You are on page 1of 20

DAMPAK ASEAN CHINA FREE TRADE AREA (ACFTA)

TERHADAP KINERJA UMKM BATIK


Oleh

Prof. Dr. Hj. Nurhajati, S.E., M.S.


Abdul Wahid Mahsuni
Agus Salim PHD
Universitas Islam Malang

ABSTRACT

ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) has been taking place since January 1 st 2010,
however there is still limited research about its impact on micro, small and medium-sized
enterprises (MSMEs) performance in East Java. The research aims at filling the gap by
analyzing the impacts of ACFTA on MSMEs performance at three sentral area of batik
producer in East Java i.e. Pamekasan, Sidoarjo, and Malang. Data were collected
through survey of 60 MSMEs from that sentral producer area. Paired sample t-test was
used to analyze the impact of ACFTA on level of sales and profit as the incators of
MSMEs performance. The research found that batik producers understand the
implication of ACFTA, however most of them (68 percent) experienced decreasing sales
of 20 percent in average. On the contrary, 32 percent of MSMEs experience increasing
sales by only 13 percent. As the results, profit decrease by 20 percent in averageand
profit increase by only 10 percent. In short, performance of MSMEs was significantly
decreased after implementation of ACFTA. It was mainly because batik from China was
mechanically produced by low cost. Nevertheles, there is a positive indication that local
batik producers would have comparative advantage in the near future through product
innovation by producing batik with unique design so that difficult to be imitated.

Keywords: ACFTA, printed batik, MSMEs performance, product innovation, competitive


advantage.

1. Pendahuluan

Perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China atau yang


lebih dikenal ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) berlaku sejak
tanggal 1 Januari 2010. Inti kesepatan perdagangan bebas ASEAN dan China
adalah penghapusan dan penuruan tariff secara berkala sampai menjadi 0 (nol)
persen. Berdasarkan hasil kesepakatan kerangka kerja (Framework Agreement
on Comprehensive Economic Co-Operation Between ASEAN and thePeople’s
Republic of China), 6 negara ASEAN dan China akan menghilangkan atau
menurunkan semua hambatan tarif menjadi nol persen pada tahun 2010.

1
Sementara negara baru ASEAN lainnya seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan
Vietnam) akan menghilangkan hambatan tarif tersebut hingga tahun 2015
(ASEAN, 2010).
Perdagangan bebas ACFTA melalui penghapusan dan/atau penurunan
tarif menimbulkan respon yang berbeda, baik positif maupun negatif bagi negara-
negara di kawasan ASEAN termasuk Indonesia. Banyak perusahaan,
khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) manufaktur di Indonesia
yang akan menghadapi tantangan dengan adanya perjanjian perdagangan bebas
ACFTA, dengan ribuan pos tarif produk manufaktur menjadi nol persen per 1
Januari 2010. Dengan adanya pengurangan tarif, bahkan nol persen, produk-
produk dari negara di kawasan ASEAN dan China akan lebih mudah masuk ke
Indonesia dengan harga yang lebih murah. Di sisi lain, produk-produk dari
Indonesia juga memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki pasar di negara
kawasan ASEAN dan China.
Pihak yang bersikap positif menganggap bahwa pemberlakuan
ACFTA sebagai kesempatan, tetapi bagi pihak yang bersikap negatif
memandangnya sebagai ancaman. Beberapa keuntungan dari ACFTA,
antara lain Indonesia akan memiliki pemasukan tambahan dari pajak
pertambahan nilai (PPn) produk-produk baru yang masuk ke Indonesia.
Semakin banyak produk China yang masuk ke Indonesia, makin banyak
pula objek pajak sehingga dinilai berpotensi besar mendatangkan
pendapatan pajak bagi pemerintah. Selain itu, adanya ACFTA akan
memunculkan persaingan usaha yang diharapkan memicu persaingan
harga yang sehat dan kompetitif sehingga pada akhirnya konsumen yang
ada di Indonesia akan diuntungkan, karena barang yang dibutuhkan relatif
terjangkau.
Batik merupakan salah satu produk yang termasuk di dalam perdagangan
bebas ACFTA. Dengan adanya ACFTA, batik Indonesia mendapat saingan berat
dengan produk batik di China, selain produk-produk seperti kerajinan kayu,
bambu, keramik, dan jamu. Batik cap asal Tiongkok dengan motif yang sama
persis dengan produk lokal Indonesia menjadi ancaman serius bagi produksi
batik cap lokal dari Yogyakarta, Pekalangan, Cirebon, dan Solo. Produk batik

