You are on page 1of 16

TATALAKSANA PASIEN DENGAN BLOKADE IMPLAN GLAUCOMATOUS

DRAINAGE DEVICE : SERIAL KASUS

Abstract
Introduction : Implantation of Glaucoma Drainage Device (GDD) as the choice of surgical
therapy in refractory glaucoma has recently increased. Study showed that GDD implant
procedures had a higher success rate. However, intraoperative or postoperative
complications could occur. One complication that can occur is tubal occlusion. Management
of tubal occlusion can be done with Nd: YAG laser or surgical intervention.
Objective : to report clinical outcome tubal blockade after the installation of GDD implants
with surgical therapy and laser Nd: YAG.
Case Illustration :
Case 1, a 60-year-old man with neovascular glaucoma, proliferative diabetic retinopathy,
and imature senile cataract in Cicendo Eye Hospital underwent GDD implantation, injection
anti-VEGF, lens extraction on both eyes. Three months later tubal occlusion by neovascular
membrane occurred on right eye. Patient then underwent membranectomy,paracentesis, and
panretinal laser photocoagulation.
Case 2, a 18-year-old girl with secondary glaucoma, aniridia, and aphakia who had GDD
implant in both eyes came to Cicendo Eye Hospital. Intraocular pressure on her left eye had
been increased. On ophtalmologic examination, the tube was occluded by remnant of lens
capsule. She underwent Nd:YAG laser membranectomy to release the occlusion.
Conclusion :
Both technique could be use to release tubal occlusion in GDD implant. Membranectomy
could be used in cases with extensive membrane formation and high risk of hemorrhage such
as neovascular glaucoma. Nd:YAG laser could be used in the lower risk condition.

I. Pendahuluan
Pemasangan implan Glaucoma Drainage Device (GDD) sebagai pilihan terapi
operatif pada glaukoma refraktrer belakangan ini semakin meningkat. Data
Medicare di Amerika Serikat tahun 1995 – 2004 menunjukkan peningkatan operasi
pemasangan implan GDD sebesar 184% dan penurunan tindakan trabekulektomi
sebesar 43%. Penelitian Tube Versus Trabeculectomy (TVT) yang dipublikasikan
pada tahun 2012 menunjukkan prosedur implan GDD memiliki success rate yang
lebih tinggi daripada prosedur trabekulektomi dengan Mitomycin C. Meskipun
demikian, komplikasi baik intraoperatif maupun pascaoperatif dapat terjadi. Salah
satu komplikasi yang dapat terjadi adalah oklusi tuba. Obstruksi tuba dapat terjadi
akibat darah, vitreous, iris, ataupun kornea.1–3

1
2

Studi menunjukkn angka kejadian oklusi tuba dapat mencapai 11%. Penelitian
TVT menunjukkan complication rate oklusi tuba sebesar 3% sedangkan penelitian
Ahmed Baerveldt Comparison (ABC) sebesar 12%. Blokade tuba ini menyebabkan
menurunnya aliran aquoeus di sekitar plate. Penurunan aliran tersebut dapat
menimbulkan subkonjungtival fibrosis dan akhirnya menyebabkan kegagalan tuba.
Penatalaksaan oklusi tuba dapat dilakukan dengan Nd:YAG laser atau intervensi
operatif.1,2,4,5

Laporan kasus ini merupakan serial kasus oklusi tuba pada implan GDD. Oklusi
tuba pada laporan kasus ini terjadi pada pasien dengan glaukoma neovaskular dan
glaukoma sekunder pada pasien afakia disertai aniridia. Laporan kasus ini bertujuan
melaporkan penatalaksanaan blokade tuba pasca pemasangan implan GDD baik
dengan terapi operatif maupun dengan laser Nd:YAG.

