi dan zat gizi selama tiga
hari baik dari makanan RS (makanan olahan RS dan formula komersial) serta
makanan luar RS.
Gambar 2 menjelaskan cara pengambilan contoh dalam penelitian.

Populasi penelitian = 51 orang

21 orang keluar Kriteria inklusi

30 orang responden

Gambar 2 Cara penarikan contoh


Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara
dengan menggunakan kuesioner (Lampiran 1). Data sekunder diperoleh dari
dokumentasi pihak rumah sakit (RS).
Data primer meliputi karakteristik pasien (jenis kelamin, usia, perkiraan
berat badan (BB) dan tinggi badan (TB), sumber pembiayaan perawatan RS,
status pernikahan, dan pihak yang merawat), status gizi, kebutuhan energi dan
zat gizi, ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS (makanan olahan RS
dan formula komersial), dan konsumsi energi dan zat gizi total (makanan RS dan
makanan luar RS). Data sekunder terdiri dari gambaran umum RSMM, Ruang
Gayatri dan Instalasi Gizi, perencanaan menu, bahan makanan, standar porsi,
pengolahan, pendistribusian makanan RS, usia, jenis penyakit, dan lama rawat.
Data ketersediaan energi dan zat gizi makanan olahan RS perhari
beberapa bahan makanan diperoleh dengan cara penimbangan sampel
makanan RS. Setelah diketahui kuantitas porsi setiap jenis makanan olahan RS
dan formula komersial, data konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dapat
diperoleh dengan cara mengamati banyaknya sisa yang tidak dikonsumsi oleh
pasien. Data konsumsi makanan luar RS diperoleh melalui Recall Method.
Pengamatan sisa konsumsi makanan di RS memiliki kemiripan dengan
recall method, karena kedua metode ini sama-sama mencatat jenis dan jumlah
bahan makanan yang dikonsumsi pada masa yang lalu. Recall method dilakukan
selama dua hingga tiga hari. Metode ini memiliki kelemahan dalam tingkat
ketelitian, karena informasi yang diperoleh berdasarkan hasil ingatan responden
(Soehardjo et al 1988). Mengingat kondisi pasien yang lemah maka untuk
meminimalisir kesalahan informasi berdasarkan daya ingat, pengamatan sisa
makanan dipilih sebagai metode dalam mengamati konsumsi makanan RS.
Cara serta alat yang digunakan dalam pengumpulan data pada masing-
masing variabel ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Variabel, cara, dan alat yang digunakan dalam pengumpulan data
Alat yang
Variabel Cara Pengumpulan Data
Digunakan
Umur (≥ 60 tahun) Mencatat dari buku rekam medis (RM) Kuesioner

Karakteristik Pasien Wawancara langsung dan RM Kuesioner

Antropometri Penimbangan dan pengukuran Pita meter


(perkiraan BB dan TB
dengan pengukuran
LLA dan TB)

Lama rawat Mencatat dari RM Kuesioner

Jenis penyakit Mencatat dari RM Kuesioner

Perencanaan menu, Mencatat dari dokumentasi RS Dokumen RS


BM, standar porsi,
pendistribusian,
gambaran RS, Instalasi
Gizi, Ruang Gayatri

Kebutuhan energi dan Pengamatan, pencatatan data-data Kuesioner


zat gizi pasien dari RM, dan perhitungan

Ketersediaan energi Penimbangan sampel makanan RS Timbangan


dan dan zat gizi makanan dan
kuesioner

Konsumsi energi dan Pengamatan sisa makanan RS, Kuesioner


zat gizi formula khusus, dan recall makanan
luar RS

Beberapa variabel karakteristik pasien dikategorikan seperti pada Tabel 4.


Tabel 4 Pengkategorian variabel karakteristik individu
Variabel Kategori
Jenis Kelamin 1= Laki-laki
2= Perempuan

Sumber pembiayaan perawatan RS 1= Penghasilan/uang pensiunan


2= Keluarga
3= Asuransi kesehatan
4= Lain-lain….

Status Perkawinan 1= Tidak Menikah


2= Menikah dan masih memiliki pasangan
3= Duda/Janda

Pihak yang Merawat (sebelum di RS) 1= Tinggal sendiri


2= Keluarga
3= Panti Jompo
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan Data
Pengolahan data meliputi editing, coding, data entry, cleaning dan data
analysis dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi
16.0 for windows. Selain itu dilakukan pula perhitungan terhadap kebutuhan
energi dan zat gizi masing-masing pasien, ketersediaan energi dan zat gizi dari
makanan RS, konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dan makanan luar
RS, dan status gizi pasien.
Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi
Komponen utama yang menentukan kebutuhan energi adalah Angka
Metabolisme Basal (AMB) yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus
Harris – Bennedict (Almatsier 2005), yaitu:
𝑳𝒂𝒌𝒊 − 𝒍𝒂𝒌𝒊 = 𝟔𝟔 + 𝟏𝟑, 𝟕 × 𝑩𝑩 + 𝟓 × 𝑻𝑩 − 𝟔, 𝟖 × 𝑼
𝑷𝒆𝒓𝒆𝒎𝒑𝒖𝒂𝒏 = 𝟔𝟓𝟓 + 𝟗, 𝟔 × 𝑩𝑩 + 𝟏, 𝟖 × 𝑻𝑩 − (𝟒, 𝟕 × 𝑼)
Kebutuhan energi untuk AMB diperhitungkan menurut berat badan ideal
jika IMT contoh pada saat itu berstatus gizi lebih atau gizi kurang tingkat ringan
(IMT = 17,0 – 18,5), dan menggunakan berat badan aktual jika berstatus gizi
normal atau gizi kurang tingkat sedang (IMT = 16,0 – 16,9) sampai berat (IMT <
16,0). Berat badan ideal biasanya lebih sering digunakan dalam perhitungan
kebutuhan energi daripada berat badan aktual karena perhitungan menggunakan
berat badan aktual dapat menimbulkan kesalahan perhitungan kebutuhan pada
kasus gizi kurang atau gizi lebih. Perhitungan menggunakan berat badan aktual
untuk kasus salah gizi yang sangat ekstrim adalah sebuah pengecualian (Frary &
Johnson 2004). Cara menetapkan BB ideal yang sederhana dengan
menggunakan rumus Brocca (Almatsier 2005), yaitu:
𝑩𝑩 𝑰𝒅𝒆𝒂𝒍 𝒌𝒈 = 𝑻𝑩 𝒄𝒎 − 𝟏𝟎𝟎 − 𝟏𝟎%[𝑻𝑩 𝒄𝒎 − 𝟏𝟎𝟎]
Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia
karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme
basal, dan pengurangan aktivitas fisik. Kebutuhan energi seseorang dapat
diketahui dengan menghitung jumlah kilokalori kebutuhan energi sehari, atau
menghitung persentase peningkatan dari kebutuhan energi untuk metabolisme
basal (Frary & Johnson 2004). Cara menentukan kebutuhan energi keadaan
sakit dapat dilihat pada rumus (Almatsier 2005):
𝑲𝒆𝒃𝒖𝒕𝒖𝒉𝒂𝒏 𝑬𝒏𝒆𝒓𝒈𝒊 = 𝑨𝑴𝑩 × 𝒇𝒂𝒌𝒕𝒐𝒓 𝒂𝒌𝒕𝒊𝒗𝒊𝒕𝒂𝒔 × 𝒇𝒂𝒌𝒕𝒐𝒓 𝒔𝒕𝒓𝒆𝒔
Faktor aktivitas pasien selama dirawat dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Faktor aktivitas
Aktivitas Faktor
Tirah-baring totala) 1,1
Dapat dudukb) 1,2
Ambulatoric) 1,3
Sumber: a) Frary dan Johnson (2004), b) Garrow et al. (2000), c) Hartono (2006)
Faktor stres pada penyakit tertentu ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Faktor stres
Stres/jenis penyakit Faktor
Gagal jantung parah dengan gizi
1,3 – 1,5
kuranga)
Penyakit paru-parub) 1,2 – 1,5
Gagal ginjalb) 1,2 – 1,5
Peradangan saluran cernac) 1,3
Infeksi ringan hingga sedangd) 1,2 – 1,4
a) b) c)
Sumber: Krummel (2004), Heimburger dan Weinsler (1997), Almatsier (2005),
d)
Hartono (2006).

Apabila kebutuhan energi yang diperoleh adalah berkisar antara 25 – 35 kkal/kg


BB/hari maka perhitungan kebutuhan energi tersebut sudah sesuai untuk pasien
yang berada dalam kondisi akut. Secara praktis, perhitungan kebutuhan energi
total dalam keadaan akut dapat menggunakan estimasi kebutuhan energi yaitu
25 – 35 kkal/kg BB/hari (PDGKI 2008).
Kebutuhan protein pada pasien lansia yang tidak memiliki gangguan akan
konsumsi protein adalah 1,0 – 1,25 g/kg BB per hari. Kebutuhan lemak normal
adalah tidak lebih dari 25% – 35% dari kebutuhan energi total. Kebutuhan
karbohidrat yang dianjurkan bagi lansia adalah sekitar 45% – 65% dari total
kebutuhan energi per hari (Harris 2004). Penentuan kebutuhan tersebut
diperuntukkan bagi lansia secara umum. Penentuan kebutuhan energi dan zat
gizi pada pasien yang membutuhkan penyesuaian terhadap jenis penyakit dan
kondisinya dapat dilihat pada Tabel 7, sedangkan pada kasus yang disertai
komplikasi maka pengaturan kebutuhan energi dan zat gizinya dapat
disesuaikan.
Tabel 7 Ketentuan kebutuhan energi dan zat gizi pada diet khusus
No Jenis Penyakit Energi Protein Lemak Karbohidrat Vitamin dan Mineral
1 Gangguan syaraf Cukup 15% total E 20 – 30% total E 55 – 60% total E Sesuai AKG

2 Kardiovaskuler Cukup (35 kkal/kg 15% total E 25 – 35% total E 55 – 60% total E Sesuai AKG
BB pada Gagal
jantung kongestif)

3 Asam urat Cukup 15 – 20% total E ≤30% total E 50 – 65% total E Sesuai AKG

4 Diabetes Melitus Cukup 10 –15% total E 25% total E 60 – 65% total E Sesuai AKG

5 Penyakit paru-paru Cukup 15 – 20% total E 25 – 30% total E 50 – 60% total E Sesuai AKG
(tanpa hiperkapnia)

6 Gastrointestinal Cukup 15% total E 25% total E 60% total E Sesuai AKG

7 Fatty liver Cukup 1,5 g/kg BB 25 – 30% total E Sisa total E Sesuai AKG

8 Cystitis dan Cukup 1 – 1,25 g/kg BB 25 – 30% total E 45 – 65% total E Sesuai AKG
Nefrolitiasis

10 Gagal ginjal kronik 30 – 35 kkal/kg BB 0,8 g/kg BB 25% total E Sisa total E Sesuai AKG

11 Sindrom Steven Cukup 1 – 1,25 g/kg BB 25 – 35% total E 45 – 65% total E Sesuai AKG
Johnson

12 Anemia Cukup 1,5 g/kg BB 25% total E Sisa total E Sesuai AKG
Sumber: diolah dari NCEP (2002), Krummel (2004), PERKENI (2002) di dalam Hartono (2006), Dorfman (2004), Heimburger dan Weinsler (1997),
Hartati (2005), Hasse dan Matarese (2004), PDGKI (2008), Stopler (2004), dan Harris (2004).
Perhitungan ketersediaan, konsumsi, dan kecukupan energi dan zat gizi
Data ketersediaan makanan yang disajikan dan data konsumsi makanan
dalam sehari dikonversi ke dalam energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin A,
vitamin E, vitamin C, vitamin B1, asam folat, vitamin B6, vitamin B12, kalsium,
besi, seng, natrium, dan kalium berdasarkan Tabel Komposisi Pangan Indonesia
tahun 2009 dan daftar komposisi energi dan zat gizi dari buku The Composition
of Foods (Mc Cance 2007).
Setelah diperoleh data kebutuhan, ketersediaan, dan konsumsi energi
dan zat gizi pada setiap pasien, selanjutnya adalah menentukan tingkat
ketersediaan dan tingkat kecukupan (konsumsi terhadap kebutuhan)
menggunakan rumus-rumus berikut:
𝚺 𝐄𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐳𝐚𝐭 𝐠𝐢𝐳𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐦𝐚𝐤 𝐑𝐒
𝐓𝐤. 𝐊𝐞𝐭𝐞𝐫𝐬𝐞𝐝𝐢𝐚𝐚𝐧 𝐄𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐙𝐚𝐭 𝐆𝐢𝐳𝐢 𝐌𝐚𝐤𝐫𝐨 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝐤𝐞𝐛𝐮𝐭𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐄𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐳𝐚𝐭 𝐠𝐢𝐳𝐢

𝚺 𝐯𝐢𝐭𝐚𝐦𝐢𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐢𝐧𝐞𝐫𝐚𝐥 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐦𝐚𝐤 𝐑𝐒


𝐓𝐤. 𝐊𝐞𝐭𝐞𝐫𝐬𝐞𝐝𝐢𝐚𝐚𝐧 𝐕𝐢𝐭𝐚𝐦𝐢𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐢𝐧𝐞𝐫𝐚𝐥 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝐀𝐊𝐆 𝐯𝐢𝐭𝐚𝐦𝐢𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐢𝐧𝐞𝐫𝐚𝐥

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐭𝐨𝐭𝐚𝐥 𝐄𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐤𝐨𝐧𝐬𝐮𝐦𝐬𝐢


𝐓𝐤. 𝐊𝐞𝐜𝐮𝐤𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐄𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝐤𝐞𝐛𝐮𝐭𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐄𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐯𝐢𝐭𝐚𝐦𝐢𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐢𝐧𝐞𝐫𝐚𝐥 𝐲𝐠 𝐝𝐢𝐤𝐨𝐧𝐬𝐮𝐦𝐬𝐢


𝐓𝐤. 𝐊𝐞𝐜𝐮𝐤𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐕𝐢𝐭𝐚𝐦𝐢𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐢𝐧𝐞𝐫𝐚𝐥 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝐀𝐊𝐆 𝐯𝐢𝐭𝐚𝐦𝐢𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐢𝐧𝐞𝐫𝐚𝐥

Kemudian data tersebut selanjutnya akan dikategorikan seperti pada Tabel 8.