2
yang dikenal dengan istilah batik mekanik tersebut telah menguasai pangsa di
berbagai kota di tanah air sebesar 25-30 persen (Pikiran Rakyat, 2015).
Batik merupakan bagian dari budaya Indonesia yang telah lama ada dan
berkembang di masyarakat. Menurut Kementrian Perindustrian (2011), sejak
ratusan tahun lalu, masyarakat Indonesia sudah akrab dengan batik. Dahulu
batik sekadar menjadi simbol warisan budaya, sehingga hanya digunakan untuk
acara-acara tertentu, seperti pesta pernikahan dan berbagai kegiatan resmi. Kini,
cara pandang masyarakat Indonesia sudah berubah. Batik sudah menjadi
sebuah usaha (bisnis) yang sangat prospektif sejalan dengan berkembangnya
industri kreatif, bahkan menjadi motor penggerak ekonomi.
Eksistensi batik makin kokoh setelah United Nation Education Scientific
and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan batik sebagai world heritage
atau warisan budaya pada tanggal 2 Oktober 2009. Pemerintah Indonesia juga
menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Oleh karena itu,
usaha batik di Indonesia perlu terus dikembangkan. Pada acara World Batik
Summit (WBS), yang berlangsung 28 September hingga 2 Oktober 2011, di
Jakarta Convention Center, Presiden SBY menegaskan bahwa untuk
mengembangkan batik meliputi empat aspek yaitu budaya, ekonomi, lingkungan,
dan diplomasi Internasional. Dari aspek ekonomi, nilai transaksi perdagangan
batik pada tahun 2006 pencapai Rp 2,9 triliun, dan pada tahun 2010 meningkat
menjadi Rp 3,9 triliun. Sementara, nilai ekspor pada tahun 2006 sebesar US$
14,3 juta dan pada tahun 2010, mencapai US$ 22,3 juta, dengan peningkatan 56
persen. Jumlah tenaga kerja yang diserap industri batik mencapai 916.783 orang
pada tahun 2010. Jumlah konsumen batik tercatat 72,86 juta orang
(Kemendag, 2011).
Melihat potensi dan nilai budaya batik, sudah selayaknya Indonesia
mengembangkan usaha batik terutama di pusat-pusat batik tradisional seperti
Solo, Yogya, Pekalongan, Garut, Sumenap, Malang, dan banyak tempat yang
lain. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis
dampak ACFTA terhadap kinerja UMKM batik seperti Wijayanan dan Sukirman
(2015)0 di Banyumas, Putra (2012) dan Sunaryo dkk. (2014) di Pekalongan.
Publikasi penelitian dampak ACFTA terhadap kinerja UMKM Batik di Jawa Timur
masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan mengisi kekurangan
informasi tersebut.

3
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak ACFTA terhadap
kinerja UMKM batik di Jawa Timur, khususnya di pusat produksi batik di
Pamekasan, Sidoarjo, dan Malang. Hasil penelitian diharapkan memberi
informasi kepada pihak terkait (pengelola usaha batik, pemerintah, dan peneliti
selanjutnya) tentang upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja
batik sebagai salah satu asset budaya Indonesia.

2. Kajian Pustaka
2.1 Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional secara teoritis terjadi karena suatu negara
mampu menghasilkan produk dengan biaya lebih murah dibandingkan dengan
negara lainnya. Hal ini dapat dijelaskan melalui dua teori, yaitu teori keunggulan
komparatif dari David Ricardo dan teori intensitas penggunaan faktor produksi
oleh Heckscher-Ohlin (HO).
Teori keunggulan komparatif dikemukakan oleh David Ricardo (Krugman
dan Obstfeld, 2011). Menurut Ricardo, perdagangan internasional terjadi
apabila terdapat perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. Keunggulan
komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi
barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara
lainnya. Misalnya, Indonesia dan Malaysia sama-sama memproduksi
kopi dan timah. Indonesia mampu memproduksi kopi secara efisien dan dengan
biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi timah secara efisien dan
murah. Sebaliknya, Malaysia mampu dalam memproduksi timah secara efisien
dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi kopi secara efisien
dan murah. Dengan demikian, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam
memproduksi kopi dan Malaysia memiliki keunggulan komparatif dalam
memproduksi timah. Perdagangan akan saling menguntungkan jika kedua
negara bersedia bertukar kopi dan timah.
Berlandaskan teori keunggulan komparatif, Indonesia seharusnya
memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan barang-barang yang
berbasis alam karena sumber daya alam Indonesia tersedia dalam jumlah
banyak sehingga biaya produksi lebih murah. Dalam teori keunggulan
komparatif, suatu bangsa dapat meningkatkan standar hidup dan

4
pendapatan jika suatu negarai melakukan spesialisasi produksi barang atau jasa
yang memiliki produktivitas dan efisiensi tinggi.
Teori Heckscher-Ohlin atau biasanya disingkat menjadi Teori HO pada
prinsipnya menjelaskan bahwa perdagangan internasional terjadi karena suatu
negara mampu mengimbinasikan faktor-faktor produksi sedemikian rupa
sehingga mampu menghasilkan produk dengan biaya yang lebih rendah
(Thompson, 2001). Analisis HO didasarkan pada hipotesis berikut: (a) harga
atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau proporsi
faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara, (b) comparative advantage
dari suatu jenis produk yang dimiliki masing-masing negara akan ditentukan oleh
struktur dan proporsi faktor produksi yang dimilikinya, (c) masing-masing negara
akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang
tertentu karena negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif banyak dan
murah untuk memproduksinya, dan (d) sebaliknya masing-masing negara akan
mengimpor barang-barang tertentu karena negara tersebut memilki faktor
produksi yang relatif sedikit dan mahal untuk memproduksinya.
Berdasarkan hipotesis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa teori HO
menjelaskan keunggulan komparatif dari dua faktor, yaitu (a) bahwa keunggulan
komparatif dapat dicapai melalui faktor endowment, yakni kepemilikan faktor-
faktor produksi di dalam suatu negara, dan (b) faktor faktor intensity, yakni
teknologi yang digunakan di dalam proses produksi, apakah labor intensive atau
capital intensive. Teori HO memberikan penjelasan mengenai penyebab
terjadinya perbedaan produktivitas antar negara. Negara yang memiliki faktor
produksi relatif banyak atau murah akan melakukan spesialisasi produksi untuk
kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, suatu negara akan mengimpor
barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka
atau mahal dalam memproduksinya (Donald, 2000).