II. Laporan Kasus


Kasus 1
Pasien Tn. T, 60 tahun datang pertama kali ke RS Mata Cicendo pada tanggal 8
Oktober 2018 dengan keluhan mata kiri melihat seperti lubang kunci sedangkan
pandangan mata kanan masih cukup lebar. Keluhan disertai dengan rasa pegal pada
mata namun tidak disertai mual dan muntah. Tidak ditemukan riwayat kacamata
selain kacamata baca, mata merah berulang, ataupun pemakaian obat-obatan
sembarangan jangka panjang sebelumnya. Pasien memiliki riwayat diabetes
mellitus. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi. Riwayat anggota keluarga
dengan sakit glaukoma disangkal.
Status generalis pasien dalam batas normal. Pada pemeriksaan oftalmologis
didapatkan tajam penglihatan mata kanan (VOD) 2/60 dan tajam penglihatan mata
kiri (VOS) close to face finger counting (CFFC). Pemeriksaan aplanasi tonometer
(ATN) mata kanan (OD) 46 mmHg dan mata kiri (OS) 54 mmHg. Kedudukan bola
3

mata ortotropia. Gerak kedua bola mata penuh ke segala arah. Pemeriksaan segmen
anterior mata kanan dan kiri didapatkan injeksi siliar, edema kornea, bilik mata
depan VH gr II flare/sel -/-, pupil mid dilatasi, rubeosis iris (+), lensa agak keruh.
Pemeriksaan segmen posterior mata kanan didapatkan cup-disc ratio (CDR) 0.7-0.8
sedangkan CDR mata kiri 0.9-1.0. Pada kedua mata terdapat Proliverative Diabetic
Retinopathy (PDR). Gonioskopi ODS ditemukan garis Schwalbe pada semua
kuadran disertai rubeosis. Pasien didiagnosis dengan glaukoma neovaskularisasi
ODS + katarak senilis imatur ODS + PDR ODS.
Pasien mendapat terapi Timol 0.5% 2 gtt 1 ODS, Azopt 3 gtt 1 ODS,
Travoprost 1 gtt 1 ODS. Pasien kemudian dilakukan pemasangan implan
Glaucomatous Drainage Device (GDD) dengan fakoemulsifikasi, implantasi Lensa
Intra Okuler (LIO), dan injeksi anti VEGF OD pada tanggal 12 Oktober 2018.
Pemeriksaan oftalmogis 1 hari pasca operasi didapatkan VOD 1/2/60 dan ATN OD
52, tube (+). Pasien mendapat Timol 0.5 % 2 gtt 1 OD dan Azopt 3 gtt 1 OD.
Pemeriksaan oftalmologis pada saat kontrol pada tanggal 25 Oktober 2018
didapatkan VOD 1/60 dan VOS LP, ATN OD 18 dan OS 38, tube (+). Terapi
medikamentosa pasien dilanjutkan. Pasien kembali kontrol pada tanggal 1
November 2018. Pemeriksaan oftalmologi didapatkan VOD 1/60, VOS 1/300, ATN
OD 18 dan OS 58. Pasien kontrol kembali pada tanggal 22 November 2018 dan
didapatkan ATN OD 17 dan OS 54.
Pasien kemudian dilakukan pemasangan GDD implan, implantasi LIO, dan
injeksi anti VEGF OS pada tanggal 23 November 2018. Pemeriksaan oftalmologis
1 hari pasca operasi didapatkan VOD 1/60, VOS 1/300, ATN OD 40, dan ATN OS
1/300. Pemeriksan segmen anterior OD didapatkan GDD implan (+), lain-lain
dalam batas normal. Pemeriksaan segmen anterior OS didapatkan GDD implan (+),
edema kornea, bilik mata depan Van Herrick (VH) grade III terdapat flare/sel +4/+4
dan ditemukan coagulum, lensa agak keruh. Pasien mendapat terapi Timol 0.5% 2
gtt 1 ODS dan Azopt 3 gtt 1 ODS. Pasien mengeluh nyeri, mual, dan muntah
sehingga terapi Azopt diganti menjadi Acetazolamide tablet 3 x 250 mg dan Kalium
4

aspartat tablet 1 x 1. Pasien juga mendapat terapi manitol 5ml/kgBB iv. Keluhan
pasien berkurang keesokan harinya. Pasien kemudian dipulangkan dengan terapi
Timolol maleate 0.5% 2 gtt 1 ODS, acetazolamide tablet 3 x 250 mg, kalium
aspartate tablet 1 x 1, serta prednisolone acetate 8 gtt 1 OS.
Pemeriksaan oftalmologis pada saat pasien kontrol tanggal 13 Desember 2018
didapatkan VOD 1/60 dan VOS NLP. Tekanan bola mata kanan 16.6 mmHg
sedangkan mata kiri over. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan didapatkan
tube di depan iris disertai dengan membran. Pemeriksaan segmen anterior mata kiri
didapatkan tube di belakang iris, iris kembung ke arah anterior. Pasien mendapat
terapi Prednisolone acetate 6 dd gtt 1 OS, timolol maleate 2 dd gtt 1 ODS,
brinzolamide 1% 3 dd gtt 1 OS, levofloxacin 6 dd gtt 1 OS. Pasien kembali kontrol
pada tanggal 3 Januari 2019. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan didapatkan
koagulum menutupi tube. Pasien kemudian dilakukan paracentensis dan
membranektomi OD serta laser panretinal photocoagulation (PRP) pada tanggal 4
Januari 2019. Pemeriksaan pasien 1 hari pasca operasi didapatkan VOD 1/300,
ATN OD 30, pada segmen anterior didapatkan coagulum minimal.