Tabel 8 Pengkategorian tingkat ketersediaan dan kecukupan energi dan zat gizi
Variabel Kategori
Tingkat ketersediaan - defisit, <90% angka kebutuhan
energi - normal, 90 – 119% angka kebutuhan
- lebih, ≥120% angka kebutuhan

Tingkat kecukupan energi - Defisiensi tingkat berat, <70% angka kebutuhan


- Defisiensi tingkat sedang, 70 – 79% angka
kebutuhan
- Defisiensi tingkat ringan, 80-89% angka kebutuhan
- Normal, 90 – 119% angka kebutuhan
- Lebih, ≥120% angka kebutuhan

Tk. Kecukupan vitamin - Kurang, <77% AKG


dan mineral - Cukup, ≥77% AKG
Sumber: Depkes (1996) dalam Sukandar (2007).
Konsumsi terhadap makanan RS (makanan olahan dan formula
komersial) juga diamati berdasarkan preferensi terhadap bahan makanan dari
setiap kelompok makanan (makanan pokok, lauk nabati dan hewani, sayuran,
buah-buahan, selingan, dan formula komersial). Batas konsumsi minimal yang
ditetapkan disesuaikan dengan ketersediaan energi dan zat gizi yang terkandung
pada makanan RS. Makanan pokok merupakan sumber utama energi sehingga
batas konsumsi minimal yang disarankan untuk makanan pokok disesuaikan
dengan ketersediaan energi. Lauk nabati dan hewani merupakan sumber utama
protein sehingga batas konsumsi minimal yang disarankan untuk lauk nabati dan
hewani disesuaikan dengan ketersediaan protein. Sayuran dan buah-buahan
merupakan sumber utama vitamin dan mineral sehingga batas konsumsi minimal
yang disarankan untuk sayuran dan buah-buahan disesuaikan dengan
ketersediaan vitamin dan mineral. Konsumsi makanan selingan dan formula
komersial diamati tanpa batas konsumsi minimal karena bukan merupakan
sumber utama energi dan zat gizi. Pengamatan pada pemberian makanan
selingan dan formula dilakukan dengan menghitung frekuensi pasien yang
mengkonsumsi 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100% dari setiap jenis makanan yang
disediakan. Hal ini bertujuan untuk melihat preferensi pasien terhadap makanan
selingan dan formula komersial.
Perhitungan Status Gizi
Data BB dan TB digunakan untuk menghitung kebutuhan energi dan zat
gizi, serta menilai status gizi contoh secara antropometri dengan menghitung
Indeks Massa Tubuh (IMT). Kebanyakan pasien tidak dapat melakukan
pengukuran TB dalam posisi berdiri tegak maka diganti dengan pengukuran
panjang badan (PB) dengan menggunakan pita meter untuk menentukan
perkiraan TB.
Pasien yang tidak dapat diukur BB menggunakan timbangan detecto
maka perkiraan BB ditentukan dengan menggunakan lingkar lengan atas (LLA)
dengan memakai pita meter. Nilai normal/ideal LLA bagi orang dewasa adalah
26,3 cm pada laki-laki, dan 25,7 cm pada perempuan (Hartono 2006). Adapun
rumus memperkirakan BB menggunakan LLA adalah sebagai berikut:
𝑳𝑳𝑨
𝑩𝑩 𝒑𝒆𝒓𝒆𝒎𝒑𝒖𝒂𝒏 = × [ 𝑻𝑩 − 𝟏𝟎𝟎 − 𝟏𝟎% 𝑻𝑩 − 𝟏𝟎𝟎 ]
𝟐𝟓. 𝟕
𝑳𝑳𝑨
𝑩𝑩 𝒍𝒂𝒌𝒊 − 𝒍𝒂𝒌𝒊 = × [ 𝑻𝑩 − 𝟏𝟎𝟎 − 𝟏𝟎% 𝑻𝑩 − 𝟏𝟎𝟎 ]
𝟐𝟔. 𝟑
Keterangan: BB = berat badan (kg)
LLA= Lingkar lengan atas (cm)
TB = Tinggi badan (cm)
Rumus Indeks Masa Tubuh (IMT) adalah sebagai berikut dan kategori status gizi
pasien berdasarkan IMT ditunjukkan pada Tabel 9.
𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝑩𝒂𝒅𝒂𝒏 (𝑲𝒈)
𝑰𝑴𝑻 =
{𝑻𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 𝑩𝒂𝒅𝒂𝒏 𝒎 }𝟐
Tabel 9 Status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia
Indeks Massa
Status Gizi
Tubuh
Gizi Kurang < 18,5
Normal 18,5 – 25
Gizi lebih > 25
Sumber: WHO (2004) dalam PDGKI (2010)
Analisis Data
Data yang telah diolah selanjutnya dianalisis secara statistik deskriptif
dan inferensia. Adapun data yang dianalisis secara deskriptif adalah karakteristik
pasien, jenis penyakit, status gizi, kebutuhan gizi, ketersediaan, serta konsumsi
energi dan zat gizi. Data yang dianalisis secara tabulasi silang meliputi jenis
kelamin dan usia, serta jenis kelamin dan status perkawinan. Analisis korelasi
menggunakan Uji Pearson digunakan untuk melihat hubungan antara variabel
usia dengan status gizi, hubungan antara variabel usia dengan kebutuhan
energi, dan hubungan antara usia dengan tingkat konsumsi energi terhadap
ketersediaan makanan RS. Uji Spearman digunakan untuk melihat hubungan
antara variabel jumlah penyakit dengan status gizi.
Definisi Operasional
Pasien lansia: adalah pasien yang berusia lebih dari sama dengan 60 tahun dan
menjalani rawat inap di Ruang Gayatri RSMM Bogor.
Penyakit yang diderita: adalah jenis penyakit yang diderita oleh pasien Ruang
Gayatri saat penelitian berlangsung.
Status gizi: merupakan suatu kondisi tubuh pasien lansia sebagai akibat
konsumsi, absorbsi, dan utilisasi zat gizi yang ditentukan berdasarkan
rumus IMT.
Lama rawat: yaitu jumlah hari contoh mendapat perawatan inap di Ruang
Gayatri.
Makanan rumah sakit: adalah makanan yang disediakan oleh instalasi gizi
melalui mekanisme penyelenggaraan makanan untuk pasien rawat inap
Ruang Gayatri.
Pemilihan bahan makanan: adalah kegiatan memilih bahan makanan yang
akan diolah menjadi makanan bagi pasien lansia yang dirawat di Ruang
Gayatri RSMM.
Pengolahan makanan: merupakan proses mengubah bahan makanan menjadi
makanan yang akan dihidangkan bagi pasien lansia yang dirawat di
Ruang Gayatri RSMM.
Siklus menu: adalah susunan hidangan makanan yang disajikan untuk pasien
Ruang Gayatri dalam satu putaran menu.
Standar porsi: merupakan ukuran, berat, dan jumlah bahan makanan yang
diporsikan untuk setiap pasien Ruang Gayatri.
Kebutuhan energi dan zat gizi: yaitu jumlah energi dan zat-zat gizi yang
dibutuhkan pada setiap individu (pasien) untuk mencapai dan
mempertahankan status gizi adekuat, dengan mempertimbangkan angka
metabolisme basal (AMB), faktor aktivitas fisik selama sakit, dan faktor
stress akibat penyakit yang diderita.
Ketersediaan energi dan zat gizi: yaitu jumlah energi dan zat gizi yang
terkandung dalam makanan yang disediakan oleh instalasi gizi rumah
sakit pada setiap pasien perhari.
Konsumsi energi dan zat gizi: yaitu jumlah energi dan zat gizi yang dikonsumsi
oleh pasien rawat inap rata-rata perorang perhari, baik dari makanan
yang disediakan RS maupun lainnya (formula khusus dan makanan luar
RS).
Tingkat ketersediaan energi dan zat gizi: adalah perbandingan antara jumlah
energi dan zat gizi yang terkandung di dalam makanan RS terhadap
kebutuhan atau AKG pasien.
Tingkat kecukupan (konsumsi terhadap kebutuhan) energi dan zat gizi:
adalah perbandingan antara jumlah energi dan zat gizi yang dikonsumsi
dari makanan RS dan makanan luar RS terhadap kebutuhan atau AKG
pasien.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum RS dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dan Ruang Gayatri


Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor (RSMM) terletak di Jalan dr.
Semeru No. 114 Bogor. Rumah sakit ini berdiri pada tanggal 1 Juli 1882 sebagai
rumah sakit jiwa pertama di Indonesia dan diresmikan oleh Pemerintah Hindia
Belanda. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki sistem perawatan pasien
gangguan jiwa yang sebelumnya dirawat di rumah sakit umum, rumah sakit
tentara, penjara, dan kantor polisi dengan cara perawatan kurungan menjadi
perawatan rumah sakit jiwa yang lebih manusiawi.
Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya perubahan status
rumah sakit menjadi status badan layanan umum, maka pihak RSMM berusaha
untuk memenuhi dan mengembangkan berbagai pelayanan, baik di pelayanan
umum, pelayanan NAPZA, maupun di bagian pelayanan psikiatrik. Salah satu
pengembangan di bidang pelayanan umum adalah dibentuknya pelayanan
Psikogeriatri (Ruang Akut) yang merupakan salah satu pelayanan yang bersifat
khusus dengan memerlukan keterampilan tersendiri karena begitu kompleks
permasalahan yang dihadapi oleh pasien lansia, sehingga dibutuhkan perawatan
yang komprehensif dan bersifat spesialistik yang menangani rawat jalan, rawat
inap, emergensi, dan homecare.
British Geriatric Society yang mempelopori ilmu ini, mendefinisikan
geriatri sebagai cabang ilmu penyakit dalam yang berkepentingan dengan aspek
pencegahan, peningkatan, pengobatan, rehabilitasi, dan psikososial dari
penderita usia lanjut. Psikogeriatri atau psikiatri geriatri adalah cabang ilmu
kedokteran yang memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan
fisik dan psikologis atau psikiatri pada usia lanjut (Darmojo & Martono 2006). Ada
empat ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan Psikogeriatri,
yaitu (Komnas Lansia 2008):
1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya
usia.
2. Adanya akumulasi dan penyakit-penyakit degeneratif lanjut usia secara
psikososial.
3. Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis)
sehingga membawa lansia ke arah kerusakan atau kemerosotan
(deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak.
4. Munculnya stressor psikososial yang paling berat, misalnya kematian
pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat, atau trauma psikis.
Pelayanan psikogeriatrik RSMM diresmikan oleh Direktur Utama RSMM
pada tanggal 8 Juni 2009 dengan nama Ruang Gayatri serta memiliki visi, misi,
dan tujuan yang mengacu pada rumah sakit dan kebutuhan masyarakat yang
berkembang, dan merupakan satu-satunya ruang rawat lansia di Kota Bogor.
Pelayanan psikogeriatrik RSMM mengedepankan pelayanan berbentuk Tim
Psikogeriatrik yang terdiri dari Konsultan Geriatrik, Spesialis Gizi, Spesialis
Internis, Spesialis Rehabilitasi Medis dan Perawat Profesional. Kriteria pasien
yang dirawat di ruangan ini adalah berusia di atas 60 tahun, didiagnosa memiliki
satu penyakit dan dua komplikasi yang dikonsultasikan ke bagian dokter
Konsultan Geriatrik dan dokter Tim-nya.
Visi Ruang Gayatri adalah mengutamakan pelayanan yang bermutu,
memuaskan, dan tepat bagi lansia sehingga dapat menjadi lansia yang sehat
dan sejahtera. Misi ruang rawat inap ini adalah memberikan pelayanan secara
profesional dengan mengedepankan upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Ruang Gayatri memiliki slogan yang berbunyi Bertambah Umur,
Bertambah Sehat dan Berguna.
Ketenagaan dalam pelayanan keperawatan di Ruang Gayatri berjumlah
13 orang tenaga perawat, satu orang tenaga administrasi, dan dua orang
cleaning service. Kapasitas ruang geriatrik adalah tujuh buah tempat tidur, yang
terdiri dari empat tempat tidur untuk pasien perempuan, dan tiga tempat tidur
untuk pasien laki-laki. Selain itu, terdapat pula Ruang Rehabilitasi Medik, dua
kamar mandi untuk laki-laki dan perempuan, satu ruang perawatan, satu ruang
pertemuan, untuk keluarga dan Tim Psikogeriatrik dan satu ruang dapur. Dinding
di Ruang Gayatri dipasangi handball stainless hingga kamar mandi. Alat-alat
kesehatan yang dipergunakan disesuaikan dengan kondisi lansia, mulai dari alat-
alat standar hingga alat-alat kesehatan khusus. Ruang Gayatri termasuk dalam
ruang rawat inap kelas II plus (Lampiran 2 dan 3).

Gambaran Umum Instalasi Gizi


Instalasi Gizi Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor memberikan
pelayanan gizi bagi pasien NAPZA, psikiatri, dan umum. Dapur untuk pasien
psikiatri, NAPZA, dan umum terletak dalam satu gedung namun tempat
pengolahan makanan untuk masing-masing pelayanan berbeda. Gedung
Instalasi Gizi RSMM terdiri dari beberapa bagian, antara lain kantor administrasi;
tempat penerimaan bahan makanan; tempat penyimpanan bahan makanan
pasien NAPZA, MPKP, dan Psikiatri; tempat penyimpanan bahan makanan
kering; dapur untuk persiapan dan pengolahan, serta tempat distribusi makanan
untuk pasien NAPZA, MPKP, dan Psikiatri; dapur untuk persiapan dan
pengolahan makanan untuk pasien Umum; dapur pembuatan snack; tempat
pemasakan air; tempat penyimpanan alat-alat masak; mushola dan tempat
penitipan barang karyawan; dan dua buah toilet. Penyelenggaraan makanan
untuk pasien umum ditujukan pada pasien kelas VIP, I, II, dan III.
Penyelenggaraan makanan untuk pasien Ruang Gayatri dilaksanakan seperti
kepada pasien kelas II.
Instalasi Gizi RSMM Bogor memiliki 54 pegawai yang terdiri dari 11 orang
ahli gizi, lima orang tenaga gizi, 10 orang pramusaji, dan 28 orang juru masak.
Sebanyak lima orang tenaga gizi dan 10 orang pramusaji ditugaskan dalam
penyelenggaraan makanan di pantry pasien umum (Lampiran 4).
Perencanaan Menu
Siklus menu 11 hari digunakan dalam penyelenggaraan makanan untuk
pasien psikiatri, NAPZA, MPKP, dan pasien umum. Menu yang digunakan
berbeda antar masing-masing pelayanan. Kerangka menu yang diperuntukkan
bagi pasien umum adalah sama untuk setiap kelas perawatan. Perbedaan
terletak pada jumlah satuan penukar (SP) dan jenis bahan makanannya. Lauk
hewani pada makan pagi dan siang untuk pasien kelas VIP dan kelas I adalah 2
SP yang terdiri dari satu jenis lauk yang sama dengan kelas II dan III, serta satu
jenis lauk yang berbeda. Kelas II dan III mendapatkan 1 SP lauk hewani untuk
setiap waktu makan. Buah dan snack atau makanan selingan bagi pasien VIP
jenisnya dibedakan dengan kelas I, II, dan III. Buah yang diberikan pada saat
makan malam kepada pasien VIP berjumlah 2 SP yang terdiri dari satu jenis
buah yang sama dengan kelas I, II, dan III, serta satu jenis buah yang berbeda.
Pasien kelas III mendapatkan buah hanya saat makan siang saja, yaitu
sebanyak 1 SP. Ruang Gayatri yang merupakan ruang rawat inap kelas II plus
memiliki siklus menu dan kerangka menu seperti pasien kelas II (Lampiran 5).
Kerangka menu pada penyelenggaraan makanan bagi pasien umum di RSMM
dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Kerangka menu berdasarkan kelas perawatan
Jumlah SP setiap kelas perawatan
Waktu makan Kerangka Menu
VIP I II III
Makanan pokok 1 1 1 1
Pagi Lauk hewani* 2 2 1 1
Sayur 1 1 1 1
Selingan I Snack** 1 1 1 1
Makanan pokok 1 1 1 1
Lauk hewani* 2 2 1 1
Siang Lauk nabati 1 1 1 1
Sayur 1 1 1 1
Buah*** 1 1 1 1
Selingan II Snack** 1 1 1 1
Makanan pokok 1 1 1 1
Lauk hewani 1 1 1 1
Sore Lauk nabati 1 1 1 1
Sayur 1 1 1 1
Buah*** 2 1 1 -
Keterangan: * lauk hewani tambahan jenisnya berbeda
** snack untuk kelas VIP berbeda dengan kelas I, II, dan III
***buah untuk kelas VIP berbeda dengan kelas I, II, dan III

Bahan Makanan, Standar Porsi, dan Pengolahannya


Bahan Makanan
Bahan makanan yang digunakan hampir semuanya adalah bahan
makanan dalam keadaan segar, hanya bakso, kembang tahu, makaroni, dan
soun saja bahan makanan olahan yang digunakan untuk pelengkap masakan.
Bahan makanan pokok secara umum adalah beras (nasi, nasi tim, atau bubur).
Havermut, kentang, dan roti diberikan pada pasien dengan permintaan khusus.
Pasien dalam penelitian ini mendapatkan nasi, nasi tim, atau bubur sebagai
makanan pokok. Lauk hewani yang digunakan terdiri dari ayam, daging sapi,
ikan kakap, telur puyuh, telur ayam, dan ikan gurame. Lauk nabati yang
digunakan antara lain tahu, tempe, kentang, dan makaroni. Sayuran yang
digunakan terdiri dari wortel, kapri, buncis, kembang kol, brokoli, paprika, sawi
hijau, labu siam, jagung manis, jamur kuping, sedap malam, bayam, labu siam,
terung panjang, oyong, semi, jamur supa, dan kacang panjang. Buah-buahan
yang diberikan antara lain jeruk, pisang raja sereh, semangka, pisang ambon,
papaya, melon, dan anggur.
Bahan makanan dalam pembuatan makanan selingan terdiri dari kacang
hijau, agar-agar, tepung susu, tepung terigu, tepung beras, tepung hunkwe,
maizena, telur ayam, margarin, cokelat manis, cokelat chips, cokelat bubuk, keju,
gula aren, gula pasir, santan, sirup, pisang raja, semangka, melon, papaya,
stroberi, jeruk manis, pisang tanduk, dan jambu biji. Bahan makanan tersebut
kemudian diolah menjadi makanan dalam bentuk kue-kue, bubur, dan minuman.
Standar Porsi dan Pengolahan Bahan Makanan
Daya tampung pasien pada pelayanan rawat inap pasien umum adalah
sebanyak 100 orang, sehingga jumlah porsi maksimal yang disiapkan adalah 100
porsi. Instalasi gizi menetapkan standar porsi untuk setiap bahan makanan.
Standar porsi yang diberikan untuk pasien lansia Ruang Gayatri adalah sama
dengan standar porsi untuk pasien umum. Standar porsi tersebut diperoleh dari
dokumentasi Unit Perencanaan dan Perbekalan dan ditampilkan pada Tabel 11.
Tabel 11 Standar porsi bahan makanan untuk pasien umum kelas II
Bahan makanan Satuan Jumlah Keterangan
Beras Gram 400 Sehari
Ayam Gram 125 Sekali penyajian
Daging sapi Gram 60 Sekali penyajian
Ikan Gram 65 Sekali penyajian
Telur ayam Gram 60 Sekali penyajian
Telur puyuh Gram 40 Sekali penyajian
Tempe Gram 50 Sekali penyajian
Tahu Gram 50 Sekali penyajian
Sayur Gram 100 Sekali penyajian
Buah Gram 150 Sehari
Snack Buah 2 Sehari