2.2 Integrasi Ekonomi

Integrasi ekonomi merupakan bagian dari upaya suatu negara untuk


meningkatkan kesejahteraan dengan cara membebaskan perdagangan dari
segala bentuk proteksi dan restriksi, dengan menciptakan area perdagangan
bebas atau free trade area (Jovanovic, 1998). Integrasi ekonomi adalah

5
penghilangan atau penghapusan rintangan perdagangan antara paling sedikit
dua Negara dan membangun koordinasi dan kerjasama antar Negara yang
tergabung didalamnya (El-Algraa, 1998).
Oleh karena integrasi ekonomi adalah area perdagangan bebas maka
umumnya dilakukan oleh negara-negara yang berada dalam satu kawasan.
Tujuan utama integrasi ekonomi adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
melalui penciptaan perluasan pasar, internalisasi increasing return to scale dalam
produksi dan konsumsi, dan meningkatkan standar hidup masyarakat sekaligus
mengurangi tingkat disparitas diantara sesama negara anggota (Daniel dan
Radebaugh, 1986). Kawasan integrasi ekonomi juga akan mempermudah
transfer produk, barang dan tenaga kerja yang pada akhirnya dapat membentuk
sebuah integrasi secara total yang juga menyangkut aspek politik (Chu dan Park,
2007). Manfaat dari pembentukan integrasi ekonomi akan semakin besar
apabila terdapat beberapa kondisi, seperti negara anggota memiliki keunggulan
komparatif yang hampir sama, negara anggota memiliki small market size, dan
pengenaan tarif terhadap negara bukan anggota adalah rendah (Gibb dan
Michalak,1994).
Secara teoritis terdapat berbagai bentuk/kriteria dari integrasi ekonomi.
Jones dan Plummer (2004) memberikan klasifikasi mengenai tingkatan dari
intergasi ekonomi menjadi 5 tingkatan, yakni : (i) free trade area;(ii) costom
union;(iii) common market; (iv) economic union ; (v) total economic integration.
Free trade area ditandai oleh adanya perdagangan bebas tanpa adanya
hambatan tarif diantara negara anggota tetapi masing-masing negara anggota
masih dibolehkan mengenakan tarif untuk negara bukan anggota. Custom union
menerapkan pengurangan tarif impor dari sesama negara anggota dan
menerapkan hambatan perdagangan yang sama terhadap negara bukan
anggota melalui kebijakan Common External Tariff (CET). Common market
perluasan dari custom union dengan adanya tambahan pergerakan bebas atas
faktor produksi (barang, modal, tenaga kerja dan jasa) diantara sesama negara
anggota. Economic union perjanjian kerjasama ekonomi yang melibatkan
harmonisasi kebijakan ekonomi nasional dan kebijakan fiskal. Sedangkan
political union bentuk integrasi yang melibatkan harmonisasi politik secara
lengkap diantara sesama negara anggota, yakni dengan membentuk
penguasaan politik tunggal di suatu kawasan integrasi ekonomi.

6
2.3 ASEAN China Free Trade Area (ACFTA)

ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara


negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan
perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-
hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses
pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek
kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak
ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan
China (Direktorat Kerjasama Regional, 2014).
Indonesia telah meratifikasi Ratifikasi Framework Agreement ASEAN-
China FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni
2004. Setelah negosiasi tuntas, secara formal ACFTA pertama kali diluncurkan
sejak ditandatanganinya Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement
Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di Vientiane, Laos.
Persetujuan Jasa ACFTA ditandatangani pada pertemuan ke-12 KTT ASEAN di
Cebu, Filipina, pada bulan Januari 2007. Sedangkan Persetujuan Investasi
ASEAN China ditandatangani pada saat pertemuan ke-41 Tingkat Menteri
Ekonomi ASEAN tanggal 15 Agustus 2009 di Bangkok, Thailand.
Tujuan dari perjanjian ACFTA, antara lain adalah (1) memperkuat dan
meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara negara-
negara anggota, (2) meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan
perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan
dan untuk mempermudah investasi, (3) menggali bidang-bidang kerjasama yang
baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama
ekonomi antara negara-negara anggota, dan (4) memfasilitasi integrasi ekonomi
yang lebih efektif dari anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan
Vietnam) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi di antara
negara-negara anggota (Direktorat Kerjasama Regional, 2014).
Peluang adanya perjanjian ACFTA, antara lain adalah (1) meningkatnya
akses pasar ekspor ke China dengan tingkat tarif yang lebih rendah bagi produk-
produk nasional, (2) meningkatkanya kerjasama antara pelaku bisnis di kedua
negara melalui pembentukan “Aliansi Strategis”, (3) meningkatnya akses pasar

7
jasa di China bagi penyedia jasa nasional, (4) meningkatnya arus investasi asing
asal China ke Indonesia, (5) terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis di
kedua negara.
Manfaat adanya perjanjian ACFTA, antara lain adalah (1) terbukanya
akses pasar produk pertanian (Chapter 01 s/d 08 menjadi 0%) Indonesia ke
China pada tahun 200, (2) terbukanya akses pasar ekspor Indonesia ke China
pada tahun 2005 yang mendapatkan tambahan 40% dari Normal Track (± 1880
pos tarif), yang diturunkan tingkat tarifnya menjadi 0-5%, (3) terbukanya akses
pasar ekspor Indonesia ke China pada tahun 2007 yang mendapatkan tambahan
20% dari Normal Track (± 940 pos tarif), yang diturunkan tingkat tarifnya menjadi
0-5%, dan (4) pada tahun 2010, Indonesia memperoleh tambahan akses pasar
ekspor ke China sebagai akibat penghapusan seluruh pos tarif dalam Normal
Track China, dan (5) sampai dengan tahun 2010 Indonesia menghapuskan
93,39% pos tarif (6.683 pos tarif dari total 7.156 pos tarif yang berada di Normal
Track ), dan 100% pada tahun 2012.
Tantangan adanya perjanjian ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA),
antara lain adalah (1) Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi dan
efektifitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk China, (2)
menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing,
(3) menerapkan ketentuan dan peraturan investasi yang transparan, efisien dan
ramah dunia usaha, dan (4) meningkatkan kemampuan dalam penguasaan
teknologi informasi dan komunikasi termasuk promosi pemasaran dan lobby.