Gambar 2.1 a. Segmen anterior sebelum membranektomi dan paracentesis b. Segmen anterior
setelah membranektomi dan paracentesis.

Pasien kembali kontrol ke RS Mata Cicendo pada tanggal 7 Februari 2019. Saat
kontrol didapatkan ATN OD 24 dan OS 18. Pemeriksaan VOD 1/60 dan mata kiri
NLP. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan didapatkan implan GDD (+), tube
5

di bilik mata depan. Bilik mata depan VH grade III, flare/sel -/-, coagulum (-).
Segmen anterior mata kiri didapatkan membran dan coagulum (+). Pasien mendapat
terapi Timolol maleate 0.5% 2 dd gtt1 ODS dan brinzolamide 2 dd gtt 1 OD.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam ad bonam, quo ad functionam dubia, quo
ada sananctionam dubia.

Gambar 2.2 Kontrol 1 bulan pasca membranektomi dan paracentesis

Kasus 2
Nn. SA, 18 tahun datang kontrol ke poliklinik glaukoma RS Mata Cicendo.
Pasien memiliki riwayat operasi katarak pada tahun 2002 namun tidak rutin kontrol.
Pasien datang kembali tahun 2007 dan didiagnosa dengan Aniridia ODS + Afakia
ODS + Glaukoma Sekunder e.c Aniridia ODS. Pasien mendapat terapi
medikamentosa. Pasien kemudian rutin kontrol hingga tahun 2011. Pasien kembali
datang pada tahun 2014. Pasien dilakukan laser Trans Scleral
Cyclophotocoagulation (TSCPC) ODS tanggal 14 Agustus 2014. Laser TSCPC
ulang pada mata kanan dilakukan tanggal 12 Juni 2015. Pasien kemudian dilakukan
trabekulektomi dengan Mitomycin C (MMC) pada mata kanan tanggal 21
Desember 2015. Pemasangan implan GDD pada mata kanan dilakukan tanggal 29
November 2016 dan pada mata kiri tanggal 3 Agustus 2018.
Pemeriksaan oftalmologis saat kontrol tanggal 10 Agustus 2018 didapatkan
VOD 1/60 CCKS, VOS 1/60 CCKS, ATN bola mata kanan 23 dan kiri 22.
Pemeriksaan segmen anterior mata kanan didapatkan implan GDD dan bleb flat
pada konjungtiva bulbi, ujung tuba tampak di bilik mata depan, terdapat sisa kapsul
6

posterior. Pemeriksaan segmen anterior mata kiri didapatkan implan GDD pada
konjungtiva bulbi, ujung tube tampak di bilik mata depan, terdapat sisa kapsul
posterior. Pasien selanjutnya rutin kontrol tiap 2-3 minggu dan mendapat terapi
Timolol maleate 0.5% ED 2 dd gtt 1 ODS, latanoprost ED 1 dd gtt 1 ODS,
brinzolamide ED 3 dd gtt 1 ODS, dan air mata buatan 6 dd gtt 1 ODS. Tekanan
bola mata kedua mata saat kontrol dalam batas normal hingga 15 Januari 2019.
Pemeriksaan oftalmologis saat kontrol 15 Januari 2019 didapatkan VOD 0.15
CCKS, VOS 1/300 CCKS, tekanan bola mata kanan 18 mmHg dan kiri 36 mmHg.
Pemeriksaan segmen anterior mata kiri didapatkan implan GDD pada konjungtiva
bulbi, ujung tube tampak di bilik mata depan, terdapat sisa kapsul posterior. Pasien
mendapat terapi Timolol maleate 0.5% 2dd gtt 1 ODS, acetazolamide tablet 3 x 250
mg, dan kalium aspartate tablet 1 x 1.
Pemeriksaan oftalmologis saat kontrol 30 Januari 2019 didapatkan VOD 0.15
CCKS, VOS 1/300 CCKS, ATN mata kanan 10 mmHg sedangkan mata kiri 38
mmHg. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan didapatkan nodul pada palpebra
superior, hiperemis. Implan GDD tampak pada konjungtiva bulbi mata kanan, bleb
(+) flat. Kornea mata kanan jernih, ujung tube tampak pada bilik mata depan, pupil
dan iris ditemukan aniridia, dan lensa afakia. Pemeriksaan segmen anterior mata
kiri didapatkan implan GDD pada konjungtiva bulbi, hecting intak di kornea,
kornea edema, ujung tube tampak pada bilik mata depan dan tertutup oleh sisa
kapsul lensa. Pupil dan iris mata kiri ditemukan aniridia dan lensa afakia.