Pengumpulan data ketersediaan tidak menggunakan dokumen standar porsi


tersebut tetapi dari hasil penimbangan sampel makanan.
Proses pengolahan yang dilakukan antara lain terdiri dari perebusan,
pengetiman, pengukusan, penggorengan, penumisan, pemasakan dengan oven,
ataupun kombinasi dari cara memasak tersebut. Proses pengolahan tersebut
ditujukan pada penyelenggaraan makanan pasien umum, termasuk pasien lansia
Ruang Gayatri.
Pendistribusian Makanan RS
Setelah makanan untuk pasien umum matang, selanjutnya makanan
diantarkan menggunakan mobil dari Instalasi Gizi menuju pantry yang
dikhususkan untuk ruang rawat umum. Selanjutnya makanan didistribusikan
sesuai dengan diet masing-masing pasien dan diberi label.
Makanan yang sudah disiapkan selanjutnya diantarkan oleh pramusaji
kepada pasien. Berdasarkan proses tersebut terlihat bahwa Instalasi Gizi RSMM
Bogor menerapkan sistem distribusi desentralisasi, yaitu makanan pasien dibawa
dari tempat pengolahan menuju dapur dalam jumlah banyak untuk selanjutnya
disajikan dalam alat makan masing-masing pasien sesuai dengan permintaan
makanan. Peralatan makan yang digunakan untuk pelayanan makanan pasien
Ruang Gayatri terdiri dari satu pasang plato aluminium beserta tutupnya, satu
buah piring keramik, satu buah sendok plastik, dan satu buah nampan. Selain itu,
setiap kali waktu makan pasien juga mendapatkan satu gelas air mineral
kemasan. Diet konsistensi biasa, lunak, dan saring terdiri dari tiga kali makan
utama (pagi, siang, dan sore) dan dua kali selingan. Diet dengan konsistensi cair
memiliki waktu dan frekuensi yang telah disesuaikan dengan resep diet yang
diberikan oleh dokter gizi. Secara umum, penyelenggaraan makanan yang
dimulai dari proses perencanaan anggaran belanja makanan hingga tahap
pendistribusian makanan bagi pasien lansia di Ruang Gayatri adalah sama
dengan penyelenggaraan makanan bagi pasien umum lainnya (Lampiran 6).

Karakteristik Pasien
Sebanyak 63,3% pasien berjenis kelamin wanita. Usia pasien berkisar
antara 60 hingga 100 tahun. Klasifikasi lansia berdasarkan usia menurut
organisasi kesehatan dunia (WHO) yaitu usia lanjut (elderly) (60 – 74 tahun),
usia lanjut tua (old) (75 – 90 tahun), dan usia lanjut sangat tua (very old) (di atas
90 tahun) (Komnas Lansia 2008). Rata-rata usia pasien adalah 72 tahun.
Sebanyak 60% pasien termasuk dalam kategori usia lanjut/elderly.
Pasien yang berstatus sebagai duda atau janda yaitu sebesar 63,3%.
Sebelum pasien dirawat di RS, sebagian besar yaitu 93,3% pasien mengaku
tinggal serumah bersama keluarga. Berdasarkan Komnas Lansia (2008), lansia
yang hidupnya sendirian atau karena meninggalnya pasangan hidup atau teman
dekat akan mengalami kesepian. Keadaan lansia tersebut terkadang diperburuk
dengan menurunnya kondisi kesehatan. Lansia yang mengalami kesepian
seringkali merasa jenuh dan bosan dengan hidupnya, sehingga ia berharap agar
kematian segera datang menjemputnya.
Sebanyak 60% pasien mendapat biaya perawatan RS dari keluarga.
Kisaran lama rawat pasien adalah 3 – 33 hari. Sebanyak 43,3% pasien dirawat
selama 3 – 6 hari. Sebesar 30% pasien keluar dari Ruang Gayatri atas
permintaan keluarga (APK) atau sebelum dokter menyatakan pasien sudah
diperbolehkan pulang. Alasan keluarga meminta pasien untuk dipulangkan
antara lain pertimbangan biaya, pindah ke ruang dengan kelas yang lebih tinggi,
ataupun karena pertimbangan ketiadaannya anggota keluarga yang mampu
menunggu pasien selama dirawat di RS (Lampiran 7). Sebaran pasien
berdasarkan karakteristiknya ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran pasien berdasarkan karakteristik
Karakteristik pasien n % Total
Jenis kelamin
Wanita 19 63,3 30
Pria 11 36,7
Usia
Usia lanjut (60 – 74 tahun) 18 60,0
30
Usia lanjut tua (75 – 90 tahun) 11 36,7
Usia lanjut sangat tua (> 90 tahun) 1 3,3
Status pernikahan
Menikah dan masih memiliki pasangan 11 36,7 30
Duda atau janda 19 63,3
Pihak yang merawat sebelum dirawat di RS
Tinggal sendiri 2 6,7 30
Keluarga 28 93,3
Sumber pembiayaan
Keluarga 18 60,0
30
Asuransi kesehatan 10 33,3
Lainnya (bantuan dari pihak lain) 2 6,7
Lama rawat
3 – 6 hari 13 43,3
7 – 10 hari 7 23,3 30
> 10 hari 1 3,3
APK 9 30,0

Jenis Penyakit dan Status Gizi


Jenis Penyakit
Setiap pasien yang dirawat di Ruang Gayatri adalah pasien lansia yang
didiagnosa memiliki minimal tiga jenis penyakit. Jenis penyakit yang diderita oleh
contoh dikelompokkan menjadi gangguan sistem syaraf, sistem kardiovaskuler,
sindrom metabolik dan asam urat, sistem pernafasan, sistem gastrointestinal dan
hati, sistem urinaria, dan sindrom Steven Johnson.
Gangguan sistem syaraf meliputi penyakit stroke, vertigo, parase, dan
tekanan intrakranial. Stroke merupakan serangan mendadak gangguan
pembuluh darah otak yang dapat berupa stroke iskemik maupun stroke
hemoragik (Hartono 2006). Parese adalah suatu kondisi yang ditandai oleh
hilangnya sebagian gerakan, atau gerakan terganggu. Jenis parese yang diderita
pasien adalah hemiparese dan tetraparese. Vertigo merujuk pada halusinasi dari
gerakan yang dapat linear, jatuh, atau goyang. Seringkali digambarkan sebagai
sensasi berputar baik pada salah satu dari rotasi sendiri (subjective vertigo) atau
rotasi dari lingkungan sekelilingnya (objective vertigo). Pada kebanyakan kasus-
kasus, gejala dari vertigo menyiratkan penyakit dari telinga bagian dalam atau
sistim vestibular (keseimbangan) (Anonim 2008a). Tekanan intrakranial adalah
peningkatan tekanan otak normal yang dapat disebabkan karena peningkatan
tekanan cairan serebrospinal atau karena adanya tumor dalam otak (Anonim
2009a).
Gangguan sistem kardiovaskuler meliputi hipertensi, gagal jantung
kongestif, dan kardiomegali. Hipertensi merupakan tekanan darah arteri yang
abnormal tinggi, ditandai dengan tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg atau
tekanan darah diastolik di atas 90 mmHg (Krummel 2004). Gagal jantung
kongestif adalah sindrom yang dicirikan oleh ketidakmampuan jantung dalam
mempertahankan aliran darah yang memadai di dalam sistem sirkulasi sehingga
terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, retensi cairan dan natrium yang
berlebihan, edema perifer dan paru, serta jantung yang keletihan dan
membengkak. Kardiomegali adalah istilah untuk pembesaran jantung (Hartono
2006).
Sindrom metabolik adalah kumpulan keadaan seperti kegemukan perut
dan gangguan toleransi glukosa, kenaikan kadar trigliserida, hipertensi ringan
dan mikroalbuminuria. Diabetes melitus merupakan kumpulan keadaan yang
disebabkan oelh kegagalan pengendalian gula darah. Kegagalan ini terjadi
karena dua hal, yaitu (1) produksi hormon insulin yang tidak memadai atau tidak
ada, atau (2) resistensi insulin yang meningkat. Asam urat berhubungan dengan
gangguan metabolisme purin yang menimbulkan hiperurisemia jika kadar asam
urat dalam darah melebihi 7,5 mg/dl (Hartono 2006).
Gangguan sistem pernafasan terdiri dari tuberkulosis, bronko pneumonia,
dan efusi pleura. Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
mycobacteria, khususnya Mycobacterium tuberculosis, M. bovis, atau M.
africanum (Mueller 2004). Pneumonia adalah suatu infeksi dari satu atau dua
paru-paru yang biasanya disebabkan oleh bakteri-bakteri, virus-virus, atau jamur.
Jadi bronkopneumonia adalah infeksi atau peradangan pada jaringan paru
terutama alveoli atau parenkim (Anonim 2009b). Efusi pleura adalah
pengumpulan cairan di dalam rongga pleura. Rongga pleura adalah rongga yang
terletak di antara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada (Anonim
2011).
Gangguan gastrointestinal dan hati meliputi dispepsia, tukak peptik,
hematemesis, melena, gastroenteritis, fatty liver, dan hepatoma. Dispepsia
adalah gangguan pada saluran pencernaan yang ditandai dengan rasa sakit
pada perut bagian atas yang berulang atau kronis, atau perut terasa cepat penuh
atau kenyang, dapat disertai kembung, mual, atau sakit pada ulu hati (Sandjaja
et al 2009). Hematemesis-melena adalah keadaan muntah dan buang air besar
berupa darah akibat luka atau kerusakan pada saluran cerna (Hartati 2005).
Gastroenteritis (diare) dicirikan dengan buang air besar sering berkonsistensi cair
dengan volum biasanya melebihi 300 ml, disertai dengan kehilangan cairan dan
elektrolit yang berlebihan, terutama narium dan kalium. Fatty liver adalah salah
fase awal dalam patogenesis penyakit Alcoholic liver (Beyer 2004). Kanker hati
adalah suatu kanker yang timbul dari hati, dan dikenal sebagai kanker hati primer
atau hepatoma (Anonim 2008b).
Mukosa lambung dan duodenum secara normal terlindung dari aksi
pencernaan oleh asam lambung dan pepsin dengan mensekresi mukus,
memproduksi bikarbonat, membuang kelebihan asam melalui aliran darah
normal, serta memperbarui dan memperbaiki sel epitel yang terluka. Tukak
peptik adalah terdapatnya tukak yang terjadi akibat adanya gangguan terhadap
mekanisme dan pertahanan ini (Beyer 2004).
Gangguan sistem urinaria meliputi sistitis, nefrolitiasis, dan gagal ginjal
kronis. Sistitis adalah infeksi kandung kemih sedangkan nefrolitiasis adalah
terdapatnya batu ginjal (Anonim 2008c). Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan
kerusakan ginjal yang progresif dan ireversibel karena suatu penyakit. Terapi diet
hanya bersifat membantu memperlambat progresivitas gagal ginjal kronis
(Hartono 2006).
Sindrom Steven Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata disertai
gejala umum berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena
penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan
respon imun terhadap obat. Sekitar 50% penyebab SSJ adalah obat.
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Proses hipersensitivitas itu memicu
kerusakan kulit sehingga terjadi: (1) kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan
kehilangan cairan, (2) stres hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap
insulin, hiperglikemia, dan glukosuria, (3) kegagalan termoregulasi, (4) kegagalan
fungsi imun, dan (5) infeksi (Harsono 2006).
Beberapa pasien juga mengalami gangguan penyerta seperti anemia,
penurunan kemampuan ataupun nafsu makan sehingga menyebabkan low
intake, dan masalah status gizi lebih ataupun kurang. Penyakit yang paling
banyak diderita adalah gangguan kardiovaskuler, selanjutnya sindrom metabolik
dan asam urat, gastrointestinal dan hati, pernafasan, syaraf, ginjal, dan sindrom
Steven Johnson. Selain diagnosa utama, sebanyak 36,7% pasien menderita
anemia. Pasien yang dinyatakan berisiko low intake karena adanya gangguan
seperti penurunan kesadaran, mual, muntah, ataupun penurunan nafsu makan
adalah 60% pasien. Sebaran pasien berdasarkan jenis penyakit dan gangguan
penyerta dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran pasien berdasarkan jenis penyakit
Jenis penyakit dan gangguan penyerta n %
Gangguan kardiovaskuler 24 80,0
Sindrom metabolik dan asam urat 10 33,3
Gangguan gastrointestinal dan hati 10 33,3
Gangguan pernafasan 7 23,3
Gangguan syaraf 6 20,0
Gangguan ginjal 4 13,3
Sindrom Steven Johnson 1 3,3

Status Gizi
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat yang sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan (Supariasa et al. 2001). Klasifikasi IMT
untuk populasi Asia Pasifik berdasarkan WHO (2004) dalam PDGKI (2008)
adalah kurang (IMT< 18,5), normal (IMT= 18,5 – 24,9), dan lebih (IMT≥ 25).
Kisaran IMT pasien adalah 12,6 hingga 26,5. Rata-rata nilai IMT pasien adalah
19,0 sehingga digolongkan berstatus gizi normal. Setengah dari pasien berstatus
gizi normal. Sebaran pasien berdasarkan status gizi ditampilkan pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran pasien berdasarkan status gizi
Status gizi n %
Kurang (≤18,5) 12 40,0
Normal (18,5 – 25,0) 15 50,0
Lebih (>25,0) 3 10,0
Total 30 100,0

Kebutuhan Energi dan Zat Gizi


Kebutuhan energi berubah dalam keadaan sakit. Salah satu cara yang
dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan energi orang sakit dapat
dilakukan dengan menurut persen kenaikan kebutuhan di atas Angka
Metabolisme Basal (AMB), yaitu dengan mengalikan AMB dengan faktor aktivitas
dan faktor trauma atau stres (Almatsier 2005). Kebutuhan protein, lemak, dan
karbohidrat ditentukan berdasarkan keadaan penyakit yang diderita pasien, serta
disesuaikan dengan asupan zat gizi makro bagi lansia yang disarankan dalam
Harris (2004). Kebutuhan vitamin dan mineral berdasarkan Angka Kecukupan
Gizi untuk lansia ditetapkan sesuai ketentuan dalam WNPG VIII tahun 2004.
Kebutuhan energi dan zat gizi pasien disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 15 Rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi
Energi dan zat gizi Rata-rata±SD
Energi (kkal) 1.362 ± 244
Protein (g) 51,6 ± 13,3
Lemak (g) 37,8 ± 6,8
Karbohidrat (g) 203,8 ± 33,8
Vit.A (RE) 537 ± 49
Vit. E (mg) 15 ± 0
Vit. B1 (mg) 1,0 ± 0,1
Asam folat (mcg) 400 ± 0
Vit. B6 (mg) 1,6 ± 0,1
Vit. B12 (mcg) 2,4 ± 0,0
Vit. C (mg) 81 ± 7
Kalsium (mg) 800 ± 0
Besi (mg) 12 ± 1
Seng (mg) 11,1 ± 1,8

Selama dirawat di RS, pasien memperoleh energi dan zat gizi untuk
memenuhi kebutuhannya melalui makanan RS (makanan olahan RS dan formula
komersial) yang dikelola oleh Instalasi Gizi RS dan makanan dari luar RS yang
dibawa oleh keluarga pasien yang berkunjung. Selain memperoleh dalam bentuk
pangan, sebanyak 90% (27 orang) pasien juga memperoleh energi dan zat gizi
dari cairan infus (Futrolit, Asering, Renosan, Ringer Laktat, Aminofluid, NaCl, dan
Dekstrosa 5%) serta sebanyak 26,7% (8 orang) pasien mendapatkan suplemen
(Bion 3, Neurobion, Lesichool, Cal 95, dan Neurodex). Pemberian cairan infus
dan suplemen ditangani oleh bagian farmasi.