2.4 Kinerja Perusahaan

Setiap perusahaan bertujuan mencapai hasil sesuai dengan yang


diharapkan. Perusahaan sebagai organisasi yang profit-riented, tujuannya
adalah mencapai keuntungan maksimum. Keuntungan dapat diartikan dalam
bentuk manfaat sehingga ada manfaat yang bersifat kualitatif dan ada manfaat
yang kuantitatif. Manfaat kualitatif misalnya terkait dengan image masyarakat
terhadap sebuah perusahaan, merek yang makin dikenal, atau sebaliknya dalam
bentuka kerugian seperti nama perusahaan tercemar karena mengganggu
lingkungan, perusahaan terlibat didalam perdagangan yang illegal, dan

8
sebagainya. Penelitian ini akan fokus pada kinerja kuantitati, khususnya
penjualan dan laba yang diperoleh UMKM batik.
Penjualan merupakan sebuah proses dimana kebutuhan pembeli dan
kebutuhan penjual dipenuhi, melalui antar pertukaran informasi dan kepentingan
(Kotler, 2005). Penjualan perlu dikembangkan melalui rencana strategis yang
diarahkan pada usaha pemuasan kebutuhan dan keinginan pembeli sehingga
mendapatkan penjualan yang menghasilkan laba (Marwan, 2006). Penjualan
merupakan sumber hidup suatu perusahaan, karena dari penjualan dapat
diperoleh laba serta suatu usaha memikat konsumen yang diusahakan untuk
mengetahui daya tarik mereka sehingga dapat mengetahui hasil produk yang
dihasilkan.
Laba usaha merupakan pendapatan perusahaan dikurangi biaya eksplisit
atau biaya akuntansi perusahaan (Salvatore, 2005). Laba usaha berbeda dengan
laba ekonomi, yaitu pendapatan perusahaan dikurangi dengan biaya eksplisit
dan biaya implisit. Dalam akuntansi, laba kotor adalah keuntungan penjualan
yakni perbedaan antara pendapatan dengan biaya untuk membuat suatu produk
atau penyediaan jasa sebelum dikurangi biaya overhead, gaji, pajak dan
pembayaran bunga. Penjualan bersih didapatkan dengan cara mengurangi
penjualan kotor dengan retur penjualan dan diskun penjualan.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian kuantitatif dengan metode


survei terhadap pelaku UMKM Batik di Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM)) Batik Malang, Sidoarjo, dan Pamekasan-Madura. Berdasarkan data
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Jawa Timur (2013) diketahui bahwa
industri batik khususnya batik tulis cukup banyak terdapat di wilayah Malang
Raya, Sidoarjo, dan Pamekasan.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perajin batik yang
menghasilkan produk batik yang terdaftar di Kantor Dinas Perindustrian dan
Perdagangan di tiga lokasi penelitian, yaitu di Malang (Kota Malang, Kabupaten
Malang, dan Kota Batu), Kota dan Kabupaten Sidoarjo, dan Pamekasan-
Madura. Setelah dilakukan studi lapangan diketahui bahwa jumlah perajin batik
di tiga pusat produksi batik berjumlah 60 unita usaha sehingga seluruhnya

9
dijadikan sampel, dengan kata lain studi ini adalah sensus terhadap perajin batik
di tiga pusat produksi tersebut. Responden dalam penelitian ini adalah pemilik
dan/atau pengelola usaha kecil batik di Malang Raya, Sidoarjo, dan Pamekasan.
Data dikumpulkan secara langsung dari usaha-usaha kecil dan rumah
tangga penghasil batik menggunakan kuesioner. Teknik penyerahan kuesioner
secara langsung menurut Arsono (1995) dirasakan lebih baik dibandingkan
dengan mail survey karena dapat memperkecil perbedaan interpretasi antara
responden dan peneliti. Wawancara mendalam (in-depth interview) juga
dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih detail dari responden terkait
data yang berifat kualitatif. Hasil wawancara diharapkan menjadi cross-check
terhadap hasil kuesioner sehingga meningkatkan validitas instrumen dan
reliabilitas data.
Data kuantitatif yang dikumpulkan meliputi tingkat penjualan dan laba
usaha batik sebelum dan sesudah pelaksanaan ACFTA. Data yang dikumpulan
berupada persentase peningkatan atau penurunan, dengan pertimbangan bahwa
perajin akan cenderung memberikan data yang bias dalam bentuk angka nomial
atau absolut.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji beda berpasangan (pair
sample t-test) untuk dua rata-rata hitung sebelum dan setelah pelaksanaan
ACFTA. Perbandingan yang dimaksud adalah kinerja UMKM batik dilihat dari
tingkat penjualan dan laba usaha.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan


4.1 Hasil Penelitian
Sebelum menganalisis dampak ACFTA terhada kinerja UMKM batik,
perlu diketahui informasi awal dari pelaku UMKM terkait dengan makna ACFTA.
Informasi awal tersebut adalah (1) tarif barang yang masuk ke Indonesia
termasuk harga batik dari China yang murah, (2) produk dari Cina termasuk batik
makin banyak yang masuk ke Indonesia, dan (3) pemerintah Indonesia tidak bisa
membatasi jumlah produk batik dari Cina yang masuk ke Indonesia.
Sebagian besar responden (56,7%) setuju bahwa dengan adanya ACFTA
tarif barang dari negara-negara anggota ASEAN dan dari Cina yang masuk ke
Indonesia termasuk batik makin murah (Tabel 1). Secara keseluruhan untuk

10
responden yang setuju dan sangat setuju adalah 66,7% yang mengindikasikan
bahwa sebagian besar pelaku UMKM batik memahami arti dari ACFTA. Sejalan
dengan prinsip ACFTA melalui Common Effective Preferential Tariff (CEPT), tarif
perdagangan barang diantara negara-negara ASEAN dengan Cina akan
dikurangi secara bertahap menjadi nol pada tahun 2015. Artinya, di akhir tahun
2015 benar-benar tidak ada tarif bea masuk terutama untuk barang-barang yang
termasuk dalam kategori normal track. Oleh karena tarif nol persen maka produk
batik dari China yang lebih murah menguasai pasar di Indonesia sebagai salah
satu anggota ASEAN.
Namun, masih ada 12 responden atau 20% yang menyatakan tidak tahu
tentang hubungan ACFTA dengan tarif barang yang masuk ke Indonesia. Hal ini
dapat dimaklumi karena ada pelaku UMKM yang menghasilkan produk batik
dengan pasar sasaran di wilayah Jawa Timur. Produsen yang tidak berorientasi
ekspor cenderung untuk tidak memperhatikan persoalan perdagangan
internasional.