Gambar 2.2 Oklusi tuba oleh kapsul anterior


7

Pasien kemudian didiagnosa dengan glaukoma sekunder ODS + Aniridia ODS +


Afakia ODS + Hordeolum PS OD. Pasien dilakukan laser Nd:YAG untuk
menghancurkan oklusi pada tuba. Laser dilakukan sebanyak 54 kali dengan total
kekuatan 141 mJ. Pemeriksaan tekanan bola mata kanan setengah jam pasca laser
11 sedangkan mata kiri 32. Pasien mendapat terapi Timolol maleate 0.5% 2dd gtt 1
ODS, acetazolamide tablet 3 x 250 mg, kalium aspartate tablet 1 x 1, prednisolone
acetate 6 dd gtt 1 OS, kombinasi kloramfenikol dan polimiksin B sulfat salep 3 dd 1
app OD.
Pasien kembali kontrol tanggal 8 Februari 2019. Pada pemeriksaan didapatkan
VOD 0.15 CCKS, VOS 1/300, ATN OD 13 dan OS 40. Pemeriksaan segmen
anterior didapatkan implan GDD pada konjungtiva bulbi, edema kornea, tuba di
bilik mata depan dan tidak teroklusi. Cup/Disc ratio pada pasien ini 1.0 ODS.
Pemeriksaan gonioskopi OD ditemukan iris stump sedangkan OS sulit dinilai
karena edema. Pasien mendapat terapi Timolol maleate 0.5% 2dd gtt 1 ODS,
acetazolamide tablet 3 x 250 mg, kalium aspartate tablet 1 x 1, dan latanoprost 3 dd
gtt 1 OS. Prognosis pasien ini quo ad vitam ad bonam, quo ad functionam dubia ad
malam, quo ad sananctionam dubia.

Gambar 2.3 Pasca terapi laser Nd:YAG

III. Diskusi
Pemasangan implan GDD pada umumnya dilakukan pada kasus-kasus glaukoma
yang sulit di mana trabekulektomi tidak berhasil atau kemungkinan tidak
8

berhasilnya tinggi. Beberapa kondisi yang dipertimbangkan untuk pemasangan


implan GDD antara lain glaukoma neovaskular dan aniridia. Pasien dengan
glaukoma neovaskular memiliki risiko tinggi kegagalan trabekulektomi. Studi
menunjukkan success rate trabekulektomi dengan 5-FU pada kasus glaukoma
neovaskular sebesar 28%. Glaukoma akibat aniridia biasanya sulit dikontrol dengan
terapi medikamentosa. Penelitian Arroyave et al., menunjukkan succes rate
pemasangan implan GDD pada glaukoma aniridia sebesar 88% dalam waktu 1
tahun pasca operasi sedangkan Wiggins dan Tommey sebesar 83%.3,6,7
Penyebab kegagalan implan GDD antara lain adalah oklusi tuba oleh iris,
membran neovaskular, jaringan fibrotik, vitreous, jaringan inflamasi, atau debris
berpigmen. Tatalakasana oklusi tuba membutuhkan intervensi berupa tindakan
operatif ataupun laser. Terapi operatif antara lain insisi membran, bilas tuba,
reposisi tuba, atau operasi pemasangan implan kedua. Terapi laser laser Nd:YAG
mengatasi oklusi tuba keuntungannya adalah invasi minimal, relatif tidak nyeri dan
hanya sedikit menimbulkan reaksi inflamasi jika dibandingkan dengan terapi
operatif. Laser Nd:YAG memiliki risiko menimbulkan pendarahan.2,3,8
Pada pasien pertama terjadi oklusi tuba pada bilik mata depan oleh membran
neovaskular. Membran neovaskular adalah struktur fibrovaskular yang dapat
menyebabkan occlusio pupil, gangguan ketajaman penglihatan, serta menyulitkan
pengawasan dan terapi dari penyakit retina yang mendasarinya. Membran
neovaskular dapat kembali tumbuh dan menutup tuba setelah tindakan ablasi inisial
yang efektif. Pada penelitian Singh et al., laser Nd:YAG berulang tidak berhasil
membuka kembali tuba yang tertutup oleh pertumbuhan membran neovaskular
baru. Membran neovaskular disertai coagulum pada pasien pertama cukup luas.
Pasien pertama diputuskan untuk dilakukan terapi operatif membranektomi dan
paracentesis untuk mengeluarkan membran yang menutupi tuba dan visual axis
sekaligus membersihkan koagulum pada bilik mata depan.8,9
Glauokoma neovaskular paling sering disebabkan oleh oklusi vena retina sentral,
diabetik retinopati proliferatif, dan sindrom iskemik okular. Neovaskular glaukoma
9