Ketersediaan Energi dan Zat Gizi dari Makanan RS


Makanan RS yang diberikan oleh pihak Instalasi Gizi RS terdiri dari
makanan olahan RS dan formula komersial. Pemberian makanan olahan RS dan
formula komersial ini disesuaikan dengan keadaan pasien dan diresepkan oleh
dokter (preskripsi diet). Makanan RS diberikan kepada pasien berupa makanan
olahan RS saja, formula komersial saja, atau kombinasi makanan olahan RS
bersama dengan formula komersial.
Makanan olahan RS merupakan hasil penyelenggaraan makanan yang
dilakukan oleh pihak Instalasi Gizi RS. Makanan olahan RS meliputi makanan
utama (pagi, siang, dan sore) dan makanan selingan. Formula komersial yang
dimaksud adalah makanan cair yang tersedia di pasaran. Almatsier (2005)
menggolongkan formula komersial sebagai makanan cair penuh. Makanan cair
penuh adalah makanan yang berbentuk cair atau semi cair pada suhu ruang
dengan kandungan serat minimal dan tidak tembus pandang bila diletakkan
dalam wadah bening. Makanan ini dapat diberikan melalui oral atau enteral
(pipa), secara bolus atau drip (tetes). Makanan cair penuh diberikan kepada
pasien yang mengalami gangguan mengunyah, menelan, dan mencernakan
makanan yang disebabkan oleh menurunnya kesadaran, suhu tinggi, rasa mual,
muntah, pasca perdarahan saluran cerna, serta pra dan pasca bedah. Formula
komersial yang diberikan kepada pasien selama penelitian berlangsung terdiri
dari Entrasol, Peptisol, Diabetasol, dan Hepatosol.
Makanan Olahan RS
Data ketersediaan energi dan zat gizi makanan olahan RS diperoleh dari
25 orang (83,3%) pasien. Sebagian dari mereka mendapatkan makanan olahan
RS selama tiga hari berturut-turut, sebagian lagi mendapatkan makanan olahan
RS selama dua hari, dan sisanya mendapatkan makanan olahan RS selama satu
hari.
Ketersediaan Energi
Rata-rata ketersediaan energi dari makanan olahan RS adalah 1.564 ±
101 kkal atau 117,5% terhadap kebutuhan energi pasien. Depkes (1996) dalam
Sukandar (2007) mengkategorikan tingkat ketersediaan energi terhadap
kebutuhan menjadi tiga, yaitu defisit (< 90% angka kebutuhan), normal (90 –
119% angka kebutuhan), dan lebih (≥ 120% angka kebutuhan) sehingga rata-
rata ketersediaan energi dari makanan olahan RS tersebut dikategorikan normal.
Nilai minimum dan maksimum ketersediaan energi ialah 1.424 kkal dan 1.763
kkal sehingga dapat menyumbang sekitar 104,6 – 129,4% terhadap rata-rata
kebutuhan energi pasien. Hal ini menunjukkan bahwa makanan olahan RS dapat
memberikan energi kepada pasien dalam jumlah yang normal hingga berlebih.
Tabel berikut menunjukkan sebaran pasien berdasarkan tingkat
ketersediaan energi makanan olahan RS terhadap kebutuhan pasien.
Tabel 16 Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi makanan
olahan RS terhadap kebutuhan
Kategori n %
Defisit 3 12,0
Normal 14 56,0
Lebih 8 32,0
Total 25 100,0
Lebih dari separuh pasien (56%) memiliki tingkat ketersediaan energi terhadap
kebutuhan yang termasuk dalam kategori normal dan 32% pasien termasuk
kategori lebih. Hanya sebagian kecil pasien (12%) yang mengalami defisit
terhadap ketersediaan energi. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika pasien
mampu mengkonsumsi makanan RS dengan baik maka kebutuhan energinya
akan terpenuhi.
Ketersediaan Protein
Rata-rata ketersediaan protein sehari dari makanan olahan RS adalah
74,5 ± 8,6 g atau 1,8 g/kg berat badan (BB). Nilai minimum dan maksimum
ketersediaan protein adalah 61,0 g dan 105,2 g, sehingga bila rata-rata BB
pasien adalah 44,9 kg maka asupan dari ketersediaan protein makanan olahan
RS adalah sekitar 1,4 – 2,3 g/kg BB. Harris (2004) menjelaskan bahwa asupan
protein sebanyak 1 sampai 1,25 g/kg BB umumnya aman bagi lansia.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka sebagian besar pasien mendapatkan
protein dari makanan olahan RS dengan jumlah yang melebihi dari ketentuan
asupan protein bagi lansia. Hal ini terjadi karena standar porsi lauk hewani dan
nabati yang diberikan kepada pasien lansia masih disamakan dengan pasien
umum lainnya.
Tidak ada pasien yang mendapatkan protein dari makanan olahan RS
dalam jumlah yang kurang. Sebanyak 16% pasien mendapatkan protein dalam
jumlah asupan yang disarankan bagi lansia dan sebagian besar pasien (84%)
mendapatkan protein dalam jumlah berlebih. Hal ini terjadi karena pasien lansia
di Ruang Gayatri mendapatkan lauk nabati dan hewani dengan standar porsi
yang sama dengan pasien umum. Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan
karbohidrat dari makanan olahan RS ditunjukkan pada Tabel 17.
Tabel 17 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan protein makanan olahan RS
Ketersediaan protein n %
< 1 g/kg BB 0 0,0
1 – 1,25 g/kg BB 4 16,0
> 1,25 g/kg BB 21 84,0
Total 25 100,0

Fungsi ginjal dan kecepatan penyaringan glomerulus mengalami


penurunan sekitar 60% pada usia 30 sampai 80 tahun, terutama jumlah nefron
yang berkurang menyebabkan menurunnya aliran darah (Harris 2004).
Pembuangan sisa-sisa metabolisme protein dan elektrolit yang harus dilakukan
ginjal akan merupakan beban tersendiri (Dharmojo & Martono 2006).
Ketersediaan Karbohidrat
Rata-rata ketersediaan karbohidrat perhari dari makanan olahan RS
adalah 222,4 ± 38,2 g atau 66,6% dari total kebutuhan energi. Haris (2004)
mengatakan bahwa asupan karbohidrat yang disarankan bagi lansia adalah
sebanyak 45 – 65% dari total kebutuhan energi perhari. Berdasarkan ketentuan
tersebut maka rata-rata ketersediaan karbohidrat dari makanan olahan RS
dikategorikan lebih. Nilai minimum dan maksimum sebesar 176,3 g dan 373,5 g,
sehingga makanan RS dapat menyumbangkan sebanyak 51,8 – 109,7% dari
rata-rata total kebutuhan energi perhari. Hal ini menunjukkan bahwa makanan
olahan RS dapat memberikan karbohidrat kepada pasien dalam jumlah yang
normal hingga berlebih.
Sebagian besar pasien (60%) mendapatkan karbohidrat dari makanan
RS dengan jumlah sesuai ketentuan bagi lansia dan sisanya (40%) mendapatkan
dalam jumlah berlebih. Hal ini terjadi karena pasien lansia di Ruang Gayatri
mendapatkan makanan pokok dengan standar porsi yang sama dengan pasien
umum. Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat dari makanan
olahan RS ditunjukkan pada Tabel 18.
Tabel 18 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat makanan olahan
RS
Ketersediaan karbohidrat n %
< 45% keb. E 0 0,0
45 – 65% keb. E 15 60,0
> 65% keb. E 10 40,0
Total 25 100,0

Ketersediaan Lemak
Rata-rata ketersediaan lemak dalam sehari dari makanan RS adalah 50,1
± 6,6 g atau 34,1% dari total kebutuhan energi. Nilai minimum dan maksimum
ketersediaan lemak makanan RS adalah sebesar 40,3 g dan 68,2 g, sehingga
makanan RS dapat menyumbangkan lemak sebanyak 26,6 – 45% dari rata-rata
kebutuhan energi pasien sehari. Harris (2004) menjelaskan bahwa asupan lemak
yang disarankan bagi lansia adalah sebanyak 25 – 35% dari total kebutuhan
energi sehari. Tabel berikut menunjukkan sebaran pasien berdasarkan
ketersediaan lemak dari makanan olahan RS.
Tabel 19 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak makanan olahan RS
Ketersediaan lemak n %
< 25% keb. E 5 20,0
25 – 35% keb. E 11 44,0
> 35% keb. E 9 36,0
Total 25 100,0

Harris (2004) menjelaskan bahwa asupan lemak pada lansia tidak hanya
diperhatikan masalah jumlah tetapi juga perlu ditekankan untuk mengurangi
konsumsi asam lemak jenuh dan memilih asam lemak tak jenuh. Sumber asam
lemak jenuh yang digunakan dalam makanan RS adalah minyak kelapa sawit,
margarin, santan, dan VCO (Virgin Coconut Oil). Penggunaan minyak kelapa
sawit dan santan dalam pengolahan makanan sangat dibatasi, bahkan pada
beberapa pasien dengan diet tertentu dibebaskan dari minyak goreng dan
santan. Penggunaan margarin hanya terbatas pada pembuatan kue sebagai
snack, sehingga penggunaan margarin jarang digunakan.
VCO adalah minyak kelapa yang pembuatannya tidak menggunakan
proses pemanasan seperti pembuatan minyak kelapa pada umumnya. VCO
mengandung asam lemak jenuh rantai sedang atau medium chain triacylglysera
(MCT) yang lebih mudah diserap, lebih cepat diutilisasi (Sandjaja 2009). Asam
laurat di dalam VCO cukup tinggi yaitu 53%. MCT yang masuk ke dalam tubuh
akan langsung dibakar untuk menghasilkan energi sehingga menciptakan
kenetralan terhadap kolesterol. Monolaurin yang merupakan bentuk ubahan dari
asam lemak ini di dalam tubuh manusia adalah suatu bentuk senyawa
monogliserida. Senyawa ini bersifat sebagai antivirus, antibakteri, dan antijamur
(Rindengan & Novarianto 2006).
Beberapa pasien juga diberikan tambahan minyak kanola dan minyak
zaitun ke dalam campuran makanannya. Minyak kanola dan minyak zaitun
merupakan sumber asam lemak tak jenuh tunggal (Ettinger 2004). Pemberian
minyak kanola dan minyak zaitun masih dilakukan hanya kepada pasien dengan
rekomendasi dokter, sehingga tidak semua pasien mendapatkannya.
Ketersediaan Vitamin dan Mineral
Tingkat kecukupan vitamin dan mineral diklasifikasikan menjadi dua
kategori yaitu kurang (< 77% AKG) dan cukup (≥ 77% AKG) (Depkes 1996 dalam
Sukandar 2007). Berdasarkan data pada Tabel 20 dan ketentuan dalam Depkes
(1996) tersebut, terlihat bahwa jika pasien mengkonsumsi makanan olahan RS
dengan baik maka kecukupan vitamin A, vitamin B1, B6, B12, C, kalsium, besi,
dan seng akan terpenuhi. Berbeda dengan kecukupan vitamin E dan asam folat
yang tidak akan terpenuhi walaupun sudah mengkonsumsi makanan olahan RS
dengan baik, karena ketersediaan vitamin E dan asam folat yang masih kurang
dari 77% rata-rata AKG.
Tabel 20 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS
terhadap AKG
Makanan RS
Vitamin dan mineral
Rata-rata % terhadap AKG
Vitamin A (RE) 3.126 ± 339 587,4
Vitamin E (mg) 4±1 27,5
Vitamin B1 0,8 ± 0,2 78,5
Asam folat 213 ± 29 53,3
Vitamin B6 1,9 ± 0,2 123,4
Vitamin B12 (mcg) 3,4 ± 0,5 140,3
Vitamin C (mg) 115 ± 23 144,2
Kalsium (mg) 791 ± 94 98,9
Besi (mg) 16 ± 1 132,6
Seng (mg) 11,6 ± 1,6 106,3
Natrium (mg) 1.008 ± 511 -
Kalium (mg) 1.933 ± 143 -

Tingkat kecukupan vitamin A terhadap AKG mencapai 587,4%, namun ini


tidak berarti bahwa pasien berisiko kelebihan vitamin A. Berdasarkan Almatsier
(2006), kelebihan vitamin A hanya bisa terjadi bila memakan vitamin A sebagai
suplemen dalam takaran tinggi yang berlebihan, misalnya takaran 16.000 RE
untuk jangka waktu yang lama atau 40.000 – 55.000 RE perhari. Rendahnya
konsumsi lemak dari makanan olahan RS mengurangi keoptimalan dalam
penyerapan vitamin A. Vitamin A merupakan suatu kristal alkohol berwarna
kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak (Almatsier 2006).
Rata-rata ketersediaan natrium dan kalium dari makanan olahan RS
adalah 1008 ± 511 mg dan 1933 ± 143 mg. Disarankan untuk membatasi asupan
natrium sekitar 2 – 4 g perhari dan meningkatkan asupan mineral seperti kalium
(Harris 2004). Kalium berfungsi untuk memelihara keseimbangan garam (Na)
dan cairan serta membantu mengontrol tekanan darah yang normal. Asupan
natrium yang disarankan bagi pasien dengan gangguan kardiovaskuler ialah
kurang dari 2400 mg (6,4 g garam dapur) dan mempertahankan asupan kalium
sekitar 90 mmol perhari (3510 mg), serta cukup konsumsi kalsium sesuai
kebutuhan (NCEP 2002).
Formula Komersial
Ketersediaan energi dan zat gizi dari formula komersial diperoleh dari dua
orang (6,7%) pasien. Kedua orang pasien tersebut selama tiga hari pengamatan
memperoleh makanan RS berupa formula komersial saja. Salah satu pasien
merupakan pasien dengan diagnosa stroke, dan satu pasien lainnya adalah
pasien yang mengalami tukak peptik dan hematemesis.
Ketersediaan Energi
Rata-rata ketersediaan energi dari formula komersial adalah 875 ± 177
kkal atau 65,1% terhadap kebutuhan sehingga dikategorikan defisit. Nilai
minimum dan maksimum ketersediaan energi adalah 750 kkal dan 1.000 kkal
sehingga formula komersial dapat menyumbang energi sebanyak 55,1 – 73,4%
terhadap rata-rata kebutuhan energi dan dikategorikan defisit. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian formula komersial tidak akan memenuhi seluruh
kebutuhan energi pasien. Salah satu syarat diet dari makanan cair penuh
(formula komersial) adalah bila diberikan lebih dari tiga hari harus dapat
memenuhi kebutuhan energi dan protein (Almatsier 2005).
Ketersediaan Protein
Rata-rata ketersediaan protein dari formula komersial adalah 24,5 ± 4,9 g
atau 0,5 g/kg BB. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan protein adalah
21,0 dan 28,0 g sehingga formula komersial dapat menyediakan protein
sebanyak 0,5 g/kg rata-rata berat badan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian formula komersial saja tidak akan memenuhi seluruh kebutuhan
protein pasien.
Ketersediaan Karbohidrat
Rata-rata ketersediaan karbohidrat dari formula komersial adalah 147,0 ±
29,7 g atau 43,7% terhadap kebutuhan energi pasien. Nilai minimum dan
maksimum ketersediaan karbohidrat adalah 126,0 g dan 168,0 g sehingga
karbohidrat dari formula komersial dapat menyumbangkan 37,0 – 49,3%
terhadap rata-rata kebutuhan energi. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
formula komersial saja tidak akan memenuhi seluruh kebutuhan karbohidrat
pasien.
Ketersediaan Lemak
Rata-rata ketersediaan lemak dari formula komersial adalah 21,0 ± 4,2 g
atau 14,1% terhadap kebutuhan energi pasien. Nilai minimum dan maksimum
ketersediaan lemak adalah 18,0 g dan 24,0 g sehingga lemak dari formula
komersial dapat menyumbangkan 11,8 – 16,3% terhadap rata-rata kebutuhan
energi.
Ketersediaan Vitamin dan Mineral
Ketersediaan vitamin A, E, B1, B6, C, dan mineral seng formula komersial
mampu memenuhi minimal 77% AKG, sedangkan ketersediaan asam folat,
vitamin B12, mineral kalsium, dan besi masih kurang dari 77% AKG. Rata-rata
ketersediaan natrium dan kalium dari formula komersial adalah 455 ± 92 mg dan
630 ± 127 mg sehingga kandungan natrium masih lebih rendah dari batas
maksimal dan kandungan kalium lebih rendah daripada yang dianjurkan. Tabel
berikut menunjukkan ketersediaan vitamin dan mineral yang terkandung pada
formula komersial.
Tabel 21 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari formula komersial
Vitamin dan Mineral Rata-rata ketersediaan % terhadap AKG
Vitamin A (RE) 589 ± 119 117,7
Vitamin E (mg) 12 ± 2 77,0
Vitamin B1 1,6 ± 0,3 161,0
Asam folat 235 ± 47 58,6
Vitamin B6 1,3 ± 0,3 86,3
Vitamin B12 (mcg) 1,8 ± 0,4 72,9
Vitamin C (mg) 60 ± 12 79,3
Kalsium (mg) 466 ± 94 58,2
Besi (mg) 6 ± 1,2 49,6
Seng (mg) 11,6 ± 2,3 117,9
Natrium (mg) 455 ± 92 -
Kalium (mg) 630 ± 127 -