Tabel 1. Pendapat Responden tentang “Dengan adanya perdagangan bebas


dengan Cina, tarif barang yang masuk ke Indonesia termasuk batik
makin murah”

No. Pendapat Responden Frekuensi (orang) Persentase (%)


1 Sangat tidak setuju 0 0
2 Tidak setuju 8 13,3
3 Tidak Tahu 12 20,0
4 Setuju 34 56,7
5 Sangat Setuju 6 10,0
Jumlah 60 100,00

Pelaku UMKM batik lebih memahami aliran masuknya barang ke


Indonesia dengan adanya perdagangan bebas ASEAN-Cina. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 2 yang menunjukkan sekitar 87% responden yang setuju dan
sangat setuju bahwa perdagangan bebas menyebabkan produk dari Cina
termasuk batik makin banyak yang masuk ke Indonesia. Masuknya barang dari
Cina ke Indonesia popular di masyarakat dan sudah cukup banyak diungkapkan
melalui media massa baik cetak maupun elektronik dan televisi.
Walaupun demikian masih ada 8 responden atau 13% yang tidak tahu
bahwa dengan perdagangan bebas khususnya ASEAN dengan Cina maka

11
produk dari negara lain akan banyak masuk ke Indonesia. Sekali lagi, responden
yang merupakan produsen yang berorientasi pada pasar lokal kurang atau
bahkan tidak memperhatikan pasar internasional.
Tabel 2. Pendapat Responden tentang “Perdagangan bebas menyebabkan
produk dari Cina termasuk batik makin banyak yang masuk ke
Indonesia”

No. Pendapat Responden Frekuensi (orang) Persentase (%)


1 Sangat tidak setuju 0 0
2 Tidak setuju 0 0
3 Tidak Tahu 8 13,3
4 Setuju 46 76,7
5 Sangat Setuju 6 10,0
Jumlah 60 100,00

Informasi awal terakhir terkait ACFTA adalah campur tangan pemerintah


dalam membatasi jumlah produk negara lain yang masuk ke Indonesia. Tabel 3
menunjukkan bahwa hampir semua responden (sekitar 93%) setuju dan sangat
setuju bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa membatasi jumlah produk batik
dari China yang masuk ke Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip ACFTA yang
telah disetujui oleh pemimpin negara-negara ASEAN dan China.

Tabel 3. Pendapat Responden tentang “Pemerintah Indonesia tidak bisa


membatasi jumlah produk batik dari China yang masuk ke Indonesia”

No. Pendapat Responden Frekuensi (orang) Persentase (%)


1 Sangat tidak setuju 0 0
2 Tidak setuju 0 0
3 Tidak Tahu 4 6,7
4 Setuju 34 56,7
5 Sangat Setuju 22 36,7
Jumlah 60 100,00

Pemahaman yang baik dari pelaku UMKM batik tentang makna ACFTA
diharapkan mendorong UMKM untuk terus berupaya meningkatkan kinerja dan
daya saing menghadapi perdagangan bebas khususnya dengan China. Produk
dari China sudah dikenal masyarakat Indonesia karena harganya bersaing
dengan produk sejenis di Indonesia maupun dari negara lain.
Penurunan dan penghapusan tariff bea masuk produk batik dari China ke
Indonesia berdampak pada penurunan penjualan rata-rata 20,24% yang dialami
oleh 41 unit UMKM, sedangkan yang meningkat pendapatannya hanya 19 unit

12
usaha dengan rata-rata kenaikan 12,60% (Tabel 4). Sebanyak 6 UMKM yang
meningkat penjualan usahanya ternyata tidak diikuti dengan peningkatan laba.
Secara keseluruhan rata-rata penurunan penjualan lebih besar daripada
peningkatan laba.

Tabel 4. Penurunan dan Kenaikan Penjualan dan Laba UMKM Batik


Keterangan Jumlah UMKM Minimal Maksimal Rata-rata
(%) (%) (%)
Penurunan penjualan 41 5,00 45,00 20,24
Peningkatan penjualan 19 4,00 20,45 12,60
Penurunan laba 47 6,00 40,00 20,21
Peningkatan laba 13 4,00 15,00 10,38
Kinerja secara umum adalah tingkat penurunan penjualan dan laba lebih
besar daripada tingkat kenaikan penjualan dan laba. Rata-rata laba sebelum
ACFTA sebesar 26,55% sementara rata-rata penjualan sesudah ACFTA sebesar
13,28% sehingga terdapat selisih sebesar 13,27%. Hasil uji statistik dengan
paired sample t-test selisih tersebut signifikan pada α = 5%, maka dapat
disimpulkan bahwa tingkat penjualan UMKM batik sesudah pelaksanaan ACFTA
menuruh (Tabel 5). Demikian pula tingkat laba sebelum ACFTA rata-rata laba
sebesar 17,43% dan sesudah ACFTA sebesar 13,03% sehingga terjadi
penuruhan rata-rata 4,40%. Hasil uji statistik (Tabel 5) menunjukkan bahwa laba
UMKM batik secara signifikan menurun.