pada pasien ini disebabkan oleh diabetik retinopati proliferatif. Insidensi


neovaskularisasi iris pada pasien diabetik retinopati sebesar 65%. Neovaskularisasi
iris dan sudut bilik mata depan berhubungan dengan hipoksia dan iskemik retina.
Hipoksia jaringan menyebabkan sel endotel vaskular menghasilkan faktor-faktor
pro-angiogenik seperti VEGF, tumor necrosis factor, insulin growth factor, dan
platelet-derived growth factor. Faktor-faktor ini merangsang terbentuknya
pembuluh darah baru. Neovaskularisasi iris dan sudut bilik mata depan
berhubungan dengan terbentuknya membran fibrovaskular pada permukaan anterior
iris dan sudut bilik mata depan.3,10–12
Terapi glaukoma neovaskular terbagi menjadi dua yaitu terapi terhadap penyakit
yang mendasarinya dan terapi untuk mengontrol TIO. Faktor penentu keberhasilan
terapi glaukoma neovaskular adalah penanganan kondisi iskemik yang
menyebabkan stimulus angiogenik. Stimulus angiogenik dapat dieliminasi dengan
laser PRP dan injeksi anti-VEGF. Pemasangan implan GDD dipertimbangkan saat
level TIO membutuhkan tindakan operatif segera atau saat glaukoma neovaskular
tidak memberikan respon terhadap laser PRP.3,10,13
Pada laporan kasus ini, pasien dilakukan implantasi GDD disertai dengan
injeksi anti-VEGF. Injeksi anti-VEGF pada pasien ini diberikan bersamaan dengan
pemasangan implan GDD. Penelitian yang dilakukan Nina Asrini Noor,et al. di
Jakarta menunjukkan bahwa kombinasi implan GDD dengan injeksi anti-VEGF
dapat mempertahankan ketajaman penglihatan walaupun tidak terdapat perbedaan
pada TIO, jumlah obat-obatan anti glaukoma yang digunakan, dan surgical success
rate dibandingkan dengan pemasangan implan GDD saja. Meta-analisis yang
dilakukan Zhou et al., menunjukkan bahwa pemberian anti-VEGF menurunkan
risiko terjadinya hifema dan success rate yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan grup kontrol.14,15
Anti-VEGF yang digunakan pada kasus ini adalah Bevacizumab (Avastin;
Genentech, South San Francisco, CA, USA). Bevacizumab adalah inhibitor VEGF
monoklonal yang akan mereduksi neovaskularisasi iris saat diberikan melalui
10