Makanan Olahan RS dan Formula Komersial


Diet makanan olahan RS yang disertai dengan pemberian formula
komersial terdiri dari makanan olahan RS yang diberikan sebagai makanan
utama (pagi, siang, dan sore) serta formula komersial sebagai selingan. Data
ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan olahan RS dan formula komersial
berasal dari enam orang (20%) pasien.
Ketersediaan Energi
Rata-rata ketersediaan energi dari makanan olahan RS dan formula
komersial adalah 1.740 ± 291 kkal atau 141,2% terhadap kebutuhan sehingga
dikategorikan lebih. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan energi adalah
1.230 kkal dan 2.064 kkal sehingga makanan olahan RS dan formula komersial
dapat menyumbang energi sebanyak 90,3 – 151,5%. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian makanan olahan RS dan formula komersial mampu memenuhi
kebutuhan energi pasien bahkan hingga dikategorikan berlebih. Berikut adalah
tabel sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi dari makanan
olahan RS dan formula komersial terhadap kebutuhan.
Tabel 22 Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi makanan
olahan RS dan formula komersial terhadap kebutuhan
Kategori n %
Defisit 0 0,0
Normal 1 16,7
Lebih 5 83,3
Total 6 100,0
Hanya satu orang (16,7%) dari pasien yang mendapatkan energi dari RS
dikategorikan normal, selebihnya (83,3%) dikategorikan berlebih.
Ketersediaan Protein
Rata-rata ketersediaan protein dari makanan olahan RS dan formula
komersial adalah 78,2 ± 12,4 g atau 2,3 g/kg berat badan (BB). Nilai minimum
dan maksimum ketersediaan protein adalah 60,5 g dan 92,6 g atau sekitar 1,3 –
2,1 g/kg rata-rata berat badan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
makanan olahan RS yang disertai formula komersial sebagai selingan
menyediakan protein dengan kategori lebih (> 1,25 g/kg BB). Seluruh pasien
(enam orang) mendapatkan protein dengan jumlah yang melebihi dari asupan
protein yang disarankan bagi lansia.
Ketersediaan Karbohidrat
Rata-rata ketersediaan karbohidrat perhari dari makanan olahan RS dan
formula komersial adalah 241,8 ± 50,8 g atau 66,6% dari total kebutuhan energi
sehingga dikategorikan lebih. Nilai minimum dan maksimum sebesar 170,3 g dan
225,3 g, sehingga makanan olahan RS dan formula komersial dapat
menyumbangkan sebanyak 50,0 – 66,2% total kebutuhan energi perhari dari
karbohidrat. Hal ini menunjukkan bahwa makanan olahan RS dan formula
komersial dapat memberikan karbohidrat kepada pasien dalam jumlah yang
normal hingga berlebih.
Hanya 16,7% (satu orang) pasien yang mendapatkan karbohidrat dari
makanan olahan RS dan formula komersial dalam jumlah yang sesuai dengan
asupan yang disarankan bagi lansia sedangkan sebagian besar pasien (lima
orang) mendapatkan karbohidrat yang dikategorikan berlebih. Sebaran pasien
berdasarkan tingkat ketersediaan karbohidrat dari makanan olahan RS dan
formula komersial terhadap kebutuhan ditampilkan pada Tabel 23.
Tabel 23 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat makanan olahan
RS dan formula komersial
Ketersediaan karbohidrat n %
< 45% keb. E 0 0,0
45 – 65% keb. E 1 16,7
> 65% keb. E 5 83,3
Total 6 100,0

Ketersediaan Lemak
Rata-rata ketersediaan lemak dalam sehari dari makanan olahan RS dan
formula komersial adalah 55,0 ± 13,9 g atau 40,1% dari total kebutuhan energi.
Nilai minimum dan maksimum ketersediaan lemak makanan olahan RS dan
formula komersial adalah sebesar 35,4 g dan 78,3 g, sehingga kombinasi antara
makanan olahan RS dan formula komersial dapat menyumbangkan lemak
sebanyak 23,4 – 51,7% dari rata-rata kebutuhan energi pasien sehari.
Sebagian besar pasien (66,7%) mendapatkan lemak dari makanan
olahan RS dan formula komersial dengan jumlah yang lebih banyak dari 35%
total kebutuhan energi. Tabel berikut menunjukkan sebaran pasien berdasarkan
ketersediaan lemak dari makanan olahan RS dan formula komersial.
Tabel 24 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak makanan olahan RS
dan formula komersial
Ketersediaan lemak n %
< 25% keb. E 1 16,7
25 – 35% keb. E 1 16,7
> 35% keb. E 4 66,6
Total 6 100,0

Ketersediaan Vitamin dan Mineral


Jika pasien mengkonsumsi makanan olahan RS dan formula komersial
dengan baik maka kecukupan vitamin A, vitamin B1, B6, B12, C, kalsium, besi,
dan seng akan terpenuhi. Berbeda dengan kecukupan vitamin E dan asam folat
yang tidak akan terpenuhi walaupun sudah mengkonsumsi makanan RS dengan
baik, karena ketersediaan vitamin E dan asam folat yang masih kurang dari 77%
rata-rata AKG. Rata-rata ketersediaan natrium dan kalium dari makanan olahan
RS dan formula komersial adalah 979 ± 335 mg dan 1.884 ± 338 mg sehingga
kandungan natrium masih lebih rendah dari batas maksimal dan kandungan
kalium lebih rendah daripada yang dianjurkan. Rata-rata ketersediaan vitamin
dan mineral dari makanan RS dan formula komersial terhadap AKG diperlihatkan
pada Tabel 25.
Tabel 25 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS
dan formula komersial terhadap AKG
Makanan RS
Vitamin dan mineral
Rata-rata % terhadap AKG
Vitamin A (RE) 3.129 ± 612 569,3
Vitamin E (mg) 8±4 55,6
Vitamin B1 2,0 ± 1,9 197,2
Asam folat 275 ± 68 68,8
Vitamin B6 2,3 ± 0,4 146,0
Vitamin B12 (mcg) 3,6 ± 0,7 151,6
Vitamin C (mg) 125 ± 28 152,6
Kalsium (mg) 900 ± 187 112,4
Besi (mg) 18 ± 3 139,3
Seng (mg) 15,6 ± 2,7 136,8
Natrium (mg) 979 ± 335 -
Kalium (mg) 1.884 ± 338 -
Konsumsi Makanan RS
Makanan RS terdiri dari makanan olahan RS dan formula komersial.
Selanjutnya akan dibahas mengenai konsumsi makanan olahan dan formula
komersial untuk melihat preferensi pasien terhadap setiap jenis makanan RS.
Batasan konsumsi minimal merupakan konsumsi minimal terhadap makanan RS
yang harus dicapai oleh pasien agar kebutuhan gizi dapat tercukupi dari
kandungan energi dan zat gizi yang tersedia di dalam makanan RS.
Konsumsi Makanan Pokok
Makanan pokok merupakan sumber utama energi dan karbohidrat bagi
pasien yang memperoleh makanan olahan RS. Makanan pokok yang diberikan
oleh RS kepada pasien lansia di Ruang Gayatri meliputi nasi, nasi tim, dan
bubur. Berdasarkan rata-rata ketersediaan energi yang terkandung di dalam
makanan olahan RS maka pasien perlu mengkonsumsi minimal 75% dari
makanan pokok agar kebutuhan energi dapat terpenuhi (Lampiran 8). Jika
diamati dari setiap pemberian makanan olahan RS maka semua makanan pokok
cenderung dikonsumsi kurang dari 75%. Tabel 26 menampilkan konsumsi setiap
makanan pokok terhadap ketersediaan.
Tabel 26 Konsumsi setiap makanan pokok terhadap ketersediaan
Konsumsi dari ketersediaan
Total
Bahan makanan < 75% ≥ 75%
n n % n %
Nasi 33 28 84,8 5 15,2
Nasi tim 14 14 100,0 0 0,0
Bubur 189 115 60,8 74 39,2

Konsumsi Lauk Hewani dan Nabati


Lauk hewani dan nabati merupakan sumber utama protein bagi pasien
yang mendapatkan makanan olahan RS. Berdasarkan rata-rata ketersediaan
protein dari makanan olahan RS maka pasien perlu mengkonsumsi minimal 50%
dari setiap porsi lauk hewani dan nabati yang disediakan agar kebutuhan protein
dapat terpenuhi (Lampiran 8).
Lauk hewani dari makanan RS meliputi daging ayam, daging sapi, ikan
kakap, telur puyuh, telur ayam, dan ikan gurame. Lauk yang berasal dari ikan
kakap dan telur ayam pasien cenderung dikonsumsi di bawah 50%. Lauk yang
berasal dari ikan gurame tidak memiliki kecenderungan untuk dikonsumsi kurang
dari 50% atau lebih dari sama dengan 50%. Lauk yang berasal dari daging
ayam, daging ayam suwir, daging sapi, daging sapi cincang, dan telur puyuh
cenderung dikonsumsi lebih dari 50%. Jika diamati dari besar persentase maka
daging ayam suwir lebih cenderung dikonsumsi lebih dari sama dengan 50%
dibandingkan daging ayam, sedangkan daging sapi cincang lebih cenderung
dikonsumsi lebih dari sama dengan 50% dibandingkan daging sapi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa konsistensi makanan mempengaruhi konsumsi pasien.
Tabel 27 menunjukkan konsumsi setiap lauk hewani terhadap ketersediaan.
Tabel 27 Konsumsi setiap lauk hewani terhadap ketersediaan
Konsumsi dari ketersediaan
Total
Bahan makanan < 50% ≥ 50%
n n % n %
Daging ayam 70 31 44,3 39 55,7
Daging ayam suwir 15 5 33,3 10 66,7
Daging sapi 63 23 36,5 40 63,5
Daging sapi cincang 30 9 30,0 21 70,0
Ikan kakap 17 9 52,9 8 47,1
Ikan gurame 16 8 50,0 8 50,0
Telur puyuh 12 0 0,0 12 100,0
Telur ayam 11 7 63,6 4 36,4
Lauk nabati yang disediakan oleh instalasi gizi RS meliputi tahu, tempe,
makaroni, dan olahan kentang. Tabel 28 menampilkan konsumsi setiap lauk
nabati terhadap ketersediaan.
Tabel 28 Konsumsi setiap lauk nabati terhadap ketersediaan
Konsumsi dari ketersediaan
Total
Bahan makanan < 50% ≥ 50%
n n % n %
Tahu 77 36 46,8 41 53,2
Tempe 64 42 65,6 22 34,4
Olahan kentang 9 0 0,0 9 100,0
Olahan makaroni 2 1 50,0 1 50,0

Berdasarkan Tabel 28 terlihat bahwa lauk nabati yang berasal dari tahu dan
olahan kentang cenderung dikonsumsi lebih dari sama dengan 50%, sedangkan
tempe cenderung dikonsumsi kurang dari 50%. Lauk olahan makaroni tidak
memiliki kecenderungan dikonsumsi kurang atau lebih dari sama dengan 50%.
Data-data yang diperoleh tentang konsumsi lauk hewani dan nabati
tersebut menunjukkan bahwa aspek konsistensi makanan adalah hal yang perlu
diperhatikan. Selain itu, diperlukan dukungan mental melalui konsultasi tentang
pangan dan gizi agar konsumsi lauk hewani dan nabati dari RS dapat dikonsumsi
secara optimal.
Konsumsi Sayuran dan Buah-buahan
Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber utama vitamin dan mineral
bagi pasien yang mendapatkan makanan olahan RS. Berdasarkan rata-rata
ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS maka pasien perlu
mengkonsumsi minimal 75% dari sayuran dan buah-buahan yang disediakan
agar kebutuhan vitamin dan mineral dapat terpenuhi (Lampiran 8). Tabel 29
menunjukkan bahwa konsumsi seluruh sayuran cenderung kurang dari 75%
ketersediaan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan konsumsi sayuran dari
makanan RS yang seperti itu maka pasien belum bisa memenuhi kebutuhan
vitamin dan mineralnya.
Tabel 29 Konsumsi sayuran terhadap ketersediaan
Konsumsi dari ketersediaan
Total
Bahan makanan < 75% ≥ 75%
n n % n %
Wortel 220 168 76,4 52 23,6
Kapri 104 83 79,8 21 20,2
Buncis 75 60 80,0 15 20,0
Kembang kol 95 76 80,0 19 20,0
Terung panjang 14 11 78,6 3 21,4
Bayam 22 17 77,3 5 22,7
Oyong 5 4 80,0 1 20,0
Sawi hijau 52 43 82,7 9 17,3
Kentang 17 14 82,4 3 17,6
Labu siam 59 46 78,0 13 22,0
Jagung manis 37 26 70,3 11 29,7
Jamur kuping 23 14 60,9 9 39,1
Jamur supa 14 10 71,4 4 28,6
Kacang panjang 4 3 75,0 1 25,0
Jagung kecil 8 6 75,0 2 25,0
Tauge 8 5 62,5 3 37,5
Brokoli 4 3 75,0 1 25,0
Jamur merang 4 3 75,0 1 25,0
Berdasarkan pengamatan, buah-buahan yang disediakan oleh Instalasi
Gizi RS dalam penyelenggaraan makanan meliputi pepaya, melon, semangka,
jeruk, apel, anggur, pisang ambon, dan pisang raja sereh. Tabel berikut
menunjukkan sebaran konsumsi pada setiap jenis buah-buahan yang diberikan
RS.
Tabel 30 Konsumsi buah-buahan terhadap ketersediaan
Konsumsi terhadap ketersediaan
Total
Bahan makanan < 75% ≥ 75%
n n % n %
Pepaya 30 14 46,7 16 53,5
Melon 18 8 44,4 10 55,6
Semangka 25 11 44,0 14 56,0
Jeruk 30 19 63,3 11 36,7
Apel 1 1 100,0 0 0,0
Anggur 7 6 85,7 1 14,3
Pisang ambon 9 6 66,7 3 33,3
Pisang raja sereh 34 18 52,9 16 47,1
Jus buah 15 6 40,0 9 60,0
Berdasarkan Tabel 30 konsumsi buah-buahan seperti jeruk, apel, anggur, pisang
ambon, dan pisang raja sereh masih kurang dari 75%. Konsumsi buah seperti
pepaya, melon, semangka, dan jus buah sudah lebih dari sama dengan 75%. Hal
ini dikarenakan buah pepaya, melon, semangka, dan buah-buahan yang
disajikan dalam bentuk jus memiliki tekstur yang mudah dikonsumsi oleh pasien
dari pada buah-buahan yang lain.
Konsumsi Makanan Selingan dan Formula Komersial
Makanan selingan yang diberikan oleh Instalasi Gizi RS dapat
dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok besar, yaitu bubur kacang hijau, bubur
sumsum, puding atau agar-agar, kue, minuman, buah, biskuit dan krakers, serta
formula komersial. Secara umum terdapat kecenderungan pasien untuk
menghabiskan (konsumsi 100%) setiap makanan selingan yang diberikan,
kecuali biskuit dan krakers yang cenderung tidak dikonsumsi sama sekali
(konsumsi 0%). Hal ini terjadi diduga karena kurangnya motivasi contoh untuk
mengkonsumsi biskuit dan krakers tersebut. Biskuit dan krakers diberikan dalam
bentuk biasanya tanpa meningkatkan penampilan atau bentuk yang menarik.
Formula khusus komersial merupakan jenis selingan yang memiliki
kecenderungan dihabiskan paling besar terlihat dengan persentase yang
tertinggi. Hal ini terjadi diduga karena konsistensinya yang cair lebih
memudahkan pasien untuk mengkonsumsinya, namun biaya untuk pemberian
formula komersial ini tergolong mahal.
Berdasarkan pemberian setiap selingan kepada seluruh pasien yang
diamati selama tiga hari, konsumsi makanan selingan ditunjukkan pada Tabel 31.
Tabel 31 Konsumsi makanan selingan dan formula komersial terhadap
ketersediaan
Konsumsi terhadap ketersediaan
Total
Jenis selingan 100% 75% 50% 25% 0%
n n % n % n % n % n %
Bubur kc.hijau 15 5 33,3 2 13,3 2 13,3 4 26,7 2 13,3
Bubur sumsum 11 7 63,3 1 9,1 1 9,1 1 9,1 1 9,1
Puding 34 22 64,7 0 0,0 9 26,5 1 2,9 2 5,9
Kue 48 29 60,4 4 8,3 5 10,4 0 0,0 10 20,8
Biskuit dan krakers 8 2 25,0 0 0,0 2 25,0 0 0,0 4 50,0
Buah 6 4 66,7 0 0,0 0 0,0 0 0,0 2 33,3
Minuman 22 8 36,4 0 0,0 5 22,7 3 0,0 6 7,1
Formula komersial 28 23 82,1 2 7,1 1 3,6 0 0,0 2 7,1