Tabel 5. Hasil uji Paired Sample t test pada Penjualan dan Laba UMKM Batik
Paired Sample t-Test
Kinerja Kesimpulan
Mean t-hitung Sig (2-tailed)
Penjualan 13,27 6,30 0,000 Signifikan
Laba 4,40 3,83 0,000 Signifikan

4.2 Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku UMKM batik mamahami
makna ACFTA karena sebagian besar responden (56,7%) setuju bahwa produk
batik dari China yang masuk ke Indonesia makin murah karena penghapusan

13
tariff bea masuk; sekitar 87% responden yang setuju dan sangat setuju bahwa
perdagangan bebas menyebabkan produk dari Cina termasuk batik makin
banyak yang masuk ke Indonesia, dan hampir semua responden (93%) setuju
dan sangat setuju bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa membatasi jumlah
produk batik dari China yang masuk ke Indonesia. Tingkat pemahaman yang
baik dari pelaku UMKM batik terkait ACFTA karena sejak mulai berlakunya
ACFTA pada 1 Januari 2010 berita tentang peluang dan ancaman ACFTA cukup
banyak disampaikan melalui media massa. Walau demikian, masih terdapat 20
responden atau 33,3% yang tidak setuju dan tidak tahu bahwa tariff bea masuk
terhadap produk batik dari China makin murah dan sekitar 13% responden yang
menyatakan tidak tahu bahwa produk batik dari China yang masuk ke Indonesia
makin banyak setelah adanya ACFTA. Pelaku UMKM batik yang tidak setuju
dan tidak tahu dampak ACFTA disebabkan antara lain sebagian UMKM
memproduksi batik untuk memenuhi segmen pasar khusus di dalam negeri
seperti pakaian pesta.
Masuknya produk batik China ke Indonesia berdampak terhadap kinerja
UMKM batik yang ditunjukkan oleh penjualan yang menurun. Penurunan
penjualan terjadi pada sebagian besar (41 unit usaha atau 68%) UMKM batik di
tiga pusat produksi batik di Jawa Timur (Pamekasan, Sidoarjo, dan Malang).
Penurunan penjualan rata-rata 20% dibandingkan penjualan sebelum adanya
ACFTA. Penurunan penjualan paling besar mencapai 45% dan paling kecil
adalah 5%. Sebaliknya, terdapat 19 UMKM batik yang penjualannya meningkat
rata-rata sekitar 13% dengan kenaikan paling tinggi 20% dan terendah 4%.
Penurunan penjualan berakibat pada menurunnya laba yang diperoleh UMKM
batik. Penurunan dialami oleh 47 UMKM atau sekitar 80% dengan rata-rata
20%, sedangkan yang mengalami peningkatan penjualan hanya 13 UMKM atau
sekitar 20% dengan rata-rata kenaikan 10% setelah adanya ACFTA. Secara
keseluruhan terjadi penurunan penjualan rata-rata sekitar 13% dan penurunan
laba sebesar 4%. Penurunan ini ternyata signifikan pada tingkat kepercayaan
95%.
Penurunan kinerja UMKM batik setelah berlangsungnya ACFTA
disebabkan oleh paling tidak dua faktor. Pertama, penurunan dan penghapusan
bea masuk menyebabkan produk dari China yang masuk ke ASEAN dan secara
khusus ke Indonesia mampu bersaing dengan produk batik dalam negeri karena

14
harga jual produk batik China menjadi lebih murah dibandingkan sebelumnya.
Persaingan harga setelah ACFTA adalah hal yang wajar untuk produk sejenis
yang diharapkan berdampak positif terhadap inovasi UMKM batik untuk mampu
bersaing melalui inovasi produk, inovasi proses, inovasi organisasi, dan inovasi
bisnis secara keseluruhan. Inovasi akan memungkinkan UMKM mampu
bersaing. Melalui inovasi produk, misalnya akan menghasilkan produk yang
menarik karena desain atau motif yang berbeda atau unik. Sementara inovasi
proses akan berdampak pada biaya operasional yang lebih mudah sehingga
mampu bersaing. Inovasi organisasi terkait kemampuan UMKM untuk mengelola
tenaga kerja yang dimiliki sehingga lebih terampil, mampu mengembangkan ide-
ide inovasi, dan cara kerja yang lebih baik. Akhirnya inovasi bisnis adalah
kombinasi antar jenis-jenis inovasi produk, proses, dan organisasi. Misalnya,
selain menghasil produk berkualitas juga disertai layanan pemasaran yang baik.
Layanan kepada konsumen dapat berupa ketepatan waktu produksi atau
penyampaikan produk sesuai pesanan, memberikan informasi yang dibutuhkan
konsumen, mendengarkan keluhan konsumen, dan lain-lain.
Faktor kedua yang menyebabkan menurunnya penjualan dan laba UMKM
batik di Indonesia setelah adanya ACFTA adalah perbedaan teknis produksi batik
antara China dan Indonesia. Batik dari China adalah batik cap sedangkan
sebagian besar batik di tiga daerah sentra produksi di Jawa Timur yang diteliti
adalah batik tulis. Batik cap atau lebih dikenal sebagai batik mekanik asal
Tiongkok dengan motif yang sama persis dengan produk lokal Indonesia menjadi
ancaman serius bagi produksi batikdi Indonesia. Hasil penelitian Immawan
menemukan bahwa batik mekanik asal China menguasai pangsa di berbagai
kota di Indonesia sebesar 25-30 persen (Pikiran Rakyat, 2015).
Produk batik Indonesia sebenarnya memiliki kekuatan pasar sejak
UNESCO mengukuhkan Batik Indonesia sebagai Masterpieces of the Oral and
Intangible Heritage of Humanity pada 2 Oktober 2009, yang diikuti penetapan
tanggal tersebut sebagai hari batik nasional. Berdasarkan hasil penelitian
Immawan seperti yang dilaporkan melalui Pikiran Rakyat (2015), penjualan batik
Solo, Yogyakarta dan Pekalongan meningkat tajam setelah penetapan UNESCO
tersebut. Pasar batik Solo omzet penjualan meningkat antara 30 – 50% pada
tahun 2010 dan sekitar 200% pada tahun berikutnya (2011). Peningkatan pada
kisaran yang sama berlaku di pasar-pasar di Yogyakarta dan Pekalongan.