intravitreal atau intrakameral. Berdasarkan tinjauan kepustakaan yang dilakukan


oleh Saikumar et al., belum terdapat penelitian yang menunjukkan salah satu agen
anti-VEGF lebih superior daripada agen lainnya. Regresi neovaskularisasi setelah
injeksi Bevacizumab terjadi dalam 24-48 jam sedangkan laser PRP dalam 2-3
minggu. Bevacizumab juga dapat menurukan inflamasi intraokular dan rasa nyeri.
Regresi neovaskularisasi akibat injeksi Bevacizumab sifatnya sementara dan dapat
terjadi rekurensi. Efek injeksi anti-VEGF dapat bertahan selama 4-6 minggu. Laser
PRP sifatnya lebih permanen. Oleh karena itu, injeksi anti-VEGF hanya digunakan
sebagai tambahan dari laser PRP, terapi medikamentosa, dan terapi operatif.
Rekomendasi yang diberikan pada umumnya adalah kombinasi laser PRP dengan
injeksi anti-VEGF.10,14,15
Laser PRP adalah terapi utama mengontrol pertumbuhan neovaskular dan harus
selalu dipertimbangkan pada kasus iskemia. Laser PRP akan menghancurkan
kompleks fotoreseptor dengan epitel pigmen retina yang banyak mengonsumsi
oksigen. Laser PRP sulit dilakukan jika visualisasi fundus tidak baik. Pada pasien
ini terapi laser PRP dilakukan setelah membranektomi dan paracentensis sehingga
visualisasi segmen posterior menjadi lebih baik.10,12,13
Pasien kasus kedua dengan aniridia dan afakia. Lima puluh hingga 75% pasien
aniridia akan menjadi glaukoma. Glaukoma pada aniridia umumnya bukan
merupakan glaukoma kongenital. Glaukoma terjadi setelah iris yang rudimenter
rotasi ke anterior, menyebabkan sinekia, dan menutup jaringan trabekular. Proses
ini terjadi secara progresif dan glaukoma mungkin belum akan terjadi hingga usia
dua puluhan atau lebih. Pasien aniridia biasanya disertai dengan kelainan lainnya
seperti katarak polaris anterior. Pasien ini dilakukan operasi katarak saat usia 2
tahun namun pasien tidak datang kontrol. Glaukoma pada pasien ini dapat juga
terjadi sekunder akibat kondisi afakia. Glaukoma afakik terjadi pada 15-50% pasien
dengan riwayat operasi katarak. 3,6,7
Pasca prosedur implan GDD, TIO pasien ini terkontrol dengan terapi
medikamentosa. Pada pasien ini terjadi oklusi tuba oleh sisa kapsul anterior. Pasien
11

ini kemudian dilakukan tindakan laser Nd:YAG untuk menghancurkan oklusi.


Keberhasilan laser Nd:YAG menghancurkan oklusi dan menjaga patensi tuba lebih
baik jika oklusi disebabkan oleh iris dan fibrin dibandingkan dengan membran
neovaskular. Penelitian yang dilakukan oleh Singh et al., menunjukkan komplikasi
yang dapat terjadi pasca laser antara lain reaksi inflamasi pada bilik mata depan
(30.8%), hifema (15.4%), edema kornea (15.4%), pressure spike (7.7%) dan bilik
mata depan dangkal (7.7%). Pada pasien ini tidak ditemukan komplikasi pasca
prosedur laser.2,16
Pasca laser Nd:YAG TIO OD pada pasien ini tetap tinggi. Peningkatan TIO
pada pasien ini selain disebabkan oleh oklusi tuba juga disebabkan oleh glaukoma
aniridia yang mendasarinya. Glaukoma aniridia bersifat refrakter dan kurang dari
50% pasien yang TIO nya dapat terkontrol baik walaupun telah dilakukan beberapa
prosedur. Penelitian yang dilakukan Arroyave et al. menunjukkan bahwa TIO pada
88% pasien dengan glaukoma aniridia yang dipasang implan GDD terkontrol baik
dalam kurun waktu 11-39 bulan. Tinjauan yang dilakukan Calvao-Pires et al.
menujukkan success rate jangka panjang pemasangan implan GDD pada aniridia
berkisar antara 66-100%. Pada pasien ini TIO OS terkontrol baik selama 6 bulan
pasca pemasangan implan GDD. Pasien ini dapat dipertimbangkan untuk dilakukan
pemasangan implan GDD ulang atau laser TSCPC mata kiri. Penelitian yang
dilakukan Jain et al. menunjukkan bahwa pasien dengan glaukoma aniridia
memiliki prognosis visual jangka panjang yang buruk terutama pada pasien dengan
riwayat operasi multipel. Oleh karena itu, pada pasien dengan glaukoma aniridia
perlu diberikan konseling dan tindakan rehabilitasi dini. 7,17,18