Astawan dan Wahyuni (1988) menjelaskan, pada lansia yang mengalami


kesulitan mengunyah maka makanan-makanan keras yang sulit dikunyah harus
dihindari. Berdasarkan pengamatan, pada pasien dengan resep diet lunak
terkadang mendapatkan lauk, sayur, dan buah-buahan dengan konsistensi yang
sama seperti pada pasien yang mendapatkan diet biasa (nasi biasa).
Selain itu, rasa masakan dan cara pramusaji memberikan pelayanan
makanan kepada pasien diduga juga mempengaruhi konsumsi pasien terhadap
makanan RS. Harris (2004) menyatakan bahwa pelayanan yang menyenangkan
dan rasa makanan yang enak pada suatu kondisi lansia yang mampu makan
secara mandiri ataupun membutuhkan bantuan, dapat membantu memperbaiki
keadaan gizi lansia. Terapi diet ketat yang seringkali memiliki rasa tidak enak
tidak menjamin tercapainya tujuan-tujuan kesehatan pada lansia bahkan
memberikan dampak negatif pada kualitas hidup lansia. Beberapa pasien tidak
hanya mendapatkan asupan energi dan zat gizi dari makanan RS tetapi juga
diberikan formula komersial, cairan infus, suplemen, dan bahkan beberapa
pasien mendapatkan makanan dari luar RS yang dibawakan oleh keluarga.

Konsumsi Energi dan Zat Gizi dari Sumber Pangan


Selama dirawat di Ruang Gayatri, sumber energi dan zat gizi yang
diperoleh pasien terdiri dari makanan RS (makanan olahan RS dan formula
komersial), cairan infus (gizi parenteral), suplemen, dan makanan luar RS.
Sumber yang tersedia dalam bentuk pangan hanyalah makanan RS dan
makanan luar RS saja. Terdapat 27 orang (90%) pasien yang mendapatkan
makanan dari luar RS. Konsumsi energi dan zat gizi total yang selanjutnya akan
dibahas adalah konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dan makanan luar
RS.
Konsumsi Energi
Rata-rata konsumsi energi pasien dari makanan RS adalah 824 ± 328
kkal. Rata-rata konsumsi energi pasien dari makanan luar RS adalah 115 ± 103
kkal. Rata-rata konsumsi energi total (makanan RS dan makanan luar RS)
adalah 939 ± 345 kkal.
Tingkat Konsumsi Energi terhadap Kebutuhan
Rata-rata tingkat konsumsi energi terhadap kebutuhan yang diperoleh
pasien dari makanan RS adalah 63,3% sedangkan makanan luar RS adalah
8,4%. Berdasarkan konsumsi pasien terhadap makanan RS tersebut
menunjukkan bahwa pasien masih mengalami defisiensi energi tingkat berat.
Rata-rata tingkat konsumsi energi total terhadap kebutuhan adalah 71,6%
sehingga dikategorikan defisiensi energi tingkat sedang. Makanan luar RS
memberikan kontribusi energi terhadap kebutuhan yang rendah tetapi memiliki
potensi untuk mengoptimalkan konsumsi energi pasien. Hal ini dibuktikan
dengan meningkatnya tingkat konsumsi energi terhadap kebutuhan dari ketegori
defisiensi tingkat berat menjadi defisiensi tingkat sedang setelah dibantu oleh
makanan luar RS.
Selain itu, sebaran pasien berdasarkan konsumsi energi dari makanan
RS menunjukkan terdapat 86,7% pasien yang mengalami defisiensi energi
(tingkat berat, sedang, dan normal), 6,7% pasien dikategorikan normal, dan 6,7%
dikategorikan lebih. Terlihat perbaikan konsumsi energi pada pasien yang
mendapatkan makanan dari luar RS dibandingkan konsumsi energi dari
makanan RS saja. Sebanyak 81,5% pasien mengalami defisiensi energi (tingkat
berat, sedang, dan ringan), 11,1% pasien dikategorikan normal, dan 7,4% pasien
dikategorikan lebih. Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi energi
terhadap kebutuhan ditunjukkan pada Tabel 32.
Tabel 32 Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi energi terhadap
kebutuhan
Makanan RS Makanan RS dan Makanan luar RS*
Kategori
n % n %
Defisiensi tingkat berat 18 60,0 15 48,1
Defisiensi tingkat sedang 5 16,7 4 18,5
Defisiensi tingkat ringan 3 10,0 5 14,8
Normal 2 6,7 3 11,1
Lebih 2 6,7 3 7,4
Total 30 100,0 27 100,0

Kontribusi Energi dari Makanan RS dan Makanan Luar RS


Rata-rata kontribusi energi dari makanan luar RS adalah 12,2% dari total
konsumsi energi sedangkan rata-rata kontribusi energi dari makanan RS adalah
87,8% dari total konsumsi energi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
konsumsi energi pasien masih berasal dari makanan RS. Kisaran kontribusi
makanan RS terhadap total konsumsi energi pasien adalah 41,8 – 100% dan
kisaran kontribusi makanan luar RS terhadap total konsumsi energi pasien
adalah 0 – 58,2%. Hanya satu orang (3,3%) pasien yang mengkonsumsi energi
terbesar dari makanan luar RS, sedangkan sisanya (96,7%) mengkonsumsi
energi terbesar dari makanan RS.
Konsumsi Protein
Rata-rata konsumsi protein pasien dari makanan RS adalah 37,2 ± 18,6
g. Rata-rata konsumsi protein pasien dari makanan luar RS adalah 2,6 ± 2,5 g.
Rata-rata konsumsi protein total (makanan RS dan makanan luar RS) adalah
39,8 ± 18,7 g. Makanan luar RS menyumbangkan 6,6% protein dari total
konsumsi protein sedangkan makanan RS menyumbangkan sebagian besar
konsumsi protein yaitu 93,4%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
konsumsi protein pasien masih berasal dari makanan RS.
Konsumsi Protein terhadap Kebutuhan
Harris (2004) menyatakan bahwa asupan protein yang dianjurkan bagi
lansia secara umum adalah 1 – 1,25 g/kg BB. Secara berturut-turut, rata-rata
konsumsi protein dari makanan RS dan makanan luar RS adalah 0,9 g/kg BB
dan 0,1 g/kg BB pasien sehingga masih kurang daripada yang disarankan bagi
lansia. Rata-rata konsumsi protein total adalah 1 g/kg BB sehingga dikategorikan
cukup. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun makanan luar RS memberikan
kontribusi protein yang rendah namun mampu memperbaiki rata-rata konsumsi
protein pasien. Perbaikan rata-rata konsumsi protein pasien tidak disertai dengan
meningkatnya persentase pasien yang mendapatkan asupan protein 1 – 1,25
g/kg BB setelah diberikan makanan luar RS. Hal ini mengindikasikan bahwa
makanan luar RS yang diberikan kepada pasien sebagian besar tidak
mengandung protein dalam jumlah yang sesuai. Sebaran pasien berdasarkan
konsumsi protein terhadap kebutuhan ditunjukkan pada Tabel 33.
Tabel 33 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi protein total
Makanan RS Makanan RS dan Makanan luar RS
Kategori
n % n %
< 1,0 g/kg BB 18 60,0 17 63,0
1,0 – 1,25 g/kg BB 7 23,3 4 14,8
≥ 1,25 g/kg BB 5 16,7 6 22,0
Total 30 100,0 27 100,0

Konsumsi Karbohidrat dan Lemak


Konsumsi Karbohidrat
Rata-rata konsumsi karbohidrat total adalah 144,6 ± 70,9 g atau 44,0%
dari total kebutuhan energi. Harris (2004) menuturkan bahwa asupan karbohidrat
yang disarankan bagi lansia secara umum adalah 45 – 65% dari total kebutuhan
energi. Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa rata-rata konsumsi
karbohidrat pasien masih dikategorikan kurang. Sebaran pasien berdasarkan
konsumsi karbohidrat terhadap kebutuhan ditampilkan pada tabel berikut ini.
Tabel 34 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi karbohidrat total
Konsumsi lemak n %
< 45% kebutuhan energi 17 56,7
45 – 65% kebutuhan energi 10 33,3
> 65% kebutuhan energi 3 10,0
Total 30 100,0
Lebih dari setengah pasien masih mengkonsumsi karbohidrat dalam jumlah
kurang.
Rendahnya konsumsi karbohidrat tersebut mempengaruhi konsumsi
energi pasien sehingga masih banyak pasien yang mengalami defisiensi energi.
Hartono (2006) mengatakan bahwa karbohidrat merupakan unsur gizi yang
diperlukan dalam jumlah besar untuk menghasilkan energi. Kebutuhan
karbohidrat yang besar terjadi karena zat gizi ini terpakai habis dan tidak didaur
ulang. Tanpa asupan karbohidrat dari makanan, tubuh dapat mengalami
ketoasidosis sebagai akibat dari oksidasi lemak yang merupakan sumber energi
alternative dalam keadaan kekurangan karbohidrat. Selain itu, karbohidrat juga
berfungsi menjaga agar protein tidak dijadikan sumber energi.
Konsumsi Lemak
Rata-rata konsumsi lemak total adalah 28,7 ± 12,2 g atau 19,9% dari total
kebutuhan energi. Sebagian besar pasien masih mengkonsumsi lemak dalam
jumlah kurang dari 25% total kebutuhan energi. Sebaran pasien berdasarkan
konsumsi lemak terhadap kebutuhan ditampilkan pada Tabel 35.
Tabel 35 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi lemak total
Konsumsi lemak n %
< 25% kebutuhan energi 24 80,0
25 – 35% kebutuhan energi 4 13,3
> 35% kebutuhan energi 2 6,7
Total 30 100,0

Hartono (2006) menjelaskan bahwa lemak dan minyak merupakan zat


gizi makro penting yang menempati urutan kedua sesudah karbohidrat sebagai
bahan bakar untuk memberikan energi kepada sel-sel tubuh. Lemak juga
mempunyai fungsi lain yang tidak dimiliki karbohidrat seperti pembentukan
komponen membran sel, hormon, dan vitamin larut lemak.
Konsumsi Vitamin dan Mineral
Rata-rata tingkat konsumsi vitamin A dari makanan RS terhadap AKG
dikategorikan cukup (≥ 77% AKG), namun konsumsi vitamin dan mineral yang
lainnya belum dapat memenuhi AKG pasien perhari (< 77% AKG). Rata-rata
tingkat konsumsi vitamin dan mineral dari makanan RS ditampilkan pada Tabel
36.
Tabel 36 Rata-rata konsumsi vitamin dan mineral total terhadap AKG
Vitamin dan mineral Rata-rata konsumsi Tk. konsumsi thd AKG
Vit.A (RE) 1074 ± 797 204,5
Vit. E (mg) 3±3 21,1
Vit. B1 (mg) 0,6 ± 0,3 58,5
Asam folat (mcg) 122 ± 60 30,4
Vit. B6 (mg) 1,1 ± 0,5 70,3
Vit. B12 (mcg) 1,8 ± 0,8 74,4
Vit. C (mg) 58 ± 32 73,1
Kalsium (mg) 426 ± 176 53,3
Besi (mg) 9±4 71,7
Seng (mg) 6,3 ± 3,2 57,9

AKG asam folat dari seluruh pasien tidak terpenuhi oleh asupan dari
makanan RS. AKG vitamin A sebagian besar pasien sudah terpenuhi dari
asupan makanan RS. AKG vitamin E, B1, B6, B12, C, mineral kalsium, besi, dan
seng pada sebagian besar pasien tidak terpenuhi dari asupan makanan RS.
Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi vitamin dan mineral dari makanan
RS terhadap AKG disajikan pada Gambar 3.
Cukup Kurang (%)

100 96.6 96.7


86.7 83.3
73.3
56.7 56.7 63.3
53.3
43.3 43.3 46.7
26.7 36.7
13.3 16.7
0 3.4 3.3

Zn Fe Ca Vit.C Vit.B12 Vit.B6 Asam Folat Vit.B1 Vit.E Vit.A

Gambar 3 Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi zat gizi mikro terhadap AKG
Vitamin A, C, dan E juga sebagai antioksidan yang dapat mengurangi
kerusakan sel akibat radikal bebas (Wirakusumah 2001). Kebanyakan kasus
anemia terjadi karena defisiensi zat gizi yang dibutuhkan untuk sintesis eritrosit,
seperti zat besi, vitamin B6, B12, C, dan asam folat (Stopler 2004).
Beberapa pasien yang menderita asites atau edema akibat retensi cairan
mendapatkan obat Furosemide yang bersifat diuretik. Defisiensi tiamin (B1)
karena pemberian obat furosemid pertama kali terjadi pada tikus percobaan.
Defisiensi sedang vitamin B1 dapat terjadi pada pasien lansia di rumah sakit
serta pada pasien gagal jantung kronik dengan terapi diuretik (Witte & Clark
2004).
Osteoporosis terjadi karena proses demineralisasi tulang. Penyebab
proses ini ialah defisiensi kalsium karena asupan kurang dan penyerapan
kalsium menurun, gangguan keseimbangan hormon seks akibat menopause,
dan ketidakaktifan fisik (Arisman 2003). Defisiensi seng berhubungan dengan
gangguan fungsi imun, anoreksia, dysgeusia (kehilangan nafsu makan), dan
lamanya proses penyembuhan (Harris 2004). Rendahnya tingkat kecukupan
vitamin dan mineral terhadap ketersediaan dari makanan RS menunjukkan
masih rendahnya konsumsi sayuran dan buah-buahan yang merupakan sumber
utama dari vitamin dan mineral.