15
Melihat pasar batik meningkat tajam di Indonesia, produsen China
memasuki pasar batik di berbagai kota di Indonesia setelah berlakunya ACFTA
tahun 2010. Batik Tiongkok bisa dikategorikan sebagai batik cap, tetapi
produksinya menggunakan mesin atau disebut batik mekanik. Ekspor batik
mereka sangat massif. Sebagai contoh batik asal China selama tiga bulan
pertama 2013 (Januari-Maret) masuk pasar Indonesia sebanyak 159 ton, dengan
nilai 4.6 juta dolar AS atau setara Rp 43.7 miliar (Pikiran Rakyat, 2015).
Hal serupa juga dikemukakan oleh Himpunan Pengusaha Pribumi
Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta bahwa masuknya produk batik dari China sebesar
Rp43 miliar selama tiga bulan di awal tahun 2013 merupakan merupakan
ancaman luar biasa bagi industry batik Indonesia. Harga batik dari China jauh
lebih murah dari batik lokal dan karakteristik masyarakat Indonesia sebagai
negara berkembang lebih menyukai barang yang murah meski kualitasnya
rendah. Batik China sangat mirip dengan batik Indonesia, bahkan mereknya
banyak sama dengan merek indonesia tetapi harganya jauh lebih murah.
Masyarakat Indonesia lebih memilih yang lebih murah dan warnanya menarik
meski kualitas batik lita jauh lebih baik (Economy, 2013). Oleh karena itu
pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas untuk mengatasinya.
Pemerintah harus segera mewaspadai keadaan tersebut dengan segala
kewenangan yang dimilikinya. Misalnya melakukan program seperti membuat
aturan yang tujuannya membatasi impor batik atau dengan cara lain misalnya
menaikkan paja produk batik dari luar negeri. Himpunan Pengusaha Pribumi
Indonesia (HIPPI) mengharapkan Kementerian Perdagangan membentuk
sebuah komite untuk mengwasi peredaran barang impor di pasaran (Economy,
2013).
Pandangan sebaliknya dikemukakan oleh Kemenderian Perdagangan.
Bahwa pemberlakuan ACFTA membuat batik produksi Tiongkok membanjiri
pasar dalam negeri. Itu akibat bea masuk produk sebesar nol persen. Meski
begitu, batik lokal masih bisa bertahan karena memiliki kualitas lebih baik
daripada batik printing asal Cina. Kualitas yang dihasilkan (batik asal Cina) masih
di bawah produk batik asal Indonesia (Kemenperin, 2012). Menurut Dirjen
Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian, batik adalah produk asli
Indonesia yang dibuat dengan keterampilan tertentu. Batik Indonesia bahan

16
bakunya terdiri atas kain batik dengan bahan baku gondorukem dan
menggunakan canting dalam proses produksinya. Untuk batik cap,
menggunakan bahan baku katun dan mempunyai teknik khusus dalam membuat
produknya. Batik printing asal Cina, diproduksi dengan menggunakan mesin
tanpa keterampilan manusia. Batik Cina hanya diprint dan harganya lebih murah
serta proses produksinya tidak sesuai dengan ketentuan UNESCO (Kemenperin,
2012).
Masuknya produk batik dari China setelah adanya ACFTA menjadi
ancaman tetapi ancaman tersebut dapat diubah menjadi peluang dengan cara
melakukan inovasi. Menurut Stovia (2012), para pelaku usaha batik lokal saat ini
mulai membuat motif-motif batik yang tak bisa ditiru oleh produsen batik China.
Ditambah lagi kualitas bahan kain batik itu sendiri yang tetap dipertahankan dan
akhirnya mampu bersaing di negeri sendiri bahkan mulai merambah persaingan
dunia. Permintaan batik lokal terus meningkat, hal ini juga berdampak pada
kesempatan kerja dalam negeri hingga mampu mengurangi jumlah
pengangguran. Apalagi dengan banyaknya pihak yang mendukung usaha batik
dalam negeri maka perkembangan industri batik dalam negeri akan mampu
bertahan.
Hal senada juga dikemukakan oleh Mubarok (2013) yang dalam
penelitiannya di Lamongan, menemukan bahwa dengan meningkatkan kualitas
produk batik lokal oleh para pengusaha dan kebijakan serta strategi yang
dijalankan oleh pemerintah dalam rangka melestarikan dan mengembangkan
batik lokal telah menghasilkan dampak positif. Dengan meningkatnya nilai
produksi batik lokal menunjukkan bahwa telah terjadi dampak positif dari
perdagangan bebas ACFTA yang mengakibatkan membanjirnya produk batik
Cina, masyarakat atau para pengrajin batik lokal menganggap produk batik Cina
bukan merupakan ancaman karena produk batik lokal memiliki kualitas lebih
bagus dan lebih memiliki nilai seni. Dampak positif lainnya yaitu terlihat dari
ketahanan ekonomi keluarga pengrajin batik lokal. Ketahanan ekonomi keluarga
yang diukur dari tingkat pendapatan dan pengeluaran para pengrajin batik lokal
menunjukkan rata-rata tahan dan diatas garis kemiskinan atau tidak miskin.
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan masyarakat memakai batik pada
hari Batik Nasional dan satu hari secara regular pada hari kerja untuk pegawai
atau satu hari sekolah bagi pelajar, juga menjadi salah satu kebijakan yang

17
mendukung pengembangan usaha batik lokal. Namun, perlu disertai dukungan
pemerintah untuk melindungi perajin batik local terhadap ancaman produk batik
mekanis dari China, misalnya mendorong produsen lokal untuk menghasilkan
produk batik dengan harga murah untuk memenuhi kebutuhan konsumen
Indonesia yang daya belinya masih rendah.