Simpulan
Oklusi tuba merupakan salah satu komplikasi pemasangan implan GDD. Oklusi
tuba dapat diatasi dengan tindakan operatif ataupun laser Nd:YAG. Kedua teknik
tersebut dapat digunakan untuk mengatasi obtruksi tuba. Membranektomi dapat
dilakukan pada kasus dengan membran yang luas dan risiko tinggi perdarahan seperti
12

glaukoma neovaskular. Nd:YAG dapat dilakukan pada pasien dengan risiko yang
lebih rendah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bailey AK, Sarkisian SR. Complications of tube implants and their management.
Curr Opin Ophthalmol. Maret 2014;25(2):148–53.
2. Giovingo M. Complications of glaucoma drainage device surgery: a review.
Semin Ophthalmol. November 2014;29(5–6):397–402.
3. Girkin CA, Bhorade AM, Giaconi JA, Medeiros FA, Sit AJ, Tanna AP, dkk.
Glaucoma. Dalam: Basic Science and Clinical Section. American Academy of
Ophtalmology; 2016.
4. Gedde SJ, Schiffman JC, Feuer WJ, Herndon LW, Brandt JD, Budenz DL, dkk.
Three-year follow-up of the tube versus trabeculectomy study. Am J Ophthalmol.
November 2009;148(5):670–84.
5. Budenz DL, Barton K, Feuer WJ, Schiffman J, Costa VP, Godfrey DG, dkk.
Treatment Outcomes in the Ahmed Baerveldt Comparison Study after One Year
of Follow-up. Ophthalmology. Maret 2011;118(3):443–52.
6. Salim S. Glaucoma Associated With Aniridia. Glaucoma Today. Juli 2013;3.
7. Arroyave CP, Scott IU, Gedde SJ, Parrish RK, Feuer WJ. Use of glaucoma
drainage devices in the management of glaucoma associated with aniridia. Am J
Ophthalmol. Februari 2003;135(2):155–9.
8. Singh K, Eid TE, Katz LJ, Spaeth GL, Augsburger JJ. Evaluation of Nd:YAG
laser membranectomy in blocked tubes after glaucoma tube-shunt surgery. Am J
Ophthalmol. Desember 1997;124(6):781–6.
9. Spratt A, Blieden LS, Dubovy SR, Berrocal A, Lee RK. Treatment of
Recalcitrant Cyclitic Neovascular Pupillary Membranes. J Glaucoma. April
2017;26(4):e160–2.
10. Saikumar S, Manju A, Abhilash N. Neovascular glaucoma. Kerala Journal of
Ophthalmology. 2018;30(3):172–7.
11. Rodrigues GB, Abe RY, Zangalli C, Sodre SL, Donini FA, Costa DC, dkk.
Neovascular glaucoma: a review. International Journal of Retina and Vitreous. 14
November 2016;2(1):26.
12. Yang H, Yu X, Sun X. Neovascular glaucoma: Handling in the future. Taiwan J
Ophthalmol. 15 April 2018;8:60–6.
13. Rodrigues GB, Abe RY, Zangalli C, Sodre SL, Donini FA, Costa DC, dkk.
Neovascular glaucoma: a review. Int J Retina Vitreous. 14 November 2016
[dikutip 6 Februari 2019];2.
14.Noor NA, Mustafa S, Artini W. Glaucoma drainage device implantation with
adjunctive intravitreal bevacizumab in neovascular glaucoma: 3-year experience.
Clin Ophthalmol. 2017;11:1417–22.
15. Zhou M, Xu X, Zhang X, Sun X. Clinical Outcomes of Ahmed Glaucoma Valve
Implantation With or Without Intravitreal Bevacizumab Pretreatment for
Neovascular Glaucoma: A Systematic Review and Meta-Analysis. J Glaucoma.
2016;25(7):551–7.

13
14

16. Singh K, Eid TE, Katz LJ, Spaeth GL, Augsburger JJ. Evaluation of Nd:YAG
Laser Membranectomy in Blocked Tubes After Glaucoma Tube-Shunt Surgery.
American Journal of Ophthalmology. Desember 1997;124(6):781–6.
17. Jain A, Gupta S, James MK, Dutta P, Gupta V. Aniridic Glaucoma: Long-term
Visual Outcomes and Phenotypic Associations. J Glaucoma. September
2015;24(7):539–42.
18. Calvão-Pires P, Santos-Silva R, Falcão-Reis F, Rocha-Sousa A. Congenital
Aniridia: Clinic, Genetics, Therapeutics, and Prognosis. International Scholarly
Research Notices. 2014;2014:1–10.
14

You might also like