Hubungan antar Variabel


Hubungan Jenis Kelamin dengan Usia dan Status Pernikahan
Berdasarkan Susenas 2004, angka harapan hidup perempuan lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Angka harapan hidup perempuan di Provinsi Jawa Barat
adalah 68 tahun, sedangkan angka harapan hidup laki-laki adalah 63,8 tahun
(BPS 2004). Hal tersebut juga ditunjukkan pada Tabel 37 bahwa persentase
pasien pria yang berusia lanjut adalah lebih banyak daripada wanita, sedangkan
persentase pasien wanita yang berusia lanjut tua dan lanjut sangat tua adalah
lebih banyak daripada pria.
Tabel 37 Sebaran pasien berdasarkan jenis kelamin dan usia
Wanita Pria
Usia
n % n %
Usia
Usia lanjut 11 57,9 7 63,6
Usia lanjut tua 7 36,8 4 36,4
Usia lanjut sangat tua 1 5,3 0 0,0
Total 19 100,0 11 100,0

Persentase pada pasien pria yang masih memiliki pasangan adalah lebih
banyak dari pada wanita, dan persentase janda lebih banyak daripada duda.
Terjadinya hal ini diduga akibat perceraian karena kematian suami. Komnas
Lansia (2008) mengatakan bahwa kematian pasangan hidup merupakan suatu
hal yang dapat menjadi stressor psikososial yang paling berat. Hal tersebut juga
ditunjukkan pada Tabel 38.
Tabel 38 Sebaran pasien berdasarkan jenis kelamin dan status perkawinan
Wanita Pria
Status perkawinan
n % n %
Status perkawinan
Menikah (masih ada pasangan) 2 10,5 9 81,8
Duda atau janda 17 89,5 2 18,2
Total 19 100,0 11 100,0
Hubungan Usia dengan Indeks Massa Tubuh
Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 –
3% perdekade. Sarkopenia, kehilangan massa otot yang berkaitan dengan usia,
berkontribusi terhadap penurunan kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan
dan keseimbangan, kehilangan fungsi fisik, dan meningkatnya risiko penyakit
kronis (Harris 2004). Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan yang nyata antara usia dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)
(p>0,05) (r = -0,117; p = 0,537). Hal ini terjadi diduga karena adanya faktor lain
yang turut pula mempengaruhi status gizi pasien. Lansia yang mengalami
masalah gizi disebabkan oleh sejumlah faktor seperti fisik, patologis, dan
psikososial (Watson 2003).
Hubungan Status Gizi dengan Jumlah Penyakit
Kekurangan energi dan protein adalah penurunan jaringan tidak berlemak
dari tubuh secara patologis yang disebabkan karena kelaparan (starvation) atau
kombinasi kelaparan dengan stres katabolik. Adanya kondisi kekurangan energi
dan protein sedang dan berat dapat diketahui pada usia lanjut berdasarkan
komposisi tubuh, penurunan berat badan, hasil laboratorium, dan pengukuran
antropometri. Kekurangan energi dan protein berkaitan dengan tingginya
komplikasi penyakit (Setiati 2006).
Berdasarkan hasil Uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang
nyata antara jumlah penyakit yang diderita dengan Indeks Massa Tubuh (p >
0,05) (r = -0,138; p = 0,466). Hal ini diduga karena status gizi pasien tidak hanya
dipengaruhi oleh jumlah penyakit yang diderita, namun juga jenis dari
penyakitnya.
Hubungan Usia dengan Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia
karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme
basal, dan pengurangan aktivitas fisik (Frary & Johnson 2004). Berdasarkan hasil
uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata
antara usia dengan kebutuhan energi (p > 0,05) (r = -0,283; p = 0,129). Hal ini
diduga karena kebutuhan energi pada lansia yang sakit juga dipengaruhi oleh
adanya penyakit yang diderita. Lansia yang menderita penyakit maka energi
yang mereka butuhkan akan meningkat, khususnya dalam kondisi infeksi dan
setelah cedera (Watson 2003).
Hubungan Usia dengan Tingkat Konsumsi Energi Makanan Olahan RS
terhadap Ketersediaan
Beberapa perubahan fisiologis yang berpengaruh seperti perubahan
sensorik yang menyebabkan pengurangan kemampuan untuk mencium dan
merasakan makanan menyebabkan nafsu makan berkurang. Ketika sakit maka
nafsu makan lansia akan tampak semakin berkurang sehingga dapat
menyebabkan keadaan salah gizi (Watson 2003). Hasil Uji Pearson
menunjukkan tidak ada hubungan nyata antara variabel usia dengan tingkat
konsumsi energi terhadap ketersediaan dari makanan olahan RS (p > 0,05) (r =
0,111; p = 0,574). Hal ini menunjukkan bahwa faktor usia bukanlah satu-satunya
hal yang mempengaruhi pasien dalam mengkonsumsi makanan RS.
Selain itu, hal-hal lain seperti keadaan penyakit, psikologis, dan motivasi
untuk cepat sembuh juga mempengaruhi pasien untuk mengkonsumsi makanan
RS secara optimal. Watson (2003) menerangkan, ketika sakit maka nafsu makan
lansia akan tampak semakin berkurang sehingga dapat menyebabkan keadaan
salah gizi. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik (1986) dalam Subandriyo dan
Santoso (1995) menjelaskan, bagi pasien rawat inap yang memerlukan terapi
diet maka terhadap pasien tersebut akan dilakukan perencanaan, pengolahan,
hingga penyajian makanan khusus atau diet. Selain itu diberikan pula
penyuluhan atau konsultasi gizi dan evaluasi kemajuan penyakitnya. Pasien
yang tidak memerlukan terapi diet maka pasien tersebut akan mendapat
makanan biasa dan apabila berminat maka pasien tersebut bisa mendapatkan
penyuluhan gizi.
Konsultasi mengenai gizi dan pangan kepada pasien dan keluarga dirasa
amat perlu untuk meningkatkan motivasi pasien untuk sembuh, salah satu cara
yaitu dengan mengoptimalkan konsumsi makanan RS. Berdasarkan Komnas
Lansia (2008), penyakit pada lansia sering merupakan gangguan fisik dan psikis
(jiwa) secara bersamaan, khususnya pada mereka yang telah lama menderita
sakit sering mengalami tekanan jiwa (depresi). Pengobatan sebaiknya dilakukan
tidak hanya terhadap gangguan fisik saja, tetapi juga gangguan jiwanya.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Contoh pada penelitian ini memiliki karakteristik seperti mayoritas berjenis
kelamin wanita (63,3%), berusia lanjut (elderly) (60 – 74 tahun) (60%), berstatus
duda atau janda (63,3%), tinggal serumah bersama keluarga sebelum contoh
dirawat di RS (93,3%), dan biaya perawatan diperoleh dari keluarga (60%).
Paling banyak contoh (43,3%) dirawat selama 3 – 6 hari. Setiap pasien yang
dirawat di Ruang Gayatri didagnosa memiliki minimal 3 jenis penyakit. Penyakit
yang paling banyak diderita oleh pasien adalah gangguan kardiovaskuler dan
yang paling sedikit adalah sindrom Steven Johnson. Sebanyak 50% contoh
berstatus gizi normal sedangkan sisanya mengalami keadaan salah gizi, baik gizi
kurang maupun gizi lebih.
Mengingat porsi makanan yang diberikan kepada pasien lansia sama
dengan porsi yang diberikan kepada pasien umum lainnya maka makanan
olahan RS sudah memberikan ketersediaan energi dan zat gizi (kecuali vitamin E
dan asam folat) yang dapat mencukupi kebutuhan gizi pasien lansia di Ruang
Gayatri. Tidak hanya porsi saja, namun pada umumnya penyelenggaraan
makanan bagi pasien lansia di Ruang Gayatri disamakan seperti pasien umum.
Pemberian formula komersial saja dalam sehari ternyata tidak dapat memenuhi
kebutuhan energi dan zat gizi pasien. Kombinasi pemberian antara makanan RS
dan formula komersial dapat menyediakan energi dan zat gizi (kecuali vitamin E
dan asam folat) dalam jumlah yang cukup hingga berlebih.
Makanan pokok dan sayuran cenderung dikonsumsi kurang dari jumlah
minimal yang disarankan dari ketersediaan. Secara umum makanan lauk nabati
dan hewani cenderung dikonsumsi sesuai jumlah yang disarankan dari
ketersediaan. Namun, pada beberapa jenis lauk yang memiliki konsistensi lebih
lembut ternyata lebih cenderung dikonsumsi dengan baik daripada lauk dengan
konsistensi yang lebih keras. Buah-buahan yang memiliki konsistensi lembut
seperti pepaya, melon, semangka, dan jus cenderung dikonsumsi sesuai jumlah
yang disarankan. Secara umum terdapat kecenderungan pasien untuk
menghabiskan setiap makanan selingan yang diberikan, kecuali biskuit dan
krakers yang cenderung tidak dikonsumsi sama sekali. Formula komersial
merupakan jenis makanan selingan yang paling cenderung dihabiskan oleh
pasien.
Sebagian besar pasien masih mengkonsumsi energi dan zat gizi (kecuali
vitamin A) dalam jumlah yang rendah sehingga banyak pasien yang belum
terpenuhi kebutuhan gizinya. Selain formula komersial dan makanan luar RS,
energi dan zat gizi juga diperoleh pasien melalui sumber non pangan yaitu
suplemen dan cairan infus.
Berdasarkan Uji Korelasi Pearson tidak terdapat hubungan yang nyata
antara variabel usia dengan status gizi (p = 0,537; r = -0,117), usia dengan
kebutuhan energi (p = 0,129; r = -0,283), serta usia dengan tingkat konsumsi
energi makanan RS terhadap ketersediaan (p = 0,574; r = 0,111). Berdasarkan
Uji Korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang nyata antara variabel
jumlah penyakit dengan status gizi (p = 0,466; r = -0,138).
Masih rendahnya konsumsi pasien terhadap makanan RS dapat
disebabkan oleh faktor dari dalam diri pasien maupun faktor dari luar. Faktor dari
dalam diri pasien meliputi adanya penurunan kondisi fisik karena faktor usia dan
penyakit, serta kondisi psikososial yang mempengaruhi nafsu dan kemampuan
makan pasien. Faktor dari luar diri pasien dapat meliputi konsistensi makanan
yang tidak sesuai dengan kemampuan makan pasien, rasa makanan, serta
kegiatan konsultasi gizi yang belum merata ke seluruh pasien lansia di Ruang
Gayatri.
Saran
Berdasarkan rendahnya konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS
maka disarankan kepada pihak RS untuk meningkatkan pelayanan makanan
sehingga pasien dapat mengkonsumsi makanan RS dengan baik. Standar porsi
makanan bagi pasien lansia di Ruang Gayatri sebaiknya disesuaikan dengan
kebutuhan agar secara ekonomi lebih efisien serta menghindari konsumsi energi
dan zat gizi yang berlebihan. Tekstur makanan sebaiknya lebih disesuaikan
dengan kemampuan mengunyah dan menelan pasien. Pemberian makanan
sebaiknya dilakukan dalam porsi kecil namun frekuensi yang sering.
Penelitian mengenai daya terima dan persepsi pasien terhadap makanan
RS disarankan untuk dilakukan sehingga dapat memberikan masukan bagi
penyelenggaraan makanan untuk pasien Ruang Gayatri selanjutnya. Selain itu,
pelayanan konsultasi gizi dengan dokter atau ahli gizi supaya lebih ditingkatkan
agar pasien dan keluarga dapat lebih memahami makanan apa saja yang boleh
dan tidak boleh diberikan serta meningkatkan motivasi pasien dalam
mengkonsumsi makanan RS secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2005.. Penuntun Diet. Jakarta: Gramedia.

Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia.

[Anonim]. 2008a. Vertigo. www.totalkesehatananda.com. [30 Maret 2011].

_______. 2008b. Kanker hati. www.totalkesehatananda.com. [30 Maret 2011].

_______. 2008c. Infeksi saluran kencing orang dewasa.


www.totalkesehatananda.com. [30 Maret 2011].

_______. 2009a. Peningkatan tekanan intrakranial. www.health.detik.com. [30


Maret 2011].

_______. 2009b. Asuhan keperawatan bronkopneumonia.


www.blog.ilmukeperawatan.com. [30 Maret 2011].

_______. 2011. Efusi pleura. www.medicastore.com. [30 Maret 2011].

Arisman. 2003. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Astawan M, Wahyuni M. 1988. Gizi dan Kesehatan Manula. Bogor: Medyatama


Sarana Perkasa.

Baliwati YF, Retnaningsih. 2004. Kebutuhan gizi. Di dalam: Baliwati YF,


Khomsan A, Dwiriani CM, editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta:
Penebar Swadaya. hlm 64-68.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Angka Harapan Hidup. www.datastatistik-


indonesia.com. [20 Desember 2010].

_______________________. 2007. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2007.


Jakarta: BPS.

Daldiyono, Syam AF. 2002. Peran Nutrisi dalam Proses Penyembuhan Pasien
Rawat Inap. Di dalam: Idrus Alwi, editor. Naskah Lengkap Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI Pr. hlm. 135 – 138.

Darmojo RB, Martono H. 2006. Buku Ajar Geriatri. Edisi ke-3. Jakarta: UI-Press

[Depkominfo] Departemen Komunikasi dan Informasi. 2009. Jumlah lansia di


Indonesia 16,5 juta orang. www.depkominfo.go.id [25 Mei 2010].

[Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah
Sakit. Jakarta: Depkes RI.

Dorfman L. 2004. Medical nutrition therapy for rheumatic disorders. Di dalam: L


Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause’s Food,
Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm.
1121 - 1138.

Ettinger S. 2004. Macronutrients: Carbohydrates, Proteins, and Lipids. Di dalam:


L Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause’s Food,
Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm.
37 - 73.

Frary CD, Johnson RK. 2004. Energy. Di dalam: L Kathleen Mahan dan Sylvia
Escott-Stump, editor. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi
ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm. 21 - 33.

Garrow et al. 2000. Human Nutrition and Dietetics. Edisi ke-10. London:
Harcourt.

Gregoire MB, Spears MC. 2007. Foodservice Organization, a Managerial and


Systems Approach. Ed ke-6. New Jersey: Prentice Hall.

Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New york: Oxford


University Press.

Hammond KA. Dietary and Clinical Assessment. Di dalam: L Kathleen Mahan


dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause’s Food, Nutrition, and Diet
Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm. 407 - 430.

Harris NG. 2004. Nutrition in aging. Di dalam: L Kathleen Mahan dan Sylvia
Escott-Stump, editor. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi
ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm. 318 – 335.

Harsono A. 2006. Naskah lengkap Continuing Education, Sindroma Steven


Johnson: Diagnosis dan Penatalaksanaan. Surabaya: FK-Unair.

Hartono A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta: EGC.

Hasse JM, Matarese LE. 2004. Medical nutrition therapy for liver, biliary system,
and, exocrine, pancreas disorders. Di dalam: L Kathleen Mahan dan
Sylvia Escott-Stump, editor. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy.
Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm. 738 - 764.

Heimburger DC, Weinsler RL. 1997. Handbook of Clinical Nutrition. Edisi ke-3.
Missouri: Mosby.

Mc Cance, Widdowsons. 2007. The Composition of Foods. Ed ke-6. London: The


Royal Society of Chemistry.

[Komnas Lansia] Komisi Nasional Lanjut Usia. 2008. Pedoman Rumah


Pelayanan dan Kegiatan Lansia. Jakarta: Komisi Nasional Lanjut Usia.

Krummel DA. 2004. Medical nutrition therapy in cardiovascular disease. Di


dalam: L Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause’s
Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr.
hlm. 860 - 896.
[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Prosiding Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi VIII, Ketahanan Pangan dan Gizi di Era
Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI.

McWhirter JP, Pennington CR. 1994. Incidence and recognition of malnutrition in


hospital. British Medical Journal 308:945-8.

Mueller DH. 2004. Medical nutrition therapy for pulmonary disease. Di dalam: L
Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause’s Food,
Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm.
937 - 957.

[NCEP] National Cholesterol Education Program. 2002. Third Report of the


National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults
(Adult Treatment Panel III). Washington: National Institutes of Health.

Payhe-Palacio J, Theis M. 2009. Introduce to Foodservice. Ed ke-11. New


Jersey: Prentice Hall.

[PDGKI] Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia. 2008. Pedoman Tata Laksana
Gizi Klinik. Jakarta: PDGKI.

Rindengan B, Novarianto H. 2006. Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa


Murni. Jakarta: Penebar Swadaya.

Roedjito D. 1989. Kajian Penelitian Gizi. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa.

Sandjaja et al. 2009. Kamus Gizi. Jakarta: Kompas.

Setiati S. 2006. Terapi Nutrisi Pasien Usia Lanjut yang Dirawat di Rumah Sakit.
Di dalam: Harjodisastro D, Syam AF, Sukrisman L, editor. Dukungan
Nutrisi pada Kasus Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran UI Pr. hlm. 64-77.