5. Simpulan dan Saran

Perdagangan bebas ASEAN dengan China (ACFTA) memberi dampak


negatif terhadap kinerja batik local Indonesia dilihat dari tingkat penjualan dan
laba yang menurun. Penurunan penjualan dan laba disebabkan harga produk
batik dari China harganya lebih murah dengan motif, warna, dan kualitas yang
relatif sama. Murahnya produk batik China selain tidak ada tariff bea masuk,
juga disebabkan produk bati China diproduksi secara mekanis, sedangkan batik
Indonesia dihasilkan dengan cap atau batik tulis.
Namun, dengan berjalannya waktu ada indikasi bahwa produk batik
UMKM lokal mulai mampu bersaing dengan produk batik dari China. Pelaku
UMKM batik dapat menghasilkan produk dengan motif batik dengan keterampilan
khusus yang sulit ditiru. Konsumen Indonesia juga secara bertahap dapat
membedakan kualitas produk batik printing dari China dan produk local yang
lebih baik kualitasnya.
Disarankan kepada pemerintah untuk mendukung perajin batik lokal
melalui berbagai cara, seperti pelatihan keterampilan menghasilkan batik yang
berkualitas baik, meningkatkan efektivitas perkreditan bagi UMKM yang kesulitan
modal untuk pengembangan usaha, peningkatan/perluasan jaringan pemasaran,
dan membangun kerjasama antara perajin kecil dengan usaha-usaha menengah
dan besar dalam pengembangan usaha. Pemerintah juga diharapkan secara
terus-menerus meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencintai produk
lokal dan tidak berpandangan bahwa produk luar negeri lebih bergengsi dan
selalu lebih baik kualitasnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Chu, C. P. dan S. C. Park. 2007. Regional Integration in Central and Eastern


Europe and the Prospects for the Fifth Enlargement of the Europe, Paper,
National Science Council Republic of China:1-19
Daniels, J.D dan L. H. Radebaugh. 1986. International Business: Environments
and Operations, Addison-Wesley,MA
Direktorat Kerja Sama Regional-Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional.
ASEAN China Free Trade Area. http//ditjenkpi.depdag.go.if/Umum/
Regional/Win/ ASEAN%20- %20China%FTA.pdf.
Donald. 2000. Bisnis Internasional. Jakarta: Salemba Empat.
Economy, 14 Mei 2013. Batik Cina Ancaman untuk UKM.
http://economy.okezone.com/ read/2013/05/14/320/806870/batik-china-
ancaman-untuk-ukm, diakses tanggal 29 September 2016.
El-Algraa, A. M. 1998. European Union: Economics and Policy. New York:
Prentice-Hall.
Helfert, E. A. 1996. Financial Management. Jakarta: Erlangga
Jones, E. dan M.G. Plummer (ed.). 2006. International Economic Integration
and Asia. New Jersey; World Science.
Jovanovic, B. 1998. Vintagen Capital and Inequality. Review of Economic
Dynamic, ELSEVIER, 1 (2): 497 – 530.
Kemenperin. 2012. Batik Lokal Ungguli Batik Cina.
http://www.kemenperin.go.id/artikel/ 4656/Batik-Lokal%202012 ,
diakses tanggal 29 September 2016.
Kotler, Philip. 2005. Manajemen Pemasaran, Edisi Kesebelas, jilid 2. Jakarat:
Penerbit Erlangga.
Krugman, P.R. dan M. Obstfeld. 2011. International Econbomics: Theory and
Policy. Seventh Edition. Eddison-Wesley. Boston.
Marwan, S. 2006. Marketing. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Mubarok, A. 2013. Dampak Produk Batik Cina Terhadap Ketahanan Ekonomi
Keluarga Pengrajin Batik Lokal (Studi di Kelurahan Jenggot Kecamatan
Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan).
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=Pen
elitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=60963 , diakses tanggal 29
September 2016.
Munawir. 2001. Analisa Laporan Keuangan. Edisi Keempat. Yogyakarta: Liberty.
Pikiran Rayat, edisi 22 September 2015. http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/
2015/09/22/343321/batik-cap-tiongkok-mengancam-produk-batik-lokal,
diakses tanggal 29 September 2016.

19
Putra, E.A. 2012. Analisis Pengaruh Implementasi ASEAN-China Free Trade
Agreement (ACFTA) Terhadap Perkembangan Usaha Industri Batik
(Studi Kasus di Sentra Industri Batik Pesindon dan Kauman, Kota
Pekalongan. Skripsi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang.
Salvatore, Dominick. 2005. Ekonomi Manajerial dalam Perekonomian Global.
Jakarta: Salemba Empat.
Stovia. 2012. Dampak Perjanjian ACFTA pada Produk Batik Lokal Indonesia
dan Perkembangan Sistem Perekonomian Syari’ah di Indonesia. Harian
Republika, Kamis, 26 Juli 2012.
Sunaryo, W.A., Mutadin, dan Maghfiroh. 2014. Identifikasi Lima Tahun Pasca
Pengukuhan Batik oleh UNESCO Terhadap Perkembangan IKM Batik di
Kota Pekalongan (Studi Kasus di Kampung Batik Kauman dan Kampung
Batik Pesinden). Jurnal LITBANG Kota Pekalongan, 122-140.
Thompson, H. 2001. International Economics: Global Markets and International
Competition. New Jersey: World Scientific.
Wijayana, W. dan Sukirman. 2015. Analisis Pengaruh Pemberlakuan ACFTA
(ASEAN-China Free Trade Agreement) Terhadap Keberlangsungan
Ushaa pada Industri UMKM Batik di Wilayah Banyumas. Jurnal
Akuntansi dan Keuangan (JAKA), Vol. 2, No.1, 2015: 65-78.

20

You might also like