Soehardjo et al. 1988. Survey Konsumsi Pangan. Bogor: Faperta-IPB.

Stopler T. 2004. Medical nutrition therapy for anemia. Di dalam: L Kathleen


Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause’s Food, Nutrition, and
Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm. 838 - 856.

Subandriyo VU, Santoso H. 1995. Pengelolaan Makanan di Rumah Sakit.


Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Supariasa IDN, Fajar I, Bakri B. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Syafiq A et al. 2009. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers.

Watson K. 2003. Keperawatan pada Lansia. Jakarta: EGC.

Wilkens KG. 2004. Medical nutrition therapy for renal disorders. Di dalam: L
Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause’s Food,
Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm.
961 - 994.

Wirakusumah ES. 2001. Menu Sehat untuk Lanjut Usia. Jakarta: Puspa Swara.

Witte KA, Clark AL. 2004. Nutrition and Heart Disease: Causation and
Prevention. London: CRC Press.
Lampiran 1 Kuesioner penelitian

Kuesioner Penelitian
KONSUMSI ENERGI DAN ZAT GIZI, SERTA STATUS GIZI
PASIEN LANSIA DI RUANG GAYATRI
RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR

Oleh:
Arina Manasik

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

I. Biodata Pasien
Nama :
No. Rekam Medik :
Pendamping Wawancara :
Alamat Pasien :
Nomor Telepon/ Handphone :
Agama :
Suku Bangsa :
II. Karakteristik Individu
Jenis Kelamin : 1. L 2. P
Usia :……tahun
BB/ LLA (coret salah satu) : ………kg/……..cm
TB/ PB (coret salah satu) : ………cm/ ………cm
Sumber biaya perawatan RS : 1. Penghasilan/ pensiunan 3. Askes
2. Keluarga 4. Lain-lain……..

Status Pernikahan : 1. Belum Menikah


2. Menikah dan masih memiliki pasangan
3. Duda/ Janda

Sebelum di RS dirawat oleh : 1. Tinggal sendiri 3. Panti Jompo


2. Keluarga 4. Lain-lain……….

III. Informasi Mengenai Perawatan dan Penyakit


Tanggal masuk :…………… tanggal keluar :………… Lama dirawat
:………..hari
Aktivitas fisik : Ambulatori/ Dapat duduk/ Tirah Baring (lingkarkan salah satu)
Faktor stress :
Penyakit yang diderita : 1………………………………………………………………
2…………...…………………………………………………
3…………………………..…………………….……………

Data laboratorium dan obat-obatan (isi di bawah ini) :


IV. Informasi Konsumsi
Hari 1 (Hari/ Tanggal:…............../………………………..)
a. Makanan RS
Jenis Diet :
Konsistensi Makanan :
Ukuran Σ yang dikonsumsi
Waktu Bahan (√ salah satu) gr yang
Menu standar porsi
Makan makanan dikonsumsi
URT gr 0 ¼ ½ ¾ 1

b. Gizi Parenteral : 1. Ya
(Jenis:…………………………………………………………)
2. Tidak
c. Suplemen : 1. Ya
(Jenis:…………………………………………………………)
2. Tidak
d. Makanan Luar RS

Waktu Ukuran
Menu Bahan makanan
Makan URT gram
Hari 2 (Hari/ Tanggal:…............../………………………..)
e. Makanan RS
Jenis Diet :
Konsistensi Makanan :
Ukuran Σ yang dikonsumsi
Waktu Bahan (√ salah satu) gr yang
Menu standar porsi
Makan makanan dikonsumsi
URT gr 0 ¼ ½ ¾ 1

f. Gizi Parenteral : 1. Ya
(Jenis:…………………………………………………………)
2. Tidak
g. Suplemen : 1. Ya
(Jenis:…………………………………………………………)
2. Tidak
h. Makanan Luar RS

Waktu Ukuran
Menu Bahan makanan
Makan URT gram
Hari 3 (Hari/ Tanggal:…............../………………………..)
i. Makanan RS
Jenis Diet :
Konsistensi Makanan :
Ukuran Σ yang dikonsumsi
Waktu Bahan (√ salah satu) gr yang
Menu standar porsi
Makan makanan dikonsumsi
URT gr 0 ¼ ½ ¾ 1

j. Gizi Parenteral : 1. Ya
(Jenis:…………………………………………………………)
2. Tidak
k. Suplemen : 1. Ya
(Jenis:…………………………………………………………)
2. Tidak
l. Makanan Luar RS

Waktu Ukuran
Menu Bahan makanan
Makan URT gram
Lampiran 2 Struktur organisasi Ruang Gayatri

Pelaksana
(Pujiastuti)

Pelaksana
(H. Aropah Maulana)
Penanggung Jawab R. Gayatri
(dr. Eddy Supriadi, SpPD) Kepala Tim I Pelaksana
(Dedeh Sukarsih) (H. Andri Tiyono)

Dokter Ruangan Pelaksana


(dr. Iriawan) (Eva S. Ramdhani)
Administrasi
Pelaksana
(Ridwan Siban SAB)
(Dwi Hartanto)
Kepala Ruangan
(Ns. Aldi Andeksa, S.Kep)
Pelaksana Cleaning Service
(Semuel Sumoket) (Wahyu B)

Pelaksana
(Ratna Susilowati)

Kepala Tim II Pelaksana


(Ilem Br. Ginting) (Anita Meidyastuti)

Pelaksana
(Fairus Ali Abdad)

Pelaksana
(Galih Pristianto)
Lampiran 3 Keadaan Ruang Gayatri RSMM

Bagian depan Ruang Gayatri Bagian dalam Ruang Gayatri

Bagian dalam Ruang Gayatri Kamar mandi Ruang Gayatri


Lampiran 4 Struktur organisasi Instalasi Gizi RSMM

Kepala Instalasi Gizi


(Hj. Hera Ganefi TD, DCN, MARS)

Kepala Unit Perencanaan dan Kepala Unit Produksi Kepala Unit Asuhan Nutrisi,
Perbekalan (Novarina Madjid, SKM) Litbang Gizi dan Mutu
(Nunung Nurusalma, SKM) (Temu Salmawati, SP)

Koordinasi Penyelenggaraan
Makanan Umum
Koordinasi Administrasi, Koordinator Konsultasi Gizi
(Mutmainah, SP)
Perencanaan Pelayanan Gizi, dan Rawat Inap
(Suherman Munarto, AMG) (Ernyati Pahpahan, AMG )

Koordinasi Penyelenggaraan
Makanan Napza
Koordinasi Perbekalan, Monitoring, (Dwi Setyarini, SKM) Koordinator Pelayanan Gizi Rawat
dan Evaluasi Jalan, Litbang Gizi dan Mutu
(Sri Hasanah, SP) (Heni Rohaeni, AMG)
Koordinasi Penyelenggaraan
Makanan Psikiatri
(Meidersayenti, S.Gz)
Lampiran 5 Siklus menu pasien Ruang Gayatri dan pasien kelas II
Waktu I II III IV
Pagi Nasi/ Tim/ Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur
Semur Ayam Suwir Semur Daging+Kentang Telur Puyuh BB Kecap Tm. Bola-bola Daging+Kacang
Sop Sayuran Cah Wortel, Labu Siam, Kacang Polong Polong
Jagung Manis Sup Makaroni Tm Buncis, Wortel, Supa
Snack Bubur Kacang Hijau Mini Cake Pandan Bolu Gulung Bubur Sumsum
Siang Nasi/ Tim/ Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur
Daging BB Asam Manis+Brokoli Bola-bola Daging Bistik Daging Kacang Polong Ayam BB Kecap
Tm. Tahu Paprika Tempe BB Kuning Schotel Kentang Bacem Tempe
Cah Sayuran Kimlo Capcay Sayur Lodeh
Jeruk Semangka Melon Pepaya
Snack Agar Pelangi Cocktail Buah Dadar isi Vla Pisang Penyet
Sore Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur
Pepes Ikan Kakap Ayam Bakar BB Kecap Tm. Ayam Brokoli Semur Daging+Brokoli
Oseng-oseng Tempe Tahu Bacem Sop Tahu Tahu BB Saos Tomat
Sayur BB kuning Bening Bayam+Labu Siam Tm. Labu Siam,Wortel,Soun Bening Bayam Labu Siam
Pisang Raja Sereh Pepaya Pisang Raja Sereh Anggur
Waktu V VI VII VIII
Pagi Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur
Ayam Saos Tiram Paprika Orak-arik Telur Soto Daging Bistik Ayam
Sop Sayuran Sop Makaroni Tm Labu Siam, Soun Tm. Buncis,Wortel,Jamur Supa
Snack Biskuit Regal Puding Hunkwe Bubur Kacang Hijau Roti
Siang Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur
Kakap Asam Manis Rolade Daging Saos Tomat Gurame Saos Tomat Daging Iris Saos Tomat+Paprika
Sop Tahu Oseng Tahu+Paprika Oseng-oseng Tempe Paprika Schotel Kentang
Cah Sayuran Kimlo Cah Buncis Semi Wortel Capcay
Pisang Ambon Melon Jeruk Papaya
Snack Sop Buah Papais Brownies Kukus Puding Agar
Sore Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur
Semur Daging Opor Ayam BB Empal Daging Ayam Bakar
Tempe+Soun Perkedel Kentang Tumis Oyong, Wortel,Soun Tahu BB Kuning
Tm. Sayuran (Wortel,Bakso, Cah Kacang Panjang+Wortel Mi Schotel Cah Sawi
Kb.Kol,Sawi Hijau) Semangka Anggur Hijau,Wortel,Bakso,Taoge
Semangka Pisang Raja Sereh

Lampiran 5 Siklus menu pasien Ruang Gayatri dan pasien kelas II (lanjutan)
Waktu IX X XI
Pagi Nasi/ Tim/ Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur
Telur puyuh BB Kuning Bistik Daging Ayam Suwir
Tm.Bayam+Wortel Tm Sawi Hijau,Tahu, Wortel Cah
Wortel,Brokoli,Kapri,Jaur
Merang
Snack Sus Isi Vla Mini Cake Cokelat Fooding Cokelat Saos Vla
Siang Nasi/ Tim/ Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur
Empal Daging Ayam Ungkep Bakar Bola-bola daging
Bacem Tempe Tempe Saos Tomat Makaroni Schotel
Sayur Asem Sop Sayur Tumis Buncis, Wortel Semi
Semangka Jeruk Manis Baso
Semangka
Snack Sarang Burung Pie Buah Bolu Gulung
Sore Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur Nasi/Tim/Bubur
Ayam Ungkep Ikan Gurame Saos Tomat Puyung Hai Saos Tomat
Semur Tahu Tahu Bacem Oseng Tempe Paprika
Kimlo Sayur Lodeh Sup Kuning Segar
Melon Pepaya Pepaya
Lampiran 6 Keadaan Instalasi Gizi dan Pantry

Pengolahan makanan bagi pasien umum Pantry saat distribusi makanan

Makanan untuk pasien Ruang Gayatri dan pasien umum kelas II


Lampiran 7 Data karakteristik pasien
Jenis Status Pihak yang merawat Lama rawat
Nores Nama Usia Biaya Status gizi Penyakit**
kelamin pernikahan sebelumnya (hari)
1 Tan Kin Yo Wanita 65 Keluarga Duda/janda Keluarga 10 kurang 2,4
2 Menah Wanita 100 Keluarga Duda/janda Keluarga Apk* kurang 2,8
3 Rahmat Pria 71 Keluarga Duda/janda Keluarga 6 normal 3,4,5
4 Taber Pria 75 Lain-lain Menikah Keluarga 33 normal 1,2,3
5 Arwi Pria 65 Keluarga Duda/janda Keluarga 3 normal 3,4,8
6 Maemunah Pria 77 Askes Duda/janda Keluarga 5 normal 2,3
7 Enil Pria 70 Keluarga Duda/janda Keluarga Apk* lebih 1,2
8 Nurhasanah Pria 60 Lain-lain Menikah Keluarga 5 normal 2,4,6,8
9 Oma Wanita 63 Keluarga Menikah Keluarga Apk* lebih 2
10 Anah Pria 70 Keluarga Duda/janda Keluarga Apk* lebih 2,5
11 Sakinah Pria 65 Keluarga Duda/janda Keluarga Apk* normal 2,5
12 Kosasih Wanita 75 Keluarga Menikah Keluarga 4 normal 3,4,8
13 Amud Wanita 81 Askes Menikah Keluarga 3 normal 2,5,8
14 Marifat Pria 85 Keluarga Duda/janda Keluarga 3 normal 2,5
15 Yakub Wanita 70 Askes Menikah Keluarga 8 kurang 3,4,8
16 Enduh Wanita 76 Keluarga Menikah Keluarga 5 normal 2,4,5
17 Siti Ulyah Pria 77 Keluarga Duda/janda Keluarga 7 normal 2,5,8
18 Emeh Pria 76 Askes Duda/janda Keluarga 6 kurang 2,8
19 Suminta Wanita 60 Keluarga Menikah Keluarga 3 lebih 2,6
20 Mumud Pria 75 Keluarga Duda/janda Tinggal sendiri Apk* kurang 2,6
21 Ara Pria 80 Keluarga Duda/janda Keluarga 3 normal 2
22 Rosid Wanita 71 Keluarga Menikah Keluarga 7 normal 1,2,3
23 Emy Pria 68 Askes Menikah Keluarga 10 normal 1,2,3
24 Arsy Pria 75 Askes Duda/janda Keluarga Apk* normal 2,5,8
25 Mariam Pria 72 Askes Duda/janda Keluarga 4 normal 1,2,3
26 Maemunah Pria 68 Askes Duda/janda Tinggal sendiri 8 normal 1,2
27 Fatimah Wanita 70 Keluarga Duda/janda Keluarga 6 lebih 2,8
28 Isah Wanita 69 Askes Duda/janda Keluarga 8 normal 3,7
29 Arsudin Pria 71 Askes Menikah Keluarga Apk* kurang 5,6,8
30 Abd. Karim Pria 60 Keluarga Duda/janda Keluarga Apk* kurang 2,5
*Apk= Atas permintaan keluarga
**1= syaraf, 2= kardiovaskuler, 3= sindrom metabolik, 4= pernafasan, 5= gastrointestinal dan hati, 6= ginjal, 7= Steven Johnson syndrome, 8= anemia
Lampiran 8 Perhitungan tingkat konsumsi minimal makanan RS

1. Tingkat konsumsi minimal makanan RS agar memenuhi kebutuhan protein


pasien
Diketahui:
Ketersediaan protein makanan RS (100%) = 1,8 g/ kg BB/ hari
Asupan protein yang disarankan = minimal 1,0 g/ kg BB/ hari
1
Maka, tingkat konsumsi minimal protein = × 100%
1,8

= 55,5% ≈ 50%.
Kebutuhan protein pasien dapat terpenuhi apabila protein dari makanan RS
terutama lauk hewani dan nabati dikonsumsi sebanyak minimal 75%.

2. Tingkat konsumsi minimal makanan RS agar memenuhi kebutuhan


karbohidrat pasien
Diketahui:
Ketersediaan karbohidrat makanan RS (100%) = 66,6% dari total keb. E/ hari
Asupan karbohidrat yang disarankan = minimal 45% dari total keb. E/ hari
45%
Maka, tingkat konsumsi minimal karbohidrat = × 100%
66,6%

= 67,6% ≈ 75%.
Kebutuhan karbohidrat pasien dapat terpenuhi apabila karbohidrat dari
makanan RS terutama makanan pokok dikonsumsi sebanyak minimal 75%.

3. Tingkat konsumsi minimal makanan RS agar memenuhi kebutuhan vitamin


dan mineral pasien
Diketahui:
Tingkat ketersediaan vitamin B1 makanan RS (100%) = 78% terhadap AKG.
Tingkat konsumsi terhadap AKG minimal = 77%
77%
Maka, tingkat konsumsi minimal vitamin dan mineral = × 100%
78%

= 98,7% ≈ 100%.
Kebutuhan vitamin dan mineral pasien dapat terpenuhi apabila vitamin dan
mineral dari makanan RS terutama sayuran dan buah-buahan dikonsumsi
seluruhnya.
(keterangan: berdasarkan tingkat ketersediaan vitamin B1, karena vitamin B1
memiliki tingkat ketersediaan terkecil dibandingkan vitamin dan mineral
lainnya namun masih di dalam kategori cukup untuk memenuhi AKG).

You might also like